"Ibu, Ayah, aku pulang ke sini untuk seterusnya, aku telah meninggalkan Cin-ling-san bersama Kui Hong dan aku tidak akan kembali lagi ke sana."
Suami isteri itu saling pandang, mengerti bahwa telah terjadi sesuatu yang menimbulkan percekcokan antara puteri dan mantu mereka. Percekcokan antara suami isteri adalah hal yang wajar saja, dan tidak sepatutnya kalau sampai membuat puteri mereka mengambil keputusan untuk meninggalkan rumah suami dan tidak akan kembali lagi. Tentu terjadi hal yang lebih hebat daripada sekedar cekcok saja.
"Engkau cekcok dengan suamimu?" Toan Kim Hong bertanya, hati-hati. Ia dan suaminya adalah orang-orang yang telah banyak makan garam dunia dan mereka bijaksana, maklum bahwa biarpun mereka adalah orang tua, namun mereka tidak berhak mencampuri urusan antara suami dan isteri, sungguhpun isteri itu adalah anak mereka sendiri. Mencampuri hanya akan membuat suasana menjadi semakin keruh. Betapa banyaknya perhubungan suami isteri menjadi retak, perkawinan menjadi perceraian karena pihak orang tua dan keluarga mencampuri urusan suami isteri itu. Orang tua yang bijaksana tidak akan menuruti perasaan yang menimbulkan emosi, tidak akan berpihak, melainkan berdiri di tengah-tengah, tidak berat sebelah dan selalu disertai pamrih untuk menyatukan kembali suami isteri yang akan retak itu. Begitu orang tua atau keluarga berpihak, keretakan akan menghebat dan disusul perceraian dan permusuhan. Bukan tak mungkin suami dan isteri hari ini cekcok dengan hebat akan tetapi pada keesokan harinya sudah saling berkasih-kasihan. Akan tetapi, orang tua dan keluarga merupakan orang luar dan sekali mereka ini terjun dan mencampuri, sekali cekcok dengan pihak besan, mungkin selamanya takkan dapat akur kembali! Percekcokan antara suami dan isteri seperti percekcokan kanak-kanak.
Ditanya oleh ibunya apakah dia cekcok dengan suaminya, Sui Cin menggeleng kepalanya tanpa menjawab. Kembali kakek dan nenek itu saling pandang dan mereka mengerutkan alis. Kalau tidak cekcok dengan suaminya, tentu cekcok dengan keluarga suaminya. Mereka teringat akan watak ayah mertua puterinya, yaitu Cia Kong Liang yang keras.
"Apakah cekcok dengan ayah mertuamu?" Ceng Thian Sin kini bertanya.
Sui Cin mengangguk dan kembali dua titik air mata jatuh ke atas pipinya.
Dengan bijaksana, Toan Kim Hong mencela puterinya sendiri dengan maksud mengingatkan, "Anakku, ayah mertuamu tiada bedanya dengan ayah sendiri, oleh karena itu perlu ditaati semua kehendaknya dan jangan sekali-kali dibantah."
"Ibu!" kata Sui Cin penuh semangat perlawanan karena hatinya diliputi rasa penasaran. "Apakah segala kehendaknya harus ditaati, kehendak yang tidak baik sekalipun ?"
"Sui Cin, rasanya tidak mungkin kalau Cia Kong Liang yang gagah perkasa dan bijaksana itu mempunyai kehendak yang tidak baik!" kata Ceng Thian Sin, berlawanan dengan perasaannya sendiri karena dia pun seperti isterinya hendak menekan sikap perlawanan puterinya terhadap ayah mertuanya.
"Sesungguhnya, apa sih kehendak ayah mertuamu itu?" Toan Kim Hong mendesak karena ia pun ingin sekali tahu.
"Dia memaksa Hui Song untuk kawin lagi!"
"Apa?" Suami isteri terbelalak dan saling pandang. Mereka benar terkejut mendengar ini karena sama sekali tidak pernah mengira akan mendengar berita seperti itu. "Tapi... tapi kenapa? Bukankah dia telah menjadi suamimu, dan bukankah kalian hidup berbahagia dan saling mencinta?" nenek itu mendesak, kini mulai merasa penasaran.
"Kami hidup berbahagia, Ibu, dan tidak pernah terjadi percekcokan antara kami. Akan tetapi ayah mertuaku... dia ingin sekali mempunyai seorang cucu laki-laki, katanya untuk menyambung keturunan Cia, dan dia memaksa Hui Song untuk mengambil seorang gadis lain sebagai isteri ke dua, agar dapat mempunyai seorang keturunan laki-laki!"
"Ahhh ......!" Kembali kakek dan nenek itu saling pandang dan mereka menarik napas panjang, lalu menundukkan muka dengan alis berkerut. Tentu saja mereka berdua dapat mengerti perasaan hati Ketua Cin-ling-pai itu. Pada jaman itu, boleh dibilang hampir seluruh orang tua di empat penjuru akan berpendapat sama, yaitu mereka tidak ingin keturunan marga mereka terputus karena tidak mempunyai keturunan laki-laki. Kalau Ceng Thian Sin sendiri tidak bersikap seperti itu adalah karena dia lain daripada yang lain, dan dia amat mencinta isterinya. Tanpa bicara, keduanya dapat menerima tuntutan ayah mertua puteri mereka itu, dan mereka tidak dapat menyalahkan Cia Kong Liang.
Karena sebab percekcokan adalah karena Cia Kong Liang ingin memperoleh seorang cucu laki-laki, keduanya menjadi lemas dan merasa tidak berdaya, hanya merasa kasihan kepada puteri mereka yang bernasib malang karena tidak mempunyai keturunan laki-laki. Andaikata Sui Cin mempunyai seorang anak laki-laki, tentu tidak akan timbul masalah yang mencemaskan ini.
"Bagaimana dengan sikap Hui Song?" tanya ibunya, hati-hati.
Sui Cin menggerakkan pundaknya. "Entahlah. Ayahnya marah-marah dan menantangnya untuk memilih antara isteri dan ayah. Kalau Hui Song tidak mau, dia boleh pergi bersama keluarganya dan tidak akan diaku anak lagi, dan ayahnya akan mengangkat orang lain sebagai puteranya! Ketika aku pergi, Hui Song berada dalam keadaan bimbang dan ragu. Aku katakan kepadanya bahwa aku dan Kui Hong akan pergi ke sini. Kalau dia menikah lagi, dia tidak boleh menyusul kami di sini, dan aku tidak akan kembali ke sana sebelum dia datang menyusul."
Sui Cin lalu menceritakan peristiwa percekcokan yang terjadi di Cin-ling-pai itu, didengarkan oleh ayah dan ibunya yang menjadi lemas. Urusan itu terlalu pelik dan mereka tidak tahu harus berbuat apa.
Melihat ayah dan ibunya diam saja, Sui Cin merasa khawatir juga kalau-kalau mereka itu menyalahkannya, maka ia pun bertanya, "Bagaimana, Ayah dan Ibu? Apakah keliru tindakanku pulang ke sini dan tidak menyetujui kalau Hui Song kawin lagi?"
Ayahnya menarik napas panjang. "Sui Cin, bagaimanapun juga, ayah dan Ibumu tak mungkin dapat menyalahkan ayah mertuamu karena pendapat umum memang membuat setiap orang tua ingin mempunyai penyambung keturunan ...."
"Tapi Ayah juga tidak mempunyai anak laki-laki!" Sui Cin memotong penasaran.
Ayahnya tersenyum dan ibunya yang menjawab, "Jangan masukkan ayahmu, Sui Cin karena dia adalah lain daripada yang lain. Kami cukup puas walaupun tidak mempunyai anak laki-laki dan sebagai gantinya kami mempunyai seorang murid laki-laki yang amat baik, yaitu sutemu Ki Liong. Kami tak dapat menyalahkan ayah mertuamu seperti yang dikatakan ayahmu. Sekarang terserah kepada Hui Song karena dia yang harus mengambil keputusan."
"Kasihan Hui Song, dialah yang menanggung paling berat." kata Ceng Thian Sin. "Dia yang menjadi serba salah."
"Kalau menurut Ayah bagaimana? Jalan mana yang harus diambilnya? Mentaati ayahnya kehilangan isteri, ataukah menuruti isterinya dan kehilangan ayah? Harap Ayah jujur menjawabnya."
Pendekar itu menghela napas panjang. Dia mengenal benar watak puterinya yang amat keras, sekeras dia dan isterinya ketika masih muda. Dia dapat maklum bahwa seorang wanita dengan watak seperti Sui Cin tentu tidak mau dimadu dengan alasan apapun juga.
"Ah, aku tidak dapat memutuskan, Sui Cin, karena dalam hal ini, apa pun yang dilakukan Hui Song, dia bersalah! Kalau dia menuruti keinginanmu dan tidak menikah lagi sehingga kehilangan ayah, berarti dia tidak berbakti kepada ayahnya. Sebaliknya kalau dia mentaati ayahnya dan menikah lagi sehingga kehilangan isteri, berarti dia tidak mencinta isterinya! Sungguh celaka baginya, maju salah mundur salah, diam saja pun tidak mungkin."
Sui Cin mengerutkan alisnya. "Tidak, aku tidak sudi mengalah. Kalau memang dia mau menikah lagi, biarlah, akan tetapi aku pun tidak mau kembali ke sana!"
Sementara itu Kui Hong berada di lian-bu-thia bersama Ki Liong. Biarpun pemuda itu termasuk paman gurunya, namun karena usia Ki Liong baru dua puluh tahun, Kui Hong merasa cocok dengannya, apalagi karena pemuda itu bersikap sopan dan ramah sekali. Juga pemuda itu rendah hati, biarpun sebagai susiok (paman guru) tidak akan salah kalau dia memanggilnya dengan namanya saja, namun Ki Liong menyebutnya Nona! Hal ini menyenangkan hati Kui Hong, menghilangkan rasa penasaran dan tidak puasnya tadi harus menyebut susiok kepada orang yang masih begitu muda. Apalagi melihat Ki Liong melatih jurus-jurus Pat-hong Sin-kun yang memang sulit, diam-diam Kui Hong mentertawakannya. Ia merasa lebih unggul kalau bermain ilmu silat sakti Delapan Penjuru Angin itu. Tentu saja, karena ia digembleng ayah ibunya sejak berusia lima enam tahun, sudah sepuluh tahun lamanya ia berlatih ilmu silat keluarganya, sedangkan Ki Liong baru berlatih selama enam tahun saja.
Ketika Ki Liong bersilat sampai pada puncak ilmu itu, yaitu jurus Pat-hong-hong-i (Delapan Penjuru Angin Hujan), nampaknya pemuda itu agak bingung, terutama sekali pada pergerakan kaki. Pukulan ini memang sulit karena kedua tangan memukul bertubi-tubi ke arah delapan penjuru angin, membuat tubuh itu berpusing dan gerakan berpusing inilah yang membuat dia bingung bagaimana sebaiknya mengatur kedua kakinya. Setelah mengulang gerakan itu sampai empat kali belum juga berhasil, tiba-tiba Kui Hong yang sejak tadi nonton di pinggiran, tertawa.
"Kalau dilanjutkan engkau bisa jatuh terjegal kaki sendiri!"
Agaknya pemuda itu baru teringat bahwa di situ terdapat orang lain yang melihat dia berlatih, dan teringat bahwa yang nonton ini adalah puteri dari seorang ahli silat keluarga itu, yaitu sucinya.
"Ah, aku sampai lupa bahwa engkau tentu ahll dalam ilmu silat ini, Nona Kui Hong!" katanya menghentikan gerakannya. "Karena itu aku mengharapkan petunjukmu karena jurus ini terasa amat sulit bagiku. Aku lupa lagi bagaimana harus mengatur kaki walaupun tadi sudah dijelaskan dengan teliti oleh Suhu."
"Hi-hi-hik, mana ada seorang Paman Guru bertanya tentang ilmu silat kepada murid keponakannya? Tidak terbalikkah ini, Susiok? Sepatutnya aku yang minta petunjuk darimu." Gadis ini memang berwatak polos dan berandalan, seperti ibunya di waktu mulda.
"Aih, Nona. Kita menjadi paman guru dan murid keponakan hanya karena kebetulan saja. Aku baru enam tahun berguru kepada kakek dan nenekmu, sedangkan engkau sejak kecil sampai sekarang telah dilatih ilmu silat keluargamu oleh ibumu. Tolonglah agar aku dapat melakukan gerakan ini dengan baik."
Melihat sikap pemuda itu yang selalu merendah, tidak malu-malu bertanya kepada murid keponakannya, Kui Hong menjadi girang. "Baiklah, akan tetapi memang jurus Pat-hong-hong-i ini sukar sekali. Coba akan kulakukan, harap kaulihat baik-baik. Akan tetapi gerakanku juga belum begitu sempurna, Susiok." Gadis itu lalu memainkan jurus itu, gerakannya lincah dan ketika tubuhnya berpusing, nampak indah dan cekatan seolah-olah ia sedang menari-nari saja. Diam-diam Ki Liong memperhatikan dan dia pun segera dapat melihat kekeliruannya. Seharusnya dia menggunakan ujung jari-jari kaki untuk berdiri dan berpusing sehingga gerakan kakinya ringan dan mudah untuk berpusing.
Akan tetapi Ki Liong tetap saja tidak mampu melakukan gerakan itu dengan baik, bahkan kini tangannya nampak kaku. Kui Hong maju untuk memberi petunjuk, bahkan memegang tangan pemuda itu dan memperlihatkan bagaimana seharusnya gerakan itu, mengatur pula kedua kakinya. Makin kacau agaknya gerakan Ki Liong. Akan tetapi akhirnya, setelah diajak untuk melakukan gerakan itu bersama, barulah pemuda itu mulai dapat melakukan gerakan jurus Pat-hong-hong-i dengan benar.
"Nah, sekarang baru benar, tinggal mematangkan dalam latihan saja, Susiok."
Ki Liong kini menghadapi gadis itu dengan muka merah dan matanya mencorong aneh, lalu menjura dan tersenyum. "Terima kasih, Nona Kui Hong. Engkau sungguh seorang murid keponakan yang lihai, baik hati dan... cantik jelita. Sungguh aku beruntung sekali mempunyai murid keponakan seperti engkau, Nona."
Mendengar dirinya dipuji cantik jelita, Kui Hong merasa aneh. Warna merah menjalar perlahan ke leher dan mukanya. "Ihh, Susiok ini bisa saja memuji orang!" katanya. Dan tiba-tiba saja timbul keinginannya untuk mengajak paman guru itu berpi-bu (mengadu ilmu). Ia memang mempunyai kesukaan ilmu silat dan suka sekali mencoba semua orang yang dijumpainya, apalagi melihat betapa orang muda ini adalah paman gurunya! Melihat gerakan-gerakan Ki Liong, ia merasa yakin akan dapat memenangkan paman gurunya itu dan betapa akan puas dan girangnya kalau dapat menang melawan orang yang dipanggil paman guru.
"Susiok, mari kita main-main sebentar!" katanya sambil memasang kuda-kuda di depan pemuda itu.
"Eh, main-main bagaimana maksudmu, Nona?"
" Apalagi permainan orang-orang yang suka bersilat kecuali pi-bu?"
"Wah! Engkau mengajak aku untuk pi-bu? Mana aku berani, Nona?"
"Susiok, namanya saja pi-bu, akan tetapi di antara kita adalah orang-orang sendiri, maka yang kunamakan pi-bu itu sebetulnya hanyalah latihan bersama saja, bukan pertandingan. Mari kita berlatih bersama untuk menguji diri sendiri masing-masing sampai di mana kemajuan latihan-latihan yang kita lakukan. Tidakkah ini baik sekali?"
"Ah, begitukah?" Wajah yang tampan dan putih itu nampak berseri. "Kalau latihan bersama, tentu saja aku suka. Harap engkau suka banyak memberi petunjuk kalau gerakanku ada yang keliru, Nona."
"Baik, nah, awas, aku akan menyerangmu dengan Pat-hong-sin-kun yang kaulatih tadi!" Gadis remaja itu lalu bergerak, gesit dan cepat bukan main, menyerang dengan kedua tangannya. Ki Liong mengenal gerakan ini dan dia pun cepat mengelak, dan membalas dengan jurus lain dari ilmu silat Pat-hong-sin-kun. Kui Hong juga dapat mengelak dan membalas. Mereka segera serang-menyerang dalam ilmu silat itu dan Kui Hong mendapat kenyataan bahwa susioknya itu mampu mengelak dan menangkis semua serangannya dengan baik!
"Awas, aku menggunakan Thai-kek Sin-kun dan tenaga Thian-te Sin-ciang!" kata gadis itu dan menyerang lagi sambil mengubah permainan silatnya. Dan kembali ia kagum. Pemuda itu dapat pula mengelak dengan baik, bahkan ketika menangkis pukulan tangannya yang mengandung tenaga Thian-te Sin-ciang yang ampuh, ternyata pemuda itu memiliki tenaga yang amat kuat, bahkan demikian kuatnya sehingga pemuda itu mampu menggunakan tenaga Bian-ciang, yaitu tenaga sinkang yang membuat tangan pemuda itu lunak seperti kapas dan tenaga sinkang di tangan Kui Hong ketika beradu tangan seperti tenggelam ke dalam air saja! Kui Hong terkejut dan teringat bahwa memang pemuda itu adalah murid neneknya dan menurut ibunya, neneknya memiliki ilmu mujijat yang disebut Bian-kun (Tangan Kapas). Agaknya itulah Bian-kun! Ia merasa kalah karena pemuda itu menguasai ilmu yang tidak dikuasainya karena memang belum pernah dipelajarinya. Ibunya sendiri pun belum mempelajari ilmu itu yang menurut ibunya amat sulit dipelajari.
Memang sesungguhnya bahwa Ceng Sui Cin tidak mewarisi seluruh ilmu silat ayah ibunya. Bahkan ilmu-ilmu dari ayahnya, walaupun sudah hampir semua dipelajari, namun tidak dikuasainya dengan sempurna benar. Hal ini adalah karena ketika muda, Ceng Sui Cin menjadi murid mendiang Wu Yi Lojin, seorang di antara Delapan Dewa. Berbeda dengan Ki Liong yang begitu terjun ke dalam dunia persilatan, dia digembleng oleh kakek dan nenek itu sehingga dia dapat mencencurahkan seluruh perhatiannya untuk mematangkan ilmu-ilmu itu. dan diam-diam, dia yang memiliki amat baiknya itu telah melatih diri dengan tekun, menggembleng diri siang malam untuk suatu tujuan yang dicita-citakan semenjak dia di bawa ke Pulau Teratai Merah! Tadipun ketika dia berlatih Pat-hong-hong-i, dia lebih banyak berpura-pura kepada Kui Hong sehingga dipandang rendah oleh gadis ini. Padahal, dalam latihan-latihan ilmu silat, walaupun yang dikuasainya tidak sebanyak yang dikuasai Kui Hong, namun jelas lebih matang! Hebatnya, pemuda ini memang selalu merahasiakan kepandaiannya, dan dia pandai memilih jurus-jurus yang terampuh untuk dilatih sebaik mungkin sampai matang betul mendekati sempurna!
Karena Kui Hong tidak dapat mengalahkan pemuda itu dengan Thai-kek Sin-kun dengan tenaga Thian-te Sin-ciang, gadis ini menjadi penasaran. Dirobahnya lagi ilmu silatnya dengan San-in-kun-hoat yang amat lihai, namun pemuda itu telah menguasai pula ilmu silat ini dengan baik dan dapat mengimbanginya. Kui Hong menggantinya lagi dengan Pek-in-ciang. Pukulan tangannya mengeluarkan semacam uap putih, akan tetapi ketika pemuda itu menangkisnya dengan ilmu yang sama, Kui Hong terkejut melihat betapa uap putih yang keluar dari telapak tangan pemuda itu lebih tebal yang menjadi bukti bahwa dalam hal sin-kang pengerahan tenaga pukulan ini, ia masih kalah!
Pada saat itu, muncullah Ceng Thian Sin, Toan Kim Hong, dan Ceng Sui Cin dari dalam rumah. "Eh, apa yang kaulakukan itu, Kui Hong? Berhenti!" teriak Sui Cin melihat betapa puterinya menyerang Ki Liong kalang kabut, dan pemuda itu dengan tenangnya mengelak dan menangkis dengan baiknya.
Melihat munculnya mereka bertiga, Ki Liong cepat meloncat ke belakang dan menjura dengan hormat. "Nona Hong, ilmu kepandaianmu sungguh hebat, membuat aku kagum sekali."
"Ibu, aku hanya mengajak susiok untuk latihan bersama!" kata Kui Hong kepada ibunya, namun Ceng Sui Cin mengerti akan watak puterinya yang suka berpibu, dan tadi ia melihat betapa anaknya itu menyerang dengan sungguh-sungguh. Diam-diam ia sendiri merasa penasaran melihat betapa puterinya agaknya masih belum mampu menandingi pemuda itu, padahal menurut keterangan ayah ibunya, pemuda itu enam tahun belajar di situ. Kalau demikian, memang pemuda itu memiliki bakat yang baik sekali.
Setelah memberi hormat, Ki Liong lalu mengundurkan diri dengan alasan hendak membantu pekerjaan di ladang. Setelah pemuda itu pergi, nenek Toan Kim Hong berkata kepada puterinya. "Dia seorang anak yang baik dan rajin sekali. Selama enam tahun dia berada di sini, tak pernah mengecewakan, baik dalam ketekunannya berlatih silat maupun kerajinannya membantu pekerjaan di ladang atau mencari ikan."
"Benar, dia seorang murid yang baik dan tidak pernah mengecewakan," kata pula Pendekar Sadis. "Bagaimana, Kui Hog, ketika engkau latihan bersama dia?"
Kui Hong mengerutkan alisnya. "Ada yang aneh, Kong-ko (Kakek)."
"Aneh? Apanya yang aneh?" kakek itu bertanya.
"Ketika berlatih Pat-hong-hong-i, dia amat kaku sehingga aku harus memberi contoh gerakan itu yang benar, nampaknya dia belum begitu mahir. Akan tetapi ketika kami latihan bersama, dia mampu mengimbangi semua seranganku dan ternyata dia pandai sekali, dan tenaga sinkangnya pun amat kuat, bahkan dia mampu menggunakan Bian-ciang."
"Tentu dia amat hebat karena dia langsung digembleng oleh Kakek dan Nenekmu," kata Sui Cin, tidak bebas sama sekali dari perasaan iri.
Ayahnya tertawa. "Ha-ha, kemajuan seseorang dalam ilmu silat tergantung sepenuhnya kepada orang itu sendiri. Kalau dia berbakat dan rajin berlatih, tentu dia akan memperoleh kemajuan pesat."
Sementara itu, Ki Liong yang pergi ke ladang, ternyata tdiak mencangkul atau bekerja lain, melainkan duduk melamun di bawah pohon. Kadang-kadang dia tersenyum dan matanya mengeluarkan sinar mencorong aneh. Dia membayangkan semua yang telah dialaminya tadi, di lian-bu-thia. Masih nampak wajah yang cantik manis itu, dengan sepasang mata yang jeli dan bibir yang manis, masih tercium olehnya keharuman yang khas, bau kewanitaan yang keluar dari tubuh Kui Hong ketika mereka berlatih silat, masih terdengar suara merdu ketika gadis itu berkata-kata, dan masih terasa pada tangan dan lengannya kehangatan kengan tangan gadis itu ketika lengan dan tangan mereka bersentuhan. Ah, semua itu membangkitkan berahinya dan kalau saja gadis itu bukan puteri sucinya, kalau saja gadis itu tidak berada di pulau ini, di mana tentu saja dia harus berhati-hati dan tidak boleh sembarangan menurutkan hasrat hatinya, tentu akan diusahakan sekuat tenaga untuk mendapatkan gadis itu. Dia tahu bahwa dia telah jatuh cinta kepada Kui Hong, perasaan yang belum pernah selama ini dirasakan. Dia hanya mendengar saja dari percakapan para penghuni pulau tentang cinta antara pria dan wanita, dan belum pernah dia merasakannya sendiri. Belum pernah dia jatuh hati, dan kalau adakalanya dia tertarik oleh kecantikan seorang gadis pulau itu, maka perasaan ini ditahan dan ditekannya, karena dia harus memperlihatkan sikap yang paling baik disitu. Akan tetapi sekarang, bertemu dengan Kui Hong, dia sama sekali tidak mampu lagi menahan perasaan hatinya, dan dia maklum bahwa bahaya telah mengancam dirinya. Dia hampir tidak kuat bertahan, dan kalau sampai dia menjadi mata gelap, mendekati Kui Hong dan gadis itu menolak, lalu ketahuan oleh suhu dan subonya, tentu dia akan mengalami celaka.
Dia sudah melakukan persiapan sejak lama, persiapan untuk melarikan diri dari pulau itu! Suhu dan subonya selama ini tidak mengenal siapa dia, siapa dirinya yang sesungguhnya. Siasat yang dijalankannya enam tahun yang lalu telah berhasil baik. dia telah berhasil menjadi murid Pendekar Sadis dan isterinya yang sakti, bahkan berhasil menggembleng diri selama enam tahun sehingga dia telah mewarisi ilmu kepandaian suami isteri yang sakti itu! Ada beberapa macam ilmu telah dihafalnya benar, hanya tinggal mematangkan dalam latihan saja. Bahkan dia telah tahu akan rahasia Ilmu Thi-ki-i-beng, yaitu semacam ilmu rahasia dari Cin-ling-pai yang amat dahsyat karena ilmu ini merupakan penggunaan sinkang tenaga sakti dari tubuh lawan! Dia hanya tahu akan teorinya saja, akan tetapi belum sempat melatihnya karena untuk dapat menguasai ilmu ini membutuhkan latihan yang cukup lama dan berat.
Dia telah secara diam-diam mengumpulkan benda-benda berharga di dalam gudang pusaka suhu dan subonya. Benda-benda itu telah dikumpulkan dan dipisahkan di dalam gudang itu, setiap saat bisa diambilnya!
Sungguh pandai sekali pemuda ini dan sama sekali tidak disangka oleh Pendekar Sadis dan isterinya. Padahal, sepasang suami isteri ini adalah orang-orang yang amat lihai dan cerdik. Kelemahan mereka, yaitu kehausan akan anak atau murid laki-laki itulah agaknya yang membuat mereka terkecoh dan menerima Ki Liong sebagai seorang murid yang amat baik dan yang mereka sayang seperti anak sendiri,
Siapakah sebenarnya Ki Liong ini? Kepada Pendekar Sadis dan isterinya, dia mengaku she Ciang, sebenarnya tidaklah demikian. Namanya memang Ki Liong, akan tetapi sesungguhnya dia she Sim. Ibunya yang she Ciang dan ibunya bernama Ciang Si. Ketika masih gadis ibunya tergila-gila kepada seorang pemuda yang tampan dan gagah pesolek. Karena rayuan maut pemuda itu, Ciang Si akhirnya menyerahkan diri kepada pemuda itu. Pemuda itu bukanlah orang sembarangan karena dia adalah Sim Thian Bu, murid dari Si Iblis Buta, masih terhitung saudara seperguruan Siangkoan Ci Kang, putera Si Iblis Buta (Baca Certia Asmara Berdarah). Sim Thian Bu merupakan murid yang pandai dan lihai sekali di samping kecerdikannya yang membuat dia sempat mengangkat namanya terkenal di dunia kang-ouw. Seperti dapat diikuti perjalanan Sim Thian Bu di dalam cerita Asmara Berdarah, pemuda ini bahkan telah diterima menjadi orang kepercayaan Raja dan Ratu Iblis, bekerja sama dan juga menjadi kekasih dari Siang-tok Sian-li Gui Siang Hwa.
Ketika terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh Raja dan Ratu Iblis, bekerja sama dan juga menjadi tokoh di antara para pembantu mereka dan dalam bentrokan yang terjadi antara para pemberontak yang terdiri dari golongan sesat melawan para pendekar yang membanti pasukan pemerintah, akhirnya Sim Thian Bu roboh oleh Siangkoan Ci Kang, suhengnya sendiri, lalu tewas di bawah hujan senjata para perajurit. Dia tewas seperti juga Siang-tok Sian-li tewas setelah roboh oleh Ceng Sui Cin.
Hubungan kasih antara Sim Thian Bu dan Ciang Si tidak berlangsung lama. Setelah Ciang Si mengandung tua, Sim Thian Bu meninggalkan begitu saja. Ciang Si tetap mencinta Sim Thian Bu. Biarpun pria itu telah meninggalkannya, bahkan mencarinya ke sana-sini sambil membawa anak laki-laki yang dilahirkannya. Anak itu ia beri nama Sim Ki Liong dan sambil merana dalam pencariannya terhadap pria yang dicintanya, Ciang Si mendidik anaknya itu. Akhirnya, ia mendengar akan kematian Sim Thian Bu dari anggauta pemberontak yang dijumpainya. Ia mendengar bagaimana Sim Thian Bu tewas dalam pertempuran melawan para pendekar, bahkan bagaimana dia roboh oleh Siangkoan Ci Kang kemudian tubuhnya hancur lebur oleh hujan senjata para perajurit.
Tentu saja berita itu membuat Ciang Si berduka sekali, akan tetapi di samping kedukaannya wanita ini pun menaruh dendam yang amat mendalam kepada para pendekar, terutama Siangkoan Ci Kang yang menjadi penyebab kematian pria yang dicintanya. Cita-citanya hanya satu, yaitu membalas dendam dan hal ini diharapkannya akan dapat dilakukan oleh Ki Liong kelak kalau anak itu sudah dewasa. Maka, mulailah ia memanggil guru-guru silat untuk melatih anaknya. Akan tetapi, setelah mengenal dunia ilmu silat, Ki Liong merasa tidak puas dengan latihan-latihan yang diberikan oleh guru-guru silat bayaran itu, apalagi ketika ia mendengar tentang pendekar-pendekar dan tokoh-tokoh dunia persilatan yang sakti dari para guru silat itu. Diantara nama-nama itu, yang amat menarik hatinya adalah nama Pendekar Sadis, Majikan Pulau Teratai Merah yang disohorkan oleh para guru silat itu sebagai pendekar silat yang paling lihai di dunia! Mulailah anak itu bercita-cita untuk menjadi murid Pendekar Sadis!
Ki Liong sudah mendengar dari ibunya tentang kematian ayah kandungnya, tentang para pendekar yang memusuhi ayahnya, dan dia tahu pula betapa ibunya mendendam atas kematian ayahnya. Oleh karena itu, ketika dia berusia empat belas tahun, dia berunding dengan ibunya untuk dapat berguru kepada Pendekar Sadis di Pulau Teratai Merah.
"Aku sudah mendengar akan nama itu, Anakku, akan tetapi bagaimana mungkin engkau akan dapat diterima menjadi muridnya? Apalagi kalau keluarga itu tahu bahwa ayahmu adalah Sim Thian Bu, seorang tokoh yang pernah memberontak dan menjadi musuh para pendekar ......"
"Aku tidak akan mengaku putera Ayah Sim Thian Bu, Ibu. Aku akan mencari nama lain kalau ada yang menanyakan Ayahku, dan aku akan menggunakan nama keturunan Ibu, yaitu she Ciang."
"Hal itu memang dapat diatur, akan tetapi Pendekar Sadis adalah seorang pendekar besar, bagaimana dapat mudah saja mengambil engkau yang tidak dikenalnya sebagai murid?"
"Percayalah, Ibu, aku akan berusaha sekuat tenaga untuk dapat menjadi muridnya. Kelak, kalau sudah berhasil, barulah aku akan pulang dan aku akan dapat membalaskan sakit hati Ibu kepada Siangkoan Ci Kang."
Ibunya merangkulnya dan dengan air mata bertitik ibu ini akhirya melepaskan anaknya untuk pergi berguru kepada Pendekar Sadis di Pulau Teratai Merah. Demikianlah Ki Liong yang cerdik itu dengan mempertaruhkan nyawanya dalam penyerangan badai, akhirnya berhasil mengambil hati Pendekar Sadis dan isterinya, dan berhasil di ambil murid terkasih dan mempelajari ilmu-ilmu yang tinggi. Tentu saja sebelum dia membiarkan dirinya terserang badai sehingga nyaris tewas, dia telah menyelidiki dari kaum nelayan tentang keanehan Pendekar Sadis dan tahu bahwa kalau dia terang-terangan datang minta dijadikan murid, pasti tidak akan berhasil.
Pertemuan Ki Liong dengan Kui Hong yang menggerakkan nafsu berahinya, bahkan menggugah semua nafsu yang selama ini ditekan dan dipendamnya baik-baik untuk mengelabui suhu dan subonya. Kini dia merasa tidak dapat menahan lebih lama lagi hidup sebagai orang kurungan di pulau itu. Selama enam tahun ini, segala keinginan yang timbul dari lubuk hatinya, ditekan dan dirahasiakannya, dan dengan usaha sekuat tenaga melawan gairahnya sendiri, dia dapat memaksa dirinya bersikap lemah lembut, peramah, sopan santun dan tak pernah melakukan pelanggaran disamping tekun dan rajin berlatih dan bekerja. Sungguh merupakan suatu keuletan yang luar biasa sekali dan tidaklah aneh kalau seseorang yang memiliki ketabahan dan keuletan seperti itu akhirnya dapat berhasil memiliki ilmu kepandaian yang tinggi.
Akan tetapi kini bendungan itu jebol! Pertahanannya untuk mengekang diri dan semua nafsu yang bergejolak di dalam batinnya telah retak-retak begitu dia bertemu dengan Kui Hong, bercakap-cakap, bahkan beradu tangan dan lengan dengan gadis itu
Malam itu Ki Liong gelisah tak dapat tidur, dan akhirnya, setelah memutar otak dan membuat perhitungan-perhitungan dan pertimbangan, dia lalu bangkit dari tempat tidurnya. Dia lalu duduk bersila dan menegakkan tubuh, memejamkan mata, akan tetapi sekali ini dia bukan berlatih samadhi seperti biasa. Gurunya Ceng Thian Sin, pernah mengajarkan kepadanya cara bersamadhi jungkir balik untuk melatih sinkang dalam Ilmu Silat Hok-liang Sin-ciang dan Hok-te Sin-kun. Dan dengan bermacam cara jungkir balik ini dia mengenal tenaga-tenaga dalam yang mujijat, juga gurunya memberitahu bahwa tenaga-tenaga yang tidak nampak itu menjadi dasar dari segala macam ilmu di dunia ini. Bahkan ilmu sihir dan sebagainya juga berpangkal pada tenaga tersembunyi ini. Sebagai seorang pemuda yang cerdik sekali, Ki Liong pernah melakukan percobaan-percobaan dengan tenaga yang terasa bergerak di dalam pusarnya itu. Pernah dia mencoba untuk memusatkan perhatiannya, menggunakan tenaga sakti itu untuk memperkuat perasaan hatinya dan dengan dorongan tenaga ini dia menghendaki agar orang-orang tertentu dari pulau itu, yang berada cukup jauh di depannya, menengok kepadanya, berjalan berjongkok dan melakukan hal-hal yang dikehendakinya pada saat itu. dan beberapa kali perintahnya tanpa kata-kata ini, hanya dengan kekuatan dalam mendorong kemauan dalam hatinya, ternyata berhasil! Beberapa orang itu melakukan apa yang diperintahnya secara diam-diam dan dia pun merasa girang. Akan tetapi dia tidak berbuat lebih jauh lagi, karena maksudnya bukan untuk berpamer atau menghendaki sesuatu. Dia hanya ingin menguji kekuatan batinnya sendiri.
Kini, baru pertama kali dalam hidupnya dia melakukan samadhi mengumpulkan kekuatan itu dengan satu pamrih. Dicurahkan seluruh perhatiannya pada keinginan hatinya, yaitu agar Kui Hong keluar dari dalam kamarnya dan memasuki taman bunga! Dia tahu bahwa kalau gadis itu melakukan hal ini, tidak ada lain jalan kecuali melalui depan kamarnya yang terletak di dekat taman bunga.
Sementara itu, Kui Hong yang berada di dalam kamarnya sendiri merasa gelisah dan tak dapat tidur. Ia mendapatkan sebuah kamar yang berdampingan dengan kamar ibunya, sedang kamar kakek dan neneknya, kamar besar, berada di seberang kamarnya. Ia tidak dapat tidur dan teringat kepada Ki Liong, pemuda yang menjadi susioknya itu! Seorang pemuda yang tampan dan gagah perkasa, juga memiliki ilmu silat tinggi. Akan tetapi ada sesuatu yang aneh pada diri pemuda itu, entah apa ia tidak tahu. Ada sesuatu yang membuat ia mengerutkan alisnya dan semacam perasaan tidak enak menyelinap di dalam hatinya. Ia sendiri merasa heran mengapa timbul perasaan tidak enak dan tidak suka ini, padahal susioknya itu selalu bersikap ramah, rendah hati, sopan dan menyenangkan. Apakah ia merasa iri karena pemuda itu dapat menandinginya dalam ilmu silat? Ah, mengapa harus iri? Bukankah bagaimanapun juga pemuda itu adalah paman gurunya? Seharusnya ia berbangga hati melihat paman gurunya demikian lihai! Wajah pemuda itu terbayang dan Kui Hong menjadi semakin gelisah. Timbul keinginan hatinya untuk keluar dari dalam kamar yang dirasakannya pengap itu, untuk mencari hawa segar dan sejuk di taman bunga. Ya, taman bunga milik kakeknya itu amat indahnya, dan disitu terdapat segala macam bunga. Tadipun, ketika memasuki kamarnya, tercium keharuman bunya mawar yang datang dari taman.
Kui Hong membuka pintu kamarnya, perlahan-lahan agar tidak mengganggu ibunya dan kakek neneknya yang sudah masuk ke kamar masing-masing. Lalu ia melangkah menuju ke taman, melewati beberapa kamar. Tak nampak seorang pun pelayan berada di luar. Agaknya hawa malam yang dingin itu membuat semua orang lebih senang berada di dalam kamarnya yang hangat.
Memang sejuk dan segar sekali hawa di dalam taman. Bulan sepotong telah keluar dan biarpun sinarnya masih redup, namun cukup menerangi taman, mendatangkan cuaca yang remang-remang romantis, merah kehijauan menambah kesejukan taman itu.
Kui Hong lalu duduk diatas bangku setelah berjalan mengelilingi taman itu, diantara bunga-bunga mawar yang sedang mekar dan bunga-bunga lain. Musim semi baru saja mulai dan kembang-kembang itu sudah mekar sedemikian indahnya. Memang berbeda hawa di selatan ini dengan hawa di Cin-ling-san. Di sana, kembang-kembang mekar agak terlambat, menanti sampai musim semi benar-benar sudah masuk dan sisa musim salju sudah pergi jauh. Di selatan ini, matahari bersinar lebih cerah dan tumbuh-tumbuhan nampak lebih segar.
"Nona, engkau berada di sini juga?" tiba-tiba terdengar suara orang. Kui Hong yang sedang melamun itu terkejut dan menengok. Susioknya telah berada di situ. Ih, pemuda ini muncul seperti setan saja, tanpa mengeluarkan bunyi, tahu-tahu berada di situ.
"Susiok, mau apa engkau malam-malam begini meninggalkan kamarmu?" Kui Hong bertanya, memandang tajam melalui keremangan cuaca malam.
Pemuda itu tersenyum dan nampak sejenak gigi putih berkilat. "Ah, kiranya tidak banyak bedanya dengan alasanmu meninggalkan kamarmu dan berada di sini, Nona Hong. Aku merasa pengap dan panas di dalam kamar, dan ingin mencari udara segar di sini. Biasa hal ini kulakukan di waktu malam sunyi. Tak kusangka malam ini aku akan berjumpa denganmu disini, hal yang amat menggembirakan."
Kui Hong adalah seorang gadis yang biasa bergaul bebas, tanpa dilarang ibunya. Biasa baginya bercakap-cakap dengan siapa saja, baik dengan wanita maupun dengan pria ketika ia masih tinggal di Cin-ling-san. Maka, kini berduaan saja dengan seorang pemuda malam-malam di taman itu, tidak membuatnya merasa canggung. "Duduklah, Susiok. Aku menikmati keindahan taman ini, demikian segar dan sejuk, dan demikian harum bunganya."
Bukan main girang rasa hati Ki Liong. Ternyata usahanya "memanggil" Kui Hong melalui samadhinya tadi berhasil. Dia tadi mendengar langkah kaki halus dari gadis itu ketika menuju ke taman bunga dan dia pun cepat turun dari pembaringan untuk mengintai melalui jendela. Jantungnya berdebar penuh rasa girang dan juga tegang ketika dia melihat Kui Hong meangkah menuju ke taman, tepat seperti yang diinginkannya! Dan kini, setelah berhadapan dengan gadis itu, dia merasa lebih girang lagi karena gadis itu tidak pergi, bahkan mempersilakan dia duduk di atas bangku itu, duduk berdampingan! Hal ini hanya menunjukkan bahwa gadis itu agaknya juga suka kepadanya. Dia tahu, bahwa setiap orang gadis, dalam keadaan seperti itu, berdua saja malam-malam di dalam taman bersama seorang laki-laki, tentu akan cepat pergi karena merasa malu dan tidak patut. Akan tetapi gadis ini menyambutnya dengan baik dan mempersilakan dia duduk.
"Memang indah sekali taman ini, banyak bungi di sini aku yang menanamnya, akan tetapi malam ini nampak jauh lebih indah daripada biasanya karena engkau berada disini, Nona Hong."
Biarpun ucapan itu dilakukan dengan suara halus dan penuh kesopanan, namun isinya membuat Kui Hong mengangkat muka memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik.
"Susiok, mengapa sikap dan kata-katamu seperti itu? sungguh aneh kedengarannya. Tadi engkau mengatakan bahwa pertemuan yang tak kausangka ini amat menggembirakan, dan kini kaukatakan bahwa kehadiranku membuat taman ini nampak jauh lebih indah daripada biasanya!"
Ia memancing-mancing, bisik otak Ki Liong. Ia sudah tahu dan ia senang sekali dengan pujianku, tapi ia pura-pura tidak tahu dan memancing-mancing! Tidak perlu lagi kusembunyikan, ia pasti akan menerima kenyataan cintaku! Setelah berbincang-bincang sendiri dengan otaknya secara cepat, Ki Liong lalu berkata dengan suara halus. "Aih, Hong-siocia, apakah engkau masih belum tahu betapa aku telah tergila-gila kepadamu, bahwa aku telah jatuh cinta mati-matian kepadamu? Sejak pertemuan kita tadi, aku telah jatuh cinta dan aku rindu sekali padamu. Engkau terlalu cantik dan menarik, engkau melebihi segala keindahan bunga di sini ......" Tiba-tiba dia menggeser duduknya, mendekat sampai mepet dengan gadis itu.
"Susiok ....!" Tiba-tiba Kui Hong bangkit berdiri, setengah meloncat seolah-olah dipatuk ular setelah tadi untuk beberapa detik lamanya ia seperti terpukau di tempat duduknya, terlalu heran mendengar ucapan susioknya itu. kini mukanya menjadi merah sekali, sepasang matanya bersinar penuh kemarahan. Hal ini oleh Ki Liong yang belum berpengalaman itu diterima dengan keliru pula.
"Nona Hong, dewi pujaanku, tidak perlu engkau malu-malu lagi, tidak ada orang lain kecuali kita berdua di taman ini ...." Dan dia pun mengulur tangan hendak menangkap lengan gadis itu, untuk ditariknya di atas pangkuannya dan didekapnya, diciuminya pipi yang kemerahan dan hangat itu, dikecupnya bibirnya yang demikian manis itu, seperti yang dibayangkannya di dalam kamarnya tadi.
"Plakk!" Baru Ki Liong terkejut sekali ketika lengannya ditangkis dengan tamparan keras oleh Kui Hong.
Wajah Ki Liong berubah pucat sekali dan diam-diam dia memaki dirinya sendiri. Bodoh, tolol, mudah ditipu oleh harapan dan khayalan sendiri. Kini baru dia tahu bahwa gadis itu sama sekali tidak menyambut uluran tangannya untuk bermain cinta!
"Susiok, apakah engkau sudah menjadi gila? Berani benar engkau kurang ajar kepadaku? Mentang-mentang engkau menjadi murid Kakek dan Nenekku, ya? Keparat!" Dan Kui Hong sudah menyerang pemuda itu dengan kemarahan meluap-luap.
Ki Liong cepat mengelak dengan loncatan kebelakang. "Eh, ah, maaf, Nona ... aku .... aku tidak bermaksud buruk ...." Katanya dengan muka pucat. Akan tetapi Kui Hong tidak berkata apa-apa melainkan terus menyerang dengan dahsyat. Kini berbeda dengan ketika berlatih di lian-bu-thia tadi, ia menyerang dengan sungguh-sungguh, seperti menyerang seorang musuh yang harus ia robohkan, terdorong oleh perasaan marahnya. Sebetulnya, Kui Hong sama sekali tidak mempunyai rasa benci terhadap Ki Liong tadinya. Bahkan ia harus mengakui bahwa ia tertarik dan kagum kepada susioknya yang masih muda, tampan gagah dan memiliki kepandaian tinggi itu. Pernyataan cinta dari seorang pemuda seperti Ki Liong bukan merupakan suatu hal yang dapat mendatangkan rasa marah atau terhina. Akan tetapi, karena pernyataan pemuda itu tidak wajar dan demikian tiba-tiba maka Kui Hong merasa terhina dan menjadi marah sekali. Pertama, Ki Liong baru saja hari itu diperkenalkan sebagai paman gurunya. Ke dua, baru beberapa jam mereka saling berkenalan. Ke tiga, pernyataan Ki Liong demikian terus terang, dan tiba-tiba, tentu saja mengejutkan sekali dan menimbulkan rasa malu.
Memang harus diakui bahwa Ki Liong sama sekali buta tentang urusan cinta. Sama sekali belum berpengalam sehingga dia bertindak sesuai dengan dorongan nafsunya saja, nafsu yang bertahun-tahun ditekannya selama dia belajar di pulau itu. Kini, nafsunya bergolak dan pertahanannya bobol begitu dia bertemu dengan Kui Hong, maka dia pun bertindak tanpa pikir lagi, hanya menurutkan nafsu. Dan sekarang barulah dia sadar betapa gegabah dan ceroboh tindakannya itu, memancing keributan yang akan merugikan dirinya sendiri saja.
"Maaf, aku minta maaf. Aku telah menjadi gila karena cintaku ...." Demikian dia berkata sambil mengelak dan menangkis. Akan tetapi ucapannya ini bahkan membuat Kui Hong menjadi semakin marah. Serangan-serangannya menjadi semakin ganas saja sehingga ketika mengelak dengan tergesa-gesa, Ki Liong tersandung batu dan dia terhuyung lalu roboh terguling. Kui Hong mengejar dan mengirim tendangan.
"Plakk!" Tendangannya itu ditangkis orang dan ternyata yang menangkisnya adalah ibunya sendiri. Dan selain ibunya, disitu hadir pula Pendekar Sadis dan isterinya! Ketika melihat betapa tendangannya ditangkis ibunya, Kui Hong menjadi penasaran. Akan tetapi Ki Liong yang melihat hadirnya suhu dan subonya, menjadi gelisah bukan main dan dia pun sudah menjatuhkan diri berlutut di depan kaki suhunya.
"Suhu, teecu telah membuat dosa besar! Teecu siap menerima hukuman mati sekalipun dari Suhu dan Subo!"
Tentu saja Ceng Thian Sin dan Toan Kim Hong menjadi terkejut bukan main mendengar ucapan murid mereka itu. tadi, seperti juga Sui Cin, mereka mendengar ribut-ribut dan angin pukulan yang datang dari taman, maka mereka cepat keluar dan bertemu dengan puteri mereka yang juga berlari keluar menuju taman. Ketika melihat Ki Liong terguling dan Kui Hong mengejar dan mengirim tendangan Sui Cin yang sudah tiba di dekat puterinya, cepat menangkis.
Kui Hong, apalagi yang terjadi? Apakah kalian berlatih silat lagi?" tanya Sui Cin dengan suara penuh teguran karena dianggapnya bahwa puterinya itu keterlaluan terhadap susiok yang sepatutnya dihormati.
"Ibu, dia itu .... kurang ajar sekali! Aku harus memukulnya, dia kurang ajar dan menghina aku!" bentak Kui Hong marah.
Mendengar ucapan ini, Sui Cin dan ibunya menjadi kaget bukan main. Terutama sekali Ceng Thian Sin dn Toan Kim Hong. Mereka mengenal murid mereka itu sebagai seorang pemuda yang sopan dan tidak pernah kurang ajar, bahkan sopan dan ramah, juga rendah hati. Bagaimana kini secara tiba-tiba saja, belum juga satu malam setelah Kui Hong dan ibunya datang, Kui Hong menuduhnya kurang ajar dan menghinanya?
Sui Cin juga merasa heran. Puterinya itu tidak pernah berbohong dan kalau puterinya sudah marah seperti itu, sudah pasti ada sebabnya. Akan tetapi ia pun meragukan kata-kata Kui Hong karena rasanya tidak mungkin sutenya yang demikian sopan itu tiba-tiba berani kurang ajar terhadap Kui Hong.
"Apa yang telah terjadi? Apa maksudmu dengan kurang ajar dan menghinamu itu Kui Hong?"
Wajah Kui Hong menjadi merah sekali dan ia pun baru menyadari betapa memalukan keadaan itu. Kalau bukan kepada ibunya, kakek dan neneknya, tentu ia akan malu untuk menjawab. Akan tetapi keadaan sudah menjadi seperti itu, terpaksa ia harus mengaku apa yang sesungguhnya telah terjadi.
"Ibu, dia itu ... dia berani memuji-muji kecantikanku, bahkan dia pun berani merayuku!"
Sui Cin terbelalak, juga kakek dan nenek itu memandang kepada murid mereka dengan alis berkerut dan perasaan aneh. "Ki Liong, apakah yang telah kaulakukan sehingga cucu kami marah kepadamu?" tanya Ceng Thian Sin suaranya tenang sekali.
"Suhu dan Subo, teecu telah berbuat dosa besar sekali terhadap Nona Hong. Teecu sungguh tidak tahu diri karena tadi teecu telah mengaku cinta kepadanya sehingga ia menjadi marah dan menyerang teecu."
Hampir saja Ceng Thian Sin tertawa. Hanya mengaku cinta! Bagaimana dia dapat menyalahkan pemuda muridnya itu kalau melihat betapa cantik manisnya cucunya itu? Mengaku cinta terhadap seorang gadis remaja seperti Kui Hong yang bagaikan setangkai bunga yang sedang mekar semerbak mengharum, bukanlah perbuatan aneh, apalagi bagi Ki Liong yang belum berpengalaman sehingga desakan hati mencinta itu langsung saja diutarakan, tanpa disimpan-simpannya lagi. Akan tetapi, demi menjaga perasaan puterinya dan cucunya, Ceng Thian Sin mengambil sikap marah.
"Hemmm, bagaimana engkau berani menyatakan cinta kepada murid keponakanmu sendiri? Sungguh perbuatan itu lancang sekali, Ki Liong. Apa yang mendorongmu mengaku cinta seperti itu?"
"Ampun, Suhu. Teecu .... teecu .... jatuh hati begitu melihat Nona Hong ...., dan teecu berterus terang kepadanya .... kebetulan kami berdua malam ini disini, tanpa disengaja dan keadaan yang indah ini, malam yang permai dengan hawa udara yang sejuk segar, membuat teecu lupa diri ... dan ... dan .... teecu mengaku salah dan siap menghadapi hukuman apa pun dari Suhu dan Subo."
"Kui Hong," kini nenek itu berkata kepada cucunya. "Selain pengakuan cintanya dan memuji-muji kecantikanmu, apa lagi yang dilakukan oleh Ki Liong kepadamu?"
Ditanya demikian oleh neneknya, Kui Hong menjadii bingung. Apalagi yang dilakukan Ki Liong kepadanya? Pemuda itu bahkan tidak pernah melakukan apa-apa, hanya memuji-mujinya dan mengaku tergila-gila kepadanya.
"Dia tidak melakukan apa-apa lagi, Nek, akan tetapi pengakuannya yang lancang itu mmebuat aku merasa malu dan marah, merasa terhina maka aku menyerangnya!" katanya nekat.
Sui Cin merasa betapa Kui Hong memang agak keterlaluan. Kalau pemuda itu hanya mengaku cinta, mengapa harus diserang sampai mati-matian? Kalau puterinya itu tidak setuju, cukup mengatakan saja, atau meninggalkan pergi. "Kui Hong, engkau seharusnya tidak boleh menyerang begitu saja. Kalau engkau tidak suka, katakan saja kepadanya atau tinggalkan dia pergi, tidak perlu harus marah-marah dan memukulnya."
Kui Hong diam saja, hanya menunduk dengan muka merah dan mulut cemberut. Melihat ini, Ceng Thian Sin merasa kasihan kepada cucunya dan dia merasa perlu menegur Ki Liong yang dianggapnya lancang dan bodoh. "Ki Liong, perbuatanmu tadi lancang dan mnyinggung hati cucu kami. Kuharap engkau dapat melihat kebodohanmu itu dan lain kali engkau tidak boleh melakukan hal yang amat memalukan itu. apakah engkau tidak merasa malu?"
Tiba-tiba saja air mata jatuh menetes-netes dari mata pemuda itu dan membasahi kedua pipinya! "Teecu sudah merasa menyesal sekali, Suhu. Teecu siap untuk menerima hukuman atas kelancangan dan kebodohan teecu."
Ceng Thian Sin menarik napas panjang. Muridnya itu biasanya tenang sekali, akan tetapi kenapa sekarang begitu mudah menitikkan air mata? "Sudahlah, penyesalan tak perlu dibuktikan dengan air mata, melainkan dengan perbuatan. Nah, kembalilah ke kamarmu."
Ki Liong memberi hormat kepada suhu dan subonya, bahkan setelah bangkit berdiri, dia menjura dengan hormat kepada Sui Cin dan berkata, "Suci, aku mohon maaf sebesarnya, dan Nona Hong, maafkanlah aku." Setelah berkata demikian, tanpa menanti jawaban, pemud aitu pun pergi meninggalkan taman untuk kembali ke dalam kamarnya
"Kui Hong, engkau juga kembali saja ke kamarmu," kata Sui Cin, merasa tidak enak juga kepada ayah dan ibunya. Baru saja ia pulang ke bersama puterinya, membawa berita yang amat buruk tentang hubungannya dengan suaminya, hal itu tentu sudah membuat ayah dan ibunya ikut merasa pusing, dan sekarang, baru setengah malam berada disitu, puterinya sudah menjadi sebab terjadinya hal lain yang mendatangkan perasaan tidak enak. Sungguh ia merasa sebagai beban saja kepada dua orang tuanya yang tentu sebelum ia datang hidup di dalam keadaan aman tenteram dan kini menjadi kacau begitu ia pulang!
"Ah, Kui Hong menjadi seorang anak yang terlalu manja. Menghadapi urusan begitu saja ia marah-marah dan turun tangan. Sungguh tidak baik sekali," katanya sambil menarik napas duka. Kalau saja disitu ada suaminya, tentu suaminya itu dapat mengambil tindakan yang tepat.
Toan Kim Hong merangkul puterinya. "Tidak mengapa, tak perlu khawatir. Ia memang agak keras hati dan gadis remaja seperti Kui Hong itu memang biasanya agak angkuh dalam soal cinta, dan biasanya mengambil sikap jual mahal. Akan tetapi, Ki Liong juga terlalu lancang sehingga mengejutkan Kui Hong, membuatnya merasa malu dan canggung sehingga bangkitlah kemarahannya karena ia merasa dihina dengan pernyataan cinta itu. Aih, engkau tentu tahu akan gilanya orang-orang muda dengan cinta mereka."
"Yang membuat aku merasa bingung dan heran adalah Ki Liong," kata Ceng Thian Sin. "Biasanya dia hampir tidak pernah bergaul terlalu dekat dengan wanita, dan dia terkenal sebagai seorang pemuda yang alim. Akan tetapi kenapa begitu bertemu Kui Hong, wataknya tiba-tiba saja berubah?"
"Seperti kukatakan tadi, orang muda dengan cinta mereka memang suka melakukan tingkah yang aneh-aneh. Akan tetapi, sudahlah. Tidak baik kalau kita terlalu menyalahkan dan mendesaknya. Kesalahannya tidaklah terlalu besar untuk dilebih-lebihkan. Dia jatuh cinta dan mengaku cintanya kepada Kui Hong. Apakah hal itu merupakan dosa tak berampun? Kalau terlalu ditekan, dia akan menjadi rendah dan pemalu."
Mendengar ucapan ibunya, Sui Cin membenarkan. "Biarlah kita lupakan saja urusan itu dan aku akan menasihati Kui Hong agar ia melupakan urusan itu."
Diam-diam kakek dan nenek itu merasa sayang karena melihat usia mereka, memang sebetulnya Ki Liong dapat menjadi calon jodoh Kui Hong yang baik sekali! Kalau saja kedua orang muda itu saling mencinta dan setuju, mereka akan merasa gembira sekali kalau keduanya dapat berjodoh. Tentang hubungan perguruan, hal itu tidak menjadi halangan. Akan tetapi tentu saja mereka tidak berani menyatakan hal ini kepada Sui Cin.
Mereka semua kembali ke kamar masing-masing dan karena urusan yang timbul tadi memang tdiak berapa peting, mereka pun dapat tidur nyenak. Dapat dibayangkan kaget hati Ceng Thian Sin dan Toan Kim Hong ketika keesokan harinya, mereka mendapat kenyataan bahwa Ciang Ki Liong telah pergi dari pulau itu tanpa pamit! Pemuda itu pergi, mungkin malam tadi atau menjelang pagi, menggunakan perahu kecil dan tak seorang pun penghuni pulau itu yang melihat dia keluar dari pulau. Dan yang lebih mengejutkan hati suami isteri itu adalah ketika mereka mendapat kenyataan bahwa beberapa buah benda berharga berikut pedang pusaka Gin-hwa-kiam milik Pendekar Sadis lenyap pula dari gudang pusaka! Siapa lagi yang mengambilnya kalau bukan Ki Liong? Tidak ada orang lain kecuali mereka bertiga yang dapat memasuki gudang pusaka itu!"Ah, apa artinya ini? Apakah dalam waktu semalam saja telah terjadi perubahan yang demikian besar atas diri Ciang Ki Liong? Apakah setan telah memasuki batinnya sehingga berturut-turut dia melakukan hal-hal yang demikian buruk?" kata Ceng Thian Sin sambil mengepal tinju. "Aku akan mengejar dan menghajarnya kalau memang ada tanda-tanda bahwa dia melakukan penyelewengan dan menjadi sesat!"
"Sabarlah," kata Toan Kim Hong. "Mungkin urusannya dengan Kui Hong semalam telah membuat dia merasa malu sehingga dia tidak berani lagi berhadapan dengan kita sekeluarga. Karena itu, boleh jadi dia lalu mengambil keputusan untuk minggat dari sini tanpa pamit. Adapun benda-benda itu, mungkin sebagai orang yang belum pernah meninggalkan pulau, belum berpengalaman, dia merasa khawatir maka dia mengambil benda itu untuk menjaga diri dan bekal dalam perjalanan. Kita tunggu saja, siapa tahu dia akan merasa menyesal dan kembali. Dan andaikata tidak, kita dengarkan saja bagaimana sepak terjangnya. Kalau benar dia melakukan penyelewengan dan kejahatan sehingga menodai nama kita, kita akan keluar pulau mencarinya dan memberi hukuman yang setimpal."
Pendekar Sadis Ceng Thian Sin menarik napas panjang dan menekan perasaan marahnya. Dia tahu betapa besar rasa cinta isterinya kepada muridnya yang dianggap sebagai putera sendiri itu. dan walaupun murid itu telah meninggalkan pulau tanpa pamit, bahkan membawa benda-benda berharga dari gudang pusaka, bahkan juga Gin-hwa-kiam yang merupakan senjata pusakanya, namun belum ada bukti bahwa murid itu telah menjadi orang jahat dan siapa tahu dugaan isterinya benar.
"Aahh, sudahlah, kita lihat saja nanti. Hanya sungguh aku khawatir sekali kalau sampai dia berubah watak dan menyeleweng, karena pada saat ini dia telah memiliki ilmu silat yang cukup tinggi. Dia berbakat baik sekali dan mungkin sekarang tingkatnya sudah sukar ditundukkan lawan."
Mendengar ini, Sui Cin mengerutkan alisnya. "Benarkah dia demikian hebat, Ayah? Ketika tadi melawan Kui Hong ....."
"Ah, engkau tidak tahu, Sui Cin!" kata Toan Kim Hong. "Anak itu, seperti dikatakan Ayahmu tadi, memiliki bakat yang amat besar, bahkan lebih besar daripada bakat yang ada padamu! Apalagi Kui Hong, bahkan engkau sendiri pada waktu ini mungkin sudah kalah olehnya, Sui Cin."
Sui Cin terkejut bukan main. Ia tahu bahwa ibunya itu selalu bersikap jujur maka ia pun tidak merasa sakit hati mendengar bahwa ia kalah oleh sutenya yang masih muda itu.
"Ah, kalau begitu, sungguh berbahaya kalau dia sampai melakukan penyelewengan dan menjadi penjahat," katanya lirih.
"Akan tetapi kulihat Kui Hong juga memiliki bakat yang baik. Biarlah selama berada disini kami berdua akan menggemblengnya dan mengajarkan kunci-kunci pemunah ilmu-ilmu berbahaya yang dikuasai Ki Liong. Dengan demikian, kelak ia akan mampu menandinginya."
Mendengar ini, Sui Cin menjadi girang sekali dan mulai hari itu, kakek dan nenek penghuni Pulau Teratai Merah itu menggembleng cucu perempuan mereka dengan penuh ketekunan dan Kui Hong yang memang suka belajar ilmu silat, tentu saja berlatih dengan giat. Kakek dan neneknya mengajarkan ilmu-ilmu simpanan mereka, bahkan Pendekar Sadis Ceng Thian Sin mengajarkan ilmu-ilmu Bu-bed Hud-couw, yaitu Hok-liang Sin-ciang yang hanya delapan jurus, Hok-te Sin-kun yang merupakan permainan silat yang selalu mendekati tanah, dan juga cara bersamadhi berjungkir balik untuk menghimpun tenaga sakti yang kuat dan aneh. Dari latihan samadhi secara ini, Kui Hong memperoleh kekuatan batin yang dapat dipergunakan untuk menolak serangan ilmu sihir dan sebagainya.
Diam-diam Kui Hong marah kepada Ki Liong. Walaupun pemuda itu tampan dan pandai, bahkan masih terhitung paman gurunya sendiri, namun ia gemas kalau mengingat betapa pemuda itu berniat kurang ajar kepadanya. Apaagi mendengar bata[a pemuda itu minggat dari Pulau Teratai Merah sambil mencuri benda-benda pusaka kakek dan neneknya, diam-diam ia semakin merasa gemas dan marah. Kalau sudah tamat belajar, kelak ia akan pergi mencari pemuda itu, selain merampas kembali benda-benda pusaka yang dilarikannya, juga akan menghajar murid murtad itu! selain pemuda itu, yang menjadi keinginannya terbesar adalah Cin-ling-pai. Ia ingin mengunjungi Cin-ling-pai dan membalas sakit hati ibunya! Dengan adanya cita-cita ini, Kui Hong belajar semakin giat dan rajin sekali, hampir tidak ada waktu lowong yang tidak diisinya dengan berlatih silat sehingga melihat ini, kakek dan neneknya menjadi semakin gembira melatihnya.
Pemuda itu berpakaian sederhana. Wajahnya tampan, dengan muka yang berbentuk bulat dn berkulit putih, sepasang alisnya hitam lebat dan nampak bagus sekali pada kulit muka yang putih itu. Sepasang matanya agak sipit, mengandung ketenangan dan penuh pengertian, namun kadang-kadang juga dapat mengeluarkan sinar mencorong yang aneh dan amat kuat wibawanya. Gerak-geriknya halus dan tenang seperti air telaga yang dalam. Pemuda yang berjalan seorang diri dengan langkah-langkah tenang ini tiba diluar perkampungan Pek-sim-pang di daerah Kong-goan
Dia adalah Pek Han Siong, Si Bocah Ajaib atau Sin-tong yang kini telah menjadi seorang pemuda dewasa berusia dua puluh satu tahun. Seperti kita ketahui, Pek Han Siong beruntung sekali bertemu dengan suami isteri pendekar yang mewarisi ilmu-ilmu luar biasa dari dua orang di antara Delapan Dewa. Mereka adalah Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu yang menjalani hukuman di dalam kuil Siauw-lim-pai. Setelah meninggalkan kuil, di dalam perjalanannya pemuda ini bertemu dengan Ban Hok Lo-jin, seorang di antara Delapan Dewa yang masih hidup walaupun sudah tua renta. Kakek ini, ketika melihat bahwa Han Siong adalah Sin-tong, segera mengangkatnya menjadi murid dan mengajaknya ke dalam guha untuk dilatih ilmu dengan tekun, terutama sekali ilmu sihir karena Ban Hok Lo-jin melihat betapa ilmu silat pemuda itu sudah cukup hebat.
Setahun lamanya Han Siong tekun mempelajari ilmu dari Ban Hok Lo-jin dan setelah dia dinyatakan berhasil oleh gurunya yang baru yang menyatakan bahwa sudah tiba waktunya bagi mereka untuk berpisah, Han Siong meninggalkan tempat itu setelah berlutut dan menghaturkan terima kasih kepada kakek itu dengan hati terharu.
"Di mana teecu dapat mencari Suhu kalau teecu merasa rindu?" Han Siong bertanya.
Kakek itu terkekeh-kekeh lalu bergelak-gelak. "Hoa-ha-ha-ha! Kenapa mesti rindu, Han Siong? Kalau engkau merasa rindu, buang jauh-jauh perasaan itu, karena perasaan itu hanya memperkuat ikatan belaka! Engkau takkan dapat mencariku lagi. Usiaku sudah terlalu tua dan tak lama lagi aku harus kembali setelah beberapa lamanya memegang peranku di dunia ini. Demikian pula dengan engkau, dan semua orang yang pernah hidup. Masing-masing harus memegang dan menjalankan peran masing-masing yang sudah ditentukan sejak lahir. Apa pun yang dipegang, peran itu harus dilaksanakan sebaik mungkin. Bukannya peran yang penting melainkan pelaksanaannya, seperti orang bermain sandiwara, bukan tokoh yang diperankan yang penting, melainkan bagaimana melaksanakannya sebaik mungkin. Nah, pergilah, muridku."
Han Siong meninggalkan gurunya yang duduk bersila di depan guha setelah memberi penghormatan terakhir dan setelah melakukan perjalanan yang cukup jauh, akhirnya pada senja hari itu tibalah dia di luar perkampungan Pek-sim-pang, tempat tinggal orang tuanya! Berdebar jantung Han Siong, penuh kegembiraan, ketegangan dan harapan. Dia mencoba untuk mengingat-ingat bagaimana wajah ayah dan ibunya seperti yang pernah diceritakan kakeknya. Akan tetapi bagaimana dapat menggambarkan wajah orang tuanya hanya melalui penuturan kakeknya? Bahkan wajah kakeknya pun dia sudah lupa lagi. Kakek buyutnya itu, Kakek Pek Khun, telah tua sekali ketika menitipkan dia ke kuil Siauw-lim-pai dan pada waktu itu dia baru berusia tujuh tahun. Semenjak masih bayi, dia dibawa pergi kakek buyutnya dan belum pernah bertemu dengan ayah ibunya. Dan kini dia akan berhadapan dengan ayah kandungnya. Dengan ibu kandungnya! Dan mereka berada di belakang tembok yang mengelilingi perkampungan di depan itu! Betapa dekatnya mereka. Ayah dan ibu kandung. Namun betapa jauhnya selama ini, karena dia belum pernah melihat mereka dan tidak akan mengenal wajah mereka. Sungguh aneh. Dan semua gara-gara dia dianggap sebagai Sin-tong, anak ajaib yang dijadikan perebutan. Demikian menurut penuturan Ceng Hok Hwesio Ketua Siauw-lim-pai itu. Karena dia akan dirampas oleh para pendeta Lama Tibet yang hendak menjadikan dia calon Dalai Lama di Tibet, maka oleh keluarga Pek dia disingkirkan dan akhirnya disembunyikan di kuil Siauw-lim-si itu. Sungguh terlalu para pendeta Lama itu pikirnya. Akan tetapi, menurut hwesio tua itu, bukan hanya para pendeta Lama yang memperebutkannya, juga banyak datuk sesat di dunia persilatan. Ada yang ingin memilikinya untuk dijadikan murid, ada pula yang ingin memilikinya untuk diserahkan kepada para pendeta Lama di Tibet dengan uang tebusan besar. Dia mengepal tinju. Mereka itu orang-orang jahat. Orang tuanya menjadi menderita karena mereka itu yang ingin memperebutkan dia. Dapat dibayangkan betapa susah hati orang tuanya, terutama ibunya, yang harus berpisah dari anaknya yang masih bayi dan selama dua puluh satu tahun belum pernah bertemu dengan puteranya itu.
Dia akan segera bertemu dengan ibu kandungnya! Teringat akan ini, membayangkan betapa ibunya akan merangkulnya sambil menangis, kedua mata Han Siong menjadi basah dan dia mengebut-ngebutkan pakaiannya agar bersih dari debu. Tiba-tiba dia mendengar angin berdesir dan bayangan-bayangan orang berkelebat. Ketika dia yang tadi menunduk untuk melihat pakaiannya itu kini mengangkat muka, ternyata di depannya telah berdiri menghadang lima orang pendeta yang berjubah panjang, jubah kuning dan merah dan kepalanya mengenakan topi pendeta. Mereka bukan seperti pendeta-pendeta dalam kuil Siauw-lim-si, pakaian mereka berbeda karena jubah mereka itu ada warna merahnya, juga model topi mereka berbeda. Bahkan wajah mereka pun nampak asing. Terkejutlah dia ketika teringat bahwa mungkin mereka ini adalah para pendeta Lama dari Tibet! Namun, segera Han Siong dapat menguasai diri dan dengan sikap tenang dia menghadapi lima orang pendeta itu. Mereka itu rata-rata berusia enam puluh tahun, tiga orang di antaranya memegang tongkat dari kayu hitam, yang dua orang lagi tidak memegang tongkat, akan tetapi tangan mereka memegang dan memainkan butir-butir tasbeh merah yang panjang. Han Siong dapat menduga bahwa tasbeh itu bukan sekedar alat pembantu melakukan sembahyang, melainkan juga dapat dipergunakan sebagai senjata karena banyak pula hwesio Siauw-lim-si yang pandai menggunakan alat ini sebagai senjata ampuh.
Melihat betapa lima orang pendeta itu memenuhi jalan di depannya, seperti orang menghadang, dia lalu memberi hormat dan bersoja, mengangkat kedua tangan yang dirangkap di depan dada.
"Maaf Cu-wi Losuhu (Bapak Pendeta Sekalian), harap sudi membuka jalan agar saya dapat lewat," katanya penuh hormat.
Lima orang pendeta Lama itu mengerutkan alis dan memandang kepadanya dengan pandang mata penuh selidik. Kemudian, seorang di antara mereka yang matanya lebar sebelah, yang sebelah kiri jauh lebih kecil daripada yang sebelah kanan dan biji-biji tasbeh di tangannya itu lebih besar daripada orang ke dua yang memegang tasbeh, tubuhnya tinggi kurus dengan kedua pipi cekung seperti tengkorak hidup, berkata, suaranya jelas membuktikan bahwa dia berlidah asing.
"Apakah engkau hendak pergi ke perkampungan Pek-sim-pang, orang muda?" Suaranya parau dan datar.
"Benar, Lo-suhu. Saya hendak pergi ke dalam perkampungan Pek-slm-pang."
"Hemm, ada keperluan apakah?"
Biarpun wajahnya tetap senyum dan hormat, namun di dalam hatinya Pek Han Siong mencela sikap para pendeta ini. Siapakah mereka itu yang seolah-olah hendak mencampuri urusan orang lain, seolah-olah mereka itu berkuasa di situ dan berhak mengurus orang-orang yang berkunjung kepada perkumpulan Pek-sim-pang? Namun dengan sikap tenang dia menjawab.
"Saya hendak pergi menghadap keluarga Pek di sana, Losuhu."
"Hemm, siapakah namamu, orang muda?"
Han Siong sudah menduga bahwa mereka ini tentulah pendeta-pendeta Lama dari Tibet yang kabarnya mencari dia sebagai Sin-tong. Akan tetapi dia tidak merasa takut dan tidak mau menyembunyikan dirinya.
"Nama saya Pek Han Siong, Losuhu."
Benar saja dugaannya, lima orang itu nampak terkejut, bahkan mereka saling pandang dengan wajah pucat akan tetapi juga kelihatan girang sekali. Seorang di antara mereka, yang tubuhnya gendut bundar seperti bola, menggelinding ke belakangnya.
"Perlihatkan punggungmu!" bentak pendeta gendut itu dan Han Siong merasa betapa ada tangan menyambar ke arah punggungnya. Dalam waktu sedetik itu dia pun maklum bahwa mereka ingin melihat tanda merah di punggungnya, maka dia pun tidak mengelak, hanya diam-diam mengerahkan tenaga melindungi tubuh belakang agar tidak terkena pukulan gelap.
"Brettt .....!" Punggung baju Han Siong kena dicengkeram robek dan nampaklah kulit punggung yang putih bersih, dengan tanda merah jelas nampak di tengah punggung itu!
"Omitohud ......! Benar dia... Sin-tong...!" Teriak Si Gendut yang segera menjatuhka diri berlutut di depan kaki Han Siong. Empat orang pendeta yang lain, dengan gerakan yang cepat dan ringan, telah berlompatan ke belakang Han Siong dan begitu melihat tanda merah itu, mereka pun seperti Si Gendut tadi, menjatuhkan diri berlutut dengan sebelah kaki di depan Han Siong.
"Ampunkan saya ....... yang telah berani bersikap kurang hormat kepada Sin-tong ......!" kata pendeta gendut yang tadi merobek baju Han Siong di bagian punggung.
Han Siong berdiri dengan kikuk sekali, akan tetapi juga geli rasa hatinya melihat betapa lima orang pendeta yang usianya enam puluh tahun kini berlutut memberi hormat kepadanya. Apakah mereka ini sudah menjadi gila, pikirnya.
"Cu-wi Lo-suhu, harap jangan begini. Silakan bangkit dan bicaralah yang jelas, karena aku sungguh tidak mengerti apa artinya ini semua." katanya.
Pendeta yang tinggi kurus dan matanya sipit sebelah itu, yang agaknya menjadi pemimpin mereka, berkata dengan sikap hormat, dengan sebelah kaki masih berlutut dan kedua tangan menyembah di depan dada.
"Sin-tong yang mulia, pinceng mohon maaf karena tidak mengenal sebelumnya, pinceng berlima bersikap kurang hormat. Hendaknya diketahui bahwa kami berlima adalah para pendeta Lama dari Tibet yang bertugas di sini menanti kedatangan Anda."
Han Siong pura-pura tidak mengerti. "Menanti kedatanganku? Untuk apakah? Aku tidak pernah mengenal Cu-wi dan aku bukanlah Sin-tong, melainkan Pek Han Siong."
"Aih, Sin-tong. Dua puluh tahun lebih kami bersusah payah mencari Anda, bahkan sudah beberapa kali berganti orang, membuang banyak tenaga. Kami merupakan tenaga yang terakhir, yang baru hampir satu tahun menanti kembalimu ke perkampungan ini."
"Hemm, aku tidak mengerti. Aku tidak mempunyai urusan dengan kalian. Sekarang, setelah bertemu, katakanlah apa kehendak kalian terhadap dlriku."
"Sin-tong, pimpinan kami sudah menanti-nanti kedatangan Anda. Marilah ikut bersama kami, menghadap para pimpinan kami yang akan memberitahukan selanjutnya kepada Anda apa yang harus dilakukan."
"Apa? Kalian mengajak aku pergi ke Tibet?"
"Benar, Sin-tong."
"Tldak, aku datang untuk menghadap orang tuaku, menghadap Ayah dan Ibu kandungku."
"Keluarga Pek bukanlah keluarga Anda, hanya kebetulan saja mereka dipakai untuk menjadi perantara Anda turun ke bumi. Anda telah ditakdirkan turun ke bumi melalui keluarga Pek untuk membimbing kami para Lama dan seluruh umat di dunia. Marilah, Sin-tong."
"Tidak, aku harus bertemu dengan orang tuaku."
"Boleh bertemu sebentar dengan keluarga Pek, akan tetapi setelah itu harus ikut bersama kami ke Tibet."
"Harus? Kalian memaksaku?"
"Ah, mana pinceng berani kurang ajar terhadap Sin-tong. Akan tetapi, kami telah menerima tugas sebagai utusan para pimpinan kami di Tibet. Bagaimanapun juga, kami harus pulang membawa Sln-tong karena kalau tidak, dosa kami akan besar sekali."
"Kalau aku tidak mau?"
"Apa boleh buat, bukan kami lancang dan berani kurang ajar melainkan kami harus mentaati perintah pimpinan kami." kata pimpinan Lama ini dan tiba-tiba sepasang mata yang besar sebelah itu mengeluarkan sinar mencorong, bibirnya berkemak-kemik dan terdengarlah seruan dari mulutnya, suaranya lantang dan menggetar penuh wibawa yang kuat, "Engkau harus mentaati kami!"
Pek Han Siong sudah menduga bahwa para pendeta Lama ini tentu memiliki ilmu sihir untuk menguasai kemauan orang lain, maka sebelumnya, dia sudah bersiap siaga sehingga ketika ada getaran suara yang amat kuat itu mencoba untuk menekannya, dia tersenyum saja. Baik, pikirnya, kalau kalian mengajak bermain-main dengan ilmu sihir, aku memperoleh kesempatan untuk menguji kemampuanku setelah dilatih ilmu sihir oleh Ban Hok Lojin.
"Cu-wi Lo-suhu, harap jangan main-main dan hendak memaksakan kehendak kepadaku. Aku tidak mempunyai urusan dengan para Lama di Tibet, dan aku berada di tempat sendiri, tidak pernah mengganggu kalian. Bagaimana kalian orang-orang beribadat hendak memaksa seseorang? Bukankah itu merupakan dosa besar? Aku tidak mau ikut dan hendak kulihat apa yang akan kalian lakukan."
Lima orang pendeta itu saling pandang dengan heran. Pimpinan mereka tadi sudah mengerahkan tenaga menggunakan ilmu menguasai kemauan orang, akan tetapi agaknya pemuda ini sama sekali tidak terpengaruh, bahkan tidak merasa sama sekali! Masih enak-enak saja bicara seolah-olah tak pernah terjadi sesuatu! Akan tetapi keheranan mereka segera hilang ketika mereka teringat bahwa yang mereka hadapi adalah Sin-tong. Sebagai Anak Ajaib dan calon Dalai Lama, tentu saja pemuda ini memiliki kelebihan daripada orang biasa, pikir mereka, belum sadar bahwa yang mereka hadapi bukan hanya Sin-tong, melainkan seorang pemuda yang baru saja tamat belajar ilmu sihir yang amat kuat dari seorang di antara Delapan Dewa, yaitu Ban Hok Lo-jin!
Tiba-tiba pimpinan Lama itu kembali membentak, kini dengan suara yang lebih nyaring melengking dan bergelombang kuat. "Pek Han Siong, demi Yang Mulia Dalai Lama di Tibet, engkau harus taat dan ikut bersama kami ke Tibet!"
Han Siong merasa betapa dahsyatnya pengaruh suara itu, namun dia tetap tersenyum karena kalau diumpamakan suara itu seperti deburan ombak yang kuat, dia adalah seperti batu karang yang lebih kokoh lagi, yang tidak tergoyahkan oleh gelombang besar!
"Engkau harus ikut!" Lama ke dua menghentakkan tongkatnya ke atas tanah sambil membentak keras.
"Engkau harus taat!"
"Harus ikut!"
"Harus taat!"
Bergantian lima orang pendeta Lama itu membentak dan mengerahkan kekuatan sihirnya untuk mempengaruhi Han Siong. Akan tetap pemuda itu berdiri biasa saja, mulutnya tersenyum dan sikapnya masih hormat, sedikit pun tidak bergoyang, sama sekali tidak nampak bahwa dia terpengaruh oleh serangan kelima orang pendeta Lama itu. Kembali para pendeta Lama itu saling pandang dan kini mereka terbelalak, baru terkejut dan dapat menduga bahwa pemuda itu tentu memiliki kekuatan gaib yang hebat sehingga serangan mereka tadi, yang di lakukan susul-menyusul sampai tenaga mereka bergabung, sedikit pun tidak berbekas!
"Sudahlah, Cu-wi Losuhu, jangan memaksaku. Segala sesuatu di dunia ini kalau dipaksakan, akan berakibat buruk. Harap Cu-wi pergi dan jangan mengganggu aku lagi."
"Baik, pinceng pergi...." kata pendeta kurus yang menjadi pimpinan.
"Kami pergi ....."
"Kami pergi ....."
Lima orang itu tiba-tiba saja menundukkan kepala dan membalikkan tubuh, hendak pergi meninggalkan Han Siong. Akan tetapi baru beberapa langkah, mereka sadar bahwa mereka telah kehilangan kemauan dan tanpa mereka kehendaki mulut mereka tadi mengeluarkan kata-kata itu dan kini mereka hendak membawa mereka pergi.
"Omitahud .....!" Mereka berseru dan kembali membalikkan tubuh, kini menghadapi Han Siong dengan mata terbelalak penasaran dan alis berkerut. Tahulah mereka bahwa ketika berkata-kata tadi, Pek Han Siong telah mempergunakan kekuatan sihir pula yang membuat mereka berlima terpengaruh!
"Pek Han Siong!" kata pendeta kurus yang menjadi pimpinan, "biarpun engkau Sin-tong dan kami berlima tidak akan berani kurang ajar kepadamu, akan tetapi saat ini engkau adalah searang yang di haruskan oleh pimpinan kami untuk ikut ke Tibet. Oleh karena itu, terpaksa kami akan menggunakan kekerasan membawamu ke Tibet!" Berkata demikian, tiba-tiba seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa, menubruk Han Siang dari belakang.
Han Siong tidak mengelak dan dua buah lengan yang besar dan panjang telah memeluknya dari belakang dalam tangkapan yang amat kuat seperti dua ekor ular melibat tubuhnya, membuat Han Siong tldak mampu bergerak lagi. Pimpinan para Lama itu melangkgh maju dan sekali menotok dengan jari tangannya ke arah pundak, tubuh Han Siong menjadi lumpuh dan tidak dapat berkutik lagi. Lima orang pendeta Lama itu merasa girang dan lega, tertawa senang karena mereka tidak menyangka bahwa pemuda itu dapat ditangkap semudah itu. Kiranya pemuda itu hanya pandai ilmu sihir saja agaknya sama sekali tidak pandai ilmu silat!
"Bagus, mari kita bawa dia!" kata kakek tinggi kurus yang memimpin rombongan itu. Si Raksasa lalu memanggul tubuh yang sudah tak berdaya itu dan mereka pun berlari cepat meninggalkan tempat itu, khawatir kalau sampai diketahui orang-orang Pek-sim-pang sehingga akan timbul keributan.
Akan tetapi, baru dua ratus langkah mereka lari, tiba-tiba pimpinan pendeta itu bertanya heran. "Eh, mana Lung Ti Lama?" mendengar ini teman-temannya berhenti dan menengok ke kanan kiri. Memang Si Pendek Lung Ti Lama, seorang diantara mereka, tidak nampak dan mereka kini hanya berempat! Berlima dengan tawanan mereka,. Pendeta kurus yang menjadi pimpinan itu memandang ke arah tawanan yang masih dipanggul oleh temannya yang tinggi besar dan seketika wajahnya menjadi pucat.
"Celaka, yang kaupanggul itu adalah Lung Ti Lama!" teriaknya. Si Tinggi Besar terkejut dan menurunkan tubuh yang dipanggulnya dan benar saja, kiranya yang ditawan dan ditotok tadi adalah seorang teman mereka sendiri, pendeta Lama bertubuh pendek itu! Tentu saja empat orang pendeta itu terkejut bukan main dan pimpnan Lama segera membebaskan totoka dari tubuh Si Pendek
Lung Ti Lama mengeluh dan mengusap-usap pundaknya yang terasa kaku sambil mengomel panjang pendek.
"Bagaimana engkau yang menjadi tawanan? Padahal tadi kami menangkap Sin-tong!" tegur pendeta tinggi itu.
"Sin-tong apa?" Si Pendek mengomel. "Kalian malah mengeroyok aku dan menangkap aku."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar