"Suheng....!" Ia mengguncang pundak suhengnya. Akan tetapi suhengnya tetap lemas seperti tidur, atau pingsan, atau tertotok. Ia harus lebih dulu melepaskan ikatan itu kalau ingin membebaskan suhengnya dari totokan. Totokan yang melenyapkan semua tenaga itu harus dibebaskan dengan totokan dan urutan pada punggung, di pusat tenaga tengah pinggang. Dengan pedangnya, Sian Li lalu membikin putus semua tali pengikat tubuh suhengnya. Ia harus merangkul suhengnya agar tidak sampai tubuh itu terkulai jatuh. Dan pada saat ia merangkul suhengnya itulah jala itu jatuh dari atas pohon! Jala yang lebar, yang siap di atas pohon dan tali-talinya dipegangi beberapa orang yang tersembunyi. Tali-tali dilepas dan jala itu pun jatuh menyelimuti Sian Li dan Sian Lun!
Sian Li terkejut bukan main. Ia tidak menyangka akan datang serangan dari atas. Ada beberapa hal yang membuat dara perkasa ini tidak dapat menghindarkan diri dari serangan jala. Pertama, perhatiannya hanya ditujukan kepada suhengnya dan sekelilingnya. Ke dua, baru saja ia menemukan perangkap lubang tertutup lapisan rumput itu sehingga ia menganggap telah terbebas dari ancaman bahaya jebakan dan membuatnya menjadi lengah, dan ke tiga terutama sekali karena ia sedang merangkul suhengnya yang lemas untuk mencegah tubuh yang lemas itu terkulai jatuh.
Sian Li mencoba untuk melepaskan diri, meronta-ronta, akan tetapi segera muncul tujuh orang berpakaian hitam-hitam itu dan tali-tali jala ditarik semakin kuat sehingga ia dan suhengnya terbelit dan terbungkus jala menjadi satu sampai ia tidak mampu bergerak lagi. Dengan mudah saja orang-orang berpakaian hitam itu meringkusnya dan mengikat tangan dan kakinya sebelum ia dikeluarkan dari dalam selimutan jala, demikian pula kaki dan tangan Sian Lun diikat pula. Kemudian, sambil tertawa-tawa tujuh orang itu menaikkan tubuh kedua orang muda itu ke atas punggung kuda, menelungkup dan melintang, dan dipegangi orang yang menunggang kuda, dan mereka lalu pergi dari situ menunggang kuda, menuju ke timur.
Matahari telah naik tinggi ketika rombongan tujuh orang itu berhenti di depan sebuah bangunan yang berada di puncak sebuah bukit. Tempat itu jauh dari dusun dan nampak sunyi, walaupun di kaki bukit tadi terdapat yang ditinggali orang-orang suku Tibet dan ada pula suku Miao.
Sian Lun sadar dan begitu membuka mata dan mendapat kenyataan bahwa dia berada di punggung kuda, menelungkup dan melintang di depan seorang laki-laki tinggi besar yang menunggang kuda itu, dia tahu bahwa dia dibawa pergi dan hatinya merasa lega. Tentu sumoinya telah mendengar teriakannya tadi sebelum dia ditotok pingsan dan sumoinya tidak mau mendekati tempat yang sudah dipasangi jebakan berbahaya itu. Biarlah, biar dia dibunuh sekalipun, asal sumoinya selamat, dia ikut girang.
"Suheng....!"
Sian Lun menengok ke kiri dan terkejut bukan main. Dia terbelalak dan tidak mampu mengeluarkan suara. Lehernya seperti dicekik dan dadanya seperti hendak meledak. Kiranya Sian Li juga telah tertangkap seperti dia! Diikat kaki tangannya, ditelungkupkan di punggung kuda dan sama sekali tidak berdaya. Sungguh celaka!
Melihat wajah suhengnya menjadi pucat dan matanya terbelalak, Sian Li tersenyum! "Suheng, kita belum mati!" katanya dan ucapan ini membesarkan hatinya. Benar juga. Mereka masih hidup dan selama mereka masih hidup, dia tidak boleh putus asa! Kalau mereka ditawan dan tidak dibunuh, hal itu hanya berarti bahwa para penawan mereka tidak menghendaki kematian mereka. Sementara ini, bahaya maut masih jauh dan masih ada harapan bagi mereka berdua untuk mencari jalan membebaskan diri.
Sian Li memberi isarat dengan kedipan mata lalu memejamkan matanya, dan Sian Lun mengerti, maka dia pun tidak mau bicara lagi. Lebih baik mengumpulkan tenaga untuk bersiap-siaga, di mana ada kesempatan mereka akan membebaskan diri.
Rombongan itu memasuki pekarangan rumah, kemudian dua orang tawanan dipanggul masuk ke dalam rumah, dibawa ke dalam sebuah ruangan. Di dalam rumah itu terdapat belasan orang, kesemuanya berkepala gundul dan mengenakan jubah hitam. Kiranya tempat itu merupakan sarang Hek I Lama yang menjadi orang-orang buruan pemerintah Tibet!
Sian Lun dan Sian Li dimasukkan ke dalam kamar tahanan yang berdampingan, dipisahkan dinding terali besi yang kokoh kuat. Mereka dapat saling lihat, akan tetapi dinding pemisah itu kuat bukan main. Juga ruangan tahanan itu mempunyai pintu besar terbuat dari besi berterali yang kokoh, dikunci dari luar.
Ketika dimasukkan ke dalam ruangan tahanan, ikatan kedua kaki mereka dilepes dan kini hanya kedua tangan mereka saja yang masih terbelenggu ke belakang. Setidaknya, mereka dapat bergerak, dapat berdiri atau duduk. Mereka lalu duduk bersila, mengatur pernapasan.
Sian Li berpikir. Ia melihat bahwa tujuh orang tadi sesungguhnya juga para anggauta Lama Jubah Hitam yang menyamar, menutupi kepala gundul mereka dangan kain hitam dan pakaian mereka juga ringkas, tidak mengenakan jubah pendeta. Jelas bahwa ia dan suhengnya tertawan oleh para pendeta Lama jubah hitam yang menurut keterangan dipimpin oleh Lulung Lama. Pendeta Tibet itu merupakan pimpinan golongan pendeta Lama yang tidak sah, yang dimusuhi pemerintah Tibet sendiri, dan golongan ini telah bersekutu dengan gerombolan dari Nepal yang juga merupakan pemberontak di negaranya sendiri. Mereka itu melakukan gerakan menghasut dan mengobarkan sikap anti pemerintah Ceng di Cina, dan agaknya mereka itu hendak melakukan gerakan pemberontakan di Cina dan kini sedang menyusun kekuatan. Semua ini ia dengar dari Gangga Dewi ketika ia masih berada di Bhutan. Akan tetapi kenapa Lama Jubah Hitam menawan ia dan suhengnya?
"Sumoi, kau baik-baik saja?" Tiba-tiba suara Sian Lun ini menyadarkan Sian Li darilamunannya. Ia mengangkat muka memandang dan suhengnya telah berdiri di dekat jeruji pemisah kamar tahanan mereka. Kedua tangan suhengnya juga masih terbelenggu. Ikatan itu longgar saja, akan tetapi tidak mungkin dipatahkan, karena tali untuk mengikatnya adalah dari kulit yang amat kuat, yang dapat melentur sehingga tidak dapat dibikin putus.
"Aku tidak apa-apa, Suheng. Dan mereka tidak melukaimu?"
"Tidak, hanya menotok dan membius. Bahkan lukaku di pundak tahu-tahu telah kering dan mereka obati. Sungguh aneh, apa maksud mereka itu menawan kita?"
"Aku sendiri tidak tahu, Suheng. Akan tetapi mulai sekarang, engkau harus berhati-hati dan jangan terburu nafsu, dapat menahan diri melihat keadaan. Karena engkau terburu nafsu, maka telah berlaku sembrono sehingga kita tertawan."
"Maafkan aku, Sumoi. Memang aku ceroboh, semestinya aku tidak mengejar mereka. Akan tetapi engkau.... aku berterima kasih padamu, Sumoi. Engkau telah membelaku sehingga engkau sendiri tertawan."
Melihat pandang mata suhengnya itu penuh kasih dan keharuan, Sian Li menarik napas panjang. "Sudahlah, tidak perlu disebut-sebut lagi. Kita adalah kakak beradik seperguruan, tentu saja saling bantu dan saling bela." Tiba-tiba Sian Li memberi isarat dengan kedipan mata dan Sian Lun menghentikan percakapan, membalikkan badan untuk memandang ke depan kamar tahanan itu, melalui jeruji di pintu besi. Dia menahan kemarahannya ketika melihat seorang yang amat dikenalnya, yaitu penabuh tambur murid Lulung Lama yang lihai itu! Ingin dia memaki, akan tetapi dia takut kalau dianggap ceroboh lagi oleh sumoinya, maka dia pun diam saja, hanya memandang dengan mata penuh kebencian, dan menyerahkan saja kepada sumoinya untuk menentukan sikap dan kalau perlu bicara. Dia sudah mendapat keterangan bahwa pemuda ini adalah murid Lulung Lama, bernama Cu Ki Bok, seorang peranakan Han Tibet. Karena dia pernah bertanding melawan pemuda yang tinggi tegap dan gagah ini, dia tahu bahwa murid Lulung Lama ini amat lihai.
"Selamat sore, Nona Tan Sian Li dan sobat Liem Sian Lun. Selamat bertemu kembali!" kata Cu Ki Bok sambil tersenyum dan kini sikapnya sungguh berbeda dengan ketika dia menyamar sebagai tukang tambur itu. Kini sikapnya riang dan ramah, matanya bersinar-sinar dan bibirnya tersenyum sedangkan pakaiannya juga pesolek sehingga membuat dia nampak makin gagah dan tampan.
"Hemm, kiranya engkau pula yang mengatur semua kecurangan ini! Cu Ki Bok, kalau engkau memang gagah, mari kita bertanding sampai seorang di antara kami menggeletak menjadi mayat, bukan melakukan pengeroyokan dan perangkap yang curang! Engkau pengecut tak tahu malu!" Sian Li memaki-maki.
Yang dimaki-maki tersenyum saja. "Kalau saja Suhu tidak mempunyai rencana lain denganmu, tentu aku akan suka sekali menyambut tantanganmu itu, Nona dengan taruhan bahwa kalau aku kalah, engkau boleh membunuhku, akan tetapi kalau aku menang, engkau harus menjadi isteriku."
Wajah Sian Li berubah merah sekali dan matanya memancarkan cahaya berapi saking marahnya. "Huh, tak tahu malu! Siapa sudi menjadi jodohmu?, Engkau hanya seorang peranakan Han yang sudah lupa diri, suka menjadi budak orang Tibet dan Nepal, menjadi antek pemberontak!"
"Nona, kalau bukan engkau yang bicara, tentu sudah kurobek mulutmu! Coba ingat baik-baik, kalian ini bangsa apakah, Nona Sian Li dan Sobat Sian Lun? Kalian mengaku orang Han, mengaku penduduk aseli, bahkan mengaku sebagai pendekar-pendekar yang gagah perkasa. Akan tetapi apa yang kalian lakukan untuk negara dan bangsa kita yang terjajah oleh bangsa Mancu? Aku memang memberontak terhadap penjajahan orang Mancu, aku seorang patriot, seorang pahlawan sejati! Dan kalian masih memandang rendah dan memaki aku? Padahal, dengan sikap kalian yang tidak menentang pemerintah penjajah, berarti kalian sudah menjadi antek orang Mancu yang menjajah negara dan bangsa kita!" Setelah berkata demikian, Cu Ki Bok meninggalkan tempat itu dengan cepat.
Sian Li saling pandang dengan suhengnya, ucapan pemuda tinggi tegap peranakan Han Tibet itu tadi seperti ujung pedang yang menusuk-nusuk jantung mereka karena tepat sekali mengenai sasaran, Mereka sudah seringkali mendengar dari guru mereka, Suma Ceng Liong dan Isterinya, bahwa mereka itu kini selalu prihatin melihat betapa tanah air dan bangsa dijajah oleh bangsa Mancu. Bahkan Suma Ceng Liong mengakui bahwa di dalam darah keluarga Suma, yaitu keluarga keturunan Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, mengalir pula darah Mancu! Isteri Pendekar Super Sakti Suma Han adalah wanita-wanita Mancu. Inilah sebabnya mengapa sampai sekarang, tidak ada keturunan keluarga Suma yang menentang pemerintah Mancu. Padahal keluarga ini terkenal sebagai keluarga para pendekar yang gagah perkasa!
Dan sekarang, pemuda peranakan Han Tibet yang menawan mereka itu telah mencela mereka. Salahkah mereka? Benarkah pemuda peranakan Han Tibet itu? Sian Li menjadi bingung dan termenung.
"Sumoi, jangan dengarkan dia," terdengar Sian Lun berkata, "pahlawan macam apa dia itu? Menggunakan orang-orang Tibet dan Nepal, menawan kita secara curang dan pengecut. Seorang gagah sejati tidak akan melakukan perbuatan seperti itu. Jelas bahwa gerombolan itu jahat seperti apa yang dikatakan Bibi Gangga Dewi, mungkin kepatriotannya itu hanya sebagai kedok saja."
Sian Li memejamkan mata. Memang, neneknya, Gangga Dewi sudah menceritakan tentang Hek I Lama, yaitu kelompok pendeta Lama Jubah Hitam yang dipimpin oleh Lulung Lama. Kelompok pendeta ini telah melakukan penyelewengan. Mula-mula, Lulung Lama adalah orang pendeta Lama Jubah Merah yang memiliki kedudukan cukup tinggi di antara para pendeta Lama di Tibet. Akan tetapi dia melakukan pelanggaran, mengganggu wanita, bahkan melakukan perbuatan rendah dengan memperkosa wanita. Kejahatan ini diketahui dan dia tidak dapat diampuni lagi, dikeluarkan dari kelompok Lama Jubah Merah di mana dia tadinya menjadi tokoh. Lulung Lama merasa sakit hati dan dia pun lalu membentuk keiompok sendiri dengan mengenakan Jubah Hitam. Baru warna Jubahnya saja sudah berarti bahwa dia tidak segan melakukan perbuatan jahat seperti golongan hitam! Dia segera diikuti oleh golongan hitam di daerah Tibet yang menjadi anak buahnya. Kemudian, Lulung Lama berkenalan dengan Pangeran Gulam Sing, yaitu pangeran dari Nepal yang menjadi orang buruan di negaranya karena dia melakukan pemberontakan. Pangeran Gulam Sing juga mempunyai banyak anak buah. Kedua orang tokoh sesat itu lalu bergabung membuat kekacauan di daerah Nepal, Bhutan dan Tibet, bahkan merencanakan pemupukan kekuatan untuk melakukan serbuan ke timur, menentang pemerintah Mancu dan menghasut orang-orang Han untuk bersekutu dengan mereka dan memberontak terhadap pemerintah Kerajaan Mancu dengan dalih kepatriotan!
"Mungkin engkau benar, Suheng. Bagaimanapun juga, kita harus waspada dan berhati-hati. Cu Ki Bok itu lihai dan gurunya lebih lihai lagi. Ditambah dengan anak buah Hek I Lama yang rata-rata memiliki kepandaian tinggi, kita berada dalam bahaya."
Tempat tahanan mereka itu tidak pernah lowong dari penjagaan di luar ruangan. Sedikitnya ada empat orang penjaga yang berada di luar ruangan itu, kesemuanya adalah anggauta Hek I Lama dengan ciri khas mereka, yaitu kepala gundul dan jubah hitam. Mereka tidak pernah diganggu oleh para penjaga, bahkan secara teratur mereka mendapatkan makan dan minum yang layak, dimasukkan ke dalam melalui jeruji besi oleh penjaga, di atas sebuah baki. Ada nasi, ada sayur, dan ada air teh.
Malam tiba dan di luar kamar tahanan itu dipasangi lampu minyak. Ada dua buah lampu yang cukup terang. Sian Li merasa tubuhnya segar dan sehat. Ia dan suhengnya diperlakukan dengan baik. Bahkan sore tadi, ia mendapat kesempatan untuk mandi, bertukar pakaian. Dia dikawal ke tempat mandi yang berada di bagian belakang, dikawal empat orang dengan todongan golok, belenggu kedua langannya dilepas dan sebagai gantinya, kaki dan tangannya dipasangi rantai yang cukup membuat ia mampu bergerak untuk mandi, dan lain-lain. Ia tidak begitu bodoh untuk memberontak atau melarikan diri walau kaki dan tangannya dirantai, Kalau ia mau, tentu saja itu merupakan kesempatan. Namun, ia tahu pula bahwa usahanya itu tidak akan berhasil. Terlalu banyak lawan yang tangguh di situ, dan pula, andaikata ia mampu melarikan diri, suhengnya masih tertinggal di sana. Setelah ia membersihkan diri dan berganti pakaian, lalu tiba giliran Sian Lun.
"Suheng, jangan membuat ulah," pesannya ketika pemuda itu digiring keluar.
Dan ia girang melihat suhengnya datang lagi dengan pakaian bersih dan wajah yang segar. Mereka harus memberi kesempatan yang lebih baik agar keduanya dapat meloloskan diri.
Selagi Sian Li duduk bersila mengatur pernapasan untuk melatih sin-kang, ia mendengar percakapan empat orang penjaga di luar kamar tahanan itu. Ia memperhatikan. Siapa tahu dari percakapan itu ia dapat mengumpulkan keterangan yang penting.
"Heran, kenapa kita harus bersusah payah menjaga dua orang tahanan ini siang malam dan melayani mereka seperti tamu di rumah penginapan saja? Kenapa tidak dibunuh saja mereka agar tidak merepotkan?" terdengar seorang di antara mereka bicara.
"Hushh, bodoh kamu! Apa tidak melihat betapa cantiknya tawanan itu?" kata yang lain.
"Hemm, kalau muda dan cantik, lalu kenapa? Justeru semestinya dimanfaatkan untuk hiburan kita, bukan dijadikan tamu yang hanya merepotkan saja!" omel suara pertama.
"Aih, engkau lancang sekali! Untung tidak terdengar Thai-losu (Guru Besar) atau Cu Kongcu (Tuan Muda Cu). Kalau terdengar bisa diketuk kepalamu!" tegur suara ke tiga.
"Kita senasib sependeritaan, kalau bukan dengan kalian bertiga, mana aku berani sembarangan membuka mulut? Coba siapa berani membantah sejujurnya! Bukankah keluhanku tadi juga menjadi suara hati kalian?" kata orang pertama.
"Sudah, kalian tidak usah ribut-ribut." kata suara ke empat. "Apa kalian tidak tahu urusan? Dua orang tawanan ini adalah pendekar-pendekar Han, tentu saja diperlakukan dengan baik oleh Thai-losu. Pula, agaknya Thai-losu ingin menyenangkan hati Pangeran Gulam Sing. Mereka berdua besok pagi datang ke sini dan engkau tahu sendiri selera pangeran itu terhadap wanita cantik." Mereka berempat berbisik-bisik sambil tertawa.
Sian Li mendengarkan dengan alis berkerut dan hatinya menjadi tegang. Bahaya besar mengancam dirinya! Agaknya orang yang mereka sebut Thai-losu tadi adalah Lulung Lama, dan ia akan dihadiahkan kepada seorang pangeran yang bernama Gulam Sing, seorang pangeran Nepal yang haus wanita!
Tentu saja Sian Li merasa khawatir sekali. Jelas bahwa pada malam hari ini, Lulung Lama tidak berada di tempat itu dan agaknya besok pagi baru akan tiba. Yang berada di situ hanya anak buah Hek I Lama dan pemuda murid Lulung Lama itu. Kalau saja ia dan suhengnya dapat keluar dari kamar tahanan dan mematahkan rantai, tentu mereka berdua akan dapat meloloskan diri! Akan tetapi, bagaimana caranya? Ia melirik ke arah suhengnya dan pemuda itu pun sedang duduk bersila dan menoleh kepadanya dengan wajah gelisah. Tentu suhengnya tadi mendengar pula percakapan di luar kamar tahanan itu dan mengkhawatirkan dirinya yang akan dihadiahkan kepada Pangeran Gulam Sing!
Malam telah larut, agaknya sudah lewat tengah malam. Ia melihat suhengnya dengan hati-hati menghampiri pintu, lalu kedua tangan suhengnya mencoba untuk merenggangkan jeruji pintu dari baja itu, ia sendiri pun segera mencoba usaha merenggangkan jeruji pintu. Namun sia-sia. Jeruji pintu dari baja itu terlampau kokoh.
Tiba-tiba empat orang penjaga yang tadi masih terdengar berbisik-bisik itu nampak membuat gaduh. Seorang di antara mereka berseru lantang, "Siapa itu....?"
Akan tetapi, tidak ada jawaban dan suasana menjadi sunyi sekali, bahkan empat orang penjaga itu tidak terdengar lagi suaranya maupun gerakannya. Selagi Sian Li dan Sian Lun merasa heran dan tidak mengerti apa yang sesungguhnya terjadi, nampak sesosok bayangan orang berkelebat dan dua buah lampu penerangan di luar kamar tahanan itu mendadak padam. Kini tempat itu hanya mendapat penerangan dari sinar lampu yang agak jauh sehingga remang-remang dan tidak jelas. Sian Li melihat sesosok bayangan hitam itu berkelebat di luar pintu kamar tahanan Sian Lun, dan orang itu, yang mengenakan caping lebar menutupi mukanya, berbisik kepada pemuda itu.
"Tak perlu bertanya-tanya. Cepat dekatkan tanganmu ke sini."
Sian Lun segera mengerti bahwa orang itu datang untuk menolongnya, maka dia pun menghampiri pintu dan mendorongkan kedua tangannya yang dibelenggu. Terdengar suara berkeretakan dan belenggu kedua tangan Sian Lun terlepas! Bayangan itu menyerahkan dua batang pedang kepada Sian Lun dan berkata lagi.
"Cepat bebaskan sumoimu dan kalian lari dari sini!"
Sian Lun keluar dari kamar tahanan karena daun pintunya ternyata telah dibuka dan juga kamar tahanan Sian Li telah terbuka dan juga kamar tahanan telah terbuka daun pintunya. Dia meloncat masuk ke dalam kamar tahanan sumoinya, dengan menggunakan pedang, dia membebaskan dara itu dari belenggu. Dapat dibayangkan betapa girang dan juga heran hati kedua orang muda ini ketika mendapat kenyataan bahwa dua batang pedang yang diserahkan oleh orang itu adalah pedang mereka sendiri yang tadi dirampas oleh para anggauta Hek I Lama!
Mereka berloncatan keluar dari kamar tahanan, memegang pedang masing-masing dan mereka mencari-cari dengan mata mereka. Penolong tadi telah lenyap tanpa meninggalkan bekas Mereka hanya melihat empat orang penjaga di luar kamar tahanan dan empat orang ini berada dalam keadaan aneh. Ada yang sedang duduk, ada yang berjongkok, ada yang berdiri, bahkan ada yang sedang mencabut golok dan sikapnya seperti orang hendak meloncat. Akan ,tetapi mereka semua tidak bergerak dan seperti telah berubah menjadi patung! Tahulah Sian Li dan Sian Lun bahwa mereka telah menjadi korban totokan yang amat ampuh! Mereka tidak mempedulikan empat orang penjaga itu dan berlari keluar dari situ, menuju ke lorong dari mana mereka dapat keluar melalui taman di samping rumah untuk kemudian meloncat pagar tembok.
Akan tetapi ketika mereka sudah keluar dari rumah dan tiba di dalam taman tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan nyaring. "Tawanan lolos! Tawanan lolos!"
"Itu mereka di taman....!"
"Kepung....!"
Sian Li dan Sian Lun melihat belasan orang yang dipimpin oleh Cu Ki Bok sendiri melakukan pengejaran! Mereka sudah siap untuk malawan mati-matian. Tiba-tiba di belakang mereka ada suara orang. "Cepat kalian lari meloncat tembok, biar aku yang menahan mereka!"
Orang bercaping itu lagi! Karena keadaan mendesak, dua orang muda itu tidak sempat bicara lagi. Mereka mentaati petunjuk penolong itu dan dengan cepat mereka berlari ke pagar tembok dan meloncat ke atasnya. Ketika tiba di atas pagar tembok, Sian Li sempat menengok dan ia memandang kagum. Penolong mereka yang bercaping itu, seorang diri dan tanpa senjata, telah berhasil menghadang belasan orang yang dipimpin oleh Cu Ki Bok yang amat lihai itu! Tubuh Si Caping itu berkelebatan seperti seekor burung walet menyambar-nyambar dan menghalangi setiap orang yang hendak melakukan pengejaran! Dan setiap orang, bahkan Cu Ki Bok sendiri, terpental ke belakang begitu dihadang dan dihalangi orang bercaping itu!
"Mari cepat, Sumoi!" kata suhengnya dan Sian Li terpaksa cepat meloncat keluar dan bersama suhengnya ia pun melarikan diri meninggalkan tempat itu. Namun, penglihatan tadi tak pernah dapat dilupakan. Betapa lihainya kepandaian orang bercaping itu!
Setelah malam berganti pagi, baru kedua kakak beradik seperguruan itu menghentikan lari mereka. Keduanya merasa amat lelah den mereka berhenti di luar sebuah dusun, melepas lelah. Dusun itu mulai hidup. Penghuninya mulai meninggalkan dusun, membawa alat pertanian untuk mulai bekerja di sawah ladang.
"Suheng, kita telah ditolong oleh orang bercaping itu...." kata Sian Li, terharu karena tidak mengira bahwa mereka akan dapat lolos sedemikian mudahnya.
"Kita berhutang budi, bahkan mungkin hutang nyawa kepada orang itu, Sumoi," kata pula Sian Lun, masih tertegun.
"Siapakah dia, Suheng? Apakah engkau dapat melihat mukanya?"
Sian Lun menggeleng kepala. "Ketika dia menolong kita, kedua buah lampu itu padam dan cuaca terlalu gelap untuk dapat mengenal mukanya. Apalagi caping lebar itu menyembunyikan mukanya. Bahkan aku tidak tahu apakah dia itu muda atau tua, laki-laki atau wanita...."
"Dia jelas laki-laki, Suheng. Suaranya berat dan tubuhnya juga tegap seperti tubuh laki-laki. Sungguh sayang keadaan tidak mengijinkan kita untuk berkenalan dengan dia, Suheng. Sungguh tidak enak rasanya diselamatkan orang tanpa mengenal dia siapa, bahkan tidak melihat wajahnya sehingga selain kita tidak tahu siapa dia, juga kalau berjumpa kita tidak akan mengenalnya."
"Sudahlah, Sumoi. Bukankah Suhu dan Subo seringkali mengatakan bahwa di dunia ini banyak terdapat orang aneh dan lihai, dan bahwa para pendekar tidak pernah mau mengikat diri dengan dendam dan budi? Dia tentu seorang pendekar aneh yang tidak mau menanam budi, maka menolong secara sembunyi dan tidak memperkenalkan diri. Kita patut bersyukur bahwa kita telah terbebas dari bahaya maut, bahkan menerima kembali pedang kita, dalam keadaan sehat. Luka di pundakku juga sudah sembuh."
"Akan tetapi buntalan pakaian kita lenyap, dan juga bekal emas permata yang amat berharga dari Nenek Gangga Dewi, dirampas penjahat-penjahat itu! Padahal, kita perlu membeli pakalan pengganti dan untuk bekal dalam perjalanan."
Sian Lun meraba-raba bajunya dan mengeluarkan beberapa potong perak, dari saku bajunya. "Ini masih ada beberapa potong perak dalam saku bajuku. Kita masih dapat membeli makanan untuk beberapa hari lamanya. Mengenal pakaian.... wah, terpaksa sementara ini tidak bisa ganti...."
Mereka melanjutkan perjalanan. Peta perjalanan itu pun lenyap dan mereka memasuki dusun, untuk membeli makanan dan menanyakan jalan.
Sambil membeli makanan sederhana di sebuah kedai kecil, mereka mendapat keterangan dan ternyata mereka telah meninggalkan pantai Sungai Yalu-cangpo sejauh tiga puluh mil lebih! Dan perjalanan melalui darat ke timur amat sukar karena melalui bukit-bukit, hutan-hutan dan daerah liar, di mana terdapat banyak bahaya. Jalan raya yang biasa dipergunakan rombongan pedagang, masih belasan li jauhnya dari situ. Menurut keterangan penduduk dusun itu, kalau hendak melakukan perjalanan ke timur, paling aman dan paling cepat adalah melalui Sungai Yalu-cangpo, maka mereka terpaksa harus kembali ke utara sampai ke tepi sungai, mempergunakan perahu.
"Aih, kita harus kembali lagi ke tepi sungai, Suheng. Akan tetapi, setelah tiba di sana, bagaimana kita dapat menyewa perahu kalau kita tidak mempunyai bekal uang lagi?"
"Bagaimana nanti sajalah, Sumoi."
Percakapan mereka terhenti ketika seorang anak laki-laki berusia lebih empat belas tahun menghampiri mereka. Dengan suara lirih dan logat Tibet yang asing dia berkata, "Saya disuruh seseorang untuk menyerahkan buntalan ini kepada Jiwi (Anda Berdua)." Anak itu menyerahkan sebuah buntalan dan melihat buntalan itu, Sian Lun meloncat kaget dan girang. Itu adalah buntalan pakaiannya yang dirampas oleh orang-orang. Hek I Lama!
"Siapa yang menyuruhmu? Di mana dia sekarang?"
Anak itu menggeleng kepala. "Aku tidak tahu dia siapa. Seorang yang memakai caping, mukanya tidak kelihatan jelas. Dia memberi aku sekeping perak dan menyuruh aku menyerahkan buntalan ini kepada seorang nona berbangsa Han yang berpakaian merah, dan yang berada di kedai ini. Setelah menyerahkan buntalan, dia pergi."
Sian Li membuka buntalan dan memeriksa. Masih lengkap! Bahkan buntalan terisi emas permata pemberian Gangga Dewi juga masih lengkap berada di situ! Hampir ia bersorak saking gembiranya. Ia mengikat lagi buntalannya di punggung lalu berkata, "Aku akan mencari dia!"
"Tidak perlu, Sumoi. Tidak akan bisa kautemukan. Jelas bahwa dia sengaja tidak mau memperkenalkan diri dan tentu telah pergi jauh."
Sian Li memaklumi kebenaran ucapan suhengnya. Orang itu jelas memiliki ilmu kepandaian yang tinggi dan kalau dia tidak menghendaki, tidak mungkin ia dapat mengejarnya.
"Sayang sekali. Aku ingin sekali bertemu dan berkenalan dengannya, Suheng, dan mengapa pula dia menolong kita secara sembunyi dan tidak mau bertemu dengan kita."
"Tentu ada sebabnya yang dia sendiri saja mengetahuinya, Sumoi. Kelak kalau dia menghendaki, tentu kita akan dapat bertemu dengannya. Sekarang, sebaiknya kalau kita mencari dan membeli kuda agar perjalanan ke pantai dapat dilakukan lebih cepat. Juga engkau perlu membelikan pakaian pengganti untukku. Penolong kita itu agaknya hanya memperhatikanmu dan mengambilkan buntalan pakaianmu sedangkan pakaianku tidak dia ambilkan." Sian Lun tertawa, sama sekali tidak merasa iri kepada sumoinya. Sian Li juga tertawa, akan tetapi entah mengapa, jantungnya berdebar mendengar bahwa penolong mereka itu agaknya amat memperhatikannya!
Dengan emas yang ada pada Sian Li, mudah saja mereka membeli dua ekor kuda yang baik dengan harga mahal, kemudian mereka pun sudah meninggalkan dusun itu, menunggang kuda menuju ke tepi Sungai Yalu-cangpo. Peta perjalanan itu pun berada di dalam buntalan Sian Li sehingga kini mereka mendapatkan petunjuk lagi.
Perjalanan mereka ke tepi sungai itu tidak mendapat gangguan dan dari seorang nelayan mereka bahkan mendapat petunjuk baru bahwa daripada naik perahu, lebih cepat kalau mereka menunggang kuda saja, melalui jalan setapak menyusuri tepi sungai. Mereka menurut petunjuk ini memang benar, jalan setapak itu cukup baik untuk dilalui kuda mereka dan perjalanan dapat di lakukan lebih cepat. Ketika mereka melewati dusun yang cukup ramai, Sian Li membelikan pakaian pengganti untuk suhengnya. Kini mereka melakukan perjalanan berkuda dengan perbekalan yang lengkap pula.
Untuk memberi kesempatan kepada kuda mereka beristirahat. Sian Li dan Sian Lun berhenti mengaso di tepi sungai yang ditumbuhi banyak rumput gemuk. Mereka membiarkan kuda mereka makan rumput dan beristirahat, dan mereka pun membuka buntalan perbekalan makanan dan air bersih. Sambil makan, mereka bercakap-cakap, membicarakan pengalaman mereka.
"Suheng, ingatkah Sugeng ketika Badhu dan Sagha bersama tiga orang Lama Jubah Hitam itu menyerang kita di rumah penginapan itu?"
"Ya, kenapa?"
"Ketika mereka mengeroyok kita, tiba-tiba mereka melepaskan senjata dan mereka melarikan diri secara aneh karena kita tidak melukai mereka."
"Hemm, dan engkau mengatakan bahwa mungkin ada dewa yang menolong kita?"
"Sekarang aku tahu siapa dewa yang menolong kita itu!"
"Eh, benarkah? Siapa dia?"
"Tentu orang bercaping itu juga!"
Sian Lun menatap wajah sumoinya, lulu mengangguk-angguk. "Mungkin sekali dugaanmu itu benar, Sumoi, akan tetapi tidak ada artinya karena kita pun belum tahu siapa orang bercaping itu."
Sian Li menghela napas panjang. "Suheng, kalau sampai aku tidak dapat mengetahui siapa adanya orang itu, tentu akan selalu ada penyesalan dan ganjalan dalam hatiku."
Setelah kuda mereka makan kenyang dan nampak segar kembali, mereka melanjutkan perjalanan karena menurut petunjuk dalam peta yang dibuat oleh ahli di Bhutan, tidak jauh di sebelah depan terdapat sebuah dusun besar, tepat di belokan Sungai Yalu-cangpo yang menikung ke selatan. Dari situ, mereka akan menyeberang dan meninggalkan lembah sungai itu, melanjutkan perjalanan ke timur.
Dua orang kakak beradik seperguruan itu memasuki dusun Cam-kong di tepi Sungai Yalu-cangpo yang berbelok ke selatan. Sebuah dusun yang ramai karena dari sinilah para pedagang yang hendak membawa barang dagangan ke selatan berkumpul dan mengirim barang mereka dengan perahu. Sedangkan para pedagang yang membawa dagangan ke timur, dan datang dari barat, membongkar barang yang mereka bawa dengan perahu di dusun ini untuk kemudian melanjutkan perjalanan rombongan mereka ke timur melalui daratan. Karena menjadi pusat persaingan para pedagang, maka dusun itu menjadi makmur dan ramai. Dengan mudah Sian Li dan Sian Lun mendapatkan dua buah kamar di rumah penginapan yang juga membuka rumah makan di samping rumah penginapan. Hiruk pikuk suara orang yang tiada hentinya memuat dan membongkar barang di dusun pelabuhan itu.
Ketika mereka memasuki rumah penginapan, mengikuti seorang pelayan yang menunjukkan dua buah kamar untuk mereka, kakak beradik itu melewati sebuah ruangan duduk di mana berkumpul tujuh orang yang melihat pakaiannya tentulah pedagang-pedagang berbangsa Han. Mereka bercakap-cakap dengan santai dan mendengar logat bicara mereka, Sian Lun dan Sian Li segera tertarik sekali karena logat Shantung, seperti logat orang-orang di tempat tinggal Kakek Suma Ceng Liong yang sudah biasa mereka dengar. Kiranya mereka adalah pedagang-pedagang dari bagian timur sekali, dan mereka merasa seperti bertemu dengan saudara-saudara dari kampung halaman sendiri! Memang demikianlah perasaan hati hampir setiap orang yang berada di rantau. Kalau kita berada di rantau orang, jauh dari kampung halaman, apalagi kalau sedang merindukan kampung halaman, mendengar logat bicara orang sekampung rasanya seperti bertemu dengan saudara sendiri dan segera timbul keakraban dalam hati. Dahulu kalau berada di kampung halaman sendiri, logat itu sama sekali tidak mendatangkan kesan apu pun.
Kebetulan mereka mendapatkan dua buah kamar yang tidak berjauhan dari ruangan duduk itu, maka setelah memasuki kamar masing-masing, mereka dengan pendengaran mereka yang tajam terlatih, masih dapat menangkap percakapan tujuh orang Shantung itu. Mereka segera menaruh perhatian karena mereka membicarakan soal keamanan daerah itu dan perjalanan dari tempat itu ke timur, perjalanan yang akan mereka tempuh.
Mereka menceritakan pengalaman masing-masing dan menyebut-nyebut tentang adanya seorang pendekar yang mereka namakan Sin-ciang Tai-hiap (Pendekar Besar Tangan Sakti).
"Kalau tidak ada pendekar itu, mungkin hari ini aku tidak dapat bertemu dengan kalian di sini," terdengar seorang di antara mereka bercerita. Terjadinya kurang lebih sebulan yang lalu. Perampok-perampok itu sungguh tidak mengenal peraturan umum. Rombongan kami sudah bersedia untuk memberi sumbangan yang cukup memadai. Akan tetapi mereka menginginkan yang bukan-bukan, bahkan hendak menculik puteri pedagang dari selatan itu. Tentu saja kami keberatan, apalagi ketika mereka hendak mengambil semua, gulungan sutera paling halus dan paling mahal. Bisa bangkrut kami kalau menuruti kehendak mereka. Dan mereka menjadi marah, lalu mengatakan mereka akan merampas semua barang, menculik gadis itu, dan membunuh kami semua!"
"Hemm, memang sekarang mulai tidak aman. Banyak gerombolan pengacau dari berbagai aliran, ada perampok, ada bajak sungai, bahkan ada pula gerombolan pemberontak dan ada katanya pasukan keamanan sendiri malah merampok dan mengganggu kami," kata orang ke dua.
"Acun, lanjutkan ceritamu tadi. Setelah rombongan diancam, lalu bagaimana?" kata yang lain.
Orang pertama yang bernama Acun melanjutkan. "Tentu saja kami tidak menyerah begitu saja. Tidak percuma aku pernah belajar ilmu silat di kampung, dan di antara para anggauta rombongan kami terdapat beberapa orang yang cukup jagoan. Akan tetapi, ternyata kepala perampok itu lihai sekali. Aku sendiri belum terluka, akan tetapi kawan-kawanku sudah roboh. Pada saat kepala perampok merobohkan aku dengan tendangan dan goloknya menyambar ke arah leherku muncullah Pendekar Besar Tangan Sakti itu! Hem, dia bagaikan seorang malaikat yang turun dari langit!"
"Acun, ceritakan, bagaimana sepak terjangnya?" Yang lain-lain juga mendesak Acun untuk melanjutkan ceritanya. Bahkan Sian Li dan Sian Lun di kamar masing-masing ikut mendengaran penuh perhatian.
"Kemunculannya mentakjubkan. Sudah lama aku mendengar tentang sepak terjangnya, akan tetapi baru sekali itu aku menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Bagaikan halilintar menyambar, dia nampak sebagai bayangan yang menyambar turun dan golok di tangan kepala perampok yang lihai itu terlempar dan tubuh kepala perampok itu terlempar sampai terguling-guling. Kemudian, bagaikan kilat, bayangan itu meluncur ke sana-sini dan semua senjata para perampok yang jumlahnya belasan orang itu terlempar dan mereka pun satu demi satu terjengkang dan terbanting roboh."
"Mampus perampok-perampok itu!" seru seorang pendengar.
"Mampus apa? Tidaklah engkau pernah mendengar bahwa Sin-ciang Tai-hiap itu tidak pernah melukai orang, apalagi membunuh? Perampok itu tidak ada yang terluka, hanya terkejut dan ketakutan saja. Memang sayang, kalau aku yang menjadi pendekar memiliki kesaktian seperti itu, sudah kusikat habis para penjahat itu, kubasmi dan kutumpas mereka!" kata Acun.
"Kenapa sih memotong-motong cerita itu, Acun, lanjutkan. Apa yang dilakukan pendekar sakti yang aneh itu?" tanya seorang.
"Dan bagaimana macamnya? Sudah tua ataukah masih muda?" tanya orang ke dua.
"Seperti biasa yang kita pernah dengar, dia menghilang begitu saja dan hanya suaranya terdengar dari dalam pohon yang lebat. Dia memberi peringatan dan nasehat kepada para perampok, menyadarkan mereka dengan kata-kata lembut. Dan tidak seorang pun di antara kami dapat melihat wajahnya. Gerakannya demikian cepat dan wajahnya terlindung caping lebar itu."
Mendengar ini, Sian Li dan Sian Lun tidak dapat menahan diri lagi. Mereka tertarik karena maklum bahwa yang dimaksudkan Acun itu tentulah pendekar yang menjadi penolong mereka. Keduanya keluar dari dalam kamar, saling pandang lalu menghampiri tujuh orang pedagang itu.
Para pedagang itu tentu saja memandang mereka dengan heran, juga kagum melihat pemuda tampan dan gadis cantik yang menghampiri mereka itu. Sian Li cepat mengangkat kedua tangan depan dada memberi hormat dan berkata, "Harap Cuwi (Anda Sekalian) suka memaafkan kami. Kami mendengar cerita Cuwi dan kami tertarik sekali karena kami pun mendapat pertolongan dari seorang pendekar bercaping yang tidak memperkenalkan dirinya kepada kami."
Mendengar logat bicara Sian Li, tujuh orang itu cepat bangkit berdiri dan membalas penghormatan Sian Li dan Sian Lun. "Aih, agaknya Kongcu dan Siocia datang dari daerah Shantung seperti kami?"
Karena datang dari satu propinsi, walaupun tempat tinggal mereka terpisah jauh, mereka segera menjadi akrab. "Paman tadi bercerita bahwa pendekar itu bercaping?" tanya Sian Li.
Acun yang merasa girang mendapat pendengar seorang dara demikian cantiknya, dengan bersemangat menjawab. "Ketika menolong kami, kami hanya melihat bayangannya berkelebatan dan dia mengenakan sebuah caping lebar yang menyembunyikan mukanya."
"Bagaimana bentuk badannya, Paman Acun?" tanya pula Sian Li dan orang itu semakin gembira disebut paman Acun secara demikian akrabnya.
"Tubuhnya sedang dan tegap, gerakannya halus namun cepat bukan main, dan dia tidak bersenjata, akan tetapi belasan batang golok itu runtuh dengan sendirinya. Dia seperti bukan manusia!" kata Acun.
"Pengalamanku dengan pendekar itu pun tidak kalah hebatnya!" terdengar seorang yang gendut berkata.
"Aku pun mempunyai pengalaman dengan pendekar Sin-ciang Tai-hiap itu!" kata pula orang ke tiga.
Wanita memang sejak jaman dahulu sampai sekarang, mempunyai wibawa yang luar biasa terhadap para pria. Sekumpulan pria, baik mereka itu sudah tua maupun masih remaja, selalu akan berubah sikap mereka apa bila kedatangan seorang wanita, apalagi yang muda dan cantik jelita seperti Sian Li. Amat menarik kalau memperhatikan sekelompok pria yang tadinya bercakap-cakap, lalu muncul wanita di antara mereka. Mereka itu berubah sama sekali. Gerak geriknya, wajahnya, lirikan matanya, senyumnya, bahkan suaranya! Mungkin yang bersangkutan sendiri tidak merasakan hal ini, akan tetapi kalau kita memperhatikan, kita akan dapat melihat perubahan itu dengan jelas sekali. Mengingatkan kita kepada ayam-ayam jantan kalau bertemu ayam betina. Ada saja ulahnya untuk menarik perhatian dan berlagak! Lucu, menarik dan mengharukan mengenal diri kita sebagai pria ini, betapa pria menjadi lemah kalau sudah berhadapan dengan wanita. Perbedaan dalam tingkah laku mungkin hanya tergantung dari watak masing-masing saja, ada yang nampak sekali, ada yang muncul lagak yang kurang ajar, ada yang pendiam. Namun perubahan itu pasti ada, bahkan yang nampak acuh pun dibuat-buat dan tidak wajar.
Bermacam-macam pengalaman mereka akan tetapi pada dasarnya, mengenai Sin-ciang Tai-hiap, mereka mempunyai pengalaman yang sama. Pendekar itu sama sekali tidak pernah dapat dikenal wajahnya, kalau turun tangan menolong orang dan menghadapi penjahat, dia bertindak cepat sekali tanpa memperlihatkan wajah, apalagi memperkenalkan nama. Wajahnya kadang ditutup caping lebar, kadang juga tidak. Dan yang aneh sekali, tidak pernah dia membunuh penjahat, bahkan melukai parah pun tidak pernah. Semua penjahat diampuninya, diberi nasihat.
"Bagaimana mungkin dia akan berhasil," kata Sian Lun. "Penjahat harus dihadapi dengan kekerasan! Kalau hanya diampuni dan diberi nasihat, bagaimana mereka akan dapat sadar dan menjadi baik?"
"Belum tentu, Kongcu!" kata seorang di antara mereka, seorang pria tinggi kurus yang berusia enam puluh tahun. "Biar dihadapi dengan kekerasan sekalipun, dihukum berat, belum tentu juga penjahat akan menjadi baik! Dan buktinya, menurut kabar dan ada pula kusaksikan sendiri, banyak penjahat menjadi baik dan sembuh dari penyakitnya yang membuat dia jahat setelah dia bertemu dengan Sin-ciang Tai-hiap dan mendapat nasihat dari pendekar aneh itu."
"Paman Liok, ceritakan pengalamanmu itu!" seorang di antara mereka berseru.
"Benar, Paman. Ceritakanlah, aku ingin sekali mendengarnya," kata pula Sian Li. Tanpa diminta oleh gadis itu pun, dengan penuh gairah Kakek Liok memang ingin sekali bercerita agar dia menjadi pusat perhatian.
"Di perbatasan Secuan ada seorang penjahat besar yang biasa melakukan kejahatan apa pun tanpa mengenal takut. Dia mempunyai belasan orang anak buah. Aku sudah mendengar tentang kejahatan penjahat berjuluk Pek-mau-kwi (Iblis Rambut Putih) itu, yang usianya baru empat puluh tahun akan tetapi rambutnya sudah putih semua, maka ketika aku melakukan perjalanan lewat daerah itu, aku memperkuat rombonganku dengan sepasukan piauw-su (pengawal) bangsa Miao yang terkenal gagah, berjumlah dua puluh orang. Akan tetapi, tetap saja di tengah jalan kami dihadang oleh gerombolan perampok yang dipimpin Pek-mau-kwi itu! Seperti biasa kalau bertemu dengan gerombolan perampok, kami juga sudah menawarkan sumbangan atau yang biasa disebut pajak jalan. Akan tetapi, berapa pun yang kami tawarkan, Pek-mau-kwi tidak mau menerimanya dan menghendaki kami menyerahkan setengah dari semua barang bawaan kami. Terjadilah pertempuran dan biarpun jumlah kami lebih banyak, tetap saja kami kewalahan. Agaknya kami tentu akan menjadi korban dan terbunuh semua kalau tidak muncul Sin-ciang Tai-hiap!"
"Dia juga bercaping, Paman?" tanya Sian Li, membayangkan orang bercaping yang pernah menolong ia dan suhengnya.
"Pendekar itu tidak bercaping, akan tetapi karena gerakannya cepat sekali dan rambutnya panjang riap-riapan menutupi mukanya, kami pun tidak mungkin dapat mengenali mukanya. Dia berkelebatan merobohkan semua perampok, bahkan ketika dia meloncat pergi, dia mengempit tubuh Pek-mau-kwi dan membawanya lenyap! Semua anak buah perampok lari ketakutan dan kami pun selamat."
"Lalu bagaimana dengan Pek-mau-kwi itu dan bagaimana Paman tahu bahwa nasihat dari pendekar itu berhasil?" tanya Sian Lun, tertarik sekali.
"Tidak ada yang tahu bagaimana nasib Pek-mau-kwi. Akan tetapi ketika beberapa bulan kemudian aku lewat di daerah itu, aku mendengar bahwa Pek-mau-kwi sudah cuci tangan, tidak lagi menjadi perampok, melainkan sekarang membuka perguruan silat dan hidup dari hasil pembayaran para muridnya. Aku mendengar bahwa dia menjadi orang baik dan tidak pernah lagi melakukan kejahatan. Bukankah itu hasil nasihat dari pendekar sakti itu?"
"Dan bagaimana pengalamannya dengan pendekar itu?" tanya Sian Li.
"Kabarnya, dia tidak pernah mau menceritakan kepada siapapun juga. Entah apa yang terjadi ketika dia ditangkap dan dilarikan Sin-ciang Tai-hiap."
Sian Li dan Sian Lun merasa semakin tertarik, apalagi karena mereka sendiri berhutang budi, bahkan nyawa kepada pendekar itu. "Apakah di antara Cuwi (Anda Sekalian) ada yang mengetahui siapakah nama Sin-ciang Tai-hiap itu?"
Semua orang yang berada di situ menggeleng kepala. Tidak pernah ada yang mendengar siapa nama pendekar aneh itu. Jangankan namanya, wajahnya pun belum pernah dikenal orang karena sepak terjangnya cepat dan penuh rahasia. Menurut cerita para pedagang yang sudah bertahun-tahun menjelajahi daerah itu untuk berdagang, nama Sin-ciang Tai-hiap baru muncul sekitar tiga empat tahun yang lalu. Sebelum itu, tidak pernah ada orang mengenal nama julukan ini yang timbulnya juga di daerah itu, nama julukan yang diberikan oleh para pedagang yang pernah mendapatkan pertolongannya. Sebelum empat tahun yang lalu, baik di daerah barat ini maupun di timur, orang tidak pernah mendengar namanya.
Setelah mendengarkan semua cerita yang kadang seperti dongeng saja dari para pedagang itu tentang Sin-ciang Tai-hiap, yang ia tahu tentu dibumbui dan dilebih-lebihkan. Sian Li ingin mendengar dari mereka tentang orang-orang yang selama ini pernah ditentangnya.
"Apakah Cuwi (Anda Sekalian) dapat menceritakan tentang perkumpulan Hek I Lama?"
Tujuh orang pedagang itu serentak berdiam diri seperti jangkerik terpijak. Mereka bukan hanya berdiam diri tak mengeluarkan suara, akan tetapi juga wajah mereka berubah dan mereka menengok ke kanan kiri, seolah ketakutan.
"Kenapa, Paman?" Terbawa oleh sikap mereka, Sian Li mengajukan pertanyaan ini dengan berbisik pula. Yang ditanya menggeleng kepala, lalu mengeluarkan kertas dan alat tulis, dan menulis dengan cepat di atas kertas itu, kemudian menyodorkannya kepada Sian Li. Gadis itu dan suhengnya segera membaca tulisan itu.
"Jangan bicara tentang itu, mata-matanya tersebar di mana-mana. Berbahaya sekali," demikian bunyi tulisan dan Sian Li saling pandang dengan suhengnya.
Sian Li mendekati laki-laki yang menulis itu sambil menyerahkan kembali kertas tadi yang segera dirobek-robek oleh penulisnya. Gadis itu berbisik, "Kenapa, Paman? Apakah mereka jahat dan suka mengganggu?"
Orang itu menggeleng kepala, lalu menjawab dengan suara bisik-bisik pula. "Mereka tidak pernah mengganggu kita, sebaliknya kita pun tidak boleh mencampuri urusan mereka. Penjahat Yang paling besar pun di daerah ini tidak ada yang berani mencampuri urusan mereka, berbahaya sekali. Di mana-mana mereka mempunyai kaki tangan. Sebaiknya kita bicara tentang hal lain saja."
Agaknya tujuh orang pedagang itu sudah merasa ketakutan, maka mereka pun bubaran memasuki kamar masing-masing. Sian Li dan Sian Lun terpaksa juga kembali ke kamar masing-masing dan tidur. Malam itu Sian Li bermimpi bertemu dengan pendekar bercaping karena sebelum pulas tiada hentinya ia mengenang pendekar yang amat mengagumkn hatinya itu. Kini ia membenarkan akan cerita orang tuanya, juga Kakek Suma Ceng Liong bahwa di empat penjuru dunia penuh dengan orang-orang pandai, oleh karena itu, mereka berpesan agar ia tidak mengagungkan dan menyombongkan diri dan kepandaian sendiri. Kini ternyatalah bahwa di daerah barat yang dianggapnya masih liar bahkan belum beradab itu terdapat pula orang sakti yang aneh, yang membuatnya kagum bukan main.
Pada keesokan harinya, setelah mandi dan sarapan pagi, ketika Sian Li dan Sian Lun sudah bersiap-siap meninggalkan rumah penginapan dan melanjutkan perjalanan, seorang laki-laki menghampiri mereka dan dengan sikap hormat dia menyerahkan sesampul surat kepada mereka. Setelah sampul surat itu diterima Sian Li, pembawa surat itu memberi hormat dan pergi.
Sian Li cepat membuka sampul dan bersama Sian Lun mereka membaca surat yang ditulis dengan huruf-huruf yang gagah dan indah itu.
"Harap Liem Tahiap dan Tan Lihiap suka memaafkan sikap anak buah kami. Karena belum saling mengenal dengan baik maka terjadi kesalahpahaman. Kalau Jiwi ingin mengetahui lebih baik siapa kami, kami mengundang Jiwi untuk menghadiri pesta pertemuan antara pejuang yang kami adakan sore nanti. Kami akan menjemput Jiwi dengan kereta. Kami bukan golongan jahat, melainkan pejuang-pejuang. Keselamatan Jiwi kami jamin."
Pimpinan Hek I Lama
"Hemm, jangan pedulikan surat dari mereka, Sumoi. Jelas bahwa mereka itu orang-orang jahat dan berbahaya. Kita pun baru saja kemarin lolos dari tawanan mereka dan hari ini mereka mengundang kita sebagai tamu? Hemm, ini pasti jebakan belaka. Lebih baik kita berangkat pergi saja meninggalkan tempat ini, Sumoi."
"Suheng, lupakah Suheng akan nasihat dan pesan guru-guru kita? Kita memang harus berhati-hati dan waspada, akan tetapi yang terlebih penting adalah bahwa kita tidak boleh bersikap penakut! Kita harus berani menghadapi kenyataan, betapa besar pun bahayanya, bukan saja menghadapi, akan tetapi juga menanggulangi dan mengatasi. Mereka mengirim surat undangan resmi, tidak mungkin merupakan jebakan. Mereka adalah perkumpulan yang besar, kiranya tidak akan menggunakan cara serendah itu. Kita memang tidak perlu bersekutu dengan mereka, akan tetapi juga tidak perlu mencampuri urusan mereka dan memusuhi, kecuali kalau mereka mengganggu kita."
"Jadi bagaimana sikapmu menghadapi undangan ini?"
"Aku akan menerimanya dan menghadiri undangan itu."
"Sumoi! Ingat, hal itu berbahaya sekali. Engkau seperti mengundang datangnya bahaya!"
"Aku tidak takut, Suheng. Mereka itu adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Sebagai datuk ilmu silat yang lihai, sudah pasti para pimpinan Hek I Lama tidak akan begitu merendahkan diri dan mencemarkan nama besar sendiri sengan perbuatan yang hina seperti menjebak orang-orang muda seperti kita. Pula, bukankah kita ini pergi meninggalkan rumah untuk meluaskan pengalaman dan menambah pengetahuan? Juga, kini kita mendapat kesempatan untuk mengetahui lebih banyak tentang Hek I Lama, kesempatan yang baik sekali karena kita diundang sebagai tamu! Kalau engkau merasa jerih, biarlah aku sendiri saja yang datang ke sana, Suheng." Sian Li tidak mau mengeluarkan isi hati yang paling dalam, yaitu bahwa kalau terjadi apa-apa dengan dirinya di tempat Hek I Lama, ia mengharapkan munculnya lagi Sin-ciang Tai-hiap untuk menolongnya. Ia harus bertemu lagi dengan pendekar itu, harus membuka rahasianya yang aneh, terus mengenal wajahnya dan namanya. Kalau tidak, selama hidupnya ia akan tenggelam dalam penasaran.
Wajah Sian Lun menjadi merah ketika sumoinya mengatakan dia jerih.
"Sumoi, aku tidak mengkhawatirkan diri sendiri, melainkan mengkhawatirkan keselamatanmu sendiri. Kalau engkau berkeras hendak pergi, tentu saja aku akan menemanimu."
Sian Li tersenyum menatap wajah suhengnya. "Terima kasih, Suheng. Dan maafkanlah, bukan maksudku mengatakan engkau takut. Akan tetapi aku ingin sekali menghadiri undangan itu dan melihat siapa saja sebetulnya orang-orang itu dan apa maksud undangan mereka kepada kita."
Demikianlah, akhirnya Sian Lun terpaksa harus memenuhi kehendak Sian Li dan mereka menanti datangnya kereta yang akan menjemput mereka dengan hati berdebar penuh ketegangan. Sian Li memang berjiwa petualang dan suasana yang mendebarkan hatinya itu melupakan suatu kenikmatan tertentu bagi seorang petualang. Apalagi kalau ia membayangkan kemunginan munculnya Sin-ciang Tai-hiap! Bahkan diam-diam ia mengharapkan terjadi sesuatu dengan dirinya agar pendekar aneh itu akan muncul kembali!
Di luar dugaan mereka, kereta itu muncul setelah lewat tengah hari, belum sore. Sebagai seorang wanita, tentu saja Sian Li tidak mau pergi dalam keadaan belum mandi dan pakaian belum diganti, maka ia minta kepada kusir kereta yang datang menjemput agar menanti sebentar karena ia ingin mandi dan berganti pakaian lebih dahulu. Sebaliknya, Sian Lun yang merasa tegang dan selalu diliputi kegelisahan, tidak sempat bertukar pakaian dan mandi. Orang pergi menentang bahaya, untuk apa harus mandi dan berganti pakaian segala, pikirnya. Dia malah menanti sumoinya di dekat kereta dan mencoba untuk memancing keterangan kepada kusir kereta. Akan tetapi, kusir itu hanya menjawab "tidak tahu" atas segala pertanyaannya, dan hanya mengatakan bahwa dia bertugas menjemput mereka. Akan tetapi, dari gerak gerik dan sinar matanya yang tajam membayangkan kecerdikan. Sian Lun dapat menduga bahwa kusir ini hanya berpura-pura tolol dan lemah saja. Tentu dia seorang anggauta yang sudah dipercaya, dan yang memiliki ilmu kepandaian tangguh.
Akhirnya muncullah Sian Li dengan wajah dan tubuh segar, dengan pakaian bersih dan rambutnya tersanggul rapi. Ia nampak segar dan cantik sekali, membuat hati Sian Lun menjadi semakin gelisah. Kenapa sumoinya demikian mempercantik diri? Mereka akan menjadi tamu orang-orang jahat! Baru Cu Ki Bok, murid Lulung Ma itu saja jelas amat lihai dan pemuda itu mempunyai niat tidak senonoh terhadap diri Sian Li. Juga dari percakapan yang didengarnya ketika mereka ditawan, dia mendengar betapa Sian Li akan dihadiahkan kepada orang yang disebut sebagai Pangeran Gulam Sing! Dengan kecantikan seperti itu, sumoinya akan membuat orang-orang jahat itu menjadi semakin hijau! Akan tetapi tentu saja dia tidak dapat berkata apa-apa dan mereka pun naik ke dalam kereta yang segera dijalankan oleh kusirnya dengan cepat meninggalkan kota itu.
Kereta itu meluncur keluar kota melalui pintu gerbang sebelah timur, kemudian mendaki sebuah bukit. Berkali-kali Sian Lun bertanya kepada kusirnya, ke mana mereka akan dibawa pergi. Akan tetapi kusir itu tidak pernah mau menjawab! Ketika kereta memasuki sebuah hutan di lereng bukit itu, Sian Lun kehabisan sabarnya.
"Kusir keparat! Kalau tidak kau jawab, aku akan menghajarmu! Hayo katakan ke mana engkau akan membawa kami!" bentaknya dan dia sudah bergerak untuk menyerang kusir yang duduk di depan.
Akan tetapi lengannya ditangkap Sian Li. "Suheng, kenapa tidak sabar?" katanya sambil mengerutkan alisnya. "Dia hanya petugas yang melaksanakan perintah. Tentu saja dia membawa kita kepada yang mengutusnya, yaitu Hek I Lama yang mengundang kita."
"Nona berkata benar dan kita sudah hampir tiba di tempat yang dituju," kata kusir itu dan Sian Lun terpaksa menelan kemarahannya. Dia merasa terlalu tegang sehingga mudah tersinggung dan marah.
Ternyata di tengah rimba itu terdapat tempat terbuka di mana berdiri sebuah rumah besar. Dan suasananya di sana memang dalam keedaan pesta. Banyak orang sedang membereskan ruangan depan rumah itu yang disambung dengan panggung di depan rumah, merupakan ruangan yang luas dan setengah terbuka. Kursi-kursi yang diatur di situ rapi dan semua menghadap ke dalam, ke arah rumah di mana terdapat meja besar dan kursi-kursi yang mudah diduga menjadi tempat tuan rumah. Dan pada saat itu, telah banyak orang berkumpul, bahkan di pihak tuan rumah telah duduk banyak pendeta yang berjubah hitam dan berkepala gundul. Anak buah dari perkumpulan yang dipimpln para pendeta Lama berjubah hitam ini kesemuanya juga berpakaian serba hitam, dengan kain kepala warna hitam pula sehingga mereka nampak menyeramkan. Sian Li dan Sian Lun menduga bahwa mereka yang hadir di sana dan tidak berpakaian hitam tentulah tamu-tamu seperti juga mereka. Mereka melihat pula banyak orang Nepal yang bertubuh tinggi besar, bermuka brewok dan menutup kepala dengan sorban putih atau kuning. Mereka melihat pula banyak orang mengenakan pakaian Han seperti mereka. Ada pula yang memakai pakaian suku Miao, Hui, Kasak, dan Mongol.
Ketika kakak beradik seperguruan itu tiba di situ, mereka disambut dengan hormat dan hal ini dapat diketahui karena yang menyambut mereka adalah Lulung Lama sendiri bersama muridnya, Cu Ki Bok! Dan setelah mereka dipersilakan duduk di rombongan orang-orang Han yang kemudian ternyata adalah orang-orang yang dianggap sebagai tokoh kang-ouw dan para pendekar, barulah Sian Li dan Sian Lun tahu bahwa Lulung Ma bukanlah pemimpin nomor satu dari perkumpulan Lama Jubah Hitam! Selain dia, masih ada pula seorang suhengnya yang duduk di kursi terbesar. Pendeta Lama ini juga berpakaian serba hitam dan dia sudah tua sekali, sedikitnya tujuh puluh lima tahun usianya dan kelihatan seperti seorang pemalas, hanya duduk saja bersandar dikursinya. Agaknya yang aktip dalam pertemuan itu adalah Lulung Lama dan muridnya, yaitu Cu Ki Bok, peranakan Han Tibet itu.
Biarpun hatinya merasa panas dan marah melihat Cu Ki Bok yang menyambutnya bersama Lulung Lama, namun Sian Lun menahan diri dan tidak memperlihatkan kemarahannya. Adapun Sian Li bersikap tenang bahkan tersenyum-senyum sehingga diam-diam Cu Ki Bok merasa kagum bukan main. Gadis itu selain cantik dan lincah, ternyata memiliki ketabahan yang mengagumkan hatinya. Sian Li merasa semakin yakin bahwa pihak tuan rumah tidak akan mungkin berani melakukan kekerasan terhadap ia dan suhengnya, melihat bahwa pertemuan itu dihadiri demikian banyaknya orang dari berbagai golongan. Tentu orang macam Lulung Lama tidak akan merendahkan diri yang hanya akan mencemarkan nama besarnya sendiri selagi di situ berkumpul banyak orang, dengan perbuatan yang curang dan pengecut. Hal ini terbukti pula dengan sikap Cu Ki Bok yang sopan dan hormat, padahal baru kemarin pemuda murid tokoh Hek I Lama itu bersikap kasar dan tidak sopan.
Akan tetapi, Sian Li dan Sian Lun menjadi pusat perhatian para tamu ketika Lulung Ma dengan suara lantang memperkenalkan tamu baru ini kepada semua orang sebagai dua orang pendekar dari timur yang masih mempunyai hubungan erat dengan Puteri Gangga Dewi dari Kerajaan Bhutan.
Agaknya kini semua tamu sudah berkumpul dan senja mulai datang, lampu-lampu penerangan dinyalakan dan pesta pun dimulai. Setelah Lulung Lama sebagai wakil pimpinan Hek I Lama menyuguhkan anggur sampai tiga keliling kepada para tamu dan mempersilakan para tamu makan kueh manis yang dihidangkan sebagai pembuka pesta. Lulung Lama lalu bangkit berdiri dan dengan kedua tangan diangkat dia minta agar para tamu tidak berisik dan memberi perhatian kepadanya. Agaknya bicaranya memang ditujukan kepada orang-orang Han yang menjadi tamu di situ, maka dia mempergunakan bahasa Han. Para kelompok suku bangsa lain yang tidak paham bahasa Han, mendengarkan terjemahannya dari kawan-kawan mereka yang paham.
"Saudara sekalian, Cuwi (Anda Sekalian) yang gagah perkasa dari dunia kang-ouw di timur, kami dari Hek I Lama mengucapkan selamat datang dan terima kasih atas kehadiran Cuwi yang memenuhi undangan kami. Seperti Cuwi dapat melihatnya, di sini kami berkumpul, dihadiri pula oleh para sahabat dari Nepal terutama sebagai kawan seperjuangan kami, dan para sahabat dari suku Miao, Hui, Kasak dan Mongol yang tidak sudi melihat orang-orang Mancu merajalela dan hendak menguasai seluruh daratan. Cuwi kami undang mengadakan perundingan dan kami ajak untuk bekerja sama menentang pemerintah Kerajaan Ceng dari bangsa Mancu. Kalau kita semua bersatu, tentu bangsa Mancu akan depat kita kalahkan dan kita usir kembali ke asal mereka. Kami mengharapkan sambutan dari Cuwi yang kami hormati sebagai orang-orang gagah di dunia kang-ouw."
Lulung Ma memberi hormat lalu duduk kembali. Sebelum dari golongan orang Han ada yang menjawab, Pangeran Gulam Sing sudah bangkit dari tempat duduknya di jajaran tuan rumah, di samping Lulung Lama dan dia pun bicara dengan suaranya yang lantang, dalam bahasa Nepal yang langsung diterjemahkan kalimat demi kalimat oleh seorang Han yang duduk di belakangnya.
"Saudara sekalian, kita ini terdiri dari berbagai suku dan bangsa, akan tetapi saat ini kita berkumpul sebagai saudara-saudara senasib sependeritaan dan seperjuangan! Kita sama-sama sengsara oleh kelaliman bangsa Mancu! Bangsa Mancu tidak saja menjajah seluruh daratan Cina, akan tetapi juga menindas daerah barat, menjajah Tibet, bahkan merupakan ancaman bagi negara tetangga di barat. Kami, Pangeran Gulam Sing, memimpin orang-orang gagah dari Nepal, siap untuk berjuang bersama dengan saudara sekalian untuk menentang pemerintah Mancu!" Setelah berkata demikian, dibawah sambutan tepuk tangan, pangeran Nepal ini duduk kembali. Dia seorang pangeran Nepal yang berkulit coklat kehitaman, bertubuh tinggi besar, mukanya brewok dan tampan gagah jantan, matanya lebar dan sinarnya tajam, mulutnya selalu dibayangi senyum memikat. Pangeran berusia kurang lebih empat puluh tahun ini memang seorang pria yang jantan dan ganteng sekali.
Di deretan depan dari para tamu golongan Han, nampak seorang wanita bangkit berdiri. Sian Li dan Sian Lun sejak tadi sudah melihat bahwa di antara para tokoh kang-ouw terdapat beberapa orang wanita, dan yang menarik perhatian adalah adanya tiga orang wanita yang usianya antara dua puluh lima sampai tiga puluh tahun, ketiganya cantik menarik, berpakaian serba mencolok berwarna warni akan tetapi selalu dihias kembang teratai putih. Kini, seorang di antara tiga wanita itu, yang tertua, usianya sekitar tiga puluh tahun, bangkit dan tentu saja ia menjadi pusat perhatian ketika ia bicara.
"Para pimpinan Hek I Lama, apakah aku boleh bicara sekarang?" tanyanya suaranya lantang akan tetapi merdu dan gayanya memikat, matanya bersinar-sinar tajam genit dan mulutnya tersenyum-senyum, pandang matanya menyambar-nyambar ke arah Pangeran Gulam Sing.
Lulung Lama segera bangkit dan memberi hormat. "Omitohud! Pinceng sebagai wakil pimpinan Hek I Lama, berterima kasih sekali kalau Toa-nio yang datang sebagai utusan dan wakil Pek-lian-kauw memberi petunjuk kepada kami."
Tentu saja perhatian Sian Li dan Sian Lun menjadi semakin besar ketika mendengar ucapan Lulung Lama itu. Kiranya tiga orang wanita cantik itu adalah orang-orang Pek-lian-kauw! Mereka berdua sudah banyak mendengar tentang Pek-lian-kauw (Agama Teratai Putih), yaitu segolongan orang dengan agama yang aneh dan yang memiliki banyak tokoh lihai, dan mereka terkenal sebagai pemberontak-pemberontak yang gigih. Namun sayang, biarpun mereka memberontak terhadap pemerintah penjajah, namun nama Pek-lian-kauw bukan nama yang bersih dan disuka rakyat, karena banyak di antara tokoh mereka suka melakukan segala macam kejahatan berkedok perjuangan juga agama mereka merupakan agama yang eneh, yang menyimpang dari induknya, yaitu Agama Buddha, dan banyak melakukan perbuatan sesat. Inilah sebabnya mengapa Pek-lian-kauw selalu bergerak sendiri, tidak memperoleh dukungan para pendekar patriot, lebih dekat dengan tokoh-tokoh sesat di dunia kang-ouw.
"Kami Pek-lian Sam-li (Tiga Wanita Teratai Putih) telah menyerahkan surat kuasa sebagai wakil Pek-lian-kauw kepada pimpinan Hek I Lama. Kami diberi wewenang untuk menghadiri pertemuan ini, menyelidiki dan memutuskan apakah Pek-lian-kauw menganggap patut untuk bekerja sama dengan kalian, Pek-lian-kauw sejak dahulu menentang pemerintah penjajah dan kami adalah pejuang-pejuang yang pantang mundur. Maka, kami ingin mengetahui lebih dulu apakah kalian ini sungguh-sungguh hendak menentang pemerintah Mancu, sebelum kami menyatakan suka bekerja sama." Kembali Ji Kui, wanita itu yang merupakan saudara paling tua dari mereka bertiga, mengerling ke arah Gulam Sing yang juga memandang kepada tiga orang wanita itu sambil tersenyum-senyum. Gulam Sing ini terkenal sebagai seorang laki-laki yang selalu haus wanita, maka tentu saja kehadiran tiga orang tokoh Pek-lian-kauw itu sejak tadi sudah amat menarik perhatiannya.
"Ucapan Pek-lian Sam-li wakil Pek-lian-kauw itu benar!" tiba-tiba terdengar suara lantang dan ternyata yang bicara adalah seorang laki-laki berusia enam puluh tahun lebih yang pakaiannya penuh tambalan. Dia adalah seorang tokoh dari dunia pengemis, bertubuh tinggi kurus dan bongkok, dan ketika dia bangkit berdiri, tangan kanannya memegang sebatang tongkat hitam. "Kami harus tahu benar apakah yang hadir di sini sungguh-sungguh hendak menentang pemerintah Mancu. Sebelum tiba di sini, kami banyak mendengar dan kami merasa heran ketika ada berita bahwa pemerintah Tibet tidak menentang Kerajaan Ceng, bahkan kabarnya Dalai Lama sendiri mengakui pemerintahan penjajah Mancu. Juga kami mendengar bahwa pemerintah Nepal yang resmi tidak menentang penjajah Mancu. Maka, apa artinya gerakan yang diadakan oleh Hek I Lama dan Pangeran Gulam Sing? Sebelum kami menyatakan diri bergabung, kami harus mengetahui dulu dengan jelas seperti yang diucapkan wakil Pek-lian-kauw tadi."
Sehabis bicara, kakek pengemis itu duduk kembali dan suasana menjadi riuh karena orang-orang Han yang berkumpul di situ, banyak di antara mereka yang menyetujui pendapat kakek pengemis itu.
Sian Li memandang ke arah kakek itu dengan hati berdebar. Ia mengenal kakek itu! Nampaknya masih sama saja seperti dulu, kurang lebih lima tahun yang lalu. Tentu saja ia tidak dapat melupakan kakek pengemis itu yang pernah merampasnya dari tangan Hek-bin-houw, bahkan kakek itu membunuh Hek-bin-houw. Kakek itu adalah Hek-pang Sin-kai (Pengemis Sakti Tongkat Hitam) dan setelah membebaskan ia dari tangan Hek-bin-houw, kakek pengemis itu hendak mengajaknya pergi untuk menjadi muridnya. Akan tetapi, muncul Nenek Bu Ci Sian yang merampasnya. Nenek sakti itu mengalahkan Hek-pang Sin-kai, bahkan melukai paha pengemisitu. Ia ingat benar semua peristiwa itu dan kini ia memandang ke arah pengemis itu penuh perhatian.
Mendengar ucapan kakek pengemis itu, Dobhin Lama, Ketua Hek I Lama yang sejak tadi duduk melenggut saja, kini menegakkan tubuhnya dan membuka matanya. Kemudian terdengar suaranya dan dia bicara tanpa bangkit berdiri, "Siapa yang bicara itu tadi?"
"Kami adalah Hek-pang Sin-kai,, Ketua Perkumpuian Pengemis Tongkat Hitam di selatan!" kata kakek itu dengan berani, akan tetapi begitu pendeta Lama yang kelihatan lemah itu mengangkat muka memandang kepadanya, begitu dua pasang pandang mata bertemu, kakek pengemis itu terkejut bukan main karena pandang matanya bertemu dengan dua sinar mencorong yang seperti menembus sampai ke jantungnya. Dia tidak tahan memandang lebih lama dan cepat menundukkan mukanya.
"Omitohud, Ketua Hek-pang Kai-pang meragukan kami? Ketahuilah Sin-kai, biarpun Dalai Lama sendiri mengakui kekuasaan Kerajaan Mancu, akan tetapi kami golongan Hek I Lama tidak! Biar pemerintah Tibet tidak bergerak, akan tetapi kami akan bergerak dan kami yakin bahwa rakyat Tibet akan mendukung kami!"
Terdengar suara ketawa dan Pangeran Gulam Sing juga berkata dalam bahasa Nepal, diikuti kalimat demi kalimat oleh penterjemahnya. "Ha-ha-ha-ha, agaknya Hek-pang Sin-kai ingin mengetahui keadaan orang lain dan menaruh kecurigaan. Terus terang saja, kami memang tidak sejalan dengan pemerintah kami yang berkuasa sekarang di Nepal. Raja terlalu lemah dan tidak berani menentang orang Mancu. Karena itu, kami bergerak sendiri tanpa persetujuan raja. Apa hubungannya urusan pribadi kami ini dengan perjuanganmu membebaskan tanah air dan bangsa dari tangan penjajah Mancu, Sin-kai?"
"Maaf, Pangeran. Tidak ada hubungannya apa-apa, hanya kami merasa heran melihat betapa negara Bhutan yang demikian kecil, tidak bergerak seperti Nepal, untuk menentang Mancu," kata pengemis tua itu pula.
"Omitohud.... agaknya engkau tidak mengetahui keadaan Bhutan, Sin-kai!" terdengat Lulung Lama berkata. "Tentu saja Bhutan tidak menentang Mancu, karena keluarga Kerajaan Bhutan masih ada hubungan darah dengan Mancu! Bahkan yang menjadi sesepuh sekarang di sana, Puteri Gangga Dewi, sekarang menikah dengan seorang keturunan Pendekar Super Sakti dari Pulau Es yang masih berdarah Mancu pula."
"Keluarga Pendekar Pulau Es bukan hanya berdarah Mancu, juga musuh-musuh yang selalu mengganggu kita!" terdengar teriakan beberapa orang tokoh kang-ouw yang hadir di situ.
"Tentu saja," kata Lulung Ma pula. "Keturunan Pendekar Super Sakti semua beribu Mancu, bahkan keluarga itu lalu berbesan dengan keluarga Naga Sakti Gurun Pasir. Kedua keluarga itu adalah pengkhianat-pengkhianat bangsa, antek-antek bangsa Mancu yang harus kita basmi!"
Sian Lun sudah bangkit berdiri dengan kedua tangan dikepal, akan tetapi Sian Li segera menyentuh lengannya dan menarik pemuda itu duduk kembali sambil memberi isarat dengan gelengan kepala. Ia sendiri tentu saja juga marah mendengar betapa keluarga Pendekar Pulau Es dan Pendekar Gurun Pasir dijelek-jelekkan oleh mereka yang hadir. Ia sendiri memiliki darah kedua keluarga itu! Dari ibunya ia mewarisi darah kedua keluarga Kao keturunan Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir, sedangkan neneknya adalah keluarga Suma, keturunan Pendekar Super Sakti Pulau Es! Sian Lun sendiri hanya marah karena keluarga gurunya, Suma Ceng Liong, dimusuhi mereka.
Dengan menahan kemarahan Sian Lun terpakaa berdiam diri menenuhi permintaan sumoinya. Dia duduk cemberut dan kadang-kadang pandang matanya ke arah pihak tuan rumah bersinar penuh kemarahan.
"Sekarang kami tidak meragukan lagi kesungguhan hati para saudara untuk bekerja sama dengan kami untuk menghadapi Kerajaan Mancu di timur. Kami hanya menghendaki kesungguhan hati, jangan sampai kami dikecewakan lagi seperti yang telah terjadi dengan Thian-li-pang," kata Ji Kui, orang pertama dari Pek-lian Sam-li.
Semua orang memandang kepada wanita itu. Mereka yang hadir tahu belaka perkumpulan apakah Thian-li-pang itu. Di samping Pek-lian-kauw, perkumpulan Thian-li-pang merupakan perkumpulan yang terkenal gigih menentang pemerintah Kerajaan Mancu, sejak pemerintah itu menguasai daratan Cina. Bahkan kedua perkumpulan itu diketahui telah bekerja sama dengan baik sekali sehingga sering kali terjadi kekacauan di kota raja bahkan di istana, ditimbulkan oleh mereka berdua. Kenapa sekarang tokoh Pek-lian-kauw itu menjelekkan Thian-li-pang yang dikatakan telah mengecewakan Peklian-kauw?
"Nanti dulu, Toanio," kata Lulung Lama. "Kami tidak mengerti apa yang kaumaksudkan. Bukankah Thian-li-pang selalu berjuang menentang Mancu? Bukankah selama bertahun-tahun ini Thian-li-pang dikenal sebagai kawan seperjuangan Pek-lian-kauw?"
"Itu memang benar, dahulu. Akan tetapi sekarang, keadaan sudah lain sama sekali. Selama beberapa tahun ini, Thian-li-pang sudah berubah, sudah menyeleweng!"
"Benarkah itu, Nona?" tanya Hek-pang Sin-kai heran. "Aku masih mendengar bahwa Thian-li-pang tetap berjuang melawan pemerintah penjajah Mancu, bahkan akhir-akhir ini gerakan mereka bertambah kuat."
"Huh, mereka itu orang-orang yang tidak mengenal budi, orang-orang yang tidak mempunyai perasaan setia kawan. Dahulu, kami dari Pek-lian-kauw yang membantu mereka, kami bekerja sama dengan baik. Akan tetapi sekarang, setelah Lauw Kang Hui yang menjadi ketua, mereka itu menjadi sombong, mereka memisahkan diri dan tidak mau mengakui lagi Pek-lian-kauw sebagai teman seperjuangan. Mereka berlagak pendekar dan suka menghina orang. Tidakkah itu amat mengecewakan? Kami tidak mau lagi kalau sampai kerja sama dengan kalian ini akhirnya kelak hanya akan merugikan dan mengecewakan kami seperti Thian-li-pang."
"Ha-ha-ha, jangan khawatir, Nona!" kata Pangeran Gulam Sing, dalam bahasa Han bercampur Nepal karena baru beberapa tahun dia mempelajari bahasa Han, sehingga ia selalu dikawal seorang penterjemah. "Kami berjanji akan membantu Nona kelak memberi hajaran kepada Thian-li-pang yang sombong dan tidak mengenal setia kawan itu, ha-ha!" Pangeran Nepal yang ganteng itu mengelus kumisnya yang melintang gagah dan matanya bersinar-sinar ditujukan kepada tiga orang wanita tokoh Pek-lian-kauw itu.
Tiga orang wanita muda itu tersenyum. Ji Hwa, orang ke dua yang kulitnya putih mulus dan wajahnya cantik, tersenyum dan suaranya terdengar basah ketika bicara dengan suara mendesah. "Pangeran, harap jangan pandang rendah Thian-li-pang. Disana banyak terdapat tokoh yang amat lihai!"
"Benar sekali kata Enci ke dua itu, Pangeran," kata Ji Kim, wanita ke tiga yang selain jelita, juga lincah jenaka dan cerdik sekali. "Ketuanya yang bernama Lauw Kang Hui itu memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, sungguh tidak boleh dipandang ringan!"
Pangeran Gulam Sing tertawa dan nampaklah giginya yang putih dan kuat. "Ha-ha-ha, kami tidak memandang rendah Nona-nona yang baik. Kami hanya menyatakan ingin membantu kalian menghadapi Thian-li-pang. Dan tentang kelihaian mereka, kita tidak perlu takut karena kita pun bukan orang-orang lemah. Aku sendiri pun, biar bodoh, mempunyai juga sedikit tenaga untuk disumbangkan membantu kalian dalam segala hal, ha ha!"
Setelah berkata demikian, pangeran yang tinggi besar dan bertubuh kokoh kuat itu, menghampiri sebuah arca singa besi yang berada di sudut ruangan itu. Singa besi itu jelas amat berat dan sedikitnya membutuhkan tenaga sepuluh orang untuk mengangkatnya! Akan tetapi, Pangeran Gulam Sing membungkuk, memegang benda itu dengan kedua tangannya dan sekali dia mengeluarkan suara bentakan nyaring, benda itu diangkatnya di atas kepala! Tentu saja semua orang memandang dengan mata terbelalak penuh keheranan, kekagetan dan kekaguman. Setelah pangeran itu menurunkan singa batu di tempatnya kembali dan hanya mukanya menjadi kemerahan dan napasnya agak memburu, semua orang bertepuk tangan memuji. Memang jarang ada orang memiliki tenaga gajah seperti pangeran itu, Sian Li dan Sian Lun diam-diam terkejut juga tahulah mereka bahwa pangeran itu akan merupakan lawan yang tangguh dan berbahaya.
Tiga orang wanita Pek-lian-kauw itu pun menyambut dengan tepuk tangan dan mereka tersenyum-senyum gembira. "Aihh kiranya Pangeran memiliki tenaga yang amat kuat, lebih kuat daripada kuda!" Ji Kui memuji.
Pangeran itu tertawa. "Ha-ha-ha, untuk Nona bertiga, setiap saat kami siap untuk menggunakan tenaga kuda kami!"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar