Yo Han kagum. Kiranya Sian Li, Si Bangau Merah yang dahulu sering digendongnya dan diajak bermain-main itu, kini telah menjadi seorang gadis yang cantik jelita, lihai, pemberani dan juga cerdik sekali. Cara gadis itu tadi menghadapi Cu Ki Bok saja sudah menunjukkan kecerdikannya. Diam-diam dia merasa bangga.
Mereka lalu berangkat mendaki bukit yang tadi ditunjuk oleh Sian Li. Bukit itu ternyata merupakan sebuah bukit yang sunyi, penuh dengan hutan belukar dan tidak nampak ada dusun di atas bukit. Dusun-dusun hanya terdapat di kaki bukit, begitu mereka mendaki ke atas, ternyata tidak terdapat dusun di lereng-lereng bukit itu yang penuh hutan liar belukar dan rawa-rawa. Bahkan mendaki ke puncak pun tidak mudah walaupun bukit itu tidak terlalu besar. Karena kini dia sudah berada di tempat di mana ditentukan adu kepandaian itu, untuk menjaga kalau-kalau ada pihak musuh yang melihatnya. Yo Han sudah mengenakan caping berikut tirai sutera hitamnya,dan membiarkan rambutnya juga terlepas riap-riapan.
Akan tetapi, betapa heran mereka ketika tiba di puncak, mereka melihat sebuah pondok berdiri di situ! Sebuah pondok kayu yang nampaknya masih baru, mungkin hanya beberapa bulan saja umurnya. Kecil namun kokoh kuat. Di belakang dan kanan kiri pondok itu nampak ditanami sayur-sayuran, di depan pondok, sebuah taman yang penuh bunga indah amat menyedapkan pandang mata. Tentu saja Sian Li dan Yo Han tertegun sejenak dan saling pandang. Sungguh diluar dugaan mereka bahwa di tempat sunyi itu terdapat pondok tempat tinggal orang! Siapa orangnya yang tinggal didi tempat sunyi seperti ini? Tentu hanya pertapa atau pendeta yang sengaja mengasingkan diri dari dunia ramai.
Ketika dengan ragu-ragu mereka memasuki pelataran rumah itu yang merupakan sebuah taman dikelilingi pagar bambu, tiba-tiba terdengar bentakan halus suara wanita, "Berhenti! Siapa kalian berani lancang memasuki pekarangan rumah orang tanpa diundang!"
Yo Han dan Sian Li berhenti, lalu memandang ke arah suara yang keluar dari pinggir pondok. Ketika pemilik suara muncul, mereka memandang heran. Wanita itu berusia lima puluh tahun lebih, namun masih nampak cantik manis. Pakaiannya sederhana namun bersih dan ringkas, tubuhnya masih padat dan tegak, sikapnya gagah dan sebatang pedang yang tergantung di pinggang menunjukkan bahwa wanita ini seorang ahli silat yang tidak lemah. Rambut panjang yang sudah dihias uban itu digelung ke atas, dengan hiasan tusuk sanggul dari perak berbentuk bunga seruni. Wanita itu dengan alis berkerut dan sinar mata tajam menyelidik, mengamati Yo Handan Sian Li. Juga ia merasa heran melihat bahwa tamu-tamu yang tidak diundangnya itu seorang pemuda tampan bermata tajam mencorong, dan seorang gadis yang jelita.
Sian Li yang lincah jenaka itu sudah dapat menguasai keheranannya dan iapun tersenyum manis. "Aih, Bibi ini manusia ataukah peri? Bibi kelihatan seperti seorang wanita setengah tua yang cantik dan gagah, agaknya memang seorang manusia dari darah daging. Akan tetapi kalau manusia, kenapa hidup dipuncak bukit yang amat sepi ini seorang diri?" Wanita itu terbelalak dan matanya bersinar marah. "Kau bocah lancang mulut!" Wanita itu menggerakkan lengan bajunya dan tiba-tiba tubuhnya sudah meloncat dan melayang ke depan Sian Li. Gerakannya demikian ringannya seperti terbang saja. Begitu tiba di depan Sian Li, ia menggerakkan tangan menampar ke arah pundak gadis itu. Tamparannya nampak lembut dan tidak mengandung tenaga, akan tetapi ada angin yang dingin menyambar ke arah pundak SianLi.Gadis ini terkejut, mengenal pukulan yang mengandung sin-kang (tenaga sakti) dingin. Cepat ia pun mengelak dan sambaran tangan wanita itu luput. Kini tangan kanan wanita itu menyambar dan kembali tangan itu menampar ke arah pundak kiri Sian Li. Kalau tadi tangan kiri wanita itu mendatangkan angin yang dingin sekali, sekarang tangan kanannya yang menyambar itu membawa angin pukulan yang amat panas sehingga telapak tangan itu beruap! Kembali Sian Li terkejut dan cepat ia menggeser kaki, menarik diri kebelakang sehingga pukulan kedua itupun luput.
"Ehh....?" Wanita itu nampak terkejut dan heran. Tak disangkanya sama sekali bahwa gadis remaja yang lancang mulut itu mampu menghindarkan diri dari dua tamparannya yang hebat! Ia merasa penasaran dan siap untuk menyerang sungguh-sungguh akan tetapi pada saat ituterdengar suara mencegahnya.
"Ibu, harap jangan pukul orang....!"
Wanita setengah tua itu terkejut dan membalikkan tubuh, dan ketika ia melihat seorang pemuda keluar dari pintu pondok, ia mengangkat kedua tangannya ke atas dan memandang penuh kekhawatiran. "Ciang Hun, kenapa engkau bangun. Seharusnya engkau melanjutkan pengobatan dengan menghimpun hawa murni agar engkau sembuh benar!"
Pemuda itu tersenyum, "Ibu, aku sudah sembuh." Mendengar ini, wanita itu berlari menghampiri dan merangkul pundak pemuda itu dengan pandang mata yang membuat Sian Li terharu. Pandang mata wanita itu terhadap puteranya sungguh penuh kasih sayang mendalam! Wanita itu seorang ibu yang teramat besar kasih sayangnya kepada puteranya. Ia pun seperti Yo Han, kini memperhatikan pemuda yang baru muncul dari dalam pondok itu.
Pemuda itu bertubuh tinggi besar dan tegap sehingga nampak gagah perkasa, namun wajahnya membayangkan kelembutan dan ketenangan. Usianya sekitar dua puluh delapan tahun. Pada saat itu, wajahnya agak pucat, wajah yang tampan dengan alis tebal dan hidung mancung besar. Matanya seperti mata ibunya, jeli dan bersinar tajam.
Pemuda itu kini menghampiri Sian Li dan Yo Han. Pandang matanya menyelidik, akan tetapi mulutnya tersenyum ramah dan dengan rendah hati dia mengangkat kedua tangan di depan dada sebagai penghormatan. Tentu saja Yo Han segera membalasnya, dan Sian Li yang masih mendongkol karena tadi diserang secara membabi-buta, mengikuti Yo Han dengan setengah hati.
"Harap Jiwi (Anda Berdua) memaafkan ibuku yang menyambut Jiwi dengan sikap kasar. Hendaknya Jiwi ketahui bahwa disini banyak berkeliaran orang jahat, maka ibuku menjadi pemarah dan mencurigai semua orang. Kalau boleh kami mengetahui, siapakah Jiwi dan apa pula maksud kunjungan Jiwi kesini?"
Selain suaranya lembut, wajahnya cerah dan dihias senyum, juga kata-katanya teratur, tanda bahwa pemuda tinggi besar itu seorang yang terpelajar. Yo Han segera merasa tertarik dan dia pun merasa sungkan sekali, ingat betapadia dan Sian Li telah lancang memasuki pekarangan orang tanpa ijin.Wanita, setengah tua itu tidak bersalah, apalagi agaknya ucapan jenaka dari Sian Li tadi agaknya membuat wanita yang sedang risau dan pemarah itu salah sangka atau salah tampa.
"Kamilah yang seharusnya minta maaf sobat," kata Yo Han dengan sikap sopan. "Kami telah lancang memasuki pekarangan ini, bukan dengan niat buruk dihati, melainkan karena keinginan tahu siapa penghuni rumah ditempat yang sunyi ini. Saya bernamaYo Han dan adik ini bernama Tan Sian Li."
Pemuda tinggi besar itu menerima perkenalan dengan ramah. "Namaku Gak Ciang Hun, dan ini adalah ibuku. Baru beberapa bulan kami memilih tempat ini sebagai tempat tinggal yang baru. Kami kira tempat ini tenteram dan penuh kedamaian, siapa kira, baru sebulan yang lalu dikaki bukit kami bertemu dengan orang-orang jahat yang mengeroyok sehingga biarpun kami berhasil mengusir mereka, aku menderita luka dan ibu menjadi pemarah, selalu mencurigai setiap orang asing."
"Apakah orang-orang jahat itu para Lama berjubah hitam, ataukah orang Nepal, atau pengemis-pengemis bertongkat hitam?" tanya Sian Li.
Gak Ciang Hun memandang kepada Sian Li dengan mata terbelalak lebar. Baru sekarang dia memandang gadis itu sepenuhnya dan diam-diam dia merasa kagum dan terpesona. Gadis ini bukan saja lincah jenaka, akan tetapi mampu menyambut dua kali pukulan ibunya, dan ternyata amat cantik jelita dan juga nampaknya cerdik bukan main.
"Nona, bagaimana Nona bisa mengetahuinya dengan tepat? Memang diantara para pengeroyok, terdapat tiga macam orang itu!"
"Tentu saja aku tahu!" kata Sian Li sambil tersenyum dan membusungkan dada yang sudah menonjol itu. "Bahkan aku tahu lebih banyak lagi! Setidaknya, aku tahu bahwa Bibi Gak ini tentu pernah mempelajari ilmu Hui-yang Sin-kang dan Swat-im Sin-kang dari keluarga pendekar Pulau Es."
Wanita itu mengeluarkan seruan kaget dan dengan gerakan cepat sekali ia telah meloncat mendekati Sian Li, sepasang matanya seperti berapi ketika ia memandang kepada gadis itu.
"Hemm, bagaimana kau tahu tentang ilmu-ilmu dari Pulau Es? Hayo cepat katakan!"
Sian Li sendiri adalah seorang gadis yang galak dan pemberani. Ia tersenyum mengejek. "Bibi, engkau terlalu galak! Aku bukan apa-apamu, kenapa main bentak saja? Kalap seperti ini sikapmu dalam bertanya, aku pun tidak jadi menjawab. Nah, kau mau apa?"
Sebelum ibunya marah-marah, pemuda tinggi besar itu cepat menengahi dan berkata, "Harap Nona suka memaafkan Ibuku. Seperti kukatakan tadi, Ibu menjadi pemarah karena gangguan orang-orang jahat itu. Akantetapi, sungguh kami berdua merasa terkejut dan heran sekali mendengar Nona mengenal ilmu-ilmu dari Pulau Es. Bagai manakah Nona dapat mengetahui bahwa Ibuku mempelajariilmu-ilmu Pulau Es?"
Sian Li tersenyum. "Apa sukarnya?Ibumu tadi menamparku dengan Swat-im Sin-kang, kemudian tamparan kedua menggunakan tenaga Hui-yang Sin-kang. Setahuku, para murid pendekar Pulau Es tidaklah jahat dan galak, main bentak dan main pukul saja."
Mendengar ini, Gak Ciang Hun cepat memberihormat. "Kalau begitu, Nona adalah murid keluarga pendekar Pulau Es?"
"Katakan dulu, dari siapakah ibumu mempelajari ilmu Pulau Es? Baru aku akan menerangkan tentang diriku," kata Sian Li dengan sikap "jual mahal" untuk melepaskan kedongkolan hatinya karena tadi diserang dan dibentak-bentak oleh ibu pemuda itu.
"Nona Tan Sian Li, ketahuilah bahwa kami mempelajari ilmu keluarga Pulau Es dari mendiang kakek kami," jawab Ciang Hun.
"Siapa nama mendiang kakekmu itu?"
"Mendiang kakek adalah Bu Beng Lokai (Pengemis Tua Tanpa Nama)."
Kini Sian Li terbelalak. "Aihh....? Bukankah Locianpwe itu yang berhama Gak Bun Beng?" Ia teringat akan cerita paman kakeknya, yaitu Suma Ceng Liong yang memperkenalkan nama para pendekar yang mempunyai hubungan dengan keluarga Pulau Es dan yang mewarisi ilmu-ilmu dari Pulau Es.
"Benar, Nona. Kedua orang Ayahku, Beng-san Sian-eng, juga telah meninggal dunia pula kurang lebih setahun yang lalu Setelah Ayah meninggal, Ibu tidak betah lagi tinggal di Beng-san, maka kami pergi meninggalkan Beng-san dan merantau sampai ke sini, lalu memilih tempat sunyi ini sebagai tempat tinggal sementara."
Kini Sian Li tidak berani main-main dan tidak berani bersikap galak lagi. Iamengangkat kedua tangan memberi hormat kepada wanita setengah tua yang masih cantik namun galak itu."Kalau begitu, maafkanlah aku, bibi yang baik. Kiranya bibi bukan orang lain dan di antara kita masih ada hubungan yang cukup dekat...."
"Hemm, cukuplah bermaaf-maafan ini," kata Nyonya Gak atau Souw Hui Lan" Engkau sudah mengetahui Siapa kami, akan tetapi kami belum tahu siapa engkau dan apa hubunganmu dengan keluarga Pulau Es."
"Bibi, aku dapat dikatakan murid Pulau Es, akan tetapi juga keluarga Pulau Es. Nenekku bernama Suma Hui adalah cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, dan aku pun diambil murid oleh Paman Kakekku sendiri, yaitu Kakek Suma Ceng Liong."
Wanita itu membelalakkan matanya dan wajah yang tadinya masam itu kini menjadi cerah berseri. "Ahhh.... kiranya engkau cucu Enci Suma Hui dan bahkan murid pendekar besar Suma Ceng Liong? Kalau begitu, sama sekali tidak aneh kalau engkau mengenal dua tamparanku tadi! Engkau benar, kita masih ada ikatan yang dekat. Maafkan sikapku tadi, Sian Li. Kakakmu Ciang Hun benar, aku menjadi pemurung dan pemarah, bukan hanya karena sikap orang-orang jahat dikaki bukit, melainkan sejak kedua pa manmu meninggal dunia...."
SianLi sudah mendengar dari paman kakeknya bahwa wanita ini bernama Souw Hui Lian dan menikah dengan dua orang suami, yaitu pendekar kembar Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong, putera Gak Bun Beng.
"Sudahlah Bibi. Yang sudah meninggal tidak perlu disedihkan. Kita semua pun akan mengalaminya, dan kata Paman Kakek Suma Ceng Liong, kematian hanya merupakan perjalanan pulang yang abadi, setelah orang merantau di dunia yang penuh sengketa ini. Kalau Bibi terlalu bersusah hati, akibatnya hanya akanmengganggu kesehatan sendiri."
"Bukan main!" Ciang Hun yang biasanya tenang dan lembut itu kini berseru dengan mata bersinar-sinar. "Masih begini muda namun telah memiliki pengertian demikian mendalam tentang kematian. Dan siapakah saudara Yo Han ini? Apakah juga murid atau anggauta keluargaPulau Es?"
"Ciang Hun, sekarang engkau yang kurang sopan. Kenapa dua orang tamu terhormat diajak bicara di pekarangan saja? Anak-anak yang baik, marilah kita bicara didalam pondok. Silakan masuk!" kata Nyonya Gak atau Souw Hui Lian. Sian Li tertawa dan mereka pun memasuki pondok.
Siapakah ibu dan anak itu? Nyonya itu dahulu bernama Souw Hui Lian, murid dari sepasang pendekar Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong. Kemudian, murid itu jatuh cinta kepada kedua orang gurunya, dan demikian sebaliknya, maka ia menjadi isteri kedua orang pendekar itu. Dari perjodohan yang agak ganjil ini, yaitu seorang isteri dengan dua suami, lahirlah seorang anak laki-laki yang diberinama Gak Ciang Hun. Sepasang Pendekar Gak yang kemudian berjuluk Beng-san Sian-eng (Sepasang Pendekar dari Beng-san) itu adalah putera tinggal Gak Bun Beng, seorang pendekar yang pernah digembleng oleh Pendekar Super Sakti sehingga mewarisi ilmu tenaga sakti dari Pulau Es, dan yang setelah tua berjuluk Bu Beng Lokai. Pada akhir hayatnya, Bu Beng Lokai ini masih sempat mengoper kan tenaga sakti Hui-yang Sin-kang dan Swat-im Sin-kang kepada cucunya, yaitu Gak Ciang Hun yang kini telah menjadi seorang pemuda perkasa berusia dua puluh delapan tahun dan belum menikah. Keluarga ini tinggal di Pegunungan Beng-san. Setelah dua orang pendekar kembar itu meninggal dunia karena usia tua, Souw Hui Lian menjadi sedih sekali, tidak betah lagi tinggal di Beng-san dan mengajak puteranya merantau sampai ke barat, dan memilih bukit itu sebagai tempat tinggal.
Mereka kini duduk di dalam pondok, dimana terdapat bangku-bangku batu buatan Ciang Hun sendiri. Sederhana namun kokoh.
"Nah, sekarang ceritakan tentang dirimu, Saudara Yo Han. Engkau she (bermarga) Yo, tentu bukan keluarga Pulau Es. Apakah murid Pulau Es pula?"
Yo Han menggeleng dan saling pandang dengan Sian Li. Gadis ini maklum akan perasaan hati Yo Han. "Han-ko, Bibi Gak dan Kakak Ciang Hun ini bukan orang lain. Kurasa sebaiknya kalau engkau berterus terang saja, bahkan kita dapat saling bantu dengan mereka menghadapi gerombolan jahat itu."
Mendengar ucapan Sian Li Itu, Yo Han mengangguk-angguk. Dia dikenal sebagai pendekar bertopeng atau yang selalu menyembunyikan muka dan disebut Sin-ciang Tai-hiap, bukan karena sengaja. Dia merantau dan berkeliaran di daerah perbatasan Tibet ini karena menunaikan tugas, mentaati pesan mendiang gurunya, Kakek Ciu Lam Hok, yaitu mencari dan merampas kembali mustika mutiara hitam. Karena bertahun-tahun dia tidak dapat menemukan pusaka itu, maka sepak terjangnya menentang kejahatan membuat nama Sin-ciang Tai-hiap terkenal. Kalau mustika itu sudah dapat dirampasnya, tentu dia akan meninggalkan daerah itu dan Sin-ciang Tai-hiap pun akan lenyap bersama dia. Terhadap orang orang segolongan sendiri, memang tidak perlu menyembunyikan rahasianya itu, apalagi saat ini dia sedang menghadapi ancaman musuh yang selain lihai, juga banyak jumlahnya dan mungkin mereka akan melakukan kecurangan. Dia tidak khawatir akandiri sendiri, melainkan khawatir karena Sian Li terlibat. Kalau ada dua orang Ibu dan anak ini yang juga berkepandaian tinggi dapat saling bantu dengan mereka, tentu keselamatan Sian Li lebih terjamin.
"Bibi dan Saudara Gak Ciang Hun, sesungguhnya saya tidak mempunyai hubungan sama sekali dengan keluarga Pulau Es yang terhormat dan yang berilmu tinggi. Akan tetapi di waktu saya kecil, saya pernah menerima pertolongan orang tua Adik Tan Sian Li, bahkan saya yang sudah yatim piatu ditampung oleh mereka. Saya diaku sebagai murid, maka hubungan saya dengan Adik Sian Li seperti saudara saja." Dia berhenti, tidak tahu harus menceritakan apalagi. Melihat ini, Sian Li membantunya.
"Kakak Yo Han ini tiga belas tahun yang lalu berpisah dariku, Bibi. Dia mengorbankan diri, menggantikan aku menjadi tawanan seorang iblis betina, dan sejak itu kami saling berpisah. Ketika itu usiaku baru empat tahun. Sekarang, tiga belas tahun kemudian, kita saling bertemu di tempat ini! Bukankah hal itu amat mengherankan dan membahagiakan?
Souw Hui Lian mengangguk-angguk. "Sungguh mengherankan sekali. Kalian yang keduanya datang dari timur, bagaimana dapat secara aneh saling jumpadi sini? Tentu menarik sekali ceritanya!"
"Nanti dulu, Ibu. Sebaiknya Saudara Yo Han menceritakan dulu siapa gurunya kalau bukan keluarga Pulau Es," kata Ciang Hun.
"Ah, guru saya seorang yang tidak terkenal dan menyembunyikan diri, dan saya tidak dapat dibandingkan dengan para murid Pulau Es...." kata Yo Han merendah.
Sikap ini membuat Sian Li mengerutkan alisnya. "Bibi, Gak-toako (Kakak Gak) belum lama tinggal di sini, akan tetapi dalam perjalanan ke barat, kurasa pernah mendengar nama Sin-ciang Tai-hiap, bukan? Ataukah belum pernah?"
"Pendekar yang penuh rahasia itu, yang bersikap lembut terhadap para penjahat, yang menundukkan banyak tokoh dan datuk jahat itu? Kami pernah mendengarnya, dan tak mengetahui siapa sebetulnya pendekar itu karena selalu menyembunyikan mukanya dibalik tirai caping lebarnya," kata Ciang Hun.
"Nah, inilah orangnya!" kata Sian Li dengan bangga sambil menunjuk kepada Yo Han. Pemuda ini mengerutkan alisnya dan mukanya berubah kemerahan.
"Saya tidak sengaja menggunakan nama julukan seperti itu...."katanya. Dan saya mohon Jiwi setelah mendengar pembukaan rahasia dari Adik Sian Li, akan menyimpannya sebagai rahasia. Saya tidak ingin dikenal sebagai Sin-ciangTai-hiap."
Ibu dan anak itu tercengang. Mereka sudah mendengar bahwa pendekar yang penuh rahasia itu memiliki kesaktian yang luar biasa, dan kini orangnya berada didepan mereka, seorang pemuda yang sederhana, ramah bahkan pemalu! Kalau bukan Sian Li yang memberitahu, tentu mereka tidak akan percaya.
Ciang Hun cepat bangkit dan memberi hormat kepada Yo Han. "Ah, kiranya kami berhadapan dengan seorang pendekar besar, maafkan kami dan terimalah hormatku, Taihiap!"
Yo Han cepat membalas. "Gak-toako, harap jangan bersikap seperti itu kalau memang Jiwi (Kalian Berdua) menghendaki bersahabat dengan saya."
"Gak-toako, bersikaplah biasa saja. Biarpun Han-ko ini memiliki ilmu silat yang tinggi, namun dia tidak suka ditonjolkan. Itulah sebabnya dia menyembunyikan keadaan dirinya dan selalu menutupi muka dengan tirai caping dan rambut. Dan biarpun dia penentang kejahatan yang gigih, namun dia tidak suka akan kekerasan. Apalagi membunuh manusia, membunuh seekor ayam pun dia tidak tega!"
"Ih, Li-moi, jangan goda aku," kata Yo Han. Ibu dan anak itu memandang penuh kagum.
"Sekarang, ceritakan apa yang membawa kalian ke bukit ini, dan bagaimana kalian dapat saling jumpa di tempat terasing ini," kata Nyonya Gak.
"Bibi, aku bersama seorang Suhengku, murid Paman Kakek Suma Ceng Liong bernama Sian Lun...."
"Ah, kakakmu?" tanya Ciang Hun.
"Bukan, Toako, biarpun namanya mirip. Dia bernama Liem Sian Lun dan menjadi suhengku. Kami berdua ikut Paman Kakek Suma Ciang Bun dan Nenek Gangga Dewi pergi ke Bhutan."
"Aku tahu Suma Ciang Bun, akan tetapi siapa Gangga Dewi?" tanya Nyo nya Gak.
"Nenek Gangga Dewi adalah puteri mendiang Kakek Wan Tek Hoat dan Puteri Syanti Dewi." Sian Li menjelaskan.
"Aihhh...! Kiranya begitu? Menarik sekali. Lalu, di mana sekarang suhengmu itu?"
"Inilah persoalan yang kami hadapi, Bibi Gak. Aku dan Suheng, dalam perjalanan dari Bhutan hendak kembali ketimur, bertemu dengan gerombolan persekutuan orang Nepal, orang-orang Hek I Lama dan para anggauta pengemis tongkat hitam. Kami bentrok dengan mereka, dan Suheng tertawan. Kalau tidak muncul Sin-ciang Tai-hiap yang kemudian kukenal sebagai Han-ko ini, tentu aku pun telah mereka tawan."
"Wah, kalau begitu kita harus cepat menolong suhengmu itu! Kita harus membebaskannya dari tangan mereka!" seru Ciang Hun dan mendengar ini, diam-diam Yo Han merasa girang dan kagum. Gak Ciang Hun ini seorang pemuda yang gagah berani.
"Benar, kita harus cepat membebaskan suhengmu, Sian Li!" kata pula Nyonya Gak.
"Itulah persoalannya, Bibi," kata Sian Li sambil menghela napas. "Jumlah mereka banyak sekali, merupakan persekutuan, dan diantara para pimpinan Hek I Lama terdapat banyak orang yang berkepandaian tinggi."
Mendengar suara gadis itu penuh kegelisahan, Yo Han merasa iba dan dia semakin yakin bahwa gadis yang ketika kecil dia suhnya dan digendongnya ini agaknya memang jatuh cinta kepada suhengnya sendiri. "Li-moi, jangan khawatir. Aku pasti akan berusaha sekuat tenaga untuk membebaskan suhengmu, " katanya dengan nada suara penuh keyakinan.
"Kebetulan kita dapat saling jumpadi sini," kata pula Nyonya Gak. "Marikita serbu sarang mereka. Dengan tenaga kita berempat, kita paksa mereka membebaskan suhengmu itu, Sian Li."
"Terima kasih atas uluran tangan Bibi dan Gak-toako. Akan tetapi, Ketua Hek I Lama telah menantang Sin-ciang Tai-hiap untuk mengadu ilmu dipuncak bukit ini, dengan taruhan bahwa kalau dia kalah, dia akan membebaskan Suheng dan menyerahkan mutiara hitam milik guru Han-ko. Sebaliknya kalau Sin-ciang Tai-hiap kalah, dia harus membantu perjuangan gerombolan itu menentang penjajah Mancu."
"Ah, jadi mereka akan datang kepuncak ini?" tanya Ciang Hun.
"Benar, Toako. Han-koko memilih puncak ini untuk tempat mengadu kepandaian, tentu saja kami tidak tahu bahwa Bibi dan Toako berada di sini. Dan untuk menghadapi Ketua Hek I Lama, Han-koko akan menyamar sebagai Sin-ciang Tai-hiap."
"Kapan pertandingan itu diadakan?" tanya Nonya Gak.
"Hari ini juga. Kami sengaja mendahului mereka untuk melihat keadaan disini, jangan sampai kami terjebak dan terkepung."
Nyonya Gak bangkit dari bangkunya dan ia nampak penuh gairah dan semangat, seolah lenyap semua bayangan dukadan kemuraman dari wajahnya, bagaikan seorang pemimpin mengatur siasat, ia berkata kepada puteranya yang juga sudah bangkit berdiri dan siap siaga. "Ciang Hun, cepat kau periksa keadaan sekeliling puncak dan persiapkan tangga tali yang kita buat itu ditepi jurang! Kau tahu apa yang harus kaulakukan!"
"Baik, Ibu!" kata Ciang Hundan pemuda tinggi besar itu sekali melompat sudah keluar dari dalam pondok untuk melaksanakan perintah ibunya.
"Kita harus siapsiaga, bukan hanya bagaimana harus melawan mereka, akan tetapi juga mempersiapkan diri agar dapat terhindar dari bahaya. Ciang Hun sudah membuat persiapan sehingga sewaktu-waktu kita dapat meloloskan diri dari bahaya," wanita gagah itu menerangkan.
"Aih, Bibi Gak, kenapa begitu? Han-ko dan aku tidak akan melarikan diri! Memalukan sekali kalau harus melarikan diri, apalagi kita sudah berjanji bahwa ini sebuah pertandingan dengan taruhan. Yang ada bagi kami hanyalah kalah atau menang. Kalau menang, suheng akan di bebaskan dan mutiara hitam diberikan kepada Han-ko, kalau kalah, terpaksa kami harus memenuhi atau membayar kekalahan kita dengan menepati janji untuk membantu perjuangan melawan pemerintah penjajah Mancu."
Wanita itu terbelalak. "Akan tetapi mana mungkin itu? Kalian adalah keturunan atau murid-murid pendekar sakti,kalian adalah pendekar yang harus menentang kejahatan. Bagaimana mungkin kalian akan bekerja sama dengan orang- orang jahat dan sesat itu? Bukankah hal itu berarti kalian akan mencemarkan nama baik leluhur dan guru-guru kalian?"
Sian Limenoleh kepada Yo Han. "Bibi Kakak Yo Han yang sudah menentukan syarat atau taruhan itu."
"Memang benar, Bibi yang baik. Akan tetapi taruhan saya adalah kalau saya kalah, saya akan membantu perjuangan melawan atau menentang penjajah Mancu bukan bekerjasama dalam hal melakukan kejahatan! Kalau mereka melakukan kejahatan dan saya mengetahuinya, tentuakan saya tentang kejahatan mereka itu! Dan saya kira, berjuang melawan penjajah Mancu bukanlah perbuatan jahat. Karena itulah saya menerima taruhan itu. Mereka hanya mengatakan membantu perjuangan menentang penjajah, bukan bekerjasama melakukan kejahatan."
Sian Li tersenyum. "Bagus! Aku pun memang berpendapat demikian, maka aku menyetujui taruhan itu. Nah, Bibi Gak, tidak ada permasalahan lagi dan tidak perlu lagi kita mempersiapkan diri untuk lari, bukan?"
"Hemm, kalian memang cerdik, akan tetapi kalian masih kurang pengalaman dan tidak cukup berhati-hati maka suhengmu sampai dapat tertawan. Didalam dunia kang-ouw, kalian akan bertemu dengan orang-orang yang bukan saja lihai ilmu silatnya, akan tetapi juga cerdik dan licik bukan main, penuh tipu muslihat dan kecurangan. Menghadapi orang-orang macam ini, tidak dapat kalian hadapi hanya dengan mengandalkan ilmu silat saja. Harus kita hadapi dengan siasat pula."
"Akan tetapi, Bibi, bukankah pendapat itu bertentangan dengan kehormatan seorang pendekar yang menjunjung tinggi kebenaran, keadilan dan kegagahan? Seorang pendekar lebih baik tewas sebagai seekor harimau yang melawan dengan gagah berani dari pada hidup sebagai seekor babi yang menguik-nguik melarikan diri dengan pengecut! Kami akan menghadapil awan sampaikalah atau mati, tidakakan melarikan diri. Bukankah begitu, Han-ko?"
"Memang benar begitu, Li-moi, akan tetapi sebaiknya dengarkan pendapat Bibi Gak yang terhormat ini, "kata Yo Han yang melihat betapa nyonya setengah tua itu memandang dengan sinar mata berkilat.
"Pendapatmu itu memang benar. Apa kau kira aku tidak memiliki kegagahan dan sudi melarikan diri seperti seekor anjing digebuk atau, seekor babi yang hendak disembelih? Engkau salah sangka, Sian Li. Kalau bertanding secara jantan dan gagah, memang seorang pendekar pantang melarikan diri dan akan melawan sampai kalah atau tewas. Akan tetapi, kalau pihak lawan menggunakan kecurangan, misalnya menjebakmu atau mengeroyokmu dengan jumlah yang besar dan tak mungkin kautandingi, maka berlaku nekat melawan sampai mati hanya merupakan perbuatan tolol, akan mati konyol dan sama sekali bukan perbuatan gagah! Menyelamatkan diri dari ancaman lawan yang menggunakan kecurangan, bukan pertandingan jantan, menandakan kecerdikan, bukan ketakutan atau sikap pengecut. Engkau harus dapat membedakan kedua hal itu!"
Sian Li mengerutkan alisnya. Ia seorang gadis yang cerdik, maka tentu sajaia dapat mengerti, dan ia pun mengangguk-angguk. "Ah, benar sekali pendapat Bibi itu. Menghadapi kecurangan musuh dengan nekat sampai mati, hanya menunjukkan ketololan dan juga kesombongan yang sia-sia belaka. Baiklah Bibi, terimakasih atas persiapan itu. Mudah-mudahan saja Ketua Hek I Lama tidak menggunakan kecurangan agar kita tidak perlu melarikan diri."
Sian Li teringat bahwa Yo Han juga mengajaknya melarikan diri ketika dike royok oleh gerombolan itu dan Yo Han terluka. Andaikata mereka gagah-gagahan dan nekat melawan terus sampai mati, maka akan sia-sialah kegagahan mereka itu, mereka akan mati konyol dan suhengnya tentu tidak ada yang akan menolongnya lagi.
Tiba-tiba Ciang Hun masuk ke pondokdan wajahnya nampak tegang. "Ibu, mereka sudah naik ke puncak!"
"Apa yang kaulihat?" tanya nyonya itu.
"Ada dua orang pendeta jubah hitam bersama seorang pemuda naik ke sini melalui jalan depan."
"Hanya itu? Kau tidak menyelidiki kemungkinan lain?"
"Dari jalan kiri dan jalan kanan nampak puluhan orang naik secara sembunyi dan menyusup-nyusup."
"Jahanam!" Sian Li mengepal tinju."Ternyata mereka memang hendak melakukan kecurangan!"
Nyonya Gak bersikap tenang. "Sudah kuduga demikian. Ingat, kalau mereka mulai memperlihatkan kecurangan, hendak mengeroyok dengan jumlahbesar, kalian harus lari ke belakang pondok, lurus saja dan kalian akan tiba di tepi jurang. Di sana sudah terpasang tangga tali dan kita dapat melarikan diri dari situ tanpa dapat dikejar musuh. Sekarang biar Sin-ciang Tai-hiap yang keluar menandingi Ketua Hek I Lama sesuai dengan perjanjian. Kita bertiga akan turun tangan apabila mereka bersikap curang. Kita bersembunyi dalam pondok untuk membuat mereka terkejut dan kacau kalau kita muncul tiba-tiba nanti. Yo Han, kau sambut mereka dipekarangan pondok di mana engkau tidak mungkin diserang secara menggelap."
Yo Han dan Sian Li kagum. Nyonya Gak memang seorang kang-ouw yang berpengalaman. Bersikap tenang dan dapat mengatur segalanya dengan teliti dan tegas. Sementara itu, Yo Han sudah cepat mengurai rambut, mengenakan capingnya yang bertirai dan dia pun keluar dari pondok dengan langkah tenang, diikuti pandangmata penuh kagum dari ibu dan anak itu yang baru sekarang melihat kenyataan yang tadi membuat mereka hampir tidak dapat percaya. Inilah Sin-ciang Tai-hiap yang namanya menggetarkan dunia perbatasan itu!
Yang datang menuju ke pondok itu dari arah depan adalah Dobhin Lama yang berjalan dibantu tongkatnya, Lulung Lama, dan Cu Ki Bok. Biarpun Dobhin Lama berjalan dibantu tongkatnya yang panjang, namun ternyata mereka bertiga dapat tiba di pekarangan itu dengan cepat seolah mereka berlari saja! Dengan sikap tenang, Yo Han yang kini telah menjadi Sin-ciang Tai-hiap berdiri di tengah pekarangan, menanti kedatangan tiga orang itu.
Biarpun dia sudah menyamar sebagai Sin-ciang Tai-hiap, Yo Han tidak melupakan sikapnya yang selalu sopan dan menghormati orang lain. Apalagi yang muncul di depannya adalah Ketua HekI Lama dan wakilnya, dua orang pendeta Lama yang sudah tua. Dia menyambut dengan kedua tangan depan dada, memberi hormat dan membungkuk.
"Selamat datang, Jiwi Locianpwe." Dia hanya memberi hormat kepada dua orang pendeta tua itu, tidak kepada Cu Ki Bok yang berdiri dengan sikapnya yang angkuh! Pemuda itu memandang kearah pondok dan pandang matanya mencari-cari. Yo Han tahu bahwa pemuda itu mencari Sian Li dan dirinya, karena tentu mengira bahwa dia adalah Sin-ciang Tai-hiap!
Lulung Lama yang memegang dua buah gelang atau roda besar bersirip dengan tangan kirinya, tertawa bergelak dan dialah yang mewakili suhengnya bicara.
"Ha-ha-ha-ha! Omitohud, kiranya Sin-ciang Tai-hiap, selain lihai ilmu silatnya, juga mengenal aturan. Kami akan merasa bangga dan senang sekali kalau dapat bekerja sama denganmu!"
"Nanti saja kita bicara tentang kerjasama, Locianpwe. Sekarang, kita bicara tentang tantangan Ketua Hek I Lama kepadaku. Siapakah yang akan maju memberi pelajaran kepada saya?" Dia menatap kearah wajah Dobhin Lama yang sudah tua itu. Kakek tinggi kurus yang usianya sudah tujuh puluh lima tahun ini nampaknya saja lemah, akan tetapi Yo Han dapat menduga bahwa diantara mereka semua, Ketua Hek I Lama inilah yang paling lihai sehingga dia harus berhati-hati kalau bertanding melawan kakek tua ini. Dan yang paling licik tentu saja Lulung Lama dan muridnya itu.
Pandang mata Sin-ciang Tai-hiap yang nampak di balik tirai itu mencorong dan jelas kelihatan betapa Cu Ki Bok menjadi gentar. Bahkan Lulung Lama yang sakti itu pun kelihatan tegang karena tokoh ini maklum bahwa menghadapi pendekar yang satu ini, dia tidak boleh memandang rendah sama sekali. Andaikata dia tidak kalah sekalipun, kiranya tidak akan mudah baginya untuk mengalahkan pendekar itu, maka dia diam saja menanti perintah suhengnya.
Dobhin Lama yang tua ini memang ingin sekali menguji ilmukepandaian Sin-ciang Tai-hiap. Tantangan ini merupakan siasat dari Lulung Ma, dan dia menyetujui pertandingan itu, bahkan memesan agar sutenya itu jangan melakukan apa-apa sebelum dia berkesempatan menguji kepandaian Sin-ciang Tai-hiap. Kini dia sudah berhadapan dengan pendekar aneh itu, dan timbul kegembiraannya. Sudah bertahun-tahun, Dobhin Lama tidak pernah pernah bertemu lawanyang dianggapnya cukup tangguh dan pantas menjadi lawannya. Bertahun-tahun dia tidak pernah turun tangan sendiri, merasa dirinya terlalu pandai dan terlalu tinggi untuk melawan orang-orangyangdianggapnya tidakpatut menjadi lawannya.Dankini,dia merasa gembira dan timbul semangatnya. Pertandingan seperti ini, melawan musuh yang tangguh dan terkenal, membuat latihannya selama ini tidak sia-sia.
"Omitohud....!" Dobhin Lama berseru, suaranya lirih dan gemetar seperti suara seorang kakek tua pikun yang lemah. "Pinceng (Aku) yang menantangmu, Sin-ciang Tai-hiap. Nah, majulah dan mari kita main-main sebentar."
Yo Han melangkah maju menghadapi kakek bertongkat panjang itu dan dia pun memberi hormat. "Merupakan suatu kehormatan besar sekali bagi saya, Locianpwe, untuk dapat menerima pelajaran darimu. Akan tetapi sebelum kita mulai, saya ingin mendengar dulu janji Locianpwe bahwa kalau saya berhasil menang dalam adu kepandaian ini, Locianpwe akan membebaskan Liem Sian Lun dan menyerahkan kembali mutiara hitam yang Locianpwe terima dari Thong Nam itu kepada saya."
"Heh-heh, tentu saja. Akan tetapi bagaimana kalau engkau yang kalah, orang muda?"
"Sesuai dengan janji, kalau saya kalah saya akan membantu perjuangan menentang penjajah Mancu!"
"Bagus, janji seorang pendekar pasti dapat dipegang teguh dan dipercaya. Nah sekarang majulah, Sin-ciangTai-hiap, pinceng ingin sekali membuktikan apakah kepandaianmu samatingginya dengan nama besarmu.." Kakek itu berdiri tegak, tangan kiri tegak lurus dengan jari terbuka menempel miring di depan dahi, lengan kanan menjepit tongkat panjangnya di bawah ketiak. Yo Han tidak berani memandang rendah lawan. Pernah dia mendengar dari Kakek Ciu Lam Hok bahwa tokoh-tokoh dari Tibet dapat menjadi lawan yang amat berbahaya karena kekuatan sihir mereka. Dalam hal ilmu silat, tokoh-tokoh Tibet hanya mengandalkan tenaga sakti yang mengandung kekuatan sihir, sedangkan mengenai gerakan silatnya, tidak berapa hebat. Gerakan tokoh Tibet tidaklah selincah ilmu silat dari timur. Akan tetapi karena setiap gerakan me ngandalkan sin-kang yang diperkuat oleh ilmu sihir,maka gerakan itu menjadi amat kuat dan berbahaya sekali. Oleh karena itu, diam-diam dia pun menghimpun tenaga sakti yang pernah dipelajarinya dari ilmu Bu-kek-hoat-keng, yaitu ilmu kesaktian yang menjadi andalan mendiang gurunya. Sesuai dengan wataknya, Yo Han tidak pernah mau mempergunakan senjata dari baja, karena dia tidak mau melukai orang, bahkan dia pantang membunuh orang. Senjata pelindung diri hanya kaki tangan dan ilmu-ilmunya. Namun, dengan menguasai Bu-kek-hoat-keng, memang dia tidak membutuhkan lagi segala macam senjata. Tenaga sin-kang yang ditimbulkan oleh ilmu itu membuat tubuhnya,terutama kedua lengannya, menjadi kebal dan dapat menangkis senjata tajam yang bagai mana ampuh pun. Tentu saja kekebalan ini hanya pada bagian tubuh di mana dia menyalurkan sin-kangnya. Bagian yang tidak dilindungi sin-kang yang dia salurkan, tentu saja tidak kebal. Kekebalannya bukan karena ilmu hitam, melainkan karena lindungan tenaga sakti dari dalam yang dikerahkan ke bagian tubuh itu.
"Locianpwe, saya sudah siap," katanya dan dia pun berdiri dengan sikap tenang, kedua kaki terpentang dan tubuhnya agakmiring menghadapi lawan, kedua tangandirangkap seperti menyembah di depandada kiri. Inilah jurus yang oleh gurunya dinamakan jurus "Menyembah Tuhan dengan Hati Tulus".
"Sin-ciang Tai-hiap, pinceng hendak mempergunakan tongkat. Keluarkan senjatamu!"
Yo Han menggeleng kepala."Locianpwe, senjata dibuat hanya untuk membunuh orang. Saya tidak ingin membunuh siapapun, dan untuk melindungi diri, Tuhan telah melengkapi tubuh saya ini dengan lengkap dan sempurna. Saya sudah siap, silakan Locianpwe."
"Omitohud, engkau seorang pendekar yang hebat, ataukah yang tinggi hati?Nah, pinceng telah mendengar ucapanmu. Sambut serangan pinceng ini!"
Kakek berjubah hitam itu mulai menggerakkan tongkat yang tadinya dijepit di bawah ketiak dan terdengarlah sambaran angin yang terdengung seperti ada ratusan ekor kumbang terbang menyerang! Yo Han sudah menduga bahwa kakek itu tentu mengandalkan tenaga dankekuatan sihir untuk menyerangnya, makadia pun sudah siap siaga. Tubuhnya bergerak ke kiri ketika kakinya digeser dan sambaran tongkat itu lewat dan luput, namun angin pukulannya yang menyambar terasa olehnya amat kuat dan mengandung hawa panas.
Dia harus menghormati lawannya yang sudah tua, yang pantas menjadi kakeknya Maka, Yo Han membiarkan Dobhin Lama menyerangnya sampai tiga kali tanpa membalas. Serangan itu datang bertubi, makin lama semakin kuat dan berbahaya sekali. Namun,Yo Han tetap hanya menggunakan kelincahan tubuhnya untuk mengelak. Sambaran tongkat yang ke tiga kalinya hampir saja membuat dia terpelanting, karena hawa pukulan tongkat itu sedemikian kuatnya, membuat rambutnya yang panjang berkibar dan hampir saja capingnya yang lebar itu diterbangkan! Dengan terhuyung Yo Han masih sempat memegang capingnya sehingga tidak sampai terbuka dan memperlihatkan mukanya.
Setelah tiga kali serangannya dapat dielakkan lawan tanpa membalas, Dobhin Lama mengerutkan alisnya yang putih dan dia merasa penasaran. Apakah pendekar muda ini berani memandang rendah kepadanya sehingga hanya mengalah saja,tidak membalas?
"Sin-ciang Tai-hiap, balaslah serangan pinceng! Apakah engkau menganggap pinceng seorang lawan yang terlalu lemah bagimu?"
"Sama sekali tidak, Locianpwe. Kalau saya selama tiga jurus tidak melawan, hal itu saya lakukan untuk menghormati Locianpwe yang merupakan golongan jauh lebih tua daripada saya. Sekarang saya akan membalas, Locianpwe."
"Bagus! Nah, sambutlah ini!" Kakek itu kembali menyerang, tongkatnya membuat gerakan terputar, ujungnya membentuk lingkaran lebar, makin lama semakin cepat dan mengecil lalu ujung itu meluncur kearah dada Yo Han!
Sekali ini Yo Han tidak mengelak, melainkan menggunakan ilmu Bu-kek-hoat-keng untuk memutar lengan kanan dan menangkis luncuran tongkat kearah dadanya itu, ilmu ini adalah ilmu kesaktian yang amat hebat. Satu diantara keampuhannya adalah hadirnya tenagamujijat yang menolak semua hawa kebencian yang datang dari lawan, terkandung dalam serangan lawan. Betapa kuat dan tinggi ilmu lawan, kalau lawan menyerang dengan kandungan hati membenci, maka serangannya itu akan membalik dan mungkin mengenai diri sendiri!
"Plakkk!"
Tangkisan yang disertai tenaga sin-kang amat kuat itu ternyata tidak membuat tongkat itu membalik dan menyerang pemiliknya sendiri dan ini merupakan bukti bahwa tidak ada kebencian terkandung dalam serangan itu! Akan tetapi, akibat benturan kedua tenaga sakti membuat Yo Han terhuyung ke belakang, dan Dobhin Lama juga terdorong ke belakang beberapa langkah! Keduanya saling pandang dengan kagum. Bagi Dhobin Lama, baru sekarang ada seorang muda yang mampu menangkis tusukan tongkatnya tadi, dan bagi Yo Han, juga pendeta itu merupakan lawan yang paling tangguh yang pernah dilawannya. Tangguh dan tidak ada kebencian dihatinya! Diam-diam dia merasa girang dan diapun mengerahkan seluruh tenaga, mengeluarkan semua kepandaiannya untuk menandingi lawan yang hebat itu.
Pertandingan itu memang hebat bukan main. Kadang berjalan cepat, kadang lambat. Bumi dipekarangan itu tergetar, daun-daun pohon yang berada didekat situ rontok. Lulung Lama dan muridnya, Cu Ki Bok, menonton dengan mata terbelalak dan penuh kagum. Mereka merasa beruntung bahwa mereka tadi tidak maju melawan Sin-ciang Tai-hiap, karena kalau hal itu terjadi, mereka pasti kalah. Apalagi Cu Ki Bok, bahkan gurunya, Lulung Lama, setelah menyaksikan pertandingan itu, maklum bahwa dia takkan menang melawan pendekar aneh yang amat lihai itu.
Makin lama, kedua orang yang bertanding itu menjadi semakin kagum kepada lawan. Yo Han juga kagum bukan main. Biarpun lawannya sudah tua sekali, akan tetapi semua serangan balasannya seperti membentur tembok baja yang amat kuat, yang sukar ditembus. Mereka saling serang dan saling desak, namuntidak pernah dapat membobolkan benteng pertahanan lawan sehingga tanpa terasa lagi, seratus jurus lebih telah terlewat! Dan selama itu, keduanya tidak pernah mengendurkan tenaga, karena siapa yang mengendur pasti akan kalah. Karena semua jurus yang mereka mainkan tidak mampu menembus benteng pertahanan lawan, maka mereka kini tidak lagi mengandalkan jurus silat, melainkan lebih mengandalkan kekuatan sin-kang.
Akhirnya, keadaan usia menguntungkanYo Han. Kalau dia hanya merasa lelah saja, lawannya kini sudah mandi keringat dan napasnya agak terengah saking kehabisan tenaga.Bahkan dari kepala yang tidak berambut itu sudah mengepul uap putih yang agak tebal, tanda bahwa tubuhnya telah menjadi panas sekali.
Maklum bahwa dirinya berada dalam bahaya kalau dilanjutkan, maka Dobhin Lama lalu mengeluarkan jurusnya yang paling hebat, yaitu Jurus Gunung Runtuh! Dia mengeluarkan pekik yang dahsyat, tongkatnya menyambar dari atas ke arah kepala Yo Han dengan tenaga sepenuhnya yang masih tersisa.
Melihat ini, Yo Han juga mengerahkan seluruh tenaganya, menangkis dengan kedua lengannya,mendorong keatas. Bertemulah tongkat dengan kedua lengan pendekar itu.
"Brakkkk....!" Yo Han terhuyung, akan tetapi tongkat di tangan Dobhin Lama patah menjadi tiga potong! Kakek itu nampak pucat dan dia menghela napas panjang sambil melempar potongan tongkatnya keatas tanah.
"Omitohud....pinceng mengaku kalah....!"Dia lalu duduk bersila di atas tanah, berkata kepada Lulung Lama. "Su te....bebaskan pemuda itu...."Dia mengeluarkan sebuah kalung darisaku jubahnya kalung dengan mainan sebuah mutiara hitam dan melemparkan benda itu kepadaYo Han. "Nah, terimalah mutiara hitam ini!"
Yo Han menerima sambaran mutiara hitam itu dan dia pun memberi hormat, hatinya merasa terharu dan juga kagum. "Banyak terima kasih bahwa Locianpwe telah mengalah dan menepati janji."
Lulung Lama bertepuk tangan dan dari lereng bukit itu muncullah Sian Lun yang diiringkan dua orang pendeta Lama jubah hitam. Sian Lun agaknya dalam keadaan tertotok dan dia dibimbing dua orang pendeta itu. Lulung Lama lalu mendorong tubuh Sian Lun sehingga pemuda ini roboh tertelungkup.
Dari dalam pondok, muncul Sian Li yang dengan sekali lompatan berada didekat Yo Han. Melihat munculnya sumoinya, Sian Lun berkata lirih, "Sumoi, tolonglah aku...."
Sian Li menghampiri Sian Lun, berlutut dan meraba pundak suhengnya itu untuk memulihkan kesehatannya, membebaskannya dari totokan. Akan tetapi pada saat itu, Sian Lun tiba-tiba saja menggerakkan tangan dan menotok jalan darah di punggung sumoinya! Gerakkannya ini sama sekali tidak terduga oleh Sian Li sehingga gadis itu sama sekali tidak dapat menjaga dirinya. Tahu-tahu ia sudah tertotok dan lemas, dan Sian Lun sudah merangkul pinggangnya dan membawanya meloncat ke belakang Lulung Lama dan Cu Ki Bok!
Dari dalam pondok, Nyonya Gak dan puteranya, Gak Ciang Hun, sejak tadi mengintai dan begitu melihat Sian Li ditangkap oleh suhengnya sendiri, seperti juga Yo Han, mereka tertegun heran. Akan tetapi Nyonya Gak lalu meloncat keluar, diikuti puteranya.
"Sin-ciang Tai-hiap, meraka bertinda kcurang! "teriak nyony aitu. Yo Han memang tertegun dan bingung melihat betapa Sian Lun tiba-tiba malah menangkap sumoinya. Akan tetapi pada saa titu, muncullah puluhan orang dari depan, kanan dan kiri. Mereka adalah para pendeta Lama Jubah hitam, dibantu oleh para anggauta pengemis tongkat hitam dan beberapa orang Nepal. Bahkan nampak pula Badhu dan Sagha, dua orang Nepal yang kuat itu, bahkan muncul pula tiga orang wanita cantik dari Pek-lian-kauw, yaitu Pek-lian Sam-li yang lihai.
"Lulung Lama, kalian curang! Bebaskan mereka berdua itu!" Yo Han berseru dan tubuhnya sudah berkelebat ke depan untuk menolong Sian Li dan Sian Lun, karena dia masih bingung dan mengira bahwa Sian Lun tentu dipaksa oleh mereka. Akan tetapi, betapa kagetnya ketika dia melihat Sian Lun membawa Sian Li meloncat ke belakang para penyerbu dan lenyap. Terpaksa dia menyambut pengeroyokan banyak orang itu, dibantu oleh Nyonya Gak dan Gak Ciang Bun yang sudah mengamuk.
"Locianpwe Dobhin Lama, apakah Locianpwe hendak melanggar janji sendiri?" teriak Yo Han penasaran. Akan tetapi, Dobhin Lama yang duduk bersila dan memejamkan mata itu tidak menjawab, juga tidak bergerak.
Terpaksa Yo Han mengamuk, namun dia tidak membiarkan diri dikuasai dendam dan kemarahan. Dia tetap hanya merobohkan para pengeroyok tanpa membunuh mereka. Tidak seperti Nyonya Gak dan puteranya yang mengamuk dengan pedang mereka, menewaskan beberapa orang pengeroyok. Akan tetapi, di pihak lawan terdapat banyak orang pandai, dan jumlah mereka semakin bertambah banyak sehingga bagaimanapun juga, tiga orang itu mulai terdesak.
"Marikita pergi!" tiba-tiba Nyonya Gak berseru kepada puteranya dan Yo Han. Yo Han maklum bahwa melanjutkan perkelahian tidak ada gunanya, bahkan amat berbahaya. Padahal, dia harus dalam keadaan sehat dan selamat untuk dapat menolong Sian Li kemudian. Kalau sekarang dia nekat sekalipun, belum tentu dia akan dapat menemukan Sian Li yang telah dilarikan Sian Lun. Pula, dia belum tahu apa yang telah terjadi, dan mengapa Sian Lun bersikap seperti itu. Siapa tahu itu merupakan siasat pemuda itu untuk menolong sumoinya. Yang penting, dia harus menyelamatkan diri. "Baik, Bibi Gak!" katanya dan diapun membuka jalan dengan berkelebatan diantara para pengeroyok yang roboh satu demi satu. Nyonya Gak dan puteranya juga memutar pedang sedemikian rupa sehingga tidak ada pengeroyok berani mendekati mereka. Mereka berlari ke belakang pondok, dipimpin oleh Nyonya Gak dan benar seperti keterangannya tadi, mereka tiba di tepi jurang yang amat dalam sehingga tidak dapat dilihat dasarnya. Nyonya Gak dan puteranya telah mengambi ltangga-tangga tali dari balik semak belukardan cepat memasang tangga-tangga tali itu, mengikatkan pada akar pohon dibelakang semak di tepi jurang.
"Mari, kita lari melalui tangga ini! Yo Han, kau ikutilahaku!" kata Nyonya Gak, sedangkan Ciang Hun sudah menuruni tangga tali yang lain.Yo Han tidak mempunyai pilihan lain kecuali mengikuti Nyonya Gak menuruni tangga tali menuruni tebing jurang yang amat terjal dan dalam itu.
Tangga tali itu panjangnya ada dua puluh meter dan ternyata mereka mendarat di sebuah guha besar. Setelah mereka bertiga tiba diguha, ibu dan anak itu segera menarik tangga-tangga taliitu dengan sentakan tiba-tiba yang membuat kaitan di ujung tangga pada akar pohon terlepas.
"Tidak ada seorang pun manusia yang dapat menuruni tebing ini tanpa tanggatali, kecuali kalau dia mampu terbang seperti burung," kata Nyonya Gak. "Dari guha ini terdapat jalan setapak melalui tepi tebing menuju ke lereng bukit. Jalan ini kami temukan dan kami buatkan lorong menembus guha sehingga kecuali kami berdua, tidak ada yang mengetahuinya."
Yo Han duduk di atas batu dalam guha, termenung. "Akan tetapi, mereka menawan adik Tan Sian Li," suaranya mengandung kekhawatiran.
Ciang Hun berkata dengan suara marah."Tentu kita akan berusaha sekuat tenaga untuk menolongnya! Yang kuherankan, kenapa suheng dari adik Sian Li bersikap seperti itu? Jelas bahwa dia tadi berpura-pura ketika didorong dan tersungkur. Ketika adik Sian Li hendak menolongnya, dia malah menotoknya, dan menawannya. Apa artinya ini?"
Nyonya Gak juga berkata, "Pemuda itu tidak dapat dipercaya! Yo Han, bagaimana sih hubungan Sian Li dengan suhengnya dan orang macam apa suheng nya itu?"
Yo Han menggeleng kepalanya. "Saya sendiri belum mengenalnya dengan baik, Bibi. Ketika Li-moi dan suhengnya itu dikeroyok olehpersekutuan gerombolan itu, saya menolong mereka, akan tetapi hanya dapat melarikan Li-moi, sedangkan suhengnya yang bernama Liem Sian Lun itu tertawan. Kalau mengingat bahwa pemuda itu adalah suheng Li-moi, murid dari Locianpwe Suma Ceng Liong, rasanya tidak mungkin kalau dia memiliki watak palsu dan jahat."
Nyonya Gak mengerutkan alisnya. "Pasti ada sesuatu yang tidak beres dengan pemuda itu. Para pendeta Lama itu lihai dan di antara mereka banyak yang memiliki ilmu sihir. Siapa tahu pemuda itu berada di bawah pengaruh sihir."
"Bagaimanapun juga, saya harus cepat melakukan penyelidikan dan menolong mereka, terutama adik Tan Sian Li, Bibi."
"Yo Han, aku percaya bahwa engkau adalah seorang pendekar sakti yang memiliki kepandaian tinggi. Hal itu sudah kubuktikan tadi ketika engkau berhasil mengalahkan Ketua Hek I Lama," kata Ciang Hun dengan kagum. "Akan tetapi perlu kau ingat bahwa bagaimanapun juga, kepandaianmu ada batasnya. Bagaimana mungkin engkau akan melawan mereka yang memiliki anak buah sebanyak itu? Ibu dan aku akan membantumu, kalau perlu dengan taruhan nyawa, akan tetapi kita harus berhati-hati dan menggunakan siasat yang baik."
"Benar ucapan anakku, Yo Han. Menghadapi gerombolan yang demikian banyak, kita harus menggunakan siasat. Kalau hanya nekat, kita akhirnya tidak akan berhasil menolong Sian Lun dan Sian Li, sebaliknya malah tertawan atau tewas konyol," kata Nyonya Gak.
"Saya akan minta bantuan beberapa tokoh kang-ouw di perbatasan yang telah sadar dan kini menjadi orang baik-baik. Mereka mempunyai banyak kawan dan saya yakin mereka suka membantu saya," kata Yo Han. Ibu dan anak itu memandang kagum. Mereka sudah mendengar akan sepak terjang Sin-ciang Tai-hiap yang tidak pernah membunuh para penjahat, melainkan menalukkan mereka danmenasehati, dengan kasar maupun halus berhasil membuat banyak penjahat mengambil cara hidup yang sama sekali berubah, dari jalan sesat ke jalan yang benar. Mereka lalu mengatur siasat, membagi tugas sebelum meninggalkan guha itu, melalui sebuah terowongan bawah tanah pendek yang dibuat oleh ibu dan anak itu. Terowongan ini menembus ke lereng bukit melalui pintu rahasia yang dari luar nampak seperti batu besar biasa.
Apakah yang terjadi dengan diri SianLun? Kenapa dia yang akan ditolong Sian Li, bersikap sepertiitu, berbalik menotok dan menawan Sian Li, dan menghilang di antara para anak buah gerombolan?
Liem Sian Lun telah terjatuh ke tangan Pek-lian Sam-li! Tiga orang wanita Pek-lian-kauw ini adalah tiga orang tokoh Pek-lian-kauw yang berwatak cabul. Pek-lian Sam-li sudah terkenal sebagai kakak beradik yang genit, mata keranjang dan mesum. Setiap kali bertemu dengan pria tampan mereka tidak pernah melewatkan kesempatan untuk merayunya bahkan kalau pria itu menolak, memaksanya. Mereka selain lihai sekali ilmu silatnya, juga mereka pandai ilmu sihir, ahli racun sehingga dengan berbagai cara tidak ada pria yang akhirnya tidak tunduk kepada mereka. Ketika mereka berhasil menawan Liem Sian Lun, tentu saja sudah terbakar gairah mereka untuk menguasai pemuda tampan dan gagah itu, apalagi mengingat bahwa pemuda itu adalah murid Pulau Es! Mereka akan mendapat banyak keuntungan kalau berhasil menguasai pemuda ini. Pertama, pemuda ini masih muda, baru berusia dua puluh tahun, seorang perjaka tulen, tampan dan bertubuh kuat. Ke dua, dengan menundukkan pemuda itu, berarti mereka dapat membalas semua dendam dan kebencian mereka terhadap musuh besar Pek-lian-kauw, yaitu para pendekar Pulau Es karena pemuda itu merupakan murid Pulau Es. Dan ke tiga, mereka dapat menyenangkan hati sekutu mereka, yaitu para pendeta Lama jubah hitam yang hendak mengumpulkan orang-orang yang memiliki kepandaian silat tinggi seperti pemuda itu, karena setelah menguasai Sian Lun, tentu pemuda itu akan suka menjadi sekutu mereka pula.
Sian Lun pada dasarnya bukanlah seorang pemuda yang berhati teguh. Semenjak dewasa, sudah seringkali dia termenung, membayangkan hal-hal yang menimbulkan berahinya. Dia pun sudah seringkali memandang kepada sumoinya, Sian Li, dengan pandang mata penuh gairah berahi. Apalagi setelah dia mendengar percakapan suhu dan subonya, yang ingin menjodohkan dia dengan Sian Li, seringkali dia membayangkan betapa senangnya kalau dia bermesraan dengan sumoinya yang cantik itu sebagai suami isteri! Dia jatuh cinta kepada Sian Li, dan makin dibayangkan, semakin dalam dia tenggelam dalam cinta. Bahkan seringkali terbawa dalam mimpi. Ketika mereka melakukan perjalanan bersama, kalau saja dia tidak takut kepada sumoinya yang dalam halilmu kepandaian silat lebih tangguh darinya, tentu sudah dinyatakan perasaan hatinya itu dengan perbuatan. Rasanya amat menyiksa baginya, seperti seorang kelaparan melihat makanan lezat tanpa boleh memakannya, atau seorang kehausan melihat air jernih tanpa boleh meminumnya.
Berkobarnya nafsu berahi yang seringkali menggodanya itu masih dapat dilawan dengan dua keyakinan, yaitu pertama bahwa menuruti nafsunya itu adalah tidak benar, dan kedua menuruti nafsunya itu tentu dia akan celaka karena sumoinya yang cantik itu amat galak dan lihai!
Nafsu berahi, seperti segala macam nafsu yang dimiliki manusia, adalah sesuatu yang wajar, bahkan yang terbawalahir, merupakan alat bagi manusia hidup di dunia. Nafsu berahi merupakan sesuatuyang teramat penting, bahkan mutlak sebagai pendorong agar manusia tidak akanmusna, agar dapat berkembang biak. Segala macam ciptaan Tuhan yang terdapat di dunia ini, disertai nafsu sepertiini, yaitu nafsu yang mendorong bersatunya dua kelamin yang berlawanan untuk bersatu dan dari persatuan ini terciptalah manusia atau mahluk sejenis yang baru, yang dinamakan anak bagi manusia dan hewan, dinamakan buah bagi tumbuh-tumbuhan. Anak menjadi manusia baru dan buah-buah menjadi calon bibit tumbuhan baru.
Tuhan Maha Kasih! Di dalam nafsu berahi, disertakan rasa nikmat sehingga semua mahluk termasuk manusia terdorong untuk melakukan persatuan itu dengan suka rela. Dan di dalam rasa nikmat inilah setan menyusup! Rasa nikmat ini yang dijadikan alat oleh setan untuk menggoda manusia sehingga manusia menjadi lupa diri. Karena mengejar perasaan nikmat itu maka bukan lagi manusia memperalat nafsu, melainkan terjadi kebalikannya, nafsu yang memperalat manusia! Bukan manusia menjadi majikan daripada nafsu berahi, malah nafsu berahi yang menjadi majikan dan manusia menjadi budak nafsunya sendiri. Dan kalau sudah begini, terjadilah perbuatan sesat atau perbuatan yang sifatnya merusak dan merugikan orang lain atau bahkan yang akibat panjangnya akan merusak dirinya sendiri. Semua agama dan filsafat yang dicetuskan orang-orang budiman, pelajaran agama yang diwahyukan olehTuhan, semuabertujuan untuk mengingatkan manusia agar sadar akan bahayanya pengaruh nafsu sendiri dalam diri. Namun, jarangada orang yang mampu menguasai nafsunya sendiri, karena hati dan akal pikiran kita pun sudah dicengkeram nafsu sehingga usaha apapun yang klta lakukan, di situ terkandung keinginan nafsu. Kenyataan ini dapat kita lihat buktinya dalam kehidupan ini, kalau kita melihat dan meneliti keadaan dirikita sendiri.
Betapa banyaknya kebiasaan-kebiasaan kecil atau besar yang kita lakukan, kita ketahui dan mengerti benar bahwa perbuatan itu tidak benar atau tidak baik, namun kita tidak berdaya untuk mengubahnya! Kita tahu benar bahwa amarah itu tidak benar dan tidak baik, akan tetapi sekali kemarahan muncul, kita tidak berdaya untuk mengatasinya dan kita terseret oleh kemarahan kita. Demikian pula dengan permainan nafsu yang lain, keterikatan kita kepada benda, kepada makanan, kepada orang lain. Semua itu menimbulkan kesenangan yang selalu dikejar-kejar nafsu, yang menjadi pemikat bagi kita sehingga sukarlah bagi kita untuk mengubahnya.
Nafsu merupakan pembawaan yang diikutsertakan ketika kita lahir, dan nafsu merupakan alat yang teramat penting bagi kehidupan kita. Tanpa adanya nafsu, kita tidak akan dapat hidup seperti manusia yang wajar. Namun, disamping kepentingannya yang mutlak, nafsu juga merupakan bahaya yang akan menyeret kita ke dalam kesesatan, yang akan menjauhkan kita dari kewajiban utama manusia, yaitu mendekati Tuhan yang menciptakan kita dan seluruh keadaan di alam maya pada ini. Nafsu penting bagi kita, akan tetapi juga berbahaya bagi kita. Lalu bagaimana? Sudah sejak jaman pra sejarah, manusia sadar akan bahayanya nafsu, dan sejak itu manusia sudah berusaha untuk menalukkan nafsu, mengekang dan mengendalikan nafsu. Ada yang dengan cara bertapa menjauhkan diri dari dunia ramai, ada yang dengan jalan menyiksa diri, dan seribu satu macam cara lagi. Namun, semua cara itu adalah usaha hati dan akal pikiran, maka terjadilah pertentangan sendiri di dalam batin, tarik menarik antara keinginan, bersenang-senang menuruti gejolak nafsu, dan keinginan menolak gejolak nafsu karena sadar akan akibatnya yang akhirnya tidak menyenangkan. Jelaslah bahwa pada dasarnya, di antara kedua keinginan itu sama, timbul dari hati akal pikiran yang sudah bergelimang nafsu, yaitu keinginan mengejar kesenangan, dan keinginan menjauhi kesusahan yang timbul karena pengejaran itu! Dan pertempuran ini tidak ada habisnya selama kita hidup. Kadang nafsu yang menang dan berkobar membakar, kadang nafsu dapat ditundukkan untuk sementara, seperti api di dalam sekam yang setiap waktu akan berkobar lagi.
Lalu apa yang dapat kita lakukan? Kita tidak mungkin dapat menundukkan nafsu, karena "kita" inilah nafsu itu sendiri. Kita adalah hati akal pikiran yang sudah bergelimang nafsu, maka apa pun yang kita usahakan, pada dasarnya hanya untuk mengabdi kepada nafsu, untuk pemuasan nafsu dengan segala cara, ada yang kasar, ada yang halus, bahkan ada cara yang dipulas seolah-olah cara itu bukan buatan nafsu. Setan memang teramat licik dan pandai, penuh tipu muslihat dan memang sudah menjadi tugasnya untuk menggoda kita. Kalau kita manusia hanya mengandalkan hati akal pikiran saja, takkan mungkin kita dapat mengalahkan setan! Jalan satu-satunya hanyalah berpaling kepada Sang Maha Pencipta! Hanya kekuasaan Tuhan sajalah yang akan dapat menundukkan segala yang ada yang nampak dan yang tidak nampak oleh mata kita, termasuk setan. Betapa tidak? Setan dan nafsu pun diciptakan oleh Tuhan!
Jalan satu-satunya bagi kita hanyalah menyerah kepada Tuhan Maha Kasih! Menyerah tanpa syarat, menyerah dengan total, mutlak, menyerah dengan sabar, tawakal dan ikhlas. Hanya kekuasaan Tuhan sajalah yang akan mampu membersihkan seluruh batin kita, hanya kekuasaan Tuhan saja yang akan mampu mengembalikan nafsu dalam tugas yang sebenarnya, yaitu menjadi abdi jiwa manusia, membantu kehidupan manusia di dunia dan tidak lagi majikan yang kejam, tidak lagi menjadi pemikat dan pembujuk yang menyeret kita ke dalam kesesatan. Menyerah tanpa syarat, bukan "menyerah demi memperoleh sesuatu" karena kalau demikian halnya, maka yang dinamakan penyerahan ini pun hanya tipu muslihat dari nafsu belaka dan kita akan tetap berada dalam lingkaran setan permainan nafsu daya rendah! Menyerah tanpa pamrih, dengan ikhlas dan tawakal saja!
Sian Lun yang masih, hijau itu, tidak kuat menghadapi rayuan tiga orang wanita cantik seperti Pek-lian Sam-li. Apalagi tiga orang wanita cabul itu bukan sekedar merayu biasa. Mereka pun mencampurkan racun pembius dan perangsang dalam minuman yang disuguhkan kepada Sian Lun, bahkan ditambah lagi dengan kekuatan sihir mereka! Sian Lun jatuh dalam pelukan mereka. Bahkan Pangeran Gulam Sing yang kini menjadi sahabat baik dan rekan pengumbar nafsu berahi dari tiga orang tokoh Pek-lian-kauw itu, juga membantu dengan ilmu sihirnya, membuat Sian Lun menjadi kehilangan kesadaran sama sekali. Pemuda itu benar benar runtuh dan kalau tadinya dia seperti seekor harimau jantan yang ganas, kini di tangan tiga orang wanita itu dia berubah menjadi seperti seekor domba jinak! Dia merasa seolah-olah dia telah mendapatkan kebahagiaan hidup yang selama ini didambakan dan diimpikannya. Dia percaya bahwa tiga orang wanita kakak beradik itu amat mencintanya dan memanjakannya sehingga dia dengan amat mudahnya melupakan Sian Li, gadis yang biarpun pernah membuatnya tergila-gila namun yang tak terjangkau olehnya itu!
Dalam waktu satu malam saja, Sian Lun telah berubah sama sekali. Dia kini telah menyerah, dan di dalam pelukan tiga orang wanita itu, dia bersumpah untuk bekerja sama dengan mereka, mentaati semua keinginan tiga orang wanita yang dianggapnya amat mencintanya dan yang dapat membuat dia seperti terbuai dalam kemesraan dan kenikmatan yang tanpa batas. Dalam keadaan seperti ini, Pangeran Gulam Sing mendekatinya dan menjanjikan kedudukan tinggi, pangkat yang besar di Nepal kalau perjuangannya kelak berhasil! Dan Sian Lun menganggap ini sebagai suatu cita-cita yang teramat besar dan mulia.
Demikianlah, ketika dia dalam keadaan terpengaruh sihir, diperintah oleh Pek-lian Sam-li untuk berpura-pura menjadi tawanan dan agar dia menawan sumoinya sendiri, dia melakukannya dengan rela dan senang hati. Dia ingin membuat jasa untuk menyenangkan hati Pek-lian Sam-li dan juga para pimpinan Hek I Lama dan Pangeran Gulam Sing.
Sian Li tentu saja merasa terkejut bukan main, juga merasa heran ketika tiba-tiba suhengnya menotoknya. Karena sama sekali tidak menyangka bahwa suhengnya yang hendak ditolongnya itu malah menotoknya, gadis itu dapat dirobohkan dengan mudah dan Sian Li hanya dapat merasa heran dan penasaran sekali ketika tubuhnya yang sudah lemas tak berdaya itu dipondong dan dilarikan Sian Lun.
Makin besar keheranan Sian Li ketika ia dibawa oleh suhengnya ke sarang Hek I Lama! Dalam perjalanan tadi, ketika suhengnya melarikannya, ia masih diam saja karena mengira bahwa suhengnya tentu bermaksud menyelamatkannya, mengira bahwa suhengnya akan melarikannya ke tempat yang aman. Akan tetapi, alangkah heran dan kagetnya ketika ia melihat Sian Lun membawanya masuk ke pintu gerbang sarang perkumpulan pendeta Lama Jubah hitam itu!
"Suheng, apa yang kaulakukan ini?" tanyanya dengan suara lemah karena totokan itu selain melumpuhkan kaki tangannya, juga membuatnya lemah sehingga untuk mengeluarkan suara pun tidak dapat keras.
"Diam sajalah, Sumoi. Semua ini kulakukan demi kebaikan kita," jawab Sian Lun. Anehnya, para pendeta Lama yang berada di situ, ketika melihat Sian Lun masuk memondong tubuh gadis yang lemas itu, hanya menonton saja, bahkan ada di antara mereka yang tersenyum atau menyeringai. Dan agaknya Sian Lun sudah hafal akan tempat di situ. Dia langsung saja membawa sumoinya ke sebuah kamar dan merebahkan tubuh gadis itu ke atas sebuah pembaringan dalam kamar itu.
Sian Li membelalakkan matanya ketika melihat suhengnya mengambil sehelai tali sutera dan mulai mengikat pergelangan kaki dan kedua tangannya.
"Suheng, apa yang kaulakukan ini?" kembali ia bertanya dan kini suaranya mulai menguat, tanda bahwa pengaruh totokan itu mulai mengendur, juga ia mulai dapat menggerakkan kaki tangan walaupun masih lemah. Namun, ikatan tali sutera itu kuat bukan main dan ia pun tidak mampu melepaskan diri.
Sian Lun tidak menjawab, melainkan melanjutkan pekerjaannya. Setelah dia merasa yakin bahwa ikatan kaki tangan sumoinya itu kuat, barulah dia berkata, suaranya datar saja, seperti tanpa perasaan. "Sumoi, terpaksa aku mengikat kaki tanganmu agar kalau sudah pulih dari totokan, engkau tidak melakukan kebodohan dan memberontak."
"Suheng, lepaskan aku! Sudah gilakah engkau? Apa artinya semua ini, Suheng?"
Pemuda itu menundukkan muka, tidak berani menentang pandang mata sumoinya dengan langsung! Bagaimanapun juga, masih tertinggal kesan lama, dan dia merasa canggung dan salah tingkah, walaupun di dalam hatinya dia membenarkan tindakannya ini.
"Sumoi, tidak ada pilihan lagi bagi kita. Kita harus membantu perjuangan mereka menentang penjajah Mancu. Tidak percuma kita sejak kecil mempelajari ilmu silat kalau kita pergunakan untuk membela negara dan bangsa."
Sian Li membelalakkan matanya. Kini totokan itu sudah pulih, jalan, darahnya telah normal kembali. Akan tetapi tentu saja ia tidak mampu menggerakkan kaki tangannya yang terbelenggu. Dicobanya mengerahkan tenaga untuk membikin putus belenggu pergelangan kaki tangan itu, namun sia-sia. Sian Lun maklum bagaimana harus membuat sumoinya tidak berdaya. Tali sutera itu lentur, tidak mudah dibikin putus. Andaikata belenggu itu dari rantai baja yang tidak terlalu kuat saja, mungkin Sian Li dapat mematahkannya. Akan tetapi tali sutera yang lentur? Tidak mungkin dibikin putus, kecuali dengan senjata tajam. Dan senjatanya juga sudah dilucuti suhengnya.
Pada saat itu, terdengar langkah kaki dan masuklah tiga orang wanita yang bukan lain adalah Pek-lian Sam-li, yaitu tiga kakak beradik tokoh Pek-lian-kauw. Ji Kui yang hitam manis, yang paling tua, tersenyum dan menepuk pundak Sian Lun.
"Bagus, engkau telah berhasil baik, Sian Lun."
"Tentu saja berhasil, kalau tidak, percuma dia menjadi kekasihku," kata pula Ji Hwa yang putih mulus, orang ke dua, dan dengan mesra ia lalu merangkul Sian Lun dan mencium pipi pemuda itu penuh gairah dan dengan sikap genit.
"Nih upah untuk kekasih yang gagah!" kata pula Ji Kim yang termuda, cantik jelita dan ia pun dengan sikap genit mencium Sian Lun pada bibirnya. Sian Li terbelalak, akan tetapi gadis yang cerdik ini sekarang tahu atau dapat menduga apa yang kiranya telah terjadi. Suhengnya telah jatuh ke tangan tiga orang wanita genit mesum ini. Suhengnya yang selama ini sebagai murid paman kakeknya bagaikan seekor srigala berbulu domba, kini meninggalkan kulit domba dan nampaklah keasliannya! Ia pun memandang kepada Sian Lun dengan mata melotot.
"Jahanam busuk! Liem Sian Lun, kiranya engkau hanyalah seorang murid murtad, seorang keparat berhati busuk yang selama ini berpura-pura menjadi pendekar! Phuh, muak aku melihat mukamu!" Dan Sian Li membuang muka, tidak sudi lagi memandang wajah suhengnya yang merupakan pria pertama yang hampir menjatuhkan hatinya.
"Sian Lun, sudah jangan pedulikan bocah ingusan ini!" kata Ji Kui sambil menggandeng tangan Sian Lun, "Biarkan saja Pangeran Gulam Sing yang menjinakkannya." Tiga orang wanita itu terkekeh genit dan mereka bertiga menggandeng Sian Lun, diajak meninggalkan kamar. Ketika Sian Li melirik ke arah pintu, ternyata kini nampak beberapa orang bertubuh tinggi hitam, orang-orang Nepal, berjaga di luar pintu kamar.
Sian Li berusaha sekuatnya untuk melepaskan ikatan pada pergelengan tangan dan kakinya, namun hasilnya sia-sia belaka. Akhirnya, ia maklum bahwa usahanya itu hanya akan menghabiskan tenaga, maka ia pun diam saja, bahkan mengatur pernapasan untuk mengumpulkan tenaga dan ia termenung. Hal yang amat menyakitkan hatinya adalah kalau ia teringat kepada Sian Lun. Suhengnya telah menyeleweng! Kalau paman kakeknya mendengar, tentu dia dan isterinya akan marah sekali. Akan tetapi bagaimana mereka akan dapat mendengar akan hal ini? Hanya ia seorang yang tahu dan dapat melaporkan, dan untuk itu ia harus dapat membebaskan diri. Akan tetapi bagaimana?
Sian Li tidak merasa gentar, tidak merasa putus asa. Sebagai seorang gadis yang cerdik, ia pun tahu bahwa gerombolan itu tidak ingin membunuhnya. Kalau demikian halnya, tentu ia sudah sejak tadi dibunuh. Tidak, mereka tidak akan membunuhnya, dan yang jelas, mereka akan membujuknya agar ia suka membantu mereka, bekerja sama dan menjadi sekutu mereka. Seperti Sian Lun! Akan tetapi ia tidak sudi! Hanya ada satu hal yang membuat hatinya terasa cemas dan ngeri juga, yaitu ucapan tiga orang wanita Pek-lian-kauw tadi bahwa ia akan diserahkan kepada Pangeran Gulam Sing untuk dijinakkan! Bergidik juga ia kalau teringat kepada pangeran Nepal itu. Memang seorang pria yang tinggi besar, brewok dan gagah, nampak jantan. Akan tetapi matanya sungguh menyeramkan, seperti mata seekor harimau kelaparan melihat domba!
Sian Li menghela napas panjang. Ia tidak perlu membayangkan hal-hal yang tidak-tidak. Membayangkan hal-hal mengerikan yang belum datang hanya akan menimbulkan rasa cemas saja. Ia masih memiliki kemampuan untuk membela diri, dan di sana masih ada Yo Han! Yo Han dibantu oleh Nyonya Gak dan juga Gak Ciang Hun. Mereka bertiga adalah orang-orang sakti, tidak mungkin kalau sampai tertawan musuh. Bukankah Bibi Gak telah mengatur pelarian untuk mereka kalau bahaya mengancam? Pula, ia percaya sepenuhnya kepada Yo Han! Dobhin Lama sendiri yang demikian sakti masih tidak mampu menandinginya! Sungguh mangherankan sekali kenyataan itu. Yo Han, yang dahulu tidak pernah mau belajat silat, yang membenci kekerasan, kini tiba-tiba saja muncul sebagai Sin-ciang Tai-hiap yang demikian saktinya.
Terdengar suara laki-laki di depan pintu bicara dalam bahasa asing yang tidak dimengertinya dan beberapa orang Nepal itu meninggalkan pintu kamar. Jantungnya berdebar tegang. Apakah pangeran itu yang muncul? Ketika orang itu berdiri di ambang pintu, ternyata bukan pangeran Nepal yang datang melainkan Cu Ki Bok, pemuda peranakan Han Tibet, murid Lulung Lama. Pemuda yang tinggi tegap dan tampan itu berdiri di situ memandang kepadanya. Sian Li yang menghadap ke arah pintu juga memandang kepadanya dengan sinar mata penuh kemarahan dan kebencian. Pemuda itu tersenyum, melirik ke kanan kiri lalu melangkah memasuki kemar dengan ringan dan cepat. Dia duduk di tepi pembaringan lalu berbisik.
"Nona, dengarkan baik-baik dan jangan membantah. Dengar, engkau telah tertawan dan aku akan melepaskan ikatan tangan kakimu. Akan tetapi, engkau harus bersikap damai, tidak memberontak karena percuma saja kalau engkau hendak melarikan diri. Di sini terjaga kuat dan kami berjumlah banyak. Engkau tidak akan diganggu, dan aku bertugas mengawasimu. Nah, kalau engkau berjanji tidak akan memberontak atau lari, aku akan melepaskan ikatanmu. Maukah engkau berjanji?"
Sian Li mengerutkan alisnya. Ia tahu akan benarnya ucapan pemuda itu, walaupun ia tidak dapat percaya sepenuhnya karena menduga bahwa sikap dan ucapan ini tentu sebuah tipu muslihat. Ia harus berhati-hati. Akan tetapi, tentu saja lebih baik kalau kaki tangannya tidak terikat. Setidaknya ia dapat leluasa dan dapat membela diri lebih baik kalau terancam bahaya.
Melihat keraguan gadis itu, Cu Ki Bok melanjutkan bisikannya. "Nona tentu mencurigaiku. Akan tetapi ingatlah, kalau Nona dalam keadaan terbelenggu, bagaimana engkau akan dapat membela diri kalau Pangeran Gulam Sing datang dan mengganggumu? Pula, dalam keadaan terbelenggu, bagaimana mungkin engkau akan membebaskan diri? Berjanjilah bahwa engkau tidak akan memberontak atau lari, dan aku akan melepaskan ikatan tangan kakimu dan kau akan diperlakukan sebagai seorang tamu terhormat."
Sian Li mengangguk. "Aku berjanji, akan tetapi janjiku ini bukan berarti bahwa aku tidak akan membebaskan diri dan lari dari sini kalau ada kesempatan."
Cu Ki Bok memandang kagum. Gadis ini terlalu gagah untuk berbohong, maka berjanji pun dengan terus terang karena tidak ingin melanggar janjinya sendiri. Bukan main!
"Tentu saja, Nona. Dan aku sendiri akan membantumu kalau kesempatan itu tiba. Untuk itu engkau harus memperlihatkan sikap lunak agar para pimpinan percaya bahwa kau tidak akan memberontak dan lari." Pemuda itu lalu melepaskan ikatan tali sutera dari kaki dan tangan gadis itu.
Sian Li bangkit duduk, mengurut-urut pergelangan tangan dan kakinya untuk memperlancar jalan darah sambil mengamati wajah Cu Ki Bok dengan tajam dan penuh selidik. Karena merasa tidak enak bicara dengan pemuda itu selagi ia duduk di atas pembaringan, gadis itu lalu berpindah duduk di atas kursi yang terdapat di kamar itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar