06 Pusaka Pulau Es

Keng Han merasa tidak enak kalau diam saja. Memang itu yang paling tepat, Hong-moi. Orang tuamu tentu cemas memikirkan keselamatanmu.

Engkau ikutlah dengan kami ke kota raja, Han-ko. Bukankah dahulu engkau mempunyai niat melihat-lihat kota raja?

Tidak sekarang, Hong-moi. Lain kali kalau aku ke kota raja, aku tentu akan mencarimu.

Benarkah, Han-ko? Datang saja ke istana ayahku. Ayahku adalah Pangeran Mahkota dan semua orang tahu di mana istananya.

Keng Han merasa terharu. Jangan-jangan gadis ini adalah saudaranya seayah! Baik, Hong-moi.

Kwi Hong lalu diberi seekor kuda yang bagus dan berangkatlah ia dikawal pasukan itu meninggalkan kaki Pegunungan Bu-tong-san. Setelah gadis itu pergi dan derap kaki kuda tidak terdengar lagi, bayangannya tidak nampak lagi, Keng Han terharu dan menghela napas panjang, Yo Han agaknya mengerti akan isi hati pemuda itu dan dia pun menghibur, Ada waktunya berpisah dan ada waktunya bertemu, Sobat Muda. Aku melihat gadis itu baik sekali padamu sehingga kelak kalian tentu akan dapat saling berjumpa kembali.

Tiba-tiba timbul keinginan di hati Keng Han untuk minta keterangan dari Yo Han ini. Sebagai ketua Thian-li-pang dan seorang pendekar kenamaan, tentu Yo Han mengetahui banyak tentang keluarga kaisar.

Paman Yo, kalau boleh aku bertanya, siapakah nama Pangeran Mahkota itu?

Pertanyaan yang diajukan sambil lalu ini tidak menarik kecurigaan Yo Han dan dianggap pertanyaan biasa seorang yang ingin tahu karena Pangeran Mahkota itu ayah dari gadis yang menjadi sahabat pemuda itu.

Namanya Pangeran Mahkota Tao Kuang.

Keng Han menyimpan keheranannya. Tadinya dia menduga namanya Tao Seng. Ataukah ayahnya itu kini telah menjadi kaisar? Dan siapakah nama kaisar, sekarang, Paman?

Ah, engkau belum tahu? Agaknya engkau belum banyak merantau di dunia ramai, Keng Han. Nama kaisar adalah Kaisar Cia Cing.

Kembali Keng Han termenung. Kalau kaisar dan putera mahkotanya bukan ayahnya, lalu di mana adanya ayahnya dan apa pula kedudukannya? Dengan hati-hati agar jangan sampai kentara bahwa dia menaruh perhatian, dia lalu bertanya, Memang saya belum banyak merantau di dunia ramai sehingga tidak tahu apa-apa, Paman. Akan tetapi saya pernah mendengar tentang seorang pangeran bernama Pangeran Tao Seng. Adakah nama pangeran yang demikian itu?

Pangeran Tao Seng? Yo Han mengerutkan alisnya, mengingat-ingat. Kalau tidak salah dua puluh tahun yang lalu Pangeran Tao Seng itu bersama Pangeran Tao San telah menerima hukuman buang. Mereka dihukum karena berselisih dengan Pangeran Mahkota Tao Kuang.

Ah, dibuang? Ke manakah?

Mana aku tahu? Mungkin juga dia sudah meninggal dunia sekarang. Orang yang dihukum amat berat, apalagi dihukum buang di tempat terasing, jarang yang kuat bertahan. Hampir saja Keng Han meloncat saking kaget dan sedihnya mendengar ini. Ayahnya yang disangka menjadi pangeran atau bahkan kaisar itu, telah meninggal dalam pembuangan!

Kenapa, Keng Han? Kenapa engkau menanyakan pangeran itu?

Ah, tidak apa-apa, Paman. Hanya aku pernah bertemu seorang yang dahulu pernah ditolong oleh Pangeran Tao Seng, dan minta kepadaku untuk menyampaikan hormatnya kalau aku kebetulan bertemu dengannya.

O, begitukah? Keng Han, aku tertarik sekali melihat engkau ketika berkelahi tadi melawan pemuda tinggi besar yang lihai sekali itu. Engkau mampu menahan pukulannya dan engkau menggunakan ilmu-ilmu Pulau Es. Agaknya aku melihat pula engkau mempergunakan ilmu Toat-beng Bian-kun. Benarkah?

Keng Han juga kagum sekali. Orang ini dapat mengenal ilmu pukulannya, padahal dia sendiri dikeroyok banyak orang. Benar, Paman. Memang di Pulau Hantu itu aku menemukan dua ilmu silat itu yang kupelajari dengan tekun.

Dan tenagamu itu! Coba kau terima pukulanku ini, Keng Han! Yo Han lalu mendorongkan kedua tangannya ke arah Keng Han. Serangkum angin yang dahsyat menyambar dan Keng Han terkejut sekali, cepat dia menerima dengan kedua tangannya dan secara otomatis dua hawa yang berlawanan dalam tubuhnya bekerja.

Wuuuttttt.... dessss....!! Keduanya terdorong ke belakang dan Yo Han berseru kaget.

Ah, bukankah kedua tanganmu itu menggunakan tenaga Hwi-yang Sin-kang dan Swat-im Sin-kang?

Karena sudah ketahuan, terpaksa Keng Han membenarkan. Memang aku juga mempelajari sin-kang itu dari coretan di dinding gua.

Bukan main! Kalau begitu engkau benar-benar telah mewarisi pusaka Pulau Es, Keng Han! Berhati-hatilah engkau dan pergunakan ilmu-ilmu itu untuk kebaikan. Ketahuilah bahwa keluarga para pendekar Pulau Es adalah para pendekar yang gagah perkasa. Kalau engkau keliru menggunakan ilmu-ilmu itu ke arah kejahatan, pasti mereka semua akan mencarimu dan membinasakanmu. Ilmu-ilmu pusaka Pulau Es tidak boleh dipergunakan untuk kejahatan.

Semoga Tuhan menghindarkan aku dari perbuatan jahat, Paman! kata Keng Han penuh semangat. Dia adalah putera bangsawan. Ayahnya seorang pangeran Mancu dan ibunya adalah puteri kepala suku Khitan, bagaimana mungkin dia menjadi seorang penjahat!

Mereka lalu berpisah. Yo Han kembali ke Thian-li-pang di Bukit Naga dan Keng Han melanjutkan per jalanannya. Akan tetapi .dia menjadi bingung. Bagaimana kalau ayahnya benar-benar telah tewas seperti diduga oleh Yo Han tadi? Bagaimanapun juga, dia harus menyelidiki ke kota raja dan kalau benar ayahnya telah mati, dia harus membalas kematlin ayahnya itu! Pantas selama ini ayahnya tidak pernah menengok ibunya. Kiranya dia dihukum buang. Dua puluh tahun yang lalu, jadi tidak lama setelah ayahnya meninggalkan ibunya.

Keng Han berjalan dengan wajah muram. Dia teringat kepada Kwi Hong. Harus diakuinya bahwa dia tertarik sekali kepada Kwi Hong yang bersikap amat baik kepadanya. Hampir dia menduga bahwa dia telah jatuh hati kepada gadis itu. Akan tetapi kenyataannya membuat dia muram dan berduka. Kwi Hong adalah Tao Kwi Hong, masih saudara sepupunya! Mereka bermarga Tao yang sama, maka sudah tentu tidak mungkin mereka saling jatuh cinta dan berjodoh. Makin dikenang semakin sedih hatinya.

Selagi dia berjalan perlahan-lahan tidak peduli ke mana dia pergi asal ke timur, tiba-tiba pendengarannya yang tajam mendengar langkah kaki orang. Cepat dia menyelinap dan bersembunyi di balik semak belukar. Tak lama kemudian dia melihat dua orang kakek berjalan dengan langkah panjang. Seorang di antara mereka segera dikenalnya sebagai kakek yang dahulu pernah memukulnya ketika mereka bertemu di Pulau Hantu. Kakek raksasa berambut putih itu tidak akan pernah dilupakan. Adapun kakek kedua adalah seorang berusia enam puluhan tahun, bertubuh tinggi kurus, tangan kanan memegang sebatang dayung baja dan lengan kirinya memanggul tubuh seorang wanita yang pakaiannya serba putih dan mukanya tertutup topeng sutera putih pula. Jantung Keng Han berdebar tegang! Itulah gadis berpakaian putih yang menjadi sumoi dari Bi-kiam Nio-cu! Jelas bahwa gadis itu telah tertotok. Tubuhnya lemas ketika dipanggul kakek tinggi kurus itu.

Kakek yang usianya sudah tujuh puluh tahun lebih itu memang benar adalah Swat-hai Lo-kwi, kakek yang dulu bertemu dengan Keng Han di Pulau Hantu. Adapun kakek kedua yang menawan Souw Cu In, gadis berpakaian putih itu adalah Tung-hai Lo-mo. Kedua orang kakek ini sedang berjalan seiring menuju ke Bu-tong-san.

Bagaimana gadis berpakaian putih itu sampai jatuh ke tangan Tung-hai Lomo? Gadis itu adalah murid Ang Hwa Nio-nio, murid ke dua akan tetapi karena ia lebih berbakat dan lebih disayang oleh Ang Hwa Nio-nio maka dalam hal ilmu silat, ia lebih lihai dari sucinya, Siang Bi Kiok atau Bi-kiam Nio-cu. Akan tetapi ia yang begitu lihai bagaimana sampai dapat ditawan dua orang kakek datuk sesat itu?

Terjadinya tadi pagi. Ketika itu Souw Cun In sedang berjalan seorang diri. Ia melewati sebuah dusun dan di dusun itu sedang diadakan keramaian karena ada pesta pernikahan di rumah kepala dusun, tentu saja semua penghuni dusun itu berdatangan dan suasananya ramai dan meriah sekali. Selagi orang ramai merayakan pesta itu, datanglah dua orang kakek memasuki tempat pesta. Mereka berdua disambut sebagai tamu walaupun tidak ada yang mengenalnya, dan memang demikianlah kebiasaan di dusun itu. Setiap ada pesta, siapapun yang datang dianggap tamu dan disuguhi hidangan.

Dua orang kakek itu bukan lain adalah Swat-hai Lo-kwi dan Tung-hai Lo-mo. Dasar dua orang datuk sesat, mereka tidak merasa puas hanya dilayani sebagai tamu biasa.

Hai, tidak tahukah kalian siapa yang datang? Kami adalah dua orang datuk dan kami minta pelayanan istimewa. Hayo keluarkan arak pengantin yang terbaik dan hidangan yang paling lezat, kemudian sepasang pengantin harus melayani kami makan minum! Demikian kata Tung-hai Lo-mo yang berwatak mata keranjang itu. Swat-hai Lo-kwi hanya tertawa saja melihat ulah kawannya.

Tentu saja suasana menjadi gempar. Tuan rumah, si kepala dusun, datang menemui mereka dan berusaha untuk membujuk mereka agar jangan membuat kacau pesta pernikahan. Mereka akan dilayani sebagai tamu terhormat seperti yang lain.Tidak, pengantin wanita harus melayani kami makan minum! Tung-hai Lomo membentak.

Kepala dusun itu menjadi marah. Bersama beberapa orang pemuda dia menghampiri dua orang tua itu dan berkata dengan suara tegas. Kami tidak bisa menuruti kehendak kalian yang tidak pantas itu. Kalau mau menerima pelayanan kami atau pergi dari sini dan jangan menimbulkan kekacauan!

Lo-mo menoleh kepada Lo-kwi. Mereka belum mengenal kami maka berani sembarangan. Mereka harus dihajar agar mengenal siapa kami! Kedua orang kakek itu lalu menerjang maju dan kepala dusun bersama enam orang pemuda itu sudah terlempar ke sana sini!

Orang-orang muda di dusun itu menjadi marah. Mereka lalu maju mengeroyok, akan tetapi hasilnya mereka sendiri yang terlempar malang melintang terkena tamparan dan tendangan kakek itu.

Pada saat itu terdengar bentakan nyaring lembut, Dari mana datangnya dua orang kakek yang begini jahat? Dan muncullah seorang gadis berpakaian putih yang wajah bagian bawahnya tertutup kain putih pula. Demikian cepat gerakannya sehingga tidak ada orang yang melihatnya datang.

Lo-kwi dan Lo-mo juga menengok dan menghadapi gadis itu. Mereka tertawa dan Lo-mo berkata, Ha, kenapa gadis secantik kamu menutupi mukamu dengan kain? Engkau pun harus melayani kami makan minum bersama mempelai wanita,jadi ada dua orang pelayan untuk kami berdua.

Ji-wi (kalian berdua) tentulah seorang datuk yang tingkatnya sudah tinggi dalam ilmu silat. Mengapa masih tidak malu mengganggu orang dusun? Harap Jiwi menghentikan perbuatan yang akan mencemarkan nama besar Ji-wi sendiri. Gadis itu berkata lagi. Sepasang matanya yang tidak ditutupi itu nampak bening dan bersinar tajam menyapu kedua orang datuk sesat itu.

Nona, siapakah engkau? Apalagi baru seorang gadis muda sepertimu, bahkan kalau gurumu sendiri datang ke sini, kami tidak akan gentar menghadapinya!

Guruku adalah seorang pendeta wanita bernama Ang Hwa Nio-nio, kalau melihat perbuatan kalian, kalian tentu tidak akan diberi ampun!

Dua orang kakek itu bangkit berdiri. Aha, kiranya murid Ang Hwa Nio-nio? seru Lo-kwi. Bagus, kini aku mendapat kesempatan untuk membalas penghinaan yang pernah kuterima dari Ang Hwa Nio-nio!

Dan Nona ini tentu cantik luar biasa, sayang kalau dilewatkan begitu saja! kata Lo-mo sambil menyeringai.

Kiranya kalian adalah orang-orang yang sesat dan memang patut diberi hajaran! kata gadis itu yang bukan lain adalah Souw Cu In yang kebetulan lewat di dusun itu.

Lo-kwi, biar aku yang menangkap gadis ini! kata pula Lo-mo yang sudah tergiur hatinya melihat bentuk tubuh dan, juga muka bagian atas dari Souw Cu In. Lo-kwi hanya tersenyum dan menenggak arak dari guci yang berada di atas meja.

Tung-hai Lo-mo memandang rendah gadis berkedok itu, maka dia tidak menggunakan dayungnya yang dia sandarkan meja. Dia lalu menerjang dengan kedua tangannya yang panjang itu menerkam dari kanan kiri. Agaknya dengan tubruk dia hendak menangkap gadis itu. Akan tetapi dia kecelik sama hanya menerkam angin belak Souw Cu In sudah dapat mengelak dengan amat mudahnya, dan dengan geseran kakinya sudah berada belakang lawan. Lo-mo membalik dengan cepat dan kini menyerang lagi dengan pukulan yang dilanjutkan cengkeraman tangannya.

Souw Cu In menangkis dengan cepat dan tangkisan itu membuat tangan yang mencengkeram itu terpental dan gadis itu membalas dengan tamparan yang kuat ke arah muka kakek tinggi kurus itu.

Lo-mo menjadi terkejut sekali. Tamparan itu keras dan mendatangkan angin, maka dia lalu meloncat ke belakang untuk menghindarkan dirinya. Tiba-tiba ada sinar kecil putih meluncur ke arah mukanya. Lo-mo terkejut dan cepat mengelak, akan tetapi ujung sabuk sutera putih yang panjang itu masih mengenai pundaknya.

Prattt....! Dan dia terhuyung ke belakang. Baju di pundaknya robek dan kulit pundaknya terasa perih. Bukan main marahnya. Disambarnya dayung baja yang disandarkan pada meja tadi dan kini dia menyerang dengan ganasnya kepada gadis berpakaian putih itu.

Para tamu menjadi geger. Medan pesta menjadi medan perkelahian! Kepala dusun dan para orang muda yang tadi sudah berkenalan dengan kelihaian Lo-mo hanya bisa menonton sambil berdoa semoga gadis berpakaian putih itu mendapatkan kemenangan.

Perkelahian berlangsung seru dan seimbang. Lo-mo memainkan dayungnya yang menyambar-nyambar. Akan tetapi gadis itu lincah sekali gerakannya sehingga setiap sambaran dayungnya selalu dapat dihindarkan. Bahkan lecutan sabuk suteranya yang meledak-ledak itu kadang mengacam kepalanya yang mengirim totokan ke arah jalan-jalan darah di tubuhnya. Biarpun pertandingan berjalan seimbang, namun karena Lo-mo kalah dalam hal kecepatan bergerak, dia lebih banyak menerima serangan dan kelihatan terdesak.

Melihat temannya tidak mampu mengalahkan gadis itu, Lo-kwi tidak tinggal diam. Dia mendendam kepada Ang Hwa Nio-nio yang pernah mengalahkannya dalam pertandingan. Maka kini dia hendak melampiaskan dendamnya kepada murid Ang Hwa Nio-nio. Dia segera maju dan melancarkan pukulannya yang mengandung sinkang dingin.

Merasa ada hawa dingin menghantamnya dari samping, Souw Cu In terkejut dan maklum bahwa kakek ke dua membantu temannya. Dia mengelak dengan loncatan ke kiri sambil memutar sabuk suteranya yang melingkar dan membalik menyerang Lo-kwi. Akan tetapi Lo-kwi menangkisnya dengan pukulannya yang ampuh sehingga ujung cambuk itu terpental.

Pada saat itu, dayung di tangan Lomo sudah menyambar lagi. Souw Cu In mengelak akan tetapi pukulan Lo-kwi kembali menyambar dengan dahsyatnya. Kembali Cu In melompat ke belakang untuk menghindarkan diri.

Sebetulnya, tingkat kepandaian Souw Cu In sudah tinggi dan kalau dibandingkan dengan Lo-kwi atau Lo-mo, tingkatnya seimbang. Akan tetapi karena kedua iblis tua itu maju bersama mengeroyoknya, tentu saja ia menjadi kewalahan! Akhirnya, sebuah pukulan dari Lo-kwi menyerempet pundaknya, membuat ia terhuyung dan kesempatan itu dipergunakan oleh Lo-mo untuk menotoknya sehingga ia menjadi lemas dan tak mampu bergerak lagi.

Lo-mo tertawa puas dan memanggul tubuh yang ramping itu, lalu mengambil sabuk sutera putih itu dan menggunakannya untuk mengikat kedua tangan Cu In.

Mari kita pergi dari sini! katanya kepada Lo-kwi. Karena merasa tidak enak bahwa semua orang dusun memusuhi mereka, Lo-kwi menyambar seguci arak dan pergi mengikuti temannya yang sudah lebih dulu melangkah pergi sambil memanggul tubuh Cu In.

Hei, tunggu dulu! kata Lo-kwi setelah mereka meninggalkan dusun itu. Untuk apa engkau menawannya?

Heh-heh-heh, untuk apa? Tentu untuk bersenang-senang. Gadis ini cantik sekali!

Bodoh. Apakah kau tidak lihat dulu mukanya yang ditutupi itu? Bukan tidak ada sebabnya ia selalu menutupi mukanya! kata Lo-kwi. Mendengar ini, Lo-mo lalu menurunkan tubuh Souw Cu In ke atas tanah dan tangannya menyingkap kedok putih itu. Dia terbelalak dan Lo-kwi tertawa mengejeknya.

Kalau begitu, kita bikin mampus saja bocah setan ini. Untuk apa dibawa-bawa? kata Lo-mo dengan marah.

Nanti dulu. Aku pernah dihina oleh Ang Hwa Nio-nio, pernah dikalahkannya walaupun selisihnya sedikit saja. Aku ingin membawa muridnya kepadanya untuk menghinanya.

Kalau ia marah dan menyerangmu?

Ha-ha-ha, sudah kukatakan bahwa aku hanya kalah sedikit saja olehnya. Kalau ada engkau yang membantuku, tentu kita berdua akan mampu membunuhnya dengan mudah!

Engkau hendak membawa aku bermusuhan pula dengannya? Lo-mo membantah.

Eh, Kawan. Bukankah kita sudah bersekutu untuk membantu Bu-tong-pai? Kita ini sekutu, dalam segala hal haruslah bersatu, bukan?

Lo-mo menarik napas panjang. Baiklah, mari kita pergi.

Dia lalu mengambil lagi tubuh Cu ln dan memanggulnya, tidak lagi lembut dari mesra seperti tadi, melainkan dengan kasar dia memanggul tubuh itu dan keduanya lalu melanjutkan perjalanan, hendak menuju ke tempdt tinggal Ang Hwa Nio-nio dan Lo-kwi yang menjadi penunjuk jalan.

Demikianlah mereka tidak tahu bahwa mereka telah diintai oleh Keng Han yang kemudian membayangi mereka dari belakang. Setelah hari menjadi sore, kedua orang datuk itu beristirahat di dalam sebuah gua dan mereka menaruh tubuh Cu In di atas tanah, di ujung gua itu. Kemudian mereka mengeluarkan bekal roti kering dan minum anggur yang tadi dibawa oleh Lo-kwi dari rumah pengantin.

Keng Han mendekati mereka. Setelah tiba di balik semak dekat gua, dia lalu mengambil beberapa buah batu kerikil. Dia membidik dan menyambitkan batu-batu kerikil itu ke arah tubuh Cu In yang menggeletak di sudut gua. Bidikannya tepat dan dengan mudah dia sudah membebaskan Cu In dari totokannya. Gadis ini terkejut dan juga girang. Ia tahu bahwa ada orang yang menolongnya, membebaskan totokannya dengan sambitan batu kerikil. Akan tetapi karena kedua tangannya masih terbelenggu sabuknya sendiri, ia pura-pura tidak bergerak. Diam-diam ia mengerahkan sinkangnya dan perlahan-lahan ia dapat meloloskan tangannya dari ikatan sabuknya. Setelah itu, ia pun meloncat bangun, sabuk sutera yang menjadi senjata ampuhnya itu telah berada di tangannya. Mendengar gerakan ini, dua orang kakek itu menengok dan alangkah kaget hati mereka melihat gadis itu telah bebas dan telah siap menyerang dengan sabuknya! Mereka meloncat berdiri dan siap pula. Lo-rno sudah menyambar dayung bajanya. Akan tetapi, pada saat itu ada bayangan orang melayang dan berada di depan gua. Keng Han segera mengenal Swat-hai Lo-kwi, kakek raksasa rambut putih yang dulu pernah memukulnya ketika mereka bertemu di Pulau Hantu. Maka dia segera menghadapinya.

Kakek tua, sebetulnya seorang yang sudah tua sepertimu ini mencari jalan terang dengan perbuatan yang baik agar kelak mendapat pengampunan dari Tuhan, bukan malah memupuk kejahatan! kata Keng Han.

Lo-kwi tidak mengenal Keng Han. Ketika mereka bertemu dahulu, Keng Han baru berusia lima belas tahun, masih remaja dan kini pemuda remaja itu telah menjadi seorang pemuda dewasa. Akan tetapi Souw Cu In mengenal Keng Han yang pernah hendak dibunuh sucinya. Ia tahu bahwa pemuda itu yang menolongnya, akan tetapi ia pun khawatir akan keselamatan pemuda itu. Kalau pemuda itu melawan sucinya saja kalah, bahkan diakui murid oleh sucinya, bagaimana mungkin dia akan menandingi Swat-hai Lo-kwi? Maka, untuk menolong pemuda itu, ia sudah cepat menyerang dengan sabuk suteranya ke arah Lo-mo sambil berseru, Sobat, kau cepat lari dari sini!

Akan tetapi Keng Han tidak lari bahkan dia pun lalu menyerang Lo-kwi! Serangannya mendatangkan angin yang kuat sehingga Lo-kwi terkejut dan mengelak, kemudian membalas dengan pukulannya yang dingin.

Menghadapi pukulan dingin ini, Keng Han menangkis dengan tangan kanannya sambil mengerahkan hawa panas dari Hwi-yang Sin-kang.

Wuuuttttt.... desssss....! Akibatnya, tubuh kakek raksasa itu terpental ke belakang. Bukan main kagetnya Swat-hai Lo-kwi karena ketika tangannya tertangkis tadi, ada hawa yang panas menyusup ke tubuhnya melalui lengannya sehingga membuyarkan tenaga dingin yang tadi dikerahkannya. Dia lalu menerjang lagi dengan ilmu silatnya yang aneh dan Keng Han melayaninya dengan Hong-in Bun-hoat sehingga terjadilah perkelahian yang seru di antara mereka.

Sementara itu, Cu In juga sudah menyerang Lo-mo kalang-kabut karena kemarahannya kepada kakek tinggi kurus ini. Sabuk sutera putihnya menyambar-nyambar dan meledak-ledak di atas kepala lawan dengan totokan-totokan yang berbahaya. Ang Hwa Nio-nio memang seorang ahli totok yang lihai sekali, dan ia sudah menurunkan ilmu totoknya itu kepada kedua orang muridnya. Hanya bedanya, kalau Siang Bi Kiok atau Bi-kiam Nio-cu diajar menotok dengan jari tangan, Souw Cu In melakukan totokan-totokan dengan ujung sabuk suteranya! Karena kini tidak lagi dibantu Lo-kwi yang sibuk sendiri melawan pemuda itu, Lo-mo menjadi kewalahan dan segera terdesak oleh gadis berpakaian putih itu.

Keng Han juga tidak mau memberi kesempatan kepada lawannya. Ketika lawannya lengah, sebuah hantaman dengan tangan kirinya mengenai pundak lawan. Tangan kirinya mengandung Swat-im Sin-kang dan kakek yang ahli ilmu tenaga sin-kang dingin itu kini menggigil kedinginan. Dia menjadi jerih dan berteriak kepada kawannya.

Lo-mo, mari kita pergi!

Teriakan itu sudah dimengerti oleh Lo-mo bahwa kawannya itu tidak mampu menandingi lawan, maka dia memutar dayungnya dengan cepat, dahsyat. Menghadapi serangan dahsyat ini, terpaksa Cu In mundur dan kesempatan ini dipergunakan oleh Lo-mo untuk meloncat dan melarikan diri bersama kawannya.

Cu In yang marah sekali kepada kakek itu hendak mengejar, akan tetapi Keng Han berkata, Tidak menguntungkan mengejar lawan yang sudah kalah. Apalagi mereka berdua!

Mendengar ini, Cu In tidak melanjutkan pengejarannya dan ia berdiri memandang pemuda itu dengan sinar mata yang tajam sambil menggulung kembali sabuk suteranya dan menyelipkan di pinggangnya.

Kenapa engkau membantuku? Pertanyaan itu pendek akan tetapi seperti suara orang yang menuntut.

Keng Han menjadi bingung. Kenapa? Kenapa, ya? Barangkali melihat seorang wanita ditawan oleh dua orang datuk sesat, atau barangkali karena engkau pernah menyelamatkan nyawaku ketika akan dibunuh oleh Bi-kiam Nio-cu.

Aku tidak menyelamatkanmu, melainkan menghindarkan suci dari perbuatan yang keliru. Aku tidak menghutangkan budi apa pun padamu. Lalu kenapa engkau menolongku? Jawab yang jelas! Wanita itu kembali bertanya dengan suara sungguh-sungguh.

Jawabannya mudah saja. Melihat seorang wanita ditawan orang jahat, tentu saja aku menolongnya.

Bagaimana kalau wanita itu bukan aku?

Aku tetap akan menolongnya, tidak peduli orang itu engkau atau siapapun juga. Sudah menjadi tugas kewajibanku untuk menolong orang yang tertindas dan menentang orang yang jahat. Nah, puaskah engkau dengan jawaban itu?

Souw Cu In menghela napas panjang. Cukup puas. Jadi itu berarti bahwa engkau menolong tanpa pamrih, bukan menolong aku pribadi, melainkan aku sebagai wanita yang terancam bahaya.

Tentu saja. Pula, andaikata aku menolong karena engkau, itu pun tidak aneh, bukan? Engkau pernah menyelamatkan aku, sudah semestinya kalau sekarang aku membalas budi itu.

Tidak! Jangan lakukan itu. Tidak ada budi di antara kita. Aku adalah wanita biasa bagimu, bukan? Engkau tidak tertarik kepadaku karena aku pernah menolongmu, atau karena keadaan diriku?

Keng Han merasa betapa anehnya pertanyaan wanita ini. Kemudian dia teriIngat akan keterangan Bi-kiam Nio-cu. Guru kedua orang gadis itu nenek yang amat kejam itu, melarang kedua orang muridnya berhubungan akrab dengan pria. Mereka dilarang jatuh cinta atau dicinta seorang laki-laki. Kalau ada laki-laki yang jatuh cinta kepada mereka, mereka harus membunuh pria itu! Karena itulah agaknya wanita berkedok ini bertanya kepadanya untuk melihat apakah dia menaruh perhatian atau jatuh cinta kepadanya. Diam-diam dia bergidik! Kalau dia mengaku tertarik, mungkin wanita ini akan membunuhnya!

Engkau aneh sekali, Nona. Aku menolongmu tanpa pamrih apa pun!

Mendengar jawaban yang tegas itu, baru Souw Cu In kelihatan tenang. Matanya berseri dan sinarnya tidak setajam tadi, melainkan lembut.

Siapakah namamu?

Namaku Si Keng Han.

Jadi engkau telah menjadi murid suciku?

Benar, subo mengajarkan ilmu menotok kepadaku.

Kalau begitu aku ini su-i-mu (bibi gurumu) maka sudah semestinya engkau menyebut bibi guru kepadaku.

Akan tetapi engkau masih begini muda, tidak pantas aku menyebut bibi guru!

Keng Han, engkau murid suciku, bukan? Apakah suciku sudah begitu tua sehingga ia menjadi gurumu?

Keng Han teringat dan dia pun memberi hormat sambil berkata, Baiklah, Sui!

Bagaimana engkau tadi dapat melihat aku dibawa dua orang datuk itu? Engkau hendak pergi ke manakah?

Aku sedang melakukan perjalanan ke timur, ke kota raja, dan tadi aku melihat dua orang datuk itu lewat. Melihat mereka menawanmu, aku lalu membayangi mereka dan setelah mereka tiba di sini, aku turun tangan menolongmu.

Pantas engkau pandai membebaskan totokan pada tubuhku, kiranya sudah belajar dari suci. Akan tetapi, kulihat kepandaianmu tidak di sebelah bawah tingkat suci, kenapa engkau menjadi muridnya. Benarkah engkau tidak mempunyai perasaan suka dan cinta terhadap suci?

Tidak sama sekali, Su-i. Aku suka menjadi muridnya mempelajari ilmu totokan, karena selain aku memang suka mempelajari segala macam ilmu, juga subo telah memperlihatkan kemahirannya dengan mengalahkan aku, yaitu dengan totokan itu.

Untung engkau tidak mencintanya, kalau engkau mencintanya berarti engkau harus mati di tangannya. Jangan sekali-kali engkau jatuh cinta kepada orang-orang seperti kami, karena itu merupakan keputusan hukuman mati bagimu.

Aku.... aku tidak berani....! kata Keng Han ngeri akan tetapi dia tidak dapat membohongi dirinya bahwa berbeda dengan perasaan hatinya terhadap Nio-cu, terhadap nona berpakaian putih ini lain lagi. Hatinya amat tertarik dan dia ingin mengenalnya lebih dekat lagi.

Nah, sekarang kita harus berpisah di sini, Keng Han. kata Souw Cu In.

Su-i, setelah aku menyebutmu bibi guru sungguh tidak masuk akal kalau aku tidak mengetahui namamu?

Namaku Souw Cu In. Sudahlah, aku harus pergi sekarang!

Su-i, sungguh berbahaya pergi sekarang. Hari sudah hampir gelap, tentu engkau akan kegelapan dalam perjalanan. Dan itu berbahaya sekali. Bagaimana kalau kedua orang kakek iblis tadi masih berada di sekitar tempat ini?

Gadis itu nampak membelalakkan matanya dan memandang ke depan, lalu alisnya berkerut. Lalu bagaimana baiknya?

Yang paling baik adalah melewatkan malam di gua ini, Su-i. Di sini aman, tidak terganggu angin malam yang dingin dan kita dapat membuat api unggun. Selain itu, apakah Su-i tidak merasa lapar?

Souw Cu In termenung. Baru terasa olehnya betapa perutnya memang lapar sekali. Begitupun baik, akan tetapi di tempat seperti ini bagaimana kita bisa mendapatkan makanan?

Jangan khawatir, Bibi Guru yang baik. Aku akan mencari binatang buruan untuk kita panggang dagingnya. Dan tentang minuman, sayang aku tidak punya

Aku masih memiliki seguci arak, kata Souw Cu In sambil melepaskan buntalan pakaiannya.

Kalau begitu, sungguh beruntung kita. Nah, aku pergi sebentar untuk mencari binatang buruan, Su-i! Setelah berkata demikian, Keng Han melompat pergi dengan cepat. Dia harus cepat mendapatkan binatang buruan karena sebentar lagi malam tiba dan sukar baginya untuk memperoleh binatang buruan. Senja menjelang malam itu menjadi waktu bagi burung-burung untuk terbang kembali ke sarangnya dan inilah yang menarik perhatian Keng Han. Dia pergi ke sebatang pohon besar di mana nampak banyak burung terbang berputaran. Dengan beberapa buah batu dia menyambit dan berhasil mengenai empat ekor burung yang berjatuhan ke bawah. Dia girang sekali. Burung ini cukup besar sehingga seorang makan dua ekor saja tentu sudah kenyang.

Cepat dia berlari kembali ke gua tadi dan melihat betapa Cu In sudah membuat api unggun.

Ini hasil buruanku, Su-i! katanya bangga memperlihatkan empat ekor burung yang sudah mati itu. Dengan pedang bengkoknya dia membersihkan burung itu, membuang isi perut dan semua bulunya, lalu menusuknya dengan bambu dan siap memanggangnya di api unggun. Bagaimana mungkin makan panggang burung tanpa dibumbui? Tentu tidak enak rasanya. Aku membawa bumbu untuk itu! kata Cu In dan ia mengeluarkan dari buntalan pakaiannya beberapa bungkusan terisi bumbu seperti garam, mrica, bawang dan lain-lainnya. Keng Han merasa girang sekali dan mereka bekerja menaruh bumbu pada daging burung yang lalu dipanggangnya. Tercium bau sedap ketika daging burung itu terpanggang. Tentu saja yang membuat daging itu mengeluarkan bau sedap adalah bumbunya, terutama bawangnya. Sebentar saja empat ekor daging burung itu matang dan mereka lalu makan. Ketika Keng Han memandang untuk mencuri lihat wajah yang tertutup kedok itu, dia kecelik. Gadis itu makan daging burung tanpa memperlihatkan mulutnya. Tangannya yang membawa daging itu ke balik topeng sutera dan yang kelihatan hanya kain itu bergerak-gerak ketika mulutnya makan. Keng Han merasa penasaran sekali. Dia yakin bahwa gadis ini tentu berwajah cantik jelita luar biasa. Baru dilihat dari rambutnya yang hitam panjang dan ikal mayang, melihat sinom (anak rambut) yang melingkar-lingkar di dahi dan pelipisnya, dahi yang halus dan putih mulus alis yang seperti dilukis seorang pelukis pandai, melengkung dan kecil hitam, mata yang bagaikan sepasang bintang kejora, tulang pipi yang agak menonjol dan selalu kemerahan bukan oleh pemerah muka, itu saja sudah menunjukkan kecantikan yang luar biasa. Hidung dan mulutnya tidak nampak, juga dagunya, akan tetapi Keng Han berani bertaruh bahwa hidung dan mulut itu tentu indah sekali.

Setelah makan daging burung panggang, Cui In mengeluarkan seguci anggur. Ia lalu membawa mulut guci ke balik topengnya dan menengadah, minum anggur itu langsung dari mulut guci ke mulutnya. Kemudian ia menyerahkan guci itu kepada Keng Han. Nah, kau minumlah. Anggur ini tidak keras, hanya sebagai penyegar setelah makan.

Keng Han tertegun. Tapi.... mana cawannya, Su-i?

Cawan? Untuk apa? Aku tidak mempunyai cawan.

Untuk minum tentu saja. Kalau tidak ada cawannya, bagaimana aku dapat minum?

Bodoh! Minum saja dari mulut guci, apa sukarnya?

Jantung dalam dada Keng Han berdebar. Mulut guci itu baru saja beradu dengan mulut nona itu, dan sekarang nona itu menyuruh dia minum dari mulut guci pula!

Akan tetapi, mana aku berani? Bukankah guci anggur ini milikmu, Su-i? Bagaimana aku berani mengotori dengan minum dari mulut guci?

Gadis tu memandang heran, matanya bersinar-sinar tertimpa cahaya api unggun. Engkau ini kenapa? Apakah mulutmu mengandung penyakit? Apakah engkau sedang menderita sakit batuk yang parah?

Tidak, Su-i.

Nah, kalau begitu minumlah dari mulut guci!

Kalau gadis itu merasa heran melihat kesungkanan Keng Han yang agaknya terlalu sopan santun itu, sebaliknya Keng Han terheran-heran melihat keterbukaan nona itu yang wataknya begitu polos dan bersih! Maka dia lalu menenggak anggur, itu dari mulut guci dan memang rasanya segar sekali. Setelah merasa cukup dia mengembalikan guci kepada pemiliknya dan Cu In menutupkan kembali mulut guci, menyimpannya dalam buntalannya seolah tidak pernah terjadi sesuatu yang janggal,

Kemudian Keng Han teringat. Bibi gurunya itu perlu beristirahat dan tempat itu demikian kotor. Dia segera mencari daun-daun kering untuk membersihkan dan menyapu lantai gua yang paling rata. Kemudan dia mempersilakan Cu In untuk duduk atau cebah di situ.

Silakan Bibi Guru mengaso di sini, tempat ini sudah bersih. Aku akan menjaga di luar gua sambil menjaga agar api unggun tidak padam.

Cu In mengikuti pekerjaan Keng Han dengan penuh perhatian, kemudian ketika dipersilakan mengaso, ia mengangguk, bangkit dan melangkah ke dalam gua. Langkahnya! Demikian indah lenggangnya, seperti seekor harimau betina melangkah, demikian lemah gemulai akan tetapi juga demikian kokoh kuat! Cu In duduk di tempat yang sudah dibersihkan itu, lalu merebahkan diri miring berbantalkan buntalan pakaiannya. Sebentar saja gadis itu sudah pulas. Hal ini diketahui oleh Keng Han dari pernapasannya yang lembut dan teratur.

Keng Han merasa berbahagia sekali. Dia sendiri merasa heran. Pernah dia merasakan kebahagiaan seperti inii, yaitu ketika dia bertemu dengan Kwi Hong. Dia juga merasa tertarik dan suka sekali kepada dara itu, akan tetapi semenjak dia mengetahui bahwa Kwi Hong bermarga Tao, puteri Pangeran Mahkota, masih saudara sepupunya sendiri, hatinya terasa perih dan dia mencoba melupakan gadis itu. Kemudian dia melakukan perjalanan bersama Bi-kiam Nio-cu. Harus diakuinya bahwa dia juga suka sekali kepada Nio-cu, akan tetapi rasa sukanya itu sekadar bersahahat, bahkan dia menjadi muridnya. Maka ketika Nio-cu bertanya tentang cinta, terus terang dia mengatakan bahwa dia tidak mencinta Nio-cu sebagai seorang pria mencinta wanita, melainkan sebagai murid mencinta guru atau seorang sahabat mencinta sahabatnya. Dan kini.... perasaannya lain lagi. Dia tertarik kepada Souw Cu In, tertarik oleh kepribadiannya dan dia merasa amat berbahagia dapat bersama dengan gadis itu walaupun hanya semalam!

Keng Han termenung memandangi api unggun dan menambah kayu pada api unggun. Dia sama sekali tidak tahu betapa Cu In juga kini membuka matanya memandang kepadanya dengan penuh perhatian. Gadis ini merasa gelisah sekali ketika ia merasa bahwa hatinya tertarik kepada pemuda ini. Seorang pemuda yang lain sekali daripada pemuda lain. Kaum lelaki yang dijumpainya, selalu ingin membuka kedoknya, selalu memujinya cantik dan selalu mengeluarkan cumbu rayu seribu satu macam untuk menarik perhatiannya. Akan tetapi Keng Han sama sekali tidak! Bahkan ketika disuruh minum anggur dari mulut guci, jelas pemuda itu merasa rikuh sekali. Pemuda ini sungguh sopan dan pandai membawa diri. Di samping itu, juga pemuda ini memiliki ilmu kepandaian yang hebat. Tadi sudah dibuktikannya ketika dia melawan Swat-hai Lo-kwi. Pemuda ini memiliki tenaga sin-kang yang luar biasa kuatnya dan ilmu silatnya juga aneh sekali. Namun, sikapnya demikian biasa, bahwa begitu rendah hati seolah dia seorang pemuda yang lemah dan bodoh sehingga mau mempelajari ilmu totok dari sucinya! Dan wajahnya! Sungguh tampan dan gagah.

Tiba-tiba Souw Cu In memejamkan matanya kuat-kuat untuk mengusir perhatiannya terhadap pemuda itu.

Tidak! ia tidak ingin tertarik kepada pemuda itu. ia tidak ingin harus membunuh pemuda itu. Dan ia menghela napaspanjang. Ia dan sucinya sudah bersumpah kepada subo mereka untuk tidak jatuh cinta, dan kalau ada pria yang jatuh cinta kepada mereka harus mereka bunuh! Semua lelaki jahat, demikian subo mereka selalu menekankan ke dalam hati mereka. Semua lelaki itu jahat dan palsu, bagaikan kumbang yang selalu mendekati kembang dengan suaranya yang merayu-rayu. Akan tetapi setelah dia memghisap madu kembang itu sampai habis, lalu ditinggalkannya kembang itu begitu saja!

Dan, kalau menurut keterangan gurunya itu, tidak ada laki-laki yang baik. Berarti Keng Han juga bukan seorang yang baik. Mungkin sikapnya yang baik itu pun hanya merupakan akal untuk merayunya belaka! Tidak, ia tidak boleh tertarik kepadanya!

Lewat tengah malam, Souw Cu In terbangun daritidurnya. ia menggeliat karena tubuhnya terasa kaku tidur di lantai yang kasar itu, lalu menutupi mulut dari luar topeng untuk menahan luapnya, dan ia bangkit berdiri. Dihampirinya Keng Han dan ia berkata dengan suara yang kasar.

Sekarang engkau boleh mengaso dan tidur, giliranku berjaga. katanya.

Keng Han merasa heran sekali mendengar ucapan yang bernada ketus itu. Dia memandang dan berkata. Tidak perlu, Su-i. Su-i mengaso dan tidurlah, biar aku berjaga di sini sampai malam lewat.

Tidak! suara Cu In membentak karena dalam perasaannya, sikap baik pemuda ini hanya akal untuk merayunya saja. Kaukira aku ini orang macam apa? Engkau sudah berjaga setengah malam, maka setengah malam yang lain menjadi bagianku untuk berjaga!

Melihat sikap gadis itu demikian galak dan tegas, Keng Han merasa heran sekali. Kalau bagitu, biarlah aku juga berjaga di sini saja. Aku tidak merasa mengantuk.

Cu In duduk di dekat api unggun berhadapan dengan pemuda itu terhalang api unggun. Mereka saling pandang dan Keng Han tak dapat menyembunyikan perasaan kagumnya. Wajah yang biarpun hanya kelihatan bagian atasnya saja itu demikian indahnya tertimpa sinar api unggun, kemerahan dan begitu halusnya dahi itu. Ditambah lagi anak rambut yang berjuntai melingkar-lingkar itu. Begitu manisnya!

Kau melihat apa? bentak gadis itu dan Keng Han baru menyadari bahwa terlalu lama dia menatap wajah itu.

Tidak apa-apa, Su-i. Hanya aku heran mengapa Su-i tidak tidur saja mengaso. Malam sudah larut dan biarkan aku yang berjaga di sini.

Tidak, aku tidak mau tidur.

Kalau begitu, kita berdua tidak tidur. kata Keng Han bersikeras.

Engkau bandel!

Bukan cuma aku bandel.

Keduanya diam dan terasa amat heningnya malam itu. Yang terdengar hanya suara api makan kayu kering.

Keng Han maklum bahwa gadis ini berwatak aneh sekali. Bukankah Nio-cu pernah berkata betapa sumoinya ini.lebih kejam darinya? Akan tetapi dia tidak percaya. Seorang gadis dengan sinar mata selembut itu tidak mungkin kejam.

Engkau berasal dari mana? tiba-tiba gadis itu bertanya dan nada suaranya sambil lalu saja, seolah pertanyaan itu hanya untuk mengisi kesepian.

Terhadap Souw Cu In, entah bagaimana, Keng Han tidak ingin menyembunyikan rahasianya. Aku berasal dari daerah Khitan.

Engkau orang Khitan?

Peranakan Khitan. Ibuku orang Khitan, ayahku orang Han. Dia masih belum berani mengakui ayahnya sebagai seorang pangeran Mancu.

Pantas. Aku sudah menduga bahwa engkau seorang peranakan. Di mana orang tuamu sekarang?

Ibuku masih di Khitan bersama kakekku akan tetapi ayahku....

Bagaimana dengan ayahmu? Sudah matikah?

Keng Han menggeleng kepalanya dan menghela napas panjang. Aku belum pernah melihat ayahku. Semenjak aku dalam kandungan ibu, ayah telah pergi meninggalkan ibu dan sejak itu tidak pernah kembali.

Souw Cu In melempar sepotong kayu di api unggun sehingga bunta-bunga api membubung ke atas. Huh! katanya gemas. Benar juga kata subo. Lelaki adalah mahluk yang palsu dan kejam!

Akan tetapi aku memang sedang mencari ayahku, Su-i. Dia harus menjelaskan mengapa dia tidak pernah pulang menengok ibu. Kalau memang benar dia telah melupakannya dan mengkhianatinya, aku sendiri yang akan menghajarnya!

Hemmm, apalagi yang terjadi kalau bukan ayahmu bertemu dengan wanita lain yang lebih cantik lalu ayahmu mengawini wanita itu dan melupakan ibumu?

Belum tentu. Kurasa ayahku tidak sejahat itu! Akan tetapi, aku ingin mencarinya sampai dapat! Dan engkau sendiri, Su-i. Maukah engkau bercerita tentang dirimu? Dari Nio-cu aku sudah tahu bahwa engkau juga murid Ang Hwa Nio-cu, dan bawa engkau mempunyai pendirian yang sama dengan Bi-kiam Nio-cu tentang pria. Selain itu, aku tidak tahu apa-apa tentang dirimu. Maukah engkau bercerita?

Hemmm, untuk apa bercerita tentang diriku padamu? Sepasang mata itu menatap tajam penuh selidik.

Keng Han menghela napas panjang. Bukan apa-apa, Su-i. Akan tetapi engkau adalah bibi guruku, dengan adanya hubungan ini, tidak pantaskah kalau aku mengenalmu lebih baik lagi? Agar engkau tidak menjadi seperti orang asing lagi bagiku.

Engkau sudah mengetahui namaku.

Ya, aku masih ingat. Nama Su-i adalah Souw Cu In, hanya itu yang kuketahui.

Aku juga seperti engkau. Hidup keluargaku tidak berbahagia. Ayah ibuku telah meninggal dunia, terbunuh musuh. Ketika itu aku baru berusia lima tahun, lalu aku diambil murid oleh subo. Nah, hanya begitu saja riwayatku dan aku pun sedang mencari-cari seseorang untuk membalas kematian ayah ibuku.

Musuh besar yang membunuh ayah ibumu itu?

Benar. Ah, sudahlah. Kenapa aku menceritakan semua ini kepadamu? Ia seperti menegur diri sendiri. O ya, ke mana engkau hendak mencari ayahmu itu, Keng Han?

Mendengar gadis itu tiba-tiba membelokkan percakapan, tahulah Keng Han bahwa gadis itu tidak mau lagi bercerita tentang dirinya, dan dia pun menjawab sejujurnya, Aku hendak mencari ayahku di kota raja.

Ahhh....!

Kenapa Su-i terkejut mendengar itu?

Tujuan perjalananku juga ke kota raja!

Bukan main girangnya hati Keng Han mendengar ini. Kalau begitu kebetulan sekali, Su-i. Kita dapat melakukan perjalanan bersama.

Tidak! Besok pagi kita harus berpisah, melakukan perjalanan sendiri-sendiri. Kalau subo mengetahui, baru malam ini saja kita berada di sini berdua, sudah cukup bagi subo untuk menuduh yang tidak-tidak dan membunuhku!

Gurumu amat kejam terhadap laki-laki, Su-i! Keng Han memrotes. Tidak! Guruku sudah adil. Engkau tidak tahu betapa hatinya telah dihancurkan, kehidupannya telah dilumatkan, oleh kaum pria! Ia hanya membalas dendam! Aku mencari musuh besarku itu, juga untuk mencari musuh besar yang telah menghancurkan kebahagiaan hidup guruku. Orangnya sama!

Ahhh....! Keng Han bukan hanya terkejut mendengar ucapan itu, melainkan juga terkejut mendengar suara lain, suara gerakan orang-orang di sekitar mereka! Akan tetapi karena malam itu gelap sekali dan api unggun itu tidak terlalu besar, dia tidak melihat apa-apa.

Engkau dengar tadi? Souw Cu In bertanya. Keng Han mengangguk dan keduanya waspada.

Tiba-tiba terdengar ledakan-ledakan keras di sekitar mereka. Mereka terkejut dan meloncat berdiri, tidak tahu harus berbuat apa karena musuh tidak nampak dan ledakan-ledakan masih terjadi di sekeliling mereka. Agaknya musuh menyerang mereka dengan bahan ledakan yang mengeluarkan asap tebal. Kedua orang itu tidak berani sembarang bergerak karena khawatir kalau-kalau diserang musuh yang tidak kelihatan. Akan tetapi tiba-tiba keduanya mencium bau keras sekali dan Souw Cu In berseru. Tahan napas....! Akan tetapi sudah terlambat. Keduanya sudah menghisap asap terlalu banyak dan mereka terbatuk-batuk roboh terkulai, pingsan. Kiranya bahan peledak itu mengandung racun pembius yang kuat sekali.

Tubuh Keng Han memang sudah kebal terhadap racun, berkat dia makan daging ular merah. Akan tetapi yang kebal adalah tubuhnya sehingga andaikata dia terkena makan racun atau dilukai oleh racun, tentu hawa beracun dalam tubuhnya menolak dan membuatnya kebal. Akan tetapi sekali ini dia terkena racun pembius berupa asap yang memasuki paru-parunya, maka dia pun tidak dapat bertahan dan roboh pingsan seperti Souw Cu In.

Beberapa bayangan orang yang memakai kedok tebal berkelebatan memasuki tabir asap itu dan menghampiri kedua orang yang sudah pingsan itu. Akan tetapi ketika empat orang itu menghampiri Keng Han dan Cu In, Cu In melompat dan dua orang roboh tewas seketika terkena pukulan Tok-ciang (Tangan Beracun). Kiranya Cu In belum pingsan seperti keadaan Keng Han. Ketika wanita ini tahu bahwa ada musuh menggunakan asap beracun, ia meneriaki Keng Han, akan tetapi Keng Han yang terlambat. Ia sendiri baru sedikit menghisap asap beracun dan untuk menyelamatkan diri, ia menjatuhkan diri agar tidak terpengaruh asap yang membubung ke atas. Setelah ada empat orang datang, Ia cepat menyerang dan setelah merobohkan dua orang, ia pun melompat jauh keluar dari tabir asap itu. Dua orang berkedok lain menggotong Keng Han membawanya pergi dari situ.

Souw Cu In merasa khawatir sekali, akan tetapi tidak dapat mencegah dengan adanya tabir asap pembius yang menghalanginya. Setelah tabir asap menipis dan mulai menghilang, barulah ia melakukan pengejaran, akan tetapi dia tidak menemukan jejak mereka, apalagi malam itu gelap sekali dan api unggun yang mereka buat malam tadi sudah hampir padam. Terpaksa ia duduk kembali dekat api unggun dan menambahkan kayu bakar sehingga api unggun itu membesar kembali. Akan tetapi ia sudah tidak mungkin dapat tidur lagi dan sambil menanti lewatnya malam, ia duduk bersila, dekat api unggun dan memperhatikan sekelilingnya dengan pendengarannya.

Hatinya gelisah bukan main memikirkan Keng Han dan menduga-duga siapa yang menangkap pemuda itu dan apa alasannya. Juga ia mengingat-ingat siapa tokoh dunia kang-ouw yang suka mempergunakan alat peledak yang mengandung racun pembius itu. Ia lalu teringat kepada seorang datuk sesat dari selatan yang berjuluk Ban-tok Kwi-ong (Raja Iblis Selaksa Racun). Datuk inikah yang melakukannya? Akan tetapi rasanya tidak mungkin. Seorang datuk seperti dia itu biasanya memiliki ketinggian hati, tidak mungkin kalau hanya hendak menangkap seorang pemuda saja harus menggunakan peledak racun pembius. Siapapun yang menangkap pemuda itu, Keng Han berada dalam bahaya dan dia harus menolong pemuda itu.

Keng Han merasa seperti dalam mimpi. Tahu-tahu setelah dia sadar kembali, dia sudah terbelenggu kaki tangannya, rebah di atas sebuah dipan dan tubuhnya dalam keadaan tertotok. Semua itu tidak merisaukan hatinya, akan tetapi yang membuat dia khawatir adalah kepalanya. Kepala itu pening sekali dan masih pening sehingga sukar dia berpikir. Dia membuka sedikit matanya dan melihat bahwa dirinya berada dalam sebuah kamar, seperti kamar tahanan karena pintunya dari besi dan ada jeruji besi pula di atas pintu. Di luar kamar itu, dia dapat melihat beberapa orang melalui jeruji besi dan agaknya mereka melakukan penjagaan. Perlahan-lahan dia pun teringat. Dia sedang duduk menghadapi api unggun bersama Souw Cu In dan tiba-tiba terdengar ledakan-ledakan dan asap mengepul tebal lalu dia tidak ingat apa-apa lagi dan tahu-tahu telah berada di tempat ini dalam keadaan terbelenggu dan tertotok. Dia merasa bahwa belenggu itu tidak sukar dipatahkan, juga totokan itu dapat dengan mudah dia punahkan. Akan tetapi kepeningan kepalanya masih terasa, maka dia pun diam saja rebah berbaring menanti perkembangan lebih lanjut sambil memberi waktu kepada kepalanya agar bebas dari kepeningan akibat asap racun pembius itu.

Tidak terlalu lama dia menanti. Dia mendengar daun pintu besi dibuka orang dan nampak tiga orang memasuki tempat tahanan itu. Seorang di antara mereka adalah seorang kakek yang segera dikenalnya. Kakek Itu adalah Toat-beng Kiam-sian yang pernah bentrok dengan dia. Dia menegur kakek yang terlalu kejam menghukum tiga orang anak buahnya dan karena itu kakek ini marah sekali kepadanya. Dia diberi waktu untuk menghadapinya selama sepuluh jurus dan kalau selama itu dia tidak roboh, dia akan dibebaskan. Dan dia berhasil bertahan sampai sepuluh jurus. Ketika kakek itu merasa penasaran hendak menggunakan tongkat yang sekarang dipegangnya itu, Bi-kiam Nio-cu menegurnya dan mengingatkan akan janjinya dan kakek itu lalu pergi. Sekarang kakek itu agaknya yang menyuruh anak buahnya menawannya. Entah apa yang hendak dilakukan atas dirinya. Dia pura-pura masih pingsan akan tetapi memperhatikan mereka bertiga dengan telinganya.

Nah, inilah pemuda itu. Bagaimana pendapatmu, Siu Lan?

Gadis yang datang bersamanya itu memandang wajah Keng Han penuh perhatian. Gadis ini cukup cantik, dengan pakaiannya yang mewah.

Dia kelihatan seperti seorang dusun, Ayah. kata gadis itu setelah mengamati Keng Han.

Ha-ha-ha! Kakek itu tertawa. Jangan melihat pakaiannya, Siu Lan. Lihatlah wajahnya. Bukankah dia tampan dan gagah? Dan tentang ilmu silat, sudah kukatakan bahwa dia lihai juga dan pantas untuk menjadi jodohmu.

Suhu, saya tidak percaya bahwa dia mampu melawan Sumoi kata pemuda yang datang bersama mereka. Pemuda ini bertubuh tinggi besar, berwajah gagah namun pandang matanya membayangkan kecongkakan hati. Jelas dia memandang rendah kepada Keng Han yang menggeletak tidak berdaya di atas dipan itu. Dia tidak pantas untuk melawan Sumoi. Biarlah dia melawan saya lebih dulu. Kalau dia mampu menandingi saya, baru Sumoi boleh mencobanya!

Toat-beng Kiam-sian tertawa dan mengangguk-angguk. Hmmm, pikiran yang baik itu. Boleh engkau mencobanya dulu, Bu Tong.

Biar saya bebaskan dulu dia dari totokan dan belenggunya! kata pemuda itu yang bernama Gan Bu Tong.

Akan tetapi ketika dia menghampiri dipan, Keng Han mengerahkan tenaganya dan totokan itu pun sudah punah, lalu sekali dia menggerakkan kaki tangannya, ikatan itu pun putus semua! Keng Han lalu bangkit dan meloncat berdiri menghadapi tiga orang itu.

Mengapa kalian menangkap aku? Aku tidak mempunyai permusuhan dengan kalian, mengapa kalian berbuat begini? tegurnya.

Toat-beng Kiam-sian Lo Cit, puterinya yang bernama Lo Siu Lan dan muridnya itu terkejut bukan main melihat betapa pemuda itu telah terbebas dari totokan dan dengan mudahnya mematahkan semua belenggu.

Toat-beng Kiam-sian maju dan tertawa. Ha-ha-ha, tempo hari engkau dapat menahan sepuluh jurus seranganku, maka hatiku tertarik untuk mengujimu, orang muda. Sekarang lawanlah muridku ini, hendak kulihat sampai di mana kelihaianmu!

Aku tidak ingin bertanding dengan siapapun tanpa sebab. Di antara kita tidak ada urusan, mengapa kita harus bertanding?

Hemmm, bocah sombong. Ada atau tidak ada urusan, aku akan menandingimu. Kalau engkau takut, engkau boleh berlutut dan mencium kaki, guru sambil meminta ampun, baru kami akan melepaskanmu. kata Bu Tong yang memandang rendah.

Keng Han mengerutkan alisnya. Aku tidak bersalah apa pun, mengapa harus minta ampun? Aku tidak sudi melakukannya, jangan engkau menghinaku!

Aku memang sengaja menghinamu, habis kau mau apa? Aku menantangmu untuk mengadu kepandaian, kalau engkau menolak berarti engkau takut?

Panas juga rasa hati Keng Han. Dia ditangkap tanpa sebab, kemudian ditantang dan dianggap pengecut kalau tidak berani. Tentu saja dia berani.

Siapa takut kepada kalian? Aku tidak bersalah apa pun, maka tentu saja aku tidak takut!

Ha-ha-ha, bagus. Itu suara seorang laki-laki sejati. Orang muda, marilah kita ke lian-bu-thia dan di sana kita melihat sampai di mana kepandaianmu. kata Toat-beng Kiam-sian. Makin senang hatinya menyaksikan kegagahan sikap Keng Han. Sebetulnya, pangcu dari Kwi-kiam-pang ini sudah tertarik sekali kepada Keng Han ketika Keng Han mampu menahan sepuluh jurus serangannya, bahkan mampu menangkis Pukulan Halilintar darinya. Karena itu, ketika melihat Keng Han bersama Souw Cu In, dia lalu menyuruh para anggauta Kwi-kiam-pang menggunakan obat peledak dan pembius untuk menangkapnya. Dia bermaksud untuk menjodohkan pemuda ini dengan puterinya, Lo Siu Lan yang selalu menolak pinangan para pemuda karena di antara mereka tidak ada yang mampu menandinginya. Memang kepandaian Siu Lan sudah hebat sekali. Bahkan suhengnya, Gan Bu Tong juga tidak dapat menandinginya!

Keng Han menjadi penasaran sekali. Karena ditantang, maka dia mengikuti mereka menuju ke sebuah ruangan yang luas dan ini merupakan tempat para anggauta Kwi-kiam-pang berlatih silat. Juga dia melihat bahwa anggauta perkumpulan itu banyak sekali, tidak kurang dari lima puluh orang! Agaknya sulit baginya untuk meloloskan diri menggunakan kekerasan karena selain harus menghadapi tiga orang itu, juga harus menghadapi para anggauta Kwi-kiam-pang. Maka dia hendak menebus kebebasannya dalam pertandingannya itu.

Setelah tiba di lian-bu-thia (tempat berlatih silat), Keng Han telah dihadapi oleh Bu Tong yang bersikap angkuh. Nah, bersiaplah engkau untuk melawan aku! kata Bu Tong.

Nanti dulu. kata Keng Han lalu menoleh kepada Toat-beng Kiam-sian. Locianpwe adalah seorang yang berkedudukan tinggi, apakah ucapannya dapat dipercaya?

Lo Cit membelalakkan matanya, kakek yang kakinya timpang ini marah sekali mendengar pertanyaan itu. Bocah sombong, tentu saja ucapanku dapat dipercaya!

Heh, nanti dulu. Kalau engkau mampu mengalahkan muridku, engkau harus dapat mengalahkan pula puteriku ini, dan selanjutnya harus mampu bertahan menghadapi aku sampai lima puluh jurus. Kalau sudah begitu barulah engkau tidak akan diganggu lagi bahkan akan kunikahkan dengan puteriku ini. Ha-ha-ha-haha!

Nah, kalau begitu, setelah aku dapat mengalahkan pemuda muridmu ini, apakah aku akan dibebaskan dan dibiarkan pergi tanpa diganggu?

Bukan main kagetnya hati Keng Han mendengar ucapan itu. Dia hendak dinikahkan dengan gadis cantik itu? Sungguh keterlaluan sekali peraturan kakek itu. Dia sendiri tidak ditanya apakah dia suka atau tidak!

Aku tidak ingin menikah dengan siapapun juga. Aku hanya minta agar aku dibebaskan dan tidak diganggu lagi.Ha-ha-ha, kita lihat saja nanti. Hayo Bu Tong, mulailah dengan seranganmu! kata Lo Cit sambil tertawa senang.

Gan Bu Tong sudah mencabut pedangnya. Sobat, sebutkan dulu namamu agar engkau jangan mati tanpa nama.

Namaku Si Keng Han dan aku tidak akan mati melawanmu.

Nah, di sudut itu ada rak senjata. Boleh engkau pilih untuk menghadapi pedangku!

Hmmm, pemuda ini memiliki watak yang gagah juga dan tidak curang, pikir Keng Han. Agaknya mereka ini bukan orang-orang jahat, akan tetapi orang-orang yang suka membawa dan mempertahankan kehendak sendiri.

Aku tidak membutuhkan senjata-senjata itu. Bahkan aku sendiri juga memiliki sebatang pedang, akan tetapi tidak akan kupergunakan untuk melawanmu.

Tangan kakiku sudah cukup untuk kupakai membela diri. katanya sambil memperlihatkan pedang bengkoknya yang berada di pinggangnya.

Si Keng Han, engkau sombong, akan tetapi engkau sendiri yang menentukan. Jangan anggap aku keterlaluan melawanmu dengan pedangku! kata Bu Tong penasaran dan marah karena dia menganggap pemuda itu memandang rendah kepadanya.

Tiba-tiba Lo Siu Lan mencabut pedangnya dan melemparkan pedang itu kepada Keng Han. Si Keng Han, pedang Suhengku merupakan senjata ampuh. Semua senjata di rak itu akan patah apabila bertemu dengan pedangnya, maka pakailah pedangku ini!

Melihat pedang itu melayang ke arahnya, Keng Han menyambutnya, akan tetapi dia berkata kepada gadis itu. Terima kasih, Nona. Akan tetapi sungguh aku tidak membutuhkan pedang! Dan dia melemparkan kembali pedang itu kepada Siu Lan, lalu menghadapi Bu Tong sambil berseru. Aku sudah siap menghadapi seranganmu!

Gan Bu Tong semakin marah. Perbuatan sumoinya tadi dianggapnya sebagai pukulan baginya. Sumoinya agaknya berpihak kepada pemuda ini!

Lihat serangan pedangku! bentaknya dan dia pun mulai manyerang dengan bacokan pedangnya. Akan tetapi dengan gesitnya Keng Han mengelak. Bacokan dan tusukan susul-menyusul menghujam ke arah tubuh Keng Han, namun dengan ilmu Hong-in Bun-hoat Keng Han selalu dapat mengelak dengan cepat sekali. Setelah belasan jurus mengeliak, barulah dia membalas serangan lawan dengan pukulan-pukulan tangannya yang ampuh. Ketika pedang lawan menyambar ke arah kepalanya, dia malah maju mendekat dan sekali jari tangannya menyentil pedang, pedang itu terlepas dari tangan Bu Tong, mengeluarkan suara nyaring berdenting ketika jatuh ke atas lantai. Kalau Keng Han menghendaki, saat yang baik itu tentu dapat dia pergunakan untuk merobohkan lawan. Akan tetapi dia tidak mau berbuat demikian, melainkan dia mencokel pedang itu dengan kakinya dan pedang itu melayang ke arah pemiliknya. Bu Tong menangkap pedangnya dan dengan muka merah sekali dia mengundurkan diri karena setelah pedangnya terlepas dia maklum bahwa dia tidak mampu menandingi Keng Han.

Lo Siu Lan gembira sekali melihat betapa Keng Han dapat mengalahkan suhengnya. Sekali kakinya bergerak, tubuhnya sudah melayang ke depan dan ia berhadapan dengan Keng Han. Sejenak gadis itu mengamati Keng Han dari atas sampai ke bawah seperti orang menaksir seekor kuda yang hendak dibelinya. Hal ini tentu saja membuat Keng Han tersipu dan dia cepat mengangkat tangan memberi hormat kepada gadis itu.

Nona, di antara kita tidak ada permusuhan, harap suka menghabiskan urusan ini dan biarkan aku pergi dengan aman. Aku sama sekali tidak ingin bermusuhan dengan kalian.

Lo Siu Lan menjawab dengan suaranya yang merdu, Siapa yang hendak bermusuhan? Kami hanya ingin membuktikan sendiri sampai di mana kelihaianmu dan ternyata engkau mampu mengalahkan suheng Gan Bu Tong. Maka, mari kita main-main sebentar. Akan tetapi, perkumpulan kami disebut Kwi-kiam-pang (Perkumpulan Pedang Setan), maka aku pun hanya bisa memainkan pedang. Kalau engkau tetap bertangan kosong, sungguh amat tidak enak bagiku.

Kembali diam-diam Keng Han memuji. Gadis ini pun selain tidak curang, juga tidak tinggi hati seperti suhengnya. Nona, sudah kukatakan tadi bahwa kalau tidak terpaksa sekali aku tidak pernah menggunakan pedangku, cukup dengan tangan kakiku saja. Maka kalau Nona memaksaku untuk bertanding pergunakanlah pedangmu, aku akan membela diri dengan kedua kaki tanganku saja.

Bagus, engkau memang seorang pemuda yang berani. Nah, sambutlah pedangku ini, Sobat! Lu Siu Lan sudah mencabut pedangnya dan nampak sinar menyambar. Begitu ia melakukan penyerangan terdengar bunyi pedang berdesing dan sinar kilat menusuk ke arah dada Keng Han. Baru gebrakan pertama saja tahulah Keng Han bahwa gadis ini memang lebih lihai dibandingkan suhengnya. Akan tetapi gerakan yang cepat itu tidak membuat Keng Han bingung karena baginya kecepatan gerakan gadis itu masih belum hebat. Dengan mudahnya dia mengelak dari sambaran pedang. Gadis itu mendesak terus dan pedangnya berkelebatan, kadang menyerang leher, kadang dada dan ada kalanya menyabet ke arah kedua kaki Keng Han. Pemuda ini memperlihatkan kegesitannya. Sampai sepuluh jurus dia mengelak terus, baru pada jurus ke sebelas dia membalas.

Ketika itu pedang di tangan Siu Lan menyembar ke arah dada dengan tusukan kilat. Keng Han miringkan tubuhnya dan menggunakan dua jari tangan kirinya untuk menjepit pedang itu. Siu Lan terkejut bukan main karena pedangnya seperti dijepit jepitan baja saja. Biarpun ia berusaha untuk menariknya, namun pedang itu tidak dapat terlepas dari dua jari tangan Keng Han. Gadis itu menjadi penasarap dan tangan kirinya sudah meluncur untuk menghantam dada lawan.

Keng Han juga menggerakkan tangan kanannya. Dia maklum bahwa gadis ini menggunakan pukulan yang mengandung tenaga sinkang amat kuat, maka dia pun mengerahkan sinkangnya sehingga dari tangan kanannya itu keluar hawa yang sangat panas. Demikian pula pukulan tangan kiri Siu Lan mengandung hawa panas karena gadis ihi telah menyerang dengan pukulan Halilintar.

Desssss....! Dua telapak tangan bertemu dan tubuh Siu Lan terhuyung ke belakang karena pada saat itu juga Keng Han melepaskan jepitan jari tangannya dari pedang lawan. Siu Lah cepat mengambil napas panjang untuk menjaga agar dalam dadanya tidak terluka. Akan tetapi ia tahu bahwa dirinya kalah maka ia pun cepat bersembunyi di balik tubuh ayahnya dan mukanya menjadi merah tersipu dan mulutnya tersenyum malu-malu.

Melihat tingkah puterinya, Toat-beng Kiam-sian Lo Cit tertawa bergelak. Haha-ha, sekarang engkau baru percaya kepada omongan ayahmu? Si Keng Han, engkau telah mengalahkan anakku Siu Lan, maka mulai sekarang engkau harus menjadi suaminya!

Keng Han terkejut sekali dan memandang kepada kakek timpang itu dengan alis berkerut. Apa maksud Locianpwe? Saya tidak akan menikah dengan siapapun juga!

Hemmm, dengarlah Si Keng Han. Anakku menolak semua lamaran orang karena ia sudah bersumpah untuk menikah dengan pria yang dapat mengalahkannya dan engkaulah yang sekarang mengalahkannya.

Akan tetapi sejak semula aku tidak menghendaki pertandingan ini. Aku dipaksa. Aku sama sekali bukan bertanding untuk memperoleh kemenangan dan untuk memperoleh jodoh. Maaf, Locian-pwe, aku tidak dapat menerimanya. Dan sekarang, harap kalian suka membiarkan aku pergi dari sini!

Ho-ho-ho, tidak demikian mudah, orang muda! Kalau engkau menolak berjodoh dengan puteriku, hal itu berarti engkau telah menghinaku! Dan siapa menghinaku harus mampus! Akan tetapi karena aku menyukaimu, engkau tidak akan kubunuh. Bersiaplah untuk menahan seranganku sampai lima puluh jurus. Kalau selama lima puluh jurus engkau mampu menahan pedang tongkatku, barulah engkau boleh pergi dari tempat ini!

Tiba-tiba terdengar bentakan, halus. Toat-beng Kiam-sian Lo Cit sungguh tidak tahu malu dan mau menghina yang muda!

Semua orang terkejut dan menengok. Ternyata, tanpa dapat diketahui para anak buah Kwi-kiam-pang, Souw Cu In telah muncul di situ. Toat-beng Kiam-sian, puterinya dan para muridnya tentu saja terkejut dan terheran. Hanya Keng Han yang menjadi girang bukan main.

Bibi guru telah datang! Kalian tidak akan memaksaku untuk kawin! katanya dan dia menghampiri Cu In. Toat-beng Kiam-sian Lo Cit memandang penuh perhatian dan semakin heran mendengar Keng Han menyebut bibi guru, kepada seorang gadis yang berpakaian putih dan mukanya bagian bawah tertutup sutera putih! Teringatlah dia kepada Bi-kiam Nio-cu yang dahulu disebut subo oleh pemuda ini. Tahulah dia bahwa gadis bercadar putih ini pun merupakan seorang murid dari Ang Hwa Nio-nio atau sumoi dari Bi-kiam Nio-cu.

Nona, apakah engkau murid Ang Hwa Nio-nio? tanyanya.

Tidak salah, Pangcu. Aku adalah murid subo Ang Hwa Nio-nio dan Si Keng Han ini adalah murid suci-ku, jadi dia masih murid keponakanku sendiri. Sungguh tidak pantas sekali kalau Pangcu (ketua) hendak memaksanya menikah dengan puterimu. Mana ada paksaan kepada seorang pria untuk menikah? Dan engkau telah menantangnya untuk bertanding selama lima puluh jurus. Bukan-kah ini namanya menghina yang muda? Apakah engkau tidak akan malu kalau hal ini terdengar oleh dunia kang-ouw?

Wajah Lo Cit menjadi merah sekali. Tak disangkanya bahwa wanita bercadar itu telah mengetahui dan agaknya telah mendengar semua percakapan tadi. Hal ini saja menunjukkan kehebatan ilmu sinkangnya sehingga tak seorang pun tahu akan kehadirannya.

Bocah bermulut lancang! Siapakah namamu, yang berani bicara seperti Itu kepadaku? Lo Cit mencoba mengangkat namanya.

Namaku Souw Cu In, dan memang aku orang biasa saja. Akan tetapi apa yang kau lakukan ini memang memalukan sekali, Pangcu. Pertama, engkau menggunakan bahan peledak yang mengandung racun pembius untuk menangkap Si Keng Han. Kemudian engkau memaksanya menikah dengan puterimu dan yang terakhir engkau baru mau membebaskannya kalau sudah bertanding denganmu selama lima puluh jurus! Sungguh memalukan!

Memang sungguh memalukan! Keng Han ikut-ikutan bicara. Mana aku mampu menahan serangannya sampai lima puluh jurus? Ini sama saja dengan memaksaku tinggal di sini dan mengawini puterinya yang tidak kucinta. Mana ada aturan begitu, ya, Bibi Guru?

Memang tidak ada aturan seperti itu di dunia kang-ouw, kecuali dunianya orang-orang sesat. Tentu Kwi-kiam Pangcu tidak akan suka disebut orang sesat! kata lagi Souw Cu In.

Lo Siu Lan menjadi marah sekali. Ia marah karena melihat hubungan yang akrab antara Keng Han dan Cu In. Biarpun mereka mengaku sebagai bibi guru dan murid keponakan, akan tetapi keduanya masih muda dan wanita bercadar itu nampak cantik jelita dan tubuhnya begitu ramping seperti batang pohon liu. Ia merasa cemburu sekali!

Perempuan hina! Buka cadarmu dan perlihatkan mukamu! Engkau telah berani mencampuri urusan kami! Berkata demikian, Lo Siu Lan telah mencabut pedangnya.

Souw Cu In mendengus seperti orang mengejek. Dan engkau, sungguh tidak malu hendak memaksa seseorang menjadi suamimu!

Keparat! Lo Siu Lan menyerang dengan pedangnya. Akan tetapi bagaikan bayangan saja, tubuh Souw Cu In telah meloncat ke samping dan tiba-tiba ada sinar putih mencuat dan tahu-tahu pedang di tangan Siu Lan terlibat dan terampas! Siu Lan terkejut dan melompat mundur. Cu In mengambil pedang itu dan melemparkannya kembali kepada Siu Lan.

Siapa yang keparat masih patut diselidiki! kata Cu In. Biarpun marah sekali, Siu Lan tidak berani sembarangan lagi bergerak. Dalam segebrakan saja pedangnya telah terampas!

Lo Cit juga kaget melihat hal ini. Gadis bercadar itu lihai bukan main.

Siapa yang sudah masuk ke sini tidak boleh sembarangan keluar. Kalau Si Keng Han ingin membebaskan diri, dia harus melalui pertandingan denganku. Tidak usah sampai lima puluh jurus, melihat dia masih muda biarlah kuberi waktu....

Sepuluh jurus! kata Keng Han. Sepuluh jurus sudah merupakan waktu yang lama, melihat aku yang masih begini muda harus melawan Pangcu yang tua dan berpengalaman!

Toat-beng Kiam-sian tertegun. Dulu pernah dia menyerang pemuda ini sampai sepuluh jurus dan ternyata dia tidak dapat merobohkan. Akan tetapi ketika itu dia tidak menggunakan pedang tongkatnya. Kalau dia menggunakan pedang tongkatnya, mungkin dalam satu atau dua jurus saja dia sudah mampu mengalahkan pemuda itu.

Keng Han, sepuluh jurus pun sudah terlalu lama. Engkau tidak akan dapat bertahan menghadapi pedangnya walau hanya lima jurus saja! Ucapan ini bernada sungguh-sungguh penuh kekhawatiran, padahal sebenarnya merupakan pancingan yang amat cerdik dari Souw Cu In. Gadis ini sudah melihat kelihaian Keng Han yang dapat menandingi seorang datuk besar seperti Swat-hai Lo-kwi. Kalau pemuda itu mampu menandingi Swat-hai Lo-kwi, maka menghadapi Toat-beng Kiam-sian dalam sepuluh jurus saja tidak mungkin dia dikalahkan, apalagi dalam lima jurus. Bahkan mungkin sampai puluhan jurus akan mampu bertahan.

Mendengar ucapan dan melihat sikap Souw Cu In, Toat-beng Kiam-sian membentak, Baiklah, sepuluh jurus! Kalau pedangku selama sepuluh jurus belum mampu mengalahkanmu, engkau boleh pergi dari sini tanpa diganggu!

Keng Han, berhati-hatilah. Pedang tongkat itu amat lihai sekali! Kembali Souw Cu In berseru.

Hayo, orang muda. Kau boleh menggunakan senjata apa pun, boleh kau pilih dari rak senjata itu untuk menghadapi pedangku! kata kakek itu sambil mengangkat tongkat di tangannya yang dalamnya terisi pedang.

Lo-pangcu! Keng Han tidak pernah menggunakan senjata, maka kalau kau menggunakan pedang, itu licik sekali namanya!

Dia boleh memilih senjata yang disukainya! Aku tidak peduli, dia mau bersenjata atau tidak! '

Jangan khawatir, Bibi Guru. Aku memiliki pedangku ini! Keng Han mencabut pedang bengkoknya yang selama ini belum pernah dia pakai untuk berkelahi. Akan tetapi, mendengar nasihat Souw Cu In, dia tahu bahwa tentu ilmu pedang kakek timpang itu hebat dan dahsyat, maka kini dia menggunakan pedang pemberian ibunya atau pedang peninggalan ayah kandungnya.

Melihat pemuda itu memegang sebatang pedang bengkok, Gan Bu Tong tertawa. Ha-ha-ha, dia memegang sebatang pisau pemotong ayam! Dia mengejek.

Diam, Suheng! Engkau sudah dikalahkannya dengan mudah! kata Lo Siu Lan ketus.

Akan tetapi Toat-beng Kiam-sian memandang rendah pedang bengkok itu. Orang muda, bersiaplah menghadapi seranganku! bentaknya dan pedangnya sudah menyambar bagaikan kilat cepatnya.

Singgggg....! Keng Han terkejut bukan main. Dahsyat sekali pedang itu menyambar, beberapa kali lipat lebih cepat dan kuat daripada pedang yang dimainkan Lo Siu Lan tadi. Akan tetapi dia sudah siap, dengan gerakan tangkas dia mengelak sambil memutar pedang bengkoknya menangkis.

Tranggg....! Nampak bunga api berpercikan dan keduanya merasa betapa tangan yang memegang pedang menjadi panas den tergetar.

Jurus pertama....! Souw Cu In menghitung dengan suara nyaring sekali.

Lo Cit merasa penasaran dan mulailah dia mengayun pedangnya dan menyerang dari segala jurusan dan dengan kecepatan kilat. Memang tidak kosong saja julukannya Dewa Pedang karena memang hebat sekali ilmu pedangnya. Namun, Keng Han juga memiliki ilmu Hong-in Bun-hoat yang sakti. Dengan berloncatan ke sana-sini dan pedang bengkoknya mencorat-coret menuliskan huruf-huruf, dia dapat menghindarkan diri dari semua serangan kakek itu.

Jurus ke dua.... ke tiga.... ke empat....! Souw Cu In menghitung terus jurus-jurus yang dimainkan oleh kakek itu.

Pada jurus ke enam, Keng Han sama sekali belum tersentuh pedang lawan, bahkan kini dia mampu membalas dengan gerakan corat-coretnya yang membingungkan lawan.

Jurus ke delapan....!

Toat-beng Kiam-sian menjadi marah bukan main. Sudah delapan jurus lewat dan lawannya masih mampu menandinginya, bahkan mampu membalas serangannya. Dan dia sendiri tidak mengenal ilmu silat pedang lawan yang seperti corat-coret menuliskan huruf itu. Dia membentak keras sambil berjongkok dan menyabetkan pedangnya untuk membabat kedua kaki lawan.

Hyaaaaattttt....!

Keng Han meloncat ke atas dengan gerakan ringan seperti seekor buruhg terbang sehingga babatan itu hanya lewat di bawah kedua kakinya.

Jurus ke sembilan....! Cu In berseru girang, akan tetapi tiba-tiba wajahnya menjadi pucat dan ia memandang, dengan hati cemas ketika melihat serangan jurus ke sepuluh. Kini Lo Cit menggerakkan pedangnya ke atas, menyambut tubuh Keng Han yang melompat turun dan bukan pedangnya saja yang menyerang, akan tetapi juga tangan kirinya menghantam dengan ilmu pukulan Halilintar! Bukan main hebatnya pukulan dan tusukan pedang ini dan tubuh Keng Han masih berada di udara.

Sementara itu, melihat serangan lawan yang nekat dan berbahaya, Keng Han menggerakkan pedang bengkoknya untuk menangkis dan tangan kirinya juga dihantamkan ke depan menyambut pukulan Halilintar lawan.

Tranggg.... desss....! Hebat bukan main pertemuan kedua pedang itu, akan tetapi lebih dahsyat lagi pertemuan kedua telapak tangan. Akibatnya, tubuh Lo Cit terdorong sehingga dia terhuyung ke belakang, sedangkan Keng Han turun ke bawah dengan selamat.

Jurus ke sepuluh! bentak Cu In.

Akan tetapi agaknya Lo Cit tidak mempedulikan teriakan itu dan kini bahkan menyerang lagi dengan lebih dahsyat ke arah Keng Han. Dan bersama dengan majunya Lo Cit, kini beberapa orang murid, di antaranya Gan Bu Tong juga hendak melakukan pengeroyokan. Melihat gelagat yang tidak baik ini, Cu In sudah meluncurkan sabuk suteranya yang berubah menjadi sinar putih menyerang kearah Lo Siu Lan. Siu Lan terkejut akan tetapi tidak sempat mengelak dan tahu-tahu pinggangnya telah terlibat ujung sabuk dan sekali Cu In menarik, tubuh Siu Lan terdorong ke arahnya dan ia sudah menangkap gadis itu dan menodongkan jari-jari tangan kirinya ke atas ubun-ubun kepala Siu Lan.

Tahan semua senjata atau aku akan membunuh Siu Lan! teriak Cu In dengan suara nyaring. Toat-beng Kiam-sian Lo Cit menengok dan wajahnya berubah ketika dia melihat puterinya telah berada dalam ancaman tangan Cu In. Dia maklum bahwa sekali menggerakkan tangan itu ke arah ubun-ubun kepala anaknya, gadis itu tentu akan tewas!

Tahan semua senjata dan mundur! bentaknya kepada para muridnya. Semua mundur dan memandang ke arah Cu In yang masih mengancam Siu Lan.

Keng Han, mari kita pergi dari sini. Awas, jangan ada yang mengikuti kami kalau ingin gadis ini selamat! kembali Cu In membentak dan ia mendorong Siu Lan berjalan di depan sedangkan ia dan Keng Han berjalan di belakangnya. Dengan cara ini mereka dapat keluar dari sarang Kwi-kiam-pang tanpa ada yang berani menghalangi.

Setelah tiba di luar, Cu In menotok Siu Lan sehingga gadis ini menjadi lemas dan roboh tak berdaya, kemudian mereka berdua berlari cepat meninggalkan tempat itu.

Belasan li mereka berlari meninggalkan tempat itu sampai mereka memasuki sebuah hutan di lereng bukit. Mereka berhenti melepas lelah dan Keng Han berkata dengan nada suara menegur, Sui, kenapa menggunakan cara yang curang itu untuk menyelamatkan diri?

Curang katamu? Bagaimana dengan Toat-beng Kiam-sian itu? Sudah sepuluh jurus engkau bertahan terhadap serangannya, ehhh, dia malah menyerang lagi dan maju mengeroyok. Mereka demikian banyak, bagaimana mungkin kita dapat melawan mereka? Kalau aku tidak menggunakan akal itu, apa kaukira kita bisa keluar dengan selamat.

Keng Han menundukkan mukanya, harus mengaku kebenaran ucapan gadis itu. Ah, mengapa di dunia ini banyak orang yang tidak sungkan berlaku curang seperti ketua Kwi-kiam-pang tadi?

Itulah! Merupakan pelajaran pertama bagimu kalau engkau memasuki dunia kang-ouw, yaitu, jangan mudah percaya kepada siapapun juga atau engkau akan tertipu. Lebih banyak orang yang curang daripada yang jujur, lebih banyak yang jahat daripada yang baik. Nah, sekarang tiba saatnya kita harus berpisah mengambil jalan masing-masing.

Su-i, kata Keng Han dengan suara sungguh-sungguh. Kalau perjalanan kita sama, menuju ke satu jurusan, yaitu kota raja, kenapa kita tidak melakukan perjalanan bersama saja?

Tidak pantas seorang pemuda melakukan perjalanan bersama seorang gadis!

Aih, Su-i, bukankah engkau ini bibi guruku? Kenapa tidak pantas? Yang penting kita tidak melakukan sesuatu yang tidak pantas. Pula, agaknya memang sudah semestinya kita melakukan perjalanan bersama sehingga dapat saling melindungi. Bayangkan saja, kalau kita tidak melakukan perjalanan bersama, engkau sudah celaka di tangan Tunghai Lo-mo dan aku sudah celaka di tangan Toat-beng Kiam-sian! Dengan berdua, kita dapat mengatasi semua bahaya itu.

Souw Cu In termenung, agaknya melihat kebenaran dalam ucapan pemuda itu dan ia mempertimbangkan. Tiba-tiba ia mengangkat mukanya dan bertanya. Keng Han, apakah engkau murid keluarga Pulau Es?

Bukan, Su-i. Bahkan aku selama hidup belum pernah bertemu dengan mereka. Akan tetapi ilmu silatmu itu.... aku pernah mendengar subo bercerita tentang ilmu-ilmu keluarga itu. Katanya ada ilmu yang sifatnya seperti mencorat-coret dengan tangan atau pedang, yang disebut Hong-in Bun-hoat, dan tadi engkau menggunakan ilmu itu, bukan?

Terhadap gadis ini Keng Han tidak ingin berbohong. Memang sesungguhnya aku tadi memainkan ilmu Hong-in Bun-hoat.

Dan kau bilang bukan murid Pulau Es?

Bukan, Su-i. Aku tidak berbohong. Kudapatkan ilmu ini di sebuah gua di Pulau Hantu, bersama ilmu-ilmu lain.

Ilmu apa saja? Ah, kau tidak perlu mengaku kalau hendak merahasiakannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar