05 Pusaka Pulau Es

Delapan orang pengeroyok itu semua mempergunakan tongkat pendeta yang panjang sedangkan dua Lama Jubah Merah menggunakan senjata kebutan. Melihat gerakan mereka, andaikata mereka itu dua lawan dua saja, tentu Lama Jubah Kuning akan kalah. Akan tetapi menghadapi pengeroyokan delapan orang, dua orang Lama Jubah Merah itu menjadi kewalahan juga dan beberapa kali mereka telah menerima gebukan dan kini hanya main mundur.

Ketika Keng Han dan Bi-kiam Nio-cu muncul dan membantu mereka, keadaannya menjadi berubah. Biarpun hanya menggunakan kaki tangan saja, namun guru dan murid ini dapat membuat delapan orang pengeroyok itu menjadi kalang kabut. Keng Han merobohkan dua orang dengan tamparan tangannya yang mengandung hawa panas sekali, sedangkan dengan tendangannya, Bi-kiam Nio-cu juga sudah merobohkan dua orang pengerok. Melihat datangnya bala bantuan di pihak musuh yang demikian kuatnya, delapan orang Lama Jubah Kuning itu segera melarikan diri cerai berai.

Dua orang Lama Jubah Merah yang sudah kelelahan itu tidak mengejar dan mereka mengangkat tangan memberi hormat kepada Keng Han dan Nio-cu.

Ji-wi (Kalian berdua) menjadi bintang penyelamat kami. Kalau tidak ada Jiwi, tentu kami berdua sudah mati di tangan para pemberontak itu. kata seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi kurus.

Ah, tidak mengapa, Losuhu. kata Bi-kiam Nio-cu. Sudah menjadi kewajiban kami untuk membantu yang tertindas, apalagi kami sudah mendengar bahwa mereka itu adalah kaum pemberontak. Dan sekarang, kami berbalik mengharapkan bantuan Ji-wi Lo-suhu untuk membantu kami.

Tentu saja, kami berdua akan suka sekali membantu Ji-wi, akan tetapi bantuan apakah yang dapat kami berikan untuk Ji-wi, yang lihai?

Kami ingin sekali menghadap dan bertemu dengan Dalai Lama di Lha-sa.

Dua orang pendeta Lama Jubah Merah itu terkejut bukan main mendengar permintaan ini. Ahhh, Nona dan Sicu, bagaimana mungkin itu dilaksanakan?. Sang Dalai Lama tidak dapat sembarangan saja dikunjungi orang, kecuali kalau ada tujuan yang teramat penting. Bahkan wakil dari Kaisar Ceng sekalipun, kalau menghadap cukup diterima oleh wakil atau pembantu beliau. Kami tidak dapat membantu, harap Nona berdua memaafkan kami.

Bi-kiam Nio-cu mengerutkan alisnya. Hemmm, begini sajakah watak dua orang pendeta Lama Jubah Merah? Pantas kalau begitu ada yang memberontak. Kami bermaksud baik, akan tetapi kalian menolak mentah-mentah. Kalau kalian haturkan kepada Dalai Lama bahwa yang minta menghadap adalah Bi-kiam Nio-cu, murid Ang Hwa Nio-nio, apakah Dalai Lama berani memandang rendah? Dan kunjungan ini amat penting, untuk membicarakan tentang seorang pendeta Lama Jubah Kuning yang bernama Gosang Lama.

Kembali dua orang Lama Jubah Merah itu menjadi terkejut. Agaknya nama Bi-kiam Nio-cu terutama nama Ang Hwa Nio-nio sudah mereka kenal dan tentu saja nama Gosang Lama juga amat terkenal, bahkan dialah yang menjadi biang keladi pemberontakan Lama Jubah Kuning!

Ah, kiranya Nona adalah murid Ang Hwa Nio-nio? Kalau begitu baiklah, mari ikut kami ke Lha-sa, akan kami usahakan untuk dapat diterima oleh Sang Dalai Lama. Akan tetapi kalau gagal harap Ji-wi jangan menyesal dan mempersalahkan kami, karena untuk dapat menghadap dan berwawancara dengan Sang Dalai Lama bukan perkara yang mudah. Bukan main girangnya hati Keng Han. Untung ada Nio-cu, kalau tidak ada wanita itu, agaknya tidak mungkin kedua orang pendeta Lama itu mau membawa mereka ke Lha-sa.

Ibu kota Lha-sa amat besar dan terutama sekali bangunan kuno yang megah di bukit itu nampak amat megah dan hebat. Keng Han yang sejak kecil berada di daerah Khitan yang amat sederhana, kemudian berada di Pulau Es sampai lima tahun lamanya, belum pernah selama hidupnya menyaksikan kemegahan dan keindahan seperti itu. Dia merasa takjub dan merasa dirinya kecil. Apalagi melihat penjagaan di depan tempat tinggal Dalai Lama. Dia bergidik. Tidak mungkin dia memasuki tempat itu dengan kekerasan. Beratus-ratus pendeta Lama yang nampaknya berkepandaian menjaga di situ, dengan tongkat atau pun kebutan di tangan. Untuk dapat memasuki istana Dalai Lama dia harus mengalahkan ratusan orang pendeta Lama!

Dua orang pendeta Lama itu menemui pendeta penghubung dan menceritakan betapa mereka berdua nyaris tewas di tangan para Lama Jubah Kuning yang memberontak namun diselamatkan oleh dua orang muda itu. Kemudian mereka minta kepada pendeta penghubung untuk mengajukan permohonan kepada Dalai Lama agar kedua orang itu, seorang di antaranya adalah Bi-kiam Nio-cu murid Ang Hwa Nio-nio, diperkenankan menghadap karena ada urusan penting yang hendak dibicarakan. Keng Han dan Bi-kiam Nio-cu memperkenalkan nama masing-masing kepada para pendeta penghubung.

Pendeta-pendeta penghubung lalu melaporkan ke dalam. Tak lama kemudian mereka keluar lagi dan berkata dengan suara lantang dan jelas. Tuan muda Si Keng Han dan Nona Siang Bi Kiok dipersilakan masuk menghadap Yang Mulia Dalai Lama!

Mereka diantar atau dikawal oleh dua orang pendeta Lama, dan ketika memasuki bangunan itu, Keng Han mengamati semua bagian dalam ruangan-ruangan yang luas dan terukir indah itu dengan penuh kagum sehingga Bi-kiam Nio-cu merasa geli melihat tingkah laku Keng Han seperti seorang dusun memasuki sebuah istana.

Akan tetapi yang menyolok sekali, kalau di bagian luar dijaga ketat sekali, di sebelah dalam bahkan sunyi tidak nampak penjaga atau pengawal. Bahkan ketika mereka memasuki ruangan di mana Dalai Lama duduk, di situ tidak nampak penjaga sama sekali, hanya ada dua orang pendeta cilik yang agaknya menjadi pelayan Sang Dalai Lama!

Si Keng Han kongcu dan Siang Bi Kiok siocia telah datang menghadap! Pendeta pengantar itu melaporkan.

Sang Dalai Lama lalu memberi isyarat agar mereka berdua mundur, bahkan lalu memberi isyarat pula kepada dua orang pendeta cilik untuk mengambilkan minuman.

Si Keng Han merasa dirinya kecil ketika berhadapan dengan pendeta yang sederhana itu. Pendeta Lama itu duduk di atas pembaringan yang bentuknya seperti teratai dari perak, dengan jubah kuning kemerahan yang sederhana sekali. Kepalanya gundul kelimis dan sepasang matanya yang penuh wibawa itu memandang dengan sinar lembut, mulutnya tersenyum ramah. Bersama Bi-kiam Niocu, Keng Han lalu memberi hormat, mengangkat kedua tangan depan dada dan membungkuk.

Kongcu dan Siocia silakan duduk! kata Dalai Lama dengan ramah. Kemudian dua orang pendeta cilik itu menyuguhkan secangkir air teh harum. Setelah menyuguhkan air teh, mereka pun mengundurkan diri sehingga yang berada di ruangan itu tinggal mereka berdua bersama Sang Dalai Lama. Kalau dia hendak membalaskan kematian gurunya, alangkah mudahnya dan ini merupakan kesempatan yang baik. Akan tetapi dia teringat akan ucapan Kwi Hong dan juga Bi-kiam Nio-cu bahwa Dalai Lama adalah seorang pendeta yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Apalagi di luar. Andaikata dia mampu membunuh Dalai Lama, dia pun tidak akan dapat meloloskan diri dari tempat yang terjaga oleh ratusan orang pendeta Lama itu.

Terima kasih, Lo-suhu. kata Bi-kiam Nio-cu dan Keng Han juga mencontoh wanita itu mengucapkan terima kasih, kemudian mereka duduk berhadapan dengan pendeta itu. Wibawa yang amat kuat menyinar dari pendeta itu, pandang matanya yang lembut, mulutnya yang penuh senyum, kesabaran yang terbayang di seluruh wajahnya, semuanya itu membuat Keng Han merasa semakin tidak enak hatinya. Dia seolah merasa berdosa mendendam kepada seorang pendeta seperti ini.

Nah, orang-orang muda yang baik, ceritakan apa maksud kalian menemui pinceng (saya), kata Dalai Lama dengan suara ramah.

Saya hanya mengantar sobat ini menghadap, Lo-suhu. Saya sendiri tidak mempunyai urusan apa pun. jawab Nio-cu yang agaknya juga merasa tidak enak berhadapan dengan pendeta itu.

Dalai Lama memandang kepada Keng Han sejenak, lalu bertanya, Orang muda, keperluan apakah yang membawamu datang ke tempat ini dan bertemu dengan pinceng? Katakanlah sejujurnya, pinceng siap mendengarkan.

Keng Han menelan ludah sendiri sebelum menjawab dan suaranya terdengar agak gemetar, Losuhu, saya datang, ini untuk menghadap Losuhu dan bertanya mengapa Losuhu mengutus tiga orang pendeta Lama Jubah Merah untuk membunuh suhuku?

Omitohud....! Siapakah suhumu itu, Kongcu?

Suhu bernama Gosang Lama, seorang pendeta Lama Jubah Kuning. Suhu hidup tenteram di daerah utara, kenapa suhu dicari dan kemudian dibunuh dengan kejamnya? Saya menuntut keadilan, Lo-Suhu.

Omitohud....! Gosang Lama itu suhumu? Ahhh, engkau tentu tidak tahu siapa Gosang Lama yang kau angkat menjadi guru itu, Kongcu. Dia tidak dibunuh, melainkan menerima hukuman dari semua kejahatannya.

Dihukum? Jahat? Akan tetapi suhu tidak melakukan sesuatu yang jahat!

Mungkin tidak selama menjadi gurumu. Akan tetapi sebelum itu, apakah engkau tahu apa saja yang telah dilakukan Gosang Lama?

Keng Han menggeleng kepalanya dan tidak dapat menjawab.

Orang muda, berhati-hatilah dengan akal pikiran dan hatimu sendiri, terutama sekali waspadalah terhadap perasaan dendam. Dendam itu merupakan racun yang akan meracuni dan merusak hati sendiri, menimbulkan perbuatan yang kejam dan tanpa perhitungan lagi. Dendam bagaikan api yang membakar hati dan mendatangkan kebencian yang mendalam. Akan tetapi ketahuilah, segala sesuatu yang telah terjadi itu ada kaitannya dengan karma, ada kaitannya dengan perbuatannya sendiri. Perbuatannya sendiri itulah yang akan menimbulkan akibat yang menimpa diri sendiri. Engkau mendendam karena kematian gurumu, akan tetapi tidak tahu mengapa gurumu dihukum mati. Kalau engkau menuruti nafsu dendam itu, bukankah berarti engkau bertindak semau sendiri tanpa pertimbangan lagi? Dan mungkin karena dendam itu engkau melakukan pembunuhan-pembunuhan kepada orang-orang yang tidak bersalah. Jangan mencari sebab dan kesalahan keluar, orang muda, melainkan carilah di dalam diri sendiri, karena sebab dan kesalahan itu berada di dalam dirinya sendiri.

Keng Han tertegun. Dia merasa betapa tepat dan besarnya ucapan itu. Dia mendendam atas kematian gurunya. Akan tetapi dia tidak tahu mengapa gurunya dibunuh. Bagaimana kalau gurunya yang bersalah? Bukankah berarti dia membela orang yang bersalah?

Losuhu, mohon Losuhu ceritakan apa saja yang telah diperbuat oleh suhu Gosang Lama sehingga dia dihukum mati.

Gosang Lama telah melakukan pelanggaran-pelanggaran di waktu mudanya. Dia melakukan perbuatan yang keji, merampas dan memperkosa wanita, merampok harta milik, penduduk, bahkan dia mengobarkan pemberontakan di kalangan para pendeta Lama Jubah Kuning. Dosanya besar sekali dan karena dia membahayakan kehidupan semua orang, maka majelis lalu menjatuhkan hukuman mati kepadanya. Dia melarikan diri dan menjadi buronan sampai akhirnya petugas-petugas menemukan dia dan melaksanakan hukuman mati itu. Nah, apakah engkau masih hendak membela kematian seorang yang telah melakukan demikian banyak dosa orang muda yang baik?'

Keng Han tertegun dan tidak mampu menjawab, akan tetapi kemudian dia mengeraskan hatinya dan menjawab, Losuhu, bagaimanapun juga suhu Gosang Lama tidak melakukan pembunuhan....

Omitohud! Apakah pinceng harus menceritakan semuanya? Dia telah membunuh banyak orang, bahkan utusan pertama yang kami tugaskan untuk menangkapnya, sebanyak tiga orang telah dibunuhnya. Dan sekali lagi, dia menipu kami dengan memasukkan seorang anak laki-laki yang dia katakan berbakat baik dan katanya merupakan anak yatim piatu. Kami percaya dan kami sendiri menurunkan ilmu-ilmu kepada anak itu. Akan tetapi setelah Gosang Lama melarikan diri, baru ketahuan bahwa anak itu adalah anaknya sendiri yang didapat dari wanita yang dipaksanya menjadi isterinya. Nah, masih kurangkah apa yang kau dengar ini?

Keng Han merasa terpukul sekali. Apakah puteranya itu yang bernama Gulam Sang, Losuhu?

Benar sekali. Apakah engkau sudah bertemu dan berkenalan dengan dia?

Tidak, akan tetapi mendiang suhu yang meninggalkan pesan tentang puteranya itu.

Hemmm, dan engkau tidak merasa heran bahwa seorang pendeta Lama dapat mempunyai anak?

Keng Han merasa terpukul lagi dan dia menundukkan mukanya. Pikirannya menjadi ruwet. Jauh-jauh dia datang untuk membalaskan dendam kematian gurunya, dan kini dia hanya mendengar segala kejahatan gurunya dibeberkan! Apa yang harus dia lakukan?

Akan tetapi saya adalah muridnya, Losuhu. Bukankah tugas seorang murid untuk berbakti kepada gurunya, seperti berbakti kepada ayah ibu sendiri? Melihat suhu binasa di tangan orang, bagaimana mungkin saya harus berdiam diri saja? Berarti saya akan menjadi seorang murid yang durhaka!

Omitohud! Orang bijaksana selalu meneliti perbuatan sendiri, selalu mencari kekurangan dan kesalahan pada diri sendiri. Perbuatan orang tua dan guru juga harus diteliti, untuk dicontoh mana yang baik dan dihindarkan mana yang buruk. Akan tetapi, agar engkau tidak menjadi penasaran, orang muda, engkau boleh melaksanakan balas dendam itu. Pinceng yang menyuruh hukum Gosang Lama, maka pinceng memberi kesempatan kepadamu untuk menyerang pinceng.

Engkau boleh menyerang, sesukamu dan pinceng tidak akan membalas. Setelah berkata demikian, tiba-tiba tubuh Dalai Lama itu melayang dalam keadaan masih duduk bersila, melayang dan turun ke lantai, masih bersila dan kedua tangan di atas lutut sambil tersenyum ramah.

Nah, engkau boleh menyerang pinceng sesukamu, orang muda.

Keng Han merasa betapa jantungnya berdebar tegang. Kalau dia dapat membunuh Dalai Lama, tentu roh suhunya akan tenang. Akan tetapi kemudian dia teringat akan penjagaan ketat di tempat itu. Kalau dia membunuh Dalai Lama, tentu dia akhirnya akan tewas di tangan ratusan pendeta Lama itu.

Losuhu, kalau saya menyerang Losuhu dan berhasil menewaskan Losuhu, tetap saja saya akan dikeroyok oleh banyak pendeta dan tidak akan dapat lolos dari tempat ini.

Ha-ha-ha, jangan khawatir, orang muda. Pinceng tidaklah securang itu. Kalau engkau mampu membunuh pinceng, itu sudah kehendak Yang Maha Kuasa, dan engkau akan dapat pergi dengan aman.

Keng Han masih meragu dan menoleh kepada Bi-kiam Nio-cu, bertanya, Bagaimana, Niocu? Apa yang harus kulakukan?

Bi-kiam Nio-cu tersenyum dan berkata, Losuhu Dalai Lama telah mengijinkan engkau untuk menyerangnya. Nah untuk menghilangkan rasa penasaran di hatimu, mengapa tidak kaulakukan itu?

Baik! Akhirnya Keng Han mengambil keputusan. Akan tetapi kalau saya menyerang Losuhu, hal ini hanya terjadi karena Losuhu yang menyuruhku!

Tentu saja dan pinceng sudah siap, orang muda. Seranglah dan engkau boleh mengeluarkan semua ilmu dan tenagamu. Dalai Lama masih duduk bersila dengan senyumnya yang lembut.

Keng Han lalu mengerahkan tenaga dari pusarnya. Dua tenaga panas dan dingin naik ke kedua lengannya, yang panas menyusup ke lengan kanan, yang dingin menyusup ke lengan kiri, kemudian dia berseru, Maafkan saya, Losuhu! dan dia pun memukul dengan dorongan kedua tangan sambil mengerahkan seluruh tenaganya karena dia sudah mendengar bahwa Dalai Lama ini seorang manusia sakti.

Dua macam hawa yang berlawanan menyambur ke arah Dalai Lama. Kakek ini dengan tenang mengangkat kedua tangan pula untuk menyambut dan ketika tangan-tangan itu bertemu, Keng Han merasa betapa kedua tangannya bertemu dengan benda yang lunak dan halus, yang seolah menyerap semua tenaga yang keluar dari lengannya. Kemudian, sebuah tenaga yang hebat sekali mendorongnya sehingga dia terhuyung ke belakang, napasnya terengah akan tetapi dia tidak terluka. Dalai Lama masih duduk seperti tadi dan sinar mata yang lembut itu memandang penuh keheranan.

Orang muda, engkau bilang bahwa engkau murid Gosang Lama, akan tetapi bagaimana engkau menguasai Hui-yang Sin-kang dan Swat-im Sin-kang dari Pulau Es?

Keng Han terkejut sekali. Tak disangkanya bahwa pendeta agung itu bahkan mengenal dua macam ilmu rahasia yang dipelajarinya di Pulau Hantu!

Bukan suhu Gosang Lama yang mengajarkan ilmu itu, Losuhu.

Kalau begitu engkau murid Pulau Es?

Juga bukan. Saya mempelajarinya dari Pulau Hantu.

Hemmm, suatu kebetulan yang aneh. Jodoh yang mengherankan. Nah, sekarang bagaimana, apakah engkau masih hendak menyerangku lagi?

Tidak, Losuhu. Mataku telah terbuka dan saya melihat betapa saya bodoh sekali. Bodoh dalam pemikiran juga bodoh dalam ilmu silat. Saya tidak akan menang melawan Losuhu, dan hati saya penuh penyesalan atas segala perbuatan mendiang suhu yang tidak benar. Harap Losuhu memaafkan kebodohan saya.

Orang yang melihat kesalahan sendiri sama sekali bukan orang bodoh, Kongcu. Pinceng gembira sekali bahwa engkau telah menyadari kekeliruanmu.

Keng Han dan Nio-cu segera berpamit kepada Dalai Lama dan pendeta itu mengucapkan selamat jalan. Setelah meninggalkan Lha-sa, Keng Han merasa girang dan hatinya ringan sekali, tidak lagi dibebani tugas yang tadinya selalu memberatkan hatinya.

Ternyata engkau benar, Nio-cu. Pendeta itu adalah seorang yang sakti lagi bijaksana sekali. Betapapun juga, aku telah melaksanakan tugasku terhadap mendiang suhu. Sekarang hanya tinggal satu lagi tugas itu, yaitu menyelidiki keadaan Bu-tong-pai yang menjadi musuh besar suhu.

Bi-kiam Nio-cu tersenyum lebar. Sama saja, Keng Han. Engkau akan kecelik besar sekali kalau pergi ke Bu-tong-pai. Ketua Bu-tong-pai dan para murid di sana semua adalah pendekar-pendekar yang gagah perkasa, pembela-pembela kebenaran dan keadilan. Kalau suhumu memusuhi Bu-tong-pai, maka aku hampir berani memastikan bahwa kesalahan tentu berada di pihak gurumu itu.

Bagaimanapun juga aku harus pergi menyelidiki lebih dulu Nio-cu. kalau ternyata suhu memang benar melakukan kesalahan terhadap Bu-tong pai, biarlah aku yang memintakan maaf dari mereka.

Engkau keras kepala! Nio-cu berkata sambil tersenyum.

Perjalanan meninggalkan Tibet itu kembali melalui Beng-san. Seperti ketika berangkatnya, Nio-cu kembali nampak gelisah ketika harus melewati daerah tempat tinggal subonya itu.

Pada suatu pagi, selagi mereka mendaki sebuah bukit, tiba-tiba saja entah dari mana munculnya, seorang wanita telah berdiri di depan mereka. Wanita ini usianya sekitar lima puluh tahun, masih nampak bekas kecantikan pada wajahnya dan tubuhnya masih nampak ramping seperti tubuh seorang wanita muda. Wajahnya yang anggun membayangkan ketinggian hati dan bibirnya membayangkan kekerasan. Matanya tajam sekali dan ketika itu, ia berdiri seperti patung memandang kepada Keng Han dan Nio-cu. Tangan kirinya memegang sebatang kebutan dan di punggungnya nampak sebatang pedang.

Begitu melihat wanita ini tiba-tiba muncul di depanya, Bi-kiam Nio-cu menjadi terkejut setengah mati. Wajahnya mendadak menjadi pucat dan ia segera menjatuhkan diri berlutut di depan wanita itu.

Subo....! katanya lemah dan suaranya tergetar penuh rasa gentar. Tahulah Keng Han bahwa wanita itu adalah guru Bi-kiam Nio-cu yang pernah disebut oleh Nio-cu dan bernama Ang Hwa Nio-nio itu.

Wanita itu memang benar Ang Hwa Nio-nio. Ia seorang pendeta wanita yang mengasingkan diri di Pegunungan Bengsan itu, seorang Tokouw (Pendeta To) berjuluk Ang Hwa Nio-nio (Nyonya Bunga Merah) karena disanggul rambutnya yang masih hitam itu selalu terhias setangkai bunga merah. Ang Hwa Nio-nio mempunyai dua orang murid wanita, yang pertama adalah Siang Bi Kiok yang berjuluk Bi-kiam Nio-cu itu dan yang kedua bernama Souw Cu In yang pernah dilihat Keng Han bertemu dengan Bi-kiam Niocu, yaitu gadis yang berpakaian putih dan wajah bagian bawahnya tertutup saputangan putih pula.

Kini, melihat Bi-kiam Nio-cu melakukan perjalanan bersama seorang pemuda tampan, Ang Hwa Nio-nio marah bukan main sehingga ia tidak mampu mengeluarkan suara, hanya sepasang matanya saja yang memandang kepada murid pertamanya itu seperti api yang membakar. Ang Hwa Nio-nio keras sekali dalam mendidik dua orang muridnya, terutama mengenai diri kaum pria. Ia malah membuat dua orang muridnya itu berjanji bahwa setiap kali bertemu dengan pria yang mencintai mereka, mereka harus cepat membunuh pria itu! Pendeknya ia mencegah jangan sampai ada hubungan antara murid-muridnya dengan kaum pria yang dianggapnya busuk dan jahat semua, tanpa terkecuali. Inilah sebabnya mengapa dalam pertemuan pertama, Bi-kiam Nio-cu juga hendak membunuh Keng Han.

Siang Bi Kiok, apa yang telah kaulakukan ini? Akhirnya Ang Hwa Nio-nio menegur muridnya.

Dengan gugup Bi-kiam Nio-cu menjawab, Apa...apa yang Subo maksudkan?

Hemmm, engkau melakukan perjalanan dengan seorang pemuda dan engkau masih pura-pura bertanya apa yang aku maksudkan? kata wanita itu bengis.

Ah, itukah, Subo? Dia ini hanya kebetulan saja bertemu dengan teecu dan karena sejalan, maka kami berjalan bersama. Tidak ada apa-apa antara dia, dan teecu.... Bi-kiam Nio-cu membela diri, akan tetapi suaranya gemetar.

Bagus! Engkau sudah pandai berbohong juga, ya? Engkau sudah pergi bersamanya sampai ke Tibet, menghadap Dalai Lama bersama, dan sekarang mengatakan hanya kebetulan bertemu?

Bukan main kagetnya hati Bi-kiam Nio-cu mendengar itu. Juga Keng Han merasa heran bagaimana wanita itu dapat mengetahuinya. Kiranya Dalai Lama sudah menyuruh orangnya untuk meneliti kebenaran keterangan Bi-kiam Nio-cu apakah benar murid Ang Hwa Nio-nio itu yang datang menghadap Dalai Lama!

Ampun, Subo. Kami.... kami sungguh tidak ada hubungan apa pun, hanya melakukan perjalanan bersama saja.

Diam! Kalau engkau tidak cepat membunuhnya, maka aku sendiri yang akan membunuh pemuda ini, dan engkau juga! Setelah berkata demikian, wanita itu menggerakkan kakinya dan sekali berkelebat ia telah lenyap dari situ. Keng Han terkejut bukan main, maklum betapa lihainya wanita itu yang memiliki ilmu meringankan tubuh sedemikian rupa sehingga seolah-olah ia dapat menghilang!

Wajah Bi-kiam Nio-cu menjadi pucat sekali. Sampai lama ia masih berlutut di situ tak bergerak. Keng Han lalu berkata. Sudahlah, Nio-cu. Kalau kita tidak boleh melakukan perjalanan bersama, sekarang juga aku akan meninggalkanmu, akan melanjutkan perjalananku. Setelah berkata demikian, Keng Han membalikkan tubuhnya dan melanjutkan perjalanannya, meninggalkan tempat itu.

Akan tetapi belum jauh dia pergi, berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu Bi-kiam Nio-cu telah berdiri di depannya. Wajahnya masih pucat sekali dan matanya bersinar aneh, juga ia telah memegang sebatang pedang telanjang di tangan kanannya.

Berhenti! bentaknya. Keng Han, engkau tidak boleh pergi dan terpaksa aku harus membunuhmu! Kalau tidak, aku sendiri akan dibunuh oleh guruku!

Keng Han memandang dengan mata terbelalak. Selama ini, sikap wanita itu amat baik dan akrab dengannya dan sekarang, tiba-tiba saja ia hendak membunuhnya.

Akan tetapi, mengapa, Nio-cu? Menga engkau hendak membunuhku? Dia menuntut. Bukankah selama ini hubungan antara kita baik sekali? Aku tidak pernah berbuat jahat kepadamu, Nio-cu.

Pedang di tangan itu gemetar dan kedua mata itu kini menjadi basah. Keng Han, kita harus melarikan diri dari sini dan engkau harus menikah denganku. Itulah satu-satunya jalan. Kita saling mencinta, dan tidak ada apa pun yang dapat menghalangi kita hidup bersama.

Keng Han semakin kaget mendengar ucapan itu. Siapa yang saling mencinta, Subo? Aku.... aku suka kepadamu karena engkau baik kepadaku dan engkau menjadi guruku, bahkan engkau membantuku menemui Dalai Lama. Akan tetapi bukan berarti bahwa aku cinta padamu dan suka menjadi suamimu. Tidak, Nio-cu tidak bisa kita menikah.

Sepasang mata wanita itu terbelalak lebar dan mukanya menjadi merah sekali. Apa? Engkau tidak mencinta padaku? Dan subo sudah menganggap kita saling mencinta, maka aku harus membunuhmu. Jadi, selama ini aku salah sangka, engkau tidak cinta padaku.

Keng Han menggeleng kepalanya. Mungkin cinta kita hanya cinta antara sahabat, atau antara guru dan murid, bukan cinta yang membuat kita harus berjodoh. Tidak, Nio-cu, sekali lagi tidak, aku tidak cinta padamu seperti itu.

Bagus! Kalau begitu tidak berat lagi hatiku untuk membunuhmu! Mampuslah engkau! Dan wanita itu segera menyerang Keng Han membabi buta mengayun pedangnya bagaikan kilat menyambar-nyambar, semua merupakan serangan maut yang ditujukan untuk membunuh. Keng Han cepat mengelak sambil mundur. Nio-cu, ingat, kita bukan musuh! Beberapa kali Keng Han memperingatkan. Akan tetapi Bi-kiam Nio-cu yang sudah marah sekali itu tidak peduli dan hanya berteriak. Mampuslah! Pedangnya menyambar ganas sekali dan Keng Han dipaksa untuk membela diri. Karena dia tidak memiliki senjata lain kecuali pedang bengkok pemberian ibunya, maka dia mencabut pedang bengkoknya dan melawan, bahkan membalas karena kalau tidak dia tentu akan terancam bahaya maut.

Ilmu silat Hong-in Bun-hoat adalah ilmu silat sakti yang dimainkan dengan tangan kosong atau menggunakan senjata pedang. Begitu Keng Han memainkan Hong-in Bun-hoat dengan pedang bengkoknya, Bi-kiam Nio-cu segera terdesak hebat. Bantuan tangan kirinya yang menggunakan ilmu totoknya tidak ada artinya lagi bagi Keng Han yang sudah menguasai ilmu itu. Bahkan tangan kirinya beberapa kali mendorong sehingga serangkum hawa yang amat dingin dari Swat-im Sin-kang menyambar dan membuat Bi-kiam Niocu terhuyung dan menggigil.

Baru lewat tiga puluh jurus saja Bi-kiam Nio-cu sudah terdesak hebat. Akan tetapi sama sekali tidak timbul niat di dalam hati Keng Han untuk membunuh wanita itu, maka dia hanya mendesak saja.

Pada saat itu nampak bayangan putih berkelebat amat cepatnya dan sinar putih panjang menyambar ke arah Keng Han. Pemuda ini terkejut sekali, mengira bahwa Ang Hwa Nio-nio yang menyerangnya. Dia lalu menangkis dengan pedang pendeknya, akan tetapi alangkah kagetnya ketika pedangnya tahu-tahu terlibat sutera putih yang panjang dan juga tubuhnya terlibat dan tahu-tahu dia telah dibuat tidak berdaya, terbalut kain sutera putih yang dilepas orang yang baru datang.

Melihat keadaan Keng Han, Bi-kiam Nio-cu, berseru, Mampuslah kau sekarang! Dan dengan cepat ia sudah menyerang dengan pedangnya, ditusukkan ke arah dada Keng Han yang sudah tidak berdaya karena kedua lengannya sudah terbelenggu dengan tubuhnya. Keng Han hanya dapat membelalakkan matanya, ingin menghadapi kematian dengan mata terbuka.

Singgg.... tranggggg....!! Bunga-bunga api menyilaukan mata Keng Han ketika ada pedang lain menangkis pedang yang ditusukkan Bi-kiam Nio-cu kepadanya itu. Dan ketika Keng Han menoleh, ternyata yang menangkis itu adalah nona berpakaian putih dan berkedok putih itu. Dan nona itu pula yang memegang ujung sabuk sutera putih yang melibat tubuhnya!

Sumoi, mengapa kau menangkis?

Suci, engkau tidak berhak membunuhnya! kata gadis itu dan suaranya sungguh merdu dalam pedengaran Keng Han..

Singgg... tranggggg...!! Bunga-bunga api menyilaukan mata Keng Han ketika ada pedang lain menangkis pedang yang ditusukkan Bi-kiam Nio-cu kepadanya itu.

Subo sudah menyuruh aku membunuhnya, Sumoi! bantah Bi-kiam Nio-cu.

Subo mengira bahwa dia mencintamu, Suci. Subo menyuruh bunuh kalau ada laki-laki yang mencinta kita. Akan tetapi engkau hendak membunuhnya karena engkau marah mendengar bahwa dia tidak mencintamu. Aku sudah mendengar semua percakapan kalian. Apakah engkau ingin aku melapor kepada subo betapa engkau membujuknya untuk minggat dan menikah denganmu?

Sumoi....!! Tadi engkau membantuku menangkapnya dan sekarang....

Tadi aku membantumu karena melihat engkau tidak dapat mengalahkannya. Dan aku melarang engkau membunuh karena memang engkau tidak berhak membunuhnya. Sudahlah, Suci. Kita bebaskan pemuda yang tidak berdosa ini. Nanti aku yang memberi penjelasan kepada subo bahwa pemuda itu tidak mencintamu dan bahwa engkau pun hanya bersahabat saja dengan dia tidak mempunyai hubungan apa pun. Subo pasti akan dapat mengampunimu.

Dengan uring-uringan Bi-kiam Niocu diam saja dan gadis berpakaian putih itu lalu menarik kembali sabuknya yang lepas dari tubuh Keng Han. Pemuda itu telah bebas dan dia tidak tahu harus berkata apa. Akan tetapi mengingat bantuan Bi-kiam Nio-cu kepadanya dia lalu memberi hormat kepada wanita itu dan berkata, Nio-cu, banyak terima kasih kuucapkan atas bantuanmu selama ini. Dan Nona, terima kasih bahwa engkau telah menyelamatkan nyawaku! katanya pula kepada gadis berpakaian putih itu sambil memberi hormat. Karena kedua orang gadis itu tidak menjawab, Keng Han lalu melangkah pergi dan tidak menengok kembali.

Bukit Menjangan berada di Pegunungan Cin-ling-san. Disebut demikian karena di bukit itu banyak terdapat binatang kijang dan menjangan. Tadinya banyak pemburu yang mencari binatang itu di Bukit Menjangan sehingga jumlah binatang itu makin lama semakin berkurang. Akan tetapi pada suatu hari datanglah seorang datuk yang memilih tempat itu sebagai tempat tinggalnya dan semenjak dia tinggal di situ, tidak ada lagi pemburu berani naik ke Bukit Menjangan. Tadinya memang ada yang naik, akan tetapi setiap kali ada pemburu berani naik ke bukit itu, dia turun lagi dengan digotong karena terluka parah. Karena penyerangnya tidak nampak, hanya bayangannya saja dan pemburu yang terluka itu menggigil kedinginan, maka tersiarlah berita bahwa penyerangnya tentu siluman dan sejak itu tidak ada lagi yang berani berburu binatang di Bukit Menjangan. Pegunungan Cin-ling-san amat luasnya dan terdapat puluhan bukit sehingga mereka mengalihkan ladang perburuan mereka ke bukit lain.

Sebetulnya siapakah datuk yang kini bertempat tinggal di Bukit Menjangan itu? Kalau saja ada yang berani dan mampu naik menyelidiki, dia akan melihat sebuah pondok bambu berada di puncak bukit dan yang tinggal di situ adalah seorang laki-laki raksasa yang rambutnya sudah putih semua dan usianya sudah tujuh puluh lima tahun lebih. Dia itu bukan lain, adalah Swat-hai Lokwi yang pernah menyerang Keng Han ketika pemuda itu pertama kali datang ke Pulau Hantu. Sebagai seorang datuk besar, Swat-hai Lo-kwi juga tertarik dengan munculnya Pulau Hantu dan dia telah melakukan penyelidikan ke sana dan telah berkelahi melawan tiga puluh orang pimpinan Harimau Hitam yang kemudian dibunuhnya satu demi satu. Bahkan dia pun telah melukai Keng Han dengan pukulannya yang mengandung racun berhawa dingin. Akan tetapi kemudian dia merasa jerih menyaksikan betapa pulau itu dihuni ular-ular merah yang amat berbahaya. Dan melihat pulau itu kosong tidak ada apa-apanya yang berharga, dia lalu pergi meninggalkan Pulau Hantu dan akhirnya dia tertarik oleh pemandangan di Bukit Menjangan itu dan memilihnya sebagai tempat tinggalnya. Dan sejak dia tinggal di situ, dia tidak memperkenankan siapapun juga naik ke bukit. Yang berani naik tentu dipukulnya dengan pukulannya yang membuat orang menggigil kedinginan sehingga akhirnya tempat itu tidak ada yang berani mengunjungi dan dia tidak lagi merasa terganggu.

Swat-hai Lo-kwi mencari tempat pengasingan yang tidak terganggu orang lain bukan karena ingin bertapa, melainkan karena dia sedang melatih diri dengan semacam ilmu silat yang amat hebat dan dia tidak ingin orang lain melihatnya. Swat-hai Lo-kwi memang memiliki sinkang yang berhawa dingin sekali, dan kini dia melatih diri untuk menyempurnakan sin-kangnya itu sehingga kalau dia menyerang orang, dia dapat membuat lawannya itu menjadi beku darahnya dan tewas seketika! Kurang lebih setahun lamanya dia melatih ilmu itu dan kini dia telah berhasil, yang menjadi kelinci percobaan ilmunya itu adalah binatang-binatang kijang dan menjangan yang berada di bukit itu. Sekarang, dari jarak yang kurang lebih sepuluh meter, dia dapat memukul binatang itu dengan pukulan jarak jauhnya dan binatang itu roboh dan tewas dalam keadaan darahnya beku! Bukan main hebatnya ilmu ini dan Swat-hai Lo-kwi merasa dirinya yang paling jagoan di antara para ahli silat manapun.

Pada suatu pagi yang amat dingin, Swat-hai Lo-kwi menghangatkan diri dengan membuat api unggun dan memanggang daging kijang untuk sarapan pagi. Mendadak dia menjadi waspada dan matanya mengerling ke kiri karena dari arah itu dia mendengar suara langkah orang. Langkah itu demikian ringan sehingga dia merasa heran sekali. Orang yang datang ini pasti seorang yang berilmu tinggi, pikirnya. Akan tetapi dia pura-pura tidak tahu dan masih saja memanggang paha kijang itu dengan tekun sambil menghangatkan tubuh dari serangan hawa dingin pagi itu.

Ha-ha-ha, sudah kuduga bahwa tentu engkau Iblis Lautan Es yang berada di tempat ini karena orang-orang yang terpukul itu mati kedinginan! Tiba-tiba terdengar suara dan ketika Swat-hai Lokwi menoleh, dia melihat seorang kakek tinggi kurus yang memegang sebatang dayung baja berdiri di situ sambil bertolak pinggang dengan tangan kirinya dan bersandar pada dayungnya.

Melihat kakek itu, Swat-hai Lo-kwi juga tertawa bergelak. Ha-ha-ha, kiranya Setan Lautan Timur yang datang. Setan tua, mau apa engkau mengganggu ketenteraman hidupku di tempat ini? Kata-katanya terakhir itu mengandung tantangan.

Wah, sejak kapan Swat-hai Lo-kwi menerima kedatangan seorang sahabat seperti ini? Aku, Tung-hai Lo-mo (Setan Tua Lautan Timur) tidak pernah datang ke suatu tempat tanpa urusan penting. Aku sengaja mengunjungimu untuk urusan penting sekali, penting bagi kita berdua.

Nanti dulu, aku kini tidak mau sembarangan bicara dengan orang yang belum kuketahui sampai mana tingkat kepandaiannya. Mari kita main-main sebentar, hendak kulihat apakah selama ini engkau maju atau bahkan mundur dalam ilmumu, Lo-mo! tantang Swat-hai Lokwi sambil bangkit berdiri.

Bagus, bagus! Engkau masih saja belum berubah, Lo-kwi. Selalu tinggi hati dan menganggap diri sendiri terpandai. Baiklah, majulah dan coba rasakan hebatnya dayung bajaku!

Awas seranganku! Lo-kwi berseru dan dia sudah menyerang dengan tangan kirinya. Serangkum hawa yang amat dingin menyambar. Akan tetapi Lo-mo adalah datuk dari timur yang ilmu kepandaiannya juga amat tinggi. Dia menghindar dan dayungnya meluncur menyapu ke arah pinggang Lo-kwi. Lo-kwi menggunakan tangannya menangkis lalu menyerang lagi lebih hebat dari tadi. Akan tetapi, Lo-mo juga dapat menangkis serangannya dan tidak terpengaruh hawa dingin yang menyambar itu. Keduanya sudah bertanding dengan seru sekali dan sebentar saja lima puluh jurus telah lewat. Merasa betapa lawannya benar-benar tangguh, Lo-kwi lalu menyerang dengan pukulan jarak jauhnya, yang selama setahun ini dilatihnya di bukit itu.

Hyaaaaattt.... ahhhhh! Dia berseru dengan suara melengking dan dari kedua telapak tangannya nampak sinar putih kebiruan menyambar ke arah lawan.

Tung-hai Lo-mo agaknya maklum akan hebatnya serangan jarak jauh ini. Dia menancapkan tongkatnya di atas tanah lalu dia pun mengerahkan tenaga sinkangnya dan dalam keadaan setengah berjongkok dia menyambut pukulan jarak jauh itu.

Wuuuttttt.... desss....!! Keduanya terdorong ke belakang dan Tung-hai Lomo agak menggigil kedinginan, akan tetapi dia segera dapat mengusir hawa itu dengan pengerahan sinkangnya.

Hebat! Pukulanmu itu hebat sekali. Orang lain mana akan mampu menahannya? Aku kagum sekali kepadamu, Lokwi! kata Lo-mo yang merasa kalah kuat dalam adu tenaga ini.

Lo-kwi juga tertawa. Ha-ha-ha, engkau juga telah memperoleh kemajuan pesat, Lo-mo. Nah, engkau memang pantas berunding denganku, lekas katakan apa yang menjadi keperluanmu datang berkunjung ini.

Ha-ha-ha, bicara sih mudah, akan tetapi perut lapar ini perlu diisi. Kulihat panggang daging kijang itu sudah matang.

Mereka lalu makan daging panggang di dekat api unggun dan tidak bicara apa-apa. Lo-mo mengeluarkan sebuah guri arak dan menenggaknya, lalu menyerahkan kepada Lo-kwi.

Ini arak pilihan dari Hang-ciu. Engkau pantas minum bersamaku, Lo-kwi! katanya.

Swat-hai Lo-kwi tanpa sungkan-sungkan lagi menerima guci itu lalu menuangkan isinya ke dalam mulutnya sampai terdengar bunyi menggelegak. Setelah itu barulah keduanya bicara.

Nah, sekarang bicaralah! kata Swathai Lo-kwi.

Begini, Lo-kwi. Orang dengan ilmu kepandaian seperti kita ini, apakah cukup harus begini saja? Tinggal di tempat sunyi, tidak dipandang orang? Padahal, orang-orang macam kita ini sudah sepatutnya kalau memegang kedudukan tinggi, dihormati dan dipandang orang, hidup penuh kemuliaan dan kemewahan.

Swat-hai Lo-kwi mengerutkan alisnya dan memandang kepada Tung-hai Lo-mo dengan alis berkerut. Lo-mo, kalau engkau mengharap agar aku suka menghambakan diri kepada penjajah Mancu untuk memperoleh kedudukan tinggi, engkau mimpi!

Siapa yang hendak mengabdikan diri kepada bangsa Mancu? Aku pun tidak sudi. Akan tetapi persoalannya lain sama sekali. Kita bahkan membantu untuk menjatuhkan Kaisar Mancu yang sekarang ini.

Mendengar ucapan itu, Lo-kwi mulai tertarik. Aku pun tidak mau membantu perkumpulan-perkumpulan pemberontak seperti Pek-lian-pai, Pat-kwa-pai, Thian-li-pang dan sebagainya dan menjadi antek mereka.

Ah, tidak sama sekali. Dengar dulu baik-baik, Lo-kwi. Di kota raja terdapat dua orang pangeran yang pernah dihukum buang oleh kaisar karena mereka hendak membunuh pangeran mahkota. Sekarang kedua orang pangeran itu telah bebas dan kembali ke kota raja. Nah, merekalah yang menghubungi aku dan minta agar aku juga minta bantuanmu. Merekalah yang ingin memberontak, menjatuhkan kaisar yang sekarang bertahta.Hemmm, sama saja. Kalau mereka berhasil, tentu mereka yang menjadi penguasa dan berarti kita harus mengabdi kepada bangsa Mancu. Apa bedanya?

Engkau belum mengerti maksudku. Kita membonceng saja, dan kalau pemberontakan ini berhasil dan kaisar dapat dibunuh kita rebut kedudukan kaisar itu dari tangan mereka! Kita mempunyai harapan menjadi kaisar atau setidaknya menjadi Koksu atau Menteri!

Lo-kwi semakin tertarik. Akan tetapi, apa artinya tenaga kita berdua?

Kita berdua menjadi pembantu utama, dan kedua orang pangeran itu sudah mulai menyusun kekuatan. Kita dapat membujuk partai-partai lain untuk bekerja sama. Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai sudah terbujuk. Juga Bu-tong-pai! Dan Bu-tong-pai bahkan hendak mengadakan pertemuan dengan seluruh perkumpulan dan perorangan yang berjiwa patriot untuk bekerja sama. Dan juga kita harus menghubungi para Pendeta Lama Jubah Kuning yang tentu siap membantu. Pendeknya, gerakan ini harus berhasil baik. Dan kita berdua yang menjadi pembantu utama kedua orang pangeran itu tentu dapat mengatur bagaimana sebaiknya untuk kita berdua. Coba pikir, daripada engkau hidup seperti ini, makan daging kijang panggang, hidup seperti orang liar, bukankah lebih baik mempergunakan kepandaianmu untuk mencari kedudukan setinggi mungkin?

Swat-hai Lo-kwi mulai terbujuk. Dia menyatakan kesanggupannya untuk bekerja sama dengan Lo-mo membantu gerakan Pangeran Tao San dan Pangeran Tao Seng.

Seperti kita ketahui, kedua orang pangeran ini dihukum buang selama dua puluh tahun dan kini mereka telah bebas.

Mereka kembali ke kota raja dan nampaknya mereka sudah bertaubat. Akan tetapi diam-diam mereka menyusun kekuatan untuk memberontak.

Di Pegunungan Bu-tong-san. Pegunungan ini menjadi pusat dari perguruan silat Bu-tong-pai yang amat terkenal. Sejak dahulu Bu-tong-pai memiliki pendekar-pendekar yang amat tangguh sehingga namanya menjadi terkenal dan dihormati semua perguruan lain dan juga para pendekar.

Biasanya, Bu-tong-san nampak sunyi saja karena memang para penduduknya hanya orang-orang dusun yang bersahaja. Akan tetapi pada hari itu, Pegunungan Bu-tong-san menjadi ramai dengan kunjungan banyak orang dari bermacam-macam golongan. Ada yang berpakaian seperti hwesio, ada pula tosu, ada yang berpakaian seperti pengemis dan ada pula yang seperti orang hartawan. Ada yang lemah lembut seperti kaum sastrawan, akan tetapi ada pula yang berpakaian ringkas dan sikapnya gagah perkasa seperti kaum persilatan.

Undangan yang, dilakukan oleh Butong-pai ternyata mendapat banyak sambutan. Siapa tidak mengenal Bu-tongpai? Kalau Bu-tong-pai mengundang semua tokoh kang-ouw, berarti tentu ada keperluan yang amat penting. Bahkan mereka yang tidak diundang sekalipun, hanya mendengar saja bahwa Bu-tong-pai mengundang orang-orang kang-ouw, banyak pula yang memerlukan datang untuk melihat perkembangan, menonton dan menambah pengalaman. Mereka ini dapat menduga bahwa yang diundang oleh Bu-tong-pai tentulah jagoan-jagoan yang berilmu tinggi dan yang hanya mereka dengar namanya saja. Pada waktu itu, yang menjadi ketua Bu-tong-pai adalah Thian It Tosu, seorang tosu berusia enam puluh tahun yang bertubuh sedang, berjenggot dan berkumis panjang. Adapun pembantunya adalah dua orang murid utamanya, yaitu Thian-yang-cu dan Bhok-Im-cu yang pernah berkunjung ke rumah Pendekar Tangan Sakti Yo Han untuk menyampaikan surat dan undangan.

Di antara para tamu itu terdapat pula Yo Han. Isterinya dan puterinya tidak ikut. Yo Han datang ke Bu-tongpai dengan hati diliputi perasaan penasaran dan juga keheranan. Dia tidak mengerti akan sikap Thian It Tosu. Kenapa mendadak tosu itu hendak mengobarkan pemberontakan? Karena khawatir bahwa pertemuan itu akan mendatangkan keributan, maka dia melarang isteri dan puterinya untuk ikut serta. Kalau terjadi keributan, biar dia sendiri yang akan menghadapinya.

Seperti para tamu lain, Yo Han juga disambut oleh kedua orang murid utama itu. Para tamu dipersilakan duduk di sebuah ruangan yang luas sekali dan mereka mendapatkan tempat duduk yang diatur menurut kedudukan masing-masing. Ada tempat bagi para ketua perguruan dan para tokoh tingkatan tua, dan ada tempat bagi yang muda-muda. Yo Han sebagai seorang pendekar yang amat terkenal mendapat tempat kehormatan di antara para ketua perguruan yang terkenal. Tentu saja Yo Han bertemu dengan muka-muka lama yang sudah dikenalnya dan terjadilah pertemuan yang cukup menggembirakan di antara mereka.

Anehnya, Thian It Tosu sendiri belum kelihatan menyambut. Ketika ada yang menanyakan kepada Thian-yang-cu, atau Bhok-im-cu, kedua orang tosu ini menjawab bahwa suhu mereka sedang samadhi dan nanti kalau sudah tiba saatnya tentu akan keluar menyambut para tamu.

Setelah para tamu datang memenuhi ruangan itu, barulah Thian It Tosu muncul, Yo Han yang sudah mengenal baik tosu itu melihat betapa wajah tosu itu agak pucat, seperti orang yang sedang menderita sakit. Thian It Tosu mengangkat kedua tangan depan dada memberi hormat kepada para tamu dan berkata dengan suara parau, Harap Cuwi maafkan, saya sedang sakit batuk dan serak. Lalu dia mempersilakan semua orang duduk dan dia sendiri duduk di kursi ketua yang sudah dipersiapkan.

Thian-yang-cu lalu berdiri dan memberi hormat kepada semua orang yang hadir, Harap Cu-wi semua suka memaafkan. Agaknya Suhu menderita sakit mendadak, batuk dan suaranya hampir hilang. Karena itu, pinto yang ditunjuk sebagai wakil pembicara.

Semua orang mengangguk-angguk dan maklum. Betapapun lihainya seseorang, apalagi kalau sudah tua, dapat saja terserang penyakit, dan penyakit yang diderita Thian It Tosu itu biarpun tidak berat, namun membuat dia tidak mampu mengeluarkan suara sehingga sudah sepantasnya kalau diwakili oleh murid utamanya.Seperti Cu-wi semua ketahui dari undangan Suhu, Cu-wi diminta berkumpul untuk menyatakan persetujuan atas usul Suhu, yaitu mempersiapkan diri untuk menyerang kota raja dan menggulingkan kedudukan kaisar Mancu. Sudah tiba saatnya bangsa kita dibebaskan dari belenggu penjajah bangsa Mancu. Kita semua yang berkumpul di sini adalah kaum patriot yang mencinta tanah air dan bangsa. Melihat bangsa kita dijajah penjajah Mancu, apakah kita harus berpangku tangan saja? Kita harus bergerak, dan sekaranglah saatnya, selagi kaisar yang memegang tampuk pemerintahan seorang yang lemah. Kalau kita bersatu dan menyerbu kota raja, tentu kita akan menang dan dapat merampas istana, mengakhiri penjajahan!

Ketika Thian-yang-cu berhenti bicara, suasana menjadi gaduh sekali karena masing-masing saling bicara sendiri. Thian It Tosu membiarkan mereka berunding sendiri, lalu memberi isyarat dengan tangannya kepada Thian-yang-cu, membisikkan sesuatu. Thian-yang-cu lalu bangkit berdiri lagi dan mengangkat kedua tangan ke atas.

Mohon tenang, saudara sekalian. Kami percaya bahwa Cu-wi (Saudara sekalian) yang berwatak patriot tentu menyetujui pendapat dan usul ketua kami. Yang setuju, tinggal mempersiapkan diri saja, kalau waktunya telah tiba tentu akan diberitahu. Terutama sekali para ketua perkumpulan, harap mempersiapkan anak buahnya untuk sewaktu-waktu menerima panggilan dan bergabung dengan kami. Kalau ada yang hendak menyatakan pendapatnya, silakan, akan tetapi satu-satu saja, agar mudah didengar.

Mendadak terdengar suara lembut. Omitohud....! Semua orang memandang dan ternyata yang bicara itu adalah seorang hwesio tinggi besar yang mewakili Siauw-lim-pai. Kami dari Siauw-lim-pai tidak begitu setuju dengan usul Bu-tong-pangcu. Memang benar kami semua berjiwa patriot dan ingin melihat bangsa kita terbebas dari belenggu penjajahan. Akan tetapi apa yang dapat kita perbuat dalam keadaan seperti sekarang ini? Biarpun kita semua hendak berjuang, akan tetapi harus diketahui dengan siapa kita berjuang dan bagaimana pula keadaan kekuatan kita. Pinceng melihat di sini banyak pula perkumpulan yang hanya berkedok pejuang akan tetapi tidak segan melakukan kejahatan terhadap rakyat, Bekerja sama dengan mereka itu merupakan pantangan bagi kami. Bu-tong-pangcu tentu mengerti siapa-siapa yang kami maksudkan itu dan sebaiknya kalau mereka itu tidak diajak berunding tentang perjuangan. Setelah berkata demikian hwesio itu duduk kembali dan seperti tadi, mereka semua saling bicara sendiri dengan gaduhnya.

Pada saat itu, Yo Han yang sejak tadi merasa penasaran sekali melihat hadirnya perkumpulan-perkumpulan sesat seperti Pek-lian-pai, Pat-kwa-pai dan, lain-lain, juga sudah bangkit berdiri dan suaranya terdengar lembut namun lantang sehingga mengatasi semua suara dan semua orang terdiam mendengarkan.

Kami dari Thian-li-pang ingin bicara!

Thian It Tosu sendiri berdiri dan memberi isyarat dengan tangan mempersilakannya bicara. Thian It Totiang, Totiang bukanlah kenalan baru dari kami dan kami sudah mengenal bahwa Bu-tong-pai adalah sebuah perkumpulan yang berjiwa patriot di samping berwatak pendekar. Oleh karena itu, saya tidak menganggap aneh kalau Bu-tong-pai mengajak untuk bangkit melawan penjajah walaupun sekarang belum tiba saatnya melihat kekuatan musuh dan kekuatan kita sendiri yang masih terpecah belah. Akan tetapi melihat betapa Bu-tong-pai juga mengundang perkumpulan-perkumpulan sesat, sungguh ini tidak sesuai dengan kependekaran Bu-tong-pai. Kami setuju dengan pendapat Losuhu dari Siauw-lim-pai tadi bahwa banyak perkumpulan yang berkedok pejuang namun sesungguhnya hanya merupakan perkumpulan sesat yang suka mengganggu rakyat. Selama mereka itu masih mencampuri urusan kami, maka tentu akan timbul kekacauan. Kami mohon Thian It Tosu mempertimbangkan kembali dan mengusir golongan sesat dari pertemuan ini, barulah kita bicara tentang perjuangan. Selama mereka itu hadir, kami tidak suka ikut dalam pertemuan ini!

Thian It Tosu kembali berbisik kepada Thian-yang-cu dan wakilnya ini lalu berdiri dan bicara, Yo-pangcu dari Thian-li-pang, harus suka bicara terus terang.

Siapakah di antara kita ini yang disebut golongan sesat? Justeru dalam perjuangan, semua kekuatan harus dipersatukan. Harap jelaskan siapa yang dianggap golongan sesat agar persoalan menjadi terang.Karena ditantang untuk berterus terang, Yo Han tanpa ragu-ragu lalu berseru dengan suara gagah, Perlukah itu disebutkan lagi? Semua orang gagah di sini mengetahui siapa-siapa tokoh sesat yang ikut hadir di sini. Dan tentang perkumpulan golongan sesat, siapa tidak tahu bahwa Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pang merupakan perkumpulan sesat? Mengapa mereka menerima undangan pula? Kami, bagaimanapun juga, tidak dapat bekerja sama dengan mereka itu!

Kini Thian It Tosu bangkit berdiri dan dengan suaranya yang parau dia berkata, Yo-pangcu bicara tidak adil! Bukankah tadi Yo-pangcu sendiri mengatakan bahwa pihak musuh terlalu kuat sedangkan fihak kita masih terpecah belah. Mengapa tidak mengajak dua perkumpulan itu? Dalam keadaan begini kita harus bersatu padu, menghilangkan kepentingan sendiri demi perjuangan!

Tidak mungkin! Perjuangan kita akan diselewengkan oleh mereka yang memang sesat itu dan selain perjuangan akan gagal, juga nama baik kita sebagai pendekar akan menjadi rusak. Disangkanya kita juga melakukan perampokan dan pencurian terhadap rakyat seperti mereka! kata Yo Han dengan lantang pula.

Dari pihak Pek-lian-pai muncullah Thian-yang-ji, seorang tosu tokoh Peklian-kauw yang berusia lima puluh tahun lebih dan dia sudah memegang pedang telanjang di tangan kanannya. Telunjuk kirinya menuding ke arah Yo Han sambil berteriak, Yo-pangcu dari Thian-li-pang sungguh terlalu menghina kami dari Pek-lian-pai. Sudah lama pinto mendengar akan kehebatan ilmu dari ketua Thian-li-pang, kalau sekarang engkau menghina kami berarti menantang kami. Mari kita selesaikan urusan ini di ujung pedang.

Benar, Yo-pangcu juga menghina Pat-kwa-pai, kami juga menantang Yo-pangcu untuk menyelesaikan urusan di ujung pedang! terdengar seruan dan seorang laki-laki berusia empat puluh tahun tokoh Pat-kwa-pai juga berdiri sambil menghunus pedang.

Yo Han tersenyum mengejek. Kita adalah tamu-tamu. Aku tidak mau menghina tuan rumah dengan bertindak sendiri. Kecuali kalau tuan rumah mengijinkan, aku akan menerima tantangan kalian dan kalian berdua boleh maju bersama!

Akan tetapi Thian It Tosu segera bangkit berdiri dan berseru dengan suaranya yang parau, Harap Sam-wi suka melihat muka pinto dan tidak mengadakan keributan dan perkelahian di sini! Yo-pangcu, kami sungguh tidak dapat menyetujui pendapat Pangcu itu. Pada saat seperti sekarang ini, kami membutuhkan sebanyak mungkin tenaga untuk menentang pemerintah, baik dari golongan manapun juga, tidak pandang bulu. Kecuali mereka yang tidak mau bekerja sama dengan kami, terpaksa kami tolak kehadirannya di sini. Yang mau membantu dan bekerja sama untuk berjuang, kami anggap tamu kehormatan kami.

Pada saat itu Keng Han juga berada di antara para tamu golongan muda. Dia datang ke Bu-tong-san untuk menuntut ketua Bu-tong-pai tentang permusuhannya dengan mendiang gurunya, Gosang Lama seperti yang dipesan oleh gurunya itu. Ketika dia sedang mendengarkan perbantahan tadi, tiba-tiba lengannya disentuh orang. Ketika dia menoleh, dia terbelalak heran dan juga kaget dan senang karena yang menyentuh lengannya itu bukan lain adalah Kwi Hong, gadis yang pernah dia jumpai di kota Tung-san ketika gadis itu menghajar para murid Pek-houw Bu-koan yang bersikap kurang ajar kepadanya.

Hong-moi, kau di sini?

Han-ko, engkau juga di sini, mau apakah. Apakah engkau juga hendak memberontak?

Ah, tidak. Aku mempunyai urusan pribadi dengan ketua Bu-tong-pai.

Hemmm, tentu karena pesan gurumu itu, bukan? Berbahaya sekali, Han-ko.

Dia lihai bukan main dan kaulihat sendiri, di sini banyak temannya yang juga terdiri dari orang-orang tua angkatan tinggi yang lihai bukan main.

Aku tidak takut. Bahkan banyak orang ini biar menjadi saksi akan kejahatan Bu-tong-pai yang memusuhi guruku yang tidak berdosa. Jangan, Han-ko. Biarlah aku membubarkan dulu mereka ini, baru engkau bicara dengan ketua Bu-tong-pai. Setelah berkata demikian, gadis itu berdiri dan dengan lantang berkata, ditujukan kepada ketua Bu-tong-pai yang baru saja menjawab ucapan Yo Han tadi.

Heiii, apa yang kudengar ini? Bu-tong-pai hendak memberontak terhadap pemerintah dan membujuk semua orang untuk memberontak? Apakah tidak takut akan balatentara kerajaan yang tentu hendak membasmi kalian semua? Janganlah bertindak begitu bodoh!

Semua orang terkejut bukan main mendengar ucapan itu. Kwi Hong sendiri agaknya lupa bahwa ia sedang menyamar, bukan sebagai puteri Pangeran Mahkota, melainkan sebagai gadis kang-ouw biasa! Beberapa orang murid Bu-tong-pai sudah mengepung tempat itu dan siap untuk turun tangan.

Melihat ini, Yo Han yang mengkhawatirkan keadaan gadis itu segera berseru, Tahan dulu! Gadis itu hanya memberi peringatan dan ucapannya memang benar. Kita ini bukan apa-apa kalau berhadapan dengan pasukan pemerintah. Apa artinya beberapa ribu anggauta kita semua yang dikumpulkan melawan ratusan ribu pasukan pemerintah? Hanya akan mati konyol dan bunuh diri belaka. Sudah kukatakan bahwa sekarang belum waktunya bergerak, bukan berarti bahwa aku tidak suka berjuang membebaskan rakyat dari penjajahan!

Nah, itu baru kata-kata, yang bijaksana. Yo-pangcu memang benar sekali. Kalau kita ketahuan pemerintah, kita tentu akan terbasmi habis. Karena itu sebaiknya kita sekarang bubaran saja sebelum ada pasukan pemerintah yang datang! kata pula Kwi Hong dengan suaranya yang lantang.

Ucapan Kwi Hong dan terutama Yo Han itu berpengaruh sekali. Mereka yang diam-diam merasa tidak setuju dengan tindakan Bu-tong-pai yang tergesa-gesa, segera meninggalkan tempat itu! Dan akhirnya hanya tinggal Pek-lian-pai, Pat-kwa-pai dan beberapa rombongan kaum sesat saja yang tinggal. Perkumpulan para pendekar seperti Siauw-lim-pai dan lain-lain sudah meninggalkan tempat itu, menganggap bahwa Bu-tong-pai lancang dan tidak mengenal keadaan. Hal ini membuat Thian It Tosu marah, sekali dan dia memandang ke arah Kwi Hong dengan mata melotot. Akan tetapi pada saat itu, Keng Han sudah melangkah maju menghadapi ketua Bu-tong-pai itu dan berkata dengan suara nyaring, Butong Pangcu, saya bernama Si Keng Han dan saya datang bukan untuk urusan pemberontakan, melainkan untuk bertanya kepada Bu-tong-pai mengapa Bu-tong-pai memusuhi guruku yang tidak bersalah.

Thian It Tosu mengelus jenggotnya. Siancai, siapakah gurumu? tanyanya dengan suara yang parau.

Guruku bernama Gosang Lama!

Gosang Lama, Pendeta Lama Jubah Kuning itu? Akan tetapi kami tidak memusuhinya! jawab Thian It Tosu, kelihatan bingung.

Thian-yang-cu yang maju dan melanjutkan keterangan ketuanya. Gosang Lama tidak ada sangkut pautnya dengan kami, akan tetapi dia berani melukai beberapa orang murid kami. Karena itulah kami melawannya dan berhasil mengusirnya dari sini. Jadi benar ucapan Pangcu tadi, bukan kami yang memusuhi, melainkan Gosang Lama sendiri, dan karena engkau muridnya, tentu engkau akan membalaskan kekalahan gurumu itu! Thian-yang-cu melompat ke depan diikuti Bhok-im-cu dan kedua orang tosu ini berdiri di depan Keng Han dengan sikap menantang. Kalian mundurlah! kata Thian It Tosu kepada dua orang murid utamanya, kemudian dia berdiri dan menghadapi Keng Han. Gosang Lama yang memusuhi kami dan kami yang bertanggung jawab atas kekalahannya dari kami, karena itu kalau engkau hendak membalas atas kekalahannya itu, pinto yang akan menghadapimu, orang muda!

Keng Han merasa tidak enak kalau berdiam diri. Bagaimanapun juga, dia harus menghormati pesan terakhir dari gurunya. Dia sudah gagal melaksanakan pesan gurunya untuk membunuh Dalai Lama, apakah sekarang dia juga harus gagal memenuhi pesan yang kedua? Setidaknya, dia harus memperlihatkan sikapnya yang memusuhi Bu-tong-pai seperti diharapkan gurunya.

Bagus! Hendak kulihat sampai di mana kelihaian Bu-tong-pai yang telah mengalahkan guruku! katanya sambil memasang kuda-kuda untuk menghadapi Thian It Tosu.

Ha-ha-ha, siancai....! Biarpun badanku sedang sakit, akan tetapi engkau tidak akan mampu mengalahkan aku, orang muda. Sebaiknya engkau menyadari kesalahan gurumu dan tidak menuntut balas agar engkau tidak sampai tewas atau terluka.

Yo Han memandang heran. Kenapa Thian It Tosu sekarang bersikap seperti itu? Kata-katanya bernada angkuh, padahal biasanya Thian It Tosu orangnya penyabar dan tentu tidak mau melayani tantangan seorang pemuda seperti itu. Dia mulai merasa tidak senang. Thian It Tosu kini sudah berubah. Agaknya dia telah terbujuk oleh orang-orang Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai sehingga kini bukan saja, berniat untuk memberontak, akan tetapi juga sikapnya mulai keras. Di samping itu, dia juga merasa sayang kalau sampai pemuda itu tewas di Bu-tong-pai, hanya untuk membela seorang guru yang berada di pihak yang bersalah.

Dia pun sudah mendengar tentang pemberontakan Lama Jubah Kuning di Tibet, maka kalau guru pemuda ini seorang Lama Jubah Kuning, mungkin Lama itulah yang berada di pihak yang bersalah.

Akan tetapi dia sudah terlambat karena Keng Han sudah menyerang dengan cepat kepada tosu itu. Namun serangannya dapat dielakkan oleh Thian It Tosu. Pemuda itu menyerang lagi dan begitu dia memainkan ilmu silatnya, Yo Han hampir berseru saking kagetnya. Dia sendiri tidak mempelajari ilmu silat itu, akan tetapi dia mengenal ilmu silat itu, karena isterinya juga menguasainya. Itulah Hong-in Bun-hoat, ilmu silat yang mencorat-coret di udara seperti orang menuliskan huruf dengan gerakan silatnya! Itulah ilmu keturunan keluarga Pulau Es.

Keng Han yang maklum akan kelihaian ketua Bu-tong-pai, segera melakukan pukulan jarak jauh dengan tenaga sinkangnya. Kakek itu menahan dengan kedua tangan pula dan akibatnya, keduanya terpental ke bolakang.

Yo Han makin terkejut. Dia maklum akan kelihaian ketua Bu-tong-pai itu, akan tetapi pemuda itu mampu membuat ketua itu terdorong ke belakang walaupun dia sendiri pun terdorong ke belakang. Sementara itu, Thian It Tosu juga terkejut bukan main dan menjadi penasaran. Dia sudah meloncat maju lagi dan kini dia mencabut sebatang pedang yang berkliauan sinarnya, dan itulah pedang pusaka Pek-coa-kiam (Pedang Ular Putih). Yo Han maklum benar betapa bahayanya kalau Thian It Tosu sudah mencabut pedang, karena selain pedang itu merupakan pusaka yang ampuh, juga ketua itu memang memiliki keahlian dalam permainan pedang. Maka, tanpa ragu lagi dia lalu melompat dan berdiri di antara mereka yang hendak berkelahi.

Harap tahan dulu! serunya lantang.

Thian It Tosu sudah marah itu menegur, Yo-pangcu, apakah engkau hendak mencampuri urusan Bu-tong-pai? Tidak sama sekali, Totiang. Aku hanya ingin memperingatkan bahwa tidak semestinya Totiang melayani pemuda ini. Gurunya boleh jadi bersalah terhadap Butong-pai, akan tetapi pemuda ini tidak bersalah apa-apa. Dia hanya ingin membalaskan kekalahan gurunya dan tidak perlu sampai Totiang mencabut pedang dan membunuhnya! Bukankah sudah sewajarnya kalau yang tua dan yang lebih tinggi tingkatnya mengalah dan menggunakan kesabaran?

Thian It Tosu mengerutkan alisnya. Siancai, kata-katamu memang masuk akal, Pangcu. Akan tetapi engkau tadi tentu melihat dan mendengar sendiri betapa bocah ini yang menantang, bukan kami yang memulai.

Mungkin karena dia tidak mengerti dan biarlah saya yang mencoba menyadarkannya, Totiang. Setelah berkata demikian, Yo Han lalu menghadapi pemuda itu dan sejenak dia memandang penuh perhatian. Dari sinar mata pemuda itu dia dapat menduga bahwa pemuda itu bukan orang jahat melainkan seorang yang pemberani dan keras hati.

Orang muda, dengarlah nasihatku baik-baik. Apa yang kaulakukan ini sama sekali keliru dan menyimpang dari kebenaran.

Keng Han mengerutkan alisnya memandang. Dia tadi sudah merasa suka kepada Yo Han yang menentang kehendak Bu-tong-pai yang mengajak memberontak terhadap pemerintah. Kalau ayah kandungnya sekarang sudah menjadi kaisar, bukankah berarti pemberontakan itu ditujukan kepada ayahnya? Atau setidaknya pemberontakan ini ditujukan kepada keluarganya karena ayahnya adalah Pangeran Mahkota. Tentu saja niat memberontak Bu-tong-pai itu sudah membuat hatinya tidak senang dan dia condong menyetujui pendapat Yo Han yang menentang niat itu.

Paman, harap Paman tidak mencampuri urusan kami. Bagaimana Paman dapat mengatakan perbuatanku keliru dan menyimpang dari kebenaran? Bukankah sudah selayaknya kalau seorang murid membela gurunya yang sudah mati? Sebelum meninggal dunia, guru saya memesan agar saya membalaskan permusuhannya dengan Bu-tong-pai.

Membalas dendam itu sendiri merupakan perbuatan yang tidak benar, hanya menurutkan nafsu kebencian dan amarah. Setelah engkau mendapat keterangan bahwa gurumu berada di pihak yang bersalah, apakah engkau akan melanjutkan balas dendammu itu? Bukankah kalau begitu berarti engkau akan menambah beban dosa gurumu? Sepatutnya engkau menebus kesalahan gurumu dengan perbuatan yang benar, bukan memperbesar dosa itu dengan perbuatan yang tidak benar. Engkau masih muda dan perlu banyak belajar dari kehidupan, jangan menurutkan nafsu. Apa yang dapat kaulakukan terhadap perkumpulan Bu-tong-pai yang besar? Dan ketahuilah, aku sendiri menjadi saksi bahwa perkumpulan Bu-tong-pai terdiri dari pendekar-pendekar yang berilmu tinggi dan tidak biasa melakukan kejahatan.

Keng Han merasa terpukul sekali. Nasihat itu hampir sama dengan nasihat yang diterimanya dari Dalai Lama.

Pada saat itu, Kwi Hong sudah berada di sampingnya. Apa yang diucapkan Paman ini semua benar, Han-ko. Marilah kita pergi dari tempat ini. Arwah suhumu tentu akan mengampunimu kalau dia menginsafi kesalahaannya.

Kwi Hong menarik tangannya dan Keng Han tidak membantah lagi ketika ditarik pergi oleh Kwi Hong. Adapun Yo Han merasa senang sekali melihat pemuda itu sudah mau meninggalkan tempat itu. Dia sendiri lalu memberi hormat kepada Thian It Tosu dan berkata, Terima kasih atas undangan Totiang, dan saya mohon diri karena merasa tidak pada tempatnya kalau saya menghadiri pertemuan ini. Melihat dua orang tokoh Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai yang tadi menantangnya, dia menambahkan sambil menoleh ke arah mereka. Kalau masih ada yang merasa penasaran dengan pendapatku tadi dan hendak menyelesaikan urusan dengan kekerasan, saya dapat melayaninya di kaki gunung, di luar wilayah Bu-tong-pai.

Setelah berkata demikian, Yo Han pergi dan setelah dia pergi, lebih banyak lagi orang yang meninggalkan tempat itu. Terpaksa Thiat It Tosu melanjutkan perundingannya dengan orang-orang yang sebagian besar dari golongan sesat.

Orang muda, perlahan dulu!

Keng Han yang sedang berjalan bersama Kwi Hong itu terkejut dan menahan langkahnya, lalu memutar tubuhnya. Kiranya yang menegurnya adalah ketua Yo Han yang tadi telah menasihatinya.

Ada keperluan apakah Paman menyusul per jalananku? tanya Keng Han dengan sikap hormat.

Aku sengaja mengejar karena ada sesuatu yang ingin sekali kubicarakan denganmu. Bukankah namamu tadi Si Keng Han? Dan Nona ini siapakah?

Namaku Kwi Hong, Paman. kata Kwi Hong ramah. Paman tadi berani sekali menentang para pemberontak itu, untung tidak terjadi perkelahian.

Engkau lebih berani, Nona. Engkau mengancam mereka semua sehingga menyadarkan banyak orang.

Aku hanya bicara sebenarnya. Di waktu yang aman ini, kenapa orang bicara tentang pemberontakan? Kalau ketahuan pemerintah, bukankah itu mencari penyakit namanya?

Paman, kata Keng Han. Urusan apakah yang hendak Paman bicarakan dengan aku?

Begini Keng Han. Benarkah gurumu itu Gosang Lama?

Benar sekali.

Akan tetapi aku melihat gerakan ilmu silatmu tadi sama sekali tidak asing bagiku. Bukankah engkau tadi menggunakan ilmu silat Hong-in Bun-hoat, ilmu dari keluarga Pulau Es? Apakah engkau masih keluarga atau murid keluarga Pulau Es?

Sama sekali bukan, Paman. Terus terang saja, aku mempelajari ilmu itu dari Pulau Hantu, melalui coretan-coretan di dinding gua di sana.

Ahhh, engkau telah mewarisi ilmu yang menjadi pusaka Pulau Es!

Akan tetapi tiba-tiba mereka menghentikan bicara mereka karena mereka mendengar gerakan orang. Dan tak lama kemudian tempat itu sudah penuh dengan orang-orang Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai, jumlah mereka tidak kurang dari lima puluh orang, dipimpin oleh Thian-yang-ji, tokoh Pek-lian-kauw itu dan seorang tosu bernama Koai Tosu tokoh Pat-kwa-pai. Di dekat mereka masih terdapat seorang pemuda yang amat gagah perkasa, tinggi besar dan berwajah tampan, matanya lebar sekali menambah ketampanan wajahnya yang bundar.

Yo-pangcu, engkau tadi menantang kami. Nah, sekarang kami datang untuk mencoba kepandaian ketua Thian-li-pang! kata Thian-yang-ji dengan marah.

Ketua Thian-li-pang ternyata hanya seorang penakut yang berpura-pura menjadi patriot, tidak berani diajak berjuang melawan penjajah! kata pula Koai Tosu.

Yo Han memandang dengan senyum mengejek. Sikapnya yang tenang membuat Keng Han dan Kwi Hong kagum sekali. Dikepung lima puluh orang lebih masih demikian tenangnya. Benar-benar seorang gagah perkasa ketua Thian-li-pang ini. Diam-diam Keng Han mengambil keputusan untuk membela ketua Thian-li-pang ini sekuat tenaga.

Menggunakan banyak orang untuk menggertak, apakah ini yang dinamakan gagah perkasa? Mengandalkan pengeroyokan untuk mendapat kemenangan, anak kecil pun bisa dan terutama orang-orang yang curang sekali! kata Kwi Hong dengan lantang.

Gadis lancang mulut! Tadi pun di sana engkau bicara seolah engkau membela kerajaan Mancu, apakah engkau menjadi antek atau mata-mata Mancu? Untuk melawanmu, tidak perlu keroyokan, pinto sendiri saja pun cukup untuk melawanmu! kata Koai Tosu menantang gadis itu. Bagus! Siapa takut kepada segala macam tosu bau? Jubahmu saja seperti tosu dan pertapa, akan tetapi siapa tidak tahu dalamnya? Engkau seperti buaya berkulit ikan emas, di luarnya bagus di dalamnya busuk. Aku tidak takut kepadamu! Kata Kwi Hong sambil mencabut pedangnya. Gadis yang pakaiannya serba biru ini membusungkan dada dan memandang dengan mata bersinar-sinar.

To-yu, hati-hatilah. Melihat hiasan rambut gadis itu, agaknya ia yang disebut orang Si Bangau Emas! kata Thian-yang-ji memperingatkan kawannya.

Wah, kebetulan sekali kalau begitu. Benarkah engkau Si Bangau Emas, Nona? tanya Koai Tosu.

Kalau benar, mau apa? Lekas engkau minggat dari sini kalau takut!

Ha-ha-ha, masih muda namun mulutnya tajam sekali dan lagaknya seperti seekor naga. Bagus, mari kita main-main sebentar, Nona! Koai Tosu juga mencabut pedangnya dan Kwi Hong segera menyerang dengan hebatnya. Demikian ganas serangannya sehingga lawannya terkejut dan tidak berani memandang ringan. Apalagi ketika Kwi Hong memainkan Ngo-heng Sinkiam, tosu itu segera terdesak dan terpaksa harus memutar pedangnya untuk melindungi tubuhnya dari serangan yang dahsyat sekali itu.

Sementara itu, Thian-yang-ji berkata kepada Yo Han, Yo-pangcu, mari kita selesaikan urusan di antara kita dengan senjata! kata-kata ini dilanjutkan dengan pencabutan pedangnya.

Majulah, Totiang. Senjataku hanyalah kaki tanganku yang diberikan Tuhan kepadaku! jawab Yo Han dan memang ketua Thian-li-pang ini tidak pernah menggunakan senjata. Selain dia mengandalkan kaki tangannya, juga ilmu kepandaiannya sudah sedemikian tingginya sehingga apa pun yang dipegangnya dapat di jadikan senjata!

Bagus, engkau sendiri yang mengatakan jangan bilang bahwa pinto curang! kata tosu itu sambil menyerang dengan pedangnya. Akan tetapi dengan mudahnya Yo Han mengelak sambil membalas serangan tosu yang cukup lihai itu.

Keng Han melihat betapa lihainya lawan Kwi Hong sehingga dia merasa khawatir akan keselamatan nona ini. Hong-moi, biarkan aku saja melawan tosu itu! katanya.

Akan tetapi pemuda tinggi besar dan gagah itu sudah maju menghadapinya. Sobat, engkau adalah lawanku. Mari majulah kalau engkau memang memiliki kegagahan!

Sebetulnya Keng Han enggan berkelahi dengan orang itu tanpa alasan apa pun. Maka dia ragu-ragu dan tidak menjawab, hanya memperhatikan Kwi Hong yang sesungguhnya bertemu lawan yang tangguh. Biarpun gadis ini memiliki ilmu pedang Ngo-keng Sin-kiam yang ampuh, namun ia kalah pengalaman sehingga setelah tosu itu mulai mengenal gerakannya, gadis itu berbalik terdesak mundur.

Pemuda itu karena tidak ditanggapi oleh Keng Han, juga memperhatikan jalannya perkelahian. antara Yo Han dan Thian-yang-ji. Alisnya berkerut melihat betapa Yo Han mempermainkan Thian-yang-ji. Biarpun ketua Thian-li-pang itu hanya bertangan kosong saja dan Thian-yang-ji bersenjata pedang, namun jelas nampak betapa dalam belasan jurus saja Thian-yang-ji mulai terdesak hebat. Melihat ini, pemuda itu mengeluarkan teriakan mengguntur dan melompat dekat lalu menyerang Yo Han dengan pukulan jarak jauh yang mendatangkan angin besar.

Yo Han tekejut dan menangkis. Tangkiasan itu membuat dia mundur dua langkah, akan tetapi pemuda itu pun terhuyung mundur. Melihat pemuda itu melakukan pengeroyokan, Keng Han menjadi penasaran. Jangan curang! Keng Han berseru dan dia lalu menyerang pemuda itu. Pemuda itu menangkis dan kembali dua tenaga yang dahsyat bertemu. Akibatnya Keng Han terdorong mundur, akan tetapi pemuda itu pun terhuyung. Keduanya sama-sama terkejutnya dan maklum bahwa lawan memiliki tenaga yang kuat sekali.

Kini pertandingan menjadi tiga pasang. Kwi Hong masih terdesak oleh Koai Tosu yang lihai sekali ilmu pedangnya. Untung Kwi Hong telah menguasai Ngo-heng Sin-kiam sehingga la masih mampu melindungi dirinya sehingga pedang lawan tidak pernah dapat menembus pertahanannya. Kalau tidak tentu sudah sejak tadi ia roboh, perkelahian antara Yo Han melawan Thian-yang-ji sebaliknya membuat tosu itu terdesak. Walaupun dia berpedang dan Yo Han tidak, namun dia hampir tidak kuat lagi menghadapi ilmu Bu-tek Hoat-keng dari Yo Han yang amat hebat. Akan tetapi yang paling ramai dan dahsyat adalah pertandingan antara Keng Han dan pemuda itu. Mereka ternyata memiliki tenaga yang seimbang. Keng Han memainkan ilmu-ilmu yang didapatinya di Pulau Hantu, yaitu Hong-In Bun-hoat dan Toat-beng Bian-kun, bahkan mengerahkan tenaga panas dan dingin yang berada di tubuhnya. Namun, pemuda itu masih dapat mengimbanginya dengan ilmu silat yang aneh dan bentakan-bentakan yang mengandung kekuatan sihir. Kalau saja Keng Han tidak memiliki sin-kang kuat sekali berkat latihan Hwi-yang Sin-kang dan Swat-im Sin-kang, tentu dia terpengaruh oleh bentakan-bentakan yang mengandung kekuatan sihir itu.

Tiba-tiba Thian-yang-ji yang terdesak itu berseru dan anak buahnya maju mengeroyok, demikian pula dengan anak buah Koai Tosu. Lima puluh orang maju mengeroyok tiga pendekar itu. Tentu saja Yo Han, Kwi Hong dan Keng Han harus mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya menghadapi pengeroyokan itu. Mereka sudah merobohkan beberapa orang pengeroyok, akan tetapi karena lawan mereka tangguh sekali, pengeroyokan itu membuat mereka sibuk juga. Terutama Kwi Hong. Menghadapi Koai Tosu seorang saja ia sudah repot, apalagi dikeroyok belasan orang. Ia mulai mundur dan lelah karena harus menangkis sekian banyak senjata yang menyerangnya. Keadaan gadis itu mulai gawat, sedangkan Yo Han dan Keng Han tidak berdaya menolongnya karena mereka sendiri repot. dengan pengeroyokan itu.

Pada saat yang gawat itu, tiba-tiba terdengar suara kaki kuda yang banyak sekali, dan tak lama kemudian muncul pasukan pemerintah yang tidak kurang dari seratus orang banyaknya. Seorang perwira yang memimpin pasukan itu berseru, Tuan puteri dalam bahaya! Cepat selamatkan beliau! Dan dia sendiri sudah menyerbu dengan pedangnya membantu Kwi Hong yang dikeroyok banyak orang. Para anak buah pasukan itu pun menyerbu dan kini anak buah Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai berbalik menjadi kalang kabut dan terdesak oleh pasukan yang dua kali lipat banyaknya itu.

Melihat ini, Thian-yang-ji terkejut bukan main. Dia memutar pedangnya, melompat mundur dan melihat keadaan yang tidak menguntungkan itu, dia berteriak, Gulam Sang, cepat melarikan diri!

Pemuda tinggi besar yang masih melawan Keng Han mendengar seruan ini lalu melompat ke belakang, sementara Keng Han sendiri tertegun mendengar suara Thian-yang-ji tadi sehingga dia tidak mengejar. Gulam Sang? Dia teringat akan pesan mendiang gurunya, Gosang Lama agar kelak bekerja sama dengan putera suhunya itu yang bernama Gulam Sang! Jadi pemuda tinggi besar itu putera gurunya! Menurut Dalai Lama, putera gurunya itu telah menjadi murid Dalai Lama. Tidak mengherankan kalau dia memiliki ilmu yang tinggi sehingga dalam pertandingan tadi dia tidak mudah mengalahkannya.

Koai Tosu juga melarikan diri bersama Thian-yang-ji, diikuti teman-temannya yang belum roboh.Jangan kejar! teriak Kwi Hong kepada komandan pasukan itu,

Perwira itu, menghampiri Kwi Hong dan memberi hormat. Tuan Puteri tidak apa-apakah? Tidak terluka?

Sama sekali tidak. Untung kalian muncul membantu, kalau tidak tentu kami akan celaka. Bhok-ciangkun, bagaimana engkau dapat muncul bersama pasukanmu di sini?

Kami mendapat tugas dari Yang Mulia Pangeran Mahkota untuk mencari Tuan Puteri. Sudah sebulan lebih kami mencari dan kebetulan saja kami mendapatkan Paduka di sini. Kami pikir, bahwa mungkin sekali Paduka pergi ke Bu-tong-san.

Sementara itu, Yo Han dan Keng Han mendengar semua percakapan itu. Wajah Keng Han berubah saking kagetnya mendengar ucapan panglima itu terhadap Kwi Hong. Tuan puteri? Pangeran Mahkota? Apa artinya ini? Jadi Kwi Hong adalah seorang puteri istana dan masih ada hubungannya dengan Pangeran Mahkota?

Yo Han juga tercengang dan dia lalu memberi hormat kepada Kwi Hong. Kiranya Nona adalah Tuan Puteri dari istana. Maafkan kalau saya bersikap kurang hormat.

Ah, Paman Yo. Puteri atau bukan aku tetap saja sama, dan aku yang berterima kasih. Kalau tidak ada Paman tadi, tentu aku sudah celaka di tangan mereka.

Keng Han memandang gadis itu dan Kwi Hong juga memandangnya. Dua pasang mata bertemu pandang dan melihat pemuda itu diam saja tidak mengeluarkan suara, Kwi Hong tersenyum dan berkata, Han-ko, mengapa engkau diam saja?

Engkau.... engkau adalah puteri istana.... dan aku.... Keng Han tidak dapat melanjutkan kata-katanya karena dia tadinya hendak berkata bahwa dia pun putera Pangeran Mahkota. Untung dia masih ingat dan menyimpan rahasianya. Sebelum dia bertemu dengan ayahnya, dia tidak akan membuka rahasianya.

Benar, aku memang puteri Pangeran Mahkota dan namaku Tao Kwi Hong, lalu mengapa, Han-ko? Aku masih Kwi Hong yang biasa itu bagimu.

Akan tetapi, Tuan Puteri....

Aih, sebut aku Hong-moi seperti biasa, Han-ko. Kita masih tetap sahabat, bukan?

Benar, Hong-moi, kita tetap bersahabat.

Pada saat itu, Bhong-ciangkun memberi hormat kepada Kwi Hong dan berkata, Sudah berbulan Paduka meninggalkan istana. Yang Mulia Pangeran amat gelisah, maka harap Paduka segera mengikuti kami untuk pulang ke kota raja.

Itu benar sekali, Tuan Puteri. Sebaiknya Tuan Puteri segera mengikuti pasukan ini pulang ke kota ra a. kata Yo Han yang ikut merasa tidak enak sekali. Tanpa disengaja, dia malah melindungi puteri pangeran penjajah!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar