Berbondong-bondong dari dalam gedung keluar belasan orang tukang pukul, malah diantara mereka ada yang berpakaian seperti serdadu pemerintah Goan. Mereka ini ada yang membawa golok, toya, atau pedang dan dengan sikap mengancam mereka menyerbu keluar. Para petani yang tadinya berbesar hati melihat betapa dengan mudah Tan Hok merobohkan empat orang tukang pukul yang melabrak mereka tadi, sekarang berbalik menjadi ketakutan dan menjauhkan diri.
Tan Hok sendiri sama sekali tidak merasa takut. Malah dia menyambut mereka dengan suaranya yang keras, "Kalau tidak mau memberi gandum kepada mereka yang kelaparan, kupukul mampus kalian anjing-anjing penjaga!" Tentu saja para tukang pukul dan serdadu penjaga itu memandang rendah kepada Tan Hok. Sambil berteriak-teriak memaki mereka menerjang. Hujan senjata menyambar ke arah tubuh tinggi besar itu, Namun segera terdengar teriakan-teriakan mengaduhaduh dan keadaan menjadi kacau-balau. Para pengeroyoknya sibuk menyerangnya dari empat penjuru, namun pemuda gagah perkasa ini selalu dapat melindungi tubuhnya dari ancaman senjata dengan jalan menangkis atau mengelak. Malah dia cepat secara kontan mengirim pukulan-pukulan balasan yang membuat beberapa orang menggeletak pingsan. Melihat makin banyak tukang pukul berlarian dari dalam, Tan Hok merampas sebatang toya dan mengamuk dengan senjata ini. Makin ramailah pei-tempuran di depan gedung, Kwi-wangwe itu.
"Saudara-saudara, Tan-enghiong itu dikeroyok dalam pembelaannya terhadap kita.
Bagaimana kita bisa tinggal diam saja? Hayo bantu!" Kakek petani berseru keras.
Memang para petani itu mulai timbul keberanian mereka melihat betapa gagahnya Tan Hok melawan tukang pukul.
"Betul..... betul..... hayo bantu Tan-enghiong.....!" Puluhan orang petani yang kurus-kurus itu dengan semangat menyala lalu menyerbu para tukang pukul yang mengeroyok Tan Hok. Mereka tidak peduli lagi akan keselamatan diri sendiri. Yang dipukul jatuh, bangkit lagi dan melawan penuh kenekatan. Tentu saja mendapat bantuan ini, Tan Hok menjadi makin bersemangat.
Toyanya mengamuk dan demi satu para tukang pukul dapat robohkan.
Pada saat itu, dari sebelah dalam gedung terdengar suara orang berseru, "Mundur semua, biarkan Giam-siauwya (Tuan Muda Giam) mengusir para pengacau!" Itulah suaranya Kwi-wangwe. Mendengar perintah ini, para tukang pukul lalu mengundurkan diri sambil menyereti tubuh teman-teman mereka yang terluka. Semua orang termasuk Tan Hok memandang ke dalam. Mereka melihat Kwi-wangwe yang sudah setengah tua, seorang bertubuh tinggi kecil yang berpakaian mewah sekali, tangan kiri mengisap huncwe berujung emas, berdiri di anak tangga sambil memandang ke luar. Di sebelahnya berdiri seorang pemuda yang aneh. Muka pemuda ini pucat putih, matanya liar tajam, hidungnya mancung. Akan tetapi wajah yang tampan ini nampaknya aneh dan mengandung sesuatu yang mengerikan, terutama pada matanya. Pakaiannya serba kuning dan tangan kanannya memegang sebuah suling ular. Pada saat itu, pemuda yang usianya antara dua belas tahun ini berkata sambil tertawa.
"Kwi-wangwe, biarlah aku mengadakan sedikit pertunjukan yang menarik hati." Bocah laki-taki belasan tahun itu lalu mengangkat sulingnya, ditiupnya suling itu.
Terdengar suara melengking yang aneh, naik turun seperti gelombang samudera, makin lama makin tinggi dan nyaring menusuk anak telinga. Tan Hok yang sudah mempelajari ilmu silat tinggi, kaget sekali karena tahu bahwa suling itu ditiup dengan kekuatan khikang yang hebat! "Ular.....! Ular.....!" Para petani berteriak-teriak ketakutan. Tan Hok kaget dan cepat memutar tubuh memandang. Ia bergidik melihat banyak sekali ular merayap cepat menuju ke tempat itu, besar kecil dan datang dari semua jurusan. Tadinya hanya beberapa ekor saja, mungkin ular-ular yang terdekat di tempat itu, akan tetapi sebentar kemudian menjadi puluhan dan akhirnya ratusan ekor ular datang dan dari jauh masih kelihatan banyak lagi mendatangi.
Ketika ular-ular yang amat banyak itu sudah berkumpul dan menggeliat-geliat sambil menujukan mata ke arah si penyuling cilik yang sudah berjalan keluar dari pintu pagar tembok, suara suling tiba-tiba berubah menjadi kacau balau dan..... secara tiba-tiba ular-ular itu mendesis-desis dan nampak marah lalu menyerang para petani! Segera terdengar jerit-jerit kesakitan bercampur dengan teriakan ketakutan. Para petani mencoba melawan, namun sia-sia karena ular terlampau banyak. Melihat ini Tan Hok marah sekali. Sambil mengeluarkan gerengan seperti harimau terluka orang muda ini menyambar sebatang toya dan menerjang rombongan ular itu. la, menggebuk dan memukul, menghancurkan banyak kepala ular. Akan tetapi ular itu terlampau banyak dan tak mungkin dia dapat melindungi dua puluh lebih orang bernasib malang yang diserbu ular-ular itu. Apalagi di antara ular-ular itu, banyak terdapat ular-ular kecil berbisa yang amat gesit. Sekali pagut saja ular ular seperti ini mematikan korbannya.
Melihat betapa para petani itu roboh binasa, Tan Hok menjadi ngeri dan dengan amarah meluap-luap dia melihat betapa makin banyak dia membunuh ular, makin ganaslah ular-ular yang lain dan dalam sekejap mata saja para petani itu sudah roboh semua. Tak seorang pun tinggal hidup lagi.
"Iblis kecil berhati keji!" Tan Hok membalik dan melompat dengan foya di tangan, menyerang bocah kecil penyuling yang aneh itu. Sama sekali dia tidak tahu bahwa bocah itu bukanlah sembarang bocah. Dia ini bukan lain adalah Giam Kin, murid Siauw-ong-kwi tokoh besar dari utara yang amat jahat.
Serangan dengan toya yang dilakukan oleh Tan Hok amat dahsyat. Akan tetapi tibatiba Giam Kin menggerakkan tangan kirinya dan sinar keemasan menyambar ke arah muka Tan Hok. Terkejut raksasa muda ini. Cepat dia menggunakan tangan kiri menyampok sinar keemasan tanpa membatalkan serangannya dengan toya yang dipegang tangan kanan. Akan tetapi sebelum toyanya mendekati tubuh Giam Kin, dia menjerit kesakitan dan toyanya dilempar, kemudian tangan kanannya merenggut ular kuning emas yang sudah menggigit tangan kirinya. Rasa sakit, panas dan gatal-gatal menyerang seluruh tubuhnya. Sekali remas saja hancur lu-luhlah kepala dan tubuh ular kecil itu, akan tetapi rasa sakit yang menguasai tubuhnya tak tertahankan lagi.
Sambii memekik-mekik Tan Hok memutar tubuh dan pergi secepatnya dari tempat itu.
"Ha..ha..ha..ha..ha, orang sombong itu takkan waras lagi otaknya, terkena racun Kimtok- coa (Ular Racun Emas)!" Giam Kin tertawa bergelak sambil meniup sulingnya lagi. Ular-ular yang tadinya berpesta-pora menggigiti mayat para petani itu sekarang lari ketakutan mendengar suara suling sehingga sebentar saja di situ tidak ada seekor pun ular, kecuali bangkai-bangkai ular yang dibunuh Tan Hok tadi dan mayat para petani yang malang melintang. Kwi-wangwe dan kaki tangannya yang sudah kerap kali menyaksikan pembunuhan terhadap orang-orang miskin itu, sekarang bergidik juga menyaksikan kejadian yang menyeramkan ini. Dengan penuh hormat Kwiwangwe mempersilakan Giam Kin masuk ke dalam gedungnya lagi dan memerintahkan kepada orang-orangnya untuk membersihan halaman itu, membawa pergi bangkai-bangkai ular dan mayat para petani.
Tan Hok berlari-lari terus secepatnya. Tubuhnya memang luar biasa kuatnya sehingga biarpun dia sudah terkena gigitan ular berbisa yang amat berbahaya, dia masih dapat berlari cepat sampai puluhan jauhnya. Akan tetapi akhirnya dia terguling roboh di tengah sawah yang tanahnya kering merekah, pingsan. Matahari dengan cahayanya yang penuh menyinari tubuh Tan Hok yang menggeletak tak berdaya itu seakan-akan hendak membakarnya. Ternyata bahwa racun ular kuning keemasan itu mengandung hawa yang amat panas sehingga seluruh tubuh Tan Hok menjadi merah kehitaman, apalagi di bagian tangan yang tergigit sampai menjadi hitam seperti hangus terbakar.
Pada saat itu, dari jurusan selatan, di atas jalan kecil yang kering kerontang dan sunyi, terdengar suara orang bernyanyi! Benar-benar amat ganjil mendengar orang bernyanyi di tempat yang diliputi hawa maut kering ini. Setelah kelihatan orangnya, dia itu adalah seorang anak laki-laki yang baru belasan tahun usianya. Pakaiannya compang-camping, lebih patut pakaian seorang jembel yang terlantar. Akan tetapi lengan dan kakinya berkulit bersih. Betapapun juga, jelas bahwa dia itu bukan bocah biasa. Hal ini terlihat dari mukanya yang berkulit aneh, yaitu kulitnya kehijauan seperti hijaunya daun muda. Sepasang matanya juga bukan mata manusia biasa karena mengandung sinar yang amat tajam, malah terlalu tajam sehingga seperti tidak normal lagi. Wajah yang berwarna kehijauan dengan mata setajam itu benar-benar akan membikin orang bergidik ketakutan dan mengira bahwa dia ini tentu bukan manusia.
Apalagi kalau mendengar kata-kata dalam nyanyiannya. Aneh. Nyanyiannya saja sudah tidak karuan iramanya bukan nyanyian, lebih pantas disebut gila atau orang mengigau akibat sakit demam. Dan kata-katanya, dengarkan saja dia bernyanyi, Heh perut berhentilah merengek! Tidak malukah kau kepada kaki? Yang bekerja keras tak pernah mengeluh Kau tiada guna, tak pernah bekerja, Kerjamu hanya merengek minta diisi Kata-kata aneh ini dia nyanyikan sepanjang jalan sambil saling memukulkan dua batang kayu yang dipegang di kedua tangan untuk membuat irama nyanyiannya yang tidak karuan. Selain warna mukanya yang kehijauan dan sepasang matanya yang luar biasa tajamnya, selebihnya anak ini boleh dibilang tampan, tubuhnya pun padat berisi dan kuat.
Bocah ini bukan lain adalah Beng San Seperti telah diceritakan dalam bagian terdahulu dari cerita ini, secara kebetulan sekali Beng San bocah korban banjir Sungai Huang-ho yang tidak tahu akan nama keturunannya sendiri ini, telah bertemu dengan Hek-hwa Kui-bo dan mendapat Ilmu Thai-hwee, Siu-hwee, dan Ci-hwee yang oleh Hek-hwa Kui-bo dimaksudkan untuk memperbesar daya hawa "Yang" dalam tubuh anak ini dan membunuhnya. Akan tetapi tanpa disadari ia malah memberi tambahan tenaga kepada anak ini dan malah menyelamatkan nyawa Beng San dari hawa pukulan, Jeng-tok-ciang dari Koai Atong. Kemudian secara kebetulan pula Beng San bertemu dua orang kakek aneh, yaitu Phoa Ti dan The Bok Nam yang mengangkatnya sebagai murid dan kedua orang kakek aneh ini menurunkan atau mewariskan dua macam ilmu silat yang hebat padanya. Dari Phoa Ti, dia mewarisi Khong-ji-ciang dan Im-sin-kiam, sedangkan dari The Bok Nam, dia mewarisi Pat-hong-ciang dan Yangsin- kiam. Ada-pun Im-sin-kiam dan Yang-sin-kiam ini adalah dua bagian yang berlawanan dari Ilmu Im-yang-sin-kiam yang merupakan pecahan dari Im-yang Butek- cin-keng, Ilmu silat tertinggi di dunia persilatan yang dahulu dimiliki oleh Pendekar Sakti Bu Pun Su di jaman pemberon-takan An Lu Shan (tahun 755), kirakira lima ratus tahun yang lalu.
Ilmu Im-yang-sin-kiam diingini oleh semua tokoh persilatan dari empat penjuru, siapa kira secara tak disengaja telah terjatuh ke dalam tubuh Beng San! Lucunya, Beng San yang sudah mempelajari ilmu ini dan melatihnya setiap hari sampai hafal betul, sama sekali tak pernah tahu bahwa dia sekarang telah memiliki ilmu yang hebat. Hanya anak ini tahu bahwa berkat latihan-latihan itu tubuhnya menjadi kuat dan ringan, malah dia sekarang tidak pernah menderita gangguan lagi dan perasaan panas atau dingin di tubuhnya. Setiap kali dia menderita panas dari teriknya matahari, secara otomatis tubuhnya mengeluarkan hawa dingin untuk melawannya dan pengerahan hawa "Im" secara otomatis ini hanya dapat diketahui dari wajahnya yang berubah menjadi kehijauan. Sebaliknya, di waktu dingin secara otomatis pula wajahnya berubah merah kehitaman, tanda bahwa tenaga dari hawa "Yang" di tubuhnya bekerja. Hanya kalau hawa udara biasa, wajahnya berubah putih seperti biasa pula. Selain ini, tanpa dia sadari apabila dia terserang nafsu amarah, wajahnya juga otomatis berubah merah kehitaman, sebaliknya apabila dia merasa gembira, wajahnya menjadi hijau! Pada saat itu hawa udara amat panasnya maka tidak heran kalau muka anak ini menjadi kehijauan, tanda bahwa hawa "Im" otomatis bekerja di tubuhnya. Perutnya terasa lapar sekali, semenjak kemarin tidak kemasukan apa-apa. Dusun-dusun kosong sunyi, pohon-pohon gundul kering. Untuk menahan rasa lapar perutnya, dia berjalan sambil bernyanyi-nyanyi mencela perutnya yang selalu merengek-rengek minta isi.
"Eh, mata yang sial. Di mana-mana melihat mayat orang. Sudah enam belas mayat kukubur, sekarang ada lagi di tengah sawah. Sialan benar!" Beng San mengomel ketika dia melihat tubuh Tan Hok menggeletak di tengah sawah. Memang, seperti halnya Tan Hok, bocah ini pun semenjak kemarin hari melihat banyak mayat menggeletak di pinggir jalan, mayat mereka yang kelaparan. Sejak kecil Beng San sudah dijejali pelajaran filsafat-fiisafat kuno tentang peri-kebajikan dan perikemanusiaan, maka melihat mayat-mayat menggeletak terlantar itu, tidak tega hatinya dan dia mengubur setiap mayat yang dijumpainya, dikubur secara sederhana.
Dengan hati agak kesal karena perutnya lapar, dan selalu bertemu mayat, Beng San menyimpang dari jalan kecil memasuki sawah kering menghampiri tubuh Tan Hok yang tak bergerak seperti sudah mati itu. Setelah memandang wajah dan tubuh Tan Hok, anak itu menarik napas panjang dan berkata, "Sayang...... sayang sekali orang begini gagah dan bertubuh tinggi besar seperti raksasa mati di sini. Anehnya, orang mati kelaparan kenapa badannya masih tegap dan besar seperti ini? Aneh.....aneh....." Namun Beng San lalu mulai bekerja, menggali tanah kering di sawah itu. Pekerjaan ini dia lakukan dengan dua batang kayu kecil yang dipegangnya tadi. Benar-benar hebat. Orang tentu takkan percaya kalau tidak menyaksikannya sendiri. Dua batang kayu ranting kecil itu ketika dia pakai mendongkel tanah, ternyata berubah seperti dua batang linggis besi yang kuat. Sebentar saja dia menggali tanah sampai satu rneter lebih da-lamnya. Melihat tubuh tinggi besar yang masih baik itu, Beng San merasa kasihan kalau menguburnya kurang dalam, maka dia sengaja menggali sampai dalarn.
Ternyata tanah itu bawahnya rnerupakan tanah lempung yang kering, akan tetapi halus dan berwarna kemerahan.
Setelah menggali cukup, dia meletakkan sepasang rantingnya dan membungkuk, mengangkat tubuh itu. Badan Tan Hok besar sekali, beratnya takkan kurang dari seratus kilo, namun benar-benar mengherankan betapa anak kecil itu dapat memondongnya dengan mudah. Beng San kaget ketika merasa betapa kulit, tubuh Tan Hok amat panas. la masih kecil, belum dapat mengerti betul bagaimana keadaan orang mati. Karena tubut itu kaku dan diam tak bernapas, dia menganggapnya sudah mati. Panas tubut Tan Hok dianggapnya karena terik sinap matahari.
Dengan perlahan dan hati-hati Beng San meletakkan tubuh tinggi besar itu ke dalam lubang. Mulutnya berbisik-bisik "Kembalilah kau ke asalmu, tenteram dan damai." Kata-kata ini dahulu pernah dia dengar dari seorang hwesio ketika melakukan upacara mengubur mayat.
Tiba-tiba dia kaget dan melompat mundur, matanya terbelalak. Kalau saja Beng San bukannya seorang anak luar biasa yang tidak mengenal rasa takui tentu dia akan lari terbirit-birit menyaksikan pemandangan yang mengerikan itu. "Mayat" tadi bergerakgerak dan dengan gerakan liar lalu bangun duduk, matanya melotot merah, mulutnya berteriak-teriak.
"Lapar..... lapar.....! Tanah menghasilkan segala macam tetumbuhan yang dapat dimakan, masa tanah sendiri tak boleh dimakan?" Dan "mayat" itu lalu mencengkeram tanah lempung merah dan..... dimakannya dengan amat lahapnya.
Untuk sejenak Beng San berdiri seperti. patung, matanya terbelalak heran. Mulamula dia merasa ngeri juga. Akan tetapi ketika melihat betapa "mayat" itu makan tanah lempung merah dengan enaknya seperti orang makan daging panggang, air liurnya memenuhi mulutnya. Perutnya memang amat lapar sekarang melihat orang makan demikian enaknya, biarpun yang dimakan hanya tanah lempung, timbul seleranya. la mulai menengok ke bawah, ke arah tanah lempung yang tadi dia gali dan sekarang bertimbun di luar lubang. Otomatis dia berjongkok, tangannya mengambil segumpal tanah lempung merah dan.... membawa tanah itu ke mulutnya terus digigit.
"Wah, enak....." Dengan terheran-heran Beng San terus makan tanah lempung itu.
Rasanya sih tidak bisa dibilang enak, akan tetapi juga bukan tidak enak, karena halus dan baunya harum. Setelah memasuki perut mendatangkan rasa kenyang juga. Sampai empat gumpal tanah memasuki perut Beng San yang menjadi girang sekali karena dia sekarang dapat mengisi perutnya yang tadi merengek-rengek. Sama sekali dia tidak tahu bahwa memang tanah lempung itu sejenis tanah lempung yang halus dan memang tidak berbahaya kalau dimakan, malah mengandung khasiat menguatkan badan.
"Mayat" itu lalu makan tanah lempung banyak sekali, kemudian mayat itu yang duduk di dalam lubang kubur mendongak, memandang ke arah Beng San dengan sepasang mata rnerah. Beng San tersenyum kepadanya dan mengangguk.
"Twako, jadi kau sebetulnya belum matikah? Syukur kalau begitu!" Tiba-tiba Tan Hok mengeluarkan suara menggereng, lalu tubuhnya meloncat keluar lubang sambil berteriak geram, Aku tidak mati, kaulah yang akan mampus!" Serta merta pemuda raksasa ini mengirim serangan memukul ke arah kepala Beng San dengan tangan kanan sedangkan tangan kirinya mencengkeram ke arah muka Beng San yang kehijauan.
Semenjak mewarisi ilmu-ilmu silat tinggi dari kedua orang suhunya, yaitu kedua kakek Phoa Ti dan The Bok Nam, belum pernah Beng San mempergunakan kepandaian ini dalam pertempuran. Memang tak dapat disangkal lagi bahwa dia amat tekun melatih diri, mempelajar semua ilmu itu dengan teliti, namur tanpa diketahui apa khasiatnya semua ilmu itu. Sekarang menghadapi serangan bertubi-tubi dari pemuda raksasa yang seperti tidak waras otaknya ini, dia kaget juga. Namun otomatis gerak silat yang sudah mendarah dagipg di tubuhnya bekerja.
"Hisss, nanti dulu, Twako. Hidup atau mati bukan urusan kita. Bagaimana kau bisa tentukan?" Sambil mengeluarkan jawaban yang mengandung filsafat kebatinan ini, Beng San miringkan kepalanya menghindarkan pukulan tangan kanan Tan Hok, sedangkan tangan kanannya dia angkat untuk menangkis cengkeraman tangan kiri lawannya yang tinggi besar itu.
"Plakkk!" tangan kiri Tan Hok yang berjari panjang besar itu berhasil mencengkeram tangan Beng San yang kecil sehingga lima pasang jari tangan saling genggam. Beng San merasa betapa dari, tangan Tan Hok mengalir hawa panas melebihi api. Otomatis tubuhnya menyambut hawa ini dengan hawa "Im" yang luar biasa kuatnya, sehingga tangannya yang dicengkeram kini terasa dingin sejuk.
Hebat sekali akibatnya, Tan Hok seketika menjadi kaku tubuhnya. la masih tetap berdiri dengan tangan kiri mencengkeram tangan kanan Beng San, matanya melotot kemerahan dan kini sekujur tubuhnya menggigil seperti orang terserang demam.
Tangannya yang mencengkeram tangan kanan Beng San seperti lengket dan tak dapat ditarik kembali, sedangkan dari tangan anak kecil itu mengalir hawa yang dinginnya melebihi bukit es. Makin lama tubuh Tan Hok, makin menggigil, mukanya yang merah itu mulai berkurang warnanya dan tiba-tiba dia muntahkan darah menghitan, juga dari luka di tangan kirinya yang kini menempel pada tangan kanan Beng San keluar darah hitam. Tiga kali dia muntahkan darah hitam dan tubuh yang tadinya panas itu berubah dingin sekarang. Matanya yang kemerahan dan liar berubah tenang.
"Aduh..... aduh..... dingin.....!" Tan Hok yang tadinya kaku tubuhnya itu sekarang dapat melompat mundur. Beng San juga melompat mundur sambil melepaskan tangannya. Mereka kini berdiri berhadapan dalam jarak tiga empat meter, saling pandang. Setelah tangannya terlepas dari tangan Beng San, lenyap rasa dingin yang menusuk jantung. Diam-diam Tan Hok merasa terheran-heran, apalagi baru sekarang dia teringat mengapa dirinya bisa berada di situ. Tiba-tiba dia celingukan memandang ke kanan kiri dengan rasa takut karena dia teringat akan ular-ular yang tadinya mengeroyoknya. Melihat bahwa dia berada di sawah, berhadapan dengan seorang bocah bermuka hijau bermata tajam yang mempunyai tangan mengandung hawa dingin luar biasa, Tan Hok kembali memandang Beng San, lalu melirik ke arah lubang kuburan di dekat situ.
"Adik kecil, kau siapakah?" Setan atau manusia?" Beng San tertawa, matanya yang tajam itu berkilat-kilat. "Ha..ha..ha, Twako, kalau satu diantara kita ini bukan manusia, kiranya kaulah orangnya. Aku manusia biasa, akan tetapi kau..... apakah kau bukan siluman?" Tan Hok yang mengerti akan ilmu silat tinggi, tadi mendapat kenyataan bahwa anak ini bukanlah anak biasai tangannya mengandung tenaga Im yang luar biasa kuatnya.
Akan tetapi dia tidak tahu bahwa tenaga inilah yang telah menolong nyawanya, yang mengusir racun hawa panas yang tadinya menyerang tubuhnya akibat gigitan ular Kim-tok-coa. Tentu saja di pihak Beng San sama sekali tidak tahu akan hal ini, jangankan tentang penyembuhan yang tanpa sengaja dia lakukan, bahkan tentang tenaga-tenaga yang berada dalam dirinya saja dia tidak tahu apa artinya.
"Adik yang aneh, kenapa kau menyangka aku seorang siluman?" "Kau aneh sekali sih! Aku semenjak kemarin mengubur mayat-mayat orang mati kelaparan yang bergelimpangan di pinggir jalan. Tadi aku mendapatkan kau menggeletak mati di sini, tidak bernapas lagi. Aku menggali lubang untuk menguburmu. Eh, tahu-tahu di dalam lubang kuburan. kau hidup lagi, makan tanah, lalu meloncat dan menyerangku. Dan sekarang, setelah muntah-muntah, kau bicara seperti orang waras. Orang dengan tubuh raksasa seperti kau, bisa mati dan hidup lagi, benar-benar bukan seperti manusia." Mendengar ini, Tan Hok bengong, lalu menjatuhkan diri duduk di atas tanah. Melihat pemuda raksasa itu bengong terlongong mengurut-urut dagu, Beng San juga ikut duduk di depannya. Dua orang ini duduk tak berkata-kata seperti dua buah patung batu. Akhirnya Tan Hok yang menoleh dan bertanya.
"Adik yang baik, siapa namamu? Kau anak siapa, murid siapa dan kenapa bisa sampai di sini?" Diberondong pertanyaan-pertanyaan ini Beng San tersenyum nakal, lalu menjawab secara memberondong pula. "Namaku Beng San, bukan anak siapa-siapa guru-guruku sudah meninggal dan bisa sampai ke sini karena kedua kakiku berjalan." Akan tetapi agaknya Tan Hok tidak melayani sendau-guraunya, malah dengar sungguh-sungguh bertanya, "Kau tidak punya orang tua dan guru-gurumu sudah mati? jadi kau hidup sebatangkara di dunia ini?" Beng San mengangguk. "Sejak dulu aku hidup sebatangkara." "Tidak punya tempat tinggal?" Beng San menggeleng kepala "Ah, adikku yang baik..... sama benar nasib kita....." Tan Hok menubruk dan merangkul Beng San sambil menangis. Beng San bingung, lalu karena tidak tahu harus berbuat apa, ia pun ikut-ikut menangis! Dua orang ini bertangis-tangisan di tengah sawah kering kerontang dan tetes-tetesan air mata mereka diisap cepat oleh tanah yang kehausan.
"Adik Beng San, aku Tan Hok, baru saja ditinggal mati guruku....." Tan Hok menangis sambil merangkul, "dan aku,.... eh, celaka! Kau terkena racun!" Tiba-tiba dia memegang tangan Beng San dan memandang tajam. "Mukamu kehijauan, badanmu mengeluarkan hawa dingin sekali. Kau terkena hawa pukulan yang mengandung racun dingin..... celaka....." Beng San tersenyum. "Tidak, Tan-twako (Kakak Tan). Aku tidak apa-apa." "Betulkah? Kau tidak merasa sakit?" "Tidak." "Aneh..... aneh...... kukira kau terkena racun, semacam racun ular atau....." Tiba-tiba dia melompat dan mukanya berubah. "Ular! Ah, sekarang aku ingat. Bocah siluman ular itu yang melukaiku. Dia harus dibunuh! Celaka para petani malang itu....." Beng San benar-benar tidak mengerti dan terheran-heran melihat sikap raksasa yang berubah-ubah dan aneh ini. "Siluman ular? Di mana dia?" "Dia seorang anak sebaya denganmu. Aku sedang memimpin para petani yang kelaparan untuk minta bantuan makanan dari hartawan Kwe yang kaya raya. Akan tetapi para petani malah diserang oleh kaki tangannya. Aku membantu dan muncullah siluman ular, mendatangkan ratusaan ekor ular mengeroyok para petani, Banyak yang mati. Aku menyerang dan..... aku terluka oleh seekor ular kuning emas. Hayo, kita harus pergi ke sana. Aku harus bunuh siluman itu!" "Ratusan ekor ular! liihhhhh, menakutkan sekali!" Beng San bergidik dan kelihatan ngeri, lalu memandang ke kanan kiri, takut kalau-kalau ratusan ekor ular itu datang ke situ.
"Jangan takut, ada aku di sini. Aku hapus basmi ular-ular itu dan silumannya. Hayo, Adik Beng San, kau ikut atau tidak?" Tan Hok berdiri. "Kalau kau takut, kau tinggal saja di sini, aku harus segera kembali ke dusun itu." Tan Hok sudah mulai lari. "Nanti dulu, Twako. Aku ikut!" Beng San segera mengambil dua batang ranting yang tadi dia gunakan untuk menggali tanah, lalu ikut berlari di belakang Tan Hok.
Karena amat bernafsu untuk segera kembali ke dusun membantu para petani yang dikeroyok ular, Tan Hok mengerahkan kepandaiannya dan berlari cepat sekali. la sampai lupa bahwa di belakangnya ada Beng San, lupa bahwa kalau dia berlari secepat itu tentulah seorang anak kecil seperti Beng San akan tertinggal jauh. Setelah berlari sampai di luar dusun barulah dia teringat dan cepat dia menengok. Alangkah herannya melihat anak itu berlari-lari kecil, seenaknya saja tapi masih berada di belakangnya.
"Eh, kau masih di belakangku?" "Tentu saja, bukankah kau mengajakku?" Tan Hok penuh ketegangan akan bertemu dengan siluman ular, maka dia kurang memperhatikan Beng San dan terus melanjutkan larinya memasuki dusun menuju ke gedung tempat tinggal Kwi-wangwe.
Di depan gedung Kwi-wangwe para tukang pukul sedang duduk dan sibuk membicarakan amukan para petani yang dibantu pemuda raksasa. Tentu saja mereka menjadi amat kaget ketika melihat pemuda raksasa yang kemarin telah dilukai dan diusir pergi oleh "Giam-kongcu" itu kini tiba-tiba muncul di depan mereka bersama seorang anak laki-laki bermuka hijau.
"Anjing-anjing keparat hayo lekas suruh keluar Kwi-wangwe dan siluman ular itu!" Tan Hok memaki sambil memegang dua orang tukang pukul dan sekali lempar dua orang itu jatuh bergulingan tiga meter lebih jauhnya. Yang lain-lain cepat mencabut senjata dan sebagian melapor ke dalam.
Sementara itu, ketika melihat para tukang pukul mencabut senjata, Tan Hok sudah bangkit amarahnya. "Di mana paman-paman tani semua? Kalian bunuh, ya? Awas, rasakan pembalasanku!" Tan Hok lalu mengamuk, menerjang para tukang pukul yang kini hanya membela diri, tidak berani menyerang karena maklum akan kelihaian Tan Hok. Sebentar saja Tan Hok sudah dikeroyok belasan orang tukang pukul dan di dalam gedung terdengar ramai-ramai karena semua orang tidak tahu bahwa pemuda raksasa itu telah datang lagi mengamuk.
Mendadak terdengar tiupan suara suling yang melengking. Suling yang ditiup oleh Giam Kin, melengking tinggi dan mengalun dengan irama yang amat luar biasa. Tan Hok berdebar jantungnya, maklum apa artinya tiupan suling itu. Betul saja dugaannya, tak lama kemudian terdengar bunyi mendesis-desis dan banyak sekali ular menggeleser datang. Tan Hok biarpun tidak begitu cerdik, namun karena dia merasa jijik juga melihat banyak ular, lalu berkelahi dengan menyerbu ke tengah-tengah para tukang pukul. Perbuatannya ini bukan berdasarkan kecerdikan, melainkan karena takut kepada ular-ular itu» akan tetapi untung baginya. Giam Kin bingung untuk memimpin ular-ularnya karena bagaiman Ular-ularnya itu bisa disuruh menyerang seorang saja yang berada di tengah-tengah dan dikurung para tukang pukul? Baiknya setelah terjadi keributan, yaitu serbuan para petani, Kwi-wangwe mendatangkan lebih banyak tukang pukul yang pandai sehingga untuk sementara amukan Tai Hok dapat dibendung.
Sementara itu, melihat ular yang amat banyak datang melenggang-lenggok mendekatinya, Beng San menjadi jijik dan takut bukan main. la tidak takut kalau menghadapi orang, akan tetapi menghadapi ular yang banyak dan amat menjijikkan dan mengerikan itu, dia takut juga.Ketika ular-ular itu dengan mata merah dan lidah menjilat-jilat keluar menyerbu ke arahnya, sambil berteriak teriak, "Ular.....! Ular.....!" tiba-tiba tubuhnya mencelat ke atas, ke tengah tengah orang yang sedang berkelahi Bagaikan seekor burung terbang, kakinya menginjak kepala orang-orang yang sedang mengeroyok Tan Hok, dan begitu kakinya menginjak kepala orang, dia mencolot lagi ke sana ke mari, melalui kepala-kepala orang itu akhirnya dia bisa meloncat ke atas genteng. Di situ dia berjongkok dengan tubuh gemetaran sambil memandang ke bawah.
Semua orang, terutama sekali Tan Hok, kaget dan heran bukan main melihat perbuatan Beng San ini. Melihat cara anak itu meloncat tidak terasa, jelas bahwa dia tidak mengerti ilmu meloncat tinggi. Akan tetapi mengapa tubuhnya begitu ringan sehingga seakan-akan dia dapat beterbangan di atas kepala orang-orang? Tan Hok tidak sempat lagi memperhatikan Beng San karena pengeroyokan para tukang pukul sudah cukup membuat dia repot juga. Kali ini pun Tan Hok berhasil merampas sebatang toya dan mengamuk. Sudah ada beberapa orang tukang pukul roboh oleh kemplangan toyanya.
Melihat ini, Giam Kin menjadi penasaran dan khawatir juga. Tak mungkin dia dapat menyuruh ular-ularnya menyerbu, karena sekali ular-ular itu menyerbu tentu para tukang pukul Kwi-wangwe akan digigit pula. la lalu berseru.
"Paman-paman mundur semua, biar ular-ularku menghabiskannya!" Tukang-tukang pukul itu memang kewalahan menghadapi Tan Hok. Bukan ilmu silatnya yang hebat, melainkan tenaganya yang benar-benar sukar dihadap. Setiap kali toya di tangan pemuda raksasa itu menangkis, tentu banyak senjata terpental atau rusak. Mendengar perintah ini, mereka lalu meloncat mundur meninggalkan Tan Hok.
Tan Hok maklum bahwa dia akan dikeroyok ular maka dia hendak mendahului menyerang Giam Kin. Celakanya, anak aneh ini sudah meniup sulingnya melengking tinggi dan ular-ular itu sudah mulai menyerbu. Di lain saat Tan Hok sudah dikelilingi ular-ular yang amat marah, mendesis desis dan siap menyerangnya. Tan Hok bergidik, melintangkan toyanya, bingur harus menyerang yang mana dulu karena dia telah dikurung dalam pagar ular.
"Ha..ha..ha..ha..ha, manusia sombong. Ternyata kau masih belum mampus! Sekarang aku akan melihat. Ha..ha..ha!" kata Giam Kin setelah melepaskan sulingnya.
Kemudian dia mulai menyuling lagi, suara sulingnya melengking-lengking tinggi dan menyakitkan telinga.
Beng San yang berada di atas genteng melihat semua kejadian ini dialah yang paling sakit telinganya mendengar suara suling itu. Saking marahnya dia berteriak-teriak, "Siluman jahat, siluman busuk. Suara sulingmu tidak enak. Dengar, aku lebih pandai menyuling daripada suara sulingmu seperti angin kotor itu" Beng San meniru-niru bunyi suling dengan suaranya. Tanpa dia sadari, khi-kang di tubuhnya sudah kuat sekali maka ketika dia meniru bunyi melengking, suara suling itu kalah kuat dan kalah nyaring! Terdengar sekarang bunyi yang luar biasa dan aneh, suara suling bercampuran dengan suara mulut Beng San yang meniru-niru suara suling. Ketika dia mendapat kenyataan betapa setelah dia menjerit-jerit telinganya tidak terganggu lagi oleh suara suling yang kalah nyaring, dia makin bersemangat dan teriakanteriakannya makin kuat.
Kasihan sekali ular-ular Itu. Suara suling merupakan perintah atau dorongan bagi mereka, dorongan yang tak mungkin terlawan lagi. Sekarang binatang-binatang buas ini mendengar suara suling yang tidak karuan, campur aduk bising bukan main.
Mereka kacau, tidak tahu harus bagaimaha, apalagi perasaan mereka tidak karuan.
dengan "perintah" yang kacau-balau ini. Makin lama makin kacau, saling terjang dan akhirnya ular ular itu menjadi marah lalu saling terkam! Mereka sama sekali tidak mau peduli lagi kepada Tan Hok, sibuk mengigit-gigit kawan-kawan sendiri yang lebih dekat.
Melihat hal ini, Giam Kin marah sekali. Dibantu oleh Kwi-wangwe sendiri, dia memberi perintah kepada para tukang pukul untuk mengeroyok lagi Tan Hok, sementara itu Giam Kin sudah melangkah maju untuk melihat bocah yang telah meniru bunyi sulingnya dan telah mengacau komandonya atas ular-ular itu. Akan tetapi Tan Hok yang sudah marah sekali, melihat adanya hartawan Kwi di situ, memberontak dan cepat meloncat ke arah hartawan itu dengan toya di tangannya.
"Kau hartawan pelit, rasakan ini!" Toyanya mengemplang kepala hartawan itu yang mundur ketakutan. Baiknya ada beberapa orang pengawal pribadinya yang menangkis toya sehingga toya itu menyeleweng, tidak mengenai kepalanya hanya menggebuk pundaknya. Namun gebukan ini cukup keras untuk membuat Kwi-wangwe meringis dan mengaduh-aduh. Sekejap kemudian Tan Hok sudah dikeroyok lagi oleh para tukang pukul.
Giam Kin sekarang dapat melihat. adanya Beng San di atas genteng. Marahnya bukan main. "Eh, bocah dusun busuk, kau berani main-main di depan kongcumu?" la memaki sambil menuding dengan sulingnya ke arah Beng San.
Beng San pada waktu itu sudah tidak hijau lagi mukanya, sudah biasa putih dan tampan karena hawa udara tidak begitu panas lagi. Sekarang dia cengar-cengir mentertawakan Giam Kin. "Aku tidak main-main di depanmu, melainkan di atasmu.
Kau mau apa sih?" la tidak takut kepada Giam Kin. Anak bermuka pucat itu, apanya yang harus ditakuti? "Jembel busuk, kaumakanlah ini!" Giam Kin menggerakkan tangannya dan sinar kuning emas menyambar ke atas, ke arah Beng San yang nongkrong di atas genteng.
Beng San yang sudah menyelipkan dua batang kayu ranting di ikat pinggangnya, sambil tertawa-tawa menerima sinar kuning emas ini dengan tangan kanan. Sinar itu mengenai tangannya dan Beng San merasa ibu jari tangan kanannya agak sakit seperti tertusuk jarum. Ketika dia melihatnya ternyata bahwa yang tadi dilemparkan adalah seekor ular kecil berwarna kuning keemasan yang sekarang menggigit ibu jarinya dan tubuh ular itu membelit tangannya. Diam-diam dia kaget, akan tetapi dasar dia nakal dan tidak sudi memperlihatkan rasa takut atau sakit di depan Giam Kin dia tertawa terbahak-bahak dan teringatlah dia akan pengalamannya dahulu ketika bertemu dengan Kwa Tin Siong dan Kwa Hong yang dia maki "kuntilanak", teringat dia betapa dia ikut makan daging ular bersama ayah dan anak itu. Sekarang, melihat tangannya dibelit ular kuning emas bersih, untuk menggoda Giam Kin, Beng San tanpa ragu-ragu lagi lalu..... menggigit leher ular itu. Sekali gigit saja putuslah leher ular.
"Kau kira aku tidak berani memakannya? Ha..ha..ha!" Beng San mentertawakan Giam Kin yang berdiri terlongong heran menyaksikan betapa bocah jembel itu benarbenar menggigit mati ularnya. Akan tetapi dia pun segera menjadi girang karena tibatiba muka Beng San berubah menjadi kehijauan. Beng San sendiri tidak tahu akan hal ini, hanya dia merasa betapa bekas gigitan ular itu amat panasnya maka otomatis tubuhnya mengerahkan daya "Im" yarig kuat, sehingga membuat wajahnya yang putih berubah hijau. Hal ini disalahartikan oleh Giam Kin. Biarpun anak ini maklum bahwa siapa tergigit Kim-tok-coa itu, tentu akan mati dengan tubuh hangus kemerahan seperti terbakar, namun dia anggap bahwa tanda kehijauan pada wajah anak jembel itu cukup membuktikan bahwa racun ularnya telah menjalar di tubuh anak aneh itu.
"Hi..hi..hi, kau sudah mau mampus masih banyak tingkah. Biarlah aku mempercepat kematianmu!" Setelah berkata demikian, Giam Kin menggenjot kedua kakinya dan tubuhnya meloncat ke atas genteng. Suling ular di tangannya bergerak menyerang ke arah Beng San, memukul kepalanya.
Beng San mencabut sepasang ranting kayu dari ikat pinggangnya, dengan masih berjongkok dia menangkis dari kanan kiri. Sepasang ranting di tangannya membuat gerakan seperti menggunting ke arah suling.
"Krakkk!" , Suling di tangan Giam Kin patah menjadi dua dan tubuh anak ini terlempar kembali ke bawah! Tanpa disadari, dalam kegemasannya ketika menangkis tadi Beng San menggunakan dua macam tenaga pada sepasang rantingnya, dengan pergerakan gabungan dari Im-sin-kiam dan Yang-sin-kiam. Jangankan baru suling di tangan seorang anak seperti Giam Kin, andaikata yang menyerangnya tadi seorang ahli silat yang menggunakan pedang atau toya, kiranya akan patah juga.
"Jembel busuk, pengemis bau, kau mematahkan sulingku! Awas kau..... suhu, suling teecu patah.....!" Giam Kin lari sambil menangis.
Karena dimaki-maki Beng San menjadi marah. Apalagi dia melihat bahwa anak itu ternyata tidak becus apa-apa, demikian pikirnya, baru ditangkis satu kali saja suling itu sudah patah. Tanpa pikir panjang dia lalu meloncat turun dan mengejar Giam Kin.
Giam Kin memiliki kepandaian ilmu berlari berdasarkan ginkang yang tinggi maka larinya cepat sekali. Beng San yang belum pernah mempelajari ilmu berlari cepat, akan tetapi karena di luar kesadarannya dia telah diteropati tenaga Im dan Yang, tenaga yang amat besar mujijat, maka otomatis dia memiliki keringanan tubuh dan larinya pun cepat sekali. Maka kejar-kejaran ini terjadi ramai sekali dan sebentar saja dua orang anak itu telah jauh meninggalkan dusun tadi. Beberapa kali Giam Kin yang marah dan penasaran sengaja berhenti dan menyerang dengan tiba-tiba, akan tetapi setiap serangannya selalu dapat ditangkis oleh Beng San dan setiap kali lengan tangan mereka beradu, Giam Kin mengaduh dan kedua lengannya sudah bengkak-bengkak! la menjadi ketakutan dan lari makin cepat, dikejar terus oleh Beng San yang berteriakteriak.
"Kau berlutut dulu minta ampun baru kulepas!" "Jembel busuk, siapa sudi minta ampun? Guruku akan bikin remuk kepala-mu!" jawab Giam Kin yang berlari terus.
Sampai dua puluh li mereka berkejaran, akhirnya Giam Kin tidak kuat lagi dan dia kena dipegang pundaknya oleh Beng San dari belakang. "Hendak lari ke mana engkau, siluman ular?" Giam Kin melawan dan memukul, akan tetapi pukulannya ditangkis dan Beng San menampar pipinya. "Plakkk!" Giam Kin roboh terguling, merasa betapa tamparan itu membuat matanya berkunang dan kepalanya pening.
"Hayo kau minta ampun dan berjanji lain kali tidak akan bermain-main dengan ularular jahat!" bentak Beng San sambil bertolak pinggang.
"Tidak sudi!" "Kau memang layak dipukul!" Beng San marah dan memukuli kepala dan badan Giam Kin. Anak itu menjerit-jerit dan menangis.
"Suhu, tolong...... suhu, tolong.....!" Tiba-tiba dia mengeluarkan suara bersuit nyaring sekali. Beng San tidak peduli dan memukuli terus.
"Kau siluman kejam! Dengan ular-ularmu kau telah membunuh banyak orang. Lekas berjanji takkan main-main lagi dengan ular, atau..... kupukul kepala-mu sampai remuk!" Beng San membentak-bentaknya.
"Heh, bocah kasar, jangan main pukul pada muridku! Suara ini terdengar dari tempat jauh. Beng San menengok ke kanan kiri tapi tidak melihat orangnya yang berbicara.
"Setan," pikirnya. "Bocah siluman ular gurunya juga iblis dan setan." Tapi dia tidak takut dan hendak memukul pula.
Angin bertiup di belakangnya dan ketika Beng San menoleh, tahu-tahu disitu telah berdiri seorang laki-laki berusia lima puluh tahun lebih. Laki-laki ini tubuhnya sedang saja, pakaiannya terlampau besar sehingga nampak lucu. Apalagi lengan bajunya amat panjang menutupi kedua tangannya. Mukanya nampak sabar, alisnya tebal dan sepasang matanya tajam. Beng San yang menduga bahwa orang ini tentulah guru lawannya, segera melangkah maju dan memukul. Tapi orang itu menggerakkan lengan kirinya dan tahu-tahu kedua tangan Beng San sudah terlibat ujung lengan, seperti dibelenggu tak dapat terlepas pula.
Kakek yang luar biasa ini adalah seorang sakti, seorang di antara beberapa tokoh yang dianggap merajai dunia persilatan, disebut orang Siauw-ong-kwi (Raja Iblis Kecil). Untuk daerah utara nama ini amat ditakuti orang. Memang kepandaian Raja Iblis Kecil ini hebat sekali, terutama ilmunya yang menggunakan ujung tangan bajunya yang dapat menangkap, menusuk, menyabet lebih ampuh daripada senjatasenjata pilihan. Beng San yang masih kanak-kanak, biarpun di dalam dirinya terkandung tenaga dahsyat dan ilmu silat tinggi sekali, namun dia memiliki semua itu di luar kesadarannya sehingga dia belum dapat mengatur dan mempergunakan sebagaimana mestinya. Bagaikan sebuah intan cemerlang, Beng San adalah intan yang masih mentah, belum digosok. Maka tentu saja berhadapan dengan seorang tokoh besar seperti Siauw-ong-kwi ini, dia tidak berdaya sama sekali.
Siauw-ong-kwi menoleh kepada muridnya dan ketika mendapat kenyataan bah-wa Giam Kin tidak terluka apa-apa hanya benjut-benjut saja dan benjol-benjol saja, dia bernapas lega. Dipandangnya Beng San sekali lagi dengan mata sekarang membayangkan kekaguman dan keheranan. Sudah sepatutnya kalau di dalam hati tokoh besar ini timbul kekaguman kepada bocah yang sekarang mukanya menjadi merah hangus kehitaman ini akibat kemarahan dalam hati Beng San sehingga mukanya merah hitam. Muridnya, Giam Kin, kalau dibandingkan dengan bocahbocah sepantarnya, sudah merupakan seorang anak yang luar biasa cerdik dan pandainya. Apalagi sudah memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi kalau dibandingkan dengan anak-anak sepantarnya. Mengapa sekarang Giam Kin kalah dan dipukuli oleh bocah muka hitam ini? "Kau siapa?" tanyanya tanpa melepaskan ujung tangan baju yang mengikat dua pergelangan tangan Beng San. Akan tetapi ikatan itu tidak terlalu erat sehingga Beng San juga tidak mengalami rasa sakit, hanya bocah ini amat marah saja.
"Beng San!" jawabnya berani sambil menatap muka kakek itu dengan mata melotot.
Memang menakutkan juga muka bocah ini kalau begitu. Biarpun raut wajahnya tampan, matanya lebar dan alisnya hitam berbentuk pedang, akan tetapi kalau wajah itu merah kehitaman dan matanya yang lebar dipelototkan, tentu mukanya ini akan membikin takut setiap orang di waktu malam gelap! "Mukamu seperti iblis!" Siauw-ong-kwi tertawa mengejek.
"Memang aku iblis!" jawab Beng San, kini sambil menyeringai karena dia tidak mengucapkan kata-kata itu dengan marah, melainkan bermaksud menggoda kakek itu.
Akan tetapi Siauw-ong-kwi tidak marah, malah tertawa bergelak dan makin kagum kepada anak ini.
"Kau anak siapa?" Tanpa ragu-ragu Beng San menjawab, "Aku anak Iblis Huang-ho." Siauw-ong-kwi menggeleng-geleng kepalanya. Benar-benar bocah ini aneh sekali dan luar biasa keberaniannya.
"Siapa gurumu? Tentu bukan iblis juga, kan?" tanyanya.
Beng San memang belum pernah membohong, kecuali kalau sedang main-main.
Sekarang dia menghadapi kakek guru Giam Kin yang lihai ini dengan main-main. la diam-diam marah kepada kakek ini yang masih saja membelenggu kedua tangannya dengan ujung lengan baju. la menganggap kakek ini jahat, dan apa salahnya membohongi dan mempermainkan seorang jahat? Ketika dia dididik di kelenteng dahulu dia memang selalu diajar supaya jangan membohong, jangan menipu dan merugikan orang lain. Sekarang dia, andaikata benar membohong, toh tidak akan merugikan kakek ini, sebaliknya dia yang dibikin rugi, dibelenggu tanpa dapat melepaskan diri.
"Guruku lihai sekali, kalau dia datang, sekali ketok kepalamu akan benjut-benjut!" Siauw-ong-kwi tertawa bergelak. Tentu saja dia berani mengejek karena di dunia ini, siapakah orangnya yang akan mampu sekali ketok membikin kepalanya benjut? Sedangkan yang kepandaiannya boleh ditingkatkan sejajar dengan dia pun hanya beberapa gelintir saja manusia.
"Ha..ha..ha, kenapa kau bisa pastikan dia akan menang dari aku?" "Guruku biarpun iblis, tapi amat lihai dan gagah, tidak seperti kau ini kakek tua beraninya hanya menyerang dan membelenggu seorang anak kecil!" Merah wajah Siauw-ong-kwi disindir begini. Di dunia ini, jarang sekali ada orang berani membantah kata-katanya, apalagi mengeluarkan ejekan dan sindiran seperti bocah ini! "Bocah edan, siapa sih gurumu itu?" "Kakek pikun!" Beng San balas memaki. "Lepaskan dulu kedua tanganku, baru aku mau memberi tahu." "Kalau tidak kulepas?" "Biar kaubunuh aku, takkan sudi aku memperkenalkan nama besar guruku kepada seorang kakek pengecut yang beraninya hanya kepada anak-anak kecil." "Suhu, kenapa layani monyet gila itu? Gasak saja kepalanya, habis perkara!" tiba-tiba Giam Kin berseru melihat suhunya bercakap-cakap dengan Beng San.
Beng San tertawa mengejek. "Gurunya pengecut, muridnya lebih pengecut lagi.
Kalau memang berani, hayo kita bocah sama bocah mengadu kepalan tangan, biar gurumu menandingi guruku." Siauw-ong-kwi adalah seorang tokoh besar dunia persilatan, tentu saja selain ilmunya tinggi, juga batinnya sudah amat kuat. Akan tetapi sekarang menghadapi Beng San dan mendengar sindiran-sindiran dan ejekan-ejekannya, perutnya terasa panas juga.
Beberapa kali dia disebut pengecut. Kalau yang mengucapkan kata-kata ini seorang tokoh kang-ouw, tentu dia takkan mau mengampuninya lagi. Terhadap Beng San dia kewalahan. Makin dia turun tangan, tentu makin rendah pandangan bocah ini terhadapnya. Memang kalau dipikir memalukan sekali bahwa dia, seorang tokoh besar, membelenggu seorang bocah yang masih ingusan.
"Bocah keparat, siapa pengecut?" la menggerakkan tangannya dan sekaligus terlepaslah kedua tangan Beng San dari libatan ujung tangan baju. "Nah, kau sudah terlepas, hayo sekarang datangkan itu gurumu yang berbau tai anjing! Siapa cecunguk yang menjadi gurumu itu?" Beng San sejak tadi sudah berpikir tentang ini. Sebetulnya dia mempunyai banyak guru, pikirnya. Pertama-tama tentu saja para hwesio di Kelenteng Hok-thian-si di Propinsi Shan-si yang menjadi gurunya karena telah mengajarkan tentang membaca menulis. Kemudian dia pernah belajar tiga macam ilmu dari Hek-hwa Kui-bo sehingga nenek itu boleh juga disebut gurunya. Setelah itu, yang terakhir dan yang telah mengakuinya sebagai murid, adalah kedua orang suhunya yaitu Phoa Ti dan The Bok Nam. Akan tetapi Beng San adalah seorang bocah yang cerdik. la tidak mau menyebut nama kedua orang gurunya ini karena maklum bahwa keduanya mempunyai rahasia, yaitu menyimpan sepasang kitab Im-yang-sin-kiam yang telah terampas oleh Hek-hwa Kui-bo dan Song-bun-kwi. Kalau dia menyebut nama Phoa Ti dan The Bok Nam, jangan-jangan kakek aneh ini akan memaksa membawanya kepada dua orang yang sudah mati itu dan buntutnya akan menjadi panjang. Maka dia rnengambil keputusan dan menjawab.
"Guruku yang kauanggap berbau tai anjing itu berjuluk Song-bun-kwi!" Berubah wajah Siauw-ong-kwi mendengar disebutnya nama ini. Akan tetapi hanya sebentar saja karena dia segera tertawa bergelak. "Kakek tua bangka baju putih itu gurumu? Hah, jangan kau bohong. Dia yang hampir gila karena anaknya yang goblok, mana punya murid lagi? Andaikata benar, akupun tidak takut pada....." "Siauw-ong-kwi, dia tidak bohong, dia benar muridku!" Tiba-tiba terdengar suara dari jauh. Suara ini seperti suara guntur terdengar dari jauh sekali, akan tetapi tiba-tiba bertiup angin dan sebelum gema suara lenyap, orang yang bicara tadi sudah berdiri di situ. Inilah Song-bun-kwi, kakek baju putih yang mukanya masih merah segar padahal usianya sudah tujuh puluh tahun itu. Inilah si Setan Berkabung, tokoh besar dari dunia barat yang amat ditakuti orang, bukan hanya karena kepandaiannya yang tinggi, terutama sekali karena hatinya yang kejam tak kenal ampun.
Cepat sekali tangan Siauw-ong-kwi bergerak dan tahu-tahu kedua lengan tangan Beng San sudah dicengkeramnya. "Song-bun-kwi, mau apa kau muncul di dunia? Kalau niatmu buruk, muridmu akan kubunuh lebih dulu, baru kau akan kukirim ke neraka!" kata Siauw-ong-kwi mengancam.
Song-bun-kwi mengeluarkan suara yang mirip suara wanita menangis seperti yang pernah didengar oleh Beng San ketika manusia aneh ini dulu datang merampas Yangsin- kiam dari The Bok Nam kemudian bertempur melawan Hek-hwa Kui-bo. Tibatiba saja tubuh kakek itu melayang ke arah Giam Kin. Anak ini yang sudah banyak juga pengalamannya di dunia kang-ouw tahu bahwa kakek yang menangis ini adalah seorang lawan, maka dia memapaki dengan pukulan tangan kanannya.
"Kin-ji (Anak Kin), jangan!" teriak Siauw-ong-kwi, akan tetapi terlambat. Pukulan tangan kanan Giam Kin sudah bersarang ke dalam perut Song-bun-kwi dan..... tangan kecil itu seperti telah menancap ke dalam perut, tak dapat dicabut pula! Giam Kin berdiri dengan mata mendelik dan tubuhnya kaku tak dapat bergerak. Ternyata dia telah "ditangkap" oleh perut manusia aneh itu.
"Heh..heh..heh, Siauw-ong-kwi. Dulu di puncak salju Gunung Altai-san kita sudah bertanding dua hari dua malam, sedikitnya sehari penuh aku baru akan dapat mengalahkanmu. Aku tidak ada waktu untuk melayani kau orang buruk. Bocah setan bernama Beng San itu bukan muridku, akan tetapi aku membutuhkannya. Hayo kaulempar dia kepadaku, kutukar dengan muridmu yang tidak becus apa-apa ini.
Satu...... dua..... tiga.....!" Siauw-ong-kwi yang maklum bahwa manusia Seperti Song-bun-kwi tidak pernah main-main dan ucapannya harus dianggap sebagai keputusan terakhir, cepat dia melemparkan tubuh Beng San ke arah kakek itu. Berbareng pada saat itu juga, perut Song-bun-kwi melembung dan terlemparlah tubuh Giam Kin ke arah Siauw-ong-kwi.
Beng San melayang ke arah Song-bun-kwi dan dengan mudahnya kakek ini menangkap lengannya, terus sambil mengeluarkan suara menangis kakek ini membawanya lari seperti terbang cepatnya pergi dari tempat itu. Adapun Siauw-ongkwi ketika menerima tubuh Giam Kin, terkejut dan mengutuk.
Song-bun-kwi iblis jahat!" la melihat bahwa tubuh Giam Kin mati separoh yaitu bagian kanan. Ternyata bahwa ketika melemparkan anak ini, dari perut. kakek itu mengalir hawa pukulan melalui tangan kanan Giam Kin dan yang membuat tubuh Giam Kin bagian kanan menjadi lumpuh dan mati! Inilah kejamnya hati Song-bunkwi yang memang luar biasa. Siauw-ong-kwi biarpun termasuk orang aneh yang tidak peduli akan kejahatan, masih tidak mau melukai Beng San ketika dia melemparkan anak itu.
Melihat keadaan muridnya, cepat Siauw-ong-kwi menempelkan telapak tangannya pada telapak tangan kiri muridnya dan dengan pengerahan Iweekangnya dia "mendorong" keluar hawa pukulan Song-bun-kwi dari sebelah kanan tadi, keluar dari tubuh muridnya. Setelah berusaha kurang lebih lima menit barulah dia berhasil.
Keadaan Giam Kin normal kembali dan sambil menggeleng kepala menyusuti peluh di keningnya Siauw-ong-kwi mengeluh.
"Berbahaya Sekali setan tua bangka itu....." Kemudian tanpa banyak cakap dia lalu mengajak muridnya pergi dari situ. Tua bangka itu sekarang lihai sekali, pikirnya, jangan-jangan dia telah mendapatkan sumber Im-yang. la merasa berkhawatir dan berjanji akan menyelidiki akan hal ini dan kalau ternyata dugaannya betul, dia harus berusaha merampasnya.
* * * Di puncak Tai-hang-san terdapat sebuah dataran yang luas. Tanahnya subur akan tetapi seperti dibuat oleh manusia, daratan itu tidak ditumbuhi pohon, melainkan diselimuti rumput-rumput pendek yang hijau dan segar. Di atas rumput inilah Beng San diturunkan oleh Song-bun-kwi setelah melalui perjalanan ratusan li jauhnya.
"Kakek Song-bun-kwi, aku bukan muridmu dan aku mengaku di depan Siauw-ongkwi hanya untuk menakut-nakuti dia. Apakah kesalahan begitu saja membuat kau bingung tidak tahu harus berbuat apa terhadap diriku?" Beng San mencela kakek itu dengan suara kesal. Memang hatinya mengkal dan dia kesal melihat kakek itu di sepanjang jalan diam saja dan tidak memberi tahu mengapa dia dibawa ke tempat sejauh itu.
Untuk beberapa lamanya kakek baju putih itu memandangnya dengan mata liar berputaran, mata orang yang tidak waras otaknya. Tiba-tiba dia tertawa derngan suara menangis. "Hi..hi..hi, kau takut aku membunuhmu?" Dengan suara tetap Beng San menjawab,"Tidak! Mengapa aku harus takut? Kau takkan membunuhku!" Mata Song-bun-kwi melotot lebar penuh ancaman. "Bocah! Jangan kau main-main di depan Song-bun-kwi. Nyawa manusia bagiku tidak ada bedanya dengan nyawa semut, apalagi nyawamu.....!" "Hanya nyawa seekor semut kecil, bukan? Terima kasih!" ejek Beng San dehgan berani. "Akan tetapi aku tidak main-main. Kau sendiri yang memberitahu bahwa kau takkan membunuhku." "Apa? Aku yang memberi tahu? Setan, bilanglah dengan jelas, jangan main tekateki." Beng San tetap tertawa menggoda. "Ini bukan teka-teki. Kau mau mencoba menebaknya? Tak mungkin bisa. Hayo tebak, ada orang yang segala-galanya besar sendiri, siapa itu?" Karena terbawa hanyut oleh kegembiraan Beng San, atau mungkin karena Song-bunkwi sudah terlalu tua sehingga cocok dengan kata-kata orang bahwa orang yang sudah terlalu tua kembali seperti kanak-kanak, Song-bun-kwi bersorak, "Ah, gampang saja itu. Orang yang besar sendiri adalah raksasa. Hayo, betul tidak?" Beng San meruncingkan bibirnya. "Uuuhhh, salah sama sekali! Bukan begitu jawabnya." "Ah, kalau begitu orang utara. Tubuhnya besar-besar melebihi orang selatan." Beng San tetap menggeleng kepalanya.
"Orang dari Shan-tung! Tinggi-tinggi!" kata pula Song-bun-kwi. Akan tetap Beng San menggeleng lagi.
"Habis orang apa? Terima kalah aku."
"Orang yang besar sendiri?" kata Beng San. "Kau inilah, atau aku, pendek nya setiap orang!" Song-bun-kwi melongo, lalu marah "Jangan main-main kau, jangan tipu aku."
"Siapa main-main? Kaulah orang yang besar sendiri, juga aku dan setiap orang tentu besar sendiri. Kalau kau tidak besar sendiri, siapa yang membesarkanmu? Apa ada yang meniup lubang hidungmu sambil menyumpal lain lubang di tubuhmu supaya kau melembung dan membesar?" Beng San tertawa terkekeh-kekeh dan Song-bunkwi tiba-tiba tertawa pula sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Sekarang lain lagi. Thian (Tuhan) membuat seluruh anggota tubuh kita lengan sempurna. Akan tetapi mengapa Thian membuat hidung kita dengan dua lubangnya menghadap ke bawah. Hayo kalau kau memang pintar, jawablah!"
Song-bun-kwi mengerutkan keningnya. Wah, soal pelik nih, pikirnya. Sampai membawa-bawa nama Thian. Setelah memutar otak, akhirnya dia menjawab dengan suara sungguh-sungguh. "Hidung mempunyai dua lubang, kiranya Thian berkehendak demikian untuk membuat keseimbangan, ada yang kiri tentu ada yang kanan sebagai wakil dari Im dan Yang. Dengan menghadap ke bawah lubangnya, maka manusia dapat mempergunakannya lebih baik untuk mencium, karena kalau lubangnya tidak di bawah, tentu sukar dipergunakan untuk memperbedakan bau." la berhenti dan berpikir lagi, tapi tak dapat melanjutkan.
"Hanya begitu?" Beng San mendesak, senyumnya tidak rnembesarkan hati si penebak.
"Ya, habis apa lagi? Tebakanku kan betul kali ini, bukan?" tanya Song-bun-kwi penuh harap.
"Betul apanya? Kau ngawur!" Song-bun-kwi melengak, kecewa. "Jadi salah lagi? Habis, bagaimana jawabannya?" "Dengarlah baik-baik," kata Beng San dengan lagak seorang dewasa memberi tahu seorang anak-anak. "Thian memberi hidung dengan dua lubangnya menghadap ke bawah dengan maksud yang amat baik. jika hidungmu diberi lubang yang menghadap ke atas, di waktu hari hujan dan kau kehujanan, bukankah air hujan akan membanjiri lubang hidungmu membuat kau tersedak berbangkis dan pilek terus-terusan? Nah, itulah sebabnya makanya lubang hidungmu dihadapkan ke bawah.
Beng San tertawa dan Song-bun-kwi setelah membayangkan orang dengan lubang hidung menghadap ke atas kehujanan, lalu tertawa juga terkekeh-kekeh sambil berkata, "Kau benar..... kau benar....." "Sekarang sebuah lagi yang amat gawat," kata Beng San, wajahnya bersungguhsungguh, wajahnya yang kini sudah putih lagi itu berseru, sepasang matanya memancarkan kenakalan tapi keningnya berkerut. "Sebuah teka-teki yang menyangkut rahasia Thian!" Song-bun-kwi terkejut dan memandang heran, tak percaya, "Bocah, anak manusia bernama Beng San, jangan kau keluarkan omongan gila. Aku sendiri tidak berani mengutik-utik rahasia Thian." "Aku bersungguh-sungguh, Song-bun-kwi. Kalau kau bisa menjawab teka-teki yang satu ini berarti kau telah bertemu dengan rahasia Thian!" "Eh, bocah aneh. Lekas keluarkan teka-tekimu yang hebat itu." "Kakek Song-bun-kwi, kau sendiri sudah tua bangka dan tak lama lagi tentu akan mengalami hal yang sama, yaitu kematian. Sebagai Song-bun-kwi (Setan Berkabung), kau tentu sudah tahu apa artinya orang mati, dan sudah sering kali melihat keluarga yang kematian. Nah, sekarang teka-tekinya begini. Apa sebabnya orang mati sebelum dimasukkan peti mati selalu dimandikan lebih dahulu! Nah, pikirlah baik-baik, karena kau sendiri kelak juga akan mati dan dimandikan orang." Song-bun-kwi sekarang betul-betul mengerahkan otaknya untuk mencari jawaban teka-teki yang terdengar amat pelik. la menghubung-hubungkan jawaban dan tekateki ini dengan Agama Buddha, dengan ajaran Nabi Locu dan Nabi Khong-cu. Setelah mengumpulkan bahan-bahan yang dia ingat, dia lalu menjawab.
"Pertama, badan manusia yang mati ditinggalkan rohnya dan agar roh itu dapat memasuki nirwana dengan baik, badannya harus pula dibersihkan dari segala kotoran.
Kedua, badan manusia kalau mati berarti kembali ke asalnya, karena ketika dilahirkan dari tempat asal badan manusia bersih maka kembalinya harus pula bersih. Ketiga, badan manusia mati dimandikan sampai, bersih sebagai tanda bahwa si mati dibersihkan dari segala dosa dan kesalahan. Keempat, mayat manusia dimandikan sampai bersih untuk memberi penghormatan kepada Dewa Bumi yang akan menerima mayat itu. Ke lima, mayat dimandikan sampai bersih untuk mengusir semua hawa busuk dan penyakit agar tidak sampai menular kepada orang-orang yang masih hidup.
Keenam, mayat itu dimandikan untuk menyatakan bahwa betul-betul dia telah mati, karena kalau belum, terkena siraman air tentu akan siuman kembali. Ke tujuh, memang semenjak dahulu mayat dimandikan sampai bersih sebelum dimasukkan peti dan dikubur, oleh karena itu sampai sekarang orang harus melanjutkan kebiasaan itu dan inilah yang dinamakan mentaati peraturan." Sampai di sini Song-bun-kwi berhenti karena sudah habis semua pengertiannya, dikuras untuk menjawab teka-teki itu.
Mendengarkan jawaban ini, makin lama makin bersinar mata Beng San, nampaknya girang sekali. Ketika kakek itu berhenti, dia mendesak. "Hanya tujuh jawabnya? Apakah masih ada lagi? Boleh tambah kalau masih ada!" "Sudah habis. Tentu salah satu dari tujuh jawabanku itu benar. Hayo, katakan apakah jawaban-jawaban itu ada yang cocok!" Beng San tertawa. "Benar kata kitab kuno bahwa mencari sesuatu haruslah dicari di tempat yang dekat-dekat dulu, baru mencari ke tempat yang jauh. Kalau tidak demikian dan langsung mencari di tempat jauh padahal yang dicari itu dekat saja, kau akan tersasar makin jauh daripada yang kaucari. Nah, kau juga begitu, Kakek Songbun- kwi. Jawaban itu dekat dan sederhana, akan tetapi kau melantur sampai jauh dan memberi jawaban bertele-tele." "Apa tidak ada yang cocok?" tanya Song-bun-kwi cemas.
"Bukan tidak cocok saja, malah menyeleweng jauh dari jawaban teka-teki yang dimaksudkan. Semua salah!" .
Agak berubah wajah Song-bun-kwi, kini penuh penasaran. "Betulkah semua salah? Bocah siluman, kalau begitu hayo katakan apa jawabnya yang betul. Kalau kau menipu, sekali tampar otakmu akan hancur cerai-berai!" "Siapa sudi menipumu? Dengarkan baik-baik, Song-bun-kwi. Teka-teki itu bunyinya begini: Apa sebabnya orang mati sebelum dimasukkan peti mati selalu dimandikan lebih dulu? Nah, sekarang jawabannya, sederhana saja, begini: Orang mati. sebelum dimasukkan petl mati selalu dimandikan lebih dahulu karena DIA TIDAK BISA MANDI SENDIRI! Kalau dia bisa mandi sendiri, tentu tidak dimandikan orang, dan dengan begitu dia belum mati. Nah, betul tidak?" Song-bun-kwi menjadi pucat mukanya yang merah itu, tangannya diangkat hendak menampar kepala Beng San, akan tetapi tiba-tiba tangannya itu dia selewengkan, tidak memukul kepala Beng San, melainkan memukul sebuah batu di dekat Beng San.
Batu itu meledak dan hancur. Beng San tidak takut, hanya kaget dan kagum.
"Anak setan, anak iblis, anak siluman" Song-bun-kwi memaki, lalu tertawa terbahakbahak sambil memegangi perutnya. "Beng San, kau tadi bilang bahwa kau tahu aku takkan membunuhmu. Malah kau bilang aku sendiri yang memberitahumu. Nah, sekarang teka-teki dariku, kaujawablah. Mengapa kau kubawa ke sini? Hayo jawab, taruhannya kepalamu!" "Kau menculikku sampai ke sini karena kau menghendaki sesuatu dari aku, menghendaki sesuatu yang ada hubungannya dengan kitab Yang-sin-kiam yang kaurampas dari suhu The Bok Nam." Mendengar jawaban ini, Song-bun-kwi mencelat sampai beberapa meter jauhnya saking herannya. Kemudian dia mendekat lagi, wajahnya membayangkan keheranannya. "Bocah siluman, bagaimana kau bisa tahu?" "Kau sendiri yang memberi tahu, Kakek, bukan melalui mulutmu akan tetapi melalui perbuatanmu. Orang macam kau ini, kalau mau membunuhku mengapa harus susah payah, jauh-jauh membawaku ke sini? Kalau mau membunuhku tentu aku sudah kaubunuh begitu saling bertemu. Nah, karena kau belum juga membunuhku, malah membawaku jauh-jauh ke tempat ini, sama saja dengan kau memberi tahu kepadaku bahwa kau takkan membunuhku, akan tetapi menghendaki sesuatu dari aku.
Mengingat bahwa aku Beng San selama hidupku tidak pernah ada urusan denganmu, kecuali pertemuan kita ketika kau merampas kitab Yang-sin-kiam dulu, sudah tentu sekali bahwa kau membawaku ini ada hubungannya dengan kitab itu." Song-bun-kwi memandang kagum. "Kau bocah luar biasa. Kau cerdik sekali. Bicara dengan kau sama saja dengan bicara kepada orang tua. Baiklah aku berterus terang kepadamu. Di dalam dunia kang-ouw terkenal adanya sepasang ilmu pedang yang disebut Im-yang Sin-kiam. Ilmu pedang Im dan Yang ini adalah ciptaan Pendekar Sakti Bu Pun Su ratusan tahun yang lalu sebagai pecahan dari Ilmu Im-yang Bu-tek Cin-keng. Sudah tentu saja Im-yang Sin-kiam menarik perhatian semua tokoh persilatan yang berusaha mendapatkannya. Akhirnya aku mengetahui bahwa sepasang kitab itu berada di tangan Phoa Ti dan The Bok Nam yang terkenal dengan julukan Thian-te Siang-hiap. Aku tahu bahwa pada akhir-akhir ini mereka saling berlawanan sendiri, maka aku mempergunakan kesempatan itu untuk mencari mereka. Akhirnya aku berhasil merampas Yang-sin-kiam dari The Bok Nam seperti yang telah kausaksikan pada waktu itu. Celakanya sebelum aku sempat mendapatkan Im-sinkiam dari tangan Phoa Ti, aku telah didahului oleh Hek-hwa Kui-bo yang telah memukul Phoa Ti dan merampas kitabnya." Sampai di sini Song-bun-kwi menarik napas panjang, nampak kecewa dan menyesal.
Beng San mengangguk-angguk.
"Sayang aku masih belum mampu mengalahkannya sehingga dia dapat lari membawa kitab Im-sin-kiam. Mencoba untuk merampas kitab itu dari tangannya bukan hal yang mudah, pula dia tidak bodoh dan takkan mau memperlihatkan diri. Nah, aku lalu ingat kepadamu, Beng San. Kau yang berada di sana bersama Phoa Ti dan The Bok Nam.
Kau tentu mendapat warisan ilmu silat dari mereka. Siapa tahu Im-sin-kiam telah kauwarisi dari Phoa Ti. Sekarang kau harus buka rahasia Im-sin-kiam itu kepadaku, Beng San." Beng San mengerutkan keningnya. Biarpun baru belasan tahun usianya, namun dia cerdik dan sudah sering kali berhadapan dengan orang-orang jahat. pada akhir-akhir ini sehingga membuat dia waspada dan hati-hati. "Kakek tua mengapa kau begitu serakah? Kau sudah mendapatkan Yang-sin-kiam, kenapa masih ingin mendapatkan Im-sin-kiam pula? "Bocah bodoh, masa kau tidak tahu? Yang-sin-kiam memang hebat dan sukar ada tokoh lain yang akan dapat mengalahkan aku. Akan tetapi celakanya, Yan-sin-kiam tidak berdaya kalau bertemu dengan Im-sin-kiam, sebaliknya Im-sin-kiam takkan berdaya menghadapi Yang-sin-kiam. Ibarat api dan air, baru berguna kalau keduanya disatukan dan bekerja sama. Hayo, Beng San anak baik, kau beritahukan kepadaku bagaimana pelajaran Im-sin-kiam yang kau terima dari Phoa Ti." Beng San menggelengkan kepala. Sayang, Kakek Song-bun-kwi. Aku tidak bisa." la tidak mau menjawab berterang karena anak ini memang agak sukar kalau disuruh membohong. Dengan jawaban "aku tidak bisa" di dalam hatinya di maksudkan bahwa dia tidak bisa membuka rahasia itu, bukannya tidak bisa menceritakan isi Im-sinkiam! Song-bun-kwi memandangnya dengan mata liar dan amat tajam menusuk, seperti hendak menjenguk isi hati Beng San. Tiba-tiba dia membentak, "Berdiri!" Beng San bangkit berdiri dan tiba-tiba kakek itu menyerangnya dengan pukulan tangan kanan dikepal keras menumbuk ke arah dadanya. Penyerangan ini dilakukan sungguh-sungguh akan tetapi gerakannya sengaja diperlambat sehingga mudah diikuti. Namun demikian, andaikata dibiarkan saja, dada Beng San tentu akan pecah berantakan kalau terkena pukulan itu.
Beng San sudah mempelajari Yang-sin-kiam dengan tekun. Tubuhnya sudah memiliki daya tahan dan daya gerak yang otomatis. Apalagi setelah matanya melihat bahwa serangan itu adalah "sebuah jurus dari Yang-sin-kiam, dengan amat mudahnya dia tahu bagaimana harus melawan dan melayaninya. Untuk melayani serangan Yangsin- kiam, paling tepat memang menggunakan jurus Im-sin-kiam, karena dengan demikian segala daya serangan itu selalu lumpuh, juga akan membuka kelemahankelemahan.
Akan tetapi Beng San tidak mau berlaku bodoh. Dengan mengumpulkan semangat dia "menutup" pikiran dan ingatannya akan Im-sin-kiam, dan mencurahkan ingatannya kepada Yang-sin-kiam sehingga menghadapi penyerangan ini, dia menggunakan jurus Yang-sin-kiam yang sesuai untuk menghindarkan diri. Karena dia sudah hafal benar akan seluruh gerakan Yang-sin-kiam, maka tidaklah terlalu sukar bagi Beng San untuk menghindarkan serangan itu karena dia sudah tahu ke mana serahgan itu akan menuju dan bagaimana perkembangan selanjutnya. Tentu saja andaikata kakek itu mempergunakan kecepatan, amat sukar bagi Beng San yang masih belum berpengalaman dan belum terlatih itu untuk menghadapinya.
Setelah menyerang sebanyak tiga jurus semuanya dapat dihindarkan oleh Beng San dengan mudahnya, Song-bun-kwi menjadi makin kagum dan juga penasaran. Tiga macam jurus yang dia pergunakan tadi, biarpun dia lakukan dengan lambat yang memang dia sengaja, namun belum tentu ada tokoh persilatan yang akan mampu memecahkannya. Hanya orang yang sudah mengenal betul Ilmu Silat Yang-sin-kiam baru dapat memecahkan semudah yang dilakukan Beng San. Dari kagum dan heran dia menjadi penasaran sekali lalu dia melanjutkan penyerangannya secara bertubitubi, mengeluarkan seluruh jurus Yang-sin-kiam yang kesemuanya hanya mempunyai delapan belas jurus pokok. Sebetulnya, baik Yang-sin-kiam maupun Im-sin-kiam setiap jurus pokoknya dapat dipecah pula menjadi tiga sehingga jumlah seluruhnya adalah lima puluh empat jurus. Akan tetapi oleh karena hanya ingin melihat apakah betul-betul bocah itu sudah hafal akan jurus-jurus Yang-sin-kiam, kakek ini hanya mengeluarkan jurus-jurus pokok saja. Hebatnya, delapan belas jurus pokok itu dengan amat mudahnya dapat dihindarkan dan dipecahkan oleh Beng San! Penyerangan-penyerangan yang dilakukan oleh Song-bun-kwi ini bukan semata-mata hendak melihat apakah Beng San betul-betul sudah hafal akan Yang-sin-kiam, akan tetapi maksudnya yang tersembunyi adalah hendak memancing agar supaya bocah ini dalam keadaan terdesak mau menggunakan Im-sin-kiam. Setelah dia melihat bahwa semua gerakan Beng San untuk menghindarkan serangan-serangan itu adalah jurusjurus Yang-sin-kiam pula, dia baru percaya akan keterangan anak itu tadi bahwa Beng San hanya mewarisi Yang-sin-kiam saja.
Hatinya mengkal sekali. Tiba-tiba dia tertawa bergelak, lalu menangis.
"Ha..ha..ha..hi..hi! Tebakanmu tadi keliru, Beng San. Aku membawamu ke sini memang hendak membunuhmu. Kau hafal akan Yang-sin-kiam, ini tidak baik. Hanya aku seorang yang tahu akan Yang-sin-kiam, maka kau harus mati sekarang juga! Sayang kau tidak becus Im-sin-kiam....." Kakek ini mengangkat tangannya ke atas dan Beng San sudah siap sedia hendak menyelamatkan diri sedapat mungkin.
Tiba-tiba berkelebat bayangan merah dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang bocah perempuan berusia kurang lebih sepuluh tahun Beng San sampai bengong terlongong melihat bocah ini. Tidak karena bocah baju merah itu cantik manis dan mungil sekali, dengan sepasang mata seperti bintang dengan rambut hitam panjang bergantung di pundak, akan tetapi dia bengong saking kagum menyaksikan gerakan yang bukan main cepatnya itu. Bocah itu berdiri memandang kepadanya dan tersenyum! Senyumnya membuat matahari seakan-akan bersinar makin terang. Tidak hanya bibir dan gigi yang mengambil peran dalam senyum ini, bahkan mata dan hidungnya juga tersenyum. Beng San tak dapat menahan hatinya untuk tidak membalas dengan senyum lebar.
Song-bun-kwi menurunkan tangannya dan menghela napas. "Bocah edan, mengganggu orang tua saja." la lalu menoleh dan memandang kepada anak perempuan baju merah itu, lalu menggerak-gerakkan kedua tangannya, sepuluh jari tangan itu bergerak-gerak pula. Anak perempuan itu tersenyum lagi, melirik ke arah Beng San, mengangguk kepada Song-bun-kwi lalu meloncat pergi, cepat dan cekatan laksana burung walet.
"Kurang ajar, tentu anak penggembala itu yang mengajaknya main-main sampai ke sini!" Song-bun-kwi bersungut-sungutl dan betul saja dari jauh terdengar bunyij kerbau menguak. "Keparat, harus mampus semua!" Sekali Song-bun-kwi berkelebat kakek ini sudah lenyap dari situ.
Semua kejadian ini membuat Beng San duduk terlongong. Bocah perempuan| yang aneh dan ternyata gagu itu, yang begitu cepat gerakan-gerakannya, lalu kakek yang aneh ini. Benar-benar dia terheran-heran dan amat kagum sampai lupa bahwa dia belum lolos dari ancaman bahaya besar dari si kakek yang seperti gila itu. la hanya mendengar suara kerbau-kerbau menguak beberapa kali disusul jerit menyeramkan, lalu sunyi. Tiba-tiba dia mencium bau harum dan..... ketika menengok, di belakangnya sudah berdiri Hek-hwa Kui-bo, wanita tua yang masih cantik itu, dengan sapu-tangan suteranya yang beraneka warna dibuat main-main di tangan kiri.
"Kui-bo.....!" tak terasa lagi Beng San berseru untuk menyembunyikan rasa kagetnya.
Wanita itu tersenyum manis. "Bagus, anak baik. Kau masih ingat kepadaku yang menjadi gurumu?" "Kau bukan guruku," jawab Bene San, suaranya dingin.
Hek-hwa Kui-bo memandang tajam. Di dalam hatinya wanita ini sudah amat heran melihat bocah ini masih belum mati ketika ia sengaja memberi pelajaran tiga macam ilmu menguasai tenaga Yang-kang dahulu itu.
"Hei bocah tak kenal budi. Bukankah aku dulu pernah memberi pelajaran ilmu kepadamu?" "Memang betul, kau memberi pelajaran Thai-hwee, Siu-hwee dan Ci-hwee kepadaku.
Akan tetapi itu bukan berarti bahwa kau guruku karena aku tidak pernah mengangkat kau sebagai guru. Pula aku tidak tahu apa gunanya pelajaran-pelajaran itu." .
Sepasang mata Hek-hwa Kui-bo bersinar dan senyumnya melebar. Hatinya girang sekali karena sekarang ia merasa yakin bahwa anak ini tidak tahu akan maksud buruknya ketika menurunkan tiga macam ilmu itu. "Anak baik, kau tidak tahu bahwa pelajaran yang kuturunkan kepadamu itu adalah pelajaran yang menjadi dasar ilmu silat tinggi. Aku suka kepadamu, Beng San, dan aku suka punya murid seperti kau ini.
Kalau aku tidak suka kepadamu, masa aku turunkan ilmu-ilmu itu kepadamu? Justru kedatanganku ini juga karena perasaan sukaku kepadamu itulah. Kau terancam bahaya, kalau Song-bun-kwi iblis itu kembali, kau tentu akan dibunuhnya. Karena itu, hayo kau ikut aku pergi sekarang juga." Tanpa menanti jawaban Beng San, Hek-hwa Kui-bo menangkap tangan bocah itu dan di lain saat Beng San rnerasa dirinya melayang seperti ketika dia dibawa pergi Songbun- kwi. la tidak melawan dan menyerahkan diri saja, maklum bahwa melawan pun takkan ada gunanya. Lagi pula, dia belum tahu apa maksud sebenarnya wanita ini, sungguhpun dia merasa pula bahwa memang dia terancam oleh Song-bun-kwi.
Kiranya dibawa pergi Hek-hwa Kui-bo belum tentu sebesar bahayanya kalau dia berada bersama Song-bun-kwi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar