Ucapan ini membuat nenek itu teringat dan berdiam diri, tidak jadi menghunus pedangnya dan nampak termangu-mangu. "Aku masih heran, siapakah gerangan bocah setan yang memiliki kepandaian sehebat itu? Aku masih heran dan sungguh aku sama sekali tidak dapat mengenal ilmu silatnya yang aneh-aneh itu..."
"Aku sendiripun heran. Ada beberapa gerakannya yang mengingatkan aku akan ilmu-ilmu mujijat dari Pendekar Sadis..."
"Ehhh...!" Wanita itu hampir menjerit ketika mengeluarkan seruan itu. Bagaimanapun juga, sebutan Pendekar Sadis membuat jantungnya seperti akan copot rasanya.
"Mungkin juga bukan, karena di dalam gerakan-gerakannya terdapat unsur ilmu-ilmu silat tinggi yang lain seperti Siauw-lim-pai, Kun-lun-pai dan lain-lain. Sungguh bocah itu seperti setan saja. Tidak salah lagi! Ia tentu puteri atau murid seorang sakti. Karena itulah, kita harus berhati-hati, kita harus bersatu karena bukankah sekarang ini orang-orang golongan putih yang menentang kita sedang mengadakan pertemuan di Puncak Bukit Perahu?"
Wanita itu mengangguk-angguk. "Memang kedatanganku ke sini juga hendak menyelidiki kebenaran berita itu. Kita tidak boleh tinggal diam saja kalau mereka mengadakan pertemuan. Apakah saudara-saudara kita yang lain juga akan datang?"
"Kurasa demikian. Bahkan datuk-datuk kitapun kabarnya akan muncul, untuk melakukan penyelidikan sendiri."
"Benarkah? Aih, bakalan ramai kalau begitu! Memang mereka, golongan putih itu, semakin congkak dan tekebur saja. Kalau kita tidak melawan mereka, tentu golongan kita dianggap golongan tahu dan tidak mempunyai jagoan-jagoan lagi." Hwa-hwa Kui-bo mengepalkan tinjunya dan sepasang matanya mengeluarkan sinar berapi penuh kebencian.
"Kalau mereka datang, tentu muncul di Ceng-tao. Akan tetapi karena kita menjadi buruan di Ceng-tao, sebaiknya kita mendekati Puncak Bukit Perahu itu sambil menanti kedatangan para sahabat kita. Bagaimanapun juga, mereka tentu akhirnya a-kan berdatangan ke bukit itu pula."
Wanita itu mengangguk dan mereka lalu melanjutkan perjalanan, meninggalkan hutan menuju ke utara.
Pada keesokan paginya di pasar kota Ceng-tao. Pagi itu pasar ini tetap ramai seperti biasa, seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu malam tadi. Akan tetapi, di antara percakapan sehari-hari dan urusan perdagangan, ramai pula orang bicara tentang peristiwa di kuil Dewi Laut di mana terjadi pertempuran yang menewaskan belasan orang perajurit keamanan. Bermacam-macamlah pendapat orang mengenai peristiwa itu. Yang kepercayaannya terhadap kesaktian Dewi Laut sudah berlebihan, kukuh berpendapat bahwa semua itu adalah akibat kemarahan Dewi Laut yang hendak menghukum pendeta kuil dan para perajurit.
"Kalau bukan Sang Dewi, mana mungkin ada wanita dapat menghindarkan diri dari kepungan para perajurit?"
"Dan kabarnya, dihujani anak panah wanita itu hanya tertawa saja!" Yang lain menambahkan, memperkuat kepercayaan orang-orang terhadap Dewi Laut.
Biarpun urusan itu ramai dibicarakan orang, pada akhirnya mereka yang berada di pasar ini sibuk dengan urusan mereka sendiri, urusan mencari untung sebanyaknya atau mencari kesenangan melalui belanjaan. Ada yang secara royal membeli pakaian-pakaian mahal, sedangkan di sudut sana, di pasar itu pula, terdapat banyak orang berpakaian tambal-tambalan, pakaian yang sudah berbulan-bulan tak pernah diganti, karena bajunya memang hanya yang melekat di badan itulah. Ada pula orang-orang yang sedang menikmati masakan-masakan lezat dan mahal di restoran-restoran, makan dengan lahapnya, tidak perduli akan pandang mata yang disertai air liur ditelan dari para pengemis tua muda yang berkeliaran di situ dengan perut kelaparan.
Sekelompok anak-anak jembel memperebutkan sisa makanan yang dibuang oleh pelayan restoran ke tempat sampah. Sang pelayan berdiri sambil menonton anak-anak jembel memperebutkan sisa makanan seperti sekelompok anjing kelaparan berebut tulang. Tentu saja sisa makanan itu bercampur dengan kotoran dan tanah setelah dibuang ke tempat sampah. Agaknya, memberikan saja makanan itu kepada anak-anak pengemis secara demikian saja tidak memuaskan hati si pelayan ini.
Ada jembel tua yang duduk bersandar tembok di sudut, tenang-tenang saja memandangi semua pengemis yang bekerja pula bermodalkan suara mengharukan minta dikasihani, dan kadang-kadang ada pengemis datang menghampirinya dan memberikan sesuatu, makanan atau uang kecil kepada pengemis tua ini. Dia adalah seorang raja kecil pengemis di pasar itu yang "melindungi" para pengemis. Tentu saja dia sendiri tidak perlu mengemis karena para anak buahnya selalu membagi hasil kepadanya. Ada pula yang bermalas-malasan karena sudah memperoleh hasil mengemis dan sudah kenyang perutnya. Pekerjaan yang amat mudah itu sungguh membuat mereka merasa malas. Ada pula seorang ibu mengemis memondong anak bayinya yang kurus, merengek-rengek menarik perhatian dan belas kasihan orang pasar, menceritakan bahwa bapak anak itu sudah mati dan ia hidup menjanda. Padahal, seorang laki-laki pengemis lain yang menjadi bapak anak itu pada saat itu sedang bermain judi kecil-kecilan di belakang pasar bersama kawan-kawan pengemis lain.
Akan tetapi, sebagian besar daripada mereka yang berada di pasar, baik para penjual maupun para pembeli, sudah terbiasa dengan penglihatan ini dan tidak memperdulikan. Mereka melihat adanya banyak pengemis di pasar ini sebagai bagian yang tak terpisahkan dari pasar, dan andaikata pada suatu hari tidak ada seorangpun pengemis di situ, tentu mereka akan terkejut dan terheran-heran, bahkan mungkin akan merasa kehilangan.
Di antara orang yang berjubelan itu, di depan sebuah restoran, nampak seorang pemuda jembel penuh bercak-bercak lumpur dan arang, sedang duduk nongkrong memandang ke arah dua orang anak jembel kakak beradik yang menangis sambil berangkulan. Si adik menangis dan si kakak menghiburnya.
"Mereka... mereka memukulku...!" rengek adiknya.
"Sudahlah, merekapun lapar seperti kita. Nanti kalau ada sisa makanan lagi, biar aku yang akan memperebutkannya untukmu. Diamlah..." kakaknya menghibur.
Jembel muda yang duduk nongkrong itu tak terasa lagi mengusap air matanya yang menetes turun dari kedua matanya ke atas pipi, menggunakan punggung tangan kirinya yang kotor sehingga pipinya menjadi semakin kotor lagi. Di lain saat, pemuda jembel ini sudah bangkit dan mengeluarkan sebuah mata uang kecil dari saku bajunya yang butut, dan dengan kedua mata masih basah dia berkedip-kedip dan tersenyum seorang diri, kemudian dengan lenggang dibuat-buat pergilah dia menghampiri kedai bakpao di mana tukang bakpao yang berperut gendut sekali sedang memanaskan bakpaonya. Bau sedap keluar ketika uap dari tempat pemanasan bakpao itu mengepul dan si pemuda jembel menyedot-nyedot hidungnya sambil berdiri di depan kedai itu dan memandang ke arah bakpao-bakpao yang bulat dan putih dan panas beruap itu.
Melihat seorang pemuda jembel berpakaian kotor berdiri di depan kedainya, si perut gendut menghardik, "Heh, mau apa kau berdiri di sini? Pergi!"
"Toapek, aku mau membeli bakpao, bukan mau mengemis." Sambil berkata demikian, dia menyodorkan uang logam kecil yang berada di telapak tangan kanannya. "Aku mau beli lima butir bakpao terisi daging dengan uang ini."
Si gendut memandang dan begitu melihat uang logam di tangan pengemis itu, dia mencak-mencak dan mukanya yang gendut pula itu menjadi merah, matanya yang sipit coba dibelalakkan. "Setan cilik! Uang itu untuk membeli sebutir saja masih kurang, dan kauminta lima butir? Itu bukan mengemis, juga bukan membeli, akan tetapi mau merampok!" Sepasang mata itu melotot dan tangannya dikepal dan diamangkan tinjunya ke arah pemuda jembel itu.
Pemuda jembel itu berjebi, menyeringai dan mentertawakan dengan sikap mengejek sekali. "Phuh, empek gendut! Perutmu begitu gendut tentu kebanyakan untung dan kebanyakan makan bakpao! Huhh!"
Tentu saja penjual bakpao itu marah sekali. "Apa kaubilang? Ke sini kau! Biar kuputar batang lehermu sampai putus!"
"Coba kaulakukan itu kalau kau mampu menangkapku! Huh, siapa tidak tahu bahwa engkau mencuri kucing dan anjing tetangga, lalu kausembelih dan dagingnya kaupakai isi bakpao maka keuntunganmu berlimpah-limpah? Kau pencuri, penipu rendah!"
Tentu saja si tukang bakpao menjadi semakin marah. Dia menyambar pisau besar pencacah daging bakpao dan diapun keluar dari kedainya melakukan pengejaran. Pengemis muda itu berlari, tidak terlalu jauh sambil mengejek memanaskan hati. Dia lari menyelinap di antara para pengunjung pasar dan setelah si gendut itu agak jauh, tiba-tiba dia menghilang. Selagi si gendut sambil memaki-maki mencari jembel muda itu, si jembel muda dengan jalan memutar, cepat kembali ke kedai dan diambilnya bakpao sekeranjang penuh, lalu dibagi-bagikannya bakpao-bakpao itu kepada anak-anak jembel yang berada di dalam pasar.
Ketika si gendut kembali ke kedainya dan mencak-mencak melihat bakpao-bakpaonya hilang, jembel muda itu tertawa terpingkal-pingkal melihat anak-anak jembel makan bakpao sedemikian lahapnya sampai tercekik leher mereka. Ketika tertawa, nampak deretan gigi putih dan bagi mereka yang pernah melihat mulut dan gigi ini tentu akan teringat bahwa mulut itu semalam pernah muncul di menara kuil Dewi Laut, dan dua hari yang lalu pernah muncul pula sebagai gadis aneh di pintu gerbang!
Melihat bakpao yang dibagi-bagikan itu cepat habis dan anak-anak itu kelihatan masih belum kenyang, si jembel muda lalu menyelinap di antara orang banyak dan diapun kini mendekati kedai bakpao itu. Berindap-indap dia mendekati kedai itu dari belakang, kemudian mencuri beberapa butir bakpao yang ditumpuk di sebelah kiri si gendut itu.
Dia tidak tahu bahwa gerak-geriknya sejak tadi diikuti oleh pandang mata tiga orang laki-laki setengah tua. Ketika dia memegang lagi sebuah bakpao yang masih terlalu panas, dia terkejut dan mengeluarkan seruan kaget, bukan hanya karena kepanasan, akan tetapi juga karena pundaknya dicengkeram orang dari belakang!
Si gendut tukang bakpao menoleh dan melihat betapa pemuda jembel yang tadi berada di situ membawa beberapa buah bakpao dan kini dipegangi kedua lengannya oleh dua orang seperti menangkapnya, menjadi marah. "Nah, ini dia maling bakpaoku!" Dan diapun mengangkat tangan untuk menampar muka pemuda jembel itu.
"Duk!" Seorang di antara tiga orang itu menangkis tamparan si gendut, membuat si gendut menyeringai kesakitan.
"Jangan sembarangan memukul!" hardik orang ketiga itu. "Kami adalah perwira-perwira keamanan yang sedang melakukan operasi pembersihan!"
Mendengar bahwa tiga orang ini adalah perwira-perwira yang menyamar, si gendut tidak berani banyak cakap dan melanjutkan pekerjaannya dengan hati berdebar tegang. Memang bukan hanya dia. Siapapun juga di kota Ceng-tao, sekali berhadapan dengan petugas keamanan, menjadi kuncup hatinya dan tidak banyak tingkah. Petugas keamanan amat ditakuti rakyat dan dianggap sebagai golongan yang hanya mendatangkan kerugian saja, dianggap sebagai golongan orang yang tidak dapat dipercaya dan yang lebih baik dijauhi atau dihindari. Perasaan seperti ini akan selalu menyelinap dalam hati rakyat di negara manapun juga selama para petugas keamanan lebih menonjolkan kekuasaannya daripada kewajibannya, membuat mereka menjadi penindas dan pemeras yang bermodal kekuasaan dan kedudukan mereka.
Pemuda jembel itupun yang tadinya mengerutkan alisnya dan bersikap melawan, menjadi lunak, apalagi ketika melihat beberapa orang lain berpakaian preman mendatangi tempat itu dan dari sikap mereka mudah diduga bahwa mereka adalah petugas-petugas keamanan yang menyamar. Dan diapun melihat betapa selain dia, ada pula beberapa orang jembel dan gelandangan yang ditangkapi. Maka diapun menyerah saja dibawa oleh para petugas itu, bersama tangkapan-tangkapan lainnya, menuju ke sebuah gedung, yaitu gedung seorang pembesar yang menjadi komandan pasukan keamanan.
Tentu saja pembesar pasukan keamanan tidak tinggal diam begitu saja dengan adanya peristiwa di kuil Dewi Laut. Belasan orang anak buahnya tewas dan penjahat-penjahat itu tidak dapat tertangkap. Hal ini merupakan pukulan hebat dan mendatangkan rasa malu. Maka diapun memerintahkan seluruh anak buahnya untuk disebar di semua tempat, menangkapi orang-orang yang dicurigai untuk ditanya tentang penjahat-penjahat semalam itu, terutama tentang gadis yang pakaiannya seperti orang gelandangan. Yang ditangkap adalah pengemis-pengemis yang usianya sebaya dengan gadis itu, juga orang-orang yang dicurigai, akan tetapi sebagian besar adalah orang-orang jembel dan gelandangan-gelandangan yang berada di pasar. Bersama dengan pemuda jembel yang mencuri bakpao tadi, jumlah tangkapan ada dua puluh orang lebih. Mereka digiring seperti ternak dibawa ke pejagalan. Di sepanjang jalan, mereka menjadi tontonan orang dan sebentar saja tersiarlah berita bahwa petugas-petugas keamanan menangkapi banyak pengemis muda.
Di dalam gedung yang terletak di daerah markas pasukan keamanan itu, terjadilah pemeriksaan terhadap para tawanan. Komandan keamanan sendiri yang melakukan pemeriksaan dengan keras. Dia seorang komandan yang berusia lima puluh tahun, bertubuh tinggi besar dan bersikap galak. Dendam karena kematian banyak anak buah membuat komandan ini pusing dan murung, membuatnya menjadi semakin galak seperti harimau haus darah. Pemeriksaan dilakukan satu demi satu, dengan kekerasan dan banyak di antara para tawanan harus menderita gebukan dan cambukan yang dilakukan bukan hanya untuk memaksa tawanan mengaku, akan tetapi juga terutama karena dorongan hati dendam yang ingin ditumpahkan. Tukang-tukang siksa yang sudah siap berada di kamar pemeriksaan, agaknya sudah gatal-gatal tangan dan menurut kata hati mereka, semua tawanan harus disiksa sampai mengaku atau mampus!
Maka di dalam ruangan pemeriksaan itu, setiap kali ada tawanan dibawa masuk, lalu disusul oleh bentakan-bentakan, pukulan-pukulan dan diiringi raung-raung dan tangis kesakitan. Hal ini membuat hati para tawanan lain yang belum diperiksa menjadi panik dan ketakutan dan belum juga diperiksa, sebagian sudah menangis ketakutan.
Pemuda jembel yang mencuri bakpao tadi dengan cerdiknya diam-diam menyelinap dan tahu-tahu dia sudah berada di paling ujung sehingga dia menjadi orang terakhir yang diperiksa. Ketika dia dibentak dan diseret tangannya oleh seorang petugas, dibawa masuk ke dalam kamar pemeriksaan, pada saat itu berkelebat bayangan orang di atas genteng dan ketika pemuda jembel itu mulai dihadapkan kepada komandan tinggi besar bermuka bengis, bayangan itu kini telah bergantung dengan kedua kakinya pada atap di luar jendela, dan kepalanya yang tergantung ke bawah ini menjenguk dan mengintai dari luar jendela yang tinggi karena jendela ini adalah lubang angin. Pemuda itu gagah perkasa, pakaiannya rapi, matanya lebar tajam, hidungnya agak pesek, mulutnya membayangkan kekerasan dan keteguhan hati. Biarpun raut mukanya tidak dapat dinamakan tampan, akan tetapi diapun tidak buruk sekali dan wajah itu membayangkan kegagahan. Sebatang pedang tergantung di punggung.
Pada saat itu, pemuda jembel telah dihujani bermacam pertanyaan yang tidak dapat dijawabnya.
"Siapakah penjahat yang mengacau kuil Dewi Laut? Di mana tinggalnya dan siapa namanya? Siapa pula teman-temannya dan mengapa penjahat itu mengacau kuil dan membunuh para petugas keamanan? Hayo ceritakan semua kalau engkau tidak mau dirangket sampai pecah-pecah kulit punggungmu!" Komandan itu menghardik dan matanya yang besar itu seperti hendak meloncat keluar. Dia sudah terlalu lelah dan pemuda jembel ini merupakan orang terakhir yang diperiksanya. Dia sudah melihat bahwa semua hasil pemeriksaan yang tadi tidak ada artinya, tidak dapat mengungkapkan rahasia penjahat yang dicarinya. Hatinya kesal sekali dan dia ingin menumpahkan kemarahannya kepada pemuda jembel bertubuh kecil yang wajahnya berseri-seri dan cengar-cengir ini.
"Tidak tahu... saya tidak tahu..." berulang-ulang pemuda itu menjawab sambil menggeleng kepalanya.
Seorang di antara tiga orang perwira yang tadi menangkapnya, berkata kepada sang komandan, "Ketika kami menangkapnya, dia sedang mencuri bakpao."
Komandan itu mengerutkan alisnya dan hampir dia membentak marah kepada bawahannya mengapa pencuri bakpao saja ditangkap. Akan tetapi karena dia hendak menumpahkan kemarahannya kepada tawanan terakhir ini, dia menghardik, "Bagus! Engkau pencuri, tentu engkau berkawan dengan maling itu! Siapa namamu?"
Pemuda jembel itu nampak gugup, akan tetapi menjawab juga dengan suara lirih, "Nama saya Cin..."
"Hanya Cin saja?"
"Hanya Cin saja."
"Apa she-nya (nama marganya)?"
"Sudah lupa."
"Brakkk!" Komandan itu menggebrak meja. "Jangan main-main kau! Mana mungkin orang lupa shenya sendiri?"
"Tapi saya hanya mengingat bahwa nama saya Cin begitu saja, tuan besar."
"Hemm, baiklah. Sejak kapan engkau menjadi jembel?"
"Jembel? Apakah itu, tuan besar?"
"Jembel! Pengemis, tukang minta-minta tak tahu malu."
"Sejak lahir."
Sepasang mata yang sudah mulai lelah dan mengantuk itu kini terbelalak. Sebanyak itu orang yang diperiksanya, baru sekali ini menarik perhatiannya dengan jawaban yang aneh-aneh di luar dugaan.
"Sejak lahir jadi jembel? Pantas! Tak tahu malu! Nah, di mana rumahmu? Hayo mengaku terus terang sebelum kusuruh potong tanganmu yang suka mencuri itu!"
"Rumahku? Seluruh tempat di dunia ini adalah rumahku, tuan besar!"
Jawaban ini kembali membuat semua orang tertegun dan komandan itu sendiri bangkit dari kursinya dan mengepal tinju. "Engkau minta dipukul? Jawab yang benar!"
Wajah pemuda jembel itu kini berseri-seri seperti ketika dia mencuri bakpao di pasar tadi. Agaknya sudah pulih kembali kegembiraan hatinya dan dia tidak lagi dicekam rasa takut. "Saya tidak berbohong. Gedung inipun rumahku, bukankah buktinya aku sekarang tinggal di sini? Dan toko-toko di tepi jalan itu, tiap malam boleh saja aku tinggal di empernya, atau di bawah-bawah jembatan, semua tempat adalah tempat tinggalku..."
"Setan! Kau mau main-main?"
"Tidak, tuan besar. Dunia ini adalah rumahku, langit adalah atapku, bumi adalah lantaiku, pohon-pohon dan bunga-bunga adalah hiasan-hiasan rumahku, dan..."
"Cukup!" Komandan itu menghardik sambil menjatuhkan dirinya lagi ke atas kursi dan mengusap peluh dari dahinya. Dia melirik ke arah para pembantunya dan mereka ini dengan penuh arti menyilangkan telunjuk ke depan dahi untuk menyatakan persangkaan mereka bahwa tentu jembel muda ini menderita penyakit miring otak.
"Jadi engkau seorang gelandangan, ya? Seorang tuna wisma yang merantau ke mana-mana. Jadi, engkau tentu mengenal penjahat yang semalam mengacau di kuil Dewi Laut? Hayo mengaku!" Komandan itu memberi isyarat dan dua orang tukang siksa sudah melangkah maju menghampiri.
"Aku tahu... aku tahu..." Pemuda itu berseru ketika melihat dua orang tukang siksa yang membawa cambuk yang sudah berlepotan darah itu menghampirinya.
"Bagus sekali!" Wajah komandan itu berseri. Akhirnya berhasil juga pemeriksaan ini, pikirnya, "Hayo katakan yang jelas siapa mereka itu, dan engkau bukan saja akan kubebaskan, malah akan kuberi hadiah pakaian dan uang."
"Aku tahu... seperti yang kudengar bahwa Sang Dewi Laut mengamuk di kuil, dan membunuh-bunuhi orang-orang yang terlalu banyak dosanya. Jadi yang mengacau adalah para hwesio dan nikouw sendiri dibantu oleh pasukan keamanan, merekalah yang dihajar oleh Sang Dewi karena mungkin terlalu banyak dosa..."
"Brakkk!" Kembali komandan itu menggebrak meja dan mukanya menjadi pucat saking marahnya. "Hajar bocah ini! Beri dia dua puluh lima kali cambukan yang keras!"
Dua orang algojo itu menyeringai. Dua puluh lima kali cambukan pada tubuh yang kecil ini berarti mencambukinya sampai mati! Mereka menangkap tangan pemuda itu dan seorang di antara mereka menghardik, "Buka bajunya!"
"Jangan... ah, jangan... dibuka. Aku seorang wanita...!" Pemuda jembel itu berseru dan kini suara aselinya keluar, suara seorang gadis!
Dua orang algojo itu tertegun dan melepaskan tangannya saking kaget dan heran. Juga komandan itu sendiri memandang dengan mata terbelalak. "Perempuan...? Kau perempuan yang menyamar...? Ah, sungguh mencurigakan...! Kalau begitu... aughhh...!" Tiba-tiba komandan itu yang tadinya bangkit berdiri, menjatuhkan dirinya lagi ke atas kursi dan memegangi kepalanya dengan kedua tangan. Tiba-tiba saja dia merasa kepalanya seperti akan meledak dan pening sekali. Dia memejamkan mata dan menggerakkan tangan kepada para pembantu.
"Bawa dia pergi... tahan dia dalam sel... dia orang penting, besok kulanjutkan pemeriksaan, kepalaku pusing..."
Para perajurit pembantu lalu menyeret gadis yang menyamar sebagai pemuda jembel itu dan menjebloskannya ke dalam sel yang gelap. Pemuda jembel itu memang sebenarnya dara remaja yang pernah muncul naik kuda di pintu gerbang, juga ialah dara remaja yang semalam muncul di kuil Dewi Laut dan menandingi Hwa-hwa Kui-bo dan Kow-pian Hek-mo secara lihai itu. Kini dengan wataknya yang bengal dan ugal-ugalan, ia sengaja membiarkan dirinya ditawan dan diperiksa, walaupun kalau ia menghendaki, setiap waktu ia dapat saja meloloskan dirinya. Kini ia malah membiarkan dirinya dijebloskan ke dalam sel yang amat kuat, mendatangkan bahaya bagi dirinya sendiri. Semua ini sengaja dilakukan oleh dara yang bengal ini karena tadi ia melihat bayangan pemuda gagah yang bergantung di luar jendela, dan ia melihat pula ketika pemuda itu meniupkan sebutir benda kecil yang mengenai jalan darah di dekat pelipis kepala sang komandan, membuat komandan itu kontan terserang rasa pening yang hebat. Ia merasa amat tertarik melihat sepak terjang pemuda itu dan ia ingin sekali mengetahui, apa yang hendak dilakukan oleh pemuda itu selanjutnya, maka ia sengaja membiarkan dirinya dijebloskan ke dalam sel tahanan yang gelap! Iapun menduga-duga siapa gerangan adanya pemuda berpakaian putih bersih yang kelihatannya lihai itu dan apa maunya.
Para pembaca sendiri tentu sudah bertanya-tanya dan menduga-duga siapa gerangan dara remaja yang aneh ini, yang kadang-kadang berpakaian seperti seorang gadis ugal-ugalan atau memang ia ugal-ugalan, dan kadang-kadang menyamar sebagai seorang pemuda jembel. Siapakah ia dan betapa mengagumkan dan mengherankan bahwa seorang dara semuda ia, baru antara lima belas dan enam belas tahun usianya, sudah demikian lihainya sehingga mampu menandingi pengeroyokan dua orang tokoh iblis seperti Hwa-hwa Kui-bo dan Koai-pian Hek-mo, dua di antara Cap-sha-kui yang ditakuti dunia kang-ouw itu?
Sebetulnya, kelihaian dara remaja ini tidaklah mengherankan apabila kita ketahui siapa sebenarnya ia. Ia adalah puteri tunggal dari Pendekar Sadis! Bagi para pembaca yang belum pernah membaca kisah Pendekar Sadis sebaiknya mengenalnya sekarang juga. Pendekar Sadis bernama Ceng Thian Sin, masih berdarah kaisar karena mendiang ayahnya adalah seorang pangeran. Pendekar Sadis memiliki ilmu kepandaian yang amat luar biasa, amat banyak dan semua ilmunya adalah ilmu yang tinggi dan luar biasa. Dia bahkan telah mewarisi ilmu-ilmu dari Cin-ling-pai, ilmu yang paling tinggi seperti Thian-te Sin-ciang, Thai-kek Sin-kun, San-in Kun-hoat, bahkan Thi-khi-i-beng yang mujijat itu sudah dikuasainya. Dia mewarisi pula ilmu dari pendekar sakti Yap Kun Liong, yaitu Pat-hong Sin-kun dan Pek-in-ciang. Juga dari neneknya, pendekar wanita Cia Giok Keng, dia mewarisi pedang Gin-hwa-kiam dan ilmu memainkan sabuk sebagai senjata. Untuk memperlengkap ilmu-ilmunya, dia telah pula mewarisi ilmu-ilmu mujijat dari kitab tulisan Bu Beng Hud-couw, yaitu Ilmu Hek-liong Sin-ciang yang delapan jurus, Ilmu Hok-te Sin-kun dan siulian menghimpun tenaga sakti berjungkir balik.
Sebagai puteri tunggal dari Pendekar Sadis yang demikian lihainya, sudah barang tentu dara itu lihai bukan main, mewarisi sebagian besar ilmu dari ayahnya. Akan tetapi, dara remaja yang berbakat ini menjadi semakin lihai karena ibunyapun seorang yang amat lihai, bahkan memiliki ilmu kepandaian yang setingkat dan hanya berselisih sedikit dibandingkan ayahnya. Ibunya bernama Toan Kim Hong, juga berdarah bangsawan karena ayahnya adalah seorang pangeran pula. Toan Kim Hong ini pernah menyamar sebagai nenek dan bahkan telah berhasil menjadi datuk kaum sesat di dunia selatan dengan julukan Lam-sin (Malaikat Selatan). Ilmu-ilmunya juga hebat dan terutama sepasang Hok-mo Siang-kiam yang hitam itu amatlah ampuhnya. Gin-kangnya amat tinggi bahkan dalam hal kecepatan gerak, ia masih mengalahkan suaminya. Ilmu silatnya Hok-mo Sin-kun juga amat hebat dan sukar dicari tandingannya. Selain ilmu silat tinggi ini, juga dengan sin-kangnya yang kuat, ia pandai bermain silat Bian-kun dan tangannya dapat berobah seperti kapas lunaknya, namun mengandung tenaga mujijat yang akan mengalahkan tenaga-tenaga yang kelihatan kuat. Senjata rahasianya jarum merah juga berbahaya, dan lebih berbahaya lagi adalah rambutnya. Ia dapat mempergunakan rambutnya sebagai senjata ampuh yang dapat merampas senjata lawan!
Demikianlah sedikit perkenalon dengan Ceng Thian Sin atau Pendekar Sadis dan isterinya, Toan Kim Hong atau dahulu dikenal sebagai nenek Lam-sin. Mereka berdua hanya mempunyai seorang anak, yaitu dara remaja yang kini berusia lima belas tahun dan bernama Ceng Sui Cin itu. Kini Pendekat Sadis sudah berusia empat puluh lima tahun dan isterinya yang lebih tua dua tahun itu masih kelihatan amat cantik seperti wanita berusia tiga puluhan saja.
Sebagai puteri suami isteri pendekar yang demikian tinggi ilmunya, tidaklah mengherankan kalau dalam usia semuda itu, Sui Cin sudah amat pandai. Ayah bundanya adalah manusia-manusia bebas, maka iapun menjadi manusia bebas dan wajar. Bahkan ia diperbolehkan merantau sesuka hatinya karena ayah bundanya merasa yakin bahwa kesadaran akan hidup yang sudah ditanamkan sejak kecil kepada puterinya itu, dapat membuka mata puteri mereka dan dapat membuat Sui Cin selalu waspada akan segala hal yang terjadi, baik di dalam maupun di luar dirinya.
Akan tetapi, karena di waktu muda mereka, Ceng Thian Sin maupun Toan Kim Hong adalah petualang-petualang besar, maka agaknya darah petualang mengalir dalam tubuh Sui Cin. Ia suka bertualang dan menempuh bahaya-bahaya, bersikap ugal-ugalan dan tidak perduli akan tanggapan orang lain. Namun di balik semua ini, ia tetap seorang yang berwatak pendekar, yang selalu menentang kejahatan, menentang penindasan dan selalu siap untuk membela kaum yang lemah tertindas.
Di dalam perantuannya yang sudah memakan waktu tiga bulan itu, ia tiba di Ceng-tao dan ia sengaja menuju ke sini karena ia mendengar kabar angin di dunia kang-ouw bahwa di Bukit Perahu akan diadakan pertemuan antara para tokoh pendekar yang suka menyebut dirinya golongan putih atau golongan bersih. Ayah bundanya sendiri tidak pernah mengaku bahwa mereka adalah orang-orang golongan bersih. Akan tetapi ia sudah banyak mendengar tentang tokoh-tokoh sakti dunia kang-ouw yang belum pernah dijumpainya. Bahkan para tokoh sakti yang masih dekat hubungannya dengan ayah bundanya, tak pernah ia jumpai. Hal ini adalah karena nama ayahnya sebagai Pendekar Sadis agaknya membuat para tokoh "bersih" itu segan mendekatinya. Sui Cin sudah cukup dewasa untuk dapat menduga bahwa ayah bundanya dapat digolongkan sebagai tokoh putih, akan tetapi juga dapat dinamakan tokoh hitam karena ayah bundanya tidak pernah menentang golongan hitam secara berterang. Dan diam-diam iapun merasa sebal terhadap para pendekar yang suka menyebut diri mereka golongan bersih, golongan putih, atau kaum pembela keadilan dan kebenaran! Ia menganggap mereka itu terlalu congkak dan tinggi hati, merasa benar sendiri, baik sendiri dan mau menang sendiri.
Pendekar Sadis dan isterinya tinggal di sebuah pulau kosong yang kini berobah menjadi pulau yang indah, hidup sebagai orang yang berkecukupan. Di pulau itu mereka bangun sebuah gedung yang mungil, dikelilingi rumah-rumah tempat tinggal mereka yang menjadi pelayan atau anak buah. Sejak kecil, Sui Cin hidup sebagai anak kaya, akan tetapi sungguh aneh, anak ini merasa jemu dan di dalam perantauannya, ia selalu menyamar sebagai seorang miskin. Ia merasa lebih bebas dalam pakaian butut, lebih dapat menikmati kehidupan sebagai orang miskin daripada kalau ia menjadi puteri kaya yang melakukan perjalanan dalam kereta indah diiringi pasukan pengawal. Kesukaan dara itu melihat tempat-tempat lain tidaklah mengherankan. Setiap orang selalu ingin menyaksikan tempat-tempat lain dan tempat sendiri, betapapun indahnya, selalu menimbulkan kebosanan kalau tidak sekali-kali ditinggalkan untuk menyaksikan tempat lain. Pulau kosong yang ditinggali keluarga Pendekar Sadis itu sebenarnya amat indah, bernama Pulau Teratai Merah. Suami isteri itu telah memperkembang biak bunda-bunga teratai merah di situ sehingga kini pulau itu penuh dengan bunga-bunga teratai merah yang tumbuh subur di empang-empang air yang mereka buat di seluruh permukaan pulau.
Ceng Sui Cin yang berusia lima belas tahun lebih itu seperti setangkai teratai merah yang baru mekar. Wajahnya cantik jelita dan manis sekali seperti wajah ibunya, sepasang matanya bersinar tajam seperti mata ayahnya. Sepak terjangnya di pintu gerbang Ceng-tao dan di kuil Dewi Laut membuktikan bahwa ia seorang dara yang gagah, ringan tangan tapi adil dan hatinya tidak kejam, tidak mudah membunuh orang. Hal ini, yaitu jangan mudah membunuh, ditanamkan o-leh ayah bundanya sejak ia kecil. Ayah bundanya di waktu muda amat bengis, bahkan ayahnya dijuluki Pendekar Sadis karena terlalu suka membunuh. Agaknya mereka menyesali perbuatan itu dan menanamkan ke dalam batin anak tunggal mereka agar jangan terlalu mudah membunuh orang.
Demikianlah sekelumit keterangan tentang siapa adanya gadis yang bernama Ceng Sui Cin itu. Kini ia, sebagai akibat dari kebengalan dan keinginan tahunya, telah dijebloskan ke dalam sel besi yang sempit dan gelap, tak tahu apa yang akan terjadi pada dirinya. Setelah para petugas itu pergi, diam-diam Sui Cin lalu mencoba kekuatan pintu sel itu. Ternyata pintu baja itu amat kuat dan tidak mungkin dengan tenaga kasar saja membongkarnya. Akan tetapi, karena ia tidak dibelenggu, iapun merasa tenang dan leluasa. Dicobanya pula kekuatan jeruji besi sebesar-besar lengannya itu. Tergetar sedikit, akan tetapi tidak melengkung. Ia menghentikan percobaannya dan menghimpun udara untuk memulihkan pernapasannya yang agak memburu. Sementara itu, di luar mulai gelap dan di dalam sel yang tidak diberi penerangan itupun menjadi semakin gelap.
"Sialan, lilinpun tidak diberi!" Sui Cin mengomel akan tetapi ia diam saja, bahkan lalu duduk bersila di tengah sesempit itu untuk menghimpun tenaga. Ia menanti karena merasa yakin bahwa tentu pemuda yang nampak bergantung di luar jendela sore tadi tidak akan berhenti sampai di situ saja, dan ia ingin melihat apa yang akan dilakukan olehnya. Kalau sampai semalam ini dia tidak muncul, terpaksa ia besok pagi akan mencari daya upaya untuk dapat meloloskan diri.
Akan tetapi ternyata ia tidak perlu menanti terlalu lama. Menjelang tengah malam, tiba-tiba pendengarannya yang amat tajam dapat menangkap suara angin dari tubuh orang yang berkelebat dan tak lama kemudian wajah pemuda sore tadi muncul di depan jeruji pintu sel. Penerangan yang berada di luarpun hanya remang-remang sehingga wajah pemuda itu tidak nampak jelas. Akan tetapi Sui Cin yakin bahwa tentu inilah pemuda yang sore tadi bergantung di luar jendela dan telah menyemburkan benda kecil yang mengenai pelipis komandan yang memeriksanya.
"Sssttt...!" Pemuda itu memberi isyarat dengan telunjuk ke depan mulut ketika Sui Cin bangkit menghampiri daun pintu. "Aku datang untuk membebaskanmu dari tempat ini..."
Melihat sikap pemuda itu dan mendengarnya berbisik-bisik serius, Sui Cin yang biasanya menghadapi segala sesuatu dengan gembira dan lincah, diam-diam tersenyum dan merasa geli.
"Bagaimana aku dapat keluar dari sini?" bisiknya juga, ingin tahu bagaimana akal pemuda itu untuk membebaskannya. Kalau ia menjadi pemuda itu, untuk membebaskan tawanan ia akan merobohkan penjaga, merampas kuncinya dan membuka pintu tahanan itu dengan kunci.
"Begini..." kata pemuda itu sambil memegang dua buah jeruji baja dengan kedua tangannya, lalu dia mengerahkan tenaga menariknya ke kanan kiri. Melihat ini, Sui Cin memandang penuh perhatian dan kagumlah dara remaja ini melihat betapa jeruji besi sebesar lengannya itu kini melengkung ke kanan kiri! Ia sendiri tadi sudah mencobanya dan mendapat kenyataan betapa kuatnya baja itu. Akan tetapi pemuda ini dapat menariknya sampai melengkung. Hal ini membuktikan bahwa pemuda ini memiliki tenaga yang amat kuat.
"Cepat, keluarlah, kita pergi dari sini," kata pemuda itu setelah dua batang jeruji ditariknya bengkok dan membuat lubang yang cukup besar untuk dapat dilalui Sui Cin.
Dara itu merangkak melalui lubang itu dan berhasil keluar dari kamar tahanan sempit. Ia ingin sekali melihat sampai di mana kelihaian pemuda yang menolongnya ini, maka iapun lalu berkata dengan suara lantang sekali, "Anjing-anjing di sini sungguh menjemukan sekali! Orang-orang tak bersalah ditangkapi dan disiksa..."
"Ssttt...! Harap jangan keras-keras kau bicara!" Pemuda itu berkata lirih.
"Kenapa tidak boleh keras-keras? Biar mereka semua mendengarnya. Memang anjing-anjing itu kurang ajar sekali, terutama srigala gendut yang melakukan pemeriksaan!"
"Hushhhh...!" Pemuda itu mencegah dan memegang lengan Sui Cin, namun terlambat. Teriakan-teriakan gadis itu terdengar sudah oleh para penjaga dan dari segala penjuru berdatangan mengepung tempat itu.
"Tawanan lolos...!"
"Kepung! Tangkap...!"
Para penjaga berteriak-teriak dan mengepung pemuda itu bersama Sui Cin yang diam-diam tersenyum gembira. Sekali ini ia akan dapat menyaksikan kelihaian pemuda itu menghadapi pengeroyokan para penjaga yang telah mengepung ketat.
Pemuda itu mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala dengan gemas. Kini para penjaga menyalakan obor yang menerangi tempat itu dan Sui Cin dapat melihat wajah pemuda itu dengan jelas. Wajah yang sederhana saja, seperti wajah pemuda-pemuda biasa, akan tetapi sepasang mata itu bersinar tajam dan sikapnya penuh kegagahan.
"Mari kita pergi...!" kata pemuda itu tiba-tiba sambil menarik lengan Sui Cin.
"Ke mana harus pergi?" Sui Cin pura-pura bertanya, karena sesungguhnya ia belum ingin pergi sebelum menyaksikan bagaimana pemuda itu akan menghadapi para pengeroyok.
Pemuda itu nampak semakin tidak sabar. "Kau ikut saja denganku!" Dan pada saat itu, empat orang petugas sudah menubruk maju dengan senjata pedang mereka. Pemuda itu mengayun kakinya dan empat orang itu terpental dan roboh! Diam-diam Sui Cin terkejut. Hebat juga pemuda ini, pikirnya. Tenaga kakinya amat hebat dan cara melakukan tendangan yang membabat dari samping itu benar-benar gerakan kaki seorang ahli. Akan tetapi pada saat itu, si pemuda sudah merangkul pinggangnya dan mengempitnya lalu meloncat ke atas genteng! Beberapa batang anak panah melayang ke arahnya, akan tetapi dengan gerakan kaki, pemuda itu dapat meruntuhkan semua anak panah dan tak lama kemudian, dia sudah membawa Sui Cin berloncatan dari atas wuwungan rumah ke wuwungan yang lain.
"Haiii...! Lepaskan aku...! Lepaskan...!" Sui Cin berteriak-teriak, sengaja meninggikan suaranya agar para pengejar tahu ke mana pemuda itu pergi. Ia masih belum merasa puas dan ingin melihat pemuda itu dalam suatu perkelahian yang seru melawan pengeroyokan para penjaga keamanan. Akan tetapi, iapun dapat merasa betapa cepatnya pemuda itu berlari dan berloncatan di atas genteng dan bahwa takkan mungkin para petugas itu dapat menyusulnya. Maka Sui Cin lalu meronta-ronta dan berteriak-teriak.
"Lepaskan aku...! Lepaskan aku...!"
Pemuda itu mengomel, "Aku ingin menolongmu, mengapa engkau bertingkah begini? Kalau aku melepaskanmu, bukankah engkau akan terjatuh dari atas wuwungan ini?"
Akhirnya, setelah bebas dari pengejaran dan membawa gadis itu keluar kota, pemuda itu melepaskan kempitannya. Sui Cin membanting-banting kaki kirinya dengan penasaran, akan tetapi pemuda itu hanya berdiri memandang kepadanya dengan tenang saja.
"Nona, aku tahu bahwa engkau adalah seorang gadis yang menyamar pria. Aku tahu bahwa engkau seorang yang baik hati dan pemberani, akan tetapi sunggguh aku tidak pernah menyangka bahwa engkau juga seorang yang tak mengenal budi."
"Tidak mengenal budi? Apa maksudmu berkata demikian?" Sui Cin bertanya galak.
"Engkau tahu bahwa aku hanya ingin menyelamatkanmu dari tangan mereka yang ganas dan kejam, ingin membebaskanmu dari tahanan. Aku tidak minta dibalas, tidak minta terima kasih, akan tetapi setidaknya engkau dapat bersikap baik, tidak meronta-ronta dan berteriak-teriak seolah-olah aku sedang menculikmu, bukan sedang menolongmu." Biarpun pemuda itu nampak marah, namun kata-katanya tetap halus dan sopan, tidak kasar.
Akan tetapi Sui Cin adalah seorang anak yang manja dan bengal. Ia bertolak pinggang dan memandang dengan mata terbelalak melotot. "Siapa yang minta kautolong? Apakah aku pernah minta engkau datang menolongku? Dan mengapa pula yang kautolong hanya aku seorang? Kenapa yang lain-lain kaudiamkan saja?" Pertanyaan-pertanyaannya itu diajukan seperti berondongan senapan menyerang si pemuda.
Pemuda itu kelihatan kewalahan, akan tetapi dia menjawab juga, "Karena aku melihat bahwa engkau seorang wanita yang menyamar, aku khawatir kalau-kalau engkau akan celaka di tangan mereka."
"Huh, begitu melihat aku perempuan, engkau lalu menolongku. Kalau aku laki-laki biasa, tentu engkau tidak akan perduli. Engkau hanya menjadi penolong perempuan saja? Hemm, di situ sudah terdapat pamrih yang kotor!"
Pemuda itu menjadi marah, mengepal tinju akan tetapi dia tetap dapat menguasai dirinya dan diapun membalikkan tubuhnya dan berkata, "Sesukamulah. Aku sudah menyelamatkanmu dan aku tidak membutuhkan terima kasihmu. Selamat tinggal!" Pemuda itu meloncat dan lenyap di dalam kegelapan malam. Gadis itupun tertawa, dengan suara ketawa tinggi yang terus membayangi telinga pemuda itu. Muka pemuda itu menjadl merah dan di dalam hatinya dia merasa penasaran dan marah sekali, akan tetapi dia tidak mungkin dapat memperlihatkan kemarahannya dengan bersikap kasar terhadap seorang wanita, apalagi seorang gadis muda yang hidupnya demikian sengsara, sampai-sampai menyamar sebagai seorang pemuda untuk menghindarkan kesulitan-kesulitan. Seorang gadis yang tidak mempunyai tempat tinggal, yatim piatu dan miskin. Dia percaya akan semua keterangan gadis itu ketika diperiksa oleh komandan gendut. Akan tetapi ada sesuatu yang membuat dia merasa tertarik dan kagum. Biarpun hanya seorang dara remaja yang miskin dan tidak berdaya, namun ada sesuatu pada diri dara remaja itu yang mengagumkan hatinya. Dara itu sedemikian beraninya! Sifat yang biasanya hanya dapat ditemukan pada diri seorang pendekar. Wanita muda itu sama sekali tidak cengeng, dan sama sekali tidak kelihatan ketakutan walaupun terancam malapetaka hebat, walaupun bahkan sudah dijebloskan ke dalam sel tahanan! Bukan main!
Pemuda itu lalu kembali ke kota Ceng-tao, kembali ke kamar rumah penginapan di mana dia tinggal. Sudah tiga hari dia tinggal di situ karena dia sedang menanti datangnya saat pertemuan antara para tokoh kang-ouw yang akan diadakan tiga hari lagi di Puncak Bukit Perahu. Dia datang sebagai wakil ayahnya, juga mewakili partai ayahnya yang berada jauh di utara, di luar Tembok Besar. Akan tetapi, biarpun dia mewakili ayahnya, dia hanya datang sebagai peninjau saja. Ayahnya melarangnya untuk melibatkan diri atau melibatkan nama ayahnya atau perkumpulan mereka ke dalam urusan pertikaian dan permusuhan.
Pemuda ini bernama Cia Sun, putera tunggal dari pendekar sakti Cia Han Tiong dan isterinya, Ciu Lian Hong. Di dalam kisah Pendekar Sadis, telah diceritakan bahwa Cia Han Tiong putera dari Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong telah menikah dengan Ciu Lian Hong dan tinggal di Lembah Naga yang berada di utara, di luar Tembok Besar. Mereka hidup rukun dan saling mencinta, dan dikaruniai seorang putera yang mereka beri nama Cia Sun. Tentu saja, sebagai seorang pendekar sakti, Cia Han Tiong mewariskan ilmu-ilmunya kepada puteranya itu sehingga setelah dia berusia dua puluh dua tahun sekarang ini, Cia Sun telah menguasai semua ilmu silat ayahnya seperti Thian-te Sin-ciang, Thai-kek Sin-kun, San-in Kun-hoat, ketiganya dari Cin-ling-pai, kemudian mahir pula ilmu Hok-mo Cap-sha-ciang. Cia Sun berwatak pendiam dan serius, seperti ayahnya. Namun perasaannya halus seperti ibunya dan biarpun dia tidak dapat disebut tampan, namun harus diakui bahwa pemuda ini gagah dan mempunyai wibawa yang besar karena pendiam dan seriusnya.
Seperti diketahui dalam kisah Pendekar Sadis, antara Cia Han Tiong dan Ceng Thian Sin Si Pendekar Sadis terdapat hubungan yang amat erat. Mereka adalah saudara angkat, namun mereka mempunyai pertalian batin yang melebihi saudara kandung saja. Biarpun kini, karena terpisah jauh, yang seorang di Lembah Naga dan yang seorang lagi di Pulau Teratai Merah di selatan, di antara keduanya tidak pernah sempat bertemu lagi, namun di dalam hati masing-masing masih ada perasaan kasih sayang antara saudara itu.
Tentu saja Cia Sun sama sekali tidak pernah menyangka bahwa dara remaja yang dianggapnya yatim piatu dan miskin, yang menyamar sebagai pemuda pengemis itu, adalah puteri tunggal dari pamannya, Ceng Thian Sin. Dia belum pernah bertemu dengan pamannya itu dan keluarganya, akan tetapi dia sudah banyak mendengar tentang pamannya dari ayahnya. Menurut keterangan ayahnya, pamannya itu yang berjuluk Pendekar Sadis sesungguhnya adalah seorang pendekar sakti yang gagah perkasa dan budiman, dan memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat, bahkan melebihi ayahnya! Maka, biarpun belum pernah jumpa, di dalam hatinya, Cia Sun sudah merasa kagum dan hormat kepada pamannya itu.
Ketika isterinya melahirkan seorang anak laki-laki, Cia Han Tiong berunding dengan isterinya. Mereka hidup di tempat yang amat sepi, jauh di utara dan tetangga mereka hanyalah penduduk liar di dusun-dusun yang amat jauh. Ketika mere-ka hidup berdua, hal ini sama sekali tidak dianggap sebagai suatu kekurangan. Akan tetapi setelah Cia Sun terlahir, mereka membayangkan betapa akan sepinya kehidupan putera mereka kalau di tempat itu tidak ada manusia lain kecuali mereka bertiga saja. Maka Cia Han Tiong lalu mengumpulkan murid atau anak buah, dan membentuk sebuah partai persilatan yang diberi nama Pek-liong-pang (Partai Naga Putih). Dia mengumpulkan pemuda-pemuda dari berbagai tempat, dipilihnya pemuda-pemuda yang memiliki tulang yang baik dan berbakat, dan mereka itu diambilnya sebagai murid. Kini, setelah Cia Sun berusia dua puluh dua tahun, Pek-liong-pang juga sudah tumbuh menjadi sebuah perkumpulan dewasa yang memiliki murid-murid atau anggauta sebanyak lima puluh orang lebih. Belasan orang murid yang sudah dianggap lulus oleh ketuanya kini telah meninggalkan Lembah Naga dan hidup di selatan sebagai pendekar-pendekar budiman yang ikut menyemarakkan nama Pek-liong-pang sehingga nama perkumpulan ini mulai dikenal sebagai perkumpulan silat yang besar dan menjadi tempat penggemblengan ca-lon-calon pendekar di utara.
Demikianlah keadaan pemuda itu dan riwayat singkat orang tuanya. Biasanya, Cia Sun yang mentaati pesan ayahnya, tidak mudah melibatkan diri dengan urusan orang lain. Akan tetapi, melihat para pengemis di pasar ditangkapi pasukan dan dibawa ke markas, dia merasa penesaran dan tertarik sekali. Diam-diam dia membayangi mereka dan dengan mempergunakan ilmu kepandaiannya yang tinggi, tidak sukar baginya untuk meloncati pagar tembok tinggi itu dan menyelinap ke dalam benteng lalu mengintai ke ruangan pemeriksaan. Ketika dia melihat Sui Cin diperiksa, mendapat kenyataan bahwa pengemis muda itu adalah seorang dara remaja yang bersikap demikian tabahnya, dia merasa tidak tega. Tadinya dia memang mendiamkan saja pemeriksaan itu karena dianggapnya sudah selayaknya kalau komandan itu melakukan penyelidikan karena diapun sudah mendengar betapa banyak perajurit keamanan tewas dalam keributan yang terjadi di kuil Dewi Laut. Akan tetapi, ketika melihat bahwa jembel muda itu adalah seorang dara, hatinya merasa tidak tega. Dia lalu turun tangan, meniupkan cuwilan genteng dari mulutnya yang tepat mengenai jalan darah di dekat pelipis komandan gendut itu sehingga mendatangkan rasa pening yang cukup hebat dan gadis itu lalu disuruh tahan dalam sel. Malamnya, dia mencari kesempatan untuk membebaskan Sui Cin. Sungguh di luar dugaannya bahwa selain tabah, gadis itu memang amat aneh. Ditolong tidak bersyukur, eh, malah marah-marah!
Akan tetapi, sikap yang aneh ini bahkan semakin menarik hatinya, membuat malam itu Cia Sun merebahkan diri dengan gelisah. Ada sesuatu yang aneh dan amat menarik hatinya pada diri dara miskin itu. Sesuatu yang tidak pernah dilihatnya pada diri orang lain, apalagi pada seorang wanita muda. Sesuatu yang membuatnya tertarik dan kagum. Wajah itu, wajah yang kelihatan marah dan mencemoohkannya, terbayang saja di depan matanya.
"Ihh, mengapa aku ini?" pikirnya dan teringatlah dia akan bujukan-bujukan ibunya bahwa dia sudah cukup dewasa untuk menikah. Dia selalu menolak karena memang hatinya belum ingin mengikatkan diri dengan sebuah pernikahan. Dia dapat memaklumi perasaan ibunya yang hanya berputera seorang dan ingin segera mempunyai cucu! Teringat akan hal itu, wajahnya menjadi merah. Mengapa tiba-tiba dia teringat akan urusan pernikahan yang selama ini tidak pernah memasuki otaknya, dan apa hubungannya gadis jembel itu dengan pernikahan? Wajahnya makin terasa panas dan jantungnya berdebar. Apa artinya ini? Inikah yang dinamakan jatuh cinta seperti yang seringkali dibacanya dari buku-buku akan tetapi yang belum pernah dirasakannya itu? Ketika dia termenung sampai sekian jauhnya, Cia Sun tersenyum seorang diri. Betapa akan janggal dan lucunya! Dia, putera ketua Pek-liong-pang, jatuh cinta kepada seorang gadis jembel! Baginya sendiri seorang pendekar muda yang sejak kecil digembleng dan dijejali rasa keadilan dan kegagahan tidak membeda-bedakan antara kaya miskin. Akan tetapi dia dapat melihat betapa nama besar Pek-liong-pang yang dijunjung tinggi oleh para pendekar murid Pek-liong-pang dan juga oleh orang-orang kang-ouw, dengan sendirinya telah mengangkat martabat mereka tinggi-tinggi membuat keluarga Cia terikat oleh belenggu "kehormatan" dan kemuliaan sehingga mereka tidak bebas lagi, tidak leluasa karena selalu ada bayangan rasa khawatir kalau-kalau perbuatan atau gerak-gerik mereka akan menurunkan martabat atau mencemarkan keharuman nama Pek-liong-pang itu!
Satu di antara kelemahan kita adalah pengejaran terhadap apa yang kita namakan kehormatan. Di dalamnya terkandung bangga diri dan bangga diri adalah sesuatu yang menyenangkan. Karena itu, pengejaran terhadap kehormatan bukan lain hanyalah pengejaran terhadap kesenangan walaupun sifatnya lebih dalam daripada kesenangan badan. Pengejaran terhadap kesenangan sama saja, baik pengejaran terhadap kesenangan badan maupun batin. Kita mengejarnya, kalau sudah dapat kita hendak mempertahankannya. Di dalam gerak pengejaran dan penguasaan atau ingin mempertahankan ini jelas terdapat kekerasan. Di waktu mengejar dan ingin memperoleh, kita siap untuk mengenyahkan segala perintang dan saingan. Di waktu mempertahankan, kita menentang segala pihak yang ingin menghilangkannya dari tangan kita. Betapapun menyenangkan adanya sesuatu itu, baik bagi badan maupun batin, selalu berakhir dengan kebosanan dan kekecewaan. Bukan barang mustahil bahwa apa yang hari ini menyenangkan, hari esok malah menyusahkan! Dan kita membiarkan diri terombang-ambing di antara senang dan susah, seperti sebuah biduk yang dihempaskan oleh badai, dipermainkan gulungan ombak ke kanan kiri dan selalu terancam kehancuran setiap detik. Alangkah bahagianya batin yang tidak lagi dapat diombang-ambingkan senang dan sudah, seperti sebongkah batu karang yang kokoh kuat tidak pernah berobah walaupun ada badai dan ombak menggunung. Atau lebih elok lagi, seperti ikan yang berenang dan meluncur di antara ombak-ombak itu tanpa terancam kehancuran, bahkan dapat menikmati hempasan gelombang yang bagaimanapun juga.
Pada waktu itu, yang menjadi kaisar dari Kerajaan Beng-tiauw adalah Kaisar Ceng Tek (tahun 1505-1520). Ketika menggantikan kedudukan sebagai kaisar, Kaisar Ceng Tek ini baru berusia lima belas tahun. Maka berulanglah sejarah para kaisar lama di Tiongkok, yaitu bahwa tidak lama kemudian setelah dia menduduki singgasana sebagai kaisar, istana jatuh ke dalam cengkeraman kekuasaan para thaikam (pembeser kebiri). Kaisar Ceng Tek bukan hanya masih terlalu muda untuk dapat melihat kepalsuan-kepalsuan para thaikam ini, akan tetapi juga kaisar ini mempunyai jiwa petualang. Dia suka meninggalkan istana secara diam-diam dan melakukan perjalanan seorang diri, menyamar sebagai rakyat biasa dan barsenang-senang. Dia mengabaikan urusan kerajaan sehingga tentu saja kesempatan ini dipergunakan sebaik-baiknya oleh para thaikam yang pada waktu itu dikepalai oleh Liu Kim. Liu-thaikam ini berasal dari utara, dari keluarga petani miskin. Akan tetapi karena dia memiliki wajah tampan dan sikap yang halus, dia berhasil bekerja di istana semenjak remaja. Liu Kim pandai membawa diri sehingga disuka oleh dua kaisar terdahulu, yaitu Kaisar Ceng Hwa dan Kaisar Hung Chih. Bahkan dia memperlihatkan bakti dan kesetiaannya dengan rela menjadi thaikam, rela dikebiri untuk mempertahankan kedudukannya. Dia memperoleh kepercayaan para kaisar itu sehingga ketika Kaisar Ceng Tek diangkat menjadi kaisar, Liu-thaikam yang sudah berhasil menduduki jabatan pembesar istana bagian dalam, lalu diangkat menjadi kepala thaikam. Jabatan ini tentu saja tinggi sekali karena para thaikam merupakan orang-orang kepercayaan kaisar.
Pria yang dikebiri itu tidak lagi dapat berhubungan dengan wanita, akan tetapi karena nafsunya masih ada, make sebagian besar lalu mengalihkan nafsu-nafsu yang tak dapat tersalurkan itu kepada kepuasan-kepuasan lain, terutama sekali kepuasan karena kedudukan tinggi sehingga memiliki kekuasaan, dan kepuasan karena memiliki banyak harta benda. Inilah rupanya yang menjadi pendorong utama mengapa kaum thaikam di istana ini sejak dahulu selalu amat licin dan pandai menguasai kaisar sehingga mereka memperoleh kedudukan tinggi, berkuasa dan mempunyai banyak sekali kesempatan untuk berkorupsi dan memperkaya diri sendiri.
Pada waktu itu, Kaisar Ceng Tek telah empat tahun menjadi kaisar dan sungguh luar biasa sekali hasil yang diperoleh Liu-thaikam selama empat tahun menjadi kepala thaikam. Kekuasaan mutlak mengenai urusan dalam istana berada di tangannya. Kaisar muda usia yang lebih suka berkelana dan bersenang-senang itu percaya penuh kepada Liu-thaikam yang biarpun sudah tua masih nampak tampan, halus dan pandai mengambil hati. Kalau ada para pembesar yang memperingatkannya tentang kecurangan Liu Kim, sang kaisar yang muda malah berbalik mendampratnya dan mengatakannya iri tanpa mau melakukan penyelidikan terhadap diri pejabat yang dilaporkan itu.
Pemerintahan kaisar muda ini memang bukan merupakan pemerintahan yang baik dalam sejarah Kerajaan Beng. Kaisar muda amat lemah dan kurang memperhatikan kepentingan negara, walaupun dia bukanlah seorang kaisar lalim. Karena sikapnya yang kurang semangat, maka hal ini menular kepada para pejabat sehingga pada keseluruhannya, pemerintah kelihatan kurang perduli dan lemah. Hal ini tentu saja dimanfaatkan oleh golongan hitam yang bangkit dan keluar dari tempat sembunyi mereka dan merajalela karena alat-alat negara tidak bersungguh-sungguh dalam menghadapi atau menentang mereka. Mulailah berjangkit gangguan-gangguan keamanan di mana-mana. Yang amat menggegerkan dunia kang-ouw adalah berita tentang bangkitnya Cap-sha-kui (Tiga Belas Iblis)! Cap-sha-kui merupakan kesatuan baru dari para tokoh hitam yang bergabung untuk memperkuat diri. Dengan bergabungnya mereka, maka mereka merasa kuat untuk menghadapi musuh besar mereka, yaitu para pendekar. Terhadap pemerintah yang lemah, wereka tidak takut sama sekali. Dan Cap-sha-kui ini bukan hanya merupakan tiga belas orang tokoh jahat, melainkan berikut anak buah mereka yang hampir meliputi seluruh dunia kejahatan di timur dan utara, sampai wilayah kota raja.
Keadaan inilah yang mendorong para pendekar untuk mengadakan pertemuan di Puncak Bukit Perahu yang terletak di lembah Sungai Huang-ho. Dan Cia Sun datang ke Ceng-tao juga untuk menghadiri pertemuan itu, sebagai wakil ayahnya yang menjadi ketua Pek-liong-pang. Memang sudah lama ayahnya, yaitu Cia Han Tiong atau Cia-pangcu (ketua Cia) tidak mencampuri urusan dunia kang-ouw. Akan tetapi setelah mendengar akan adanya pertemuan penting itu dan mengingat bahwa anak murid Pek-liong-pang tersebar sebagai pendekar-pendekar di sekitar kota raja, maka Cia-pangcu lalu mengutus puteranya sebagai wakil Pek-liong-pang, untuk melihat suasana dan mendengarkan hasil keputusan pertemuan para pendekar itu.
"Kita tidak mengerti persoalannya secara mendalam," demikian Cia-pangcu memesan kepada puteranya. "Yang kita dengar hanya bahwa golongan hitam bangkit dan membuat kekacauan-kekacauan dan para pendekar berkumpul untuk merundingkan suasana keruh itu. Ada pula berita bahwa semua itu ada hubungannya dengan Pemerintahan Kaisar Ceng Tek. Oleh karena itu, Sun-ji (anak Sun), engkau jangan sembrono bertindak mencampuri. Dengarkan dan lihat saja bagaimana keadaan dan suasananya sebelum melibatkan diri."
Demikianlah, ketika singgah di Ceng-tao, tanpa disengaja Cia Sun bertemu dengan Ceng Sui Cin tanpa dia mengetahui bahwa gadis jembel itu adalah puteri tunggal pamannya yang sudah lama dikaguminya, yaitu Pendekar Sadis. Setelah melewatkan malam di rumah penginapan dengan agak gelisah, tak dapat tidur nyenyak karena selalu membayangkan waiah si gadis jembel, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Cia Sun sudah berangkat menuju ke Puncak Bukit Perahu yang berada jauh di sebelah barat. Setelah keluar dari kota Ceng-tao dan berada di tempat sunyi, Cia Sun lalu mempergunakan ilmu berlari cepat sehingga tubuhnya meluncur ke depan seperti terbang saja.
Pemuda ini memang hebat. Bentuk tubuhnya biasa saja, sedang dan tegap seperti tubuh pemuda yang sejak kecil berolah raga, wajahnya juga sederhana seperti pakaiannya. Rambutnya digelung ke atas dan diikat sutera kuning. Pakaiannya yang sederhana itu terbuat dari kain putih dengan jubah kuning. Sepatunya hitam, demikian pula sabuknya yang terbuat dari sutera. Ketika wajahnya ditimpa sinar matahari pagi, kulit mukanya berkilat dan biarpun dia tidak memiliki wajah yang tampan, namun penuh kejantanan. Larinya cepat bukan main. Dia sama sekali tidak menyangka bahwa gadis jembel yang semalam membuatnya tak dapat tidur nyenyak, kini menunggang seekor kuda kecil cebol dan melarikan kudanya itu tak lama setelah dia, dengan jurusan yang sama pula. Gadis itu adalah Cui Sin dan iapun tidak tahu bahwa baru saja pemuda yang semalam menolongnya itu juga melalui jalan ini dengan berlari cepat menuju ke barat.
Karena hari yang ditentukan untuk pertemuan para pendekar itu masih kurang dua hari lagi, maka jalan masih sunyi dan selama itu Cia Sun belum berjumpa dengan pendekar lain yang dikenalnya atau orang-orang yang patut diduga pendekar. Orang-orang yang ditemuinya di jalan sehari itu hanyalah orang-orang yang berlalu-lalang dari dan ke Ceng-tao.
Ketika dia melihat sebuah hutan di depan, Cia Sun mempercepat langkahnya. Dia harus dapat menembus hutan itu sebelum gelap dan kini matahari telah condong ke barat. Dari jauh tadi, hutan yang berada di kaki bukit ini tidak begitu besar, akan tetapi setelah dimasukinya ternyata hutan itu penuh dengan pohon-pohon tua yang besar sehingga nampak menyeramkan dan liar. Bahkan jalan raya yang biasa dilalui orang mengambil jalan memutari hutan itu. Agaknya para pejalan itu lebih suka mengambil jalan memutar daripada harus memasuki hutan yang nampak liar itu. Akan tetapi, Cia Sun tentu saja memilih lorong kecil yang menerobos hutan karena dia tidak takut memasuki hutan yang baginya kecil saja itu. Di tempat tinggalnya, di Lembah Naga, terdapat hutan-hutan yang lebih luas dan lebih liar lagi. Karena dia tahu bahwa jalan lorong yang melalui hutan ini lebih dekat, maka tanpa ragu-ragu lagi dia memasuki hutan dan melakukan perjalanan cepat.
Akan tetapi, ketika dia tiba di tengah hutan di mana terdapat pohon-pohon raksasa, tiba-tiba dia mendengar gerakan dari atas pohon dan ada angin menyambar ke bawah. Sebagai seorang pendekar yang lihai, dengan kewaspadaan yang selalu membuat tubuhnya berada dalam keadaan siap siaga, Cia Cun melempar tubuhnya ke belakang dan berjungkir balik. Betapa kagetnya melihat bahwa yang menyambar dari atas tadi adalah kepala seekor ular besar. Badan ular itu melilit cabang pohon dan kepalanya terayun ke bawah. Ular itu panjangnya ada empat tombak dan perutnya sebesar paha! Ular besar ini tentu akan dapat menelan binatang-binatang seperti kijang, bahkan orangpun akan dapat dimasukkan ke dalam perutnya.
Ular besar itu mengayun kepalanya dan mencoba untuk meraih Cia Sun. Akan tetapi sekali ini Cia Sun mengelak sambil menggerakkan tangan memukul ke arah tengkuk ular yang menyambar itu dengan tangan dimiringkan. Tangan pendekar muda ini kalau dipukulkan seperti itu hebatnya melebihi palu godam baja.
"Krekkk!" Ular itu terkulai dan perlahan-lahan libatan badannya pada cabang pohon terlepas dan akhirnya terjatuhlah badan itu ke atas tanah, menggeliat-geliat akan tetapi kepalanya tidak dapat digerakkan karena tengkuknya patah-patah. Dan pada saat itu terdengar desis yang banyak sekali. Cia Sun memandang ke kanan kiri depan dan belakang dengan mata terbelalak karena dia melihat betapa dirinya telah dikurung oleh ratusan ekor ular yang berdatangan dari empat penjuru! Ular-ular besar kecil dari berbagai jenis dan warna, ular-ular beracun yang amat jahat dan tempat itu segera dipenuhi bau amis yang memuakkan.
"Heh-heh-heh! Tar-tar-tarrr... hi-hik!"
Cia Sun cepat menengok dan alisnya berkerut, sepasang matanya mencorong penuh kewaspadaan. Seorang nenek tua renta keriputan yang punggungnya bongkok tahu-tahu sudah berada di situ, memegang sebatang cambuk yang ekornya sembilan. Nenek itu membunyikan cambuknya berkali-kali, sehingga terdengar suara meledak-ledak dan nampak semacam asap mengepul dari ujung cambuknya, diseling suara ketawa terkekeh menyeramkan. Dan Cia Sun melihat kenyataan bahwa ular-ular itu agaknya terkendali oleh suara ledakan cambuk. Hal ini hanya berarti bahwa nenek itulah yang menjadi pawang ular dan telah mengerahkan peliharaannya yang merupakan ternak mengerikan ini untuk mengepungnya.
Cia Sun mengingat-ingat. Para suhengnya, murid-murid Pek-liong-pang yang sudah menjadi pendekar dan mempunyai banyak pengalaman di dunia kang-ouw pernah menceritakan kepadanya tentang dunia kang-ouw, tentang tokoh-tokoh penting dari golongan putih maupun golongan hitam. Dia pernah mendengar akan Cap-sha-kui dan di antara tiga belas orang tokoh sesat itu kabarnya terdapat seorang nenek yang berjuluk Kiu-bwee Coa-li (Ular Betina Berekor Sembilan). Dia sudah mendengar betapa lihainya nenek ini, kalau benar Kiu-bwee Coa-li. Menurut yang didengarnya, di antara Tiga Belas Iblis, yang paling tinggi ilmunya adalah empat orang dan di antaranya adalah nenek ini, maka dia bersikap tenang dan waspada. Ular-ular itu tidak dikhawatirkannya, akan tetapi dia harus berhati-hati terhadap nenek yang menjadi pawang atau penggembala ular itu.
"Hemm, apakah engkau Kiu-bwee Coa-li?" tanyanya, suaranya tetap tenang.
"Heh-heh-heh, engkau masih muda sudah mengenalku, dan sekali pukul dapat membunuh ular kembang. Engkau tentu seorang pendekar, ya? Seorang tokoh muda golongan putih? Hi-hik, aku paling suka darah pendekar dan ular-ularku ini paling suka daging pendekar, heh-heh! Tar-tar-tar-tarrr...!" Cambuk berekor sembilan itu bergerak dan meledak-ledak. Cia Sun mengelak dari sambaran empat ekor ujung cambuk itu, akan tetapi dia melihat bahwa nenek itu bukan hanya menyerangnya, melainkan juga memberi aba-aba kepada ular-ularnya karena kini, sambil mengeluarkan suara berdesis-desis, binatang-binatang mengerikan itu mulai menyerangnya dari segala penjuru!
Cia Sun menggerakkan kaki tangannya. Kakinya terayun, menendangi ular-ular yang berani mendeketinya, sedangkan kedua tangannya bergerak mengirim pukulan jarak jauh dengan pengerahan Thian-te Sin-ciang. Angin yang kuat menyambar ke arah ular-ular itu dan belasan ekor ular berhamburan seperti daun kering dilanda angin. Melihat kehebatan pemuda ini, nenek itu meringkik, setengah terkekeh setengah menangis dan pecutnya meledak-ledak semakin gencar, bukan hanya menghujani tubuh Cia Sun dengan serangan cambuknya yang berujung sembilan, akan tetapi juga untuk memberi komando kepada ular-ularnya yang menjadi semakin nekat menyerbu ke arah Cia Sun. Bahkan di antara ular-ular itu terdepat ular-ular cobra yang berdiri dengan leher berkembang, ada pula ular yang seperti dapat terbang karena ular-ular ini kecil-kecil dan ada yang kemerahan, meloncat dan menerkam seperti terbang ke arah leher dan tubuh Cia Sun!
"Hemmm!" Pemuda itu mendengus dan ketika tangannya dikibaskan, ular-ular yang berani terbang menyerangnya itu terbanting hancur. Terpaksa Cia Sun berloncatan menjauh. Berbahaya juga kalau dia harus menjaga semua serangan itu. Dari atas sembilan ujung cambuk si nenek iblis, dan dari bawah ular-ular yang mengurungnya. Pada saat dia merobohkan ular-ular terbang, kembali terdengar ledakan dan sebuah di antara ujung-ujung cambuk itu menyambar ke arah pelipisnya dengan tenaga totokan yang amat berbahaya! Tidak ada waktu lagi untuk mengelak, dan karena ujung cambuk itu dapat menjadi alat menotok jalan darah yang ampuh, maka menangkis dengan lenganpun membuka kesempatan bagi lawan untuk menotok ke arah jalan darah di bagian lengan dan hal itupun cukup berbahaya. Maka, satu-satunya jalan bagi Cia Sun hanyalah menggerakkan tangannya dan jari telunjuknya mencuat dan menyambut ujung cambuk lawan itu.
"Tukk...!" Bagaikan seekor ular hidup saja, begitu bertemu dengan telunjuk kiri Cia Sun, ujung cambuk itu membalik dan melingkar, dan nenek itu mengeluarkan seruan kaget karena melalui cambuknya ia dapat merasakan getaran yang amat kuat muncul dari sambutan tusukan jari itu. Ia tidak tahu bahwa itulah satu di antara ilmu-ilmu yang hebat dari pemuda itu, yang disebut It-sin-ci (Satu Jari Sakti), semacam ilmu menotok jalar darah yang lihai sekali karena ilmu ini khusus diciptakan untuk menghadapi ilmu-ilmu kebal, juga untuk menghadapi ilmu sakti Thi-khi-i-beng, yaitu tenaga sakti yang dapat menyedot hawa murni lawan.
Nenek itu mundur dan merasa agak gentar, maklum betapa lihainya pemuda ini dan iapun bersikap hati-hati. Cambuknya meledak-ledak dan ular-ularnya menjadi semakin ganas menyerbu ke arah Cia Sun. Cia Sun merasa kewalahan kalau harus menghadapi demikian banyaknya ular, apalagi banyak di antara ular-ular itu berbisa dan semburan-semburan yang mengandung racun membuat dia merasa muak dan pening.
Sementara itu, nenek pawang ular tadi mulai terkekeh melihat pemuda itu kewalahan dan ia tetap membunyikan cambuknya yang menjadi komando bagi ular-ular itu sambil mendekati sebuah gubuk reyot yang terdapat di dekat tempat itu.
"Heh-heh-heh, anak-anakku, serang dia, robohkan dia dan gerogoti dagingnya. Ha-ha, daging pendekar memang liat akan tetapi sedap!"
Tiba-tiba muncul seorang gadis yang menunggang seekor kuda cebol. Gadis itu menahan kudanya dan memandang ke depan, tersenyum melihat Cia Sun sibuk dikepung dan dikeroyok ular-ular itu. Akan tetapi ketika ia melihat Kiu-bwee Coa-li yang terkekeh sambil membunyikan cambuknya untuk memberi semangat dan komando kepada ular-ularnya, gadis itu menjadi marah. Gadis itu adalah Ceng Sui Cin yang telah dapat menyusul Cia Sun. Tadinya ia melihat Cia Sun di dalam hutan itu dikeroyok ular, ia merasa geli, akan tetapi begitu melihat si nenek yang menyeramkan, ia segera mengenalnya. Ayah ibunya sudah menceritakan kepadanya tentang nenek ini yang selain lihai juga amat kejam dan jahat. Sui Cin menggerakkan pinggulnya dan tubuhnya melayang ke atas, tangannya meraih ke arah ranting-ranting pohon, terdengar suara ranting patah dan ketika ia meloncat turun, tangannya sudah memegang sebatang ranting yang masih penuh dengan daun hijau.
"Hei, Kiu-bwee Coa-li nenek iblis! Engkau lebih menjijikkan daripada ular-ularmu!" Sui Cin berseru dan iapun sudah menerjang ke depan, menggerakkan senjatanya yang aneh, yaitu ranting penuh daun itu. Sebagai puteri suami isteri pendekar sakti yang sejak kecil sudah digembleng mempelajari ilmu-ilmu silat tinggi, Sui Cin tidak pernah membawa senjata. Memang, bagi orang yang sudah memiliki tingkat ilmu silat seperti gadis ini, senjata tidak begitu dibutuhkan lagi. Kedua kaki dan tangannya sudah merupakan senjata yang amat ampuh dan juga di mana saja, benda apa saja dapat dipergunakannya sebagai senjata kalau perlu. Kalau kini ia mempergunakan ranting itu sebagai senjata adalah karena ia melihat betapa nenek itu memegang cambuk ekor sembilan, senjata yang lemas dan panjang, maka amatlah berbahaya dilawan dengan tangan kosong dan senjata yang paling tepat untuk menghadapinya adalah sebatang ranting.
"Syuuttuuttt... wirrr...!" Ranting yang mempunyai banyak anak ranting penuh daun itu menyambar dengan dahsyat. Kiu-bwee Coa-li tentu akan memandang rendah kepada gadis ini kalau saja ia tidak mendengar betapa gadis itu begitu saja mengejeknya dan menyebut namanya. Seorang gadis yang dapat mengenalnya begitu berjumpa, tentu bukan gadis biasa dan karena saat ini memang saatnya bagi para pendekar untuk berkumpul di tempat itu, maka dapat diduga bahwa seperti si pemuda lihai, gadis inipun tentu memiliki kepandaian tinggi. Maka, ketika ranting penuh daun itu menyambar iapun menggerakkan cambuknya sambil mengerahkan tenaganya.
"Tarrr... pyuuurrr...!" Nenek itu terkejut sekali. Bukan hanya dapat ia merasakan adanya tenaga kuat tidak lumrah bagi seorang gadis remaja di dalam ranting itu, juga tangkisannya membuat banyak daun di ranting itu rontok, aka tetapi hebatnya, rontoknya daun itu beterbangan seperti senjata rahasia piauw yang meluncur ke arah muka dan tubuhnya! Tentu saja ia menjadi repot mengelak ke sana-sini sambil menyumpah-nyumpah karena mendengar gadis itu mentertawakannya.
"Hi-hik, julukanmu dirobah saja menjadi Kiu-bwee Hek-wan (Lutung Hitam Ekor Sembilan), nenek iblis. Kalau engkau menari-nari seperti itu, persis lutung deh!"
Sui Cin yang maklum bahwa nenek itu lihai sekali, biarpun mentertawakan dan mengejek, namun ia sama sekali tidak berani main-main dan sambil tertawa iapun sudah menerjang lagi dan mengirim serangan bertubi-tubi dengan kedua tangannya karena ia sudah menyimpan rantingnya di bawah lengan. Dengan Ilmu Hok-mo Sin-kun yang dipelajarinya dari ibunya, dara ini melakukan penekanan. Kembali Kiu-bwee Coa-li terkejut mengenal ilmu silat yang amat aneh, indah dan juga ganas ini, mirip ilmu kaum sesat! Tentu saja ia tidak tahu bahwa ibu kandung gadis ini pernah menjadi datuk selatan kaum sesat yang berjuluk Lam-sin (Malaikat Selatan) maka tentu saja ilmu silatnya ganas!
Terjadilah perkelahian yang seru antara Siu Cin dan Kiu-bwee Coa-li dan setelah kini nenek itu mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya, perlahan-lahan Sui Cin mulai terdesak juga. Akan tetapi, gadis ini menggerakkan rantingnya melindungi tubuh dan membalas serangan lawan dengan pukulan-pukulan ampuh.
Sementara itu, ketika Cia Sun sedang menghadapi pengeroyokan banyak ular, pemuda ini melihat munculnya Sui Cin. Dia terkejut dan merasa khawatir sekali ketika mengenal gadis yang pernah menyamar sebagai pemuda dan pernah ditolongnya lari dari tahanan itu. Dapat dibayangkan betapa kaget, khawatir dan juga heran rasa hatinya ketika dia melihat gadis itu menyerang Kiu-bwee Coa-li dengan beraninya, juga semakin heran bagaimana gadis aneh itu mengenal pula si nenek iblis. Akan tetapi keheranannya memuncak ketika dia melihat betapa gadis itu ternyata lihai bukan main dan dapat mengimbangi kepandaian Kiu-bwee Coa-li! Kalau dia tidak melihat sendiri, hanya mendengar cerita orang saja, tentu dia tidak akan mau percaya. Gadis itu ketika ditangkap sebagai seorang gadis jembel yang menyamar pemuda, adalah seorang gadis yang lemah biarpun memiliki keberanian amat besar. Buktinya, ditangkap tidak dapat melawan dan ketika ditahanpun tidak mau membebaskan dirinya. Kalau bukan dia datang menolong, tentu gadis itu akan celaka. Akan tetapi bagaimana kini ia muncul dalam pakaian yang tidak karuan pula, penuh tambalan dan potongannya lucu, membayangkan kemiskinan, akan tetspi memiliki kepandaian yang tinggi sehingga mampu menandingi seorang datuk sesat lihai seperti Kiu-bwee Coa-li? Dan tiba-tiba saja wajahnya berobah merah. Dialah yang tolol! Tentu gadis itu berpura-pura ketika menyamar sebagai pria. Pura-pura tolol, pura-pura bodoh tidak pandai silat. Akan tetapi benarkah demikian? Bagaimana kalau yang muncul ini seorang gadis lain yang memiliki wajah mirip dengan gadis yang pernah ditolongnya itu? Akan tetapi, suaranya sama benar dan bengalnya juga sama ketika gadis itu mengejek Kiu-bwee Coa-li.
Bagaimanapun juga, kemunculan Sui Cin menggembirakan hatinyat apalagi melihat gadis itu kini berkelahi menggunakan ranting. Baru dia seperti diberi ingat bahwa untuk menghadapi pengeroyokan ular-ular itu, senjata ranting seperti gadis itulah yang paling tepat. Diapun berloncatan, dikejar oleh ular-ular itu dan setelah tiba di bawah pohon, dia meloncat dan mematahkan sebatang ranting panjang. Kemudian mengamuklah Cia Sun! Dengan rantingnya, dia menghajar ular-ular itu dan setiap kali rantingnya menyambar tubuh ular, ular yang kena disabet tentu melingkar-lingkar kesakitan karena sambungan tulangnya patah-patah dan hal ini membuat binatang itu tidak mampu merayap lagi. Amukan Cia Sun membuat ular-ular itu menjadi gentar, apalagi karena kini tidak ada komando dari suara cambuk Kiu-bwee Coa-li yang sedang mengerahkan seluruh tenaga dan mencurahkan seluruh perhatian untuk menghadapi gadis yang lihai itu. Maka ular-ular itu menjadi panik dan akhirnya ketakutan, lari meninggalkan bangkai teman-teman mereka dan teman-teman yang melingkar-lingkar terluka tak mampu melarikan diri lagi itu.
Setelah ular-ular itu pergi menjauh, Cia Sun membalikkan tubuhnya dan menonton perkelahian antara gadis jembel dan nenek iblis. Dan dia tertegun, terbelalak malah ketika melihat ilmu silat yang dimainkan oleh gadis itu. Tentu saja dia mengenal Thai-kek Sin-kun! Itulah ilmu dasar yang diberikan ayahnya kepadanya dan ilmu ini memang tepat sekali dipergunakan untuk mempertahankan diri terhadap tekanan lawan yang lebih lihai! Dan gadis itu memainkannya sedemikian indahnya. Begitu aseli dan itulah Thai-kek Sin-kun yang tulen. Siapakah gadis yang pandai memainkan Thai-kek Sin-kun seindah itu?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar