Kini Ling Ling menghadapi Tiong Gi Cinjin dan berkata. "Totiang, rasanya ada kekeliruan dalam hal ini. Kalau tidak salah, nama Ang-hong-cu sudah tersohor sejak belasan tahun! Bagaimana mungkin Susiokku ini yang menjadi Ang-hong-cu, padahal usia Susiok ini baru dua puluh lebih?"
Tujuh orang Bu-tong-pai ini saling pandang, akan tetapi Tiong Gi Cinjin segera berkata, "Kalau dia ini bukan Ang-hong-cu, tentulah keturunannya atau muridnya! Ang-hong-cu tidak pernah memperlihatkan mukanya, hanya meninggalkan perhiasan tawon merah. Dan pemuda ini memiliki perhiasan itu, dan sikapnya jelas menunjukkan bahwa dialah Ang-hong-cu. Gerak-geriknya sudah lama dibayangi oleh para murid Bu-tong-pai dan dia seorang pemuda mata keranjang yang suka menggoda wanita!"
"Ahh....!" Ling Ling melangkah mundur dan memandang kepada Hay Hay dengan sinar mata penuh keraguan.
"Ling Ling! Engkau... tidak percaya padaku?"
"Aku.. aku tidak tahu..." gadis itu menjawab dan melangkah mundur lagi sampai lima langkah.
"Sudahlah, orang muda. Menyerahlah saja dan nanti di depan ketua kami, boleh engkau membela diri sesukamu!" kata Tiong Gi Cinjin sambil melangkah maju.
"Tidak, Totiang, aku tiak mau menyerah karena aku tidak merasa bersalah terhadap Bu-tong-pai!" kata Hay Hay yang menjadi tidak sabar lagi, terutama sekali melihat betapa Ling Ling agaknya juga mulai bercuriga kepadanya, mengira bahwa dia benar-benar Ang-hong-cu!
"Kalau begitu, terpaksa pinto menggunakan kekerasan!" kata tosu itu dan enam orang murid keponakannya juga sudah mencabut pedang dari punggung masing-masing. Cara mereka mencabut pedang saja sudah menunjukkan bahwa mereka telah menguasai Ilmu Pedang Bu-tong-kiam-sut yang terkenal indah dan ampuh.
Tiba-tiba Sim Ki Liong tertawa dan dia pun melangkah maju. "Nanti dulu, Totiang. Saudara ini adalah tamuku, dan akulah yang mengajak mereka berdua datang ke tempat ini. Oleh karena itu, kalau Totiang dan para murid Bu-tong-pai hendak menyerang Saudara Tang ini, berarti menyerang tamuku. Sebagai seorang tuan rumah, tentu saja saya tidak dapat membiarkan tamu saya diganggu!"
Tiong Gi Cinjin memandang wajah Ki Liong dengan alis berkerut. Dia bertindak atas nama Bu-tong-pai dan dia tidak mau kalau sampai perkumpulannya terlibat dalam permusuhan dengan golongan lain. "Orang muda, siapakah engkau? Di antara kita tidak ada persoalan sesuatu, karena itu, harap engkau orang muda jangan mencampuri urusan kami dengan Ang-hong-cu."
"Namaku Sim Ki Liong, Totiang. Dan memang benar di antara kita tidak pernah terjadi bentrokan atau ada persoalan, akan tetapi kalau hari ini pihak Bu-tong-pai hendak mengganggu tamu-tamuku dan tidak dapat kuminta agar tidak melanjutkan kehendaknya itu, berarti bahwa Bu-tong-pai sengaja hendak mencari gara-gara dan urusan dengan aku." Jawaban ini tenang akan tetapi juga mengandung peringatan dan ancaman.
"Orang she Sim!" bentak seorang di antara Bu-tong Liok-eng (Enam Pendekar Bu-tong-pai) yang kurus tadi. "Ini adalah hutan raya, tempat umum. Bagaimana engkau bisa mengatakan bahwa Ang-hong-cu ini tamumu? Kalau engkau hendak melindunginya, berarti bahwa engkau pun bukan manusia baik-baik! Yang melindungi penjahat, berarti dia penjahat pula! Susiok harap jangan melayani bocah ini dan biarlah kami yang akan menghabiskannya!" Berkata demikian, Si Kurus ini lalu memberi isarat kepada lima orang temannya dan mereka berenam sudah mengepung Ki Liong dengan pedang di tangan! Akan tetapi, Ki Liong hanya tersenyum dan berdiri tenang.
"Sudah kukatakan bahwa aku tidak ingin bermusuhan, akan tetapi kalau kalian orang-orang Bu-tong-pai mengganggu tamuku dan aku, apa boleh buat, jangan dikira aku takut terhadap kalian!" Tangan kanannya bergerak dan nampak sinar berkelebat. Tahu-tahu di tangan kanannya sudah terdapat sebatang pedang putih karena pedang itu terbuat dari perak! Melihat ini, jantung Hay Hay berdebar tegang. Kini dia sudah yakin benar. Sim Ki Liong ini sama dengan Ciang Ki Liong yang pernah didengarnya dari Kui Hong, yaitu murid Pendekar Sadis dari Pulau Teratai Merah, murid murtad yang minggat meninggalkan pulau itu tanpa pamit sambil membawa pusaka-pusaka pulau itu, termasuk sebatang pedang yang dia masih ingat ketika Kui Hong bercerita, yaitu pedang yang namanya Gin-hwa-kiam (Pedang Bunga Perak).
Melihat pemuda itu mengeluarkan sebatang pedang, enam orang pengepungnya segera menerjang dari berbagai penjuru. Nampak sinar perak menyilaukan mata dan disusul suara nyaring berdencingan ketika Ki Liong memutar pedangnya menangkis dan enam orang itu berloncatan ke belakang dengan kaget. Pertemuan ntara pedang itu telah membuat mereka terkejut karena tangan mereka tergetar hebat, tanda bahwa orang muda itu sungguh lihai! Mereka pun mengepung dengan hati-hati dan maklum bahwa mereka tidak boleh mengadu senjata secara langsung dengan lawan itu.
Sementara itu, Tiong Gi Cinjin sudah melintangkan tongkatnya dan membentak kepada Hay Hay, "Orang muda, engkau tidak mau menyerah dan memaksakan perkelahian. Baiklah, keluarkan senjatamu dan lawanlah tongkat pinto!"
Hay Hay yang memperhatikan gerakan pedang perak di tangan Ki Liong, kini tersenyum dan menggeleng kepala kepada tosu itu. "Totiang, aku tidak pernah mempersiapkan senjata untuk berkelahi. Kalau Totiang masih penasaran dan hendak memaksaku untuk menyerah, dan hendak menyerang dengan tongkat itu, silakan!"
Ucapan dan sikap tenang HayHay itu dianggap suatu tantangan oleh Tiong Gi Cinjin dan mukanya menjadi merah. Dia seorang wakil Ketua Bu-tong-pai, kini menghadapi seorang pemuda dengan tongkatnya yang terkenal di tangan, dan pemuda itu sama sekali tidak mau melawannya dengan senjata, melainkan dengan tangan kosong saja! Maka dia pun cepat menancapkan tongkatnya ke atas tanah sambil mengerahkan tenaganya. "Cappp!" Tongkat panjang itu masuk ke dalam tanah sampai sepertiganya, dan dia pun menghadapi Hay Hay dengan tangan kosong!
"Ang-hong-cu, engkau selain jahat juga sombong sekali! Nah, pinto juga bertangan kosong. Bersiaplah untuk menerima serangan. "Haiiiitt!" Tosu itu sudah menerjang setelah mengeluarkan teriakan itu dan Hay Hay cepat mengelak dari sambaran tangan kakek itu. Dia merasa betapa ada angin pukulan yang amat kuat dan diam-diam dia pun maklum bahwa sekali ini dia menghadapi seorang lawan yang amat tangguh. Dia tidak mau mempergunakan ilmu sihir. Tentu para murid Bu-tong-pai yang pernah dipermainkannya dengan ilmu sihir itu telah melapor, dan kalau kakek ini berani datang melawannya, tentulah kakek ini sudah yakin bahwa dia akan mampu menghadapi kekuatan sihir, kalau pemuda lawannya itu mempergunakannya.
Bagaimanapun juga, Hay Hay maklum bahwa para tokoh Bu-tong-pai ini hanya salah sangka. Mereka datang untuk membalas atas kematian murid wanita Bu-tong-pai yang menjadi korban Ang-hong-cu dan karena mereka mengira bahwa dialah Ang-hong-cu, dengan bukti perhiasan tawon merah yang dimilikinya, maka kini mereka mati-matian berusaha menangkapnya. Jadi, dalam hal ini orang-orang Bu-tong-pai tidak melakukan kejahatan terhadap dirinya dan kalau diipikir secara mendalam, yang bersalah adalah Ang-hong-cu, sedangkan dia adalah putera kandung Ang-hong-cu! karena ini maka dia pun selalu mengalah dan biarpun tosu itu menyerang secara bertubi, dengan dahsyat sekali, namun Hay Hay selalu mengelak dan menangkis tanpa pernah membalas. Dia hanya mengandalkan kelincahan gerakannya untuk menghindarkan diri dari terjangan tosu yang lihai itu. Betapapun juga, karena tosu yang menjadi wakil perkumpulan Bu-tong-pai itu memang memiliki tingkat kepandaian yang sudah tinggi, Hay Hay kelihatan sibuk sekali dan terdesak.
Keadaan Sim Ki Liong masih lebih baik daripada Hay Hay yang terdesak terus. Pemuda yang memegang Gin-hwa-kiam itu mengerahkan kepandaiannya dan tidak mengalah seperti yang dilakukan Hay Hay. Pedangnya membentuk gulungan sinar putih yang menyilaukan dan yang dahsyat sekali sehingga enam orang pengeroyoknya bahkan kewalahan untuk menjaga diri dari sinar pedang yang menyambar-nyambar itu. Kalau mereka itu bukan murid-murid utama dari Bu-tong-pai, tentu sejak tadi mereka sudah roboh terluka. Bu-tong-pai memang terkenal dengan ilmu pedangnya sehingga enam orang itu dapat memainkan pedang mereka dengan gaya yang bagus dan walaupun menghadapi Ki Liong mereka kalah tingkat, namun permainan pedang mereka dapat dipusatkan untuk pertahanan yang amat ketat.
Selagi ramai-ramainya dua pihak itu berkelahi di tempat sunyi itu, tiba-tiba muncul seorang laki-laki setegah tua yang menggiring puluhan ekor kambing. Dia seorang suku bangsa Hui, mengenakan sorban putih di kepalanya, dan tangannya memegang sebatang tongkat penggembala. Entah bagaimana, agaknya kambing-kambing yang jumlahnya mendekati seratus ekor itu, berlari-lari kacau menuju ke tempat perkelahian, dan penggembala setengah tua itu mengejar di belakang sambil memaki-maki dalam bahasa Hui, mengayun-ayun tongkatnya, sehingga kambing-kambing itu menjadi semakin ketakutan. Karena berada dalam keadaan panik, gerombolan binatang itu lari kacau-balau menyerbu tempat perkelahian sehingga mereka yang berkelahi menjadi kacau pula. Melihat ada segerombolan kambing menyerbu, orang-orang Bu-tong-pai menjadi marah dan para pengeroyok Ki Liong menggunakan kaki mereka menendangi beberapa ekor kambing yang terlempar dan terbanting. Makin riuh suara kambing-kambing itu mengembik dan suasana menjadi semakin kacau.
Penggembala itu menjadi marah. Dengan mata melotot dia lalu menghampiri orang-orang Bu-tong-pai itu dan memaki-maki. "Kalian orang-orang kurang ajar, kenapa menendangi kambing-kambingku?" Sambil memaki-maki dalam bahasa Hui, penggembala itu kini mengobat-abitkan tongkat gembalanya, mengamuk dan menyerang enam orang Bu-tong-pai itu dan kalang-kabut! Orang-orang Bu-tong-pai itu bukanlah orang-orang kejam. Tentu saja mereka tidak ingin memusuhi seorang penggembala bangsa Hui, maka melihat kemarahan penggembala itu yang menyerang mereka dengan tongkat panjang, mereka itu hanya menangkis dengan pedang mereka. Terdengar bunyi nyaring enam kali dan enam orang Bu-tong-pai itu terkejut bukan main. Tongkat Si Penggembala itu bergerak cepat dan secara bertubi-tubi dapat menyambar ke arah mereka walaupun sudah ditangkis, dan bukan itu saja, juga mereka berenam merasa betapa tangan mereka tergetar hebat, tanda bahwa tongkat itu digerakkan dengan tenaga yang dahsyat! Dan kakek penggembala berusia sekitar lima puluh tahun itu masih terus menyerang kalang-kabut, nampaknya dengan gerakan kacau, namun ternyata ujung tongkatnya menyambar-nyambar dengan tepat ke arah enam orang Bu-tong-pai. Mereka segera berloncatan mundur. Kakek bangsa Hui itu kini memutar tongkatnya dan menyerang dengan hantaman ke arah kepala Tiong Gi Cinjin yang masih bertanding dengan serunya, atau lebih tepat, mendesak hebat kepada Hay Hay! Dan wakil Ketua Bu-tong-pai ini pun terkejut karena tongkat itu menyambar dengan amat kuatnya, didahului oleh angin pukulan yang ganas! Tiong Gi Cinjin cepat mengelak dan menggerakkan lengannya menangkis sambil mengerahkan tenaga, dengan maksud mematahkan tongkat penggembala itu.
"Dukk!" Tongkat itu tidak patah, bahkan Tiong Gi Cinjin dapat merasakan melalui tangannya yang tergetar betapa kuatnya tenaga yang terkandung dalam tongkat itu! Maklumlah dia bahwa penggembala Hui ini pun seorang yang memiliki kepandaian tinggi! Padahal, tadi pun dia sudah merasa bingung melihat kenyataan betapa pemuda yang disangkanya Ang-hong-cu itu sama sekali tidak pemah membalas serangannya dan hanya mempertahankan diri, namun sebegitu jauh dia belum juga dapat merobohkannya! Bahkan satu kali pun belum ada serangannya yang mengenai sasaran! Juga dia melihat betapa enam orang anak buahnya sama sekali tidak mampu menandingi kehebatan pemuda yang menggunakan sebatang pedang yang sinarnya seperti perak itu.
"Hayo, siapa yang berani mengganggu kambingku, akan kupukul dengan tongkat ini!" Penggembala Hui itu berteriak-teriak sambil mengobat-abitkan tongkatnya yang panjang.
Tiong Gi Cinjin segera berkata sambil mencabut tongkatnya sendiri, suaranya lembut, "Sobat, tidak ada yang mengganggu kambingmu. Karena kambing-kambingmu memasuki tempat perkelahian ini, maka ada yang kena tendangan. Hitung saja berapa yang tewas dan kami akan menggantinya."
Penggembala itu menghitung kambingnya, akan tetapi tidak ada yang tewas karena para murid Bu-tong-pai tadi pun menendang kambing yang hanya untuk mengusir mereka saja, tanpa niat membunuh. Setelah melihat betapa kambingnya masih utuh, penggembala itu bersungut-sungut dan meneriaki kambing-kambing yang agak menjauh, tanpa mempedulikan lagi mereka yang kini menghentikan perkelahian.
"Ang-hong-cu, biarlah sekali ini pinto melepaskanmu, akan tetapi lain kali pinto akan mencarimu dengan kekuatan yang lebih besar. Bagaimanapun juga, engkau harus mempertanggung-jawabkan perbuatanmu terhadap murid wanita kami!" Setelah berkata demikian, Tiong Gi Cinjin memberi isarat kepada anak buahnya untuk pergi dari tempat itu.
Penggembala itu dengan sikap acuh, juga menggiring pergi kambing-kambingnya, teriakan-teriakannya terdengar sampai jauh dan bahkan ketika dia dan kambing-kambingnya sudah tidak nampak, masih terdengar teriakannya. Diam-diam Hay Hay merasa heran. Dia tahu bahwa penggembala kambing bangsa Hui tadi bukan orang sembarangan sehingga tosu Bu-tong-pai dan anak buahnya mundur begitu penggembala itu datang mengacau dengan kambing-kambingnya.
Sim Ki Liong juga merasa heran dan kagum. Timbul suatu niat di dalam hatinya untuk. membujuk orang Hui itu agar suka bekerja sama dengan persekutuan di mana dia menjadi pembantu pimpinan. "Saudara Tang Hay, nanti dulu, aku ingin mengejar dan bicara dengan penggembala Hui itu!" Setelah berkata demikian, Ki Liong meloncat dan berlari cepat mengejar ke arah menghilahgnya Si Penggembala bersama kambing-kambingnya.
Kini Hay Hay berdiri memandang kepada Ling Ling yang sejak tadi berdiri mematung. Gadis ini terlalu bingung untuk mencampuri perkelahian tadi. Mendengar tuduhan tosu Bu-tong-pai dan para muridnya tadi bahwa Hay Hay adalah Ang-hong-cu, hatinya menjadi bimbang sekali. Ia merasa tertarik kepada Hay Hay yang dianggap susioknya itu, bahkan gadis ini mulai merasa yakin bahwa hatinya bukan hanya tertarik, melainkan ada perasaan cinta terhadap pemuda itu. Akan tetapi, kini wakil Ketua Bu-tong-pai menuduh pemuda itu sebagai Ang-hong-cu, penjahat pemerkosa wanita yang terkenal kejam dan amat jahat! Dan dia merasa ragu-ragu. Hay Hay adalah seorang pemuda yang amat pandai merayu wanita, memuji-muji dan mudah menundukkan hati wanita, jadi tuduhan itu pun bukan tidak masuk akal. Apalagi para tokoh Bu-tong-pai ter:kenal sebagai perdekar-pendekar gagah, pasti tidak menuduh sembarangan saja, dan bukankah ada buktinya, yaitu Hay Hay mempunyai sebuah benda perhiasan tawon merah yang menjadi tanda khas dari penjahat Ang-hong-cu?
"Ling Ling, jangan engkau memandang padaku seperti itu!" Hay Hay berkata. "Percayalah, aku bukanlah Ang-hong-cu penjahat itu!"
Ling Ling menggeleng kepala, matanya masih terbelalak dan mukanya agak pucat. "Aku... tidak tahu... aku tidak... tahu..." katanya ragu dan bingung, kemudian ia membalikkan tubuhnya. "Lebih baik aku pergi saja..."
"Ling Ling, ingat akan pesanku. Tiga hari kemudian aku akan mencarimu di tepi telaga.....!" Hay Hay mengingatkan gadis itu. Dia sudah mengambil keputusan untuk melakukan siasat mendekati Ki Liong dan pura-pura mau bekerja sama agar dia dapat langsung masuk ke dalam sarang persekutuan itu. Dengan demikian, akan mudah baginya untuk melakukan penyelidikan, mengetahui siapa saja anggauta pimpinan persekutuan itu. Tidak perlu terlalu lama, tiga hari pun cukuplah dan dia akan melarikan diri keluar dan menemui Ling Ling. Dia harus meyakinkan hati gadis itu bahwa dia bukan Ang-hong-cu, sungguhpun dia belum tahu bagaimana dia akan dapat meyakinkannya tanpa membuka rahasianya bahwa Ang-hong-cu adalah ayah kandungnya.
Ling Ling tidak menjawab, melainkan berlari cepat meninggalkan tempat itu. Tempat yang tadinya menjadi medan perkelahian itu kini menjadi sunyi, Hay Hay lalu duduk, menanti kembalinya Ki Liong. Tak lama kemudian, pemuda itu pun datang berlari cepat, dan begitu tiba di situ Ki Liong memandang ke kanan kiri, mencari-cari dengan pandang matanya karena dia tidak melihat Ling Ling disitu.
"Eh, di mana Nona Cia....?" tanyanya.
Hay Hay menarik napas panjang. Dia tidak perlu berpura-pura karena dia tidak perlu membohong pula. "Ia telah pergi, marah karena menduga bahwa aku adalah Ang-hong-cu, tentu ia merasa malu mempunyai seorang Susiok yang menjadi jai-hwa-cat tersohor itu."
Ki Liong tersenyum. "Saudara Tang, apakah engkau bukan Ang-hong-cu? Tokoh-tokoh Bu-tong-pai itu kelihatan begitu yakin... "
"Hemm, Saudara Sim Ki Liong, seperti yang dikatakan oleh Ling Ling tadi, Ang-hong-cu terkenal sebagai seorang jai-hwa-cat sejak puluhan tahun yang lalu. Bagaimana mungkin aku yang baru berusia dua puluh satu tahun dituduh sebagai Ang-hong cu yang tentu usianya Sudah jauh lebih tua?" Lalu, dengan muka menunjukkan penasaran dan kemarahan, Hay Hay bertanya. "Saudara Sim, apakah engkau juga ikut-ikut menuduh aku Ang-hog-cu?"
Sim Ki Liong tertawa. "Sama sekali tidak, Saudara Tang. Dan andai kata betul sekalipun, aku tidak akan mencampuri urusan pribadimu. Memang para pendekar itu kadang-kadang terlalu memandang rendah orang lain seolah-olah diri mereka saja yang baik, bersih dan gagah. Engkau pun telah mereka musuhi dan mereka tuduh semena-mena. Nah, mereka sama sekali tidak menghargaimu. Akan tetapi aku, maksud kami, akan dapat menghargaimu yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan kalau engkau suka bergabung dengan kami, membantu perjuangan kami sehingga berhasil, kelak engkau pun akan menjadi seorang berpangkat tinggi dan manusia-manusia macam mereka itu tidak akan berani lagi memandang rendah dan meremehkanmu, apalagi menghina seperti yang mereka lakukan tadi."
"Hemm, engkau tadi pun bicara tentang perjuangan. Apa yang sebenarnya kaumaksudkan?" Hay Hay memancing.
"Kami sedang menghimpun kekuatan dalam suatu persekutuan, memperjuangkan nasib kita dari tekanan pemerintah yang lalim. Kaisar dan para menteri sekarang ini kurang bijaksana, banyak pembesar melakukan korup, banyak terjadi kelaliman, oleh karena itu kami berusaha untuk melakukan suatu perjuangan "
"Maksudmu pemberontakan terhadap pemerintah?"
"Ki Liong tersenyum. "Bagi kami, bukan pemberontakan melainkan perjuangan, Saudara Tang! Memberontak terhadap kelaliman adalah suatu perjuangan yang mulia. Karena itu, marilah engkau bergabung dengan kami agar kepandaianmu tidak akan sia-sia."
Hay Hay pura-pura mengerutkan alisnya dan berpikir. "Akan tetapi, aku tidak tahu siapa pemimpin kalian, dan orang macam apa dia, dan siapa pula yang menjadi anggauta pimpinan."
"Jangan khawatir, Saudara Tang, Pemimpin kami adalah seorang yang berilmu tinggi sekali. Bengcu kami adalah, seorang yang bijaksana dan aku sendiri diangkat menjadi pembantu utamanya. Banyak orang kang-ouw yang sudah menggabungkan diri dan jangan engkau heran kalau di antara mereka terdapat tokoh-tokoh dari golongan hitam. Dalam suatu perjuangan, urusan pribadi ditinggalkan, dan kami menghimpun tenaga dari manapun juga asal dapat membantu gerakan kami. Marilah engkau kuperkenalkan dengan Bengcu dan para anggauta pimpinan."
"Di mana pusat persekutuan kalianitu?
"Di Pegunungan Yunan. Marilah engkau ikut bersamaku, Saudara Tang. Hanya sayang bahwa Nona Cia tidak dapat ikut ke sana."
"Ia sedang marah tak perlu dihubungi lagi, dan baiklah, aku akan ikut denganmu, Saudara Sim. Akan tetapi, bagaimana dengan penggembala Hui tadi? Siapakah dia dan sudahkah engkau tadi bertemu dengan dia, Saudara Sim?"
"Wah, orang itu memang aneh dan mencurigakan, juga agaknya dia lihai sekali. Tadi, melihat kelihaiannya, aku ingin menghubunginya dan melakukan pengejaran. Akan tetapl ketika aku tiba di luar hutan ini, yang kutemukan hanyalah segerombolan kambing yang digembala oleh seorang anak kecil suku bangsa Hui. Kutanya dia tentang laki-laki setengah tua tadi dia hanya bilang bahwa laki-laki itu meminjam kambing-kambingnya itu dah baru saja dikembalikan. Anak itu diberi beberapa potong uang perak dan dia tidak mengenal siapa adanya laki-laki itu yang telah pergi dengan cepat setelah mengembalikan kambing-kambingnya dan memberinya beberapa potong uang perak."
"Aneh sekali..." kata Hay Hay, heran.
"Memang aneh. Jelas bahwa laki-laki itu sengaja menyamar sebagai penggembala untuk membubarkan perkelahian, atau kalau tidak keliru dugaanku, dia sengaja hendak membantu kami menghadapi orang-orang. Bu-tong-pai. Akan tetapi sudahlah, dia sudah pergi. Mari engkau ikut bersamaku menemui Bengcu kami, Saudara Tang."
Hay Hay mengangguk-angguk dan mengikuti pemuda tampan itu meninggalkan tempat itu, menuju ke barat. Diam-diam dia masih membayangkan keanehan laki-laki penggembala bangsa Hui itu.
Siapakah dia dan apa maksudnya dengan berpura-pura menggembala kambing dan menyerbu ke tempat perkelahian? Melihat betapa penggembala palsu itu tadi membuat gentar orang-orang Bu-tong-pai, membuktikanl bahwa orang itu memang lihai sekali, padahal baru melakukan penyerangan beberapa kali saja dengan tongkat gembalanya! Akan tetapi karena dia pun menduga bahwa di tempat itu banyak berkeliaran orang pandai, Hay Hay menduga bahwa tentu laki-laki setengah tua tadi seorang di antara para pendekar yang menurut Menteri Yang Ting Hoo, banyak berdatangan ke tempat itu untuk melakukan penyelidikan terhadap persekutuan orang sesat yang dipimpin oleh Lam-Hai Giam-lo itu. Dan kini dia dibawa oleh Ki Liong menghadap Lam-hai Giam-lo!
"Hay-ko...! Engkau ini...?" Pek Eng berseru dengan gembira sekali ketika ia mengenal Hay Hay. Pemuda itu masuk bersama Ki Liong untuk menghadap Lam hai Giam-lo dan karena para pengawal mengatakan bahwa bengcu sedang berlatih silat dengan murid atau puteri angkatnya di lian-bu-thia (ruangan berlatih silat), maka Ki Liong yang memiliki kebebasan di tempat itu sebagai pembantu utama dan terpercaya dari bengcu, langsung saja mengajak Hay Hay untuk memasuki ruangan itu.
Begitu mereka masuk, Hay Hay melihat dan mengenal seorang gadis yang sedang berlatih silat dan jantungnya berdebar penuh ketegangan.
Gadis itu bukan lain adalah Pek Eng! Keraguannya lenyap seketika setelah gadis itu menoleh dan matanya terbelalak, lalu memanggilnya dengan gembira.
"Adik Eng...! Benar engkaukah ini? Bagaimana bisa di sini ?" Dia pun bertanya terheran-heran. Apakah keluarga Pek, pimpinan Pek-sim-pang yang termasuk aliran putih itu juga bersekutu dengan gerombolan pemberontak yang dipimpin oleh Lam-hai Giam-lo? Rasanya tidak mungkin begitu.
"Ah, kalian sudah saling mengenal? Bagus!" kata Ki Liong, tentu saja hanya pura-pura karena ketika Pek Eng baru tiba di tempat itu, gadis ini sudah bercerita bahwa ia mencari dua orang, yaitu kakak kandungnya yang bernama Pek Han Siong, dan orang ke dua yang dicarinya adalah Hay Hay. Dia sendiri mendengar ketika Pek Eng menceritakan hal itu kepada Bi Lian, murid dari mendiang Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi itu.
Sementara itu, Lam-hai Giam-lo sudah mendengar beritanya lebih dahulu tentang pemuda bernama Hay Hay itu, yang kabarnya amat lihai, sedemikian lihainya sehingga dua orang di antara para pembantunya yang dipercaya, yaitu Min-san Mo-ko dan Ji Sun Bi, juga merasa jerih dan mengundang Ki Liong untuk membantu mereka, Kini Ki Liong kembali bersama pemuda itu, agaknya berhasil membujuknya maka diam-diam hati Lam-hai Giam-lo menjadi gembira sekali. Makin banyak orang pandai membantunya semakin baik.
Pek Eng dan Hay Hay saling pandang dan tiba-tiba saja kedua pipi gadis itu berubah merah karena ia teringat betapa ia pernah mencium dan dicium pipinya oleh pemuda ini yang tadinya ia sangka kakak kandungnya! Seorang pernuda yang pandai merayu, akan tetapi... menyenangkan sekali dan kelihaiannya membuat ia kagum bukan main. Setelah ia teringat akan peristiwa penciuman itu, tiba-tiba saja Pek Eng menjadi pemalu dan tidak mampu mengeluarkan kata-kata, Sementara itu, melihat betapa muridnya, juga anak angkatnya, yang amat disayangnya itu telah saling mengenal dengan pemuda yang baru datang itu, Lam-hai Giam-lo juga merasa girang sekali. Kalau Eng Eng sudah mengenalnya, akan mudah mengetahui siapa sebenarnya pemuda itu, dan tentu lebih dapat dipercaya.
"Saudara Tang Hay, inilah Bengcu kami yang memimpin gerakan perjuangan kami. Bengcu, dia adalah Saudara Tang Hay, seorang pemuda petualang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Dia sudah mendengar dariku tentang semua cita-cita perjuangan kita dan menyatakan setuju untuk membantu agar kelak dia dapat memperoleh bagian jabatan yang tinggi." kata , Sim Ki Liong.
Lam-hai Giam-lo mengangguk-angguk.
"Mari, silakan ikut dengan kami keruangan duduk, orang muda, agar kita dapat bicara dengan lebih leluasa"
Mereka memasuki ruangan duduk, dan diam-diam Hay Hay mengagumi semua perabot rumah yang serba mewah itu. Juga ruangan duduknya amat luas dan nyaman, dihias lukisan-lukisan dan tulisan-tulisan indah. Mereka berempat lalu duduk di dalam ruangan itu. Dua orang pelayan wanita muda yang cantik-cantik segera keluar menyuguhkan arak dan air teh harum, lalu pergi lagi dengan langkah kaki yang genit
"Eng Eng, engkau sudah mengenal pemuda ini? Di mana engkau mengenalnya dan siapakah dia ini sebenarnya?" Lam-hai Giam-lo bertanya kepada Pek Eng dengan suara menyayang. Hay Hay melihat sikap ini dan dia merasa semakin heran. Agaknya kakek bemuka kuda ini yang julukannya Lam-hai Giam-lo, pemimpin dari gerombolan orang sesatyang hendak memberontak terhadap pemerintah, amat akrab dengan Pek Eng, dan tadi dia melihat betapa Pek Eng berlatih silat di bawah bimbingan kakek ini! Suara kakek ini pun luar biasa sekali, parau pecah seperti ringkik kuda. Keadaan wajah dan tubuhnya juga aneh. Mukanya mirip kuda, dengan mulut atas menjorok keluar, dua matanya sipit dan sepasang telinganya lebar. Tubuhnya yang tinggi kurus itu memiliki sepasang kaki yang panjang. Seorang kakek yang aneh dan usianya belum begitu tua, sekitar lima puluh tahun lebih.
"Bengcu, aku mengenalnya sebagai Hay Hay, ketika masih bayi pernah menjadi anak angkat dari orang tuaku."
"Ho-ho-ha-ha...!" Lam-hai Giam-lo tertawa dan suaranya bergema diruangan itu, "kalau begitu, dia ini masih kakak angkatmu sediri?"
Pek Eng adalah seorang gadis yang amat cerdik dan tangkas. Ketika Hay Hay muncul tadi, ia sudah merasa kaget dan heran bukan main, dan biarpun ia tidak tahu apa maksud kedatangan Hay Hay di tempat itu, namun ia tahu bahwa kalau kedatangan Hay Hay ini hendak menentang persekutuan yang dipimpin Lam-hai Giam-lo, maka akan terancamlah keselamatan Hay Hay. Agaknya pemuda itu tidak tahu betapa di tempat itu berkumpul banyak sekali orang yang amat lihai. Maka, mendengar ucapan Lam-hai Giam-lo, ia pun cepat mengangguk membenarkan.
"Begitulah, Bengcu. Dia boleh dibilang kakakku sendiri, kakak angkat karena dia pernah diangkat anak oleh Ayah bundaku"
Hay Hay mengangguk-angguk pula, menahan dirinya yang diliputi penuh perasaan heran dan penasaran bagaimana Pek Eng dapat berada di tempat itu dan nampaknya demikian dekat hubungannya dengan Lam-hai Giam-lo, pimpinan pemberontak itu! Padahal keluarga Pek setahunya adalah keluarga pendekar yang tentu saja sama sekali tidak akan sudi berhubungan dengan para pemberontak, apalagi kalau pemberontak itu terdiri dari orang-orang golongan hitam. Namun, dia pun cerdik dan menahan dirinya. Dia akan bertanya tentang keanehan itu dari Pek Eng sendiri, kalau mereka sempat bicara empat mata saja.
"Sobat Tang Hay, kalau engkau pernah diangkat anak oleh orang tua Eng Eng, kenapa engkau tidak memakai nama keluarga Pek, akan tetapi kini memakai nama 'keluarga Tang?"
Pertanyaan yang tiba-tiba dari Lam-hai Giam-lo ini sebetulnya mengejutkan hati Hay Hay, namun sama sekali tidak nampak pada wajahnya yang tetap tenang. Dia bahkan tersenyum lalu memberi hormat kepada pemimpin itu.
"Maaf, Bengcu. Sebelum kita bicara tentang diriku, lebih dulu aku ingin sekali tahu, apakah Bengcu dapat menerima aku untuk membantu gerakan perjuangan yang Bengcu pimpin? Tentu saja dengan janji bahwa kalau kelak gerakan berhasil, aku akan mendapat bagian, yaitu sebuah kedudukan yang tinggi dan terhormat sesuai dengan jasa-jasaku?"
Wajah Lam-hai Giam-lo berseri. Kalau ada orang membantunya dengan pamrih memperoleh jabatan kelak, maka orang itu dapat dipercaya! Dia tertawa dan berkata, "Tentu saja, orang muda yang gagah. Dan karena yang mengajakmu datang adalah Sim-kongcu yang sudah kupercaya sepenuhnya, maka kami pun percaya kepadamu. Kita lihat saja nanti bagaimana kesetiaanmu terhadap gerakan kita dan apa saja jasamu terhadap perjuangan. Nah, sekarang jawablah pertanyaanku tadi."
Hay Hay merasa penasaran. Kakek bermuka kuda ini sungguh kuat ingatannya, masih ingat akan pertanyaannya yang belum terjawab tadi. Dengan sewajarnya dia menjawab, "Biarpun aku pernah diangkat anak oleh keluarga Pek, akan tetapi hanya sebentar, dan aku merasa tidak berhak mempergunakan nama keluarga Pek yang terhormat. Karena itulah maka aku mempergunakan nama keluarga Ayah kandungku sendiri yang telah tiada. Bukankah begitu, Eng-moi?" Ditanya demikian, Pek Eng hanya mengangguk. Tentu saja ia tidak mau membuka rahasia pemuda yang dikaguminya itu bahwa pemuda itu adalah putera jai-hwa-cat Ang-hong-cu yang tersohor itu.
Sebelum Lam-hai Giam-lo bicara lebih lanjut, terdengar suara ribut-rlbut di di luar lian-bu-thia (ruangan latihan silat) itu. Terdengar suara orang yang lantang dan nadanya mengejek. "Eh-eh, kalian ini mau apa? Sudah kukatakan bahwa aku datang mencari Lam-hai Giam-lo. Bukankah kabarnya dia menampung orang-orang gagah untuk bekerja sama? Dan kini aku datang, mengapa disambut seperti musuh saja? Beginikah yang dinamakan menghargai orang gagah?"
"Orang asing! Engkau datang tanpa mau menyebutkan nama dan apa kepentinganmu hendak bertemu dengan Bengcu. Sikapmu mencurigakan, tentu saja kami menghadapimu sebagai musuh. Tak seorang pun boleh nyelonong begitu saja memasuki tempat kami ini, apalagi hendak bertemu langsung dengan Bengcu," terdengar seorang anak buah Kui-kok-pang membantah.
"Habis kalau aku terus masuk dan terus mencari Bengcu kalian, lalu kalian mau apa? Mau menghalangiku? Ha-ha, boleh, kalau kalian mampul" terdengar pula suara lantang itu. Mendengar percakapan ini disusul suara ribut-ribut orang berkelahi, dengan alis berkerut, Lam-hai Giam-lo melangkah keluar, diikuti oleh Pek Eng, Ki Liong dan Hay Hay.
Setelah mereka tiba di luar, mereka melihat seorang laki-laki gagah berusia lima puluh tahun sedang dikeroyok oleh belasan orang anak buah Kui-kok-pang! Melihat wajah pria setengah tua yang tampan dengan kumis dan jenggot teratur rapi, bahkan rompinya terbuat dari sutera halus, Ki Liong dan Hay Hay terkejut ketika mengenal orang itu yang bukan lain adalah penggembala kambing suku bangsa Hui yang pernah mengacau perkelahian mereka dengan orang-orang Bu-tong-pai. Ki Liong segera mendekati Lam-hai Giam-lo dan berbisik kepada Bengcu ini, menceritakan dengan singkat akan pengalamannya dengan orang setengah tua itu, "Dia lihai sekali dan mencurigakan, Bengcu, akan tetapi akan dapat menjadi seorang pembantu yang amat baik." Ki Liong mengakhiri bisikannya. Lam-hai Giam-lo memang sudah melihat kelihaian orang setengah tua itu. Belasan orang. anak buahnya seperti sekumpulan semut mengeroyok seekor jangkerik saja. Siapa dekat, tentu terpental oleh tamparan atau tendangan orang setengah tua itu! Padahal anak buahnya ada yang menggunakan senjata dan orang itu hanya bertangan kosong saja.
"Tahan...!" teriak Lam-hai Giam-lo dengan suaranya yang seperti bunyi ringkik kuda. Mendengar ini, semua anak buah Kui-kok-pang berloncatan ke belakang. Orang setengah tua itu pun menghentikan gerakannya, sambil tersenyum simpul dia memutar tubuh menghadapi Lam-hai Giam-lo dan matanya terbelalak, senyumnya melebar ketika dia melihat Hay Hay dan Ki Liong.
"Ah, senang sekali dapat bertemu dengan kalian dua orang pemuda yang tampan dan gagah!" Dan dia lalu memandang kepada Lam-hai Giam-lo dan Pek Eng, lalu menjura dan berkata. "Kalau aku tidak salah duga, agaknya saudara yang gagah tentulah yang berjuluk Lam-hai Giam-lo, Bengcu dan pemimpin para pejuang. Dan Nona ini, sungguh gagah perkasa dan cantik jelita!" Pujiannya itu tidak mengandung sikap kurang ajar dan melihat betapa Pek Eng tersipu malu, diam-diam Hay Hay tersenyum dalam hatinya. Pria setengah tua ini agaknya juga seorang yang pandai mengagumi keindahan dan kecantikan wanita!
Lam-hai Giam-lo menatap tajam dengan sepasang matanya yang sipit. "Sobat, tidak keliru dugaanmu bahwa kami adalah Bengcu dan berjuluk Lam-hai Giam-lo. Akan tetapi siapakah engkau dan apa maksudmu membikin ribut di .tempat kami?"
Laki-laki setengah tua itu tertawa dan nampak giginya yang masih berderet rapi dan putih, wajahnya nampak jauh lebih muda ketika dia tertawa. "Bengcu, maafkan kalau aku membikin ribut. Memang aku sengaja datang untuk menghadap Bengcu karena aku mendengar bahwa Bengcu mengumpulkan orang-orang gagah untuk diajak bekerja sama. Nah, kalau memang kerja sama itu dapat menguntungkan aku, tentu saja aku bersedia pula membantu Bengcu."
"Nanti dulu," kata Lam-hai Giam-lo sambil memandang tajam penuh selidik. Dia seorang tokoh sesat yang mengenal banyak orang berilmu tinggi di dunia persilatan, akan tetapi dia merasa belum pernah bertemu dengan orang ini, tidak tahu siapa namanya, dari golongan mana pula datangnya. "Kami sebelumnya ingin mengetahui siapa sebenarnya engkau ini sobat."
Kembali laki-laki itu tertawa, "Ha-ha, aku sendiri sudah lupa tidak ingat akan namaku sendiri dan aku pun tidak peduli. Bengcu, biasanya aku hanya menggunakan nama Han Lojin, tempat tinggalku tak menentu, di mana saja asal menyenangkan hatiku, di situ tempat tinggalku."
"Hemmm, terus terang saja. Banyak sudah aku mengenal tokoh dunia kang-ouw, akan tetapi belum pernah aku mendengar akan nama Han Lojin, juga belum pernah bertemu denganmu."
"Tentu saja, Bengcu. Selama ini aku memang selalu bersembunyi saja di tempat sunyi, menjauhkan diri dari segala urusan dunia ramai. Akhirnya aku merasa bosan juga dan begitu aku turun gunung, aku mendengar akan kesempatan yang diberikan oleh Bengcu untuk bekerja sama dengan orang-orang gagah. Aku siap membantu asal saja ada imbalannya yang cukup memuaskan." Berkata demikian dia memandang kepada Pek Eng sambil tersenyum. Gadis itu mengerutkan alisnya dan membuang muka. Pria itu sungguh genit, pikirnya.
Lam-hai Giam-lo mengangguk-angguk. Memang dia ingin mengumpulkan sebanyak mungkin orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi agar gerakannya akan menjadi kuat. "Hemm, Han Lojin, ilmu silat baru dapat dilihat kalau sudah diuji. Tadi engkau sudah memperlihatkan kepandaian ketika menghadapi pengeroyokan anak buah kami. Akan tetapi karena tingkat kepandaian mereka masih amat rendah, maka hal itu belum dapat dijadikan ukuran. Saudara Tang Hay, engkau wakililah aku menguji sampai di mana tingkat kepandaian Han Lojin itu. Nah, marilah kita masuk ke Lian-bu-thia."
Hah Lojin tersenyum dan dengan langkah gagah dia pun ikut bersama mereka semua memasuki ruangan berlatih silat itu. Hay Hay mengerutkan alisnya, akan tetapi segera tersenyum. Untuk dapat menyelidiki keadaan persekutuan itu, dia harus memperoleh kepercayaan mereka dan dia tahu bahwa sekali ini yang diuji bukan hanya kepandaian pria bernama Han Lojin (Kakek Han) itu saja, akan tetapi juga ujian untuk kesetiaan dan kesungguhan hatinya untuk bekerja sama dengan persekutuannya. Maka setelah tiba di dalam ruangan belajar silat itu, dia lalu menghadapi Han Lojin, sedangkan Lam-hai Giam-lo, Pek Eng, dan Ki Liong sudah mengambil tempat duduk untuk menonton pertandingan silat.
Kedua orang itu sudah berdiri saling berhadapan, seperti dua ekor jago yang hendak bertarung, lebih dulu mengamati lawan dengan sinar mata tajam penuh penilaian. Hay Hay melihat betapa Han Lojin menahan senyum dan sikapnya seperti memandang rendah, akan tetapi anehnya wajah itu berseri seolah-olah hati orang itu merasa gembira! Timbullah rasa suka di dalam hatinya. Orang ini berwatak periang, dan dia pun merasa kasihan. Akan dijaganya agar dia tidak sampai melukai atau merobohkan orang ini dengan mudah, agar orang ini terangkat martabatnya di dalam pandangan mata Lam-hai Giam-lo.
Pada saat itu, bermunculanlah tokoh-tokoh yang menjadi sekutu Lam-hai Giam-lo. Mereka itu adalah Ji Sun Bi, Min -san Mo-ko, Kim San Ketua Kui-kok-pang, Hek-hiat Mo-ko, dan beberapa orang pendeta perkumpulan Pek-lian-kauw. Mereka mendengar bahwa Ki Liong telah berhasil membujuk pemuda yang namanya Hay Hay dan terkenal amat lihai itu untuk menghadap Lam-hai Giam-lo dan menjadi sekutu, dan mendengar pula bahwa pemuda itu kini disuruh oleh Bengcu untuk menguji kepandaian seorang tamu yang menyatakan diri hendak bergabung. Mereka tertarik dan berbondong-bondong memasuki lian-bu-thia. Karena mereka bukan anggauta biasa, melainkan serombongan orang yang dianggap sekutu dan rekan, maka mereka diperbolehkan lewat dan masuk oleh para anggauta Kui-kok-pang yang berjaga. Juga Lam-hai Giam-lo diam saja dan hanya membalas penghormatan mereka dengan anggukan kepala ketika melihat mereka masuk dan mengambil tempat duduk di pinggir, dekat dinding. Hay Hay juga melihat masuknya mereka itu, dan merasa heran mengapa dia belum melihat dua pasang suami isteri yang pernah memperebutkannya di waktu dia kecil.
"Han Lojin, silakan mulai membuka serangan!" tantangnya karena dia ingin segera menyelesaikan tugas yang tidak enak ini. Dia harus menguji kepandaian orang yang mendatangkan rasa suka di dalam hatinya.
Tak disangkanya, Han Lojin tertawa. "Ha-ha-ha, baru sekaranglah aku mendapat kesempatan untuk bertanding dengan Ang-hong-cu yang tersohor itu, ha-ha-ha!"
Semua orang terkejut, kecuali Ki Liong yang sudah tahu akan hal itu. Hay Hay lebih terkejut daripada orang lain. "Han Lojin, apa maksudmu....?" Dia berseru penasaran. "Aku bukan Ang-hong-cu!"
Han Lojin masih tertawa, lalu menudingkan telunjuknya ke arah muka Hay Hay sambil berkata. "Orang muda, masih perlukah menyangkal lagi? Kalau engkau bukan Ang-hong-cu, mengapa tosu dan murid Bu-tong-pai itu menyerangmu mati-matian? Sudahlah, orang muda, namamu Tang Hay? Bagus, akui saja karena kita semua yang berada di sini, dari golongan manapun juga, adalah rekan sendiri, bukan? Jadi, tidak perlu malu-malu."
"Dia bukan Ang-hong-cu....!" Tiba-tiba terdengar suara Pek Eng lantang. Gadis ini sudah bangkit berdiri dan matanya memandang marah. Ia tentu saja tahu bahwa Hay Hay bukan Ang-hong-cu, melainkan putera kandung dari penjahat pemetik bunga yang tersohor itu.
Hay Hay terkejut, cepat membalikkan tubuhnya menghadapi Pek Eng, mengerahkan kekuatan sihirnya.
"Eng-moi, jangan mencampuri dan duduklah saja, biar kuhadapi sendiri tuduhan ini!" Kekuatan sihir itu menguasai Pek Eng yang tiba-tiba duduk kembali dengan muka agak berubah pucat. Ki Liong dan Lam-hai Giam-lo tidak merasa heran dengan seruan Pek Eng tadi. Bukankah Pek Eng sudah mengenal Hay Hay dan tentu gadis itu membela karena mungkin gadis itu tidak tahu bahwa pemuda kenalannya itu adalah Ang-hong-cu. Akan tetapi Ki Liong juga meragukan kebenaran tuduhan itu.
"Han Lojin, Saudara Tang Hay terlalu muda untuk menjadi Ang-hong-cu, harap jangan bicarakan urusan itu. Hadapi saja dia dengan ilmu silatmu untuk membuktikan kepada Bengcu bahwa engkau cukup berharga untuk menjadi rekan kami." kata Ki Liong dengan suara lantang.
Han Lojin tersenyum lebar. "Baiklah, orang muda she Tang. Engkaulah yang mulai menyerang karena engkau adalah pengujiku, bukah? Heh-heh-heh!"
Kini berkuranglah rasa suka di dalam hati Hay Hay terhadap orang itu. Bagaimanapun juga, orang ini di depan orang banyak telah menuduhnya sebagai Ang-hong-cu dan ini berbahaya sekali karena memang dia putera jai-hwa-cat itu. Bagaimanapun juga, kenyataan ini menghancurkan hatinya dan dia tidak mau kenyataan yang pahit itu diketahui orang lain. Pek Eng mengetahuinya, akan tetapi dia berhasil membungkam mulut gadis itu dengan kekuatan sihirnya. Dan Han Lojin nampaknya demikian memandang rendah kepadanya. Hemm, dia akan tunjukkan kepada orang tua ini bahwa dia tidak boleh dibuat sembarangan!
"Baik, aku akan menyerang. Sambutlah!" bentak Hay Hay dan dia pun sudah menerjang dengan memainkan Ilmu Silat Ciu-sian Cap-pek-ciang (Delapan Belas Jurus Dewa Arak). Dengan menggunakan jurus Dewa Pemabok Menepuk Lalat, tangannya menyambar ke arah pundak lawan, kelihatannya perlahan saja namun di dalam tamparan itu terkandung tenaga dahsyat.
"Heh!" Han Lojin agaknya kaget juga ketika merasakan sambaran angin pukulan yang amat kuat. Dia maklum bahwa pemuda ini lihai, hal itu dapat dilihatnya ketika pemuda itu menghadapi tosu Bu-tong-pai yang lihai. Akan tetapi tak disangkanya bahwa pemuda itu menggunakan tamparan yang demikian dahsyatnya. Dia pun cepat mengelak, akan tetapi tangan pemuda itu seperti meluncur terus, tamparan ke arah pundak itu kini bahkan meluncur ke arah lehernya, lebih berbahaya daripada sebelum dielakkannya tadi. Tiba-tiba kaki Han Lojin mencuat dan mengirim tendangan ke arah pusar Hay Hay. Serangan balasan ini merupakan juga pembelaan diri karena kakinya lebih panjang daripada lengan Hay Hay. Terpaksa pemuda ini menarik kembali tamparannya karena kaki lawan sudah menyambar cepat. Dia pun mengerahkan tenaga pada tangan kirinya dan membacokkan tangan kiri itu seperti sebatang golok ke arah kaki yang menendangnya! Kembali Han Lojin dapat menyelamatkan kakinya dengan memutar kaki itu sehingga tubuhnya ikut terputar dan luput dari "bacokan" tangan Hay Hay.
Han Lojin mengerluarkan seruan nyaring dan tiba-tiba saja tubuhnya berkelebatan dengan amat cepatnya sehingga sukar dlikuti oleh pandang mata biasa. Dan dengan gerakan secepat itu, dia menghujankan serangan berupa totokan bertubi-tubi ke arah tubuh Hay Hay! Pemuda ini kembali terkejut dan dia pun cepat menggunakan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) Yan-cu Coan-in (Walet Menembus Awan) yang membuat tubuhnya juga dapat berkelebatan seperti seekor burung walet terbang saja. Kini giliran Han Lojin yang mengeluarkan seruan kagum. Para penonton juga memandang kagum dan beberapa kali mereka mengeluarkan seruan kagum karena pertandingan itu memang menarik sekali. Dari gerakan-gerakan Han Lojin, mereka yang berilmu tinggi dan hadir di situ seperti Lam-hai Giam-lo, Ki Liong dan para tokoh lain, dapat mengenal bahwa orang ini menguasai banyak macam ilmu silat. Ada gaya silat Siauw-lim-pai di dalam gerakannya, ada pula gaya silat Kun-lun-pai dan partai persilatan lain. Pendeknya, gerakan Han Lojin penuh dengan gaya berbagai aliran dari utara sampai selatan. Hal ini menunjukkan bahwa dia telah memiliki pengalaman yang luas sekali, mempelajari banyak macam ilmu silat yang membuatnya amat lihai.
Melihat kelihaian Han Lojin, diam-diam semua orang kagum dan Lam-hai Giam-lo merasa girang sekali karena dia membayangkan memperoleh seorang pembantu yang hebat di samping Ki Liong, yaitu Hay Hay dan Han Lojin. Dengan adanya tiga orang pembantu yang tingkat kepandaiannya sudah hampir menyamainya itu, maka dia merasa kuat, apalagi masih ada Kulana di sana.
Apalagi mereka yang nonton, bahkan mereka yang sedang bertanding itu pun merasa terkejut dan kagum. Han Lojin berkali-kali mengeluarkan seruan kagum dan memuji karena serangan apa pun yang dia keluarkan, dari pilihan jurus-jurus paling ampuh, semua dapat dihindarkan oleh pemuda itu, baik melalui tangkisan maupun elakan. Dan dalam adu ltenaga, harus diakui bahwa tenaga sin-kang pemuda itu kuat bukan main mungkin lebih kuat daripada tenaganya sendiri! Di lain pihak Hay Hay juga tertegun ketika melihat kelihaian lawan. Ilmu-ilmu silatnya yang paling hebat telah dikeluarkan, namun sukar baginya untuk merobohkan atau mengalahkan lawan. Apalagi mengalahkan tanpa merobohkan! Lawannya ini sungguh hebat dan seimbang dengan tingkatnya. Dalam hal tenaga sin-kang mungkin dia menang sedikit, akan tetapi dia tidak tega untuk mengerahkan seluruh tenaganya, khawatir kalau sampai melukai atau membunuh orang itu. Setelah melihat kelihaian ilmunya, timbul pula rasa sayang dalam hati Hay Hay. Orang ini belum dikenalnya bagaimana keadaannya, entah dari golongan sesat maupun seorang pendekar aneh. Memang banyak terdapat pendekar-pendekar atau orang-orang sakti yang aneh di dunia ini. Di antaranya guru-gurunya, seperti Pek Mau Sanjin dan Song Lojin, juga termasuk orang-orang aneh. Bahkan dua orang gurunya terdaulu, See-thian Lama dan Ciu-sian Sin-kai, juga merupakan orang-orang aneh sehingga kalau dibuat perbandingan, lawannya yang mengaku bernama Han Lojin ini belum berapa hebat keanehannya. Dia tidak berniat untuk mencelakakan lawan ini.
Di dalam hati kedua orang ini timbul suatu pertanyaan. Dalam uji ilmu silat mereka sudah merasa sukar untuk mendapatkan kemenangan dan pertarungan berjalan seimbang dan seru sekali. Lalu andaikata mereka itu benar-benar berkelahi, alangkah akan seru dan mati-matian!
"Heiiiittt....!!" Tiba-tiba Hay Hay sudah menerjang lagi, sekali ini dengan cengkeraman tangan ke arah ubun-ubun kepala lawan dan tonjokan susulan dengan tangan kiri ke arah dada!
"Ihhhh....!" Han Lojin mengeluarkan seruan keras, menarik tubuh atas ke belakang sambil miringkan tubuh sehingga, cengkeraman ke arah ubun-ubunnya itu luput, sedangkan tangan kanannya diputar dari samping untuk menangkis tonjokan ke arah dadanya, disusul tangan kirinya membalas dengan menggunakan telunjuk dan jari tengah untuk menusuk ke arah mata lawan! Hay Hay kagum bukan main. Indah dan berbahaya gerakan lawan yang membalas dengan kontan serangannya, maka dia pun menangkis dengan putaran lengannya.
"Dukk! Desss!" Dua kali sepasasang tangan itu bertemu dan keduanya terdorong ke belakang.
"Hyaaaattt.....!" Tubuh Han Lojin sudah melayan ke atas dengan tendangan kaki terbang! Hay Hay juga menyambut dengan gerakan yang sama, yaitu meloncat ke atas menyambut serangan lawan dengan kedua kakinya pula.
"Desss....!" Bentrok hebat tak dapat dicegah lagi terjadi di udara dan keduanya terpelanting dan kalau tidak cepat-cepat Hay Hay berjungkir balik mematahkan luncuran badan terbanting sehingga keduanya kini sudah saling pandang lagi, berhadapan dalam jarak empat meter. Keduanya sudah mengeluarkan keringat dan nampak betapa kalau Hay Hay masih segar, lawannya sudah mulai terengah-engah!
"Hebat... engkau hebat, pantas menjadi Ang-hong-cu...." kata Han Lojin sambil memandang dengan mulut menyeringai.
"Aku bukan Ang-hong-cu, setan!" Hay Hay berseru marah dan dia sudah siap menyerang lagi. Saat itu dipergunakan oleh Ki Liong untuk melompat ke depan, di antara mereka dan melerai.
"Sudahlah, Saudara Tang Hay! Han Lojin! Ji-wi (Kalian Berdua) sudah memperlihatkan kepandaian dan kiranya sudah cukup, bukankah begitu, Bengcu?"
Lam-hai Giam-lo mengangguk-angguk. Saking tertariknya, dia tadi sampai lupa. Kalau tidak Ki Liong yang cepat maju melerai dan pertandingan itu dilanjutkan sampai seorang di antara kedua jagoan itu terluka atau tewas, sungguh amat sayang sekali dan berarti suatu kerugian besar baginya. Maka dia pun bangkit dan mengangkat kedua tangannya.
"Sudah cukup, sudah lebih dari cukup. Ji-wi telah memperlihatkan kepandaian dan kami kagum sekali. Mulai saat ini, Ji-wi menjadi pembantu-pembantuku yang dapat kami andalkan. Nah, marilah duduk, akan kami perkenalkan kepada rekan-rekan lain." Dengan gembira Lam-hai Giam-lo lalu memerintahkan orang-orangnya untuk mempersiapkan hidangan besar dengan cepat untuk menghormati kedua orang pembantu baru itu.
Terjadi keanehan dalam perkenalan itu. Kalau Han Lojin benar-benar merupakan wajah baru, dan hanya Ki Liong seorang yang pernah bertemu dengannya ketika dia menyamar sebagai seorang suku Hui menggembala kambing, sebaliknya ketika Hay Hay diperkenalkan, banyak wajah yang sudah dikenalnya berada di situ. Tentu saja dia sudah mengenal Ji Sun Bi, wanita pertama yang menanamkan gairah berahi dalam dirinya, juga Min-san Mo-ko bukan orang asing baginya karena sudah beberapa kali dia bertanding dengan Min-san Mo-ko dan Ji Sun Bi.
Selagi mereka semua berpesta, muncullah dua pasang suami isteri, yaitu Lam-hai Siang-mo dan suami isteri Guha Iblis Pantai Selatan. Mereka masuk ke dalam ruangan makan, disambut gembira oleh Lam-hai Giam-lo. "Aih, kebetulan kalian berempat datang. Mari, mari sekalian berpesta dengan kami, menyambut pembantu-pembantu baru yang luar biasa ini!" Dia menunjuk kepada Hay Hay dan Han Lojin yang duduk di kanan kirinya. Melihat Hay Hay, dua pasang suami isteri itu memandang dengan sepasang mata bersinar-sinar, penuh kemarahan dan juga kegentaran.
"Wah, agaknya kalian berempat sudah mengenal pula pemuda ini? Saudara muda Tang, ternyata di sini sudah banyak orang yang mengenalmu dengan baik, ha-ha-ha!" Demikian Han Lojin berseru sambil tertawa.
Lam-hai Giam-lo memandang kepada pemuda, itu. "Saudara Tang, benarkah engkau sudah mengenal kepada mereka berempat?" tanyanya heran.
Hay Hay mengangguk dan tersenyum. "Tentu saja, bahkan Lam-hai Siang-mo pernah menjadi Ayah dan Ibuku, maksudku, mereka telah mengambilku sebagai anak pungut sejak aku masih bayi sampai berusia tujuh tahun. Dan mereka ini suami isteri Guha Iblis Pantai Selatan, juga sudah kukenal baik sekali karena mereka ini mencoba untuk merampasku dari tangan Lam-hai Siang-mo. Aku diperebutkan oleh kedua suami isteri ini karena aku dianggap Sin-tong!" Hay Hay tertawa.
"Sin-tong....? Bukankah Sin-tong itu kakak kandungmu, Eng Eng?" tanya Lam-hai Giam-lo kepada Eng Eng.
Eng Eng tersenyum pula. Tidak perlu dirahasiakan tentang itu karena memang ia pernah bercerita kepada bengcu itu tentang kakak kandungnya. "Benar, Bengcu. Sejak kecil kakak kandungku, Pek Han Siong, dianggap Sin-tong dan dijadikan perebutan, lalu oleh keluarga kami, Kakakku itu disembunyikan, diganti dengan seorang bayi lain, yaitu Hay-ko ini. Kemudian Hay-ko ini lenyap dicuri orang, ditukar dengan bayi mati, kiranya yang menukar itu adalah Lam-hai Siang-mo."
Lam-hai Giam-lo juga tertawa, lalu memberi isarat dengan tangannya kepada dua pasang suami isteri itu. "Eh, kenapa kalian berempat menjadi bengong setelah melihat Saudara Tang Hay? Duduklah, dan jangan khawatir, dia ini sekarang adalah rekan kita sendiri. Lupakanlah hal-hal yang terjadi di masa lalu, karena mulai sekarang kita harus mencurahkan perhatian untuk perjuangan kita. Berita apa yang kalian bawa dari Saudara Kulana?"
"Kami sudah menghadap Saudara Kulana dan telah menjelaskan bahwa kini kita telah siap dan telah mengumpulkan banyak tenaga yang jumlahnya tidak kurang dari seribu orang. Dia menyatakan kegirangan hatinya dan dia mengirimkan bantuan emas kepada Bengcu disertai suratnya." Siangkoan Leng yang menjadi juru bicara mereka berempat, menyerahkan sebuah bungkusan yang kelihatan berat berikut segulung surat kepada Lam-hai Giam-lo.
Bengcu ini menerima buntalan itu dan meletakkan di atas meja. Meja berderak menahan berat buntalan itu. Buntalan dibuka dan semua orang terbelalak melihat bongkahan-bongkahan emas murni yang berkilauan. Mereka menaksir bahwa emas murni itu beratnya tentu tidak kurang dari lima ratus tai! Lam-hai Giam-lo membuka surat itu dan membaca. Wajahnya berubah girang dan setelah menyimpan surat itu ke dalam saku bajunya, dia pun memandang semua pembantunya yang kini lengkap hadir di situ.
"Cu-wi (Saudara sekalian), ada kabar baik. Selain Kulana telah mengirimkan bukti bantuannya berupa emas murni untuk membiayai pasukan yang kita himpun, juga menurut siasat yang telah diaturnya, gerakan dapat dilakukan pada akhir bulan ini, kurang lebih dua minggu lagi. Dia sudah menentukan arah mana pasukan bergerak, dibagi menjadi beberapa kelompok dan kota mana yang akan diduduki sebagai landasan pertama dan benteng gerakan selanjutnyaa. Nah, mulai sekarang, kita harus mempersiapkan pasukan kita dan menarik mereka itu semua ke sini, melatih mereka sambil menanti siasat yang akan disampaikan sendiri oleh Saudara Kulana pada malam bulan purnama dua minggu lagi."
Semua orang menyambut dengan gembira dan diam-diam Hay Hay mencatat semua yang didengarnya dan dilihatnya. Mereka melanjutkan pesta malam itu dan kemudian terjadi kesibukan. Tentu saja yang bertugas mengumpulkan pasukan para pemberontak itu adalah para pemhantu yang telah memperoleh kepercayaan dari Lam-hai Giam-lo. Hay Hay dan Han Lojin yang merupakan orang baru, belum menerima tugas melainkan disuruh memperkuat penjagaan di sarang mereka. Juga Ki Liong tidak bertugas keluar. Pemuda ini merupakan orang kepercayaan dan juga tangan kanan Lam-hai Giam-lo yang diam-diam menyuruh Ki Liong untuk memasang mata mengamati kedua orang pembantu baru itu.
Malam itu dingin dan sunyi. Pek Eng telah berada di dalam kamarnya, rebah di atas pembaringannya. Ia gelisah. Pertemuannya dengan Hay Hay masih mendatangkan ketegangan di dalam hatinya, apalagi mengingat betapa tadi siang Hay Hay dituduh sebagai Ang-hong-cu. Ia dapat merasakan betapa sakit rasa hati pemuda itu dan ia merasa kasihan. Ingin ia bertemu dan bercakap-cakap dengan pemuda itu, namun hatinya merasa tidak enak kalau ia harus mencari kamar pemuda itu. Bagaimanapun juga, ia tahu bahwa orang-orang seperti Ki Liong dan Ji Sun Bi nampaknya belum sepenuhnya percaya kepadanya, biarpun tidak berani secara berterang menentangnya karena Lam-hai Giam-lo menyayangnya sebagai murid dan bahkan anak angkat! Akan tetapi ia ingin sekali bertemu dengan Hay Hay, bicara dengan dia dan bertanya akan maksud kunjungannya ke tempat itu. Ia tidak percaya bahwa Hay Hay ingin membantu Lam-hai Glam-lo karena menginginkan imbalan jasa! Ia yakin Hay Hay bukanlah seorang pemuda seperti itu.
Karena gelisah, Pek Eng lalu keluar dari dalam kamarnya dan memasuki taman yang luas itu. Sejak ia berada di situ, taman itu telah menjadi semakin terawat karena ia suka akan bunga-bunga. Bahkan Lam-hai Giam-lo menuruti permintaannya untuk membangun sebuah pondok kecil dicat indah di dalam taman itu untuk tempat beristirahat di kala hawa sedang panasnya, di dekat kolam ikan emas. Agak lega hati Pek Eng yang gelisah setelah ia keluar dari kamar dan hawa malam meniup pada wajahnya, bermain dengan rambutnya. Ketika ia berjalan menuju ke sebuah bangku, ia terkejut dan jantungnya berdebar melihat sesosok tubuh seorang pria duduk di atas bangku itu, tidak jelas wajahnya karena lampu taman berada di belakangnya, tergantung pada batang pohon. Tentu Hay Hay, pikirnya dengan girang dan ia pun menghampiri.
"Aih, malam-malam begini melamun seorang diri...." Pek Eng menghentikan tegurannya karena pemuda itu menoleh, ternyata bukan Hay Hay yang ditemukan, melainkan Ki Liong. Ia merasa kecelik dan malu, maka cepat disambungnya, "Liong-ko, mengapa melamun seorang diri di sini?" Gadis yang cerdik ini menyambung tegurannya sehingga tidak kentara bahwa tadi ia mengira Hay Hay pemuda itu.
Sim Ki Liong bangkit dan tersenyum manis. "Tidak tahukah engkau, Eng-moi, bahwa sudah lama sekali setiap malam aku duduk seorang diri di sini sambil melamun dan merindukan seseorang?"
Pek Eng tersenyum dan tanpa malu-malu ia pun duduk di sudut bangku itu sambil menatap wajah Ki Liong yang kini tertimpa sinar lampu gantung yang tergantung di batang pohon dekat bangku.
"Aih, engkau agaknya telah mempunyai seorang kekasih yang kaurindukan, Liong-ko?" Ia menggoda. Gadis ini memang wataknya lincah jenaka dan ia sudah agak akrab dengan Ki Liong yang memang pandai mengambil hati dan membawa diri.
"Sudah lama, Eng-moi, akan tetapi gadis pujaan hatiku itu hanya kusimpan saja di dalam hati, dan setiap malam kurindukan di bangku ini."
"Siapakah gadis itu, Liong-ko? Boeh aku mengenalnya?"
"Engkau sudah mengenalnya dengan baik, Eng-moi. Gadis itu kini berada di sini."
"Di taman ini? Ah, di mana? Siapa?'"
"Tidak jauh, di hadapanku, di sudut bangku ini. Engkaulah orangnya, Eng-moi, engkaulah gadis yang kucinta, kurindukan dan yang membuat aku tergila-gila. Tidak tahukah engkau?"
Seketika wajah Pek Eng berubah merah sekali. Ia merasa malu, kaget, dan juga marah. Sungguh tidak disangkanya sama sekali bahwa pemuda ini akan membuat pengakuan cinta kepadanya!
"Ah... Liong-ko....!" Ia barigkit berdiri.
Dengan cepat Ki Liong melangkah maju dan dengan lembut ia sudah memegang tangan Pek Eng sambil menjatuhkan diri berlutut di depan gadis itu. "Eng-moi, kasihanilah aku yang akan hidup merana tanpa engkau di sisiku! Eng-moi, aku cinta padamu, Eng-moi....!" Dan dia dia menciumi tangan gadis itu. Pek Eng berdiri dengan mata terbelalak dan muka pucat, tubuhnya menggigil karena ia bingung sekali. Ia merasa kaget, juga terharu bercampur marah dan ia tidak tahu apa. yang harus dilakukannya menghadapi pemuda yang mengaku cinta itu. Kedua kakinya gemetar.
Pada saat itu tiba-tiba terdengar suara orang, "Wah, indah sekali bunga-bunga di taman ini! Aih, di mana adanya Sim-kongcu? Katanya berada di taman ini..." Dan muncullah Han Lojin, sementara itu Ki Liong sudah cepat bangkit berdiri dan melepaskan tangan Pek Eng.
"Ah, ternyata betul engkau berada di sini, Sim-kongcu!" kata Han Lojin dengan wajah berseri gembira, "Ha, kiranya Nona Pek Eng yang cantik jelita itu berada di sini?"
"Han Lojin, ada urusan apakah engkau mencari aku?" Ki Liong bertanya, alisnya berkerut dan suaranya kaku, hatinya tidak senang karena dia merasa terganggu sekali. Padahal, tadi Pek Eng tidak memperlihatkan perlawanan dan agaknya dia sudah hampir berhasil sebelum orang celaka ini muncul dan membikin kacau!
"Maaf, sebelum kita bicara, sebaiknya kalau Nona Pek ini kembali ke kamarnya lebih dulu. Nona, sudah malam begini kalau Nona masih berada di taman, tentu akan membuat hati Bengcu merasa tidak tenteram. Sebaiknya kalau Nona kembali ke kamarmu agar aku dapat bercakap-cakap dengan Sim-kongcu."
Pek Eng baru sadar akan apa yang telah terjadi dan diam-diam ia merasa bersukur akan kemunculan orang itu. Tadi ia merasa seperti kehilangan semangat, dan kini ia melihat dengan perasaan ngeri betapa ia hampir saja terjerumus ke dalam jurang yang amat berbahaya. Ia mengangguk dan melangkah pergi dari situ tanpa banyak cakap lagi. Tentu saja hati Ki Liong menjadi semakin kecewa dan marah terhadap orang ini. Akan tetapi, tentu saja dia tidak berani menyatakan ketidaksenangannya, bukan karena dia takut terhadap Han Lojin melainkan dia khawatir kalau sampai Lam-hai Giam-lo tahu akan apa yang hendak dilakukannya terhadap Pek Eng tadi. Kalau Bengcu tidak setuju dan marah kepadanya, dia dapat menghadapi kesulitan besar.
Setelah Pek Eng pergi dari taman itu, Ki Liong memandang tajam kepada Han Lojin, menelan kemarahannya dan hanya nampak kemarahan itu pada suaranya yang ketus dan kaku, tidak seperti biasanya dia selalu lembut dan ramah.
"Nah, keluarkan isi hatimu, Han Lojin. Apakah urusan itu yang membuat engkau malam-malam begini mencari aku?"
Han Lojin bersikap tenang saja menghadapi kekakuan Ki Liong. "Aku tadi minta penjelasan kepada Bengcu tentang keadaan kita, karena aku ingin mengetahui lebih jelas bagaimana kedudukan kita, bagaimana kekuatan kita dan apa pula rencana kita. Sebagai orang baru, aku tidak tahu apa-apa dan sebagai pembantu, tentu saja aku harus mengetahui semua itu. Akan tetapi Bengcu menyuruh aku mencari dan menemuimu, Sim-kongcu, dan katanya engkau dapat menjelaskan semua itu kepadaku."
"Hemm, urusan begitu saja...." Ki Liong menoleh ke arah menghilangnya Pek Eng dan merasa menyesal bukan main. Untuk urusan begitu saja dia terpaksa melepaskan calon korban yang sudah berada di depan mulut tadi, tinggal tubruk saja! "Malam ini aku sedang malas, biarlah besok pagi saja aku memberi penjelasan itu kepadamu, Han Lojjn."
Han Lojin tersenyum dan mengangguk. "Begitu pun baiklah, Sim-kongcu. Selamat malam!" Dia melangkah pergi, akan tetapi baru beberapa langkah saja, dia berhenti dan menoleh. "Ada satu hal lagi, Kongcu. Engkau sebenarnya harus berterima kasih kepadaku sehingga tidak terjadi sesuatu antara engkau dan Nona Pek Eng, karena kalau Bengcu mengetahui, tentu akan terjadi malapetaka atas dirimu." Setelah berkata demikian, Han Lojin menghilang di dalam kegelapan malam.
Ki Liong tertegun, berdiri mematung dan mengepal kedua tinjunya. Kemudian dia mendengus, "Bedebah!" dan dia pun meninggalkan taman, kembali ke dalam kamarnya. Tentu saja dia menjadi berhati-hati dan tidak berani mencoba lagi untuk mengganggu dan merayu Pek Eng setelah Han Lojin mengetahuinya. Siapa tahu orang baru itu untuk mengambil hati melaporkan hal itu kepada bengcu! Dia harus berhati-hati sekali.
Sementara itu, Hay Hay sedang duduk di dalam kamarnya. Dia telah dapat mendengar dan melihat banyak untuk bahan laporan kepada pemerintah. Dia harus bertindak cepat, pikirnya. Tidak ada waktu lagi untuk melapor ke kota raja, kepada Menteri Yang Ting Hoo. Dia akan melapor kepada benteng pasukan pemerintah yang terdekat, tentang rencana pemberontakan yang akan dimulai pada terang bulan dua minggu mendatang. Rencana pemberontakan itu harus dihancurkan! Dia perlu menghubungi para pendekar, akan tetapi dia tidak tahu mereka berada di mana. Teringatlah dia kepada Han Lojin! Orang itu mencurigakan sekali. Dia tidak yakin bahwa orang itu termasuk tokoh sesat yang hendak mencari keuntungan dengan membantu pemberontak. Siapa tahu dia adalah seorang tokoh pendekar pula yang menyamar! Sebelum pasukan pemerintah menghancurkan pasukan pemberontak, lebih dahulu para tokoh sesat harus dibinasakan. Dan pasukan pemerintah pun baru bisa bergerak kalau pasukan pemberontak yang jumlahnya kurang lebih seribu orang itu telah berkumpul di dataran Yunan.
"Tok-tok-tok!" Daun pintu kamarnya diketuk orang dari luar perlahan. Dia terkejut bukan oleh ketukan itu melainkan karena sama sekali dia tidak mendengar langkah orang di luar pintu. Kalau langkah orang biasa, sudah pasti akan didengarnya. Jelas bahwa yang datang mengetuk daun pintu itu tentu orang yang berkepandaian.
"Siapa di luar?" tanyanya tanpa bangkit dari tempat duduk.
"Aku, saudara muda Tang Hay, bukalah pintu, aku Han Lojin ingin bicara deganmu!" kata suara itu dari luar pintu.
Berdebar rasa jantung dalam dada Hay Hay. Baru saja dia memikirkan tentang orang ini? Benarkah dia seorang pendekar yang bertugas sama dengan dia? Kalau benar, betapa beraninya mendatangi kamarnya begitu saja. Tentu akan menimbulkan kecurigaan, dan dia tahu bahwa diam-diam Lam-hai Giam-lo belum percaya kepada mereka berdua dan tentu selalu memasang mata-mata untuk mengamati mereka. Mungkin Sim Ki Liong mata-mata itu, atau para anggauta Kui-kok-pang atau Pek-lian-kauw. Dan teringat dia akan kelihaian orang ini. Tidak mudah baginya untuk mengalahkannya. Bagaimana kalau dengan sihir? Belum dicobanya. Tidak selalu kekuatan sihirnya dapat diandalkan. Kalau bertemu lawan yang tangguh dan memiliki daya tahan terhadap sihir, seperti mendiang Kiu-bwe Tok-li, nenek buruk itu, kekuatan sihirnya takkan ada artinya. Akan tetapi boleh dia coba, pikirnya sambil bangkit dari kursinya dan membuka daun pintu. Dia telah mempersiapkan diri, mengerahkan kekuatan sihirnya ketika membuka pintu. Begitu daun pintu terbuka dan Hay Hay berhadapan dengan Han Lojin, dia menatap tajam diantara kedua alis orang itu dan berkata dengan suara yang menggetar penuh wibawa, "Aku bukan Hay Hay aku Sim Ki Liong!"
Jelas nampak betapa wajah Han Lojin tertegun kaget, matanya terbelalak dan mulutnya tergagap, "Sim... Sim... Kongcu..., ahhh!" Dia menggunakan tiga jari tangan kirinya dan menekan diantara kedua alisnya, kemudian memandang lagi dan kini wajahnya tersenyum lebar.
"Wah, Saudara Tang, jangan main-main! Hampir saja kukira benar, akan tetapi baru saja aku bertemu Sim-kongcu di taman. Agaknya engkau memang suka bermain sulap, ya?"
Tahulah Hay Hay bahwa orang ini memang tangguh. Begitu terpengaruh sihirnya, Han Lojin tadi sudah berhasil memunahkan kekuatan sihirnya dengan menekan antara kedua alis matanya dengan tiga jari tangan kiri. Dia melihat betapa orang itu membawa sebuah guci arak, maka semakin heranlah dia mengapa orang ini datang kepadanya membawa guci arak.
"Han Lojin, ada keperluan apakah engkau malam-malam begini datang berkunjung kepadaku?" Diam-diam dia. heran. Orang ini, bersama dia baru saja diterima di situ sebagai sekutu, dan malam pertama ini Han Lojin sudah berkeliaran di tempat orang!
"Ha-ha-ha, karena aku suka padamu, karena aku kagum padamu. Engkau masih begini muda, akan tetapi sudah amat lihai. Aku berkunjung untuk bicara dan untuk menyatakan rasa kagumku, mengajakmu minum-minum untuk mempererat perkenalan antara kita."
"Hemm, dalam lian-bu-thia tadi engkau sama sekali tidak menghargaiku, bahkan seenaknya saja menuduh aku Ang-hong-cu!" kata Hay Hay mendongkol.
"Heh-heh, karena memang engkau pantas menjadi Ang-hong-cu yang tersohor itu...."
"Tidak sudi! Tersohor jahat, apa gunanya?"
"Ha-ha-ha, Saudaraku yang baik. Bukankah di sini berkumpul banyak orang yang bergelimang kejahatan? Ataukah engkau ini seorang yang menentang kejahatan, dan kalau benar demikian, kenapa berada di sini?" Berkata demikian, Han Lojin melangkah masuk. "Bolehkah aku masuk? Aku hanya ingin menyuguhkan arak istimewa ini untuk memberi selamat dan menyatakan rasa kagumku."
Ucapan Han Lojin tadi mengejutkan hati Hay Hay. Orang ini sungguh berbahaya, agaknya menaruh curiga kepadaku dan menduga bahwa aku adalah seorang dari golongan lain yang menentang para tokoh sesat, pikir Hay Hay. Kalau benar demikian, celakalah, akan tetapi dia akan berpura-pura tidak mengerti dan ingin melihat perkembangannya.
"Masuk dan duduklah, Han Lojin," katanya mempersilakan. Keduanya duduk dipisahkan meja kecil, di atas dua buah kursi yang berada di kamar itu. "Nah, katakan, Han Lojin, apa keperluanmu?"
"Heh-heh, sudah kukatakan tadi. Ingin mempererat perkenalan dan ingin menyuguhkan arak ini. Ketahuilah, kawan. Arak ini adalah arak simpanan, sudah ratusan tahun umurnya, keras dan harum bukan main. Nah, aku ingin engkau menemaniku menghabiskan arak yang hanya tinggal beberapa cawan ini. Apakah di sini ada cawan?"
Kebetulan di setiap kamar tamu memang disediakan poci teh dan beberapa buah cawan. Hay Hay mengambil dua buah cawan dan dia bersikap waspada. Akan tetapi, Han Lojin menuangkan arak dari dalam guci ke dalam dua buah cawan kecil itu. Arak itu berwarna kekuningan, seperti emas, dan mengeluarkan bau yang amat harum semerbak seperti bunga.
"Saudara Tang Hay, mari kita minum sebagai tanda kagumku kepadamu," kata Han Lojin sambil mengangkat cawan araknya. Hay Hay mengikutinya, dan melihat betapa Han Lojin minum araknya, dia pun tidak curiga lagi dan dia pun minum arak itu. Manis dan enak rasanya, tidak begitu keras, namun hangat memasuki perutnya.
Dua kali lagi mereka minum sampai guci itu menjadi kosong dan Han Lojin kelihatan gembira bukan main. "Bagus, engkau memang seorang pemuda yang hebat, Hay Hay! Aku suka sekali padamu. Sekarang aku pamit, aku ingin tidur di kamarku " Orang itu bangkit dan agak terhuyung. Hay Hay ingin mentertawakan karena baru minum tiga cawan saja sudah kelihatan mabuk. Akan tetapi ketika. dia bangkit berdiri, dia pun terkejut karena kepalanya terasa agak berat, akan tetapi begitu nyaman rasanya! Apakah dia pun mabuk hanya karena minum tiga cawan saja? Kalau begitu, arak itu bekerja secara halus namun keras bukan main.
"Tapi, apakah sebetulnya yang hendak kaubicarakan, Han Lojin?"
"Aku? Heh-heh-heh, tidak apa-apa. Aku melihat Sim-kongcu di taman, heh-heh, dia sedang merayu Nona Pek Eng. Hampir saja Nona Pek Eng jatuh ke dalam rayuannya, akan tetapi... he-heh, aku muncul menggagalkannya. Orang muda, engkau kakak angkat Nona Pek Eng, bukan? Sebaiknya sekarang juga engkau memperingatkan ia sebelum terlambat..." Setelah berkata demikian, Han Lojin meloncat keluar dan menghilang dalam kegelapan malam.
Hay Hay merasa terkejut sekali, juga marah. Keparat Ki Liong itu! Dia menduga keras bahwa Ki Liong adalah juga Ciang Ki Liong, murid Pulau Teratai Merah seperti yang diceritakan Kui Hong kepadanya itu. Dia harus memperingatkan Pek Eng, benar juga anjuran Han Lojin itu. Hay Hay lalu keluar dari kamarnya, menutupkan daun pintu dan merasa betapa tubuhnya ringan dan perasaannya nyaman sekali. Arak itu sungguh ampuh, pikirnya, kagum. Arak yang sudah tua sekali dan memang hebat! Dia tahu di mana kamar Pek Eng. Hal ini sudah diperhatikannya tadi karena memang dia ingin mempelajari semua letak kamar para penghuni sarang pemberontak itu. Dia harus memperingatkan Pek Eng, akan tetapi juga tidak boleh dilihat orang lain. Tidak baik kalau dia memasuki kamar seorang gadis, walaupun tidak ada maksud buruk. Sebaiknya Pek Eng dipanggilnya keluar.
"Eng-moi...!" Bisiknya dari luar jendela kamar gadis itu. Dilihatnya lampu masih bernyala dalam kamar itu, tanda bahwa Pek Eng belum tidur. "Ini aku, Hay Hay....!"
"Hay-ko...!" terdengar suara gadis itu.
"Ssstttt..., keluarlah, kutunggu di dalam taman, aku mau bicara penting," kata pula Hay Hay.
"Baik, Hay-ko...."
Mereka bertemu di dekat pondok, tempat yang cukup sunyi, juga gelap karena sinar lampu di depan pondok itu terhalang pohon. "Ada apakah, Hay-ko?" tanya Pek Eng sambil menghampiri pemuda itu, berdiri dekat sekali dengan Hay Hay karena Pek Eng masih merasa ngeri teringat akan pengalamannya dengan Ki Liong tadi.
"Eng-moi..." Hay Hay tergagap dan pemuda ini memejamkan matanya sejenak, dia merasa aneh sekali, jantungnya berdebar kencang, hidungnya menangkap keharuman yang keluar dari rambut dan pakaian Pek Eng. "Kau... kau harus berhati-hati terhadap rayuan Ki Liong..."
"Hay-ko...! Kau... kau sudah tahu? Tidak, aku tidak akan jatuh oleh rayuannya, aku tidak cinta padanya, Hay-ko..." Dan gadis itu makin mendekat karena heran melihat betapa tubuh Hay Hay agak gemetar seperti kedinginan.
"Hay-ko, engkau kenapakah ...." Tanya Pek Eng sambil memegang lengan Hay Hay. Akan tetapi, sentuhan ini membuat Hay Hay tiba-tiba seperti menjadi gila. Dan merangkul, mendekap dan menciumi pipi dan bibir Pek Eng! Tentu saja Pek Eng terkejut bukan main, sampai ia menjadi gelagapan.
"Hay-ko... Hay-ko... Hay...." Gadis itu tidak dapat melanjutkan karena Hay Hay sudah memondong tubuhnya, terus menciuminya dan karena memang di sudut hati gadis ini sudah jatuh cinta kepada Hay Hay, sejak pertemuan pertama dahulu, maka akhirnya runtuhlah pertahanan batin Pek Eng dan ia pun bukan hanya mandah saja bahkan balas merangkulkan lengannya pada leher Hay Hay.
"Hay-kooo...." keluhnya dan ia memejamkan mata ketika dipondong dan dibawa oleh Hay Hay memasuki pondok itu. Dengan kakinya Hay Hay mendorong pintu pondok terbuka, masuk ke dalam pondok yang gelap karena memang lampunya tidak dinyalakan itu, dan menghampiri dipan kayu yang terdapat di dalam pondok.
"Eng-moi...."
"Hay-ko..... "
Akan tetapi, ketika mereka sudah rebah di atas dipan sambil berpelukan dan berciuman, ketika Pek Eng sudah terengah-engah dan pasrah bagaikan mabuk, tiba-tiba kesadaran Hay Hay menembus kabut yang tadi menyelimuti batinnya, kemabukan aneh yang mendatangkan rangsang berahi yang amat hebat itu dapat nampak oleh kesadarannya dan dia pun mengeluh, tiba-tiba melepaskan rangkulannya dan meloncat turun dari pembaringan.
"Hay-ko....!"
"Eng-moi, apa yang kita lakukan ini? Ahh...." Dan Hay Hay teringat semuanya, lalu dengan geram tertahan dia pun meloncat keluar dari pondok itu. Pek Eng masih berada di atas dipan dan gadis ini terisak.
Baru saja bayangan Hay Hay berkelebat keluar dan lenyap dalam kegelapan, nampak pula bayangan sesosok tubuh manusia memasuki pintu pondok dan dia menutupkan pintu dari dalam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar