Gadis itu dengan hati-hati lalu bangkit berdiri dan perlahan-lahan maju ke arah suara tadi. Cin Hai terpaksa mengikutinya dari belakang. Walaupun sebenarnya ia merasa takut. Baru suaranya saja sudah sehebat itu, apalagi burungnya. Tentu besar dan liar! Makin dekat, makin keras pekik burung raksasa itu dan terdengar gerakan sayapnya mengebut-ngebut membuat batu-batu karang yang kecil menggelinding pergi dan angin bertiup dari arah itu! Dengan gerakan hati-hati sekali Ang I Niocu terus maju dan mengintai dari balik batu karang. Cin Hai juga ikut mengintai dan terkejutlah ia melihat betapa seekor burung yang luar biasa besarnya menyambar-nyambar dan menerjang seorang kakek di depannya! Cin Hai memandang dengan melongo, mata terbelalak dan mulut ternganga, karena kejadian yang dilihatnya ini memang luar biasa sekali! Kakek tua itu berjenggot panjang berwarna putih, juga rambutnya yang digelung ke atas telah putih semua. Pakaiannya sederhana sekali, lebih pantas disebut kain yang dililitkan pada tubuhnya dan terbuat dari kain kasar berwarna putih yang biasa dipakai oleh petani-petani miskin atau orang-orang jembel. Tetapi kakek itu mengenakan sebuah rompi daripada bulu merak yang masih baru! Pada saat itu, burung rajawali putih yang tampak marah sekali itu sedang menyerang dengan kedua cakarnya yang berkuku tajam bagaikan kaitan-kaitan baja dan paruhnya yang besar melengkung bagaikan sebuah catut besar. Serangan ini dibantu pula oleh kedua sayapnya yang berkembang dan siap menyambar dengan tenaga sedikitnya seribu kati! Tetapi kakek itu tidak jerih, bahkan terdengar ia tertawa terkekeh-kekeh, lalu ia pun mengembangkan sepasang lengan tangannya yang dibentang ke kanan kiri dengan jari-jari terbuka merupakan cakar hingga seakan-akan ia telah siap untuk main cakar-cakaran dengan burung itu. Tubuhnya merendah dengan kaki kiri diulur ke depan, seakan-akan ia hendak memperlihatkan kepada burung itu bahwa kakinya tidak lebih buruk daripada kaki burung rajawali putih! "Ha, ha, ha, majulah, tolol, majulah!" kakek itu mengejek burung itu dan tiba-tiba teringatlah Cin Hai bahwa kakek itu bukan lain adalah Bu Pun Su, kakek jembel yang telah ia angkat sebagai guru ketika mereka berjumpa di atas Kelenteng Ban Hok Tong pada beberapa tahun yang lalu! PADA saat itu burung rajawali itu menerkam dan memukul dengan sayap kanannya. Tetapi dengan ringan sekali kakek itu meloncat menghindari kebutan sayap hingga sayap burung yang besar itu menghantam batu karang di belakang Bu Pun Su! Terdengar suara keras dan batu karang itu terpukul hancur dan batu-batu kecil terbang berhamburan! Demikian hebat pukulan itu hingga dapat dibayangkan betapa kepala orang akan hancur lebur terkena pukulan sayap satu kali saja.
Tetapi Bu Pun Su benar-benar luar biasa lihainya. Ia menghadapi burung raksasa itu dengan tenang, bahkan mempermainkannya. Padahal pada saat itu ia berdiri di tempat yang sempit sekali. Di depan kakinya terbuka jurang yang curam sekali, sedangkan di belakangnya menjulang tinggi batu karang besar. Kalau ia sampai terdorong oleh serangan burung rajawali, maka nasibnya hanya dua macam, kalau tidak terpukul hancur terbentur pada batu karang yang keras, tentu terguling ke dalam jurang dan menemui maut di dasar jurang yang ratusan kaki dalamnya! Pada saat Cin Hai sedang berdiri kagum dan heran, tiba-tiba Ang I Niocu memegang lengannya dan menariknya cepat-cepat pergi dari tempat itu.
"Lekas kita turun gunung dan lari dari Susiok-couw!" kata Ang I Niocu dengan wajah pucat! "Eh, Niocu, kau mengapa? Kenapa begitu takut melihat dia?"
"Anak tolol! Bukankah dia itu Bu Pun Su, Gurumu? Kalau melihatmu, tentu kau akan dibawanya dan berpisah dariku, lupakah kau?"
Terkejutlah Cin Hai teringat akan hal ini. Ia lalu ikut berlari turun dari puncak itu, sedangkan hatinya makin suka kepada Ang I Niocu, karena ternyata bahwa Gadis Baju Merah ini pun takut kalau-kalau harus berpisah darinya! Mereka berdua sambil bergandeng tangan berlari-lari dengan cepat bagaikan dikejar setan. Tetapi karena Cin Hai telah lemah sekali serta sepatunya sudah banyak berlubang hingga telapak kakinya terasa sakit tertusuk batu-batu tajam, perjalanan mereka tidak secepat yang mereka inginkan.
Ketika mereka telah lari jauh dan keduanya telah menarik napas lega karena menduga bahwa Bu Pun Su tentu takkan dapat bertemu dengan mereka karena tadi pun orang tua itu sedang sibuk menghadapi pek-tiauw yang berbahaya, tiba-tiba mereka mendengar pukulan sayap burung di atas. Ketika mereka memandang ke atas, wajah mereka tiba-tiba menjadi pucat sekali.
Terutama Ang I Niocu, wajah gadis yang biasanya kemerah-merahan itu kini menjadi pucat ketakutan! Seekor Pek-tiauw terbang di atas mereka, yaitu burung rajawali yang tadi bertempur melawan Bu Pun Su. Dan di atas punggung burung itu, tampak Bu Pun Su sendiri duduk sambil menggunakan tangan kanan memegang leher burung dan tangan kiri memegang ekor dan leher, kakek itu berhasil memaksa burung rajawali putih untuk terbang menurut arah yang ditunjuknya. Kalau ia memutar leher ke kiri, terpaksa burung itu terbang ke kiri, dan demikian sebaliknya. Kini Bu Pun Su membetotbetot ekornya dan membekuk lehernya ke bawah hingga burung rajawali putih yang besar itu dapat menangkap maksudnya bahwa ia harus turun! Setelah meloncat dari punggung burung dengan ringan sekali, Bu Pun Su membentak burung itu yang segera terbang pergi sambil mengeluarkan suara keluhan panjang tanda takluk terhadap kakek yang lihai itu! Ang I Niocu segera menjatuhkan diri berlutut di depan Bu Pun Su sambil menyebut, "Susiok-couw!" Juga Cin Hai tak dapat berbuat lain kecuali ikut berlutut di belakang Ang I Niocu tanpa berani mengangkat mukanya! "Hm, hm! Kau mencari telur Pek-tiauw?" tanyanya kepada Ang I Niocu.
"Benar, Susiok-couw, harap maafkan jika teecu mengganggu Susiok-couw!" kata Ang I Niocu dengan hormat.
"Siapa yang mengganggu? Kau atau aku?" kata Kakek itu sambil melirik ke arah Cin Hai. Kemudian ia bertanya lagi, "Kaubawa-bawa anak ini untuk apa? Apa ia muridmu?"
Ang I Niocu tak berani membohong terhadap kakek gurunya, maka ia menggelengkan kepala menyangkal.
Tetapi Bu Pun Su agaknya tidak percaya. "Kalau bukan murid mengapa dibawa-bawa? Hai, anak muda, apakah Ang I Niocu mengajar silat kepadamu?"
Terpaksa Cin Hai mengangguk karena ia memang tidak bisa membohong.
"Kiang Im Giok! Kau berani membohong terhadap Susiok-couwmu?" Bu Pun Su menegur tetapi tidak marah karena mulutnya tersenyum.
"Teecu mana berani membohong Susiok-couw? Anak ini memang bukan muridku," jawab Ang I Niocu.
"Tetapi kau mengajarkan ilmu silat cabang kita! Ah, apakah kebiasaanmu maka kau berani mengajar silat kepada orang lain? Kau lancang sekali. Ketahuilah bahwa murid-muridlah yang biasanya merusak nama baik cabang persilatan! Apakah kau tahu benar bahwa orang yang kauberi pelajaran silat itu orang baik-baik? Bagaimana kalau kelak ia mengotori dan mencemarkan nama baik kita?"
"Maafkan teecu, Susiok-couw," kata Ang I Niocu sambil menundukkan kepala. "Sudahlah, yang sudah lewat sudah saja. Kau masih anak-anak berani menerima murid, sedangkan aku tua bangka yang hampir mati ini pun belum pernah mempunyai murid. Pernah aku menerima seorang murid tolol, tetapi Si Gundul tolol itu telah pergi minggat entah ke mana?"
Tadinya Cin Hai hendak mengaku bahwa anak gundul tolol itu adalah dia sendiri. Tetapi melihat betapa kakek itu memarahi Ang I Niocu, ia menjadi tak senang dan diam saja sambil menundukkan kepalanya yang kini sudah tidak gundul lagi. Ternyata kakek tua itu lupa dan pangling.
"Sekarang kaupergilah, Im Giok, dan kauwakili aku pergi ke Kun-lun-san. Di sana sedang timbul pertikaian hebat antara para pemimpin Kun-lun-pai dan Go-bi-pai karena salah paham yang ditimbulkan oleh anak murid mereka, kau pergilah ke sana dan atas namaku kaucoba damaikan mereka itu demi persatuan para hohan yang kelak akan diperlukan tenaganya oleh bangsa!"
Ang I Niocu memberi hormat dan berjanji mentaati perintah Susiok-caouwnya itu. Tetapi dengan bingung ia melirik ke arah Cin Hai. Bu Pun Su yang bermata tajam dapat melihat lirikan ini, maka ia lalu membentak, "Pergilah dan jangan pedulikan anak ini. Dia sudah belajar kepandaian, biar dia menggunakan kepandaiannya itu untuk turun gunung seorang diri!"
Terpaksa Ang I Niocu bangkit berdiri dan sambil memandang kepada Cin Hai dengan wajah pucat ia hanya berkata, "Sampai bertemu kembali!" Lalu gadis itu melompat jauh hingga sebentar saja ia hanya merupakan setitik warna merah yang kemudian menghilang. Bu Pun Su tertawa bergelak dan ketika Cin Hai mengangkat muka memandang dengan marah, kakek itu telah lenyap dari situ! Cin Hai berdiri dan membanting-banting kaki dengan gemas dan sedih. Hatinya terasa hancur dan pikirannya bingung. Ang I Niocu telah meninggalkannya. Satusatunya orang yang dikasihinya di dunia ini telah pergi dan meninggalkan ia hidup seorang diri, sebatangkara di atas gunung ini, tanpa tujuan, tanpa mengetahui apa yang harus ia perbuat! Cin Hai tak dapat menahan sedihnya dan ia menjatuhkan diri di atas rumput sambil menangis tersedu-sedu! Ia menangis bukan karena takut menghadapi nasibnya, tetapi karena merasa sedih ditinggalkan oleh Ang I Niocu, kawan dan guru yang dianggapnya sebagai orang yang paling baik di atas dunia ini! Setelah menangis beberapa lama sampai air matanya kering dan habis, akhirnya ia dapat menetapkan hatinya dan dengan tubuh limbung dan lesu ia menuruni bukit itu. Senja telah datang ketika ia tiba di kaki bukit dan perutnya terasa lapar sekali. Biasanya, ketika ia masih merantau bersama-sama dengan Ang I Niocu, yang memikirkan kebutuhan makan mereka berdua adalah gadis itu. Pandai sekali gadis itu mencari makan untuk mereka berdua, baik dengan jalan membeli, mencari buah-buahan, maupun kadang-kadang memasak sendiri! Kini perutnya terasa lapar, uang ia tidak punya dan ia berada di tengah belukar. Apa daya? Kembali air matanya turun membasahi kedua pipinya.
Tiba-tiba ia teringat akan nyanyian dalam kitab kuno, yaitu kata-kata Ci Kui yang menasihati puteranya ketika sedang bersedih.
"Air mata adalah mahal dan tak layak keluar dari mata seorang jantan Simpan air matamu dan gantilah dengan cucuran peluhmu! Demikianlah sifat jantan (Pahlawan) sejati!"
Teringat akan nyanyian ini, Cin Hai merasa jengah dan malu terhadap dirinya sendiri. Ia lalu menggunakan lengan bajunya menghapus kering segala sisa air mata di pipinya, lalu ia mulai mencari buah-buahan di dalam hutan itu. Akhirnya dapat juga ia menemukan buahbuahan yang telah masak dan lezat. Ia lalu makan buah itu dan beristirahat di atas dahan pohon yang besar.
Karena sudah biasa, maka ia berani tidur di atas cabang tanpa kuatir jatuh selagi tidur.
Hawa malam di hutan itu dingin sekali sehingga Cin Hai harus mengerahkan hawa dalam tubuhnya dan dialirkan cepat untuk menahan dingin. Baiknya ia telah sering berlatih khikang sehingga ia tidak sangat menderita kedinginan. Yang sangat ia derita ialah kenangan akan Ang I Niocu. Biasanya kalau tidur di atas pohon berdua, gadis itu tentu mengajak ia bercakapcakap atau mempelajari tiupan suling hingga ia tak pernah merasa sunyi. Bahkan dulu ketika khikangnya belum begitu maju dan ia sangat menderita kedinginan, Ang I Niocu menanggalkan mantel dan diselimutkan kepadanya, dan ketika itu masih belum dapat mengusir hawa dingin yang menyusup ke tulang-tulang, Dara Baju Merah itu lalu memegang tangannya dan menyalurkan hawa hangat yang luar biasa melalui telapak tangan, hingga hawa hangat itu menjalar ke dalam tubuhnya dan mengusir hawa dingin. Ah, alangkah baik dan mulia hati gadis itu. Dalam diri Ang I Niocu, Cin Hai seakan-akan menemukan seorang kawan dan guru, bahkan seorang ibu dan ayah yang sangat mengasihinya! Kini gadis itu pergi meninggalkan dia dan tidak tahu sampai kapan dapat bersua kembali! Semalam penuh Cin Hai tak dapat memejamkan matanya dan pikirannya penuh dengan Ang I Niocu.
Berkali-kali terdengar helaan napasnya dan bisiknya, "Niocu... Niocu..." ia menyebut-nyebut nama gadis itu dengan perasaan rindu yang menekan dadanya.
Pada keesokan harinya, mulailah ia merantau seorang diri dengan hati tertekan dan pikiran bingung. Karena tidak tahu bagaimana harus mendapatkan makan untuk isi perutnya sehari-hari terpaksa ia minta makanan dari orang kampung yang dilewatinya dan menjadi seorang pengemis! Ia terpaksa menjadi seorang pengemis karena ia ingat akan ujar-ujar yang menyatakan bahwa seribu kali lebih baik menjadi seorang pengemis daripada seorang pencuri, tidak ada lain jalan lagi.
Beberapa bulan telah berlalu dan keadaan Cin Hai makin buruk. Pakaiannya kotor dan compang-camping.
Dulu ketika ia merantau dengan Ang I Niocu, paling lama tiga hari sekali ia tentu disuruh mencuci pakaiannya, bahkan setiap kali bertemu dengan anak sungai, ia diharuskan mandi dan membersihkan tubuhnya oleh Ang I Niocu. Tetapi sekarang, ia menjadi malas untuk mencuci pakaian atau mandi sehingga selain pakaiannya kotor, tubuhnya juga kotor, penuh debu! Bahkan kudis yang gatal di kepalanya mulai timbul lagi sehingga ia lalu mencari pinjaman pisau dan mencukur rambutnya yang tadinya hitam, tebal dan bagus itu! Sungguh mengherankan betapa dalam beberapa bulan saja, keadaan Cin Hai yang tadinya hidup penuh kegembiraan dan kebahagiaan, kini berubah menjadi penuh penderitaan dan kesengsaraan. Ini semua karena Ang I Niocu, Dara Baju Merah yang cantik dan berkepandaian tinggi itu! Kurang lebih setahun kemudian Cin Hai tiba di kota Kibun. Ia telah berubah menjadi seorang pengemis muda. Tubuhnya kurus hingga tulang-tulangnya tampak di balik kulitnya yang kotor. Rambutnya yang tumbuh lagi tidak teratur dan awut-awutan tidak karuan. Kakinya telanjang tidak bersepatu dan wajahnya yang kurus tampak muram tetapi sepasang matanya bersinar lebih tajam dari pada dulu. Pengalaman-pengalaman hidup yang pahit membuat ia masak dan terbukalah kini mata hatinya akan kesengsaraan hidup miskin. Karena menderita, maka kini ia dapat merasakan pula penderitaan rakyat miskin di sekelilingnya, dan timbul rasa iba di dalam hatinya yang tadinya hanya mengenal kegembiraan belaka.
Biarpun menjadi pengemis, tetapi Cin Hai hanya mengemis makanan kalau perutnya sudah lapar benar dan tubuhnya sudah menjadi lemas karenanya. Oleh karena ini, maka belum tentu sekali sehari dia makan.
Kadang-kadang sampai dua hari ia tidak mengisi perut dengan makanan dan hanya minum air untuk menahan lapar. Juga ia tidak sembarangan mengemis asal mintaminta saja. Hatinya tidak merasa sedap kalau untuk semangkuk yang diberikan orang kepadanya tidak ia beli dengan bantuan tenaganya kepada pemberinya itu.
Terlebih dulu ia akan melakukan sesuatu untuk pemberinya, misalnya memikul air, menyapu lantai, membelah kayu dan lain-lain pekerjaan kasar lagi.
Memang Cin Hai seorang pengemis muda istimewa.
Kota Ki-bun menarik hatinya dan menimbulkan rasa senang dan betah padanya. Kota ini cukup ramai dan hawanya yang nyaman membuat kota itu nampak bersih.
Orang-orangnya peramah dan perdagangan di situ kelihatan ramai dan hidup karena tanah di sekeliling daerah itu memang cukup subur. Rupanya anak sungai yang mengalir di tengah-tengah kota mendatangkan keadaan makmur ini, karena selain air sungai dapat menyuburkan tanah dan sawah, juga sungai itu ternyata mengandung banyak ikan.
Ketika ia berjalan-jalan seenaknya mengelilingi kota dan melihat-lihat, Cin Hai tertarik oleh sebuah bangunan yang dikelilingi tembok tebal. Di depan pintu gedung kuno itu terdapat tulisan yang menyatakan bahwa rumah itu adalah sebuah bukoan (tempat belajar silat) dari seorang guru silat she Louw. Papan nama itu terbuat daripada sepotong papan dan tulisannya bergaya kuat dan indah. Sayang sekali papan nama itu agaknya tak terawat hingga tampak kotor dan bahkan memasangnya juga miring.
Cin Hai memang suka akan keindahan. Ia kagum sekali melihat corak tulisan pada papan nama itu dan menyayangkan mengapa tulisan seindah itu dituliskan pada papan yang kotor dan dipasangnya miring pula.
Tanpa dapat menahan perasaan hatinya, ia lalu mengambil sebuah bangku yang terdapat di luar pintu dan sambil berdiri di atas bangku itu ia menurunkan papan nama itu dari gantungannya. Lalu ia membersihkan dan menggosok-gosok papan itu dengan ujung lengan bajunya yang sudah kotor. Ia menggosokgosok sambil memandangi tulisan itu dengan hati senang sekali. Tiba-tiba timbul sebuah pikiran dalam kepalanya.
Inilah yang dia cari-cari selama ini! Pekerjaan! Ia terlampau lama menganggur. Tiada suatu yang dapat dikerjakan, dan karena tidak mempunyai kewajiban apa pun yang harus dikerjakan, maka ia menjadi malas dan menderita. Dalam menggosok-gosok papan ini ia merasakan kesenangan. Ah, bekerja! Setelah papan itu bersih hingga tulisannya tampak nyata dan makin indah dipandang, ia lalu menggantungkan papan itu baik-baik, tidak miring seperti tadi. Segera ia turun dari bangkunya dan sambil berdiri menjauhi, ia memandang papan nama itu dengan gembira. Ia melihat hasil daripada pekerjaannya tadi dan tampak jelas hasil itu. Ia membayangkan betapa papan itu sebelum digosoknya tadi tampak buruk dan kotor, kini bersih dan seakan-akan benda itu kini berseri-seri gembira, tidak seperti tadi yang kotor dan muram! Cin Hai lalu mendorong perlahan dan ternyata daun pintu tidak terkunci dan mudah saja terbuka. Ia masuk ke dalam. Ternyata bukoan itu terdiri dari dua buah rumah kecil dan sebuah lagi rumah besar agak di belakang. Di depannya terdapat pelataran yang luas tak ditumbuhi rumput. Di sudut kiri tampak sebuah rak tempat menyimpan senjata dan di sudut kanan tampak batu-batu dan besi-besi yang biasa digunakan orang untuk belajar olah raga dan berlatih kekuatan. Cin Hai senang sekali melihat semua ini. Ia melihat betapa tempat yang menyenangkan hatinya itu kotor sekali, maka ia memandang ke sana-sini, mencari-cari. Tiba-tiba ia melihat benda yang dicari-cari itu bersandar ke dinding. Cepat diambilnya sapu itu dan ia mulai menyapu pelataran tempat berlatih silat.
Karena asyiknya menyapu, Cin Hai tidak melihat kedatangan seorang laki-laki setengah tua yang masuk dari luar. Orang itu bertubuh tinggi besar dan berpakaian sebagai seorang kauwsu (guru silat). Memang dia adalah Louw Sun Bi guru silat yang mengajar di bukoan itu.
Guru silat ini baru pulang dari bepergian dan ia heran melihat seorang pemuda tanggung yang berpakaian compang-camping sedang menyapu pelataran bukoannya dengan asyik sekali. Tadi pun ia telah merasa heran melihat papan nama yang tergantung di atas pintu demikian bersih seakan-akan baru saja ada yang membersihkannya. Kini ia mengerti bahwa yang membersihkan papan nama tentu anak itu juga.
"He, anak muda! Siapa yang menyuruhmu membersihkan tempat ini?" tegurnya.
"Tidak… tidak ada yang menyuruh. Aku melihat tempat ini begitu kotor dan… dan sudah sepatutnya dibersihkan."
Louw Sun Bi adalah guru silat yang berwatak jujur dan baik. Mendengar jawaban Cin Hai, ia dapat menduga bahwa anak muda itu tentu bukan seorang pengemis sembarangan, maka ia lalu bertanya, "He, anak muda.
Apakah kau mau bekerja di sini?"
Wajah Cin Hai yang tadinya muram berubah dan berseri. "Suka sekali, suka sekali!" Memang tadi ia telah sadar bahwa kebutuhan yang dirindukan olehnya ialah pekerjaan, maka sekarang begitu ada orang menawarkan pekerjaan, tentu saja ia merasa senang.
"Kau tak berumah dan sebatang kara?" kembali guru silat itu bertanya, dan dugaannya yang tepat ini bukanlah karena ia orang waspada, tetapi karena pada masa itu banyak sekali terdapat orang-orang berkeliaran seperti Cin Hai, orang-orang yang hidupnya merantau dan mengemis tanpa mempunyai tempat tinggal yang tetap dan kebanyakan adalah orang-orang yang telah yatim piatu dan hidup sebatang kara.
Cin Hai mengangguk-angguk membenarkan kata-kata kauwsu itu.
"Kalau begitu, mulai sekarang kau bekerjalah di sini, lalu melayani segala keperluan murid-murid bukoan."
"Baik, baik Loya," jawab Cin Hai dengan gembira sekali.
Pada saat itu dari luar terdengar orang bercakapcakap sambil tertawa dan tak lama kemudian dari pintu gerbang itu masuklah seorang laki-laki berusia kurang lebih tiga puluh tahun yang berbadan pendek gemuk tetapi gerakannya gesit, diikuti oleh belasan anak-anak berusia rata-rata lima belas atau empat belas tahun.
Mereka yang baru datang ini semua memberi hormat kepada Louw Sun Bi. Anak-anak muda itu menyebut "suhu" dan Si Gemuk Pendek menyebut Louw-twako.
Louw-kauwsu lalu memperkenalkan orang-orang itu kepada Cin Hai. Ternyata bahwa orang yang gemuk pendek itu adalah wakil kauwsu yang pekerjaannya mewakili Louw-kauwsu mengajar sekalian murid-murid itu, sedangkan anak-anak muda itu adalah murid-murid bukoan, putera-putera penduduk kota itu yang belajar silat. Sambil tersenyum Louw-kauwsu menuturkan kepada mereka betapa Cin Hai telah membersihkan pelataran itu dan betapa ia telah menerima Cin Hai menjadi bujang di situ.
Pada seorang pengemis muda seperti Cin Hai, tentu saja mereka tidak menaruh perhatian dan anak-anak murid itu memulai latihan-latihan mereka. Ada yang angkat besi, atau batu untuk melatih otot-otot lengan.
Mereka yang terkuat lalu berdemonstrasi, seakan-akan sengaja hendak memamerkan tenaga mereka kepada bujang kecil itu! Wakil kauwsu itu adalah seorang yang biarpun bertubuh gemuk pendek, tetapi berwajah tampan juga.
Namanya Ting Sun dan ia adalah anak murid dari Butong- pai, secabang dengan Louw Sun Bi, hanya lebih rendah tingkatnya. Watak Ting Sun tekebur sekali dan ia sombong akan kepandaian silatnya. Karena Cin Hai diterima oleh Lauw Sun Bi, maka tidak berani berkata apa-apa, hanya bertanya, "Eh, siapa namamu?"
"Nama saya Cin Hai," jawab Cin Hai.
"Ini adalah Ji-kauwsu (Guru Silat Ke Dua) kau boleh menyebutnya Ji-suhu," kata Louw Sun Bi tertawa.
Kemudian guru silat itu meninggalkan mereka pergi ke dalam.
"Eh, jembel! Aku tidak mempunyai murid seperti macammu, jangan sebut aku Suhu!"
"Harus menyebut bagaimana?" tanya Cin Hai, terkejut melihat perubahan sikap orang.
"Harus sebut aku Siauwya (Tuan Muda), mengerti!"
Dalam hatinya Cin Hai tertawa geli melihat kecongkakan akan guru silat gemuk pendek itu, tetapi mulutnya menjawab, "Baik, Siauwya."
Kemudian Cin Hai melanjutkan pekerjaannya menyapu lantai sampai bersih. Sementara itu, Ting Sun melatih murid-muridnya.
Ketika Cin Hai membersihkan pekarangan di dekat gedung belakang, tiba-tiba Louw Sun Bi keluar dan memanggilnya. Cin Hai segera menghadap. Guru silat itu diiringi oleh seorang gadis berusia kira-kira delapan belas tahun. Gadis itu bertubuh tinggi besar seperti ayahnya, karena ia adalah Louw Bin Nio, anak tunggal Louw Sun Bi. Wajah Bin Nio tidak cantik, tetapi cukup manis dan sikapnya gagah, hingga dapat diduga bahwa gadis ini pun pandai ilmu silat seperti ayahnya.
"Kau tentu belum makan," kata guru silat itu dengan suara ramah, "kau makanlah dulu dan gantilah pakaianmu itu setelah kaubersihkan tubuhmu."
Cin Hai merasa berterima kasih sekali dan ia memberi hormat sambil berlutut. Ia merasa terharu karena baru sekarang ada orang yang mau memperhatikan keadaan dirinya. Bin Nio lalu mengantarnya ke ruang belakang dan memerintahkan pelayan-pelayan lain untuk memberi makan kepada Cin Hai, sedangkan seorang pelayan lain mengambil satu stel pakaian tua dari Louw-kauwsu.
Semenjak hari itu, berubah pulalah keadaan hidup Cin Hai. Ia tidak usah menderita lapar dan dingin lagi, dan setiap hari ia bekerja dengan gembira dan bersemangat.
Akan tetapi, di samping pekerjaan yang memuaskan hatinya dan sikap Louw Sun Bi yang sangat baik terhadapnya, ia mengalami penderitaan lain yang timbul dari sikap Ting Sun dan sikap Louw Bin Nio kepadanya.
Entah mengapa, Ting Sun Si Guru Silat gemuk pendek itu tidak suka kepadanya dan seringkali menghinanya.
Pernah ia berdiri melihat latihan silat pada suatu senja, tiba-tiba Ting Sun memanggilnya.
"Lihatlah kalian baik-baik. Untuk menjalankan tiamhoat (ilmu menotok jalan darah), dua jari telunjuk dan tengah harus diluruskan seperti ini." Ia memberi contoh dengan dua jari tangan. "Dan biarlah Si Jembel ini kita totok, kalian lihat bagian leher ini!"
Ia lalu meraba-raba leher Cin Hai yang tidak berani membantah dan diam saja berdiri bagaikan patung.
"Nah, untuk menotok jalan darah harus tepat di bagian ini!"
Sambil berkata demikian, jari tangannya benar-benar menotok leher Cin Hai. Anak itu terkejut sekali dan hendak mengerahkan lweekangnya untuk melawan totokan, tetapi cepat berpikir bahwa kalau ia melakukan hal ini tentu akan terbukalah rahasianya. Maka ia lalu mengendorkan semua uratnya dan tidak melawan. Ketika totokan tiba di lehernya, ia merasa leher itu sakit dan tubuhnya menjadi lemas hingga ia roboh tanpa daya! "Lihat, beginilah lihainya totokan Bu-tong-pai!" guru silat itu tertawa puas dan bangga, sedangkan belasan anak murid itu lalu memeriksa tubuh Cin Hai yang sudah lemas. Ia dapat melihat dan mendengar, tetapi tak mampu menggerakkan tubuh karena segala urat di tubuhnya seakan-akan berhenti bekerja! Juga lehernya terasa sakit sekali hingga ia tidak berani menggerakkan leher itu.
Sementara itu, tanpa mempedulikan Cin Hai, Ting Sun lalu memberi petunjuk-petunjuk terlebih jauh kepada murid-muridnya. Cin Hai dalam keadaan menyedihkan itu harus menderita sampai dua jam lebih, barulah perlahanlahan jalan darahnya terbuka dan darahnya mengalir kembali hingga ia dapat cepat-cepat menggunakan tenaga dalamnya memulihkan kesehatannya. Akan tetapi, ia pura-pura masih lemah dan sakit hingga berdiri sambil terhuyung-huyung.
"Nah, nah, kalian lihat. Setelah beberapa lama, totokan di leher itu buyar sendiri dan dia dapat bergerak kembali. Yang tadi itu adalah pelajaran pertama. Masih banyak lagi jalan-jalan darah yang dapat ditotok, di antaranya tai-hwi-hiat yang letaknya di punggung. Kalau aku totok tai-hwi-hiat jembel ini, maka ia roboh dengan lemas dan selamanya takkan dapat berdiri kembali, kecuali kalau totokan itu kubebaskan dengan tepukantepukan tertentu. Tetapi hal ini akan kalian pelajari kelak kalau sudah sempurna gerakan tangan kalian."
Semua murid memandang kagum dan dengan langkah terhuyung-huyung Cin Hai meninggalkan tempat itu, di dalam hatinya ia mengutuk guru silat itu. Kalau saja Louw-loya tidak demikian baik hati kepadaku, hm... akan kuhajar kau! Demikian ia berpikir dengan hati mendongkol sekali.
Selain gangguan-gangguan dari Ting Sun yang sangat menghinanya, Cin Hai juga harus menderita penghinaan dari Louw Bin Nio. Gadis ini ternyata centil dan genit dan dalam hal menyombongkan kepandaian silatnya, tidak kalah dari Ting Sun. Alangkah jauh bedanya perangai gadis ini dengan ayahnya.
Pernah pada suatu malam terang bulan Cin Hai duduk di bawah pohon di dekat tembok itu sambil melamun. Ia teringat akan Ang I Niocu dan ia merasa rindu sekali kepada Dara Baju Merah itu. Di manakah gerangan nona itu pada saat ini? Cin Hai termenung sambil memandang bulan yang agaknya sedang berjalan-jalan di angkasa mencari-cari sesuatu yang telah pergi meninggalkannya! Tiba-tiba ia mendengar suara Bin Nio memanggilnya, dan ia cepat menghampiri gadis itu yang telah berdiri di tengah tempat berlatih silat.
"Cin Hai, kau pergi ke dalam ambilkan pedangku!"
Gadis itu memerintah.
Cin Hai cepat lari ke belakang dan kepada pelayan gadis itu ia menyampaikan pesan Bin Nio. Setelah menerima pedang dari Cin Hai, gadis itu lalu main silat dengan pedangnya. Cin Hai berdiri di pinggir sambil menonton gadis itu bersilat pedang. Alangkah jauh bedanya dengan permainan pedang Ang I Niocu! Ia tak menganggap permainan Bin Nio ini bagus, tetapi tentu saja ia tidak berani menyatakan itu, bahkan setelah gadis itu selesai bermain pedang, ia memuji dengan suara kagum.
Bin Nio duduk di atas sebuah bangku.
"Ah, kau mana mengerti ilmu pedang bagus atau tidak? Tahumu hanya menyapu lantai sampai bersih, menyiram kembang dan mengampak kayu, Ah, sayang pada malam yang begini indah hanya ada kau, anak tolol. Hayo kaubersihkan sepatu ini!"
Cin Hai tak berani membantah dan menggunakan ujung bajunya untuk menyusut sepatu gadis itu yang kotor terkena debu ketika bersilat tadi.
"Ilmu pedang Siocia memang bagus sekali," ia berkata lagi memuji untuk menyenangkan hati puteri majikannya ini.
"Tentu saja bagi kau yang tolol tak mengerti apa-apa memang bagus sekali, tetapi cobalah kau lihat Tingkauwsu bermain pedang!" gadis itu menghela napas dengan rasa kagum. "Tahukah kau? Ilmu pedang yang kumiliki adalah buah pelajaran darinya!"
Cin Hai merasa heran. "Bukankah Loya sendiri yang memberi pelajaran padamu, Siocia?" tanyanya.
"Ah, Ayah tak begitu suka melihat aku pandai bermain pedang. Ia bahkan ingin sekali melihat aku mengganti pedangku dengan jarum sulam! Baiknya ada Ting-kawsu yang mengajarku di waktu malam. Sayang, sekarang tidak diperbolehkan lagi oleh Ayah!" Gadis itu nampak kecewa sekali dan Cin Hai yang sudah selesai membersihkan sepatunya lalu mundur.
Tetapi tiba-tiba Bin Nio memanggil dengan suara perlahan.
"Eh, Cin Hai, maukah kau membantu aku?"
Cin Hai menjawab perlahan, "Tentu saja, Siocia.
Membantu apakah?"
"Kau berikan suratku kepada Ting-kauwsu tetapi jangan sampai terlihat oleh orang lain, terutama jangan sekali-kali terlihat oleh Ayah. Bagaimana?"
"Tentu saja aku mau memberikan surat itu, Nona.
Tetapi mengapa tidak boleh terlihat oleh orang lain?"
"Anak goblok! Tak perlu kau tahu sebab-sebabnya.
Kau turuti saja perintahku dan habis perkara. Nah, ini suratnya. Besok pagi-pagi kau berikan kepadanya. Tetapi awas, kalau sampai ketahuan oleh Ayah, kepalamu akan kupenggal dengan pedang ini!" Bin Nio lalu menempelkan mata pedangnya pada leher Cin Hai. Cin Hai pura-pura ketakutan dan berkata, "Baik, baik... Nona, tentu akan kukerjakan baik-baik!"
Setelah menerima surat bersampul itu berikut pesan berkali-kali agar ia berlaku hati-hati untuk menyampaikan "surat rahasia" itu, Cin Hai lalu pergi ke kamarnya di tempat pelayan. Malam itu ia tak dapat tidur, seluruh pikirannya terganggu oleh tugas yang diserahkan oleh Bin Nio kepadanya.
Pada waktu itu, ia telah dua tahun bekerja sebagai bujang di Bukoan Louw Sun Bi, dan usianya telah hampir empat belas tahun. Karena telah mendekati masa dewasa, ia dapat menduga bahwa di antara Louw Bin Nio dan Ting Sun pasti ada hubungan yang tidak sebenarnya.
Hal ini harus diberantas, pikirnya. Louw Sun Bi telah melepas budi kepadanya, dan guru silat tua itu hendak dicemarkan oleh anaknya sendiri dan oleh pembantunya.
Ia harus menghalangi hal ini. Sudah menjadi kewajibannya untuk membela nama baik Louw-kauwsu! Dengan pikiran ini Cin Hai lalu membuka surat gadis itu dengan hati-hati sekali dan membacanya. Ia tahu bahwa perbuatannya ini tidak layak dan tidak seharusnya dilakukan oleh seorang laki-laki, tetapi demi untuk membela dan membalas kebaikan Louw Sun Bi, ia rela melakukan hal yang tidak patut ini! Dengan cepat dibacanya surat Bin Nio untuk Ting Sun itu dan benar sebagaimana dugaannya, gadis itu berjanji hendak menunggu kedatangan guru silat pendek gemuk itu besok malam di pekarangan tempat berlatih silat! Waktu yang dijanjikan adalah tengan malam! Cin Hai merasa gemas sekali. Sungguh manusiamanusia tidak tahu malu. Ting Sun adalah pembantu Louw Sun Bi dan masih murid seperguruan dan bahkan mengangkat saudara hingga Ting Sun menyebut twako kepada Louw-kauwsu, sebaliknya guru silat she Louw itu menyebut Ting Sun dengan sebutan adik, hingga boleh dibilang bahwa Bin Nio adalah keponakan Ting Sun sendiri! Tetapi ternyata dua orang itu telah saling mencinta bagaikan dua orang kekasih. Cin Hai memutar otaknya, mencari jalan untuk menggagalkan pertemuan ini.
Semalam penuh Cin Hai tidak dapat tidur dan pada keesokan harinya, dengan diam-diam setelah Ting Sun yang tinggal di luar bukoan itu datang, ia berhasil memberikan surat Bin Nio kepada guru-silat itu. Ting Sun menerima surat dan membacanya dengan wajah gembira. Berbeda daripada biasanya, ia berlaku manis terhadap Cin Hai dan bahkan memberi persen uang sepuluh chie. Ia menganggap anak itu kini dapat merupakan jembatan bagi perhubungannya dengan Bin Nio.
Sesudah memberikan surat itu kepada Ting Sun, Cin Hai lalu menjumpai Louw Sun Bi di kamarnya. Guru silat yang berhati sabar itu heran melihat betapa Cin Hai datang-datang berlutut di depannya dan menangis! Ia cepat memegang pundak anak itu dan menyuruhnya duduk di atas sebuah bangku.
"Cin Hai kau kenapakah? Siapa yang telah mengganggumu? Kau pucat sekali, apakah kau sakit?"
"Loya, saya hendak menyampaikan sesuatu yang mungkin akan membuat Loya marah dan sedih sekali!"
Louw Sun Bi memandang heran. Ia suka sekali kepada Cin Hai yang jujur, rajin dan tidak banyak cerewet ini.
"Katakanlah, jangan takut-takut!"
"Sebelumnya saya harap Loya suka siap sedia menerima pukulan ini dan terlebih dulu saya mohon maaf sebanyak-banyaknya karena setelah hal ini saya ceritakan kepada Loya, saya hendak mohon diri dan hendak melanjutkan perantauan saya."
Kini terkejutlah Louw-kauwsu. "Apa? Peristiwa hebat apakah yang telah terjadi hingga kau hendak keluar dari sini? Ceritakanlah!"
Dengan perlahan Cin Hai lalu menceritakan tentang surat Bin Nio dan bahwa malam nanti kedua orang itu akan mengadakan pertemuan. Cin Hai menutup pembicaraannya dengan berkata sedih, "Saya sangat bersedih dengan adanya peristiwa ini, Loya. Loya adalah seorang yang berbudi mulia dan telah berlaku begitu baik kepada saya. Sekarang melihat Loya baik hati tertimpa kejadian macam ini, ah..." Cin Hai menundukkan kepala karena ia tidak berani memandang muka Louw Sun Bi yang makin pucat itu.
Guru silat itu mendengar penuturan Cin Hai dengan dada panas hampir meledak. Penasaran, marah, malu, kecewa membuat ia bisu tak dapat berkata-kata. Ia telah tahu akan perhubungan puterinya dengan Ting Sun dan dulu ia bahkan telah melarang anaknya itu belajar ilmu pedang dari Ting Sun karena dilihatnya gejala-gejala yang kurang sehat timbul di antara mereka berdua.
Tetapi sama sekali tak diduganya bahwa anaknya berani menulis surat kepada Ting Sun.
Melihat betapa Louw-kauwsu duduk diam tak bergerak bagaikan patung batu, Cin Hai terharu sekali, lalu ia berkata, "Loya, harap Loya sebagai orang tua dapat menenangkan hati dan pikiran. Socia tergoda oleh nafsu dan hal ini tidak aneh, karena manusia manakah yang tidak khilaf? Saya teringat akan bunyi ujar-ujar yang menyatakan bahwa lebih baik Loya menjaga datangnya penyakit daripada mengobatinya setelah datang! Karena itu, maka daripada ribut-ribut dan marah hingga semua orang mendengar hal yang belum terjadi ini, lebih baik Loya menjaganya agar jangan sampai terjadi. Pertemuan itu belum belum berlangsung, maka tak perlu dibuat sedih dan menyesal!"
Terhiburlah hati Louw Sun Bi mendengar ini. Ia memandang wajah Cin Hai dengan heran, karena hampir tak percaya bahwa kata-kata tadi keluar dari mulut anak itu! "Cin Hai, kau seorang anak yang luar biasa dan baik.
Peristiwa ini sama sekali tidak menyangkut dirimu, mengapa kau tadi mengatakan bahwa kau hendak keluar dari sini?"
"Loya, Siocia telah mempercayakan kepada saya untuk menyerahkan surat itu. Tetapi dengan lancang dan tidak tahu malu saya telah membuka dan membaca suratnya itu. Hal ini membuat saya malu untuk bertemu muka dengan Siocia lagi maka lebih baik saya pergi melanjutkan perantauan."
Louw Sun Bi menghela napas dan sekali lagi ia terheran akan sikap Cin Hai yang polos dan bersifat gagah ini.
"Kau mundurlah, dan tentang keluar itu lebih baik kita bicarakan besok setelah peristiwa ini kubereskan."
"Loya, kalau boleh, saya hendak pergi hari ini juga."
Louw Sun Bi memandangnya tajam. "Apa? Kau takut kepada Ting Sun? Jangan kau takut akan pembalasannya, ada aku di sini!"
Mendengar ini, terbangun semangat Cin Hai. "Loya, biarpun saya seorang bodoh dan lemah, tetapi saya tidak takut menghadapi kebenaran! Baiklah, saya akan menunggu sampai besok dan jika besok terjadi sesuatu antara Ji-kauwsu dan saya, saya harap Loya jangan ikutikut!"
Setelah berkata demikian, ia lalu bertindak keluar.
Malam hari itu bulan bersinar penuh. Pada menjelang tengah malam, sesosok bayangan hitam dengan gesit sekali melompat ke atas tembok yang mengelilingi bukoan. Bayangan itu bukan lain Ting Sun yang hendak menjumpai kekasihnya. Ia langsung meloncat ke pelataran tempat berlatih silat dan begitu kakinya menginjak tanah, ia berdiri diam bagaikan patung! Di sana di bawah pohon dekat tembok, duduk di atas bangku dengan kedua lengan di atas dada, Louw Sun Bi sedang memandangnya dengan kedua mata bersinar tajam! "Ting Sun, tengah malam buta kau datang ada keperluan apakah? Lagipula, kau datang bukan sebagai tamu tetapi sebagai seorang pencuri!"
Ting Sun terkejut sekali dan merasa seakan-akan ada petir menyambar kepadanya. Tubuhnya gemetar dan ia tak kuasa mengucapkan sepatah kata pun! "Orang she Ting, aku telah mengetahui maksudmu yang buruk. Semenjak saat ini kita tidak ada hubungan apa-apa lagi. Besok kau boleh mengatakan kepada semua murid bahwa kau hendak pergi jauh dan tak kembali lagi, sehingga kepergianmu dari kota ini takkan menimbulkan kecurigaan. Selanjutnya, jangan kau berani-berani memperlihatkan mukamu di sini!"
Setelah berkata demikian, Louw Sun Bi lalu meninggalkan Ting Sun yang masih berdiri bagaikan patung. Otak guru silat ini berputar. Celaka sekali! Orang tua itu telah mengetahui sebelumnya bahwa malam ini ia datang ke situ hingga sengaja menanti di bawah pohon! Dan ini tentu gara-gara bujang tolol itu! Ting Sun mengertak giginya dengan gemas sekali. Ia akan pergi meninggalkan tempat ini, tetapi setelah lebih dulu menghancurkan kepala Cin Hai yang membocorkan rahasianya! Pada keesokan harinya, setelah semua anak murid berkumpul Louw Sun Bi sengaja mengajak Bin Nio untuk hadir di situ dan mendengarkan serta menyaksikan Ting Sun berpamit. Sengaja Louw Sun Bi mengajak Bin Nio untuk memberi pelajaran kepada anak gadisnya bahwa sebagai seorang gadis ia harus tahu menjaga kehormatan nama keluarganya, dan tidak mudah menyerah kepada godaan dari luar.
Melihat betapa Louw-kauwsu pagi-pagi benar telah berada di situ, semua murid yang berjumah delapan belas orang itu saling berbisik dan menduga-duga bahwa tentu akan terjadi hal yang penting. Bagaikan tak terjadi sesuatu dan tak pernah berani menentang pandangan mata Bin Nio, Cin Hai melakukan pekerjaan seperti biasa, yakni pagi-pagi sekali ia menyapu lantai yang dikotori oleh daun-daun kering yang malam tadi rontok dari pohon.
Akhirnya orang yang dinanti-nanti, Ting Sun, datang dari pintu luar. Dengan tindakan gagah dan dada terangkat, guru silat itu memasuki pelataran itu lalu menjura kepada Louw Sun Bi. Kemudian ia melihat ke arah Cin Hai yang sedang menyapu lantai dan matanya berkilat menahan napas. Akhirnya ia menghadapi semua murid dan berkata, "Anak-anak sekalian, aku membawa berita penting sekali untuk kalian. Mulai hari ini, kalian akan dilatih oleh Louw-kauwsu sendiri, karena hari ini aku akan berangkat meninggalkan Ki-bun."
"Hendak pergi ke mana, Suhu?" tanya seorang murid.
"Pergi jauh mengerjakan sebuah tugas penting. Belum tentu aku akan kembali ke sini. Tetapi kalian tak usah kuatir, karena di bawah pimpinan Louw-kauwsu, kepandaianmu akan lebih maju. Sekarang aku datang hanya untuk mengucapkan selamat berpisah kepadamu sekalian. Sebelum aku pergi, aku hendak menerangkan pada kalian tentang ilmu tiam-hoat yang paling penting, yakni untuk menotok jalan darah tai-twi-hiat. He, bujang tolol, kau ke sinilah!"
Cin Hai maklum bahwa saat yang dikuatirkan telah tiba. Ia menghampiri guru silat itu dengan tenang dan pura-pura tidak melihat pandang mata yang penuh kebencian dan marah itu.
"Nah, anak-anak, seperti biasa agar lebih jelas terlihat olehmu, aku hendak menggunakan jembel busuk ini sebagai contoh!" Memang sudah biasa Ting Sun memanggil dan menyebut Cin Hai dengan segala sebutan menghina. "Lihatlah, untuk menotok jalan darah tai-twihiat kedudukan jari harus begini."
Ia menyusun telunjuk dan jari tengah disatukan dan yang tiga lainnya ditekuk ke dalam.
"Perhatikan tempat yang akan kutotok!" Sambil berkata demikian ia menggerakkan jarinya itu menotok punggung Cin Hai.
Tetapi sambil berpura-pura ketakutan, Cin Hai melompat mundur hingga totokan itu tidak mengenai sasaran.
"Jangan, Siauwya, jangan…!" Cin Hai berkata sambil menggoyang-goyangkan tangannya mencegah serangan Ting Sun. Tetapi guru silat itu marah sekali melihat betapa totokannya dikelit.
"Bangsat rendah! Kau berani melawanku?" bentaknya dan ia mengirim tendangan ke arah lambung Cin Hai.
Tendangan iin hebat sekali dan kalau terkena, pasti nyawa anak itu akan melayang ke akhirat.
Louw Sun Bi terkejut dan marah. Pada saat ia bangun berdiri dan hendak loncat menolong, tiba-tiba ia terheran-heran dan duduk kembali dengan mata terbelalak. Ternyata sambil terhuyung-huyung mundur ketakutan, ketika kaki Ting Sun menyambar ke arah lambungnya, Cin Hai berkelit ke samping hingga tendangan itu tidak mengenai sasaran.
Dengan terus berpura-pura ketakutan, Cin Hai berdiri lagi dan berlari-lari memutari pelataran berlatih silat itu.
Tetapi anehnya, kalau dikatakan takut dan melarikan diri, anak itu tidak mau lari keluar dari kalangan! Ting Sun yang tidak mengenal gelagat, biarpun dua kali serangannya telah dapat dikelit, masih terus mengirim serangan-serangan bertubi-tubi. Kalau dibicarakan memang sungguh aneh, tetapi benar-benar terjadi. Cin Hai terhuyung-huyung dan bahkan sekarang mulai menari-nari! Semua murid bukoan itu, termasuk Bin Nio bukan main herannya melihat sikap Cin Hai. Mereka menganggap anak itu tiba-tiba menjadi gila. Mana ada orang diserang oleh lawan tidak berkelit atau menangkis, tetapi bahkan menari-nari? Dalam pandangan mata anak-anak murid dan Bin Nio, disangka bahwa Ting Sun merasa kasihan kepada Cin Hai dan tidak menyerang sungguh-sungguh hanya untuk menakut-nakuti saja, maka setiap pukulan dan tendangan selalu tidak mengenai sasaran dan hanya menyerempet sedikit pakaian Cin Hai! Mereka ini sama sekali tidak pernah menyangka bahwa pada saat itu Ting Sun merasa terkejut dan terheran-heran sekali karena sudah lebih dari dua puluh jurus ia menyerang sambil mengeluarkan pukulan-pukulan maut yang paling berbahaya, namun selalu pukulannya itu meleset dan tidak pernah dapat mengenai tubuh Cin Hai! Pada saat pukulan hampir mengenai sasaran, tiba-tiba tubuh atau bagian tubuh anak muda itu bergerak mengelak dengan cara yang luar biasa dan aneh sekali! Yang dapat mengetahui hal yang sebenarnya hanyalah Louw Sun Bi seorang. Guru silat tua ini duduk bengong dengan mulut ternganga dan mata terbelalak heran. Ia tahu bahwa Cin Hai sedang memainkan semacam ilmu silat yang aneh dan yang belum pernah dilihat seumur hidupnya, tetapi yang kelihatannya betul-betul mengherankan. Ia tidak tahu bahwa Cin Hai sedang memainkan Tari Bidadari yang dipelajarinya dari Ang I Niocu. Biarpun belum banyak mempelajari ilmu silat mujijat ini, namun mana seorang kasar seperti Ting Sun dapat melawannya? Makin cepat Ting Sun menyerang, makin lincah pula gerakan Cin Hai dan makin indah gerak tarinya. Setelah merasa cukup mempermainkan Ting Sun dengan kelitan dan loncatan, Cin Hai menganggap sudah tiba waktunya untuk memberi hajaran kepada guru sombong itu. Pada saat Ting Sun menendang, cepat ia menggeser tubuh ke samping dan tanpa dapat diduga lebih dulu kaki kirinya bergerak dan menotok urat pergelangan kaki Ting Sun yang berdiri, maka tidak ampun lagi guru silat itu roboh terguling-guling! Ting Sun loncat berdiri dengan marah sekali, tetapi berkali-kali ia dibikin jatuh bangun oleh Cin Hai yang kini menggunakan limu Silat Liong-san Kun-hwat yang ganas! Setelah memainkan ilmu silat ini barulah Ting Sun dan Louw Sun Bi tahu bahwa Cin Hai memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa tingginya! Tetapi karena sudah merasa terlanjur dan malu untuk mundur, Ting Sun berlaku nekat sekali dan mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Tetapi dia hanya merupakan makanan yang lunak bagi Cin Hai. Dengan gerakan Hong-tan-ci atau Burung Hong Mementang Sayap ia berhasil menotok iga Ting Sun yang merasa tubuhnya tiba-tiba menjadi lemas dan roboh di atas tanah! "He, Siauwya, kau mengapakah?" Cin Hai mengejek sambil mengoyang-goyang tubuh Ting Sun yang rebah di atas tanah. Dalam gerakan mengoyang-goyang ini, Cin Hai sengaja memusnahkan totokannya hingga Ting Sun dapat bergerak kembali dan pada saat guru silat itu meloncat berdiri Cin Hai mendahuluinya dengan totokan lain yang membuat guru silat itu berdiri kaku bagaikan sebuah patung! "Eh, eh, Siauwya! Mengapa kau berdiri seperti patung?" kata Cin Hai lagi.
Murid-murid bukoan yang melihat betapa Cin Hai mempermainkan Ting Sun, menjadi heran sekali dan pada saat itu Louw Sun Bi meloncat di dekat Cin Hai dan tertawa bergelak-gelak.
"Anak-anak semua. Lihatlah, ini namanya tiam-hoat yang tepat sekali mengenai jalan darah tai-hwi-hiat hingga Ting-kauwsu menjadi kaku. Kalian sudah melihat baik-baik? Contohlah anak inil, sebenarnya ia seorang berilmu tinggi, tetapi yang dapat bertahan menyembunyikan rahasianya di sini sampai bertahuntahun hingga jangankan kalian, bahkan aku sendiri tidak tahu bahwa dia adalah murid seorang ahli!"
Sambil berkata begini, Louw Sun Bi menepuk pundak Ting Sun yang segera dapat bergerak kembali. Guru silat ini sekarang maklum bahwa ilmu kepandaian Cin Hai lihai sekali, maka dengan muka merah karena malu ia lalu lari ke luar dari bukoan tanpa berani menengok lagi! Louw Sun Bi mengiringnya dengan suara tertawa bergelakgelak.
Guru silat ini benar-benar kagum kepada Cin Hai, maka ia lalu bertanya, "He, anak muda! Engkau keterlaluan sekali, sampai-sampai kau tega menipu aku orang tua! Sebenarnya engkai ini murid siapakah.
Bukankah kau murid dari Liong-san-pai?"
Cin Hai dengan sikap hormat dan merendah menjura.
"Bukan. Loya, saya bukan murid siapa-siapa." Memang ia tidak membohong karena ia baru belajar silat dari Kanglam Sam-lojin dan Ang I Niocu, sedangkan mereka ini memang bukan guru-gurunya. Ia boleh mengaku bahwa gurunya adalah Bu Pun Su, tetapi kenyataannya, ia belum pernah belajar silat satu jurus pun dari gurunya itu.
Louw Sun Bi menyangka bahwa Cin Hai adalah seorang pendekar kecil yang telah dipesan oleh gurunya untuk menyembunyikan nama guru itu, maka ia tidak berani mendesak, hanya menyatakan kagumnya. Tetapi Cin Hai lalu minta maaf banyak-banyak serta menghaturkan terima kasih atas kebaikan Louw-kauwsu terhadapnya sampai dua tahun lebih itu.
Terpaksa Louw-kauwsu tak dapat menahan Cin Hai yang hendak melanjutkan perantauannya, tetapi guru silat ini memaksanya untuk menerima bekal uang dan pakaian sebagai pengganti jasanya yang telah bekerja beberapa tahun itu. Cin Hai menerimanya dengan ucapan terima kasih. Kemudian setelah memberi hormat lagi, Cin Hai pergi meninggalkan tempat itu. Ia tak lupa memberi hormat sambil berkata, "Siocia, mohon beribu maaf atas segala kesalahanku selama aku berada di sini dan jagalah dirimu baik-baik!" Bin Nio hanya menundukkan muka dan air matanya mengalir turun. Ia insaf betapa ia telah salah mengenal orang.
Cin Hai merantau lagi dan hidup sebatang kara menjelajah ribuan li tanpa tujuan tertentu. Ia telah berusia hampir lima belas tahun dan karena tubuhnya terpelihara baik-baik semenjak tinggal di bukoan dari Louw Sun Bi, ia telah merupakan seorang pemuda yang tampan dan gagah. Tubuhnya tinggi tegap, matanya lebar dan mukanya bulat membayangkan kejujuran dan ketinggian pribadi.
Setelah mengalami banyak derita, matanya terbuka lebar dan ia maklum bahwa tugasnya sebagai seorang berkepandaian ialah harus menolong sesama hidup yang membutuhkan pertolongannya. Kalau dulu ia sering bersedih mengingat bahwa hidupnya tak bersanak kadang, kini perasaan itu lenyap. Ia kini mengerti akan maksud ujar-ujar Nabi Khong Hu Cu bahwa "Di empat penjuru lautan, semua orang adalah saudara!" Dulu ia seringkali menggoda guru sastera dengan ujar-ujar ini yang dianggapnya kosong dan bohong. Tetapi sekarang, ia mengerti betapa tepat dan mulianya ujar-ujar ini. Ujarujar ini harus digunakan secara aktip, tidak boleh secara pasip, yaitu seharusnya kitalah yang bertindak terhadap semua orang seperti terhadap saudara sendiri, hingga sudah sepatutnya kita menolong saudara-saudara itu bila mereka di dalam kesukaran. Janganlah kita memandang ujar-ujar itu sebagai dorongan yang bersifat ingin senang sendiri dan menuntut supaya orang berlaku baik kepada kita bagaikan layaknya saudara-saudara berlaku kepada kita. Memang segala apa di dunia ini, sesuatu yang baik dapat menjadi buruk, dan yang buruk dapat menjadi baik, semua tergantung sepenuhnya kepada yang mengganggapnya. Bila kita dijauhi hendak hidup sendiri atau hendak senang sendiri maka akan terbukalah mata kita bahwa hidup ini tidak hanya asal makan dan tidur saja, bahwa di samping kedua kebutuhan hidup itu, masih banyak sekali terdapat tugas-tugas kewajiban yang luhur dan suci, di antaranya memperhatikan keadaan orang lain atau "saudara" kita yang hidup menderita kesusahan.
Setelah menanjak dewasa, sedikit demi sedikit Cin Hai dapat menangkap intisari segala ujar-ujar yang dulu ketika masih kecil dihafalkannya di luar kepala bagaikan seekor burung beo saja. Kini ia dapat mengerti dan tahu apa yang dimaksudkan dan dikehendaki oleh para nabi itu dalam ujar-ujar mereka.
Dengan kepandaiannya, walaupun ia baru saja mempelajari tiga perempat bagian dari Liong-san-kunhoat dan setengah bagian dari Ngo-lian-hwa-kiam-hwat, namun sudahlah cukup untuk membuat namanya menjadi terkenal. Orang-orang di kalangan kang-ouw menyebutnya "Pendekar Bodoh" karena wajahnya yang tampan dengan mata yang lebar itu memang tampaknya bodoh. Pada suatu hari, ketika memasuki dusun, ia mendengar suara tangis seorang wanita. Karena tertarik, ia mempercepat tindakan kakinya dan alangkah marahnya melihat seorang anggauta Sayap Garuda tengah menculik seorang perawan desa yang merontaronta dalam pelukannya. Orang itu sambil memondong korbannya, meloncat ke atas seekor kuda besar dan hendak kabur. Tetapi sekali loncat saja Cin Hai sudah menghadang di depannya dan membentak, "Bangsat rendah! Lepaskan Nona itu!"
Anggauta Sayap Garuda itu marah sekali dan tangan kanannya terayun ke arah Cin Hai. Sebatang piauw (senjata rahasia) melayang dan menyambar leher Cin Hai, tetapi anak muda itu dengan mudah dapat menangkap dengan menjepitnya di antara kedua jari tangan. Melihat kelihaian Cin Hai, orang itu lalu membedal kudanya dan kabur dari situ. Tetapi Cin Hai secepat kilat menggerakkan tangannya dan mengembalikan piauw tadi yang tepat menancap pundak anggauta Sayap Garuda itu.
Si Penculik menjerit kesakitan, tetapi ternyata ia adalah seorang yang bertubuh kuat, karena biarpun telah terluka, ia tetap masih dapat kabur sambil membawa gadis yang diculiknya itu! Cin Hai sudah banyak mendengar akan kekejaman gerombolan Sayap Garuda yang merupakan barisan pengawal istana yang tersebar di mana-mana dan berlaku keji dan hina mengandalkan pengaruh dan kekuasaan mereka. Maka kini melihat dengan mata sendiri betapa seorang anggauta gerombolan itu menculik seorang gadis dusun, ia menjadi marah sekali.
Ia cepat lari mengejar untuk menolong gadis itu.
Setelah berkejar-kejaran sejauh lima li lebih dan hampir dapat menyusul kuda besar yang lari cepat itu, tiba-tiba dari depan datang pula serombongan anggauta Sayap Garuda yang dikepalai oleh seorang hwesio gundul. Melihat betapa Cin Hai mengejar seorang anggauta mereka, rombongan itu lalu mengepung Cin Hai dan sebentar saja terjadilah pertempuran yang hebat! Selama dalam perantauannya, Cin Hai tak pernah menggunakan senjata lain kecuali sulingnya! Dengan suling bambunya itu, ia telah banyak menjatuhkan lawan yang bersenjata tajam, karena gerakan sulingnya yang hebat dapat digunakan untuk menotok jalan darah lawan. Akan tetapi kali ini, menghadapi keroyokan gerombolan Sayap Garuda yang rata-rata memiliki kepandaian tinggi, ia terdesak dan sibuk juga. Akan tetapi berkat kegesitan tubuhnya untuk beberapa lama ia dapat mempertahankan diri dan dia mengelak ke sana ke mari.
Tiba-tiba hwesio gundul Yang gemuk dan tadi mengepalai rombongan berseru, "Semua mundur! Biar pinceng tangkap bangsat kecil ini!" Hwesio itu merasa penasaran sekali betapa kawankawannya yang berjumlah delapan orang agaknya tidak mudah merobohkan Cin Hai.
Semua pengeroyok Cin Hai mundur dan kini hwesio gundul yang maju menghadapi Cin Hai. Anak muda itu maklum bahwa lawannya ini tentu berkepandaian tinggi, maka ia mendahuluinya dan mengirim serangan dengan suling yang ditotokkan ke arah leher lawan.
Tetapi sungguh aneh, lawannya tidak berkelit maupun menangkis dan ketika sulingnya tepat mengenai leher, tangan hwesio itu sudah terulur maju hendak menangkap pundaknya dengan gerakan Eng-jiauw-kang yang lihai sekali! Dan biarpun ujung suling tepat menotok jalan darah di leher hwesio itu, namun pendeta gundul itu agaknya tidak merasa apa-apa! Cin Hai terkejut sekali dan terpaksa ia melepaskan sulingnya dan membuang diri ke belakang untuk menghindari cengkeraman lawannya! Hwesio itu tertawa bergelak-gelak melihat betapa Cin Hai menggelinding di atas tanah dan menjauhinya.
"Ha, ha, ha! Anak kecil, kau baru tahu kelihaian pinceng, ya?" Dan dengan tindakan kaki lebar, ia menghampiri Cin Hai yang sudah bertangan kosong! Tetapi pada saat itu terdengar bentakan keras, "Biauw Leng-sute! Bagus sekali perbuatanmu, kau telah berani mengotori diri dan bergaul dengan segala kaki anjing?" Sebutan kaki anjing adalah sebutan untuk menghina kaum pembela Kaisar seperti barisan Sayap Garuda itu. Entah dari mana datangnya, tiba-tiba di situ telah berdiri seorang wanita tua yang berwajah buruk sekali! Mukanya hitam seperti pantat kuali, pipinya keriput dan matanya yang sebelah kanan buta! Neneknenek ini memegang sebuah hudtim dan di punggungnya tampak gagang pedang.
Ketika Cin Hai memandang, ia mengenal nenek-nenek ini sebagai Biauw Suthai, wanita aneh yang dulu menculik Lin Lin puteri dari Kwee-ciangkun! Hampir saja ia berteriak dan menanyakan hal Lin Lin, tetapi pada saat itu terdengar jawaban Biauw Leng Hosiang, "Biauw suci, mengapa kau turut mencampuri urusanku?" "Tetapi kalau kau merendahkan diri dan membantu kaki anjing aku takkan tinggal diam saja. Kau tidak boleh mencemarkan perguruan kita dengan kerendahan ini!"
Hwesio itu menghela napas. "Baiklah, baiklah... memang kau selalu jail dan menghalang-halangi Sutemu yang hendak menikmati sedikit kesenangan dunia!"
Setelah berkata demikian, Biauw Leng Hosiang lalu meloncat pergi dan Biauw Suthai juga menggerakkan tubuh dan lenyap dari situ! Cin Hai kagum sekali akan kegagahan kedua orang itu, tetapi ia tidak diberi kesempatan untuk melamun terlebih jauh karena dengan marah sekali kawanan Sayap Garuda menumpahkan kegemasan mereka yang ditinggal pergi oleh hwesio itu, kepada Cin Hai. Ia terpaksa melawan, tetapi kali ini karena ia tidak bersenjata lagi ia sangat terdesak dan keadaannya berbahaya sekali.
Tiba-tiba tampak berkelebat sinar putih yang gemilang dibarengi dengan sinar merah, dan begitu bayangan itu bergerak seorang anggauta Sayap Garuda roboh mandi darah! "Niocu!!" Tiba-tiba Cin Hai berseru keras dan kedua matanya dikejap-kejapkan seolah-olah ia tidak percaya kepada pandangan matanya sendiri. Setelah jelas bahwa yang menolong dirinya dan mengamuk itu adalah Ang I Niocu, tak terasa pula mata Cin Hai basah oleh air mata.
"Niocu... !" sekali lagi ia berseru dengan lirih dan mesra.
"Hai-ji…" Ang I Niocu menjawab dan menjatuhkan lagi dua orang pengeroyok.
Di antara kawanan Sayap Garuda itu terdapat seorang yang telah mengenal Ang I Niocu, maka ia berteriak keras, "Ang I Niocu yang datang, lekas lari!" Dan ia mendahului kawan-kawannya lari secepatnya dari gadis yang kosen itu! Sebentar saja kawanan Sayap Garuda itu lari dan meninggalkan gadis tawanan yang diculik tadi.
Melihat bahwa kurban mereka telah ditinggalkan, Ang I Niocu tidak mengejar.
NIOCU...! Sekali lagi Cin Hai berseru girang dan gadis itu memandangnya dengan matanya yang bagus. Untuk beberapa lama mereka saling pandang dan melihat betapa Cin Hai kini telah menjadi seorang pemuda yang tampan dan gagah, tak terasa pula Ang I Niocu mencucurkan air mata karena girang dan terharu. Ia lalu memegang tangan Cin Hai erat-erat dan berkata.
"Hai-ji, kau baik-baik saja, bukan?"
"Niocu... Niocu... jangan kautinggalkan aku lagi!"
Mendengar ucapan yang masih bersifat kanak-kanak ini, mau tidak mau Ang I Niocu tersenyum dan menggelenggelengkan kepala.
Mereka berdua lalu mengantar gadis yang diculik itu pulang ke dusun. Kemudian Ang I Niocu mengajak Cin Hai pergi dari situ.
Di sepanjang jalan tiada hentinya Ang I Niocu bertanya tentag pengalaman Cin Hai sambil memandang wajah pemuda yang tampan itu dengan senang. Cin Hai tanpa menyembunyikan sesuatu lalu menuturkan pengalaman-pengalamannya hingga ketika mendengar betapa anak itu menderita karena ia tinggalkan, Ang I Niocu menagis tersedu-sedu sambil memegang lengan Cin Hai.
"Dan bagaimana dengan pengalamanmu, Niocu?" tanya Cin Hai sambil memandang wajah yang masih tetap cantik jelita, bahkan kini makin manis itu. Melihat gadis itu dan pakaian merahnya, ia merasa seakan-akan baru kemarin mereka berpisah.
"Jangan menanyakan hal ini sekarang, Hai-ji. Aku mempuyai tugas penting sekali. Aku sedang menyelidiki sebuah gua rahasia yang disebut Gua Tengkorak Raksasa. Menurut peta yang kudapat, ternyata bahwa gua itu berada di puncak bukit yang tampak dari sini itu! Karena itu kebetulan saja aku lewat di sini dan dapat bertemu dengan engkau kembali! Kalau sengaja dicaricari, belum tentu dapat bertemu."
Dengan singkat Ang I Niocu menceritakan betapa ia telah menurutkan jalan di petanya sampai sebulan lebih dan akhirnya petanya itu membawanya ke daerah itu.
"Bukit itu namanya Bukit Tengkorak Raksasa," katanya sambil menunjuk ke arah bukit yang menjulang tinggi tidak jauh dari situ, "dan sekarang juga aku harus dapat mencari gua itu di sana. Ketahuilah, bahwa selain aku, masih banyak orang-orang pandai hendak mendahuluiku mendapatkan gua itu. Maka marilah kau ikut aku, kita jangan menyia-nyiakan waktu lebih lama lagi!"
Melihat bahwa urusan itu agaknya penting sekali, Cin Hai tak berani membantah dan dengan hati luar biasa gembiranya karena dapat berjalan bersama dengan Ang I Niocu lagi, ia mengikuti nona itu dan mereka secepatnya mendaki Bukit Tengkorak Raksasa.
Dengan bantuan petanya, akhirnya Ang I Niocu berhasil mendapatkan gua itu yang tertutup oleh tumpukan batu yang ratusan banyaknya. Dengan tak mengenal lelah, mereka berdua membongkar semua batu-batu itu dan akhirnya tampaklah sebuah guha yang luar biasa besarnya dan gelap! Mereka masuk ke dalam dan setelah berjalan dengan hati-hati dan merayap beberapa lamanya, ternyata di sebelah dalam gua itu terdapat penerangan yang turun dari sebuah lubang di atas. Mereka terus maju ke dalam dan akhirnya tiba di depan sebuah pintu besar yang tertutup. Karena pintu itu berat sekali, maka mereka terpaksa mendorong dengan tenaga dan akhirnya berhasil juga mereka membuka pintu raksasa itu. Dengan hati berdebar keduanya masuk, Ang I Niocu lebih dulu dan Cin Hai di belakangnya.
Ketika mereka memasuki ruang di balik pintu itu, mereka terkejut sekali dan Cin Hai merasa ngeri dan takut. Ternyata di sepanjang dinding di kanan kiri ruang yang luas dan tinggi itu, tampak tengkorak-tengkorak yang tinggi besar berdiri berderet-deret dengan mulut mereka yang dahsyat itu menyeringai memperlihatkan gigi besar-besar. Tinggi tengkorak itu sedikitnya tiga kali tinggi manusia biasa hingga dapat dibayangkan betapa hebat dan mengerikan pemandangan dalam ruangan besar itu.
Keduanya berdiri termangu-mangu dengan bulu tengkuk berdiri. Tiba-tiba Ang I Niocu yang dapat menenangkan hati lebih dulu, berkata perlahan, "Hai-ji, lihat di sana itu. Bukankah aneh sekali?"
Cin Hai bagaikan baru sadar dari mimpi dan ia memandang ke arah depan. Dan benar saja, di ujung ruangan itu tampak sebuah pintu lagi yang daun pintunya terpentang lebar. Daun pintu itu terbuat daripada batu yang sangat tebal dan di dalamnya terdapat ruang atau kamar lain yang gelap hitam. Di tengah-tengah kamar itu tampak sebuah hio-louw (periuk tempat hio) tertutup dan dari dalam hio-louw keluar asap bergulung-gulung naik memenuhi kamar! Ruang yang luar biasa luasnya ini dihias raksasa mengerikan, dan di sana ada hio-louw besar sekali yang masih mengebulkan asap putih, sungguh pemandangan yang bisa membuat seseorang menjadi mati ketakutan! "Aneh," kata Cin Hai dengan suara gemetar, "Mengapa hio-louw itu masih mengebulkan asap?"
"Itulah yang kupikirkan," jawab Ang I Niocu, "Tak mungkin selama ini api di dalam hio-louw tak pernah padam! Tentu ada orang yang mendahului kita dan membakar dupa di dalam hio-louw itu."
Cin Hai menganggap kata-kata Ang I Niocu itu benar, karena tercium olehnya bau dupa yang harum sekali.
Tetapi siapakah yang dapat memasuki tempat seperti ini! Tadi pun gua masih tertutup oleh banyak batu dan pintu kamar ini masih tertutup rapat, dari mana orang dapat masuk? Ang I Niocu lalu bertindak perlahan menuju ke kamar tempat hio-louw itu. Ia berjalan perlahan sambil memandang ke kanan kiri dengan mata tajam dan tangan kanannya siap di gagang pedangnya yang tergantung di pinggangnya. Cin Hai mengikuti di belakangnya dengan hati dak-dik-duk dan mulut terasa kering. Belum pernah selama hidupnya ia menghadapi pengalaman sehebat dan sengeri ini.
Seperti halnya Ang I Niocu, Cin Hai juga memandang ke sana ke mari, dan ia merasa seakan-akan sekalian tengkorak raksasa yang berdiri itu bergerak-gerak! Seakan-akan sepasang mata yang bolong itu melirik-lirik dan gigi yang besar-besar itu berkeretakan! Ia merasa betapa bulu tengkuknya berdiri saking ngeri dan takutnya.
Tiba-tiba Cin Hai melihat sesuatu dan ia menjadi pucat sekali. Tak terasa lagi ia memegang tangan kiri Ang I Niocu dengan tangan menggigil. Matanya tak lepas memandang kepada sebuah tengkorak yang berdiri tak jauh dari situ.
"Niocu..." katanya terengah-engah, "lihat..."
Ang I Niocu cepat berpaling dan apa yang dilihatnya membuat ia menjadi terkejut dan ngeri. Gadis yang gagah perkasa dan belum pernah merasa takut menghadapi lawan yang betapa tangguh pun ini, sekarang merasa betapa kedua kakinya menggigil sedikit! Ternyata tengkorak yang dipandang oleh Cin Hai dan yang kedua lengannya tergantung di kanan kiri itu kini bergerak-gerak sedangkan kepalanya bergerak ke kanankiri! Ang I Niocu cepat mencabut pedangnya dan siap sedia menghadapi segala kemungkinan. Cin Hai meloncat di belakang gadis itu dan bingung karena tidak membawa senjata. Sulingnya telah terinjak patah oleh Biauw Leng Hosiang, hingga ia kini bertangan kosong. Di sudut kamar itu ia melihat setumpuk tulang-tulang manusia yang besar-besar, maka tanpa berpikir panjang lagi ia lalu memungut sepotong tulang kaki raksasa yang besar dan siap sedia membantu Ang I Niocu dengan senjata istimewa itu di tangannya! Tiba-tiba terdengar suara tertawa bergelak-gelak! Suara tertawa ini bergema hebat di dalam ruang itu dan terdengar menyeramkan sekali.
"Hai-ji, kau berhati-hatilah. Benar-benar ada orang mendahului kita!"
"Niocu... benar-benar orangkah yang tertawa itu?"
"Hush..."
"Kiang Im Giok! Bagus, kau dapat sampai ke sini lebih dulu dari orang lain! Lekas sembunyi di belakang tengkorak! Lekas! He, kau gundul tolol! Kaukira aku tidak mengenal mukamu? Hayo, kau juga sembunyi di belakang tengkorak! Cepat, mereka sudah mendatangi dan berada di luar gua!"
Kini mereka tahu siapakah yang bersuara itu. Bu Pun Su, kakek jembel yang luar biasa, Susiok-couw dari Ang I Niocu! Maka tanpa menyia-nyiakan waktu lagi keduanya meloncat dan bersembunyi di belakang tengkoraktengkorak raksasa.
Baru saja Ang I Niocu dan Cin Hai meloncat dan bersembunyi di belakang tengkorak-tengkorak raksasa, tiba-tiba dari luar terdengar suara orang bercakap-cakap dan tiga bayangan orang cepat sekali menyambar masuk. Cin Hai heran sekali ketika melihat bahwa yang datang itu bukan lain ialah Kang-lam Sam-lojin, tosu yang pernah mengajar silat kepadanya yakni Giok Im Cu dan kedua sutenya! Akan tetapi pada saat itu ketiga tosu ini nampak tegang dan bersiap sedia untuk bertempur karena Giok Im Cu telah memegang sebatang ranting pohon. Giok Yang Cu yang tinggi besar itu telah meloloskan pedangnya, sedangkan Giok Keng Cu yang pendek gesit memegang sebatang golok. Mereka bertiga berdiri di ruang itu sambil memandang ke kanan kiri.
"Orang yang berada di dalam gua, keluarlah untuk bertemu dengan kami!" terdengar Giok Im Cu berteriak dan suaranya bergema di dalam gua besar itu seakanakan menjadi jawaban bagi teriakan itu. Akan tetapi Ang I Niocu dan Cin Hai tidak berani bergerak, karena mereka harus mentaati perintah Bu Pun Su yang sangat ditakuti oleh Ang I Niocu itu. Diam-diam Cin Hai merasa heran mengapa kakek itu bersembunyi! Kalau hanya menghadapi ketiga orang tosu ini apa harus bersembunyi? Ang I Niocu seorang diri pun akan sanggup menghadapinya! Akan tetapi pada saat itu dari luar gua terdengar suara orang dengan suara yang parau menyeramkan, "Hai! Siapa yang berani mampus mendahului aku masuk gua ini?" Sebelum gema suara ini lenyap orangnya telah berkelebat masuk dan kembali Cin Hai terkejut sekali karena orang ini adalah Hai Kong Hosiang, hwesio gundul tinggi besar yang bermata besar itu.
Jubahnya yang merah kotak-kotak terbuka, memperlihatkan dadanya yang berbulu, juga hwesio ini memegang senjata yang lihai yakni sebatang tongkat ular. Ketika melihat Kanglam Sam-lojin, Hai Kong Hosiang tertawa bergelak sambil berdongak ke atas.
Suara ketawanya mendatangkan gema yang riuh, seakan-akan semua tengkorak raksasa yang berdiri di dalam gua itu ikut tertawa hingga keadaan menyeramkan sekali! "Lagi-lagi orang-orang tua bangka mau mampus yang mendahuluiku. Sekarang kalian takkan dapat melarikan diri lagi dan agaknya memang sudah menjadi nasibmu untuk binasa di dalam tanganku!"
Giok Yang Cu marah sekali. "Hai Kong manusia sombong! Kalau di Tiang-an kami tak berhasil membunuhmu, adalah karena kau secara pengecut dibantu oleh ular-ularmu. Sekarang kami akan menebus kekalahan itu!"
"Ha-ha-ha! Boleh, boleh! Majulah untuk menerima kematian!"
Mereka lalu bertempur hebat, dan Ang I Niocu memegang tangan Cin Hai sambil berbisik, "Ah, kepandaian hwesio gundul ini telah maju hebat sekali! Kanglam Sam-lojin pasti akan kalah!"
Memang benar kata-kata Nona Baju Merah ini.
Kepandaian Hai Kong Hosiang dengan ilmu tongkatnya yang berdasarkan jian-coa-kun-hwat atau Ilmu Toya Seribu Ular memang luar biasa sekali gerakangerakannya dan tongkatnya cepat dan hebat hingga seakan-akan berubah menjadi ribuan ular yang datang menyerang lawannya. Hwesio itu agaknya telah melatih diri hingga ilmu tongkatnya makin hebat saja.
Hal ini pun terasa sekali oleh Kanglam Sam-lojin.
Ketiga tosu ini segera mengeluarkan kepandaian mereka, yakni Liong-san-kun-hwat yang juga luar biasa dan lihai.
Akan tetapi ketika senjata mereka beradu dengan senjata Hai Kong Hosiang, mereka terkejut sekali karena tenaga lweekang dari hwesio itu telah maju pesat dan kini berada setingkat lebih tinggi daripada tenaga mereka! Percuma saja mereka mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian mereka karena benar-benar permainan tongkat Hai Kong Hosiang hebat sekali dan mengurung mereka bertiga dengan ancaman-ancaman maut! Hai Kong Hosiang yang melihat betapa ia dapat mendesak ketiga orang lawannya, merasa girang sekali dan hwesio gundul ini tertawa ha-ha-hi-hi sambil memperhebat serangannya. "Eh, tiga orang tua bangka! Menyerahlah untuk mampus!"
Akan tetapi, biarpun ia sudah dapat mendesak ketiga lawannya, namun karena ketiga tosu itu bukanlah sembarangan tosu yang berkepandaian rendah dan karena Liong-san-kun-hwat memang merupakan ilmu silat yang tinggi, masih tak mudah bagi Hai Kong Hosiang untuk dapat merobohkan ketiga lawannya itu dalam waktu pendek.
"Niocu, benar hebat kepandaian hwesio itu." kata Cin Hai sambil memandang muka Ang I Niocu yang berada begitu dekat dengan mukanya sendiri, " dapatkah kau mengalahkannya?"
Ang I Niocu membalas pandangan mata anak muda itu lalu bibirnya yang manis dan merah tersenyum.
"Agaknya takkan mudah mengalahkan dia, akan tetapi juga bukan tak mungkin!"
Cin Hai telah bertahun-tahun berpisah dengan Ang I Niocu dan telah lama ia merindukan Gadis Baju Merah ini. Sekarang dalam persembunyiannya ia berada begitu dekat Ang I Niocu maka hatinya merasa girang dan terharu sekali. Tanpe terasa Cin Hai menggerakkan tangan dan memegang tangan gadis itu erat-erat. Ia merasa betapa tangan yang berkulit halus dan berjari kecil itu membalas genggamannya dengan tekanan kuat, akan tetapi tiba-tiba tangan gadis itu mengendur, dan akhirnya ditarik terlepas dari pegangan Cin Hai. Ketika pemuda itu memandang, Ang I Niocu memberi tanda dengan muka untuk menonton pertempuran yang masih berlangsung hebat di dalam ruang tengkorak itu.
Ketika Cin Hai memandang, ia mendapat kenyataan bahwa kini Kanglam Sam-lojin benar-benar terdesak dan keadaan mereka berbahaya sekali, sementara itu Hai Kong Hosiang makin gagah dan ganas saja.
Pada saat itu, kembali terdengar suara gaduh di luar gua, tetapi kali ini dari suara tindakan kaki dapat diduga bahwa yang datang adalah serombongan orang yang besar jumlahnya, bahkan terdengar pula ringkik dan suara kaki kuda! "Hai Kong, bangsat gundul! Ada orang-orang datang, kami tidak ada waktu untuk melayanimu terlebih jauh,"
Giok Im Cu berseru. "Ha, ha, Kanglam Sam-lojin, hari ini sekali lagi aku ampuni jiwa kalian, dan lekaslah kalian pergi dari tempat ini dan jangan mengganggu aku!"
Kanglam Sam-lojin yang menginsafi akan kelihaian Hai Kong Hosiang tidak menjawab hinaan ini, lalu mereka menerobos keluar untuk meninggalkan tempat berbahaya itu. Hai Kong Hosiang lalu melangkah maju ke arah balik pintu di mana terdapat hiolouw yang masih mengebulkan asap itu. Ia membuka tutup hiolouw dan menjenguk ke dalamnya. Asap mengepul makin banyak ketika tutup hiolouw itu terbuka dan Hai Kong Hosiang buru-buru mengembalikan tutup itu. Ia melongok ke sana-sini seperti orang sedang mencari-cari, kemudian ia mendekati hiolouw itu dan membaca huruf-huruf yang terukir di hiolouw raksasa itu. Ia mengangguk-angguk dan segera memasang kuda-kuda dengan kedua kaki dipentang kuat-kuat. Ia lalu memegang kaki hiolouw dengan tangan kanan dan mencoba untuk mengangkatnya. Tetapi hiolouw itu tidak dapat terangkat. Jangankan terangkat, bahkan bergoyang pun tidak! Hai Kong Hosiang memaki-maki dan Cin Hai terpaksa menggunakan tangan untuk menutupi mulutnya agar jangan sampai tertawa. Ia geli sekali melihat betapa hwesio itu tidak kuat mengangkat hiolouw dan kini mendengar maki-makian yang keluar dari mulut Hai Kong Hosiang, ia merasa geli bercampur heran. Tak pernah disangkanya bahwa mulut seorang hwesio dapat mengeluarkan makian-makian sekotor itu! Juga Ang I Niocu memandang dengan mata menunjukkan kegelian hatinya.
Kini Hai Kong Hosiang turun tangan dengan sungguhsungguh.
Ia mempergunakan tangannya untuk mengangkat hiolouw itu dan benda yang besar itu mulai bergerak-gerak! Akan tetapi, pada saat itu dari luar gua masuk seorang hwesio lain yang bertubuh gemuk dan berkepala gundul. Cin Hai makin heran ketika mengenal bahwa yang masuk ini adalah Biauw Leng Hosiang, hwesio yang sangat lihai dan yang menjadi adik seperguruan Biauw Suthai! Mengapa banyak sekali orang-orang lihai datang ke gua ini? Sementara itu, Hai Kong Hosiang ketika mendengar suara orang masuk ke dalam gua, lalu mengurungkan maksudnya mengangkat hiolouw itu dan ketika ia berdiri memandang ke arah Biauw Leng Hosiang, wajahnya telah berubah merah, tanda bahwa tadi ia telah menggunakan banyak tenaga untuk mencoba mengangkat hiolouw besar itu! Melihat bahwa yang datang adalah Biauw Leng Hosiang yang telah dikenalnya, ia tersenyum menyindir, "Hm, agaknya Biauw Leng Hosiang juga tak mau ketinggalan dan mencari-cari pusaka ke dalam gua ini?"
Biauw Leng Hosiang membalas sindiran ini dengan suara memandang rendah, "Hai Kong, bercerminlah dulu sebelum mencela orang lain. Dan pinceng tidak ada waktu untuk mengobrol denganmu pada saat ini. Harap kau suka mengalah dan keluar dari sini, nanti apabila pinceng telah selesai dengan urusanku, kau boleh berdiam di tempat ini sampai selama hidupmu!" "Biauw Leng, kau sungguh tidak memandang orang! Kepandaian apakah yang kauandalkan maka kau berani berkata semacam itu kepada orang seperti aku?"
"Sudahlah jangan banyak cakap dan keluarlah!" Biauw Leng Hosiang yang berwatak keras itu berkata lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar