14 Pendekar Mata Keranjang

"Hemm, mau apa kalian menghadang perjalanan kami?" bentak Kui Hong marah dan ia sudah meloncat turun, membiarkan kudanya terlepas dan ia menghampiri mereka yang menghadang di tengah jalan.

Dua orang itu memandang kepada dua orang wanita ini dan mereka pun terbelalak penuh kagum. "Ha-ha, ada dua ekor domba mulus dan gemuk memasuki perangkap. Kawan-kawan, malam ini kita berpesta pora sampai kenyang!" kata seorang di antara mereka.

"Ha-ha-ha, dan mereka membawa dua ekor kuda yang bagus dan mahal."

"Dan lihat pakaian mereka, lihat perhiasan yang berada di leher dan sanggul mereka!"

"Dan dua buntalan besar itu banyak isinya!"

Maklumlah Sui Cin dan Kui Hong bahwa mereka berhadapan dengan perampok! Khawatir kalau-kalau puterinya membunuh orang, Sui Cin juga melompat turun dan berkata. "Kui Hong, kau pegangi kendali dua ekor kuda kita. Biar aku menghadapi mereka, siapa tahu mereka mengerti akan bayangan semalam."

Kui Hong merasa kecewa bahwa ia tidak boleh turun tangan sendiri menghajar perampok itu, akan tetapi ia tidak berani membantah perintah ibunya. Ia lalu memegangi kendali dua ekor kuda agar tidak melarikan diri sambil melihat betapa dengan sikap tenang ibunya maju menghampiri orang-orang yang kasar itu.

"Heh-heh, yang muda seperti bunga sedang mekar, yang lebih tua seperti buah yang sudah masak. Keduanya cantik menarik, heh-heh!" kata orang tinggi besar muka hitam yang agaknya menjadi pemimpin perampok. "Kawan-kawan, tangkap mereka jangan sampai terluka, yang muda berikan aku, yang tua biar untuk kalian semua."

Wajah Sui Cin sudah menjadi merah sekali karena marah, akan tetapi, dengan tenang ia maju terus. "Kalian ini orang-orang tak tahu malu, hendak merampok dua orang wanita yang sedang melakukan perjalanan. Apakah seorang di antara kalian semalam melakukan pengintaian di kamar hotel kami?"

Mendengar pertanyaan ini, orang-orang itu saling pandang, lalu Si Tinggi Besar muka hitam tertawa, diikuti pula oleh anak buahnya. "Manis, kalau aku mengintai kamarmu semalam, apa kaukira aku sudah melepaskanmu pula hari ini? Ha-ha-ha!"

"Plakk!"

Tamparan tangan Sui Cin itu cepat bukan main, sampai tidak terlihat oleh kepala perampok itu. Demikian cepatnya dan tahu-tahu tangan kiri itu sudah menampar pipi kanan Si Kepala Rampok yang merasa seperti disambar petir saja.

"Auhhh ....!" Tubuhnya terpelanting dan dia pun roboh, memegangi pipi kanan dengan kedua tangan. Pipi itu telah menjadi biru dan bengkak, mulutnya berdarah karena selain bibir kanannya pecah, juga semua giginya di bagian kanan telah copot! Hebat bukan main tamparan Sui Cin itu yang merasa marah karena ia telah dihina dengan kata-kata yang kotor.

Melihat kepala mereka dipukul roboh, sebelas orang perampok menjadi marah dan mereka sudah mencabut senjata masing-masing, mengepung Sui Cin dan Kui Hong. Gadis ini berdiri tenang saja, masih memegangi kendali dua ekor kuda yang mulai nampak ketakutan karena sikap belasan orang itu. Si Kepala Perampok sudah bangkit lagi dan setelah kepalanya tidak pening lagi, dia pun mencabut goloknya.

"Bedebah, tangkap mereka! Serahkan perempuan ini kepadaku dulu, akan kuhancurkan ia sampai minta-minta ampun kepadaku."

Akan tetapi, dua belas orang itu bagaikan macan-macan ompong saja bagi Sui Cin. Tentu saja orang-orang kasar yang hanya mengandalkan tenaga dan kenekatan itu sama sekali bukan merupakan lawan yang tangguh bagi Sui Cin. Siapa yang berani maju menyerangnya, tentu akan terpelanting terkena tamparan atau tendangan kakinya yang gerakannya amat cepat itu. Namun Sui Cin tidak mau membunuh orang dan tenaga yang dipergunakan dalam pukulan dan tendangan itu terbatas. Juga mereka yang menubruk ke arah Kui Hong kecelik. Dengan kedua kakinya, gadis ini menendang kanan kiri dan mereka yang terkena tendangan tentu roboh tersungkur.

Selagi para perampok itu kacau balau karena pukulan Sui Cin dan tendangan ibu dan anak itu, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring. "Hentikan semua itu!"

Para perampok berhenti dan ketika mereka menoleh dan melihat seorang pemuda yang datang menuntun seekor kuda putih, tiba-tiba saja mereka semua, dipimpin oleh Si Muka Hitam, menjatuhkan diri dengan muka berubah ketakutan.

"Can Kongcu (Tuan Muda Can), harap ampunkan kami ...." kepala perampok itu meratap sambil berkali-kali bersoja (memberi hormat dengan merangkap kedua tangan) kepada pemuda itu.

Sui Cin dan Kui Hong juga memandang dan mereka terkejut ketika mengenal bahwa pemuda itu bukan lain adalah pemuda peniup suling yang mereka jumpai kemarin di Telaga Tung-ting! Mudah mengenal kembali pemuda ini, karena selain wajahnya yang tampan dan matanya yang mencorong itu mudah diingat, juga suling di ikat pinggangnya dan yang-kim di punggungnya mudah dikenal. Pemuda itu tidak mempedulikan para perampok yang berlutut mohon ampun padanya. Dia menoleh kepada Sui Cin dan Kui Hong dan agaknya baru dia mengenal lagi dua orang wanita ini. Cepat dia melepaskan kendali kuda yang dipegangnya dan menjura dengan sikap hormat kepada ibu dan anak itu.

"Ah, kiranya Ji-wi yang diganggu oieh tikus-tikus kecil ini. Selamat bertemu kembali, Bibi yang terhormat dan Adik yang manis."

Wajah Kui Hong menjadi merah dan ia mengerutkan alisnya, akan tetapi ketika ia memandang wajah pemuda tampan itu, tidak nampak tanda bahwa pemuda itu main-main atau menggodanya atau berkurang ajar dengan sebutan adik manis tadi, maka ia pun tidak menjadi marah-marah.

"Mereka ini berlutut kepadamu, apakah engkau ini kepala perampoknya?" dara yang lincah dan galak ini mengejek, dan kalau benar dugaannya itu, tentu akan diserangnya pemuda ini, karena kini ia tidak akan dipersalahkan ibunya. Kalau pemuda ini kepala perampok, tentu ia boleh menyerang dan bahkan merobohkannya, walaupun ibunya selalu melarang agar ia jangan membunuh orang.

Mendengar pertanyaan itu, pemuda tadi tersenyum dan diam-diam Sui Cin merasa tertarik sekali. Ketika tersenyum, lenyaplah keangkeran dan wibawa yang ada pada pemuda itu, terganti keramahan dan kebaikan hati yang membayang lewat senyuman itu.

"Nona, mereka ini adalah tikus-tikus busuk yang tidak kukenal, akan tetapi bukan salahku kalau mereka kenal dan takut kepadaku karena memang di daerahku ini aku dikenal sebagai pembasmi tikus-tikus. Nah, karena tikus-tikus ini berkeliaran di daerahku dan telah mengganggu Bibi dan engkau Nona, katakanlah, apa yang harus kulakukan terhadap mereka?"

"Bunuh saja mereka!" bentak Kui Hong.

Pemuda itu nampak terkejut, akan tetapi dia mengangguk. "Baiklah, aku akan membunuh mereka."

Para perampok itu segera berseru mohon ampun dengan wajah ketakutan dan melihat betapa pemuda itu agaknya betul-betul hendak membunuh mereka atas perintah Kui Hong, Sui Cin berseru, "Tahan! Jangan bunuh mereka, kalau hendak membunuh pun, bukan karena permintaan anakku!" Lalu kepada Kui Hong ia berkata, "Kui Hong, engkau tidak boleh menyuruh dia membunuh orang!"

"Aku tidak menyuruh siapa-siapa, dia tadi bertanya dan aku menjawab, bukan berarti aku suruh dia membunuh. Mau membunuh atau tidak, adalah urusannya dan tidak ada sangkut pautnya denganku!" jawab Kui Hong.

Pemuda itu tersenyum. "Nah, tikus-tikus busuk, Nona kalian telah memberi ampun, tidak lekas menghaturkan terima kasih dan menggelinding pergi?"

Si Muka Hitam itu dengan diikuti oleh para anak buahnya lalu berlutut dan bersoja kepada Kui Hong dan Sui Cin, mohon ampun, kemudian mereka pergi sambil memapah teman-teman yang terluka babak belur terkena tamparan dan tendangan tadi.

Setelah mereka pergi, pemuda itu lalu menjura kepada Sui Cin. "Sungguh aku merasa malu dan menyesal sekali. Tempat ini merupakan daerahku, maka sedikit banyak aku bertanggung jawab atas peristiwa perampokan ini. Lain kali akan kubersihkan semua perampok. Bibi yang gagah perkasa, perkenalkanlah, aku bernama Can Sun Hok."

Melihat sikap orang yang ramah dan sopan, Sui Cin juga balas menjura. "Namaku Ceng Sui Cin dan ini puteriku bernama Cia Kui Hong."

"Ah, Bibi dari keluarga Cia? Aku pernah mendengar tentang keluarga Cia yang menjadi pimpinan Cin-ling-pai, apakah .....?"

"Ketua Cin-ling-pai adalah Kakekku!" kata Kui Hong cepat-cepat, agak merasa bangga bahwa nama keluarganya terdengar dan dikagumi sampai sejauh ini.

"Ah, saya telah bersikap kurang hormat!" Tiba-tiba pemuda yang bernama Can Sun Hok itu menjura sampai dalam. "Harap Locianpwe dan Nona sudi memaafkan kalau tadi saya bersikap kurang hormat karena tidak mengenal. Nama besar keluarga Cia sudah lama saya dengar dan saya kagumi, terimalah hormat saya." Dan kembali dia menjura kepada Sui Cin dan Kui Hong. Sui Cin merasa canggung juga mendapatkan kehormatan yang berlebihan itu.

"Ah, Can Kongcu bersikap terlalu sungkan. Engkau sendiri juga seorang pendekar yang gagah perkasa, harap jangan sebut Locianpwe kepadaku dan kepada Kui Hong."

"Ah, mana saya berani selancang itu?" kata Can Sun Hok.

"Engkau ini kenapa begini banyak rewel dan banyak sungkan-sungkan? Ibuku sudah memerintahkan demikian, dan biarlah aku yang menyebutmu Toako!" kata Kui Hong yang kini terbalik merasa suka kepada pemuda itu yang selalu memperlihatkan keramahan dan kesopanan.

Mendengar ucapan itu, Can Sun Hok tersenyum lagi dan mengangguk-angguk. "Saya tidak bermimpi apa-apa semalam, akan tetapi ternyata kini memperoleh kehormatan yang amat besar! Baiklah, Bibi, dan engkau Adik Kui Hong, aku yang sudah yatim piatu seolah-olah kini memperoleh keluarga lagi. Aih, kalau Bibi dan Adik merasa kasihan kepada saya dan sudi menerima undangan saya, maka saya persilakan Ji-wi (Anda Berdua) singgah di rumahku yang terletak di Siang-tan, kota di depan itu. Tak mungkin kita berpisah begini saja setelah Thian telah mempertemukan kita di tempat yang tak terduga-duga."

Karena perjalanan mereka malam itu memang tiba di siang-tan dan harus bermalam di tempat itu, Sui Cin tidak merasa keberatan. "Terima kasih, Kongcu..."

"Aih, Bibi! setelah aku tidak sungkan lagi, kenapa Bibi masih menyebut Kongcu kepadaku? Namaku adalah Can Sun Hok, harap Bibi suka menganggap aku sebagai keponakan sendiri saja."

Sui Cin tersenyum dan merasa semakin suka kepada pemuda yang ramah ini. "Baiklah, Sun Hok, kami menerima undanganmu dan terima kasih kuucapkan. Akan tetapi, karena engkau hidup sebatang kara, apakah kehadiran kami tidak akan merepotkanmu?"

"Tidak sama sekali, Bibi. Aku mempunyai banyak pelayan di rumah."

"Ha, engkau seorang yang kaya rupanya!" Kui Hong berseru. "Akan tetapi tidak mengapa, yang kubutuhkan hanya agar engkau suka melayani aku untuk pi-bu."

"Hah?" Sun Hok terbelalak. "Pi-bu?"

"Ya, adu silat secara persahabatan. Tidak mengapa, bukan? Aku mendengar bahwa engkau dapat menggulingkan perahu, dan aku melihat engkau merobohkan tukang pukul di tepi Telaga Tung-ting, aku ingin sekali mencoba ilmu kepandaianmu!"

"Kui Hong! Bersikaplah sopan dan ramah, jangan kurang ajar!" Sui Cin membentak puterinya.

"Tidak mengapa, Bibi. Adik Kui Hong ini lucu sekali, aku suka padanya. Akan tetapi, Adikku, mana aku berani mengadu ilmu dengan cucu Ketua Cin-ling-pai? Jangan-jangan belum sampai sepuluh jurus aku sudah akan keok!"

"Apa itu keok?" Kui Hong bertanya, karena memang ia tidak pernah mendengar istilah itu.

"Ayam itu kalau diadu dan kalah, bukankah lalu mengeluarkan bunyi keok-keok? Nah, keok berarti kalah."

Kui Hong tertawa geli dan merasa lucu sekali. Mereka lalu menunggang kuda masing-masing dan mengikuti Sun Hok yang mengajak mereka ke rumahnya. Sui Cin mengambil keputusan untuk melihat keadaan rumah pemuda itu. Kalau terlalu merepotkan, ia akan mengajak puterinya untuk bermalam dirumah penginapan saja.

Akan tetapi, apa yang dilihatnya sungguh jauh di luar dugaannya. Sebuah rumah gedung yang besar sekali, seperti istana dan pantasnya menjadi rumah seorang bangsawan dan hartawan besar! Dan kedatangan mereka disambut oleh tiga orang pelayan pria yang mengurus tiga ekor kuda itu. Ketika pemuda itu mengajaknya masuk ke rumah gedung itu, dua orang pelayan wanita yang berpakaian serba bersih menyambut mereka dan memberi hormat dengan ramah.

Bukan hanya Sui Cin yang terheran-heran, bahkan Kui Hong kini juga memandang dengan takjub. Ketika mereka memasuki ruangan depan, dinding itu penuh dengan lukisan-lukisan sajak berpasangan yang serba indah, lantainya mengkilat putih dan perabot-perabot rumah juga terdiri dari barang-barang mewah dan serba indah dan mahal!

"Can-toako .... Ini ..... ini rumahmu sendiri?" Kui Hok bertanya heran.

Sun Hok tersenyum. "Benar, Adik Kui Hong. Ini rumahku, peninggalan dari Ayahku yang menerima warisan dari Kakekku pula. Kakekku adalah bekas gubernur di Ning-po, juga dia seorang pangeran ..."

"Ah, kiranya engkau seorang bangsawan!" kata Sui Cin kaget.

"Bukan bangsawan, Bibi, melainkan keturunan bangsawan saja. Mendiang ayahku sudah tidak memegang jabatan walaupun kakekku adalah seorang bekas gubernur dan seorang pangeran. Dan aku sendiri... ah, agaknya aku hanya kebagian menghabiskan warisan mereka saja."

Tiba-tiba muncul seorang nenek dan dua orang tamu itu terkejut. Kalau para pelayan yang lain nampak rapi dan bersih, nenek ini kelihatan menakutkan. Seorang nenek yang usianya sudah tua sekali, sedikitnya tentu tujuh puluh tahun, mukanya bopeng penuh bekas cacar, hitam dan matanya lebar menakutkan. Wajahnya tentu akan menakutkan seorang anak-anak, bahkan Kui Hong juga terbelalak memandang, teringat akan dongeng tentang setan dan iblis. Nenek ini agak bungkuk, pakalannya serba hitam dan memegang sebatang tongkat.

"Kongcu baru pulang?" tanya nenek itu, tanpa mempedulikan dua orang tamunya.

"Benar, Lo-bo, dan kauberitahukan kepada pelayan agar mempersiapkan sebuah kamar besar untuk dua orang tamu terhormat ini, juga persiapkan air hangat untuk mandi, kemudian hidangan yang cukup untuk kami makan malam. Lo-bo, ini adalah Bibi Ceng Sui Cin dan puterinya, Adik Cia Kui Hong."

Nenek itu kelihatan terkejut, memandang kepada dua orang tamunya, sejenak matanya terbelalak dan mencorong, kemudian ia menunduk dan membungkuk sebagai tanda hormat. "Selamat datang, Toanio dan Siocia!" katanya dan ia pun membalikkan badan, terseok-seok berjalan pergi dibantu tongkatnya.

Melihat betapa dua orang tamunya kelihatan terkesan oleh kemunculan nenek itu, Sun Hok cepat berkata menjelaskan, "Ia adalah Wa Wa Lo-bo, seorang pembantu yang setia, yang telah menjadi pembantuku sejak aku masih bayi. Karena kesetiaannya, maka aku merasa kasihan kepadanya dan membiarkan ia hidup di sini sampai selamanya untuk membalas budinya. Ialah yang dulu mengasuh dan merawat aku sejak aku bayi."

Mereka lalu diajak memasuki ruangan dalam, sebuah ruangan yang lebih indah lagi, penuh dengan gorden-gorden sutera yang serba indah. Mereka duduk berhadapan di kursi dan meja yang diukir indah.

"Kita menanti di sini dulu sambil menanti dipersiapkannya kamar Ji-wi dan juga keperluan mandi. Setelah mandi kita makan bersama di ruangan makan." Kata Can Sun Hok, nampaknya gembira sekali menerima dua orang tamunya ini.

Diam-diam Sui Cin memperhatikan tuan rumah yang masih muda tapi kaya raya ini. Seorang pemuda yang usianya masih kurang lebih dua puluh tahun, wajahnya tampan dan tubuhnya tegap. Pakaiannya sederhana, tidak sesuai dengan keadaan rumah gedung yang mewah seperti istana itu. Wajahnya yang tampan itu penuh wibawa, pendiam dan bengis, akan tetapi adakalanya, seperti sekarang ini, nampak halus perangainya dan ramah sikapnya. Yang masih membuat Sui Cin menduga-duga adalah tentang ilmu silatnya. Sukar menaksir sampai di mana tingkat kepandaian pemuda ini. Dan mempelajari keadaan pemuda ini timbul suatu gagasan dalam pikiran Sui Cin. Pemuda ini sungguh merupakan seorang pemuda yang baik, dan agaknya tidak akan mengecewakan kalau menjadi calon jodoh puterinya! Cukup tampan, kaya raya, lihai dan berperangai baik, bahkan jelas seorang pendekar melihat sepak terjangnya baru-baru ini.

Akan tetapi, ia tidak tahu bahwa diam-diam Kui Hong juga memperhatikan pemuda itu dan puterinya itu mempunyai pendapat sendiri. Seorang pemuda yang tampan dan gagah, akan tetapi aneh dan sinar matanya yang kadang-kadang mencorong itu mencurigakan, pikir Kui Hong! Entah mengapa ia sendiri tidak tahu, akan tetapi Kui Hong mempunyai perasaan tidak suka kepada pemuda ini! Seorang yang menyembunyikan sesuatu, seorang yang palsu, pikir Kui Hong.

Tak lama kemudian, Sui Cin mulai menyelidiki keadaan pemuda itu secara tidak langsung, dengan pertanyaan-pertanyaan yang nampaknya sepintas lalu saja, "Sun Hok, sungguh janggal sekali menyebutkan namamu begitu saja seolah-olah kita masih ada hubungan keluarga, padahal engkau adalah seorang pemuda yang kaya raya. Akan tetapi, melihat usiamu, yang tentu tidak lebih dari dua puluh tahun, tentu orang tuamu juga belum tua benar. Akan tetapi, kenapa engkau telah menjadi seorang yatim piatu? Apa yang telah terjadi dengan orang tuamu?"

Pemuda itu menarik napas panjang dan menundukkan mukanya, kelihatan berduka sehingga ibu dan anak itu semakin tertarik dan menanti penuh perhatian.

"Ah, memang nasibku sejak masih bayi amat buruk, Bibi. Ibu kandungku meninggal dunia sejak aku berusia tiga tahun, kemudian ketika aku berusia belasan tahun, ayah kandungku meninggal pula karena sakit. Aku sejak kecil, sejak berpisah dari Ibu dirawat dan diasuh oleh Wa Wa Lo-bo, bahkan setelah Ayah meninggal, Wa Wa Lo-bo yang terus mendidikku, memanggilkan guru-guru baca tulis, bahkan mencarikan sastrawan-sastrawan terpandai dengan bayaran mahal untuk mendidik aku "

"Hemm, pantas sekali engkau demikian pandai membuat sajak!" kata Kui Hong kagum.

"Dan siapakah yang telah mengajarkan ilmu silat padamu? Engkau tentu memiliki ilmu silat yang tinggi sekali dan tentu gurumu seorang tokoh persilatan yang amat terkenal!" kata Sui Cin memancing.

Pemuda itu kembali menarik napas panjang dan jelas nampak bahwa dia tidak suka membicarakan tentang hal itu agaknya. "Bibi yang baik, aku mempelajari ilmu silat hanya sebagai suatu bekal untuk suatu tujuan. Aku berusaha menyembunyikan kepandaian silatku, dengan maksud untuk kelak kupakai melaksanakan tujuan itu, akan tetapi ternyata tidak lepas dari pengamatan Bibi yang amat tajam. Sesungguhnya, aku... aku agak merasa kikuk dan canggung untuk bicara soal ilmu silat, karena sesungguhnya, ilmu silatku belum berapa tinggi dan masih jauh daripada cukup untuk pelaksaan tujuan yang kupendam sejak aku kecil itu, Bibi!"

"Hemm, untuk tujuan balas dendam, bukan?"

Pemuda itu tiba-tiba meloncat dari kursinya dan memandang kepada wajah nyonya itu dengan mata terbelalak dan muka berubah pucat. "Bagaimana Bibi... bisa mengetahuinya... ?" tanyanya gagap.

Sui Cin tersenyum dan melambaikan tangannya. "Duduklah dan jangan kaget, jangan pula khawatir orang muda. Tidak sukar untuk menduga demikian. Engkau kehilangan Ayah dan Ibu sejak masih kecil dan aku menduga bahwa kematian mereka, atau satu di antara mereka tentu karena dibunuh orang. Dan engkau menyembunyikan ilmu silatmu, dengan maksud tertentu dan karena kuhubungkan dengan dugaan bahwa orang tuamu mungkin dibunuh orang, maksud apalagi kalau bukan balas dendam?"

Pemuda itu memandang kagum. "Ahh, sungguh, luar biasa sekali ketajaman pikiran Bibi! Kalau begitu, Bibilah tempat aku bertanya. Sudah lama aku dibikin pusing oleh keadaanku ini. Bibi yang terhormat, bolehkah aku bertanya dan sukalah Bibi memberi nasihat kepadaku yang seperti orang dalam gelap ini, maukah Bibi memberi penerangan kepadaku?"

Sui Cin tersenyum lagi. Pemuda ini sungguh membuat ia merasa suka sekali, demikian penuh rahasia, akan tetapi juga demikian rendah hati dan ramah. "Tanyalah, orang muda, kalau aku dapat memberi nasihat tentu akan kubantu memikirkan masalah apa yang memusingkan hatimu."

"Begini, Bibi Ceng, terus terang saja, mendiang Ibu kandungku adalah seorang yang pernah melakukan kejahatan, bahkan terkenal jahat sekali, seorang tokoh sesat kata orang-orang dunia persilatan. Nah, biarpun aku sendiri tak pernah melihat buktinya, setelah mendengar bahwa Ibu kandungku adalah seorang yang amat jahat, lalu apa yang harus kulakukan? Baikkah kalau aku berbakti kepadanya?"

Pertanyaan itu mengejutkan hati Sui Cin. Tentu saja, walaupun hatinya ingin sekali tahu siapa gerangan ibu kandung pemuda ini, ia tidak berani bertanya karena hal itu bukanlah urusannya dan sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengannya. Dan pertanyaan itu pun membuat ia menjadi bingung. Apa yang harus dilakukannya andaikata ia sendiri yang demikian? Dan bagaimana ia harus menjawab?

Keraguan ini timbul karena Sui Cin merasa bahwa ibu kandungnya sendiri dahulu pun merupakan seorang tokoh sesat, bahkan seorang datuk sesat! Ibunya, yang bernama Toan Kim Hong, dahulu sebelum menikah dengan ayahnya terkenal sebagai datuk sesat yang berjuluk Lam Sin (Malaikat Selatan), seorang datuk sesat yang seolah-olah menjadi raja di antara orang-orang jahat! Ah, pikirnya, kini ibunya telah menjadi orang baik-baik, bahkan menjadi seorang pendekar. Jadi, kalau ibu kandung pemuda ini dahulunya jahat, tak boleh dikatakan bahwa selamanya akan menjadi jahat. Hanya bedanya, ibu kandung pemuda ini telah meninggal dunia!

"Can Sun Hok, tidak ada yang abadi di dunia ini." jawabnya. "Orang yang tadinya disebut baik, belum tentu baik selamanya dan yang jahat belum tentu jahat selamanya. Terhadap seorang ibu, tentu saja seorang anak haruslah berbakti apa pun kata orang terhadap ibunya, baik maupun buruk. Berbakti kepada orang tua merupakan kewajiban utama seorang anak."

"Ibuku telah meninggalkan aku sejak bayi, Bibi, meninggalkan aku dalam asuhan Nenek Wa Wa Lo-bo bersama ayahku yang tidak tahu bagaimana caranya mendidik anak. Kemudian ibuku terbunuh orang. Nah, bagaimana pendapat Bibi? Haruskah aku membalas dendam kematian ibuku. Mencari pembunuh ibuku itu dan membalas dengan membunuhnya demi kebaktianku terhadap ibuku?"

Bagaimanapun juga, Sui Cin tidak berani langsung menyatakan pendapatnya karena ia menghadapi urusan orang lain. Ia membayangkan andaikata ibu kandungnya dibunuh orang, dengan alasan apa pun juga, sudah pasti ia akan mencari pembunuh ibunya itu dan membalas dendam! Walaupun ia mempunyai pandangan sendiri tentang cara berbakti, akan tetapi sanggupkah ia menahan sakit hatinya kalau terjadi musibah menimpa dirinya seperti yang telah menimpa diri pemuda ini?

"Bagaimana pendapat Ayahmu?" tanyanya untuk mencari waktu.

Pemuda itu menarik napas panjang. "Ketika hal itu terjadi, aku baru berusia tiga tahun. Setelah aku mengerti, Ayah selalu menghindari pertanyaanku tentang ibuku dan aku tahu bahwa ayah agaknya membenci atau setidaknya dia tidak suka kepada Ibu. Biarpun dia tidak pernah mengatakan sesuatu, aku hampir yakin bahwa ayah tidak peduli tentang kematian Ibu dan tentu tidak setuju kalau aku membalas dendam. Ketika aku berusia dua belas tahun, ayahku meninggal dunia karena sakit."

"Ah, sungguh malang sekali nasibmu, Can-toako." kata Kui Hong sambil memandang dengan sinar mata mengandung iba. Kiranya pemuda yang pandai dan kaya raya ini hanya pada luarnya saja nampak hidup senang, padahal nasibnya amat buruk.

"Jadi, semenjak berusia dua belas tahun, engkau hanya hidup berdua saja dengan Nenek Wa Wa Lo-bo itu?" tanya Sui Cin, teringat akan nenek yang wajahnya menyeramkan tadi.

"Bukan sejak dua belas tahun, bahkan sejak lahir boleh dibilang Nenek Wa Wa Lo-bo itulah yang merawat dan kemudian mendidik aku. seingatku, ketika masih amat kecil sekalipun, yang mengasuh aku selalu adalah nenek itu. Mungkin sejak kecil mendiang ibu tidak peduli kepadaku." Wajah pemuda itu nampak diliputi awan duka.

"Dan ia pula yang memanggil guru-guru yang pandai untuk mendidik dan mengajarmu. Apakah ia pula yang memanggil seorang guru silat, dan siapakah ahli silat yang telah mendidikmu, Sun Hok?"

"Dalam segala ilmu kepandaian, Nenek Wa Wa Lo-bo selalu mencarikan guru yang terbaik dengan bayaran mahal. Akan tetapi tentang ilmu silatku yang tidak ada artinya ini, hanya mengenal satu dua pukulan, semua dilatih oleh Nenek Wa Wa sendiri."

"Aihhhh ....!" Sui Cin terkejut dan memandang terbelalak. "Kalau begitu nenek itu tentu lihai bukan main." Ia mengingat-ingat namun tak pernah rasanya mendengar nama tokoh kang-ouw yang bernama Wa Wa Lo-bo. "Akan tetapi rasanya belum pernah aku mendengar nama besarnya."

"Nenek Wa Wa memang tak pernah berurusan dengan dunia kang-ouw. Dan ia sejak dahulu adalah pengasuh mendiang ibuku, yang sengaja ditinggalkan ibu untuk mengasuh dan merawatku." Sun Hok yang sejak tadi membiarkan percakapan membelok ke arah lain, kini bertanya lagi. "Akan tetapi, Bibi Ceng, aku masih menanti jawabanmu tentang maksudku membalas dendam untuk berbakti kepada mendiang ibuku."

"Hemm, sebelum aku menjawab, katakan dulu bagaimana pendapat nenek yang menjadi pengasuh dan juga gurumu itu? Mengapa engkau tidak bertanya kepadanya?"

Sun Hok menarik napas panjang dan menggeleng kepalanya. "Sudah berulang kali kutanyakan kepada nenek Wa Wa siapa nama pembunuh ibuku, akan tetapi ia selalu tidak mau mengaku, dan mengatakan bahwa belum tiba saatnya bagiku untuk memusingkan diri tentang balas dendam karena ilmu kepandaianku masih jauh daripada mencukupi. Akan tetapi aku tidak pernah bertanya tentang kebaktian kepadanya, Bibi, karena ia hanya pandai ilmu silat akan tetapi dalam hal pengertian hidup tentu saja tak banyak dapat diharapkan darinya. Karena itu, kepada Bibilah aku memandang dan mengharapkan keterangan yang jelas. Haruskah aku membalas dendam demi kebaktianku kepada mendiang ibu, Bibi Ceng?"

Kini Ceng Sui Cin tidak dapat mengelak lagi, akan tetapi tadi dia sudah memperoleh cukup waktu untuk mempertimbangkan jawabannya. "Sun Hok, aku tidak ingin mempengaruhi batinmu karena aku tidak berhak untuk mencampuri urusan pribadimu. Akan tetapi, sesungguhnyalah bahwa balas dendam bukan berarti berbakti. Balas dendam lebih merupakan penyaluran kemarahan dan kebencian yang ditujukan kepada pihak lain yang dianggap telah merugikan diri sendiri. Balas dendam timbul karena kebencian, bukan karena keinginan berbakti. Berbakti mempunyai sifat mendatangkan kebaikan, bukan bersifat merusak. Engkau sendiri yang menceritakan kepadaku bahwa menurut yang kauketahui, mendiang ibumu pernah menjadi seorang tokoh sesat yang melakukan kejahatan. Nah, kalau ia meninggal karena melakukan kejahatan, maka bagaimanakah pendirianmu? Kalau engkau hendak membela ibumu, bukankah berarti engkau membela kejahatannya, bahkan membantu dan menambah kejahatannya? Andaikata ibumu masih hidup, kebaktianmu dapat diwujudkan dengan menasihati dan menyadarkan ibumu daripada penyelewengan dan kesesatan. Akan tetapi beliau sudah meninggal dunia. Menurut pendapatku, kalau engkau mau berbakti, jalan satu-satunya yang paling baik adalah mencuci namanya yang ternoda dengan kejahatan itu dengan melakukan perbuatan-perbuatan yang baik. Seluruh dunia kang-ouw yang melihat dan mendengar bahwa engkau, putera ibumu, menjadi seorang pendekar budiman, tentu akan dapat memaafkan semua kesalahan ibumu yang lalu. Nah, bukankah hal itu merupakan kebaktian yang paling tepat?"

Sun Hok mengangguk-angguk. "Sudah banyak aku mempelajari kitab-kitab agama dan filsafat dari guru-guru sastraku, dan memang semua pelajaran itu sejalan dengan apa yang Bibi nasihatkan tadi. Terima kasih atas petunjukmu, Bibi Ceng. Aku pun sudah mencoba untuk berbuat baik dengan menentang kejahatan, membela si lemah tertindas. Akan tetapi, perasaan tak enak dan penasaran di dalam hatiku tak pernah mau lenyap sehingga kadang-kadang aku menjadi gelisah, bingung dan mudah dihinggapi kemarahan. Aku mencoba untuk menghibur perasaan ini dengan nyanyi, musik, minum arak dan pelesir di tempat-tempat indah. Namun belum juga mau lenyap kegelisahan ini."

Percakapan mereka terhenti dengan munculnya Nenek Wa Wa Lo-bo. Kemunculannya demikian tiba-tiba. Tahu-tahu nenek itu telah berada di ambang pintu ruangan itu sehingga mengejutkan Sui Cin dan Kui Hong karena mereka sama sekali tidak mendengar bunyi langkahnya. Nenek itu dengan sikap dingin akan tetapi hormat, membungkuk dan berkata dengan suara lirih namun jelas.

"Kamar dan air untuk Toanio dan siocia telah dipersiapkan, Kongcu." Agaknya nenek itu hanya menghadap dan melapor kepada Sun Hok, sikapnya bukan seperti seorang guru terhadap murid, melainkan sebagai seorang pelayan terhadap majikannya. setelah berkata demikian, nenek itu menoleh, bertepuk tangan dan muncullah seorang pelayan wanita.

"Antarkan Toanio dari siocia ke kamarnya." katanya lalu dia membungkuk lagi kemudian pergi.

Sun Hok agaknya tidak merasa aneh atau tersinggung atau malu akan sikap nenek itu. Dia tersenyum ramah kepada dua orang tamunya. "Bibi Ceng, Adik Hong, silakan kalau hendak mandi dan mengaso. Kita bertemu lagi nanti di ruangan makan."

Sui Cin dan Kui Hong mengangguk, dan mengucapkan terima kasih, lalu mengikuti pelayan wanita itu menuju ke kamar mereka yang sudah dipersiapkan untuk mereka. Mereka melalui lorong-lorong dan semakin kagum saja karena keadaan dalam rumah besar menyerupai istana itu benar-benar amat mewah dan indah, juga amat luasnya karena di bagian tengahnya terdapat sebuah taman yang penuh dengan bunga indah dan sebuah kolam ikan yang dihiasi dengan arca-arca yang amat indahnya. Mereka memperoleh sebuah kamar besar yang menghadap ke kolam ikan, dan hawa dalam kamar itu sejuk bukan main karena memperoleh hawa segar yang langsung masuk dari dalam taman.

Setelah mandi dan mengenakan pakaian bersih, ibu dan anak itu merasa segar dan enak. "Ibu, ketika mengunjungi Pulau Teratai Merah, aku masih kecil dan aku sudah lupa lagi keadaan di sana. Akan tetapi aku masih ingat bahwa rumah di sana lebih bagus daripada yang di Cin-ling-san. Kalau dibandingkan dengan rumah Can-toako ini, mana lebih indah, Ibu?" tanya Kui Hong.

Ibunya tersenyum. "Rumah kakek dan nenekmu di Pulau Teratai Merah juga indah dan besar, akan tetapi agaknya tidak semewah ini. Maklumlah, Can Sun Hok menerima harta peninggalan kakeknya yang pernah menjadi gubernur, tentu perabot-perabot rumahnya serba indah, kuno dan mahal!"

"Semua di sini serba indah. Can-toako juga orangnya ramah, halus dan baik budi. Juga para pelayannya nampak rapi, kecuali... hemm, Nenek itu sungguh membuat aku merasa serem, Ibu."

"Memang wajahnya menyeramkan dan sikapnya dingin, agaknya banyak rahasia tersimpan di dalam hatinya. Jelas ia lihai bukan main. Sayang aku belum pernah mendengar namanya sehingga aku tidak tahu orang macam apakah adanya nenek itu. Betapapun juga, menghadapi orang seperti itu, kita harus tetap waspada dan hati-hati, Kui Hong."

Ketika mereka diundang untuk makan malam di ruangan makan, kembali mereka berdua kagum karena hidangan makan yang disuguhkan banyak macamnya dan rata-rata lezat. Can Sun Hok juga sudah berganti pakaian, akan tetapi tetap saja pakaiannya sederhana, sungguh tidak cocok dengan keadaan rumahnya yang mewah. Hal ini membuat Sui Cin menjadi semakin kagum dan suka kepada pemuda ini. Ia sendiri adalah seorang yang sejak mudanya berpakaian sembarangan, bahkan nyentrik walaupun ia puteri Pendekar sadis yang juga kaya raya. Pemuda ini biarpun keturunan bangsawan dan kaya raya, bahkan memiliki kepandaian bun (sastra) dan bu (silat) yang tinggi, namun demikian rendah hati, sama sekali tidak sombong. Dan watak rendah hati ini saja sudah merupakan modal yang cukup kuat untuk menjadi seorang baik-baik, pikir Sui Cin. Makin condong hatinya untuk mengharapkan perjodohan antara puterinya dan pemuda aneh ini. Akan tetapi, nenek itu tidak nampak pula di ruangan makan, padahal ada sebuah kursi lagi dan di atas meja telah disediakan pula mangkok kosong dan cawan kosong. Jelaslah bahwa para pelayan telah menyediakan tempat untuk siapa lagi kalau bukan untuk nenek yang biarpun menjadi pengasuh dan pembantu, juga menjadi guru pemuda itu. Namun, nenek yang agaknya biasa makan bersama Sun Hok, sekali ini tidak nampak. Hal ini membuat Sui Cin menjadi curiga, akan tetapi demi sopan santun, ia pun tidak bertanya apa-apa kepada tuan rumah tentang nenek yang menarik perhatiannya itu

Dalam waktu makan malam itu pun Can Sun Hok bersikap ramah terhadap kedua orang tamunya. Nampak jelas betapa pemuda ini kagum dan hormat kepada Sui Cin, dan juga kagum dan suka kepada Kui Hong. Sehabis makan, Sun Cok mempersilakan tamu-tamunya untuk beristirahat. Sun Hok sendiri tidak segera tidur, melainkan memasuki taman besar yang berada di belakang rumahnya. Berbeda dengan taman kecil yang berada di tengah-tengah bangunan, dikelilingi kamar-kamar dan ruangan, taman yang berada di belakang rumah ini luas sekali. Sun Hok duduk termenung di dekat kolam besar menyerupai danau kecil, di atas bangku sambil memandang ke arah bulan muda yang sudah menghias angkasa. Dia termenung, memikirkan percakapannya dengan nyonya yang dikaguminya itu, terutama tentang dendam dan kebaktian.

"Hemm, agaknya kata-kata manis beracun itu telah mulai menyusup ke dalam hatimu, Kongcu." Tiba-tiba terdengar suara lirih dan dingin. Sun Hok maklum bahwa pengasuhnya juga gurunya dalam ilmu silat, yang datang. Dia menoleh dan benar saja, Nenek Wa Wa Lo-bo telah berdiri di belakangnya.

"Ah,kebetulan engkau datang, Lo-bo. Mari duduk, aku ingin bicara padamu."

"Hemm, aku pun ingin bicara padamu, Kongcu." kata nenek itu sambil duduk di ujung bangku.

"Aku mau bicara tentang kematian ibu kandungku dan membalas dendam."

"Tepat sekali, aku pun ingin bicara tentang kematian ibumu."

Mendengar ini, Sun Hok girang bukan main. Nenek ini, walaupun sudah sering kali dia bertanya, tak pernah mau bercerita tentang kematian ibunya, tentang siapa pembunuh ibunya.

"Ah, Lo-bo yang baik... aku siap mendengarkan!" katanya dengan gembira karena akhirnya nenek itu akan membuka rahasia yang selalu menggelisahkan hatinya itu. Dia ingin sekali mendengar bagaimana ibunya tewas dan siapa pula pembunuhnya.

"Nah, dengarlah baik-baik!" kata nenek itu dengan suara datar. "Ibumu sejak muda sudah menjadi seorang wanita yang gagah perkasa dan berilmu tinggi bernama Gui Siang Hwa. Karena ia cantik jelita dan ahli soal penggunaan racun, maka ibumu itu dijuluki orang Siang-tok Sian-li (Bidadari Racun Harum). Ilmu kepandaiannya tinggi sekali. Akan tetapi, ia yang demikian cantik jelita dan lihai, pernah tergila-gila kepada ayah kandungmu! Ayahmu itu sejak muda sudah menjadi seorang pemuda bangsawan kaya raya yang tidak ada gunanya, hanya tampan pesolek dan suka mengejar wanita cantik. Memuakkan sekali!" Nenek itu terhenti, agaknya masih penasaran mengapa gadis secantik Gui Siang Hwa yang sejak kecil telah menjadi asuhannya karena sejak muda ia menjadi pelayan Raja dan Ratu Iblis, sampai mau menyerahkan diri kepada seorang pemuda lemah seperti Can Koan Ti.

"Lalu bagaimana, Nek?" Sun Hok mendesak.

"Ayahmu itu, Can Koan Ti, seperti semua laki-laki macam dia, sebentar saja sudah jemu dengan ibumu. Ketika ibumu melahirkan engkau, Can Koan Ti sudah bermain gila dengan banyak wanita semenjak ibumu mengandung. Maka, ibumu tak tahan melihat itu dan semenjak engkau lahir, akulah yang ditugaskan mengasuh dan merawatmu, sedangkan ibumu sendiri pergi meninggalkan Can Koan Ti."

"Terima kasih atas semua kebaikanmu, Lo-bo." kata Sun Hok dengan suara sungguh-sungguh sambil memandang wajah yang tua dan amat buruk itu. Dia tahu benar, dapat merasakan betapa nenek ini amat sayang kepadanya.

"Hah, aku tidak butuh terima kasih, Kongcu!" Nenek itu mengibaskan tangannya, akan tetapi sepasang matanya yang mencorong itu menjadi basah. Ia memang sayang sekali kepada pemuda yang sejak bayi diasuhnya itu, bahkan merasa bahwa pemuda itu seperti anaknya sendiri, seperti darah dagingnya sendiri! "Baik kulanjutkan ceritaku. Aku merawatmu di rumah ayahmu, melihat ayahmu berfoya-foya dengan wanita-wanita cantik tanpa mempedulikan dirimu. Akhirnya, dia terkena penyakit yang menyeretnya ke lubang kubur. Engkau menjadi pewaris tunggal dan aku dengan sekuat tenaga dan kemampuan berusaha mendidikmu sebagaimana mestinya, seperti yang dikehendaki ibumu."

"Dan engkau memang telah melaksanakan tugasmu dengan baik sekali, terlalu baik sekali. Terima kasih, Lo-bo."

"Hushh, sudahlah. Dengar sekarang. Ibumu adalah seorang petualang yang gagah perkasa dan ketika ia membantu petualangan suhu dan subonya, sepasang suami isteri sakti yang menjadi raja dan ratu di dunia kang-ouw, ketika engkau berusia tiga tahun, ibumu tewas .....! Aku sudah melakukan penyelidikan dan ibumu ternyata tewas karena dikeroyok oleh pasukan perajurit kerajaan, setelah dijatuhkan oleh seorang pendekar wanita."

Berkerut alis Sun Hok yang tebal dan dia pun mengepal tinju. "Kenapa engkau tidak pergi membunuh wanita itu, Lo-bo?"

"Aihh, engkau bicara enak saja! Kalau ibumu saja sampai kalah, apalagi aku! Aku menggemblengmu sampai sekarang engkau telah menguras semua ilmuku. Sekarang kepandaianmu setingkat dengan kepandaianku, tidak ada yang tidak kaukuasai apa yang menjadi milikku, bahkan engkau menang tenaga. Akan tetapi, dengan kepandaian kita berdua sekalipun, tidak akan mudah mengalahkan pendekar wanita itu. Engkau harus memperdalam illmumu dan ..."

"Aku tidak takut! Sekarang pun aku tidak takut, dan kalau engkau tidak berani, jangan turut-turut, biar aku sendiri yang menghadapinya. Siapa wanita itu dan di mana tempat tinggalnya?"

"Aku tahu, bahwa engkau tentu akan nekat membalas dendam kalau kuberitahukan ketika engkau berkali-kali menanyakan hal itu, akan tetapi karena kuanggap kepandaianmu belum cukup, aku selalu merahasiakan. Sekarang pun tentua masih kurahasiakan kalau saja Thian tidak menolong kita. Akan tetapi agaknya Thian menyetujui niat kita membalas dendam, karena sekarang terbuka kesempatan bagi kita untuk membalas dendam itu tanpa mengeluarkan banyak tenaga!"

"Apa maksudmu, Lo-bo?"

"Perempuan itu, musuh besar kita itu, pembunuh ibu kandungmu itu, ia telah mengantarkan sendiri nyawanya kepada kita. Kita tinggal mencabutnya saja, untuk membalas dendam itu!" Nenek itu nampak gembira dan sepasang matanya mencorong.

"Lo-bo, apa artinya ini?" Sun Hok memandang dengan mata terbelalak.

"Heh-heh, anak bodoh. Pembunuh ibu kandungmu itu, pendekar wanita itu bernama Ceng Sui Cin!"

"Bibi Ceng .....!!!" Sun Hok melompat dari tempat duduknya, matanya terbelalak dan wajahnya berubah pucat.

"Benar, tamu kita! Ia kini mengajak puterinya seperti dua ekor tikus memasuki perangkap. Inilah saatnya bagi kita, setelah terbuka kesempatan baik ini. Ia adalah puteri Pendekar sadis di Pulau Teratai Merah, dan menantu dari Ketua Cin-ling-pai. Kalau ia sudah kembali ke satu di antara dua tempat itu, tidak mudah bagi kita untuk mencari dan membunuhnya. Sekaranglah saatnya, selagi mereka tidur. Aku akan membunuhnya sekarang juga!"

"Lo-bo, jangan .....!" Sun Hok berkata kaget.

"Hemm, engkau ini kenapakah, Kongcu? Ia telah menyebabkan kematian ibu kandungmu, ia musuh besarmu, juga musuh besarku karena ibumu bagiku seperti anakku sendiri yang kuasuh sejak bayi! Sejak mereka kaubawa datang tadi dan mengaku nama mereka, aku sudah mengambil keputusan untuk membunuhnya. Aku tidak berani menggunakan racun dalam makanan atau minuman, selain takut kalau engkau sendiri terkena racun karena engkau makan bersama mereka, juga aku khawatir ia yang lihai sekali itu akan tahu bahwa makanan atau minuman diracun sebelum ditelannya. Kalau begitu, akan gagal usahaku membalas dendam. Sekarang, setelah mereka tidur, aku akan masuk kamar mereka dan membunuh mereka. Mereka kuberi kamar di mana terdapat pintu rahasianya sehingga aku dapat masuk tanpa mereka dengar."

"Jangan, Lo-bo. Engkau tidak boleh membunuh mereka!" Sun Hok berkata dengan suara tegas dan gemetar karena tegangnya. "Kita tidak boleh membunuhnya!" Masih bergema di dalam telinga Sun Hok tentang nasihat Ceng Sui Cin kepadanya tadi tentang dendam dan kebaktian. Jelas bahwa ibu kandungnya memang seorang tokoh hitam atau kaum sesat, seorang petualang yang demikian kejamnya untuk meninggalkan anak sendiri dalam asuhan seorang bujang dan tidak pernah ditengoknya lagi. Juga ayahnya seorang mata keranjang yang tidak mempedulikan anaknya, hanya mengejar kesenangan melalui wanita-wanita cantik saja. Kalau dia hendak berbakti, demikian nasihat Ceng Sui Cin, dia harus melakukan perbuatan-perbuatan baik, menjadi pendekar budiman agar tercuci bersih noda yang menempel di nama orang tuanya.

"Kongcu, pikirlah baik-baik. Ia adalah musuh besarmu! Kenapa sih engkau ini? Aihhh, mengerti aku sekarang. Engkau telah tergila-gila kepada gadisnya itu!"

"Lo-bo, jangan bicara yang bukan-bukan!"

"Heh-heh, engkau tidak mungkin dapat membohongi seorang tua renta seperti aku, Kongcu. Engkau telah jatuh cinta kepada Nona itu, maka engkau merasa keberatan untuk membunuh mereka. Akan tetapi hal itu dapat kita atur, Kongcu. Kita bunuh ibunya dan membiarkan anaknya hidup dan engkau boleh memilikinya sampai engkau merasa bosan baru ia dibunuh....."

"Lo-bo, apakah engkau sudah gila?" teriak Sun Hok marah sekali, juga terkejut dan heran bagaimana nenek yang biasanya bersikap halus kepadanya itu, yang sama sekali tidak pernah memperlihatkan tanda-tanda jahat, kini dapat mengajukan usul yang demikian mengerikan. Membunuh ibunya dan memperkosa puterinya sampai bosan baru dibunuh! Hampir dia tidak percaya akan pendengarannya sendiri. Sejak kecil, oleh guru-guru sastra dan kitab-kitab yang dibacanya, dia telah banyak mengetahui tentang baik buruk dan tentang kejahatan-kejahatan yang tak boleh dilakukan manusia, tentang kebajikan-kebajikan dan bagaimana seharusnya sikap hidup seorang kuncu (budiman). Karena itu, mendengar usul nenek itu, dia bergidik dan merasa ngeri sekali.

"Bukan aku, melainkan engkau yang sudah gila." kata nenek itu, juga marah sekali. "Ibu kandungmu dibunuh orang, dan kini musuh besar itu berada di depan hidung, akan tetapi engkau tidak setuju ketika aku hendak membunuhnya! Apakah engkau akan menjadi murid yang murtad dan menentang guru sendiri, setelah sejak bayi aku mengasuhmu, mendidikmu, menggemblengmu? Apakah engkau akan menjadi seorang anak durhaka yang sama sekali tidak ingin berbakti kepada ibu kandungmu sendiri? Benarkah engkau telah menjadi orang yang begini tidak mengenal budi?"

Pada saat kedua orang itu bertengkar, muncullah Ceng Sui Cin dan Cia Kui Hong di dalam taman itu! Kemunculan dua orang ini tentu saja amat mengejutkan Sun Hok dan Wa Wa Lo-bo. Bagaimana mereka dapat muncul di taman itu, di mana guru dan murid itu sedang bicara tentang mereka?

Sejak makan malam tadi, timbul ke curigaan di dalam hati Sui Cin tentang Nenek Wa Wa Lo-bo. Melihat sikap nenek itu, wajahnya dan matanya yang mencorong aneh, Sui Cin menduga bahwa tentu nenek itu seorang yang amat lihai dari golongan hitam, apalagi mendengar cerita Sun Hok bahwa mendiang ibu kandungnya adalah seorang tokoh sesat yang lihai. Dan berada di satu rumah dengan seorang tokoh sesat sungguh amat berbahaya, pikirnya. Maka, setelah keadaan menjadi sunyi, ia mengajak anaknya untuk diam-diam keluar dari dalam kamar, melalui jendela yang mereka tutup lagi dari luar, dan mereka pun melakukan penyelidikan, mempergunakan ilmu kepandaian mereka meringankan tubuh. Dengan gerakan mereka yang cepat, mereka tidak khawatir terlihat oleh para pelayan. Akhirnya mereka tiba di taman belakang rumah itu dan mereka tertarik oleh suara percakapan antara Sun Hok dan Wa Wa Lo-bo. Cepat mereka menghampiri dan mengintai. Dan dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka mendengar bahwa nenek itu berniat untuk membunuh mereka. Sui Cin juga terkejut bukan main mendengar bahwa Can Sun Hok adalah putera tunggal dari Gui siang Hwa, murid Raja dan Ratu Iblis yang amat lihai itu. Memang ialah yang dahulu merobohkan Gui siang Hwa sehingga iblis betina itu tewas dibawah hujan senjata para perajurit kerajaan.

Mendengar betapa Sun Hok menentang nenek itu untuk membunuh ia dan puterinya, diam-diam Sui Cin merasa girang juga, dan dapat dibayangkan betapa marahnya mendengar usul nenek itu agar mereka membunuh ia lebih dulu dan agar Kui Hong diperkosa sampai Sun Hok menjadi bosan baru membunuhnya. Dugaannya memang tepat. Nenek yang bernama Wa Wa Lo-bo itu adalah seorang iblis yang kejam sekali! Cocok memang untuk menjadi pelayan Raja dan Ratu Iblis. Maka ia pun mengajak puterinya keluar untuk menghadapi nenek itu.

"Bibi Ceng... Adik Hong ....." Sun Hok berkata dengan muka sebentar pucat sebentar merah, hatinya tegang bukan main dan dia tidak tahu harus bicara apa.

"Can Sun Hok, kami telah mendengar semua percakapan kalian tadi. Nenek Wa Wa Lo-bo ini memang tidak salah lihat atau salah dengar. Wanita yang bernama Gui Siang Hwa atau Siang-tok Sian-li itu tewas dalam pertempuran setelah roboh di tanganku. Aku tidak menyangkal akan hal itu dan kalau engkau ingin mengetahui peristiwa yang sesungguhnya, aku dapat menceritakannya kepadamu."

"Jangan dengarkan omongannya, tentu hanya akan menyalahkan ibumu!" teriak Wa Wa Lo-bo.

Akan tetapi Sun Hok yang kini mukanya menjadi pucat, tidak mempedulikan gurunya.

"Ceritakanlah, Bibi Ceng."

"Gui Siang Hwa adalah murid Raja dan Ratu Iblis yang memimpin tiga belas datuk sesat dan banyak lagi kaum sesat untuk menjadi pemberontak. Para pendekar menentang gerakan ini dan membela pemerintah. Kebetulan aku pun berada di antara pendekar dan kebetulan saja Gui Siang Hwa menjadi lawanku dalam pertempuran itu. Aku berhasil menendangnya roboh dan ia pun dihujani senjata oleh para perajurit kerajaan sehingga tewas. Nah, itulah peristiwa yang sebenarnya terjadi, Sun Hok. Sekarang terserah kepadamu. Kalau engkau bermaksud melanjutkan kesesatan ibumu dan menambah lagi noda pada nama dan kehormatan ibumu dengan perbuatan jahat, silakan menyerang kami. Kami tidak akan undur selangkah pun karena kami yakin bahwa kami berada di pihak benar. Ataukah engkau akan berbakti kepada ibumu dengan cara mencuci noda pada nama dan kehormatannya, dengan perbuatan baik? Terserah pula, aku sudah bicara."

Nenek Wa Wa Lo-bo memandang marah dan menggerakkan tongkatnya menuding ke arah muka Sui Cin. "Engkau dan kawan-kawanmu telah menyebabkan kematian Ong-ya dan isterinya, juga menyebabkan kematian Nona Siang Hwa. Bagaimanapun juga aku tidak akan tinggal diam. Biarlah anak durhaka ini tidak menuntut balas, akan tetapi aku harus membunuhmu." Berkata demikian, Nenek Wa Wa Lo-bo menggerakkan tubuhnya dan tongkatnya sudah menyambar ganas ke arah perut Sui Cin. Tentu saja Sui Cin sudah siap diaga dan dengan mudahnya ia mengelak.

"Lo-bo, jangan .....!" Sun Hok berseru dengan khawatir.

Akan tetapi nenek itu tidak peduli, begitu tongkatnya luput dari sasaran, segera tongkat itu membalik ke kiri dan melanjutkan serangannya, kini menusuk ke arah leher Sui Cin. Kembali Sui Cin mengelak dan dari samping tangan kirinya menyambar dengan dorongan tenaga Hok-te Sin-kun yang dahsyat. Terkena dorongan tangan ini, biarpun Wa Wa Lo-bo sudah berusaha mengelak dan menangkis, tetap saja tubuhnya terhuyung hampir menambrak Sun Hok.

"Lo-bo, jangan berkelahi .....!" kembali Sun Hok berseru. Mendengar ini, Wa Wa Lo-bo menjadi semakin marah.

"Engkau murid murtad, anak terkutuk yang durhaka!" bentaknya dan tiba-tiba saja tongkatnya melayang ke arah kepala Sun Hok dengan pukulan maut yang amat dahsyat.

"Ahhh ......!" Kui Hong yang berdiri di dekat Sun Hok, melihat betapa pemuda itu agaknya sengaja tidak menangkis dan pasrah terhadap gurunya, cepat menggerakkan tangannya, dengan Ilmu Thian-te Sin-ciang ia menangkis tongkat itu dengan kedua lengannya.

"Dukkk!!" Tubuh Kui Hong terdorong ke belakang, akan tetapi pukulan itu tidak mengenai kepala Sun Hok yang kini sudah melompat menjauhi nenek itu dengan wajah penuh kegelisahan.

Nenek Wa Wa Lo-bo terkejut bukan main. Ia tahu bahwa Ceng Sui Cin puteri Pendekar sadis itu lihai sekali, dan ia hanya mengandalkan kenekatannya saja ketika menyerang tadi. Akan tetapi tak pernah disangkanya bahwa gadis yang masih amat muda ini, puteri Ceng Sui Cin, ternyata juga lihai sekali sehingga mampu menangkis serangan tongkatnya dengan kedua tangan dan sama sekali tidak terluka atau terbanting, hanya terdorong saja ke belakang. Ini menunjukkan bahwa tingkat kepandaian gadis itu sudah amat tinggi dan mungkin menghadapi gadis itu pun ia tidak akan mampu menang!

"Lo-bo, harap jangan lanjutkan perkelahian ini!" kembali Sun Hok berkata kepada nenek itu dengan suara membujuk.

"Wa Wa Lo-bo." kata Ceng Sui Cin dengan suara tenang namun tegas. "Di antara kita tidak ada permusuhan dan aku tidak berniat untuk berkelahi melawanmu. Engkau sudah lanjut usia, hidupmu takkan lama lagi, haruskah kini engkau nekat menyerangku mati-matian hanya untuk menurutkan hati panas saja? Ingat bahwa Raja dan Ratu Iblis dan semua kawan dan anak buahnya tewas sebagai akibat dan perbuatan dan kejahatan mereka sendiri."

"Tutup mulutmu! Kalau aku tidak dapat membalaskan dendam kematian mereka kepadamu, lebih baik aku mampus!" Dan nenek itu dengan kemarahan meluap-luap, terutama sekali melihat betapa Sun Hok tidak membantunya, kini menggunakan senjata tongkatnya yang diputar dengan cepat sehingga berubah menjadi sinar hitam bergulung-gulung, menerjang Sui Cin dengan dahsyat dan nekat.

"Hemm, engkau mencari kematianmu sendiri!" kata Sui Cin dan cepat ia pun menggunakan kepandaiannya untuk mengelak dan balas menyerang. Sui Cin tidak membawa senjatanya yang istimewa, yaitu payung pedangnya yang ditinggalkan di dalam kamar. Akan tetapi tingkat ilmu silatnya sudah jauh lebih tinggi dan pada tingkat lawan sehingga semua serangan yang dilakukan nenek itu hanya mengenai tempat kosong belaka, bahkan serangkaian serangan balasan kedua tangan dan kaki Sui Cin membuat nenek itu kerepotan dan beberapa kali terhuyung ke belakang

Tiba-tiba nenek Wa Wa Lo-bo mengeluarkan suara gerengan seperti seekor binatang buas, tongkatnya menyambar ganas ke arah dada Sui Cin. Serangan ini merupakan serangan maut karena ujung tongkat tergetar menjadi beberapa belas buah banyaknya, dan tahulah Sui Cin bahwa serangan itu tidak akan berhenti kalau dielakkan begitu saja, tentu akan terus mengejar dan menyerang bertubi-tubi. Ia pun menjadi marah melihat kenekatan nenek itu.

"Haiiiittt ......!" Teriaknya dan tiba-tiba ia memasang kuda-kuda, tidak mengelak lagi melainkan menyambut serangan tongkat itu dengan hantaman tangannya ke arah batang tongkat. Tenaga sinkang yang disalurkan melalui tangan itu kuat bukan main.

"Krakkk ......!" Tongkat itu bertemu tangan dan patah seketika! Yang tertinggal di tangan nenek itu hanya dua jengkal saja kayu yang meruncing ujungnya, sedangkan tubuh nenek itu terpental kebelakang. Ia dapat mengatur keseimbangan tubuhnya sehingga tak terbanting, namun ketika ia bangkit lagi sambil memegang tongkat yang tinggal dua jengkal, nampak betapa darah segar mengalir dari ujung bibirnya. Kiranya pertemuan tenaga dahsyat tadi telah melukai Si Nenek, luka dalam yang membuat darah mengalir keluar dari mulutnya. Melihat ini, Sun Hok berseru kaget.

"Lo-bo ....!"

Teriakan pemuda ini membuat Wa Wa Lo-bo teringat lagi akan sikap pemuda itu yang paling menyakitkan hatinya. Ia maklum bahwa melawan Sui Cin tidak mungkin lagi. Tongkatnya patah dan dadanya terasa nyeri, tanda bahwa ia telah menderita luka dalam yang cukup parah. Mengandalkan Sun Hok? Pemuda itu telah memihak musuh. Saking marah, jengkel dan putus asa, nenek itu lalu berteriak, "Ong-ya berdua, dan Siocia, jangan salahkan saya kalau anak ini menjadi seorang durhaka dan murtad!" Kemudian, secepat kilat ia menggerakkan sisa tongkat yang menjadi kayu runcing itu ke arah dadanya sendiri.

"Lo-bo .....!" Sun Hok meloncat dan menubruk tubuh tua yang sudah roboh terlentang dengan kayu itu menancap di dadanya, menembus jantung dan membuat ia tewas seketika.

"Lo-bo, ah, Lo-bo... ampunkan aku...!" Sun Hok merangkul tubuh nenek yang bermuka buruk itu dan menangis tersedu-sedu, sedangkan kini para pelayan datang dan terbelalak melihat majikan mereka menangisi nenek yang sudah menjadi mayat dalam keadaan mengerikan itu.

Sui Cin memandang pemuda itu dan menarik napas panjang. Ia merasa kasihan kepada Sun Hok. Ia tahu betapa hancur hati pemuda itu melihat nenek itu tewas terbunuh. Nenek itu, bagaimanapun juga, merupakan pengasuhnya, pendidiknya, pengganti orang tua dan guru!

"Kui Hong, mari kita pergi saja." katanya dan Kui Hong yang juga menjadi termangu menyaksikan pemuda itu menangisi mayat Wa Wa Lo-bo, mengangguk dan mengikuti ibunya. Mereka mengambil pakaian mereka dan tanpa pamit lagi karena hal ini hanya akan mendatangkan suasana tidak enak, ibu dan anak itu lalu meninggalkan rumah besar itu, bahkan langsung mereka malam itu juga meninggalkan kota Siang-tan dan memilih tidur di dalam hutan, di atas pohon besar daripada tinggal bermalam di kota yang menyimpan kenangan tidak enak itu.

Pulau Teratai Merah merupakan sebuah pulau kosong di laut selatan sebelum Pendekar Sadis dan isterinya tinggal di situ. Kini pulau itu sudah menjadi sebuah pulau yang indah dah subur. Pulau itu tidak berapa besar, hanya belasan li panjangnya dan paling banyak sepuluh li lebarnya. Setelah Ceng Thian Sin atau Pendekar Sadis dan isterinya tinggal di situ, bersama para pelayan dan para pembantu yang jumlahnya beserta keluarga mereka kurang lebih tiga puluh orang, maka pulau itu terpelihara baik. Tanahnya digarap dan kini penuh dengan pohon-pohon, pohon buah maupun pohon bunga yang serba indah dan buah-buahan bermacam-macam yang lezat dapat pula tumbuh di situ. Di tengah pulau itu dibangun sebuah gedung yang indah dan pondok-pondok para pembantu berada di kanan kiri gedung. Di sebelah utara terdapat sebuah danau air tawar yang airnya jernih dan memiliki sumber air yang tak kunjung kering walaupun di musim panas sekalipun. Air itulah yang dipergunakan para penghuni itu untuk minum, masak, mencuci dan keperluan lain. Suasana di pulau itu tenteram dan aman. Para pembantu dan pelayan taat dan tunduk kepada Ceng Thian Sin yang menjadi to-cu (majikan pulau) dan kehidupan mereka di situ tak pernah kekurangan makan.

Satu atau dua kali sebulan, Toan Kim Hong atau Nyonya Ceng Thian Sin mengutus beberapa orang pelayan untuk pergi ke daratan besar dan berbelanja segala keperluan mereka. Para pembantu dan pelayan yang tinggal di pulau itu pun mempunyai pekerjaan sambilan, yaitu selain bercocok tanam di pulau, juga naik perahu menangkap ikan-ikan besar yang banyak terdapat di perairan sekitar pulau. Selebihnya yang dimakan sendiri, mereka jual kepada orang-orang di daratan besar sehingga mereka memperoleh penghasilan yang lumayan untuk ditukar dengan keperluan lain yang hanya bisa mereka dapatkan di daratan besar. Ceng Thian Sin adalah seorang laki-laki gagah perkasa yang usianya sekitar enam puluh tiga tahun. Di waktu mudanya, dia terkenal dengan julukan Pendekar Sadis dan memang di waktu itu, sepak terjangnya amat menggiriskan, terutama sekali bagi para penjahat dan kaum sesat. Dia selalu menggunakan tangan besi terhadap penjahat, bahkan tidak segan menyiksa para penjahat sedemikian rupa sehingga setiap orang jahat yang mendengar namanya menjadi pucat ketakutan. Dalam usia enam puluh tahun lebih, dia masih kelihatan segar dan gagah. Hal ini adalah karena di samping bekerja di ladang atau pergi menangkap ikan, dia masih suka berlatih silat dan melakukan samadhi. Pendekar ini merupakan gudang ilmu silat karena di waktu mudanya dia mempelajari banyak sekali ilmu silat, dan semua ilmu yang dipelajari adalah ilmu-ilmu silat yang tinggi dan pilihan. Ilmu-ilmu silat tingkat atas dari Cin-ling-pai telah dikuasainya, di samping banyak ilmu lain yang hebat-hebat, bahkan ada ilmu-ilmu ajaib yang didapatkannya dari seorang sakti yang berjuluk Bu-beng Hud-couw (baca cerita Pendekar Sadis dan Asmara Berdarah). Biarpun sudah puluhan tahun dia mengundurkan diri, tidak pernah mencampuri urusan kang-ouw dan hidup dengan tenteram di Pulau Teratai Merah yang terpencil di tengah lautan itu, namun namanya masih disambut dengan gentar oleh orang-orang kang-ouw, terutama kalangan tua yang pernah mengenal sepak terjangnya.

Isteri pendekar itu bernama Toan Kim Hong, yang usianya sama dengan Pendekar Sadis. Namun, usia yang enam puluh tiga tahun itu pun belum merusak bentuk muka yang cantik dan bentuk tubuh yang padat langsing itu. Hanya garis-garis pada mukanya yang membuktikan bahwa wanita ini telah berusia lanjut. Toan Kim Hong ini bukan wanita sembarangan. Namanya pun pernah menggetarkan dunia kang-ouw, bahkan ia pernah di waktu masih gadis menyamar menjadi seorang nenek dan dikenal sebagai Lam Sin (Malaikat selatan) yang menjadi datuk kaum sesat di daerah selatan! Ilmu kepandaiannya amat tinggi, hanya sedikit dibawah tingkat suaminya walaupun ia dapat mengimbangi sedikit kekalahan ini dengan kelebihannya dalam hal ilmu meringankan tubuh. Suami isteri yang lihai ini merupakan pasangan yang pernah pula menggemparkan dunia persilatan sebelum mereka mengundurkan diri ke pulau itu.

Anak mereka hanya satu, yaitu Ceng Sui Cin dan setelah puteri mereka ini menikah, menjadi mantu Ketua Cin-ling-pai, suami isteri itu hidup kesunyian di pulau itu. Akan tetapi, enam tahun yang lalu terjadi perubahan di pulau itu, sekaligus terjadi perubahan dalam kehidupan Pendekar Sadis dan isterinya. Perubahan itu terjadi ketika pada suatu pagi, beberapa orang penghuni pulau itu membawa pulang seorang anak laki-laki yang berada seorang diri di tengah lautan, bergantung pada perahu kecilnya sendiri yang terbalik setelah semalam dihempaskan badai mengamuk. Memang semalam badai cukup besar, membuat para nelayan cepat-cepar mendarat dan tidak berani mencari ikan. Ketika pada pagi harinya para pencari ikan dari Pulau Teratai Merah mendayung perahu mereka ke tengah lautan, mereka melihat seorang anak laki-laki berusia empat belas tahunan dalam keadaan setengah pingsan bergantung pada perahunya yang terbalik. Mereka cepat memberi pertolongan dan begitu diselamatkan, anak itu jatuh pingsan dan tidak dapat disadarkan oleh para nelayan itu. Mereka lalu cepat membawa anak itu ke pulau dan melapor kepada Ceng Thian Sin.

Ceng Thian Sin dan Toan Kim Hong, kakek dan nenek yang sakti itu, cepat melakukan pemeriksaan dan hati mereka merasa lega ketika mendapatkan kenyataan bahwa anak itu tidak mengalami cidera yang parah, hanya kehabisan tenaga dan mendapat pukulan batin yang hebat, mungkin rasa takut dan ngeri ketika diombang-ambingkan laut membadai semalam. Setelah menotok dan mengurut beberapa jalan darah, anak itu pun siuman. Anak itu memandang ke kanan kiri, kemudian menangis.

Suami isteri pendekar itu saling pandang. Keduanya merasa suka kepada anak ini, seorang anak yang berkulit putih bersih dan berwajah tampan, bahkan ketika mereka tadi mengurut dan menotok jari-jari tangan mereka yang terlatih itu meraba sebuah tubuh yang kuat dan berbakat baik sekali.

Setelah tangis anak itu mereda sebagai pelepasan rasa takut yang dialaminya semalam, dengan suara halus Toan Kim Hong bertanya. "Anak baik, siapakah namamu?"

Anak itu menoleh dan memandang kepada nenek yang berwajah halus itu, kemudian memandang kepada kakek di sebelahnya, dan dia menjawab pertanyaan itu dengan sebuah pertanyaan pula. "Kakek dan Nenek yang baik, apakah kalian yang menyelamatkan aku dari tengah lautan?"

Ceng Thian Sin menjawab. "Yang menolongmu dari tengah lautan adalah para pembantu kami dan mereka membawamu ke sini dalam keadaan pingsan."

"Kau ganti dulu pakaianmu yang basah dengan pakaian kering ini." Kata Toan Kim Hong, menerima pakaian yang dimintanya dari pelayan agar meminjamkan pakaian dari keluarga nelayan yang sebaya dengan anak itu. Ia lalu meninggalkan anak itu bersama suaminya agar anak itu dapat mengganti pakaiannya tanpa sungkan dan malu. Setelah ia kembali lagi, anak ini telah mengenakan pakaian kering.

"Nah, sekarang katakan siapa namamu." kata nenek itu.

Akan tetapi sebagai jawaban, anak itu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek dan nenek itu. "Saya Ciang Ki Liong menghaturkan terima kasih atas pertolongan Ji-wi Locianpwe." Dan dia pun berkali-kali memberi hormat dengan air mata berlinang.

Toan Kim Hong tersenyum, mengangkatnya bangun. "Sudahlah, kau duduklah dan ceritakan dari mana kau datang, siapa keluargamu."

Anak itu tidak berani bangkit, melainkan berlutut saja di depan kedua orang tua itu, di atas lantai. "Saya seorang yang hidup sebatang kara, ditinggal mati ayah dan ibu saya. Saya hidup merantau seorang diri, dan ketika tiba di pantai selatan, saya ikut dengan para nelayan untuk mencari ikan sebagai sumber hidup saya. Dengan kerja keras akhirnya saya dapat membeli sebuah perahu kecil dan saya mulai mencari ikan sendiri. Akan tetapi, semalam badai mengamuk dan nyaris saya tewas kalau saja tidak tertolong oleh orang-orang Ji-wi Locianpwe."

Suami isteri itu kembali saling pandang. Anak ini sudah yatim piatu! Tidak mempunyai tempat tinggal dan hidup sebatang kara. Seperti biasanya, tanpa bicara sekalipun suami isteri ini telah dapat saling menjajagi isi hati masing-masing dan dari pandang mata saja keduanya telah dapat saling bermufakat akan sesuatu. Demikian dekatnya hubungan batin antara keduanya dan kini, melalui sinar mata mereka, keduanya sudah setuju untuk menarik anak yatim piatu ini lebih dekat dengan mereka.

"Ki Liong, engkau terserang badai dan nyaris tewas, akan tetapi akhirnya dapat diselamatkan tiba di pulau kami. Hal ini berarti bahwa engkau memang berjodoh dengan kami. Bagaimana kalau selanjutnya engkau hidup saja di sini, membantu pekerjaan di sini?" kata Ceng Thian Sin.

Ki Liong bersoja kembali memberi hormat. "Saya akan menjadi seorang yang paling tidak tahu diri dan tidak mengenal budi kalau saya menolak. Akan tetapi, selama ini saya telah bertekat untuk merantau dan mencari seorang guru yang pandai, Locianpwe .....!"

Kembali suami isteri itu saling pandang. "Guru yang pandai? Guru untuk mengajarkan apa maksudmu?"

"Mengajarkan ilmu silat, Locianpwe. Saya ingin belajar ilmu silat sebaik-baiknya."

"Ahh? Untuk apa engkau ingin belajar ilmu silat?" Ceng Thian Sin mendadak memandang penuh perhatian. Memang sejak tadi dia dan isterinya sudah setuju untuk mengambil anak ini sebagai murid, akan tetapi kini mendengar bahwa anak ini ingin berguru ilmu silat, dia ingin sekali tahu apa yang mendorongnya.

"Semenjak saya hidup seorang diri, saya banyak mengalami gangguan dan penghinaan dari mana-mana, bahkan pernah hasil saya bekerja berbulan-bulan, dirampas orang dengan kekerasan. Banyak sekali terjadi kejahatan di dunia ini dan saya ingin membela diri dari gangguan dan penghinaan, juga ingin menentang orang-orang jahat dengan ilmu silat yang saya pelajari."

Suami isteri itu mendengarkan dengan kagum dan hati mereka merasa girang sekali. Sungguh tak mereka sangka bahwa mereka menemukan seorang anak laki-laki yang selain berbakat baik sekali, memiliki bentuk tubuh yang sehat dan baik, juga memiliki cita-cita yang demikian gagahnya. Seorang calon pendekar!

"Ki Liong, kalau engkau ingin belajar silat, kami akan melatihmu dengan ilmu silat."

Sambil berlutut, anak itu kini mengangkat mukanya, memandang kepada kakek dan nenek itu bergantian. "Maaf, Ji-wi Locianpwe... bukan saya menolak, akan tetapi... saya ingin mempelajari ilmu silat yang tinggi karena kalau hanya ilmu silat biasa saja, mana mungkin saya dapat menghadapi penjahat-penjahat yang tihai itu?"

Suami isten itu saling pandang dan tersenyum. "Anak baik, engkau tidak tahu dengan siapa engkau berhadapan. Lihat, percayakah engkau akan ada orang yang mampu menangkap burung terbang itu?"

"Tidak mungkin, Locianpwe." kata Ki Liong membantah Toan Kim Hong. "Kalau tidak menggunakan sambitan atau anak panah atau pikatan, mana mungkin menangkap burung terbang?"

"Kaulihat baik-baik, aku akan menangkapnya!" Dan begitu nenek itu berkata demikian, tiba-tiba ia sudah lenyap, hanya nampak bayangan berkelebat menuju ke pekarangan di mana terdapat beberapa ekor burung gereja beterbangan ke sana-sini. Anak itu terbelalak melihat betapa bayangan nenek itu menyambar dan kembali bayangan itu sudah berada di depannya dan nenek itu kini memperlihatkan seekor burung gereja yang telah digenggam tangan kirinya.

"Ahh... ohhh .....!" Ki Liong terbelalak dan tidak mampu mengeluarkan kata-kata saking kagum dan herannya, hanya berah-uh-ah-oh-oh seperti mendadak menjadi bodoh sekali.

"Lihat caraku yang lain lagi menangkap burung terbang." kata Ceng Thian Sin sambil memberi isarat dengan pandang matanya kepada isterinya. Toan Kim Hong melepaskan burung itu yang bercicitan terbang keluar, akan tetapi tiba-tiba pendekar itu meluruskan tangannya dengan telapak tangan menghadap ke arah burung yang sedang terbang itu dan tiba-tiba saja tubuh burung itu seperti ditarik ke belakang dan tahu-tahu telah tersedot dan kini menempel di telapak tangan Ceng Thian Sin, tidak mampu terbang lagi!

Melihat ini, Ki Liong lalu memberi hormat dengan membentur-benturkan dahi kepalanya di lantai. "Ah, saya memiliki mata akan tetapi seperti buta saja, tidak melihat bahwa Ji-wi Locianpwe adalah ahli-ahli silat yang memiliki kepandaian mujijat. Kalau Ji-wi masih sudi mengajar saya, saya akan merasa bersukur, berterima kasih dan selamanya saya tidak akan melupakan budi kebaikan Ji-wi Locianpwe ....."

Ceng Thian Sin tertawa dan melepaskan burung itu yang terbang ketakutan. Semenjak saat itu, Ciang Ki Liong telah menjadi murid mereka. Anak ini memang berbakat baik sekali dan ternyata selama ini dia pun sudah mempelajari dasar-dasar ilmu silat dalam perantauannya. Selain berbakat baik, juga dia cerdik bukan main, dapat mengingat setiap jurus yang diajarkannya dengan cepat. Hal ini masih ditambah lagi dengan sikapnya yang amat baik, penuh sopan santun, peramah dan pandai sekali mengambil hati orang. Kakek dan nenek itu hanya mempunyai anak tunggal, perempuan lagi, yaitu Ceng Sui Cin. Kini, mempunyai seorang murid laki-laki seperti Ki Liong, mereka senang bukan main dan beberapa tahun kemudian, mereka sudah menganggap Ki Liong bukan hanya seperti murid terkasih, akan tetapi bahkan seperti anak sendiri!

Ki Liong bukan hanya disuka oleh suhu dan subonya, yang memandang dia sendiri seperti anak sendiri dan yang menurunkan ilmu-ilmu yang paling tinggi, akan tetapi juga para penghuni pulau itu semua suka kepadanya! Dia seorang pemuda yang bersikap ramah terhadap siapapun juga, sehingga tidak ada alasan bagi orang lain untuk tidak suka kepadanya. Bahkan terhadap beberapa orang gadis keluarga para penghuni pulau, dia bersikap baik dan sopan dan alim. Tentu saja melihat sikap ini, Ceng Thian Sin dan Toan Kim Hong menjadi semakin suka dan kedua orang sakti ini menggembleng Ki Liong dengan sungguh-sungguh. Selama enam tahun Ki Liong digembleng dan pemuda yang beruntung ini telah mampu mewarisi ilmu-ilmu yang paling hebat dari suami isteri itu.

Demikianlah, tanpa diketahui Sui Cin yang sudah hampir sepuluh tahun tidak pernah berkunjung ke Pulau Teratai Merah, kini di pulau itu tinggal seorang pemuda yang usianya sudah dua puluh tahun, yang menjadi murid ayah ibunya, bahkan murid yang disayang seperti anak sendiri, dan yang telah mewarisi ilmu-ilmu yang dahsyat dari mereka.

Ketika perahu yang membawa Sui Cin dan Kui Hong mendarat di pulau itu, mereka disambut oleh para penghuni pulau dengan gembira bukan main.

"Siocia datang .....!"

"Nona Kui Hong sekarang telah menjadi seorang gadis yang cantik jelita!"

"Siocia masih saja nampak muda biarpun anaknya sudah demikian besarnya!"

Ketika Ceng Thian Sin dan isterinya menerima laporan bahwa puteri mereka dan cucu mereka datang berkunjung, keduanya girang sekali dan mereka pun berlari keluar, diikuti oleh Ki Liong yang tadi sedang digembleng ilmu silat oleh kedua orang gurunya di lian-bu-thia (ruangan berlatih silat).

"Sui Cin .....!" Toan Kim Hong berseru girang dan ibu dan anak ini segera saling berangkulan. Ketika nenek ini melihat puterinya mencucurkan air mata, ia terkejut bukan main. Belum pernah puterinya ini menangis, hanya karena keharuan pertemuan antara mereka. Anaknya walaupun seorang wanita, memiliki kegagahan dan pantang menangis hanya untuk urusan kecil. Kini ia mengucurkan air mata, itu berarti telah terjadi hal yang hebat.

"Sui Cin ada apakah?" ia bertanya suaranya tegas. Sui Cin melihat kehadiran beberapa orang penghuni yang mengantar mereka masuk setelah tadi menyambut, juga melihat kehadiran seorang pemuda di belakang ayah ibunya, memandang ragu dan ibunya maklum. Toan Kim Hong lalu mengalihkah percakapan dan kini ia memegang kedua pundak Kui Hong.

"Haiii, ini... benarkah ia Kui Hong si kecil itu?"

"Nenek .....!" kata Kui Hong sambil tersenyum dan memberi hormat.

"Aihhh, cucuku sudah begini besar, cantik dan gagah lagi!" Dan Toan Kim Hong lalu merangkulnya.

Ceng Thian Sin yang bersikap tenang itu juga wajahnya nampak cerah gembira, sepasang matanya bersinar-sinar tanda bahwa hatinya senang sekali walaupun tidak enak karena dia pun dapat menduga bahwa tentu telah terjadi hal yang hebat, yang menyebabkan puterinya yang keras hati itu sampai menangis.

"Oya, perkenalkan ini adalah murid kami bernama Ciang Ki Liong, sudah enam tahun dia berada di sini menjadi murid kami. Ki Liong, ini adalah puteri kami Ceng Sui Cin, dan ini adalah cucu kami bernama Cia Kui Hong."

Ki Liong cepat melangkah maju dan menjura dengan hormat kepada Sui Cin, sambil berkata dengan halus dan sopan, "Suci (Kakak seperguruan), harap sudi menerima hormatku."

Sui Cin terbelalak. Murid ayah ibunya? Ia memandang penuh perhatian dan melihat bahwa pemuda ini adalah seorang yang tampan dan gagah, sikapnya demikian sederhana dan sopan, menimbulkan rasa suka di hatinya.

"Ah, aku girang sekali mempunyai seorang Sute (Adik Seperguruan) yang segagah ini," katanya, kemudian menoleh kepada puterinya. "Kui Hong, ini Paman Gurumu, ha-yo beri hormat kepadanya."

Biarpun di dalam hatinya merasa segan memberi hormat seorang pemuda yang usianya tidak terlalu banyak selisihnya dengan usianya sendiri, yang diperkenalkan sebagai paman gurunya, namun di depan ibunya dan kakek serta neneknya, Kui Hong tidak berani membantah.

"Susiok (Paman Guru) .....!" katanya sambil memberi hormat.

"Ah, Nona, mana aku berani menerima kehormatan ini?" Ki Liong berkata dengan ramah dan merendah, sambil membalas dengan penghormatan dan menjura dengan dalam. Melihat sikap ini, Sui Cin menjadi semakin suka dan kagum. Pantas saja orang tuanya menerima pemuda ini sebagai murid dan ia tidak menyalahkan mereka. Memang seorang pemuda yang baik.

"Mari kita bicara di dalam," kata Toan Kim Hong kepada puterinya. Akan tetapi ia melihat Sui Cin memandang kepadanya lalu melirik ke arah Ki Liong, Maklumlah ibu ini bahwa puterinya tidak ingin bicara dengan kehadiran orang lain, maka ia lalu berkata kepada Ki Liong,

"Ki Liong, engkau latih sendiri apa yang baru saja kami ajarkan tadi di lian-bu-thia, biarkan kami melepas rindu kepada Sucimu."

"Baik, Subo," kata Ki Liong sambil meninggalkan ruangan depan.

"Aku mau melihat Susiok berlatih silat!" Tiba-tiba Kui Hong berkata dan ibunya mengangguk karena ia pun merasa lebih leluasa bicara tentang urusan pribadinya kalau di situ tidak hadir puterinya. Kui Hong lalu mengikuti Ki Liong menuju ke lian-bu-thia melalui ruangan samping, sedangkan kakek dan nenek itu masuk ke dalam rumah bersama puteri mereka.

Setelah berada bertiga saja bersama ayah ibunya, Sui Cin tak dapat menahan tangisnya. Ibunya merangkulnya dengan hati penuh kekhawatiran. "Anakku, apakah yang telah terjadi sehingga engkau datang sambil menangis seperti ini?"

Setelah dapat menekan guncangan batinnya, Sui Cin menghapus air matanya dan duduk berhadapan dengan ayah ibunya. Ayahnya hanya mengerutkan alis dan memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik, akan tetapi sikapnya tetap tenang. Tidak ada hal yang akan dapat atau mampu mengguncangkan ketenangan batin Pendekar Sadis ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar