21 Pendekar Sakti

"Celaka....ada siluman mengamuk!" Begitu terdengar teriakan-teriakan itu dan para bajak yang belari-lari itu mukanya pucat sekali dan tubuhnya menggigil.

Oei Liong terkejut dan terpaksa menunda niatnya untuk memaksa Sui Ceng minum arak itu. Juga diam-diam Kwan Cu membatalkan niatnya untuk memutuskan belenggu.

Karena kalau sekiranya tidak ada gangguan itu, tentu dia telah memutuskan belengu dan memberikan hajaran kepada Oei Liong. Ia tidak akan membiarkan saja Sui Ceng dipaksa minum arak yang memang dia curigai itu.

"Ada apakah ribut-rbut? Siapa yang kurang ajar, tidak tahu aturan sehingga berani mengganggu upacara pernikahan kami?" teriak Oei Liong dengan marah sekali.

Kepala bajak ini sudah mencabut golok besarnya, demikian pula Oei Hwa sudah mencabut sepasang pedangnya, keduanya dengan hati marah dan mendongkol lalu melompat menuju ke arah terjadinya ribut-ribut tadi.

Akan tetapi mereka tak perlu lari jauh dan tiba-tiba keduanya berdiri kaku seperti patung ketika melihat apa yang menyebabkan anak buah mereka ketakutan setengah mati itu.

Dari luar dusun, kelihatan bayangan besar berlompatlompatan menuju ke tempat mereka dan di bawah sinar bulan purnama, kini bayangan itu kelihatan nyata sekali, yakni patung perunggu yang tadi tenggelam bersama perahu ke dasar sungai! Terkena sinar bulan, patung itu seakanTiraikasih Website http://kangzusi.com/ akan hidup, sepasang matanya yang merah mengeluarkan sinar mengerikan. Patung itu benar-benar bergerak, melompat-lompat dengan lompatan panjang ke tempat berkumpulnya para bajak itu.

Ketika terjadi ramai-ramai tadi, diam-diam Kwan Cu menggerakkan kedua kakinya yang terbelenggu dan dari belakang dia mengayun kakinya itu menendang ke arah leher Sui Ceng. Tanpa sepengetahuan gadis itu, dia telah berhasil membuka totokan yang membuat gadis itu bebas kembali jalan darahnya. Gadis ini merasa heran akan tetapi ia tak sempat untuk menyelidiki siapa yang telah membebaskannya karena pada saat itu ia pun memandang ke arah bayangan yang berlompatan itu dengan mata terbelak dan muka pucat. Sui Ceng adalah seorang gadis yang gagah perkasa, akan tetapai melihat patung yang tadi sudah tenggelam bersama perahu itu muncul di darat dan hidup, bulu tengkuknya berdiri semua dan ia bergidik dengan hati merasa seram dan ngeri.

Jangankan Oei Liong, Oei Hwa dan Sui Ceng, sedangkan Kwan Cu sendiri yang semenjak kecilnya mengalami banyak sekali hal-hal yang aneh dan menyeramkan, pada saat itu duduk melenggong dengan mulut terbuka dan mata terbelalak memandang ke arah patung itu seakan-akan dia sendiri sudah berubah menjadi patung.

Semua bajak sungai, seorang demi seorang mengambil langkah seribu dan lari tunggang-langgang ke dalam hutan yang lebat ketika patung itu melompat-lompat menghampiri mereka. Kini tinggal Oei Liong dan Oei Hwa sendiri yang masih berdiri di situ dengan tangan memegang senjata, akan tetapi tangan mereka serasa lumpuh saking takut yang mengamuk di dalam hati dan pikiran.

"Oei Liong dan Oei Hwa, kalian berdosa besar!" demikian patung itu mengeluarkan suara, suaranya besar dan nyaring sekali sehingga Kwan Cu yang tadinya seperti berubah menjadi patung, kini siuman kembali dari keadaannya. "Kalian membiarkan kami tenggelam dan sekarang melakukan upacara pernikahan tanpa minta ijin.

Karena dosa-dosa itu, kalian harus binasa....!" Kemudian terdengar patung itu menggereng, dan melompat-lompat lagi menghampiri Oei Liong dan Oei Hwa ! Kakak beradik ini adalah orang-orang berhati kejam dan mereka takkan merasa ragu-ragu untuk menyembelih leher manusia. Akan tetapi mereka itu amat percaya akan tahayul. Kini menghadapi kemurkaan patung itu, mereka menjadi pucat sekali dan tanpa dikomando, keduanya lalu melompat dan melarikan diri! Oei Liong sampai tersandung dan jatuh dua kali karena biarpun dia berkepandaian tinggi kedua kakinya mengigil dan membuat larinya kaku sekali! "Ha, ha, ha, ha, ha!" Kwan Cu tertawa geli setelah melihat semua bajak laut berlari pergi. "Saudara yang baik, lekaslah kau keluar dari kurungan itu!"

Sui Ceng tertegun dan gadis ini pun sudah pucat sekali.

Ia membayangkan betapa hebatnya mati dalam tangan patung mengerikan ini. Akan tetapi mengapa Kwan Cu mengajaknya bicara? Terjadilah hal yang amat aneh. Patung itu tertawa bergelak-gelak tanpa menggerakkan bibirnya, dan tiba-tiba patung itu terlempar ke atas dan jatuh berdebuk, bergulingkan di atas tanah dalam keadaan rusak karena terbentur batu. Akan tetapi ketika terlempar dia meninggalkan seorang manusia yang ternyata bersembunyi di dalamnya! Manusia ini tertawa bergelak-gelak dan ternyata dia adalah pemuda yang bertubuh tinggi besar, bermata lebar dan suaranya besar.

"Matamu tajam sekali, Kawan! Bagaimana kau bisa tahu bahwa aku bersembunyi di dalamnya?" tanyanya sambil memandang kepada Kwan Cu.

Kwan Cu menatap wajah pemuda tinggi besar itu dengan tajam, kemudian diapun tertawa terpingkal-pingkal.

"Ha, ha, ha, tidak tahunya saudara Kong Hoat yang bermain setan-setanan, pantas saja demikian lihai sehingga tikus-tikus itu melarikan diri."

Pemuda itu terkejut dan sekali dia melompat, dia telah berada di dekat Kwan Cu. Dengan cepat dia membuka belenggu yang mengikat tangan kaki Kwan Cu dan Sui Ceng, kemudian dia bertanya, "Kau siapakah?"

"Lihat baik-baik, kawan. Lupa lagikah kau kepadaku? Bagaimana dengan keadaan Liok-te Mo-li, ibumu?"

Pemuda itu memang benar pemuda nelayan yang gagah perkasa, putra dari Liok-te Mo-li. Mendengar suara Kwan Cu dan memandang dengan penuh perhatian, dia lalu teringat dan dengan girang sekali dia menepuk-nepuk pemuda itu.

"Ha,ha,ha, tidak tahunya saudara Lu Kwan Cu! Bagus, bagus, tidak percuma aku bermain gila seperti tadi. Kalau saja aku tahu bahwa kau yang mereka tawan, tentu aku akan mengejar mereka terus sampai mereka mampus ketakutan! Sekali lagi, bagaimana kau bisa tahu bahwa di dalam patung ada orang yang sembunyi?"

"Mudah saja. Kau boleh saja menyembunyikan tubuhmu, akan tetapi ketika kau melompat, kau tidak mungkin dapat menyembunyikan telapak kakimu."

Sui Ceng terheran-heran. Dia sendiri biarpun memandang kepada patung yang hidup itu dengan mata melotot, tidak dapat melihat telapak kaki itu.

Kong Hoat tertawa-tawa lagi, kini bergelak-gelak keras dan dari kedua matanya keluar air mata bercucuran.

Melihat ini, Sui Ceng melongo dan tak dapat bicara apaapa.

Benar-benar orang aneh sekali pemuda tinggi besar ini, aneh, seperti juga Kwan Cu.

"Ha, ha, ha, saudara Kwan Cu. Apakah kau tadi melihat betapa siluman wanita itu berlari-lari tunggang-langgang sampai terkentut-kentut?" sambil berkata demikian, Kong Hoat memukul-mukul pundak Kwan Cu dengan keras.

Kalau bukan Kwan Cu yang dipukul, tentu pundak itu akan remuk tulang-tulangnya! Kwan Cu tertawa terbahak-bahak. "Aku lebih memperhatikan Oei Liong yang berlari-lari tungganglanggang sampai terkencing-kencing!" Kwan Cu juga memukul-mukul pundak Kong Hoat.

Dalam sendau gurau ini, diam-diam kedua orang itu saling menguji kepandaian masing-masing dan sangat terkejut tahulah Kong Hoat bahwa tenaga dan kepandaian Kwan Cu jauh mengatasi kepandaiannya, maka dia menjadi makin kagum, menghormat, dan girang bukan main.

"Eh, sampai lupa aku. Siapakah Lihiap ini?"

Kwan Cu teringat dan dia memperkenalkan Sui Ceng.

"Saudara Kong Hoat, Nona ini pun bukan orang luar. Dia adalah nona Bun Sui Ceng, murid terkasih dari Kiu-Bwe Coa-li."

Mendengar ini seketika lenyap suara ketawa Kong Hoat.

Ia cepat menjura dengan penuh hormat kepada Sui Ceng dan berkata, "Aduh, alangkah bahagia hatiku dapat bertemu dengan murid dari wanita sakti itu. Bun-lihiap, siauwte adalah Kong Hoat, seorang nelayan bodoh."

Sui Ceng tertawa, semenjak tadi melihat pemuda kasar dan jujur ini, ia merasa kagum dan geli, terutama sekali melihat betapa tiap kali tertawa terpingkal-pingkal, Kong Hoat selalu mengucurkan air mata.

"Kong-enghiong, kau terlalu merendahkan diri. Kalau tidak ada kau yang menolong, aku dan dia ini entah sudah mati atau belum pada saat ini," kata Sui Ceng sambil melirik ke arah Kwan Cu dengan pandang mata memandang rendah. "Lebih baik aku sekarang segera mengejar untuk membasmi para bajak sungai itu."

"Tak perlu, lihiap. Tidak akan ada gunanya. Kalau kau mengejar, mereka akan lari cerai berai dan biarpun kau berhasil, tentu hanya beberapa orang saja yang dapat kau susul. Sebaliknya, kalau kau tidak mengejar, kurasa mereka semua akan datang kembali setelah melihat bahwa patung hidup itu sebetulnya hanya main-main belaka." Kembali Kong Hoat tertawa sambil mengucurkan air mata.

"Sui Ceng, dia berkata benar. Mereka tadi melarikan diri hanya karena kaget dan takut setengah mampus terhadap patung itu. Saudara Kong Hoat, lebih baik kau ceritakan bagaimana kau bisa melakukan permainan tadi?"

Sui Ceng terpaksa menunda niatnya mengejar para bajak, karena ia sendiripun ingin sekali mendengar penuturan pemuda tinggi besar itu.

"Aku memang mendapat tugas dari ibuku yang menyelidiki keadaan bajak sungai yang dipimpin oleh Luan-ho Oei Liong dan Sin-jiu Siang -kiam Oei Hwa. Ibuku memang semenjak mudanya menjagoi di kalangan bajak, menguasai daerah sungai dan telaga, juga bahkan sudah menjelajahi sampai ke samudera. Akan tetapi ibu tak pernah melakukan kejahatan, apalagi merampok rakyat yang bermata pencaharian menjadi nelayan. Karena mendengar akan kejahatan bajak sungai yang dipimpin oleh dua saudara Oei itu, ibu lalu menyuruh aku untuk menyelidiki. Kebetulan sekali aku melihat kalian dikeroyok dan karena aku sendiri sangsi apakah aku akan dapat menghadapi dua orang saudara yang ternyata amat lihai ilmu silatnya itu, aku lalu terjun dan menyelam ke bawah perahu besar dan menenggelamkannya. Kemudian aku lalu mempergunakan akal, memakai patung itu untuk mengusir mereka dan menolong kalian bebas dari belenggu." Setelah menuturkan pengalamannya, kembali nelayan muda yang gagah ini tertawa bergelak sambil mencucurkan air mata.

Sui Ceng geli sekali melihat keadaan pemuda ini dan karena melihat sikap Kong Hoat yang jujur dan polos, tanpa sungkan-sungkan ia lalu mencela, "Saudara Kong Hoat, kau.....cengeng (mudah menangis) sekali!"

Kong Hoat tidak menjadi marah mendengar celaan ini, bahkan sambil tertawa dia menjawab, "Bukan salahku, salahnya mataku yang gampang menangis. Karena mataku ini maka di tempatku aku dijuluki orang Nelayan Cengeng!"

Ucapan ini menambah kegelian hati Sui Ceng dan Kwan Cu sehingga tiga orang muda yang perkasa itu tertawatawa.

Tiba-tiba terdengar suara orang-orang berteriak dan para bajak sungai itu dengan berteriak dan para bajak sungai itu dengan dipimpin oleh Oei Liong dan Oei Hwa datang menyerbu! "Nah, mereka benar-benar datang. Tentu mereka sudah tahu akan tipuanku tadi. Biar aku mengambil senjataku yang kusembunyikan di luar dusun ini!" kata Kong Hoat sambil berlari keluar dari dusun untuk mengambil senjatanya, yakni sebatang dayung yang panjang dan berat.

"Apakah kau bersenjata?" tanya Sui Ceng kepada Kwan Cu. Pemuda itu mengeleng kepalanya.

"Sepasang pedangku juga dirampas oleh keparat Oei Liong, akan tetapi jangan khawatir, dengan tangan kosong aku sanggup melayani mereka. Apalagi ikat pinggangku masih ada!" Gadis ini meloloskan ikat pinggang sebelah luar yang berwarna merah dan sekali ia menggerakkan tangan, ikat pinggang itu bergerak-gerak seperti seekor ular merah yang menyambar-nyambar. Diam-diam Kwan Cu kagum sekali dan teringatlah dia akan kelihaian ilmu dari Kiu-Bwe Coa-li, guru dari gadis ini. Ia yakin bahwa dengan senjata ang-kin (sabuk merah) itu, Sui Ceng cukup kuat untuk menghadapi lawan-lawannya. Ia sendiri tersenyum dan tahu bahwa gadis ini masih memandang rendah kepadanya, maka dia pikir tak perlu memamerkan kepandaian dan akan bergerak secara sembunyi saja.

Gerombolan bajak muncul dan meraka telah bersenjata lengkap "Dimana adanya keparat yang telah menipu kami dan menghina Dewa Sungai!" Oie Liong berseru sambil mengangkat goloknya tinggi-tinggi.

"Aku di sini, siap untuk mengemplang pecah kepalamu!" tiba-tiba terdengar teriakan keras dan Kong Hoat muncul berlari-lari sambil menyeret dayungnya yang besar dan berat.

"Kepung! Bikin mampus keparat itu, tangkap dua orang mempelai!" Seru Oei Liong dan Oei Hwa. Mereka ini menyerahkan pemuda nelayan bersenjata dayung itu kepada anak buah mereka, karena bagi mereka, lebih baik mereka berusaha menangkap kembali Kwan Cu dan Sui Ceng.

"Kwan Cu, mundurlah, biar aku yang menghadapi mereka dan menghajar mereka dengan sabukku!" kata Sui Ceng yang merasa khawatir kalau-kalau kepandaian Kwan Cu masih terlampau rendah untuk menghadapi dua orang kepala bajak itu dengan tangan kosong saja.

Kwan Cu tersenyum dan benar-benar melompat mundur di belakang Sui Ceng, lalu duduk di bawah pohon dengan sikap sebagai seorang yang hendak menonton pertunjukan bagus, akan tetapi diam-diam matanya mencari-cari batubatu kecil dan kedua tangannya mengerayang mengumpulkan batu-batu ini.

Keadaan menjadi geger. Puluhan orang bajak yang sudah dikumpulkan itu segera menyerbu, sebagian mengepung Kong Hoat dan sebagian pula membantu Oei Liong dan Oei Hwa yang mencoba untuk menangkap Kwan Cu dan Sui Ceng hidup-hidup.

Oei Hwa ketika melihat bahwa Kwan Cu tidak mau melawan, Bahkan duduk di bawah pohon hatinya girang bukan main dan mengira bahwa pemuda itu memang suka menjadi suaminya maka tidak melawan. Ia mendahului semua orang melompat ke dekat Kwan Cu dan dengan sikap yang genit ia berkata, "Calon suamiku, apakah kau tidak mengalami kekagetan tadi? Marilah kita menyingkir lebih dulu sementara kawankawan kita menangkap gadis yang masih berkepala batu ini dan membunuh orang kasar itu!"

"Cih, perempuan hina -dina!" Sui Ceng memaki dengan marah dan sinar merah dari sabuknya meluncur ke arah leher Oei Hwa. Kepala bajak ini kaget sekali dan cepat menangkis. Akan tetapi inilah kesalahannya. Ketika ditangkis, sabuk itu bahkan melibat pedang dan pedang itu pasti aka terampas kalau saja Oei Hwa yang menjadi kaget tidak cepat-cepat mempergunakan pedang yang kiri untuk menusuk dan membabat tangan Sui Ceng. Terpaksa murid Kiu-bwe Coa-li ini melepaskan libatan sabuknya karena ia pun maklum akan kelihaian lawan. Ia menarik sabuknya sambil tertawa menghina, kemudian ia menyerang lagi.

Terpaksa Oei Hwa melayaninya dan menyerang dengan sengit.

"Hwa-moi, jangan lukai dia. Ingat, dia calon So-somu (kakak ipar perempuan)!" kata Oei Liong yang maju pula membantu adiknya, bukan untuk membinasakan Sui Ceng, melainkan berusaha menangkapnya hidup-hidup. Juga beberapa orang bajak yang kepandaiannya sudah tinggi ikut pula menyerbu.

Akan tetapi Oei Liong dan kawan-kawannya kecele sekali kalau dia mengira akan dapat menangkap hidupTiraikasih Website http://kangzusi.com/ hidup gadis perkasa itu. Biarpun hanya bersenjata sehelai sabuk yang lemas, namun gadis ini lihai sekali. Tadinya para bajak mengira bahwa betapapun pandainya gadis itu, tanpa senjata tajam, hanya memegang sehelai sabuk, tentu mudah ditawan, dan sabuk itu tentu tidak berbahaya.

Akan tetapi tak disangka-sangka, setiap kali sabuk yang berubah menjadi sinar merah itu melayang, ujungnya "mencium" tubuh seorang anggota bajak, orang itu tentu memekik ngeri dan roboh tak bernyawa lagi dalam keadaan tidak terluka sama sekali! Ternyata bahwa inilah ilmu cambuk dari Kiu-bwe Coa-li yang selalu mengarah jalan darah kematian daripada lawan! Dalam beberapa gebrakan saja, para bajak sungai yang tadinya berlomba ingin sekali berjasa dan menawan serta memeluk gadis cantik itu, dikagetkan oleh robohnya tujuh orang kawan mereka dalam keadaan tewas! Gentarlah mereka semua dan tanpa ada perintah dari Oei Liong dan Oei hwa, sebagian besar sudah mundur tak teratur! Di lain fihak, para bajak yang mengeroyok Kong Hoat, juga menemui "batunya". Dayung di tangan nelayan muda ini benar-benar lihai dan kekuatannya seperti seekor gajah mengamuk. Banyak kepala anak buah bajak pecah terpukul dayung, tulang-tulang iga patah-patah dan remuk kena sambaran senjata yang keras itu. Para bajak menjadi kocarkacir dan banyak pula yang tidak tahan menghadapi Kong Hoat lalu melarikan diri, hanya bergerombol di tempat yang jauh sambil menonton mereka yang masih bertempur.

"Pergunakan jala wasiat!" tiba-tiba Oei Hwa membentak keras, memberi perintah kepada aank buahnya. Barulah para bajak itu ingat akan senjata yang ampuh itu. BeramaiTiraikasih Website http://kangzusi.com/ ramai mereka lalu mengambil jala-jala yang sengaja dibuat bukan untuk menjala ikan, melainkan untuk menjala manusia, yakni lawan yang tangguh.

Oei Liong sendiri bersama Oei Hwa lalu mencabut jala yang tipis dan dilipat-lipat serta diselipkan di punggung dan sekali Oei Liong menggerakkan tangan, sehelai jala melayang di atas kepala Sui Ceng. Gadis ini cepat mengelak, akan tetapi sehelai jala lain yang berwarna hijau dan dilepaskan oleh Oei Hwa telah menyambar di atas kepalanya. Sui Ceng terkejut sekali. Kalau sampai dirinya tertutup oleh jala, semua ilmu silatnya takkan ada gunanya lagi, tentu akan rusak dan terhalang. Maka ia melompat lagi mengelak, dan sebentar saja dia terdesak hebat.

Di lain fihak, Kong Hoat juga didesak hebat oleh para bajak yang kini mempergunakan jala untuk mengalahkannya.

"Kwan Cu, mengapa kau diam saja?" Sui Ceng berseru gemas melihat pemuda ini masih enak-enak saja duduk di bawah pohon.

"Sebentar aku rampas jala-jala mereka," kata Kwan Cu yang cepat mengeluarkan sulingnya, kemudian dia berlari menghampiri Sui Ceng karena selain dia lebih menghawatirkan keselamatan gadis ini, juga dalam pertempuran dua rombongan itu, Sui Ceng yang lebih berbahaya kedudukannya karena selain dikeroyok oleh para bajak, juga di situ ada Oei Liong dan Oei Hwa yang lihai.

Dengan gerakan yang kaku dibuat-buat, Kwan Cu menyerbu dengan sulingnya. Ia tidak menyerang siapapun juga, hanya menanti dan ketika ada jala seorang bajak laut dilemparkan ke atas untuk menangkap Sui Ceng, tubuhnya berkelebat, sulingnya digerakkan ke arah jala dan tahu-tahu jala itu robek di tengah-tengahnya, tak dapat dipergunakan lagi. Lain jala menyambar, Kwan Cu mengulur tangan kirinya dan tahu-tahu jala ini telah dirampasnya, disendal cepat dan putuslah tali jala yang dipegang oleh bajak itu! Sui Ceng kagum dan memuji kecerdikan Kwan Cu, sungguhpun ia melihat bahwa semua itu bukan karena kepandaian Kwan Cu, melainkan karena kecerdikannya. Ia segera meniru perbuatan Kwan Cu, menyambut setiap jala,disambar dan ditarik kuat-kuat sehingga tali jala menjadi putus! "Kanda, mengapa engkau membantunya? Dia membikin susah pada kami!" seru Oei Hwa dengan kecewa sekali.

"Kwan Cu, calon isterimu itu bawel sekali, perlu digampar mulutnya!" kata Sui Ceng gemas dengan suara menghina, dan ia cepat melompat ke arah Oei Hwa, Benarbenar mengirim pukulan atau tamparan pada muka Oei Hwa.

Dalam menampar ini, Sui ceng mempergunakan gerak tipu Yu-coan-hoa-jiu (Pukulan Menembus Bunga), maka biarpun tidak hebat datangnya, namun sukar dielakkan.

"Plak!" sebelah pipi Oei Hwa kena ditampar oleh Sui Ceng sehingga kelihatan bekas kemerah-merahan dan bibir yang terkena tamparan juga menjadi berdarah. Sui Ceng tertawa girang dan puas, akan tetapi sebaliknya Oei Hwa menjadi marah sekali.

"Liong-ko, terpaksa aku harus menghancurkan kepala budak ini!" seru Oei Hwa marah sekali dan ia cepat melemparkan pedang di tangan kirinya ke arah Sui Ceng.

Lemparan pedang ini adalah ilmu timpuk yang disebut Kim-liong-touw-ka (Naga Emas membuka Pakaian) dan hebatnya buka main. Pedang itu meluncur bagaikan kilat cepatnya, menyambar ke arah dada Sui Ceng.

Tentu saja Sui Ceng terkejut sekali karena ini benarbenar tak pernah disangka-sangkanya, dan tahu-tahu sudah ada "pedang terbang" menuju ke dadanya. Ia cepat melempar tubuh ke kiri akan tetapi tubuhnya masih akan terserempet pedang kalau tidak pada saat itu, pedang yang meluncur tadi tahu-tahu berbunyi "tring...!" dan menyeleweng ke pinggir! Sui Ceng cepat memasang kuda-kuda dan Oei Hwa yang melihat timpukan pedang kirinya meleset, segera melompat maju dan memutar pedang di tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya cepat mencabut lipatan jalanya. Akan tetapi alangkah kaget dan herannya ketika melihat betapa jalanya itu sudah hancur dan robek-robek.

Semua itu adalah perbuatan Kwan Cu yang bekerja dengan cepat dan diam-diam, mengeluarkan ilmu kepandaiannya yang tinggi tanpa diketahui oleh siapapun juga. Tadi ketika melihat Oei Hwa bergerak, dia sudah tahu bahwa nona ini hendak mempergunakan pedang untuk menimpuk, maka dia segera menyusul timpukan itu dengan batu kecil sehingga pedang tadi tidak dapat mengenai tubuh Sui Ceng. Kemudian dengan gerakan seperti seorang yang mainkan ilmu silat secara ngawur, dia menggerakkan sulingnya ke sana ke mari dan dalam keadaan kacau balau itu dia telah berhasil merusak jala-jala dari Oei Hwa, Oei Liong, dan beberapa orang bajak lain yang berdekatan! Setelah melihat bahwa keadaan Sui Ceng tidak berbahaya lagi, dia menenggok ke arah Kong Hoat.

Alangkah kagetnya keetika melihat pemuda kasar ini telah tertangkap oleh jala, dan pemuda ini mengamuk, memutar dayung di dalam jala itu sehingga para bajak tidak berani mendekat, hanya menambah jala untuk memperkuat kurungan sehingga sebentar saja tubuh Kong Hoat sudah dikurung oleh tujuh helai jala. Ia benar-benar seperti seekor ikan buas tertangkap di dalam jala, bergerak-gerak dan meronta-ronta tanpa dapat keluar dari jala, akan tetapi juga mereka yang menangkapnya tidak berani turun tangan! Kwan Cu cepat melompat dan dengan sulingnya dia menyontek jal-jala itu. Para bajak menyerbu, akan tetapi dengan amat lincah dan gerakan lucu dibuat-buat seakanakan gerakannya kaku, Kwan Cu mengelak dan memutari jala. Ia seperti sedang main kucing dan tikus, dikejar-kejar oleh para bajak dan menggelilingi jala itu. Akan tetapi, Kwan Cu diam-diam mempergunakan kepandaiannya.

Suling di tangannya yang dipegang ketika dia berlari-lari mengitari jala menjauhi para bajak, diam-diam telah merobek jala itu di sana sini sehingga tiba-tiba Kong Hoat merasa jala itu mengendur. Ketika nelayan ini mempergunakan dayungnya mengangkat, ternyata jala-jala itu telah robek dengan mudah saja dia keluar dari situ.

"Jahanam keparat, rasakan pembalasanku!" seru nelayan ini dengan marah dan dayungnya mengamuk hebat sekali.

Kwan Cu kembali duduk di bawah dibawah pohon sambil menonton pertempuran. Ia melihat Sui Ceng kini hanya dikeroyok dua oleh Oei Hwa dan Oei Liong, karena para anak buah bajak sudah pada mengundurkan diri, Tidak berani lagi menghadapi gadis perkasa itu. Adapun Kong Hoat juga dijauhi oleh lawan-lawannya setelah dia berhasil menyapu roboh enam orang bajak lagi. Melihat Sui Ceng di keroyok, Kong Hoat lalu berlari-lari sambil menyeret dayungnya, langsung membantu Sui Ceng.

Pertempuran terpecah dua, Sui Ceng menghadapi Oei Hwa sedangkan Kong Hoat mengamuk dan menyerang Oei Liong. Hebat sekali pertempuran ini dan kepandaian mereka seimbang, hanya bedanya Kong Hoat lebih mengandalkan tenaga besar sedangkan Oei Liong lihai sekali permainan goloknya dan lebih cepat gerakkannya.

Adapun pertandingan antara Sui Ceng dan Oei Hwa tidak begitu ramai, karena memang tingkat kepandaian Sui Ceng jauh lebih tinggi daripada tingkat kepandaian Oei Hwa. Setelah kini tidak dikeroyok lagi. Sui Ceng menggerakkan sabuk merahnya demikian cepatnya sehingga Oei Hwa menjadi pening dan tak lama kemudian ia menjerit, terhuyung-huyung dan roboh telentang tak bergerak lagi. Ujung sabuk di tangan Sui Ceng telah menotok jalan darah kematian di dadanya! Melihat Kong Hoat terdesak oleh Oei Liong, Sui Ceng cepat menggerakkan sabuknya. Pada saat itu, golok Oei Liong tengah menyambar dari atas untuk dibacokkan ke arah kepala Kong Hoat, akan tetapi alangkah terkejut hati Oie Liong ketika tiba-tiba dia merasa goloknya terlepas dari tangan dan ketika dia menengok, ternyata bahwa goloknya itu telah terampas oleh sabuk merah Sui Ceng. Kecut hati kepala bajak ini dan dia lalu menjatuhkan diri berlutut minta-minta ampun.

Melihat ini, Sui Ceng ragu-ragu, akan tetapi Kong Hoat segera menggerakkan dayungnya dan sekali kemplang saja remuklah kepala Luan-ho Oei Liong.

"Saudara Kong Hoat, mengapa kau bunuh dia yang sudah tidak melawan?" tanya Sui Ceng dengan suara tidak puas, karena ia menganggap perbuatan Kong Hoat ini keterlaluan.

"Bun-lihiap, kejahatan seperti pohon liar dan untuk membasminya kita harus mencabut akarnya. Kalau kepalanya mati, anak buahnya masih ada harapan untuk kapok," kata Kong Hoat.

Kata-kata ini segera terbukti karena para anak buah bajak yang melihat dua orang pemimpin mereka tewas, sisanya lalu melempar senjata dan berlutut. Mereka khawatir kalaukalau keluarga mereka yang tinggal di dusun itu dibasmi oleh tiga orang pendekar itu, maka cepat-cepat mereka memohon ampun.

"Sam-taihiap (Tiga Pendekar Besar), mohon sudi mengampuni kami."

Melihat bahwa kata-kata Kong Hoat ternyata benar, Sui Ceng lalu tersenyum dan berkata, "Terserah kepadamu untuk meghadapi mereka, saudara Kong Hoat. Kau lebih mengerti bagaimana harus melayani mereka itu."

Kong Hoat lalu mengangkat dayungnya dan memalangkan dayung itu di depan dadanya, kemudian dia berkata, "Kalian semua harus bersyukur bahwa dua orang kawanku yang gagah perkasa ini masih mengampuni jiwa anjingmu. Sekarang kalian harus dapat mengubah cara hidupmu. Kami takkan melarang kalau kiranya kalian membajak perahu-perahu pembesar pemerintah penjajah, atau minta sumbangan dari para hartawan. Akan tetapi, jangan bertindak sembarangan saja seperti yang dilakukan oleh dua orang pemimpinmu yang sudah tewas. Kalian kami bebaskan, akan tetapi hati-hati, kalau lain kali kami masih mendengar bahwa sepak terjangmu keterlaluan, pohon ini menjadi contohnya!" Setelah berkata demikian, Kong Hoat menggerakkan dayungnya ke arah sebatang pohon. Terdengar suara keras dan pohon itu tumbang karena patah dihantam oleh dayung itu.

Semua bajak menjadi pucat dan mengangguk-angguk menyatakan taat akan pesanan ini.

"Ketahuilah, bahwa kawan-kawanku ini adalah pendekar-pendekar berilmu tinggi, sedangkan aku sendiri biarpun tidak ternama akan tetapi kiranya kalian sudah mendengar nama ibuku, yakni Liok-te Mo-li!"

Mendengar nama ini, benar saja semua bajak itu menjadi gemetar seluruh tubuh mereka dan saling memandang dengan gelisah. Nama Liok-te Mo-li siapakah yang tidak pernah mendengarnya? Wanita sakti itu boleh dibilang menjadi ratu dari segala bajak air, karena selain sakti, juga pandai sekali dalam air dan ganasnya terhadap penjahat luar biasa.

"Hamba sekalian akan mentaati perintah dan tidak berani melanggarnya," kata beberapa orang bajak itu.

"Nah, sekarang uruslah semua mayat ini dan ubah cara hidup kalian," kata pula Kong Hoat. Kemudian tanpa banyak cakap lagi, Kong Hoat, Sui Ceng dan Kwan Cu keluar dari dusun itu.

Setelah tiba di luar hutan, Kong Hoat lalu menjura kepada Sui Ceng dan Kwan Cu, katanya dengan sejujurnya.

"Ji-wi benar-benar hebat sekali, siauwte benar-benar tunduk atas kepandaian Ji-wi yang luar biasa tingginya.

Mudah-mudahan saja kelak siauwte akan mempunyai keberuntungan untuk bertemu dengan Ji-wi. Selamat tinggal." Setelah berkata demikian, nelayan muda itu menyeret dayung dan pergi situ.

Sui Ceng dan Kwan Cu berpandangan dan Kwan Cu tertawa "Kong Hoat benar-benar hebat dan mengagumkan. Akan tetapi kau lebih-lebih luar biasa sekali, Sui Ceng. Aku tunduk betul akan kepandaian."

"Akan tetapi kau lebih cerdik, Kwan Cu. Tadi aku benarbenar binggung sekali ketika dikurung oleh jala-jala itu.

Baiknya kau datang dan memberi contoh yang amat baik.

Aku percaya penuh bahwa dengan akalmu yang cerdik, kau akan mendapat kemajuan pesat dalam ilmu silat. Eh, kata guruku, kau mungkin sudah mempelajari Im-yang Bu-tek Cin-keng. Betulkah ini?"

Merah wajah Kwan Cu. tadi dia sudah berhasil menyembuyikan kepandaiannya, maka kini dia hanya menggeleng-geleng kepalanya tanpa memberi jawaban.

Untuk menyimpangkan perhatian Sui Ceng dia tiba-tiba berkata, "Sui Ceng, tadi kau kehilangan sepasang pedangmu, apakah kau tidak mau mengambilnya dulu? Bukankah tadi dirampas oleh Oei Liong?"

Sui Ceng benar saja lupa untuk bertanya-tanya lagi tentang Im-yang Bu-tek Cin-keng, sebaliknya ia menggeleng-geleng kepala dan berkata, "Pedang-pedang itu pedang biasa saja, tanpa itu pun aku masih mempunyai ang-kin ini. Kalau pedang Liong-coankiam, barulah boleh disebut pedang baik!"

"Liong-coa-kiam? Pedang apakah itu dan milik siapa?" tanya Kwan Cu dengan suara girang karena dia berhasil mengalihkan perhatian Sui Ceng dari pertanyaan tentang Im-yang Bu-tek Cin-keng.

Sui Ceng kelihatan kaget dan menyesal bahwa dia telah terlanjur bicara tentang pedang itu.

"Pedang Liong-coa-kiam adalah pedang peninggalan Menteri Lu Pin untukmu, berada di Goa Tengkorak."

Kwan Cu teringat akan tugasnya mengunjungi Goa Tengkorak, Maka dia lalu berkata cepat.

"Aah, aku harus ke sana sekarang juga! Aku perlu bertemu dengan kong-kong Lu Pin."

Sudah bergerak bibir Sui Ceng untuk menceritakn tentang kematian Lu Pin, akan tetapi ditahannya bibir itu.

Memang, biarpun Sui Ceng pernah berkata akan pesan terakhir dari Menteri Lu Pin, namun Kwan Cu mengira bahwa kong-kongnya masih hidup, yakni menurut anggapan orang-orang di dalam istana.

"Kalau begitu kita berpisah di sini," kata Sui Ceng.

Kwan Cu nampak kecewa. "Benar katamu, Sui Ceng.

Kau.......kau tentu tidak sudi melakukan perjalanan bersamaku."

Sui Ceng tertawa melihat sikap pemuda ini. "Bukan begitu, memang kita tidak mempunyai keperluan untuk melakukan perjalanan bersama. Bahkan aku mengajak kau berlomba, siapakah yang akan dapat memenuhi pesanan kong-kongmu itu lebih dahulu."

"Hm… kau tidak adil. Kau sudah tahu akan pesanan itu, sedangkan aku belum. Baiklah, aku segera akan menyusulmu, Sui Ceng. Kita pasti akan bertemu lagi kelak."

"Selamat berpisah," kata Sui Ceng sambil memutar tubuhnya.

"Selamat berpisah sampai berjumpa kembali," kata Kwan Cu tanpa memutar tubuh, bahkan memandang kepada gadis itu yang mulai berjalan pergi. Akan tetapi tibatiba Sui Ceng membalikan tubuhnya sambil berseru.

"Kwan..." Ia terpaksa menghentikan panggilannya karena melihat bahwa pemuda itu ternyata belum pergi, masih berdiri memandangnya! Merah muka Sui Ceng melihat kenyataan ini.

"Ada apakah, Sui Ceng? Masih ada sesuatau yang harus kita bicarakan agaknya?"

"Aku lupa untuk bertanya tentang sikapmu tadi ketika kita masih dibelenggu," berkata sampai di sini, wajah nona itu menjadi makin merah dan sepasang matanya menyinarkan cahaya penasaran. "Kau bilang bahwa kau gembira sekali karena keaadan kita waktu itu menyatakan bahwa kita seakan-akan saling.......saling menikah? Mengapa? Mengapa kau gembira?"

Terbelalak lebar sepasang mata Kwan Cu yang bersinar tajam dan berpengaruh itu. Perlahan-lahan kedua pipinya merah sekali. Akan tetapi, pemuda ini semenjak bersumpah di depan Liyani, gadis raksasa itu bahwa dia mencintai seoang gadis yang bernama Bun Sui Ceng, dia sering kali melamun dan bermimpi tentang gadis ini. Dan semenjak itu dia betul-betul merasa betapa dia mencintai Sui Ceng! Terdorong oleh kejujurannya, pula karena dia melihat bahwa Sui Ceng juga seorang gadis jujur, dia lalu memberanikan diri, menekan hatinya yang berguncang, lalu berkata dengan gagahnya.

"Mengapa aku gembira dapat menikah dengan engkau? Sui Ceng, karena aku.......aku cinta kepadamu!"

Sui Ceng bengong. Belum pernah selama hidupnya ia bertemu dengan seorang pemuda yang demikian terus terang, tanpa tedeng aling-aling lagi menyatakan isi hatinya, mengaku cinta padanya. Akan tetapi ia lalu teringat akan sesuatu dan mukanya menyatakan kemarahan.

"Kwan Cu, bagus benar watakmu! Bukankaah kau sudah tahu bahwa aku ini tunangan The Kun Beng?"

"Memang aku sudah tahu," kata Kwan Cu mengangguk.

"Dan kau masih berani menyatakan ci.......cinta ...padaku?"

"Mengapa tidak?"

"Kau mengkhianati Kun Beng yang kau anggap kawan sendiri!"

Kwan Cu mengangguk. "Memang, akan tetapi kalau aku tidak berterus terang, bukankah itu berarti aku mengkhianati hati sendiri? Pula, terus terang saja kukatakan bahwa Kun Beng tidak berharga untuk menjadi suamimu!"

Makin terheranlah gadis itu dan untuk kedua kalinya ia bengong. Kemudian ia bertanya bibirnya tersenyum mengejek, "Hm, dan kaupikir bahwa kaulah orang yang paling berharga untuk menjadi.........menjadi suamiku?"

Kwan Cu mengangguk. "Memang, begitulah pikiranku."

Sui Ceng membanting-banting kakinya. "Kau kurang ajar sekali, Kwan Cu. Kau besar mulut! Kalau ada pedang di tanganku, tentu kau akan kuserang!"

"Kau sudah melakukan hal itu di atas perahu."

"Ya, akan tetapi terganggu, belum sampai aku menusuk dadamu."

" Kau ingin sekali membunuhku?"

"Ya, kalau kau begitu sombong, begitu kurang ajar, dan begitu rendah hati memburukkan nama orang lain di depanku."

"Dengan ang-kinmu itu pun kau dapat melakukan pembunuhan terhadapku, Sui Ceng. Mengapa kau tidak lakukan hal itu?"

Sui Ceng tertegun. "Selain sombong….. kau… kau… "

"Ya…."

"Kau juga tabah sekali. Kau orang aneh, agaknya kau sudah sudah miring otakmu." Setelah berkata demikian, Sui Ceng lalu membalikkan tubuhnya dan lari meninggalkan Kwan Cu.

Kwan Cu mengangkat kedua tangan, meraba-raba kepalanya sendiri dan menggerutu.

"Benar-benarkah sudah miring otakku? Mengapa aku begini tergila-gila setelah melihatnya? Ah…. jangan-jangan sudah miring benar-benar otakku…. " Sambil menggerutu dan mengeluh panjang pendek, Kwan Cu pergi dari situ, langsung menuju bukit di mana terdapat Goa Tengkorak, tempat bersembunyi kong-kongnya, yakni Menteri Lu Pin.

***

Di dalam Goa Tengkorak yang menyeramkan itu terdengar suara orang menangis.

"Kong-kong, aku bersumpah untuk membasmi keturunan An Lu Shan manusia jahanam itu!" Terdengar orang yang menangis itu berkata dan suaranya lebih menyeramkan lagi karena bergema di dalam goa yang besar penuh tengkorak-tengkorak raksasa itu. Orang ini adalah Lu Kwan Cu yang berhasil mendapatkan Goa Tengkorak di mana kong-kong angkatnya telah meninggal dunia. Ketika memasuki goa, Kwan Cu belum mengetahui bahwa Menteri Lu Pin telah meninggal dunia, akan tetapi setelah dia membaca tulisan berukir di dinding, mencabut pedang Liong-coan-kiam, lalu menuju ke hio-louw, dia melihat makam kong-kongnya itu dan menangislah dia. Hatinya amat terharu. Mereka itu dua saudara yang gagah perkasa dan berjiwa pahlawan. Lu Sin dan Lu Pin. Dan keduanya merupakan orang-orang yang amat dijunjung tinggi dan dikasihani oleh Kwan Cu. Kini keduanya tewas karena membela kebenaran, membela negara dan bangsa. Dan hanya dia seoranglah yang berkewajiban membalas dendam, atau lebih tepat lagi berkewajiban melanjutkan cita-cita mereka berdua.

Kemudian Kwan Cu meninggalkan goa itu setelah menutupi goa itu dengan batu-batu dan alang-alang seperti yang dilakukan oleh Sui Ceng dulu. Hati dan pikirannya penuh cita-cita, dan dia merasa sebagai seorang yang memanggul banyak macam tugas kewajiban. Pertama-tama, dia akan membalas dendam kepada para pembunuh Angbin Sin-kai, yakni Hek-i Hui-mo, Jeng-kin-jiu, Toat-beng Hui-houw, Pek-eng Sianjin dan para pembantu mereka. Ke dua, dia akan mencari keluar An Lu Shan dan akan membunuh mereka semua, sesuai dengan pesan kongkongnya, Menteri Lu Pin. Urusan ke tiga, dia juga harus mencari Kun Beng dan Swi Kiat, untuk memenuhi permintaan Gouw Kui Lan, gadis yang bernasib malang itu.

Berpikir tentang Kun Beng dan Swi Kiat, Kwan Cu teringat akan Bun Sui Ceng. Hatinya berdebar kalau dia teringat akan pertemuannya dengan gadis itu beberapa hari yang lalu. Sui Ceng benar-benar telah menjadi seorang gadis yang melampaui keindahan gadis dalam mimpinya. Ia benar-benar jatuh hati kepada gadis itu, dan hatinya perih kalau teringat bahwa gadis itu telah ditunangkan dengan Kun Beng. Bukan perih karena cemburu atau iri, melainkan karena dia mendapat kenyataan batwa Kun Beng bukanlah seorang pemuda yang patut menjadi suami Sui Ceng.

Bukankah Kun Beng telah melakukan hal yang amat rendah terhadap Gouw Kui Lan? Tidak, Kun Beng tidak seharusnya menjadi suami Sui Ceng. Dia akan mencegah terjadinya perjodohan itu! Kasihan kepada Kui Lan, juga kasihan kepada Sui Ceng.

Dengan cepat Kwan Cu melakukan perjalanan menuju ke kota raja karena dia hendak menyelidiki betul-betul di mana dia dapat mencari Hek-i Hui-mo, Jeng-kin-jiu, dan musuh-musuh yang lain. la teringat kepada Lu Thong, cucu kong-kongnya yang berhati khianat itu, ia akan mempergunakan kekerasan, memaksa Lu Thong mengaku di mana adanya Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu. Juga dia akan mengunjungi An Kong putera An Lu Kui. Kali ini dia akan membunuh orang ini, juga An Lu Kui, karena mereka ini adalah keluarga An Lu Shan.

Semenjak Kwan Cu menyerbu ke kota raja dan berhasil menolong Kui Lan keluar dari gedung An Kong, tembok kota raja dijaga makin keras. Jangankan manusia biasa, seekor burung pun agaknya tak mungkin lewat di atas tembok kota raja tanpa terlihat oleh para penjaga yang banyak jumlahnya dan yang melakukan penjagaan secara bergilir .

Akan tetapi Kwan Cu bukanlah manusia biasa, juga bukan burung yang tidak mempunyai akal budi. Dengan gerakannya yang amat gesit, Kwan Cu dapat melewati penjagaan dan melompat ke atas tembok, mempergunakan kegelapan malam sehingga dia dapat masuk ke kota raja tanpa terlihat oleh siapapun juga.

Ternyata bahwa kota raja telah terjadi perubahan besar.

Di antara mereka yang bersaingan merebutkan kedudukan, Si Su Beng kawan pemberontak An Lu Shan telah berhasil membunuh putera An Lu Shan yang dulu membunuh ayahnya sendiri. Kemudian Si Su Beng berhasil menduduki tempat tertinggi. Hal ini adalah berkat bantuan jagojagonya, terutama sekali berkat bantuan Kiam Ki Sianjin, tosu yang berjuluk Pak-kek Sian-ong itu.

Biarpun diam-diam An Lu Kui dan kaki tangannya menaruh hati dendam karena pangeran yang terbunuh itu adalah keponakannya sendiri, namun An Lu Kui tidak berani berbuat sesuatu. Hanya diam-diam dia mengumpulkan kawan-kawannya mencari jalan untuk merampas kembali kedudukan yang dipertuan di Kerajaan Tang yang sudah dirampasnya itu.

Malam itu gelap dan dingin sekali hawanya. Kwan Cu pertama-tama segera menuju ke rumah gedung di mana tinggal An Kong pangeran botak putera An Lu Kui yang dulu pernah diserbunya ketika dia menolong Gouw Kui Lan. Baginya An Kong juga keturunan atau keluarga An Lu Shan maka patut dibinasakan. Lagi pula, manusia macam An Kong itu memang sudah pantas kalau menerima hukuman mati, karena hidupnya hanya mengotorkan dunia dan melakukan kejahatan dan kekejian belaka.

Dengan kepandaiannya yang tinggi, Kwan Cu berhasil mengintai ke dalam. Di ruang tengah dia melihat An Kong tengah bercakap-cakap dengan dua orang perwira yang dikenalnya sebagai panglima-panglima pembantu An Lu Kui yang dulu pernah dikalahkan. Mereka itu adalah Cang Kwan yang berwajah brewok dan Liong Tek Kauw, dua orang panglima yang memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi yang bagi Kwan Cu bukan apa-apa. Melihat An Kong, bangkit amarah di dada Kwan Cu, karena tidak saja pangeran botak ini mengingatkan dia akan Kui Lan yang bernasib malang, akan tetapi dia juga teringat, akan keluarga Lu yang terbinasa karena kekejaman keluarga An.

"An Kong anjing botak, aku datang untuk mengambil nyawamu!" kata Kwan Cu sambil melayang ke bawah. Tadi ketika mengintai, dia mempergunakan dua kakinya dikaitkan pada balok melintang di bawah genteng dan kini tubuhnya melayang bagaikan seekor garuda menyambar.

An Kong dan dua orang panglima itu terkejut sekali.

Pangeran botak ini cepat mencabut cambuk dan kebutannya, dan melihat bahwa yang datang adalah pemuda yang pernah merobohkannya dan merampas Kui Lan yang membuatnya tergila-gila, dia marah sekali.

"Bagus, kau datang mencari mampus!" serunya dan sebelum tubuh Kwan Cu tiba di atas lantai, kebutan dan cambuknya sudah menyambar dari kanan kiri.

Akan tetapi kali ini kedatangan Kwan Cu bukan untuk main-main atau menguji kepandaiannya. la datang dengan maksud membunuhi musuh-musuh besar yang membuat Menteri Lu Pin sekeluarga terbinasa secara sia-sia. Begitu melihat kebutan dan cambuk melayang dari kanan kiri, dengan sekelebatan saja dia sudah melihat dari pundak orang ke mana arah tujuan serangan ini. Tingkat kepandaian pemuda ini setelah menguasai pelajaran dari Im-yang Bu-tek Cin-keng memang tak dapat diukur lagi tingginya. Ia sudah mengatahui semua pokok dasar segala macam serangan ilmu silat, maka menghadapi serangan dari An-kong, dia telah tahu bagaimana untuk melayaninya. Dengan tangan kirinya, dia menggunakan gerak tipu Kong-ciak-siu-po (Burung Merak Sambut Mustika), yakni sebuah jurus dari ilmu silat ciptaannya sendiri Kong-ciak-sin-na (Ilmu Silat Burung Merak). Dalam sekejap mata sebelum An Kong tahu apa yang telah terjadi, cambuknya telah kena dirampas oleh tangan kiri Kwan Cu.

Pemuda sakti ini tidak berhenti sampai di situ saja, dan pada saat kedua kakinya sudah menginjak lantai, tangan kanannya bergerak melakukan pukulan Pek-in-hoat-sut, menghantam ke arah kebutan yang memukul dari kanannya.

"Krak!" terdengar kebutan itu patah berikut tulang lengan An Kong disusul oleh menjeritnya pangeran botak itu yang terlempar ke belakang dan roboh sambil mengerang-erang kesakitan.

"Kau kejam sekali! Ada permusuhan apakah antara kau dan aku maka datang-datang kau menjatuhkan tangan maut?" teriak An Kong sambil memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat. Tidak saja dia terheran-heran dan amat kagum, akan tetapi dia juga amat ketakutan melihat sinar mata Kwan Cu yang tajam berpengaruh.

"Ingat saja apa yang sudah terjadi dengan keluarga Lu.

Kau sebagai keluarga An harus mati." Setelah berkata demikian, dari tempat dia berdiri, Kwan Cu mengarahkan pukulan kepada pangeran botak itu. Biarpun jarak antara mereka ada dua tombak, dan tangan Kwan Cu tak pernah menyentuh dada An Kong, namun pangeran ini menjerit dan tewas pada saat itu juga karena hawa pukulan Pek-inhoat- sut yang keluar dari pukulan tangan Kwan Cu telah menghancurkan isi dadanya! Untuk sesaat, dua orang perwira pembantu An Lu Kui berdiri bengong dan tak dapat berkata-kata. Akan tetapi melihat pangeran itu rebah miring tak bernapas lagi, mereka menjadi marah dan segera menyerbu dengan senjata di tangan. Namun Kwan Cu tentu saja tidak gentar, dan dia pun tidak sudi melayani orang-orang yang tidak ada sangkut pautnya dengan urusannya. Sekali tubuhnya bergerak dua orang perwira itu roboh tertotok. Mereka sendiri tidak tahu bagaimana hal itu bisa terjadi. Memang, dengan penglihatannya yang sudah luar biasa, pula karena dia memiliki gerakan cepat sekali, Kwan Cu telah mendahului mereka dan sebelum serangan mereka sampai dia telah menotok mereka dengan kedua tangannya.

Kwan Cu menyeret tubuh Cang Kwan, si panglima brewok, dijambaknya rambutnya dan diberdirikan, lalu dibebaskannya dari totokan.

"Hayo katakan, di mana adanya An Lu Kui ?" bentaknya setelah orang itu terbebas dari totokan.

Cang Kwan gemetar ketakutan. Ia adalah seorang panglima yang sudah banyak pengalaman bertempur dan kepandaiannya boleh dibilang sudah menduduki tempat cukup tinggi. Akan tetapi dalam tangan pemuda ini, dia tak lebih seperti seorang bocah yang bodoh dan canggung saja.

"An-ciangkun berada di gedungnya sendiri " jawabnya perlahan.

"Di mana itu? Hayo kauantar aku!" Kwan Cu mengempit tubuh yang tinggi besar itu bagaikan seorang dewasa mengempit sebuah boneka, lalu tubuhnya berkelebat keluar dari ruang itu terus melayang naik ke atas genteng. Atas petunjuk Cang Kwan, mereka tiba di atas sebuah gedung yang angker di dalam lingkungan bangunanbangunan istana.

"Panggil An Lu Kui naik, lekas kalau minta nyawamu selamat!" Kwan Cu mengancam perlahan.

Karena sudah tidak berdaya dalam kempitan pemuda sakti ini, Panglima Cang Kwan lalu berteriak, suaranya parau memecah kesunyian malam, "An-ciangkun, harap kau suka keluar, siauwte menanti di atas genteng. Penting sekali!" teriaknya.

Hening sesaat kemudian terdengar suara orang dari bawah genteng, terheran-heran.

"Eh, eh, eh, bukankah di atas itu Cang-ciangkun? Mengapa tidak turun saja?" itulah suara An Lu Kui, dan tak lama kemudian nampak bayangan orang di bawah genteng.

Kwan Cu melemparkan tubuh Cang Kwan ke bawah dan dia sendiri lalu melompat menyusul. Karena tadi sudah berjanji hendak mengampuni nyawa panglima itu, Kwan Cu mendahului, sampai di tanah dan dengan sebelah kaki dia menendang tubuh yang jatuh itu, mencegah tubuh itu terbanting hancur. Akan tetapi tendangan ini cukup membuat Cang Kwan pingsan untuk beberapa lama.

Adapun An Lu Kui ketika melihat siapa orangnya yang datang bersama Cang Kwan, menjadi terkejut sekali dan hendak berlari masuk. Namun dia kalah cepat dan dengan sebuah pukulan tangan kiri, Kwan Cu membuat An Lu Kui roboh terguling dengan tulang iga patah-patah! "lnilah pembalasan dari keluarga Menteri Lu Pin yang telah binasa oleh keluargamu!" kata Kwan Cu. Melihat panglima itu masih bergulat dengan maut, pemuda ini tidak tega dan sekali dia mengerahkan tenaga Pek-in-hoat-sut memukul ke arah An Lu Kui, panglima itu tewas tanpa banyak penderitaan lagi.

Tiba-tiba berkelebat empat sosok bayangan orang dan tahu-tahu Kwan Cu telah dikurung oleh empat orang kakek.

Tiga orang di antaranya adalah tosu-tosu yang berjenggot panjang. Kwan Cu segera mengenal bahwa seorang di antara tiga tosu itu bukan lain adalah Kiam Ki Sianjin yang lihai, dan tosu ke dua dia masih ingat adalah Pek-eng Sianjin, ketua dari Kun-lun Ngo-eng yang pernah dibasmi oleh Pak-lo-sian Siangkoan Hai dan Ang-bin Sin-kai. Yang seorang lagi adalah seorang hwesio berkepala gundul yang bertubuh gemuk. la tidak kenal siapa adanya hwesio ini dan tidak kenal pula tosu ke tiga, akan tetapi sikap mereka menunjukkan bahwa mereka pun memiliki kepandaian tinggi.

"Eh, eh, eh, dia sudah membunuh An-ciangkunl" seru Kiam Ki Sianjin kaget. "Anak muda, bukankah kau murid Ang-bin Sin-kai yang bernama Lu K wan Cu, yang dulu pernah menyerbu di istana ?"

Kwan Cu berdiri tenang dan tersenyum. "Benar, Kiam Ki Sianjin. Kau dan kawan-kawanmu datang apakah hendak menangkap aku?"

Empat orang kakek itu saling pandang dan tertawa.

Mereka kagum melihat sikap pemuda yang amat tenang dan tabah itu. Kiam Ki Sianjin juga tertawa.

"Bagus, bagus. Kau bahkan telah mewakili kami membunuh orang yang mempunyai hati khianat ini.

Marilah ikut kami dan kita bicara dengan jelas di tempat terang."

Kwan Cu tidak mempunyai kepentingan dengan mereka, akan tetapi melihat Pek-eng Sian-jin, dia telah menjadi panas perutnya. Inilah seorang di antara mereka yang mengeroyok gurunya, Ang-bin Sin-kai. Hal ini dia dengar dari pujangga Tu Fu, maka seketika itu juga dia mempunyai niat hendak menewaskan tosu musuh besar gurunya itu pula. Oleh karena itu, tanpa banyak kata lagi dia mengikuti empat orang kakek itu menuju ke sebuah bangunan yang paling tinggi di antara semua bangunan di situ.

Ruang depan bangunan ini amat lebar dan ke situlah Kiam Ki Sianjin mengajaknya pergi. Kwan Cu mengikuti tanpa mengeluarkan sepatah pun kata akan tetapi matanya melirik ke arah Pek-eng Sianjin dengan penuh kebencian.

"Orang muda she Lu, apakah kau membunuh Anciangkun atas suruhan Pangeran Lu Thong?" Kiam Ki Sianjin bertanya setelah dia mempersilakan pemuda itu duduk menghadapi meja bundar yang terukir indah.

"Aku tidak mempunyai hubungan dengan Lu Thong.

Aku membunuh An Lu Kui dan juga An Kong, karena aku sudah bersumpah untuk membasmi semua keluarga jahanam An Lu Shan dan kaki tangannya."

"Hm, kau benar sekali, orang muda. Memang keluarga An amat jahat dan palsu, karenanya kami juga memusuhi mereka. Keluarga An sudah kami lenyapkan semua, sayang sekali masih ada seorang yang sempat melarikan dirinya.

Dialah keturunan terakhir dari An Lu Shan."

"Siapakah dia ?" Kwan Cu mendesak karena dia memang tertarik mendengar bahwa masih ada keturunan An Lu Shan yang masih hidup.

"Namanya An Kai Seng, entah dia kini berada di mana.

Akan tetapi dia adalah seorang yang berkepandaian tinggi dan mempunyai banyak kawan-kawan."

"Aku pasti akan mendapatkannya!" kata Kwan Cu tegas.

"Bagus, kau memang seorang patriot sejati. Memang penindas rakyat harus diberantas semua sampai habis!" kata Kiam Ki sianjin yang merasa diri amat cerdik telah dapat mempergunakan tenaga Kwan Cu secara tidak langsung untuk membasmi orang-orang yang mengancam kedudukan Si Su Beng, yakni raja baru yang menjadi majikannya! Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Si Su Beng berhasil merebut tahta dan menduduki tempat tertinggi di istana, memegang kekuasaan terbesar. Karena maklum bahwa keluarga An Lu Shan tentu akan menaruh hati dendam, diam-diam Si Su Beng menyuruh Kiam Ki Sianjin mencari jalan untuk membasmi saja semua orang yang dapat mendatangkan ancaman bagi kedudukannya. Kini bertemu dengan Kwan Cu, dengan cerdik Kiam Ki Sianjin sengaja mengobarkan api di dada Kwan Cu dan merasa diri amat pandai.

Akan tetapi, alangkah kagetnya ketika dia melihat Kwan Cu berdiri dan pemuda ini tertawa bergelak.

"Kiam Ki Sianjin, monyet tua! Lidahmu tak bertulang itu menyemburkan kata-kata yang tidak lebih harum dari pada kentut busuk! Orang macam kau ini tahu apa akan perjuangan membela rakyat? Kau sendiri menjadi kaki tangan raja penjajah, menindas rakyat. Tak malukah kau sebagai seorang Han? Hah, memualkan perutku benar! Aku sendiri tidak ada urusan denganmu, akan tetapi tunggu saja kau akan pembalasan rakyat! Penjajah pasti akan terusir semua dari tanah air dan kalau aku sudah menyelesaikan tugasku, aku pun akan membantu perjuangan rakyat mengusir penjajah asing dan memberi hukuman kepada pengkhianat-pengkhianat bangsa macam engkau ini!"

Kiam Ki Sianjin menjadi pucat mukanya, demikian pula kawan-kawannya, bukan karena takut kepada ancaman Kwan Cu, melainkan karena marah mendengar omongan yang setidaknya menikam ulu hati itu.

"Bangsat bermulut lancang! Kaukira bisa demikian enak saja menghina kami dan dapat keluar dengan kepala utuh dari sini? Kau mencari mampus sendiri!"

Kwan Cu tertawa mengejek. "Siapa takut padamu? Aku bahkan hendak bicara lebih dulu dengan babi kurus Pek-eng Sianjin yang berdiri di sana itu!" la melangkah maju dan menghadapi Pek-eng Sianjin yang berdebar-debar jantungnya. "Pek-eng Sianjin, mengakulah apakah kau dahulu ikut pula mengeroyok suhu Ang-bin Sin-kai sehingga suhu mengalami kebinasaan?"

"Pinto (aku) pinto tidak tahu apa-apa " jawab tosu itu dengan gugup. Memang dia sudah mendengar akan kelihaian pemuda murid Ang-bin Sin-kai ini, maka dia sudah gentar sekali.

"Hm, ternyata kau bernyali tikus! Akan tetapi kau mengaku atau tidak, bagiku sama saja. Kau harus mampus, kau, Hek-i Hui-mo, Jeng-kin-jiu, Toat-beng Hui-houw, dan yang lain-lain!"

"Lu Kwan Cu, kau bermulut besar!" Kiam Ki Sianjin membentak marah. "Kau bersikap seakan-akan kau tuan rumah di sini. Kau tamuku dan kau harus tahu sopan santun. Orang muda macam engkau hendak membunuh tokoh-tokoh besar yang kau sebutkan tadi? Ha, ha, ha, kau seperti katak dalam sumur. Hendak kulihat sampai di mana kepandaianmu!"

Adapun Pek-eng Sianjin ketika mendengar dan melihat sikap Kiam Ki Sianjin, segera teringat bahwa dia telah berlaku pengecut sekali, maka dengan muka merah dia pun berkata,

"Anak muda, biarpun aku tidak ikut turun tangan ketika gurumu mampus, aku hadir pula di sana. Habis kau mau apakah?" Sambil berkata demikian, Pek-eng Sianjin mencabut pedangnya dan bersikap gagah.

"Nanti dulu, Pek-eng Toyu, pinto yang menjadi tuan rumah dan pinto yang berhak memberi hajaran kepada pemuda kurang ajar ini!" Kiam Ki Sianjin mencegah dan dia melangkah maju menghadapi Kwan Cu dengan sikap menantang. "Lu Kwan Cu, apakah kau berani menerima tantanganku sebagai tuan rumah di sini? Mari kau layani aku barang sepuluh jurus atau kalau kau tidak berani, kau harus minta maaf kepada kami dan kau boleh pergi. Kami akan memberi ampun kepadamu mengingat bahwa kau sudah berjasa membinasakan keluarga An yang menjadi musuh kami pula."

Kwan Cu marah sekali, akan tetapi bibirnya tetap tersenyum. la bersikap tenang karena maklum bahwa dia menghadapi seorang yang berkepandaian tinggi.

"Kiam Ki Sianjin! Kita pernah bertemu sekali dan pedangmu telah kupatahkan. Apakah kau masih ada muka untuk mencoba kepandaianku pula? Ingat, kali ini bukan pedangmu yang akan kupatahkan, mungkin lehermu yang panjang itu! Urusanku dengan keluarga An tiada sangkutpautnya denganmu, juga urusanku dengan Pek-eng Sianjin.

Aku tidak hendak bermusuhan denganmu di sini, kecuali aku membantu perjuangan rakyat dan kau menjilati pantat raja asing! Akan tetapi kalau kau masih penasaran akan kepandaianmu sendiri yang masih dangkal, marilah, aku akan melayani segala macam lagu yang hendak kaunyanyikan!"

Kiam Ki Sianjin sudah maklum bahwa ilmu silat pemuda itu lihai sekali, bahkan dengan pedang hitamnya, dia tidak berhasil mengalahkan pemuda ini ketika dia bertemu untuk pertama kalinya dengan Kwan Cu di ruang pertemuan istana. Maka kini dia berlaku cerdik dan dia hendak mencegah Kwan Cu mengeluarkan ilmu pukulanpukulan yang aneh-aneh itu. Ia menyambar sebuah meja pada kakinya dan berkata, "Kita memang tidak ada alasan untuk saling bunuh. Mari kita mencoba-coba saja kepandaian menggunakan meja ini.

Kau pilihlah sebuah meja sebagai senjata!" Kiam Ki Sianjin sengaja memilih senjata yang aneh dan kaku ini karena sesungguhnya dia telah mempelajari dengan baiknya cara mempergunakan meja, bangku atau kursi sebagai senjata, yakni untuk menjaga serangan tiba-tiba pada saat dia tidak bersiap dengan senjata tajam. la telah melatih diri dan menciptakan bermacam ilmu silat tinggi dengan perabot rumah tangga ini, maka sekarang dia hendak mempergunakan kesempatan baik ini untuk memuaskan penasaran hatinya, hendak membalas kekalahannya dengan senjata meja yang bagi orang lain tentu kaku akan tetapi baginya menguntungkan itu. la sudah siap dengan sindiransindiran dan menyatakan bahwa lawannya takut kalau saja Kwan Cu akan menolak penggunaan senjata yang aneh itu.

Akan tetapi, Kwan Cu adalah seorang pemuda yang sudah menguasai segala macam ilmu silat pada pokok dasarnya yang dipelajari dari kitab Im-yang Bu-tek Cinkeng, maka sambil tersenyum dia menyambar sebuah meja pada kakinya pula dan berkata, "Baik, Kiam Ki Sianjin. Aku menerima tantanganmu!"

Pemuda ini menoleh kepada Pek-eng Sian-jin dan berkata, "Tosu siluman, biarlah kau bernapas lega untuk beberapa lama, karena nyawamu masih diperpanjang sebentar lagi!"

"Jangan banyak mengobrol, lihat senjataku!" Kiam Ki Sianjin membentak sambil mengayun mejanya, mulai dengan serangan yang amat ganas dan hebat.

Kwan Cu terkejut. Tak disangkanya bahwa dengan sebuah senjata seperti itu, Kiam Ki Sianjin dapat melakukan serangan yang benar-benar hebat sekali, tidak kalah hebatnya dengan serangan senjata tajam yang lain. Ia cepat melompat untuk,menghindarkan diri, tidak berani menangkis sebelum mempelajari cara Kiam Ki Sianjin melakukan penyerangannya. Meja itu mukanya bundar dan dengan memegangi kaki meja, Kiam Ki Sianjin melakukan serangan-serangan dari balik meja sehingga bagi Kwan Cu sulit pula untuk melihat pergerakan pundak dan paha lawannya! Inilah yang dikehendaki oleh Kiam Ki Sianjin.

Ia dapat menduga bahwa Kwan Cu tentulah awas sekali dan dapat melihat arah serangan-serangannya sebagaimana pernah dia alami ketika dia mempergunakan pedang untuk menyerang pemuda itu. Maka dia memilih meja yang bermuka bundar itu sehingga meja itu merupakan perisai dan dapat mengatur siasat serangannya! Untuk belasan jurus, Kwan Cu hanya mengandalkan kegesitan tubuhnya mengelak ke sana ke mari. Pukulanpukulan dengan meja itu benar-benar hebat sekali, angin pukulannya sampai terasa oleh tiga orang kakek yang menonton pertempuran. Bahkan beberapa batang lilin yang menyala di meja lain telah padam oleh tiupan hawa pukulan itu! Kiam Ki Sianjin adalah seorang ahli silat yang sudah memiliki tingkat ilmu silat yang tinggi, tidak akan kalah tinggi kiranya oleh tingkat dari lima tokoh besar, sungguhpun namanya tidak begitu terkenal seperti nama mereka. oleh karena itu, ketika dahulu dia dikalahkan oleh Kwan Cu, hatinya sakit dan penasaran bukan main. la prihatin sekali karena kalah oleh seorang pemuda yang masih hijau, maka semenjak saat itu, dia lalu melatih diri dengan luar biasa rajinnya, bahkan memperpanjang waktu samadhinya dan memperhebat latihan napas untuk memperkuat tenaga lweekangnya.

Tidak aneh bahwa sekarang ketika menghadapi Kwan Cu, Kiam Ki Sianjin seakan-akan seorang dengan tenaga baru. Dia memang sudah siap dan kini dengan penuh nafsu dia hendak membalas kekalahannya yang dulu. Kwan Cu merasa kagum sekali. Gerakan tosu tua itu menurutkan gerakan ilmu silat tinggi yang lihai. Bagaimana seorang dapat mempergunakan meja dengan gerak-gerak tipu yang demikian teratur baik? Tak salah lagi, kakek ini tentu sudah menciptakan ilmu silat yang sengaja dimainkan dengan perabot rumah tangga ini. Kwan Cu yang cerdik tidak kekurangan akal. Ia segera mengerahkan ginkangnya dan tiba-tiba tubuhnya bagaikan seekor burung saja, melayang ke atas dan tiap kali datang serangan meja dari Kiam Ki Sianjin, Kwan Cu mengelak dengan lompatan tinggi sehingga kepalanya hampir mengenai langit-langit! Dari atas barulah dia dapat melihat kepala dan pundak lawannya dan dengan demikian, dia dapat melihat macam gerakan dari serangan lawannya itu. Otaknya memang sudah menjadi tajam dan pengingat betul setelah dia membaca habis kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, maka sekali melompat, berarti satu kali dia mendapat sejurus ilmu silat meja itu.

Menghadapi kegesitan pemuda itu, Kiam Ki Sianjin menjadi penasaran dan juga kewalahan. Mejanya tak pernah mengenai sasaran. Ketika untuk ke sekian kalinya dia menyerang dan Kwan Cu mengelak sambil melompat ke atas, dia memburu dan cepat menghantam kedua kaki Kwan Cu yang masih berada di tengah udara.

"Roboh kau!" seru Kiam Ki Sianjin.

"Sabar, orang tua," jawab Kwan Cu yang cepat menggerakkan kedua kakinya ke kanan kiri, dipentang untuk meluputkan kedua kaki itu dari pukulan meja yang dilakukan dengan cepat dan bertenaga. Adapun meja yang dipegang oleh tangan kanannya, lalu dipukulkan ke bawah untuk melindungi tubuhnya yang melayang turun.

"Bagus sekali!" Kiam Ki Sianjin tak terasa lagi memuji saking kagumnya melihat betapa dengan mudah pemuda itu lagi-lagi dapat menggagalkan serangannya.

Akan tetapi tiba-tiba Kiam Ki Sianjin mengeluarkan seruan tertahan ketika Kwan Cu secara mendadak membalas serangan-serangannya yang semenjak tadi hanya dielakkan oleh Kwan Cu. Bukan berseru kaget dan heran karena hebatnya serangan pemuda itu, melainkan heran karena pemuda itu mainkan silat meja yang tadi dimainkannya! Ilmu silat meja itu adalah ciptaannya sendiri, bagaimana pemuda ini dapat meniru sedemikian baiknya? Apakah di waktu dia berlatih dalam kamarnya, pemuda ini diam-diam mengintainya? Terpaksa Kiam Ki Sianjin menangkis meja lawan dengan mejanya. Semenjak tadi, biarpun keduanya mempergunakan senjata meja yang demikian besar, belum satu kalipun juga dua meja itu bertemu. Hal ini disengaja oleh Kwan Cu yang hendak mempergunakan ginkangnya untuk dapat meneliti dan mempelajari ilmu silat lawan yang aneh. Sekarang setelah dia sendiri yang menyerang, lawannya menangkis keras. Dua meja bertumbukan di udara.

"Krakkk!" Dan meja di tangan Kiam Ki Sianjin jatuh ke atas lantai. Ternyata bahwa kaki meja yang dipegang oleh kakek ini telah patah dan kini tertinggal di tangannya. Juga sebuah kaki meja yang berada di tangan Kwan Cu patah, namun yang patah adalah kaki meja lain, bukan yang sedang dipegangnya sehingga "senjata" itu masih berada di tangannya.

Muka Kiam Ki Sianjin merah sekali. la tahu bahwa dalam pertemuan meja tadi dengan cara yang amat cerdik dan tidak terlihat olehnya, Kwan Cu telah menggunakan tangan kirinya memukul meja dan berkat lweekang yang sudah matang pemuda itu berhasil mematahkan kaki meja yang dipegang oleh lawannya. Sebenarnya, Kiam Ki Sianjin masih penasaran dan hendak mencoba lagi, akan tetapi karena sudah terang bahwa meja yang dipegangnya jatuh di atas lantai, maka dia merasa malu untuk mengambilnya kembali. Terpaksa dia lalu tersenyum pahit dan berkata, "Lu Kwan Cu enghiong, kau benar-benar hebat. Biarlah lain kali kalau ada kesempatan, pinto minta pengajaran darimu." .

Kwan Cu memang tidak ada niat memusuhi kakek ini.

Dia tidak suka bermusuhan dan tidak mau mencari perkara dengan orang-orang tanpa alasan dan sebab yang kuat.

Maka dia pun menjura dan berkata sungguh-sungguh, "Kiam Ki Sianjin, kepandaianmu benar-benar tinggi dan aku yang muda dan bodoh benar-benar kagum sekali.

Sekarang aku mohon perkenanmu sebagai tuan rumah untuk berurusan dengan Pek-eng Sianjin. Dia masih mempunyai perhitungan yang harus dibayar lunas." Kwan Cu lalu menoleh kepada Pek-eng Sianjin dan berkata mengejek, "Pek-eng Sianjin, marilah kita keluar dari rumah orang supaya kita dapat membereskan perhitungan!"

Pek-eng Sianjin menjadi pucat wajahnya. Ia maklum bahwa kalau Kiam Ki Sianjin saja tidak dapat merobohkan pemuda ini, apalagi dia. Tanpa malu-malu dia lalu berka ta kepada Kwan Cu, "Orang muda, kalau kau bermaksud membalas dendam atas kematian Ang-bin Sin-kai, kau telah berlaku ngawur saja kalau menantang pinto. Ketahuilah bahwa sesungguhnya pinto tidak menjatuhkan sebuah jari pun juga atas diri Ang-bin Sin-kai, dan yang membikin gurumu itu tewas hanyalah Hek-i Hui-mo, Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, dan Toat-beng Hui-houw. Kalau tidak percaya, kauboleh tanya kepada Kiam Ki Sianjin atau kepada siapapun juga."

Kwan Cu merasa ragu-ragu, dia tidak mau menurunkan tangan kepada orang yang benar-benar tidak berdosa.

"Kiam Ki Sianjin, benarkah keterangannya itu?"

"Memang begitulah sepanjang yang pinto dengar, akan tetapi pinto tidak menyaksikan sendiri, bagaimana pinto dapat menanggung?" jawab Kiam Ki Sianjin. Sebetulnya, tosu ini biarpun tidak melihat sendiri, tahu bahwa memang benar Pek-eng Sianjin tidak ikut membunuh Ang-bin Sinkai.

Akan tetapi sikap Pek-eng Sianjin dianggapnya amat pengecut dan memalukan, maka dia sengaja memberi jawaban bercabang.

"Betapapun juga, kau adalah kaki tangan para pembunuh suhu, akan tetapi aku mau percaya asal saja kau suka bersumpah bahwa kau tidak ikut mengeroyok suhu," akhirnya Kwan Cu berkata sambil memandang tajam kepada Pek-eng Sianjin.

Pucatlah muka Pek-eng Sianjin. Ia adalah seorang tokoh persilatan yang sudah ternama juga, kini kata-katanya tidak dipercaya oleh seorang bocah, inilah penghinaan yang amat besar. Akan tetapi dia tidak mempunyai pilihan yang baik.

Kalau dia menolak untuk bersumpah, dia harus menghadapi Kwan Cu dan dia tahu kalau hal itu terjadi, dia akan mendapat malu dan hinaan lebih hebat lagi. Biarlah sekarang dia menderita hinaan orang, masih ada waktu kelak untuk membalasnya, pikirnya. Dengan muka sebentar pucat sebentar merah dia lalu berkata, "Pinto bersumpah bahwa pinto tidak ikut mengeroyok Ang-bin Sin-kai, demi kehormatan dan nama baik pinto."

Kwan Cu tertawa bergelak, hatinya puas. Memang manusia seperti Pek-eng Sianjin yang sudah dia ketahui kwalitasnya sebagai manusia bejat akhlak, harus diberi hajaran, biarpun dia tidak mendapat kesempatan menghajar jasmaninya, setidaknya dia telah memberi tamparan kepada batinnya.

"Pek-eng Sianjin, baik sekali kau mau bersumpah.

Sebetulnya memang tak perlu kau bersumpah, karena aku dapat menduga bahwa kau takkan mampu dan berani mengeroyok mendiang guruku dengan kepandaianmu yang masih dangkal itu." Kembali Kwan Cu tertawa.

Menggigil tubuh Pek-eng Sianjin saking hebatnya gelora marahnya. Ia telah dipermainkan dan dihina secara hebat oleh pemuda ini, maka dengan mata bernyala-nyala dia berkata, "Lu Kwan Cu, untuk membalas hinaanmu itu, aku menantangmu untuk mengadu kepandaian denganmu sebulan lagi di tempat kediamanku di Bukit Leng-san.

Beranikah kau datang ke sana memenuhi tantanganku?"

Kwan Cu tersenyum menyindir. "Kau kira aku tidak tahu bahwa di sana kau tentu akan menantikan dengan kawan-kawanmu untuk mengeroyok? Akan tetapi jangan khawatir, aku pasti datang tepat pada waktunya. Kau tunggu sajalah!"

Tanpa mengeluarkan kata-kata lagi, Pek-eng Sianjin lalu pergi dari tempat itu, juga sama sekali tidak menoleh kepada Kiam Ki Sianjin. Hatinya mendongkol sekali karena Kiam Ki Sianjin sama sekali tidak membelanya ketika dia dihina oleh Kwan Cu.

Sebelum Kwan Cu pergi, hwesio gundul yang semenjak tadi memandang semua sepak terjang Kwan Cu, segera mengebutkan lengan bajunya dan menghadapinya sambil tersenyum.

"Nanti dulu, orang muda. Kau yang masih begini muda memiliki kepandaian tinggi dan watak yang sombong pula.

Benar-benarkah pendengaran pinceng bahwa kau adalah murid Ang-bin Sin-kai si pengemis itu?"

Kwan Cu melirik. Baru sekarang dia memperhatikan hwesio ini. Tubuh hwesio ini pendek bundar, mulutnya selalu tersenyum dibuat-buat dan pakaian pendetanya terbuat daripada kain mahal dan mewah. Sinarnya matanya memandang rendah sekali, karena memang sesungguhnya hwesio ini tidak percaya kalau pemuda sehijau ini memiliki kepandaian yang dapat mengalahkan Kiam Ki Sianjin.

"Losuhu siapakah dan ada maksud apa mengajak bicara kepadaku?" jawab Kwan Cu acuh tak acuh, akan tetapi dia menunda kepergiannya.

Hwesio itu lalu merangkapkan kedua tangannya memberi hormat kepada Kiam Ki Sianjin sambil berkata, "Kiam Ki Toyu, kau sebagai tuan rumah dan pinceng sebagai tamu, sudah seharusnya pinceng minta perkenanmu untuk bermain-main sebentar dengan pemuda ini. Sudah lama pinceng mendengar tentang kepandaian Ang-bin Sinkai, sayang sekali sebelum mencoba kepandaiannya, dia telah keburu meninggal dunia. Sekarang, secara kebetulan bertemu dengan muridnya di sini, pinceng ingin sekali menguji warisan ilmu silat dari pengemis itu."

Tentu saja Kiam Ki Sianjin tidak keberatan, bahkan diam-diam dia merasa girang sekali. Ia sudah tahu dan merasai kelihaian Kwan Cu, maka sekarang dia dapat melihat sampai di mana kehebatan hwesio ini, karena dalam waktu-waktu yang akan datang, dia mengharapkan bantuan hwesio ini. Ia lalu memandang kepada Kwan Cu dan berkata, "Orang muda she Lu, ketahuilah bahwa Losuhu adalah Bian Ti Hosiang dari Bu-tong-pai. Bian Ti Losuhu menyatakan hendak mengadakan sedikit permainan silat denganmu, apakah kau berani menghadapinya?"

Memang Kiam Ki Sianjin orangnya cerdik. Kalau saja dia bertanya apakah Kwan Cu suka menghadapi hwesio itu, Kwan Cu tentu saja menyatakan tidak sudi, karena memang pemuda ini tidak ingin bertempur dengan orangorang yang tiada urusan dengan dia. Akan tetapi dia sengaja bertanya apakah Kwan Cu berani menghadapi tokoh Bu-tong-pai itu, maka tidak ada jalan lain bagi pemuda itu kecuali menerima! "Orang sudah memaksa untuk memamerkan kepandaiannya, tentu saja aku yang muda berterima kasih akan diberi pelajaran," jawab Kwan Cu sambil tersenyum dan memandang kepada Bian Ti Hosiang.

Hwesio ini mencabut pedangnya dan berkata, "Omitohud, hari ini pinceng benar-benar gembira dapat mencoba kepandaian mendiang Ang-bin Sin-kai. Lu-sicu, keluarkanlah pedangmu yang kausembunyikan di balik jubahmu itu."

Kwan Cu terkejut. Ia memang membawa pedang Liongcoan- kiam, peninggalan dari kakeknya, Menteri Lu Pin, akan tetapi dia sengaja menyimpan pedang itu. Ia telah mengambil keputusan untuk mempergunakan pedang itu hanya jika menghadapi musuh-musuh besarnya. Tadi dalam menewaskan An Kong dan An Lu Kui, dia tidak perlu mengeluarkan pedang Liong-coan-kiam karena kepandaian mereka masih amat rendah baginya. Kalau kelak dia bertemu dengan Hek-i Hui-mo, Jeng-kin-jiu, atau juga Toat-beng Hui-houw, barulah dia akan menggunakan Liong-coan-kiam. Kini hwesio gemuk ini dapat mengetahui bahwa dia membawa-bawa sebatang pedang, hal itu menandakan bahwa mata hwesio ini tajam sekali. Ia pun sudah pernah mendengar nama Bian Ti Hosiang dari mendiang Ang-bin Sin-kai, dan tahu bahwa dia kini berhadapan dengan tokoh ke dua dari Bu-tong-pai. Maka dia lalu menjura sambil tertawa.

"Ah, tidak tahunya boanpwe (aku yang rendah) berhadapan dengan Bian Ti Ho-siang Locianpwe dari Butong- pai. Kiam-hoat {ilmu pedang) dari Bu-tong-pai sudah tersohor di seluruh jagad, mana boanpwe berani mengimbangi ilmu pedang itu dengan ilmu pedang lain? Apalagi di antara boanpwe dan Locianpwe tidak terdapat permusuhan sesuatu, maka biarlah untuk main-main sebentar boanpwe mempergunakan ini." Kwan Cu mencabut keluar sulingnya pemberian Hang-houw-siauw Yok-ong. Sulingnya ini tidak dirampas oleh bajak sungai.

Mendengar kata-kata Kwan Cu, Bian Ti Hosiang diamdiam kagum akan sikap pemuda yang pandai membawa diri dan ternyata dapat bersopan santun, berbeda dengan kata-kata yang ditujukan kepada Pek-eng Sianjin tadi. Akan tetapi, di samping kekagumannya, dia juga merasa tidak enak sekali. Dia, tokoh ke dua dari Bu-tong-pai, yang dijuluki Pek-lek-kiam (Si Pedang Kilat), kini dihadapi oleh seorang pemuda yang hanya memegang sebatang suling bambu! Ia ragu-ragu, akan tetapi Kiam Kl Sianjin segera tersenyum berkata, "Bian Ti Suhu, dia telah memandang rendah kepadamu, mengapa tidak lekas-lekas mulai dan membabat putus sulingnya untuk menghancurkan kesombongannya?"

Bian Ti Hosiang teringat bahwa hal ini adalah kehendak pemuda itu sendiri. Kalau dia bergerak cepat, dalam satu dua jurus saja pasti dia akan membabat putus suling itu dan hal ini saja sudah membuktikan akan keunggulannya. Ia segera membentak keras untuk menimbulkan pengaruh lweekangnya, "Lu-sicu, bersiaplah menghadapi pedangku!" Bentakan ini disusul oleh sebuah tusukan ke arah dada Kwan Cu, akan tetapi tusukan ini dilakukan sedemikian rupa sehingga kalau pemuda itu menangkis, dia akan membabat suling sekuat tenaga. Inilah gerak tipu Tian-kiam-kiat-ciang (Mengulur Pedang Memotong Tangan), sebuah tipu dari Ilmu Pedang Bu-tong Kiam-hoat yang lihai.

Namun siasat ini terhadap Kwan Cu tidak mempan sama sekali karena pemuda ini sudah tahu akan maksud lawan sungguhpun dia belum mengenal jurus ini. Maka alangkah kagetnya hati Bian Ti Hosiang ketika tiba-tiba pemuda itu miringkan tubuh lalu menyusul dengan serangan balasan yang sama, yakni menggunakan Tiankiam- kiat-ciang yang sama baiknya dengan gerakannya.

Bahkan pemuda yang bergerak belakangan ini, jauh lebih cepat dari dia. Sulingnya ditusukkan ke dada, lalu sebelum pedang hwesio itu membabat suling, suling itu sudah lebih dulu digerakkan menyamping membabat pedang! Sungguh lucu sekali kalau melihat tarikan muka hwesio gemuk itu ketika pedangnya yang hendak membabat suling kini bahkan didahului oleh suling itu.

Pedangnya tergetar ketika beradu dengan suling dan K wan Cu yang cerdik tentu saja tidak mau mengadukan sulingnya dengan mata pedang yang tajam. Namun dalam pertemuan senjata ini, dia sudah mengukur kekuatan lawan dan tahulah dia bahwa dengan ilmu lweekang yang dia pelajari dari Im-yang Bu-tek Cin-keng dan yang sekarang sudah secara otomatis mendarah daging dengan tubuhnya, kekuatan lawannya cukup dia tandingi dengan lima bagian saja dari lweekangnya. Maka dia menjadi lebih tabah menghadapi pedang lawan.

Bian n Hosiang menduga bahwa secara kebetulan saja pemuda aneh itu mempunyai gerak tipu yang sama atau hampir sama atau hampir sama dengan Tian-kiam-kiatciang, atau memang kebetulan pemuda itu pernah melihat atau mempelajari gerakan ini. Maka dia lalu memutar pedangnya dan kini dia mengeluarkan gerak tipu dari ilmu pedang Hoa-khai-tiauw-yang (Bunga Mekar MenghadapMatahari). Ilmu pedang ini boleh dibilang adalah ilmu pedang simpanan, dan tidak diajarkan kepada sembarang murid. Hebatnya bukan main, juga amat indah, sesuai dan tepatlah julukan Pek-lek-kiam (Si Pedang Kilat) ketika dia memainkan Hoa-khai-tiauw-yang ini. Pedang itu lenyap dan yang kelihatan hanyalah sinar kilat bergulunggulung mengitari tubuh Kwan Cu.

Sebelum - Beranda - Lanjut

Tidak ada komentar:

Posting Komentar