2 Harta Karun Jengis Khan

[1] [2] [3] [4] [5] [6]

"Apa... apa itu...?" Su Tong Hak bertanya, akan tetapi jelas bahwa dia terkejut sekali dan pura-pura tidak tahu karena matanya terbelalak dan wajahnya berobah ketika dia melihat kunci emas itu.

"Tentu paman pernah mendengar tentang ini. Kunci emas yang ada hubungannya dengan peta yang dibawa Ciang Kim Su. Nah, percayakah sekarang paman bahwa kami diutus oleh paman Ciang Gun? Ceritakanlah di mana adanya Ciang Kim Su."

"Baik, baik... akan tetapi aku tidak tahu ke mana perginya anak itu. Baiklah kuceritakan dari awal, setahun yang lalu..." Pedagang ini setelah melihat kunci emas, lenyap keangkuhannya dan agaknya ingin sekali bekerja sama, maka diapun lalu menceritakan penuturannya yang lain lagi dengan penuturan yang pernah didengar oleh dua orang pendekar itu dari mendiang Ban Lok. Cerita dari pedagang she Su ini lebih lengkap.

Menurut cerita itu, setahun lebih yang lalu Ciang Kim Su memang datang ke kota raja dan berhasil bertemu dengan pamannya, adik ibunya, yang telah menjadi seorang saudagar hasil bumi yang cukup berhasil. Setelah Kim Su menceritakan pamannya tentang dia dan ayahnya menemukan peta rahasia dan ingin mencari orang pandai yang dapat menerangkan isi peta itu, Su Tong Hak tertarik sekali.

"Untuk dapat menterjemahkan tulisan kuno itu, kita harus dapat bantuan seorang sasterawan yang pandai," kata Su Tong Hak. "Kebetulan sekali aku tahu akan seorang sasterawan tua yang kabarnya ahli dalam huruf-huruf kuno. Mari kita kunjungi Louw Siucai."

Louw Siucai adalah seorang siucai (gelar lulusan ujian negeri) yang miskin dan usianya sudah enam puluh tahun. Dia hidup menyendiri di tepi kota raja yang sunyi, tanpa keluarga karena isterinya telah meninggal dunia tanpa anak. Hidupnya amat sederhana dan setiap hari dia hanya termenung, baca kitab, menulis sajak dan mabuk-mabukan.

Ketika Su Tong Hak dan keponakannya datang berkunjung dan memperlihatkan peta itu sambil mohon pertolongan si sasterawan untuk menterjemahkan, Louw siucai meneliti peta itu dengan penuh perhatian. Wajahnya yang kurus itu berseri dan matanya bersinar-sinar.

"Ya Tuhan...!" Dia berseru. "Kalian telah menemukan sebuah benda yang tak ternilai harganya! Peta ini sudah ada seribu tahun usianya dan di sini terdapat tulisan tangan Sang Raja Besar Jenghis Khan!" Bagi sasterawan tua itu, yang dianggap tak ternilai harganya adalah kekunoan peta dan terutama sekali tulisan tangan Raja Besar Mongol yang pertama itu, pendiri dari dinasti Goan-tiauw.

AKAN tetapi, Su Tong Hak tidak tertanik akan kekunoan benda itu. "Apa isinya? Bagaimana bunyinya dan apa artinya peta ini?"

Mendengar pertanyaan yang membayangkan kehausan akan keuntungan besar ini, si sasterawan tua mengerutkan alisnya, memandang tajam lalu menarik napas panjang, kemudian menjawab dengan sebuah pertanyaan pula, "Dari manakah ji-wi bisa memperoleh benda yang amat langka ini?"

"Louw siucai, kedatangan kami ini adalah untuk minta bantuanmu membaca isi peta, dan untuk itu kami sanggup membayarmu. Tidak perlu kauhiraukan dari mana kami memperolehnya, yang penting bacalah dan apa isinya?" Suara saudagar itu terdengar tidak sabar dan marah.

Kembali sasterawan itu menarik napas panjang, kemudian menjawab dengan suara perlahan, didengarkan dengan penuh perhation oleh paman dan keponakan itu. "Tulisan tangan Raja Jenghis Khan ini dapat dengan mudah kubaca. Bunyinya begini : Harta karun ini milik Jenghis Khan yang maha besar, yang mengutus Yelu Kim untuk menyelidikinya. Nah, hanya tulisan inilah yang dapat kubaca. Untuk dapat membaca huruf-huruf di peta itu sendiri, membutuhkan waktu sedikitnya sehari semalam."

Su Tong Hak sudah kegirangan luar biasa mendengar kata "harta karun" tadi, dan dia meragu untuk meninggalkan peta itu. Akan tetapi keponakannya yang berasal dari dusun den kepercayaannya terhadap sesama manusia jauh lebih tebal dari pada orang kota yang sudah terlalu sering mengenal kepalsuan manusia, berkata, "Kalau memang membutuhkan waktu, biarlah kita tinggalkan peta itu di sini untuk sehari semalam. Besok kita datang lagi untuk mengambilnya."

"Tapi..." pamannya mencela.

"Biarlah, paman. Apa artinya peta ini kalau kita tidak tahu bagaimana bunyinya?"

Akhirnya Su Tong Hak mengalah den sambil memandang tajam kepada sasterawan itu dia berkata, "Louw siucai, ingat! Peta ini milik kami dan amat berharga. Kami menitipkannya kepadamu untuk sehari semalam, agar dapat kauterjemahkan. Akan kubayar berapa saja uang lelahmu. Akan tetapi hati-hati, jangan sampai dilihat atau terdengar orang lain. Apa lagi kalau sampai hilang, nyawamu gantinya!"

Sasterawan tua itu mengangguk-angguk dan memandang kepada Ciang Kim Su, lalu berkata lirih seperti kepada diri sendiri, "Orang muda dari dusun membawa benda seperti ini, betapa bahayanya..." Diam-diam sasterawan itu agaknya maklum bahwa peta itu adalah milik si pemuda, nampak dari sikap paman den keponakan tadi. Maka ditinggalkanlah peta itu oleh mereka kepada si sasterawan yang akan mempelajarinya selama sehari semalam.

Pada keesokan harinya, paman dan keponakan itu datang lagi ke rumah Louw siucai dan dengan girang mereka menerima kembali peta bersama terjemahannya. Dan ternyatalah bahwa peta itu merupakan peta yang menunjukkan tempat disimpannya harta karun Jenghis Khan atau harta karun kuno yang sudah seribu tahun lebih umurnya dan yang oleh Jenghis Khan ditemukan petanya. Kemudian kaisar itu mengutus seorang pembantunya bernama Yelu Kim untuk menyelidiki tempat rahasia itu.

"Agaknya, Yelu Kim itu gagal dalam usahanya dan mungkin peta itu terampas orang lain, kemudian lenyap dan tahu-tahu ditemukan oleh ji-wi." kata si sasterawan. "Akan tetapi peta ini tidak lengkap kalau tidak ada kuncinya."

"Kuncinya? Apa maksudmu?" Su Tong Hak bertanya.

"Kunci emas. Ada disebutkan di situ, sudah kuterjemahkan, bahwa untuk menemukan tempat rahasia itu harus dengan bantuan peta ini, akan tetapi untuk dapat masuk, harus menggunakan kunci emas. Tidak tahu apakah kunci emas itu juga ji-wi temukan?"

Su Tong Hak menoleh dan memandang kepada keponakannya. Tentu saja Ciang Kim Su tahu apa yang dimaksudkan dengan kunci emas itu, ialah benda yang ditemukannya bersama peta ini dan yang kini disimpan oleh ayahnya. Akan tetapi pemuda ini menggeleng kepala, tanda bahwa diapun tidak tahu.

Su Tong Hak meninggalkan uang yang cukup sebagai pembayaran jerih payah sasterawan Louw, kemudian mengajak keponakannya pulang. Sampai di rumah, mereka berdua lalu memeriksa terjemahan peta itu dan keduanya merasa girang sekali. Dengan jelas ditunjukkan pada peta itu bahwa tempat harta karun itu berada di suatu tempat, di satu di antara puncak-puncak Pegunungan Beng-san. Memang amat sukar didatangi dan kiranya takkan mungkin ditemukan tanpa bantuan peta itu!

Kim Su, apakah engkau dan ayahmu tidak menemukan kunci emasnya?" paman itu bertanya sambil memandang tajam kepada wajah keponakannya.

"Setahuku tidak, paman. Akan tetapi aku akan bertanya kepada ayah tentang itu."

"Baiklah, sekarang sebaiknya engkau pulang ke dusun dan membuat laporan kepada ayahmu tentang peta ini, dan sekilian kalian mencari kunci emas itu. Kalau belum kalian temukan, mungkin masih terpendam di tempat di mana kalian menemukan peta."

"Akan tetapi peta itu..."

"Sebaiknya kita bagi dua saja, Kim Su. Ingat, benda ini amat berharga dan kalau kaubawa semua, sungguh amat berbahaya bagimu. Biarlah kita potong menjadi dua bagian, kita masing-masing membawa sepotong. Kaubawa yang sepotong pulang ke dusun, kemudian bersama ayahmu mencari kunci emas itu. Kalau sudah ketemu, engkau ayah dan ibumu datanglah ke sini dan kita bersama akan pergi mencari harta karun itu. Semua biaya perjalanan mencarinya akan kutanggung."

Ciang Kim Su menyetujui pendapat ini dan demikianlah, peta itu dipotong menjadi dua dan mereka masing-masing menyimpan sepotong. Kemudian, pemuda dusun itu pulang ke dusun naik kuda pemberian pamannya dan membawa bekal secukupnya, jauh bedanya dengan keadaannya di waktu dia datang ke kota raja.

"Demikianlah apa yang telah terjadi," Su Tong Hak mengakhiri ceritanya yang didengarkan dengan penuh perhatian oleh Thian Sin dan Kim Hong.

"Lalu ke mana perginya Ciang Kim Su?" tanya Kini Hung. "Kenapa dia tidak pernah pulang ke dusun sehingga ayahnya mencarinya?"

Pedagang itu menggeleng kepala. "Aku tidak tahu aku sendiripun menanti-nantinya dan tidak pernah ada berita darinya."

"Hemm, sungguh aneh sekali." kata Thian Sin sambil mengerutkan alisnya dan diam-diam dia mengkhawatirkan nasib pemuda dusun itu. Paman pemuda itu, yang kini duduk di depannya, mempunyai sikap yang palsu dan patut dicurigai, maka di dalam hatinya, dia tidak mau percaya begitu saja akan apa yang diceritakan oleh pedagang itu."

"Dan paman masih memegang sepotong dari peta yang dibagi dua itu?" tanyanya.

Pedagang itu memandang tajam, alisnya berkerut. Lalu dia menggeleng kepala keras-keras. "Tidak lagi! Peta harts karun itu membawa malapetaka! Baru sebulan setelah Kim Su pergi, rumahku kemalingan dan selain uang dan barang berharga, juga potongan peta itu dicurinya."

"Bohong...!" Kim Hong berseru dengan marah. "Mungkin kaubunuh keponakanmu itu dan kaurampas potongan peta yang ada padanya!"

Thian Sin hendak mencegah namun sudah tidak keburu dan anehnya, pedagang itu tidak merasa takut, bahkan nampak marah dan bangkit dari duduknya sambil bertolak pinggang. "Apa kau bilang? Kalian datang membawa kunci emas dan mengaku utusan dari kakak iparku, datang-datang berani kau menuduhku yang bukan-bukan? Ah, jangan-jangan kalian inilah penjahat-penjahat yang telah membunuh keponakanku dan selain merampas kunci emas dari ayahnya, juga merampas sebagian peta itu dan kini datang untuk mendapatkan potongan lainnya dariku!"

Thian Sin bangkit menyabarkan kekasihnya lalu berkata kepada pedagang itu, "Paman Su, kami sungguh diutus oleh mendiang paman Ciang Gun..."

"Mendiang?"

"Ya, dia terbunuh oleh Liong-kut-pian Ban Lok dan kaki tangannya..."

"Ban Lok? Si keparat! Berani dia...!" Saudagar itu menahan kata-katanya seperti baru sadar bahwa sikapnya itu menunjukkan bahwa dia mengenal baik kepala penjahat itu. "Lalu... apa yang terjadi?" tanyanya, menahan rasa kagetnya.

"Sebelum meninggal, paman Ciang Gun menyerahkan kunci emas ini kepada kami dan memesan agar kami mencari puteranya di sini."

"Tapi peta itu..."

"Kami akan cari sampai dapat."

"Kalau sudah dapat?"

"Akan kami cari harta karun itu untuk kami serahkan kepada yang berhak."

"Akulah yang berhak. Akulah keluarga terdekat dari keluarga Ciang."

"Bukan engkau, akan tetapi Ciang Kim Su." Kata Kim Hong yang masih marah.

"Akan tetapi dia... dia telah mati!"

Tiba-tiba Thian Sin memegang lengan tangan pedagang itu. Pedagang itu meronta dan agaknya dia juga kuat dan menguasai ilmu silat sehingga dia berhasil melepaskan pegangan itu karena Thian Sin juga memegang secara biasa saja. "Bagaimana kau bisa tahu?" bentak Thian Sin yang belum mau memperlihatkan kepandaiannya.

"Ku... kurasa demikian, karena kalau dia masih hidup, di mana dia? Mengapa tidak memberi kabar kepadaku? Orang muda, marilah kita bekerja sama. Serahkan kunci emas itu kepadaku dan aku akan mengusahakan kembalinya peta dan..."

"Tidak! Kami akan mencari sendiri dan memenuhi pesan mendiang Ciang Gun yang telah menjadi korban, bersama isterinya pula dan putera tunggalnya juga masih belum ketahuan bagaimana nasibnya."

"Tapi... tanpa peta, apa gunanya kunci emas itu?"

"Kami akan mencarinya."

"Ke mana? Peta itu telah hilang."

"Bagaimana nanti sajalah. Akan tetapi, mungkin saja kita masih akan saling bertemu!" Setelah berkata denlikian, Thian Sin dan Kim Hong lalu meninggalkan pedagang itu yang masih memandang dengan bengong.

Setelah tiba di luar gedung itu, Thian Sin dan Kim Hong tentu saja tahu bahwa tak lama kemudian, ada tiga bayangan orang mengikuti mereka dari jauh. Mereka tidak merasa heran karena memang mereka sudah menduga bahwa Su Tong Hak bukanlah orang baik-baik dan tiga bayangan orang itu tentulah kaki tangan pedagang itu yang hendak memata-matai mereka. Mereka berpura-pura tidak tahu dan langsung kembali ke rumah penginapan mereka. Memang sesungguhnya kunjungan mereka kepada Su Tong Hak itupun hanya merupakan gerakan pancingan saja untuk memancing keluar kakap-kakap yang ada hubungannya dengan rahasia peta harta karun. Bagaimanapun juga, dua orang pendekar ini masih merasa ragu-ragu di mana adanya peta itu sekarang. Benarkah yang sepotong masih berada di tangan Kim Su yang lenyap tanpa meninggalkan jejak itu? Dan di mana adanya yang sepotong lagi? Mereka tahu bahwa tanpa peta itu, memang kunci emas tidak ada gunanya, sebaliknya, si pemegang petapun tidak akan berhasil tanpa memiliki kunci emas. Inilah sebabnya mengapa mereka menanti. Mereka merasa yakin bahwa dengan memegang kunci emas, akhirnya mereka pasti akan dicari oleh pemilik peta!

***

Mereka tidak usah menanti terlalu lama. Malam itu juga para penjahat telah mulai beraksi. Pada malam hari itu, karena maklum bahwa mereka menghadapi urusan besar dan ancaman bahayat, Thian Sin dan Kim Hong tidak tidur seranjang seperti biasanya. Di dalam kamar itu terdapat dua buah tempat tidur berdampingan, hanya terhalang sebuah meja kecil dan keduanya duduk bersila di atas pembaringan masing-masing. Menjelang tengah malam, tanpa mengeluarkan suara, Kim Hong meniup padam lampu penerangan yang terletak di atas meja dan kamar itupun menjadi gelap.

Lima bayangan orang berkelebat di atas genteng rumah penginapan itu. Gerakan mereka amat gesit, tanda bahwa mereka berlima telah memiliki gin-kang yang cukup tinggi. Bagaikan lima ekor kucing saja, mereka bergerak di atas genteng dan kemudian satu demi satu mereka melayang turun dari atas genteng. Ketika kaki mereka menginjak tanah, tidak terdengar suara sedikitpun. Mereka adalah lima orang laki-laki bertubuh kuat yang dipimpin oleh seorang yang tubuhnya jangkung. Di punggung mereka nampak terselip sepasang golok tipis yang kadang-kadang mengeluarkan cahaya berkilauan kalau tertimpa sinar lampu. Mereka tidak pernah mengeluarkan suara, dan si jangkung hanya memberi aba-aba dengan isyarat tangan saja. Tak lama kemudian mereka telah berada di luar jendela dan pintu kamar yang dihuni oleh Thian Sin dan Kim Hong.

Tanpa mengeluarkan suara, mereka berlima mengeluarkan saputangan hitam dan memasang saputangan itu di depan hidung dan mulut sebagai kedok.

Kemudian, mereka menyalakan hio dan bau yang harum aneh berhamburan dari asap hio. Melalui celah-celah daun pintu di bawah, juga dari celah-celah jendela, mereka memasukkan hio-hio yang terbakar itu ke dalam kamar sehingga mulailah asap-asap harum memenuhi kamar.

Beberapa menit kemudian, terdengarlah gerakan di dalam kamar itu. Suara orang terbatuk-batuk kecil, kemudian disusul suara menguap. Suara itu jelas menunjukkan bahwa yang berada di dalam kamar adalah seorang pria dan seorang wanita. Tentu saja lima orang berkedok saputangan hitam itu menjadi girang dan mereka saling pandang dengan sinar mata berkilat dan berseri. Batuk-batuk dan menguap? Itu membuktikan bahwa asap hio mereka yang mengandung obat bius kuat itu telah mengenai sasaran dan berhasil. Memang orang akan lebih dulu terbatuk-batuk, kemudian setelah menguap takkan dapat tertahan lagi, pasti jatuh pulas seperti pingsan saja!

Mereka menanti sampai kurang lebih sepuluh menit dan pada waktu itu, kamar telah penuh dengan asap hio. Mereka juga mendengarkan dengan penuh perhatian dan agak kecewa karena tidak mendengar suara orang mendengkur yang menjadi tanda mutlak bahwa orang-orang di dalam kamar itu telah tidur pulas. Akan tetapi, tidak semua orang tidur mendengkur. Biasanya, hanya orang-orang yang gendut sajalah yang tidur mendengkur dan mereka tahu bahwa pria dan wanita yang berada di dalam kamar itu sama sekali tidak gendut. Setelah hio-hio itu terbakar habis dan padam, dan asap harum mulai melayang keluar dari celah-celah jendela, si jangkung memberi isarat dengan tangan. Mereka lalu membongkar daun jendela dengan amat mudahnya karena mereka memiliki tenaga yang kuat.

Nampak sinar-sinar berkilau ketika lima orang itu menghunus golok-golok mereka dengan kedua tangan dan dengan sepasang golok di tangan merekapun berloncatan memasuki kamar melalui jendela, muka mereka terlindung oleh saputangan hitam yang sudah diberi penawar obat bius. Melihat ada tubuh terseilmut membujur di atas dua buah pembaringan itu, lima orang pendatang ini menjadi ganas. Dengan isyarat si jangkung, mereka lalu menyerbu dengan golok terangkat dan dalam sekejap mata saja sepuluh batang golok di tangan mereka itu sudah membacok dan menusuk ke arah dua batang tubuh terseilmut yang nampak remang-remang di atas dua buah pembaringan.

Terdengar suara crak-crok-crak-crok disusul seruan-seruan kaget dan heran ketika lima orang itu merasa betapa golok-golok mereka bertemu dengan "tubuh" yang lunak, yaitu guling dan bantal yang ditutupi seilmut!

"Celaka, kita terjebak. Keluar!" kata si jangkung dengan suara mendesis karena marah. Dan pada saat itu terdengarlah suara ketawa dari atas genteng, suara ketawa yang merdu dari seorang wanita dan suara ketawa mengejek seorang pria!

Lima orang itu menjadi marah dan dengan gerakan cepat mereka berlima sudah meloncat keluar dari dalam kamar yang masih penuh dengan asap itu, kemudian mereka langsung berloncatan ke atas wuwungan rumah dengan sepasang golok masih berada di tangan masing-masing. Dan di sana, di atas wuwungan, diterangi oleh bulan muda dan bintang-bintang, nampak seorang pemuda dan seorang gadis berdiri dengan kaki terpentang lebar dan kedua tangan bertolak pinggang, tersenyum-senyum mentertawakan mereka. Si jangkung merenggut saputangan hitam dari mukanya, diturut oleh empat orang kawannya ketika mereka mengejar ke depan.

Melihat gerakan lima orang itu yang cukup gesit menandakan bahwa mereka itu bukan penjahat-penjahat sembarangan melainkan orang-orang yang telah memiliki kepandaian tinggi, Thian Sin lalu mengacungkan sebuah kunci emas ke atas kepala sambil berkata, "Kalau kalian datang untuk mencari ini, ikutilah kami!" Dan diapun meloncat turun bersama Kim Hong, lalu melarikan diri menjauhi tempat ramai itu menuju ke pinggir kota yang sunyi, di bagian yang dipergunakan orang untuk bercocok tanam. Di situ sunyi sekali dan cuaca hanya remang-remang diterangi bulan muda dan bintang-bintang. Lima orang itu tentu saja menjadi penasaran dan agaknya melihat berkilaunya kunci emas tadi, semangat mereka bertambah dan merekapun melakukan pengejaran. Kejar mengejar ini dipergunakan oleh Thian Sin dan Kim Hong untuk mengukur ilmu berlari cepat lima orang itu dan mereka berdua harus mengakui bahwa lima orang itu benar-benar cukup lihai. Mereka menjadi girang karena makin lihainya lawan yang datang mencari mereka, hal itu dapat diartikan bahwa semakin dekatlah mereka dengan orang yang menguasai peta yang mereka cari!

Thian Sin dan Kim Hong berdiri tegak menanti lima orang calon lawan yang kinipun mulai mengerti bahwa dua orang muda mudi yang dikejarnya itu bukan orang sembarangan. Dan melihat cara mereka menipu di dalam kamar, kemudian melihat cara mereka berdua lari, lima orang ini maklum bahwa ternyata pemilik kunci emas itu adalah dua orang muda yang lihai. Maka, sambil mengejar tadi, si jangkung memberi peringatan kepada teman-temannya agar berhati-hati.

Setelah saling berhadapan, Thian Sin dan Kim Hong kini dapat melihat wajah mereka dengan jelas, walaupun dalam cuaca remang-remang. Dan mereka berdua itu merasa heran karena wajah mereka itu bukan wajah penjahat yang kasar. Wajah orang-orang yang bersikap tenang, pantasnya wajah jagoan-jagoan yang merasa yakin akan kepandaian sendiri, akan tetapi, melihat sepak terjang mereka ketika menyebarkan obat asap bius dan ketika mereka menyerang guling dan bantal yang diseilmuti, sungguh merupakan perbuatan kejam sekali.

"Hemm, kalian ini lima orang maling kecil, tentu hendak merampas kunci emasku ini, bukan?" Thian Sin kembali mengacungkan kunci emas itu di tangan kanannya.

Si jangkung menghardik, suaranya nyaring dan penuh kepercayaan kepada diri sendiri, "Kalau sudah tahu begitu, orang muda, lebih baik kauserahkan kunci itu kepada kami dan kalian boleh pergi dengan selamat."

"Wah, wah, lima ekor tikus sawah, yang hanya maling-maling kecil ini sombong sekali!" kata Kim Hong.

"Kalian hanyalah pesuruh-pesuruh rendah," kata Thian Sin. "Kalau memang menghendaki kunci, suruhlah kepala kalian, atau orang yang memegang peta rahasia itu untuk menemui kami. Kami sudah bosan berurusan dengan anak buah rendahan!"

Lima orang itu jelas kelihatan marah sekali dan golok-golok di tangan mereka itu tergetar. "Orang muda yang sombong!" bentak si jangkung, "Kalian berdua tidak tahu dengan siapa kalian berhadapan! Kami adalah Siang-to Ngo-houw (Lima Harimau Bergolok Pasangan) dan bukan sekedar golongan rendahan!"

Thian Sin dan Kim Hong tidak pernah mendengar nama julukan Siang-to Ngo-houw ini karena memang sudah bertahun-tahun mereka tidak lagi berkecimpung di dunia kang-ouw. Tentu saja nama ini tidak berarti apa-apa bagi mereka.

"Siang-to Ngo-houw, kami hanya mau bicara tentang kunci emas kepada orang yang memiliki peta rahasia itu. Apakah kalian menguasai peta itu? Kalau benar, keluarkanlah dan mari kita bicara!" kata pula Thian Sin.

"Tidak perlu banyak cakap. Serahkan kunci emas itu atau terpaksa kita harus menggunakan kekerasan untuk merampasnya!" teriak pula si jangkung.

"Hi-hik, masih mengancam lagi. Padahal, bisanya hanya menggunakan asap bius dan membacoki bantal guling seperti maling-maling kecil." Kim Hong berkata mengejek lalu berpaling kepada kekasihnya. "Perlu apa melayani segala maling-maling kecil? Mereka ini tentu hanya kaum rendahan saja!"

"Serbu!" Si jangkung sudah memberi komando karena tidak sabar lagi melihat sikap dua orang yang jelas memandang rendah kepada mereka itu.

Thian Sin menyimpan kunci emasnya dan hendak bergerak, akan tetapi Kim Hong sudah berkata kepadanya, "Biarkan aku menghadapi mereka sendiri!"

"Ah, bukan waktunya untuk main-main, Kim Hong!" Thian Sin membantah. Dia melihat bahwa lima orang ini tidak boleh dipandang ringan dan biarpun dia tahu betapa lihainya kekasihnya itu, dan kalau menghadapi mereka ini satu lawan satu tentu tidak sukar bagi Kim Hong untuk merobohkan mereka semua, akan tetapi kalau mereka itu maju berlima, kiranya bukan tidak berbahaya bagi kekasihnya.

"Siapa main-main? Justeru sudah lama aku tidak latihan menghadapi lawan tangguh. Biarkan aku, Thian Sin, sekali ini saja ya...?" Kalimat terakhir itu terdengar demikian manja dan penuh keinginan sehingga Thian Sin terpaksa tersenyum sambil melangkah mundur.

"Bandel! Sesukamulah, tapi jangan salahkan aku kalau kau tergores golok!" Biarpun mulutnya berkata demikian, akan tetapi tentu saja diapun siap waspada, tidak mungkin dia membiarkan kulit halus kekasihnya itu tergores golok orang.

Kim Hong tersenyum manis dan kalau saja gadis itu tidak sedang menghadapi perkelahian, tentu Thian Sin akan merangkul dan menciumnya karena senyuman itu adalah senyuman khas dari kekasihnya kalau lagi senang hatinya dan sedang mencumbu. Tentu senyum itu sebagai tanda terima kasih yang akan dibayar kalau kesempatan memungkinkan nanti. Lalu gadis itu melompat ke depan, dengan gaya yang menantang sekali ia lalu menggulung kedua lengan bajunya, sehingga nampaklah lengan yang bulat dan berkulit putih halus. Demikian tipis dan halusnya kulit lengan Kim Hong ini sehingga kalau saja cuaca tidak segelap itu akan nampak urat-urat halus membayang di balik kulitnya. Nampaknya demikian halus dan lunak, akan tetapi jangan sekali-kali mengira demikian karena kedua lengan itu dapat terisi tenaga yang amat hebat dan sedemikian kuatnya sehingga mampu menangkis senjata tajam tanpa terluka!

"Tahan...!" Tiba-tiba si jangkung berseru kepada teman-temannya. Bagaimanapun juga, nama Siang-to Ngo-houw terlalu besar untuk dikotori dengan pengeroyokan terhadap seorang gadis muda yang bertangan kosong. Di kota raja, nama Siang-to Ngo-houw sudah terkenal sekali. Mereka ini adalah bekas tokoh-tokoh besar di perkumpulan Hwa-i Kai-pang yang bertugas di luar kota raja. Baru setelah Hwa-i Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Baju Kembang) mengalami musibah, yaitu dengan terbunuhnya dua orang pimpinannya, yaitu Lo-thian Sin-kai dan Hek-bin Mo-kai sehingga perkumpulan itu menjadi berantakan, maka kelima orang ini datang ke kota raja. Kedua orang pemimpin Hwa-i Kai-pang ini terbunuh oleh Pendekar Sadis dan hanya itulah yang diketahui oleh Siang-to Ngo-houw. Mereka sama sekali tidak pernah mengira bahwa Pendekar Sadis pembunuh dua orang suheng mereka itu adalah pemuda yang kini berhadapan dengan mereka inilah!

Seperti telah diceritakan dalam cerita Pendekar Sadis, dua orang pimpinan Hwa-i Kai-pang itu dibunuh oleh Pendekar Sadis Ceng Thian Sin karena mereka berdua pernah membantu pengeroyokan sehingga tewasnya ayah bunda pendekar itu. Dan karena hanya sedikit saja orang yang mengenal muka Pendekar Sadis, maka lima orang jagoan inipun hanya mendengar namanya saja akan tetapi tidak mengenal Thian Sin.

Siang-to Ngo-houw adalah sute dari Lo-thian Sin-kai, dan memiliki tingkat kepandaian yang tidak banyak selisihnya dengan bekas tokoh Hwa-i Kai-pang itu. Tentu saja mereka itu lihai sekali, apa lagi kalau mereka maju berlima karena mereka telah menciptakan bersama suatu ilmu silat gabungan yang amat dahsyat. Mereka kembali ke kota raja setelah dua orang pimpman Hwa-i Kai-pang tewas dan melihat bahwa perkumpulan itu sudah tidak begitu baik lagi namanya, maka lima orang inipun tidak lagi mau membangunnya, bahkan mereka lain membantu tokoh sesat yang pada waktu itu paling terkenal di kota raja, yaitu Pat-pi Mo-ko Bouw Kim Seng. Inilah sebabnya, maka sebagai tokoh-tokoh besar yang terkenal dan memiliki ilmu tinggi yang mereka andalkan, si jangkung yang memimpin adik-adiknya itu merasa malu untuk mengeroyok seorang gadis yang bertangan kosong, sehingga dia berteriak menahan adik-adiknya sebelum mereka itu sempat menggerakkan golok mereka. Empat orang adiknya memandang kepada si jangkung dengan sinar mata penuh pertanyaan. Akan tetapi si jangkung lalu menghadapi Kim Hong den mengangkat dada untuk menunjukkan kegagahan.

"Nona, Siang-to Ngo-houw memang sudah biasa maju bersama, akan tetapi belum pernah mengganggu wanita yang bertangan kosong. Maka, kami minta agar kalian berdua menyerahkan kunci atau maju bersama dengan menggunakan senjata."

Melihat sikap ini, Kim Hong malah mentertawakan. "Hik-hik, lagaknya! Apa sudah lupa betapa tadi yang berjuluk Siang-to Ngo-houw sama sekali tidak bersikap jantan, tidak seperti Lima Ekor Harimau akan tetapi lebih pantas menjadi Lima Ekor Tikus yang curang dan pengecut, menggunakan obat bius den menyerang orang-orang yang sedang tidur pulas? Hi-hik, kini berlagak lagi! Sungguh tidak lucu, malah menjemukan. Hayo tak perlu cerewet lagi, ingin kulihat apakah ilmu kalian juga sebesar kecurangan kalian!"

"Perempuan sombong!" Teriakan ini dilakukan oleh dua orang di antara lima tokoh sesat itu dan merekapun sudah menerjang maju dengan sambaran sepasang golok mereka. Terdengar bunyi berdesingan ketika empat batang golok itu menyambar dengan dahsyat menghujankan serangan maut ke arah tubuh Kim Hong. Akan tetapi, hanya dengan sedikit gerakan tubuh saja, sambaran golok-golok itu dapat dielakkan dengan mudah oleh Kim Hong den hanya mengenai tempat kosong saja. Tiga orang lainnya kini tidak ragu-ragu lagi, apa pula mereka juga amat marah dan merasa terhina oleh ejekan Kim Hong tadi. Mereka mengeluarkan suara bentakan den mulailah lima orang itu mengurung Kim Hong sambil membuat langkah-langkah lebar memutari gadis itu. Mereka yang dapat menduga bahwa seorang gadis muda yang demikian tabahnya menantang mereka pasti memiliki kelihaian, kini segera menggerakkan ilmu yang mereka andalkan, yaitu Ngo-lian To-tin (Barisan Golok Lima Teratai). Langkah-langkah mereka teratur dan mereka itu merupakan rangkaian yang bekerja sama secara otomatis. Kadang-kadang sambil melangkah mengitari lawan, terdengar golok mereka bersiutan, digerakkan menembus udara, kadang-kadang berdencing karena saling sentuh sehingga suasana menjadi menegangkan.

Akan tetapi Kim Hong berdiri dengan tenang saja, same sekali tidak bergerak den hanya sepasang matanya yang bergerak-gerak mengikuti gerakan lima orang pengepungnya dan tentu saja pendengarannya juga mengikuti setiap gerakan orang yang berada di belakangnya. Seluruh urat syarafnya sudah siap siaga dan menegang, walaupun tubuhnya nampak tenang-tenang seenaknya saja. Gadis ini maklum bahwa lima orang pengepungnya bukanlah lawan ringan dan sama sekali tidak boleh dipandang rendah. Akan tetapi ia masih belum merasa perlu untuk mengeluarkan sepasang pedangnya, yaitu Hok-mo Siang-kiam (Sepasang Pedang Penaluk Iblis) yang berwarna hitam dan yang selalu disimpannya di balik baju itu. Sebagai seorang yang berilmu tinggi, kalau tidak amat terpaksa, Kim Hong tidak akan mau mempergunakan pedang.

"Hiaaattt...!" Tiba-tiba si jangkung mengeluarkan teriakan nyaring dan sepasang goloknya sudah menyambar dengan gerak tipu Hong-cui-pai-hio (Angin Meniup Runtuh Dedaunan), sepasang golok itu berkelebat saling susul, yang kiri menyambar leher dan yang kanan menusuk lambung. Serangan ini dilakukan ketika dia berada di sebelah kanan dari Kim Hong.

"Hemm...!" Kim Hong menggeser kaki mengelak dan cara mengelaknya memang istimewa sekali, kakinya tidak terangkat, melainkan menggeser atau meluncur seolah-olah di bawah sepatunya terdapat roda yang membuat tubuhnya dapat meluncur. Akan tetapi cepatnya bukan main sehingga serangan sepasang golok itu gagal total. Akan tetapi, kiranya serangan pertama dari si jangkung ini merupakan pembukaan atau aba-aba, karena kini mereka berlima sepenuhnya mulai menggerakkan Ngo-lian To-tin atau Barisan Golok Lima Teratai itu dan memang hebat sekali gerakan mereka. Sepuluh batang golok itu bekerja sama dengan demikian rapi dan cekatan, susul menyusul dan bertubi-tubi, seolah-olah digerakkan oleh satu otak saja, saling bantu dan ke manapun tubuh Kim Hong mengelak, tentu ia sudah dipapaki oleh lain golok. Dan susunan serangan mereka itupun makin lama makin kuat dan berbahaya!

"Ciaaattt...!" Seorang di antara mereka yang berada di depan Kim Hong, menggunakan jurus Sin-eng Hoan-sin (Garuda Sakti Memutar Tubuh), sepasang goloknya itu tiba-tiba meluncur dengan gerakan membalik, amat berbahaya sekali dan saking cepatnya, sepasang golok itu lenyap bentuknya berobah menjadi dua berkas sinar yang menyilaukan mata. Kim Hong cepat mengelak dan sekali ini dengan loncatan ringan ke kiri, di mana ia disambut oleh sepasang golok yang dimainkan dengan jurus Kim-liong-hian-jiauw (Naga Emas Mengulur Cakar) dengan sepasang golok itu menusuk secara berantai. Kembali Kim Hong mengelak ke belakang di mana ia disambut pula oleh scrangan golok yang lebih berbahaya karena penyerangnya menggunakan jurus Giok-tai-wi-yauw (Sabuk Kemala Melilit Pinggang), sebuah gerakan yang indah sekali dan golok itu seolah-olah melengkung melalui belakang pinggang dan langsung menuju ke pinggang lawan. Untuk kesekian kalinya Kim Hong mengelak dan lawan ke lima yang berada di belakangnya sudah menyambutnya dengan sebuah tendangan kilat yang disusul oleh sambaran golok ke leher. Sepasang golok itu membuat gerakan menggunting dari kanan kiri dan itulah jurus yang dinamakan Ji-liong-jio-cu (Sepasang Naga Berebut Mustika).

Menghadapi serangan bertubi-tubi yang dilakukan dengan gencar, cepat dan kuat, juga saling membantu ini, yang maksudnya untuk menutup jalan keluarnya dan tidak memberi kesempatan kepadanya untuk balas menyerang melainkan dipaksa untuk mengelak terus, Kim Hong lalu mengeluarkan suara melengking nyaring dan iapun sudah mainkan ilmu silat tangan kosong yang dinamakan Kong-jiu-jip-pek-to (Tangan Kosong Menyerbu Ratusan Golok) dan tubuhnya berkelebatan secara cepat bukan main! Lima orang jagoan itu terkejut sekali melihat betapa tubuh lawan mereka itu kadang-kadang lenyap dan demikian cepat gerakan gadis itu sehingga membuat mata mereka menjadi silau dan kabur pandangannya. Hebatnya, gadis itu kadang-kadang berani menyampok golok dengan tangan kosong dan tangan itu terasa demikian lunak seperti kapas sehingga tidak terluka oleh golok, namun di bawah kelunakan itu terkandung tenaga yang luar biasa kuatnya! Maklumlah Siang-to Ngo-houw bahwa mereka menghadapi seorang gadis yang benar-benar amat lihai, maka mereka bergerak dengan hati-hati sekali. Kerja sama mereka yang amat rapi itu tetap saja dapat mengimbangi ilmu silat istimewa dari Kim Hong dan membuat gadis itu masih sulit untuk dapat merobohkan seorang di antara mereka karena mereka itu selalu dalam posisi saling bantu dan saling melindungi. Memang lima orang itu telah memiliki ilmu silat yang kuat sekali. Seperti juga ilmu kepandaian mendiang suheng mereka, yaitu Lo-thian Sin-kai tokoh nomor satu dari Hwa-i Kai-pang, mereka memiliki dua macam ilmu silat yang menjadi andalan mereka. Pertama adalah ilmu silat tangan kosong yang disebut Ta-houw Sin-ciang-hoat (Ilmu Silat Sakti Pemukul Harimau) yang membuat tangan mereka menjadi sedemikian kerasnya sehingga kepalan tangan mereka itu mampu mengalahkan harimau dan memecahkan kepala binatang itu. Dan yang ke dua adalah ilmu yang berdasarkan ilmu silat tongkat Ngo-lian Pang-hoat (Silat Tongkat Lima Teratai). Ilmu ini mereka robah menjadi Ngo-lian To-hoat (Silat Golok Lima Teratai) dan dengan ilmu golok ini, mereka berlima telah menciptakan Ngo-lian To-tin (Barisan Go. lok Lima Teratai) yang amat tangguh itu.

Tentu saja kalau dibandingkan satu lawan satu, tingkat kepandaian Kim Hong masih jauh lebih tinggi, baik dalam ilmu silat maupun tenaga sin-kang, terutama sekali dalam hal gin-kang karena memang gadis ini memiliki ilmu meringankan tubuh yang sukar dicari bandingannya. Akan tetapi karena mereka itu maju berlima dan membentuk barisan golok yang amat tangguh itu, Kim Hong yang bertangan kosong mengalami kesulitan juga untuk menundukkan mereka. Ia tetap tidak mau mengeluarkan pedangnya, karena merasa bahwa ia belum terdesak, hanya belum mampu merobohkan mereka.

"Heh, bandel, kenapa tidak menggunakan siang-kiammu itu?" berkali-kali Thian Sin berseru, akan tetapi Kim Hong hanya tersenyum saja.

"Darah lima ekor tikus ini terlalu busuk untuk mengotori pedang-pedangku!" akhirnya ia menjawab dan jawaban ini membuat Siang-to Ngo-houw menjadi semakin marah.

"Perempuan sombong!" Si jangkung berteriak marah dan memimpin adik-adik seperguruannya untuk mendesak semakin ganas. Akan tetapi tiba-tiba teriakannya itu yang disusul dengan tusukan golok ke arah dada Kim Hong, berobah menjadi teriakan kesakitan ketika tiba-tiba ada sinar hitam berkelebat dan terdengar suara meledak kecil yang diakibatkan oleh lecutan ujung rambut Kim Hong yang menotok pergelangan tangan yang memegang golok.

"Aduhhh...!" Golok itu terlepas dari pegangan tangan yang tiba-tiba terasa lumpuh dan sebelum si jangkung dapat memperbaiki posisinya, sebuah tendangan kaki kiri Kim Hong mengenai pahanya.

"Dess...!" Si jangkung terlempar dan menyeringai kesakitan, berusaha bangkit, akan tetapi jatuh terduduk lagi karena bekas tendangan pada pahanya itu membuat pahanya memar, matang biru dan rasa nyeri menusuk-nusuk sampai ke jantung!

Empat orang yang lain menjadi terkejut dan marah. Mereka bergerak cepat dan memang ilmu barisan Lima Teratai mereka itu sudah terlatih baik, bahkan sudah terlatih kalau-kalau ada di antara mereka yang terluka. Barisan itu memang berlima, akan tetapi mereka telah melatih sedemikian rupa sehingga dapat mereka mainkan berempat, bertiga, atau bahkan berdua tanpa menjadi kaku dan canggung. Kini, empat orang itu berkelebatan dan gerakan mereka berbeda dari gerakan ketika mereka berlima tadi, akan tetapi tidak mengurangi ketangguhan mereka.

Bagaimanapun juga, kini Kim Hong tidak hanya menghadapi mereka dengan kaki tangan kosong, melainkan ia telah mempergunakan senjatanya yang ampuh, yaitu rambutnya! Senjata ini bahkan lebih ampuh dari pada senjata lain, karena selain tidak terduga-duga datangnya, digerakkan oleh kepala, juga senjata ini dapat menjadi kaku atau lemas tergantung penggunaan tenaga sin-kang yang dikerahkan oleh gadis perkasa itu. Empat orang itu biarpun telah lama berkecimpung di dunia persilatan dan telah banyok menghadapi lawan tangguh, akan tetapi baru sekaranglah mereka bertemu lawan seperti itu, dan melihat betapa suheng mereka telah roboh, maka merekapun menjadi panik. Hal ini dapat terasa oleh Kim Hong, terasa dalam gerakan kerja sama yang tidak serapi tadi. Banyak terdapat lowongan-lowongan dan gadis perkasa itupun segera merempergunakannya.

"Hiaaaattt...!" Ia melengking dan tubuhnya menerjang ke depan, melompat ke atas dan kaki kirinya meneadang ke arah sepasang golok yang menyambutnya. Pemegang golok itu berteriak kesakitan dan sepasang goloknya terlempar, akan tetap sebelum dia dapat mengelak, kaki kanan Kim Hong sudah tiba.

"Bukkk!" Orang itu terlempar ke belakang dan terbanting keras, terjengkang dan napasnya terasa sesak, dadanya terasa jebol. Sampai lama dia hanya dapat terengah-engah sambil menekan dadanya.

"Haiiitttt...!" Kim Hong melengking lagi, rambutnya menyambar seperti seekor ular hitam, tepat menotok pundak seorang pengeroyok yang tiba-tiba saja berobah menjadi patung, tidak mampu bergerak dengan tangan kanan mengacungkan golok ke atas dan tangan kiri menusukkan golok ke depan. Kim Hong yang berhasil menotoknya dengan ujung rambutnya, segera menggerakkan tangan kiri menampar. "Plakkk!" Tubuh orang ke tiga inipun terpelanting dan sepasang goloknya terlempar, matanya menjadi juling dan dia duduk dengan kepala bergoyang-goyang karena bumi terasa berpusing di depannya.

"Hyaaaaattt...!" Kembali Kim Hong mengeluarkan suara lengkingan panjang, tubuhnya sudah melayang ke atas. Dua orang lawannya yang sudah menjadi gentar sekali itu menyambut tubuhnya dengan tusukan dan bacokan golok. Akan tetapi tiba-tiba tubuh yang ramping itu membuat gerakan salto di udara dan tahu-tahu dua orang itu kehilangan lawan mereka! Sebelum mereka sadar bahwa lawan yang amat lincah seperti burung walet itu berada di belakang mereka, tahu-tahu rambut kepala mereka dijambak oleh sepasang lengan yang kecil halus namun kuat.

"Dukkk...!" Keduanya mengeluh dan roboh, di kepala mereka tumbuh sebutir telur angsa dan kepala mereka terasa nanar dan pandang mata terasa berkunang!

Terdengar tepuk tangan dan Kim Hong menoleh sambil tersenyum memandang kepada kekasihnya yang bertepuk tangan memujinya. Bulan sudah naik tinggi dan sinarnya semakin cerah. Langit bersih sekali sehingga cuaca menjadi semakin terang.

"Bagus sekali cara engkau menjatuhkan mereka, Kim Hong." kata Thian Sin memuji.

Yang dipuji girang sekali dan bangga. "Ah, latihan yang menyenangkan. Tubuh terasa enak sekali!" kata Kim Hong sambil menggeliat seperti seekor kucing malas, muka diangkat seperti memandangi bulan, dada yang sudah membusung itu makin dibusungkan, pinggang ditekuk, kedua lengan yang masih tersingsing lengan bajunya itu diangkat ke atas dan ke belakang, menyanggul rambut yang tadi terlepas.

Di antara semua keindahan gerakan wanita, satu di antaranya yang paling mempesonakan hati pria adalah kalau wanita itu membereskan rambut kepalanya dengan mengangkat kedua lengan ke atas dan ke belakang! Gerakan ini mengandung kelembutan, keindahan dan kehalusan wanita sepenuhnya, bahkan nampak pada saat itu seperti gerakan yang penuh gairah yang menantang. Thian Sin merasa betapa bulu tengkuknya meremang dan ini tandanya bahwa dia telah terangsang memandang kekasihnya seperti itu. Diapun melangkah maju dan dipeluknya pinggang yang ramping dan sedang meliuk itu, ditariknya tubuh itu dan didekapnya kuat-kuat, lalu diciumnya mulut yang agak terbuka itu. Terdengar Kim Hong mengeluarkan suara seperti seekor kucing dan kedua lengan yang sedang menyanggul rambut itupun melingkar di leher Thian Sin, membuat rambut yang belum selesai disanggul itu terlepas dan terurai lagi. Mereka berdua tidak memperdulikan lagi lima orang yang telah dirobohkan tadi, tenggelam dalam buaian asmara, saling berangkulan, saling berciuman. Bahkan kesempatan itu dipergunakan oleh lima orang Siang-to Ngo-houw untuk bangkit perlahan-lahan, menahan keluhan sambil menyeringai, kemudian perlahan-lahan merekapun melarikan diri dari tempat itu.

"Eh, kita harus menangkap seorang!" Tiba-tiba Thian Sin melepaskan ciumannya. Akan tetapi Kim Hong menahan dengan rangkulannya, lalu gadis itu menggunakan tangan kiri melepas sebuah tusuk konde di atas telinga, mengayun tangannya. Terdengar jerit kesakitan dan seorang di antara Siang-to Ngo-houw terjungkal roboh dan tidak mampu bangkit lagi. Empat orang temannya melarikan diri dan agaknya melupakan seorang kawan mereka yang roboh. Sedangkan Kim Hong sudah menarik muka Thian Sin lagi, melanjutkan permainan mereka yang tertunda tadi, tenggelam dalam kemesraan dan pencurahan kasih sayang.

Bagi yang belum mengenal kedua orang muda ini tentu akan merasa heran melihat keadaan mereka. Akan tetapi, bagi pembaca yang sudah mengikuti perjalanan hidup mereka dalam cerita Pendekar Sadis, tentu tidak akan merasa heran. Latar belakang kehidupan mereka demikian suram dan gelapnya, pengalaman-pengalaman pahit getir telah membuat hati kedua orang muda ini terasa hambar akan segala peraturan yang dibuat oleh manusia, termasuk pernikahan. Mereka berdua itu saling menyinta, cinta yang tidak dibuat-buat, cinta yang memang timbul dari dalam hati mereka, bebas dari ikatan peraturan-peraturan umum. Mereka mengenal watak dan cacat masing-masing. Mereka saling mencinta dengan mata terbuka. Mereka tidak mau mengikat diri dengan pernikahan, walaupun di dalam hati mereka terdapat kasih sayang mendalam yang agaknya tidak memungkinkan mereka tertarik kepada orang lain. Kemesraan bisa saja timbul di antara mereka, di manapun juga, di saat apapun juga dan mereka tidak akan menyembunyikan perasaan mesra itu. Mereka berani bermesraan di manapun karena mereka berdua sudah tidak begitu mau memperdulikan lagi soal-soal peraturan dan hukum yang mereka anggap palsu dan pura-pura. Kalau mereka saling menyayang dan timbul gairah untuk saling memperlihatkan kasih sayang, untuk saling meraba memeluk dan mencium, mengapa harus disembunyi-sembunyikan? Mereka menganggap hal itu wajar dan tidak merugikan orang lain! Inilah sebabnya, maka biarpun sudah beberapa tahun hidup bersama di pulau kosong, sebagai suami isteri, mereka belum pernah menikah dalam arti kata disaksikan upacaranya oleh orang-orang lain, baik berdasarkan hukum agama, tradisi atau umum.

Tentu banyak orang yang akan mengernyitkan hidung dan mencibirkan bibir melihat keadaan mereka itu. Tentu banyak yang memberi komentar : tak tahu malu, tidak sopan, jorok dan cabul, kotor dan sebagainya. Di samping itu, mungkin ada pula yang membenarkan. Akan tetapi, bukan di situlah letaknya kebenaran. Bukan di dalam sehelai surat nikah, di dalam upacara agama, di dalam upacara tradisi, atau di dalam kesaksian para handai taulan letaknya kebahagiaan perjodohan. Melainkan di dalam cinta kasih! Apa artinya memiliki surat-surat lengkap, dengan upacara yang megah, dengan perayaan yang meriah, dengan penghormatan yang berlebihan, kalau di dalam sebuah pernikahan tidak terdapat cinta kasih? Bahkan banyak sekali suami isteri yang saling tidak merasa cocok, namun memaksa diri untuk hidup bersama karena adanya ikatan berupa surat atau upacara atau hukum-hukum itu. Akibatnya, biarpun pada lahirnya, oleh orang-orang lain, mereka nampak sebagai suami isteri yang hidup serumah dan rukun sampai kakek nenek, namun pada hakekatnya batin keduanya menderita hebat! Mau terbang menghindar, kaki sudah terikat oleh segala hukum dan pendapat umum.

Karena itu, tidak begitu penting mempertimbangkan benar tidaknya orang menjadi suami isteri dengan surat, dengan upacara, dan sebagainya. Yang terpenting adalah bahwa perjodohan merupakan pendekatan antara dua orang, pria dan wanita, untuk hidup bersama dan hal ini baru benar kalau dilakukan dengan dasar saling mencinta! Hanya ini syarat utamanya, yang lain-lain itu hanya embel-embel yang tidak begitu penting bagi kebahagiaan bersuami-isteri. Syarat utama itu, yalah cinta kasih kedua fihak, harus dipenuhi lebih dahulu, baru orang boleh memikirkan syarat-syarat lain yang umum.

Antara Thian Sin dan Kim Hong kadang-kadang terdapat ketidakcocokan karena memang keduanya memiliki kekerasan hati yang membuat mereka kadang-kadang tidak mau saling mengalah dan terjadi bentrokan. Namun, pada hakekatnya, di dasar atau lubuk hati mereka, kedua orang ini saling mencinta dengan amat mendalam sehingga pertentangan-pertentangan yang ada selalu dapat dikalahkan oleh rasa saling menyayang itu. Dan selain cinta kasih kedua pihak, juga di antara keduanya sudah terdapat suatu kepekaan bersama sehingga hanya dengan saling pandang saja mereka dapat menjenguk isi hati masing-masing.

Setelah mencurahkan kasih sayang yang timbul pada saat itu, keduanya menjadi lebih tenang dan Kim Hong melepaskan diri dari pelukan kekasihnya, lalu menengok, memandang ke arah seorang di antara Siang-to Ngo-houw yang dirobohkarmya dengan tusuk konde tadi. "Akan kita apakan dia itu?"

"Dia penting sekali untuk membawa kita kepada kepalanya, kepada yang mengutusnya, atau kepada pemilik atau pemegang peta itu." kata Thian Sin dan keduanya lalu menghampiri orang itu.

Sambitan tusuk konde tadi menembus paha dan orang itu tidak mampu bangkit berdiri, hanya duduk sambil memijit-mijit pahanya, menggigit bibir menahan rasa nyeri. Dia menyumpah-nyumpahi empat orang saudaranya yang meninggalkannya begitu saja. "Bedebah! Pengkhianat mereka itu! Tidak mempunyai setia kawan sama sekali, keparat!" demikian dia menyumpah-nyumpah akan tetapi dia memandang dengan cemas ketika melihat Thian Sin dan Kim Hong menghampirinya. Baru sekarang dia tahu bahwa dua orang muda itu adalah orang-orang yang memiliki kepandaian hebat sekali. Baru gadis itu saja sudah mampu merobohkan mereka berlima, belum lagi pemuda itu! Mulailah dia menduga-duga siapa gerangan pasangan muda mudi yang demikian lihainya.

"Nah, engkau sudah membuktikan kelihaian kami?" Kim Hong mengejek. "Sekarang lebih baik engkau mengaku terus terang!"

"Aku telah kalah dan telah ditinggalkan teman-temanku, kalian mau bunuh, terserah. Mengaku apa lagi?" Orang itu mencoba untuk menutupi rasa takutnya dengan sikap gagah. Siang-to Ngo-houw terkenal sebagai orang gagah, maka diapun harus bersikap gagah.

"Sobat, kalian Siang-to Ngo-houw datang dan berusaha membunuh kami, berusaha merampas kunci emas yang ada padaku," kata Thian Sin. "Akan tetapi kami masih menaruh kasihan, tidak membunuh kalian. Maka, ceritakaniah, siapa yang mengutus kalian? Siapakah yang telah menguasai peta rahasia itu? Katakan dan kami akan membebaskanmu."

Wajah yang sudah pucat itu kelihatan semakin ketakutan. Orang itu menoleh ke kanan kiri, sikapnya ngeri dan ketakutan, lalu dia menggelengkan kepala keras-keras. "Tidak! Tidak ada yang mengutus kami. Aku tidak tahu!"

Thian Sin dan Kim Hong sudah cukup berpengalaman untuk dapat mengerti bahwa orang ini amat takut kepada yang mengutusnya. Lalu Thian Sin berkata kembali, "Sobat, engkau tentu tidak asing dengan Hwa-i Kai-pang, bukan?"

Orang itu nampak terkejut dan memandang kepada wajah Thian Sin dengan mata terbelalak. "Bagaimana engkau tahu?" dia balas bertanya.

"Aku mengenal dasar-dasar gerakan Ngo-lian Pang-hoat dalam ilmu golok kalian. Tentu kalian masih mempunyai hubungan dengan Hwa-i Kai-pang, atau lebih tepat lagi dengan Lo-thian Sin-kai tokoh utama Hwa-i Kai-pang itu."

"Dia adalah mendiang suheng kami! Siapa... siapakah engkau?"

Thian Sin maklum bahwa orang yang amat takut kepada kepalanya ini perlu dibuat gentar agar suka mengaku. "Aku adalah kenalan lama Hwa-i Kai-pang, dahulu aku dikenal sebagai Pendekar Sadis..."

"Ahhhh...!" Orang itu terbelalak dan berusaha menjauh seperti tiba-tiba melihat seekor ular yang amat berbabaya. "Pendekar... Sadis...?"

Diam-diam Thian Sin merasa girang melihat ketakutan terbayang di wajah itu. "Benar, dan engkau mengerti bahwa sebaiknya mengaku dari pada harus merasakan tanganku!" Dia sengaja mengancam.

"Tapi... tapi... aku takut..."

"Dan tidak takut kepada Pendekar Sadis?" kembali Thian Sin menghardik.

"Ahhh... ampunkan nyawaku... kami... kami disuruh..." Tiba-tiba terdengar suara berdesing-desing dan dua orang pendekar itu cepat meloncat untuk menghindarkan diri dari sambaran anak panah kecil yang meluncur dengan kecepatan kilat ke arah dada mereka tadi. Akan tetapi, pada saat itu terdengar pekik mengerikan dan orang yang mereka tanyai tadi terjengkang, berkelojotan dengan anak panah menembus dadanya!

"Setan...!" Kim Hong yang memiliki gerakan cepat itu sudah melayang ke arah dari mana datangnya anak panah tadi, akan tetapi ia tidak dapat menemukan orang. Selain cuaca remang-remang yang menjadi penghalang, juga agaknya pelepas anak panah itu memiliki kecepatan yang hebat pula, maka secepat itu telah menghilang. Ketika Kim Hong kembali lagi, ia melihat Thian Sin melepaskan tubuh yang tadi diperiksanya itu. Tubuh itu terkulai lemas tanda tidak bernyawa lagi.

"Orangnya sudah pergi, terlalu gelap untuk dapat mengejarnya. Kaukira siapa yang melakukannya? Teman-temannya tadi?"

Thian Sin menggelengkan kepala. "Tentu orang lain. Anak panah itu menembus jantung, bahkan mematahkan tulang iga. Jelas bahwa tenaga orang yang melepaskannya amat kuat, lebih kuat dari pada tenaga bekas-bekas lawanmu tadi. Dan ini membuktikan bahwa yang mengutus Siang-to Ngo-houw tadi, atau orang yang menguasai peta rahasia itu, bukanlah orang sembarangan. Kita berhadapan dengan penjahat besar yang mempunyai banyak pembantu lihai, maka kita harus berhati-hati."

Kim Hong menarik napas panjang, menyesal. "Akan tetapi ke mana kita harus mencarinya? Satu-satunya orang yang dapat menghubungkan kita kepadanya telah dibunuh."

"Tiada jalan lain kecuali menunggu. Dia telah mengirim Siang-to Ngo-houw dan gagal, kurasa seorang penjahat besar seperti dia tentu tidak mudah putus asa dan akan mengutus pembantu lain yang lebih cakap dan lebih kuat. Kita menanti saja. Umpan kunci emas masih ada pada kita dan tentu kakap-kakap besar akan berdatangan. Kita hanya tinggal waspada saja melihat ikan macam apa yang akan menyambar umpan."

Thian Sin dan Kim Hong meninggalkan mayat itu dan kembali ke rumah penginapan mereka. Karena tahu akan lihai dan berbahayanya musuh, ada sedikit ketegangan dalam hati mereka. Akan tetapi ketegangan ini membuat mereka menjadi semakin akrab, merasa semakin dekat dan harus saling melindungi. Semua ini membuat mereka akhirnya menumpahkan perasaan masing-masing dalam keadaan amat mesra, sehingga malam itu mereka sama sekali sudah melupakan ketegangan dan ancaman bahaya, hanyut dalam kemesraan.

Selama dua hari tidak terjadi sesuatu dan hal ini membuat Thian Sin dan Kim Hong merasa kecewa dan tidak sabar. Ikan yang dinanti-nanti tak kunjung muncul! Thian Sin tidak percaya bahwa kepala penjahat itu menjadi jerih. Perbuatannya membunuh seorang di antara Siang-to Ngo-houw itu saja sudah membuktikan bahwa kepala penjahat itu tidak menjadi jera dan jerih. Pasti akan muncul, pikirnya penuh keyakinan.

Malam itu mereka berdua pergi ke rumah makan terbesar di kota raja. Rumah makan ini terkenal sekali dengan masakan ikan-ikan laut. Rumah makan besar itu sudah setengah penuh ketika Thian Sin dan Kim Hong memasukinya, disambut oleh seorang pelayan dengan ramah dan pelayan itu menyodorkan daftar masakan.

Thian Sin dan Kim Hong tersenyum-senyum gembira membaca daftar masakan itu. Daftar yang sungguh luar biasa dan amat berbeda dengan yang terdapat di restoran-restoran lainnya. Selain terbuat dari kain yang indah, juga tulisannya amat indah, daftar itu memuat nama-nama masakan yang aneh-aneh.

"Jantung ular laut?" Kim Hong membaca sambil terbelalak. "Benarkah itu?"

"Ah, paling-paling hanya daging belut laut. Coba lihat ini. Masak Burung Hong Merah! Bukan main! Aku berani bertaruh bahwa ini tentu hanya masak ayam saus tomat, tentu saja kemerahan."

"Wah, ini ada Ca Kaki Biruang, ada Otak Ki-lin goreng, Sup Naga Hitam, dan Panggang Daging Srigala!" Teriak Kim Hong.

"Ha-ha, biruangnya tentu hanya babi, ki-lin itu tak salah lagi tentu babi hutan, naga hitam itu boleh jadi hanya daging ular hitam saja, dan srigala itu, apa lagi kalau bukan anjing?"

Mereka tertawa-tawa dan ketika pelayan datang, mereka bertanya dan memang sebagian besar dugaan Thian Sin tadi benar adanya. "Selain untuk penambah selera, juga untuk menguji kecerdasan tamu yang suka menduga-duga." kata si pelayan sambil tersenyum ramah. Maka sibuklah Kim Hong memillh masakan yang namanya serem-serem dan aneh-aneh itu. Ada yang disebut "siluman laut bongkok" yang ternyata hanyalah udang besar saja! Rajawali leher panjang ternyata hanya bebek! Betapapun juga, setelah hidangan dikeluarkan, sepasang muda mudi ini harus mengakui bahwa masakan di rumah makan itu memang istimewa lezatnya.

Ketika mereka berkelakar tentang nama-nama hebat dari masakan-masakan itu, seorang pemuda yang telah lebih dulu duduk tak jauh dari meja mereka, memandang kepada mereka dengan wajah ramah. Thian Sin melihat ini dan diam-diam dia memuji wajah yang tampan dan sepasang mata yang kelihatan cerdas itu. Akan tetapi, ketika pernah satu kali Kim Hong bertemu pandang mata dengan pemuda itu, ia tersenyum dan kedua pipinya menjadi agak merah. Sebagai wanita, ia segera merasa betapa sinar mata yang ditujukan kepadanya itu penuh dengan kekaguman dan kegairahan yang tidak disembunyikan. Kalau saja si pemandang tidak berkenan di hatinya, tentu Kim Hong sudah marah, akan tetapi, ada sesuatu pada wajah pemuda itu yang menarik hatinya, wajah tampan dan halus, sinar mata tajam dan dagu yang membayangkan kegagahan. Seorang pemuda yang tentu bukan orang sembarangan, pikirnya. Pula, melihat betapa pemuda itu diam-diam memperhatikan mereka dan tersenyum serta bersikap ramah bersahabat terhadap mereka, diam-diam di dalam hati Thian Sin dan Kim Hong sudah timbul kecurigaan. Mereka saling pandang dan tahu akan isi hati masing-masing yang menaruh curiga terhadap pemuda tampan itu. Siapa tahu, itulah ikan kakap yang mereka nanti-nanti selama dua hari ini! Secara sambil lalu, mereka mulai memperhatikan pemuda itu. Seperti juga mereka, pemuda itu memesan beberapa macam masakan dan kelihatannya cukup royal, sungguhpun tidak sangat gembul karena masakan-masakan itu hanya dicicipi sedikit-sedikit saja. Akan tetapi pemuda itu sungguh kuat sekali minum arak. Sudah ada sepuluh cawan diminumnya, dan mukanya masih nampak berseri, sama sekali tidak menjadi pucat atau merah seperti biasanya kalau orang mulai terpengaruh arak.

Pemuda itu berusia kurang lebih duapuluh tiga tahun, pakaiannya seperti pelajar, sederhana walaupun terbuat dari sutera yang cukup halus. Ketika itu, guci kecil araknya sudah kosong dan diapun menggapai kepada seorang pelayan yang lewat dekat. Setelah pelayan mendekat, dengan suara yang cukup lantang sehingga dapat terdengar oleh Thian Sin dan Kim Hong, pemuda itu bertanya, sambil memandang catatan pada daftar makanan, "Bung, selain Arak Bunga Surga seperti yang kausuguhkan tadi, apakah ada Arak Dewa Panjang Usia yang disimpan di dalam kamar pusaka dengan kunci emas?" Suaranya berlagu, terdengar lucu seperti orang membaca sajak sehingga beberapa orang menengok dan tersenyum. Pelayan itu sendiri tertawa.

"Ha-ha-ha-ha, kongcu pandai sekali membuat nama yang bagus. Biar saya usulkan kepada majikan agar menambahkan nama itu. Arak Dewa Panjang Usia! Bagus sekali!" kata si pelayan. "Akan tetapi sayang, arak yang ada di sini, yang terbaik hanyalah Arak BungA Sorga tadi."

"Baiklah, tambah seguci lagi." kata si pemuda yang wajahnya bulat itu. Alisnya yang hitam tebal itu bergerak-gerak, matanya berkilat dan senyumnya berseri. "Awas, jangan keliru mengambilkan Arak Bunga Neraka, ya?"

Beberapa orang tertawa keras atas kelakar pemuda ini. Thian Sin dan Kim Hong saling pandang. Bagi mereka, yang terpenting adalah disebutnya "kunci emas" tadi oleh si pemuda. Tak salah lagi, tentu pemuda ini mempunyai hubungan dengan urusan yang sedang mereka selidiki. Seorang utusan lainkah? Kalau benar demikian, sungguh luar biasa sekali kepala penjahat itu. Bermacam-macam saja pembantunya. Ataukah pemuda ini tidak sengaja dan hanya kebetulan saja menyebut kunci emas tadi? Kelihatannya begitu tenang saja, tidak memperlihatkan tanda-tanda hendak menghubungi mereka. Pemuda itu minum lagi sambil menyumpit hidangan di depannya, kemudian dengan lagak orang mabok, menggoyang-goyang kepala sedikit padahal matanya masih bening, diapun bernyanyi.

"Mengganyang kaki biruang

melahap sup naga

mengunyah daging srigala

minum arah bunga sorga!

betapa enak tak terkira

akan tetapi biruang naga dan srigala

mengepung diri kita!

betapa mengerikan jadinya! Hiiiiiihh!"

Kembali terdengar orang tertawa di sana sini mendengar sajak yang lucu ini. Kim Hong juga memandang dan memang pemuda tampan itu nampak lucu ketika menggoyang-goyang kepala sambil membaca sajak itu. Apa lagi kata terakhir yang membayangkan ketakutan itu, diucapkan dengan mata terbelalak dan muka membayangkan kengerian.

Thian Sin berbisik, "Dia inikah...?"

Kim Hong menggeleng. "Entah, tapi dia lucu."

Pada saat itu nampak seorang gadis muda memasuki rumah makan, disambut dengan penuh kehormatan oleh kepala pelayan sendiri. "Selamat sore, nona. Silahkan duduk. Apakah nona sudah pesan seperti biasa? Untuk beberapa orangkah?"

Gadis itu tersenyum dan jantung Thian Sin berdebar. Gadis yang manis dan memiliki daya pesona yang kuat! Terutama sekali lesung pipit di pipi kiri dan tahi lalat kecil di bawah mata kanan itu. Sungguh menyegarkan mata! Usia gadis itu kurang lebih dua puluh satu tahun dan melihat dandanannya, tentu seorang nona yang kaya raya. Pinggangnya tidak seramping pinggang Kim Hong, akan tetapi dada dan pinggul yang membusung itu mendatangkan gairah. "Kali ini aku sendirian saja, Kwa-lopek. Sediakan masakan kesukaanku, cepatan sedikit karena aku tidak akan lama di sini." jawab gadis itu dan dari percakapan antara gadis itu dan si kepala pelayan, mudah diduga bahwa tentu gadis ini amat dikenal dan merupakan seorang langganan yang baik dari restoran besar ini. Thian Sin juga melihat betapa beberapa orang yang berada di situ, mengangguk dengan hormat kepada si nona manis.

"Lopek, aku ingin duduk di meja ini, tidak begitu panas di sini, memperoleh angin dari luar. Malam ini panas sekali!" katanya sambil mengipasi leher dengan kipasnya. Bau harum menyambar ke arah meja Thian Sin dari gerakan kipas itu.

Meja yang dipilih adalah meja yang berdekatan dengan meja Thian Sin, di antara meja pendekar itu dan meja pemuda yang bersajak tadi. Akan tetapi meja itu dipakai oleh dua orang laki-laki bersama isteri mereka. Ketika mendengar bahwa nona itu memilih meja mereka, empat orang itu cepat-cepat bangkit berdiri dan berkata kepada kepala pelayan, "Biarlah hidangan kami dipindahkan ke meja lain agar meja ini dapat dipakai oleh nona..."

Gadis manis itu hanya memandang kepada mereka dengan anggukan sedikit sebagai pernyataan terima kasih. Mendongkol juga rasa hati Kim Hong melihat ini. "Ini namanya tidak mengenal budi!" katanya agak keras sehingga tentu saja terdengar oleh nona itu, akan tetapi karena ia bicara bukan sebagai penyerang langsung, nona itupun hanya melirik saja. Setelah dua pasangan itu pindah dan meja dibersihkan, nona itu lalu duduk sambil mengipasi lehernya. Kemudian diamblinya sebuah tas kecil, dibukanya dan dibereskan rambutnya sambil memandang sebuah cermin kecil yang berada di dalam tas. Akan tetapi, Thian Sin yang berada di belakang gadis itu agak ke samping, sempat melihat cermin itu dan melihat sepasang mata jeli memandang langsung kepadanya, kemudian sebuah di antara dua mata jeli itu berkedip kepadanya! Kedipan yang disengaja, kedipan yang ada maksudnya! Dan kini nampak sepasang bibir merah di cermin itu tersenyum kepadanya, memperlihatkan deretan gigi putih mengintai dari balik daging merah mulut itu! Sebuah tantangan yang manis!

Akan tetapi, kalau Thian Sin tertarik memandang kepada gadis manis itu melalui cermin di dalam tas yang sengaja diarahkan kepadanya, Kim Hong sebaliknya diam-diam memperhatikan pemuda yang bersajak tadi. Pemuda itupun jelas kelihatan tertarik sekali kepada gadis ini, dun wajah yang tadinya mengandung seri jenaka itu kini berobah serius, akan tetapi tetap saja kekaguman terbuka terpancar dari matanya ketika memandang gadis itu, seperti ketika memandang kepadanya. Diam-diam ada rasa tidak enak di hati Kim Hong, seolah-olah ia merasa bahwa ia telah memperoleh seorang saingan yang cukup berat! Maka ia mengerling ke arah gadis itu dan matanya yang tajam sempat melihat wanita itu mempermainkan cermin kecil di dalam tasnya. Akan tetapi, biarpun ia tahu bahwa melalui cemain itu si gadis manis tentu sedan menyelidiki sesuatu, Kim Hong tidak tahu bahwa wajah Thian Sin-lah yang terpantul di dalam cermin yang dipermainkan oleh jari-jari tangan gadis itu.

Tentu saja, sebasai seorang langganan yang baik, pesanan nona itu memperoleh pelayanan yang cepat sekali. Sebentar saja, semua hidangan yang dipesannya telah datang, diatur di atas meja depan nona itu, mengepulkan uap panas. Karena ia hanya seorang diri saja, maka yang dipesannya hanya empat macam masakan dan meja itu terlalu besar baginya, masih sebagian besar meja yang kosong. Nona itupun mulai makan dengan sikap tenang, sedikitpun tidak merasa canggung biarpun ia tahu bahwa banyak pasang mata pria memandang kepadanya, sebagian besar secara melirik sembunyi-sembunyi, kecuali mata beberapa orang pria, termasuk mata pemuda sastrawan tadi yang duduk berhadapan dengannya, dari mata Thian Sin yang duduk di arah belakangnya.

Thian Sin melihat pula betapa pemuda sastrawan itu menatap wajah orang yang sedang makan dengan asyik sekali. Hemm, agaknya dia akan membuat sajak dari gerakan mulut gadis yang sedang makan itu, pikirnya mendongkol karena tempat duduk pemuda itu lebih "strategis" dibanding dengan tempat duduknya yang hanya memungkinkan dia memandang wajah itu dari samping agak belakang saja.

"Huh, jalangmu kumat pula!" Tiba-tiba terdengar bisikan Kim Hong dan sebuah cubitan pada pahanya hampir membuat Thian Sin menjerit.

"Hushhh..." Bisiknya membalas. "Siapa tahu ia kakap pula..."

"Memang kakap untuk kejalanganmu!" Kim Hong masih panas hatinya. Melihat pemuda sastrawan itu agaknya mengalihkan perhatian, tertarik kepada si gadis yang baru datang saja sudah membuat hatinya panas, merasa tersaing. Apa lagi melihat Thian Sin juga longak longok! Ia mengenal watak Thian Sin yang romantis, yang suka akan kecantikan wanita dan mudah jatuh hatinya terhadap wajah cantik, akan tetapi iapun tahu bahwa di lubuk hatinya, Thian Sin hanya mencinta ia seorang. Dan iapun tahu bahwa ia tidak dapat menyalahkan Thian Sin, karena ia sendiri selalu tertarik dan kagum kalau melihat pria tampan dan gagah, walaupun cintanya hanya untuk Thian Sin seorang.

Tiba-tiba semua orang menengok ketika melihat masuknya seorang laki-laki tinggi besar yang berjalan agak sempoyongan. Jelaslah bahwa laki-laki tinggi besar ini sudah agak mabok, maka sungguh mengherankan sekali. Mengapa orang yang sudah agak mabok, yang berarti sudah terlalu banyak minum arak, sekarang memasuki restoran? Seorang pelayan segera menyambutnya.

"Tuan hendak makan? Silahkan, di sudut belakang masih ada meja kosong." Biarpun di ruangan depan juga masih ada beberapa buah meja yang kosong, akan tetapi pelayan yang cerdik ini sengaja memilihkan di sudut belakang agar orang tinggi besar yang sudah agak mabok dan kelihatannya kasar ini tidak mengganggu tamu-tamu lainnya.

Si tinggi besar yang usianya hampir empat puluh tahun itu melotot. Mukanya kasar dan kumis serta jenggotnya tidak terpelihara, pakaiannya juga kumal akan tetapi keseluruhan tubuhnya membayangkan kekuatan dan kekasaran. "Apa katamu? Di belakang? Tidak. Aku ingin duduk di meja ini!" Sambil berkata demikian, dia menunjuk ke arah meja yang sudah ditempati nona manis yang sedang makan itu.

Pelayan itu terkejut. "Harap tuan tidak membikin ribut, meja ini sudah ditempati oleh nona ini, apakah tuan tidak melihatnya?"

"Peduli apa? Yang dipakai hanya separuh meja juga tidak ada, masih banyak yang kosong! Ia hanya sendirian, dan meja ini untuk delapan orang! Masa hendak diborong sendiri? Pula, tidak baik membiarkan wanita muda dan cantik seperti ia ini duduk makan sendirian saja! Boleh kan aku duduk di sini menemanimu, manis?"

Gadis itu berhenti makan, memandang dengan alis berkerut. "Hemm, siapakah engkau? Tidak kenalkah engkau siapa aku maka berani kurang ajar?" gadis itu bertanya.

Si tinggi besar tertawa bergelak. "Hua-ha-ha-ha, karena belum kenal maka sekarang kita berkenalan! Aku Can Hoa, orang-orang menyebutku Hai-pa-cu (Macan Tutul Laut), di Yen-tai namaku terkenal sekali. Nona siapakah?" Dan si tinggi besar ini mau duduk begitu saja di atas bangku dekat nona itu.

"Pergilah dan jangan ganggu aku!" Nona itu berseru dan tangannya menampar ke arah muka orang itu.

"Plakkk!" Si tinggi besar itu menangkis dan akibatnya, nona itu hampir saja terjatuh dari atas bangkunya! Kiranya si tinggi besar itu menggunakan tenaga keras.

"Ha-ha-ha, nona manis, jangan terlalu galak Hai-pa-cu tidak biasa menghadapi wanita galak karena biasanya semua wanita jinak kepadaku, ha-ha-ha!" Hai-pa-cu Can Hoa itu tertawa bergelak.

Nona itu terkejut akan tetapi tidak kelihatan takut, bahkan ia menjadi marah dan meloncat turun dari atas bangkunya, alisnya terangkat dan sepasang matanya mengeluarkan sinar berapi.

"Bangsat kurang ajar! Berani engkau mengganggu orang di tempat ini?" teriaknya dan iapun sudah siap untuk menyerang si tinggi besar itu. Dari gerak-geriknya, Thian Sin dan Kim Hong maklum bahwa gadis itupun bukan orang sembarangan dan belum tentu kalah kalau hanya oleh penjahat kasar itu saja. Kalau tadi nona itu hampir jatuh dari atas bangkunya ketika si penjahat menangkis, adalah karena nona itu tidak mengira bahwa si penjahat akan menangkis dengan pengerahan tenaga besar.

Akan tetapi sebelum gadis itu bergerak, tiba-tiba terdengar suara nyaring, "Maaf, nona. Saya kira untuk memukul seekor anjing kudisan tidak layak mempergunakan sebatang tongkat gading. Hanya akan mengotori tongkat indah itu saja."

Gadis itu memutar tubuh menengok ke kanan dan ternyata yang bicara itu adalah si sastrawan muda yang makan seorang diri tadi. Kini pemuda itu sudah bangkit dan meninggalkan mejanya, menghampiri nona muda yang cantik manis itu, lalu menjura dengan sikap sopan sekali.

Gadis itu memandang heran karena ia tidak pernah mengenal pemuda itu. Pula, iapun tidak mengerti apa yang dimaksudkannya. "Apa maksudmu?" tanyanya ragu.

Pemuda itu tersenyum dan nampak betapa tampannya wajah itu, sepasang matanya bersinar-sinar penuh kegembiraan. "Maksudku, nona. Untuk menghajar anjing ini tidak sepatutnya kalau mempergunakan tangan nona. Biarlah aku yang mewakilimu untuk menghajarnya agar dia tahu sopan santun sedikit!"

Tanpa menanti jawaban nona itu, si sastrawan muda lalu membalik dan menghadapi penjahat tinggi besar yang kelihatan agak ragu-ragu melihat ada orang berani campur tangan.

"Hai, kamu Hai-ci-cu (Tikus Laut), apakah kamu tidak pernah sekolah?"

Pertanyaan itu begitu wajar dan akrab terdengarnya sehingga si tinggi besar terbawa hanyut dan otomatis diapun menggeleng kepala. "Tidak..." Akan tetapi diapun sadar dan mukanya menjadi merah, lalu mengepal tinju.

"Bocah lancang! Mau apa engkau mencampuri urusanku?" Dia melangkah maju, mengamangkan tinjunya yang besarnya hampir sama dengan besar kepala pemuda itu. "Apa kau ingin kepalamu pecah?"

Pemuda itu dengan lagak lucu meraba-raba kepalanya. "Kepala pecah? Wah, jangan ah, kepala cuma satu dipecah, lalu ke mana aku harus mencari gantinya?"

"Pemuda gila, pergilah jangan sampai aku marah!" Hai-pa-cu Can Hoa membentak lagi sambil mengamangkan tinjunya ke depan hidung pemuda itu. Si pemuda mengernyitkan hidungnya, lalu menggunakan dua jari tangannya untuk menutup lubang hidung sambil mundur dan menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Huh, tanganmu bau! Tentu engkau tidak pernah mencuci tangan, tidak pernah mandi!" katanya dan karena hidungnya dijepit jari, maka suaranya menjadi lucu dan bindeng, membuat beberapa orang yang berada di situ tak dapat menahan ketawa mereka. Biarpun semua tamu maklum bahwa si tinggi besar itu adalah seorang penjahat, akan tetapi karena tidak ada yang mengenalnya, maka kesannya tidak begitu menakutkan. Apa lagi mereka semua rata-rata mengenal siapa adanya gadis manis yang diganggu itu maka tentu saja mereka semua berpihak kepada si nona dan semua orang menganggap bahwa si tinggi besar itu sungguh mencari penyakit. Munculnya pemuda sastrawan yang juga tidak dikenal orang itu mendatangkan kegembiraan dan keinginan tahu.

Si Macan Tutul Laut menjadi marah bukan main. Tadi dia sudah dimaki Tikus Laut, dan sekarang dikatakan tangannya bau dan dia tidak pernah mandi. Mukanya yang berkulit kasar hitam itu menjadi semakin hitam.

"Bangsat bermulut lancang! Engkau benar-benar sudah bosan hidup!" Setelah berteriak demikian, si tinggi besar ini sudah menubruk ke depan, kedua lengannya yang panjang itu bergerak ke depan mengirim serangan. Memang serangannya itu cukup dahsyat, yang kanan menghantam ke arah kepala lawan sedangkan yang kiri mencengkeram ke arah dada. Semua serangan ini dilakukan dengan pengerahan tenaga yang besar sehingga membawa angin pukulan yang cukup kuat. Akan tetapi, pemuda yang kelihatan lemah dan lucu itu sama sekali tidak merasa takut atau gentar, juga tidak nampak gugup sedikitpun juga. Menghadapi serangan seperti itu, dengan tenang saja dia melangkah mundur dan menarik kepalanya ke belakang dan kedua tangan lawan yang menyerangnya itu hanya mampu mendekati saja akan tetapi sama sekali tidak sampai mengenai tubuhnya! Dan diapun masih sempat menengok ke arah nona manis itu sambil tersenyum dan mengedipkan matanya, seolah-olah memberi isyarat, bahkan diapun sempat berkata, "Mari kita semua lihat, siapa yang bosan hidup. Anjing kudisan macam dia ini berani mengganggu seorang siocia terhormat di tempat umum, sungguh dialah sesungguhnya yang bosan hidup!"

Dia masih berkata-kata ketika serangan ke dua datang dengan hebatnya. Sekali ini, karena si tinggi besar sudah dapat menduga bahwa pemuda itu yang kelihatannya lemah sesungguhnya bukan lawan yang boleh dipandang ringan, telah mengirim serangan dengan lebih dahsyat lagi, terdorong oleh rasa marahnya. Dan nona itupun memandang dengan bingung. Thian Sin dan Kim Hong yang sejak tadi duduk tenang sambil memperhatikan, melihat betapa nona itu kelihatan bingung melihat ada orang membantunya. Tentu saja hal ini tidak terlepas dari pandang mata mereka yang tajam den mereka merasa betapa anehnya sikap nona itu. Seolah-olah nona manis itu tidak menghendaki bantuan pemuda tampan itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar