Bagus, kalau begitu hanya ada dua pilihan untukmu. Pertama, kauambil sebatang golok mereka dan membunuh diri di depanku atau, engkau boleh membela diri dari seranganku, aku yang akan membunuhmu!
Nah, inilah bukti baru dari kekejamanmu, Nona. Aku yang tidak bersalah apa pun hendak kaubunuh. Bukankah itu kejam sekali namanya!
Tidak peduli! Engkau memanaskan perutku, engkau berani memaki aku kejam. Hayo kaupungut golok di sana itu dan membunuh diri di depanku.
Aku mendengar bahwa bunuh diri adalah perbuatan seorang pengecut, dan aku bukan pengecut. Aku berani hidup dan tidak takut mati demi membela kebenaran.
Aha! Wanita itu mencibir, kiranya engkau seorang pendekar pembela kebenaran?
Bukan hanya pendekar yang harus membela kebenaran. Biar orang awam seperti aku pun berkewajiban untuk membela kebenaran!
Jadi engkau tidak mau membunuh diri mentaati perintahku? tanya wanita itu, , nadanya mengancam.
Keng Han menggeleng kepalanya. Tidak mau! jawabnya tegas.
Kalau begitu, engkau harus membela dirimu dari seranganku. Aku akan menyerangmu, kalau sampai sepuluh jurus aku tidak mampu membunuhmu, biarlah aku mengampuni nyawamu. Akan tetapi kalau sebelum sepuluh jurus kau mati, jangan arwahmu menyalahkan aku!
Engkau memang wanita kejam! Keng Han memaki marah dan memandang dengan mata melotot. Dia tidak menganggap wanita itu jahat, karena wanita itu telah. membantu para penduduk dusun dari gangguan gerombolan perampok, akan tetapi wanita itu terlalu kejam, terlalu mudah membunuh orang.
Lihat serangan! Wanita itu berseru dan tiba-tiba tangan kirinya bergerak cepat sekali menampar ke arah pelipis kanan Keng Han.
Namun dengan mudah saja Keng Han menarik kepalanya ke belakang sehingga tamparan tangan kiri itu lewat dii depan hidungnya dan dia mencium bau harum ke luar dari lengan baju itu.
Agaknya wanita itu pun terkejut melihat betapa tamparannya dengan mudah dielakkan oleh pemuda itu, maka, ia pun menyusulkan serangan yang lebih hebat lagi, menotok ke arah dada Keng Han. Kembali pemuda ini bergerak, miringkan tubuhnya dari totokan itu pun luput!
Ketika wanita itu mendesak terus dengan pukulan ketiga yang amat ganas, Keng Han menggerakkan tangan menangkis pukulan yang mengarah mukanya itu.
Dukkk! Pertemuan dua tenaga sinkang itu membuat wanita itu terdorong mundur dua langkah. Tentu saja ia terkejut bukan main dan merasa penasaran sekali. Pemuda itu ternyata bukan hanya mampu mengelak, bahkan tangkisannya demikian kuat membuat ia terdorong mundur! Dengan kemarahan berkobar wanita itu menyerang terus secara bertubi-tubi, namun sampai jurus ke sembilan, serangannya selalu gagal. Keng Han juga harus mengeluarkan kepandaiannya karena dia mendapat kenyataan betapa dahsyat dan hebatnya serangan-serangan itu. Hanya dengan ilmu silat sakti Hong-in Bun-hoat dia berhasil lolos dari serangkaian serangan itu.
Tiba-tiba ada sinar hitam menyambar. Keng Han terkejut bukan main karena sinar hitam itu adalah rambut wanita itu yang bergerak secara luar biasa sekali dan tahu-tahu telah melibat muka dan lehernya! Bau harum menusuk hidungnya dan selagi dia tertegun, tidak tahu harus berbuat apa karena untuk merenggut rambut itu dia merasa tidak tega, sebuah totokan mengenai kedua pundak secara beruntun dan dia pun tidak mampu bergerak lagi!
Hi-hi-hik! Wanita itu tertawa puas. Ternyata pada jurus ke sepuluh engkau tidak berdaya, orang muda keras kepala! Sekarang bersiaplah untuk mampus!
Hemmm, aku sudah dapat menduga bahwa engkau hanyalah seorang wanita yang suka menjilat ludah sendiri dan melanggar janji sendiri! kata Keng Han yang maklum bahwa keselamatan nyawanya terancam.
Keparat! bentak wanita itu. Engkau masih berani memaki aku sebagai penjilat ludah sendiri? Kapan aku melakukan pelanggaran janji itu?
Memang belum akan tetapi hampir. Tadi engkau berjanji bahwa kalau sampai sepuluh jurus engkau tidak mampu membunuhku, engkau akan mengampuni nyawaku. Sekarang, sudah lewat sepuluh jurus engkau tidak mampu membunuhku, namun engkau akan membunuh aku juga! Bukankah itu berarti menjilat ludah sendiri? Cih, tak tahu malu!
Keng Han sengaja mengejek karena dia sudah sedikit mengenal watak wanita ini, yaitu angkuh dan tidak mau dianggap rendah budi.
Baik, aku tidak membunuhmu, akan tetapi aku tidak berjanji akan membebaskanmu. Engkau akan menjadi tawananku dan kalau kelakuanmu baik, kelak barangkali aku akan membebaskanmu! Setelah berkata demikian, ia menangkap lengan kanan Keng Han yang tidak dapat digerakkan itu dan menarik Keng Han pergi dari situ. Keng Han terseret akan, tetapi wanita itu tetap menariknya dan berlari dengan cepat sekali meninggalkan dusun itu. Para penduduk dusun hanya, menonton saja dan menganggap bahwa pemuda itu tentu mempunyai kesalahan maka pendekar wanita yang telah menolong mereka menjadi marah.
Wanita cantik itu kini mencengkeram baju di punggung Keng Han dan membawa lari Keng Han sampai mengangkatnya seperti menenteng seekor ayam saja. Keng Han membiarkan dirinya dibawa pergi. Dia sama sekali tidak merasa khawatir karena dia merasa yakin bahwa dengan hawa sakti yang terkandung di tubuhnya, dengan menyalurkan hawa itu dia akan mampu membebaskan dirinya sendiri dari pengaruh totokan.
Ketika wanita itu sudah menuruni bukit dan masuk sebuah hutan, Keng Han mulai menyalurkan tenaga dari tan-tian untuk membebaskan dirinya dari pengaruh totokan. Akan tetapi, alangkah terkejutnya ketika dia mendapat kenyataan bahwa jalan darahnya yang pokok tetap saja tidak, dapat ditembus. Dia hanya mampu menggerakkan kedua kaki dan lengannya dengan perlahan saja dan belum dapat menggerakkan jari-jarinya! Dia mencoba dan mencoba, akan tetapi hasilnya sama saja. Barulah dia merasa khawatir karena kini dia merasa bahwa dia benar-benar berada dalam cengkeraman wanita kejam ini.
Tiba-tiba wanita itu berhenti. Di depannya sudah berdiri dua orang tosu. Mereka itu bukan lain adalah Thian-yang-cu yang tinggi kurus dan Bhok-im-cu yang tinggi besar. Bhok-im-cu ini biarpun sudah menjadi seorang tosu, akan tetapi dia masih, tidak dapat meninggalkan wataknya di waktu muda, yaitu mata keranjang. Kini pun dia memandang Wanita itu dengan mata liar seolah matanya menggerayangi seluruh bagian tubuh wanita cantik itu dan mulutnya berliur seperti seekor srigala kelaparan melihat seekor kelinci gemuk. Akan tetapi, suhengnya, sudah menegur wanita itu dengan suara yang lantang. Nona, siapakah Nona dan mengapa Nona menawan seorang muda ini?
Apa urusanmu, tanya-tanya? Pergilah, jangan menghadang di jalan atau aku akan marah! kata gadis itu dengan suara ketus.
Aih, Nona. Engkau begini cantik mengapa bersikap begini kasar? Sayang kecantikanmu kalau begitu! kata Bhok-im-cu mencela.
Gadis itu melotot. Apa engkau ingin mampus? Pergilah, atau aku terpaksa akan menghajar kalian! Gadis itu kini membentak marah. Ia mendorong Keng Han ke belakang dan pemuda itu terhuyung lalu roboh terguling karena tubuhnya masih terasa lemas walaupun sebetulnya dia sudah mampu menggerakkan kaki tangannya dengan kaku, belum sempurna benar.
Siancai....! Thian-yang-cu berseru.
Engkau tentu seorang wanita jahat, Nona. Dan kami dari Bu-tong-pai tidak mungkin tinggal diam saja melihat orang berbuat jahat. Bebaskan pemuda ini atau jelaskan mengapa engkau menawannya, kalau engkau tidak ingin kami terpaksa turun tangan mencampuri urusanmu!
Tosu bau! Kalian kira aku takut kepada kalian?Gadis itu membentak marah dan ia pun sudah menggerakkan kaki tangannya, menyerang ke arah kedua orang tosu itu.
Thian-yang-cu dan Bhok-im-cu adalah dua orang tosu murid utama, tentu saja sudah memiliki ilmu kepandaian tinggi. Mereka dapat menghindarkan diri dan Thian-yang-cu membalas dengan serangan tendangannya. Gadis itu mengelak cepat dan kembali tangannya meluncur untuk melakukan totokan ke arah dada lawan. Bhok-im-cu juga menyerang dan dia merangkul dari belakang untuk meringkus nona itu. Serangannya ini membuat gadis itu bertambah marah karena mengira bahwa tosu itu hendak berkurang ajar. Ia mengelak sambil membalik dan sebuah tendangan kilat menyambar ke arah perut Bhok-im-cu. Hanya dengan melempar tubuh ke samping dan bergulingan saja Bhok-im-cu dapat meloloskan diri dari tendangan yang dahsyat itu. Akan tetapi dia terkejut sekali dan bersikap hati-hati, maklum bahwa nona itu memang lihai bukan main.
Thian-yang-cu adalah seorang murid pertama Bu-tong-pai, tentu saja dia tidak mau bertindak sembrono terhadap gadis yang belum diketahui kesalahannya itu. Dia hanya mencurigai gadis yang menawan seorang pemuda, belum ada bukti bahwa gadis itu seorang jahat. Oleh karena itu, dia pun tidak menyerang dengan sungguh-sungguh. Akan tetapi setelah beberapa gebrakan, dia terkejut bukan main karena gadis itu ternyata memiliki kepandaian yang amat tinggi. Terpaksa dia menambah tenaga pada tangannya dan dia sudah menyerang cepat, memukul ke arah pundak gadis itu. Akan tetapi agaknya gadis itu sudah tahu bahwa si tosu tidak mempergunakan seluruh tenaganya maka ia miringkan sedikit pundaknya sehingga pukulan itu mengenai pangkal lengan dan berbareng pada saat itu ia sudah meluncurkan jari tangannya menotok dada Thian-yang-cu sehingga tosu ini terpelanting roboh dan tidak mampu bangkit kembali. Melihat ini, Bhok-im-cu terkejut dan marah. Lenyaplah sifatnya yang main-main melihat gadis cantik. Dia menubruk dengan marah, akan tetapi dengan gerakan memutar yang indah, gadis itu dapat mengelak dan mengirim tendangan yang mengenai perutnya dan Bhok-im-cu juga terpelanting roboh. Sebetulnya kedua orang tosu ini tidak akan demikian mudah dirobohkan kalau saja mereka tidak memandang ringan lawannya.
Hemmm, tosu-tosu bau dari Bu-tongpai hanya memiliki sedikit kepandaian sudah berani mencampuri urusan orang? Kalian yang lancang tidak pantas dibiarkan hidup! Gadis itu lalu melangkah maju, siap untuk membunuh. Akan tetapi pada saat itu Keng Han yang belum dapat menggerakkan kaki tangannya dengan baik, sudah me lompat dan menerkam seperti seekor singa menerkam kambing, tahu-tahu tubuhnya sudah menimpa punggung gadis itu, kedua lengannya mendekap dan kedua kakinya juga mengait.Gadis itu terkejut sekali, ia meronta untuk melepaskan diri, akan tetapi tidak mampu karena dekapan Keng Han kuat bukan main.
Hei, bocah gila! Lepaskan aku, lepaskan....! Gadis itu berteriak-teriak.
Tidak, engkau tidak boleh membunuh orang! kata Keng Han. Dengan gemas ia meronta pula, mencoba melepaskan dekapan itu, bahkan menampar dan menyikut. Akan tetapi tamparan dan sikunya menghantam tubuh yang keras dan kenyal seperti karet sehingga tamparan itu membalik. Ia terkejut bukan main.
Anak setan! Tidak tahu malu kau! Hayo lepaskan....! Gadis itu menjerit-jerit. Entah mengapa, merasa betapa tubuhnya didekap lengan dan tubuh yang tegap dari seorang pemuda, mendadak saja ia merasa seluruh tubuhnya lemas, jantungnya berdebar keras dan keringat dingin membasahi lehernya. Ia tidak peduli lagi melihat kedua tosu itu merangkak dan pergi dengan cepat dari situ.
Berjanji dulu bahwa engkau tidak akan membunuh orang, baru aku mau melepaskanmu. Keng Han yang kini juga menyadari bahwa perbuatannya itu sungguh tidak pantas, mendekap tubuh seorang gadis seperti itu. Baru sekarang terasa olehnya betapa hangat dan lunak tubuh itu berada dalam dekapannya!
Aku berjanji....! kata gadis itu hampir menangis.
Keng Han melepaskannya dan begitu dilepaskan, sebuah tamparan mengenai pipi Keng Han, membuat dia terpelanting roboh. Akan tetapi dia bangkit kembali dan berdiri memandang gadis itu sambil meraba pipinya dan tersenyum.
Engkau.... engkau sudah mampu bergerak? Bagaimana mungkin ini?
Melihat engkau hendak membunuh orang, agaknya mendatangkan tenaga bagiku untuk menggerakkan tubuh. Nona, mengapa engkau begitu kejam? Sedikit-sedikit membunuh orang, menganggap nyawa orang seperti nyawa nyamuk saja!
Huh, kau tahu apa? Orang-orang jahat itu, kalau tidak dibunuh merekalah yang akan menyusahkan atau membunuh kita. Dari pada dibunuh orang, lebih baik membunuh lebih dulu, bukan? Gadis itu lalu mendekati Keng Han dan memeriksa tangannya. Jari-jari tangan Keng Han dengan kaku terlihat jelas bahwa dia masih belum dapat bergerak leluasa.
Jalan darahmu baru setengahnya terbuka. kata gadis itu. Biarlah aku membukanya sama sekali! Gadis itu lalu menggerakkan jari-jari tangannya dan kini terbebaslah seluruh jalan darah di tubuh Keng Han. Akan tetapi di luar dugaan Keng Han, tiba-tiba telapak tangan kiri gadis itu menghantam dadanya. Plakkk....! Tidak terlalu nyeri, akan tetapi dia merasa betapa ada hawa panas memasuki dadanya.
Gadis itu tertawa. Hemmm, kenapa engkau memukul dadaku lalu tertawa? tanya Keng Han penasaran, tidak marah karena tamparan tadi tidak mengandung tenaga sakti sehingga seperti main-main saja.
Jangan kira bahwa setelah aku membebaskan totokanmu, engkau akan dapat pergi dan bebas dariku. Engkau mau atau tidak mau harus menemani aku.
Hemmm, kenapa begitu? Kalau aku tidak mau dan pergi, engkau mau apa?
Tidak mau apa-apa, hanya melihat engkau mati dalam waktu sebulan dan tidak ada obat di dunia ini yang mampu menyembuhkanmu. Aku telah membebaskan totokanmu, akan tetapi aku telah memukulmu dengan tok-ciang (tangan beracun). Kalau tidak percaya, lihatlah dadamu!
Keng Han penasaran dan membuka bajunya. Di sana, di dadanya sebelah kiri, nampak ada tanda lima telapak jari merah, jelas sekali. Diam-diam Keng Han mentertawakan gadis itu. Pukulan beracun tidak akan mencelakainya, dan sekali mengerahkan tenaga dia akan mampu melenyapkan tanda jari merah itu. Tubuhnya sudah kebal racun berkat makan daging ular merah dan gigitan binatang itu. Akan tetapi dia diam saja dan memakai kembali bajunya.
Nona, kenapa engkau hendak memaksaku mengikutimu? Tanyanya.
Engkau sudah berani memaki, mengatakan aku kejam, bahkan tadi engkau berani merangkulku. Hemmm.... untuk itu saja sudah cukup alasan bagiku untuk membunuhmu. Akan tetapi tidak, aku tidak akan membunuhmu. Terlampau enak untukmu. Engkau harus ikut aku, menyaksikan, kekejamanku seperti yang kaukatakan itu, dan engkau akan mati perlahan-lahan. Racun di tubuhmu itu sebulan lagi baru akan bekerja. Dan melihat engkau masih muda, biar aku melihat kelakuanmu selama sebulan ini. Kalau kelakuanmu selama ini baik saja, aku akan mengobatimu, kalau sebaliknya, engkau akan mati tersiksa. .
Kejamnya! Maki Keng Han dalam hatinya. Dia tahu gadis ini seorang yang berilmu tinggi, dan tidak jahat, hanya kejam dan tangannya ringan sekali membunuh orang, biarpun orang yang dibunuhnya itu jahat atau bersalah kepadanya. Dua orang tosu Bu-tong-pai itu pun tentu sudah dibunuhnya hanya karena mencampuri urusannya dan hendak membebaskannya. Dan dia merasa sayang sekali. Gadis ini cantik jelita, dan tidak jahat. Mungkin kalau melakukan perjalanan bersamanya selama sebulan, dia akan dapat membujuknya dan memberinya nasihat sehingga tidak kejam lagi.
Akan tetapi aku mempunyai urusan penting sekali. Aku harus pergi ke Tibet! kata Keng Han.
Hemmm, ke Tibet atau ke neraka, apa bedanya bagiku? Aku tidak mempunyai tujuan tertentu, dan tidak mengapa bagiku kalau harus pergi ke Tibet sekalipun. Akan tetapi mau apa engkau pergi ke Tibet? Apakah ingin menjadi hwesio dan mempelajari agama?
Aku hendak mencari dan bertemu dengan Dalai Lama!
Gadis itu tertegun dan memandang kepadanya dengan sinar matariya yang tajam. Mata yang indah itu mengamatinya penuh selidik. Agaknya banyak keanehan terdapat pada diri pemuda ini. Ilmu silatnya cukup baik, dapat menghindarkan diri dari sembilan jurus serangannya, bahkan dapat hampir membebaskan diri dari totokannya. Dan kini hendak Mencari dan bertemu dengan Dalai Lama? tanyanya dengan hati tertarik.
Mau apa? Dia seorang yang sewenang-wenang. Aku akan menuntutnya, bertanya mengapa dia mengutus orang-orang untuk membunuh guruku!
Tiba-tiba gadis itu tertawa. Tawanya lepas bebas, tidak ditutup-tutup! seperti gadis lain akan tetapi ketika ia tertawa bebas itu, wajahnya nampak lucu dan cerah, nampak semakin manis seperti wajah seorang kanak-kanak. Lenyaplah garis-garis kekerasan dan sifat dingin dari wajahnya yang menjadi anggun dan menyenangkan sekali, sehingga Keng Hong terpesona. Gadis ini sesungguhnya cantik bukan main kalau saja mau melenyapkan kekerasan hatinya.
Seharusnya engkau lebih sering tertawa, Enci! katanya tiba-tiba, menyebut enci karena setelah gadis itu tertawa, dia merasa hubungannya dekat dengannya.
Ehhh? Gadis itu dua kali terkejut. Oleh ucapan itu sendiri dan oleh sebutan enci. Mengapa?
Kalau tertawa, wajahmu indah sekali!
Tiba-tiba wajah itu menjadi dingin kembali, tangan itu sudah diangkat hendak menampar, akan tetapi ditahannya. Apa kau ingin ditampar?
Kenapa ditampar? Apa salahku?
Kau bilang wajahku indah sekali.
Habis, harus bilang apa? Apakah aku harus mengatakan bahwa wajahmu buruk sekali, padahal kenyataannya memang indah kalau engkau tertawa?
Gadis itu menghela napas panjang, agaknya merasa kewalahan untuk berbantah dengan Keng Han. Siapa sih namamu?
Namaku Keng Han, Si Keng Han. jawabnya, menyembunyikan nama marganya yang dia tahu hanya akan, menimbulkan persoalan baru. Dan engkau siapa?
Kembali helaan napas panjang. Orang menyebut aku Bi-kiam Nio-cu. Aku hampir lupa akan nama sendiri, kalau tidak salah Siang Bi Kiok. Akan tetapi engkau pun harus menyebut Bi-kiam Nio-cu kepadaku. Berapa usiamu?
Usiaku dua puluh tahun.
Biarpun engkau lebih muda dariku, jangan menyebut enci padaku. Sebut saja Bi-kiam Nio-cu. Eh, gurumu yang dibunuh oleh utusan Dalai Lama itu, siapa namanya?
Dia pun seorang bekas Lama, namanya Gosang Lama.
Aku tidak pernah mendengar nama itu. Akan tetapi, sungguh keinginanmu untuk menuntut Dalai Lama ini sangat aneh. Orang dengan kepandaian seperti engkau ini akan menuntut Dalai Lama? Engkau mencari mati!
Aku tidak takut. Budi seorang guru amat besar, pantas dibela dengan taruhan nyawa.
Hemmm, engkau seorang pemuda yang aneh sekali. Mungkln karena inilah aku tidak membunuhmu. Nah, sekarang carilah binatang buruan untukku. Perutku terasa lapar sekali, Keng Han.
Engkau tidak takut kalau aku melarikan diri, Niocu?
Mengapa takut? Engkau tidak akan melarikan diri, kalau engkau tidak ingiin mati keracunan sebulan kemudian. Obat penawarnya berada padaku. Nyawamu berada di tanganku.
Hemmm, baiklah, Niocu. Aku pun ingin melakukan per jalanan bersamamu. Siapa tahu dalam sebulan ini aku dapat membujukmu agar jangan bertindak kejam lagi. Setelah berkata demikian, Keng Han lalu memasuki hutan itu dan mencari binatang buruan. Setelah berada seorang diri, dia mengerahkan tenaga dari dalam tan-tian menuju ke dadanya dan dalam waktu sebentar saja dia sudah mengusir racun itu dari tubuhnya. Ketika dia membuka bajunya, ternyata tanda telapak jari merah itu telah lenyap. Dia tersenyum dan merasa heran kepada diri sendiri. Kenapa dia tidak lari saja meninggalkan gadis itu? Atau melawannya? Kalau dia berhati-hati, belum tentu dia kalah. Wanita itu hanya memiliki kelebihan dalam ilmu totok yang memang hebat. Bahkan tenaga sinkangnya tidak mampu menahan totokan wanita itu! Juga dia merasa heran mengapa wanita itu mau saja mengikutinya pergi ke Tibet!
Tiba-tiba dia melihat seekor kijang muda muncul dari semak belukar. Cepat dia menunduk dan bersembunyi di balik semak-semak, untung baginya bahwa angin datang dari arah kijang itu. Kalau sebaliknya, tentu kijang itu tahu bahwa ada manusia di dekatnya dan kalau ia sudah melarikan diri, bagaimana mungkin dapat mengejarnya? Sambil bertiarap itu, tangannya mengambil sebuah batu sebesar kepalan tangannya dan setelah mengintai dan membidik dengan tepat, tiba-tiba dia bangkit dan melontarkan batu itu ke arah kepala kijang.
Wuuuttttt.... dakkk! Tepat sekali batu itu menghantam kepala bagian belakang kijang itu. Binatang itu berkuik satu kali lalu roboh dan mati dengan kepala retak. Dengan girang Keng Han lalu mengambil bangkai binatang itu dan dipanggulnya, dibawa kembali ke tempat dimana tadi Bi-kiam Nio-cu menunggu.
Sementara itu, Bi-kiam Nio-cu menanti kembalinya Keng Han. Sambil duduk di bawah sebatang pohon, di atas sebuah batu datar. Hawa udara amat panas, akan tetapi di bawah pohon itu teduh dan angin yang semilir membuatnya mengantuk.
Tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara berdetak di belakangnya. Ketika ia menengok, beberapa helai jala menyambar ke arah tubuhnya dari atas. Ia mencoba untuk mengelak, akan tetapi terlalu banyak jala yang menyerangnya sehingga tanpa dapat dielakkannya lagi, tubuhnya telah terbungkus dua helai jala hitam. Ia meronta dan mencoba untuk mencabut pedangnya, akan tetapi hal ini sukar dilakukan karena tali jala-jala itu ditarik dan kedua tangannya terbalut dan seperti teringkus jala. Dan jala itu agaknya terbuat dari tali yang amat kuat. Ia sudah diringkus dan ketika ia memandang, dari celah-celah jala, ia melihat belasan orang laki-laki berada di situ. Beberapa orang memegang jala yang meringkusnya dan ketika mereka itu maju mengikatnya bersama jala, ia pun tidak berdaya.
Jahanam pengecut.Lepaskan aku dan mari kita bertanding kalau memang kalian gagah! Ia mendamprat akan tetapi sia-sia belaka karena orang-orang itu hanya tertawa. Seorang yang bertubuh tinggi besar bermuka hitam dan yang memegang tongkat besar, agaknya menjadi pemimpin mereka, memberi aba-aba dan mereka semua berloncatan pergi sambil menggotong Bi-kiam Nio-cu seperti mengotong seekor binatang buruan yang terjerat. Wanita itu memaki-maki, menantang-nantang akan tetapi tidak ada yang mempedulikan dan ternyata mereka itu rata-rata dapat berlari cepat, didahului oleh si rakasasa pemegang tongkat besar itu.
Orang-orang itu berpakaian sederhana sekali, dari kulit binatang dan melihat wajah mereka yang brewokan mudah diduga bahwa mereka adalah orang-orang kasar yang biasa hidup di dalam hutan. Mereka membawa Bi-kiam Nio-cu ke sebuah bukit yang penuh dengan gua-gua batu yang besar. Setelah tiba di depan gua-gua itu, sang pemimpin lalu membawa tawanan itu dengan sebelah tangan, ditentengnya memasuki sebuah di antara gua-gua terbesar. Bi-kiam Nio-cu kini diam saja. Ia tidak takut, melainkan mengumpulkan tenaga, siap untuk memberontak dan menyerang kalau dirinya dibebaskan dari ikatan tali dan jala itu. Akan tetapi, raksasa yang membawanya itu melemparkannya di atas sebuah dipan kayu yang kasar, kemudian dia mengambil guci dan cawan dan tak lama kemudian dia sudah minum arak seorang diri. sambil terkekeh-kekeh senang.
Ketika tiba di tempat tadi, Keng Han tidak melihat Bi-kiam Nio-cu. Niocu....!Dia memanggil beberapa kali akan tetapi. tidak ada jawabah. Dia lalu memeriksa tempat itu dan melihat bekas tapak kaki banyak orang di situ. Agaknya Nio-cu didatangi banyak orang dan terjadi pergulatan, pikirnya, melihat banyak semak dan pohon kecil yang rusak. Celaka, jangan-jangan Nio-cu ditangkap gerombolan penjahat, pikirnya. Biarpun pikiran ini agak aneh mengingat bahwa Nio-cu seorang wanita yang tidak mudah ditangkap begitu saja, namun Keng Han merasa khawatir. Dia lalu mencari dan mengikuti jejak belasan pasang kaki itu yang menuju ke bukit di luar hutan. Dia terus menelusuri jejak-jejak kaki itu dan mendaki bukit.
Heh-heh-heh, engkau sungguh cantik. Pantas menjadi isteriku dan menemani aku di sini. Akhirnya raksasa muka hitam itu . berkata sambil menghentikan minumnya dan menghampiri Bi-kiam Niocu yang masih meringkus terikat di atas dipan. Wanita ini dapat berusaha untuk membalik dan telentang sehingga ia dapat melihat keadaan di kamar itu. Sebuah kamar gua yang lebar. Terdapat tiga buah bangku sebuah meja dan sebuah dipan kayu itu. Sederhana sekali. Ketika laki-laki tinggi besar itu menghampi mau tidak mau ia merinding juga. Akan tetapi ia tetap tenang. Kalau saja ia membuka ikatan dan jala ini, pikirnya.
Akan tetapi raksasa itu mengangkatnya, masih dalam buntalan jala dan memangkunya. Meraba-raba lehernya yang putih mulus, meraba-raba pipinya.
Cuh....!! Bi-kiam Nio-cu yang tidak dapat menahan kemarahannya meludahi muka pria itu. Raksasa muka hitam itu tidak marah bahkan tertawa bergelak. Ha-ha-ha, engkau kuda betina yang liah! Bagus! Aku senang dengan yang liar!
Kini tangannya merogoh di antara celah-celah jala dan mengambil pedang dari pinggang Bi-klam Nio-cu! Dia memandang pedang itu, mengangguk-angguk. Pedang yang baik, tidak pantas seorang wanita secantik engkau bermain-main dengan senjata tajam seperti ini! Dia melontarkan pedang itu dan ceppp!! pedang menancap di atas meja. Gagangnya bergoyang-goyang ketika pedang itu menancap sampai setengahnya. Diam-diam Bi-kiam Nio-cu memperhatikan dan mengertilah ia bahwa laki-laki kasar ini memiliki kepandaian, setidaknya memiliki tenaga yang kuat. Maka ia menjadi semakin waspada. Biarlah pedangnya diambil, ia tidak takut. Masih ada tangannya, kakinya, bahkan rambutnya untuk membela diri.
Engkau cantik, engkau liar, engkau menarik! Raksasa itu mulai menimangnya dan aneh cara menimangnya. Dia melempar-lemparkan tubuh Bi-kiam Niocu yang masih terikat itu ke atas, diterimanya dan dilontarkannya kembali. Dia mempermainkan tubuh wanita itu seperti sebuah bola saja. Demikian ringan dia melempar-lemparkan tubuh itu. Bi-kiam Nio-cu bergidik ngeri. Laki-laki ini berbahaya, pikirnya, dan celakalah aku kalau sampai tidak dapat lolos dari tangannya.
Pada saat itu terdengar teriakan-teriakan di luar gua. Ada orang-orang berkelahi di luar gua itu. Kepala gerombolan itu lalu melempar tubuh Nio-cu ke atas pembaringan pula dan dia bergegas keluar, membawa tongkatnya yang besar.
Setelah ditinggal seorang diri, Nio-cu kembali berusaha untuk membebaskan dirinya dan sekali ini ia berhasil. Ternyata ketika raksasa tadi melambung-lambungkannya ke atas, tali pengikat tubuhnya mengendur sehingga ia mampu membebaskan kedua lengannya. Ia mencoba untuk membikin putus tali jala itu, akan tetapi usahanya gagal. Maka ia lalu berlompatan sambil masih diselubungi jala, mendekati jala di mana pedangnya diletakkan oleh raksasa tadi. Dan dengan pedang di tangannya, ia mampu membebaskan diri dan membikin putus tali-tali jala. Sebentar saja ia sudah bebas! Dengan kemarahan meluap-luap, ia lalu menerjang keluar dan melihat betapa di luar, Keng Han sedang bertanding melawan kepala gerombolan itu dan dikeroyok banyak anak buahnya. Melihat ini, hatinya merasa girang bukan main. Keng Han berusaha menolongnya dan mempertaruhkan keselamatan dirinya sendiri melawan raksasa yang tangguh itu!
Keng Han, serahkan anjing besar itu kepadaku! bentaknya dengan suara melengking dan ia sudah menerjang ke depan memutar pedangnya menyerang raksasa yang memegang tongkat itu. Keng Han girang melihat Bi-kiam Nio-cu selamat dan dia meloncat mundur sambil berseru, Nio-cu, mari kita lari saja!
Tidak, aku harus membunuh anjing ini dan semua pengikutnya! Bi-kiam Niocu membantah dan menyerang terus. Serangannya amatlah hebatnya sehingga si tinggi besar itu terdesak mundur. Kepala gerombolan itu terkejut bukan main melihat gadis tawanannya bebas, maka dia berteriak, Pergunakan jala! Tangkap merekal!
Awas jala mereka amat lihai, Keng Han! seru Bi-kiam Nio-cu sambil memutar pedangnya lebih cepat lagi, mendesak si kepala gerombolan dengan amat hebatnya sehingga raksasa itu terpaksa harus memutar tongkatnya melindungi diri. Sementara itu, beberapa orang anak buahnyaa sudah mencoba membantu ketua mereka dengan menggunakan jala. Akan tetapi sekali ini, Bi-kiam Nio-cu sudah siap dengan pedangnya. Begitu jala menyambar, ia melompat dan menggerakkan pedangnya ke belakang dan terdengar jerit mengerikan dan si pemegang jala roboh mandi darah. Dalam waktu sebentar saja, tiga orang pemegang jala sudah tewas di tangan Bi-kiam Nio-cu!
Sementara itu, Keng Han juga dikeroyok banyak orang. Dia bergerak dengan cepat, merobohkan para pengeroyoknya hanya, dengan dorongan kedua tangannya, dan ketika dirinya tertutup jala, dengan mengerahkan tenaga jala itu pecah dan talinya putus-putus! Gegerlah anak buah gerombolan itu dan mereka seperti puluhan ekor semut mengeroyok dua ekor jangkerik.
Gerakan Bi-kiam Nio-cu amatlah berbahaya. Sebetulnya tingkat kepandaiannya masih jauh lebih tinggi daripada kepandaian si raksasa muka hitam. Tadi ia tertangkap karena tidak menyangka dan tidak bersiap sehingga dapat tertangkap jala musuh. Sekarang, dengan pedang di tangan mana mungkin ia tertangkap jala? Bahkan para pemegang jala itu semua tewas di tangannya dan kini wanita itu mendesak lawannya dengan hebat. Si tinggi besar muka hitam menjadi jerih. Melihat anak buahnya banyak yang tewas dan menghadapi permainan pedang yang demikian tangguh, apalagi melihat betapa pemuda itu pun tidak dapat ditangkap anak buahnya, nyalinya sudah terbang melayang dan dia menyerang hebat untuk mencari kesempatan melarikan diri.
Mampuslah! Bentaknya dan tongkatnya meluncur dengan cepat ke arah dada Bi-kiam Nio-cu. Ketika gadis ini mengelak ke kiri, tongkat itu menghantam dari kanan ke kiri dengan kecepatan kilat. Karena serangan itu berbahaya sekali untuk ditangkis mengingat tenaga rakasa itu besar sekali, Bi-kiam Niocu melompat ke belakang dengan sigapnya. Kesempatan inilah yang dinantikan kepala gerombolan itu. Begitu lawannya melompat ke belakang, dia lalu membalikkan tubuhnya dan melarikan diri tunggang-langgang!
Jahanam hendak lari ke mana kau? Bi-kiam Nio-cu mengejar dan melontarkan pedangnya. inilah satu di antara kepandaiannya yang hebat. Ia dapat melontarkan pedang itu dengan cepat dan pedangnya meluncur bagaikan anak panah saja menuju sasarannya, yaitu punggung lebar kepala gerombolan itu.
Singgggg.... cappp! Pedang itu tepat mengenai punggung dan menembus ke dada. Kepala gerombolan itu terbelalak, mengeluh panjang lalu roboh menelungkup, tewas seketika. Bi-kiam Nio-cu sudah berada di dekatnya dan mencabut pedang itu, lalu membersihkannya pada pakaian si raksasa muka hitam. Kemudian ia pun mulai mengamuk! Anak buah gerombolan yang sedang mengeroyok Keng Han itu diamuknya dan pedangnya merobohkan beberapa orang lagi. Sisa anak buah gerombolan cepat melarikan diri melihat ketua mereka telah tewas. Bi-kiam Niocu hendak mengejar akan tetapi ditahan oleh Keng Han.
Musuh yang sudah lari tidak perlu dikejar lagi, Nio-cu! katanya.
Bi-kiam Nio-cu menyimpan pedangnya dan dengan puas ia memandang kepada belasan orang yang sudah menggeletak tanpa nyawa itu. Hemmm, sayang masih ada yang mampu meloloskan diri. Seharusnya mereka itu dibasmi habis!
Sudahlah, Nio-cu. Kalau mereka semua tewas, tentu kita juga yang repot, harus mengubur mereka. Biarlah yang masih hidup nanti mengubur mayat kawan-kawannya. Sesungguhnya, apa yang telah terjadl Nio-cu?
Mereka bertindak curang dan berhasil menangkap aku dengan jala, lalu mereka membawaku ke sini. Ketika tadi engkau menyerang mereka di luar gua, kepala perampok itu meninggalkan aku dan aku sempat meloloskan diri lalu mengamuk. Dan engkau bagaimana engkau bisa menyusul aku ke sini?
Aku sudah mendapatkan binatang buruan, seekor kijang yang muda, dan ketika aku kembali ke tempat kita tadi, engkau sudah tidak ada. Aku melihat tapak-tapak kaki yang banyak sekali, lalu aku mengikuti tapak kaki itu ke sini. Ketika mereka melihatku, mereka lalu mengepung dan mengeroyokku sehingga terjadi perkelahian. Mari Nio-cu, kita kembali ke sana. Bukankah perutmu sudah lapar? Akan tetapi, sebaiknya kalau aku kubur dulu mayat-mayat mereka. Bodoh! Untuk apa mengubur mereka? Biar teman-teman mereka yang mengurus mayat mereka. Mari kita pergi! Bi-kiam Nio-cu mendengus marah dan Keng Han mengikutinya. Dia pun percaya bahwa sisa anak buah gerombolan tentu akan kembali ke situ untuk mengubur teman-teman mereka yang tewas. Mereka lalu cepat pergi meninggalkan bukit itu dan memasuki hutan tadi. Keng Han mengambil bangkai kijang dan dia simpan di atas sebatang pohon besar dan mulai mengambil dagingnya untuk dipanggang.
Bi-kiam Nio-cu memandang dengan sinar mata termenung kepada Keng Han yang sedang membakar daging kijang. Ia sudah menaruh bumbu pada daging itu.
Kalau melakukan perjalanan, wanita ini selalu membawa bekal bumbu, seperti garam, merica dan lain-lain untuk penyedap makanan.
Ia merasa heran sekali. Mengapa hatinya begini tertarik kepada Keng Han dan ia tidak menghendaki pemuda itu jauh darinya? Selama ini, sampai usianya dua puluh dua tahun, ia selalu merasa tidak suka kepada laki-laki. Sejak ia belajar ilmu silat dari gurunya, seorang pendeta wanita yang hidup mengasingkan diri, gurunya selalu menekankan betapa jahatnya kaum pria. Karena ini, sejak kecil sudah tumbuh semacam perasaan tidak suka kepada pria. Apalagi setelah ia mulai remaja ia melihat betapa mata laki-laki seperti mata elang saja menatapnya, seperti mata elang melihat anak ayam, ingin menerkam. Semakin tidak suka hatinya terhadap pria, makin dewasa ia makin muak. Entah berapa banyaknya pria yang sudah dibunuhnya, hanya karena berani memandangnya terlalu lama, menegurnya secara kurang ajar atau hendak menggodanya. Akan tetapi kini ia merasa heran sekali. Mengapa ia begini tertarik kepada Keng Han yang bahkan lebih muda darinya? Apalagi kalau ia membayangkan ketika pemuda itu mendekapnya untuk menghalanginya melakukan pembunuhan. Seolah masih terasa dekapan yang kuat dan hangat itu! Dan jantungnya berdebar aneh.
Daging kijang panggang itu sudah matang dan mereka lalu makan daging yang, lunak dan sedap itu. Bi-kiam Nio-cu mengeluarkan seguci arak dan mereka makan minum dengan lahapnya karena memang perut mereka terasa lapar. Akan tetapi diam-diam harus diakui oleh Niocu bahwa belum pernah ia makan daging panggang selezat ini!
Setelah selesai makan, Bi-kiam Niocu berkata, Selama perjalanan kita ke Tibet, engkau harus selalu mentaati omonganku, Keng Han. Aku. jauh lebih berpengalaman darimu, kalau engkau tidak mendengar omonganku, bisa-bisa engkau akan celaka.
Tidak, Nio-cu. Aku tidak akan nelakukan perjalanan bersamamu. Aku sekarang juga akan memisahkan diri darimu dan aku akan melakukan perjalanan ke Tibet seorang diri saja `
Ehhh, kenapa begitu?
Karena engkau kejam sekali. Kembali engkau membunuhi banyak orang dan aku merasa tidak senang sekali melihat engkau begitu kejam.
Engkau tidak boleh meninggalkan aku. Kalau engkau meninggalkan aku, dalam beberapa hari engkau akan mati keracunan. Ingat, tubuhmu sudah kupukul dengan Tok-ciang, dan hanya aku yang dapat memberi obat pemunahnya.
Biarlah! Lebih baik mati keracunan daripada menjadi saksi kekejamanmu.
Demiklan besarkah perasaan bencimu kepadaku, Keng Han? Dalam ucapannya itu terkandung kesedihan yang mengherankan hati Nio-cu sendiri.
Aku tidak membencimu, Nio-cu. Kalau tadinya aku suka melakukan perjalanan denganmu, tadinya aku mengharap akan dapat menasihatimu agar tidak terlalu kejam. Akan tetapi engkau tetap kejam sekali, maka aku tidak tahan lagi untuk melakukan perjalanan denganmu. Nah sekarang aku harus meninggalkanmu, Niocu. Selamat tinggal! Keng Han mengemasi buntalan pakaiannya sendiri, memanggulnya lalu melangkah pergi dari situ. Melihat kenekatan pemuda itu, Nio-cu cepat bangkit berdiri dan berseru.
Nanti dulu, Keng Han!, Engkau akan mati dalam beberapa hari lagi. Biarlah kusembuhkan dulu lukamu karena pukulanku yang beracun itu!
Nio-cu menghampiri Keng Han dan menyuruhnya membuka bajunya. Ketika melihat ke arah dada kiri pemuda itu, ia terbelalak dan ternganga keheranan. Kulit dada itu putih bersih, sama sekali tidak ada tanda telapak tangan merah seperti yang seharusnya ada.
Aih.... aneh sekali....! Keng Han pura-pura' bertanya.
Tanda tapak tangan merah itu telah lenyap! ini tidak mungkin!
Kenapa tidak mungkin? Kenyataannya telah lenyap dan berarti aku telah sembuh. Tidak perlu lagi engkau mengobatiku. kata Keng Han sambil menutupkan kembali bajunya.
Hemmm, kau mempermainkan aku! Sambutlah serangan ini! Wanita, itu lalu menyerang dengan hebatnya!
Ehhh, apa yang kaulakukan ini? Keng Han melompat ke belakang untuk menghindarkan diri dari serangan itu. Akan tetapi wanita itu mengejarnya dan terus menyerang kalang-kabut dengan gencar sekali.
Keng Han terpaksa mainkan ilmu silat Hong-In Bun-hoat untuk menghindarkan diri. Ternyata ilmu silatnya ini hebat sekali. Dia seolah tidak bersilat, hanya menuliskan huruf-huruf di udara dan semua serangan Bi-kiam Nio-cu dapat dielakkan atau ditangkis!
Tentu saja wanita itu menjadi penasaran sekali. Ia mengeluarkan ilmu totokannya yang ampuh, yaitu Tok-ciang. Ilmu ini bukan hanya menotok, akan tetapi juga menampar dan kedua tangan itu berubah merah! Dan biarpun Keng Han mampu mengelak sampai puluhan jurus, suatu ketika dia tidak dapat menghindarkan diri dan sebuah totokan mengenai pundaknya membuat tubuhnya lemas dan tidak berdaya! Bi-kiam Nio-cu menambahkan beberapa totokan pada kedua pundak dan dadanya sehingga tubuh Keng Han benar-benar tidak mampu bergerak lagi. Akan tetapi pemuda itu maklum bahwa kalau dia mengerahkan tenaga dari pusarnya, totokan itu pasti akan dapat dipunahkannya dalam waktu tidak terlalu lama. Dia hanya memandang dengan mata melotot kepada wanita itu.
Wanita kejam! Apakah engkau juga hendak membunuhku? Lakukanlah, aku tidak takut mati!.
Keng Han, mengapa engkau begini keras kepala? Apakah tidak ada manusia di dunia ini yang kautaati?
Tentu saja ada. Yang kutaati hanyalah ayah bundaku dan juga guruku. Kalau orang lain, hanya yang benar yang akan kutaati, yang tidak benar tidak!
Wanita itu tersenyum. Keng Han, aku melihat ilmu silatmu hebat sekali. Akan tetapi buktinya engkau masih kalah olehku. Maukah engkau menjadi muridku?
Hemmm, untuk apa menjadi muridmu? Untuk belajar membunuh? Ilmu silatku sudah cukup untuk menjaga diri.
Akan tetapi engkau tidak berdaya menghadapi ilmu totokanku. Bagaimana kalau engkau mempelajari Ilmu menotok dariku? Ilmuku menotok itu disebut Tok-ciang Tiam-hiat-hoat. Kalau engkau memiliki ilmu ini tentu tidak mudah engkau dikalahkan orang.
Keng Han tertarik sekali. Harus diakui bahwa ilmu totokan dari wanita itu lihai bukan main. Dua kali sudah dia roboh karena totokan itu. Dan kalau totokan lain dapat ditolak dengan sinkangnya, ternyata totokan ini tidak. Baru setelah lama mengerahkan tenaga sinkang, dia mampu membebaskan diri. Padahal totokan lain dapat ditolak oleh kekebalan tubuhnya karena sinkang dalam tubuhnya.
Kalau engkau suka mengajarkan ilmu totokan itu kepadaku, tentu saja aku suka mempelajarinya. Akhirnya setelah berpikir-pikir sejenak, dia menjawab.
Bagus, aku suka mengajarkannya untukmu. Engkau tadi telah berusaha menolongku, sudah sepatutnya kalau aku membalas budimu. Akan tetapi untuk mengajarkan ilmu itu, engkau harus mengangkatku sebagai guru. Ini peraturan perguruanku, dan aku tidak mau melanggar peraturan. Nah, kubebaskan totokan pada tubuhmu agar engkau dapat melakukan upacara pengangkatan guru.
Secepat kilat tangan wanita itu bergerak menotok beberapa kali ke tubuh Keng Han dan segera pemuda itu merasa betapa tubuhnya dapat bergerak kembali seperti biasa. Karena dia memang ingin sekali mempelajari ilmu itu, maka dia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Bi-kiam Nio-cu dan memberi hormat sambil menyebut subo (ibu guru).
Bi-kiam Nio-cu tertawa terkekeh, girang bukan main. Bangkitlah Keng Han. Mulai saat ini, engkau adalah muridku dan aku adalah gurumu, bukan?
Benar, Subo. Dan apakah Subo akan mengajarkan Tok-cian Tiam-hiat-hoat itu kepada teecu (murid)?
Jangan tergesa-gesa, Keng Han. Mulai sekarang engkau harus mentaati segala perintahku, mengerti?
Akan tetapi....
Akan tetapi apa? Ingat, aku adalah gurumu dan bukankah engkau sudah mengatakan bahwa engkau hanya taat kepada orang tua dan gurumu?
Ahhhk....? Jadi Subo hanya menggunakan akal agar aku selalu taat....?
Bukan hanya itu, aku memang ingin engkau menjadi muridku, akan tetapi murid yang taat. Nah, sekarang ceritakan kepadaku tentang suhumu yang katanya terbunuh oleh utusan Dalai Lama. Ingat, aku akan membantumu bertemu Dalai Lama dan hanya aku yang dapat menolongmu.
Keng Han lalu menceritakan dengan singkat tentang tiga orang pendeta Lama Jubah Merah yang telah membunuh Gosang Lama, Oh tentang pesan terakhir Gosang Lama agar dia membunuh Dalai Lama yang mengutus tiga grang Lama Jubah Merah itu, dan juga membunuh ketua Bu-tong-pai yang menjadi musuh besar gurunya itu.
Setelah Keng Han selesai bercerita, Bi-kiam Nio-cu menarik napas panjang dan berkata, Gurumu itu agaknya seorang yang benar-benar kejam. Aku membunuhi orang jahat kaukatakan kejam, akan tetapi gurumu itu seperti hendak membunuh engkau sendiri! Engkau mimpi untuk dapat membunuh Dalai Lama dan ketua Bu-tong-pai, sukarnya seperti naik ke langit! Aku sendiri, terus terang saja, tidak berani mencoba untuk melakukan dua hal itu, akan tetapi aku dapat membantumu bertemu dengan Dalai Lama dan juga dengan ketua Bu-tong-pai.
Keng Han merasa girang sekali. Bantuan itu saja sudah cukup bagi teecu, Subo. Kalau sudah bertemu dengan mereka, aku akan menuntut mereka dan minta keterangan mengapa mereka memusuhi suhu Gosang Lama. Selanjutnya biarlah aku sendiri yang akan menghadapi mereka.
Mereka lalu melanjutkan perjalanan menuju ke barat. Kini Keng Han merasa lebih senang karena ternyata gurunya yang baru ini mengenal jalan ke Tibet sehingga tidak perlu bertanya-tanya lagi seperti ketika dia melakukan perjalanan seorang diri. Dia percaya bahwa gurunya ini, biarpun masih muda, namun berilmu tinggi dan sudah memiliki banyak pengalaman. Ingin dia menanyakan riwayat subonya yang tentu menarik. Apakah subonya sudah memiliki suami? Ataukah masih memiliki keluarga lain, dan kalau ada di mana tempat tinggalnya? Namun, dia khawatir kalau dibentak karena subonya kadang bersikap galak kepadanya, maka sampai lama dia tidak pernah mengajukan pertanyaan ini.
***
Malam itu gelap sekali, Keng Han dan Bi-kiam Nio-cu terpaksa melewatkan malam di sebuah gua. Menurut Nio-cu, dusun yang terdekat dari situ masih lima puluh li lebih sehingga mereka akan kemalaman di tengah jalan kalau melanjutkan perjalanan. Lebih baik melewatkan malam di gua itu, agak terlindung dari angin dan hawa dingin. Keng Han mengumpulkan kayu bakar dan membuat api unggun di depan gua. Dia pun mencari rumput kering untuk alas lantai gua sehingga gurunya akan dapat mengaso.
Akan tetapi Nio-cu duduk saja dekat api unggun dan termenung mengamati api, yang bernyala. Keng Han duduk di depannya, terhalang api unggun.
Keng Han, ke sinilah. Duduk di dekatku sini, aku ingin bercakap-cakap denganmu.
Keng Han pindah duduk di sebelah gurunya, diam, saja. Setelah agak lama mereka berdiam diri, Nio-cu menghela napas panjang dan berkata, Keng Han, apakah engkau berbahagia?
Pemuda, itu heran mendengar pertanyaan ini. Bahagia? Apakah artinya bahagia itu, Subo? Kita sudah makan tadi, perutku kenyang, badan yang letuh kini dapat beristirahat, dekat api unggun yang hangat sehingga tubuh ini terasa enak. Hatiku juga merasa senang karena kita tidak mendapat gangguan. Ya, boleh jadi aku berbahagia saat ini, Subo.
Aih, betapa rinduku akan kebahagiaan. Aku tidak pernah merasa berbahagia. Senang, memang. Akan tetapi itu lain. lagi. Senang hanya sebentar saja lewat dan berlalu. Aku ingin bahagia! Ah, betapa aku ingin bahagia, akan tetapi bagairriana caranya? Di manakah kebahagiaan itu? Aku ingin mencarinya, Keng Han. Dapatkah engkau membantuku? .
Bagaimana caranya membantumu, Subo? Aku sendiri merasa berbahagia, lalu bagaimana aku dapat menularkan kebahagiaan ini kepadamu? Kebahagiaan adalah suatu perasaan, suatu keadaan hati, dan hati orang tidaklah sama. Aku sendiri, saat ini merasa senang, tidak ada apa pun yang mengganggu, maka aku tidak butuh bahagia itu! Barangkali Subo merasa tidak berbahagia, bagaimana bisa mencari kebahagiaan? Hilangkanlah ketidakbahagiaan itu, Subo!
Aku merasa kesepian, merasa tidak berbahagia, bagaimana dapat, menghilangkan ketidak-bahagiaan ini?
Ah, aku juga tidak tahu, Subo. Keduanya melamun sambil memandang ke dalam api yang bernyala di depan mereka.
Setiap orang mendambakan kebahagiaan, bahkan ada yang mencari kebahagiaan itu dengan cara apa pun, ada yang menyiksa diri, ada yang bertapa dan sebagainya lagi. Ada pula yang mengejarnya dengan belajar ilmu ini dan itu, seolah kebahagiaan itu adalah sesuatu yang bisa dicari dan didapatkan. Setiap orang mendambakan kebahagiaan dalam hidupnya. Tidak bahagia ini adalah suatu perasaan yang timbul apabila terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan hatinya. Dalam keadaan yang tidak berbahagia ini, bagaimana mungkin orang mencari dan mendapatkan kebahagiaan? Orang yang sedang berjalan-jalan di pegunungan, melihat matahari tenggelam amat indahnya pikirannya tidak melayang-layang tidak karuan, dia tentu akan mengalami kebahagiaan itu dan kalau sudah begitu, tentu dia tidak mencari kebahagiaan! Dari pada mencari-cari kebahagiaan, bukankah lebih tepat kalau mempelajari mengapa dia tidak bahagia, apa yang menyebabkan dia tidak berbahagia. Kalau yang menjadi penyebab ketidak-bahagiaan itu sudah tidak ada lagi, apakah dia membutuhkan kebahagiaan? Tidak lagi, karena dia sudah berbahagia! Jadi, kebahagiaan itu sesungguhnya tidak pernah meninggalkan kita, seperti Tuhan tidak pernah sedetik pun meninggalkan kita dengan kasih sayangNya. Kitalah yang meninggalkan kebahagiaan, kitalah yang meninggalkan Tuhan! Kita meninggalkan kebahagiaan melalui akal pikiran kita yang bergelimang nafsu sehingga kita tidak pernah merasa puas dengan keadaan, kita penuh harap, penuh keceaa, penuh iri, penuh amarah, penuh kebencian. Semua itu membuat kebahagiaan tidak nampak lagi dan membuat kita merasa tidak berbahagia!
Seperti halnya kesehatan. Kita sudah sehat setiap saat, akan tetapi kita tidak dapat merasakan itu, tidak dapat menikmati itu. Kalau kita sakit saja barulah kita dapat membayangkan betapa akan nikmatnya kalau kita sembuh dan sehat!
Kebahagiaan sudah ada setiap saat. Kalau ada gangguan sehingga kebahagiaan tidak terasa, itu adalah kesalahan kita sendiri. Karena itu, setiap saat kita wajib bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Kasih. Kalau menghadapi malapetaka, di samping berusaha sekuat mungkin untuk menghindarkan diri, juga kita harus menyerah dan pasrah sepenuhnya kepada Tuhan, karena hanya Tuhanlah yang berkuasa mengatur segalanya. Juga mengatur. kehidupan kita. Makin kita mendekatkan diri kepada Tuhan, makin kuat iman kita kepada Tuhan, makin dekat pula kebahagiaan dengan kita, makin dapat terasakan.
Keng Han, di manakah orang tuamu?
Ditanya tentang orang tuanya, Keng Han terkejut. Dia tidak ingin diketahui orang bahwa dia putera pangeran mahkota dari kerajaan Ceng.
Aku hanya tinggal mempunyai seorang ibu, Subo. Ayah telah mieninggalkan ibu sebelum teecu lahir.
Ah, keparat! Dan tiba-tiba tangan wanita itu sudah bergerak cepat dan menotoknya pula sehingga Keng Han menjadi lumpuh seketika.
Subo mengapa.... mengapa Subo berbuat begini?
Jahanam, sama saja. Semua laki-laki memang keparat. Benar kata-kata subo. Karena itu aku benci kepada laki-laki. Ayahmu meninggalkan ibumu ketika ibumu sedang hamil. Hemmm, dan engkau ini. sebagai puteranya tentu sama saja, sama jahatnya!
Aku.... aku selama hidupku belum pernah melihat ayah kandungku, Subo. Aku juga sudah bersumpah mencari ayah, dan kalau dia tidak mempunyai alasan kuat meninggalkan dan menyia-nyiakan ibuku, aku akan menghajarnya!
Bagus! Kalau begitu engkau tidak sama dengan ayahmu! Kini Nio-cu kembali menotok Keng Han sehingga terbebas dari totokan. Keng Han mengelus-elus pundaknya yang tadi ditotok dan meringis karena pundaknya terasa agak nyeri.
Kenapa Subo begitu kejam, dengan mudah saja menotokku tanpa sebab?
Aku paling benci kalau mendengar ulah laki-laki yang mempermainkan wanita. Karena ayahmu berlaku keji terhadap ibumu, maka aku menjadi marah dan karena engkau puteranya, aku menjadi marah kepadamu. Akan tetapi sekarang tidak lagi karena engkau menyatakan tidak setuju dengan tingkah laku ayahmu itu.
Subo sudah mengetahui banyak tentang diriku, akan tetapi sebaliknya aku tidak tahu apa-apa tentang Subo. Bagaimana kalau kelak orang bertanya tentang guruku, apakah harus kujawab bahwa aku tidak mengenal guruku sendiri?
Bi-kiam Nio-cu menghela napas panjang. Riwayatku tidak menarik. Aku yatim piatu. Yang terdekat denganku hanya seorang guru dan seorang adik seperguruan. Guruku pembenci pria dan entah sudah berapa banyak pria yang telah dibunuhnya. Ia mengajarkan kami untuk membenci pria pula, terutama pria mata keranjang dan pria yang suka mempermainkan wanita. Engkau masih beruntung bertemu dengan aku. Kalau engkau bertemu dengan guruku atau sumoiku, tentu kepalamu sudah dipenggal!
Keng Han bergidik. Nona ini saja sudah begitu kejam terhadap laki-laki, apalagi sumoinya dan subonya itu. Hemm, mengerikan!
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Keng Han sudah terbangun dari tidurnya. Ketika bangun, dia melihat Bikiam Nio-cu sudah berdiri di depan gua dan melihat jauh ke depan, ke arah bawah karena gua itu terletak di lereng bukit. Tiba-tiba ia membalik dan dengan kakinya ia memadamkan api unggun, bahkan mencerai-beraikan kayu-kayu bakar sehingga tidak ada yang membara lagi dan tidak mengeluarkan asap. Kemudian ia berkata kepada Keng Han, sikapnya seperti orang ketakutan.
Keng Han, cepat kemasi barang-barangmu. Kita pergi dari sini!
Kenapa Subo?
Tidak usah bertanya, cepat lakukan perintahku! kata wanita itu bengis.
Keng Han cepat mengemasi buntalannya dan tak lama kemudian keduanya sudah menuruni bukit itu. Ketika tiba di kaki bukit, tiba-tiba wanita itu manarik tangan Keng Han, diajak bersembunyi di balik semak belukar.
Keng Han menurut saja dan ikut mengintai dari balik semak, dan dari jauh dia melihat seorang laki-laki berusia enam puluhan tahun yang berjalan terpincang-pincang menggunakan sebatang tongkat. Sungguh aneh sekali. Gurunya yang demikian lihai nampak ketakutan bertemu dengan seorang tua yang timpang kakinya! Akan tetapi dia tidak berani bertanya.
Jangan bergerak dan jangan bersuara, bisikan halus itu dekat sekali dengan telinganya. Dan dia mencium bau harum rambut gurunya.
Keng Han semakin heran dan mengintai terus. Setelah tiba tak jauh dari semak belukar itu, si timpang itu berhenti melangkah dan kepalanya dimiringkan seolah-olah dia menggunakan ketajaman pendengarannya untuk mendengarkan sesuatu. Keng Han tidak berani bergerak, bahkan menahan napas.
Kalian tidak lekas keluar menghadap aku, masih tunggu apalagi?
Keng Han kaget setengah mati. Kiranya si timpang itu dapat mengetahui kehadiran mereka di situ! Akan tetapi ketika dia hendak bergerak sebuah tangan menahan pundaknya dan dia tetap tidak bergerak. Namun dia siap siaga kalau-kalau diserang oleh kakek timpang itu.
Tiba-tiba dari balik semak-semak di seberang bermunculan tiga orang yang segera keluar dan menjatuhkan diri berlutut di depan si kakek timpang.
Pangcu, mohon maaf sebesar-besarnya! kata mereka sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tidak perlu cerewet. Cepat katakan apakah kalian sudah berhasil merampas kuda itu?
Ampunkan kami, Pangcu. Penunggang kuda itu ternyata lihai sekali dan kami bahkan menerima hajaran darinya. Kami tidak berhasil merampas kuda itu, bahkan nyaris tewas kalau kami tidak melarikan diri.
Kakek timpang itu mengerutkan alisnya dan matanya mencorong marah. Kalian orang-orang yang tidak berguna! Cabut pedang kalian!
Tiga orang itu tidak berani membantah dan mencabut pedang masing-masing dari punggung mereka.
Cepat buntungi telinga kiri kalian sebagai hukuman!
Kini tiga orang itu diam saja, agaknya merasa ngeri harus membuntungi daun telinganya sendiri. Melihat ini,, Keng Han yang masih mengintai merasa penasaran sekali. Alangkah kejamnya pangcu itu! Dia. membuat sedikit gerakan, akan tetapi tangan Niocu cepat menekannya agar dia tidak bergerak. Kenapa gurunya begitu takut terhadap kakek timpang yang kejam itu?
Kau tidak cepat melaksanakan perintahku? Baik, akulah yang akan menghukum kalian! Gerakannya demikian cepat dan begitu dia. menggerakkan tangan, tahu-tahu dia telah merampas sebatang pedang dari tangan anggauta yang terdekat dan nampak sinar pedang berkelebat tiga kali.
Sing-sing-sing....! Crat-crat-crattt...! Nampak darah muncrat dan tiga orang itu sudah kehilangan telinga kirinya! Kakek timpang itu membuang pedang rampasannya, lalu mengeluarkan sebuah bungkusan kecil. Pergunakan bubuk obat ini agar darahnya berhenti mengalir dan cepat sembuh. Hati-hati, kalau lain kali kalian gagal melaksanakan perintahku, bukan hanya telingamu yang kubuntungi, melainkan leher kalian! Hayo cepat pergi!
Tiga orang itu menghaturkan terima kasih dan setelah menerima obat mereka lalu pergi dengan cepat, menahan rasa nyeri pada telinga kiri yang daunnya telah buntung itu.
Kini Keng Han tidak lagi dapat menahan kesabaran hatinya. Tanpa mempedulikan tangan gurunya yang mencoba untuk menahannya, dia sudah meloncat keluar menghadapi kakek itu sambil membusungkan dadanya.
Orang tua, engkau sungguh kejam bukan main! Terhadap anak buah sendiri yang gagal melaksanakan tugas, engkau bersikap begitu, kejam membuntungi daun telinga kiri mereka. Apalagi terhadap orang lain!
Kakek timpang ini adalah Toat-beng Kiam-sian (Dewa Pedang Pencabut Nyawa) Lo Cit, seorang di antara para datuk persilatan yang terkenal kehebatan ilmu silatnya. Dan sekarang, ada seorang pemuda berani menegurnya seperti seorang tua menegur seorang anak nakal saja! Demikian heran kakek itu sampai dia tidak mampu menbeluarkan kata-kata, hanya memandang dengan bengong kepada Keng Han. Akhirnya setelah dia merasa yakin bahwa dia tidak sedang mimpi, dia membentak dengan bengis, Bocah setan, apa engkau sudah bosan hidup?
Bi-kiam Nio-cu terkejut setengah mati melihat ulah Keng Han. Ia merasa jerih melihat kakek timpang ini. Ketika tadi ia melihat seorang pria timpang berjalan dengan tongkatnya, ia segera mengenal siapa dia dan ia merasa jerih. Lebih baik tidak bertemu dengan datuk ini, pikirnya. Bagaimana ia tidak akan merasa jerih? Gurunya sendiri, Ang Hwa Nio-nio, pernah bertanding melawan datuk timpang ini dan berakhir seri, tidak ada yang menang!
Kini melihat Keng Han melompat keluar dan menegur kakek itu, hatinya tentu saja khawatir bukan main. Di luar kesadarannya sendiri Bi-kiam Nio-cu merasa amat sayang kepada Keng Han dan khawatir kalau pemuda itu celaka, maka ia melupakan rasa takutnya sendiri dan meloncat pula keluar dari balik semak-semak. Ia cepat memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan di depan dada sambil berkata dengan nada menghormat.
Harap Lo-pangcu sudi memberi maaf kepada muridku yang kurang sopan ini. Karena dia tidak mengenal Locian-pwe, maka telah bersikap kurang hormat. Dengan memandang mukaku, dan muka guruku, harap Lo-pangcu sudi memaafkan.
Kakek itu menoleh kepada Nio-cu dan memandang tajam penuh perhatian. Hemmm, ini muridmu? Dan siapa gurumu?
Guru saya adalah Ang Hwa Nio-nio!
Kakek itu mengangguk-angguk dan kembali memandang kepada Keng Han. Hemmm, jadi anak setan ini adalah cucu murid Ang Hwa Nio-nio? Nenek gurunya saja tidak mampu mengalahkan aku, sekarang cucu muridnya berani menegur aku. Dia harus dapat menahan sepuluh jurus pukulanku, baru aku dapat memaafkan dia!
Bi-kiam Nio-cu Siang Bi Kiok terkejut bukan main, ia tahu bahwa kakek itu lihai bukan main. Bukan saja terkenal sebagai ahli pedang sehingga dia disebut. Dewa Pedang dan pedang itu disembunyikan di dalam tongkatnya itu, akan tetapi juga dia ahli mempergunakan ilmu pukulan yang disebut Pukulan Halilintar yang ampuhnya menggila! Mana mungkin Keng Han dapat bertahan sampai sepuluh jurus? Lima jurus saja sudah cukup untuk membunuh Keng Han. Ia sendiri belum tentu dapat bertahan sampai sepuluh jurus.
Saya hanya mohonkan ampun bagi nyawa murid saya. Harap Lo-pangcu tidak membunuhnya karena kalau Pangcu melakukan itu, tentu akan membuat kumi semua, juga guru saya, merasa tidak enak sekali.
Ha-ha-ha, jangan khawatir. Aku tidak perlu membunuhnya, cukup membuat kaki tangannya lumpuh untuk selamanya agar dia tidak berani lagi bersikap kurang ajar!
Sementara itu, Keng Han sudah berkata, Subo, jangan minta-minta seperti itu. Kakek ini memang kejam bukan main.
Keng Han, cepat minta ampun kepada Lo-pangcu! kata Nio-cu.
Tidak, dia yang harus minta ampun kepada Tuhan atas dosanya! Aku akan menerima tantangannya menghadapinya sampai sepuluh jurus. Harap Subo tidak khawatir. Aku mampu menjaga diri!
Bagus, bocah sombong. Nah, terimalah jurus pertama ini! Kakek timpang itu berseru dan tangan kirinya sudah menyambar dengan hebat sekali ke arah kepala Keng Han. Memang bukan main cepatnya serangan itu, cepat dan kuat sekali sehingga mendatangkan angin pukulan yang dahsyat. Akan tetapi Keng Han sudah bergerak cepat dan berhasil mengelak dari jurus pertama itu. Dia mengelak dengan gerakan dari Hong In Bun-hoat. Melihat serangan pertamanya gagal, kakek timpang itu menjadi penasaran sekali dan kini dia memukul lagi dengan tenaga sepenuhnya. Terdengar angin berdesir dan debu mengepul ketika kakek itu memukul dengan tangan kirinya lagi ke arah dada.
Keng Han mengubah gerakan silatnya dan kini dia memakai ilmu silat Toat-beng Bian-kun, ilmu silat yang dipelajarinya dari Pulau Hantu. Ilmu silat ini bersifat lemas, namun di balik kelemasan itu terkandung tenaga dahsyat sekali sehingga ketika dia menangkis, pukulan kakek itu seperti masuk ke dalam air saja. Kakek itu terkejut bukan main dan dia segera mengamuk, mengirim pukulan beruntun dengan hebatnya.
Sementara itu, Bi-kiam Nio-cu hanya menonton dengan hati tidak karuan rasanya. Ia yakin bahwa muridnya yang tersayang itu akan terpukul mati atau setidaknya akan lumpuh seperti ancaman kakek itu dan ia tidak berani turun tangan membantu.
Akan tetapi segera ia memandang dengan terheran-heran. Muridnya itu bukan saja mampu menghindarkan diri, bahkan berani menangkis pukulan datuk itu.
Karena merasa penasaran bukan main setelah lewat sembilan jurus dia belum mampu mengalahkan bocah itu, Toat-beng Kiam-sian lalu merendahkan tubuhnya dan menyalurkan tenaga sinkang ke dalam kedua tangannya, kemudian memukul ke depan seperti mendorong. Inilah Pukulan Halilintar yang telah mengalahkan banyak sekali ahli silat di dunia kang-ouw. Nio-cu mengandang dengan muka pucat sekali karena sekali ini muridnya pasti celaka.
Melihat pukulan yang luar biasa kuatnya itu, yang mendatangkan angin seolah timbul badai, Keng Han juga merendahkan tubuhnya dan dia menyambut pukulan itu dengan kedua tangannya pula. Diam-diam dia mengerahkan dua hawa sakti yang berlawanan dalam tubuhnya dan dua macam tenaga sakti meluncur melalui kedua tangannya, yang kanan mengandung hawa panas dan yang kiri mengandung hawa dingin!
Wuuuuuttttt.... desssss....!!! Dua tenaga yang amat hebat bertubrukan di udara dan akibatnya, tubuh kakek itu terpental ke belakang sampai dia terhuyung beberapa langkah, sedangkan tubuh Keng Han hanya bergoyang-goyang saja!
Nio-cu terbelalak, hampir tidak percaya kepada pandang matanya sendiri. Juga kakek timpang itu terkejut setengah mati. Tak disangkanya bahwa pemuda itu bukan saja mampu menahan Pukulan Halilintarnya, bahkan mengatasinya dan membuatnya terhuyung! Dia lalu mengangkat tongkatnya yang menyembunyikan pedang dan hendak menyerang lagi menggunakan pedangnya.
Akan tetapi Nio-cu cepat meloncat ke depan dan berkata, Lo-pangcu telah menyerang sebanyak sepuluh jurus dan telah mengalah, memberi pelajaran kepada murid saya. Saya sebagai gurunya menghaturkan terima kasih atas kebaikan ini! Wajah Toat-beng Kiam-sian berubah merah. Akan tetapi dia juga meragu dan agak jerih. Kalau muridnya sudah demikian hebatnya, apalagi gurunya! Agaknya murid Ang Hwa Nio-nio ini memiliki ilmu kepandaian yang hebat sekali. Juga dia teringat akan janjinya bahwa dia akan mengampuni pemuda itu kalau mampu menahan sepuluh jurus serangannya, maka sambil mendengus marah dia membalikkan tubuhnya dan sekali melompat dia sudah hilang di balik semak belukar. Gerakannya demikian cepat sehingga mengagumkan hati Keng Han.
Setelah bertemu dengan Nio-cu, baru dia tahu bahwa di dunia ini terdapat banyak sekali orang yang amat lihai, akan tetapi juga amat kejam.
Nio-cu menghampiri Keng Han dan meraba-raba pundaknya. Engkau tidak apa-apa?
Tidak, Subo. Kenapa Subo melerai? Biarlah dia mengeluarkan seluruh kepandaiannya, teecu tidak takut! kata Keng Han penasaran.
Sudahlah, Keng Han. Engkau dapat keluar dengan selamat saja sudah merupakan keajaiban. Keng Han, sebetulnya engkau memiliki ilmu apakah? Bagaimana engkau dapat menahan ilmu Pukulan Halilintar tadi?
Keng Han tersenyum. Aku adalah murid Subo, mengapa Subo bertanya? Semua ilmuku tentu kudapatkan dari guruku, bukan? Dia mengejek. Nio-cu terbelalak dan wajahnya berubah merah. Memang selama ini ia belum mengajarkan apa-apa, juga ilmu totok itu belum ia ajarkan.
Marilah aku mengajarkannya kepadamu. Akan tetapi engkau harus sungguh-sungguh melawanku, seperti kau melawan kakek tadi!
Baik, Subo. kata Keng Han dengan girang. Dia memang ingin mempelajari ilmu totokan yang disebut Tok-ciang itu, walaupun bukan itu benar yang membuat dia betah melakukan perjalanan bersama gurunya ini. Entah bagaimana, dia pun suka sekali kepada Nio-cu dan tidak ingin berpisah darinya, ingin agar di temani ke Tibet. Bukan hanya pribadi Nio-cu yang menyenangkan hatinya, akan tetapi juga pengalamannya akan amat berguna baginya dalam perjalanan menemui Dalai Lama itu.
Keng Han sudah melepaskan bungkusan pakaian dari pundaknya, dan siap menghadapi serangan gurunya. Nio-cu juga melepaskan buntalan pakaiannya dan pedangnya, kemudian ia memasang kuda-kuda.
Lihat seranganku! katanya tiba-tiba, dan ia pun menyerang dengan cepat. Serangannya cepat dan kuat dan ia telah mempergunakan Tok-ciang, yaitu ilmu pukulan yang mengandung hawa beracun. Keng Han tidak berpura-pura lagi. Dia pun menyambutnya dengan Toat-beng Bian-kun. Dan seka!i ini benar-benar Nio-cu dibuat terheran-heran. Ilmu silat muridnya itu demikian aneh dan asing gerakannya, akan tetapi semua pukulannya meleset dan tidak pernah mengenai sasaran.
Kemudian ia mengerahkan seluruh tenaga sinkangnya dan menyerang dengan hebatnya, menggunakan kedua telapak tangannya. Keng Han menyambut dengan kedua tangannya pula.
Wuuuttttt.... desss....! Dan tubuh Nio-cu terjengkang seperti ditolak oleh tenaga yang amat dahsyat dan ia merasa betapa tangan kanannya bertemu hawa dingin sekali sedangkan tangan kirinya bertemu hawa panas luar biasa.
Ahhh.... Subo, engkau tidak terluka....? Keng Han cepat menghapiri gurunya dan membungkuk, untuk membantunya berdiri. Akan tetapi secepat kilat tangan Nio-cu sudah menotok pundaknya dan seketika Keng Han tidak mampu menggerakkan kedua tanganya.Subo, kenapa....? tanyanya heran.
Nio-cu bangkit berdiri wajahnya agak pucat, akan tetapi pandang matanya penuh keheranan. Dalam pertandingan ilmu silat tadi, jelas bahwa ia kalah kuat dan bahwa muridnya ini memiliki ilmu silat yang hebat bukan main dan memiliki tenaga sinkang yang berlawanan, tangan kirinya dingin dan tangan kanannya panas. Akan tetapi menghadapi ilmu totokannya, muridnya ini agaknya tidak berdaya.
Keng Han, apakah gurumu Gosang Lama itu seorang anggauta keluarga Pulau Es? tanyanya.
Bukan, Subo. Akan tetapi tolong bebaskan dulu totokan ini.
Nio-cu membebaskan totokannya dan Keng Han dapat bergerak kembali. Diakah yang mengajarkanmu menggunakan tenaga tadi? Dan ilmu silatmu itu, apakah dia pula yang mengajarkannya?
Terpaksa Keng Han berterus terang. Sesungguhnya bukan dia yang mengajarkannya, Subo, melainkan aku belajar sendiri dari dalam sebuah gua di Pulau Hantu.
Pulau Hantu....?
Keng Han lalu meceritakan tentang munculnya sebuah pulau baru di permukaan laut itu yang oleh para nelayan disebut Pulau Hantu dan diceritakannya pula penemuannya di gua, yaitu tulisan di dinding batu berikut gambar-gambarnya tentang ilmu silat yang dipelajarinya. Mendengar ini Nio-cu kagum bukan main. Tidak salah lagi! Pulau itu tentulah Pulau Es yang dikabarkan sudah tenggelam di lautan itu dan engkau telah mewarisi peninggalan Keluarga Pulau Es!
Akan tetapi pulau itu tidak ada esnya, sama sekali bukan Pulau Es, melainkan Pulau Hantu, Nio-cu. Keng Han kadang-kadang menyebut subo (ibu guru) kepada Bi-kiam Nio-cu, akan tetapi kadang-kadang dia terlupa dan menyebut Nio-cu begitu saja. Akan tetapi agaknya wanita itu tidak keberatan disebut Niocu.
Sudahlah, mungkin karena engkau tidak langsung dilatih orang dan hanya belajar sendiri, maka gerakanmu masih kaku sehingga engkau mudah terserang ilmu totokku. Sebetulnya engkau telah memiliki ilmu yang jauh lebih tinggi daripada ilmu silatku, Keng Han. Karena itu, tidak perlu lagi engkau mempelajari ilmu menotok itu, hanya akan kuajarkan bagaimana cara untuk menghindarkan diri dari totokanku.
Demikianlah, mulai saat itu, setiap kali berhenti mengaso, Nio-cu mengajarkan cara menghindari ilmu totokannya sehingga Keng Han kini selalu dapat mengelak dan menangkis, tidak sampai tertotok. Ilmu totok itu memang memiliki gerakan yang amat aneh maka kalau tidak mempelajarinya, tentu dia akan mudah tertotok dan dibuat tidak berdaya. Setelah mempelajari rahasianya, Keng Han bahkan dapat menggunakan sinkangnya untuk menolak totokan-totokan itu, sehingga tubuhnya kini menjadi kebal dari totokan itu seperti dari totokan lain.
Pada suatu hari perjalanan kedua orang ini sudah sampai di daerah Propinsi Secuan sebelah utara, yaitu di Pegunungan Beng-san. Selama berbulan-bulan melakukan perjalanan dengan Keng Han, Bi-kiam Nio-cu nampak semakin akrab. Juga Keng Han merasa betapa gurunya itu ternyata baik sekali kepadanya dan kini tidak lagi membentak atau bersikap keras kepadanya. Bahkan kalau dia berburu binatang dan memasaknya, wanita itu membantu dan bahkan membuatkan masakan-masakan yang lezat untuknya. Maka pemuda ini juga merasa senang sekali dan hubungannya dengan gurunya menjadi semakin akrab. Juga dia sudah mempelajari rahasia ilmu totok gurunya yang aneh sekali itu sehingga kini dia dapat menghindarkan diri dari serangan totokan seperti itu.
Ketika mereka sedang menuruni lereng sebuah bukit dari Pegunungan Beng-san, mereka melihat dari jauh seorang wanita berjalan cepat sekali mendaki lereng itu. Mendadak Bi-kiam Nio-cu mendorong punggung Keng Han dan berkata, Engkau jalan duluan, cepat!
Keng Han tidak tahu persoalannya akan tetapi dia tidak membantah dan berjalan cepat meninggalkan gurunya. Tak lama kemudian dia berpapasan dengan seorang wanita yang aneh. Wanita itu memakai sehelai saputangan sutera putih menutupi mukanya dari hidung ke bawah. Akan tetapi bagian atas dari muka itu, dari hidung ke atas yang nampak saja sudah membuat Keng Han terpesona! Hidung mancung lurus, sepasang mata yang bersinar-sinar seperti mata burung Hong dan memiliki sinar lembut, dihiasi sepasang alis mata yang kecil melengkung hitam, anak rambut yang melingkar di dahi dan pelipis, rambut yang hitam panjang dan disanggul dan diberi pita putih, semua itu sudah cukup membuat Keng Han mengakui dalam hati bahwa dia belum pernah melihat yang seindah itu! Tubuhnya tertutup pakaian yang serba putih dari sutera halus, dan hanya sepatunya saja yang hitam. Dari muka dan tangan yang nampak dapat diketahui bahwa gadis itu memiliki kulit yang putih mulus kemerahan. Ketika berpapasan, Keng Han memandang dan wanita itu pun mengerling kepadanya. Kerlingan yang hanya sebentar itu tidak akan pernah dilupakan Keng Han selamanya, karena kerlingan itu demikian manisnya. Akan tetapi bukan wataknya untuk menoleh dan memandangi orang secara kurang ajar, maka dia melangkah terus, hanya kini langkahnya lambat sekali karena dia ingin tahu apa yang terjadi kalau wanita itu berpapasan dengan Bi-kiam Nio-cu yang berjalan di belakangnya.
Apa yang diharapkan Keng Han tercapai. Dia mendengar percakapan mereka.
Suci....!
Sumoi....! Engkau dari manakah?
Aku baru pulang mencari rumput merah atas perintah subo. Dan engkau sendiri hendak ke mana, Suci?
Aku, mempunyai urusan di barat. Sampaikan saja hormatku kepada. subo dan setelah selesai urusanku di barat, tentu aku akan pulang.
Baiklah, akan tetapi berhati-hatilah, Suci. Aku mendengar di daerah Tibet terjadi pergolakan. Ada bentrokan antara para pendeta Lama.
Aku akan berhati-hati, Sumoi.
Keng Han yang mendengarkan merasa hatinya semakin tertarik. Jelas bahwa yang disebut sumoi oleh gurunya itu adalah nona berpakaian serba putih yang mukanya ditutupi saputangan putih itu. Suaranya! Belum pernah dia mendengar ada wanita bersuara semerdu dan selembut itu! Hanya ibunya yang dapat bersuara seperti itu, pikirnya. Jadi nona itu adalah sumoi dari gurunya. Mengapa pakaiannya serba putih dan mengapa pula wajahnya bagian bawah ditutupi sutera putih? Wajah itu pasti cantik jelita luar biasa. Melihat hidung ke atas saja dia sudah dapat membayangkan bahwa wanita itu pasti cantik seperti bidadari! Bulu matanya lentik dan yang takkan pernah dapat dilupakan adalah sinar matanya ketika mengerling kepadanya. Dia belum pernah melihat burung Hong, hanya melihat gambarnya saja. Akan tetapi seperti itulah mata burung Hong. Cemerlang indah penuh pesona dengan sinar yang tajam lembut.
Tak lama kemudian subonya sudah menyusulnya. Dia melihat wajah subonya diliputi ketegangan. Subo, mengapa Subo menyuruh saya berjalan lebih dulu? Ada urusan apakah?
Aku baru saja bertemu dengan sumoiku!
Kenapa saya disuruh pergi dulu, tidak diperkenalkan kepadanya? Bukankah ia bibi guruku?
Tidak! Celakalah kalau ia mengetahui bahwa engkau adalah muridku. Kalau subo sampai mengetahuinya, tentu aku disuruh membunuhmu sekarang juga! Eh, mengapa begitu, Nio-cu?
Murid-murid subo harus bersumpah dulu bahwa selama hidupnya tidak akan mencinta dan dicinta seorang pria. Kalau hal itu terjadi, ia harus membunuh pria yang mencintanya dan dicintanya itu.
Ahhh....! Keng Han berseru kaget sekali, bukan hanya kaget mendengar sumpah yang aneh itu, melainkan kaget sekali terutama karena tanpa langsung gurunya itu telah menyatakan cinta kepadanya!
Kalau kita jalan bersama dan diketahui sumoi, ia tentu akan bertanya padaku siapa engkau dan apa hubungan di antara kita, dan itu berarti bahaya maut bagiku dan bagimu. Kalau subo mengetahui, bersembunyi di manapun kita akan dapat ditemukan dan dibunuh.
Akan tetapi bibi guru tadi, mengapa ia menutupi mukanya dengan saputangan putih?
Itulah usahanya agar tidak dapat nampak wajahnya oleh pria dan agar tidak ada pria yang jatuh cinta kepadanya. Sudahlah, kita jangan lama-lama di sini. Ini masih merupakan wilayah kekuasaan subo.
Keduanya melanjutkan perjalanan secepatnya menuju ke barat. Akan tetapi sejak saat itu, bayangan wanita pakaian putih yang tertutup sebelah, bawah mukanya itu seringkali muncul dalam pikiran Keng Han. Dia tidak dapat melupakan kerling itu!
Berkat kepandaian mereka yang tinggi, Keng Han dan Bi-kiam Nio-cu tiba di wilayah Tibet tanpa ada halangan apa pun. Dalam perjalanan itu, seringkali mereka melihat serombongan kafilah yang juga menuju ke Tibet. Rombongan yang membawa kuda dan onta itu membawa pula pasukan pengawal yang kuat sehingga mengherankan hati Keng Han dan Bi-kiam Nio-cu. Ketika mereka bertanya, mereka mendengar keterangan bahwa perjalanan ke barat sekarang tidak aman karena adanya perang saudara antara para pendeta Lama Jubah Kuning yang memberontak terhadap golongan Lama Jubah Merah. Seringkali terjadi pertempuran dan mereka juga mendapat gangguan dari para pendeta Jubah Kuning yang tidak segan merampok mereka untuk merampas senjata dan harta benda karena mereka membutuhkan biaya untuk pemberontakan mereka.
Mendengar ini, Bi-kiam Nio-cu menerangkan. Lama Jubah Merah adalah para pengikut Dalai Lama. Dan mendengar ceritamu dulu bahwa mendiang gurumu adalah seorang pendeta Lama Jubah Kuning, sangat boleh jadi dia masih sekawan dengan para pemberontak itu. Sekarang tidak aneh kalau sampai gurumu dibunuh oleh Pendeta Lama Jubah Merah.
Aku tidak peduli akan perang di antara mereka. Aku hanya ingin bertanya kepada Dalai Lama mengapa dia menyuruh bunuh guruku! jawab Keng Han bersikeras.
Bi-kiam Nio-cu menarik napas panjang. Wah, kita mencari penyakit.
Kenapa kita, Subo? Akulah yang akan menemui Dalai Lama.
Dan aku akan mengantarmu sampai dapat berjumpa dengan Dalai Lama, bukan? Jadi, kita berdua yang mencari penyakit.
Aku tidak takut!
Aku pun tidak takut. Mari kita melanjutkan perjalanan secepatnya.
Beberapa hari kemudian, pada suatu pagi mereka melihat dua orang pendeta Lama Baju Merah sedang bertanding melawan delapan orang pendeta Lama Jubah Kuning. Melihat pertandingan yang tidak seimbang ini, Keng Han segera mengajak gurunya untuk membantu dua orang Lama Jubah Merah itu.
Eh, kenapa membantu mereka? Bukankah gurumu juga Lama Jubah Kuning dan mungkin mereka itu teman-teman gurumu?
Subo, aku tidak peduli. Mereka berlaku curang mengandalkan banyak orang mengeroyok yang sedikit. Pertama, aku selalu menentang yang curang dan kedua, dengan membantu Lama Jubah Merah itu siapa tahu aku lebih mudah bertemu dengan Dalai Lama!
Ah, engkau ternyata cerdik juga. Keng Han. Marilah kita bantu dua orang Lama Jubah Merah itu!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar