23 Pendekar Bodoh

Lin-moi... kau kenapakah...?" Untuk sejenak Lin Lin tidak menjawab, hanya memandang kepada wajah Cin Hai seakan-akan baru sadar dari mimpi, lalu tangannya merangkul leher Cin Hai dan ia menangis terisak-isak di dada pemuda itu. Cin Hai mendiamkannya saja dan setelah tangis Lin Lin mereda, ia lalu menurunkan tubuh kekasihnya itu, didudukkan di atas rumput dan ia sendiri duduk di sebelahnya. Ia merasa heran melihat betapa tubuh Lin Lin kini pulih seperti bisia kembali, hanya wajahnya masih nampak pucat. Cin Hai memegang tangan Lin Lin dan bertanya lagi dengan wajah kuatir, "Lin-moi, kau kenapakah?" "Hai-ko, sukur sekali kau keburu datang. Telah terjadi malapetaka hebat menimpa Suhu dan diriku." Cin Hai mengangguk. "Aku tahu bahwa Suhu telah ditawan oleh keparat itu. Anehnya, ketika aku hendak menolongnya, Suhu bahkan melarangku dan pergi dengan suka rela menjadi tawanan mereka!" "Kau tidak tahu, Hai-ko. Suhu sengaja mengalah dan menurut menerima hinaan mereka hanya untuk menolong jiwaku." Terkejutlah Cin Hai mendengar ini dan teringatlah ia akan kata-kata Hai Kong Hosiang yang mengejek ketika ia hendak pergi meninggalkan mereka.

"Apa... apa maksudmu, Moi-moi...?" Lin Lin menarik napas panjang lalu bercerita seperti berikut. Semenjak ikut pergi dengan Bu Pun Su, Lin Lin memperdalam ilmu pedangnya di bawah pimpinan kakek jembel yang sakti itu. Mereka berdua lebih dulu singgah di dalam hutan dan membawa serta burung Merak Sakti dan Bangau Sakti, hingga kini di Gua Tengkorak itu terdapat tiga burung sakti, yaitu Sin-kong-ciak si Merak Sakti, Sin-kimtiauw si Rajawali Emas dan Ang-siang-kiam si Bangau Sakti. Gadis ini melatih diri dengan giat sekali dan sebentar saja ia telah mencapai kemajuan yang luar biasa sehingga kalau ia mainkan pedang Han-le-kiam dengan ilmu pedang yang diciptakan oleh Cin Hai untuknya maka gerakannya menjadi luar biasa hebatnya! Bu Pun Su telah memperbaiki gerakan-gerakannya itu dengan gerakan yang sesuai dan tepat, disesuaikan dengan pedang yang pendek itu. Pada suatu pagi, selagi Lin Lin berlatih seorang diri di luar gua karena gadis yang rajin ini setiap hari bangun pagi-pagi sekali dan berlatih seorang diri, datanglah rombongan Hai Kong Hosiang itu.

Seperti juga Cin Hai, Lin Lin merasa terkejut dan heran sekali melihat bahwa pendeta jahat itu masih hidup. Ia melihat empat orang lain datang bersama Hai Kong Hosiang, yaitu dua orang perwira Mongol, seorang pendeta Sakya Buddha dan seorang nenek tua yang aneh. "Hai Kong si Jahat! Kau belum mampus?" teriak Lin Lin dengan terheran-heran. Hai Kong Hosiang tertawa bergelak-gelak mendengar ucapan ini hingga sebelah matanya yang kiri itu melotot dan mengeluarkan air mata! "Kwee Lin, anak jahat! Kau dan Pendekar Bodoh yang membuat aku menjadi begini, akan tetapi, Sang Buddha adalah adil dan bijaksana! Kau memaki aku jahat, akan tetapi sebetulnya kaulah yang jahat.

Buktinya, biarpun aku telah menggelundung ke dalam jurang, akan tetapi ternyata Sang Buddha masih melindungiku dan cabang-cabang pohon menangkap dan menolong nyawaku ketika aku tergelincir jatuh ke dalam jurang! Sekarang aku telah datang kembali dan aku harus mencokel sebelah matamu sebelum kubunuh mampus kau dan Cin Hai untuk membalas dendamku.

Ha-ha-ha!" "Gundul keparat, jangan sombong!" Lin Lin dengan garang memaki. Lin Lin sekarang bukanlah Lin Lin dulu, karena sekarang ia telah memiliki ilmu kepandaian yang jauh lebih tinggi apabila dibandingkan dengan dulu. Setelah membentak, ia segera menyerang dengan pedang Han-le-kiam di tangannya. Hai Kong memandang rendah dan menghadapi gadis itu dengan tangan kosong, maksudnya hendak dengan satu dua jurus saja menggulingkan gadis itu, akan tetapi kesombongannya ini hampir saja membuat nyawanya melayang! Ketika Lin Lin menyerang dengan gerakan limu Pedang Han-le-kiam yang diberi nama Ang-i-to-hwa atau Ang I Niocu Memetik Kembang, pedang pendeknya membacok ke arah jidat yang licin dari hwesio itu dengan cepat sekali. Hai Kong Hosiang tersenyum sindir dan membentak keras lalu mempergunakan tangan kiri menyambar dari samping ke arah pergelangan tangan Lin Lin untuk merampas pedang dan tangan kanan mengeluarkan jari telunjuk, ditotolkan ke arah mata kiri Lin Lin untuk mencokel keluar mata itu. Tidak tahunya, Lin Lin tidak melanjutkan serangannya dan secepat kilat ujung Han-le-kiam telah dibalikkan dan dari gerakan membacok jidat berubah menjadi tusukan ke bawah mengancam tenggorokan hwesio itu dengan gerakan Cin Hai Membacok Kayu! Sedangkan menghadapi tusukan jari tangan Hai Kong ke arah matanya, Lin Lin mengelak sambil merendahkan tubuh dan tangan kirinya tidak mau tinggal diam akan tetapi membarengi gerakan pedangnya mengirim pukulan ke arah dada kiri Hai Kong Hosiang dengan ilmu Pukulan Pek-in-hoatsut yang dilakukan dengan sepenuh tenaga! Bukan main terkejutnya hati Hai Kong Hosiang melihat perubahan yang tak pernah disangka-sangkanya ini. Kalau saja ia tidak memandang rendah dan berlaku hati-hati tentu takkan mudah dibikin terkejut oleh serangan ini, sungguhpun serangan Lin Lin ini benar-benar merupakan gerakan silat yang tinggi tingkatnya. Akan tetapi karena tadinya memandang rendah dan tidak menyangka, Hai Kong Hosiang hanya dapat mengelak dari serangan pedang ke arah tenggorokannya saja, yaitu dengan jalan miringkan tubuh ke kiri. Akan tetapi menghadapi pukulan Pek-inhoatsut itu, ia tidak keburu berkelit lagi hanya dapat memutar dada dan menerima pukulan itu yang kini tak mengenai dada kiri, akan tetapi mengenai dada kanannya! Hai Kong Hosiang berseru kaget lagi dan untung ia telah merasai hebatnya angin pukulan yang panas sehingga telah mengerahkan lweekangnya ke arah dada kanan, kalau tidak pasti akan pecahlah dadanya! Tubuhnya terpental ke belakang, dan biarpun ia masih dapat mencegah tubuhnya terhuyung dan jatuh, namun dada kanannya masih terasa panas dan ketika ia melihat, ternyata kulit dadanya telah menjadi biru! Ia mengeluarkan keringat dingin, karena kalau tadi pukulan itu mengenai dada kiri, pasti jantungnya akan terluka! Ia merasa bergidik memikirkan bagaimana gadis ini sekarang telah memiliki ilmu kepandaian sehebat itu, sedangkan Lin Lin yang melihat betapa pukulan dari Ilmu Pek-in-hoatsut yang ampuh itu tidak merobohkan Hai Kong Hosiang, juga menjadi terkejut dan maklum bahwa ilmu kepandaian hwesio ini telah mencapai tingkat tinggi yang sukar diukur lagi! Ia menjadi nekat dan maju lagi menyerang dengan keras, sedangkan Hai Kong Hosiang yang merasa marah lalu mencabut senjatanya yang masih seperti dulu, yaitu tongkat dari tubuh ular kering, akan tetapi ular ini sekarang berwarna hijau dan mengerikan sekali. Sambil membentak marah Hai Kong Hosiang menyambut terjangan Lin Lin dan bertempurlah mereka dengan seru. Pendeta Sakya Buddha kawan Hai Kong Hosiang yang melihat betapa gagah gadis itu sehingga dapat mempertahankan diri dari serangan Hai Kong Hosiang dengan baiknya, menjadi habis sabar dan maju mengeroyok sambil mainkan pedangnya yang juga lihai. Pada saat Lin Lin bertempur dikeroyok dua dengan serunya, terdengar suara dari dalam gua, "Siancai... siancai…" dan muncullah tubuh Bu Pun Su dengan langkah tenang dan perlahan. "Aha, Hai Kong... kaukah yang kembali datang mengacau? Mundurlah dan jangan bermuka tebal mengeroyok seorang gadis muda!" Sambil berkata, Bu Pun Su membuat gerakan mendorong dengan tangan kanannya ke arah Hai Kong Hosiang dan pendeta baju merah itu, dan terkejutlah Hai Kong Hosiang dan kawannya karena dorongan ini benar-benar merupakan angin puyuh yang membuat mereka terhuyung mundur. Lin Lin juga menahan pedangnya dan berdiri sambil memandang suhunya, karena pada saat itu terjadi hal yang aneh. Bu Pun Su setelah mendorong Hai Kong dan pendeta Sakya Buddha tadi kini berdiri dengan mata terbelalak memandang kepada nenek yang tak bersepatu itu, dan berseru perlahan, "Wi Wi... kau datang juga...?" Nenek itu tersenyum menyindir, lalu berkata dengan suaranya yang terdengar merdu dan halus bagaikan suara seorang nyonya bangsawan terpelajar, "Lu Kwan Cu, dimanakah ada perceraian yang kekal?" "Wi Wi, tak kusangka bahwa kau masih hidup..."

"Kau sendiri masih betah tinggal di dunia, mengapa aku tidak?" Melihat sikap Bu Pun Su yang agaknya takuttakut terhadap nenek itu dan mendengar percakapan mereka yang aneh ini, Lin Lin berdiri bengong dan seluruh perhatiannya tertuju kepada suhunya dan nenek itu, hingga ia tidak menduga datangnya bencana dari fihak Hai Kong Hosiang. Ketika melihat gadis yang gagah itu berdiri bengong, pendeta Sakya Buddha lalu mengayun tangannya dan belasan batang jarum hitam menyambar ke arah dada dan leher gadis itu. Lin Lin telah mempunyai perasaan dan pendengaran yang amat halus dan tajam, maka kedatangan belasan batang jarum yang menyambar ke arahnya itu biarpun tidak dilihatnya, dapat ditangkap oleh telinganya, maka ia menjadi terkejut sekali. Tak ada lain jalan baginya selain menggulingkan tubuh ke atas tanah dan dengan demikian sambaran jarum-jarum itu mengenai tempat kosong dan ia dapat menghindarkan diri. Akan tetapi ia tidak menduga bahwa ketika itu, Hai Kong Hosiang menunjuk dengan tongkat ularnya yang ketika ditekannya lalu memuntahkan jarum-jarum hijau ke arah tubuh Lin Lin yang masih bergulingan! Lin Lin mencoba berkelit, akan tetapi datangnya jarum-jarum yang lihai dan cepat itu sukar sekali dikelit atau ditangkis, maka biarpun gerakan Lin Lin cukup cepat, sebatang jarum hijau masih berhasil mengenai leher! Lin Lin sudah mengerahkan lweekangnya untuk membuat kulit dan dagingnya mengeras hingga jarum halus itu tidak sampai menancap seluruhnya dan ia segera melompat dan mencabut jarum itu, lalu dengan marahnya hendak menyerang Hai Kong Hosiang, akah tetapi, tiba-tiba ia merasa pening dan menjerit keras terus roboh tak berdaya. Tubuhnya terasa panas dan lumpuh, sedangkan kepalanya pening sekali. Ia masih melihat betapa Bu Pun Su menjadi kaget dan marah. Tadi kalau kakek itu tidak sedang terheran-heran dan seluruh perhatiannya tertarik dan hatinya tergoncang karena perjumpaannya dengan nenek itu, pasti ia dapat menggunakan kepandaiannya untuk menolong Lin Lin. Akan tetapi, keadaan kakek jembel itu tadi seperti seorang yang kena hikmat dan tidak ingat apa-apa bahkan ketika Lin Lin diserang oleh Hai Kong dan pendeta baju merah, ia tidak tahu atau mendengar sama sekali. Setelah Lin Lin menjerit dan roboh, barulah ia sadar dan cepat memandang. "Hai Kong, pengecut berbatin rendah!" ia berteriak marah dan menggerakkan kedua tangannya. Kalau dua tangan Bu Pun Su itu jadi diangkat dan digerakkan ke arah Hai Kong Hosiang, entah nasib apakah yang akan dialami pendeta gundul itu, akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan nenek itu dengan halus akan tetapi nyaring. "Lu Kwan Cu, jangan bergerak!" Bu Pun Su memandang dan melangkah mundur dengan muka pucat. Nenek itu memegang sebatang tusuk konde terbuat daripada perak yang berbentuk naga indah sekali dan bermata intan, diangkatnya tusuk konde itu tinggi-tinggi sambil matanya memandang ke arah Bu Pun Su dengan tajam. Lemaslah tubuh kakek itu dan ia menurunkan kembali kedua tangannya. "Wi Wi, kau hendak mempergunakan itu untuk membela kejahatan?" bisiknya. "Kwan Cu, apakah kau yang sudah tua bangka ini hendak melanggar sumpahmu?" Bu Pun Su menggelengkan kepala. "Tidak, aku tidak akan melanggar sumpahku biarpun tubuhku akan hancur lebur. Apakah yang kau kehendaki, Wi Wi?"

"Kehendakku yang harus kauturut ialah, kau tidak boleh mengganggu kawan-kawan ini selama mereka berada di sampingku!" Bu Pun Su menarik napas panjang dan mengangguk-anggukkan kepalanya, "Baik, baik, aku takkan mengganggu mereka selama mereka berada di sampingmu!" ia berjanji. Nenek itu tersenyum dan menyimpan kembali tusuk kondenya yang demikian berpengaruh terhadap Bu Pun Su itu. Sedangkan kakek jembel itu dengan muka penuh kecemasan lalu menghampiri Lin Lin yang masih rebah miring dan memandang semua peristiwa itu dengan mata terbelalak heran. Bu Pun Su memeriksa luka di leher Lin Lin dan ketika ia meraba luka bintik warna hijau itu, ia menjadi terkejut sekali. "Hai Kong, kau kejam sekali!" katanya sambil memandang kepada hwesio gundul yang berdiri sambil tersenyum penuh kepuasan. "Bu Pun Su, jembel tua! Tahukah kau racun apa yang mengancam jiwa gadis ini?" tanya Hai Kong Hosiang dengan senyum sindir. "Kau telah menggunakan racun Ular Hijau yang hidup di Mongolia. Alangkah kejamnya hatimu!" kata Bu Pun Su.

"Ha-ha-ha. Matamu masih cukup awas!" Hai Kong Hosiang menyindir. "Tahukah kau cara bekerjanya racun itu? Ha-ha-ha! Racun Ular Hijau bekerja lambat akan tetapi pasti. Dan tidak ada obat di dunia yang dapat menyembuhkan orang yang terkena racun itu. Gadis ini hanya akan hidup selama seratus hari lagi. Keadaannya akan biasa saja, tidak merasa sakit apa-apa asalkan ia jangan merasa kuatir. Kalau ia merasa kuatir, racun itu akan lebih hebat kerjanya dan akan menyerang jantungnya hingga ia akan jatuh pingsan! Akan tetapi hal itu pun tidak berbahaya, dan pendeknya, ia akan hidup sampai seratus hari lagi. Ha, ha, ha!" "Hai Kong, demi Ketuhanan dan Perikemanusiaan, jangan kau sekejam itu. Aku tahu bahwa untuk racun ini ada semacam obat di Mongolia dan kau yang bermain-main dengan racun ini tentu mempunyai pula obat penyembuhnya. Berikanlah obat itu untuk menolong nyawa muridku ini!" "Ha, ha, ha! Enak saja kau bicara, pengemis tua!" Hai Kong menjadi berani karena ia maklum bahwa kakek jembel itu berada di dalam kekuasaannya. "Aku tidak begitu bodoh untuk membawa-bawa obat itu bersamaku. Obat itu berada di suatu empat yang aman!" "Hai Kong, aku minta kepadamu, serahkan obat itu untuk menolong dia! Aku sudah tua dan takkan lama lagi hidup di dunia. Aku tidak takut akan kematian, akan tetapi dia ini masih muda, dan masih berhak untuk hidup lebih lama lagi.

Berikan obat itu dan aku berjanji hendak melakukan apa saja yang kaupinta, asal bukan kejahatan yang harus kulakukan!" kata lagi Bu Pun Su dengan suara mengandung permohonan.

Melihat dan mendengar semua ini, Lin Lin segera bangkit duduk dan pada saat itu, agaknya serangan racun di tubuhnya sudah banyak mengurang.

"Suhu, teecu tidak takut mati. Biarlah teecu diancam bahaya maut, tidak apa. Akan tetapi perkenankan teecu mengadu jiwa dengan pendeta rendah budi itu!"

Bu Pun Su menggelengkan kepalanya. "Jangan, muridku. Bukan saatnya, jangan menggunakan kekerasan..." kemudian ia memandang kepada Wi Wi Toanio, nenek yang aneh itu. "Wi Wi, sekarang apakah kehendakmu lagi?"

"Kau harus ikut dengan kami dan membantu kami mendapatkan harta pusaka terpendam di gua Tunhuang."

"Hanya itukah?"

"Ya, hanya itu dan setelah berhasil mendapatkan harta itu, kau boleh bebas. Akan tetapi ketahuilah bahwa pihak Turki dan juga Kaisar mencari-cari pula harta itu dan kau harus melindungi kami melawan dan mengundurkan mereka!"

"Aku menurut, Wi Wi, akan tetapi hanya dengan satu syarat, tanpa dipenuhinya syarat itu, aku takkan menurut, biarpun dengan berbuat demikian berarti aku melanggar sumpah! Marilah kita masuk ke dalam guaku dan di sana kita bicarakan hal ini lebih mendalam pula."

Sambil menuntun tangan Lin Lin, Bu Pun Su mendahului rombongan itu memasuki Gua Tengkorak.

"Lin Lin kau beristirahatiah di dalam kamar hio-louw itu dan bersamadhilah dengan tenang, membersihkan pernapasanmu agar racun yang menyerangmu itu tidak begitu keras jalannya," katanya kepada Lin Lin dan tidak mempedulikan suara ketawa Hai Kong Hosiang yang mengejeknya. Lin Lin melontarkan pandang mata membenci ke arah pendeta gundul itu, lalu ia mentaati perintah suhunya dan masuk ke dalam kamar hiolouw lalu bersila dan mengatur napas. Akan tetapi, ia memasang telinganya dan mendengarkan semua percakapan mereka.

Akhirnya diputuskan oleh Bu Pun Su, Hai Kong Hosiang, dan Wi Wi Toanio, bahwa Bu Pun Su harus membantu mereka mendapatkan harta pusaka itu, kemudian kalau harta pusaka itu telah terjatuh ke dalam tangan mereka, barulah Hai Kong Hosiang akan memberi obat penyembuh racun yang menguasai Lin Lin.

Mendengar percakapan itu, Lin Lin merasa terhina sekali dan ia merasa penasaran mengapa Bu Pun Su menjadi demikian lemah dan tidak berdaya terhadap nenek itu? Apakah nenek itu lebih lihai daripada Bu Pun Su? Andaikata lebih juga, mungkinkah suhunya bersikap demikian pengecut dan takluk tanpa mengadakan perlawanan terlebih dulu? Ia menjadi gelisah dan duduknya tidak bisa diam.

Tiba-tiba terdengar Bu Pun Su berkata, "Lin Lin, aku tahu mengapa kau merasa gelisah dan penasaran."

Kemudian, kakek yang lihai ini lalu berkata kepada Wi Wi Toanio, "Wi Wi, jangan kau membuat aku dipandang rendah oleh muridku sendiri. Kalau kau tidak mau menceritakan riwayat kita berdua hingga terdengar muridku dengan jelas, jangan harap kau akan dapat membawaku ke barat untuk mencari harta pusaka itu."

"Apa?" nenek itu berseru heran. "Kau tidak takut rahasia kita itu kubongkar?"

"Apakah yang kutakuti lagi? Nama buruk? Biarlah, aku sudah tak bernama lagi," jawab Bu Pun Su.

"Tidak akan merasa malukah kau?"

"Di mana letaknya malu? Perbuatan yang telah dilakukan tak perlu disimpan-simpan! Telah puluhan tahu kita menyimpan rahasia itu, lebih baik sekarang dibuka sebelum kita mati."

"Tapi... tapi mengapa kaumasih tunduk kepadaku kalau kau tidak takut rahasia itu terbongkar?" nenek itu suaranya mengandung gelora penuh keheranan dan kejutan.

Bu Pun Su tersenyum. "Itulah rahasiaku sendiri, Wi Wi. Sekarang ceritakanlah semuanya dengan jelas sebelum kita berangkat."

Dengan suara gemetar, berceritalah nenek yang aneh itu.

Dulu ketika muda dan masih berusia dua puluh lima tahun, Bu Pun Su bernama Lu Kwan Cu, muda, tampan, dan gagah. Ilmu kepandaiannya amat tinggi hingga pada masa itu ia menjagoi di seluruh daerah dan merupakan pendekar yang ditakuti para penjahat. Karena kakeknya, Perdana Menteri Lu Pin, menderita karena pemberontakan An Lu San, maka Lu Kwan Cu membenci semua orang Tartar dan mencari mereka untuk dibunuhnya sebagai pembalasan dendamnya. Yang terutama dicarinya adalah keturunan An Lu San yang bernama An Kai Seng dan yang sudah menjadi orang Han semenjak kawin dengan seorang gadis Han yang cantik. An Kai Seng sendiri biarpun berkepandaian tinggi, namun merasa takut sekali kepada Lu Kwan Cu yang mencari-carinya, hingga diam-diam ia melatih diri bersama isterinya, yaitu yang bernama Wi Wi, seorang gadis Han yang masih berdarah Tartar juga dan yang juga memiliki ilmu kepandaian tinggi.

Akhirnya Lu Kwan Cu berhasil menjumpai mereka dan biarpun dikeroyok oleh banyak kawan-kawan An Kai Seng namun tak seorang pun dapat menghadapinya. An Kai Seng menjadi gelisah dan takut sekali dan tiba-tiba muncullah isterinya, yaitu Wi Wi Toanio yang cantik.

Melihat suaminya berada dalam bahaya, Wi Wi Toanio lalu mempergunakan kecantikannya untuk menggoda hati Lu Kwan Cu dan sengaja memancingnya dan menantangnya untuk mengadu jiwa di dalam sebuah hutan antara pendekar itu dan Ang Kai Seng suami isteri.

Tantangan ini tentu saja diterima oleh Lu Kwan Cu dengan baik, dan ketika pendekar muda ini pergi ke hutan itu pada saat yang telah ditetapkan, ia hanya menjumpai Wi Wi seorang diri.

Wi Wi mempergunakan segala kecantikannya untuk memikat dan menjatuhkan hati Lu Kwan Cu dengan cara yang tak patut dituturkan di sini. Lu Kwan Cu adalah seorang pemuda yang masih hijau dalam hubungan dengan wanita dan darah mudanya menggelora ketika ia menghadapi Wi Wi yang cantik dan pandai menggairahkan hatinya itu. Keteguhan imannya runtuh dan bagaikan tak sadar ia menuruti kehendak wanita itu bagaikan seekor ikan bodoh yang tidak tahu akan bahaya umpan pancing! Semenjak saat itu, ia jatuh bertekuk lutut di depan Wi Wi yang cantik dan menjadi tergila-gila. Seringkali mereka mengadakan pertemuan rahasia, dan Lu Kwan Cu sama sekali tak sadar bahwa ia telah melakukan perbuatan terkutuk dan melanggar kesusilaan dengan isteri orang lain, bahkan isteri musuh besarnya yang tadinya akan dibunuhnya! Semenjak saat itu, jangankan bercita-cita membunuhnya, bahkan segala permintaan Wi Wi diturutinya belaka. Ini masih belum hebat, yang celaka sekali ialah ketika ia memberi sebatang tusuk konde kepada wanita itu pada saat ia mengucapkan sumpahnya bahwa selama hidupnya, ia akan menurut segala perkataan wanita yang juga bersumpah "mencintanya" itu, dan tusuk konde itu menjadi saksi. Lu Kwan Cu benar-benar mabok asmara dan tergila-gila. Ia percaya sepenuh hatinya bahwa Wi Wi benar-benar mencintainya dengan setulus hati.

Akhirnya, ketika pada suatu hari ia mengadakan pertemuan dengan Wi Wi di hutan, ia mendengar gerakan orang. Cepat ia melompat dan menangkap orang itu yang ternyata bukan lain ialah Ang Kai Seng sendiri yang mengintai. Ia hendak memukulnya, akan tetapi tiba-tiba Wi Wi mengeluarkan tusuk konde itu dan minta ia melepaskan suaminya! Bukan main terkejut dan herannya hati Lu Kwan Cu melihat hal ini. Ternyatalah kini bahwa tak terduga-duga sekali, An Kai Seng telah mengetahui akan perhubungan itu, dan bahkan dengan berani sekali Wi Wi mengeluarkan tusuk konde pemberiannya di depan suaminya untuk menolong suami itu. Terbukalah matanya bahwa agaknya An Kai Seng dengan sengaja merencanakan hal itu bersama isterinya, yaitu mempergunakan isterinya yang cantik sebagai umpan untuk menjebaknya! Dalam takutnya, An Kai Seng beserta isterinya telah menjalankan siasat keji dan rendah itu untuk menyelamatkan jiwa mereka.

Hancurlah hati Lu Kwan Cu melihat kenyataan ini, akan tetapi ia adalah seorang gagah yang menetapi janji.

Oleh karena ia sudah berjanji kepada Wi Wi terpaksa ia lalu meninggalkan tempat itu. Semenjak itu, ia lalu menjauhkan diri dari Wi Wi yang merupakan bahaya besar baginya itu. Ia takut kalau-kalau Wi Wi mempergunakan tusuk konde yang mempunyai kekuasaan besar itu untuk memerasnya dan memaksanya membantu wanita itu melakukan hal-hal yang jahat! Maka ia melarikan diri dan merantau jauh meninggalkan tempat itu, bahkan lalu beralih nama menjadi Bu Pun Su dan bertapa di pulau kosong, yaitu Pulau Kim-san-to! Ia menyangka bahwa wanita itu tentu telah mati. Tidak tahunya, setelah menjadi tua, tiba-tiba saja wanita iblis itu muncul lagi membuat gara-gara hingga terpaksa ia memegang teguh sumpah dan janjinya dulu dan membiarkan Lin Lin terluka dan terancam bahaya maut.

Setelah Wi Wi Toanio menceritakan semua ini yang tidak saja didengarkan oleh Hai Kong Hosiang dan kawan-kawanya, akan tetapi juga oleh Lin Lin, terdengar Bu Pun Su menarik napas panjang dan berkata, "Tepat sekali ujar-ujar Nabi Khong Cu yang berbunyi, Pok-hian-houw-in, Bok-hian-houw-bi, Koh-kuncu-sin-kitok- ha! (Tidak ada yang lebih jelas dari pada yang tersembunyi, dan tak ada yang lebih tegas dari pada yang paling lembut. Maka seorang budiman selalu berhati-hati terhadap hal yang tersembunyi). Ujar-ujar ini jelas memperingatkan manusia akan bahayanya musuh yang bersembunyi di dalam hati dan pikiran sendiri.

Segala hal yang diperbuat oleh lahir, selalu datangnya dari dalam, bagaikan munculnya tunas yang mekar terdorong oleh suatu tenaga yang keluar dari dalam cabang! Hm, usia muda memang penuh bahaya!"

Setelah berkata demikian, Bu Pun Su lalu berkata kepada Lin Lin, "Muridku, kau telah mendengar hal itu semua, dan kau tentu mengerti mengapa aku tidak dapat melanggar sumpah sendiri. Kau tenanglah dan tunggu saja di sini dengan baik-baik bersama tiga burung kita, tunggulah sampai aku kembali membawa obat penawar lukamu!"

Setelah berkata demikian, pergilah mereka meninggalkan Gua Tengkorak meninggalkan Lin Lin seorang diri di kamar hio-louw itu. Dan di dalam hatinya, ia merasa berkuatir sekali, bukan kuatir terhadap diri sendiri, karena Lin Lin berhati tabah dan tidak takut mati, akan tetapi ia menguatirkan keadaan suhunya. Ia lupa bahwa ia tidak boleh mempunyai perasaan kuatir, maka begitu penasaran itu mendesak jantungnya, ia menjerit keras lalu jatuh pingsan! Dan kemudian datanglah Cin Hai menemukannya dalam keadaan masih pingsan! Cin Hai mendengarkan penuturan itu dengan amat tertarik, gelisah dan terharu. Jarang terdapat orang seperti suhunya. Gagah perkasa, memegang teguh sumpahnya, sungguhpun sumpah terhadap seorang jahat, akan tetapi rela mengorbankan dirinya demi keselamatan muridnya! "Kalau demikian halnya, kau harus menenangkan hatimu, Lin-moi. Seratus hari adalah waktu yang cukup banyak bagi kita untuk berusaha mencari obat bagimu.

Biarpun aku percaya penuh kepada Suhu bahwa ia tentu akan berhasil membawa obat penyembuh itu, akan tetapi, terlebih baik pula kalau kita tidak tinggal diam dan marilah kita pergi ke Kan-su untuk menyusul mereka.

Jangan kau kuatir, Adikku, aku telah berada di sampingmu dan demi Tuhan Yang Maha Agung, kau pasti akan tertolong."

Pada saat itu, di udara nampak tiga titik hitam yang melayang turun dan tak lama kemudian, tiga burung yang menjadi kawan Lin Lin, yaitu Merak Sakti, Rajawali Emas, dan Bangau Sakti, menyambar turun dan berdiri dekat mereka sambil mengeluarkan suara riuh rendah, seakan-akan menegur mereka mengapa meninggalkan begitu saja.

"Marilah kalian ikut kami pergi ke barat," kata Lin Lin.

Cin Hai lalu melanjutkan perjalanan bersama Lin Lin menuju ke barat, diikuti oleh tiga burung sakti yang terbang tinggi di atas udara. Mengingat akan keadaan Lin Lin, Cin Hai diam-diam merasa berduka dan gelisah sedangkan Lin Lin yang mengetahui keadaan kekasihnya itu, menghiburnya dengan berlaku riang gembira dan jenaka hingga Cin Hai merasa terhibur juga. Melihat sikap Lin Lin, seakan-akan ia tidak menderita sakit apaapa dan memang betul ucapan Hai Kong Hosiang bahwa racun Ular Hijau itu amat halus kerjanya hingga orang yang terkena seakan-akan tidak merasa apa-apa padahal orang itu makin hari makin mendekati maut! Dalam usahanya menghibur Cin Hai, Lin Lin bahkan mempergiat latihan pedangnya. Cin Hai bukanlah seorang pemuda yang berhati lemah dan bersemangat kecil, maka ia pun segera dapat melupakan kekuatirannya dan sikap Lin Lin yang gembira ini banyak menolongnya, bahkan ia lalu sadar bahwa seharusnya dialah yang seharusnya memperlihatkan sikap gembira agar kekasihnya itu tidak memikirkan keadaan dirinya dan tidak timbul kekuatiran, perasaan yang menjadi pantangan bagi Lin Lin itu. Maka dengan gembira ia pun lalu membantu dan memberi petunjuk-petunjuk hingga ilmu pedang Lin Lin kini menjadi makin maju saja.

Cin Hai tidak mau menceritakan kepada Lin Lin tentang tewasnya Biauw Suthai dan Pek Toanio karena ia maklum bahwa hal ini membahayakan kesehatannya.

Bahkan ia sengaja mengambil jalan memutar dan tidak melalui dusun di mana kedua pendekar wanita itu tewas.

Kita mengikuti keadaan Ang I Niocu yang ditinggal seorang diri oleh Cin Hai yang pergi memberi laporan kepada Bu Pun Su. Dara Baju Merah itu menanti kembalinya Cin Hai sambil menjaga gua rahasia tempat harta pusaka itu, juga sambil menunggu datangnya rombongan Kwee An, Ma Hoa, dan Nelayan Cengeng yang juga menuju ke Kan-su mengambil jalan lain.

Pada suatu hari, karena merasa kesal tidak ada kawan dan tidak ada sesuatu yang dikerjakan, Ang I Niocu keluar dan pergi berjalan-jalan di sekeliling ibu kota Lancouw yang ramai. Daerah Kan-su adalah daerah barat daratan Tiongkok dan di situ banyak terdapat suku-suku bangsa, bahkan banyak pula orang-orang asing yang berdagang di situ. Oleh karena ini, maka banyak sekali nampak pemandangan-pemandangan yang ganjil, yaitu jalan-jalan penuh orang-orang yang mengenakan pakaian bermacam ragam dan warna. Banyak pula wanita-wanita suku Hui dan lain-lain yang berwajah manis dengan pakaian mereka yang berbeda dengan pakaian orang-orang Han.

Akan tetapi, ketika Ang I Niocu berjalan-jalan dengan pakaiannya yang serba merah, langkahnya yang gagah, tubuhnya yang ramping dan wajahnya yang cantik jelita itu, ia merupakan pemandangan yang amat mencolok mata dan yang jarang terlihat oleh orang-orang di situ.

Oleh karenanya hampir semua mata memandang Dara Baju Merah itu dengan penuh kekaguman. Akan tetapi Ang I Niocu sudah biasa dengan pandangan-pandangan mata seperti ini, maka ia tidak mengacuhkannya sama sekali, seakan-akan mereka itu hanyalah patung-patung batu yang memandangnya tanpa berkedip.

Ketika lewat depan sebuah toko yang menjual barangbarang kuno, Ang I Niocu teringat akan cawan tertutup yang menjadi penunjuk jalan baginya dan Cin Hai untuk menemukan rahasia gua rahasia itu. Ia teringat betapa anehnya ia mendapatkan cawan berukir itu, yaitu dari seorang gila! Ketika itu ia sedang berjalan menuju ke Kan-su, yaitu sebelum bertemu dengan Cin Hai. Tiba-tiba ia melihat seorang yang berpakaian tidak karuan dan hampir telanjang duduk di tepi jalan, tertawa-tawa seorang diri. Orang itu adalah seorang Turki sudah tua, dan yang amat aneh ialah biarpun pakaiannya compangcamping tidak karuan dan keadaannya menunjukkan kemiskinan yang amat besar, namun ia memegang sebuah cawan perak yang indah! Ketika Ang I Niocu sedang memandang dengan terheran-heran, datanglah tiga orang bangsa Hui yang mendekati orang gila itu dengan mata melirik ke sana ke mari. Melihat bahwa tempat itu sunyi dan hanya ada seorang gadis baju merah berdiri di tempat yang agak jauh, ketiga orang itu lalu maju dan hendak merampas cawan perak itu.

Si Gila lalu berteriak-teriak, berdiri dan menendangnendang, mencakar-cakar melakukan perlawanan, sambil mulutnya mengomel, "Pergi, pergi! Kalian tidak berhak mendapatkan harta pusaka ini! Pergi!"

Seorang di antara tiga orang yang hendak merampas cawan itu lalu mengubah siasat dan sambil tersenyum ia berkata, "Kakek sinting, biarlah kami tukar dengan uang untuk membeli nasi!" orang itu lalu mengeluarkan uang perak beberapa potong, akan tetapi orang gila itu mendekap cawan itu erat-erat sambil memaki.

"Perampok-perampok, pergi! Aku tidak butuh uang! Harta pusaka ini milikku!"

Tiga orang itu menubruk dan merampas cawan, tibatiba mereka roboh sambil merintih-rintih. Ternyata Ang I Niocu telah bertindak karena kasihan kepada orang gila itu.

Tiga orang laki-laki bangsa Hui itu bangkit lagi dan hendak menyerang, akan tetapi kembali tubuh Ang I Niocu bergerak cepat dan sebelum mereka tahu apakah yang terjadi dan menimpa diri mereka, tahu-tahu ketiga orang itu telah terlempar lagi dengan tubuh sakit-sakit! Mereka memandang dengan mata terbelalak ketakutan seakan-akan melihat setan di tengah hari, lalu berlari pergi secepat kaki mereka dapat bergerak! Orang gila itu menghampiri Ang I Niocu dan karena orang itu bertubuh tinggi sekali, maka ketika ia mengulurkan kedua tangannya yang kotor ke atas kepala Ang I Niocu, kedua tangan itu menumpang di atas kepala gadis itu, seakan-akan seorang pendeta memberi berkah.

"Kau gagah, ha, ha, mereka lari pontang-panting, haha- ha! Kau patut menjadi ratu, patut memiliki harta pusaka itu. Ini, kauterima harta pusaka yang tak ternilai harganya!" Ia memberikan cawan perak itu kepada Ang I Niocu yang menerimanya dengan heran.

"Untuk apa cawan ini?" tanyanya.

Orang gila itu memandangnya dengan marah. "Untuk apa katamu? Itu bukan cawan. Bodoh, menyebut harta pusaka sebagai cawan biasa!" Si Gila itu lalu pergi dengan langkah lebar dan terdengar ia bernyanyi dalam bahasa Turki yang tidak karuan. Ang I Niocu mengamatamati cawan itu dan melihat ukir-ukiran yang indah, hingga timbul sayangnya. Ia lalu masukkan cawan itu ke dalam saku dan tidak tahu maksud ucapan orang gila itu sampai ia bertemu dengan Cin Hai yang membawa tutup cawannya.

Demikianlah, sambil mengenangkan peristiwa semua ini, Ang I Niocu tak sengaja berhenti depan toko barang antik itu sambil melamun. Tiba-tiba ia melihat dua orang Turki berkelebat masuk ke dalam toko dan ketika seorang di antara mereka memandang keluar toko, maka nampak wajahnya yang dibayangi ketakutan hebat! Ang I Niocu menjadi tertarik dan curiga, maka ia segera melompat ke pinggir rumah dan terus mengintai dari atas genteng.

Ia melihat dua orang itu bicara dengan seorang Turki lainnya dan agaknya mereka membicarakan hal-hal yang mengandung rahasia. Akan tetapi sebuah perkataan saja yang dimengerti oleh Ang I Niocu karena mereka bicara dalam bahasa Turki, yaitu kata-kata mereka "Yousuf"! Kata-kata ini cukup untuk membuat ia memperhatikan mereka baik-baik dan ketika ketiga orang itu keluar dari luar rumah melalui pintu belakang lalu berlari-lari cepat, ia lalu mengikuti mereka dengan diam-diam.

Dengan mudah ia dapat mengikuti ketiga orang itu tanpa mereka mengetahuinya. Untuk beberapa lama ketiga orang itu masuk keluar hutan dan kemudian tiba di sebuah perkampungan kecil di mana banyak terdapat rumah-rumah model Turki. Tiga orang Turki itu masuk ke dalam rumah yang terbesar. Ang I Niocu segera melompat naik ke atas genteng dari bagian belakang dan menuju ke wuwungan di sebelah tengah. Ia membuka genteng dan mengintai ke dalam dengan hati-hati.

Dilihatnya ketiga orang tadi masuk ke dalam sebuah ruangan yang kebetulan berada di bawahnya. Di dalam ruangan yang lebar nampak duduk dua orang Turki.

Seorang di antara mereka telah tua sekali, dan yang seorang lagi setengah tua, sikapnya gagah. Juga kakek yang sudah tua dan rambutnya sudah putih semua sehingga menimbulkan kontras yang mencolok dengan kulitnya yang hitam, nampak lemah lembut akan tetapi sepasang matanya bersinar tajam berpengaruh.

Tiga orang Turki itu setelah melihat mereka, lalu maju dan memberi hormat dengan membungkukkan tubuh dalam-dalam dan kedua tangan di depan. Mereka bertiga lalu bicara seakan-akan membuat laporan kepada dua orang itu. Tak lama kemudian, orang setengah tua tadi menjawab dengan beberapa perkataan yang agaknya memberi perintah, karena setelah mendengar ucapan itu, tiga orang pendatang tadi lalu pergi lagi.

Tiba-tiba, orang setengah tua itu tertawa dan sambil menengok ke atas ke arah genteng yang dipijak oleh kaki Ang I Niocu ia berkata dalam bahasa Han yang lancar, "Sahabat yang berada di atas genteng, harap kau suka turun saja apabila ada perlu dengan kami."

Ang I Niocu terkejut sekali. Tak pernah disangkanya bahwa orang itu dapat melihat atau mendengarkannya, dan selagi ia merasa ragu-ragu, tiba-tiba kakek rambut putih itu juga berkata, "Nona berbaju merah agaknya Ang I Niocu! Kalau benar, kami persilakan turun karena kita masih kawan sendiri!"

Makin terkejutlah hati Ang I Niocu mendengar ini.

Kalau laki-laki setengah tua itu hanya dapat mengetahui bahwa di atas genteng terdapat orang mengintai, adalah kakek berambut putih itu bahkan tahu bahwa yang mengintai adalah seorang gadis baju merah, bahkan dapat menduga namanya dengan tepat! Ang I Niocu masih merasa ragu-ragu untuk turun, maka ia teringat sesuatu dan bertanya, "Apakah seorang diantara Jiwi ada yang bernama Yousuf?"

Mendengar pertanyaan ini, laki-laki setengah tua itu berseri wajahnya dan sambil berdiri ia menjawab girang.

"Akulah yang bernama Yousuf! Kalau begitu Nona tentu benar-benar Ang I Niocu adanya! Lihiap, silakan turun!"

Kini Ang I Niocu tidak merasa ragu-ragu lagi. Ia membuka beberapa potong genteng dan melayang turun sambil berkata, "Mohon dimaafkan sebanyaknya atas kelancanganku!"

Yousuf memandang kepada Nona Baju Merah itu dengan mata kagum, kemudian ia menjura sambil berkata girang, "Betul, betul! Kau tentu Ang I Niocu. Aku telah lama mengenalmu dari penuturan anakku Lin Lin!"

Ang I Niocu menjadi girang sekali. "Dan aku pun telah lama mengenal nama Yo-lopek dari kawan-kawan."

Mendengar bahwa tanpa ragu-ragu lagi Ang I Niocu menyebutnya lo-pek (uwa) seperti Cin Hai, Kwee An dan yang lain-lain. Yousuf merasa girang sekali.

"Ang I Niocu, kedatanganmu ini bagiku laksana jatuhnya sebuah bintang dari langit! Kau disangka telah tewas di atas Pulau Kim-san-to hingga melihat kesedihan kawan-kawan kita, aku sendiri merasa amat berduka.

Dan sekarang, tiba-tiba saja kau muncul dalam keadaan yang kebetulan sekali!"

Ang I Niocu memandang ke arah kakek berambut putih yang lihai tadi dan bertanya, "Siapakah Locianpwe yang terhormat ini?"

Kakek itu tertawa bergelak dan menjawab, "Ang I Niocu, kau tentu belum pernah mendengar namaku, sungguhpun telah seringkali aku mendengar namamu dari muridku ini."

"Ah, kalau begitu Locianpwe tentu yang bernama Ibrahim!" kata Ang I Niocu.

Baik Ibrahim maupun Yousuf menjadi tercengang.

"Bagaimana kau bisa tahu, Lihiap?" tanya Yousuf heran.

Ang I Niocu lalu menceritakan pengalamannya, dan bahwa Cin Hai pernah bercerita tentang pertemuannya dengan guru Yousuf itu ketika Ibrahim menangkap ular.

Bukan main girangnya hati Yousuf ketika mendengar bahwa Ma Hoa dan Kwee An berada dalam keadaan selamat, bahkan kini sedang menuju ke Lan-couw sehingga banyak kemungkinan ia akan bertemu dengan mereka. Kalau tadinya ia masih agak muram wajahnya, kini ia menjadi riang gembira dan berkata, "Lihiap, tadi kukatakan bahwa kedatanganmu ini seperti bintang jatuh dari langit, akan tetapi sekarang ternyata bahwa kau bukan merupakan bintang saja, bahkan seakan-akan bulan sendiri jatuh di pangkuanku! Kau tidak saja memperkuat fihakku, bahkan kau membawa berita yang amat menggirangkan hatiku. Patut aku mengucap syukur dan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Tunggal." Sambil berkata demikian, orang Turki itu mengangkat kedua tangan ke atas sebagai puji syukur kepada Tuhan.

"Sebenarnya, apakah yang sedang terjadi, Yo-lopek? Tadi aku melihat tiga orang itu dan aku merasa curiga.

Ketika mendengar namamu disebut-sebut, aku lalu mengikuti mereka ke sini dan agaknya mereka membuat laporan. Ada apakah?" tanya Ang I Niocu yang sama sekali tidak mengerti karena selama ini semua pembicaraan dilakukan dalam bahasa Turki.

Yousuf menarik napas panjang. "Sebetulnya hal yang sedang terjadi dan akan terjadi ini adalah urusan pribadi Turki sendiri. Akan tetapi, oleh karena di sini terkandung juga soal-soal kejahatan, maka kami percaya bahwa kau tentu akan suka membantu kami. Orang-orang Turki yang berada di daerah ini terpecah menjadi dua rombongan, yaitu pengikut-pengikut Pangeran Tua yang pada waktu ini masih menjadi raja di Turki, dan sebagian pula pengikut-pengikut Pangeran Muda yang selalu menimbulkan kekacauan. Kami adalah pengikut-pengikut Pangeran Tua, kami selalu mengambil sikap baik dan bersahabat terhadap negerimu, akan tetapi politiknya yang bersahabat itu dikacau dan dirusak oleh Pangeran Muda yang selalu mencari perkara. Kini pengikutpengikut Pangeran Muda itu bahkan mempunyai maksud menyerbu ke pedalaman Tiongkok, dan mereka datang hendak mencari harta pusaka yang bukan menjadi hak orang Turki. Nah, kami para pengikut Pangeran Tua mendapat tugas untuk menghalangi maksud jahat ini, karena kalau maksud mereka itu dilanjutkan, yang akan menderita rugi adalah bangsa kami sendiri, karena tentu dianggap jahat oleh bangsamu. Kami bertugas menghalangi maksud mereka mencuri harta pusaka itu, dan mencegah mereka melanjutkan usaha menyerbu ke pedalaman Tiongkok!"

Ang I Niocu mengangguk-angguk maklum. "Kalau begitu, kau dan kawan-kawanmu memang orang-orang gagah yang mulia, Yo-lopek. Aku pun pernah mendengar sedikit-sedikit tentang maksud orang-orang Turki itu, akan tetapi tak pernah menyangka bahwa ada dua rombongan yang bertentangan. Di fihak siapakah orangorang seperti Siok Kwat Moli, Wai Sauw Pu, Lok Kun Tojin dan yang lain-lain itu berdiri?"

Tiba-tiba Ibrahim berdiri dari tempat duduknya dan berkata dengan gemas, "Nah, itulah yang amat menyebalkan hati kami. Para pengikut Pangeran Muda itu telah mempergunakan cahaya emas untuk menggunakan orang-orang jahat seperti mereka itu dalam usaha mereka yang rendah.

Yang menyebalkan hati, bagaimana orang-orang Han sendiri sudi membantu usaha pengikut-pengikut Pangeran Muda, yang mempunyai maksud buruk terhadap negeri mereka sendiri?" Ibrahim menarik napas panjang.

Ang I Niocu tersenyum. "Tidak sangat aneh, Locianpwe. Iman yang lemah dikuasai hati, hati yang kotor dikuasai pikiran dan pikiran yang picik dikuasai oleh mata. Kalau mata mereka sudah silau dan buta karena cahaya harta benda, kejahatan apakah lagi yang pantang bagi mereka?"

Ibrahim mengangguk-angguk. "Kau benar, kau benar..." lalu kakek rambut putih itu duduk melamun tidak mempedulikan lagi keadaan di sekelilingnya.

"Ang I Niocu," kata Yousuf, "sekarang kami menghadapi puncak pertentangan antara kami dan mereka. Tadi kawan-kawan melaporkan bahwa pengikutpengikut Pangeran Muda agaknya telah mendapatkan kunci yang membawa mereka kepada tempat harta pusaka itu! Kabarnya bahwa mereka telah berhasil mendapatkan cawan yang berukirkan peta yang menunjukkan di mana tempat harta itu, yang dirampasnya dari seorang gila. Kalau hal ini betul, kami harus menghalangi mereka!"

Ang I Niocu tersenyum. "Tak usah, Yo-lopek. Harta pusaka itu telah diketemukan dan yang mendapatkannya bukan lain ialah aku sendiri dan Cin Hai."

Yousuf memandangnya dengan bengong sehingga Ang I Niocu segera menceritakan pengalamannya.

Yousuf menjadi girang sekali sehingga ia segera berpaling kepada gurunya dan menuturkan semua cerita Ang I Niocu dengan cepat kepada gurunya dalam bahasa Turki, karena tadi ketika Ang I Niocu bercerita, agaknya kakek itu masih melamun dan tidak mendengar apa-apa! Ibrahim juga merasa girang dan tertawa senang.

"Akan tetapi, Lihiap, sekarang mereka sedang menuju ke sini untuk menyerbu kami, demikian menurut laporan kawan-kawan. Kami telah siap sedia menghadapi serbuan mereka dan kalau perlu, kami bersedia untuk bertempur pula."

"Jangan kuatir, Yo-lopek. Aku telah berada di sini dan aku pasti akan membantu kalian."

Pada saat itu, dari luar masuk seorang penjaga dan memberi laporan singkat kepada Yousuf yang segera dijawabnya dengan perintah singkat pula. Orang itu pergi lagi dan Yousuf talu berkata kepada Ang I Niocu, "Mereka telah datang dan kuminta pemimpinpemimpin mereka datang ke sini untuk mengadakan pembicaraan."

"Kalau begitu aku harus mengundurkan diri," kata Ang I Niocu, yang menganggap bahwa tidak sepantasnya ia ikut bicara tentang urusan negara orang lain, apalagi kalau mereka bicara dalam bahasa mereka yang tidak dimengertinya sama sekali itu.

Akan tetapi Yousuf mengangkat tangan. "Tak usah Lihiap.

Kau duduklah saja di sini, mengawani kami berdua.

Mereka yang datang ini pun hanya wakil-wakil dan utusan-utusan saja dan pembicaraan akan dilakukan dalam bahasa Han, karena mereka itu sebagian besar juga orang-orang Han yang telah kaukenal tadi."

Rombongan tamu yang datang itu adalah tujuh orang yang terdiri dari seorang Turki tua yang bersorban merah, diiringkan oleh Siok Kwat Moli, Wai Sauw Pu, Lok Kun Tojin dan ketiga Kang-lam Sam-lojn, yaitu Giok Im Cu, Giok Yang Cu dan Giok Keng Cu.

Yousuf menyambut mereka dengan dingin dan angkuh, karena sebagai pemimpin pengikut Pangeran Tua itu merasa lebih tinggi derajatnya, sedangkan Ibrahim hanya duduk saja tak mempedulikan mereka sama sekali dan Ang I Niocu duduk dengan tegak dan gagah.

Rombongan itu merasa heran juga ketika melihat bahwa penyambut mereka hanya tiga orang saja, akan tetapi ketika mereka melihat bahwa Ang I Niocu berada di situ, mereka menjadi terkejut.

"Hm, agaknya kau juga sudah mendapat bantuan seorang Han, Saudara Yousuf yang baik!" Kata pemimpin Turki sambil tersenyum sindir. Seperti keterangan Yousuf tadi, orang Turki ini menggunakan bahasa Han oleh karena para pembelanya menghendaki demikian.

"Nona yang berdiri di pihakku adalah seorang pendekar wanita yang membela persahabatan dan keadilan, tidak seperti pembantu-pembantumu yang hanya membela uang dan emas yang kausodorkan kepada mereka, mana mereka bisa dipersamakan?" jawab Yousuf menyindir hingga wajah enam orang itu menjadi merah karena marah dan malu.

Yousuf lalu berkata lagi kepada pemimpin orang Turki itu, "Sahabat, apakah maksud kedatanganmu membawa sekalian tukang-tukang pukulmu ini?"

Sahimba tertawa, kemudian berkata dengan sikap angkuh, "Yousuf, di negeri kami kau boleh berlaku sebagai seorang kepercayaan raja dan kami harus tunduk terhadapmu. Akan tetapi sekarang kita berada di negeri orang lain dan kau tak berhak untuk mencampuri urusan kami! Kami melakukan usaha kami sendiri mencari keuntungan di tempat ini, mengapa kau dan orang-orangmu begitu tidak tahu malu untuk menghalangi kami menimbulkan permusuhan di antara bangsa sendiri?"

"Sahimba, kalau usahamu itu baik dan jujur, siapa yang akan sudi mencampuri urusanmu? Akan tetapi, kau menurut perintah dan nafsu jahat dari Pangeran Muda, hendak mengacau negeri lain orang, bahkan hendak mencuri hak lain bangsa. Hal ini tentu saja akan memalukan bangsa kita, dan sebagai seorang patriot, tentu saja kami takkan membiarkannya saja! Dengan perbuatanmu yang memalukan bangsa sendiri, kau boleh dianggap sebagai seorang pengkhianat yang merusak nama negara dan bangsa, apakah ini harus didiamkan saja?"

"Yousuf kau manusia sombong! Kau mengandalkan apakah maka berani berkata demikian? Orang yang mencampuri urusan lain orang dan yang ingin tahu usaha orang lain adalah orang yang rendah! Kuperingatkan kepadamu sekali lagi sebagai orang-orang sebangsa, lebih baik kaulepaskan tangan dan jangan ikut-ikut urusan kami, agar kami tak usah merepotkan tangan membasmi kau dan kawan-kawanmu!"

Yousuf menjadi marah sekali, akan tetapi ia tetap tersenyum ketika menjawab, "Sahimba, kau bicara tanpa mempergunakan pikiran sehat! Aku adalah hamba dari Pangeran Tua yang menjadi raja di negeri kita, sedangkan kau adalah pengikut seorang pangeran yang selalu membuat kacau, ada apakah lagi yang dapat dirundingkan antara kita? Jangan kauanggap kami merasa takut akan ancaman-ancamanmu yang hanya merupakan raung anjing di waktu malam terang bulan!"

"Kalau begitu, kita harus putuskan hal ini dengan senjata!" kata Sahimba dengan marah, dan ia bersama keenam orang-orangnya itu meraba gagang senjata! "Terserah kepadamu, Sahimba!" kata Yousuf sambil menepuk tangan tiga kali dan dari segala lubang pintu muncullah puluhan orang dengan senjata lengkap! "Kami sudah bersiap sedia!"

Sahimba dan kawan-kawannya memandang ke sekeliling dan ternyata bahwa kawan-kawan Yousuf yaitu pengikut Pangeran Tua telah mengurung rumah itu dan menjaga dengan kuat! "Kau hendak menggunakan orang banyak mengeroyok kami?" kata Sahimba dengan senyum sindir untuk menyembunyikan kegelisahannya.

"Hanya orang-orang macam kaulah yang suka mengeroyok dan mengandalkan banyak kawan!" Jawab Yousuf. "Kawan-kawanku siap sedia bukan untuk mengeroyok, akan tetapi untuk menjaga kalau-kalau kau yang berkawan banyak ini berani berlagak!"

"Yousuf!" terdengar si Nenek Bongkok Siok Kwat Mo-li berseru. "Jangan kau sesombong itu! Kalau kau memang laki-laki, marilah kita adu kepandaian, seorang lawan seorang, jangan main keroyok."

Ibrahim mengeluarkan suara batuk-batuk dan sikapnya masih tenang ketika dia berkata, "Aduh, galak benar! Yousuf, kalau tamu-tamu kita menghendakinya, kita sebagai tuan rumah seharusnya menerima untuk membuktikan keramahan terhadap tamu-tamu yang datang tanpa diundang!"

Yousuf lalu menghadapi Sahimba. "Kau telah mendengar sendiri ucapan Guruku dan kalau kau menghendaki, boleh kita mengajukan jago-jago untuk mengadu kepandaian!"

"Boleh-boleh! Inilah kesempatan baik untuk membikin mampus kalian dalam sebuah pertandingan yang jujur." jawab Sahimba.

Yousuf lalu memberi aba-aba dan beberapa orang penjaga lalu masuk untuk membersihkan ruangan yang lebar itu. Meja kursi disingkirkan dan kini ruangan itu menjadi sebuah tempat yang cukul luas di mana orang boleh bertempur sesuka hatinya.

Yousuf berkata lagi, "Karena pihakku hanya ada tiga orang jago, sedangkan kulihat bahwa kau membawa enam orang tukang pukul, maka kau boleh majukan tiga orang tukang pukulmu."

"Orang sombong, kauanggap kami tukang pukul? Jaga lidahmu baik-baik!" kata Giok Yang Cu, orang ke dua Kang-lam Sam-lojin yang bertubuh tinggi besar. Yousuf tersenyum dan memandangnya dengan mengejek, "Aku adalah tuan rumah, mengapa harus menjaga lidah? Kaulah yang harus menjaga lagakmu baik-baik. Apakah kau merupakan orang pertama yang maju mewakili pihakmu?"

Sebelum Giok Yang Cu menjawab, terdengar suara tertawa bergelak dari luar rumah dan terdengarlah suara orang, "Sahabatku Yo Se Pu, jangan kauborong semua babi-babi itu, berilah kesempatan kepadaku untuk menikmati dagingnya juga!" Dan dari luar berkelebatlah tiga bayangan orang memasuki rumah itu. Mereka ini bukan lain adalah Nelayan Cengeng yang mengeluarkan kata-kata tadi, diikuti oleh Kwee An dan Ma Hoa! Bukan main girangnya hati Yousuf melihat Kwee An dan Ma Hoa hingga ia melompat maju dan memeluk mereka berdua seakan-akan seorang ayah bertemu dengan dua orang anaknya yang telah disangka mati.

Kedua mata orang Turki ini basah dengan air mata. Ia pun lalu memegang tangan Nelayan Cengeng dengan girang dan berkata kepada Sahimba, "Dasar kau yang sedang berbintang gelap! Dengan datangnya ketiga orang ini, keadaan kita menjadi berimbang jumlahnya!" Kemudian, tanpa mempedulikan Sahimba dan kawan-kawannya, Yousuf lalu memperkenalkan Ibrahim kepada Nelayan Cengeng, Ma Hoa, dan Kwee An hingga mereka bertiga lalu menjura memberi hormat yang dibalas dengan gembira oleh Ibrahim.

"Nama kalian telah kukenal lama sekali dan setelah melihat orang-orangnya, aku makin merasa kagum saja!" kata kakek itu.

Sementara itu, Giok Yang Cu yang sudah maju ke depan akan tetapi tidak mendapat pelayanan dari tuan rumah yang sebaliknya sibuk bercakap-cakap dengan pendatang-pendatang baru itu, menjadi mendongkol sekali.

"Yousuf apakah tidak ada orang yang berani melawanku?" tegurnya marah.

Melihat laku Giok Yang Cu, Nelayan Cengeng tertawa lagi bergelak-gelak dan berkata kepada Yousuf, "Saudara Yo, mengapa kau tidak segera memberi sepotong tulang busuk kepada anjing itu agar ia tidak melolong-lolong lagi?" kemudian ia tertawa lagi dengan geli hati hingga keluar air mata bercucuran dari kedua matanya! "Orang gila jangan kau menghinaku!" seru Giok Yang Cu yang segera mencabut pedangnya. Akan tetapi sebelum ia maju menyerang Nelayan Cengeng, Yousuf telah melompat di depannya dan berkata, "Sebagai tuan rumah, biarlah aku turun tangan lebih dulu!" Orang Turki ini lalu mencabut pedangnya pula dan kedua orang ini segera bertempur hebat, disaksikan oleh semua orang yang berada di situ.

Ilmu Pedang Liong-san Kiam-hwat telah banyak mengalami perubahan dan kemajuan hingga ilmu kepandaian Giok Yang Cu jauh lebih lihai daripada dulu, sedangkan pertapa tinggi besar ini terkenal sebagai ahli gwakang yang memiliki tenaga sebesar gajah, maka ketika ia mainkan pedangnya, pedang itu mendatangkan angin dan mengeluarkan suara.

Akan tetapi Yousuf selain tinggi ilmu kepandaiannya juga telah banyak sekali pengalamannya bertempur menghadapi orang-orang pandai, maka ia dapat bergerak dengan tenang menghadapi gempuran-gempuran dahsyat dari lawannya itu. Juga, semenjak dekat dengan Nelayan Cengeng, Lin Lin dan yang lain-lain, Yousuf telah banyak memahamkan rahasia-rahasia ilmu silat Tiongkok hingga pengertiannya menjadi luas dan kepandaiannya banyak maju.

Giok Yang Cu tadinya merasa girang melihat bahwa yang maju menghadapinya adalah orang Turki itu, karena betapapun juga, ia anggap bahwa kepandaian orang itu tentu tak seberapa tinggi. Akan tetapi setelah bertempur dua puluh jurus lebih ia menjadi terkejut dan diam-diam mengeluh, karena dalam hal kecepatan dan tenaga, orang Turki itu tidak kalah bahkan lawannya itu hebat sekali gerakan pedangnya dan tingkat ginkangnya lebih tinggi dari kepandaiannya sendiri! Akan tetapi ia tidak mau memperlihatkan kejerihannya dan maju mendesak makin hebat dengan serangan-serangan yang ditujukan ke bagian-bagian yang berbahaya.

Yousuf tidak menjadi gugup sungguhpun desakan lawannya yang menggunakan gerakan terlihai dari Liongsam- hwat yang disebut Naga Liong-san. Mengamuk itu hebat sekali. Dengan ketenangannya yang diperkuat oteh kekuatan batinnya, Yousuf menghadapi serbuan sambil mainkan pedangnya dengan cepat hingga tubuhnya tertutup oleh gulungan sinar pedangnya. Tiba-tiba terdengar pekik kesakitan Giok Yang Cu dan Si Tinggi Besar itu roboh dengan dada terluka oleh pedang Yousuf.

Walaupun luka itu tidak membahayakan nyawanya, akan tetapi cukup membuat ia pada waktu itu tidak berdaya lagi dan harus mengundurkan diri sambil dibantu oleh adiknya yaitu Giok Keng Cu. Yousuf juga melangkah mundur dan berkata kepada Sahimba, "Seorang tukang pukulmu telah kalah, Sahimba!"

Terdengar bentakan keras dan tahu-tahu Giok Im Cu, saudara tertua dari Kang-lam Sam-lojin telah melompat maju dengan gesit sekali dan di tangannya memegang sebatang bambu panjang. Giok Im Cu hendak menebus kekalahan sutenya, maka tanpa bertanya lagi kepada Sahimba ia telah melompat ke tengah lapangan bersilat.

"Biar pinto menerima pengajaran dari tuan rumah!" katanya.

"Pek-hu, biarkan aku main-main dengan Tosu ini," kata Ma Hoa yang mendahului Ang I Niocu, karena ia merasa tertarik melihat bahwa tosu itu pun bersenjata sebatang tongkat.

"Kau?" Yousuf memandang ragu-ragu, akan tetapi Nelayan Cengeng segera berkata, "Saudara Yo, keponakan Ma Hoa ini telah mempelajari cara memukul anjing, biarkan dia maju!"

Yousuf selamanya tak pernah meragukan ucapan Nelayan Cengeng apa lagi dalam hal ini tentu saja Nelayan Cengeng takkan membiarkan muridnya yang terkasih itu menghadapi bencana, maka ia lalu menganggukkan kepala sambil berkata kepada Ma Hoa, "Baiklah, akan tetapi kau berhati-hatilah!"

Ma Hoa tersenyum dan segera melangkah maju menghadapi Giok Im Cu yang merasa tidak enak sekali.

Ia merasa sungkan dan dipandang rendah. Masa ia seorang tokoh besar di kalangan kang-ouw harus menghadapi seorang gadis muda yang cantik dan bertangan kosong ini? "Nona, dengan senjata apakah kau hendak memberi pengajaran kepada pinto?"

Ma Hoa tersenyum dan mencabut keluar sepasang bambu runcingnya yang berwarna kuning dan bentuknya pendek itu. "Dengan ini!" jawabnya singkat.

Terbelalak mata Giok Yang Cu memandang senjata yang aneh itu, akan tetapi berbareng pada saat itu juga ia merasa berdebar karena teringat akan seorang sakti yang menjadi ahli dalam permainan sepasang bambu runcing yang pendek. Segera ia menggerak-gerakkan senjatanya dan berkata, "Mari, mari, majulah!"

Ma Hoa tidak berlaku sungkan lagi dan segera menyerang dengan kedua bambu runcing yang digerakkan secara luar biasa. Yousuf yang belum pernah melihat Ma Hoa bermain bambu runcing itu merasa terheran-heran hingga tak terasa lagi terjatuh ke dalam kursinya, duduk sambil memandang bengong. Gerakan gadis ini benar-benar lihai dan indah dipandang.

Rambutnya yang terurai bergerak-gerak di sekeliling kepalanya sedangkan bambu runcing itu ketika digerakkan untuk menyerang, demikian cepat gerakannya hingga seolah-olah berubah menjadi puluhan batang! Giok Im Cu tercengang melihat ini dan ia harus mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk menghadapi serangan yang amat aneh ini. Makin keras dugaannya ketika melihat permainan ini karena selama ia hidup, baru sekali ia pernah menyaksikan permainan sepasang tongkat yang luar biasa, yaitu yang dimainkan oleh Hok Peng Taisu, seorang pertapa sakti yang lihai.

Ia mengigit bibir dan sebagai seorang ahli lweekang ia lalu mengerahkan lweekangnya hingga tiap sambaran tongkatnya membawa tenaga besar yang ganas. Ia hendak mengandalkan tenaga lweekangnya untuk mengalahkan gadis yang pandai bermain bambu runcing itu. Akan tetapi kembali ia tercengang karena gadis itu dengan pandainya tak mau mengadu tenaga, hanya mengandalkan kelincahannya untuk berkelebat di antara sambaran tongkat lawannya, dan mengirim seranganserangan berupa totokan dan tusukan ke arah jalan darah lawan! Ramai sekali mereka bertempur, dan kini Yousuf tak dapat menguasai kegembiraannya lagi. Berkali-kali ia berseru dengan girang sambil mengeluarkan pujianpujian.

Lima puluh jurus telah lewat dan Giok Im Cu mulai terkurung oleh pukulan batang bambu runcing yang seakan-akan bergerak berbareng mengurung dirinya itu. Ia mencoba untuk mengirim pukulan maut, akan tetapi, tiba-tiba ia merasa sebelah tubuhnya bagian kanan menjadi lumpuh dan mati hingga tak terasa lagi tongkatnya terlepas dari pegangan dan jatuh ke atas lantai. Ternyata jalan darah Ta-sen-hiat telah tertotok oleh ujung bambu runcing Ma Hoa. Gadis itu pun menahan sepasang senjatanya dan memandang sambil mengeluarkan senyuman.

Wai Sauw Pu pendeta bersorban itu melompat dan seketika ia mengeluarkan tangan menepuk pundak dan mengurut punggung Giok Im Cu, tosu itu pulih kembali jalan darahnya. Giok Im Cu menjura kepada Ma Hoa dan bertanya, "Nona, apakah hubunganmu dengan Hok Peng Taisu?"

"Ada perlu apakah kau menanyakan Suhuku?"

"Oh... jadi kau murid Hok Peng Taisu? Pantas... pantas." dengan kecewa sekali Giok Im Cu mengundurkan diri. Ia tadi merasa penasaran dan malu sekali karena dikalahkan sedemikian macam oleh seorang gadis muda yang tidak terkenal. Bagi seorang jagoan, jauh lebih baik dikalahkan sampai tewas dalam pertandingan daripada dikalahkan secara demikian, yaitu tertotok sampai tak berdaya yang hampir sama dengan penghinaan namanya. Akan tetapi setelah ia mendengar bahwa gadis itu adalah murid Hok Peng Taisu, rasa penasarannya sebagian besar lenyap. Ia telah menyaksikan kepandaian Hok Peng Taisu dan maklum bahwa ilmu kepandaian mainkan bambu runcing itu adalah semacam ilmu yang takkan dapat dilawannya, biarpun ia akan melatih diri sepuluh tahun lagi! Dengan girang sekali, juga disertai kebanggaan hati, Yousuf lalu menghampiri Ma Hoa dan berkata, "Anak nakal, kelak kau harus menceritakan padaku darimana kau mendapatkan ilmu silat yang luar biasa itu!"

Melihat betapa dua kali fihaknya mengalami kekalahan, Sahimba gelisah sekali dan hendak minta kepada Siok Kwat Mo-li yang dianggap paling lihai di antara semua pembantunya untuk menebus kekalahan.

Akan tetapi, Wai Sauw Pu yang merasa penasaran dan marah, telah mendahului dan kini pendeta bersorban yang tinggi besar itu telah berdiri sambil bersedakap dan menantang.

"Dia yang mempunyai kepandaian boleh maju!"

Pendeta dari Sin-kiang ini selain bertubuh tinggi besar, juga sepasang matanya tajam berpengaruh sekali. Ia memang telah mempelajari banyak ilmu kepandaian yang tinggi, diantaranya ia mempelajari pula hoat-sut (ilmu sihir) yang datang dari barat. Pernah ia menghadapi Ang I Niocu dan tahu bahwa dalam hal ilmu silat, belum tentu ia akan dapat menangkan rombongan lawan yang biarpun masih muda-muda akan tetapi memiliki ilmu silat tinggi, maka kini ia mengambil keputusan untuk melawannya dengan ilmu silat yang dipengaruhi sihir! Oleh karena itu, ia memasang kuda-kuda dengan berpangku tangan seperti orang hendak bertapa berdiri! Ketika Ang I Niocu hendak maju, tiba-tiba Ibrahim berseru, "Ang I Niocu, tahan dulu, yang besar ini adalah bagianku!"

Dengan langkah yang sembarangan bagaikan orang lelah atau malas, Ibrahim menghampiri Wai Sauw Pu dan memandangnya dengan muka memperlihatkan kegelian hatinya. Si Pendeta Tinggi Besar itu tertawa ketika ia berkata, "Aku tadi mendengar bahwa kau diperkenalkan sebagai guru dari Yousuf, apakah kau orang tua yang sudah tinggal menanti saat terakhir ini juga hendak meniru kedunguan muridmu dan mencampuri urusan orang lain?"

"Wai Sauw Pu, sebagai seorang yang mempelajari kebatinan, agaknya kau lupa akan dua perkara. Pertama, bahwa jalan yang ditunjuk Tuhan bagi manusia adalah jalan kebenaran yang berdasarkan amal kebaikan dan bahwa mereka yang berjalan di atas ini saja akan mendapat berkah abadi. Ke dua, bahwa akhir kehidupan tidak tergantung daripada usia tua, bilamana saja Tuhan menghendaki, setiap manusia, tua maupun muda, akan berakhir hidupnya! Akan tetapi kau telah melanggar syarat pertama dan tidak berjalan di atas jalan kebenaran, bahkan membiarkan hatimu ditunggangi oleh nafsu keduniaan dan menjadi silau oleh bersinarnya emas yang sebetulnya tiada bedanya dengan tanah lempung biasa! Pula, kau telah mengingkari kekuasaan Tuhan yang berkuasa atas nyawa setiap manusia dengan mengatakan bahwa saat terakhir bagiku sudah dekat, karena menurut pandanganku yang bodoh kalau kau tidak lekas-lekas mengubah dan menginsyafi kesesatanmu, agaknya kaulah yang akan mendahului aku masuk ke dalam neraka!"

Tadinya Wai Sauw Pu sengaja mengucapkan omongan menghina untuk memancing kemarahan dalam hati kakek tua itu, akan tetapi tidak tahunya sekarang dia sendiri yang menjadi marah mendengar petuah ini! Ia hendak membikin lawan yang akan dihadapinya marah karena ia maklum bahwa kemarahan akan melemahkan batin orang agar mudah dipengaruhi oleh ilmu sihirnya.

Ia tidak tahu bahwa ia berhadapan dengan Ibrahim, tokoh tua yang dihormati orang di I Turki oleh karena selain pandai ilmu silat dan pengobatan, kakek ini terkenal sebagai seorang ahli kebatinan berilmu tinggi! "Kalau begitu, hendak kita lihat bersama saja, siapa yang akan mampus terlebih dahulu!" teriak Wai Sauw Pu sambil mengeluarkan senjatanya yang luar biasa, yaitu seikat tasbeh dari gading. Ang I Niocu, Ma Hoa dan Kwee An pernah merasai kelihaian Wai Sauw Pu ini maka mereka memandang dengan penuh kekuatiran. Dapatkah kakek rambut putih yang kelihatannya lemah itu menghadapi pendeta tinggi besar itu? Hanya Yousuf seorang yang masih tenang karena ia percaya penuh akan kelihaian gurunya.

Gerakan tasbeh gading di tangan Wai Sauw Pu kali ini berbeda dengan gerakan biasanya, karena kini ia bersilat dengan ilmu sihir sehingga dari sambaran gadingnya itu seakan-akan keluar hawa yang membuat hati menjadi gentar dan berpengaruh melemahkan semangat lawan.

Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara halus dari Ibrahim dan kakek rambut putih ini pun lalu menarik keluar seikat tasbeh kecil yang terbuat daripada batu-batu kemala putih! Tasbeh ini kecil saja dan digerakkan dengan lambat dan perlahan, akan tetapi aneh, tiap kali tasbeh gading dari Wai Sauw Pu menyambar dan bertemu dengan tasbeh kecil itu, senjata pendeta bersorban itu terpukul dan membalik menyambar ke arah muka atau tubuh pemegangnya sendiri! Wai Sauw Pu terkejut sekali karena ia baru maklum bahwa kakek itu ternyata memiliki ilmu batin yang kuat sehingga ilmu sihir yang ia kerahkan dalam serangan tasbehnya ternyata telah dikembalikan dan membahayakan dirinya sendiri! Ia cepat menghentikan ilmu sihirnya dan kini menyerang dengan menggunakan seluruh tenaga dan kepandaian silatnya! Ia bertindak benar. Kalau saja ia melanjutkan serangannya mengandalkan ilmu sihir, dia pasti akan menderita celaka karena dalam hal ilmu sihir, gurunya sendiri belum tentu akan dapat mengatasi kekuatan Ibrahim! Akan tetapi dalam hal ilmu silat, ternyata bahwa keadaan mereka seimbang. Ibrahim yang sudah tua itupun harus mengerahkan kepandaiannya untuk menghadapi lawan yang benar-benar tangguh ini! Kalau saja dia mau, Ibrahim dengan mudah dapat menggunakan kekuatan batinnya untuk merobohkan Wai Sauw Pu tanpa mengeluarkan tenaga tubuh, akan tetapi ia tidak mau melakukan hal ini. Kalau lawannya mempergunakan ilmu hitam barulah ia akan menjaga diri dan mengembalikan segala serangan itu, akan tetapi oleh karena Wai Sauw Pu kini hanya mengandalkan kepandaian silatnya, Ibrahim yang tidak mau bermain curang itu pun lalu mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk melawan.

Biarpun ilmu silat mereka seimbang, akan tetapi Ibrahim kalah tenaga dan kalah ganas, biarpun ia menang dalam hal ketenangan dan pengalaman. Oleh karena itu, kedua orang itu bertempur dengan ramai sekali, sukar diduga siapa yang akan mendapat kemenangan terakhir. Ang I Niocu, Ma Hoa, Kwee An, dan Nelayan Cengeng menjadi gelisah juga dan merasa kasihan melihat betapa Ibrahim yang sudah tua sekali itu terpaksa bertempur mati-matian menghadapi Wai Sauw Pu yang mempunyai gerakan ganas dan kuat. Akhirnya Nelayan Cengeng tak dapat menahan hatinya lagi dan dengan keras ia berkata, "Ha-ha-ha! Alangkah lucunya! Seorang tinggi besar dan kuat seperti itu tidak berdaya menghadapi seorang kakek tua renta. Sedangkan tasbehnya saja gede-gede, segede obrolan dan kesombongannya. Ha-ha-ha. Lihat, lihat, aku berani bertaruh apa saja, dalam sepuluh jurus lagi ia tentu akan roboh bertekuk lutut!"

Bukan main marahnya Wai gauw Pu mendengar ejekan ini, karena ia pun tadi telah merasa penasaran dan panas perut karena kakek rambut putih itu ternyata sukar sekali dijatuhkan, kini ditambah dengan sindiran Nelayan Cengeng, ia tidak dapat menahan marahnya lagi dan sekali ia berseru, tangan kirinya telah mengayun senjata rahasianya yang lihai yaitu golok-golok kecil yang disebut Hui-to (Golok Terbang) dan yang jumlahnya tiga buah itu meluncur cepat ke arah Ibrahim. Hui-to ini selain harus menggunakan tenaga lweekang untuk menyambitkannya, juga disertai ilmu sihir sehingga golok itu seakan-akan hidup dan menyambar bagaikan digerakkan oleh tangan-tangan yang tidak kelihatan.

Ibrahim tertawa bergelak dan berkata, "Wai Sauw Pu, mengapa kau menyerang dirimu sendiri dengan hui-to?"

Dan aneh, sehabis kakek itu mengeluarkan ucapan ini disertai gerakan tangan kirinya, tiga batang golok yang meluncur ke arahnya itu tiba-tiba membelok dan membuat gerakan kembali serta menyerang ke arah Wai Sauw Pu sendiri.

Bukan main terkejutnya pendeta bersorban itu ketika melihat betapa tiga batang hui-tonya menyerang dia dan tak dapat dikendalikan oleh kekuatan sihirnya lagi, maka cepat-cepat ia mengebut dengan tasbehnya ke arah tiga batang golok itu sambil membentak.

"Runtuh!!"

Benar saja, tiga batang golok itu runtuh ke bawah, akan tetapi yang sebatang masih menghantam kakinya sehingga terlukalah kakinya oleh ujung golok.

Pada saat itu, di luar terdengar sorak sorai hebat dan Sahimba dengan senyum menyeringai lalu berseru, "Yousuf, tibalah saatnya kalian binasa di ujung senjata!" Sambil berkata demikian, Sahimba lalu mencabut pedang dan menyerang Yousuf, diikuti oleh Siok Kwat Mo-li yang mencabut sabuk kuning emas dan mainkan sabuk itu dengan hebat. Lok Kun Tojin lalu mengeluarkan senjatanya yang lihai, yaitu sepasang roda yang diikat dengan tali. Juga ketiga orang tosu Kang-lam Sam-lojin lalu menarik keluar senjata masing-masing dan maju menyerbu kepada Yousuf dan kawan-kawannya.

"Manusia-manusia curang!" seru Nelayan Cengeng sambil memutar-mutar dayungnya yang hebat bagaikan seekor naga sungai mengamuk. Ang I Niocu juga lalu mencabut pedang Cian-hong-kiam, Kwee An mencabut pedangnya Oei-hong-kiam yang bercahaya kuning, sedangkan Ma Hoa lalu menggerak-gerakkan sepasang bambu runcingnya! Pertempuran dalam ruangan itu makin menghebat, dan kini mereka bertempur bukan untuk mengadu kepandaian, akan tetapi mengadu jiwa! Ternyata bahwa sorakan tadi datang dari kawan-kawan Sahimba yang memang telah direncanakan untuk maju menyerbu dan jumlah mereka amat besar sehingga orang-orang kampung pengikut Pangeran Tua yang dikepalai oleh Yousuf terdesak. Para penyerbu itu telah tiba di depan pintu Yousuf dan sebentar lagi mereka menyerbu ke dalam, membantu Sahimba dan kawan-kawannya! Siok Kwat Mo-li dilawan oleh Ang I Niocu, Lok Kun Tojin dilawan oleh Nelayan Cengeng sedangkan Kanglam Sam-lojin bertempur melawan Ma Hoa dan Kwee An.

Kepandaian mereka berimbang dan pertempuran pasti akan berjalan seru dan lama apabila fihak Sahimba tidak menggunakan kecurangan. Terdengar seruan Siok Kwat Mo-li dan iblis wanita ini lalu menyebar jarum-jarumnya yang berbahaya, sedangkan Wai Sauw Pu kembali mengeluarkan hui-to-hui-to yang tak kurang berbahayanya pula.

Tak lama kemudian, selagi Yousuf dan kawankawannya terdesak karena fihak lawan menyebar senjata-senjata rahasia yang lihai itu, dari luar masuklah para penyerbu yang telah berhasil memecahkan pertahanan para anak buah Yousuf. Pengikut-pengikut Pangeran Muda lebih ganas dan lebih banyak jumlahnya, sehingga banyak sekali anggota pengikut Pangeran Tua kena dilukai atau dibinasakan.

Melihat itu, Ibrahim segera berseru nyaring bagaikan seorang berdoa, "Ampunkan hamba, Tuhan! Bukan maksud hamba hendak mengotorkan tangan membunuh, akan tetapi demi keselamatan semua kawan ini!" ia lalu mengerahkan kesaktiannya dan tiba-tiba ia mementang kedua lengannya ke depan dengan mata memandang penuh kekuatan batin.

"Sahimba... Dan enam orang kawanmu... dengarlah... aku perintahkan kalian berlutut... berlutut... berlutut...!"

Hal yang aneh terjadi. Sahimba dan kawan-kawannya tiba-tiba merasa kepala mereka pening dan tak dapat menguasai diri sendiri lagi. Akhirnya, seorang demi seorang menjatuhkan diri berlutut dan melempar senjata! Hanya Wai Sauw Pu yang juga memiliki ilmu sihir itu masih kuat mempertahankan diri.

"Ha-ha-ha... tua bangka... kau harus mampus..." Dan secepat kilat ia mengayun enam batang hui-to ke arah Ibrahim yang masih berdiri diam dengan tangan terpentang bagaikan patung. Enam batang hui-to itu menancap dengan jitu ke sasarannya dan tubuh Ibrahim terhuyung-huyung lalu roboh. Wai Sauw Pu tertawa bergelak-gelak, akan tetapi pada saat itu sebatang dayung di tangan Nelayan Cengeng menghantamnya dan biarpun ia masih mencoba mengelak, akan tetapi dayung itu masih menghantam dadanya sehingga beberapa tulang iganya patah-patah dan ia roboh di dekat mayat Ibrahim dalam keadaan tidak bernyawa pula! Sementara itu, karena tewasnya Ibrahim maka pengaruh sihirnya pun lenyap dan Sahimba beserta kawan-kawannya menjadi sadar kembali. Akan tetapi, sebelum mereka sempat mengambil kembali senjata mereka, Yousuf yang marah sekali telah maju menyerang Sahimba hingga tembuslah punggung Sahimba oleh pedang Yousuf. Juga Ang I Niocu dan kawan-kawannya lalu menyerang lawan-lawannya yang kini melakukan perlawanan dengan tangan kosong. Akan tetapi, para penyerbu yang terdiri dari anak buah Sahimba, telah masuk dan mengeroyok, sehingga Siok Kwat Mo-li, Lok Kun Tojin dan ketiga Kang-lam Sam-lojin telah mendapat kesempatan untuk mengambil senjata mereka kembali.

Pertempuran hebat berlangsung terus dan kini Yousuf dan kawan-kawannya mengamuk seperti harimauharimau berebut daging. Terutama sekali Nelayan Cengeng yang sambil tertawa bergelak dan mata mengalirkan air mata, memutar-mutar dayungnya dengan dahsyat sehingga tidak saja para penyerbu menjadi gentar, akan tetapi juga Siok Kwat Moli dan kawan-kawannya menjadi jerih juga.

Dalam perkelahian itu, Siok Kwat Mo-li mendapatkan luka oleh tusukan pedang Ang I Niocu di pundaknya, sedangkan sebuah roda dari Lok Kun Tojin telah terampas oleh bambu runcing Ma Hoa. Oleh karena ini, mereka makin cemas dan lenyaplah nafsu perlawanan mereka, apalagi karena kini Sahimba yang mereka bantu telah tewas dan anak buahnya mulai melarikan diri pula.

Dengan teriakan keras, Siok Kwat Mo-li lalu mengajak kawan-kawannya untuk kabur. Yousuf tidak mengejar mereka, bahkan mencegah kawan-kawannya yang hendak mengejar, "Biarlah, sudah terlalu banyak orang binasa dalam perang saudara yang terkutuk ini!"

Yousuf lalu mengumpulkan anak buahnya yang masih ada dan mereka lalu merawat semua orang baik kawan maupun lawan yang terluka dalam pertempuran itu, serta mengurus yang telah tewas.

Ang I Niocu, Nelayan Cengeng, Kwee An dan Ma Hoa tidak mau mengganggu Yousuf yang sedang berduka dan sedang sibuk mengurus semua itu, maka mereka lalu beristirahat dalam sebuah rumah di dalam kampung itu yang disediakan untuk mereka.

Setelah mereka berempat ramai membicarakan peristiwa yang baru terjadi dan mengambil keputusan untuk membantu Yousuf selama para pengacau dari Turki itu masih mengganggunya, tiba-tiba Ma Hoa lalu berkata kepada Kwee An.

"An-ko, mengapa kita lupa untuk memberi selamat kepada Enci Im Giok?" gadis ini bicara sambil tersenyum gembira sehingga Ang I Niocu menjadi terheran. Apalagi ketika ia melihat Kwee An memandangnya dengan tersenyum pula.

Selagi ia hendak bertanya, tiba-tiba Nelayan Cengeng tertawa girang dan berkata, "Tadi kita tidak ada kesempatan. Sekarang akulah orang pertama yang harus memberi selamat kepadanya!" Kemudian ia menghadapi Ang I Niocu lalu mengangkat kedua lengan memberi selamat sambil berkata keras-keras, "Ang I Niocu, kionghi... kionghi… (selamat, selamat)!"

Ucapan ini diturut oleh Kwee-An dan Ma Hoa yang juga berdiri memberi selamat.

Sebelum - Beranda - Lanjut

Tidak ada komentar:

Posting Komentar