12 Kun Lun Hiap Kek

12. Barisan Ngo-heng-tin Pendeta Lama

Baru tiga empat jam ia melarikan keledainya, ia mendengar suara teriakan-teriakan dari belakang dan dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika ia melihat enam orang hwesio itu berlari-lari cepat sekali melakukan pengejaran

"Bunuh dia! Dialah isteri Wang Sin si pemberontak. Bunuh saja anaknya!" demikian teriakan Ga Lung Hwesio dan jarak antara dia dan para pengejarnya makin dekat

Ong Hui adalah puteri seorang pendekar. Dia tidak takut mati, juga tidak jerih menghadapi lawan betapa kuatpun. Apabila lawan yang sudah membunuh ayahnya

Hanya ia mengkhawatirkan nasib puteranya yang baru berusia empat bulan itu

Terpaksa Ong Hui mencambuk keledainya dan membalapkan binatang itu

Usahanya sia-sia belaka. Para pengejarnya sudah datang dekat sekali. Empat buah kaki keledai itu tidak dapat berlari lebih cepat dari pada enam orang hwesio yang berilmu tinggi

"Perempuan busuk, kau hendak lari ke mana?" bentak Ga Lung Hwesio

Tahu bahwa ia tidak akan dapat lolos, timbullah kegagahan Ong Hui. Nyonya muda ini melompat turun, menghunus pedangnya. Dengan anak dipondongan tangan kiri dan pedangnya di tangan kanan, ia menanti dengan sikap gagah. Mukanya pucat akan tetapi sepasang matanya memancarkan sinar berapi

"Keledai-keledai gundul keji! Majulah, hari ini nyonya besarmu akan mengadu nyawa dengan kalian!" bentaknya nyaring

Ga Lung Hwesio tertawa bergelak. Seorang sutenya lalu menerjang maju sambil memutar toyanya. Toya baja itu berat dan diayun dengan tenaga besar. Dalam sekali sambar saja pedang Ong Hui tentu akan dipukul patah atau jatuh. Karena tidak dapat mengelak, nyonya muda itu terpaksa mengerahkan tenaga dan mengangkat pedang menangkis

"Traaaaanngg.....!!"

Aneh bin ajaib! Bukan pedang di tangan Ong Hui yang patah atau terpental, sebaliknya nyonya muda ini tidak merasakan kehebatan tenaga lawan dan malah si hwesio yang memekik kaget, toyanya terlepas dari tangannya dan telapak tangannya berdarah karena kulitnya terbeset

Semua hwesio melengak terheran-heran. Hwesio itupun penasaran dan dengan tangan kosong ia menubruk maju, mengerahkan tenaga dan menggunakan ilmu Kim-na-jiu untuk merampas pedang orang dengan tangan kiri sedangkan tangan kanan mengancam ke arah bocah digendongan Ong Hui

"Celaka!" jerit nyonya itu yang tidak kuasa melindungi puterinya. Akan tetapi kembali terjadi keanehan yang langka. Sebelum kedua tangan hwesio itu mengenai sasaran, tiba-tiba kedua lututnya lemas dan ia jatuh berlutut di depan Ong Hui

Ia hendak menggerakkan tubuh atasnya, akan tetapi kembali kedua pundaknya terasa lemas seperti tertotok dan mau tak mau ia membungkukkan tubuh, benar-benar kini berlutut dan menyembah

Ga Lung Hwesio melangkah maju dan menepuk punggung sutenya itu sambil mengurut tulang belakang. Baru sutenya itu dapat bangun berdiri dan melompat ke belakang dengan mata terbelalak heran dan takut. Sementara itu, hwesio kedua melompat maju lagi, diikuti dua orang hwesio lain dan segera Ong Hui diserang oleh tiga orang hwesio kosen itu dari tiga jurusan

Ong Hui sendiri masih terheran-heran melihat hwesio yang menyerangnya tadi tiba- tiba roboh. Ia menduga tentu ada orang sakti membantunya, akan tetapi dari mana, siapa dan bagaimana? Ia tidak ada waktu lagi untuk menyelidiki melihat tiga orang hwesio menyerangnya dengan hebat

Ia cepat memutar pedangnya melindungi diri dan anaknya. Kembali terdengar suara nyaring tiga kali ketika pedangnya menangkis, terlempar tiga batang toya dan seperti juga tadi, tiga batang toya itu terlempar dan di lain saat angin besar dari arah belakang Ong Hui yang membuat tiga orang hwesio itu terjengkang roboh dan babak bundas(luka-luka). Empat orang sute Ga Lung Hwesio itu telah mendapat hajaran tidak berani maju lagi

Ga Lung Hwesio berseru keras. "Perempuan rendah! Ilmu siluman apa yang kau keluarkan?" Ia menyangka bahwa robohnya empat orang sutenya itu adalah karena Ong Hui mempergunakan ilmu siluman, karena kalau menggunakan ilmu silat saja tidak mungkin wanita muda ini dapat merobohkan empat orang sutenya. Ia lalu membaca mantera berkemak-kemik lalu membentak dengan disertai tenaga dalamnya yang amat hebat. "Berlututlah engkau!"

Ilmu yang dikeluarkan oleh Ga Lung Hwesio ini adalah ilmu "mentaklukkan semangat". Lweekang yang disertai ilmu hitam ini memang luar biasa dan semacam tenaga luar biasa memaksanya dari dalam untuk segera menjatuhkan diri berlutut di depan Ga Lung Hwesio yang bertubuh pendek gemuk dan mengangkat tongkat bambu kuning itu ke atas dengan sikap agung

Tiba-tiba nyonya muda merasa ada hawa hangat meresap ditubuhnya dan seketika itu lenyaplah semua perasaan yang hendak memaksa ia berlutut. Sebaliknya Ga Lung Hwesio menggigil kedua kakinya. Ia mengerahkan tenaga dan membentak lebih keras. "Berlutut!"

Celaka baginya. Makin kerasnya ia mengerahkan tenaga menyuruh orang berlutut, makin keras tak tertahan lagi ia menguasai kedua kakinya dan mendadak ia menjatuhkan diri berlutut di depan Ong Hui sambil mengangguk-anggukan kepalanya yang gundul

Ia merasa terkejut dan heran sekali. Mengapa ilmunya itu malah menguasai dirinya sendiri? Dia mencoba untuk menahan diri, namun tidak berhasil. Terdengar suara ketawa perlahan dibelakangnya dan tongkat di tangan Thu Bi Tan mencongkel pantatnya membuat tubuhnya melayang ke atas dan dapat berdiri lagi

Marahlah Ga Lung Hwesio. "Iblis betina, mampuslah!" Tongkat bambu kuning di tangannya menyambar. Ong Hui melompat mundur karena merasa betapa hebatnya serangan ini

Tiba-tiba Ga Lung Hwesio menghentikan serangannya dan terhuyung mundur karena semacam hawa pukulan datang dari belakang nyonya muda itu menyambar dadanya

Ia sudah mengerahkan lweekang dengan muka pucat saking kagetnya

Sementara itu sabil tertawa bergelak, Thu Bi Tan melompat jauh, tahu-tahu tiba di dekat sebuah batu besar yang berada di belakang Ong Hui. Tongkatnya diayun menghantam batu sambil berseru. "Siluman, keluarlah kau!"

Terdengar suara keras dan batu itu pecah berhamburan. Demikian hebatnya pukulan Thu Bi Tan yang menandakan bahwa ilmu kepandaian dan tenaganya bukan main hebatnya. Selenyapnya debu batu yang terpukul hancur, muncullah dari balik batu itu seorang kakek tinggi kurus yang rambut, jenggotnya panjang putih, sikapnya agung lagi tenang

Di sampingnya berdiri seorang anak laki-laki berusia tujuh tahun. Bocah ini bermuka tampan dan bermata tajam. Melihat Ong Hui didesak Ga Lung Hwesio, bocah itu berlari-larian dengan beberapa loncatan saja ia sudah tiba di dekat Ong Hui

"Bibi, larilah lekas dengan keledai, jangan layani orang-orang jahat ini!"

Sambil berkata demikian, ia menghadang di depan Ong Hui untuk mencegah Ga Lung Hwesio mendesak terus. Ong Hui ragu-ragu akan tetapi mengingat akan keselamatan anaknya, lalu melompat ke atas keledainya dan membalapkan keledai itu sambil berseru. "Terima kasih atas pertolongan Locianpwe!" Melihat Ong Hui hendak melarikan diri, tanpa memperdulikan bocah yang menghadang di depannya, Ga Lung Hwesio membentak sambil mengejar

"Perempuan hina, kau hendak lari ke mana?"

Akan tetapi bocah itu dengan gerakan yang amat ringan sudah melompat di depannya, mementangkan kedua tangan dan berseru

"Orang jahat, mau apa kau mengejar?"

Baru sekarang Ga Lung Hwesio memperhatikan bocah ini. Usianya paling banyak tujuh tahun, pakaiannya sederhana dari kain kasar. Tidak ada apa-apa yang istimewa pada bocah ini kecuali sinar matanya yang tajam dan sepasang alisnya yang hitam panjang

"Setan cilik, minggirlah!" Tongkatnya menyambar untuk menghantam bocah itu ke samping. Akan tetapi dengan amat mudah bocah itu mengelak dan tongkatnya mengenai tempat kosong

Ga Lung Hwesio terkejut dan marah. Kalau saja ia tidak ingin mengejar Ong Hui, tentu ia mengirim serangan lagi. Melihat bocah itu sudah mengelak ke samping, ia lalu melompat dan mengejar terus

Alangkah heran, kaget dan marahnya ketika tiba-tiba ia melihat bocah itu sudah berada di depannya lagi menghadang dan mencegah ia mengejar terus

"Anak setan, apa kau ingin mampus?" bentaknya

"Hidup bukan kau yang menghidupkan, matipun mana bisa kau yang mematikan?" jawab bocah itu sambil tersenyum simpul. Ga Lung Hwesio tertegun sejenak. Ucapan seperti itu benar-benar tidak pantas keluar dari mulut seorang bocah berumur tujuh tahun

Akan tetapi kemarahannya masih kalah oleh keinginannya mengejar Ong Hui, maka tanpa memperdulikan bocah itu, ia menggerakkan kaki melompati bocah di depannya

Tentu saja bagi orang sepandai dia, melompati atas kepala bocah itu adalah mudah sekali

Akan tetapi kali ini ia kecele. Bocah itupun melompat ke atas dan ketika kedua tangannya di ayun, dua batu menyambar ke arah jalan darah di kedua pundak hwesio itu

Ga Lung Hwesio kaget dan marah sekali, akan tetapi mana ia memandang mata seorang bocah? Tangan kirinya digerakkan menyampok dua butir batu dan tubuhnya terus bergerak maju dengan tangan kanan mencengkeram dada bocah itu untuk menangkap dan melemparkan bocah itu ke samping agar ia dapat terus mengejar Ong Hui

"Hayaaaa, hwesio palsu lihai sekali!" Dengan lucu bocah itu membanting diri ke belakang, berpoksai tiga kali dan turun ke atas tanah, masih menghadapi hwesio itu dan menghadang. Ga Lung Hwesio adalah seorang hwesio yang kedudukannya tinggi sekali di Tibet. Di ibukota Lasha, jangankan penduduk biasa, bahkan tuan tanah dan pembesar menaruh hormat kepadanya. Sekarang ia digoda dan dipermainkan seorang bocah tentu saja amarahnya naik ke ubun-ubunnya dan ia menggertak giginya

"Kau benar-benar bosan hidup!" bentaknya dan tiba-tiba ia harus mengelak karena ada debu berhamburan di depan mukanya, debu dari tanah dan pasir yang tengah disambitkan oleh bocah itu kepadanya. Celakanya, setelah mengelak lagi-lagi ada hujan batu kecil dan pasir dicampur debu mengebul menyerang muka. Untuk sambitan ini tentu saja Ga Lung Hwesio tidak takut, akan tetapi kalau sampai mukanya terkena hujan debu, tentu mata hidung, mulut, dan telinganya terancam bahaya kemasukkan debu kotor

Saking marahnya, Ga Lung Hwesio lupa akan kedudukannya sebagai seorang tokoh besar dan ia mulai mengamuk, menyerang bocah itu dengan tongkatnya bukan hanya serangan gertakan lagi, melainkan serangan maut dengan maksud membunuh. Akan tetapi ternyata bocah itu lincah sekali gerakan-gerakannya

Bagaikan seekor burung walet saja layaknya ia "terbang" di antara sambaran tongkat sambil mulutnya tiada hentinya berseru. "Hwesio palsu! Hwesio jahat!" dan sebagainya, membuat Ga Lung Hwesio menjadi makin marah dan lupalah ia akan Ong Hui yang sekarang sudah kabur jauh sampai tidak kelihatan lagi

Sementara itu, Thu Bi Tan Hwesio yang tadi sudah dapat menduga bahwa Ong Hui dibantu orang pandai yang bersembunyi di belakang batu, telah memukul hancur batu besar itu sehingga kelihatan bocah itu bersama seorang kakek tinggi kurus berjenggot panjang dan putih. Sudah banyak Thu Bi Tan mengenal orang-orang kang-ouw di daerah Kun-lun, akan tetapi kakek tua ini belum pernah dilihatnya. Namun sebagai seorang tokoh utama di Tibet, ia tidak mau berlaku sembrono. Ia mengawasi kakek itu lalu berkata

"To-yu siapakah dan pernah apa dengan perempuan Kun-lun-pai yang kami kejar?"

Pertanyaan yang dikeluarkan dengan bahasa Han yang kaku ini adalah pertanyaan yang biasa dipergunakan orang berkedudukan tinggi, singkat akan tetapi sudah mencakup semua persoalan antara mereka

Kalau tosu tua itu mengaku masih ada hubungan, maka otomatis tosu inipun musuh- musuh para hwesio Lama. Kalau bukan apa-apa, berarti tosu itu melanggar peraturan kang-ouw, mencampuri urusan orang lain

Kakek itu tersenyum ramah, "Hwesio, wanita muda itu dan anak kecil yang digendongnya adalah saudaraku, juga kau dan kawan-kawanmu adalah saudaraku."

Thu Bi Tan Hwesio melengak mendengar jawaban yang aneh ini. Selagi ia hendak membentak minta penjelasan, kakek itu lalu mengucapkan kata-kata bersyair, "Di empat penjuru samudra semua adalah saudara!" Kemudian ia memandang Thu Bi Tan Hwesio dan melanjutkan kata-katanya

"Sebagai saudara aku berkewajiban untuk membantu yang lemah, mengingatkan yang sesat, wajib menolong yang lemah tertindas, memberantas yang menindas."

Thu Bi Tan Hwesio juga seorang tokoh agama maka ia mengerti akan maksud kata- kata ini. Dia tertawa menyindir lalu berkata keras, "Tosu sombong! Sekali bertemu bagaimana kau tahu mana yang benar mana yang keliru? Apa kau tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa? Pinceng adalah Thu Bi Tan, seorang di antara Su Thai Losu di Lasha. Apa kau sengaja mengandalkan kepandaian dan berani menentang Su Thai Losu?"

Nama Su Thai Losu di Tibet dan daerah Kun-lun terkenal sekali dan selama ini tidak pernah ada orang berani menentangnya. Dengan memperkenalkan diri, Thu Bi Tan ingin menggebah pergi tosu ini supaya jangan banyak rewel lagi agar dia dan para keponakan muridnya dapat melanjutkan pengejaran terhadap Ong Hui

Akan tetapi dengan masih tenang-tenang saja, kakek itu menjawab, "Tidak ada persoalan berani atau tidak dan siapa menentang siapa tidak, yang ada hanya menolong yang lemah dan memberantas yang menindas."

Marahlah Thu Bi Tan. Tongkat kecil panjang ia keluarkan dan tangannya gemetar menahan nafsu. "Kakek tua, beritahukan namamu sebelum pinceng turun tangan."

"Apa artinya nama? Diberitahukan juga kau tidak akan mengenalku. Aku tidak terkenal seperti Su Thai Losu. Thu Bi Tan, aku tidak ingin berkelahi. Lebih baik kau dan lima orang kawanmu dengan damai kembali ke Lasha, biarkan perempuan lemah dan anaknya itu pergi dengan aman."

"Tosu siluman, enak saja kau bicara. Keluarkan senjatamu!"

Kini sikap kakek tua itu keren sekali dan ia pandang Thu Bi Tan Hwesio seperti seorang guru memandang muridnya. "Senjata hanyalah alat penyambung tangan dan dipergunakan untuk melindungi diri, bukan untuk menindas sesamanya. Kalau ada bahaya mengancam diri, barulah senjata dikeluarkan."

Ucapan ini biarpun dapat diartikan menegur Thu Bi Tan Hwesio yang menggunakan kepandaian dan senjata untuk menindas orang lain akan tetapi juga bersikap mengejek, menyatakan bahwa menghadapi Thu Bi Tan tanpa senjatapun kakek itu merasa tidak berbahaya

"Kakek tua bangka, siapapun adanya engkau, hari ini pasti tubuhmu hancur seperti batu itu!" bentak Thu Bi Tan yang menjadi makin marah karena sikap kakek itu yang ia anggap amat sombong dan tidak memandang sebelah matapun kepadanya. Ia dapat menduga, bahwa kalau seorang bisa bersikap demikian tenang dan sombong tak kenal takut, sudah tentu memiliki kepandaian tinggi, maka paling perlu menghantamnya sehingga tewas agar tidak rewel-rewel lagi

Dengan gerakan perlahan ia menghantam. Tongkatnya kelihatannya bergerak lambat ke arah dada kakek itu, akan tetapi sebetulnya apa yang kelihatan ini adalah sebaliknya dari pada kenyataannya. Seorang ahli lweekeh seperti dia ini, memang di dalam serangannya terkandung unsur "kosong berisi" atau "lemah kuat", kelihatan lemah dan perlahan akan tetapi sebetulnya luar biasa kuatnya. Dengan kekuatannya seperti inilah maka tongkat kayu bisa menghancurkan batu, dan pukulan yang kelihatan perlahan dapat merusak bagian dalam tanpa merusak bagian luar

Kakek itu sama sekali tidak menangkis atau mengelak, hanya berdiri diam acuh tak acuh, seakan-akan tidak tahu bahwa dirinya sedang diserang, bahkan diancam serangan maut yang sekali kena akan mengakibatkan kematiannya. Thu Bi Tan bukan seorang biasa, dia tokoh besar dan tentu saja dia tidak sudi membunuh seorang lemah yang tidak melawan sama sekali

Melihat kakek ini tidak mengelak dan tidak menangkis, hatinya terguncang dan otomatis ia menarik kembali tenaganya sehingga tongkat itu kini bergerak cepat sekali akan tetapi tidak mengandung tenaga lweekang sehingga apabila mengenai dada kakek itu hanya akan membuat kakek itu terguling roboh tanpa menderita luka hebat

"Werrrr......!" Tongkat menyambar cepat sampai tidak kelihatan bayangannya. Kakek tetap tidak bergerak tapi ..... alangkah herannya hati Thu Bi Tan ketika tongkatnya itu mengenai angin, sama sekali tidak menyentuh tubuh orang tua itu

Padahal menurut penglihatannya, kakek itu sama sekali tidak mengelak dan sekarangpun masih berdiri di tempat yang tadi tanpa mengubah kedudukan kaki, masih tersenyum ramah memandangnya

"Setankah dia......??" ia berpikir dengan penasaran lalu menghantam lagi, kali ini lebih cepat dan lebih keras daripada tadi, masih belum mengisi gerakannya dengan tenaga lweekang. Sekali lagi luput serangan itu tanpa lawannya berpindah tempat

Karena Thu Bi Tan sekarang menyerang sambil memasang mata ia melihat betapa serangannya tadi digagalkan oleh gerakan kakek itu dengan amat cepat dan halus, yaitu menyedot bagian tubuh yang yang terserang sehingga legok dan tongkat itu tidak menyentuh kulit. Ia kaget sekali

Sedemikian tingginya lweekang kakek ini sehingga semua bagian tubuhnya seakan- akan bermata? Ia menjadi penasaran karena terang-terangan kakek itu tidak memandang sebelah mata kepadanya sehingga menghadapi dua serangannya seperti seorang guru menghadapi serangan murid

"Bagus! Coba tahan serangan ini!" bentaknya dan kini tongkatnya diputar tiga kali di atas kepala, lalu langsung dipakai membabat tubuh lawannya bagian tengah. Tak mungkin dapat mengelak tanpa memindahkan kaki, pikirnya. Akan tetapi sekali lagi pukulannya mengenai angin dan tiba-tiba tubuh kakek itu lenyap dari depan matanya

Setelah tongkatnya menyambar lewat, tubuh kakek itu kelihatan lagi, masih berdiri tersenyum seperti tadi

Thu Bi Tan kaget setengah mati. Ia dapat menduga bahwa tanpa mengubah kedudukan kaki, kakek tua ini telah membuang diri ke belakang tanpa menggeser kaki sehingga tubuhnya telentang di atas tanah, akan tetapi hanya sebentar saja karena begitu tongkat lewat, ia sudah menarik kembali tubuhnya dan berdiri tegak. Inilah perbuatan yang benar-benar hebat dan sukar dilakukan biarpun oleh seorang ahli yang amat ulung

"Mengalah hanya bertingkat tiga," kata kakek tua itu masih tersenyum, "pertama berdasarkan kesabaran, ke dua berdasarkan anggapan bahwa orang telah mendesak karena terburu nafsu, dan ke tiga berdasarkan anggapan bahwa orang melakukan karena kebodohannya

Kalau sudah mencapai tingkat ke empat, berarti orang itu memang berwatak jahat dan suka mencelakakan sesamanya. Hwesio, sekali lagi kuperingatkan kau dan kawan- kawanmu, pergilah dengan damai."

Pada saat itu bocah berusia tujuh tahun tadi masih digempur hebat oleh Ga Lung Hwesio. Hwesio ini sudah marah sekali, mencak-mencak dan memaki-maki karena sampai puluhan jurus belum juga ia berhasil merobohkan bocah itu, belum berhasil tongkatnya mengenai tubuh si bocah. Benar-benar hal ini merupakan hal yang amat menakjubkan sampai empat orang sutenya berdiri melongo saking herannya

Bocah itu lebih gesit daripada seekor monyet dan biarpun tubuhnya kadang-kadang terbawa oleh hawa pukulan Ga Lung Hwesio yang mengandung tenaga lweekang, namun tetap saja selalu dapat menghindarkan diri. Yang aneh adalah gerakan kaki bocah itu yang diatur sedemikian sempurna merupakan langkah-langkah kedudukan bintang di langit

"Eh, eh, bukan aku yang pintar melainkan kau yang goblok tidak dapat mengenaiku

Kenapa marah?" balas bocah itu tertawa-tawa ketika Ga Lung Hwesio mulai memaki- maki

Ga Lung Hwesio segera sadar. Dia seorang ahli silat tinggi dan sekarang tahulah ia bahwa kegagalannya itu sebagian besar karena kesalahannya sendiri. Dia terlalu bernafsu dan menganggap lawannya hanya seorang bocah

Padahal sekarang kenyataannya bahwa biarpun masih cilik, bocah ini sudah mengetahui dasar-dasar ilmu silat tinggi dan memiliki kedudukan kaki yang amat teratur. Biarpun menghadapi bocah, ia harus menggunakan taktik pertempuran, bukan membabi buta seperti tadi. Ia mulai mengurangi serangannya dan maju dengan tongkat dan tangan kiri, menyerang dengan mantap dan kuat

"Suhu, susah teecu kalau begini ...." bocah itu melompat ke kiri menghindarkan sambaran tongkat dan membuang diri ke belakang ketika pundaknya hampir kena dicengkeram oleh Ga Lung Hwesio

Pada saat itu kakek tua tadi menoleh dan dengan sabar kakek itu menjemput sebatang ranting yang menggeletak di dekat kakinya. Dilontarkan ranting itu ke arah bocah tadi sambil berseru, "Sun-ji, sambutlah!"

Bocah itu biarpun sudah menjauhkan diri ke belakang, begitu melihat sambaran ranting ke arahnya, cepat mengulur tangan menangkap ujung ranting. Hebat tenaga sambaran ranting ini karena begitu terpegang, bocah itu terbang terbawa oleh ranting melayang-layang lalu membelok dan kembali kepada si kakek. "Duduk di punggungku!" kata kakek itu dan bocah tadi dengan gembira lalu menjambret pundak si tua dan duduk nongkrong di punggung, kepalanya dengan wajah yang berseri mengintai dari balik pundak ke depan. Benar-benar dia seperti seekor monyet kecil yang nakal. Hidungnya dicungar-cungirkan kepada Thu Bi Tan dengan lagak mengejek sekali

"Hwesio tua, apa kau sudah makan?" tanyanya tiba-tiba

Thu Bi Tan yang sedang terheran-heran dan kagum menyaksikan kepandaian kakek yang luar biasa ketika "mengambil" muridnya tadi, mendengar pertanyaan tiba-tiba ini, tanpa disadarinya lagi menjawab

"Apa..... belum ..... belum makan."

Bocah itu memperlihatkan muka menaruh kasihan, lalu menyodorkan sepotong kue kering dari sakunya. "Nah, kau makanlah." Tapi tiba-tiba ia menarik kembali kuenya dan berkata cepat-cepat. "Eh, maaf aku lupa. Kue ini mengandung minyak babi. Nih, sayang hanya tinggal tiga helai dan sudah agak kering."

Ia menyodorkan ranting yang masih dipegangnya. Di ujung ranting itu terdapat tiga helai daun yang sudah hampir kering

Thu Bi Tan menjadi merah mukanya. Bocah itu secara memutar telah memakinya

Para hwesio memang biasanya tidak makan daging dan selalu makan sayur-sayuran, maka selalu dimaki keledai. Sekarang bocah itu menawarkan daun, sama saja dengan memaki keledai. Akan tetapi karena ia maklum bahwa lawannya amat lihai, ia segera membentak lima orang murid keponakannya. "Kurung dengan Ngo-heng-tin!"

Ga Lung Hwesio dan sute-sutenya tadipun melongo menyaksikan kepandaian kakek yang mereka anggap mengeluarkan ilmu siluman itu. Sekarang mendengar bentakan Thu Bi Tan, mereka cepat melompat maju sambil memegang toya masing-masing

Dengan teratur lima orang ini lalu mengurung dan di lain saat sudah membentuk barisan Ngo-heng-tin

Maju seorang saja mereka ini mungkin tidak berarti bagi lawan, akan tetapi sekali maju bersama dalam bentuk barisan yang disebut Ngo-heng-tin, biarpun lawan memiliki kepandaian tinggi, tidak mudah mengalahkan mereka

Dengan terbentuknya barisan ini, tidak saja tenaga mereka tergabung menjadi satu sehingga lima kali lebih kuat, juga mereka seperti seorang sakti yang mempunyai lima macam kedudukan, lima macam tenaga, dan lima macam keampuhan. Disamping Ngo-heng-tin ini, di situ masih ada lagi Thu Bi Tan yang sudah merupakan seorang lawan sakti yang tidak boleh dipandang ringan

Tapi kakek tua itu kelihatannya masih tenang saja, malah berkata kepada bocah di gendongannya. "Yalu Sun, berlatih kau, lawanlah enam orang hwesio ini."

Bocah itu nampak gembira. "Baik, suhu. Hei, liok-wi losuhu, majulah!" Sambil berkata demikian ia menggerak-gerakkan ranting di tangannya. Thu Bi Tan tercengang. Orang terlalu memandang rendah kepadanya karena dia yang berkedudukan tinggi sudi melawan seorang bocah? "Binasakan saja kakek dan bocah ini, mereka terlampau memandang rendah dan menghina kita!" serunya kepada lima orang murid keponakannya

Ngo-heng-tin bergerak mengitari kakek itu yang berdiri tegak sambil menggendong bocah itu. "Perhatikan gerakan mereka, rasakan bagaimana aku mengambil kedudukan dan buka mata telinga dengarkan jurus-jurus yang kau mainkan," dengan suara tenang sekali kakek itu memberitahukan kepada bocah di gendongannya

"Baik, suhu," jawab bocah itu dengan gembira dan wajah berseri

Barisan Ngo-heng-tin bergerak-gerak makin lama makin cepat mengitari tubuh kakek itu. Tiba-tiba Ga Lung Hwesio yang menjadi pemimpin Tin (barisan) ini berseru dalam bahasa Tibet memberi perintah kepada sute-sutenya. Dua orang yang ketika itu kedudukannya di depan dan di belakang si kakek, serentak mengayun toya melakukan serangan, yang di depan menghantam kepala dan yang di belakang menyerampang kaki. Serangan atas bawah ini cepat, kuat dan berbahaya sekali

"Pek-in-ci-tiam (Awan Putih Keluarkan Kilat)" seru kakek itu sambil melompat ke atas sehingga serampangan toya dari belakang yang mengarah kakinya mengenai angin, sedangkan bocah itu yang mendapat petunjuk gurunya lalu menggunakan ranting kayu seperti pedang digerakkan ke atas menangkis datangnya toya ke arah kepalanya

Melihat bocah itu menangkis toyanya menggunakan ranting kecil, hwesio yang menyerangnya menjadi girang dan cepat mengempos semangatnya. Ia tidak ragu-ragu lagi bahwa toyanya tentu akan mematahkan ranting terus menghancurkan kepala orang, karena mana ada seorang bocah kecil dapat menangkis tongkatnya dengan ranting?"

11 - Beranda - 13

Tidak ada komentar:

Posting Komentar