15 Dewi Maut

Seperti telah diceritakan dalam cerita "Petualang Asmara", Yuan de Gama, seorang pemuda Portugis yang gagah perkasa, sebagai seorang kapten kapal, tidak mau meninggalkan kapalnya yang terbakar dan tenggelam. Setiap orang kapten yang terhormat dan gagah perkasa harus sehidup semati dengan kapalnya, maka biarpun dia masih mempunyai kesempatan untuk menyelamatkan diri, meninggalkan kapalnya yang mulai tenggelam, Yuan de Gama berkeras tidak mau meninggalkannya. Dan seorang dara cantik jelita dan perkasa, murid Panglima The Hoo, yang bernama Souw Li Hwa, juga berkeras tidak mau meninggalkan Yuan de Gama yang dicintanya. Kedua orang muda yang saling mencinta ini saling berpelukan dan ikut tenggelam bersama kapal yang terbakar itu, disaksikan oleh ribuan pasang mata yang merasa terharu dan kagum sekali, termasuk mata pendekar-pendekar Cia Keng Hong, Yap Kun Liong, Panglima Besar The Hoo dan lain-lain.

Sudah dapat dipastikan kedua orang muda yang saling mencinta itu akan mati tenggelam di lautan kalau saja pada saat kapal tenggelam itu tidak terjadi sesuatu yang amat luar biasa. Seorang laki-laki tua yang berpakaian nelayan, yang tidak mencampuri perang yang terjadi antara fihak pemberontak dan tentara pemerintah (baca Petualang Asmara) dan yang ikut pula menyaksikan terbakarnya kapal dan ikut tenggelamnya pasangan yang saling berpelukan itu bersana kapalnya, memandang peristiwa itu dengan air mata menitik turun di kedua pipinya yang keriputan. Akhirnya tanpa ada yang melihatnya, kakek tua renta yang berpakaian sebagai nelayan sederhana lalu meloncat dan terjun ke dalam air, menyelam dan lenyap.

Demikianlah, Yuan de Gama dan Souw Li Hwa yang sudah hampir mati lemas, tahu-tahu telah berada di darat, di tempat yang sunyi dalam hutan. Mereka ditolong dan diselamatkan oleh kakek nelayan itu. Mula-mula Yuan de Gama marah-marah karena hidupnya itu merupakan suatu hal yang amat memalukan, dan dia dapat dianggap seorang pengecut karena sebagai seorang kapten dia tidak mati tenggelam bersama tenggelamnya kapal. Hampir saja dia marah dan menyerang kakek itu, akan tetapi dicegah oleh Souw Li Hwa yang menangis dan menyatakan keinginan hidupnya bersama kekasihnya itu setelah ternyata mereka berdua masih hidup.

Adapun kakek itu dengan sabar dan tenang berkata, "Mungkin sekali kebiasaan bangsamu itu dianggap sebagai perbuatan gagah perkasa, namun di sini hanya akan dianggap sebagai perbuatan tolol, suatu pembunuhan diri yang konyol. Bagaimana nyawa manusia disamakan dengan tenggelamnya sebuah benda mati seperti kapal? Pula, engkau sudah memenuhi kebiasaan itu, sudah tenggelam bersama kapalmu, maka apakah salahnya kalau hal itu tidak membuat kau mati karena memang Thian belum menghendaki kau mati? Setelah sekarang kapalmu tenggelam dan kau dapat kuselamatkan di sini, apakah kau lalu akan membunuh dirimu sendiri bersama wanita yang amat setia kepadamu ini?"

Mendengar ucapan kakek nelayan sederhana itu, Yuan de Gama tertegun dan tidak dapat membantah. Memang, kapalnya sudah tenggelam dan dia ternyata masih hidup, bukan atas kehendaknya karena dia ditolong dalam keadaan tidak sadar. Tak mungkin sekarang dia harus mengajak Souw Li Hwa untuk bersama-sama membunuh diri! Kematian gagah seorang kapten adalah tenggelam bersama kapalnya, bukannya membunuh diri secara konyol satelah kapalnya tidak ada lagi! Akhirnya Yuan de Gama dapat melihat kebenaran itu dan tak lama kemudian dia saling rangkul dengan Souw Li Hwa yang menangis sesenggukan sehingga Yuan tidak dapat bertahan lagi untuk tidak mencucurkan air mata. Kakek nelayan itu tertawa bergelak saking girangnya dan demikianlah, mulai saat itu Yuan de Gama dan Souw Li Hwa hidup sebagai suami isteri dan kakek nelayan itu yang ternyata memiliki kepandaian renang dan bermain di dalam air seperti seekor ikan saja, menjadi pembantu mereka.

Yuan de Gama masih merasa sungkan untuk muncul di tempat ramai dan ketahuan oleh orang-orang bahwa dia tidak lagi menjadi seorang kapten yang gagah perkasa maka dia mengajak untuk hidup sunyi di pantai laut dalam hutan, hanya ditemani oleh kakek nelayan itu.

Akan tetapi, setelah setahun kemudian Souw Li Hwa melahirkan anak kembar, terpaksa Yuan mengajak keluarganya pindah ke kota Yen-tai dan di situ dia hidup sebagai seorang pedagang yang dalam waktu beberapa tahun saja, telah menjadi kaya raya.

"Demikianlah, taihiap, aku diberi nama Maria de Gama alias Souw Kwi Eng, sedangkan kakak kembarku bernama Richardo de Gama seperti kakek, alias Souw Kwi Beng. Kakek nelayan itu mengajar kami berdua ilmu di dalam air, sedangkan ibu mengajar kami ilmu silat. Dua tahun yang lalu kakek nelayan itu telah meninggal dunia karena usia tua."

Mendengar penuturan itu, Tio Sun cepat bangkit dari kursinya, dan menjura dengan penuh hormat. "Maafkan kesangsian saya tadi. Kiranya nona adalah puteri pendekar Souw Li Hwa yang dipuji-puji oleh ayah, dan setelah mendengar siapa adanya nona, maka tentu saja saya siap untuk membantu nona."

"Terima kasih, taihiap..."

"Maaf, harap nona tidak menyebut saya taihiap. Saya adalah putera ayah saya Tio Hok Gwan yang mengenal baik ibu nona, dan nama saya Tio Sun. Sekarang, perkenankan saya menghadap ibu nona untuk menyampaikan hormat saya..."

"Aihhh, kalau ibu berada di rumah, tentu sudah sejak tadi dia keluar. Tio-taihiap... eh, baik kusebut kau twako saja, ya?"

"Terserah, asal jangan menyebut taihiap, karena saya tidak pantas disebut taihiap."

"Baiklah, Tio-twako. Ketahuilah bahwa ayah ibuku sudah setengah tahun ini pergi berkunjung ke barat, ke negeri ayahku di Portugal. Aku dan Beng-koko tidak boleh ikut dan diharuskan melanjutkan perdagangan ayah dan menjaga rumah. Akan tetapi baru beberapa hari yang lalu terjadilah malapetaka itu."

"Peristiwa apakah yang terjadi, nona?"

"Kakakku diculik orang..." Dan wajah itu seketika menjadi muram, pandang matanya diliputi kegelisahan.

Tio Sun terkejut, akan tetapi pada saat itu, empat orang pelayan datang membawa hidangan yang segera diatur di atas meja. "Nanti saja kita lanjutkan, twako,", kata Kwi Eng dan mereka lalu makan. Tio Sun yang kini sudah mengenal siapa adanya dara yang amat menarik hatinya ini tidak sungkan-sungkan lagi dan mereka makan tanpa bicara, kecuali kalau Kwi Eng menawarkan ini-itu kepada tamunya.

Setelah selesai makan dan sisanya diasingkan oleh para pelayan, mereka kini duduk berdua lagi dan bercakap-cakap.

"Sekarang ceritakanlah bagaimana kakakmu dapat diculik orang, nona. Melihat kelihaianmu, tentu kakak kembarmu itupun seorang yang tidak akan mudah diculik orang begitu saja."

"Dugaanmu memang benar, twako. Beng-koko memiliki kepandaian yang cukup, bahkah lebih pandai daripada aku. Selama belajar, aku hanya dapat mengatasi kakakku itu dalam ilmu di dalam air saja, akan tetapi dalam latihan ilmu silat, dia lebih pandai dariku. Akan tetapi yang menculiknya juga bukan orang biasa, melainkan gerombolan bajak laut Jepang yang diketuai oleh seorang yang lihai sekali yang bernama Tokugawa, dan terkenal sebagai seorang jagoan samurai yang menyeleweng menjadi kepala bajak. Di antara Tokugawa dan ayah ibu memang terdapat permusuhan, dimulai ketika Tokugawa dan anak buahnya merampok kapal milik ayah dan ayah bersama ibu segera merampasnya. Di dalam pertandingan satu lawan satu, Tokugawa dikalahkan oleh ibu. Semenjak itu, Tokugawa agaknya tergila-gila kepada ibu dan memiliki niat tidak baik, ingin membunuh ayah dan merampas ibu! Tentu saja ayah dan ibu menentangya dan selalu gerombolan Tokugawa dikalahkan. Kini, setelah ayah dan ibu pergi ke barat agaknya Tokugawa berani lagi bermain gila. Setelah dia dikalahkan untuk yang terakhir kalinya, dia tidak berani muncul lagi dan kabarnya menyembunyikan diri di Pulau Hiu yang kosong. Tiba-tiba, beberapa hari yang lalu dia muncul, tentu telah menggunakan akal sehingga dia berhasil menculik Beng-koko dan mengirim surat kepadaku. Inilah suratnya!"

Dengan wajah gelisah Kwi Eng lalu memperlihatkan sesampul surat yang ditulis dengan huruf-huruf kasar namun cukup jelas untuk dapat dibaca.

"Kalau ingin melihat pemuda peranakan asing pulang dengan selamat, kirimkan kapal Angin Timur ke Pulau Hiu sebagai penukarnya."

Di bawah huruf-huruf itu, terdapat sebuah gambar tengkorak hitam. "Apakah artinya gambar ini?" tanya Tio Sun setelah membaca surat itu.

"Itulah julukan Tokugawa, Si Tengkorak Hitam yang menjadi bendera gerombolannya."

Setelah mengembalikan surat itu, Tio Sun bertanya, "Dan kapal Angin Timur itu adalah milik ayahmu?"

"Ya, kapal itu milik kami, kapal yang terbesar dan belum lama ini dibeli oleh ayah dari barat."

"Kenapa kau tidak melaporkan kepada yang berwajib, nona? Bukankah sudah jelas ada bukti dengan surat itu?"

"Brakkkk!" Kwi Eng menggebrak meja sampai meja itu tergetar. "Itulah yang menjengkelkan dan menggemaskan! Kau tahu, twako, semua pembesar korup itu telah makan sogokan dari setiap orang. Siapa saja yang mampu menyogoknya, tentu akan dilindungi, bahkan penjahat sekalipun tidak akan mereka ganggu selama penjahat itu melakukan sogokan dan membagi hasil!"

"Kaumaksudkan Tokugawa telah menyuap para pembesar?"

"Hal itu sudah diketahui oleh umum. Karena yang berani menentang hanya ayah dan ibuku, maka kini Tokugawa menentang kami dan berani mengganggu kami. Hal ini oleh para pembesar dianggap sebagai permusuhan pribadi dan mereka tidak mau mencampuri."

"Hemmm... dan kapal itu amat berharga sehingga engkau merasa sayang untuk menukarnya dengan kakakmu?"

"Tio-twako!" Tiba-tiba dara itu bangkit berdiri dan memandang Tio Sun dengan sinar mata berapi. "Kaukira orang macam apa aku ini?"

Tio Sun cepat bangkit berdiri dan menjura. Hebat gadis ini, pikirnya. Penuh dengan semangat dan api! "Maafkan, nona. Aku tidak menyangka apa-apa, hanya bertanya untuk mengetahui bagaimana tanggapanmu terhadap surat ancaman bajak itu."

Mereka duduk kembali dan Kwi Eng menarik napas panjang. "Engkau tentu tahu betapa sayangku kepada kakak kembarku itu, twako. Jangankan hanya sebuah kapal, biar seluruh harta benda kami akan kuserahkan untuk menebus keselamatan kakakku. Akan tetapi kau tidak tahu siapa adanya Tokugawa, kepala bajak yang seperti iblis itu. Dia tahu bahwa ayah dan ibu tidak ada, maka dia minta tebusan kapal dan aku tahu bahwa kalau kapal itu kuberikan, tetap saja Beng-koko tidak akan dia bebaskan begitu saja. Yang dia kehendaki adalah ibu atau... aku."

"Maksudmu?"

Kwi Eng menundukkan mukanya. "Dahulu, Tokugawa pernah tergila-gila kepada ibu karena ibulah satu-satunya wanita yang pernah mengalahkannya dalam ilmu silat. Akan tetapi setelah niatnya itu gagal, dia pernah mengajukan lamaran kepada orang tuaku untuk minta... aku sebagai isterinya."

"Hemm, manusia keparat!"

"Memang, dia kurang ajar sekali. Kini, dengan ditawannya kakakku, aku mengerti bahwa tentu dia akan menggunakan kakak sebagai sandera untuk memerasku, dan untuk memaksa menuruti kehendaknya itu."

"Hemm... lalu bagaimana kehendakmu, nona?"

"Aku akan melawan! Aku akan melawan mati-matian!"

"Bagus kalau begitu!"

"Aku sudah siap, twako. Aku sudah mempersiapkan anak buah ayahku yeng terdiri dari lima puluh orang untuk menyerbu ke Pulau Hiu. Akan tetapi, selama ini aku selalu menunda niatku itu karena aku tahu bahwa baik kakakku maupun aku sendiri, tidak akan dapat mengalahkan Tokugawa. Bukannya aku takut kalah. Akan tetapi kalau sampai aku kalah, bukankah berarti hanya mati konyol dan kakakkupun tidak akan tertolong? Aku sedang menanti-nanti kembalinya ibu atau hendak mencari seorang pembantu yang memiliki kepandaian tinggi. Dan... agaknya Thian telah mengirim twako ke sini sehingga aku bertemu dengan twako. Dengan adanya twako yang membantu, twako tentu akan dapat menandingi Tokugawa dan kita akan dapat menyelamatkan Beng-koko."

"Kepandaianku tidak seberapa, nona, akan tetapi setelah mendengar penuturanmu, aku ingin berhadapan dengan Tokugawa si keparat kurang ajar itu dan aku mempertaruhkan nyawaku untuk menolong kakakmu."

"Aku sudah melihat gerakanmu ketika kau dikeroyok tadi, twako, dan aku yakin bahwa engkau tentu akan mampu menandingi Tokugawa. Hanya saja, kurahap engkau berhati-hati dan tidak memandang rendah senjata pistol mereka."

"Pistol?" Tio Sun belum pernah mendengar akan senjata ini.

"Agaknya engkau belum pernah melihat senjata itu. Tadi ketika kau dikeroyok, hampir saja engkau ditembak dengan pistol oleh Pedro si pengecut. Baiknya aku melihatnya dan mendahuluinya."

"Hemm, jadi itukah sebabnya maka nona mempergunakan hui-to untuk melukai tangan si rambut merah itu? Dia hendak mempergunakan senjata pistol? Senjata rahasia apakah itu?"

"Sebuah senjata api, pelurunya digerakkan oleh obat peledak. Berbahaya sekali karena peluru itu cepat sekali menyambarnya, sukar dielakkan karena cepatnya."

Tio Sun mengangguk-angguk. "Kiranya senjata api dengan obat peledak. Akan tetapi, aku pernah mendengar bahwa pemerintah melarang orang-orang membawa senjata seperti itu."

"Memang benar demikian, maka tadipun aku mengancam Pedro dan kawan-kawannya. Akan tetapi siapa bisa melarang bajak-bajak yang hidupnya liar di atas lautan? Hanya baiknya, menurut pendengaranku, Tokugawa sebagai seorang bekas jagoan samurai, pantang mempergunakan senjata barat itu dan hanya mengandalkan pedang samurainya yang amat dibanggakan. Mungkin di antara anak buahnya ada yang membawa pistol, akan tetapi jangan khawatir, akupun mempunyai beberapa buah pistol yang akan kubagi-bagikan kepada anak buahku. Aku sendiri lebih senang menggunakan hui-to daripada pistol yang sebetulnya kalah cepat karena pistol harus membidik dan mengisi obat peluru. Pendeknya, dengan bentuanmu, aku yakin akan dapat menyelamatkan Beng-koko, bahkan dapat membasmi Tokugawa dan anak buahnya." Gadis itu kelihatan bergembira dan bersemangat sekali.

"Kapan kita berangkat, nona?"

"Besok sore, twako. Besok kupersiapkan anak buahku, lalu pada sore harinya kita berangkat dengan kapal Angin Timur. Kita bersikap seolah-olah memenuhi permintaan si jahanam Tokugawa. Akan kulihat bagaimana macam mukanya kalau dia melihat kita menyerbu pulau itu."

Malam itu Tio Sun tidur di dalam sebuah kamar tamu di rumah Kwi Eng. Hetinya gembira sekali, dan malam itu tidurnya diisi mimpi indah dengan dara jelita yang amat menarik hatinya itu.

***

"Sebentar lagi baru air laut akan bergelombang besar," kata Kwi Eng yang tiba-tiba muncul di dekat Tio Sun.

"Indah sekali pemandangannya, nona. Mengagumkan sekali."

Malam itu bulan purnama muncul di langit yang cerah. Sinar bulan yang sejuk menerangi permukaan kapal yang melundur dengan tenangnya, dan Tio Sun yang berdiri di geladak kapal itu memandangi bayangan bulan yang menari-nari di atas permukaan air laut, mombuat jalur jalan keemasan. Air hanya berkeriput sedikit saa dan agaknya kalau tidak ada kapal yang meluncur itu, air laut mungkin akan diam seperti kaca.

"Sebentar lagi baru air laut akan bergelombang besar," kata Kwi Eng yang tiba-tiba muncul di dekat Tio Sun.

"Indah sekali pemandangannya, nona. Mengagumkan sekali."

Kwi Eng tertawa ditahan. "Memang demikianlah bagi yang belum pernah melihatnya. Hidup merupakan pengulangan-pengulangan yang membosankan sehingga baru hal-hal yang baru saja yang akan menarik hati. Coba twako tanyakan kepada setiap orang nelayan atau mereka yang biasa hidup di atas lautan, malam bulan purnama seperti ini sama sekali tidak ada keindahannya. Para pelaut tentu lebih mengagumi keindahan di pegunungan, akan tetapi sebaliknya para penghuni gunung sama sekali tidak lagi dapat menikmati tamasya alam di pegunungan."

Tio Sun menghela napas panjang. "Agaknya engkau suka berfilsafat, nona."

Kwi Eng tertawa lagi. "Mungkin hanya terpengaruh oleh kitab-kitab yang diajarkan oleh ibu kepadaku. Lihat, air laut mulai bergelombang, twako. Sehentar lagi gelombang akan cukup besar sehingga berdiri di sini tidak menyenangkan lagi. Apalagi bagi twako yang tidak biasa, jangan-jangan malah memabokkan. Mari kita masuk saja ke dalam, twako."

Tio Sun melihat bayangan bulan tadi sudah pecah-pecah dan merasakan goyangan kapal ke kanan kiri. Dia mengangguk dan keduanya lalu memasuki bilik yang cukup besar di mana tersedia meja kursi.

"Bagaimana kau bisa tahu bahwa gelombang akan datang, nona? Padahal tadi tenang-tenang saja, bahkan air laut hampir tidak bergerak sama sekali."

"Karena belum tiba saatnya, twako. Akan tetapi setiap malam terang bulan, air laut pasti bergelombang besar. Karena itu, para nelayan lebih senang mencari ikan di waktu malam gelap."

Kwi Eng sengaja memberangkatkan kapal itu di malam hari agar tidak menarik perhatian orang-orang di pantai, karena dia tahu bahwa sudah pasti diantara anak buah bajak Tengkorak Hitam, ada yang memata-matai gerakannya. Dia mengerahkan anak buahnya kurang lebih lima puluh orang, sebagian besar adalah pribumi dan ada belasan orang anak buah bangsa asing yang bekerja di perusahaan ayahnya. Dia sendiri memakai pakaian ringkas, dengan sepatu yang hitam mengkilap, sepatu boot yang sampai di lututnya. Sebatang pedang tergantung di punggungnya dan Tio Sun memandang kagum karena dara itu benar-benar kelihatan gagah perkasa.

Malam itu gelombang amat besar dan kapal Angin Timur yang besar itu tidak dapat laju, harus menentang gelombang dan perlahan-lahan mendekati sebuah pulau yang terpencil jauh dari pulau-pulau lain. Menjelang pagi, ombak mereda dan kapal itu baru berani membuang sauh di dekat pulau, menanti sampai datangnya pagi. Setelah bola emas besar sekali itu muncul dari permukaan air di sebelah timur, membakar lautan menjadi merah menyala, barulah kapal itu bergerak lagi menuju ke pulau yang memanjang dan dari jauh kelihatan seperti seekor ikan hiu sedang meliuk. Yang berada di atas dek hanya Kwi Eng, Tio Sun dan beberapa orang anak buah yang bertugas memegang kemudi dan mengatur layar. Kapal besar itu kelihatan sunyi sekali dan kosong karena tidak ada sepuluh orang yang berada di atas geladak. Selebihnya, atas perintah Kwi Eng, menyembunyikan diri di bawah dan di balik bilik. Pembantu yang mengemudikan kapal itu sudah hafal akan tempat ini, maka dengan hati-hati dia dapat memilih jalan yang aman dan menempelkan kapal di tepi pulau yang airnya dalam. Di situ nampak beberapa buah perahu besar yang bercat hitam, dan beberapa orang yang tadinya berada di situ, berlari-lari ke daratan ketika melihat Kapal Angin Timur itu.

Tak lama kemudian, muncullah seorang laki-laki setengah tua, usianya kurang lebih lima puluh lima tahun, bertubuh pendek tegap, kelihatan kokoh kuat dengan sepasang lengannya yang pendek agak membengkok ke dalam. Dia memakai pakaian yang berlengan pendek sampai ke siku dan berkaki pendek sampai ke lutut sehingga nampaklah otot-otot di lengan dan kakinya yang melingkar-lingkar dan besar menggembung, tanda bahwa orang itu bertubuh kuat dan bertenaga besar. Rambutnya diikat di bagian atas dan dibiarkan terurai di belakang lehernya, dan di pinggangnya tampak sebatang pedang melengkung panjang, yaitu sebatang pedang samurai bergagang panjang. Kedua kakinya memakai sandal sederhana, dan mukanya tertutup kumis dan brewok yang membuat orang ini kelihatan menyeramkan. Inilah dia Tokugawa, kepala bajak laut Tengkorak Hitam yang amat ditakuti oleh para pemilik kapal karena kejamnya. Oleh karena itu, melalui perantara kepala bajak laut ini yang bukan lain adalah pembesar di kota Yen-tai sendiri, para pedagang dan pemilik kapal rela membayar uang sumbangan atau hadiah kepada kepala bajak ini agar kapal-kapal mereka dibebaskan dari gangguan Tengkorak Hitam. Tentu saja hal ini membuat Tokugawa menjadi seorang yang kaya raya dan hanya karena permusuhannya dengan Yuan de Gama dengan isterinya saja yang akhirnya membuat Tokugawa sampai terpaksa melarikan diri ke Pulau Hiu, di mana dia membangun sebuah rumah besar dan menjadikan pulau itu sebagai tempat persembunyiannya atau sebagai pusat dari gerombolan bajak Tengkorak Hitam.

Tokugawa tadinya adalah seorang jagoan samurai di Jepang. Golongan samurai ini amat termasyhur di Jepang yang muncul di abad ke sebelas. Pertama-tama muncul para pimpinan golongan-golongan yang menamakan dirinya sebagai pendekar yang disebut daimyo (yang bernama besar) dan para daimyo ini yang karena sifatnya seperti seorang jenderal pemimpin pasukan, maka muncullah golongan samurai (mereka yang mengabdi). Senjata para pendekar ini yang terutama adalah pedang panjang yang bergagang panjang pula, yang bentuknya agak melengkung. Banyak jagoan-jagoan samurai yang sudah tidak bertugas dalam pasukan seorang daimyo, lalu menjadi perantau dan sifat mereka yang amat menjunjung tinggi nama mereka sebagai jagoan samurai, mengutamakan kagagahan, seperti halnya para pendekar di Tiongkok.

Akan tetapi karena mabok akan wajah cantik wanita dan mabok akan kesenangan duniawi, berobahlah watak Tokugawa setelah tidak ada disiplin kelompok yang mengikatnya dan dia lalu dimusuhi oleh para jagoan samurai lainnya, karena dianggap sebagai seorang yang mencemarkan nama samurai. Tokugawa lalu melarikan diri dan akhirnya dia muncul sebagai kepala bajak yang disegani di sepanjang pantai Teluk Po-hai.

Benar seperti diceritakan oleh Kwi Eng kepada Tio Sun, bekas jagoan samurai ini ketika bentrok dengan Yuan de Gama dan bertanding satu lawan satu dengan Souw Li Hwa, samurainya tidak mampu menandingi Li Hwa dan tentu saja dia menjadi kagum bukan main. Di samping suka akan wanita dan kedudukan serta kehormatan, juga bekas jagoan samurai ini suka sekali akan kegagahan, maka melihat kegagahan Li Hwa, dia menjadi tergila-gila kepada nyonya itu! Akan tetapi ternyata dia selalu gagal menghadapi pendekar wanita dan suaminya itu, dan akhirnya ketika melihat puteri pendekar wanita itu yang sudah besar, dia mengalihkan harapannya kepada Kwi Eng karena dia tahu bahwa dara cantik inipun mewarisi kepandaian ibunya. Hal ini membuat Yuan de Gama dan Souw Li Hwa marah sekali dan dengan terang-terangan mereka ini memusuhi Tokugawa dan hendak membunuh serta membasmi gerombolannya. Tokugawa berkali-kali mengalami kekalahan dan akhirnya dia melarikan diri ke Pulau Hiu itu.

Ketika dia mendengar berita bahwa Souw Li Hwa yang ditakutinya itu bersama suaminya pergi ke barat timbul kembali niatnya dan akhirnya dia menggunakan pengeroyokan anak buahnya berhasil mengalahkan dan menculik Richardo de Gama, kakak kembar dari Kwi Eng dan membawanya sebagai tawanan ke Pulau Hiu. Mulailah dia melakukan pembalasan terhadap keluarga itu dengan jalan menggunakan Richardo, sebagai sandera dan dia minta ditukar dengan kapal Angin Timur, kapal terbesar di pantai itu! Kalau dia dapat memiliki kapal itu, tentu dia akan leluasa melakukan pembajakan, mengejar kapal-kapal lain yang tidak memberi sumbangan kepadanya! Dan tentu saja dia akan menggunakan pemuda itu untuk mendapatkan gadis yang dirindukannya, yaitu Kwi Eng si cantik jelita!

Dapat dibayangkan betapa girang hati Tokugawa ketika mendengar dari penjaga di pantai pulaunya bahwa kapal Angin Timur yang dinanti-nantinya telah muncul! Dan lebih girang lagi hatinya ketika dia mendengar laporan bahwa di antara delapan orang yang membawa perahu dan tampak di atas geladak itu terdapat Souw Kwi Eng, dara yang membuatnya tergila-gila sebagai pengganti ibu dara itu! Dia menggosok-gosok kedua tangannya. "Bagus, sekali tepuk dua lalat ini namanya, ha-ha-ha-ha!" Maka cepat dia mengumpulkan orang-orangnya yang berjumlah empat puluh orang lebih menuju ke pantai menyambut datangnya kapal itu.

Melihat munculnya musuh besar yang amat dibencinya itu, Souw Kwi Eng lalu mengerahkan khi-kangnya dan berseru dengan suara lantang, "Heiiiii...! Tokugawa, manusia curang! Hayo lekas bebaskan kakakku, baru aku akan menyerahkan kapal ini kepadamu. Kalau tidak, aku akan memutar kembali kapal ini!"

"Ha-ha-ha, nona manis. Engkau menjadi tamu kehormatan, silakan turun dulu dan kita bicara."

"Siapa percaya omonganmu! Hayo lekas kau bebaskan kakakku!"

"Omongan seorang pendekar samurai boleh dipercaya seratus prosen seperti mempercaya pedangnya!" Tokugawa berseru agak marah karena kehormatannya tersinggung. Dia lalu memberi aba-aba dalam Bahasa Jepang kepada anak buahnya dan tak lama kemudian kelihatan seorang pemuda yang tampan dan yang mukanya persis Kwi Eng, hanya lebih besar dan tegap karena dia adalah seorang laki-laki yang gagah, juga matanya berwarna biru dan rambutnya keemasan. Pemuda ini adalah Souw Kwi Beng dan dia digiring ke pantai dengan kedua tangan terbelenggu ke belakang.

"Koko...!" Kwi Eng berseru girang ketika melihat kakaknya dalam keadaan selamat walaupun menjadi tawanan musuh.

"Moi-moi... jangan terjebak oleh jahanam Tokugawa! Jangan kaudengarkan omongannya yang palsu! Bawa anak buah sebanyaknya dan serbu saja, atau tunggu sampai ayah ibu pulang. Aku matipun tidak akan penasaran kalau kelak dia dan gerombolannya terbasmi!"

Diam-diam Tio Sun kagum melihat pemuda itu yang demikian tabah dan bersemangat, persis seperti sikap dara jelita itu. Sudah berada di tangan musuh, berarti nyawanya berada di tangan musuh, masih berani bersikap menentang seperti itu.

"Ha-ha-ha-ha!" Tokugawa tertawa bergelak. "Nona manis, engkau tinggal pilih. Engkau serahkan kapal itu baik-baik dan menjadi tamu kehormatanku, atau kau boleh bawa pergi kapal itu akan tetapi lebih dulu kau akan melihat leher kakakmu kupenggal di sini, di depan matamu!" Tokugawa menggerakkan tangan kanannya dan "sratt!" pedang samurai yang melengkung penjang itu telah dihunusnya dan berkilauan tertimpa sinar matahari pagi. Sebatang pedang yang terbuat dari baja pilihan, pikir Tio Sun.

"Tokugawa, aku tidak takut akan ancamanmu. Aku memang mau menyerahkan kapal ini kepadamu sebagai penukar kakakku, akan tetapi suruh kakakku mendekat dan kau harus menjauhinya agar kau tidak bermain curang. Baru aku mau turun bersama kakakku."

"Moi-moi, jangan...!" Kwi Beng berteriak penuh kekhawatiran.

"Biarlah, koko, matipun tidak mengapa, asal kita bersama. Pulau seorang jagoan samurai tentu tidak akan mencemarkan samurainya sendiri dengan jalan melanggar janji dan bertindak curang."

"Ha-ha-ha-ha, kau benar, nona manis. Ha-ha-ha!" Tokugawa menyarungkan samurainya dan mendorong tubuh Kwi Bang ke arah pantai. "Kau sambutlah adikmu yang manis dan kalian akan kusambut sebagai tamu-tamu kehormatan, ha-ha-ha!"

Kwi Beng terhuyung dan menghampiri adiknya dengan kedua tangan masih terbelenggu ke belakang. Pada saat itu, Tio Sun mengeluarkan pekik melengking nyaring dan tubuhnya sudah melayang dari atas kapal ke derat, langsung dia menerkam dan menyerang Tokugawa!

Tokugawa terkejut bukan main, cepat dia menggerakkan lengannya yang amat kuat untuk menangkis. "Dukkk!" Benturan dua tenaga yang sama kuatnya itu membuat Tokugawa dan Tio Sun keduanya terlempar ke belakang. Tokugawa makin kaget dan cepat dia memberi aba-aba kepada anak buahnya untuk menyerbu dan menangkap kakak beradik itu. Akan tetapi tiba-tiba berserabutan anak buah Kwi Eng keluar dari kapal dengan jumlah yang sama besarnya dengan jumlah anak buah bajak. Bahkan di antara mereka ada pula yang memegang pistol seperti juga anak buah Tokugawa. Kwi Eng sendiri cepat membebaskan kakaknya dari belenggu, menyerahkan sebatang pedang dan bersama kakaknya dia lalu barlari ke depan.

"Tahaaann...!" Tiba-tiba Tokugawa berseru sebelum anak buahnya bertempur melawan anak buah Kwi Eng. Dia mengangkat langan ke atas dan Kwi Eng juga cepat memberi aba-aba agar orang-orangnya menahan senjata.

"Nona Souw, engkau ternyata curang! Engkau menyembunyikan kaki tanganmu di dalam kapal yang katanya hendak kautukarkan dengan kakakmu!" Tokugawa berteriak, diam-diam matanya menghitung dan mengukur kekuatan lawan, kemudian mengerling tajam ke arah pemuda berpakaian kuning sederhana yang memiliki kekuatan dahsyat tadi.

"Tokugawa, manusia tak tahu malu, kau masih berani bicara tentang kecurangan orang lain? Engkau lari bersembunyi ketika ayah ibu kami masih berada di Yen-tai, kemudian engkau muncul ketika mareka melakukan perjalanan ke luar negeri, dan engkau menculik kakakku. Adakah yang lebih curang dari itu? Sekarang aku datang dengan pasukanku untuk membasmimu, dan engkau bilang aku curang?"

"Bocah she Souw yang sombong! Karena aku kagum kepada ibumu dan karena aku cinta kepadamu maka aku tidak membunuh kakakmu, aku perlakukan dengan baik. Daripada engkau dan kakakmu mati konyol, lebih baik engkau menurut saja menjadi isteriku dan kita semua menjadi keluarga, bukankah kedudukan kita akan menjadi lebih kuat?"

"Jahanam hina! Manusia macam engkau ingin memperisteri aku? Lebih baik aku mati bersama kakakku daripada dijamah tangan kotormu yang berlumuran darah manusia tak berdosa itu. Kau orang hina dan curang, yang hendak bersembunyi di belakang samuraimu yang sudah berkarat!"

Hebat bukan main hinaan ini bagi seorang jagoan samurai. Tio Sun menjadi terkejut mendengar kata-kata dara itu, karena kata-kata itu luar biasa tajamnya menusuk perasaan.

"Bocah bermulut lancang! Kau menghina Tokugawa? Ayahmu sendiri seorang pengecut, bersembunyi di balik nama seorang kapten gagah perkasa yang tewas bersama kapalnya, tapi diam-diam melarikan diri dan hidung dengan sembunyi-sembunyi...! Kalau memang kalian keluarga gagah, hayo lawan Tokugawa satu lawan satu!"

Tio Sun mengangguk dan dia melangkah maju menghadapi Tokugawa. "Tokugawa, akulah lawanmu. Kita bertanding satu lawan satu ataukah hendak main keroyokan?"

"Siapa kau?" Tokugawa membentak dengan suara yang agaknya keluar dari dalam perutnya yang gendut.

"Namaku Tio Sun."

"Kenapa kau mencampuri urusan ini? Apakah engkau kaki tangan bayaran dari keluarga berdarah campuran ini? Sungguh memalukan sekali seorang pendekar menjadi antek orang asing!"

"Tokugawa, mulutmu kotor seperti pecomberan!" Kwi Eng membentak, akan tetapi Tio Sun tersenyum kepadanya.

"Tokugawa, dengarlah baik-baik. Ayahku adalah seorang bekas pengawal yang paling dipercaya dari mendiang Panglima Besar The Hoo, oleh karena itu, biarpun aku tidak bekerja kepada pemerintah, namun melihat bahwa engkau adalah kepala bajak laut yang jahat dan mengganggu ketenteraman, sudah menjadi kewajibanku untuk menentang dan membasmimu."

"Keparat, bocah sombong engkau. Sudah bosan hidup agaknya. Hyaaaaattttt...!"

Dengan tiba-tiba Tokugawa menyerang dengan kedua lengannya yang pendek-pendek namun kuat sekali itu. Caranya menyerang seperti seekor kerbau hendak menyeruduk, kepalanya di depan dan kedua lengannya menyambar dari kanan kiri, agaknya hendak meringkus tubuh Tio Sun yang dibandingkan dengan dia hanya kecil saja sungguhpun jauh lebih jangkung.

Tio Sun yang maklum bahwa orang ini mungkin ahli bermain pedang, akan tetapi bukan ahli berkelahi dengan tangan kosong, hanya mengandalkan tenaga kasarnya saja, maka dia sengaja tidak mau mengelak, melainkan menangkis pula dengan kedua lengannya yang dikembangkan ke kanan kiri.

"Plak! Plakk!"

Untuk kedua kalinya mereka mengadu tenaga, kini dengan kedua lengan, dan akibatnya, lengan mereka terpental. Akan tetapi, tiba-tiba Tio Sun menjadi terkejut bukan main karena entah bagaimana, tahu-tahu tangan Tokugawa telah dapat menangkap lengannya, dengan cara yang aneh dan cepat lengannya diputar dan sebelum Tio Sun sempat membebaskan diri, tubuhnya sudah terlempar!

Untung pemuda ini memiliki gin-kang yang baik sekali dan cepat dia dapat menguasai keseimbangan tubuhnya sehingga dia dapat terhindar dari bantingan, dan dari kejaran Tokugawa yang sudah tertawa-tawa.

"Keparat, siapa takut padamu?" kini Souw Kwi Beng hendak meloncat ke depan, akan tetapi adiknya memegang lengannya dan menoleh ke arah Tio Sun.

"Tio-twako, maukah kau mewakili kami memberi hajaran kepada bejak sombong ini?" katanya.

Plak! Desss!" Tokugawa yang kini terkejut ketika tubuhnya terkena tamparan dan perutnya tercium ujung kaki lawan ketika dia hendak mengejar lawan yang telah dibantingnya itu. Keduanya lalu meloncat bangun lagi, saling pandang dengan sinar mata saling mengukur dan marah seperti lagak dua ekor ayam jago yang berlaga hendak saling terjang.

Tio Sun merasa kecelik. Biarpun mungkin Tokugawa tidak memiliki ilmu pukulan yang membahayakan, namun ternyata kepala bajak ini memiliki kepandaian gulat dan gerakan seperti Ilmu Kim-na-jiu yang mengandalkan kecepatan kedua tangan dan mematahkan kedudukan kaki lawan. Tahulah dia bagaimana harus menghadapi lawan yang pandai Ilmu Kim-na-jiu (Ilmu Silat Cengkeraman dan Pegangan) ini. Sama sekali tidak boleh merapat atau mengadu tangan! Maka Tio Sun lalu menerjang dengan cepat sekali, mengirim pukulan-pukulan mengandalkan kecepatan gerakannya dan sama sekali tidak memberi kesempatan kepada lawan untuk merapat.

"Bukkk...desss...!" Tubuh Tokugawa terpelanting, akan tetapi tubuhnya menang kuat dan kebal sehingga hantaman tangan kiri Tio Sun yang mengenai pundak kanannya disusul tendangan pemuda itu yang mengenai lambungnya tidak membuat si kate kekar ini kalah. Dia terpelanting dan bergulingan lalu meloncat dekat lawan, langsung dia menerkam seperti seekor burung garuda menyambar anak kambing.

Kini Tio Sun mengelak cepat, meloncat ke kiri dan sengaja berlaku sedikit lambat sehingga lawan lewat dekat di sampingnya. Sikunya menyambar disusul tamparan pada tengkuk lawan.

"Plakkk...desss...!" Kembali tubuh Tokugawa terjungkal dan bergulingan, akan tetapi tetap saja dia meloncat bangun lagi. Kedua matanya menjadi merah, mulutnya mengeluarkan busa dan jenggot serta kumisnya bergerak-gerak, dari mulutnya terdengar bunyi kerot gigi beradu. Kedua tangannya direnggangkan dengan jari-jari tangan terbuka, buku-buku jari tangannya mengeluarkan bunyi berkerotokan dan tiba-tiba tampak sinar kilat menyambar ketika dia mencabut samurainya yang gemerlapan saking tajamnya itu. Setelah mencabut samurainya, agaknya bangkit semangat jagoan samurai dalam diri Tokugawa. Sikapnya menjadi gagah sekali, gagah dan tenang, agaknya dia telah mampu menguasai kemarahannya setelah melihat samurainya yang diagungkannya itu. Kedua tangan memegang gagang samurai yang panjang, tubuhnya agak membongkok, kedua kakinya memasang kuda-kuda, matanya terang dan tajam memandang gerak-gerik lawan, dan sedikitpun dia tidak bergerak seolah-olah telah berobah menjadi arca batu.

Tio Sun juga sudah mencabut pedangnya. Pemuda itu sama sekali tidak berani memandang rendah karena biarpun cara memegang pedang lawannya begitu aneh, menggunakan dua tangan, namun sikap lawannya, pasangan kuda-kudanya, gerak-geriknya, jelas membayangkan keahlian. Pula, selama hidupnya belum pernah dia bertemu dengan lawan yang menggunakan pedang samurai, maka dia tidak tahu bagaimana sifat ilmu pedang ini. Oleh karena itu, setelah menghunus pedangnya dan memegang pedang dengan tangan kanan, Tio Sun juga memasang kuda-kuda yang gagah, kaki kiri tegak, kaki kanan diangkat dan ditekuk lututnya sehingga ujung sepatu kanan menyentuh lutut kiri, pedangnya di depan tubuh menuding ke bawah, ujungnya menyentuh tanah dan tangan kiri di atas kepala menuding ke langit, mata mengerling ke kanan, ke arah lawan dengan pandang mata tajam. Inilah pembukaan kuda-kuda yang disebut Menunjuk Bumi dan Langit yang merupakan pembukaan pertahanan yang amat kuat.

Melihat lawannya tidak dapat dipancing untuk menyerang lebih dulu, Tokugawa yang menjadi penasaran itu lalu menggerakkan pedangnya. "Singgg... hyyyaaaatttt!" Dia berlari ke depan, pedangnya digerakkan dengan cepat sekali, berputar-putar berobah menjadi gulungan sinar pedang kilat yang bergulung-gulung dan mengeluarkan bunyi dahsyat.

"Sing-singggg... wuuutt-wuuutt-wuutt...!"

Tio Sun cepat mengelak dan kini dia mulai mengerti akan kedahsyatan ilmu pedang yang dimainkan oleh dua tangan itu. Pedang itu melengkung dan panjang lagi berat, digerakkan oleh kekuatan dua buah tangan maka tentu saja amat hebat dan dahsyat, sekali saja mengenai tubuh lawan pasti berarti maut dan gerakan lawan itu sembilan puluh prosen berupa serangan, dan sedikit sekali mementingkan pertahanan karena tentu menurut perhitungan Tokugawa, serangannya yang dahsyat dan bertubi-tubi tanpa memberi kesempatan kepada lawan itu pasti membuat lawan tidak mampu balas menyerang. Jadi inti gerakan Tokugawa itu adalah semata-mata menekan lawan dan tidak memberi kesempatan kepada lawan untuk membalas!

Tio Sun sejak kecil digembleng oleh ayahnya sendiri dan ayahnya itu, Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan, adalah seorang bekas pengawal Panglima Besar The Hoo sehingga telah melakukan ribuan pertempuran dan telah memiliki pengalaman yang luas sekali menghadapi orang-orang pandai dari berbagai aliran. Karena tidak mungkin baginya untuk menceritakan semua teori aliran-aliran ilmu silat yong demikian banyaknya, maka dia hanya memesan kepada puteranya itu agar setiap kali menghadapi lawan yang tidak dikenal ilmunya, janganlah terburu nafsu untuk mengalahkan lawan itu sebelum tahu benar-benar akan kelemahan-kelemahannya. Terburu nafsu ini mungkin akan mencelakakan diri sendiri karena dalam keadaan terdesak, lawan itu mungkin memiliki suatu ilmu simpanan yang akan berbalik mencelakakan penyerangnya.

Oleh karena itu, biarpun Tio Sun sudah tahu bahwa lawannya lebih menekankan penyerangan sehingga pertahanannya menjadi lemah, dia tidak mau tergesa-gesa membalas serangan lawannya, apalagi karena dia maklum bahwa lawannya ini memiliki ilmu yang aneh-aneh dan tentu saja sebagai seorang tokoh sesat telah memiliki pengalaman pertempuran yang amat luas. Oleh karena itu, dia hanya mengelak dan kadang-kadang menangkis dan setiap kali tangkisan, pedangnya tentu terpental karena tenaga sebelah tangannya, betapapun kuatnya, tidak mampu menandingi tenaga kedua tangan Tokugawa.

"Sing-sing-wuuut-wuuuttt... trang-cringggg...!"

Sampai lewat lima puluh jurus Tio Sun kelihatan seolah-olah terdesak oleh Tokugawa dan anak buah Tokugawa sudah menyeringai dan tersenyum-senyum girang. Mereka itu agaknya maklum bahwa pemuda itu adalah "jagoan" yang dibawa oleh musuh, dan kalau sang jagoan itu sudah dirobohkan, tentu akan mudah membasmi pasukan lawan yang sudah kehilangan jagoannya yang diandalkan. Akan tetapi, di fihak Kwi Eng dan Kwi Beng, hanya para anak buah mereka saja yang kelihatan gelisah melihat Tio Sun terus didesak mundur, bahkan sering kali samurai yang tajam bukan main itu hanya berselisih sedikit dari tubuh jagoan mereka! Akan tetapi Kwi Eng dan Kwi Beng menonton dengan tenang-tenang saja. Dua orang muda ini adalah putera-puteri pendekar wanita Souw Li Hwa dan mereka itu dapat melihat betapa Tio Sun bertanding dengan hati-hati dan tenang, tanda bahwa pemuda itu memang berkepandaian tinggi dan tidak sembarangan main seruduk saja yang kemudian akan mengakibatkan kekalahan di fihaknya.

Kini mulailah Tio Sun dapat mempelajari inti gerakan lawan. Juga dengan girang dia melihat betapa lawannya sudah mulai berkeringat dan napasnya mulai memburu. Hal ini tidak mengherankan karena Tokugawa telah berusia lima puluh tahun lebih, menggerakkan samurainya dengan kedua tangan dan dengan sepenuh tenaga, ditambah lagi cara hidupnya yang tidak sehat, maka tentu saja ketangkasan dan daya tahannya tidak seperti di waktu dia masih menjadi seorang jagoan samurai di negerinya. Diapun maklum bahwa lawannya ini hebat bukan main, tidak boleh dipandang ringan saja. Dahulu pernah dia memandang ringan kepada Souw Li Hwa dan dia kalah, hampir saja dia tewas. Maka kini dia harus bersikap hati-hati. Setelah mendesak selama lima puluh jurus dan sama sekali tidak ada tanda-tanda bagi lawan untuk kewalahan menghadapi samurainya, bahkan gerakan lawan makin lama makin cepat dan ringan, Tokugawa lalu menggunakan siasat. Dia sengaja memperberat napasnya dan memperlambat gerakannya.

Betapapun juga, Tio Sun adalah seorang pemuda yang baru saja keluar dari rumah ayahnya, seperti seekor burung yang baru keluar dari sarang. Biarpun dia telah mempelajari banyak teori, akan tetapi dia belum banyak pengalaman, maka dia tidak tahu bahwa lawannya itu berpura-pura kehabisan tenaga. Dia menjadi girang sekali melihat kelambatan gerakan samurai, maka mulailah dia menyerang!

"Heiiiiittttt...!" Pedangnya meluncur seperti kilat.

"Cring-cringgg... ciuuuutttt...!" Samurai itu menangkis dua kali dan tiba-tiba dari pinggir gagangnya meluncur sebatang paku ke arah Tio Sun.

"Aduhhh...!" Tio Sun terpekik karena kaget ketika tahu-tahu paku itu menancap di pundak kirinya. Pedangnya berkelebat cepat laksana kilat dan kini Tokugawa yang berteriak, tangannya berdarah dan terpaksa dia melepaskan samurainya. Pada saat itu Tio Sun yang telah terluka pundaknya itu secepat kilat menusukkan pedangnya ke arah dada lawan. Tokugawa miringkan tubuhnya membiarkan pedang itu menancap di pundaknya akan tetapi pada saat itu, kedua tangannya menyambar dan dia sudah berhasil menangkap kedua pergelangan tangan Tio Sun! Cengkeramannya itu kuat sekali dan Tio Sun maklum bahwa agaknya tidak mungkin melepaskan kedua lengannya dari cengkeraman itu, maka diam-diam dia lalu mengerahkan sin-kangnya untuk memberatkan tubuhnya.

Tokugawa tertawa bergelak. Jagoan samurai ini maklum bahwa bagi ahli silat, yang berbahaya adalah kedua tangannya, maka kini dia telah berhasil menangkap kedua pergelangan tangan lawan, membuat lawannya tidak berdaya. Dia sama sekali tidak berani melepaskan lengan lawan, karena maklum bahwa begitu terlepas, tangan itu akan dapat mengirim pukulan maut dengan cepat sekali dan hal ini amat membahayakan dirinya. Maka setelah kini berhasil menangkap lengan lawan, dia tertawa, "Ha-ha-ha, hayo, kaulepaskan dirimu kalau bisa! Dan bersiaplah kau untuk mampus kubanting!"

Souw Kwi Beng dan Souw Kwi Eng memandang dengan kaget sekali. Tadi mereka sama sekali tidak khawatir karena ilmu silat pemuda yang membantu mereka itu ternyata tinggi sekali. Akan tetapi sekarang, dengan kedua pergelangan tangan dicengkeram, ilmu silat tidak ada gunanya lagi, karena kedua lengan tak dapat digerakkan. Kwi Beng dan Kwi Eng merasa heran mengapa pemuda itu tidak mau menggunakan kakinya untuk menendang. Dan Tokugawa juga bahkan mengharapkan lawannya itu menggerakkan kaki menendangnya. Akan tetapi Tio Sun berpendapat lain. Setelah bertempur, dia maklum bahwa dia dapat mengatasi ilmu silat kepala bajak ini, akan tetapi yang amat diandalkan oleh lawannya dan tidak dapat diatasinya hanyalah ilmu gulat yang aneh. Maka dia tidak mau mengangkat kaki menendang, karena dia menduga bahwa pada saat dia menendang, maka kekuatan bawah tubuhnya lenyap dan dia akan mudah diangkat dan dibanting oleh lawan yang bertenaga gajah ini. Dan dugaannya memang benar, Tokugawa juga menanti-nanti saat itu.

Karena dia mendapat kenyataan bahwa lawannya tetap tidak mau menendangnya bahkan kelihatan seperti memasang kuda-kuda yang kokoh kuat, Tokugawa tertawa, kemudian tiba-tiba mengeluarkan suara dari perut dan kedua lengannya bergerak, otot-otot sebesar jari tangan di sekitar lengannya menonjol.

"Haaaaaiiiiikkkkk... hyaaaaatttt...!" Dia mengerahkan seluruh tenaganya, dengan ilmu gulat dia berusaha mengangkat tubuh pemuda itu untuk dilemparkannya atau dibantingnya. Akan tetapi, sedikitpun kedua kaki Tio Sun tidak terangkat! Pemuda ini adalah putera tunggal, juga murid dari Tio Hok Gwan yang berjuluk Ban-kin-kwi (Setan Bertenaga Selaksa Kati), maka tentu saja dia sudah melatih diri dengan ilmu kebanggaan keluarganya ini sehingga kini jangankan baru tenaga seorang Tokugawa, biar kepala bajak itu menggunakan bantuan sepuluh orang kaki tangannya, belum tentu akan mampu mengangkat tubuh Tio Sun!

Tentu saja Tokugawa menjadi penasaran sekali. Dia adalah seorang jagoan samurai yang terkenal memiliki tenaga hebat dan jarang ada lawan yang mampu menandingi tenaganya. Akan tetapi sekarang, setelah menguasai kedua lengan lawan ini, seorang pemuda yang masih amat muda, bertubuh kecil saja, seorang pemuda yang belum ternama, dia tidak mampu mengangkatnya!

Saking marahnya, dia mengerahkan seluruh tenaga dalam dan tenaga otot, perutnya mengeluarkan gerengan seperti seekor harimau terluka.

"Auggghhhh... haaaiiiikkkkk... prott!"

Kwi Eng sebagai seorang gadis yang wataknya jenaka dan periang, tidak mampu menahan kegelian hatinya mendengar suara terakhir tadi, karena suara berperopot itu keluar dari pantat Tokugawa!

"Hi-hi-hik, tak tahu malu...!" Kwi Eng terkekeh sambil menutupi hidungnya, menjepitnya dengan ibu jari dan telunjuknya.

Pada saat itu, Tio Sun nengeluarkan pekik dahsyat melengking, tanda bahwa dia telah mengerahkan Ban-kin-keng (Tenaga Selaksa Kati) sepenuhnya dan tiba-tiba saja tubuh Tokugawa terangkat ke atas dan sekali Tio Sun menggerakkan kedua lengannya, terlepaslah pegangan kedua tangan Tokugawa dan tubuh kepala bajak itu terlempar ke depan sampai enam tujuh meter jauhnya, terbanting ke atas tanah berdebuk dan mengebullah debu di atas tanah yang tertimpa tubuhnya itu. Sebelum Tokugawa sempat merangkak bangun, tampak sinar menyambar dibarengi suara ledakan, "Tar-tar...!" Dan tubuh itu roboh kembali dengan kepala pecah disambar pecut baja, yaitu joan-pian yang merupakan pecut yang dipakai oleh Tio Sun sebagai ikat pinggang!

Tentu saja peristiwa ini mengejutkan hati para bajak laut dan serentak mereka menyerbu ke depan didahului oleh tembakah-tembakan dari pistol beberapa orang anak buah bajak. "Tio-twako, awas pistol...!" Kwi Eng menjerit, akan tetapi Tio Sun yang sudah bersikap waspada, cepat meloncat ke belakang, kemudian bertiarap di dekat Kwi Eng dan Kwi Beng yang merupakan seorang jagoan tembak, menyambar sepucuk pistol dari tangan seorang anak buahnya, lalu bersama para anak buahnya yang memegang pistol dia lalu maju. Terjadilah tembak-menembak, akan tetapi hanya sebentar saja karena Kwi Eng yang tahu bahwa fihak lawan sudah kehabisan peluru tidak memberi kesempatan kepada lawan untuk mengisi kembali senjata api mereka dan sudah mengerahkan anak buahnya menyerbu ke depan. Dia sendiri bersama kakaknya dan Tio Sun sudah meloneat ke depan dan mengamuklah tiga orang muda ini dengan hebatnya.

Perang tanding kini terjadi dengan amat seru. Akan tetapi sebentar saja para bajak yang sudah kehilangan kepalanya itu menjadi kocar-kacir. Banyak di antara mereka yang tewas dan sebagian lagi berhasil melarikan diri dari Pulau Hiu dengan perahu-perahu mereka. Kwi Eng hendak mengerahkan anak buahnya untuk melakukan pengejaran, akan tetapi dicegah oleh Tio Sun.

"Nona, tidak perlu mereka dikejar. Niat kita hanya menyelamatkan kakakmu dan hal itu sudah berhasil, sedangkan Tokugawa telah tewas."

Kwi Beng membenarkan pendapat Tio Sun ini dan mereka lalu membakar bekas sarang gerombolan bajak laut itu, kembali lagi ke kapal membawa teman-teman yang tewas atau luka dalam pertempuran tadi dan kembali ke pantai daratan.

Dengan hati penuh rasa kagum, kakak beradik kembar itu setelah tiba di dalam gedung mereka, menghaturkan terima kasih kepada Tio Sun yang diterima oleh pemuda sederhana ini dengan sikap merendahkan diri. Kwi Beng juga girang mendengar bahwa pemuda ini ternyata adalah putera pengawal setia dari Panglima Besar The Hoo, guru dari ibunya sendiri.

"Tio-twako hendak pergi ke manakah maka kebetulan dapat lewat di Yen-tai dan dapat bertemu dengan Eng-moi dan menolongku?" Kwi Beng bertanya.

Tio Sun menarik napas panjang. "Sebetulnya aku sedang memikul tugas yang amat penting sebagai wakil dari ayahku yang sudah tua dan yang tidak suka lagi mencampuri urusan dunia. Karena ayah merasa penasaran akan peristiwa dan malapetaka yang menimpa keluarga ketua Cin-ling-pai yang amat dihormati dan disayangnya, maka ayah menyuruh aku untuk pergi melakukan penyelidikan dan membantu Cin-ling-pai."

Kwi Beng dan Kwi Eng kelihatan terkejut dan tertarik sekali. "Apakah twako maksudkan Pendekar Sakti Cia Keng Hong ketua Cin-ling-pai?" tanya Kwi Beng.

Tio Sun tidak merasa heran kalau dua orang kakak beradik ini telah mendengar akan nama Cia Keng Hong. Siapakah yang tidak mendengar nama besar ketua Cin-ling-pai yang merupakan pendekar atau tokoh besar di dunia persilatan pada masa itu?

"Jadi ji-wi (anda berdua) sudah mengenal beliau?"

"Mengenal sih belum," jawab Kwi Eng. "Akan tetapi ibu sering kali bercerita kepada kami tentang pendekar-pendekar sakti dan budiman di dunia kang-ouw, di antaranya adalah Cia Keng Hong locianpwe, ayahmu bekas pengawal Tio Hok Gwan, dan pendekar Yap Kun Liong. Karena ibu sering bercerita, kami mengenal nama-nama besar itu sungguhpun belum pernah berjumpa dengan mereka dan baru sekarang secara kebetulan kami dapat bertemu dan berkenalan dengan twako."

"Apakah yang telah terjadi dengan Cin-ling-pai? Malapetaka apa yang dapat menimpa ketua Cin-ling-pai yang menurut ibu memiliki kepandaian yang amat tinggi?" tanya Kwi Beng.

"Peristiwa itu terjadi sewaktu Cia-locianpwe (orang tua sakti Cia) dan isterinya tidak berada di Cin-ling-san. Lima orang datuk sesat dari dunia hitam yang agaknya menaruh dendam kepada keluarga Cia-locianpwe menggunakan kesempatan itu untuk menyerbu dan mengacau Cin-ling-pai, mencuri pedang pusaka Siang-bhok-kiam dan membunuh tujuh orang dari Cap-it Ho-han di Cin-ling-pai." Tio Sun mulai dengan penuturannya dan kemudian dia menceritakan semua peristiwa yang terjadi di Cin-ling-san sebagaimana yang didengar dari ayahnya.

Dua orang kakak beradik itu mendengarkan dengan penuh perhatian, dan dengan hati diliputi penuh rasa penasaran karena cara Lima Bayangan Dewa yang mengganggu Cin-ling-pai itu mereka anggap amat pengecut.

"Dengan menyebutkan nama asing kami, jelas bahwa pembesar korup ini tidak mempunyai niat yang baik," kata Kwi Beng.

"Pembesar busuk!" Kwi Eng memaki. "Sungguh dia berani menghina kita setelah ayah ibu tidak ada di sini. Lupakah dia betapa ibu sudah membersihkan Yen-tai dari gangguan para penjahat dan betapa sudah banyak dia makan uang hadiah dari ayah?"

Tio Sun merasa khawatir sekali. "Kalau sekiranya dia mempunyai niat buruk, lebih baik ji-wi tidak usah datang menghadapnya."

"Kita tidak mempunyai pilihan lain," Kwi Beng berkata. "Kalau tidak datang tentu dianggap membangkang dan memberontak. Biarlah kami berdua datang untuk mendengar apa yang akan dikatakannya."

"Dan aku akan membawa bekal untuk menutup mulutnya kalau perlu," kata Kwi Eng. Mereka lalu mempersiapkan segalanya, tidak lupa sekantong terisi uang emas, kemudian minta kepada Tio Sun agar menanti sebentar di gedung mereka. Tak lama kemudian berangkatlah kakak beradik itu menghadap pembesar setempat, diantar pandang mata penuh kekhawatiran oleh Tio Sun.

Sampai hampir sore dua orang kakak beradik itu belum juga pulang dan hati Tio Sun telah merasa gelisah sekali. Tak lama kemudian, datang seorang anggauta atau anak buah keluarga itu berlarian dengan terengah-engah dia menceritakan betapa Kwi Eng dan Kwi Beng telah ditangkap dengan tuduhan memberontak, bahkan para anak buahnya yang malam tadi menyerbu Pulau Hiu juga ditangkap semua!

"Celaka...!" Tio Sun berseru kaget dan pada saat itu, sepasukan perajurit keamanan kota datang menyerbu gedung tempat tinggal Kwi Eng dan Kwi Beng.

"Tio-taihiap, larilah... kalau tidak taihiap tentu akan ditangkap pula!" kata orang yang datang pertama tadi.

Tio Sun maklum bahwa tidak mungkin dia melawan perajurit-perajurit pemerintah. Dia putera bekas pengawal setia dari kerajaan, maka tentu saja tidak mungkin bagi dia untuk melawan perajurit pemerintah, sungguhpun sekali ini para perajurit itu dipergunakan oleh seorang pembesar yang agaknya sewenang-wenang.

"Kalau begitu, hayo kau ikut aku melarikan diri!" Tio Sun menyambar lengan orang itu dan membawanya lari lewat pintu belakang setelah mengambil buntalan pakaian dan pedangnya. Karena dia dapat bergerak cepat sekali, biarpun dia mengajak seorang anak buah Kwi Beng, dia dapat lolos melalui tembok belakang ketika para perajurit menyerbu gedung itu, menangkapi pelayan dan menyita gedung seisinya.

Apakah sesungguhnya yang telah terjadi atas diri Souw Kwi Beng dan Souw Kwi Eng? Mereka berdua pergi menghadap Ciang-tikoan, akan tetapi begitu mereka tiba, segera keduanya dikepung oleh sepasukan perajurit dan ditangkap dengan tuduhan telah membunuhi para nelayan di Pulau Hiu! Tentu saja Kwi Beng menjadi marah sekali dan hampir saja dia mengamuk kalau tidak dilarang oleh Kwi Eng.

"Kita difitnah, Beng-ko dan kita dapat membela diri di pengadilan. Kalau kita menentang, berarti kita memberontak terhadap penguasa setempat yang mewakili pemerintah." Demikian kata Kwi Eng dan gadis ini lalu menyerahkan bungkusan uang emas kepada kepala pasukan agar disampaikan kepada Ciang-tikoan. Akan tetapi mereka tetap saja ditawan, dibelenggu dan dihadapkan kepada tikoan, sedangkan kantong terisi uang itu entah ke mana larinya!

Dengan suara keren tikoan membentak kedua orang kakak beradik yang sudah dipaksa berlutut di depannya itu. "Kalian ini keturunan orang-orang asing berani membuat keonaran di daerah kami? Kalian telah mengandalkan kekuatan, membunuhi para nelayan di Pulau Hiu dan merampok harta benda mereka."

Dua orang kakak beradik itu mengangkat muka dan memandang kepada tikoan itu dengan heran dan penasaran. Ciang-tikoan ini sudah mengenal baik orang tua mereka, sudah pernah datang ke gedung mereka dan sudah banyak memperoleh hadiah, akan tetapi sikapnya sekarang ini seolah-olah seperti belum pernah kenal saja, seperti menghadapi dua orang penjahat!

"Maaf, taijin (sebutan pembesar). Kami sama sekali tidak merasa membunuhi nelayan, apalagi merampok harta mereka," jawab Kwi Beng.

"Brakkk!" Tikoan menggebrak mejanya. "Kau masih berani membohong, Richardo de Gama? Beberapa orang nelayan dari Pulau Hiu berhasil lolos dan mereka menjadi saksi-saksi utama. Kau tidak mengaku bahwa malam tadi kalian berdua membawa anak buah, dan naik kapal Angin Timur menyerbu Pulau Hiu dan membunuhi banyak nelayan tak berdosa di sana?"

"Tidak! Itu hanya fitnah semata!" Kwi Eng menjawab dengan suara lantang. "Sayalah yang membawa anak buah naik kapal Angin Timur menyerbu Pulau Hiu, akan tetapi sama sekali bukan untuk membunuhi nelayan, melainkan untuk menolong kakak saya ini yang diculik oleh gerombolan bajak laut yang dipimpin oleh Tokugawa."

"Ha, jadi kalian sudah mengaku telah menyerbu Pulau Hiu, bukan? Sudah ada bukti dan pengakuan, jadi sudah jelas dosa kalian! Jangan mencoba memutarbalikkan kenyataan, ya? Di Pulau Hiu tidak ada bajak, yang ada hanya beberapa orang petani dan nelayan Bangsa Jepang dan pribumi yang hidup tenteram."

"Taijin! Mereka itu benar-benar para bajak yang dipimpin oleh Tokugawa!" Kwi Beng berseru.

Ciang-tikoan mengangkat tangannya. "Kau hendak membantah? Mana buktinya bahwa ada bajak laut di sana? Kalau ada bajak laut tentu sudah kusuruh basmi!"

"Tapi benar-benar kakak saya diculik, taijin!" Kwi Eng membantah.

"Diam! Tanpa bukti, kalian tidak boleh bicara seenaknya saja. Karena masih mengingat kebaikan orang tua kalian, aku tidak akan menyuruh hukum rangket kepada kalian, akan tetapi kalian telah melakukan pembunuhan besar-besaran ini harus diadili di kota raja sebagai pemberontak-pemberontak!"

"Taijin...!" Kwi Beng berteriak marah.

"Kau akan memberontak pula di sini?" pembesar itu mengangkat tangan dan para perajurit pengawal sudah mengurung pemuda yang terbelenggu kedua tangannya di belakang tubuh itu.

"Tidak, taijin, kami tidak akan memberontak dan kami tidak pernah memberontak," Kwi Eng berkata dengan suara halus. "Jika perbuatan kami di Pulau Hiu itu tidak berkenan di hati taijin, harap Ciang-taijin sudi memaafkan dan suka memandang muka orang tua kami memberi ampun. Tentu saja atas budi kebaikan taijin ini kami tidak akan melupakan." Dengan halus Kwi Eng membujuk dan menjanjikan "balas jasa" yang besar.

Ciang-taijin mengurut kumisnya yang panjang melengkung ke bawah seperti kumis anjing laut jantan itu. "Ha-ha, kebaikan apa yang dapat dilakukan kalian ini, peranakan-peranakan asing yang sudah berani memberontak? Seluruh rumah dan seisinya telah kami sita sebagai milik pemerintah dan kalian akan diadili di kota raja. Pengawal, kurung mereka sambil menanti saat mereka dikirim sebagai tawanan pemberontak ke kota raja."

"Penasaran! Tidak adil...!" Kwi Beng meloncat berdiri akan tetapi belasan orang pengawal sudah meringkusnya kembali.

"Beng-ko, tenanglah dan jangan melawan," kata Kwi Eng dan mereka lalu digusur keluar dari ruangan itu.

"Tangkap semua anak buahnya yang menyerbu ke Pulau Hiu!" Ciang-taijin memerintah pasukannya.

Mengapa pembesar she Ciang itu demikian keras dan menekan terhadap dua orang muda itu? Ada beberapa sebab yang mendorong pembesar itu berlaku sedemikian rupa terhadap Kwi Beng dan Kwi Eng. Pertama-tama, memang terdapat rasa tidak puas dan tidak senang di dalam hati pembesar itu terhadap keluarga Yuan de Gama, apalagi setelah Souw Li Hwa selalu menentang para penjahat dan bajak yang berkeliaran di Yen-tai. Lebih-lebih lagi setelah terjadi bentrok antara keluarga pendekar ini dengan Tokugawa, diam-diam Ciang-tikoan menjadi makin tidak senang. Tokugawa adalah "tangan kanannya" secara rahasia dan dari bajak laut inilah segala keinginan hati Ciang-tikoan dapat terlaksana. Mau kekayaan? Mau wanita-wanita muda yang cantik? Mau membunuh orang yang tidak disukainya? Hanya tinggal menyuruh para bajak itu, tanggung beres! Maka kemudian Souw Li Hwa dan suaminya yang menentang kejahatan dianggap sebagai ancaman yang dapat menggoyahkan kedudukannya. Hanya dia tidak berani secara terang-terangan menentang karena Souw Li Hwa dan suaminya merupakan orang-orang gagah dan berpengaruh, pula tidak ada alasannya. Kini, suami isteri perkasa itu pergi, dan terjadi peristiwa pembasmian di Pulau Hiu, Ciang-tikoan mendapat kesempatan baik untuk membalas dan melampiaskan semua kebenciannya. Dia kehilangan Tokugawa, maka dia segera menangkap Kwi Beng dan Kwi Eng dengan tuduhan pemberontak, dan tentu saja rumah gedung seisinya itulah yang merupakan dorongan besar pula untuk menangkap dua orang muda itu. Dia tidak khawatir kalau kelak orang tua dua muda-mudi kembar itu pulang, karena sudah ada bukti dan banyak saksi betapa dua orang kakak beradik membunuhi orang-orang yang disebutnya "nelayan-nelayan tak berdosa" di Pulau Hiu.

Semenjak sejarah berkembang, tidak perduli di negara manapun di bagian dari dunia ini, terdapat banyak sekali pembesar-pembesar seperti Ciang-tikoan ini. Terutama sekali di waktu pusat pemerintahan sedang kalut dan pengawasan dari atasan kurang ketat, maka para pembesar setempat lalu mempergunakan kekuasaannya untuk bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat jelata. Segala sesuatu kebutuhan rakyat yang harus terlebih dulu mendapatkan ijin dari pera pembesar, pasti dipersulit sedemikian rupa, sehingga rakyat yang membutuhkan ijin itu secara terpaksa harus mengeluarkan sebagian miliknya untuk "memberi hadiah" atau istilah umumnya sogokan atau suapan kalau dia menghendaki pekerjaannya dapat lancar dan ijin yang dibutuhkannya dapat diberi oleh pembesar yang berwenang. Tentu saja ada pembesar-pembesar yang betul-betul merupakan pemimpin rakyat, pelindung rakyat yang bijaksana dan menunaikan tugas kewajibannya dengan baik, yang berhati bersih dan tidak menyalahgunakan kekuasaan dan kedudukannya, akan tetapi sayang, pembesar seperti ini hanya dapat dihitung dengan jari tangan saja!

Mengapa keadaan di Yen-tai dan di kota-kota lain di seluruh Tiongkok yang dikuasai Kerejaan Beng-tiauw seperti itu penuh dengan para pembesar yang menyalahgunakan kedudukannya untuk memenuhi kesenangan diri pribadi tanpa menghiraukan nasib rakyatnya? Hal ini adalah karena pengaruh dari keadaan di pemerintahan pusat, yaitu di Kota Raja Peking, di mana pusat pemerintahan di tangan kaisar, juga mengalami kekacauan dan kelemahan.

Seperti tercatat dalam sejarah, Peking dibangun oleh Kaisar Yuang Lo yang gagah perkasa. Bukan saja kaisar ini membangun tembok besar, terutama di bagian timurnya, akan tetapi juga membangun kota raja yang tadinya menjadi kota raja Bangsa Mongol itu, dibongkar dan dirobah secara hebat sehingga merupakan sebuah kota raja yang terbesar dan termegah di dunia. Kerajaan Beng-tiauw mengalami kejayaannya sewaktu Kaisar Yung Lo yang memegang kendali pemerintahan, yang dilakukannya dengan tangan besi dan dengan adil, tidak segan-segan menghukum para pejabat yang bersalah sehingga sebagian besar pejabat melakukan tugasnya dengan baik. Pada masa itu, rakyat dapat mengecap kenikmatan hidup di bawah pemerintahan yang adil.

Dalam tahun 1425, di dalam perjalanan pulang dari penyerbuan musuh di Mongolia luar, Kaisar Yung Lo meninggal dunia. Kedudukan kaisar diwariskan kepada putera mahkota, yaitu Kaisar Hung Shi yang sudah sakit-sakitan dan kaisar inipun meninggal dunia setelah menjadi kaisar selama sepuluh bulan saja.

Kembali kedudukan kaisar diwariskan kepada cucu Yung Lo yang bernama Hian Tek Ong, seorang kaisar yang mencoba mempertahankan kebesaran kakeknya. Akan tetapi Kaisar Hian Tek Ong inipun hanya memegang kekuasaan selama sebelas tahun saja. Kini singgasana diserahkan kepada seorang buyut dari Yung Lo, seorang pangeran yang baru berusia delapan tahun, yang menjadi Kaisar Cheng Tung. Penggantian kekuasaan yang berusia pendek ini melemahkan Kerajaan Beng-tiauw, karena dengan perobahan kaisar berarti terjadi pula perobahan politik dan wibawa. Apalagi karena kaisar yang terakhir ini, Cheng Tung, masih kanak-kanak sehingga pemerintah dipegang dalam kekuasaan ibu suri yang tentu saja sebagai seorang wanita kurang pandai mengatur pemerintahan dan seperti biasa, yang berkuasa di istana sesungguhnya adalah para thaikam yaitu para pembesar yang bertugas di dalam istana dan para petugas pria ini semua dikebiri agar jangan sampai terjadi hal-hal yang melanggar susila antara para petugas ini dengan para wanita istana.

Ketika Kaiser Cheng Tung sudah mulai dewasa, dia sudah terbiasa oleh pengaruh para thaikam ini, dan boleh dibilang dia berada dalam cengkeraman yang membius dari seorang thaikam yang paling dipercayanya, yaitu Thaikam Wang Cin, seorang yang berasal dari kota Huai Lai di utara, di daerah Mongol.

Demikianlah, karena kaisarnya seperti boneka, hanya tahu menandatangani saja semua hal yang disetujui dan direncanakan oleh Wang Cin, maka pemerintahannya sangat lemah. Orang semacam Wang Cin mana memikirkan keadaan rakyat? Setiap gerak perbuatannya selalu bersumber kepada kepentingan pribadinya. Dengan adanya pemerintah pusat seperti ini, tentu saja para pejabat di daerah menjadi raja-raja kecil yang berdaulat penuh dan sewenang-wenang seperti yang dilakukan oleh Ciang-tikoan di Yen-tai yang tentu saja cukup cerdik untuk "menempel" para pembesar di kota raja, terutama mencari muka terhadap yang dipertuan Wang Cin.

Kedua saudara Kwi Eng dan Kwi Beng menjadi korban dari kesewenang-wenangan pembesar lalim ini dan beberapa hari kemudian, dua orang kakak beradik ini dalam keadaan terbelenggu kaki tangannya, diberangkatkan menuju ke kota raja dalam sebuah kereta milik mereka sendiri yang dirampas dan dikawal ketat oleh tiga losin orang perajurit, dipimpin oleh seorang perwira yang membawa surat-surat laporan tentang "dosa-dosa" dua orang tawanan itu untuk disampaikan kepada pembesar atasan di kota raja yang berwenang mengadili perkara-perkara besar.

Banyak rakyat memandang dengan mata merah bahkan ada yang mengucurkan air mata melihat dua orang muda yang dermawan dan budiman itu menjadi orang-orang pesakitan diseret ke dalam kereta dan dibawa pergi dari tempat tinggal mereka. Akan tetapi, seperti biasa, rakyat kecil hanya mampu menangis dan mengeluh, paling-paling hanya mampu mengepal tinju dengan diam-diam karena mereka tahu bahwa mereka itu tidak berkuasa atas kehidupan mereka sendiri!

Dapat dibayangkan betapa marahnya hati Kwi Beng ketika dalam keadaan terbelenggu kuat dia bersama adiknya diseret ke dalam kereta itu. Mereka duduk berhadapan dan saling pandang.

"Moi-moi, kalau saja kita memberontak sejak pertama kali dipanggil..." Kwi Beng menyatakan penyesalannya.

"Tenanglah, koko. Belum tentu kita akan celaka, kita bersabar saja sambil melihat perkembangannya. Tentu akan terdapat kesempatan bagi kita, dan lagi... aku percaya bahwa Tio-twako tidak akan tinggal diam saja."

Seorang pengawal menghardik dan melarang mereka bicara. Kereta lalu diberangkatkan dan sebelum tirai kereta diturunkan oleh pengawal, Kwi Eng sempat melihat berkelebatnya bayangan seorang pemuda jangkung berpakaian kuning di antara rakyat yang menonton dan legalah hati gadis ini. Kwi Beng hanya memandang heran mengapa ada senyum di bibir adiknya itu dalam keadaan seperti itu!

***

Beberapa hari kemudian pasukan yang mengawal kereta berisi dua oran tawanan itu tiba di kota Cin-an. Di sini para pengawal berganti kuda dan membawa perlengkapan dan bekal makanan baru dari para pembesar di Cin-an. Setelah bermalam di kota Cin-an, pasukan melanjutkan perjalanan pada keesokan harinya menuju ke utara, ke kota raja. Sorenya, mereka sudah tiba di tepi Sungai Huang-ho di mana telah tersedia perahu-perahu besar untuk menyeberangkan mereka. Akan tetapi karena hari telah mulai gelap, mereka berhenti dan berkemah di dekat sungai sambil beristirahat. Seperti biasa, dua orang tawanan itu menerima makanan dan minuman dan mereka diperbolehkan makan minum dengan kedua pergelangan tangan dibelenggu di depan tubuh mereka dan dipasangi rantai baja yang panjang dan berat. Demikian pula kedua kaki mereka dibelenggu dengan rantai panjang.

Biarpun kedua orang kakak beradik ini dijaga ketat sekali, namun di sepanjang perjalanan mereka diperlakukan dengan baik dan sopan. Hal ini adalah karena si perwira yang memimpin pasukan pengawal itu tahu siapa adanya mereka berdua ini, tahu pula bahwa ibu dua orang muda itu adalah seorang pendekar wanita yang amat lihai, demikian pula ayah mereka adalah seorang asing yang berpengaruh dan dermawan. Akan tetapi diapun maklum betapa penting dan beratnya perkara yang membuat mereka dikirim ke kota raja, yaitu tuduhan memberontak dan membunuhi banyak nelayan tidak berdosa! Tentu saja diapun tahu bahwa yang dimaksudkan dengan "nelayan-nelayan tidak berdosa" itu sesungguhnya adalah Tokugawa dan kawanan bajak laut. Akan tetapi sebagai seorang bawahan, dia tidak dapat berbuat apa-apa dan tidak berani menentang atasannya.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali rombongan itu melakukan penyeberangan, menggunakan perahu besar yang telah tersedia di pantai sungai yang amat luas itu. "Sekarang tiba kesempatan bagi kita, koko. Kau bersiaplah. Rantai tangan kaki kita ini cukup panjang, memudahkan kita bergerak di air."

"Akan tetapi juga cukup berat untuk membuat kita tenggelam," bisik kembali Kwi Beng.

"Kita harus berani mengambil resiko. Kesempatan ini yang terbaik dengan mengandalkan kepandaian kita di air," bisik lagi Kwi Eng dan karena perwira pengawal mendekati mereka, keduanya menghentikan bisikan dan hanya saling pandang dan mereka telah bersepakat untuk mempergunakan kesempatan penyeberangan itu untuk melarikan diri.

Ketika perahu besar yang menyeberang itu mulai meluncur ke tengah sungai, nampak sebuah perahu kecil juga meluncur cepat sekali seiring dengan perahu besar itu. Perahu ini ditumpangi dan didayung oleh seorang pemuda berpakaian kuning yang tidak mencurigakan. Para pengawal yang melihat pemuda ini mengira bahwa dia adalah seorang nelayan atau seorang pelancong saja. Akan tetapi Kwi Eng menyentuh lengan kakaknya ketika dia mengenal bahwa pemuda itu bukan lain adalah Tio Sun.

Akan tetapi Tio Sun tidak segera turun tangan melainkan terus saja mengikuti perahu itu sampai tiba di dekat pantai sebelah utara. Di pantai selatan dia tidak berani turun tangan karena tempat itu ramai dan dekat dengan kota Cin-an, berbeda dengan pantai utara yang sunyi. Setelah perahu besar yang membawa dua orang sahabatnya sebagai tawanan itu berada kurang lebih tiga ratus meter lagi dari pantai, tiba-tiba Tio Sun meloncat ke atas perahu besar dan tanpa banyak suara lagi dia meloncat ke arah Kwi Eng dan Kwi Beng yang duduk di atas dek terjaga oleh lima orang pengawal.

"Heii, siapa kau...?" Seorang pengawal membentak dan suasana menjadi geger. Para perajurit pengawal meloncat bangun dan mencabut senjata masing-masing. Akan tetapi pada saat itu, Kwi Eng dan Kwi Beng sudah bangkit berdiri, dengan kaki tangan mereka yang terbelenggu itu mereka berhasil menampar dan menendang roboh lima orang penjaganya.

Tio Sun menggunakan pedangnya mematahkan belenggu kaki tangan mereka dengan cepat dan merobohkan setiap orang pengawal yang mencoba untuk menghalanginya. "Cepat menyingkir...!" Tio Sun berkata sambil menyerahkan dua batang pedang yang sengaja dibawanya kepada Kwi Eng dan Kwi Beng.

Perwira pengawal berteriak mengumpulkan anak buahnya dan mulailah mereka itu maju mengepung dan mengeroyok.

"Apakah kalian berani hendak memberontak?" Perwira muda itu berseru. "Harap ji-wi jangan menambah dosa ji-wi."

"Kalian mundurlah!" Kwi Beng yang maklum akan kebaikan perwira itu berseru. "Kalian tahu bahwa kami bukan pemberontak, melainkan Ciang-tikoan yang bersekutu dengan bajak-bajak laut! Mundurlah!"

"Kami hanya menjalankan tugas, kalau sampai kalian lolos tentu kami dihukum!" sang perwira membantah dan terus mengepung ketat.

Kwi Eng, Kwi Beng, dan Tio Sun mengamuk dengan pedang mereka. "Jangan membunuh orang, mereka hanya petugas-petugas biasa," kata Kwi Eng dan tentu saja hal ini disetujui oleh Tio Sun yqng juga segan untuk memusuhi dan membunuh perajurit pemerintah. Maka mereka itu hanya menggunakan pedang mereka untuk menghalau semua serangan senjata lawan, dan hanya merobohkan para pengeroyok dengan tendangan kaki atau tamparan tangan kiri saja.

Akan tetapi tiga losin orang perajurit pengawal itu yang tentu saja merasa takut kalau sampai tawanan itu lolos, dengan nekat mengeroyok terus tanpa memperdulikan keselamatan mereka sendiri dan hal ini membuat tiga orang muda itu merasa repot juga. Andaikata mereka bertiga itu mau membagi-bagi pukulan maut dan merobohkan para pengeroyoknya, agaknya mereka akan berhasil membasmi puluhan orang itu. Akan tetapi, tanpa membunuh para pengeroyok yang nekat itu, tentu saja amat sukar bagi mereka untuk meloloskan diri, bahkan kalau pertandingan itu dilanjutkan, tentu mereka akan terancam bahaya oleh hujan serangan itu.

"Tio-twako, kau pergilah dulu dengan perahumu!" teriak Kwi Eng dan mereka kini mulai bergerak ke pinggir perahu besar.

"Tidak, aku tidak akan meninggalkan kalian!" jawab Tio Sun sambil mengelak dari sambaran dua batang golok dan menggerakkan kakinya menendang roboh seorang pembokong dari belakang.

"Twako, pergilah dulu dengan perahumu, kami akan mengambil jalan dalam air," kata Kwi Beng dan kini mengertilah Tio Sun. Teringat dia akan penuturan Kwi Eng betapa kedua orang saudara kembar itu pernah belajar ilmu di dalam air dari nelayan yang dahulu pernah menyelamatkan ayah ibu mereka, maka dia mengangguk dan mengamuk dengan pedangnya sampai semua pengeroyoknya dipaksa mundur.

Setelah tiba di tepi perahu besar dan melihat perahu kecilnya masih berada di dekat perahu besar itu, dia berseru, "Berhati-hatilah kalian! Aku pergi dulu!" Sekali mengayun tubuhnya Tio Sun sudah meloncat keluar dari perahu besar, tepat di atas perahunya yang segera didayungnya menuju ke seberang sungai.

Kwi Beng dan Kwi Eng juga mencontoh perbuatan Tio Sun tadi, mereka mengamuk dan makin mendekati pinggiran perahu, kemudian setelah merobohkan beberapa orang pengeroyok, merekapun cepat meloncat keluar dari perahu besar, langsung terjun ke dalam air dengan kedua tangan lebih dulu.

"Cluppp! Cluppp!" Bagaikan dua ekor ikan lumba-lumba saja mereka terjun tanpa menimbulkan banyak suara dan airpun tidak muncrat banyak, tanda bahwa keduanya memang ahli bermain di air. Lenyaplah kedua orang muda itu dari permukaan air dan para pengawal yang bergegas menuju ke pinggir perahu sambil membawa anak panah, tidak melihat mereka lagi.

Akan tetapi perwira pasukan pengawal itu bersikap tenang-tenang saja. "Cepat jalankan kembali perahu ke seberang. Mereka tentu sudah ditangkap kembali di sana!"

Semua anak buahnya merasa heran mendengar ucapan ini dan mereka bersicepat meluncurkan perahu besar di tepi sungai sebelah utara. Ketika tiba di tempat itu, benar saja mereka melihat tiga orang muda tadi sudah dikepung dan dikeroyok oleh kurang lebih lima puluh orang perajurit yang bersenjata lengkap! Tentu saja mereka menjadi girang dan serentak mereka berbondong-bondong mendarat dan membantu mengeroyok pula.

Ternyata siasat dari tiga orang muda itu sia-sia belaka. Mereka tidak memperhitungkan kecerdikan Ciang-tikoan. Pembesar ini tentu saja mengerti akan kelihaian dua orang tawanannya, mendengar pula akan keahlian mereka bermain di air, maka diam-diam dia mengutus seorang pembantu secara rahasia menghubungi rekannya di Cin-an untuk menjaga di seberang sungai kalau-kalau dua orang tahanannya itu mencoba untuk meloloskan diri ketika diseberangkan, mengingat akan kelihaian mereka bermain di air. Dan memang dugaannya tepat sekali, maka pembesar di Cin-an telah mempersiapkan pasukan dari lima puluh orang yang bersembunyi di pantai sungai sebelah utara. Begitu Tio Sun yang telah mendarat lebih dulu dengan perahunya itu menyambut dua orang temannya yang muncul dari dalam air seperti dua ekor ikan itu, mereka langsung menyergap dan terjadilah pengeroyokan hebat di tepi sungai sebelah utara itu.

Tentu saja mereka bertiga menjadi kaget sekali, dan mereka melawan mati-matian. Akan tetapi, setelah perahu besar pasukan pengawal mendarat pula dan pengeroyokan menjadi makin ketat, mereka benar-benar terdesak hebat dan keadaan mereka amat berbahaya, kalau tidak tertawan kembali tentu akan tewas, atau setidaknya terluka hebat di bawah pengeroyokan lebih dari lima puluh orang itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar