Pat-pi Mo-ko adalah seorang yang berilmu tinggi dan baru dua tahun dia tinggal dl kota raja setelah meninggalkan guha pertapaannya di sebuah gunung di barat. Begitu terjun ke dunia kang-ouw, dia mengalahkan dan menundukkan semua tokoh sesat dan diapun akhirnya diakui sebagai raja tanpa mahkota di antara tokoh sesat di kota raja dan daerahnya. Banyak tokoh-tokoh dari luar kota yang merasa penasaran dan datang untuk menentang jagoan baru ini, akan tetapi satu demi satu roboh di tangan Pat-pi Mo-ko sehingga akhirnya tak seorangpun lagi yang berani menantangnya. Akan tetapi, kota raja bukaniah merupakan tempat di mana seorang tokoh sesat dapat bersimaharajalela seenaknya saja karena selain di kota raja terdapat banyak orang pandai dan pendekar-pendekar, juga jagoan-jagoan istana banyak yang memiliki kepandaian tinggi, di samping adanya para penjaga keamanan yang amat kuat dan terlampau kuat bagi para penjahat. Oleh karena itu, Pat-pi Mo-ko juga tidak berani menonjolkan dirinya.
Iblis tinggi besar berkulit hitam ini memang mempunyai seorang saudara, seorang adik yang kaya raya dan terkenal dengan sebutan Bouw wan-gwe (hartawan Bouw), yang tinggal di kota raja. Akan tetapi, adiknya ini sejak muda tidak suka kepada kakaknya yang mempunyai kebiasaan dan kesukaan yang lain dari pada dia. Kalau dia sejak kecil tekun berdagang dan mencari uang, kakaknya itu lebih suka berkeliaran, belajar ilmu silat, bergulang-gulung dengan orang-orang jahat. Maka Bouw wan-gwe inipun diam-diam merasa tidak suka kepada Pat-pi Mo-ko! Bouw Kim Seng, biarpun dengan terpaksa karena takut dia juga memberi uang dan bahkan membelikan rumah untuk kakaknya itu. Dan pada suatu hari, Bouw wan-gwe memperkenalkan kakaknya itu dengan Phang-taijin, jaksa di kota raja yang pada waktu itu membutuhkan bantuan seorang yang berkepandaian tinggi, yaitu untuk menyingkirkan beberapa orang musuhnya. Sebagai seorang jaksa, Phang-taijin mempunyai tiga orang musuh, dua di antaranya adalah sesama rekannya yang menentangnya karena persoalan sogokan orang yang terlibat dalam perkara dan dua orang itu mengancam untuk melaporkan kecurangannya dalam menangani perkara itu kepada atasan. Yang seorang lagi adalah seorang penjahat yang merasa dilakukan dad diadili secara sewenang-wenang oleh Phang-taijin. Melihat bahwa kedudukan jaksa Phang-taijin akan dapat melindunginya, maka dengan senang hati Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng memenuhi permintaan ini dan dengan mudah dia dapat membunuh tiga orang musuh yang membahayakan keselamatan Phang-taijin itu tanpa ada yang mengetahui dan menyangkanya. Mulai saat itulah Pat-pi Mo-ko menjadi orang kepercayaan Phang-taijin. Pat-pi Mo-ko melindungi pembesar itu dari para saingannya, sebaliknya pembesar itu melindungi si penjahat untuk bersembunyi di kejaksaan. Bahkan dengan mudahnya Pat-pi Mo-ko menghubungi para tokoh penjahat di ibu kota, menguasai mereka dan menekan mereka agar mereka semua melakukan operasi di luar kota raja. Dengan demikian, mereka tidak akan bentrok dengan kedudukan dan tugas Phang-taijin, sebaliknya pembesar inipun menutupkan matanya terhadap pembantunya yang menjadi raja tanpa mahkota diantara para tokoh penjahat di kota raja.
Ketika Pat-pi Mo-ko berhubungan dengan Su Tong Hak, dia berhasil menguasai dua peta yang berada di tangan Su Tong Hak dan Ciang Kim Su dan dengan perjanjian akan bekerja sama dan memperoleh bagian masing-masing, mereka berdua lalu mencari tempat rahasia menurut petunjuk peta itu. Namun, hasilnya selalu nihil dan gagal! Sampai berbulan-bulan mereka mencari-cari, namun ternyata peta itu tidak membawa mereka ke tempat penyimpanan harta karun yang diidam-idamkan itu. Apa lagi kunci emas belum juga dapat ditemukan. Mereka mendengar tentang kunci emas ini baru belakangan ini dan ketika Pat-pi Mo-ko mengutus orangnya menuju ke dusun Cin-bun-tang di daerah An-keng, utusan itu kembali dengan tangan kosong mengatakan bahwa kakek petani itu dan isterinya telah tidak ada lagi di dusun. Isterinya terbunuh orang jahat dan kakek itu sendiri lenyap tanpa ada yang mengetahui ke mana perginya!
Tentu saja Pat-pi Mo-ko menjadi penasaran, marah dan kecewa. Sampai akhirnya dia mendengar dari sisa anak buah Liong-kut-pian Ban Lok yang dilaporkan oleh para pembantunya bahwa Ban Lok dan kawan-kawannya yang telah membunuh suami isteri petani itu juga betapa Ban Lok terbunuh oleh seorang pemuda dan seorang gadis yang lihai sekali, juga bahwa diduga, kunci emas itu berada di tangan pemuda dan dara itu. Maka mulailah anak buahnya melakukan pengejaran dan pencarian, juga dia mengutus muridnya untuk mendekati mereka setelah dia mendengar bahwa pemuda itu adalah Pendekar Sadis!
Setelah dia berhasil menerima kunci emas dari muridnya sebagai hasil bujuk rayu muridnya atau keponakannya yang cantik itu terhadap Pendekar Sadis, hatinya menjadi semakin kecewa dan penasaran lagi. Kunci emas sudah didapatkan, akan tetapi peta itu ternyata palsu dan tidak mampu membawanya ke tempat penyimpanan harta karun Jenghis Khan. Inilah yang membuat dia semakin kecewa dan penasaran. Kini, dalam keadaan hampir putus asa mendengar ucapan Kim Hong yang mengatakan bahwa tidak sukar untuk menyelidiki di mana adanya peta yang tulen, tentu saja semangatnya tergugah dan harapannya timbul kembali. Wajahnya berseri ketika dia mendekati dipan di mana Kim Hong terbelenggu.
"Nona Toan, maukah engkau bekerja sama dengan kami?"
Kim Hong mengerutkan alisnya, mengambil sikap seperti orang berpikir. Padahal, ia memang sengaja mencari kesempatan untuk membuat penjahat ini membutuhkannya. Melihat kunci emas itu telah berada di tangan penjahat ini, biarpun ia tidak melihat tanda-tanda bahwa kekasihnya mengalami bencana, namun hatinya merasa gelisah dan ragu. Bagaimanapun juga, kenyataan membuktikan bahwa kekasihnya telah menyerahkan kunci itu atau dipaksa menyerahkan dan tentu telah terjadi sesuatu dengan Thian Sin. Kalau hal ini benar, maka sebaiknyalah kalau ia mendekati dan berbaik dengan Pat-pi Mo-ko, bukan karena harta karun itu karena ia tahu bahwa kepala penjahat ini hanya memiliki peta dan kunci palsu belaka. Akan tetapi ia harus lebih dulu tahu bagaimana keadaan Thian Sin. Pula, ia harus pula melindungi Kok Siang yang masih terthwan, karena ia berkeyakinan bahwa pemuda inilah yang menguasai peta aselinya, sedangkan kunci emas yang aselinya ada pada ia dan Thian Sin.
"Pat-pi Mo-ko, kita sama-sama adalah petualang-petualang dan di mana ada kesempatan memperoleh keuntungan besar, tentu saja kami mau bekerja sama denganmu. Akan tetapi, bekerja sama yang bagaimana maksudmu?"
"Engkau membantuku dahulu mencari peta aseli dan menemukan harta karun Jenghis Khan."
"Imbalannya?"
"Engkau mendapatkan seperempat bagian."
"Aka tidak mau menyerahkan sebagian dari hakku yang setengahnya atas harta karun itu kepadanya!" Tiba-tiba Su Tong Hak berkata.
"Diam dan jangan mencampuri urusan kami!" Bouw Kim Seng membentak dan pedagang itu undur kembali dengan alis berkerut.
"Pat-pi Mo-ko, engkau berkali-kaii mengajak aku untuk bekerja sama, akan tetapi engkau memperlakukan aku sebagai tawanan. Mana mungkin ini?"
"Maukah engkau? Berjanjilah lebih dahulu dan aku akan membebaskanmu."
"Aku berjanji akan bekerja sama denganmu!" Kim Hong berkata dengan suara bersungguh-sungguh.
"Toan Kim Hong!" Tiba-tiba Kok Siang berteriak dan nampak marah sekali "Kiranya sebegitu saja keteguhan hatimu! Setelah terjepit, nampak belangmu dan engkau mau saja bekerja sama dengan kaum sesat? Huh, kiranya engkau hanyal petualang yang haus akan harta kekayaan!"
"Bu Kok Siang! Tutup mulutmu dan jangan mencampuri urusanku!" Kim Hong juga membentak dengan marah.
"Engkau tak tahu malu! Engkau pengecut, huh, kalau aku bebas, sebelum menggempur para penjahat ini, engkau akan kuhancurkan lebih dulu!" Kok Siang berteriak marah.
"Kutu buku yang pura-pura menjadi orang gagah! Siapa takut akan ancamanmu? Engkau takkan lolos dari tempat ini dengan hidup!" Kim Hong memaki dan kedua orang itu saling mencela dan memaki. Melihat ini, Pat-pi Mo-ko diam-diam memandang dengan sinar mata berkilat dan wajah berseri. Lalu dia menghampiri Kim Hong dan dengan kedua tangannya sendiri dia melepaskan belenggu besi dari kaki dan tangan gadis itu dengan kunci, kemudian memulihkan jalan darah gadis itu yang masih tertotok. Kim Hong mengurut-urut pergelangan kaki dan tangannya yang terasa nyeri bekas belenggu besi. Pat-pi Mo-ko den para pembantunya siap menghadapi kalau-kalau gadis itu akan melanggar janjinya dan mengamuk. Akan tetapi Kim Hong tidak mengamuk, membereskan pakaiannya, lalu memandang kepada Pat-pi Mo-ko sambil tersenyum. "Mana siang-kiamku, apakah tidak dikembalikan kepadaku setelah kita menjadi rekan?"
"Nanti dulu, nona Toan, jangan tergesa-gesa. Pedang pasangan itu berada padaku dan kalau engkau membutuhkan, tentu akan kuberikan kepadamu. Sekarang katakan dulu, apa maksudmu tadi mengatakan bahwa tidak sukar untuk menyelidiki di mana adanya peta yang tulen?"
Kim Hong duduk di atas dipan bekas tempat ia dibelenggu, melonjorkan kedua kakinya dan menarik otot-ototnya yang tegang sebelum menjawab. Ia menatap wajah penjahat besar itu dan tahu bahwa ia harus berhati-hati. Sikap Pat-pi Mo-ko dan para pembantunya jelas menaruh kecurigaan besar kepadanya. Ia harus berdaya upaya menarik kepercayaan mereka. Hanya dengan demikianlah ia akan dapat mencari kesempatan untuk meloloskan diri dari tempat itu, juga untuk menyelamatkan Kok Siang, dan kalau perlu menolong Thian Sin, kalau benar seperti yang dikhawatirkannya bahwa kekasihnya itu mungkin saja terjebak pula seperti ia dan Kok Siang.
"Pat-pi Mo-ko, apa sih sukarnya menyelidiki hal itu? Pertama-tama, pembawa peta itu adalah Ciang Kim Su dan dialah orang pertama yang mungkin saja menyembunyikan peta aseli karena dia penemunya dan menggantikannya dengan peta palau untuk melindungi yang tulen kalau terjadi sesuatu. Maka kepadanyalah harus ditanyakan di mana adanya peta yang tulen, yakni kalau dia masih hidup."
Pat-pi Mo-ko mengangguk. "Sudah kami lakukan itu akan tetapi tanpa hasil."
"Hemm, apa sukarnya menyiksanya sampai dia mengaku? Dia hanya seorang pemuda petani lemah, disiksa sedikit saja tentu akan mengaku." kata pula Kim Hong dengan sikap kejam. "Aku tahu tentang beberapa cara penyiksaan yang akan membuat orang lemah mengaku. Misalnya, mencabuti kuku jari kaki dan tangan satu demi satu, menusukkan jerum ke bawah kuku jari tangan, merobek kulit pelipis melalui tarikan rambut pelipis ke atas. Biarkan aku yang menyiksanya, tentu dia mengaku."
"Tidak, jangan siksa lagi dia! Dia sudah hampir... hampir mati..."
"Plakk!" Tubuh pedagang itu terpelanting ketika terkena sambaran tangan Pat-pi Mo-ko yang menamparnya.
"Sudah beberapa kali kuperingatkan. Jangan engkau lancang mulut den mencampuri urusan ini! Sekali lagi melanggar, aku akan lupa diri dan akan membunuhmu pula!"
Su Tong Hak yang tadinya merasa menjadi sekutu tokoh sesat itu, kini berdiri dengan muka pucat dan baru dia menyadari bahwa dia sendiri berada di dalam bahaya, bahwa nyawanya seperti telor di ujung tanduk. Mulailah dia merasa ketakutan dan bingung, hanya mengangguk-angguk dan mundur sampai ke sudut ruangan.
Tentu saja semua ucapan dan sikap ini tidak terlepas dari pandang mata Kim Hong yang tajam. Ia menduga bahwa agaknya pemuda petani itu masih hidup, akan tetapi dalam keadaan parah karena disiksa. Mulailah ia dapat mengerti dan menggambarkan keadaan. Agaknya pemuda petani itu telah datang ke kota raja dan diantar oleh pamannya yang berhati busuk itu kepada Louw siucai. Dan siucai tua itu telah menterjemahkan peta, akan tetapi mungkin sekali siucai itu telah menukarnya dengan yang palsu. Peta itu setelah diterjemahkan lalu diterima oleh Kim Su dan dibagi dengan pamannya. Akan tetapi agaknya Su Tong Hak bersekongkol dengan Pat-pi Mo-ko dan pemuda petani yang sedang menuju pulang itu lalu dicidik dan dirampas bagian petanya. Kemudian, setelah gagal menemukan tempat rahasia harta karun melalui peta, Pat-pi Mo-ko baru sadar bahwa peta itu palsu dan mereka lalu menyiksa Ciang Kim Su yang mereka kira mengetahui di mana adanya peta yang aseli.
"Nona Toan, perkiraanmu itupun telah menjadi perkiraan kami. Akan tetapi agaknya peta tulen tidak berada di tangan pemuda petani itu."
"Kalau begitu, masih ada beberapa kemungkinan lain. Peta tulen itu bisa saja berada di tangan sasterawan yang menterjemahkan itu yang menukarnya dengan yang palsu. Akan tetapi, sasterawan itu kabarnya telah mati terbunuh, jadi tentu peta itu berada di tangan pembunuhnya." Berkata demikian, Kim Hong menanti dan memandang penuh perhatian.
"Tidak! Tidak...!" Tiba-tiba Su Tong Hak berteriak ketika melihat betapa Pat-pi Mo-ko menoleh dan memandang kepadanya dengan sinar mata mencorong. "Kami sudah memeriksa dengan teliti dan tidak menemukan apa-apa di rumahnya. Tanya saja kepada Hai-pa-cu Can Hoa kalau tidak percaya!"
"Sesungguhnyalah, kami berdua tidak menemukan apa-apa di sana." Kata Hai-pa-cu Can Hoa dengan suara tenang. Tentu saja jawaban kedua orang ini sudah menjelaskan kepada Kim Hong dan juga kepada Kok Siang siapa orangnya yang membunuh Louw siucai. Bukan lain adalah Su Tong Hak yang mungkin menjadi petunjuk jalan dan yang melaksanakan adalah Hai-pa-cu Can Hoa! Akan tetapi Kok Siang sama sekali tidak memperlihatkan reaksi apapun pada wajahnya yang masih memandang kepada Kim Hong dengan marah.
"Hemm, dalam urusan ini banyak orang tersangkut dan kita tidak tahu siapa yang palsu. Akan tetapi, kalau kita bekerja sama, aku akan menemukan peta itu, Pat-pi Mo-ko! Aku berjanji akan menemukannya dan menemukan orangnya yang bertindak curang kepadamu!"
Pat-pi Mo-ko tersenyum, "Bagaimanapun juga, engkau yang tadi masih menjadi musuh kami, mana mungkin dapat kupercaya kalau tidak ada bukti tentang kesetia kawananmu lebih dulu?"
"Engkau hendak mencoba? Cobalah!" kata Kim Hong.
"Memang, kami harus menguji kesetiaanmu. Malam ini juga. Engkau harus membantu kami menundukkan saingan kita. Engkau sudah membunuh Liong-kut-pian Ban Lok. Nah, gerombolannya itulah saingan kita dan hampir saja mereka berhasil merampas kunci emas dari kakek Ciang Gun. Liong-kut-pian Ban Lok masih mempunyai seorang suheng yang jauh lebih lihai dari padanya, dan suhengnya itulah yang kini memimpin gerombolan mereka untuk menyaingi kita. Siapa tahu, mereka telah berhasil mendapatkan peta yant tulen! Maka, sebelum mereka bergerak mendapatkan kunci emasnya yang telah ada padaku, kita harus mendahului mereka dan menghancurkan mereka. Musuh-musuh yang akan mendatangkan kerepotan harus sampai ke akar?akarnya. Nah, sanggupkah engkou membantuku?"
"Baik, aku akan membantumu, Mo-ko. Akan tetapi kutu buku itu tidak ada sangkut pautnya dengan urusan kita. Lebih baik tendang dia keluar saja!"
Pat-pi Mo-ko memandang tajam. "Apakah engkau tidak ingin melihat dia tersiksa dan terbunuh dan menghendaki dia bebas, nona?"
Kim Hong tersenyum mengejek. "Apa peduliku dengan dia? Kami bukan apa-apa, hanya secara kebetulan saja berkenalan!"
"Kalau begitu, biarlah dia sementara menjadi tahanan kita di sini sampai selesai urusan ini. Kalau sekarang dia dibiarkan bebas, tentu dia hanya akan mendatangkan kerepotan saja. Dia telah berani menentangku, karena itu dia harus dihukum!" Pat-pi Mo-ko lalu memerintahkan anak buahnya untak menjaga baik-baik pemuda itu agar jangan sampai lolos, akan tetapi juga melarang pemuda itu diganggu atau dibunuh. Setelah itu, diapun mengajak Kim Hong pergi meninggalkan Kok Siang.
Ketika Kim Hong melihat bahwa pasukan yang hendak dibawa oleh tokoh sesat itu sama sekali bukan anak buahnya atau orang-orang biasa, melainkan pasukan pemerintah, ia merasa heran sekali. Ditanyakannya hal ini kepada Bouw Kim Seng dan orang ini tertawa.
"Memang sebaiknya kita berlindung di balik pasukan pemerintah yang hendak mengadakan pembersihan terhadap sarang penjahat, bukan? Ha-ha-ha, nona Toan. Orang harus mempergunakan kecerdikan otak, bukan hanya mengandalkan kekuatan otot belaka."
"Di mana pedangku?"
"Jangan khawatir, pedangmu sudah dibawa dan sewaktu-waktu kau membutuhkan tentu akan kuserahkan kepadamu."
"Mo-ko, engkau masih tidak percaya kepadaku! Hemm, andaikata aku melanggar janjiku, sekarangpun aku dapat berbalik melawanmu, tidak perlu mempergunakan pedang!" kata Kim Hong mendongkol.
KAKEK hitam itu tertawa. "Engkau takkan menentangku, nona. Engkau terlampau cerdik untuk melakukan kebodohan itu. Pertama, engkau sudah mengeluarkan janji membantuku. Ke dua, kalau engkau memberontak, engkau akan berhadapen langsung dengan aku dan pasukan pemerintah. Ke tiga, pemuda sasterawan itu akan kami bunuh lebih dulu. Ke empat, engkau tidak akan mendapatkan bagian harta karun Jenghis Khan. Ha-ha-ha, tidak, engkau tidak sebodoh itu."
Kim Hong merasa lega. Setidaknya, ia merasa yakin bahwa untuk sementara waktu Kok Siang berada dalam keadaan aman. Ia tadi memang sengaja memperlihatkan sikap mengejek dan menghina kepada Kok Siang yang ditanggapi dengan baik sekali oleh pemuda sasterawan yang cerdas itu. Mereka memperlihatkan sikap yang saling mengejek dan bermusuhan sehingga dengan demikian pemuda itu dijauhkan dari prasangka buruk. Kalau sampai diketahui atau terduga oleh Mo-ko bahwa peta aselinya berada di tangan pemuda itu, tentu keselamatan Kok Siang takkan dapat dijamin lagi. Untuk sementara ini, ia harus berpura-pura menurut dan bekerja sama dengan iblis ini. Kalau tidak, selain nyawa Kok Siang terancam, juga ia sendiri dapat terancam bahaya besar. Ia harus menyelamatkan Kok Siang dulu, baru ia akan meloloskan diri sendiri dan hal ini agaknya tidak akan mudah, harus menanti saat yang baik.
Penyerbuan ke sarang penjahat bekas pimpinan Liong-kut-pian Ban Lok berjalan dengan amat lancar. Anak buah penjahat yang jumlahnya hanya kurang lebih dua puluh lima orang itu tidak mampu mengadakan perlawanan yang berarti terhadap serbuan seratus orang pasukan keamanan. Mereka dirobohkan atau ditangkap dengan alasan melakukan kejahatan dan kekacauan di kota raja. Mereka tentu saja melakukan perlawanan, namun segera mereka itu tertangkap semua karena kalah banyak. Hanya seorang saja yang masih mengamuk dan dia ini adalah Sin-siang-to Tang Kin. Sesuai dengan julukannya, Sin-siang-to (Sepasang Golok Sakti) memutar sepasang goloknya dan tidak ada anggauta pasukan yang mampu mendekatinya, apa lagi menangkapnya. Sepasang goloknya membentuk sinar bergulung-gulung yang dahsyat dan setiap ada senjata perajurit yang mendekat, tentu terpental atau patah-patah. Tiba-tiba Pat-pi Mo-ko erteriak menyuruh komandan pasukan menarik mundur para perajurit yang mengeroyok Sin-siang-to Tang Kin. Dia sendiri bersama Kim Hong menghampiri kepala gerombolan itu. Kim Hong memandang dengan penuh perhatian. Kepala gerombolan itu adalah seorang kakek yang usianya sekitar lima puluh lima tahun, bertubuh tinggi kurus. Suheng dari mendiang Liong-kut-pian Ban Lok ini memang jauh lebih lihai dari pada sutenya. Dari permainan sepasang golok tadi Kim Hong sudah melihat betapa lihainya sepasang golok itu. Ia sendiri tadi membantu Mo-ko, dengan mudah merobohkan beberapa orang anak buah gerombolan musuh.
Sin-siang-to Tang Kin melintangkan sepasang goloknya di depan dada dan memandang kepada Pat-pi Mo-ko dan Kim Hong dengan mata mendelik marah. Tadi dia sudah mendengar pelaporan anak buahnya sebelum mereka itu ditangkap semua bahwa penyerbuan pasukan pemerintah ini dipimpin oleh Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng, tokoh jahat di kota raja yang seolah-olah menjadi raja di antara para penjahat, akan tetapi yang selalu menyembunyikan diri itu. Dan diapun mendengar bahwa wanita cantik yang membunuh satenya juga datang bersama Pat-pi Mo-ko. Kini, biarpun dia belum pernah bertemu dengan mereka berdua, begitu berhadapan, dia tahu bahwa inilah dua orang itu.
"Hemm, sekarang nampaklah belangmu, Pat-pi Mo-ko!" katanya mengejek. "Kiranya engkau berlindung di bawah naungan pasukan pemerintah. Huh, tokoh kang-ouw macam apa engkau ini?"
Pat-pi Mo-ko hanya tertawa dan tidak menjadi marah. "Sin-siang-to, sudah lama aku mendengar namamu yang menggempartan di pantai timur dan baru karena kebetulan kita saling bertemu di sini. Engkau melanjutkan gerakan sutemu, memimpin anak buah mengacau di kota raja. Kalau kami pasukan datang membasmi gorombolanmu, hal itu sudah jamak dan jangan kau menyalahkan aku. Aku menentang sutemu karena dia telah berani menyaingi aku. Sekarang, semua anak buahnya telah diringkus. Kalau engkau membantuku dan bekerja untukku, biarlah aku ampuni engkau dan kita bekerja sama!"
"Lebih baik mampus! Siapa takut padamu?" bentak Sin-siang-to sambil mengelebatkan goloknya.
"Ha-ha, sudah kuduga bahwa engkau akan keras seperti itu, aku sengaja mengajak nona Toan ini untuk membunuhmu seperti yang telah dilakukannya kepada sutemu."
Sin-siang-to Tang Kin kini memandang kepada Kim Hong. Sambil menudingkan golok kanannya ke arah muka Kim Hong, dia berkata, "Aku sudah mendengar bahwa suteku tewas di tanganmu. Hal ini kuanggap lumrah karena memang suteku bermain api. Akan tetapi, sekarang ternyata bahwa engkau hanyalah kaki tangan Pat-pi Mo-ko, maka marilah kita membuat perhitangan atas kematian sute!" Setelah berkata demikian, Sin-siang-to sudah menerjang ke depan dan dua sinar berkelebat menyambar dari kanan kiri, ke arah leher dan pinggagg Kim Hong.
Kim Hong dapat menduga orang macam apa adanya ahli golok ini. Seorang tokoh sesat juga, maka iapun tidak ragu-ragu untuk menghadapinya. Menyingkirkan seorang seperti ini bukan hanya perlu untuk menumbuhkan kepercayaan Pat-pi Mo-ko kepadanya, akan tetapi juga berarti menyingkirkan sebuah sumber penyakit dari rakyat jelata. Karena ia mendapat kenyataan bahwa Pat-pi Mo-ko tidak juga memberikan sepasang pedangnya kepadanya, maka iapun bergerak cepat mengelak dari dua serangan yang cukup berbahaya itu. Gerakannya memang gesit sekali, karena gin-kang dari nona ini sudah mencapai tingkat yang amat tinggi sehingga Sin-siang-to Tang Kin terkejut bukan main ketika tiba-tiba melihat nona itu menghilang! Akan tetapi dia dapat menangkap gerakan di sebelah belakangnya, maka dia cepat membalikkan tubuh dan kembali sepasang dari goloknya bersilang dan berkelebat dari atas dan bawah! Memang hebat permainan golok pasangan dari kakek ini sehingga Kim Hong terpaksa harus mempergunakan kecepatan gerakannya lagi untuk menghindarkm diri dari sambaran golok. Terjadilah perkelahian yang nampaknya berat sebelah karena kakek itu selalu menghujankan serangan sedangkan Kim Hong hanya mengelak ke sana sini dengan amat cepatnya. Hanya kadang-kadang saja kalau ada kesempatan membalas dengan tendangan atau pukulan tangannya. Akan tetapi, kesempatan itu sedikit sekali karena gerakan sepasang golok itu membentuk sinar bergulung-gulung yang amat cepat dan luas.
Kim Hong adalah seorang wanita yang selain tinggi ilmu silatnya, juga amat cerdik. Ia sedang menanti kesempatan untuk mendapatkan kepercayaan dan untuk dapat membebaskan Kok Siang. Dan untuk mendapatkan kepercayaan ia harus menyembunyikan kepandaian, agar iblis itu tidak merasa khawatir dan akan menganggapnya tidak berbahaya. Oleh karena itu, ia harus melayani Sin-siang-to ini dengan sedapat mungkin menyembunyikan kepandaian aselinya, hanya mengeluarkan ilmu yang sederhana saja. Akan tetapi, celakanya, Sin-siang-to Tang Kin bukanlah lawan sembarangan yang boleh dihadapi dengan ilmu yang rendah. Sepasang goloknya sedemikian lihainya sehingga kalau Kim Hong ingin selamat, ia harus mengerahkan gin-kangnya. Apa lagi untuk merobohkannya. Tentu ia harus menggunakan ilmunya yang tinggi. Hal ini membuat Kim Hong kerepotan juga. Di satu pihak ia ingin menyembunyikan kepandaiannya dari mata Mo-ko yang ia tahu membiarkan ia menghadapi Sin-siang-to untuk mencobanya, mencoba kepandaiannya dan mencoba kesetiaannya. Di lain pihak ia harus mengerahkan kepandaian untuk dapat mengimbangi kelihaian lawan ini. Maka ia menjadi serba salah dan ragu-ragu dan terdesak hebat!
Pat-pi Mo-ko melihat perkelahian itu dengan penuh perhatian. Dia membiarkan gadis itu terdesak sampai puluhan jurus dan diam-diam dia mengagumi gin-kang yang hebat dari gadis itu, mengaku bahwa dia sendiripun kalau harus bertanding dalam hal gin-kang, tidak akan dapat menandingi gadis itu. Dari gerakannya saja dia dapat menduga bahwa kalau gadis itu memperoleh kembali sepasang pedangnya, tentu akan mampu menandingi Sin-siang-to walaupun belum tentu akan dapat menang. Ilmu sepasang golok dari Tang Kin memang istimewa dan lihai sekali.
"Tahan...!" Bentaknya dan nampak dua gulungan sinar hitam ketika kakek tinggi besar ini menerjang ke depan. "Sin-siang-to, perlihatkan kepandaianmu kepadaku!" Den sepasang pedang bersinar hitam di tangan Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng sudah bergerak menyerang dengan gerakan dahsyat sekali.
Kim Hong yang sudah meloncat ke belakang itu terkejut dan mendongkol. Ternyata yang dipergunakan oleh Pat-pi Mo-ko adalah sepasang pedang Hok-mo Siang-kiam, sepasang pedangnya yang dirampas ketika ia pingsan. Akan tetapi ia segera dapat mengusir rasa gemas ini dan diam-diam ia memperhatikan permainan pedang itu. Kiranya iblis inipun merupakan seorang ahli ilmu silat pedang pasangan! Din ia mendapat kenyataan betapa ganas dan dahsyatnya sepasang pedangnya itu ketika dimainkan oleh Pat-pi Mo-ko benar-benar merupakan seorang lawan yang amat tangguh, yang harus dihadapi dengan hati-hati. Agaknya tingkat kepandaian kakek iblis hitam ini tidak berada di bawah tingkat para datuk kaum sesat yang pernah dilawannya beberapa tahun yang lalu!
Agaknya memang Pat-pi Mo-ko sengaja hendak memamerkan kepandaiannya. Dia mengeluarkan jurus-jurus terampuh dan menekan sepasang golok di tangan Sin-siang-to yang berusaba keras untuk menandingi sepasang pedang hitam itu. Namun semua hasilnya sia-sia belaka. Sinar goloknya menjadi semakin sempit terhimpit dan belum ada tiga puluh jurus semenjak ia melayani terjangan Pat-pi Mo-ko, tiba-tiba dia menjerit dan tubuhnya terjengkang, sepasang goloknya terlepas dan ada darah mancur dari tenggorokannya! Tubuh Sin-siang-to berkelojotan seperti ayam disembelih dan memang lehernya telah tertembus pedang sehingga dia mirip seekor ayam yang disembelih.
Kini sambil tersenyum Pat-pi Mo-ko mengembalikan sepasang pedang hitam kepada pemiliknya sambil meloloskan sarung pedang itu yang tadinya disembunyikan di bawah jubahnya. Tanpa bicara Kim Hong menerima pedang itu dan menyarungkannya kembali, memasangnya di pinggang. Pat-pi Mo-ko mengeluarkan sepasang pedang lain, yang putih seperti perak dan berkata.
"Pedang hitammu hebat, nona. Akan tetapi kalau tadi aku mempergunakan sepasang pek-kong siang-kiam (Sepasang Pedang Sinar Putih) milikku ini, aku pasti akan dapat merobohkan dalam waktu yang jauh lebih singkat."
Kim Hong menjura dan berkata, "Ilmu pedangmu sungguh hebat, Pat-pi Mo-ko."
Iblis hitam tinggi besar itu tertawa dan menjawab untuk merendahkan diri akan tetapi ada kebanggaan terkandung dalam suaranya, "Ah, ilmu silatmu juga luar biasa, nona. Engkau memang patut sekali menjadi pembantuku yang terutama!"
"Jadi aku sudah lulus ujian?" tanya Kim Hong tersenyum.
"Belum, masih ada satu lagi ujian."
"Hemm, apa itu?"
"Mari kita pulang dan engkau akan tahu." kakek itu lalu mengajaknya untuk melakukan penggeledahan bersama pasukan. Akan tetapi ternyata di sarang gerombolan itu mereka tidak menemukan apa yang dicari oleh Pat-pi Mo-ko, yaitu peta harta karun atau tanda-tanda tentang peta itu. Pat-pi Mo-ko memang tidak terlalu mengharapkan akan menemukan apa yang dicarinya di situ. Dia sudah merasa puas telah dapat membasmi saingan yang dianggapnya hanya mendatangkan kesulitan saja baginya itu dan diapun mengajak Kim Hong untuk kembali ke rumah Phang-taijin.
Di kompleks perumahan pembesar Phang, jaksa kota raja ini, Pat-pi Mo-ko memperoleh kebebasan dan menempati bagian belakang di mana selain dipergunakan untuk kantor dan tempat tahanan, juga terpasang banyak kamar-kamar rahasia. Karena mereka tiba di gedung itu sudah malam, Bouw Kim Seng mempersilakan Kim Hong untuk beristirahat. Gadis itu memperoleh sebuah kamar tidur di bagian tengah dan Kim Hong Maklum bahwa semua gerak geriknya diawasi dan bahwa tempatnya mengaso itupun dijaga ketat sehingga tidak mungkin ia dapat meninggalkan kamar tanpa diketahui orang. Akan tetapi, gadis ini memang tidak berniat untuk meloloskan diri sebelum ia dapat membebaskan Kok Siang. Ia tidak tahu di mana pemuda itu ditahan, maka iapun bersabar menanti sampai besok karena tubuhnya juga terasa lelah dan ia perlu beristirahat mengumpulkan tenaga. Satu-satunya hal yang menggelisahkan hatinya adalah Thian Sin. Apa yang telah terjadi dengan kekasihnya itu dan bagaimana kunci emas palsu itu sampai dapat jatuh ke tangan Pat-pi Mo-ko? Ia tidak berani bertanya dengan terus terang kepada penjahat itu, khawatir kalau-kalau menimbulkan kecurigaan dan hal itu hanya akan menambah kewaspadaan pihak lawan saja.
Pada sore hari berikutnya, barulah Pat-pi Mo-ko mengatakan apa adanya ujian ke dua itu. Kim Hong dibawa ke dalam ruangan yang luas, ruangan yang agaknya menjadi tempat berlatih silat atau juga mungkin menjadi tempat penyiksaan di kompleks perumahan kejaksaan bagian penjara itu. Dan di dalam ruangan yang tertutup oleh jendela-jendela besi baja dan pintu baja pula, yang terjaga ketat oleh pasukan penjaga dan para pembantu iblis itu. Kim Hong melihat Kok Siang duduk di atas bangku besi dengan kaki dirantai! Pemuda itu agak pucat, akan tetapi tersenyum mengejek ketika melihatnya masuk bersama Pat-pi Mo-ko. Di dalam ruangan itupun sudah hadir para pembantu iblis itu, yaitu keempat Siang-to Ngo-houw, Hai-pa-cu Can Hoa, Tiat-ciang Lui Cai Ko dan tidak ketinggalan terdapat pula Su Tong Hak yang wajahnya agak pucat dan sikapnya tidak segembira ketika Kim Hong melihatnya kemarin.
"Nona Toan." kata Pat-pi Mo-ko kepada Kim Hong yang sedang menduga-duga apa yang harus dilakukannya kali ini. "Engkau tahu sendiri bahwa Bu Kok Siang itu adalah seorang jagoan dari Thian-cin dan dia sudah berani menentangku. Lebih dari itu, dia berani menghinamu yang membantuku, berarti dia telah menghinaku juga. Untuk itu saja dia sudah pantas dibunuh! Akan tetapi, mengingat bahwa engkau yang paling dihinanya dengan makian-makiannya, maka aku serahkan dia kepadamu. Kalau dia bisa mengalahkan engkau, biarlah dia boleh pergi dengan bebas. Sebaliknya tentu saja aku percaya penuh bahwa engkau akan dapat merobohkannya dan biarpun tidak sampai membunuhnya, setidaknya memberi hajaran yang layak kepadanya."
Tentu saja Kim Hong merasa terkejut sekali. Tak disangkanya bahwa ia akan diadu dengan Kok Siang! Dan ia bersama Kok Siang sudah terlanjur memperlihatkan sikap bermusuhan kemarin, maka alasan untuk menolak tidak ada sama sekali. Apa yang harus dilakukannya sekarang? Menolak tidak mungkin, dan tentu akan menimbulkan kecurigaan dan hal itu membahayakan ia dan juga Kok Siang.
Sementara itu, diam-diam Kok Siang juga terkejut. Pat-pi Mo-ko memberi isyarat kepada Siang-to Ngo-houw yang tinggal empat orang itu dan mereka lalu membuka belenggu pada kaki Kok Siang, kemudian bersama Pat-pi Mo-ko, mereka semua itu cepat meninggalkan ruangan itu yang segera pintunya ditutup dari luar. Mereka semua menonton dari luar, seperti nonton adu ayam atau lebih tepat lagi mengadu dua ekor singa berbahaya sehingga para penonton berdiri di luar kerangkeng. Memang tadinya Kim Hong bermaksud untuk mengajak Kok Siang memberontak dan bersama-sama menerjang begitu kakinya dibebaskan. Akan tetapi, pemuda itu tidak memberi reaksi dan iapun mengeluh. Kalau Thian Sin yang menjadi Kok Siang pada saat itu, dengan pandang mata saja ia dapat memberi isyarat dan menerimanya pula. Akan tetapi Kok Siang agaknya tidak mengerti akan isyarat pandang matanya dan pemuda itu tentu akan terlambat kalau harus diteriakinya lebih dulu. Kalau sampai pemuda itu dirobohkan lebih dulu oleh mereka dan tertawan kembali, apa artinya ia memberontak? Saat yang baik belum tiba dan Kim Hong hanya dapat memandang dengan menyesal ketika melihat Pat-pi Mo-ko dan para pembantunya keluar dari ruangan itu dan berdiri di luar pintu, menonton dari balik jeruji pintu dan jendelia. Terpaksa ia lalu membalikkan tubuhnya menghadapi Kok Siang. Karena ia berdiri membelakangi mereka, ia berani mengedipkan mata kepada Kok Siang, tanda bahwa ia mengajak pemada itu untuk bersandiwara. Kok Siang tidak memperlihatkan tanda bahwa dia mengerti, tetapi dia tertawa mengejek.
"Ha-ha-ha, pendekar wanita yang berobah menjadi penjahat wanita kaki tangan para iblis jahat kini datang untuk membunuh bekas teman sendiri! Bagus, majulah. Aku memang ingin memberi beberapa kali tamparan padamu. Kim Hong!"
"Kok Siang manusia sombong! Siapa takut kepadamu? Lihat, aku akan menghadapimu dengan kedua tangan kosong saja!" Dengan sikap memandang rendah Kim Hong melepaskan sarung pedangnya dan melempar sarung berikut sepasang pedang hitamnya itu ke atas lantai, di sehelah dalam, jauh dari pintu dan jendela. Setelah membuat gerakan ini, tanpa menanti reaksi dari Kok Siang yang tidak mengerti maksudnya, ia sudah menerjang ke depan dan menyerang Kok Siang dengan pukulan cepat dan dahsyat.
"Hemm...!" Kok Siang cepat mengelak. Kim Hong menyerang terus bertubi-tubi, sengaja mendesak pemuda itu sehingga Kok Siang terus berloncatan mundur menjauhi pintu. Agaknya pemuda inipun cerdik untak melihat keinginan Kim Hong mendesaknya agar mereka dapat menjauhi mereka dan pada saat Kim Hong menyerang dengan tubuh membelakangi mereka, gadis itu berbisik lembut sekali sambil mengerahkan sin-kang sehingga gerakan kedua tangannya mendatangkan suara bersuitan menutupi suara bisikannya.
"Aku mengalah, kau robohkan dengan totokan..."
Tentu saja Kok Siang terkejut mendenger ini. Dia mengalahkan Toan Kim Hong? Tentu saja kalau hanya bersandiwara bisa saja dia menang, akan tetapi apa maksudnya? Apa baiknya kalau dia menang dan dapat menotok roboh gadis ini?
"Kita siap memberontak..." Kim Hong menambahkan. "Totok kin-ceng-hiat..."
Kim Hong mendesak lagi dan tidak mengeluarkan kata-kata karena tahu betapa bahayanya hal itu. Orang selihai Mo-ko akan dapat melihatnya atau menduganya, dan para pembantu iblis itupun bukan orang lemah. Akan tetapi ia merasa girang melihat pemuda itu akhirnya mengangguk ketika mengelak, tanda bahwa pemuda itu sudah maklum kini akan siasatnya.
Kim Hong memang sengaja mengeluarkan ilmu silat Hok-mo-kun (Ilmu Silat Penakluk Iblis) untuk mendesak Kok Siang. Pemuda ini kagum bukan main dan diapun berusaha untuk menahan serangan-serangan itu dengan seluruh kepandaiannya. Namun sia-sia belaka karena memang tingkatnya kalah jauh, dia terdesak terus dan dua kali dia terpelanting oleh sapuan kaki dan dorongan tangan kiri Kim Hong. Terdengar suara memuji girang dari luar pintu ketika pemuda itu dua kali terpelanting. Memang hal ini disengaja oleh Kim Hong sehingga ketika Kok Siang mengambil sepasang senjata Siang-koan-pit yang memang telah dikembalikan kepadanya dan diletakkan di dekat dia duduk tadi, maka hal ini sudahlah sewajarnya.
Kini Kok Siang mainkan senjatanya itu dengan dahsyat. Memang hebat sekali kim-pit dan gin-pit itu, dua batang alat tulis dari emas dan perak. Nampak gulungan sinar emas dan perak saling kejar dan bersilang-silang menyilaukan mata. Dua sinar itu semakin ganas saja dan kini Kim Hong nampak terdesak! Mereka yang nonton di luar memandang dengan penuh perhatian. Pat-pi Mo-ko mengerutkan alisnya yang tebal dan beberapa kali menggeleng kepala, seolah-olah merasa kecewa bahwa "jagonya" terdesak. Sesungguhnya dia sedang merasa keheranan sekali. Dia pernah menyaksikan gadis itu ketika melawan Sin-siang-to Tang Kin dan dia tahu bahwa tingkat kepandaian gadis itu tidak berada sebelah bawah tingkat Sin-siang-to. Padahal pemuda sasterawan itu, melihat gerakan-gerakannya, tidak mungkin lebih lihai dari pada Sin-siang-to. Apakah pemuda itu mempunyai kepandaian simpanan yang kedahsyatannya tidak nampak oleh mata? Apakah di dalam gerakan sepasang pit itu terkandung suatu kekuatan yang amat hehat?
"None Toan, cepat pergunakan pedangmu!" Bouw Kim Seng berteriak ketika melihat betapa hampir saja pelipis kanan nona itu terkena sambaran pit emas yang mematuk dari atas seperti paruh seekor rajawali. Sungguh berbahaya sekali serangan-serangan kedua pit itu.
Akan tetapi Kim Hong tidak mau mengambil sepasang pedangnya, biarpun ia semakin terdesak dengan hebat.
"Nona, pergunakan pedangmu! Apa engkau sengaja hendak membiarkan dirimu kalah?" Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng kini berteriak nyaring.
Sekalii ini agaknya Kim Hong menurut karena ia mengirim pukulan yang dahsyat, membuat lawannya terpaksa mundur dan kesempatan ini dipergunakan oleh Kim Hong untuk meloncat ke arah sepasang pedangnya. Akan tetapi karena letak pedangnya itu agak di belakang Kok Siang, terpaksa loncatannya itupun lewat dekat pemuda itu dan pada saat itu, secepat kilat pemuda itu mengirim serangan yang tiba-tiba. Kim Hong masih berusaha untuk menggulingkan tubuhnya yang sedang meloncat, akan tetapi sebuah totokan yang cepat sekali mengenai pundak kirinya dan jalan darah kin-ceng-hiat telah tertotok. Terdengar gadis itu mengeluh dan tubuhnya terguling roboh dan lemas tak mampu bergerak pula!
Mereka yang nonton di luar memandang dengan mata terbelalak. Pat-pi Mo-ko lalu berkata kepada ke empat Siang-to Ngo-houw, "Tangkap bocah itu!"
Empat orang bekas tokoh-tokoh Hwa-i Kai-pang ini segera memasuki ruangan itu setelah daun pintunya dibuka. Begitu mereka masuk, daun pintu ruangan itu ditutup kembali dari luar. Dengan kedua tangan masih memegang sepasang senjata pit, Kok Siang menghadapi empat orang itu. Empat orang itu masih merasa sakit hatinya karena seorang saudara mereka tewas. Biarpun tewasnya itu di tangan Mo-ko sendiri, akan tetapi yang menjadi sebabnya adalah Kim Hong. Gadis itu yang merobohkan saudara mereka itu dan Mo-ko terpaksa membunuhnya agar dia tidak sampai membocorkan rahasia. Kini, menerima perintah untuk menangkap Kok Siang, mereka maju dengan penuh semangat. Begitu menerjang, mereka berempat telah mainkan ilmu andalan mereka, yaitu Ngo-lian to-hoat (Ilmu Golok Lima Teratai).
Tingkat kepandaian empat orang pengeroyok ini rata-rata hanya sedikit di bawah tingkat Bu Kok Sing. Andaikata mereka maju satu demi satu, tentu Kok Siang akan dapat mengalahkan mereka semua. Akan tetapi, karena mereka kini maju bersama, dengan kerja sama yang amat baik, tentu saja mereka itu merupakan lawan yang terlampau berat bagi Kok Siang. Sebentar saja Kok Siang terdesak hebat dan hanya mampu melindungi dirinya dengan putaran kedua senjatanya yang terlampau kecil dan pendek, juga terlampau ringan untuk menghadapi pengeroyokan delapan buah golok itu. Agaknya, keempat Siang-to Ngo-houw itu bernafsu sekali untuk merobohkan Kok Siang, kalau perlu dengan melukai berat atau membunuh sekalipun.
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan tubuh Kim Hong yang tadinya menggeletak di atas tanah itu mencelat ke atas dan sekali bergerak, ia sudah menyambar sepasang pedangnya dan nampaklah sinar hitam berkelebatan dan dua orang di antara Siang-to Ngo-houw roboh mandi darah dan tewas seketika karena dada mereka tertembus pedang! Kok Siang yang sudah tahu atau sudah dapat menduga akan hal ini, menjadi bersemangat dan sepasang pitnya juga bergerak cepat merobohkah seorang pengeroyok. Tinggal seorang lagi yang tidak dapat menahan serangan berikutnya dari Kim Hong. Robohlah dia dan empat orang itu kini menggeletak dan tewas!
Tentu saja semua orang yang berada di luar ruangan itu terkejut, kecuali Pat-pi Mo-ko yang agaknya memang sudah setengah menduga akan hal ini. Karena itulah maka tadi dia hanya menyuruh empat orang Siang-to Ngo-houw untak menangkap Kok Siang, membiarkan mereka lalu menutupkan kembali pintu ruangan. Dia telah mengorbankan empat orang pembantunya itu untuk membuka rahasia Kim Hong. Dan hal ini bukan tanpa sebab. Mo-ko maklum bahwa setelah dia membunuh seorang di antara Siang-to Ngo-houw, membunuh secara terpaksa untuk menutup mulutnya, tentu empat orang yang lain diam-diam merasa menyesal dan tidak suka kepadanya. Maka, dia mengorbankan empat orang itu dan sekaligus diapun berhasil membuka rahasia Kim Hong yang tadi berpura-pura roboh oleh Kok Siang! Kekalahan Kim Hong oleh Kok Siang tidak dapat diterima begitu saja oleh kakek iblis yang amat cerdik ini, maka dia tidak mau bersikap lengah. Dan melihat betapa Kok Siang memperoleh kemenangan itu, biarpun ada kemungkinan kecil bahwa memang Kim Hong yang lengah sehingga roboh tertotok, Mo-ko lalu menyuruh empat orang pembantunya itu untuk mengeroyoknya. Kalau Kim Hong tidak berpura-pura, berarti memang Kok Siang merupakan lawan yang tangguh dan perlu dilenyapkan seketika. Sedangkan kalau Kim Hong berpura-pura, tentu gadis sakti itu akan turun tangan dan tidak membiarkan Kok Siang celaka dan kalau hal ini terjadi, paling-paling dia hanya akan kehilangan empat orang pembantunya yang sudah tidak dipercayanya lagi itu karena dugaan bahwa mereka mendendam kepadanya karena kematian seorang saudara mereka. Dengan demikian, dapat diketahui betapa licik dan matangnya siasat Mo-ko yang telah memperhitungkan dengan cermat segala tindakannya.
Memang benar kecurigaannya itu terhadap Kim Hong. Gadis ini memang bersandiwara, dibantu oleh Kok Siang yang dapat menangkap keinginan gadis yang luar biasa ini. Ketika melihat kesempatan terbuka, Kok Siang menotok jalan darah di pundak gadis itu seperti yang dimintanya tadi. Dia tahu bahwa totokannya itu cukup hebat dan akan membuat lawan pingsan dan lemas tak mampu bergerak sampai sedikitnya setengah jam. Akan tetapi diapun dapat menduga bahwa kalau Kim Hong menyuruh dia menotok jalan darah itu, tentu gadis yang lihai itu sudah mempunyai akal untuk menahan totokan ini.
Akan tetapi, sungguh sama sekali di luar perhitungan Kim Hong bahwa Mo-ko tidak maju sendiri memasuki ruangan, bahkan menyuruh empat orang Siang-to Ngo-houw yang masuk dan pintu ruangan itu ditutup kembali. Tak disangkanya bahwa Mo-ko secerdik itu. Tadinya, Kim Hong ingin melanjutkan sandiwaranya dan pura-pura pingsan, menanti sampai terbuka kesempatan unjuk dapat meloloskan diri dari situ bersama-sama Kok Siang. Akan tetapi, teryata Kok Siang tidak dapat menandingi keempat orang pengeroyoknya dan melihat bahaya mengancam diri Kok Siang, tentu saja Kim Hong tidak dapat tinggal diam saja membiarkan pemuda itu tewas dalam pengeroyokan. Maka secara terpaksa iapun menghentikan permainan sandiwaranya dan meloncat menyambar Hok-mo Siang-kiam, dan merabohkan tiga di antara empat pengeroyok itu, sedangkan yang seorang lagi dirobohkan oleh Kok Siang.
"Bu-twako, mari serbu keluar!" Kim Hong berteriak setelah mereka berhasil merobohkan empat orang lawan itu. Akan tetapi terlambat sudah. Dari luar, Mo-ko sudah menggerakkan alat rshasia dan itu pula menunjukkan betapa cerdiknya penjahat besar ini. Dia memang sudah sejak pertama kalinya mengatur sehingga peristiwa diadunya Kok Siang dengan Kim Hong itu terjadi dalam sebuah ruangan yang mengandung alat rahasia jebakan berbahaya!
Ketika Kim Hong dan Kok Siang hendak menyerbu ke pintu yang sudah tertutup itu, tiba-tiba saja terdengar angin menyambar dari empat penjuru dan ada anak panah yang banyak sekali jumlahnya menyambar-nyambar ke arah mereka. Tentu saja Kim Hong dan Kok Siang cepat menggunakan senjata mereka untuk melindungi tubuh. Akan tetapi, mendadak lantai yang mereka injak itu bergeser dengan cepatnya, terpisah menjadi dua dan dengan cepat tertarik ke kanan kiri memasuki dinding ruangan. Tentu saja tubuh kedua orang itu terjatuh ke bawah! Kiranya, penyerangan anak panah yang banyak tadipun hanya merupakan siasat untuk mengalihkan perhatian mereka yang terjebak sehingga ketika lantai bergeser, mereka kurang perhatian dan baru sadar setelah terlambat. Betapapun pandainya Kim Hong, sekali ini iapun tidak berdaya dan bersama dengan Kok Siang, tubuhnya terjatuh ke bawah.
"Byuurrr...! Byuuurrrr...!" Dan mereka berdua terjatuh ke dalam air yang dingin dan dalam!
"Mo-ko...! Peta aseli itu berada pada kami...!"
Itulah suara Kok Siang yang kemudian ditelan oleh suara air karena pemuda ini tidak pandai renang. Kim Hong dapat renang walaupun tidak begitu pandai, maka ketika dalam kegelapan itu ia berusaha menolong Kok Siang, pemuda ini dalam kepanikannya memeluknya sehingga keduanya tak dapat dihindarkan lagi tenggelam ke dalam air yang dalam itu!
***
Ketika Thian Sin mendengar berita dari In Bwee tentang tertawannya Kim Hong dan Kok Siang oleh Pat-pi Mo-ko yang menggunakan pasukan pemerintah dan agaknya dibantu oleh Jaksa Phang, diam-diam dia merasa tekejut bukan main. Kalau sampai Pat-pi Mo-ko mampu menjebak dan menawan Kim Hong dan Kok Siang, hal itu berarti bahwa Pat-pi Mo-ko merupakan lawan yang jauh lebih tangguh dan berbahaya dari pada yang dikiranya semula. Apa lagi setelah dia tahu bahwa kepala penjahat itu bersekongkol dan dibantu oleh jaksa yang memimpin pasukan penjaga keamanan yang kuat! Sungguh merupakan lawan yang tak boleh dipandang ringan.
Diapun cepat menghilang ke dalam kegelapan malam dan sebentar saja dia telah berada di halaman sebelah belakang kompleks gedung Phang-taijin. Gedung-gedung besar itu merupakan tempat tinggal, juga kantor dan tempat-tempat tahanan. Biarpun tidak jelas benar, dia sudah memperoleh gambaran tentang kompleks perumahan jaksa ini. In Bwee sendiri tidak hafal dan tidak mengenal betul tempat ini, akan tetapi mengetahui di mana kekasihnya ditawan, sudah cukup bagi Thian Sin. Dengan kepandaiannya yang tinggi, mudah saja baginya untuk menyelidiki. Demikianlah pikirnya. Akan tetapi ketika tiba di tempat itu, diam-diam dia terkejut. Tempat itu dijaga dengan ketat sekali! Bahkan di atas genteng-genteng ditaruh penjaga sehingga seekor kucing sekalipun yang memasuki kompleks itu tentu akan ketahuan oleh para penjaga!
Thian Sin maklum bahwa kalau sampat dia sendiri gagal dan tertawan, akan habislah riwayat mereka berdua! Dia harus berlaku hati-hati sekali. Ketika dia melihat sebuah kereta memasuki halaman depan dan ternyata yang keluar dari kereta itu adalah Su Tong Hak, dia memperoleh akal yang baik sekali. Kiranya Su Tong Hak, paman dari petani Ciang Kim Su, adalah seorang yang curang dan telah mengkhianati keluarganya sendiri. Hadirnya Su Tong Hak di situ menjelaskan banyak hal baginya. Tentu pencurian peta, lenyapnya Ciang Kim Su, merupakan akibat dari pada persekongkolan pedagang itu dengan Pat-pi Mo-ko! Tahulah dia bahwa dari orang ini dia dapat memperoleh banyak keterangan. Maka dengan kecepatan kilat, sebelum orang itu memasuki pintu gerbang, dia menyelinap dan dengan gerakan kilat, dia sudah dapat menyambar tubuh pedagang itu yang tidak sempat berteriak karena urat gagunya telah dicengkeram oleh Thian Sin. Pendekar Sadis ini membawanya agak menjauh, ke tempat gelap dan membawanya loncat ke atas pohon yang tinggi.
Tentu saja Su Tong Hak terkejut setengah mati, apa lagi ketika dia dapat melihat wajah orang yang menangkapnya itu, yang dikenalnya sebagai pemuda yang diutus oleh kakak iparnya, Ciang Gun, dan yang telah didengarnya dari Pat-pi Mo-ko sebagai Pendekar Sadis! Tubuhnya menggigil dan dia hampir pingsan saking takutnya, apa lagi ketika dia dibawa ke atas pohon yang tinggi itu. Akan tetapi, di dalam pikiran pedagang yang cerdik ini, di samping rasa takutnya, muncul pula sebuah harapan baru. Pada beberapa hari terakhir ini dia selalu gelisah, makan tak enak dan tidur tidak nyenyak, memikirkan perobahan sikap dari Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng terhadap dirinya. Dia bahkan mempunyai perasaan yang amat mengerikan, yaitu bahwa kalau semua ini telah selesai, bukan saja dia tidak akan diberi apa-apa oleh penjahat itu, bahkan mungkin untuk menutup rahasia, dia akan dibunuh, seperti yang telah dilakukan terhadap Louw siucai! Kini, melihat munculnya Pendekar Sadis, satu-satunya lawan yang tangguh dan agaknya ditakuti oleh Mo-ko, timbul pikiran yang amat baik. Mengapa dia tidak bekerja sama dan berlindung kepada yang kuat? Yang penting adalah menyelamatkan diri, dan tentu saja mendapatkan harta karun Jenghis Khan itu.
"Su Tong Hak, kiranya engkau adalah komplotan Pat-pi Mo-ko. Nah, sekarang engkau harus menjelaskan segalanya kalau tidak ingin kucekik mampus dan kulemparkan dari atas pohon ini!" Thian Sin mengancam dengan suara mendesis.
"Taihiap... ampunkan saya, kebetulan sekali kita bertemu di sini. Kita dapat saling membantu, taihiap. Jangan mengira bahwa saya komplotan mereka, bahkan nyawa saya terancam..."
"Huh, siapa percaya omonganmu? Jangan mencoba untuk membujuk atau menipu, karena sebelum kubasmi mereka, engkau akan kubunuh lebih dulu dengan penyiksaan yang akan membuat engkau menyesal telah dilahirkan di dunia ini."
"Taihiap... sungguh, percayalah padaku. Memang, tadinya aku sekutu Mo-ko. Akan tetapi sekarang dia berobah, dia tentu akan menguasai seluruh harta dan kemudian membunuhku. Taihiap, aku tahu bahwa pendekar wanita sahabatmu itu telah tertawan. Mari kita bekerja sama. Aku akan membantuanu agar engkau dapat menolong sahabat-sahabatmu itu. Dan sebagai gantinya..."
"Sebagai gentinya apa? Orang she Su, ingat, engkaulah yang menjadi tawananku dan kalau aku menghendaki, sekali lempar engkau akan jatuh dan remuk. Bukan engkau yang mengajukan syarat, melainkan aku!"
"Ampun... ah, tentu saja, taihiap... akan tetapi, saya hanya minta agar dilindungi terhadap ancaman mereka. Saya mau membantumu dan... dan memperoleh bagian atas harta pusaka itu..."
Kalau menurutkan perasaan hatinya, ingin Thian Sin melemparkan pedagang yang loba ini ke bawah. Akan tetapi, dia membutuhkannya, maka ditekannya perasaan muak dan marahnya. "Nah, baiklah. Aku ingin menolong mereka yang tertawan. Bagaimana engkau dapat menyelundupkan aku ke dalam?"
"Dengan menyamar sebagai perajurit penjaga atau sebagai pengawalku." jawab pedagang yang cukup cerdik itu.
Akhirnya, Thian Sin, dengan sedikit penyamaran pada wajahnya, berhasil memasuki kompleks kejaksaan itu bersama dengan Su Tong Hak dan setelah memperoleh keterangan lengkap dari pedagang itu tentang keadaan di dalam, tentang jalan-jalan rahasianya, Thian Sin lalu membekuk seorang penjaga, menelikungnya dan menyumbat mulutnya lalu menyembunyikannya di tempat gelap, kemudian melucuti pakaiannya. Dia lalu menyamar sebagai seorang perajurit dan dengan mudahnya dia lalu menggunakan pengetahuannya tentang keadaan di tempat itu untuk melakukan penyelidikan ke dalam.
Ketika Thian Sin berhasil mencampurkan diri dengan para penjaga di tempat gelap dan ikut mengurung ruangan tahanan di mana kekasihnya ditawan, kedatangannya tepat pada saat Kim Hong berkelahi dengan Kok Siang. Tentu saja ia terkejut sekali melihat mereka itu saling serang sendiri. Akan tetapi, begitu dia melihat para penjahat di luar pintu dan jendela berjeruji sebagai penonton, dan melihat gerakan-gerakan kekasihnya yang membuat die maklum bahwa Kim Hong sengaja mengalah terhadap Kok Siang. Tahulah pendekar yang cerdik ini bahwa dua orang itu sengaja diadu oleh pihak penjahat dengah maksud menguji. Dia sudah mendapatkan keterangan dari Su Tong Hak tadi bahwa Kim Hong telah menyerah dan taluk, bahkan telah membantu Pat-pi Mo-ko untuk membasmi Sin-siang-to Tang Kin dan anak buahnya yang menjadi saingan. Mendengar ini, pendekar itu tidak merasa heran dan dapat menduga bahwa tentu di balik penyerahan diri dari kekasihnya ini ada suatu pamrih yang merupakan siasat tertentu. Entah karena terpaksa atau tentu ada hal lain. Dan kini, melihat betapa kekasihnya mengalah terhadap Kok Siang, diapun dapat menduga bahwa mereka berdua itu tentu sedang bersandiwara. Tentu saja kedua tangannya sudah gatal-gatal untuk menyerbu para tokoh penjahat ini dan monolong mereka berdua yang diadu seperti binatang. Akan tetapi diapun cukup cerdik untuk melihat kenyataan bahwa kalau dia menyerbu, keadaan dua orang kawannya itu malah terancam bahaya. Selain para tokoh sesat yang dia tahu memiliki ilmu kepandaian tinggi, terutama Pat-pi Mo-ko, juga tempat itu dikurung oleh pasukan pemerintah dan anak buah penjahat. Maka diapun hanya ikut menonton dan mencari kesempatan. Dia tahu bahwa kalau Kim Hong dan Kok Siang masih ditahan, bahkan diadu, tentu ada maksud-maksud tertentu dari Pat-pi Mo-ko. Kalau kedua orang itu tidak dibutuhkan, tentu sudah dibunuh oleh pihak penjahat. Keyakinan akan hal ini membuat Thian Sin bersabar menanti, walaupun hatinya terasa tegang dan khawatir sekali.
Ketika dia melihat Kim Hong roboh tertotok oleh pit di tangan Kok Siang, Thian Sin mengepal tinju. Dia maklum bahwa Kim Hong memiliki ilmu memindahkan jalan darah sehingga totokan yang nampaknya tepat sekali itu tentu dapat diterimanya tanpa membuat tubuhnya menjadi lemas atau lumpuh. Akan tetapi dia tahu jelas bahwa itu hanya merupakan gerakan pura-pura belaka. Bagi orang lain mungkin akan tertipu, akan tetapi mungkinkah seorang tokoh jahat seperti Pat-pi Mo-ko dapat ditipu sedemikian mudahnya? Dan permainan apakah yang sedang dimainkan oleh Kim Hong dan Kok Siang? Dia tidak berani lancang turun tangan, khawatir kalau-kalau malah akan mengacaukan rencana kedua orang itu yang agaknya sudah diatur lebih dulu dan dilaksanakan dengan baiknya.
Ketika kakek tinggi besar muka hitam memerintahkan empat orang sisa Siang-to Ngo-houw untuk menangkap Kok Siang dan melihat mereka memasuki ruangan dan pintunya ditutupkan kembali, Thian Sin mengerutkan alisnya. Kalau dia tidak keliru perhitungan, agaknya kekasihnya itu merencanakan pemberontakan bersama Kok Siang, dengan pura-pura berkelahi sungguh-sungguh dan membiarkan ia kelihatan kalah. Akan tetapi, dia merasa sangsi apakah akal itu akan berhasil melihat betapa empat orang Siang-to Ngo-houw saja yang disuruh masuk dan pintu besi itu ditutup kembali. Dia melihat kebenaran dugaannya ketika Kim Hong "bangkit" dari keadaan tertotok tadi dan bersama dengan Kok Siang merobohkan empat orang lawannya. Thian Sin kini merasa yakin bahwa dugaannya benar, bahwa kekasihnya bersama Kok Siang hendak melakukan penyerbuan keluar untuk meloloskan diri. Akan tetapi, baru saja dia hendak turun tangan membantu, tiba-tiba kakek hitam tinggi besar sudah menggerakkan alat rahasia dan Thian Sin sempat melihat kekasihnya dan Kok Siang terjatuh ke bawah karena lantai ruangan itu bergeser cepat ke kanan kiri. Dia hendak meloncat, akan tetapi tiba-tiba didengarnya teriakan Kok Siang "Mo-ko! Peta aseli itu berada pada kami!"
Thian Sin menahan gerakannya. Dia tahu bahwa kalau dia mengamuk sekalipun, dia tidak keburu menolong dua orang itu lagi, yang agaknya terjatuh ke dalam air di bawah ruangan rahasia itu. Dan teriakan Kok Siang itu ternyata amat berpengaruh. Dia melihat kakek hitam tinggi besar yang kini diduganya tentu Pat-pi Mo-ko adanya nampak gugup.
"Cepat...! Selamatkan mereka. Tawan mereka, jangan sampai mereka itu tewas dalam air!"
Perintah dari tokoh jahat ini membuat hati Thian Sin terasa lega dan diapun tidak mau lancang turun tangan, yang tidak banyak artinya untuk dapat menyelamatkan kekasihnya dan Kok Siang. Maka diapun hanya berjaga-jaga karena melihat para perajurit lain juga melakukan penjagaan ketat menerima perintah dari komandan mereka. Ketika komandan pasukan mengumpulkan pasukannya untuk melakukan pemeriksaan, dengan menggunakan kepandaiannya, Thian Sin menyelinap pergi dan diapun mendapatkan sebuah tempat persembunyian di dalam gudang barang lapuk di belakang. Tempat inipun adalah tempat sembunyi yang ditunjukkan oleh Su Tong Hak baginya, di mana dia dapat menyembunyikan dirinya.
Sementara itu, dalam keadaan lemas dan setengah pingsan, Kim Hong dan Kok Siang tertawan lagi. Ketika mereka sadar, keduanya mendapatkan diri mereka sudah terbelenggu lagi di atas dipan, dalam keadaan terlentang dan kaki tangan mereka dibelenggu dengan rantai baja yang kuat. Pakaian mereka masih basah, juga rambut mereka. Di dalam ruangan itu nampak Pat-pi Mo-ko duduk bersama dengan Hai-pa-cu Can Hoa, Tiat-ciang Lui Cai Ko, Su Tong Hak dan di luar kamar itu nampak penjagaan yang ketat, oleh pasukan penjaga.
Wajah kakek berkulit hitam itu nampak berseri dan sepasang matanya berkilat-kilat ketika dia memandang kepada dua orang tawanan yang mulai siuman itu. Kemudian dia menghampiri Kok Siang dan melihat pemuda itu membuka mata, mengejap-ngejapkan matanya kemudian memandangnya dan wajah yang tampan itu nampak pucat akan tetapi sadar sepenuhnya.
"Selamat hidup kembali, Im-yang Siang-pit Bu Siucai!" kata Pat-pi Mo-ko dengan suara lantang. "Engkau tahu, apa yang menyebabkan kami menyelamatkan kalian dari bahaya tewas tenggelam dalam air. Nah, Bu Siucai, sekarang ceriterakanlah kepada kami tentang peta aseli itu!"
"Kalau aku menceriterakannya, engkau akan membebaskan kami berdua, Mo-ko?" tanya Kok Siang, suaranya meragu karena sesungguhnya dia tidak percaya kalau penjahat ini mau membebaskan mereka.
"Tentu saja! Bukankah kami juga sudah menyelamatkan kalian dari kematian baru saja ini? Ceritakan dengan sesungguhnya tentang peta itu dan kami akan membebaskan kalian. Kami sesungguhnya tidak bermaksud memusuhi kalian. Bukankah kami telah menawarkan kerjasama dengan sebaiknya kepada nona Toan? Sayang, ia mengkhianati kami. Akan tetapi, kami akan melupakan semua itu kalau kalian suka menceritakan tentang peta sehingga kami dapat memperolehnya."
"Dia bohong, Bu-twako. Jangan percaya omongannya!" tiba-tiba Kim Hong berkata.
"Hemm, yang membohong adalah engkau, nona Toan. Kami dengan sungguh-sungguh menarikmu sebagai kawan, akan tetapi engkau malah mengkhianati kami, membunuh empat orang sisa Siong-te Ngo-houw yang menjadi pembantu-pembantu kami. Dan engkau pura-pura kalah ketika melawan Bu Siucai, apa disangka kami tidak tahu?"
"Mo-ko, engkaupun menipuku. Pura-pura mengulurkan tangan bekerja sama, akan tetapi begitu aku memasuki ruangan itu dan pintu dikunci dan kalian menonton di luar, aku tahu bahwa kalian hanya menipuku. Apa kaukira aku juga begitu bodoh untuk tidak melihat siasatmu? Bu-twako, jangan ceritakan apa-apa!"
Wajah Pat-pi Mo-ko yang hitam itu menjadi semakin hitam karena darah telah naik ke mukanya karena marah. "Bocah she Bu! Kalau engkau menuruti kata-kata perempuan ini, apakah engkau lebih sayang peta dari pada nyawamu? Aku tidak akan ragu-ragu untuk membunuhtmu!"
"Bu-twako, jangan percaya omongannya! Dia tidak akan membunuh kita karena peta itu masih ada pada kita! Peta itulah satu-satunya gantungan hidup kita saat ini!" kata pula Kim Hong.
Kok Siang tertawa. "Ha-ha-ha, engkau benar juga, nona Toan. Heii, Mo-ko, apa kaukira kami begitu bodoh? Kalau aku menyerahkan peta, tentu engkau akan segera membunuh kami! Tidak, aku tidak tahu apa-apa tentang peta, aku sudah lupa lagi, ha-ha!"
Pat-pi Mo-ko adalah seorang yang sudah kenyang akan asam garam di dunia kang-ouw maka diapun tahulah bahwa tidak ada gunanya untuk menggertak dua orang muda ini lagi.
"Bagus, katakanlah bahwa pendapat kalian benar. Aku tidak dapat membunuh kalian, akan tetapi jangan mengira bahwa aku tidak dapat memaksa kalian bicara. Ada hal-hal lain yang lebih hebat dari kematian!" Dia lalu menghampiri dipan di mana Kim Hong menggeletak terlentang dengan kaki dan tangan dibelenggu rantai besi. "Bu-siucai, hendak kulihat apakah engkau tetap hendak menutup mulut kalau melihat gadis ini diperkosa dan dihina di depan matamu!" Lalu jari-jari tangannya bergerak ke depan.
"Breeetttt...!" Terdengor kain robek dan pakaian luar yang menutup tubuh Kim Hong terkoyak-koyak oleh jari-jari tangan yang hitam besar dan kuat itu. Nampaklah kulit tubuh yang putih mulus di balik pakaian dalam yang tipis!
Akan tetapi, demikian hebatnya kekuatan dalam yang dikuasai oleh Kim Hong sehingga tidak ada segarispun uratnya bergerak. Ia hanya memejamkan matanya dan wajahnya tidak memperlihatkan perobahan apapun! Tidak demikian dengan Kok Siang yang menoleh dengan mata terbelalak dan muka pucat. Dia melihat tubuh pendekar wanita itu, yang kini terancam bahaya yang amat hebat.
"Siapa di antara kalian yang man menikmati tubuh wanita ini?" teriak Pat-pi Mo-ko keluar, ke arah para penjaga. Tidak ada yang menjawab, akan tetapi belasan orang penjaga itu mendekat dengan mulut menyeringai dan muka merah. Mereka memandang ke arah tubuh itu dengan mata penuh gairah dan nafsu berahi! Thian Sin yang sudah berada di antara para penjaga itu mengepal tinju, akan tetapi wajahayapun tidak memperlihatkan tanda sesuatu.
"Masih belum mau bicara, Bu-siucai? Bagaimana kalau kubuka sedikit lagi?" Tangan itu kembali bergerak, terdengar kain robek dan kini penutup dada Kim Hung terbuka sama sekali. Tubuhnya bagian depan dari perut ke atas nampak! Gadis itu tetap memejamkan matanya dan wajahnya tetap biasa saja! Demikian hebat gadis ini sehingga dalam keadaan seperti itu, ia masih dapat bersikap tenang dan seolah-olah ia telah dapat mematikan rasa.
Kok Siang membuang muka dan mengeluarkan suara kutukan. "Demi Tuhan, Mo-ko, engkau bukan manusia! Jangan lanjutkan!"
"Ha-ha-ha, kalau engkau tidak mau mengaku tentang peta itu, aku akan menyuruh dua orang perajurit untuk memperkosanya di depan matamu, Bu-siucai!"
"Bu-toako, jangan dengarkan dia! Dia akan mampu menghina tubuhku, akan tetapi tidak dapat menjamah hatiku. Paling-palling aku mati, atau kalau tidak, hinaan ini tentu akan dibayarnya dengan bunga berlipat ganda! Jangan mengaku, karena sekali engkau mengaku, nyawa kita akan tidak ada harganya lagi!" demikiin Kim Hong berkata, suaranya tetap tenang, sama sekali tidak gemetar.
"Hemm, biarpun hatiku berat sekali rasanya, agaknya engkau benar, nona." jawab Kok Siang.
Pat-pi Mo-ko menjadi semakin marah. Dia sudah menggerakkan tangan lagi untuk merenggut penutup tubuh terakhir, akan tetapi tiba-tiba Su TOng Hak mendekatinya dan berbisik, "Pemuda itu tentu akan menyerah kalau melihat kekasihnya yang terancam!"
Mendengar ini, tiba-tiba Pat-pi Mo-ko tertawa. "Ha-ha-ha, engkau benar juga!" dan sambil tertawa-tawa kakek hitam tinggi besar itu lalu berlari keluar dari dalam ruangan itu. Tak lama kemudian dia sudah kembali sambil menarik tangan seorang gadis setengah menyeeretnya. Gadis itu bermuka pucat dan matanya merah bekas menangis, rambutnya dan pakaiannya kusut.
"Murid durhaka, lihat siapa itu, dan selamatkan nyawanya! Dia akan kubebaskan kalau dia mau mengaku tentang peta aseli!" kata Pat?pi Mo-ku sambil mendorong gadis itu ke depan, ke arah dipan di mana Kok Siang rebah terlentang.
"Siang-koko...!" Gadis itu menubruk, berlutut dan menangis di dekat dipan.
"Bwee-moi... engkaukah ini? Hemm, akhirnya engkau juga merasakan kekejaman iblis yang menjadi guru dan pamanmu sendiri?" kata Kok Siang sambil mengerutkan alisnya. In Bwee merangkulnya dan menangis di dada pemuda itu.
"Siang-koko... demi keselamatanmu, menyerah sajalah, katakanlah kepadanya tentang peta itu... ah, koko, kalau engkau mati, akupun tidak mau hidup lagi... berikanlah peta itu dan mari kita pergi berdua, tidak mencampuri urusan ini dan aku rela hidup melarat asal selalu bersamamu, koko..."
Gadis itu menangis dan Kim Hong mengerutkan alisnya. Ia tidak mencela gadis itu bahkan kagum akan cinta gadis itu terhadap Kok Siang. Akan tetapi gadis itu telah memperlihatkan kelemahannya dan hal ini merusak siasat mereka berdua yang hendak mempertahankan peta. Siapa tahu, demi cintanya kepada gadis itu, Kok Siang akhirnya akan menyerah dan kalau sudah begitu, percuma sajalah semua siasat mereka dan akhirnya mereka semua akan celaka!
"Huh, tolol!" Ia membentak. "Apakah kalau peta itu diberikan, iblis itu mau melepaskan kita bertiga? Jangan kira begitu enak, ya? Dia akan segera membunuh kita untuk menutup mulut seperti yang dilakukannya terhadap diri Ciang Kim Su dan juga Louw siucai!" Ia sengaja menyebut nama Louw siucai untuk membakar semangat Kok Siang. Dan ia berhasil. Kok Siang yang tadinya ragu-ragu melihat dan mendengar tangis kekasihnya, kini nampak bersinar-sinar matanya.
"Mo-ko, muslihat apapun yang kaulakukan, peta itu takkan kuberikan kepadamu!" teriak Kok Siang. "Bwee-moi, jangan kecil hati. Kita lawan iblis itu, kalau perlu dengan pengorbanan nyawa dari pada dia berhasil dan akhirnya kita dibunuhnya juga!"
"Keparat!" Pat-pi Mo-ko marah sekali dan dengan langkah lebar dia menghampiri muridnya dengan tangan kanan menyambar. Akan tetapi, dibangkitkan oleh kata-kata kekasihnya, In Bwee meloncat dan mengelak, lalu menyerang guru dan pamannya sendiri yang biasanya amat ditakutinya itu. Tentu saja kakek itu menjadi kaget dan marah sekali. Jelaslah baginya bahwa muridnya ini sekarang telah berpihak kepada musuh secara berterang. Dia telah menangkap muridnya, ketika mendengar laporan bahwa muridnya itu diam-diam pada malam buta mengunjungi Pendekar Sadis. Dia membayangi dan melihat muridnya bicara dengan Pendekar Sadis, maka murid itu pada waktu pulang lalu ditangkapnya dan dijadikan tawanan.
Kini, melihat In Bwee melawan, cepat diapun turun tangan dan tentu saja gadis itu bukan lawannya. Dalam beberapa gebrakan saja, dia telah berhasil merobohkan In Bwee dengan dua kali totokan, membuat gadis itu roboh dengan tubuh lemas dan tak mampu bangkit kembali, rebah miring dengan kaki dan tangan seperti lumpuh rasanya.
"Murid murtad! Biar kekasihmu melihat engkau diperkosa di depan matanya kalau begitu!"
Tiat-ciang Lai Cai Ko yang perutya gendut dan matanya juling, rambutnya riap-riapan itu segera maju dan menyeringai. "Heh-heh, twako, kalau memang gadis ini hendak diperkosa, serahkan saja kepadaku untuk melaksanakannya. Telah lama aku tergila-gila kepadanya, hanya karena mengingat dia itu muridmu maka aku tidak berani mengganggu. Sekarang, ia berkhianat dan berpihak kepada musuh, kalau memang mau diperkosa, biar aku yang..."
"Boleh, lakukanlah! Tapi di sini dan sekarang juga, biar kekasihnya dapat melihatnya!" kata kakek tinggi besar berkulit hitam itu.
Tiat-ciang Lui Cai Ko adalah seorang begal tunggal yang usuanya sudah empat puluh lima tahun, kejam dan sudah biasa dengan kekerasan. Dia sudah kebal perasaannya, tidak mengenal malu lagi maka biarpun di situ terdapat banyak orang yang menyaksikan, dia tidak malu-malu dan sambil tertawa bergelak dia maju menghampiri tubuh In Bwee yang menggeletak di atas lantai dengan lemas itu.
"Mo-ko, manusia iblis! Tega engkau terhadap murid dan keponakan sendiri?" Kok Siang berteriak-teriak.
"Brett...!" Sebagian dari baju In Bwee terkoyak dalam genggaman tangan Tiat-ciang Lui Cai Ko. Semua mata mereka yang hadir, juga para penjaga, terbelalak dan jantung mereka berdebar tegang membayangkan apa yang akan mereka saksikan di dalam ruangan itu. In Bwee sendiri yang tidak lagi mampu bergerak, hanya terbelalak seperti seekor kelinci yang berada dalam cengkeraman kuku harimau.
"Ha-ha-ha, engkau sungguh manis sekali. Aha, sungguh besar untungku malam ini!" Tiat-ciang Lui Cai Ko merangkul, meremas dan menciumi muka gadis itu yang hanya dapat mengeluh akan tetapi tidak mampu bergerak untuk melawan. Semua orang yang melihat adegan ini, terbelalak, ada yang menelan ludah, ada yang membuang muka, ada yang tertawa-tawa dengan mata melotot hampir keluar dari rongga matanya. Si Tangan Besi Lui Cai Ko adalah orang yang sudah kebal, tidak tahu malu sama sekali dan dia beraksi seolah-plah di tempat itu tidak ada orang lain. Tangannya meraih dan hendak menanggalkan sisa pakaian In Bwee.
"Tahan...!" Tiba-tiba Kok Siang berteriak, matanya terbelalak, mukanya pucat. "Mo-ko, aku mengaku...!"
Akan tetapi Tiat-ciang Lui Cai Ko seperti tidak mendengar ini dan hendak melanjutkan perbuatannya. Baru setelah Mo-ko sendiri melangkah dan menepuk pundaknya, dia berhenti dan memandang kecewa, akan tetapi tidak berani membantah.
"Tiat-ciang, kau mundurlah." kata Pat-pi Mo-ko. Tiat-ciang Lui Cai Ko bangkit dan mundur, matanya melotot ke arah Kok Siang, kelihatan kecewa, mendongkol dan marah. Daging yang sudah tersentuh bibir itu, sebelum dapat digigit dan dikunyah lalu ditelannya, telah direnggut orang dan terlepas!
Kim Mong mengerutkan alisnya, akan tetapi hanya dapat memandang kepada sasterawan muda itu. Habislah harapannya. Ia tahu bahwa Kok Siang dan In Bwee hanyalah orang biasa yang jalan pikiran dan perasaannya sudah tercetak sejak kecil sehigga sama dengan jalan pikiran dan perasaan umum pada waktu itu. Wanita diperkosa merupakan hal yang paling hebat bagi mereka, merupakan malapetaka yang tak dapat diperbaiki lagi, seperti kematian, bahkan dianggap lebih hebat dari pada kematian. Karena inilah maka Kok Siang tidak tahan mempertahankan ketika melihat kekasihnya hendak diperkosa di depan matanya. Betapa bodohnya. Apakah kalau pemuda itu sudah mengaku lalu In Bwee terbebas dari pada ancaman pemerkosaan atau pembunuhan?
"Mo-ko, aku mau mengaku tentang peta yang aseli, akan tetapt engkau harus berjanji bahwa engkau tidak akan membiarkan nona Toan dan In Bwee diperkosa orang. Kalau engkau tidak mau berjanji, biar apapun yang terjadi, jangan harap aku akan mau mengaku." kata Kok Siang dengan suara lantang.
"Baik, aku berjanji bahwa mereka berdua tidak akan diperkosa." kata Pat-pi Mo-ko dan wajahnya nampak berseri gembira sekali.
"Ingat, Mo-ko. Bagi seorang yang berkedudukan tinggi seperti engkau, biar hanya sebagai seorang datuk sesat, janji merupakan sumpah yang lebih berharga dari pada nyawa. Aku percaya bahwa engkau tidak akan melanggar janjimu itu, disaksikan oleh semua orang yang mendengarnya."
Wajah hitam itu semakin hitam dan sepasang mata itu mendelik. "Bu-siucai. Kaukira aku ini orang apa maka akan melanggar janji sendiri?"
"Bagus, kalau begitu aku akan mengaku dengan hati lapang. Dengarlah baik-baik. Aku adalah keponakan dari mendiang Louw Siucai."
Semua orang terkejut, terutama sekali Su Tong Hak dan Hai-pa-cu Can Hoa yang menjadi pelaksana dari pembunuhan terhadap Louw siucai. "Hemm, kiranya begitukah?" kata Pat-pi Mo-ko mengangguk-angguk dan dia dapat menduga apa yang telah terjadi "Lanjutkan ceritamu."
"Paman Louw melihat gelagat tidak baik ketika Su Tong Hak dan keponakannya datang minta diterjemahkannya peta itu. Paman sama sekali tidak menginginkan benda orang lain, akan tetapi dia tahu bahwa Su Tong Hak bukan manusia baik-baik dan bahwa keponakannya, pemuda dusun itu akan tertipu. Maka, diam-diam paman minta waktu sehari untuk menterjemahkannya dan menukar peta yang aseli itu dengan peta palsu. Petanya yang aseli disembunyikannya dengan maksud kelak akan dikembalikan kepada yang berhak. Akan tetapi, pemuda dusun itu lenyap. Paman menulis surat kepadaku dan memberi tahu tentang tempat peta aseli disembunyikan. Ternyata aku terlambat dan paman telah terbunuh oleh kaki tanganmu."
"Dan peta itu? Di mana...?" Pat-pi Mo-ko seolah-olah tidak mendengar cerita itu karena pikirannya segera terpusat kepada peta aseli.
"Di suatu tempat, di kebun rumah mendiang paman Louw."
"Katakan di mana agar kami dapat membuktikan kebenaran omonganmu! Kalau engkau membohong, tentu janjiku takkan berlaku dan aku akan menyuruh dua orang wanita ini diperkosa di depan matamu sampai keduanya mampus, sebelum engkau disiksa sampai mati pula!"
"Di kebun itu ada sebatang pobon tua dekat rumpun bambu, pada cabang yang ke tiga dari bawah terdapat lubang. Di situlah disimpannya peta itu, dalam peti kecil."
Mendengar ini, Pat-pi Mo-ko lain memerintahkan para pembantunya untuk melakukan pengajaan ketat. "Bunuh saja mereka ini kalau ada tanda-tanda mereka hendak memberontak. Juga kalau Pendekar Sadis berani muncul, bunuh mereka ini dengan alat rahasia dalam kamar!" Pesannya dengan suara lantang. Kemudian, dengan membawa pasukan penjaga yang lima puluh orang banyaknya, Pat-pi Mo-ko sendrii pergi menuju ke rumah Louw siucai di pinggiran kota raja untuk mencari peta seperti yang diceritakan oleh Bu Kok Siang itu.
Malam hari itu juga, Pat-pi Mo-ko datang kembali dengan kegirangan yang meluap-luap. Peta itu telah ditemukan! Dengan wajah berseri diapun memasuki ruangan tempat ditahannya tiga orang muda itu. Dia mengeluarkan peta yang aseli itu dan membebernya di depan Kok Siang dan Kim Hung yang memandang dengan mata berapi.
"Ha-ha-ha, sudah dapat olehku. Ha-ha-ha! Akhirnya harta pusaka itu, harta karun Jenghis Khan, terjatuh ke dalam tanganku!" Kakek hitam itu menyimpan kembali gulungan peta ke dalam tahuh, dan tiba-tiba dia berkata kepada dua orang pembantunya, yaitu Hai-pa-cu Can Hoa dan Tiat-ciang Liu Cai Ko, "Sekarang, kalian bunuh bocah she Bu dan gadis she Toan ini! Kalau tidak, mereka itu akan menjadi perintang saja!"
Tentu saja Kok Siang terkejut mendengar ini dan In Bwee yang sudah dapat bergerak itu menjerit dan menubruk kaki pamannya sambil menangis. "Paman, jangan bunuh dia... ah, jangan bunuh dia...!"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar