Kini Lulung Lama bangkit berdiri dan memberi isarat agar semua orang tenang, kemudian dia berkata, "Terima kasih, kami gembira sekali melihat bahwa saudara sekalian agaknya sudah siap untuk bekerja sama dengan kami. Masih adakah di antara para tamu yang ingin mengemukakan pendapatnya? Silakan!" Lulung Lama sengaja memandang ke arah Sian Lun dan Sian Li.
Akan tetapi kembali Sian Li menyentuh lengan Sian Lun yang sudah gatal mulut untuk bicara itu. Pada saat itu, seorang laki-laki Han berusia lima puluhan tahun, bertubuh tinggi kurus dengan muka kuning, bangkit dan bicara dengan suaranya yang tinggi seperti suara wanita.
"Bersatu untuk bekerja sama dalam perjuangan menentang pemerintah Mancu memang mudah dibicarakan, akan tetapi pelaksanaannya menentang pemerintah Mancu amatlah berbahaya dan sukar. Kaisar Kian Liong yang sekarang menjadi Kaisar telah berusaha mendekati dan menggandeng para tokoh pendekar di dunia persilatan sehingga mereka itu tidak mau menentang Kaisar, apalagi membantu usaha perjuangan untuk menumbangkan kekuasaan Mancu. Masih banyak sekarang ini para pendekar yang berubah menjadi penjilat penjajah Mancu. Dan selama para pendekar penjilat itu tidak dibasmi terlebih dahulu, tentu mereka akan menjadi penghalang perjuangan kita."
"Pendapat itu tepat dan benar sekali!" tiba-tiba Ji Kui berseru dengan lantang dan penuh semangat. "Kalau tidak karena ulah para pendekar penjilat, terutama keturunan pendekar Pulau Es dan pendekar Gurun Pasir, tentu telah lama keluarga Kaisar dapat kami basmi! Beberapa tahun yang lalu. ketika Thian-li-pang masih bekerja sama dengan kami, kami telah berhasil mendekati Siang Hong-houw, bahkan putera Ketua Thian-li-pang dan Ang I Moli, seorang tokoh murid Pek-lian-kauw telah berhasil diselundupkan ke istana dan nyaris berhasil membunuh para pangeran kalau saja tidak digagalkan oleh Gangga Dewi dan suaminya, yaitu Suma Ciang Bun, cucu Pendekar Super Sakti Pulau Es! Jelaslah bahwa orang-orang dari keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir merupakan penghalang besar bagi perjuangan kita!"
Lulung Lama tertawa dan dia bersama muridnya, Cu Ki Bok kini memandang ke arah Sian Lun dan Sian Li. "Ha-ha, belum tentu, Toanio," katanya. "Belum tentu kalau semua keturunan kedua pendekar itu sudi menjadi antek dan penjilat penjajah Mancu. Di sini hadir pula dua orang muda gagah perkasa yang berhubungan dekat dengan Gangga Dewi. Kami tidak yakin bahwa mereka berdua ini sudi menjadi antek penjilat orang Mancu. Liem-sicu dan Tan-lihiap, bagaimana pendapat kalian?"
Tentu saja semua orang menoleh dan memandang kepada Sian Li dan Sian Lun yang diperkenalkan sebagai orang yang dekat dengan Gangga Dewi dan ada hubungan dengan keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir itu. Sian Lun yang sejak tadi sudah hampir tidak kuat menahan kemarahannya mendengar keluarga gurunya dimaki-maki, dan hanya menahan kemarahannya karena dilarang sumoinya, kini mendapat kesempatan dan dia pun meloncat berdiri dan mengepal tinju.
"Kami bukan penjilat pemerintah Mancu, juga kami bukan pemberontak-pemberontak yang berkedok perjuangan! Akan tetapi, aku sebagai murid keluarga Pulau Es, siap untuk menandingi siapa saja yang berani menghina keluarga Pulau Es!" Setelah berkata demikian, tanpa mempedulikan sumoinya, dia sudah melompat ke tengah ruangan itu, di depan meja tuan rumah. Melihat kenekatan suhengnya, tentu saja Sian Li merasa khawatir karena gadis ini maklum sepenuhnya bahwa di tempat itu berkumpul banyak lawan yang pandai sekali. Maka, ia pun harus melindungi dan membela suhengnya dan ia pun sudah melompat ke dekat Sian Lun.
"Suheng berkata benar!" katanya. "Kalian telah terlalu banyak memandang rendah dan menghina keluarga Pulau Es dan keluarga Gurun Pasir. Nah, ini aku keturunan kedua keluarga itu, siap untuk membela kehormatan dan nama kedua keluargaku itu, menandingi siapa saja yang berani menghina!"
Melihat munculnya pemuda dan gadis yang mengaku sebegai keluarga Pendekar Pulau Es dan Gurun Pasir, bahkan yang berani menantang, para tamu yang terdiri dari tokoh-tokoh kang-ouw yang sebagian besar mendendam kepada dua keluarga besar itu, segera menjadi gaduh.
"Bunuh pengkhianat!"
"Basmi keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir"
"Tangkap mereka, tentu telah memata-matai kita!"
Teriakan-teriakan terdengar dan agaknya mereka semua sudah siap untuk mengeroyok Sian Lun dan Sian Li. Akan tetapi, terdengar seruan Gulam Sing. "Lulung Lama, bagaimana kalau aku saja yang menghadapi nona cantik dan gagah ini? Bukankah ia yang pernah kauceritakan kepadaku tempo hari?"
Lulung Lama menoleh kepada pangeran itu dan mengangguk. "Baiklah, Pangeran. Memang sebaiknya seorang di antara kita yang maju. Memalukan kalau harus maju keroyokan," katanya.
"Dan pemuda itu serahkan kepada kami untuk menangkapnya!" kata Pek-lian Sam-li dan ketiga orang wanita muda itu sudah berloncatan menghadapi Sian Lun dengan kerling yang memikat dan senyum yang manis. Melihat ini, Gulam Sing tertawa.
"Ha-ha-ha, tiga orang nona yang jelita! Pemuda itu hanya seorang, bagaimana kalian dapat membaginya? Bukankah sudah ada aku? Ha-ha!" Pangeran yang mata keranjang ini tanpa malu-malu di depan banyak orang mengeluarkan ucapan yang mengandung arti tak senonoh itu.
"Pangeran, mari kita berlumba, siapa di antara kita yang dapat lebih dulu menangkap lawan, kami bertiga atau engkau, tanpa melukai!" tantang Ji Kui. "Taruhannya, siapa kalah cepat harus menurut kehendak yang menang. Setuju?"
Melihat pendang mata penuh tantangan dan senyuman penuh ajakan itu, Pangeran Gulam Sing mengangguk, "Setuju!"
Sian Li dan Sian Lun yang maklum bahwa mereka menghadapi lawan tangguh apalagi mereka berada di sarang musuh dan setiap saat mereka dapat menghadapi pengeroyokan, sudah mencabut pedang mereka.
"Pangeran sombong, majulah kalau ingin merasakan tajamnya pedangku!"
Sian Li membentak. Pangeran itu tertawa dan mencabut sebatang golok yang bentuknya melengkung seperti bulan sabit. Melihat lawan sudah siap siaga dengan golok di tangan, Sian Li sudah meloncat ke depan dan melakukan serangan yang dahsyat sakali.
"Tranggg....!" Pangeran itu menangkis dengan babatan goloknya, dan biarpun Sian Li sudah maklum akan kuatnya tenaga lawan, ia tetap saja terkejut ketika pedang itu hampir terlepas dari pegangan tangannya. Pedang itu terpental dan telapak tangannya yang berhasil menahan gagang pedang terasa panas. Melihat ini, terdengar suara tawa di sana sini dan pangeran itu pun tertawa bergelak.
Sian Lun yang dihadapi Pek-lian Sam-li, biarpun mendongkol sekali karena lawan bersikap curang dan belum apa-apa sudah hendak mengeroyoknya, tidak mau banyak cakap lagi. Tidak ada gunanya mencela dan memprotes orang-orang macam itu, apalagi tiga orang wanita ini adalah orang-orang Pek-lian-kauw. Sambil membentak nyaring pedangnya sudah berkelebat menjadi gulungan sinar yang menyambar ke arah tiga orang wanita itu. Pek-lian Sam-li juga telah mencabut pedang mereka dan mereka pun mengepung dengan bentuk barisan Segi Tiga, den ternyata gerakan mereka lincah sekali dan bagaikan tiga ekor kupu-kupu mengepung setangkai bunga, mereka berloncaten ke sana sini, membuat Sian Lun sukar sekali untuk dapat mengarahkan serangannya.
Sian Li juga segera terdesak karena ia tidak berani mengadu senjata. Hal ini tentu saja membuat pangeran itu menang angin dan dia pun mendesak sambil tertawa-tawa karena dia ingin lebih dulu menangkap lawannya untuk mendahului Pek-lian Sam-li. Dengan demikian, dia tidak hanya akan menguasai gadis cantik berpakaian merah ini, akan tetapi juga dia akan membuat tiga orang wanita genit itu membayar kekalahan mereka dengan mentaatinya! Betapa akan senangnya dilayani empat orang wanita itu, pikirnya.
Akan tetapi, sementara itu Sian Lun juga sudah terdesak hebat oleh tiga pedang yang mengepungnya. Tingkat kepandaian pemuda ini tidak jauh selisihnya dengan setiap orang dari Pek-lian Sam-li, maka kini dikeroyok tiga tentu saja dia menjadi kewalahan dan repot sekali melindungi tubuhnya dari sambaran tiga gulungan sinar pedang lawan.
Pada saat yang amat kritis bagi Sian Lun dan Sian Li, setiap saat mereka akan dapat tertangkap, tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan bagaikan seekor rajawali saja bayangan itu menyambar-nyambar, mula-mula ke arah Sian Li dan Gulam Sing yang sedang bertanding. Baik Gulam Sing maupun Sian Li mengeluarkan seruan kaget ketika bayangan itu menggerakkan tangan dan mereka berdua terdorong ke belakang sampai tiga langkah! Bayangan itu berkelebat ke arah Sian Lun yang dikeroyok tiga dan di sana bayangan itu berputaran dan juga Sian Lun dan tiga orang wanita pengeroyoknya terdorong ke belakang seperti diterjang angin badai. Otomatis, mereka semua menghentikan serangan dan memandang kepada orang yang tahu-tahu telah berada di situ. Sian Li hampir berteriak saking girangnya melihat seorang laki-laki yang tubuhnya sedang saja namun tegap, rambutnya panjang dibiarkan riap-riapan ke belakang dan sebagian menutupi muka, membantu tirai hitam yang bergantungan dari atas topi capingnya yang lebar. Sukar melihat wajah orang itu, yang nampak hanya kilatan sepasang mata dari balik tirai dan rambut. Pakaiannya sederhana saja seperti pakaian petani namun ringkas, dan dia tidak membawa senjata apa pun.
"Sin-ciang Tai-hiap....!" terdengar teriakan beberapa orang dan demikian pula teriakan hati Sian Li yang memandang penuh kagum, juga kini mendadak saja ia merasa aman begitu orang ini berada di situ. Lenyap semua kekhawatirannya akan dikeroyok dan ditangkap oleh para pemberontak ini.
Lulung Lama mewakili suhengnya, Dobhin Lama yang sejak tadi hanya menonton saja. Dengan langkah lebar dia menghampiri laki-laki bercaping lebar yang menyembunyikan mukanya itu dan dia mencoba untuk menembus tirai hitam dan rambut itu untuk mengamati wajahnya, lalu dia mengangkat kedua tangan depan dada dan memberi hormat.
"Omitohud....! Kiranya engkau adalah Sin-ciang Tai-hiap yang selama beberapa tahun ini membuat nama besar di daerah perbatasan Tibet ini? Selamat datang, Taihiap! Apakah engkau datang hendak menghadiri rapat pertemuan yang kami adakan ini?"
Pendekar bercaping itu membalas penghormatan tuan rumah dengan sikap sopan, lalu terdengar suaranya, lembut dan singkat. "Lulung Lama, terserah dengan nama apa orang akan menyebutku. Aku datang bukan untuk menjadi tamu dalam pertemuan ini."
Lulung Lama mengerutkan alisnya. "Sin-ciang Tai-hiap, pinceng (saya) yakin bahwa sebagai sama-sama tokoh dunia persilatan yang tahu akan peraturan dunia kang-ouw, engkau tentu maklum bahwa jalan kita bersimpang. Aku tidak pernah mencampuri urusanmu, dan demikian pula kami harap engkau tidak akan mencampuri dan mengacaukan urusan kami. Kalau engkau tidak datang untuk menghadiri pertemuan, lalu mengapa engkau menghentikan pertandingan tadi dan apa pula maksudmu datang berkunjung tanpa diundang ini?" Lulung Lama bicara dengan nada tinggi hati, hal ini adalah karena dia sebagai tokoh besar Hek I Lama tentu saja tidak takut kepada pendekar rahasia ini walaupun sudah banyak dia mendengar tentang kelihaian Sin-ciang Tai-hiap, dan ke dua karena pada saat itu, dia berada di tempat sendiri, mempunyai banyak anak buah, ada pula suhengnya yang sakti dan banyak tamu yang dapat diandalkan.
Semua orang menaruh perhatian besar kepada pendatang aneh itu dan suasana menjadi sunyi senyap karena semua orang ingin mendengarkan bagaimana jawaban pendekar yang selama akhir-akhir ini amat terkenal namanya. Pendekar aneh itu menggerakkan tubuhnya, memandang ke sekeliling, kemudian dia pun menjawab, suaranya masih lembut seperti tadi.
"Lulung Lama, aku tidak mencampuri urusan siapa pun. Kalau tadi aku melerai pertandingan adalah karena aku selain tidak suka melihat orang menyelesaikan persoalan melalui senjata, saling melukai dan saling membunuh. Kedatanganku ini untuk bertemu dan bicara dengan saudara Thong Nam, kepada suku Miao yang aku tahu berada di sini sebagai tamu. Biarkan aku bicara dengan dia, setelah selesai urusanku dengan dia, aku akan pergi dari sini."
Lulung Lama mengerutkan alisnya. Bagaimanapun juga, Thong Nam adalah kepala suku Miao, seorang di antara sekutunya dan saat itu menjadi tamunya, maka sebagai tuan rumah dia harus dapat melindungi tamunya. Akan tetapi, sebelum dia dapat berkata atau berbuat sesuatu, seorang di antara para tamu sudah bangkit berdiri dan berkata lantang dengan suara keras dan logatnya asing.
"Akulah Thong Nam kepala suku Miao. Biarpun telah mendengar nama Sin-ciang Tai-hiap, namun kami belum pernah berurusan dengannya. Sekarang engkau datang mencariku di sini, katakan apa perlunya engkau mencari aku, Sin-ciang Tai-hiap!"
Pendekar bercaping itu memutar tubuh ke kanan untuk memandang ke arah Si Pembicara. Ternyata orang bernama Thong Nam itu bertubuh pendek dengan perut gendut, akan tetapi tubuhnya nampak kokoh kuat dan wajahnya yang bulat itu membayangkan ketinggian hati. Tidak mengherankan kalau kepala suku Miao ini dengan lantang memperkenalkan diri, karena dia pun terkenal sebagai seorang jagoan di antara suku bangsanya. Dia terkenal memiliki tenaga kuat ilmu gulat yang tak pernah terkalahkan, juga dia memiliki ilmu tendangan maut. Selain itu, dia pun tahu bahwa di tempat itu, dia memiliki banyak kawan tangguh yang pasti akan membantunya kalau dia terancam bahaya.
Sejenak pendekar bercaping itu mengamati Si Pendek Gendut dan karena dia diam saja, semua orang menjadi semakin tegang. "Thong Nam," akhirnya terdengar dia berkata, "aku mencarimu untuk meminta kembali sebutir mutiara hitam darimu. Engkau tidak berhak memilikinya dan benda itu harus dikembalikan kepada pemiliknya."
Semua orang tidak mengerti tentang mutiara hitam, akan tetapi wajah Si Pendek Gendut itu berubah merah dan alisnya berkerut, nampak bahwa dia marah mendengar itu. Otomatis tangan kirinya meraba ke arah dadanya, lalu dia berkata lantang, "Sin-ciang, Tai-hiap! Mutiara Hitam itu adalah milikku, kuterima dari mendiang ayahku. Aku tidak mengambilnya dari orang lain!"
"Kalau begitu, saudara Thong Nam, ayahmu itulah yang telah mengambilnya. Mutiara Hitam itu milik orang lain, harap engkau suka berbesar hati untuk mengembalikannya kepadaku agar dapat kupenuhi pesan pemiliknya."
"Sin-ciang Tai-hiap, engkau sungguh terlalu mendesak. Orang lain boleh takut kepadamu, akan tetapi aku tidak! Dan menurut peraturan dunia kang-ouw, untuk memiliki sesuatu dari orang lain haruslah lebih dahulu mengalahkannya." Kepala suku Miao itu lalu mengambil sesuatu dari balik bajunya, lalu menyerahkan sebuah mutiara hitam yang tadi dia pakai sebagai kalung kepada Lulung Lama. "Losuhu, tolong simpan dulu benda ini, aku akan menandingi pendekar yang sombong ini!" Setelah menyerahkan benda itu kepada Lulung Lama, Thong Nam lalu melompat ke depan pendekar bercaping lebar dengan sikap menantang. Lulung Lama menerima benda itu, nampak tertarik dan segera dia mendekati suhengnya. Dobhin Lama menerima benda itu dan mereka berdua mengamati benda itu sambil berbisik-bisik, pandang mata mereka bersinar-sinar.
Sementara itu, Thong Nam yang merasa diremehkan di depan banyak orang, tanpa banyak cakap lagi sudah menyerang pendekar bercaping itu dengan tubrukan ganas, seperti seekor biruang menubruk mangsanya. Agaknya dia hendak mengandalkan ilmu gulatnya untuk menangkap lawan, karena dia berkeyakinan bahwa sekali dia dapat menangkap lengan lawan, dia akan dapat membuatnya tidak berdaya dengan ringkusan atau bantingan. Sin-ciang Tai-hiap agaknya tidak tahu akan keistimewaan Thong Nam, maka dia seperti acuh saja dan bahkan menangkis dengan pemutaran lengan kanan dari kiri ke kanan dan membiarkan lengannya itu tertangkap lawan! Tentu saja girang hati Thong Nam. Begitu dia berhasil menangkap lengan kanan lawan, dia mempergunakan kedua tangannya, menangkap dengan pengerahan tenaga yang tiba-tiba disentakkan dan dia hendak menekuk lengan itu ke belakang. Sekali dia berhasil menekuk lengan itu ke belakang tubuh, dia akan dapat membuat lawan tidak berdaya dengan mendorong lengan yang tertekuk ke belakang itu ke atas! Akan tetapi, betapa kagetnya ketika dia sama sekali tidak mampu menekuk lengan lawan itu, jangankan memuntir ke belakang, bahkan menekuk sikunya saja tidak mampu. Lengan itu terasa olehnya seperti sebatang baja yang amat kuat. Padahal, sebatang tongkat atau tombak baja pun akan dapat ditekuknya dengan mudah! Tiba-tiba pendekar bercaping itu menggerakkan lengannya yang ditangkap dan sedang hendak ditekuk ke belakang dan.... Thong Nam tak mampu bertahan lagi. Pegangan kedua tangannya terlepas dan dia pun terjengkang sampai beberapa meter jauhnya.
Thong Nam tidak terluka, hanya terkejut. Dia bangkit kembali dan mukanya menjadi merah sekali. Dia menjadi semakin penasaran dan marah, dan tanpa bicara lagi dia menerjang lawannya, sekali ini tidak ingin menangkap melainkan mengandalkan ilmu tendangannya yang memang hebat dan berbahaya. Selain kedua kaki itu dapat bergerak cepat sekali, juga setiap tendangan mengandung tenaga yang amat kuat, apalagi kedua kaki itu memakai sepatu yang dilapis baja, bagian bawahnya memiliki tepi yang tajam dan ujungnya juga runcing.
Dengan gerakan yang tenang sekali, Sin-ciang Tai-hiap dapat menghindarkan sambaran dua buah kaki yang melakukan serangkaian tendangan bertubi-tubi. Tubuhnya hanya bergerak sedikit saja, namun cukup membuat tendangan itu hanya lewat di dekat tubuhnya.
"Hemm, sepatumu itu terlalu keji, Thong Nam," kata pendekar itu lembut dan tiba-tiba saja, tubuh Thong Nam kembali terlempar dan terjengkang ke belakang, akan tetapi sekali ini kedua kakinya sudah telanjang karena sepasang sepatu itu tertinggal di kedua tangan pendekar bercaping itu!
Pendekar itu memeriksa sepasang sepatu yang istimewa itu, kemudian jari-jari tangannya bergerak dan.... lapisan besi di bawah sepatu itu sudah terlepas semua dan yang tinggal hanya sepasang sepatu kulit biasa. Dia melemparkan sepasang sepatu itu kepada Thong Nam. Kini wajah Thong Nam berubah pucat. Dia mengenakan sepatunya yang menjadi sepatu biasa itu dan lenyaplah semua ketinggian hatinya. Dia tahu benar bahwa pendekar itu sama sekali bukan lawannya dan kalau pendekar itu menghendaki, mungkin dia sekarang telah tewas, atau setidaknya terluka berat.
Sementara itu, Sian Lun yang tadi dihentikan pertandingannya, menjadi penasaran. Juga diam-diam, seperti juga Sian Li, hatinya menjadi besar setelah muncul Sin-ciang Tai-hiap. Dilihatnya betapa tiga orang wanita Pek-lian-kauw tadi pun masih berdiri dengan pedang di tangan, maka dia segera melangkah maju dan menudingkan telunjuknya ke arah mereka dan pihak tuan rumah.
"Kalian semua mengaku sebagai pejuang-pejuang patriot, akan tetapi sesungguhnya hanyalah penjahat-penjahat dan pemberontak-pemberontak yang berkedok perjuangan! Keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir memang selalu menentang dan membasmi penjahat-penjahat seperti kalian!"
Melihat suhengnya sudah nekat seperti itu, Sian Li juga meloncat di dekatnya untuk membantu. Melihat ini, Lulung Lama manjadi marah dan dia memberi perintah kepada anak buahnya. "Tangkap dua orang muda kurang ajar ini!"
"Tahan!" Sin-ciang Tai-hiap berseru ketika melihat banyak orang sudah bangkit dan siap menyerbu. "Lulung Lama, urusanku dengan Thong Nam belum selesai. Mutiara Hitam belum diserahkan kembali kepadaku, dan tentang kedua orang muda ini, seyogianya kalau kalian membiarkan mereka pergi. Mereka adalah pendekar-pendekar gagah yang tidak ada hubungannya dengan segala macam pemberontakan."
Kini Dobhin Lama yang masih memegang mutiara hitam itu bangkit berdiri. Tubuhnya nampak semakin kurus dan tinggi ketika dia berdiri dan dan memandang kepada Sin-ciang Tai-hiap.
"Hemm, Sin-ciang Tai-hiap. Biarpun engkau menyembunyikan wajahmu, akan tetapi kami tahu bahwa engkau adalah seorang yang masih muda. Mengagumkan sekali seorang yeng demikian muda telah memiliki ilmu kepandaian sepertimu. Alangkah sayangnya kalau kepandaian seperti itu tidak kaupergunakan untuk mencapai kemuliaan selagi engkau masih muda. Sin-ciang Tai-hiap, sebagai seorang Han, apakah engkau tidak prihatin melihat bangsa Mancu menjajah negara dan bangsamu? Marilah engkau bergabung dengan kami. Kami akan memberi kedudukan tinggi padamu, bahkan mungkin sekali kami akan mengangkatmu sebagai panglima besar."
Dengan sikap yang sopan, pendekar itu memberi hormat kepada Dobhin Lama kemudian suaranya terdengar lembut namun lantang dan tegas. "Terima kasih atas uluran tanganmu, Dobhin Lama. Tentu saja aku merasa prihatin dengan adanya penjajahan bangsa Mancu, dan aku mengagumi usaha para patriot yang berjuang demi membebaskan tanah air dan bangsa dari cengkeraman penjajah Mancu. Akan tetapi, Losuhu, perjuangan bukan perjuangan murni lagi kalau didasari pamrih untuk kepentingan pribadi, pamrih untuk mendapat imbalan jasa bagi diri sendiri. Perjuangan yang benar adalah suatu kebaktian terhadap tanah air dan bangsa, tanpa pamrih untuk pribadi. Kalau ada pamrih, meka perjuangan itu hanya menjadi suatu alat, suatu cara untuk mencapai keuntungan pribadi seperti kedudukan, kemuliaan, harta dan segala kesenangan lain sebagai hasil dari kemenangan. Saudara sekalian yang berada di sini tentu dapat meneliti diri sendiri apakah perjuangan kalian itu murni ataukah hanya menjadi suatu cara saja untuk mengejar hasil kemenangan yang akan menyenangkan diri sendiri atau golongan sendiri?"
"Sin-ciang Tai-hiap, perlukah bicara dengan mereka ini?" Tiba-tiba Sian Li berseru. "Lihat saja siapa adanya mereka ini dan kita akan tahu macam, apa perjuangan mereka itu! Perkumpulan Lama Jubah Hitam adalah pemberontak terhadap pemerintah yang sah dari Tibet. Juga orang-orang Nepal yang bersekutu dengan mereka ini adalah orang-orang Nepal yang memberontak terhadap Kerajaan Nepal sendiri sehingga mereka itu menjadi buronan dan buruan dari kedua kerajaan itu! Dan lihat pula siapa lagi sekutu mereka! Pek-lian-kauw! Tak perlu berpanjang cerita lagi, mereka bukanlah pejuang-pejuang aseli, perjuangan itu hanya menjadi kedok untuk menutupi kejahatan mereka!"
"Tangkap mereka!" Lulung Lama berteriak lagi dan dia menghadapi Sin-ciang Tai-hiap. "Sin-ciang Tai-hiap, harap jangan mencampuri urusan kami! Atau terpaksa kami akan menentangmu!"
Pek-lian Sam-li berloncatan mengepung Sian Lun dan Ji Kui berkata kepada anak buah tuan rumah, "Biarkan kami bertiga yang menangkap pemuda ini!" Dan mereka pun sudah mengepung dan menyerang Sian Lun dengan pedang mereka.
"Gadis ini untukku, ha-ha-ha!" Pangeran Gulam Sing juga membentak dan dia sudah menghadapi Sian Li dengan goloknya yang melengkung. Kembali mereka bertempur, melanjutkan pertandingan tadi yang tertunda oleh kemunculan Sin-ciang Tai-hiap.
Sebelum Sin-ciang Tai-hiap dapat mencegah terjadinya pengeroyokan itu, dia sendiri sudah diserang oleh dua orang yang amat lihai, yaitu Cu Ki Bok dan gurunya, Lulung Lama! Begitu pemuda peranakan Han Tibet itu meyerang dengan sabuk baja yang kedua ujungnya dipasangi pisau, tahulah pendekar bercaping lebar itu bahwa dia menghadapi seorang lawan yang tangguh. Apalagi ketika Lulung Lama juga menyerang dengan senjatanya yang aneh, yaitu sepasang gelang roda besar yang warnanya keemasan dan tepinya bersirip tajam. Dan pendekar itu pun memperlihatkan kelihaiannya. Tubuhnya berkelebatan seperti seekor burung walet saja, beterbangan di antara gulungan sinar senjata kedua orang pengeroyoknya!
Akan tetapi, tepat seperti yang dikabarkan orang. Sin-ciang Tai-hiap agaknya tidak mau melukai lawan, apalagi membunuhnya. Inilah sebabnya mengapa sukar baginya untuk menundukkan dua orang pengeroyoknya yang memiliki kepandaian yang sudah tinggi tingkatnya. Kalau saja dia mau melukai, tentu tidak akan lama pertandingan itu, karena dia tentu dapat merobohkan Cu Ki Bok maupun Lulung Lama!
Keadaan Sian Lun maupun Sian Li payah walaupun kedua orang muda ini melawan dengan gigih. Sian Lun menghadapi tiga orang wanita tokoh Pek-lian-kauw yang sudah memiliki tingkat tinggi. Tiga orang wanita itu merasa kagum bukan main. Baru sekarang mereka berhadapan dengan seorang lawan muda yang mampu menahan pengeroyokan mereka bertiga! Memang Sian Lun bukan merupakan, lawan yang lunak. Dia telah digembleng oleh kedua orang gurunya, yaitu Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng. Biarpun tidak seluruh ilmu kesaktian dari keluarga para pendekar Pulau Es dikuasainya, namun dia telah menguasai Hwi-yang Sin-kang den Soat-Im Sin-kang, kedua ilmu menggunakan tenaga sakti yang panas dan dingin, dan tentang ilmu pedang Liong-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Naga) yang diajarkan oleh Kam Bi Eng. Pemuda ini memang belum mempunyai banyak pengalaman bertanding, akan tetapi karena dia menguasai ilmu pedang yang dahsyat dan memiliki gabungan tenaga sin-kang yang amat kuat, maka tiga orang wanita Pek-liankauw yang bermaksud menangkapnya hidup-hidup tanpa melukainya itu mengalami kesulitan.
Sian Li juga menghadapi lawan yang tangguh. Seperti juga Sian Lun, gadis remaja ini telah menguasai ilmu yang hebat, bahkan ia masih lebih tangguh dibandingkan suhengnya itu karena gadis ini menguasai pula ilmu Pek-ho Sin-kun (Silat Sakti Bangau Putih) dari ayahnya. Andaikata ia sudah memiliki banyak pengalaman bertanding, tentu ia akan mampu mengalahkan pangeran Nepal itu. Akan tetapi karena ia kurang pengalaman menghadapi ilmu golok melengkung dari pangeran asing itu yang gerakan-gerakannya aneh sekali, ia menjadi agak bingung. Biarpun demikian, karena pangeran Nepal itu pun tidak ingin melukainya dan ingin menangkapnya hidup-hidup, maka pangeran itu tidak mudah dapat menundukkan gadis itu.
Sian Lun yang memang sudah terdesak, dengan nekat memutar pedangnya dan sinar pedang yang bergulung-gulung itu bagaikan benteng baja yang amat kuat, membuat tiga orang tokah Pek-lian-kauw kagum dan juga penasaran. Mereka saling memberi isarat dan masing-masing mengaluaran sehelai saputangan merah. Tanpa diduga-duga oleh Sian Lun, mereka mengebutkan saputangan merah ke arah pemuda itu. Sian Lun memang kurang pengalaman, melihat uap tipis kemerahan itu dia tidak menyangka buruk. Baru setelah dia mencium bau harum yang aneh dan matanya berkunang, kepalanya pening, setelah terlambat, dia tahu bahwa tiga orang pengeroyoknya itu menggunakan bubuk beracun.
"Iblis-iblis betina yang curang....!" Dia berteriak dan memaksa diri untuk menyerang dengan nekat, akan tetapi kepalanya semakin pening dan dia pun terhuyung-huyung. Ji Kui mengeluarkan suara ketawa mengejek dan sekali menggerakkan tangan menotok, Sian Lun terkulai dalam rangkulannya dan peamuda itu lemas tak mampu bergerak lagi.
Sian Li mendengar teriakan suhengnya dan cepat menengok. Melihat suhengnya tertawan, ia menjadi marah dan tubuhnya bergerak cepat, bagaikan seekor burung bangau ia telah mengirim tujuh kali tusukan beruntun dengan pedangnya kepada Pangeran Gulam Sing. Pangeran ini terkejut, merasa seperti menghadapi seekor burung besar. Dia memutar golok dan melangkah mundur. Akan tetapi kesempatan seperti itu dipergunakan oleh Sian Li untuk meloncat ke arah Sian Lun. Melihat ini, tiga orang wanita Pek-lian-kauw terkejut dan marah, tangan kiri mereka bergerak ke arah Sian Li dan belasan batang jarum halus menyambar ke arah tubuh gadis yang sedang melayang ke arah mereka itu! Sukar bagi Sian Li untuk dapat menghindarkan diri dari sambaran jarum karena pada saat itu ia sedang meloncat ke arah Sian Lun yang tertawan. Dan Pangeran Gulam Sing juga mengejar dengan lompatan seperti seekor harimau yang menubruk, bukan sekedar melompat, melainkan juga menggerakkan kaki menendang! Kedaan Sian Li sunggh berbahaya sekali.
Pada saat itu, Sin-ciang Tai-hiap yang melihat keadaan itu, secepat kilat mengirim tendangan beruntun kepada dua orang pengeroyoknya. Tendangan itu mendatangkan angin yang bersiutan sehingga Lulung Lama dan Cu Ki Bok terpaksa berloncatan ke belakang dan kesempatan ini dipergunakan olehnya untuk meloncat mendahului Sian Li untuk melindungi gadis itu dari sambaran Jarum-Jarum halus! Sian Li yang mendengar gerakan kaki Pangeran Gulam Sing dari belakang, biarpun tubuhnya sedang di udara, dapat berjungkir balik dan pedangnya menyambar ke belakang. Kalau kaki pangeran itu dilanjutkan menendang, tentu akan bertemu dengan pedangnya!
Akan tetapi pangeran itu juga berjungkir balik dan turun kembali. Sedangkan Sin-ciang Tai-hiap dengan ujung lengan bajunya mengebut jarum-jarum halus itu sehingga runtuh dan dia pun sudah menyambar lengan kiri Sian Li dan berseru,
"Mari kita pergi!"
"Tidak, Suhengku....!" Sian Li hendak meronta, akan tetapi tiba-tiba saja tubuhnya dibawa meloncat jauh oleh Sin-ciang Tai-hiap dan terpaksa ia pun ikut menggerakkan kaki berlari karena ia tidak mau terseret. Cepat bukan main gerakan Sin-ciang Tai-hiap sehingga biarpun ia ingin meronta, tetap saja ia kalah kuat dan tidak berhasil melepaskan lengan kirinya yang terpegang. Sian Li merasa penasaran sekali, akan tetapi karena ia tahu bahwa pendekar aneh ini sudah berulang kali menolongnya, ia pun tidak mau menyerang dengan pedangnya, hanya terpaksa ikut berlari dengan alis berkerut dan bersungut-sungut. Kenapa pendekar ini mengajaknya berlari? Suhengnya telah tertawan, dan sekarang ia disuruh melarikan diri! Ia bukan seorang pengecut seperti itu!
Agaknya, orang-orang yang sedang mengadakan pertemuan itu merasa jerih juga kepada Sin-ciang Tai-hiap dan mereka tidak berani melakukan pengejaran. Apalagi, mereka telah berhasil menawan seorang dan tawanan ini dapat menjamin mereka agar Sin-ciang Tai-hiap dan Tan Sian Li tidak akan berani mengganggu mereka lagi.
"Harap Sam-li jangan sampai melukai atau membunuh pemuda itu," kata Lulung Lama. "Dia masih berguna bagi kita, selain untuk jaminan, juga kalau kita dapat membujuk sandera ini sehingga dia taluk dan dapat membantu, hal itu amat menguntungkan."
Ji Kui yang merangkul Sian Lun yang tak sadarkan diri, mengelus dagu pemuda itu dan tersenyum sambil saling pandang dengan dua orang adiknya. "Jangan khawatir, Losuhu. Kami pun tidak bermaksud mencelakai pemuda tampan ini. Bahkan kami akan membantu agar dia tunduk dan taluk kepada kita."
Ji Hwa, orang ke dua dari mereka, memandang kepada Pangeran Gulam Sing dan sambil tersenyum manis ia berkata, "Pangeran, engkau telah kalah oleh kami. Mengakulah!"
Gulam Sing juga tersenyum. "Ah, kalian memang cerdik, menggunakan bubuk racun itu. Sungguh aku kalah cerdik dan aku mengaku kalah. Perintahkan saja apa yang kalian kehendaki, aku tentu akan mentaati untuk membayar kekalahanku."
"Hi-hik, nanti saja kita bicarakan hal itu di kamar kami, Pangeran!" kata Ji Kim, wanita Pek-lian-kauw termuda. Mereka bertiga tertawa dan pangeran Nepal itu pun tertawa bergelak. Sudah diduganya. Kalah atau menang, sama saja baginya, tetap akan menyenangkan.
"Pangeran, kenapa tadi tidak mempergunakan sihir untuk mengalahkan Tan Sian Li?" Lulung Lama berkata kepada pangeran itu.
"Hemm, apa kaukira aku begitu bodoh?" Pangeran itu balas bertanya. "Sudah kucoba, akan tetapi gagal, tidak ada pengaruhnya sama sekali! Dan kenapa engkau pun tidak menggunakan sihir untuk menundukkan Sin-ciang Tai-hiap tadi?"
"Omitohud, kalau begitu sama saja. Pinceng juga sudah mencobanya, akan tetapi tidak ada hasilnya sama sekali," kata Lulung Lama.
"Sungguh mengherankan. Kami pun sudah mencoba dengan sihir tadi sebelum menggunakan bubuk racun merah, akan tetapi kekuatan sihir kami seperti tenggelam ke dalam air saja!" kata pula Ji Kui.
Kalau semua orang merasa heran, Dobhin Lama tertawa, "Ha-ha-ha, kalian seperti anak-anak saja. Sudah jelas bahwa pengaruh sihir manjadi punah karena adanya Sin-ciang Tai-hiap di sini. Orang itu berbahaya sekali, maka kita harus berhati-hati. Kulihat tadi ketika dia melindungi gadis itu, ada jarum Pek-lian Sam-li yang mengenai pundak kirinya. Dia telah terluka jarum Pek-lian-tok-ciam!"
"Ah, benarkah itu, Losuhu?" Ji Kui dan dua orang adiknya berseru girang. "Kalau begitu, dia tentu tidak akan dapat lolos! Jarum kami mengandung racun yang sukar dilawan."
Jangan gembira dulu, Sam-li," kata Dobhin Lama. "Pinceng sudah mengenal baik jarum baracun Pek-tian-tok-ciam. Bukankah siapa yang terkena jarum itu tentu akan lumpuh seketika? Dan melihat betapa Sin-ciang Tai-hiap masih dapat melarikan diri, hal itu menunjukkan bahwa dia memang lihai bukan main. Belum tentu jarummu akan dapat membuat dia tak berdaya. Bagaimanapun juga kita harus berhati-hati dan suruh anak buah melakukan penjagaan ketat."
Mereka melanjutkan pertemuan itu untuk membicarakan gerakan mereka dan mengatur rencana dan membagi tugas kerja. Sian Lun yang sudah tak berdaya itu diserahkan kepada Pek-lian Sam-Li untuk menjaga dan menundukkannya. Tiga orang wanita itu dengan wajah berseri lalu mengajak Pangeran Gulam Sing dan memondong tubuh Sian Lun, pergi mengundurkan diri.
"Cukup, berhenti!" Sian Li merenggutkan tangannya dan sekali ini ia berhasil. Mereka berada di kaki bukit yang sunyi, dikelilingi hutan-hutan kecil dan rawa-rawa. Orang yang bercaping lebar itu sekali ini tidak mempertahankan pegangannya dan melepaskan lengan kiri Sian Li.
Sian Li menghentikan langkahnya. Matahari sudah condong ke barat, senja menjelang tiba. Ia menghadapi laki-laki itu dengan alis berkerut.
"Kenapa engkau memaksaku berlari-lari, melarikan diri seperti pengecut-pengecut yang ketakutan?" dua kali Sian Li mengajukan pertanyaan ini dengan muka merah. "Kenapa?"
Orang itu menghela napas panjang beberapa kali, kemudian terdengar suaranya yang lembut, "Karena aku tidak ingin melihat engkau tewas di sana."
"Akan tetapi, aku tidak takut mati!" Sian Li berkata dan membanting kakinya dengan marah. Pendekar itu tidak menjawab, lalu melangkah pergi meninggalkan Sian Li. Gadis itu hendak marah-marah, akan tetapi ia melihat betapa pendekar itu langkahnya gontai dan agak terhuyung. Tentu saja ia menjadi heran dan mengikuti dari belakang. Orang bercaping lebar itu menuju ke sebuah guha besar yang tertutup rumpum semak-semak berduri, dan agaknya sudah biasa dia berada di situ. Ketika dia memasuki guha, Sian Li mengikuti dan ternyata guha itu terpelihara dan bersih, merupakan ruangan yang terlindung. Begitu memasuki guha, pendekar aneh itu lalu duduk bersila, seolah tidak mempedulikan lagi kepada Sian Li.
Gadis ini tentu saja menjadi semakin marah. Orang ini biarpun pernah beberapa kali menolongnya, akan tetapi sekali ini telah bertindak keterlaluan. Sudah memaksa ia melarikan diri, sekarang malah mengacuhkannya sama sekali.
"Heiiii! Engkau ini ternyata hanyalah seorang pendekar yang mempunyai pikiran tidak senonoh!" bentaknya semakin marah.
Pendekar itu menggerakkan kepalanya yang tadi bertunduk, akan tetapi tidak langsung menghadapkan mukanya yang tertutup rambut dan tirai.
"Kenapa engkau menuduh demikian?" tanyanya, masih lembut dan penuh kesabaran.
"Buktinya, engkau hanya melarikan aku. Kalau memang hendak menolong, kenapa hanya aku yang kautolong, dan meninggalkan Suheng di sana?"
"Dia sudah tertawan, kalau kubiarkan engkau akan tertawan pula."
"Aku tidak takut! Suheng telah ditawan, aku pun harus menolongnya, tidak peduli aku akan tertawan pula atau mati sekalipun!"
Sejenak orang itu tidak berkata-kata, kemudian terdengar suaranya lirih, "Engkau tentu.... amat sayang kepada suhengmu itu."
"Tentu saja! Dia Suhengku, kalau bukan aku yang menolongnya, lalu siapa lagi?"
"Kalau engkau tadi tewas atau tertawan, lalu bagaimana engkau akan dapat menolong suhengmu?"
Ucapan itu menyadarkan Sian Li dan ia pun termangu. Sin-ciang Tai-hiap berkata lagi, "Mereka terlalu banyak dan juga banyak orang lihai. Karena terpaksa aku mengajakmu melarikan diri dari sana agar kita dapat mengatur siasat untuk dapat menolong suhengmu...." Ucapan itu tidak dilanjutkan, berhenti tiba-tiba dan pendekar itu menundukkan mukanya.
Sian Li masih curiga, apalagi melihat orang itu menghentikan ucapannya dengan tiba-tiba dan sikapnya seperti orang yang menyembunyikan sesuatu. Ia tidak mengenal siapa orang ini, tidak tahu pula bagaimana wataknya. Siapa tahu semua itu hanya siasat saja dan orang yang selalu menyembunyikan mukanya itu memang mempunyai niat yang tidak baik.
"Sudahlah, aku harus kembali ke sana sekarang juga untuk membebaskan Suheng!" katanya dan ia pun hendak meninggalkan tempat itu. Akan tetapi, pendekar bercaping itu sudah mendahuluinya bergerak dan menghadang di depannya.
"Jangan! Sekarang belum boleh...."
Benar saja dugaannya. Orang ini mempunyai niat yang tidak baik, pikir Sian Li kecewa. Sebelum ini, ia selalu mengenang Sin-ciang Tai-hiap yang pernah menolong ia dan suhengnya, membuat ia kagum dan ingin sekali bertemu. Setelah jumpa, kekagumannya menghilang karena ulah pendekar itu yang amat mencurigakan, dan kini ia malah menjadi marah sekali.
"Siapa pun tidak boleh melarang aku menolong Suhengku!" bentaknya dan ia pun maju terus dan mendorong pendekar yang menghadang itu dengan tangan kirinya. Tangan kirinya mengenai dada orang itu dan.... pendekar itu terdorong ke belakang, terhuyung lalu roboh!
Tentu saja Sian Li merasa heran dan terkejut bukan main. Mengapa orang itu menjadi demikian lemah? Ia cepat menghampiri dan keheranannya bertambah ketika melihat bahwa orang itu telah pingsan! Wajahnya masih tertutup rambut dan tirai, akan tetapi napasnya terengah ketika ia menyentuh lengannya, terasa amat panas! Sian Li menjadi khawatir sekali. Sebagai murid Yok-sian Lo-kai yang sudah mempelajari ilmu pengobatan dari Dewa Obat itu, sekali pegang nadi orang itu tahulah ia bahwa tubuh orang itu telah keracunan secara hebat! Racun yang berhawa panas, pikirnya dengan lega. Kalau racun yang mengandung hawa panas, masih lebih mudah untuk diobati, dibandingkan racun berhawa dingin. Jelas bahwa pendekar ini keracunan dan teringatlah ia ketika Sin-ciang Tai-hiap tadi membantunya. Ia diserang jarum-jarum oleh Pek-lian Sam-li dan pendekar ini yang melompat dan meruntuhkan jarum-jarum itu dengan lengan bajunya, gerakan yang membuat ia kagum bukan main. Jangan-jangan ada jarum yang mengenai tubuh pendekar ini. Tangannya merab-raba dan akhirnya ia tahu bahwa memang benar racun itu berpusat di pundak kirinya. Tanpa ragu lagi Sian Li merobek baju di pundak kiri dan benar saja. Ada bintik kehijauan di situ, kecil sekali dan ia pun tahu bahwa tentu jarum itu memasuki bagian tubuh itu dan meracuni darah.
Sebagai murid Yok-sian Lo-kai yang pandai, Sian Li tahu apa yang harus dilakukannya. Lebih dahulu ia menotok jalan darah di sekitar pundak untuk mencegah menjalarnya racun, kemudian dengan ujung pedangnya yang tajam ia menoreh bintik hijau itu sehingga kulit dan dagingnya terbuka dan ia mencokel keluar sebatang jarum hitam kehijauan. Kemudian, ia menyedot luka itu dengan mulutnya, menghisap keluar darah yang keracunan, lalu menaruh obat bubuk pada luka di pundak. Setelah itu, ia mengeluarkan jarum emas dan perak yang ia dapatkan dari Yok-sian Lo-kai dan melakukan pengobatan dengan tusuk jarum di beberapa bagian tubuh untuk memunahkan sisa hawa beracun yang mengeram di tubuh Sin-ciang Tai-hiap.
Kurang lebih setengah jam ia memberi pengobatan sampai ia merasa yakin benar bahwa pendekar itu telah terbebas dari racun. Ia memulihkan jalan darah pendekar itu. Pernapasannya mulai normal kembali dan tubuhnya tidak panas seperti tadi. Melihat pendekar itu masih rebah telentang dalam keadaan tak sadar timbul keinginan hati Sian Li untuk melihat wajahnya. Dia masih pingsan, apa salahnya kalau ia melihat wajahnya sebentar saja? Orang ini selalu menyembunyikan muka. Kenapa? Cacadkah dia? Atau ada rahasia lain? Sekarang ia tahu bahwa tadi kecurigaannya tidak beralasan sama sekali. Pendekar ini jauh daripada apa yang ia curigakan. Sama sekali tidak mempunyai niat buruk, apalagi tak senonoh. Pendekar tadi menderita luka beracun yang parah ketika tadi menolongnya.
Karena itulah maka pendekar itu memaksanya melarikan diri, karena kalau tidak, tentu mereka berdua sudah tertawan pula, atau terbunuh. Dan memang benar. Kelau pendekar itu tidak memaksanya melarikan diri, tentu mereka bertiga sudah tertawan dan tidak ada kesempatan sama sekali untuk menolong suhengnya. Pendekar ini benar. Ia yang terburu nafsu dan mencurigainya. Apa salahnya memandang sebentar saja wajahnya yang penuh rahasia, mengambil kesempatan selagi dia belum siuman?
Dengan jari-jari tangan gemetar karena tegang dan juga diam-diam merasa malu kepada diri sendiri bahwa ia telah mencuri dan membuka rahasia orang Sian Li menyingkap tirai di depan muka itu, lalu menyingkap rambut yang terurai awut-awutan menutupi muka. Ia melihat sebuah wajah yang tampan. Muka itu berbentuk lonjong dengan dagu runcing dan ujung dagu berlekuk, alis yang tebal hitam dengan mata terpejam, dahinya lebar, hidung mancung dan bentuk muka yang amat dikenalnya. Ia terbelalak, tak bergerak seperti patung, lalu bibirnya berbisik berulang-ulang, seolah tidak percaya kepada pandang matanya sendiri.
"Yo Han....? Suheng.... Kakak Yo Han....?" Akan tetapi, ia membantah sendiri. Tidak mungkin ini suhengnya yang selama bertahun-tahun dirindukannya itu. Suhengnya itu selamanya tidak pernah suka berlatih silat. Suhengnya itu amat baik kepadanya, seperti kakak kandungnya sendiri, akan tetapi sama sekali tidak pandai silat walaupun ayah ibunya berusaha untuk menggemblengnya. Dan pendekar ini memiliki ilmu silat yang amat tinggi.
Akan tetapi wajah ini....! Bagaimana mungkin ia bisa salah? Wajah ini hampir tidak pernah meninggalkan lubuk hatinya. Biarpun kini telah menjadi seorang laki-laki dewasa, namun bentuk muka itu tidak berubah. Dahi itu, hidung mulut dan dagu itu! Ah, ia teringat akan sesuatu. Pernah ketika suhengnya ini mandi di sungai kecil dan bertelanjang tubuh bagian atas, ia melihat sebuah tahi lalat sebesar kedele di dada suhengnya itu, tepat di tengah ulu hatinya. Semenjak itu, sering kali ia menggoda dan memperolok suhengnya dengan tahi lalat itu. Dengan jari tangan menggigil Sian Li membuka kancing baju pendekar itu untuk melihat dadanya. Ia membuka baju itu dan.... di sanalah, tepat di tengah ulu hati, bertengger tahi lalat itu.
"Kakak Yo Han....!" Kini ia tidak ragu lagi dan ia merangkul, menangis!
Pendekar itu membuka mata dan melihat Sian Li menangis di atas dadanya, ia mendorongnya dengan halus dan bangkit duduk. "Nona.... kau...." Akan tetapi dia tidak melanjutkan ucapannya karena Sian Li sudah memandangnya dengan mata yang berlinangan air mata, akan tetapi mulut gadis itu tersenyum, sinar matanya penuh kebahagiaan.
"Han-suheng (Kakak Seperguruan Han), Han-koko (Kakanda Han), kenapa engkau bersikap begini terhadap aku? Benarkah engkau tidak mengenal aku lagi? Aku Sian Li, Tan Sian Li....!"
Akan tetapi Yo Han, yang selama beberapa tahun ini berkeliaran di perbatasan Tibet dan dijuluki Sin-ciang Tai-hiap oleh mereka yang pernah ditolongnya, tidak merasa heran. Tentu saja dia sudah tahu atau dapat menduga siapa adanya gadis remaja berpakaian serba merah itu.
"Sian Li.... Sumoi...." katanya dan sinar matanya mengandung kasih sayang sedemikian mendalam sehingga Sian Li teringat akan masa lalu, ketika ia merasakan benar kasih sayang suhengnya ini kepadanya.
"Suheng....!" Dan lupa akan segala, lupa bahwa ia bukan lagi kanak-kanak, ia menubruk dan merangkul Yo Han, menangis di dalam rangkulan pendekar itu! Yo Han membiarkan saja dan mengelus rambut yang halus itu, maklum bahwa di saat seperti itu, semua peraturan telah terlupakan, yang ada hanya peluapan perasaan. Pada saat itu, dia tahu bahwa perasaan gembira, terharu dan bahagia meluap di hati Sian Li. Dia sendiri pun merasa terharu dan tak terasa kedua matanya menjadi basah. Betapa sering dia membayangkan dan mengenang Sian Li, dengan hati penuh kerinduan. Hampir dia tidak dapat percaya akan tiba saat seperti sekarang ini, di mana dia merangkul Sian Li yang menangis di dadanya.
Setelah gejolak perasaan itu mereda, Yo Han mendorong kedua pundak gadis itu dengan lembut, bahkan memegang kedua pundak itu dan mengamati wajahnya sambil tersenyum. Sepasang matanya mencorong sehingga diam-diam Sian Li terkejut dan kagum. Kalau ada perubahan pada diri suhengnya ini, barangkali hanya pada sinar matanya itulah. Ia pun membalas, mengamati wajah Yo Han.
"Aihh, adikku yang dulu begitu bengal tabah, keras hati dan pemberani, kenapa sekarang telah berubah menjadi seorang gadis yang cantik dan cengeng?"
Seketika sinar mata itu bernyala. "Aku tidak cengeng! Aku menangis karena haru dan bahagia! Aih, Han-ko, selama ini engkau ke mana sajakah? Dan kenapa pula engkau tega meninggalkan aku sampai bertahun-tahun? Bagaimana pula engkau tahu-tahu telah menjadi seorang pendekar sakti dan berjuluk Sin-ciang Tai-hiap? Kenapa pula engkau selalu menyembunyikan muka dan tidak ingin dikenal orang? Apa pula yang menyebabkan engkau menjadi seorang petualang di daerah ini dan kenapa tidak kembali kepada kami?"
Diberondong pertanyaan-pertanyaan seperti itu, Yo Han tersenyum dan memandang wajah Sian Li penuh kasih sayang. Sian Li masih cerewet, masih lucu seperti dulu!
"Panjang ceritanya, Li-moi. Akan tetapi.... apakah engkau sudah melupakan suhengmu yang ditawan oleh gerombolan Lama Jubah Hitam?"
Sian Li seperti baru teringat kepada Sian Lun. "Ah, engkau benar juga, Han-ko. Kita harus cepat menolong dan membebaskannya, sekarang juga!"
Yo Han mengangguk dan diam-diam hatinya merasa girang. Adik seperguruan yang sejak kecil sudah dianggap seperti adiknya sendiri dan yang amat disayangnya ini ternyata merupakan seorang gadis gagah perkasa yang bertanggung jawab dan juga setia.
"Tidak akan ada gunanya kalau kita menyerbu ke sana sekarang. Malam hampir tiba dan selain di sana banyak terdapat orang lihai, juga penjagaan amat kuat dan dipasangi banyak jebakan berbahaya. Kita memang harus membebaskannya, akan tetapi tidak sekarang. Besok pagi aku akan berkunjung ke sana dan minta kepada Dobhin Lama, Ketua Lama Jubah Hitam, agar suhengmu dibebaskan.
"Tapi.... kenapa harus menanti sampai besok? Bagaimana kalau kita telambat dan terjadi apa-apa dengan Suheng? Mungkin saja dia dibunuh!"
"Jangan khawatir, Li-moi. Aku sudah tahu akan sepak terjang gerombolan Lama Jubah Hitam. Mereka tidak memusuhi para pendekar, bahkan ingin merangkul dan mengajak para pendekar bersekutu. Mereka membutuhkan kerja sama dan bantuan orang-orang pandai dalam usaha mereka merebut tahta kekuasaan di Tibet. Perjuangan melawan pemerintah Mancu hanya sebagai sarana untuk memperoleh dukungan para pendekar saja. Pada hakekatnya, yang terpenting bagi mereka adalah menguasai Tibet seperti juga orang-orang Nepal itu bercita-cita untuk merampas kekuasaan di Nepal dan mereka mencari sekutu agar kelak dapat membantu mereka. Jangan khawatir, suhengmu tidak akan dibunuh, mungkin bahkan dibujuk untuk bakerja sama dengan mereka."
Legalah rasa hati Sian Li. Ia percaya sepenuhnya kepada Yo Han, bukan hanya percaya karena Yo Han adalah suhengnya yang sejak dahulu paling disayangnya dan dipercayainya, akan tetapi juga karena ia ingat bahwa sudah lama Yo Han bertualang di daerah ini dan tentu mengenal benar keadaannya sehingga keterangannya tadi pasti benar.
"Baiklah kalau begitu, aku menyerahkan kepadamu agar Suheng dapat bebas dari tangan mereka. Sekarang, herap kauceritakan semua pengalamanmu sejak kita saling berpisah, Han-ko."
Yo Han merasa girang bahwa Sian Li menyebut dia koko (kakak), bukan suheng (kakak seperguruan) karena bagaimanapun juga dia tidak pernah dengan sungguh-sunggguh belajar silat dari ayah ibu Sian Li.
"Memang sebaiknya malam ini kita lewatkan dengan saling menceritakan pengalaman, Li-moi. Akan tetapi aku ingin tahu lebih dulu, bagaimana engkau dapat mengobati luka beracun di pundakku. Kurasakan racun itu cukup berbahaya dan kalau harus menggunakan kekuatan sendiri untuk mengusirnya dan menyembuhkan luka beracun itu, tentu akan menggunakan waktu sedikitnya sepuluh hari. Akan tetapi sekarang aku telah sembuh sama sekali! Bagaimana engkau dapat memiliki kepandaian pengobatan yang begini hebat?"
Biasanya, Sian Li tidak haus pujian, bahkan ia akan menganggap seorang pria merayu kalau memujinya. Akan tetapi entah bagaimana sekali ini menerima pujian dari Yo Han, ia merasa amat girang dan bangga.
"Aku mempelajari ilmu pengobatan dari Yok-sian Lo-kai," katanya sederhana untuk menyembunyikan rasa bangga dan senangnya.
"Ah, begitukah? Pantas saja kalau begitu. Aku sudah mendengar nama besar Dewa Obat itu. Dan kulihat ilmu silatmu juga hebat, agaknya engkau telah menguasai benar Pek-ho Sin-kun dari Suhu, akan tetapi aku melihat gerakan lain yang bukan dari ayah ibumu."
Sian Li mengangkat telunjuk kanan dan mengamangkannya kepada Yo Han. "Nah, nah kau mau mengakali aku, ya? Engkau belum menceritakan sedikit juga tentang pengalamanmu dan engkau sudah memancing-mancing agar aku menceritakan segala tentang diriku."
Yo Han tertawa. Sudah lama dia tidak pernah merasakan kegembiraan hati seperti saat itu. Dan dia bersyukur kepada Tuhan bahwa dia dipertemukan dengan Sian Li di tempat yang sama sekali tidak pernah disangkanya ini dan melihat Sian Li telah menjadi seorang gadis yang cantik jelita, manis budi dan gagah perkasa.
Yo Han menceritakan pengalamannya dengan singkat saja. "Setelah aku meninggalkan tempat tinggal orang tuamu di Ta-tung...."
"Nanti dulu, ceritakan dulu kenapa engkau meninggalkan aku, meninggalkan kami dan sampai selama ini tidak pernah kembali, Han-ko!"
Yo Han menatap wajah gadis itu dan menarik napas panjang. Sekali lagi dia harus menghadapi suatu kenyataan dalam hidup ini, bahwa biarpun membohong adalah perbuatan tidak baik, namun ada waktunya perlu sekali orang membohong! Membohong bukan dalam arti menipu demi keuntungan pribadi, melainkan membohong agar jangan sampai menyinggung atau menyakiti perasaan orang yang dibohonginya! Kalau sekarang dia berterus terang bahwa dia meninggalkan keluarga gadis itu karena mendengar ayah ibu gadis itu menyatakan keinginan hati agar Sian Li jauh darinya, tentu cerita ini akan mengguncang perasaan Sian Li dan bukan hanya menyinggung, namun menyakitkan dan membingungkan. Maka, dia harus berbohong!
"Lupakah engkau, Li-moi? Aku menggantikanmu menjadi tawanan Ang I Moli. Aku sudah berjanji kepadanya bahwa kalau ia mengembalikan engkau kepada orang tuamu, aku akan menggantikanmu menjadi muridnya." Lega rasa hati Yo Han setelah dia mulai memberi keterangan. Bagaimanapun juga, dia tidaklah berbohong, hanya tidak berterus terang menceritakan keadaan selengkapnya.
Tentu saja Sian Li masih ingat akan semua itu. Bahkan dahulu ketika Yo Han pergi, hampir setiap hari ia menangis dan menanyakannya, dan ia pun teringat akan pembelaan Yo Han kepadanya terhadap Ang I Moli.
"Han-ko, jadi engkau telah menjadi murid iblis betina itu?"
"Tidak, Li-moi. Ia jahat bukan main, jahat dan kejam. Aku tidak suka menjadi muridnya. Aku berhasil lolos darinya dan aku mendapatkan seorang guru di tempat rahasia. Guruku itu kini telah tiada, dan aku merantau ke sini adalah untuk memenuhi pesan terakhir guruku."
"Mencari mutiara hitam itu?"
"Benar, Li-moi. Benda mustika itu dahulu milik guruku yang hilang dicuri orang. Aku hanya ingin merampasnya kembali untuk memenuhi pesan mendiang Suhu."
"Dan engkau malang melintang di daerah barat ini sebagai Sin-ciang Tai-hiap?"
Yo-Han menarik napas panjang. Selama bertahun-tahun dia berhasil menyimpan rahasia dirinya, akan tetapi, sekali ini rahasianya terbuka, bukan oleh orang lain, bahkan oleh Sian Li!
"Ternyata tidak mudah mencari mutiara hitam seperti yang menjadi pesan terakhir Suhu," dia bercerita. "Suhu hanya mengatakan bahwa benda pusaka itu berada di daerah barat ini. Sampai hampir lima tahun aku berkeliaran di sini, bahkan sudah menjelajah sampai ke daerah Tibet, namun belum berhasil. Dalam penjelajahan itulah aku bertemu dengan hal-hal yang menggerakkan hatiku untuk turun tangan menentang kejahatan. Aku tidak ingin dikenal orang, maka aku selalu menyembunyikan mukaku dan tidak memperkenalkan diri. Orang-orang memberi julukan Sin-ciang Tai-hiap. Aku membiarkan saja dan tidak ada seorang pun tahu bahwa akulah Sin-ciang Tai-hiap. Baru hari ini ada yang tahu, yaitu engkau Li-moi."
Sian Li tertawa dan suasana menjadl akrab sekali ketika dara itu tertawa. Yo Han teringat akan masa lalu. Suatu tawa Sian Li seperti bunyi musik merdu yang mendatangkan perasaan bahagia dalam hatinya. Seperti tetesan air hujan pada hatinya yang selama ini seperti tenah kering. Terasa demikian sejuk den segar dan dia pun tak dapat menahan timbulnya senyum lebar penuh kebahagiaan yang membuat wajahnya berseri.
"Hi-hi-hik, heh-heh, engkau ini sungguh aneh dan lucu, Han-ko. Engkau ingin menyembunyikan diri, tidak ingin dikenal orang, ataukah engkau bahkan ingin memopulerkan julukanmu atau penyamaranmu itu? Dengan penyamaranmu itu, maka semakin terkenallah Sin-ciang Tai-hiap sebagai seorang pendekar yang rambutnya riap-riapan, bercaping yang ditutupi tirai! Sebaliknya, kalau engkau tidak menyamar lagi, tidak menyembunyikan diri, siapa yang akan tahu bahwa engkau adalah Sin-ciang Tai-hiap? Kenapa mesti menyamar lagi, Han-ko?"
Yo Han mengangguk-angguk. "Engkau benar, Li-moi. Aku sudah begitu khawatir untuk dikenal orang maka aku bahkan membuat Sin-ciang Tai-hiap semakin terkenal karena dipenuhi rahasia. Mulai sekarang aku akan menanggalkan penyamaran sebagai Sin-ciang Tai-hiap, dan aku akan menjadi Yo Han biasa saja...." Setelah berkata demikian, Yo Han yang sudah menanggalkan capingnya itu lalu menggelung rambutnya, tidak lagi dibiarkan riap-riapan. Dia menggelung rambut, tidak dikuncirnya karena dia tidak senang harus mentaati peraturan pemerintah Mancu agar semua orang Han menguncir rambutnya. Peraturan itu dianggapnya menghina.
"Tapi jangan dibuang caping itu, Han-ko. Pertama, benda itu memang berguna untuk melindungi kepalamu dari panas dan hujan, dan ke dua, siapa tahu kadang-kadang kauperlukan juga tokoh Sin-ciang Tai-hiap itu."
"Li-moi, sudah cukup aku menceritakan pengalamanku, sekarang kaulah yang harus menceritakan padaku keadaanmu. Semenjak kita saling berpisah. Engkau kini telah menjadi seorang gadis dewasa yang cantik jelita, lincah dan juga lihai ilmu silatnya. Tentu sekarang usiamu sudah dewasa, Li-moi."
"Ketika engkau pergi, usiaku empat tahun, Han-ko. Kita saling berpisah selama tiga belas tahun lebih, Jadi usiaku sekarang hampir delapan belas tahun. Aku belajar ilmu silat dari Ayah dan Ibu, kemudian aku menerima gemblengan dari Paman Kakek Suma Ceng Liong dan isterinya di dusun Hong-cun dekat kota Cin-an. Di sana aku bertemu dengan Suheng Liem Sian Lun, murid mereka. Selain itu, juga aku belajar ilmu pengobatan dari Yok-sian Lo-kai."
"Wah, engkau beruntung sekali, Limoi, mendapat ilmu-ilmu dari banyak orang sakti. Akan tetapi bagaimana engkau dan suhengmu itu dapat berada di sini, amat jauh dari tempat tinggal orang tuamu?"
"Aku dan Suheng Sian Lun sedang dalam perjalanan pulang. Kami baru saja berkunjung ke Bhutan, Han-ko."
"Bhutan? Kenapa pergi ke tempat yang demikian jauh?"
Sian Li lalu bercerita tentang Gangga Dewi dan paman kakeknya Suma Ciang Bun, tentang perjalanan mereka yang jauh, juga tentang pengalamannya ketika bertemu dan bertentangan dengan Lulung Lama dan sekutunya.
Dua orang muda yang merasa amat berbahagia dalam pertemuan yang sama sekali tak pernah mereka sangka-sangka itu, bercakap-cakap sampai larut tengah malam. Mereka makan malam secara amat sederhana sekali, dari persediaan makanan yang disimpan Yo Han di dalam guha. Mereka saling menceritakan pengalaman masing-masing, menjawab semua pertanyaan. Setelah lewat tengah malam, barulah mereka istirahat dan tidur saling mengetahui hampir semua keadaan diri masing-masing. Hanya ada sebuah hal yang masih membuat Yo Han sangsi dan ragu, yaitu tentang hubungan batin aratara Sian Li dan suhengnya. Mereka adalah kakak beradik seperguruan, akan tetapi apakah tidak lebih daripada itu? Mereka adalah seorang pemuda dan seorang gadis tidak ada hubungan darah, dan keduanya tampan dan cantik, melakukan perjalanan berdua saja. Tidak aneh kalau mereka itu saling mencinta, bahkan agaknya tidak wajar kalau tidak ada perasaan cinta di antara mereka. Yo Han tidak berani bertanya akan hal itu, akan tetapi dia menduga bahwa Sian Li agaknya amat mencinta suhengnya itu. Dan dia pun tidak akan merasa heran, suheng Sian Li itu memang seorang pemuda yang tampan dan gagah, sudah sepatutnya kalau menjadi jodoh Sian Li. Hanya, dia merasa heran dan tidak enak mengapa hatinya menjadi pedih membayangkan kakak beradik seperguruan itu saling mencinta dan menjadi jodoh.
Bahkan bayangan ini menghantuinya, membuat dia gelisah dan tidak dapat pulas. Baru setelah jauh lewat tengah malam, dia dapat mengusir gangguan itu dan tidur pulas.
Pada keesokan harinya, Yo Han menunjukkan kepada Sian Li anak sungai berair jernih yang mengalir tak jauh dari guha itu, di mana dara itu dapat membersihkan diri. Mereka mandi bergantian dan dengan badan segar mereka sarapan pagi seadanya, hanya roti kering dan daging kering yang dihangatkan di atas api ungun, kemudian mereka meninggalkan guha.
"Kita harus menolong suheng, Hanko," kata Sian Li ketika mereka keluar dari hutan.
"Tentu saja, Li-moi." Dia menepuk buntalan pakaiannya. "Aku sudah mempersiapkan capingku. Kalau aku menghadapi para Lama, aku harus berperan sebagai Sin-ciang Tai-hiap. Aku akan minta dengan hormat kepada mereka untuk membebaskan suhengmu."
"Akan tetapi bagaimana mungkin, Han-ko? Bagaimana kalau mereka tidak menuruti permintaanmu?"
"Aku tidak pernah bermusuhan dengan para Lama itu, dan mereka adalah orang-orang yang menghargai kegagahan. Kalau perlu, aku akan menantang mereka dengan taruhan bahwa kalau aku menang, mereka harus memenuhi permintaanku."
"Kalau kau kalah?"
"Hemm, kita harus bertanggung jawab dan tidak lari dari kenyataan, Li-moi. Kalau aku kalah, mereka boleh melakukan apa saja terhadap diriku."
"Tapi.... itu berbahaya sekali, Han-koi"
Yo Han tersenyum. "Aku tahu, Limoi, sejak aku mempelajari ilmu silat, tahulah aku bahwa aku telah terjun ke dalam dunia kekerasan di mana terdapat penuh bahaya. Akan tetapi, hidup seperti apakah yang tidak berbahaya? Hidup itu sendiri Sudah merupakan suatu bahaya, Li-moi. Hidup adalah perjuangan, suatu perjuangan orang tiada hentinya melawan bahaya yang datang dari segala jurusan.
Hidup merupakan suatu tantangan yang harus kita perjuangkan, kita hadapi, dan perjuangan itu adalah untuk mengatasi semua tantangan itu, semua bahaya itu!"
Sian Li mengerutkan alisnya dan saking tertarik, ia menghentikan langkahnya, memandang kepada pemuda itu. "Eh? Apa maksudmu, Han-ko? Kehidupan seorang dari dunia persilatan seperti kita memang menghadapi banyak tantangan, banyak bahaya, akan tetapi kehidupan seorang biasa, apakah bahaya dan tantangannya?"
Yo Han tersenyum, "Tiada bedanya, Li-moi. Apakah kehidupan seorang petani miskin itu tidak penuh tantangan yang harus mereka hadapi dan atasi tantangan itu dapat datang dari kemiskinannya, dari kesehatan yang terganggu, dari kesejahteraan keluarganya, dari kerukunan keluarganya. Orang dapat ditentang oleh kekurangan makan pakaian dan tempat tinggal, oleh gangguan kesehatan oleh percekcokan rumah tangga, dan seribu satu tantangan lagi. Semua itu mau tidak mau, harus dihadapi dan diatasi, kita tidak mungkin dapat lari darinya, karena itulah isi kehidupan ini, urusan jasmani, urusan duniawi."
"Hemm, kalau orang kaya dan orang berpangkat tentu tidak menghadapi semua tantangan dan kesulitan...."
"Siapa bilang? Mereka pun dapat sakit, dapat cekcok dengan keluarga. Bahkan ditambah lagi. Orang kaya harus mempertahankan kekayaannya, menjaganya agar tidak berkurang atau lenyap, selalu khawatir akan kehilangan. Demikian pula orang berkedudukan selalu ingin mempertahankan kedudukannya, takut kehilangan. Pendeknya, selagi hidup sebagai manusia, kita tidak akan dapat bebas dari tantangan dan bahaya. Justeru itulah isi kehidupan, itulah romantikanya kehidupan. Dan menghadapi semua itu, berusaha mengatasinya. Perjuangannya melawan semua tantangan, itulah seninya, seni kehidupan! Betapa akan membosankan kalau hidup ini tidak ada tantangan yang harus ditanggulangi, dihadapi dan diatasi. Senang baru akan terasa senang kalau kita pernah merasakan susah. Kepuasan yang sebenarnya hanyalah terasa kalau kita pernah merasa kecewa. Bukankah begitu, Li-moi?"
Sian Li terbelalak, kemudian tertawa. "Wah-wah-wah, bicaramu seperti seorang guru besar kebatinan saja, Han-ko. Menurut Ayah dan Ibuku, dahulu engkau tidak suka akan kekerasan, tidak suka belajar silat, akan tetapi sekarang malah menjadi seorang pendekar sakti dan bicaramu seperti seorang pendeta!"
"Li-moi, mengenai kehidupan, apakah hanya para pendeta saja yang harus mengetahuinya? Kehidupan adalah kita sendiri, Li-moi. Sudah sewajarnya, bahkan sepatutnya kalau setiap orang tahu dan mengerti akan kenyataan dalam hidup ini. Sampai sekerang pun aku tidak suka akan kekerasan, Li-moi, karena aku tahu dan yakin benar bahwa kekerasan bukanlah cara terbaik untuk hidup. Namun, menghadapi tantangan dalam kehidupan, sekali waktu kita membutuhkan juga kekuatan untuk menanggulanginya, dan seperti juga semua ilmu, ilmu silat pun amat berguna kalau saja dipergunakan melalui garis yang benar, bukan sebagai alat mengumbar nafsu. Nah, kurasa engkau pun tentu sudah mengerti akan semua itu, karena aku tahu bahwa orang tuamu adalah sepasang suaml isteri yang bijaksana. Apalagi engkau telah digembleng oleh paman kakekmu dan isterinya, juga oleh seorang tokoh besar seperti Yok-sian Lo-kai."
Sian Li mengangguk-angguk kagum. "Cara mereka bicara tidak jauh bedanya dengan apa yang kaukatakan semua tadi, Han-ko...."
"Hemmm, ada orang-orang datang ke sini, Li-moi. Jangan katakan bahwa aku adalah Sin-ciang Tai-hiap...."
Sian Li mengangkat muka memandang ke depan dan benar saja. Ada enam orang datang dengan langkah lebar. Dari jauh saja, sudah nampak bahwa lima orang di antara mereka adalah para pendeta Lama Jubah Hitam, dapat dilihat dari kepala mereka yang gundul dan jubah hitam mereka yang lebar. Yang seorang lagi adalah seorang pemuda. Setelah mereka datang lebih dekat dan Sian Li mengenal siapa pemuda itu, wajahnya berubah merah dan ia menjadi marah. Pemuda itu bukan lain adalah Cu Ki Bok murid Lulung Lama yang kurang ajar itu. Dan lima orang gundul itu adalah lima orang anggauta Hek I Lama.
"Jahanam busuk! Akan kubunuh kalian!" Sian Li sudah meraba gagang pedangnya, akan tetapi Yo Han menyentuh lengannya,
"Sabarlah, Li-moi, biarkan mereka mengatakan dulu apa maksud mereka mencari kita."
Kini Cu Ki Bok sudah tiba di depan mereka. Pemuda yang tinggi tegap dan tampan gagah itu tersenyum, dan lima orang pendeta Lama yang berdiri di belakangnya, diam tak bergerak seperti patung. "Selamat pagi, Nona Tan Sian Li. Senang sekali bertemu denganmu, karena Nona tentu akan dapat memberi tahu kepada kami di mana kami dapat bertemu dengan Sin-ciang Tai-hiap."
Sian Li tersenyum mengejek. "Hemm, keparat busuk, andaikata aku tahu sekalipun tak akan sudi aku memberitahukan kepadamu!"
"Hemm, Nona jangan berlagak. Kalau tidak ada Sin-ciang Tai-hiap, apa kaukira akan mampu lepas dari tangan kami? Sekarang kami menginginkan Sin-ciang Tai-hiap, untuk menyampaikan pesan dari ketua kami. Katakan di mana aku dapat bertemu dengan dia, dan aku tidak akan mengganggumu lagi, melihat muka pendekar itu."
"Sobat, katakan saja kepada kami apa yang akan kausampaikan kepada Sin-ciang Tai-hiap, dan kamilah yang akan menyampaikan kepadanya," kata Yo Han dengan suara tenang dan lembut.
Cu Ki Bok memandang kepada Yo Han dengan alis berkerut, jelas bahwa dia memandang rendah kepada pemuda itu, tidak mengenalnya, akan tetapi merasa tidak senang karena pemuda ini berdua dengan gadis yang dirindukannya.
"Siapa kamu? Dan mengapa aku harus menyampaikan pesanku untuk Sin-ciang Tai-hiap kepada kamu?"
Sian Li marah sekali melihat sikap dan mendengar ucapan yang nadanya menghina dan memandang rendah itu. Akan tetapi Yo Han tersenyum, girang bahwa kini dia dapat menghadapi orang tanpa menyembunyikan wajah aselinya dan orang itu tidak mengenalnya. Benar juga pendapat Sian Li semalam. Sin-ciang Tai-hiap yang harus dirahasiakan, bukan Yo Han!
"Namaku Yo Han, dan aku orang biasa saja, akan tetapi aku telah dipesan oleh Taihiap bahwa jika ada orang yang mencarinya, boleh menyampaikan kepada kami berdua. Kalau engkau percaya kepada kami, nah, katakan apa yang kau ingin sampaikan kepadanya. Kalau tidak percaya, sudahlah, kau cari saja sendiri."
Sian Li mengeluarkan suara tawa mengejek. "Huh, mana pengecut ini berani mencari Sin-ciang Tai-hiap? Baru melihatnya saja, dia akan lari terbirit-birit!" Lalu dilanjutkannya dengan nada suara marah, "Kawanan srigala ini licik dan pengecut, beraninya hanya main keroyokan. Buktinya, Suheng ditawan karena keroyokan. Jahanam Cu Ki Bok, kalau kalian mengganggu Suhengku, aku akan membasmi kalian semua, tak seorang pun kubiarkan hidup!"
Mendengar ucapan yang keras itu, Cu Ki Bok tidak menjadi marah, bahkan dia tertawa geli. "Ha-ha-ha, kau kira suhengmu itu kami ganggu, Nona? Nona masih saja salah sangka. Kami bukanlah penjahat. Kami adalah pejuang-pejuang yang bercita-cita mengusir penjajah Mancu. Kami membutuhkan kerja sama dengan para pendekar. Bukankah ketua kami tadinya juga menawarkan kerja sama dengan Nona dan suheng Nona itu? Dan sekarang suhengmu dengan suka rela membantu kami, dan dia hidup bersenang-senang. Hemm, suhengmu memang pandai mempergunakan kesempatan, aku sendiri sampai iri melihat dia bersenang-senang seperti itu...."
"Kau bohong!" Sian Li membentak, akan tetapi diam-diam ia ingin sekali tahu kesenangan apa yang dimaksudkan oleh orang itu.
"Sudahlah, aku pun datang bukan untuk membicarakan urusan Liem Sian Lun. Aku diutus oleh ketua kami untuk bicara dengan Sin-ciang Tai-hiap. Kuharap saja dia akan muncul menemui kami."
"Orang macam engkau tidak berharga untuk bertemu dengan Sin-ciang Tai-hiap," kata Sian Li. "Sampaikan saja kepadaku atau kau boleh minggat dari sini."
Wajah Cu Ki Bok berubah merah. Dia merasa direndahkan dan dihina oleh gadis itu, akan tetapi harus diakuinya bahwa dia memang merasa jerih untuk berhadapan dengan pendekar sakti itu. "Baiklah, akan kusampaikan kepadamu, Nona Tan Sian Li, akan tetapi tidak kepada cacing tanah itu." Cu Ki Bok menggerakkan kepala ke arah Yo Han dengan sikap amat merendahkan sehingga wajah Sian Li berubah, merah karena marahnya.
"Cu Ki Bok, kalau engkau menghina kami berdua, berarti engkau menghina Sin-ciang Tai-hiap karena Taihiap telah memberi kuasa kepada kami berdua untuk mewakilinya bicara dengan siapa saja! Nah, katakan kepada kami berdua apa keperluanmu tanpa menghina orang, atau aku akan mewakilinya membunuhmu di sini juga!"
Cu Ki Bok tidak gentar terhadap Sian Li, akan tetapi dia takut kalau Sin-ciang Tai-hiap muncul membantu nona itu. "Baik, dengarlah pesan kami. Ketua kami, Dobhin Lama mengundang Sin-ciang Tai-hiap untuk mengadakan pertandingan adu ilmu...."
"Huh, dan kalian tentu akan menjebaknya dan mengeroyoknya dengan mengandalkan banyak orang, bukan?" Sian Li mengejek. Ia sengaja memanaskan hati pihak lawan.
"Sama sekali tidak!" bantah Cu Ki Bok penasaran. "Nona, engkau belum mengenal siapa adanya Supek (Uwa Guru) Dobhin Lama! Beliau adalah seorang tokoh besar di Tibet yang memiliki kedudukan tinggi. Tidak mungkin Supek menggunakan siasat. Supek telah lama mendengar akan nama besar Sin-ciang Tai-hiap dan kini ingin mengadu ilmu dengan Sin-ciang Tai-hiap. Kalau Sin-ciang Tai-hiap mampu menandingi Supek Dobhin Lama, maka mutiara hitam akan dikembalikan kepadanya."
"Hemm, tidak cukup dengan itu! Kalau dia dapat mengalahkan Dobhin Lama, selain mutiara hitam diserahkan kepadanya, juga Suheng Liem Sian Lun harus dibebaskan!" kata Sian Li. "Kalau syarat ini tidak dijanjikan, aku tidak sudi menyampaikan kepadanya."
"Ha-ha-ha, sekarang juga dia sudah bebas, akan tetapi mana mungkin dia mau meninggalkan segala kesenangan itu? Akan tetapi baiklah, aku yang tanggung bahwa syarat ke dua itu dapat diterima dan disetujui oleh Supek. Kalau Supek kalah, Liem Sian Lun akan dibebaskan dan mutiara hitam akan diserahkan kepada Sin-ciang Tai-hiap. Akan tetapi sebaliknya, kalau Supek yang menang, Sin-ciang Tai-hiap harus membantu perjuangan untuk menentang penjajah Mancu."
Tentu saja Sian Li tidak berani lancang menerima syarat itu, maka ia menoleh kepada Yo Han dan berkata, "Han-ko, bagaimana pendapatmu? Biarpun Taihiap sudah menyerahkan keputusannya kepadaku, akan tetapi aku ingin tanya pendapatmu sebelum menerima syarat itu."
Yo Han mengangguk-angguk. "Sin-ciang Tai-hiap adalah seorang pendekar yang menjunjung tinggi keadilan dan kebenaran. Bangsa Mancu menjajah, hal itu jelas tidak adil dan tidak benar, maka tentu saja dia tidak akan berkeberatan untuk menentang penjajah Mancu."
Sian Li mengangguk-angguk. "Tepat sekali, aku pun berpikir demikian, Hanko. Nah, Cu Ki Bok, akan kusampaikan pesan itu kepada Sin-ciangTai-hiap. Ku ulangi taruhannya. Kalau dia menang, mutiara hitam harus diserahkan kepadanya dan Suhengku harus dibebaskan. Kalau Dobhin Lama yang menang, Sin-ciang Tai-hiap harus membantu perjuangan menentang penjajah Mancu. Kalaudia menerima tantangan itu, lalu kapan pertandingun itu diadakan dan di mana?"
Cu Ki Bok tersenyum. "Dalam hal ini, Supek ingin memperlihatkan iktikad baiknya dan kejujurannya ketika mengajak Sin-ciang Tai-hiap untuk mengadu ilmu. Supek menyerahkan kepada Sin-ciang Tai-hiap untuk menentukan waktu dan tempat."
"Kalau begitu sekarang juga! "Sian Li berkata dengan cepat. Dara yang cerdik ini segera mengambil keputusan yang dianggapnya menguntungkan pihaknya. "Dan tempatnya, di puncak bukit sebelah sana itu!" Ia menunjuk ke arah bukit disebelah kiri. Ia tahu bahwa tempat yang menjadi sarang Hek I Lama berada disebelah kanan, maka bukit itu tentu merupakan tempat bebas dari pengaruh kekuasaan Hek I Lama sehingga kalau diadakan pertandingan di sana, maka pihak musuh tidak akan sempat mengatur siasat untuk menjebak atau mengeroyok.
Cu Ki Bok memandang ke arah bukit itu dan mengangguk-angguk. "Baiklah. Kami akan melapor kepada ketua kami. Sebentar lagi, menjelang tengah hari, tentu Supek telah berada di puncak bukit itu. Harap saja janji kalian bukan merupakan bual kosong belaka. Selamat tinggal!" Cu Ki Bok lalu pergi dari situ diikuti lima orang pendeta Lama.
"Kenapa engkau memilih tempat pertandingan di puncak bukit itu, Li-moi?"
"Aku sengaja memilih tempat yang jauh dari mereka agar kita dapat mendahului mereka ketempa titu sehingga mereka tidak sempat membuat jebakan. Sebaiknya kalau kita sekarang juga pergi ke sana, Han-ko, untuk mengenal medandan mempersiapkan diri."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar