07 Raja Pedang

Mendadak Hek-hwa Kui-bo menarik tangan Beng San sambil meloncat ke belakang sebuah batu besar yang berada di pinggir jalan. Nenek ini bersembunyi di belakang batu sambil memegang tangan Beng San erat-erat.

"Kui-bo, ada apa.....?" Suara Beng San terhenti ketika tangan nenek itu yang sebelah lagi menotok lehernya dari belakang. Beng San marah dan mendongkol sekali hatinya. la tak dapat bergerak, tak dapat membuka suara, hanya mampu mendengar dan melihat. Pada saat itu dia mendengar suara melengking dari jauh, suara tangis memilukan. Segera dia mengenal suara ini ketika makin lama suara itu makin mendekat. Bukan lain suara yang aneh dari Song-bun-kwi! Sebentar saja kakek aneh ini sudah lewat jalan itu, dekat batu tanpa menoleh ke kanan kiri. Wajahnya muram, mukanya tunduk dan tubuhnya yang kecil kurus itu seperti bongkok. Setelah kakek ini lewat? jauh tak kelihatan lagi, Hek-hwa Kui-bo menarik lagi tangan Beng San sambil menepuk belakang lehernya rnembebaskan totokan.

"Kui-bo, kenapa kau takut kepada Song-bun-kwi?" Beng San mengejek untuk melampiaskan kemendongkolan hatinya. la maklum sudah akan watak nenek ini yang tidak mau dikatakan takut, maka dia sengaja berkata demikian.

"Bodoh, siapa takut? Aku tidak ada waktu bernnain-main dengan tua bangka itu.

Hayo ikut!" Hek-hwa Kui-bo lalu membawa lari lagi anak itu, kini ia sengaja menuju ke arah dari mana Song-bun-kwi tadi datang. Jelas bahwa ia memang sengaja hendak menjauhkan diri dari Song-bun-kwi.

"Kui-bo, apa itu?" Beng San menuding ke arah lereng gunung yang mereka lalui.

"Apalagi kalau bukan bekas tangan si tua bangka?" jawab Hek-hwa Kui-bo dingin, malah ia lalu terkekeh dan berkata. "Tua bangka mau mampus masih suka main-main bunuh orang. Heh..heh..heh!" Ketika melihat lebih dekat dan lebih jelas, Beng San bergidik. Yang tadi dia lihat bertumpuk-tumpuk dan disambari burung-burung hitam di lereng itu bukan lain adalah bangkai belasan ekor kerbau dan mayat tiga orang anak penggembala yang baru berusia belasan tahun seperti dia. Tak salah lagi, tentu dalam kemarahannya tadi Song-bun-kwi telah pergi meninggalkannya sebentar untuk membunuhi tiga orang penggembala dengan kerbau-kerbau mereka ini. Alangkah kejamnya hati si Setan Berkabung itu.

"Tua bangka keji si Song-bun-kwi!" Beng San tak terasa memaki.

Hek-hwa Kui-bo tertawa, giginya yang masih kuat itu putih berkilat sebentar. "Apa kau bilang? Keji? Hi..hi..hi, tidak ada artinya itu. Dulu, puluhan tahun yang lalu, untuk merampas seorang mempelai wanita dia membunuh mempelai pria, seluruh keluarga dan semua tamu yang hadir pada malam pesta pernikahan itu." Beng San melototkan matanya, Ngeri dia membayangkan. "Kenapa para tamu dibunuh semua." "Goblok kau! Song-bun-kwi tidak sebodoh kau. Tentu saja untuk menutup mulut mereka." Beng San bergidik. Dua orang ini, kakek Song-bun-kwi dan nenek Hek-hwa Kui bo, selain setingkat ilmu kepandaiannya, agaknya setingkat pula kekejamannya. Mulailah dia berpikir tentang diri Hek-hwa Kui-bo. Mengapa wanita iblis ini membawanya pergi? Betulkah hanya untuk menolongnya dari ancaman Song-bun-kwi? Mustahil! Orang sekeji ini hatinya mana bisa mempunyai maksud baik? Beng San terkejut ketika dia teringat bahwa yang mencuri kitab Ilmu Im-sin-kiam adalah Hek-hwa Kui-bo ini! Celaka, pikirnya. Manusia jahat ini tentu tidak akan jauh bedanya dengan Song-bun-kwi. Tentu akan mencoba untuk mendapatkan isi kitab yang satu lagi darinya.

Benar saja dugaannya. Ketika mereka tiba di tempat yang sunyi, di tengah sebuah hutan yang penuh dengan pohon-pohon tua, Hek-hwa Kui-bo melepaskan tangannya, tersenyum-senyum dan memandang kepada Beng San.

"Beng San, aku tahu bahwa kau telah menjadi ahli waris dari Phoa Ti dan The Bok Nam, telah mempelajari dua macam ilmu silat, Yang-sin-kiam dan Im-sin-kiam. Kau memang anak baik dan patut menjadi murid orang yang pandai. Karena itu aku ingin sekali memimpinmu lebih lanjut agar kelak kau menjadi seorang jagoan yang tak terlawan di dunia ini. Nah, sekarang coba kau hadapi serangan-seranganku ini dengan Yang-sin-kiam yang sudah kaupelajari dari The Bok Nam!" Tanpa menanti jawaban Beng San, Hek-hwa Kui-bo yang amat bernafsu untuk segera melihat Ilmu Silat Yang-sin-kiam, segera menyerang anak itu dengan jurus-jurus dari Ilmu Silat Im-sinkiam, yang kitabnya ia rampas dari Phoa Ti.

Biarpun amat terdesak, Beng San yang memang cerdik itu maklum bahwa dia hendak dipancing. la cepat menghadapi serangan-serangan itu dengan ilmu yang sama, yaitu Im-sin-kiam, dan sengaja menutup semua ingatannya akan Ilmu Silat Yang-sin-kiam, juga sebaliknya dari yang dia lakukan ketika dia berhadapan dengan Song-bun-kwi.

Akan tetapi Hek-hwa Kui-bo tidak kecewa, malah tersenyum manis dan berkata, "Aha, kau hendak menggunakan Im-sin-kiam lebih dulu? Baik lakukanlah dengan sempurna agar aku dapat membimbingmu kalau keliru." Setelah berkata demikian, ia menyerang terus dengan Im-sin-kiam sampai delapan belas pokok jurus Im-sin-kiam ia mainkan seluruhnya. Diam-diam Hek-hwa Kui-bo kagum sekali melihat gerakan-gerakan Beng San yang biarpun kurang terlatih namun amat sempurna.

"Hayo sekarang kaugunakan Yang-sin-kiam, hendak kulihat apakah juga sebaik Imsin- kiam yang kaupelajari!" serunya sambil mendesak lagi dengan Im-sin-kiam.

Tetapi Beng San tetap menghadapinya dengan ilmu silat yang sama. Beberapa kali Hek-hwa Kui-bo membentaknya, akan tetapi dia tetap tidak mau mengubah ilmu silatnya. Akhirnya Hek-hwa Kui bo menjadi jengkel dan berhenti menyerang.

"Eh, bocah kepala batu Kenapa kau tetap tldak mentaati perintahku?" "Kau ini aneh saja? Kui bo. Bisaku ya Cuma itu tadi".

"Apa kau tidak mempelajari Yang sin-kiam dari The Bok Nam".

Beng San tidak mau menjawab pertanyaan ini, malah jawabannya menyimpang, "Aku hanya bisa melayanimu dengan yang tadi, yang lain-lain tidak bisa".

Keparat, pikir Hek hwa Kui-bo. Kalau begitu anak ini hanya mempelajari Im-sinkiam.

Ah, untung dia kurampas tadi dari Song-bun-kwi, kalau tidak, tentu Song-bunkwi akan dapat menguras Im sin kiam dari anak ini. Di dunia ini mana boleh ada orang lain kecuali dia sendiri mengenal Im-sin-kiam? "Setan kecil, kalau begitu kau harus mampus di depan mataku". Hek-hwa Kui-bo lalu mengangkat tangan memukul kepala Beng San. Bocah ini mana mau menerima mati begitu saja. Ia cepat menjatuhkan diri ke belakang lalu meloncat dan lari. Hek-hwa Kui-bo mengeluarkan suara ketawa terkekeh dan mengejarnya. Beberapa loncatan saja sudah cukup bagi Hek-hwa Kui-bo untuk menyusul Beng San. Sekali lagi ia memukul kini menggunakan saputangan suteranya yang menyambar ke arah belakang kepala Beng San. Ujung saputangan itu mengancam jalan darah maut. Dalam detikdetik selanjutnya tentu Beng San takkan dapat terlepas dari cengkeraman maut kalau saja pada saat itu tidak terdengar seruan keras.

"Tahan!" Ujung saputangan itu tertangkis oleh sebatang suling dan keduanya terhuyung mundur. Hek-hwa Kui bo kaget sekali melihat kelihaian lawan akan tetapi ia menjadi lebih kaget ketika melihat bahwa yang menangkis sapu tangannya dengan suling tadi adalah Song bun-kwi! Celaka, pikirnya. Kalau anak ini terampas lagi oleh kakek ini, berarti Im-sin-kiam akan terjatuh ke dalam tangan Song-bun-kwi dan kalau terjadi hal demikian, takkan berarti pulalah Im-sin-kiam di tangannya. Dengan penuh kemarahan la menerjang lagi, menggerakkan saputangannya hendak menghancurkan kepala Beng San yang berdiri bengong melihat tahu-tahu Song-bun-kwi sudah berada disitu menolongnya.

"Plak! Plakkk!" Dua kali ujung sapu-tangan bertemu dengan ujung suling.

Ketika keduanya terhuyung lagi mundur karena dorongan tenaga dahsyat dari masing-masing lawan, Song-bun-kwi meloncat ke depan dan sulingnya menusuk ke arah leher Beng San. Bocah ini tak dapat mempertahankan dirinya lagi, demikian cepatnya tusukan itu.

"Aihhh, tahan!" Hek-hwa Kui-bo mengerakkan saputangannya yang panjang dan kembali nyawa Beng San tertolong, kali ini oleh saputangan Hek-hwa Kui-bo. Dan keduanya bertanding lagi. Memang aneh pertandingan itu. Mungkin orang takkan Percaya kalau tidak melihat sendiri. Mana di dunia ini ada orang bertanding karena seorang anak kecil, bukan memperebutkan anak itu melainkan berdulu-duluan....

membunuhnya! Beberapa kali Hek-hwa Kui-bo dan Song-bun-kwi kaget dan heran melihat betapa masing-masing selalu hendak menyerang Beng San, akan tetapi karena salah sangka dan curiga, mengira bahwa masing-masing itu hendak menjadikan Beng San pembuka rahasia masing-masing, mereka dengan sungguh-sungguh dan sengit saling serang sehingga terjadilah pertempuran yang amat hebatnya. Pertempuran ini merupakan kelanjutan dari pertempuran ketika mereka memperebutkan kitab yang masingmasing dapat merampasnya dari dua orang kakek Phoa Ti dan The Bok Nam.

Sementara itu, melihat betapa dua orang tua yang aneh dan kejam itu saling serang, Beng San mempergunakan kesempatan ini untuk melarikan diri. Baru saja dia lari belum jauh, Song-bun kwi sudah membentak.

"Anak iblis, kau hendak lari ke mana?" Secepat kilat tubuhnya melayang dan sulingnya menyerang dari belakang.

Akan tetapi kembali ujung saputangan di tangan Hek-hwa Kui-bo menggagalkan, serangan ini. "Bukan orang lain, akulah yang akan membunuhnya!" bentak Hek-hwa Kui-bo sambil memandang kepada Song-bun-kwi dengan mata melotot.

"Kau?? Membunuhnya? Apakah sebabnya kau hendak membunuhnya?" seakan-akan baru terbuka pikiran kakek ini dan dia bertanya heran.

"Dia tidak boleh hidup di bawah satu kolong langit denganku. Mungkin bagimu berguna, bagiku tidak!" jawab Hek-hwa Kui-bo marah. Akan tetapi nenek ini pun bertanya heran, "Dan kau..... mengapa pula hendak membunuhnya?" Song-bun-kwi tersenyum gemas, merasa diejek. Dikiranya nenek ini sudah tahu bahwa Beng San hanya mempelajari Ilmu Silat Yang-sin-kiam saja dan sudah mencuri ilmu ini. "Bocah setan itu tidak boleh hidup di atas satu permukaan bumi denganku, tiada gunanya bagiku dibiarkan hidup!" Heran dan kagetlah Hek-hwa Kui-bo mendengar ini. la pun sebaliknya mengira bahwa Beng San hanyalah mempelajari Im-sin-kiam saja dan ilmu ini sudah dioper oleh Song-bun-kwi, mengapa sekarang kakek ini bicara sebaliknya? Dia memang cerdik, maka tiba-tiba ia tertawa terkekeh-kekeh.

"Bocah iblis, dia memperdayakan kita!" Sambil berkata demikian tubuhnya melesat ke depan untuk mengejar Beng San.

Song-bun-kwi juga bukan seorang bodoh. Sekilas saja dia seperti disadarkan. Kalau Hek-hwa Kui-bo tadinya tidak membutuhkan anak itu dan hendak membunuhnya, tentu anak itu mengaku hanya mempelajari Im-sin-kiam saja dan kepadanya membohong hanya mempelajari Yang-sin-kiam. Celaka, anak itu harus dia tangkap! la pun melesat ke depan dan kini dua orang sakti itu berlumba untuk memperebutkan Beng San, bukan untuk membunuhnya seperti tadi! Kasihan sekali Beng San. Biarpun dia tanpa disengaja dan disadarinya telah mewarisi sepasang ilmu silat pedang yang luar biasa hebatnya, namun sebagai seorang anak kecil menghadapi dua orang sakti itu, apakah dayanya? la melarikan diri secepatnya, menyelinap di antara pohon-pohon raksasa yang amat tua.

Tiba-tiba kakinya tersandung akar pohon dan tubuhnya terguling. Beng San merasa terjatuh di atas sesuatu yang lunak dan ketika dia dengan terengah-engah memandang, ternyata dia jatuh keatas pangkuan seorang kakek yang duduk bersila dengan kedua mata meram. Kakek ini berpakaian serba hitam maka tadi hampir tidak kelihatan dan di punggungnya nampak gagang sepasang pedang tipis. Jenggot kakek ini luar biasa, panjang sekali sampai ke perutnya, telinganya lebar seperti telinga gajah, tubuhnya kurus dan mulutnya sudah ompong sama sekali, tidak ada sebuah pun giginya, Nampaknya sudah tua sekali.

Selagi Beng San bengong dan lupa bahwa dua orang pengejarnya sudah amat dekat di belakangnya, kakek itu berkata, suaranya halus lirih seperti berbisik.

"Anak, kaupegang sepasang pedang ini, dengan tangan kiri mainkan Im-sin-kiam dan tangan kanan mainkan Yang-sin-kiam, tentu kau dapat menahan mereka".

Beng San sudah putus asa menghadapi dua orang sakti yang mengejarnya. Melawan dengan nekat pun dia tidak punya harapan. Akan tetapi sekarang setelah mendengar bisikan kakek ini dan tangannya tahu-tahu telah memegang sepasang pedang, hatinya menjadi berani dan besar. Apalagi ketika dia melihat bahwa sepasang pedang yang tidak sama panjangnya itu berkilau-kilauan seperti mengeluarkan api.

Pada saat itu, hampir berbareng, Hek-hwa Kui-bo dan Song-bun-kwi tiba di depan Beng San. Baiknya mereka itu sekarang bukan berlumba untuk membunuhnya, melainkan berlumba untuk menangkapnya, maka keduanya tidak mau mempergunakan senjata masing-masing yang ampuh.

Melihat dua orang itu sudah datang dan tangan mereka diulur untuk mencengkeramnya, Beng San meloncat. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika tubuhnya tak dapat terlepas dari tubuh kakek tua renta itu. Terdengar bisikan di belakang kepalanya, "Lawan mereka dengan tenang, pergunakan Im-yang Sin-kiam, aku yang mendorongmu dengan tenaga dan mengatur kecepatan gerakan-gerakanmu." Sudah terlalu sering Beng San bertemu dengan tokoh-tokoh besar yang berwatak aneh dan berkepandaian tinggi, maka keadaan kakek tua renta ini biar-pun amat aneh, tidak amat mengherankan Beng San dan serta-merta bocah cerdik ini dapat menduga bahwa kakek )ni pun seorang sakti maka dia pun mentaati semua petunjuknya. Begitu ia mendengar bisikan ini dia lalu mempersiapkan sepasang pedangnya, dan dengan gerakan-gerakan Im-sin-kiam di tangan kiri dan Yang-sin-kiam di tangan kanan, dia mainkan ilmu silat pedang yang sudah dihafalkannya benar-benar itu dengan kedua tangan. Hasilnya luar biasa sekali karena terdengar seruan-seruan kagetan Hek-hwa Kui-bo bersama Song-bun-kwi meloncat mundur. Hampir saja tangan mereka terbabat oleh pedang-pedang yang berkilauan dan mendatangkan hawa panas dan dingin sekali itu.

Beng San merasa betapa kedua pundaknya ditempel oleh kedua telapak tangan kakek itu tadi dan betapa di dalam kedua lengannya seperti ada tenaga lembut yang menjalar sampai ke tangannya. Semangatnya menjadi besar dan dia tersenyum mengejek ketika melihat dua orang lawannya itu sudah menggerakkan suling dan saputangan. Kedua pedangnya bergerak dengan jurus-jurus terlihai dari Im-yang Sin-kiam, pedang kiri bertemu dengan suling Song-bun-kwi sedangkan pedang tangan kanan beradu dengan ujung Saputangan Hek-hwa Kui-bo. Terdengar suara keras dan Hek-hwa Kui-bo memekik kaget sedangkan Song-bun-kwi melompat ke belakang. Ternyata bahwa ujung saputangan Hek-hwa Kui-bo dan ujung suling Song-bun-kwi telah terbabat oleh pedang-pedang itu.

"Liong-cu Siang-kiam (Sepasang Pedang Mustika Naga).....!" Hek-hwa Kui-bo berseru.

"Ayaaaaa! Kalau begitu dia ini Lo-tong (Bocah Tua) Souw Lee.....!" Song-bun-kwi berteriak kaget sambil memandang kepada kakek tua renta yang berdiri di belakang Beng San.

Hek-hwa Kui-bo mengeluarkan suara ketawa menyeramkan lalu berkata.

"Betul sekali! Eh, Song-bun-kwi, agaknya kita berdua yang selalu mujur. Hayo kita gempur dia dan segala yang kita dapat nanti kita bagi rata dan adil." "Bagus! Kui-bo, dengan Liong-cu Siang-kiam dan Im-yang Sin-kiam-sut kita akan menjagoi dunia. Ha..ha..ha!" Dua orang itu lalu menggerakkan suling dan saputangan, menerjang maju dengan gerakan-gerakan yang luar biasa cepatnya. Saputangan itu mengeluarkan bunyi berdetar-detar seperti sebuah cemeti sedangkan suling itu mengeluarkan suara tangisan yang mengerikan. Tergetar juga hati Beng San menghadapi kedahsyatan dua orang itu. Sepasang pedang di tangannya hampir saja terlepas kalau tidak ada tenaga mujijat mengalir masuk melalui pundaknya yang, dipegang oleh kakek tua renta itu.

"Anak baik, ingat....." bisik kakek itu di belakangnya, "kita harus dapat mengusir mereka..... bukan hanya demi keselamatanmu, apalagi keselamatanku, akan tetapi demi..... demi keamanan dunia..... Jangan terjatuh ke tangan dua iblis ini....." Terpaksa kakek itu menghentikan kata-katanya karena dua orang itu sudah mulai dengan terjangan mereka yang dahsyat.

Beng San menggerakkan kedua pedang di tangannya. la belum pernah bertempur, juga limu Silat Pedang Im-yang Sin-kiam-sut yang dia miliki hanya dia latih dan hafalkan secara teorinya saja, tak pernah dipergunakan untuk bertempur. Memang tak dapat disangkal bahwa anak ini bakatnya baik sekali dan gerakan-gerakannya dalam mainkan semua jurus Im-yang Sin-kiam yang digabungkan itu luar biasa dan tepat.

Namun menghadapi dua orang kawakan seperti Song-bun-kwi dan Hek-hwa Kui-bo, tentu saja dia merupakan sebuah timun melawan dua buah duren! Andaikata dia sendiri harus melawan mereka, biarpun dia diberi sepasang pedang Liong-cu-kiam, dalam satu jurus saja dia pasti akan terjungkal tanpa nyawa lagi.

Baiknya dalam pertandingan ini Beng $an tidak maju sendiri, atau dapat dikatakan bahwa dia "dipakai" oleh kakek tua renta itu, dipergunakan pengetahuannya tentang Im-yang Sin-kiam-sut. Beng San hanya mempergunakan Im-yang Sin-kiam dan tentu saja tanpa disadarinya sendiri, dia pun menggunakan tenaga Im dan Yang, dua tenaga yang memang sudah bersarang di dalam tubuhnya. Dua hal yang dimilikinya ini, Ilmu Silat Im-yang Sin-kiam dan tenaga Im Yang, sekarang dengan hebat dipergunakan oleh kakek itu yang mendorongnya sehingga sepasang pedang di tangan Beng San berkeredepan dan menyambar-nyambar bagaikan dua ekor naga sakti yang bermainmain di angkasa raya. Berkali-kali saputangan dan suling di tangan Hek-hwa Kui-bo dan Song-bun-kwi membalik ketika bertemu dengan pedang. Dua orang itu kaget bukan main. Mereka maklum bahwa anak ini "dipergunakan" oleh kakek itu, akan tetapi sama sekali mereka tidak pernah mengira bahwa anak itu dapat mainkan Imsin- kiam dan Yang-sin-kiam digabung menjadi satu sehingga mereka yang hanya mengerti sebagian-sebagian saja dari ilmu pedang pasangan itu menjadi sibuk dan kewalahan. Mereka maklum bahwa tentu saja dalam hal ini bukan Beng San yang berjasa, melainkan kakek tua renta itu. Memang kakek tua renta itu memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi. Namun andaikata di situ tidak ada Beng San yang menambah kehebatan kakek itu dengan Im-yang Sin-kiam, dua orang sakti tadi yakin bahwa mereka berdua pasti akan dapat mengalahkannya.

Beng San betul-betul bingung ketika melihat bahwa gerakan-gerakan yang dilakukan oleh dua orang tua itu berubah-ubah, bahkan kemudian sama sekali dia tidak mengenal gerakan-gerakan itu. Hal ini memang betul demikian, karena dua orang itu sengaja tidak mainkan Ilmu Silat Im-sin-kiam dan Yang-sin-kiam yang dikenal baik oleh Beng San. Andaikata dia sendiri harus menghadapi jurus-jurus yang sama sekali asing baginya itu, tentu dia akan terjungkal dengan sendirinya karena pusingnya.

Baiknya dengan "tuntunan" kakek itu melalui penyaluran hawa pada kedua pundaknya, dia masih dapat dengan cepat dan tepat mainkan Im-yang Sin-kiam untuk menghadapi semua serangan lawan, bahkan balas menyerang dengan tak kurang dahsyatnya Pertempuran itu berjalan seru dan hebat. Kalau Beng San terdesak, tiba-tiba kakek di belakangnya berseru nyaring dan..... jenggotnya yang panjang melambai sampai ke perut itu bergerak menyambar-nyambar ke depan mengeluarkan suara angin bersiutan dan rambut ini yang tadinya halus sekali seakan-akan telah berubah menjadi cemeti baja yang menyambar ke arah kedua lawannya! Setelah hari mulai menjadi gelap, Beng San melihat dua orang lawannya berpeluh dan uap keputihan mengebul di atas kepala mereka. la pun mendengar kakek di belakangnya terengah-engah napasnya, kedua tangan yang mencengkeram pundaknya mulai menggetar. Napas kakek itu mulai meniup-niup kepalanya, terasa panas sekali. Dia sendiri belum lelah, maklum karena semenjak pertempuran dimulai, dia seakan-akan selalu "menggunakan" tenaga kakek itu dan peranannya sendiri hanya sebagai orang yang mengeluarkan Im-yang Sin-kiam saja.

Song-bun-kwi mulai tertawa-tawa mengejek. "Heh..heh..heh, Lo-tong, napasmu sudah empas-empis, jangan-jangan akan putus nanti." "Souw Lee, kau sudah tua bangka mau mampus, lebih baik menyerah dan mati dengan tubuh utuh daripada harus mati dengan kepala remuk." kata Hek-hwa Kui-bo.

Dua orang tokoh ini mau mengajak bicara dan membujuknya, bukan karena mereka merasa amat kagum kepada kakek tua renta yang ternyata masih amat lihai ini.

Memang, betapapun jahat dan kejam hati seorang tokoh kang-ouw yang sakti dan aneh, namun ciri khas orang-orang kang-ouw masih ada kepadanya, yaitu mengagumi dan menghargai kegagahan dan kelihaian orang.

"Song-bun-kwi! Hek-hwa Kui-bo:....! Kakek ini terengah-engah. "Sebelum leherku patah, jangan harap kau akan mendapatkan Liong-cu Siang-kiam dan Im yang Sinkiam- sut. Tanpa yang dua kalian sudah cukup jahat dan sudah terlalu banyak menyebar kekejaman di dunia." Song-bun-kwi mengeluarkan bentakari marah dan sulingnya mendesak makin hebat.

Juga Hek-hwa Kui-bo memutar saputangannya yang mengeluarkan beberapa macam warna yang bersinar-sinar, mengurung diri Beng San dan kakek itu. Tiba-tiba Beng San merasa betapa kedua tangan kakek di pundaknya itu menjadi dingin sekali. la tidak mengerti apa sebabnya, tidak tahu bahwa dalam kelihaiannya kakek tua renta itu berlaku cerdik, menggunakan tenaga Im untuk menarik keuntungan dari pertempuran itu.

Beng San mulai mengerti akan maksud kakek itu ketika meminta kepadanya supaya jangan mengalah. la sekarang tahu bahwa Ilmu Silat Im-yang Sin-kiam-sut yang dia pelajari dari dua orang gurunya yang sudah meninggal dunia, ternyata amat dirindukan oleh tokoh-tokoh kang-ouw, seperti halnya sepasang pedang ini. la mengerti bahwa dua orang tua yang kini mengeroyoknya itu adalah orang-orang jahat yang kalau sampai dapat merampas ilmu dan pedang, akan menjadi makin ganas dan jahat lagi. Sekarang saja sudah dapat membayangkan kekejian hati mereka dua orang tokoh besar dalam dunia persilatan yang tidak segan-segan dan tidak malu-malu untuk mengeroyok dan mendesak seorang anak-anak dan seorang kakek tua! "Song-bun-kwi dan Hek-hwa Kui-bo, kalian benar-benar keji dan jahat!" Baru saja Beng San mengeluarkan kata-kata ini, kakek di belakangnya mengeluarkan teriakan keras lalu roboh telentang, mulutnya mengeluarkan darah, matanya mendelik dan tak sadarkan diri.

Beng San menjadi merah kehitaman mukanya. la kaget dan menoleh, menjadi makin hitam mukanya saking marah. la mengira bahwa kakek itu tentu telah iatuh karena pukulan dua orang lawannya. Sama sekali dia tidak tahu bahwa sebetulnya kakek sakti di belakangnya itu roboh oleh karena dia! Ketika tadi dia memaki Song-bun-kwi dan Hek-hwa Kui- bo, tanpa dia sadari Beng San yang marahnya memuncak itu telah menyalurkan hawa "Yang" di tubuhnya, membuat mukanya menjadi merah hitam.

Tenaga Yang di tubuhnya memang hebat sekali, tidak sewajarnya. Tenaga inilah yang memukul kakek itu melalui kedua tangan yang diletakkan di pundaknya. Kakek itu sedang menggunakan tenaga Im, maka pukulan tenaga Yang dari tubuh Beng San yang amat kuat itu tak tertahankan olehnya, membuat dia terjungkal dan pingsan.

Andaikata tenaga dahsyat dari tubuh Beng San ini tadi keluar di waktu kakek itu mempergunakan tenaga Yang, tentu kehebatan kakek ini akan bertambah dan mungkin sekali mereka berdua dapat mengusir Song-bun-kwi dan Hek-hwa Kui-bo.

Tapi, apa hendak dikata, anak itu memang belum mengerti akan keadaan dirinya sendiri dan belum tahu bagaimana caranya untuk memanfaatkan kekuatan dan kepandaian yang dia miliki secara kebetulan itu.

Untung baginya bahwa dua orang sakti di depannya itu memang tidak mempunyai maksud untuk membunuhnya pada saat itu, karena keduanya membutuhkannya. Hekhwa Kui-bo dengan suara ketawanya yang menyeramkan sudah maju menubruknya.

"Kui-bo, perlahan dulu" Song-bun kwi berseru dan juga menubruk ke depan, mendorong tubuh Hek-hwa Kui-bo. Wa-nita tua itu marah sekali, dengan bentakan keras ia membalikkan tubuh dan menyerang Song-bun-kwi dengan sapu-tangannya.

Tentu saja Song-bun-kwi tidak rela kepalanya diancam kehancuran oleh ujung saputangan yang amat ampuh itu. Cepat sulingnya digerakkan menangkis dan di lain saat dua orang ini sudah saling gempur. Kalau tadi mereka bersatu dalam menghadapi sepasang pedang di tangan Beng San yang dibantu oleh kakek Lo-tong Souw Lee, sekarang mereka bertempur satu kepada yang lain. Untuk memperebutkan Beng San berikut sepasang pedang Liong-cu Siang-kiam.

Pertandingan itu makin lama makin seru dah dasyat, sedangkan cuaca makin lama makin menjadi gelap. Song-bun-kwi dan Hek-hwa Kui-bo memang memiliki ilmu kepandaian yang setingkat, apalagi masing-masing telah mendapatkan kitab Im-sinkiam dan Yang-sin-kiam. Berulangkali mereka menukar ilmu untuk merobohkan lawan, namun selalu sia-sia. Yang terheran-heran adalah Beng San. Kadang-kadang dia tak dapat melihat dua orang itu yang lenyap ditelan gulungan sinar senjata mereka, akan tetapi ada kalanya dia melihat mereka dengan jelas karena mereka itu berkelahi dengan gerakan-gerakan yang luar biasa, amat lambat seperti orang main-main saja.

Akhirnya dia tidak dapat melihat mereka sama sekali ketika matahari sudah bersembunyi dan cuaca sudah menjadi hitam gelap. Hanya desir angin pukulan mereka saja yang masih terdengar, dan terasa.

Tiba-tiba Beng San rnerasa tangannya dipegang orang dari belakang, lalu dia ditarik perlahan ke belakang. Ketika dia menengok, di dalam gelap itu dia masih melihat tubuh kakek tua renta yang sekarang telah berdiri dan mengajak dia pergi dari tempat itu. Beng San maklum akan maksud hati kakek .ini. Tentu melihat dua orang sakti itu sedang saling gempur sendiri, kakek itu mengajaknya menggunakan kesempatan ini untuk melarikan diri di dalam gelap. Benar saja dugaannya, tak lama kemudian dia merasa tubuhnya seperti terbang sedangkan tangannya masih digandeng oleh kakek itu. Diam-diam dia kagum sekali. Ternyata bahwa kakek tua ini dalam berlari cepat tidak kalah oleh Song-bun-kwi maupun Hek-hwa Kui-bo.

Beng San mendengar teriakan-teriakan marah dari Song-bun-kwi dan Hek-hwa Kuibo.

Lapat-lapat ila mendengar mereka memaki-maki dan menyuruh dia berhenti.

Akan tetapi suara dua orang yang mengejarnya itu makin lama makin jauh, agaknya mereka sesat jalan, tidak tahu ke mana larinya Beng San bersama kakek tua itu.

Barulah lega hati Beng San setelah suara mereka tidak terdengar lagi. Juga kakek tua itu kini tidak berlari terlalu cepat lagi, hanya mengajak Beng San berjalan melalui hutan-hutan yang besar.

"Sudah keluarkah bulan, anak yang baik?" tanya kakek itu, berhenti dan berdongak ke atas.

Beng San terheran. Apakah tak dapat melihat sendiri? Mengapa harus bertaya? "Belum, hanya langit penuh bintang." "Hernmm, coba kaulihat baik-baik di mana letaknya Bintang Kak-seng (Bintang Terompet)?" "Aku tidak tahu yang mana itu bintang Kak-seng," jawab Beng San.

"Kalau begitu, di mana letaknya Bi-seng (Bintang Ekor)?" Beng San makin bingung. Matanya menatap bintang-bintang di langit yang tiada terhitung banyaknya. "Yang mana Bi-seng aku pun tidak tahu." Kakek itu menundukkan mukanya dan menarik napas panjang. "Kiranya kau, memang belum tahu apa-apa. Ah, sudahlah. Katakan saja bintang apa yang kauketahui?" Beng San segera menuding ke atas dan berkata, "Bintang-bintang Gu-seng (Bintang Kerbau) itu aku kenal!" Memang dahulu pernah dia mendengar dari seorang hwesio di Kelenteng Hek-thian-tong tentang Bintang Kerbau ini, sekumpulan bintang terdiri dari enam buah menyerupai kepala kerbau dengan tanduknya.

Kakek itu nampak girang. "Bagus! Coba kautunjukkan, di mana Gu-seng itu?" "Tuh, di sana!" "Huh, aku tak dapat melihat. Kau-pegang tanganku dan tunjukkan di mana arah letaknya." Berdebar jantung Beng San.. Kiranya kakek ini buta! la menatap wajah kakek itu.

Tadinya dia menyangka bahwa kakek itu bermata sipit sekali, tidak tahunya memang selalu meram tak dapat dibuka, seorang buta! Timbul rasa kasihan di dalam hatinya, akan tetapi juga kekagumannya makin membesar. Seorang kakek tua renta lagi buta, akan tetapi bukan main lihainya! la lalu memegang tangan kanan kakek itu dan menudingkan tangan itu ke arah kumpulan Bintang Gu-seng.

"Hemmm, kalau begitu kita harus ke kanan," kata kakek itu sambil menggandeng tangan Beng San dan berlari lagi. "Beng San, kauikutlah aku. Biarkan aku menggosok intan yang masih mentah, ini!" Beng San tidak mengerti maksudnya dan hendak bertanya, akan tetapi kakek itu sudah lari lagi dengan amat cepatnya. Karena maklum bahwa kakek ini tidak jahat seperti Song-bun-kw atau Hek-hwa Kui-bo, maka dia tidak banyak membantah dan menurut saja dibawa lari secepatnya.

* * * "Beng San, entah apa dosa-dosamu dahulu terhadap Thian maka sekecil ini kau sudah bernasib malang, menjadi perebutan tokoh-tokoh kang-ouw. Hemmm, aku si kecil dan aku si tua bangka benar tak ada bedanya, dibenci dan dican oleh mereka yang selalu kurang puas....." demikianlah kakek tua yang buta itu berkata kepada Beng San.

Mereka duduk berhadapan di atas Batu-batu hitam yang halus di atas pun-cak yang tinggi, sedemikian tingginya sehingga seolah-olah dengan tangannya orang akan dapat menyentuh bintang-bintang di langit. Inilah tempat sembunyi kakek itu yang disebut Ban-seng-kok (Puncak Selaksa Bintang), sebuah di antara puncak-puncak di Pegunungan Cin- ling-san. Namun puncak Ban-seng-kok ini adalah puncak yang tersembunyi karena di kelilingi jurang-jurang yang tak mungkin, dilintasi manusia.

Hanya Lo-tong Souw Lee si anak tua itulah yang telah mendapatkan jalan rahasianya dengan merayap melalui jurang-jurang yang amat dalam. Tidak mengherankan apabila orang tua ini mempergunakan Ban-seng-kok sebagai tempat bersembunyi atau tempat bertapa. Puncak ini indah bukan main, penuh dengan pohon-pohon liar, bungabunga beraneka macam, hawanya sedang dan udaranya bersih. Setelah melakukan perjalanan lima hari lima malam lamanya, Beng San dan kakek itu tiba di tempat ini pada senja hari tadi dan malam ini mereka duduk di luar pondok kecil tempat tinggal Souw Lee. Beng San kagum bukan main menyaksikan pemandangan yang amat indah di waktu malam ini. Angkasa sedemikian bersihnya sehingga dia dapat melihat bintang-bintang yang memenuhi langit. Ketika mendengar ucapan kakek itu Beng San sadar dari lamunannya.

"Kakek Souw Lee, orang memperebutkan sepasarag pedangmu yang hebat itu, tak perlu diherankan lagi. Hanya anehnya mengapa agaknya mereka hendak membunuhmu. Adapun aku...... ah tak tahu aku mengapa mereka mati-matian hendak memperebutkan pelajaran-pelajaran yang tidak ada artinya itu?" "Tidak ada artinya kaubilang, Heh..heh..heh, Beng San. Dalam hal ini kau lebih buta daripada mataku. Aku mengikuti ketika kau berhadapan clengar Song-bun-kwi, kemudian kau menghadapi Hek-i hwa Kui-bo. Kau cerdik sekali telah menipu mereka. Kecerdikanmu itu menarik hatiku. Memang, tak salah kalau Phoa Ti dan The Bok Nam mewariskan Im-yang Sin-kiam-sut kepadamu." Kakek itu menganggukangguk dan Beng San membelalakkan matanya saking herannya.

"Kakek Souw, kenapa kau bisa mengetahui semua itu?" Kakek buta itu tertawa lagi. "Siapa yang tidak tahu bahwa Im-sin-kiam dan Yangsin- kiam terjatuh ke dalam tangan Thian-te Siang-hiap? Hanya tak pernah kusangka sekarang sudah terjatuh ke dalam tangan sepasang iblis itu! Kebetulan sekali aku mendengar ketika kau diserang oleh Song-bun-kwi. Angin gerakannya dan angin gerakan tanganmu biarpun lemah dapat terdengar olehku dan tahulah aku bahwa kalian mainkan ilmu silat yang belum pernah kudengar sebelumnya. Setelah kalian bicara baru aku tahu bahwa itulah Yang-sin Kiam-sut. Pantas begitu hebat." Kembali dia mengangguk-angguk. "Kemudian kau dibawa pergi Hek-hwa Kui-bo. Aku diamdiam mengikuti dan setelah melihat sikap iblis wanita itu kepadamu, baru aku dapat mengetahui bahwa dua orang itu ternyata telah merampas kitab-kitab itu, seorang satu." "Betul sekali," Beng San menarik napas panjang. "Mereka merampas kitab dan membunuh dua orang kakek Phoa Ti dan The Bok Nam. Bagiku, dua ilmu itu apa sih gunanya? Kalau lapar tidak bisa mengenyangkan perut, kalau haus tidak bisa memuaskan kerongkongan. Paling-paling bisa digunakan untuk menipu orang dan main gebuk!" Kakek buta itu tertawa bergelak. "Hah..hah..hah! Ketahuilah Beng San. Dua atau tiga puluh tahun yang lalu, aku sendiri pun akan memaksa kau mengeluarkan dua ilmu itu kepadaku. Mungkin sekali aku pun akan memaksamu, kalau perlu menyiksa malah membunuhmu." Beng San menjadi marah. Ternyata dia salah kira. Disangkanya kakek ini baik, tidak seperti Song-bun-kwi atau Hek-hwa Kui-bo, kiranya begini bicaranya! "Huh, Kakek Souw. Kukira hatimu melek, tidak tahunya sama butanya dengan kedua matamu. Kau yang sudah berilmu tinggi itu dan belum kauketahui apa semua itu kegunaannya, masih saja menginginkan ilmu yang lain dengan cara memaksa orang lain? Hemmm, sebetulnya apa sih artinya memiliki ilmu silat setinggi langit?" "Ho..ho..ho, anak bodoh. Kalau aku tidak memiliki ilmu silat tinggi, apakah tadi tidak mampus di tangan Song-bun-kwi dan Hek-hwa Kui-bo? Kalau aku tidak memiliki ilmu silat lumayan, apakah dulu-dulu tidak sudah mampus? Kepandaian silat tinggi menjamin keselamatan kita, Beng San. Di dunia kang-ouw, ilmu kepandaian yang paling penting dimiliki, karena hanya dengan kepandaian tinggi kita bisa terhindar dari kematian di tangan orang lain." "Uhhh." Beng San mencela. "Mana bisa ada aturan demikian? Kakek tua, mati atau hidup bagaimana bisa tergantung dari ilmu silat? Kau yang pandai ilmu silat tinggi, kalau sebentar lagi mati karena tua, apakah bisa bertukar kulit menjadi muda kembali? Salah, kakek Souw. Menurut kitab-kitab kuno yang pernah kubaca dan kupelajari, mati hidup bukanlah urusan kita untuk menentukan. Kalau Thian menghendaki kematian kita, biarpun kita memiliki nyawa rangkap selaksa, toh akan mati juga tak usah menanti orang lain membunuh kita. Sebaliknya, apabila Thian menghendaki kita masih harus hidup, biar ada selaksa orang berusaha membunuh kita, kiranya takkan berhasil.

"Ya Tuhan.....!" Kakek itu menangkap tangan Beng San dengan kedua tangannya menggigil. "Anak baik..... kau mengetahui semua itu dari mana?" Ucapan yang penuh keheranan dan kekaguman ini membuat Beng San menjadi malu.

"Dari hwesio-hwesio di Kelenteng Hong-thian-tong. Sejak kecil aku menjadi pelayan di kelenteng itu dan menerima jejalan pelajaran filsafat dari kitab-kitab kuno." Kakek itu menarik napas panjang sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Alangkah ganjilnya. Seorang anak kecil mempelajari ilmu batin dan mendapatkan inti sarinya untuk dipakai dalam hidup. Manusia-manusia tua bangka seperti aku dan yang lainlain, mempelajari ilmu kebatinan untuk mendapatkan kekuatan mempertinggi kepandaian silat. Benar-benar menyeleweng..... benar-benar tersesat....." la lalu merangkul Beng San dan menangis terisak-isak! Tentu saja anak sekecil Beng San belum mengerti betul apa sebetulnya yang dipikirkan dan apa artinya kata-kata kakek ini. la mengira bahwa kakek itu telah melakukan perbuatan keliru dan kini merasa menyesal, maka untuk menghiburnya dia mengutib ujar-ujar kuno lagi, "Kakek Souw, pernah para suhu mengatakan kepadaku bahwa insyaf dan menyesal akan kesesatan diri sendiri termasuk kebajikan. Jauh lebih baik insyaf dan menyesal daripada bangga dan menyombongkan diri sendiri." Kakek itu makin terharu lalu mengusap-usap kepala Beng San. "Anak baik..... anak baik..... kuharap dalam beberapa pekan ini kau suka mengulang semua pelajaran yang pernah kaupelajari dari para suhu (guru) di Kelenteng Hok-thian-tong itu. Phoa Ti dan The Bok Nam benar ketika memilih kau sebagai ahli waris. Sayang mereka tidak ada waktu untuk menurunkan dasar-dasar ilmu silat. Beng San, kau harus menurut katakataku, kau harus tekun bersiulian (samadhi). Semua itu untuk memperkuat tubuh dalammu dan mengimbangi ilmu-ilmu tinggi yang sudah kaumiliki. Kalau tidak demikian, kau akan celaka, sebelah dalam tubuhmu akan rusak binasa." Tadinya Beng San tidak begitu tertarik, akan tetapi oleh karena kakek itu bermaksud baik dan memang di dunia ini dia sebatangkara, untuk menyenangkan hati kakek buta itu dia menyanggupi. Demikianlah, mulai malam hari itu juga, Beng San mengeluarkan semua hafalannya tentang kitab suci di jaman dahulu, sebaliknya dia menerima petunjuk-petunjuk dari kakek sakti itu tentang samadhi, latihan napas, Iweekang, khikang, dan lain-lain yang berhubungan dengan ilmu silat.

Terjadi perubahan besar pada diri kakek buta itu setelah setiap hari dia mendengar kata-kata filsafat dari kitab-kitab kuno yang diucapkan oleh Beng San. la nampak lebih tenang, wajahnya selalu berseri dan berkali-kali dia menyatakan bahwa sekarang dia rela mati, tidak takut mati lagi. Beng San memang banyak menghafal kitab-kitab yang pernah dia baca di Kelenteng Hok-thian-tong. Selain kitab-kitab Agama Buddha seperti Dhammapada dan lain-lain, dia juga membaca dan menghafal isi kitab Upanisad dan kitab-kitab Su-si-ngo-keng pelajaran Nabi Khong Cu.

Kurang lebih seratus hari kemudian, Beng San sudah mempelajari semua ilmu yang diturunkan oleh kakek buta itu kepadanya. Tentu saja yang dia pelajari dan hafalkan hanya teorinya, adapun tentang prakteknya, baru sedikit-sedikit dia latih di bawah petunjuk kakek Souw Lee. Pagi hari itu kakek Souw Lee berkata.

"Beng San anak baik. Semua pengertianku tentang ilmu batin yang dihubungkan dengan ilmu silat, tentang siulian, Iweekang dan khikang, semua telah kuajarkan kepadamu. Hanya tinggal kau tekun melatih diri saja. Berkat hawa Im-Yang di dalam tubuhmu yang amat luar biasa, ditambah bakat dan ketekunan,kau tentu akan mendapat kemajuan pesat dan besar, jauh lebih besar daripada aku sendiri. Mulai hari ini, kau harus pergi tinggalkan aku." Beng San kaget. la sudah mulai betah tinggal di tempat sunyi itu bersama kakek Souw Lee. Kenapa sekarang disuruh pergi? Hampir Beng San menangis ketika dia berkata.

"Kakek Souw, kenapa kau mengusirku? Apa salahku? Kakek yang baik, biarkanlah aku berada di sini mengawanimu....." Kakek Souw Lee mengelus-elus kepala Beng San. "Anak baik, banyak persamaan nasib antara kita. Kau harus meninggalkan aku, demi untuk kebaikanmu senairi, juga untuk kemajuanku. Aku hendak bertapa menebus semua penyelewenganku yang dahulu, membersihkan pikiran clan hati. Dan kau, kau masih muda, kau harus mencari kemajuan dalam hidupmu. Kalau kau tinggal di sini, amat berbahaya. Kau tahu, banyak tokoh jahat yang amat lihai mencari aku.

"Kenapakah, Kakek Souw Lee? Kenapa mereka mencarimu?" Souw Lee mengeluarkan sepasang pedangnya. "Karena inilah, sepasang Liong-cu Siang-kiam inilah. Untuk jaman ini, sepasang pedang ini termasuk pedang keramat yang ampuh dan jarang mendapatkan tandingnya. Pedang ini dahulu pusaka dari seorang pendekar besar bernama Sie Cin Han yang dijuluki Pendekar Bodoh. Kaulihat yang panjang ini dan pada gagangnya terdapat huruf JANTAN, nah, inilah yang dipakai oleh pendekar itu. Adapun yang pendek dan berhuruf BETINA ini dahulu dipakai oleh pendekar wanita yang terkenal berjuluk Ang 1 Niocu (Nona Baju Merah). Akan tetapi, hal itu sudah terjadi ratusan tahun yang lalu. Kemudian, setelah beberapa keturunan, sepasang pedang ini lenyap. Banyak tokoh kang-ouw mencari, akan tetapi tak seorang pun tahu di mana lenyapnya pedang itu. Akhirnya akulah yang mendapatkannya, kucari dari gudang istana kaisar!" "Ah.....!" Beng San berseru kaget dan kagum.

"Semenjak itulah aku selalu dicari-cari oleh para tokoh kang-ouw. Yang lain-iain tidak ada artinya bagiku, akan tetapi orang-orang seperti Song-bun-kwi, Hek-Hwa Kui-bo, Siauw-ong-kwi dan Tai-lek-sin Swi Lek Hosiang, mereka itu amat berbahaya.

Karena itu akhirnya aku menyembunyikan diri di sini. Aku pun sudah mendengar tentang Thian-te Siang-hiap yang sudah mendapatkan Im-yang Sin-kiam dan ingin aku mencari mereka untuk merampasnya. Akan tetapi Thian menghukum aku, agaknya dosaku terlalu banyak. Aku sudah terlalu tua sampai kedua mataku buta, namun belum juga aku dibebaskan dari dunia ini." Kakek itu menarik napas panjang dan dia berdongak ke atas seakan-akan dengan matanya yang buta dia mencari-cari Thian di atas! "Kakek Souw, biarlah aku menemanimu di sini. Aku suka tinggal di sini dan aku suka melayanimu." Kembali Souw Lee mengelus-elus kepala Beng San. "Tidak bisa, Beng San. Akan berbahaya sekali. Setelah aku dilihat oleh Song-bun-kwi dan Hek-hwa i Kui-bo yang tadinya menyangka aku sudah mampus karena tua, apakah mereka dan yang lain-lain akan sudah begitu saja sebelum merampas Liong-cu Siang-kiam ini? Ah, mereka tentu akan muncul dan aku tidak mau melihat kau terbawa-bawa, apalagi nnemang kau pun dikehendaki mereka." "Pergi ke manakah? Aku sebatang-kara....." Suara Beng San terdengar sedih dan bingung.

"Tak perlu gelisah. Bukankah sebelunn kau bertemu denganku, kau pun sudah sebatangkara? Aku akan memberi surat, kauberikan suratku ini kepada seorang sahabat baikku, yaitu Lian Bu Tojin ketua Hoa-san-pai. Kau tentu akan mendapat perlindungan di sana dan kau akan aman. Akan tetapi ingat, biarpun terhadap seorang sahabat lama seperti Lian Bu Tojin, aku tidak percaya kepadanya nnengenai persoalan Im-yang Sin-kiam-sut dan tentang Liong-cu Siang-kiam. Ingat, semua pelajaran yang sudah kuturunkan kepadamu itu merupakan kunci untuk membuka pintu gerbang persilatan bagimu. Kau harus melatih siulian dan . pernapasan. Dengan latihan yang tekun, kau akan dapat menguasai tenaga dalam Im dan Yang di dalam tubuhmi yang amat kuat itu. Kau akan dapat mengatur, tenaga itu menurut sesukamu dan disesuaikan dengan Ilmu Silat Im-yang Sin-kiam-sut. Akan tetapi, jangan sekali-kali kau perlihatkan kepada orang lain, kau simpan rahasia itu. Sekali-kali tak boleh diketahui orang lain sebelum sempurna latihanmu. Kalau kau melanggar pesanku ini dan sampai rahasiamu diketahui orang, ah..... kau akan menghadapi seribu satu macam bencana." Beng San ragu-ragu. "Kakek Souw, aku tidak mengenal ketua Hoa-san-pai itu.

Bagaimana kalau aku tidak betah tinggal di sana? Bagaimana kalau dia tidak mau menerimaku?" Mustahil dia takkan mau menerimamu. Dia orang baik dan suratku akan menjamin dirimu. Kau boleh bekerja apa saja di sana. Atau, andaikata kau tidak suka di sana setelah kau melihat keadaan, kau boleh saja pergi turun gunung, tapi jangan muncul di tempat umum. Lebih baik kau kembali menjadi kacung di Hok-thian-tong, bersembunyi sambil melatih diri sampai menjadi kuat betul. Setelah itu, baru kau boleh datang ke sini. Kau sudah kuberi tahu Gua Ular yang berada di lereng itu. Nah, di sanalah kaucari pedang ini. Sementara ini sebelum kau kuat, kau tidak boleh membawa pedang ini dan juga aku perlu untuk menjaga diri. Kelak, pedang ini kuberikan kepadamu. Nah, kau berangkatlah, Beng San. Letak Hoa-san-pai sudah kuterangkan kepadamu.

Sedih hati Beng San. Akan tetapi apa daya? la harus memenuhi permintaan kakek ini.

la datang sebagai tamu, kalau tuan rumah sudah mengusirnya, apa yang dapat dia lakukan? Setelah menerima sehelai surat yang ditulis secara cakar ayam oleh kakek buta ini, Beng San lalu pergi dari tempat itu, melalui jalan rahasia yang ditunjukkan oleh kakek kepadanya.

* * * Setelah keluar dari tempat persembunyian Lo-tong Souw Lee, Beng San lalu melakukan perjalanan cepat. Kebetulan dia lewat di dusun tempat tinggal hartawan Kwi di mana dia dahulu bersama Tan Hok menghadapi serbuan ular yang dikerahkan Giam Kin. Heran sekal dia melihat dusun yang tiga bulan yang lalu sudah amat sunyi itu sekarang sama sekali kosong. Rumah gedung Kwi-wangwe? sudah menjadi puing bekas terbakar. Ia menduga bahwa ini tentu perbuatan Tan Hok yang merasa marah sekali kepada hartawan pelit itu. Dugaannya hanya sebagian saja betul. Memang ketika Beng San dahulu mengejar Giam Kin, Tan Hok terus mengamuk. Betapapun juga gagahnya, dia tentu celaka dikeroyok oleh tukang-tukang pukul yang amat banyak itu, kalau saja tidak keburu datang serombongan orang Pek-lian-pai yang kebetulan lewat di situ. Tentu saja para anggota Pek-lian-pai ini mengenal Tan Hok yang menjadi murid Tan Sam, seorang tokoh Pek-lian-pai. Segera mereka ini menyerbu dan membantu Tan Hok sehingga tuan tanah dan hartawan itu bersama kaki tangannya yang selalu mempraktekkan penindasan dan kekejaman dapat dibasmi, harta bendanya dirampas dan rumahnya dibakar. Tan Hok lalu pergi ikut rombongan ini meninggalkan dusun itu.

Memandangi rumah gedung hartawan Kwi yang sudah menjadi tumpukan puing itu, Beng San terkenang kepada Tan Hok. la amat suka kepada pemuda raksasa muda itu yang jujur dan gagah, apalagi yang senasib dengannya, tiada orang tua dan tiada tempat tinggal. Akhirnya dia menghela napas dan meninggalkan tempat itu Tiba-tiba berkelebat bayangan merah di depannya, Beng San membelalakkan matanya ketika melihat seorang anak perempuan berpakaian merah berdiri disitu, tersenyum-senyum ramah dari matanya bersinar-sinar seperti bintang pagi. Beng San terbelalak bukan saking kagum melihat gadis cilik yang mungil ini sekarang, melainkan saking gelisah dan takutnya. la maklum bahwa bocah ini ada hubungannya dengan Song-bun-kwi, entah muridnya entah anaknya atau pelayannya. Akan tetapi yang jelas, tiga bulan yang lalu bocah ini muncul, lalu muncul pula Song-bun-kwi.

"Kau siapakah? Siapa namamu dan kau datang ke sini mau apa?" Beng San bertanya, suaranya halus karena tak mungkin orang dapat bersikap galak terhadap seorang anak manis yang tersenyum-senyum ramah dengan matanya bersinar gemilang itu.

Anak berbaju merah itu tersenyum lebar dan seketika Beng San teringat akan wajah Kwa Hong. Biarpun ada perbedaan besar antara Kwa Hong dan anak ini, yaitu Kwa Hong galak sekali tapi anak ini ramah-tamah penuh senyum akan tetapi kalau tersenyum mereka ini itu sama. Sama manisnya, bahkan bentuk wajahnya hampir sama. Apalagi pakaian mereka. Agaknya dua orang anak itu memiliki kesukaan yang sama terhadap warna merah.

Ditanya oleh Beng San, anak itu hanya tertawa-tawa, kemudian ia menggandeng tangan Beng San, ditarik-tarik ke sebuah pohon. Memang di sekitar rumah gedung hartawan Kwi terdapat banyak pohon bunga yang beraneka warna. Sebagian besar dari pohon-pohon ini ikut terbakar, akan tetapi pohon besar di sebelah kanan gedung itu masih berdiri tegak dan pada saat itu di puncak pohon terdapat banyak kembangnya yang berwarna kuning. Setelah tiba di bawah pohon itu, anak perempuan tadi melepaskan tangan Beng San, lalu sambil tersenyum ia menunjuk ke atas, ke arah kembang. Dengan jari-jari tangannya yang mungil dan terpelihara bersih itu ia memberi tanda supaya Beng San mengambilkan bunga untuknya! Ada rasa perih menusuk hati Beng San oleh gerakan-gerakan jari tangan ini. la menjadi terharu. Memang ketika pada pertama kali melihat anak perempuan ini Songbun- kwi memberi tanda dengan tangan, dia sudah menduga bahwa anak ini gagu.

Sekarang melihat anak ini mengajak dia "bicara" dengan gerakan-gerakan tangan, dia menjadi terharu sekali. Akan tetapi di samping keharuan ini, dia pun terheran-heran karena dia sudah menyaksikan sendiri betapa gadis ini amat lihai, gerakannya cepat laksana burung dan untuk mengambil bunga di pohon sedemikian saja tentu akan dapat dilakukannya sendiri, mengapa sekarang minta dia yang memetikkannya? Betapapun juga, melihat sepasang mata itu memandang penuh permintaan, dengan sinar yang lembut dan luar biasa itu, tak dapat dia menolaknya. la mengangguk sambil tersenyum, lalu seperti seekor kera, Beng San memanjat pohon itu naik ke atas.

Gerakannya ringan dan dia merasa amat mudah memanjat pohon Itu. Sebentar saja dia sudah sampai di puncak lalu memetik setangkai bunga yang dianggapnya paling segar dan baik.

Sepasang mata anak itu bersinar-sinar ketika ia menerima kembang dari tangan Beng San. Dengan cekatan dipakainya kembang itu di atas rambutnya yang hitam, kemudian ia memasang gaya di depan Beng San, membalik ke sana ke mari seakanakan hendak memamerkan, kecantikannya dengan hiasan bunga di kepalanya itu.

Kemudian setelah berputaran di depan Beng San, ia berdiri menghadapi Beng San,dan sepasang matanya bertanya bagaimana pendapat Beng San setelah ia memakai kembang.

Mau tak mau Beng San tersenyum. Alangkah akan bahagianya kalau dia mempunyai adik atau seorang teman semanis ini, semanja ini, yang begitu mengharukan sikap dan gerak-geriknya. la lalu tersenyum dan mengangkat ibu jari tangan kanannya tinggitinggi tanda bahwa gadis cilik itu benar-benar jempol.

Gadis cilik itu mengerti gerakan ini, sarnbil mengeluarkan suara yang mirip tawa ia memegang kedua tangan Beng San, lalu mengajak Beng San berputar-putar menari di bawah pohon. Bukan main gembiranya gadis cilik itu, ia menari-nari dengan gerakan lincah sehingga mau tidak mau Beng San ikut pula menari-nari dan tertawa-tawa.

Selama hidupnya belum pernah dia merasai kegembiraan seperti kali ini dan tak terasa pula dua butir air mata menitik turun ke atas pipinya. Kegembiraan dan kebahagiaan yang luar biasa mendatangkan keharusan yang tak dapat ditahannya pula.

Tiba-tiba gadis itu berhenti, memandang kepada Beng San dengan matanya yang bening, penuh keheranan dan pertanyaan. Kemudian jari-jari tangannya diangkat ke atas, dengan halus diusapnya dua butir air mata itu dari pipi Beng San, lalu dia menggeleng-geleng kepala perlahan seakan-akan hendak berkata bahwa Beng San tidak boleh menangis. Dalam keadaan yang aneh ini, di mana tidak ada sepatah pun kata-kata keluar dari mulut kedua orang anak itu, Beng San seakan-akan dapat mengerti semua, seakan-akan dapat menjenguk isi hati dan pikiran gadis cilik itu, bahwa gadis itu dapat pula merasai kesengsaraannya, kesunyiannya, bahkan mereka itu senasib sependeritaan dan ada kecocokan yang membuat keduanya menaruh kasihan satu kepada yang lain.

Dari jauh terdengar suara melengking tinggi, suara tangisan. Gadis cilik berbaju merah itu menjadi pucat, tangannya dingin menggigil dan cepat sekali ia menarik tangan Beng San, diajaknya berlari-lari ke arah bekas rumah gedung yang sudah menjadi tumpukan puing. Dengan gerakan tiba-tiba gadis itu mendorong tubuh Beng Sang menerobos ke bawah tumpukan kayu-kayu hangus sambil menunjuk-nunjuk supaya anak itu bersembunyi. Tadinya Beng San bingung tidak mengerti, akan tetapi setelah suara melengking itu makin dekat, dia mengerti apa artinya itu. Song-bun-kwi datang! Cepat dia lalu menyelundup ke bawah kayu dan arang, bersembunyi di bawah puihg. Akan tetapi dasar dia seorang anak yang tabah dan nakal, dalam bersembunyi dia mengintai ke luar.

Suara melengking seperti orang menangis itu makin lama makin keras dan berhenti, tahu-tahu di depan gadis itu sudah berdiri seorang laki-laki. Song-bun-kwi dengan muka kelihatan tak senang! Mukanya merah dan matanya melotot, kedua tangannya menggerak-gerakkan jari-jari tangan sambil menatap wajah gadis cilik itu. Anak perempuan itu kelihatannya takut-takut, berkali-kali menggeleng kepalanya.

Kembang di atas rambutnya ikut bergoyang-goyang dan ini agaknya yang menarik perhatian Song-bun-kwi. Sekali renggut dia telah menjambak rambut anak itu dan ditariknya kembartg tadi. Anak itu terpelanting dan tentu akan terbanting keras kalau saja tidak lekas poksai (bersalto) sehingga ia hanya terhuyung-huyung dan kaget saja.

Matanya memperlihatkan sinar duka ketika kembang tadi hancur di tangan Song-bunkwi.

Agaknya Song-bun-kwi tertarik sesuatu. la memandang ke atas tanah tanpa mempedulikan lagi anak perempuan itu. Tiba-tiba dia membanting kaki. Demikian kerasnya bantingan kaki ini sampai Beng San yang berada di tempat yang jauhnya ada sepuluh meter dari situ merasa betapa tanah di bawahnya tergetar dan reruntuk kayu di atasnya ron-tok ke bawah.

Kakek itu nampak makin marah. Sambil menuding-nuding ke bawah kembali dia bicara dengan gerakan jari tangannya, agaknya memarahi anak perempuan itu atau menanyakan sesuatu. Anak itu kembali menggeleng-geleng kepalanya sambil menggerakkan jari tangannya. Tiba-tiba Song-bun-kwi menyambak rambutnya, mengguncang-guncangnya sampai rambut anak itu terurai, setelah itu kepala itu ditempeleng keras. Anak itu terpelanting roboh, akan tetapi cepat meloncat bangun.

Kedua mata anak itu mencucurkan air mata, mulutnya mengeluarkan suara ah-uh-ahuh.....

Hampir tak tertahankan lagi oleh Beng San. Kemarahannya memuncak dan andaikata dia tidak ingat akan ajaran-ajaran Lo-tong Souw Lee, pasti dia sudah meloncat keluar dan membela anak pe-rempuan itu. Biar dia dipukul mampus asal dia sudah bisa memaki-maki Song-bun-kwi atas kekejamannya terhadap anak itu, puaslah dia.

Giginya dikertakkan, bibirnya digigit sampai terasa sakit.

Saking marahnya, Song-bun-kwi sampai lupa bahwa anak perempuan itu gagu, dan dia membentak, "Beng San, di mana dia??" Kembali dia mengancam dengan tangan hendak menggampar anak itu.

Tiba-tiba, anak itu mengedikkan kepala dan seakan-akan telah lenyap sama sekali rasa takutnya. Matanya mengeluarkan sinar berapi, mulutnya setengah terbuka, napasnya terengah-engah, kedua tangannya dikepal dan dengan beraninya ia maju menantang, kakek itu. Mulutnya mengeluarkan suara ah-uh-ah-uh, akan tetapi nadanya beda dengan tadi, kini penuh tantangan! Beng San tadinya kagum bukan main, sekarang dia melongo karena melihat betapa kakek itu mendadak menjadi lemas, menjatuhkan diri berlutut dan memeluk anak itu sambil menangis tersedu-sedu! Dan anak perempuan itu pun hilang kemarahannya, memeluk kepala kakek itu sambil menangis tanpa bersuara. Pemandangan yang amat mengharukan melihat kakek itu berlutut memeluk si gagu sambil menangis mengeluarkan suara yang tidak karuan, akan tetapi sayup-sayup terdengar juga oleh Beng San. "..... kau seperti ibumu..... seperti ibumu....." Dan anak perempuan yang tadi dijambaki dan ditempiling kakek itu, yang tadinya amat marah seperti hendak melawan, sekarang menangis dan memeluk kepala kakek itu penuh kasih sayang.

Bi Goat, beritahu di mana adanya anak setan itu," Song-bun-kwi berkata sambil mengelus-elus kepala anak perempuan yang gagu itu. Anak itu menggelengkan kepalanya. Kakek itu lalu menudingkan telunjuknya ke atas tanah seperti hendak mendesak dengan pertanyaan bahwa ada bekas kaki Beng San di situ.

Semua ini terlihat oleh Beng San dan dengan hati berdebar dia mengintai terus. Anak perempuan yang bernama Bi Goat itu lalu menggerak-gerakkan tangannya, kemudian menuding ke arah selatan. Kakek itu berdiri, menatap wajah itu tajam penuh selidik, agaknya tidak percaya tetapi anak itu menentang pandang matanya dengan tabah dan berani akhirnya kakek itu menggandeng tangan Bi Goat dan diajak berjalan pergi dan situ ke arah selatan.

Diam-diam Beng San memperhatikan terus. Ia melihat kakek itu dengan sudut matanya memperhatikan Bi Goat. Anak itu menoleh dan memandang kearah bungabunga di atas pohon, agaknya teringat ketika Beng San memetikkan bunga untuknya tadi. Akan tetapi lirikan ini cukup untuk membuat Song-bun-kwi curiga. Tubuhnya berkelebat dan sulingnya diputar. Bunga dan daun terbang berhamburan dan ketika tubuh kakek itu sudah kembali ke sebelah Bi Goat, pohon tadi telah gundul dan andaikata di dalamnya bersembunyi Beng San, tentu akan kelihatan jelas. Kakek itu mengangguk-angguk kepada Bi Goat dan melanjutkan perjalanan sambil menggandeng tangan anak gagu itu.

Beng San bergidik. Bukan main lihainya kakek itu. Kalau saja tadi Bi Goat melirik ketempat dia bersembunyi, sekali saja, tentu kakek ifu akan dapat menemukannya. la tahu bahwa dia dicari. Bukan hanya Song-bun-kwi yang mencari dan membutuhkannya, juga bukan Hek-hwa Kui-bo. Menurut dugaan Lo-tong Souw Lee, setiap orang kang-ouw apabila mendengar bahwa Beng San mewarisi Im-yang Sinkiam- sut dan tahu di mana adanya Lo-tong Souw Lee, pasti akan menangkap anak ini.

Tidak hanya hendak memaksanya membuka rahasia Im-yang Sin-kiam-sut, akan tetapi juga hendak memaksanya membuka rahasia tempat persembunyian kakek buta itu. Untung anak gagu itu ternyata amat baik, dan sengaja melindunginya. Diam-diam Beng San berterima kasih sekali kepada Bi Goat. Juga dia amat kasihan kepada anak gagu itu yang agaknya diperlakukan dengan kejam dan keras oleh Song-bun-kwi, malah menurut dugaannya, anak itu dilarang bermain dengan siapa pun juga.

Buktinya, dahulu ketika anak itu diajak bermain-main oleh beberapa anak penggembala, Song-bun-kwi marah-marah dan penggembala-penggembala itu bersama kerbau-kerbaunya dibunuh semua! Beng San menarik napas panjang dan diam-diam dia berjanji kepada diri sendiri bahwa kalau dia mempunyai kepandaian melawan Song-bun-kwi, dia akan menolong anak gagu itu.

Tentu saja Beng San sama sekali tidak tahu bahwa renungannya ini sebetulnya menggelikan? Mengapa? Karena anak itu, yang bernama Kwee Bi Goat, bukan lain adalah anak Song-bun-kwi. Bukan murid, bukan pula anak angkat, melainkan anak kandung isterinya sendiri yang telah meninggal dunia, selagi Bi Goat berusia kurang dari tiga tahun.

Song-bun-kwi sebetulnya adalah seorang she Kwee bernama Lun. Kwee Lun atau yang berjuluk Song-bun-kwi (Setan Berkabung) ini mendapat julukannya semenjak kematian isterinya, yaitu ibu Bi Goat yang amat dicintainya. Seperti pernah disinggung oleh Hek-hwa Kui-bo kepada Beng San, Kwee Lun ini pernah merampas seorang pengantin wanita dan dalam perbuatannya yang amat jahat ini dia malah membunuh pengantin pria dan semua tamu yang berada di situ! Pengantin wanita inilah yang kemudian melahirkan Bi Goat. Akan tetapi karena wanita ini selalu berduka dan putus asa semenjak dirampas oleh Song-bun-kwi, setelah melahirkan anak kesehatannya menjadi amat buruk. Akhirnya, ketika Bi Goat berusia kurang dari tiga tahun, ibu muda ini meninggalkan anaknya, bebas dari penderitaan dunia.

Kwee Lun amat cinta kepada isteri rampasannya itu, juga dia amat cinta kepada Bi Goat. Akan tetapi, begitu isterinya yang tercinta meninggal, timbul kembali sifatsifatnya yang kejam dan jahat. Malah kadang-kadang kalau teringat kepada isterinya, dia menjadi benci kepada Bi Goat. Begitu isterinya meninggal, dia menyalahkan hal ini kepada Bi Goat dan hampir saja dia membunuh anaknya sendiri. Anak yang baru berusia tiga tahun itu dia pukuli, dia banting dan dia cekik hampir mati. Akan tetapi dia segera teringat kepada pesan isterinya supaya menjaga Bi Goat baik-baik, maka segera dia menghentikan kekejamannya ini dan malah mengobati Bi Goat. Kalau saja bukan dia yang mengobati, anak yang sudah dipukul dan dibanting itu tentu akan mati. Bi Goat tidak sampai mati, akan tetapi mungkin saking kaget, atau juga karena sakit, anak ini lalu menjadi gagu! Dan demikianlah, Song-bun-kwi Kwee Lun yang sakti dan menjadi tokoh terbesar dari barat, setiap kali bersikap kejam dan menyiksa Kwee Bi Goat, akan tetapi kadang-kadang dia teringat kepada isterinya dan kasih sayangnya tumpah kembali kepada anaknya itu.

Beng San yang sama sekali tidak tahu akan riwayat ini hanya menganggap bahwa Bi Goat anak gagu itu hidupnya tersiksa oleh Song-bun-kwi yang kejam dan jahat Setelah Song-bun-kwi pergi jauh, ban Beng San berani keluar dari tempat persembunyiannya dan melanjutkan perjalanan. la berjalan terus ke barat dan mengalami penderitaan yang hebat. Ada kala nya bocah belasan tahun ini dalam dua tiga hari tidak makan dan baru bisa mengisi perutnya kalau ada orang menaruh kasihan kepadanya atau kalau dia bisa mendapatkan buah-buahan di dalam hutan liar.

Baiknya dia memiliki tubuh yang kuat dan gerakannya cepat sehingga kadang-kadang dia bisa menangkap binatang-binatang hutan kecil untuk menjadi pengisi perutnya.

Sementara itu, tak pernah dia lupa untuk melatih diri dengan ilmu yang dia pelajari dari Lo-tong Souw Lee.

Pandai sekati Beng San menjaga rahasianya sehingga tak pernah ada orang mengetahui bahwa anak ini memiliki ilmu yang luar biasa. Semua orang yang bertemu dengannya hanya mengira bahwa dia adalah seorang anak jembel yang terlantar dan patut dikasihani. Banyak pula hinaan-hinaan dan ejekan-ejekan yang diderita oleh Beng San, namun anak ini menerima semua itu dengan sabar, maklum seperti yang pernah dia dengar dari Lo-tong Souw Lee bahwa semua penderitaan hidup merupakan gemblengan yang paling baik untuk seseorang, merupakan latihan rohani yang amat berharga. Sementara itu, hawa Im dan Yang di dalam dirinya makin hari makin menjadi kuat dan teratur dan betul saja seperti yang diajarkan oleh Souw Lee, makin tekun dia belajar, makin terasa olehnya betapa tubuhnya menjadi makin kuat dan sama sekali tidak pernah menderita lagi dari perasaan panas atau dingin akibat dua macam hawa yang tadinya meracuni darahnya tapi yang sekarang setelah dapat dia kuasai merupakan tenaga yang maha kuat.

* * * Sungguh patut disayangkah bahiwa kesalah pahaman antara Hoa-san Sie-eng dan Kun-lun Sam-hengte makin membesar dengan adanya peristiwa-peristiwa yang terjadi antara mereka.

Seperti telah diketahui, setelah melaporkan semua peristiwa yang menimpa dirinya di depan gurunya yaitu ketua Hoa-san-pai Lian Bu Tojin, Sian Hwa dan tiga orang suhengnya pergi turun dari Gunung Hoa-san untuk mencari tiga orang saudara murid Kun-lun-pai untuk memprotes perbuatan Kwee Sin. Sesuai dengan petunjuk guru mereka, empat orang murid Hoa-san-pai langsung pergi mengunjungi orang tertua dari Kun-lun Sam-hengte, yaitu Bun Si Teng di Sin-yang.

Kedatangan mereka berempat disambut oleh Bun Si Teng dan adiknya Bun Si Liong yang sudah sembuh dari luka-lukanya. Dua orang saudara Bun ini sudah pernah bertemu dengan Sian Hwa, dan biarpun di antara tiga orang jago Hoa-san yang lain baru Kwa Tin Siong mereka pernah melihatnya, namun dua orang lagi, Thio Wan It dan Kui Keng, pernah mereka mendengar namanya. Karena yang datang adalah jagojago ternama dari Hoa-san, dua orang saudara Bun ini menyambut dengan penuh penghormatan, akan tetapi melihat wajah para tamu yang nampaknya mengandung sesuatu yang tidak puas dan marah, mereka menjadi heran dan berlaku hati-hati.

Bun Si Teng dan Bun Si Liong segera menyambut kedatangan mereka dan memberi hormat. Bun Si Teng sambil menjura berkata.

"Ah, kiranya Hoa-san Sie-enghiong (Empat Orang Gagah dari Hoa-san) yang datang mengunjungi gubuk kami yang buruk. Selamat datang! Adik Sian Hwa, silakan duduk" Kepada tunangan sutenya ini, Bun Si Teng bersikap manis. "Liong-te, lekas beri tahu soso-mu (kakak ipar-mu) untuk menemani Adik Sian Hwa." "Tak usah repot-repot, Ji-wi tak perlu repot-repot. Kami datang untuk minta keadilan dan minta dibereskannya sebuah urusan besar, bukan untuk datang minum arak atau bercakap-cakap kosong!" Ucapan ini dikeluarkan oleh Thio Wan It, orang ke dua dari Hoa-san Sie-eng yang terkenal berangasan.

Dua orang saudara Bun mengerutkan kening. Benar-benar tak sopan tamu ini, pikir Bun Si Liong sambil memandang orang pendek gemuk berbaju hitam itu dengan mata menaksir-naksir. Akan tetapi Bun Si Teng yang lebih tua dan berpengalaman, segera dapat menduga bahwa tentu terjadi hal yang amat gawat sehingga orang-orang gagah ini bersikap seperti itu.

"Saudara-saudara berempat jauh-jauh datang membawa urusan penting apakah? Tentu kami selalu siap untuk membantu kalian. Harap Sie-enghiong segera ceritakan kepada kami berdua," kata Bun Si Jeng, masih ramah-tamah.

Bu-eng-kiam Thio Wan It yang sudah amat tak sabar karena marahnya menghadapi urusan sumoinya, segera melangkah maju dan berkata kasar.

"Sekarang ini, Hoa-san Sie-eng berhadapan dengan Kun-lun Sam-heng te sebagai orang-orang gagah yang hendak membereskan urusan penasaran! Kedatangan kami ini adalah karena perbuatan yang amat tak patut dan keji dari orang termuda dari Kunlun Sam-hengte. Kwee Sin harus mempertanggungjawabkan segala perbuatannya dan Ji-wi berdua ini harus pula bertanggung jawab dan dapat segera menyeret Kwee Sin kepada kami!" Kata-kata ini seperti halilintar menyambar bagi dua orang saudara Bun itu. Bun Si Teng yang lebih sabar menekan dada dan mukanya agak pucat, adapun Bun Si Liong sudah meraba gagang pedang dan goloknya sambil mengeluarkan suara gerengan seperti harimau terluka, matanya tajam menyapu keempat orang tamu itu. Baiknya Bun Si Teng memberi isyarat kepada adiknya supaya bersabar dan dia sendiri lalu berkata.

"Segala urusan dapat diurus, segala penasaran dapat diadili, akan tetapi harus diberi penjelasan lebih dulu apa sebabnya Sie-wi (Tuan Berempat) seperti marah-marah.

Sute kami, Kwee Sin, bukan kami hendak menyombong, akan tetapi Kwee-sute sudah terkenal di empat penjuru langit sebagai seorang gagah yang tak pernah meninggalkan sifat-sifat satria. Siapakah yang tak pernah mendengar nama Pek-lek-jiu Kwee Sin murid termuda dari Kun-lun-pai yang selalu menjunjung tinggi keadilan dan membela kebenaran? Sekarang Sie-wi datang-datang menyatakan sute kami itu melakukan perbuatan yang amat tidak patut dan keji. Hemmm, tentu saja sukar bagi kami untuk dapat mempercayai. Tidak ada perbuatan Kwee-sute yang tidak patut!" Liem Sian Hwa tak dapat menahan kemarahannya. "Seorang yang bergaul dengan siluman betina dari Pek-lian-pai, setelah terlihat oleh ayahku lalu bersama siluman itu datang membunuh ayahku yang tua dan tidak berdaya, apakah hal ini kauanggap patut dan tidak keji?" Bun Si Teng melengak, lalu saling pandang dengan adiknya. Bun Si Liong marah sekali, mulutnya sudah bergerak-gerak hendak membantah dan memaki. Akan tetapi orang gagah ini mempunyai sifat yang amat lucu, yaitu dia amat takut kalau berhadapan dengan wanita. Andaikata yang mengeluarkan tuduhan itu bukan Sian Hwa melainkan orang di antara suheng-suheng nona itu, tentu Si Liong sudah memaki dan marah. Sekarang dia hanya berdiri dengan kedua tangan terkepal, kedua mata melotot, akan tetapi tidak melotot kepada Sian Hwa, melainkan kepada Kwa Tin Siong bertiga! Bun Si Teng sudah dapat menguasai hatinya pula. la kini menghadapi Kwa Tin Siong yang sejak tadi diam saja hanya memandang dengan mata tajam penuh selidik.

"Hoa-san It-kiam, namamu di dunia kang-ouw sudah tersohor sebagai seorang pendekar gagah dan adil. Kuharap saja sekarang kau pun akan bersikap seperti seorang yang adil. Adikku Kwee Sin tertimpa tuduhan yang amat berat. Setiap tuduhan harus disertai bukti-bukti dan dasar. Tanpa dasar dan bukti maka tuduhan itu adalah fitnah yang amat jahat. Apakah bukti dan dasarnya tuduhan terhadap Kweesute itu?" Hoa-san It-kiam Kwa Tin Siong menarik napas panjang sebelum menjawab.

"Saudara Bun, aku pun merasa amat menyesal dengan terjadinya hal yang menimpa sumoiku. Kalau kalian merasa penasaran karena sute kalian tertimpa tuduhan berat, bagaimana dengan kami? Sumoi kami tertimpa malapetaka yang lebih berat dan hebat lagi. Oleh karena itu, kita harus berani mempertanggung-jawabkan secara adil. Harus berani membela yang benar dan menghukum yang salah. Sikap begini sudah menjadi tugas kita sebagai orang gagah, bukan? Siapa saja yang salah harus dihukum, baik dia itu orang lain maupun adik sendiri. Sebaliknya, siapa saja orangnya asal dia itu Berada di pihak kebenaran, haruslah kita bela. Bukankah begitu juga pelajaran yang kalian terima dari suhu kalian?" Bun Si Teng mengangguk-angguk. "Kau betul. Hoa-san It-kiam, Kami pun takkan membela sute kami sendiri kalau dia betul-betul bersalah. Hanya kami amat sangsikan apakah sute kami bersalah, karena kami percaya, bahkan yakin bahwa Kwee-sute bukanlah seorang yang demikian jahat dan keji. Dia pun sudah membuat nama besar di dunia kang-ouw. Oleh karena itu, tuduhan berat tadi harap kaujelaskan dan kauberi dasar-dasar atau bukti-bukti." Kwa Tin Siong tersenyum pahit. "Seorang yang sudah memiliki kepandaian setingkat dengan kita, kalau sudah melakukan sesuatu, bagaimana bisa dicari buktinya? Kadang-kadang kejadian tanpa bukti pun sudah jelas, cukup jelas untuk ditarik kesimpulan dan diambil keputusan siapa yang bersalah. Nah, kaudengarlah baik-baik.

Pada suatu hari, beberapa pekan yang lalu, ayah dari Liem-sumoi yaitu Liem Ta lopek, pulang ke rumah sambil marah-marah dan menyatakan kepada Liem-sumoi bahwa dia melihat Kwee Sin berpelesir bersama seorang perempuan cabul dari Peklian- pai, dan Liem-lopek menyatakan hendak memutuskan tali perjodohan antara Liem-sumoi dan Kwee Sin. Liem-sumoi merasa penasaran dan diam-diam ia pergi ke Telaga Pok-yang di mana Kwee Sin terlihat oleh ayahnya. Sayang ia tidak dapat melihat dengan mata kepala sendiri, akan tetapi dari keterangari tukang-tukang perahu di sana ia mendapat keterangan bahwa memang betul Kwee Sin dan seorang perempuan berada di situ beberapa hari lamanya. Dengan hati berat Liem-sumoi pulang ke rumahnya dan didapatinya ayahnya telah luka-luka hebat. Sebelum meninggal dunia, Liem-lopek masih sempat menyatakan bahwa yang menyerangnya adalah Kwee Sin dibantu seorang perempuan cantik.

"Penasaran...... penasaran.....!" Bun Si Liong berteriak-teriak. "Tak mungkin dia itu Kwee-sute. Tak mungkin! Mana buktinya bahwa yang melakukan pembunuhan itu adalah Kwee-sute?" "Twa-suheng!" Kui Keng meloncat maju. "Kenapa Suheng masih simpan-simpan keterangan? Jelaskan saja sekalian. Eh, Kun-lun Sam-hengte, jangan coba-coba menutupi. Kesalahannya sudah jelas karena menurut kesalahan sute kalian, keterangan Liem-sumoi, di tubuh Liem-lopek itu terdapat paku-paku Pek-lian-ting dan bekas pukulan Pek-lek-jiu! Nah, mau bilang apa lagi? Paku-paku Pek-lian-ting tentulah paku-paku yang dilepas oleh perempuan siluman dari Pek-lian-pai itu dan pukulan Pek-lek-jiu..... hemmm, bukankah julukan Kwee Sin adalah Pek-lek-jiu?" "Bohong! Bukan bukti itu" Bun Sin Liong membanting-banting kakinya. "Siapa saja yang pernah mempelajari Pek-lek-jiu tentu dapat mempergunakannya. Apakah hanya sute? Tentang paku-paku Pek-lian-ting, aku mau percaya kalau Pek-lian-pai memusuhi kalian, karena Pek-lian-pai juga memusuhi kami. Akan tetapi tentang Kwee-sute, tetap aku tidak mau menerima kalau dia dituduh!" "Ha..ha..ha, rupanya Kun-lun Sam-heng-te mau menang sendiri saja! Agaknya hanya mengandalkan kegagahan sendiri dan tak memandang kepada orang lain. Suheng, Sute, dan Sumoi, agaknya urusan ini hanya bisa dibereskan di ujung pedang!" kata Thio Wan It mengejek sambil meraba gagang pedangnya.

"Boleh sekali!" Bun Si Liong bertenak sambil nnencabut sepasang senjatanya, yaitu sebatang pedang dan sebatang golok. Apakah Hoa-san Sie-eng berempat datang hendak mengeroyok kami berdua? Jangan kira kami takut! Kun-lun Sam-hengte tak pernah mundur setapak pun menghadapi pengeroyokan siapa saja!" "0..ho sombongnya! Kami Hoa-san Sie-eng bukanlah tukang keroyok! Untuk menghadapi kalian berdua saja cukup dengan pedangku. Orang she Bun, kalau kau ada kepandaian, keluarlah!" Thio Wan It berkata mengejek dan begitu kakinya bergerak, tubuhnya melesat keluar.

"Baik, hendak kukenal kelihaian Bu-eng-kiam!" seru Bun Si Liong yang meloncat keluar pula.

Semua orang mengejar keluar dan ternyata bahwa dua orang jago itu sudah bertanding dengan hebat. Suara beradunya senjata tajam berdenting-denting nyaring disusul bunga api berpijar-pijar, gerakan dua orang jago ini gesit dan tangkas dan amat kuat. Di antara debu yang berhamburan berkelebat ujung pedang dan golok mencari nyawa.

Thio Wan It, sesuai dengan julukannya, Bu-eng-kiam (Pedang Tanpa Bayangan) amat cepat gerak-geriknya. Pedangnya diputar sedemikian cepatnya sehingga lenyap dari pandangan mata dan bagi lawan yang tinggi ilmunya, pedang ini hanya bisa diduga dari mana datangnya dengan mendengar suara anginnya saja. Gerakan-gerakan Thio Wan It yang mainkan Ilmu Pedang Hoa-san Kiam-hoat, boleh diumpamakan seekor burung walet yang menyambar-nyambar ke sana kemari amat sukar diduga perubahan-perubahan gerakannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar