11 Pendekar Kelana

"Hemm, kalau aku mengalah, Lan-moi tentu akan mengetahuinya dan menganggap aku meremehkannya. Akan tetapi untuk mengalahkannya tanpa melukai, sungguh amat sukar," demikian pikir Si Kong dan tiba-tiba dia teringat akan ilmunya Thi-ki-i-beng. Hanya ilmu itulah yang kiranya akan dapat membantunya mengalahkan Hui Lan tanpa melukainya.

Ketika sebuah pukulan Hui Lan menyambar ke arah lehernya, dia membuat gerakan miring dan sengaja membiarkan pundak terkena pukulan tangan miring itu.

"Plakk!" Pukulan itu mengenai pundak dan tiba-tiba saja Hui Lan berseru kaget. Tangan kirinya yang memukul melekat pada pundak pemuda itu dan ia merasa betapa tenaga sin-kangnya menerobos keluar! Hui Lan mengerahkan tenaganya untuk melepaskan tangannya, namun makin kuat ia mengerahkan tenaga sin-kangnya, makin kuat pula pundak itu menyedot sin-kangnya.

Tiba-tiba Si Kong melepaskan ilmunya dan berbareng mendorong tubuh gadis itu terlontar ke belakang. Hui Lan membuat gerakan jungkir balik empat kali yang indah sekali dan ia turun ke atas tanah dengan tegak.

"Hebat bukan main caramu pok-sai (jungkir balik) itu, Lan-moi. Ternyata ginkangmu juga sudah mencapai tingkat tinggi."

"Kong-ko, yang tadi itu, Thi-ki-i-beng?" tanyanya kagum.

"Benar, Lan-moi. Karena aku bingung bagaimana untuk dapat mengalahkanmu, maka aku terpaksa menggunakan Thi-ki-i-beng. Maafkan aku, Lan-moi."

"Kenapa mesti minta maaf? Aku girang engkau menggunakan Thi-ki-i-beng sehingga aku mengenal kehebatannya.

Padahal, kalau engkau tidak ragu dan banyak mengalah, dengan Hok-liong Sin-ciang itupun aku pasti kalah. Sekarang, agar aku merasa puas, pergunakan tongkatmu, Kong-ko. Aku akan menggunakan sepasang Hok-mo Siang-kiam!"

Setelah berkata demikian, Hui Lan mencabut sepasang pedangnya dan dua sinar gemilang ketika sepasang pedang itu telah berada di kedua tangannya.

Si Kong tidak dapat menolak lagi. Gadis itu bersikap jujur dan terus terang, dapat menerima kekalahannya dengan wajar. Dia mengambil tongkat bambunya dan melintangkan tongkat bambunya di depan dada.

"Kong-ko," kata Hui Lan dengan nada suara ragu. "Engkau perlu mengetahui bahwa sepasang pedangku ini adalah Hok-mo Siang-kiam yang amat tajam dan kuat, mudah membuat patah pedang atau golok lawan. Sedangkan engkau hanya bersenjata tongkat bambu, ini tidak seimbang sama sekali. sekali bentur tongkatmu tentu akan patah."

Si Kong tersenyum. "Jangan khawatir dan ragu, Lan-moi. Suhu Yok-sian Lo-kai tidak pernah menggunakan senjata lain kecuali tongkat bambu. Akan tetapi belum pernah tongkat bambunya dipatahkan senjata lawan.

Aku akan berusaha agar tongkat bambuku ini tidak sampai patah oleh sepasang pedangmu."

"Baik, Kong-ko. Awas seranganku!"

Hui Lan mulai menggerakkan sepasang pedangnya.

Demikian cepat gerakan pedang gadis ini sehingga bentuk pedang lenyap berubah menjadi dua gulung sinar kebiruan seperti sepasang naga bermain-main diangkasa. Ilmu pedang Hok-mo Siang-kiam ini dahulu menjadi andalan Toan Kim Hong atau Lam Sin (Sakti dari Selatan) yang menjadi isteri kakek Ceng Thian Sin.

Ilmu ini diwariskan kepada Ceng Sui Cin yang kemudian mewariskannya pula kepada anaknya, Cia Kui Hong yang kemudian menyerahkan pula kepada Tang Hui Lan.

Nenek Toan Kim Hong yang memiliki sepasang pedang lalu mempersatukan ilmu-ilmu pedang yang dikenalnya, dirangkai dan diambil bagian terpenting dan terlihai sehingga ia memiliki ilmu pedang rangkaian sendiri yang diberi nama sama dengan pedangnya, yaitu Hok-mo Siang-kiam.

Maka jadilah ilmu pedang pasangan yang amat dahsyat seperti yang dimainkan Hui Lan sekarang ketika ia menyerang Si Kong.

Si Kong terkejut dan mengelak dengan cepat. Dia kagum sekali ketika Hui Lan menyerangnya secara bertubi-tubi dengan kedua pedangnya.

"Ilmu pedang yang hebat!" dia berseru dan dia sudah memainkan tongkatnya dengan ilmu tongkat Ta-kauw Sin-tung. Tubuhnya melesat ke sana-sini menyelinap diantara gulungan sinar pedang yang kebiruan itu.

Biarpun ilmu tongkat ini hebat dan menjadi rajanya semua ilmu tongkat, akan tetapi kalau bukan Si Kong yang memainkannya, belum tentu akan dapat menandingi kehebatan Hok-mo Siang-kiam.

Akan tetapi di tangan Si Kong, tongkat itu menjadi aneh sekali dan begitu diputar mengeluarkan angin dahsyat.

Hebatnya, tongkat bambu itu berkali-kali membentur sepasang pedang dan sama sekali tidak menjadi patah atau putus! Dan terbentuklah gulungan sinar kuning kehijauan dari tongkat itu mengimbangi gulungan sinar sepasang pedang.

Hampir seratus jurus berlalu tanpa ada yang nampak kalah atau menang. Ketika Si Kong kelihatan agak mengendur, Hui Lan menggunting dengan sepasang pedangnya ke arah pinggang Si Kong. serangan ini hebat sekali dan agaknya sekali ini Si Kong tidak akan dapat menghindarkan dirinya lagi.

Akan tetapi, dengan ilmu Liok-te Hui-teng, tubuhnya melesat ke atas sehingga guntingan sepasang pedang itu luput dan pada saat itu Hui Lan merasa betapa rambut dikepalanya dijamah sesuatu dan seketika tali pengikat rambutnya yang belum digelung itu lepas dan rambutnya menjadi awut-awutan dan berkibar-kibar.

Hui Lan cepat meloncat ke belakang. Ia melihat Si Kong sudah turun pula dan di ujung tongkatnya terdapat pita yang tadi mengikat rambutnya. Gadis itu memandang kagum.

Tentu saja kalau pita rambutnya dapat diambil oleh tongkat Si Kong, berarti ia kalah. Mengambil pita rambut itu dapat saja diubah menjadi pukulan atau totokan pada kepalanya!

"Ilmu tongkatmu juga hebat sekali, Kong-ko!" kata Hui Lan kagum dan ia mengambil pita rambutnya dari ujung tongkat yang disodorkan Si Kong.

"Ilmu pedangmu juga amat hebat. Terus terang saja belum pernah aku bertanding melawan orang yang memiliki kepandaian lebih tinggi darimu. Ilmu pedangmu membuat aku kewalahan dan kehabisan akal untuk mencari kemenangan. Baru setelah melihat pita rambutmu berkibar, aku mendapat akal dan ternyata berhasil menggunakan tongkat untuk mengambilnya," kata Si Kong sejujurnya.

"Benarkah kata-katamu itu, Kong-ko?" tanya Hui Lan yang kehilangan kepercayaan kepada diri sendiri karena dikalahkan Si Kong.

"Untuk apa aku berbohong? Apa yang kuucapkan keluar dari dalam hatiku, bukan untuk menyenangkanmu, Lan-moi."

Hui Lan membereskan dan mengikat kembali rambutnya dengan pita. "Aku percaya padamu, Kong-ko dan ucapanmu itu melegakan hatiku. Mari kita lanjutkan perjalanan kita, Kong-ko. Mudah-mudahan di depan ada dusun dan kedai makanan agar kita dapat sarapan."

"Mari, Lan-moi. Akupun sudah siap."

Pemuda dan gadis perkasa ini sama sekali tidak mengira bahwa tak jauh dari situ, dibelakang semak-semak, ada dua pasang mata mengamati dan dua pasang telinga mendengarkan percakapan mereka. Kenyataan bahwa disitu terdapat dua orang yang mengintai tanpa diketahui Hui Lan maupun Si Kong sudah menunjukkan bahwa dua orang itu berkepandaian tinggi. Mereka dapat membuat gerakan mereka tidak mengeluarkan suara.

Ketika Si Kong dan Hui Lan pergi meninggalkan tempat itu, dua orang yang tadi mengintai itupun pergi dengan cepatnya. Bahkan mereka berlari cepat mendahului Si Kong dan Hui Lan yang sama sekali tidak tahu bahwa mereka diamati orang.

Setelah matahari naik tinggi, Si Kong dan Hui Lan tiba di sebuah dusun yang cukup ramai. Mereka segera mencari penjual makanan dan mendapatkan sebuah kedai makanan dan minuman yang merupakan satu-satunya kedai makanan di dusun itu. Matahari telah naik tinggi dan kedai itu telah sepi tamu. Si Kong dan Hui Lan memasuki kedai, disambut oleh penjaga kedai yang hanya ada seorang saja tiu, seorang yang berusia empat puluh tahun lebih. Penjaga kedai itu bertubuh kurus dan mukanya pucat seperti orang menderita suatu penyakit.

"Selamat siang, tuan muda dan nona. Apakah ji-wi (kalian berdua) hendak makan dan minum? Ji-wi memesan apakah?"

Jual makanan apa saja engkau?" tanya Hui Lan.

"Ada bakpau, roti gandum dan juga nona dapat memesan bakmi kuah."

"Aku memesan bakmi kuah dan air teh hangat," kata Hui Lan.

"Aku juga memesan yang sama," kata Si Kong.

"Baik, harap ji-wi tunggu sebentar. Silakan duduk, saya akan mempersiapkan pesanan ji-wi."

Penjaga kedai itu lalu masuk ke dalam, terus kedapur yang letaknya diruangan belakang. Di dapur itu duduk seorang pemuda dan seorang gadis, sedangkan di atas sebuah bangku panjang duduk seorang wanita dan seorang anak berusia sepuluh tahun, keduanya terikat pada bangku.

Penjaga kedai memandang kepada pemuda dan gadis itu dengan muka ketakutan, lalu memandang kepada isteri dan anaknya yang terikat itu.

"Mereka memesan apa?" tanya gadis cantik itu.

"Me…. memesan…. Bakmi kuah dan air teh," jawab penjaga kedai dengan suara gemetar ketakutan.

"Bagus, cepat buatkan bakmi kuah itu," kata pula si gadis itu.

Si penjaga kedai cepat memasakkan bakmi kuah itu dan tak lama kemudian bakmi kuah telah matang.

Gadis itu mengeluarkan sebuah bungkusan kecil dari saku pinggangnya, membuka bungkusan dan mengambil sedikit bubuk putih yang lalu dimasukkan ke dalam dua mangkuk bakmi kuah. Bakmi itu diaduk-aduk dengan sumpit lalu gadis itu berbisik, "Cepat hidangkan kepada mereka. Hati-hati kau, jangan sampai kedua orang itu curiga!"

"Kalau engkau tidak memenuhi perintah, ingat, isteri dan anakmu akan kubunuh!" pemuda itu pun menghardik lirih.

Penjaga kedai itu mengangguk-angguk, tidak dapat mengeluarkan kata-kata, hanya memandang kepada isteri dan anaknya yang terikat dibangku dengan hati cemas, kemudian dia membawa dua mangkuk mi kuah dan sepoci air teh dan dua cangkir kosong.

Setelah tiba di luar, dia menenangkan hatinya yang berdebar-debar. Ditaruhnya dua mangkuk mi kuah itu bersama poci teh dan dua cangkirnya ke atas meja di depan Si Kong dan Hui Lan. Sambil menahan agar suaranya tidak gemetar, dia berkata, "Silakan makan dan minum, kongcu dan siocia."

Hui Lan memandang tajam wajah penjaga kedai itu. "Kenapa wajahmu demikian pucat dan suaramu gemetar, paman? Apakah engkau sakit?"

Penjaga kedai itu terkejut dan was-was, dia membungkuk dan menjawab, "Dalam beberapa hari ini memang badan saya masuk angin dan sakit-sakit, nona. Akan tetapi sudah saya belikan obat."

Dia lalu kembali ke depan untuk menyambut kalau ada tamu memasuki kedainya. Akan tetapi matanya terus melihat ke arah pemuda dan gadis yang mulai makan mi kuahnya.

Hatinya merasa gelisah sekali. Dia tidak tahu benda apa yang dimasukkan ke dalam mi kuah tadi, akan tetapi dia menduga bahwa perbuatan itu tentu tidak bermaksud baik.

Pemuda dan gadis cantik yang berpakaian mewah itu telah menyandera isteri dan anaknya. Orang-orang seperti itu, betapapun taman dan cantiknya, tentu bukan orang baik-baik.

Hatinya terasa lega bukan main melihat Si Kong dan Hui Lan menghabiskan bakmi mereka dan minum beberapa cangkir air teh. Tergopoh dia maju menghampiri ketika Si Kong minta agar guci tempat airnya diisi penuh dengan air jernih. Setelah mengisi guci itu dengan air jernih dan mengembalikannya kepada Si Kong, penjaga kedai itu dengan wajah gembira melihat dua orang tamunya tidak apa-apa, lalu memperhitungkan harga makanan dan minuman.

Hui Lan membayar lalu ia dan Si Kong keluar dari kedai itu untuk melanjutkan perjalanan mereka. Sedikitpun mereka tidak menyangka buruk.

Sementara itu, pemuda yang mengintai ke depan bersama gadis cantik itu mengerutkan alisnya. "Yin-moi, bagaimana sih kau ini? Racun bubuk putihmu sama sekali tidak mendatangkan hasil. Lihat mereka pergi dengan tenang!"

Gadis itu tersenyum. Manis sekali kalau ia tersenyum. Seorang gadis cantik, rambutnya dihias emas permata, lengannya memakai gelang kemala, mengenakan anting-anting indah dan pakaiannya juga mewah.

Gadis itu bukan lain adalah Siangkoan Cu Yin yang sudah kita kenal. Dahulu ia merantau dengan menyamar sebagai seorang pemuda pengemis yang usianya remaja dan memakai nama Siangkaon Ji. Seperti kita ketahui, gadis ini bertemu dengan Tio Gin Ciong putera Datuk Timur yang berjuluk Tung Giam-ong.

Mereka menjadi sahabat dan melakukan perjalanan bersama menuju ke Kwi-liong-san untuk ikut merebut pedang pusaka Pek-lui-kiam. Tanpa disengaja, kedua orang muda yang menunggang dua ekor kuda itu melihat Hui Lan dan Si Kong. Cu Yin yang merasa masih sakit hati kepada Si Kong yang menolak cintanya, bahkan tidak mau melakukan perjalanan bersamanya, tentu saja marah sekali melihat pemuda itu kini melakukan perjalanan bersama seorang gadis lain.

"Kita ambil jalan lain mendahului mereka ke dusun itu!" kata Cu Yin yang segera membalapkan kudanya diikuti oleh Gin Ciong.

"Tahan dulu, Yin-moi! Mereka itu siapa dan kenapa kita harus mendahului mereka?"

"Diamlah dulu, Ciong-ko. Nanti saja kuceritakan. Sekarang, cepat balapkan kuda memasuki dusun di depan itu, mendahului mereka!" Mendengar bentakan ini, Gin Ciong hanya menggerakkan pundak dan membalapkan kudanya.

Mereka mengikat kuda mereka di luar dusun, lalu memasuki dusun itu. Mereka mencari-cari dan melihat kedai makanan dan minuman di tepi jalan. "Sini Ciong-ko. Mereka tentu akan makan minum di sini. Mari, kita menyelinap dari belakang!" Keduanya dengan cepat melompat ke belakang kedai itu dan masuk melalui pintu dapur di belakang.

Di dapur itu mereka melihat seorang wanita berusia kurang dari empatpuluh tahun bersama seorang anak berusia sepuluh tahun. Ibu dan anak itu terkejut, akan tetapi dengan cepat Cu Yin menggerakkan tangannya dua kali dan kedua orang ibu dan anak itu tak dapat bergerak atau bersuara lagi.

"Ikat mereka di bangku itu, Ciong-ko!" kata Cu Yin.

Permintaan ini ditaati oleh Gin Ciong yang segera mengikat ibu dan anak itu disebuah bangku panjang. Kemudian Cu Yin mengintai. Sepi di luar, hanya pemilik kedai yang berjaga di depan kedainya.

"Sstt, paman! Kesinilah! Isteri dan anakmu ini kenapa?" teriak Cu Yin. Pemilik kedai itu terheran, juga terkejut melihat seorang gadis cantik dan mewah memanggilnya dan muncul dari dalam itu.

Mendengar ada sesuatu yang terjadi dengan isteri dan anaknya, dia pun bergegas masuk mengikuti Cu Yin ke dapur.

Setelah tiba di dapur melihat isteri dan anaknya terikat dibangku, tentu saja dia terkejut bukan main.

"Apa yang terjadi di sini?" Dia menghampiri anak isterinya, akan tetapi Gin Ciong sudah mencabut pedang dan menodongnya.

"Turuti semua kehendak kami kalau engkau ingin isteri dan anakmu selamat!" bentak Gin Ciong yang belum juga mengerti akan tindakan Cu Yin.

"Kalau nanti ada seorang pemuda dan seorang gadis memasuki kedaimu, terimalah mereka dengan baik dan layani dengan ramah," kata Cu Yin.

"Baik, nona…. Akan tetapi kasihanilah kami, jangan ganggu isteri dan anak kami…."

"Lihat saja nanti. Kalau engkau mentaati semua perintah kami, anak dan isterimu akan kami bebaskan. Akan tetapi kalau engkau tidak menaati kami, isteri dan anakmu akan kami bunuh!" kata Cu Yin.

"Sekarang keluarlah dan siap menerima dua orang tamu itu!"

Pemilik kedai itu keluar dengan tergopoh-gopoh dan pada saat itu Hui Lan dan Si Kong memasuki kedainya.

Dengan muka pucat karena mengingat keadaan anak isterinya, pemilik kedai menerima Hui Lan dan Si Kong dengan ramah.

Dan selanjutnya kita sudah mengetahui betapa Cu Yin memasukkan racun bubuk putih dalam mi kuah yang dihidangkan kepada Hui Lan dan Si Kong.

Ketika Gin Ciong menegur Cu Yin karena racun bubuk putihnya tidak mengganggu sedikitpun kepada pemuda dan gadis itu, ia tersenyum.

Pada saat itu, pemilik kedai memasuki dapur dan Cu Yin menyambutnya dengan totokan. Orang itu mengeluh dan roboh terkulai, tak mampu bergerak lagi.

"Mari kita tinggalkan mereka. Sebelum lewat satu jam dia tidak akan sadar. Mari kita bayangi mereka!"

"Mau apa lagi, Yin-moi? Kalau memang mereka itu musuh-musuhmu, mari kita hadang mereka. Tidak perlu takut, aku akan membasmi mereka kalau engkau menghendakinya."

"Diamlah dulu. Nanti akan kujelaskan kepadamu siapa mereka dan mengapa aku melakukan semua ini!" Cu Yin menegur pemuda itu dan mereka membayangi Hui Lan dan Si Kong dari jarak jauh.

Si Kong dan Hui Lan melangkah seenaknya, mereka telah memasuki sebuah hutan yang sunyi di sebelah selatan dusun itu, Hui Lan mengeluh, dan berkata,

"Aih, kepalaku pening dan dadaku rasanya tidak enak sekali!"

Ia lalu berhenti melangkah dan tangan kirinya meraba dahinya. Ia bahkan terhuyung. Si Kong terkejut dan cepat merangkulnya agar gadis itu tidak sampai roboh. Ia memapah gadis itu ke bawah sebatang pohon dan mengajaknya duduk di atas batu.

"Engkau kenapa, Lan-moi? Coba kuperiksa sebentar." Dia lalu menekan nadi pergelangan tangan gadis itu.

"Ah, denyut nadimu kacau tidak karuan! Coba kaukerahkan sinkang untuk melawan rasa nyeri itu."

Hui Lan menurut dan mengerahkan sinkangnya. Akan tetapi akibatnya ia malah terpelanting dan terengah-engah.

"Aduh, aku terpukul tenaga sendiri, ah nyeri, Kong-ko….!"

Si Kong merasa heran dan dia mencobanya dengan diri sendiri. Dia mengerahkan sinkang dan dadanya seperti terpukul oleh tenaga yang amat kuat. Diapun terpelanting dan terengah-engah.

"Kau kenapa, Kong-ko?" tanya Hui Lan khawatir dan ia sudah lupa akan keadaannya sendiri.

"Celaka, Lan-moi. Kita telah keracunan!"

"Keracunan? Di kedai tadi?"

"Tenanglah, Lan-moi, aku dapat mengobati kita…. ahh, diamlah, ada orang datang….!"

Yang muncul adalah Cu Yin dan Gin Ciong. Melihat Cu Yin, Si Kong segera mengenalnya dan saking herannya, dia berseru, "Yin-moi…..! Engkau di sini?"

"Kong-ko, engkau seorang manusia kejam, sekarang tahu rasa!" Gadis itu tersenyum manis dan berkata kepada Gin Ciong. "Lihat, Ciong-ko! Engkau tadi terlalu memandang rendah kepada puteri Lam Tok! Tidak percuma ayahku berjuluk Racun Selatan kalau racunku tidak ampuh! Lihat mereka berdua sudah tidak dapat berdaya."

"Akan tetapi, siapakah mereka, Yin-moi?"

Nanti saja kuceritakan. Aku ingin menikmati pemandangan ini. Si Kong yang gagah perkasa, yang berkepandaian tinggi kini menggeletak tak berdaya, tidak dapat menyelamatkan kawan perempuannya, juga tidak dapat menolong dirinya sendiri. Hi-hi-hik!"

"Yin-moi, jadi engkaukah yang melakukan ini? Tidak malukah engkau sebagai puteri datuk besar Lam Tok, menggunakan cara yang curang ini untuk merobohkan kami?"

"Tutup mulutmu!" bentak Gin Ciong sambil mencabut pedangnya. "Yin-moi, dia berani membuka mulut besar kepadamu, baiknya kuhabisi saja dia!" Dia mengelebatkan pedangnya, hatinya penuh cemburu mendengar betapa pemuda tampan itu menyebut Yin-moi kepada Cu Yin.

"Jangan! Terlalu enak bagi dia! Biar dia menderita dan mati perlahan-lahan, kecuali kalau dihutan ini ada binatang buas yang akan merobek-robek dagingnya! Mari kita pergi, Ciong-ko." Cu Yin segera memutar tubuhnya dan berlari pergi, diikuti oleh Gin Ciong. Mereka kembali ke dusun tadi unuk mengambil kuda mereka.

Ketika berlari itu, Gin Ciong melihat betapa Cu Yin menggunakan punggung tangan untuk menghapus air matanya. Gadis itu menangis! Dia dapat menduga bahwa ada hubungan batin antara Cu Yin dan pemuda yang menggeletak tadi.

Dia menjadi makin benci kepada pemuda itu. Kalau saja berada di depannya sekarang, tentu sudah dibunuhnya.

Setelah mereka berdua menunggang kuda dengan perlahan, Gin Ciong bertanya.

"Siapakah mereka, Yin-moi? Agaknya engkau jerih kepada mereka sehingga engkau perlu menggunakan racun."

Cu Yin menghela napas panjang. "Engkau tidak tahu. Dia memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sekali. Tentang gadis itu, aku tidak tahu siapa."

"Kenapa engkau hendak membunuhnya, Yin-moi?"

"Karena aku mencintainya!"

Jawaban yang jujur ini membuat Gin Ciong tertegun sejenak dengan hati panas. Bagaimana tidak akan panas hatinya mendengar gadis yang dicintanya ternyata mencinta pemuda lain? Akan tetapi hatinya masih merasa penasaran.

"Kalau engkau mencintanya, kenapa engkau hendak membunuhnya?"

Cu Yin cemberut dan sampai lama tidak menjawab, kelihatan termenung.

"Kenapa engkau hendak membunuh orang yang kaucinta, Yin-moi?"

"Karena aku… aku membencinya!"

Hati Gin Ciong menjadi girang, akan tetapi juga heran.

"Engkau mencintanya akan tetapi juga membencinya?" tanyanya sambil menatap wajah yang cantik itu penuh selidik.

"Cerewet benar engkau, Ciong-ko! Aku memang mencintainya, akan tetapi dia menolak cintaku, bahkan menolak ketika kuajak melakukan perjalanan bersama.

Tahu-tahu dia sekarang melakukan perjalanan dengan seorang gadis lain!"

Gin Ciong kini mengerti. Gadis yang membuatnya tergila-gila itu merasa cemburu, dan dia girang sekali mendengar betapa cinta gadis itu terhadap pemuda yang diracuni berubah menjadi benci.

"Pemuda seperti dia itu memang tidak tahu diri! Berani-beraninya dia menolak cintamu! Dia kira dia yang paling tampan di dunia ini? Hemm, sayang tadi engkau melarangku membunuhnya. Ingin kucabik-cabik tubuhnya untuk membalas penghinaannya terhadap dirimu, Yin-moi."

Tiba-tib Cu Yin termenung. Ia membayangkan tubuh Si Kong diterkam harimau dan dicabik-cabik tubuhnya. Ia mengerutkan alisnya, terbayang semua pengalamannya ketika melakukan perjalanan bersama pemuda itu sewaktu ia masih menyamar sebagai seorang pengemis muda. Betapa baiknya sikap Si Kong terhadap dirinya, betapa penuh pembelaan dan keramahan.

Membayangkan Si Kong sebagai seorang pemuda yang gagah perkasa dan bersikap amat baik kepadanya, tak terbendung lagi Cu Yin menangis tersedu-sedu di atas punggung kudanya. Gin Ciong memandang dengan alis berkerut. Watak gadis itu demikian aneh, dan angin-anginan, mudah berubah-ubah. Maka diapun menutup mulut, khawatir kalau dia bicara, gadis itu akan marah kepadanya.

Cu Yin yang menangis tersedu-sedu itu tiba-tiba mengangkat mukanya yang basah air mata. "Tidak….! Dia tidak boleh mati! Kong-ko….. ah, Kong-ko……!" Ia lalu mencambuk kudanya yang meloncat ke depan lalu berlari cepat sekali kembali ke tempat di mana mereka tadi meninggalkan Si Kong dan Hui Lan.

Akan tetapi ketika mereka tiba di tempat itu, mereka tidak menemukan kedua orang itu. Cu Yin kembali menangis dan terisak-isak.

"Celaka…… Kong-ko….. telah diterkam harimau…." Ia menangis lagi.

"Tidak, Yin-moi. Lihat ini. Kalau dia diterkam harimau dan dibawa pergi, tentu ada tanda darah di sini. Dan lihat ini, Yin-moi. Ada bekas api unggun. Mungkin mereka ada yang menolong."

Cu Yin meloncat turun dari atas kudanya dan ikut memeriksa keadaan tempat itu. Benar saja. Ada bekas apin unggun di situ dan tidak ada tanda darah. Hatinya menjadi agak lega.

"Kita cari mereka di sekitar sini. Mungkin mereka ditolong orang-orang dusun itu. Mari kita cari, Yin-moi!"

Cu Yin hanya mengangguk dan mereka menunggang kuda mereka lagi, mencari disekitar tempat itu. Akan tetapi mereka tidak menemukan jejak kedua orang itu. Mereka lalu pergi meninggalkan ke dusun yang ditinggalkan, bertanya-tanya, akan tetapi tidak seorangpun mengetahui di mana dua orang yang mereka cari.

Sudahlah, Yin-moi. Mereka tidak mati seperti yang kau kehendaki…."

Cu Yin memandang kepada Gin Ciong dengan mata masih merah bekas tangis, lalu mengangguk. "Engkau benar, mereka tidak mati…."

"Nah, lebih baik kita melanjutkan perjalanan kita ke Kwi-liong-san."

"Baik, Ciong-ko, mari kita pergi." Keduanya lalu membalapkan kuda keluar dari dusun itu.

Kemanakah perginya Si Kong dan Hui Lan? Benarkah mereka mati diterkam harimau atau ada orang yang menolong mereka? Kedua-duanya tidak benar.

Ketika mereka berdua ditinggalkan Cu Yin dan Gin Ciong, Si Kong berkata, "Lan-moi, jangan khawatir. Aku dapat mengobati kita…."

Si Kong lalu memeriksa lagi nadi pergelangan tangan Hui Lan untuk mengetahui jenis racun apa yang memasuki tubuh mereka melalui makanan tadi. Dia mengerutkan alisnya. Racun itu bekerja lambat namun berbahaya sekali, mengandung hawa panas yang akan membakar dan merusak pencernaan.

Ada memang ramuan obat yang akan dapat melawan racun itu, akan tetapi ramuan obat itu sukar di dapat dari hutan, harus dibeli ditoko obat yang besar di kota. Padahal melihat sifatnya racun itu, mereka tidak akan bertahan lebih dari sehari semalam!

"Bagaimana, Kong-ko?" tanya Hui Lan melihat wajah Si Kong nampak berduka.

"Obatnya harus didapatkan di toko obat yang besar, Lan-moi. Kita harus dapat membelinya di toko obat itu sebelum lewat sehari semalam. Kalau lewat waktu itu, kita tidak dapat diselamatkan lagi."

"Kong-ko, aku mempunyai sebuah mustika batu giok yang dapat menawarkan segala racun. Ayah memberikan mustika itu kepadaku. Mungkin mustika ini yang akan dapat menyembuhkan kita." Hui Lan mengeluarkan batu giok itu dari buntalannya dan memberikannya kepada Si Kong.

Begitu menerima batu kemala itu dan mengamatinya, Si Kong berseru kagum, "Ini tentu Liong-cu-giok (Kemala Mustika Naga)! Aku pernah diceritakan oleh guruku Yok-sian Lo-kai!"

"Entahlah, Kong-ko. Aku menerimanya dari ayah dan mustika kemala ini dapat menawarkan segala macam racun."

"Bagus sekali, akupun sudah mendengar tentang cara pemakaiannya dari suhu."

Si Kong lalu membuat api unggun, mengambil guci tempat air yang tadi sudah dipenuhi air jernih oleh pemilik kedai dan dia memasukkan kemala itu ke dalam tempat air lalu menggantung tempat air itu ke atas api.

Dia menambah kayu bakar sehingga api bernyala besar dan tak lama kemudian air itu mendidih, diturunkannya tempat air dan dibiarkan mendingin kembali.

"Kalau ini benar Kemala Mustika Naga, kita akan tertolong, Lan-moi. Biar aku yang minum lebih dulu."

Setelah air di tempat air itu sudah menjadi dingin, Si Kong lalu minum dari bibir guci itu beberapa teguk. Dia berdiam diri sambil memejamkan matanya, lalu mengambil pernapasan panjang dan mencoba untuk mengerahkan sinkangnya.

Tidak terasa sakit sama sekali.

"Bagus! Aku sudah sembuh, Lan-moi!" Dia berseru girang sekali. "Mari kau minum air obat ini."

Tanpa ragu lagi Hui Lan minum air dari guci itu dan ia merasakan hawa yang dingin memasuki perutnya. Ia mengembalikan guci itu kepada Si Kong, lalu ia pun memejamkan kedua matanya, mengumpulkan hawa murni dan mencoba mengerahkan sinkangnya. Ia pun tidak merasakan sakit lagi!

"Bukan main! Batu kemala milikmu ini benar-benar merupakan batu ajaib yang amat hebat, Lan-moi! Harap simpan dengan hati-hati agar jangan sampai dirampas orang jahat." Si Kong mengambil batu giok itu dari dalam guci dan menyerahkannya kepada Hui Lan yang segera menyimpannya kembali ke dalam buntalan pakaiannya. Pada saat itu mereka mendengar derap kaki kuda dari jauh.

"Mereka datang lagi! Dan kita belum dapat memulihkan sinkang. Cepat kita harus bersembunyi, dan hati-hati jangan tinggalkan jejak sepatu."

Mereka memadamkan api unggun, menyambar buntalan pakaian masing-masing dan berindap-indap pergi dari situ, memasuki semak-belukar. Mereka tadi sengaja menginjak tanah yang tertutup daun sehingga tidak meninggalkan jejak langkah mereka. Di dalam semak belukar itu mereka menyusup masuk dan mengintai dari celah-celah daun rumpun yang tebal.

Tak lama kemudian mereka melihat Cu Yin dan Gin Ciong melompat turun dari kuda mereka dan memandang ke sekeliling. Dengan jantung berdebar tegang, Si Kong dan Hui Lan mengintai tanpa berani bergerak dan menjaga pernapasan mereka agar jangan mengeluarkan bunyi. Akhirnya kedua orang itu melompat ke atas punggung kuda dan pergi dari situ.

Sampai lama Si Kong tidak bergerak, bukan lagi takut ketahuan Cu Yin, melainkan masih terharu ketika mendengar ucapan dan tangis Cu Yin tadi.

Gadis itu sungguh mencintainya dengan caranya sendiri yang liar. Setelah Hui Lan menyentuh lengannya, barulah Si Kong sadar dan merekapun keluar dari semak-semak, lalu berlari dengan cepat meninggalkan tempat itu, mengambil jurusan lain dari jurusan yang diambil Cu Yin tadi.

Mereka berlari cukup jauh, barulah mereka berhenti dan beristirahat di tepi sebuah sungai kecil. Matahari telah naik tinggi dan mereka merasa lelah karena berlari dengan cepat tadi

Kong-ko, siapakah gadis cantik dan pemuda tadi? Agaknya mereka yang meracuni kita, akan tetapi mengapa ia melakukan hal itu?"

Si Kong menghela napas panjang. "Ia bernama Siangkoan Cu Yin, puteri dari datuk besar Lam Tok."

"Ah, puteri Si Racun Selatan yang tersohor itu? Pantas kalau begitu, ia pandai sekali menggunakan racun tanpa kita ketahui.

Racun itu rupanya ditaruh di dalam masakan mi kuah itu, Kong-ko. Dan mengapa ia meracunimu? Meracuni kita?"

Hening sejenak ketika Hui Lan mengamati wajah Si Kong yang menundukkan kepalang. Kemudian Hui Lan mengangguk-angguk dan berkata,

"Aku mengerti sekarang, Kong-ko!"

"Mengerti apa, Lan-moi?"

"Aku mengerti mengapa ia meracuni kita. Tadi ketika ia menemui kita, ia mengaku bahwa ia yang meracuni kita, bahkan mengatakan bahwa engkau seorang yang kejam, lalu meninggalkan kita.

Hal itu membuktikan bahwa ia mendendam kepadamu, merasa sakit hati. Lalu ketika ia datang lagi mencari kita, ia menangis dan mengira bahwa engkau dimakan harimau.

Sikapnya itu jelas sekali menunjukkan bahwa ia mencintaimu, Kong-ko. Ia mencintaimu, akan tetapi juga membencimu karena engkau menyakitkan hatinya. Apakah yang telah engkau lakukan sehingga gadis itu sakit hati kepadamu, Kong-ko?"

Si Kong menghela napas panjang dan merasa salah tingkah. Kalau tidak diberitahukan kepada Hui Lan, tentu Hui Lan akan menyangka dia melakukan yang tidak-tidak.

Sebaliknya kalau dia berterus terang, dia merasa kikuk dan malu mengatakan bahwa Cu Yin jatuh cinta padanya!

Setelah berpikir sejenak doa menjawab.

"Cu Yin pernah mengajak aku untuk mencari Pek-lui-kiam. Aku menolak ajakannya karena aku merasa tidak pantas seorang laki-laki melakukan perjalanan bersama seorang gadis."

"Hemm, Kong-ko, bukankah kini kita berdua melakukan perjalanan bersama? Apakah ini juga kauanggap tidak pantas?"

"Ah, tidak….. tidak…..,"

Si Kong menjadi bingung. "Kalau kita berdua lain lagi. Guruku masih terhitung kakek buyutmu, jadi kita ini boleh dibilang orang sendiri. Nah, mungkin karena penolakanku itu ia merasa sakit hati."

"Bagaimana mungkin hanya karena ditolak melakukan perjalanan bersama ia menjadi begitu sakit hati untuk membunuhmu?"

"Kalau mengingat bahwa ia puteri Lam Tok, apa anehnya kalau ia bertindak aneh dan kejam?"

"Tidak Kong-ko, pasti ada alasan yang lain dan aku mengerti mengapa ia melakukan itu. Ia bukan saja meracunimu, akan tetapi juga meracuni aku yang sama sekali tidak mempunyai permusuhan dengannya.

Jawabannya hanya satu, ialah bahwa ia cemburu kepadaku! Melihat engkau melakukan perjalanan dengan aku, padahal menolaknya, ia merasa cemburu dan sakit hati, maka berusaha hendak meracuni kita."

"Begitukah pendapatmu, Lan-moi?"

"Tidak salah lagi. Cemburu dapat menimbulkan perbuatan kejam. Kenyataan bahwa ia mengkhawatirkan keselamatanmu membuktikan bahwa puteri Lam-tok itu amat mencintaimu, karena cinta itulah maka ia menjadi cemburu."

"Hemmm….."

Si Kong tidak menjawab karena dia sudah tahu bahwa Siangkoan Cu Yin mencintanya. Hal ini telah diakui terus terang oleh Cu Yin. "Apakah cinta harus disertai cemburu? Cinta adalah perasaan yang menyayang dan melindungi, sedangkan cemburu adalah perasaan yang membenci dan merusak."

Hui Lan memandang pemuda itu dengan sinar mata penuh selidik, kemudian dengan kedua pipi berubah kemerahan ia berkata, "Kenapa engkau tanyakan hal itu kepadaku? Aku tidak tahu, aku tidak pernah mencinta, tidak pernah cemburu."

Si Kong tersenyum dan balas memandang. "Aku sendiripun tidak pernah mencinta dan tidak pernah cemburu. Akan tetapi setidaknya kita berdua tentu pernah menyayang. Tidakkah engkau menyayang ayah ibumu? Dan bukankah ibumu menyayangmu? Mungkinkah kalian saling membenci?"

"Ah, aku menjadi pusing. Engkau saja yang menerangkan dan menjawab pertanyaanmu itu sendiri, Kong-ko. Tentu saja aku menyayang orang tuaku karena mereka adalah orang-orang yang paling baik dan menyayang diriku."

"Hemm, akan kucoba untuk mengupas soal cinta ini, Lan-moi. Akan tetapi aku minta agar engkau bersungguh-sungguh dan adil membantuku mengupasnya. Engkau menyayang orang tuamu karena mereka menyayang dan bersikap baik kepadamu. Sekarang, coba renungkan, bagaimana andaikata orangtuamu tidak bersikap baik dan menyayangmu?

Pernah engkau ngambek dan menangis ketika masih kecil, kalau permintaanmu tidak dipenuhi orang tuamu? Dapatkah engkau menyayang mereka kalau mereka bersikap jahat dan kejam kepadamu?"

"Tidak mungkin orang tua kejam dan tidak baik terhadap anaknya!" bantah Hui Lan.

"Nanti dulu, Lan-moi. Orang tua memang baik dan menyayang anaknya karena si anak patuh dan berbakti kepada mereka. Seperti juga si anak menyayang orang tuannya karena orang tuanya itu bersikap baik dan menyayangnya.

Coba andaikata si anak tidak berbakti, tidak patuh, tentu orang tua akan menjadi marah dan menghukumnya dan rasa sayangnya pun luntur."

Hui Lan mengerutkan alisnya. Tidak bisa ia membayangkan ia membenci orang tuanya atau orang tuanya membencinya. "Kalau begitu pendapatmua, maka di dunia ini tidak ada rasa cinta dalam hati manusia?"

"Mari kita selidiki. Kita lanjutkan lagi. Dapatkah seorang wanita mencinta pria kalau si pria itu tidak mencintanya, kalau si pria itu bersikap jahat terhadap dirinya? Sebaliknya demikian pula, seorang pria tentu tidak dapat mencinta wanita yang bersikap jahat terhadapnya dan tidak mencintainya.

Banyak sudah terjadi betapa cinta itu berbalik menjadi benci, seperti kita lihat pada diri Siangkoan Cu Yin."

Hui Lan mengerutkan alisnya, berpikir dan membayangkan. Kalau ia bertemu dengan seorang pria yang tidak mencinta dirinya dan tidak bersikap baik kepadanya, rasanya memang tidak mungkin ia dapat mencinta seorang pria seperti itu!

"Kalau begitu menurut pendapatmu, tidak ada manusia yang memiliki cinta murni?"

"Nanti dulu, Lan-moi. Kenyataan ini sebaiknya kita selidiki bersama, jadi bukan menurut pendapatku atau pendapatmu. Kita melihat tadi bahwa cinta manusia mengandung pamrih, minta imbalan.

Aku mencinta dia karena cinta kepadaku. Atau lebih jelas lagi, kau mencinta dia karena dia menyenangkan hatiku.

Semua ini terjadi karena manusia telah dikuasai oleh nafsunya sendiri. Nafsu yang mengaku-aku menjadi si-aku, selalu minta disenangkan.

Kalau disenangkan aku menyayang, kalau tidak disenangkan aku tidak menyayang. Aku menyayang benda karena benda itu menyenangkan, aku menyayang binatang peliharaan karena binatang itu patuh dan menyenangkan. Maka terjadilah: mencinta yang menyenangkan dan membenci yang tidak menyenangkan."

Hui Lan membelalakkan matanya. "Wah, kalau begitu manusia ini semua mempunyai cinta palsu, dan tidak murni."

"Kita melihat kenyataan begitu. Karena nafsunya, manusia tidak dapat menghilangkan pamrih atau imbalan dalam perasaan cintanya.

Yang mendekati kemurnian hanyalah kebersihan kasih sayang seorang ibu kepada anaknya, seekor induk kepada anak-anaknya. Mendekati kemurnian, tidak murni benar."

"Hemm, jadi kalau begitu cinta kasih murni tidak mungkin ada di dunia ini, Kong-ko?" Suara gadis itu begitu sayu seperti orang yang kecewa dan putus asa.

Si Kong tersenyum. "Sama sekali tidak begitu, Lan-moi. Kita melihat cinta kasih yang murni terbentang di depan mata kita. Cinta kasih Tuhan terhadap ciptaannya!"

"Apakah maksudmu dengan cinta kasih Tuhan?"

"Tuhan memberikan kehidupan kepada semua ciptaannya tanpa menuntut imbalan. Cinta kasihnya berlimpahan. Contohnya, sinar matahari menghidupkan kita dan semua mahluk menerimanya, tidak peduli mahluk atau orang itu taat atau tidak kepadaNya, tidak peduli orang itu percaya atau tidak kepadaNya.

Bunga mawar itu tetap memberi aroma yang sedap, baik kepada seorang pendeta maupun kepada seorang penjahat, baik kepada seorang hartawan maupun kepada seorang pengemis. Masih banyak lagi contohnya dan itulah Cinta Kasih yang murni, Lan-moi."

"Ah, itu kan Cinta Kasih Tuhan, Kong-ko. Mana bisa manusia disamakan dengan Tuhan!"

"Engkau benar, Lan-moi. Yang jelas, cinta kasih manusia selalu diliputi nafsu."

"Bagaimana kalau cinta kasih antara sahabat? Ini tidak mengharapkan apa-apa."

"Benarkah itu? Bagaimana kalau seorang sahabatmu yang paling baik pada suatu hari mengkhianatimu, membencimu, dan mencelakakanmu? Apakah engkau akan tetap menyayangnya?"

"Wah, wah, engkau menyudutkan aku sehingga aku tidak dapat menyangkal lagi, Kong-ko! Kalau begitu kita ini tidak memiliki cinta kasih?"

"Agaknya cinta kasih kita sudah dihabiskan untuk mencintai diri sendiri, Lan-moi. Tidak ada sisanya lagi bagi orang lain."

"Lalu, bagaimana usaha kita agar dapat mencinta dengan tulus ikhlas dan murni?"

"Aku tidak tahu, Lan-moi. Selama kita tidak dapat menundukkannafsu sendiri, tidakmungkin kita mencinta tanpa gelimangan nafsu. Dan yang dapat menyisihkan nafsu hanyalah kekuasaan Tuhan. Yang penting bagi kita adalah melihat kenyataan kalau kita mencinta, dan melihat betapa cinta kita itu diselimuti nafsu."

"Wah, wah! Mudah-mudahan aku tidak mempunyai cintakasih palsu seperti itu, Kong-ko. Aku ngeri membayangkannya!"

"Tidak perlu ngeri atau menyesal, Lan-moi. Memang demikianlah kenyataan cinta kasih manusiawi, berbeda dengan cinta kasih Tuhan Yang Maha Kasih dan Maha Pemurah.

Setidaknya kalau kita menyadari bahwa cinta kasih nafsu itu tidak bersih, akan memudahkan kita untuk melawan dan mengendalikan nafsu pribadi."

"Akan tetapi betapa sukarnya melawan perasaan hati sendiri, Kong-ko. Kecewa, marah atau benci adalah ulah perasaan, bagaimana kita dapat mencegah atau menghalanginya?"

"Memang berat, Lan-moi, dan sukar sekali. Karena itu kita harus mohon bimbingan kepada Tuhan, karena hanya dengan bimbingan Tuhan sajalah kita akan mampu menundukkan nafsu kita sendiri."

Gadis itu memandang kepada Si Kong dengan kagum dan heran.

"Ah. Aku heran sekali, Kong-ko. Pantasnya yang bicara ini adalah seorang guru besar yang sudah mendalam pengetahuannya tentang hidup! Akan tetapi engkau yang masih muda bagaimana dapat mengetahui tentang kehidupan ini?"

Si Kong tersenyum dan menjawab. "Tahu dan mengerti tentang kehidupan bukanlah suatu pengetahuan, Lan-moi. Setiap orang hidup yang sudah dewasa akan mengetahui tentang hidup karena dia sendiri juga hidup, bukan?

Dengan membaca buah pikiran cerdik pandai dan budiman, dan terutama sekali dengan mawas diri, memperhatikan dan mengikuti ulah hati akal pikiran sendiri akan menimbulkan pengertian itu.

Akan tetapi mengerti itu saja, tidak akan membawa perubahan kepada kita. pengamatyan yang terus menerus terhadap ulah hati akal pikiran sendiri yang akan menimbulkan perubahan."

Hui Lan menggeleng kepalanya. "Bicaramu mengingatkan aku akan ayahmu. Ayah juga kalau bicara tentang kehidupan, demikian gamblang dan menelanjangi semua kenyataan hidup, betapapun pahit kenyataan itu. Sudahlah, Kong-ko, mari kita melanjutkan perjalanan kita."

Nanti dulu, Lan-moi. Sekarang coba kaukerahkan sin-kangmu, apakah masih terasa sakit dalam dada dan perutmu?"

Hui Lan mengerahkan tenaga sinkangnya ke seluruh bagian tubuhnya. Tidak ada yang terasa nyeri lagi dan karena sudah mengerahkan sinkang, ia lalu menggerakkan tubuh dan kaki tangannya untuk bersilat.

Ia memainkan Ciu-sian Cap-pek-ciang (Delapanbelas Jurus Silat Dewa Arak) yang dipelajari dari ayahnya. Si Kong memandang kagum. Ilmu silat itu nampak aneh, seperti gerakan orang mabok, akan tetapi setiap gerakannya mengandung tenaga sinkang yang kuat. Setelah memainkan delapan belas jurus itu, Hui Lan menghentikan gerakannya dan tersenyum girang memandang pemuda itu.

"Tidak ada yang terasa nyeri sama sekali, Kong-ko."

"Bagus! Kalau begitu kita telah benar-benar terlepas dari bahaya maut. Batu kemala mustika itu manjur sekali, Lan-moi. Mustika itu amat langka dan amat berharga, hati-hati engkau menyimpannya, jangan sampai hilang."

Dua orang muda-mudi itu lalu melanjutkan perjalanan mereka menuju ke Kui-liong-san.

***

Kui-liong-san merupakan sebuah pegunungan yang bentuknya memanjang. Dari jarak jauh nampak seperti seekor naga, karena itulah pegunungan itu disebut orang Kui-liong-san (Gunung Naga Siluman).

Tidak ada orang berani mendaki pegunungan itu karena Kui-liong-san terkenal dengan hutan-hutannya yang liar penuh dengan binatang buas, harimau, ular besar dan sebagainya lagi.

Akan tetapi yang terutama menimbulkan rasa takut adalah segerombolan manusia yang menjadikan tempat itu sebagai sarang mereka.

Gerombolan manusia yang ditakuti ini adalah perkumpulan Kui-jiauw-pang (Perkumpulan Cakar Setan). Kui-jiauw-pang mempunyai anggauta sebanyak seratus orang lebih, dan orang-orang Kui-jiauw-pang terkenal tangguh dan juga kejam.

Sudah banyak orang yang memasuki daerah pegunungan itu dan tidak dapat keluar lagi. Mereka adalah para pemburu yang tadinya hendak memburu binatang di hutan-hutan pegunungan itu. Mereka tidak dapat keluar lagi karena mati terbunuh.

Bahkan ada beberapa orang pendekar gagah yang ingin membasmi gerombolan itu, akan tetapi bukan saja mereka tidak berhasil, bahkan mereka tewas dan tidak dapat meninggalkan daerah pegunungan Kui-liong-san. Sejak saat itu, tidak ada lagi orang yang berani mencoba memasuki daerah pegunungan yang angker itu.

Penduduk dusun-dusun yang berada di sekitar kaki pegunungan Kui-liong-san bahkan beranggapan bahwa Kui-liong-san menjadi sarang setan dan iblis.

Mereka yang tahyul ini merasa takut sekali memasuki hutan-hutan di pegunungan itu, bahkan untuk mencari kayu bakarpun mereka tidak berani memasuki hutan yang paling bawah sekalipun.

Kui-jiauw-pang dipimpin oleh seorang tokoh kangouw terkenal. Karena tokoh ini selalu mengenakan pakaian yang serba merah, maka dia menyebut diri sendiri sebagai Ang I Sianjin (Manusia Dewa Berbaju Merah).

Dari sebutan ini saja tercerminkan ketinggian hati orangnya yang ingin dianggap sebagai seorang dewa!

Ang I Sianjin adalah seorang datuk sesat dari barat. Tadinya dia adalah seorang penjahat besar yang menjadi buruan pemerintah. Dia melarikan diri ke barat dan menghilang untuk belasan tahun lamanya.

Ketika itu dia pergi bertapa dan mempelahari berbagai ilmu sehingga dia menjadi seorang yang semakin tangguh.

Ketika dia muncul kembali, dia memperkenalkan diri sebagai Ang I Sianjin. Dia menaklukan banyak gerombolan perampok, kemudian menghimpun orang-orang terlihai diantara gerombolan itu dan mendirikan sebuah perkumpulan yang diberi nama Kui-jiauw-pang.

Dia melatih anak buahnya dengan ilmu silat yang tinggi dan menggunakan alat penyambung tangan berupa cakar-cakar setan. Cakar setan ini terbuat dari baja dan selain dapat mematahkan senjata lawan, juga mengandung racun yang amat jahat. Terkena goresan sedikit saja oleh cakar setan ini, orang akan menderita keracunan yang mengancam nyawanya!

Setelah perkumpulan ini berdiri kokoh, Ang I Sianjin lalu memilih Kui-liong-san menjadi sarang perkumpulannya. Mereka hidup dari hasil hutan yang tidak pernah didatangi orang lain, juga mereka mendatangi bandar-bandar perjudian dan tempat pelesir, menuntut pembagian hasil dari mereka, di kota-kota yang berdekan dengan wilayah itu.

Pada suatu pagi, para anggauta Kui-jiauw-pang menjadi gempar dengan muncuolnya dua orang kakek di dalam hutan dekat puncak, sudah dekat dengan sarang mereka yang berada di puncak pegunungan itu. Mula-mula ada lima orang anggauta Kui-jiauw-pang yang melihat adanya dua orang kakek itu.

Tentu saja mereka menjadi marah dan menghampiri dua orang kakek yang sedang duduk bersila di atas batu besar.

"Hai, kalian dua orang kakek yang sudah bosan hidup! Berani kalian memasuki daerah kekuasaan kami!" bentak pemimpin diantara lima orang itu yang bertubuh tinggi besar.

Dua orang kakek itu saling pandang dan menyeringai. Kakek berusia empatpuluh tahun lebih yang berkepala besar sekali, kepalanya botak dan telinganya lebar berbaju putih itu bukan lain adalah Thai-mo-ong Toa Ok, Si Jahat nomor satu yang telah kita kenal ketika mereka berdua bersama Bu-tek Ngo-sian menyerbu Pulau Teratai Merah dan menyerang Ceng Lojin atau Ceng Thian Sin, Si Pendekar Sadis.

Mereka dapat dipukul mundur dan karena jerih meninggalkan Pulau Teratai Merah dengan cepat. Mereka menderita luka dalam yang membutuhkan waktu beberapa bulan untuk menyembuhkannya.

Tahu-tahu kini dua orang datuk besar Dunia Barat itu muncul di Kui-liong-san. Mudah di duga bahwa kemunculan mereka itu tentu ada hubungannya dengan Pek-lui-kiam yang hendak diperebutkan semua orang kangouw.

Orang kedua adalah Ji-mo-ong Ji Ok si jahat nomor dua.rambut kepala Ji Ok amat panjang dan tebal, dibiarkan berjuntai sampai ke pinggangnya. Mukanya penuh dengan brewok seperti muka monyet dan pakaiannya berbeda sekali dengan Toa Ok. Kalau Toak Ok berpakaian serba putih, Ji Ok berpakaian serba hitam.

"Eh, Ji Ok. Siapa gerangan cacing-cacing busuk ini?" Tanya Toa Ok yang merasa jengkel melihat sikap lima orang itu.

"Agaknya mereka ini gerombolan yang merajalela di pegunungan ini," kata Ji Ok yang menghadapi mereka. Setelah memandang kepada anggauta Kui-jiauw-pang yang tinggi besar dan menjadi pemimpin mereka berlima, Ji Ok bertanya,

"Apakah kalian ini anggauta gerombolan Kui-jiauw-pang?"

"Hemm, kalian sudah tahu, kini bersiap-siaplah kalian untuk mampus. Siapapun yang berani memasuki daerah kami harus mati!" Setelah berkata demikian si tinggi besar itu sudah memberi isarat kepada kawan-kawannya untuk turun tangan.

"Nanti dulu!" kata Ji Ok sambil menyeringai. "Kalian hanyalah anggauta, tidak ada artinya bagi kami. Cepat panggil Ang I Sianjin ke sini dan membawa Pek-lui-kiam untuk diserahkan kepada kami. Kalau dia menolak, seluruh orang Kui-jiauw-pang akan kami basmi dan sarangnya akan kami bakar habis!"

Si tinggi besar itu terbelalak. Tidak hanya marah mendengar ucapan itu, akan tetapi juga heran.

Bagaimana mungkin di dunia ini ada orang, kakek-kakek lagi, yang berani mengeluarkan ancaman seperti itu terhadap Kui-jiauw-pang?

"Kalian tua bangka yang bosan hidup." Dia menoleh kepada empat orang kawannya dan berkata, "Serbu! Bunuh kedua orang kakek ini!"

Dia sendiri juga menerjang setelah memasang cakar setan kepada kedua tangannya. Empat orang kawannya juga telah memasang cakar setan masing-masing dan mereka berlima menyerang kedua orang kakek yang masih duduk di atas batu besar itu dengan sikap tenang dan wajah mentertawakan lima orang itu.

Toa Ok menggerakkan tangan kirinya yang tertutup lengan baju panjang, dan dua orang penyerang terlempar seperti di sambar angin badai, dan mereka roboh bergulingan karena merasa tubuh mereka seperti di bakar, lalu mereka diam dan tewas!

Ji Ok juga menggerakkan tangan kirinya dan dua orang lain terlempar dan menggigil kedinginan lalu mati kaku!

Si tinggi besar yang melihat ini terbelalak dengan muka pucat, lalu dia membalikkan tubuhnya untuk melarikan diri. Akan tetapi sekali Ji Ok melambaikan tangan kirinya, si tinggi besar itu seperti ditarik dari belakang dan diapun terjengkang roboh!

Si tinggi besar menjadi semakin ketakutan dan dia meloncat bangun untuk melarikan diri lagi, akan tetapi tiba-tiba ujung pecut yang dipegang oleh Ji Ok telah menyambar kakinya dan sekali pecut itu ditarik, si tinggi besar terpelanting dan roboh lagi. Dia menjadi semakin ketakutan dan menghadap dua orang kakek itu dengan tubuh gemetar, lalu dalam keadaan berlutut dia berkata, "Mohon ampun, ji-wi locianpwe! Harap ampuni saya…."

"Heh-heh, aku mau mengampuni engkau, akan tetapi engkau harus cepat berlari memanggil Ang I Sianjin ke sini dan meneyrahkan pedang pusaka Pek-lui-kiam kepada kami!"

Si tinggi besar berulang-ulang menyembah dengan tubuh gemetar dan berkata, "Baik, locianpwe, saya menaati perintah…."

Dia lalu bangkit berdiri dan merasa lega karena dia tidak dikorbankan lagi. "Sekarang juga saya hendak mengundang pemimpin ke sini." Setelah berkata demikian, si tinggi besar lalu lari secepatnya menuju ke puncak, ke sarang Kui-jiauw-pang.

Ketika si tinggi besar dengan napas terengah-engah tiba di sarang Kui-jiauw-pang, dia terus memasuki bangunan induk yang menajdi tempat tinggal Ang I Sianjin. Dia terus memasuki bangunan dan bertanya kepada pelayan dimana adanya ketua mereka itu.

"Pangcu sedang sarapan di kamar makan, harap jangan diganggu," kata pelayan itu.

Akan tetapi si tinggi besar tidak perduli. Dia terus memasuki kamar makan dan benar saja, Ang I Sianjin sedang duduk makan seorang diri. Melihat si tinggi besar menerobos masuk dan menjatuhkan diri berlutut di depannya, Ang I Sianjin mengerutkan alisnya.

"Hemm, berani mati engkau! Ada urusan apa engkau berani mengganggu aku yang sedang makan?" bentaknya.

"Malapetaka telah menimpa kami, pangcu. Maka saya berani mengganggu pangcu. Empat orang saudara kami telah terbunuh!"

"Apa? Siapa pembunuhnya dan bagaimana hal itu bisa terjadi?"

"Kami berlima melihat adanya dua orang kakek yang duduk di atas batu di dalam hutan bambu di bawah puncak. Kami segera menegurnya, akan tetapi dua orang kakek itu bahkan mengatakan agar kami memanggil pangcu untuk menghadap mereka dan menyerahkan pedang pusaka Pek-lui-kiam.

Kalau pangcu menolak, Kui-jiauw-pang akan dibasmi dan tempat tinggal kami akan dibakar habis. Kami berlima lalu menyerang mereka, akan tetapi sekali mereka menggerakkan tangan, empat orang diantara kami tewas. Kemudian mereka melepaskan saya untuk melapor kepada pangcu."

Mendengar laoran itu, merahlah muka Ang I Sianjin.

"Apa! Kurang ajar!"

Dia marah sekali dan melemparkan sepasang sumpit yang dipegangnya ke bawah. Sepasang sumpit itu meluncur dan menancap ke dalam lantai sampai ke gagangnya!

Ang I Sianjin berkata dengan suara lantang kepada si tinggi besar. "Kumpulkan seluruh anggauta Kui-jiauw-pang agar ikut aku memberi hajaran kepada kedua orang musuh itu!"

Sebentar saja di situ telah berkumpul delapan puluh orang lebih, karena banyak juga di antara mereka yang bertugas di luar.

Bagaikan pasukan yang akan berperang, mereka mengikuti ketua mereka yang berjalan di depan. Ang I Sianjin yang berusia empatpuluh tahun, bertubuh tinggi besar dan bermuka pucat itu membawa sepasang pedang yang berada di punggungnya dan sebuah kipas yang dipegang di tangan kirinya. Dengan langkah tegap dan gagah ketua Kui-jiauw-pang ini menuju ke hutan bambu yang ditunjukkan oleh anak buahnya yang melapor tadi.

Tak lama kemudian mereka tiba di tempat itu. Dua orang kakek yang diceritakan oleh si tinggi besar tadi masih duduk di atas batu dengan sikap tenang.

Melihat dua orang kakek itu duduk dengan tenang di atas batu besar dan mayat empat orang anak buahnya masih menggeletak di atas tanah, bangkitlah kemarahan Ang I Sianjin.

Akan tetapi ketika dia melihat dengan pandang mata penuh selidik karena dua orang kakek itu, melihat pakaian mereka, yang seorang berpakaian putih dan yang kedua berpakaian hitam, wajah Ang I Sianjin yang sudah pucat itu menajdi semakin pucat.

Tentu saja dia sudah mendengar tentang kedua orang kakek ini. Akan tetapi, dia tidak merasa takut karena bukankah dia membawa anak buah yang delapanpuluh orang banyaknya?

Dengan menekan hatinya yang berdebar tegang, Ang I Sianjin menghampiri kedua orang itu dan berdiri di depannya. Suaranya terdengar lantang untuk menutupi hatinya yang gelisah dan agak jerih.

"Kalau kami tidak salah menduga, bukankah yang duduk di depan kami ini Thai-mo-ong Toa Ok dan Ji-mo-ong Ji Ok?"

Dua orang kakek tiu saling pandang dan menyeringai. Ji Ok yang bertubuh kurus itu tertawa. "Ha-ha-ha, kiranya ketua Kui-jiauw-pang yang berjuluk Ang I Sianjin itu memiliki pandangan yang tajam juga. Kami memang Toa Ok dan Ji Ok."

Ang I Sianjin memandang ke arah empat mayat anak buahnya dan tertawa, "Apakah ji-wi yang telah membunuh empat orang anak buah kami? Apa kesalahan mereka? Andaikata mereka bersalah di sini masih ada aku yang dapat menghukumnya. Kenapa ji-wi membunuh mereka?"

"Mereka menyerang kami, terpaksa kami membunuh mereka dan membebaskan yang seorang lagi untuk melapor kepadamu. Apakah engkau sudah menerima laporan itu dan apakah engkau sudah membawa Pek-lui-kiam untuk diserahkan kepada kami?"

Panas juga rasa hati Ang I Sianjin mendengar ucapan yang meremehkannya itu. Dia sendiri memiliki ilmu silat yang tinggi, dan disitu terdapat delapanpuluh anak buahnya.

"Pedang pusaka didapatkan dengan taruhan nyawa, tidak mungkin diserahkan kepada siapapun juga."

Tiba-tiba Toa Ok yang berkata dengan angkuhnya. "Ang I Sianjin, engkau boleh memilih. Engkau menyerahkan Pek-lui-kiam kepada kami dan kami tidak akan mengganggu kalian, atau engkau lebih senang kalau kami mengamuk dan membunuh engkau dan seluruh anak buahmu, membakar sarangmu dan menggeledah sampai kami mendapatkan pedang pusaka itu?"

Ang I Sianjin tertegun. Dia tahu bahwa kedua orang kakek itu tidak hanya menggertak kosong belaka. Dia harus dapat menghadapi mereka dengan cerdik, mencari cara yang paling menguntungkan fihaknya.

Dengan cerdik Ang I Sianjin lalu tersenyum. Dia tahu benar betapa lihainya kedua orang datuk itu. Biarpun dia memiliki delapanpulh orang anak buah dia tidak yakin bahwa pihaknya akan memperoleh kemenangan dan gertakan dua orang kakek itu menjadi kenyataan. Dia lalu menggunakan sikap menghormat.

"Ji-wi tentu sudah tahu kebiasaan dunia kangouw. Memperebutkan sesuatu haruslah dilakukan dengan mengadu kepandaian, bukan saling menghancurkan. Karena itu, kami akan menempuh cara yang sama. Disini kami berdiri dengan semua anggauta Kui-jiauw-pang kami.

Kalau ji-wi dapat mengalahkan kami tanpa membunuh, kami akan takluk kepada ji-wi dan kami akan mengangkat ji-wi sebagai pimpinan kami. Dengan sendirinya Pek-lui-kiam menjadi milik ji-wi.

Akan tetapi kalau ji-wi menolak syarat ini, kami akan melawan sampai mati, tetapi jangan harap akan dapat menemukan Pek-lui-kiam yang sudah kami sembunyikan."

Kembali kedua orang datuk besar itu saling pandang sambil menyeringai. "Keputusannya ada padamu, Toa Ok!" kata Ji Ok kepada rekannya.

Toa Ok mengangguk-anggukkan kepalanya. "Cara itu cukup adil dan baik. kalau nanti kalian kalah dan menaluk, itu cocok sekali dengan keinginan kami. Kamipun membutuhkan anak buah untuk melawan mereka yang hendak memperebutkan Pek-lui-kiam!"

"Kalau begitu, bersiaplah, kami akan maju mengeroyok!" kata Ang I Sianjin dengan hati lega. Dengan perjanjian itu, andaikata dia dan anak buahnya kalah, mereka tidak akan di bunuh dan menjadi anak buah kedua datuk yang sakti itu.

"He-heh, sejak tadi kami sudah bersiap.

Majulah kalian semua!" kata Ji Ok sambil menyeringai memandang rendah.

Ang I Sianjin lalu memberi isarat kepada semua anak buahnya untuk memecah menajdi dua kelompok. Kelompok yang lebih kecil hanya berjumlah tiga puluh orang, membantu dia untuk melawan Toa Ok, sedangkan selebihnya yang lima puluh mengeroyok Ji Ok. Mereka lalu mengepung batu dimana kedua orang datuk itu duduk dan setelah Ang I Sianjing memberi isarat, semua anak buahnya lalu memasang cakar setan di kedua tangan mereka.

Mereka nampak menyeramkan, dengan kedua tangan menjadi cakar setan dan sikap mereka yang mengancam. Akan tetapi Toa Ok dan Ji Ok tenang-tenang saja duduk di atas batu besar itu.

Ketika para anggauta Kui-jiauw-pang itu menerjang ke arah batu besar dengan cakar setan mereka, tiba-tiba saja kedua orang kakek itu lenyap hingga cakar-cakar setan itu menghantam batu.

Bunga api berpijar ketika batu itu dihajar tangan cakar setan itu. Semua orang memutar tubuh dan mereka melihat bahwa dua orang kakek itu telah berada di belakang mereka.

Demikian cepat gerakan mereka ketika meloncat tadi sehingga tidak nampak oleh mereka, seolah dua orang datuk itu pandai menghilang.

Ang I Sianjin dapat melihat gerakan mereka, maka dialah yang lebih dulu memutar tubuhnya. Ketua Kui-jiauw-pang yang sudah mencabut pedang dengan tangan kanan dan memegang kipas di tangan kiri itu lalu menyerang Toa Ok dengan dahsyatnya. Serangan pedang dan kipasnya amat dahsyat, cepat dan mengandung tenaga yang amat kuat.

Melihat ini Toa Ok tidak berani memandang rendah dan dia sudah menggerakkan tongkat ularnya untuk menangkis.

Trang….!"

Pedang di tangan Ang I Sianjin terpental ketika bertemu tongkat dan kipasnya hampir terlepas dari tangannya. Pada saat itu, puluhan anggauta Kui-jiauw-pang telah menerjang maju dengan cepat.

Puluhan pasang cakar setan menerkam ke arah tubuh Toa Ok. Akan tetapi, putaran tongkat ular itu merupakan gulungan sinar yang menyelimuti tubuh Toa Ok. Para anggauta Kui-jiauw-pang yang berani menyerang, begitu menyentuh gulungan sinar tongkat, terdorong ke belakang dan roboh bergelimpangan.

Mereka merasa seperti menyerang dinding baja yang amat kuat dan terdorong oleh kekuatan yang dahsyat sekali.

Demikian pula dengan limapuluh orang anak buah Kui-jiauw-pang yang mengeroyok Ji Ok. Datuk yang kurus pendek ini bergerak sedemikian cepatnya sehingga yang nampak hanya bayangan hitam saja diselimuti gulungan sinar cambuknya yang diputar amat cepat. Setiap kali seorang anggauta Kui-jiauw-pang menerjang gulungan sinar ini, mereka tentu roboh terjengkang!

Ketika puluhan orang itu bangkit dan menyerang lagi, Toa Ok dan Ji Ok menghajar mereka dengan lebih kuat lagi. Bukan hanya senjata kedua orang datuk ini yang melindungi tubuh menangkis, juga kaki dan tangan kiri mereka menyambar dan siapa saja yang terkena tendangan atau tamparan mereka, tentu roboh dan mengaduh-aduh karena bagian tubuh yang terkena serangan itu terasa sakit bukan main.

Ang I Sianjin merasa penasaran. Melihat betapa para anak buahnya sudah jatuh bangun, bahkan banyak yang tidak mampu membantunya lagi, diapun menyerang dengan ganas, menusukkan pedangnya ke arah dada dan menggerakkan kipasnya menyerang bagian muka Toa Ok.

Melihat ini, Toa Ok mengerahkan tenaga dan menggerakkan tongkatnya, menangkis pedang dan sekaligus menangkis kipas.

"Trang….. trak……!"

Pedang di tangan Ang I Sianjin patah dan kipasnya juga terlepas dari tangan kirinya. Ang I Sianjian menjadi kaget dan cepat meloncat ke belakang untuk menghindarkan serangan Toa Ok. Ketika dia menoleh ke arah anak buahnya yang mengeroyok Ji Ok, dia melihat betapa anak buahnya juga sudah jatuh bangun di hajar Ji Ok. Maklum bahwa kalau dilanjutkan hanya berarti malapetaka bagi anak buahnya, Ang I Sianjin berteriak.

"Hentikan pengeroyokan!"

Para anggauta Kui-jiauw-pang menghentikan gerakan mereka dengan hati lega. Mereka menolong kawan-kawan yang terluka dan mundur. Ada di antara mereka yang menderita luka memar dan tulang patah, akan tetapi tidak ada yang terluka berat. Mereka memandang ke arah ketua mereka.

Ang I Sianjin menggerakkan tangan ke bawah jubahnya dan ketika tangannya ditarik, keluarlah sebatang pedang yang berkilauan cahayanya. Ketika pedang digerakkan, nampak sinar bagaikan kilat menyambar dan membuat mata yang memandangnya menjadi silau! Mudah mereka semua menduga pedang apakah itu. Tentu pedang yang dijadikan perebutan di antara orang-orang kangouw, yaitu pedang yang disebutPek-lui-kiam (Pedang Kilat)!

Melihat pedang yang berada di tangan Ang I Sianjin itu, mata Toa Ok dan Ji Ok bersinar-sinar dan wajah mereka berseri.

"Pek-lui-kiam" kata mereka berbareng dan Ji Ok sudah melangkah maju menghampiri Ang I Sianjin.

"Cepat berikan pedang itu kepada kami!" kata Ji Ok sambil menjulurkan tangan kanannya.

Akan tetapi Ang I Sianjin tidak mau menyerahkan pedang itu begitu saja. Dia menjura kepada dua orang datuk itu dan berkata dengan lantang. "Kami telah mendapat pelajaran dari ji-wi dan kami mengakui bahwa kami telah kalah.

Akan tetapi pedang ini saya dapatkan dengan susah payah. Karena itu, untuk mendapatkan pedang ini, siapa saja orangnya, harus dapat merampasnya dari tangan saya. saya hara ji-wi tidak mengabaikan aturan dunia kangouw ini!"

"Biarkan aku yang maju merampasnya, Ji Ok!" kata Toa Ok.

"Tidak perlu engkau yang turun tangan, Toa Ok," jawab Ji Ok. "Cukup aku yang maju merampas Pek-lui-kiam dari tangan Ang I Sianjin!"

Ji Ok melangkah maju mendekati Ang I Sianjin. "Bersiaplah engkau, Ang I Sianjin. Aku hendak merampas Pek-lui-kiam dari tanganmu!"

"Sialakan, saya sudah siap!" jawab Ang I Sianjin sambil melintangkan pedang pusaka itu di depan dadanya. Dia maklum bahwa dalam ilmu silat, dia seimbang dengan tingkat kepandaian Ji Ok.

Tadi dia sudah melihat gerakan datuk itu ketika dikeroyok banyak anak buahnya. Dengan Toa Ok pun dia hanya kalah sedikit, akan tetapi sinkang yang amat kuat dari Toa Ok yang tidak dapat dia lawan.

Ji Ok juga maklum setelah memegang Pek-lui-kiam, Ang I Sianjin merupakan lawan yang amat berbahaya dan tangguh. Senjata cambuknya tentu akan putus rusak apabila bertemu dengan pedang pusaka itu.

Dia harus berhati-hati, karena setelah Ang I Sianjin menggunakan pedang pusaka itu sebagai senjata, kalau dia tidak berhati-hati, dia mungkin menjadi korban ketajaman Pek-lui-kiam.

"Awas serangan!" bentak Ji Ok dan cambuknya sudah menyambar dengan cepat ke arah pergelangan tangannya yang memegang pedang. Ang I Sianjin menggerakan pergelangan tangannya dan pedang Pek-lui-kiam menyambar turun untuk menyambut pecut itu. Dia merasa yakin bahwa sekali sabet saja pecut itu akan putus.

Akan tetapi Ji Ok cepat menarik cambuknya dan kini cambuk menyambar ke arah kepala Ang I Sianjin. Ketua Kui-jiauw-pang ini cepat mengelak dengan miringkan kepala dan pedangnya menyambar dari bawah, mengarah lambung lawan.

Ji Ok terkejut. Tadinya dia mengira bahwa Ang I Sianjin akan menggunakan pedangnya hanya untuk melepaskan pedang dari bahaya terampas.

Tidak tahunya pedang itu sekarang menyambar bagaikan tangan maut yang menjangkaunya! Dia pun cepat meloncat ke belakang dan balas menyerang.

Cambuknya meledak-ledak di udara dan terputar membentuk gulungan sinar.

Kedua orang itu segera terlibat dalam pertandingan yang seru dan mati-matian. Melihat betapa sukarnya dia merampas pedang, kini Ji Ok juga menggunakan serangan bukan hanya untuk merampas pedang melainkan untuk melukai atau bahkan membunuh lawannya! Terjadilah pertandingan yang seru dan hebat.

Gerakan mereka sedemikian cepatnya sehingga yang nampak hanyalah segulung sinar pedang yang berkilauan dan segulung sinar cambuk yang menghitam.

Demikianlah dalam penglihatan para anggauta Kui-jiauw-pang. Bagi Toa Ok, tentu saja dia dapat mengikuti jalannya perkelahian itu dengan jelas dan mulailah dia merasa khawatir.

Kalau dia tadi dapat mengalahkan Ang I Sianjin dan puluhan orang pembantunya karena dia menang tenaga sinkang, sekarang keadaannya lain lagi. Ang I Sianjin memegang sebatang pedang pusaka yang amat ampuh, sedangkan tingkat kepandaian silat ketua Kui-jiauw-pang itu tidak berselisih banyak dibandingkan tingkat Ji Ok. Karena itu dia khawatir sekali kalau-kalau Ji Ok tidak akan mampu merampas pedang pusaka, bahkan dia mungkin akan menjadi korban pedang ampuh itu.

Pertandingan itu memang seru sekali. Ang I Sianjin menang senjata, akan tetapi Ji Ok menang tenaga sinkang dinginnya. Berulang kali Ji Ok menyerang dengan tangan kirinnya, menghantam dan pukulannya mendatangkan hawa dingin yang kadang menbuat Ang I Sianjin gemetar.

Akan tetapi, sambaran pedang Pek-lui-kiam juga membuat Ji Ok terdesak dan kadang-kadang dia terpaksa meloncat ke belakang dan mundur. Dengan demikian, maka keadaan kedua orang tokoh ini berimbang dan sukar diduga siapa diantara mereka yang akan keluar sebagai pemenang.

Melihat hal ini, Toa Ok tiba-tiba meloncat dengan tongkat ular ditangannya dan tongkat itu menyambar dengan cepat sekali ke depan, pada saat pedang di tangan Ang I Sianjin terbelit oleh ujung cambuk di tangan Ji Ok. Agaknya Ji Ok hendak merampas pedang itu dengan membelitkan cambuknya dan menarik cambuk agar pedang itu terlepas dari pegangan Ang I Sianjin. Akan tetapi Ang I Sianjin menahan pedangnya, bahkan menggunakan gagang kipasnya untuk menotok ke arah dada Ji Ok.

Pada saat itu, Ji Ok mengerahkan tenaga sinkangnya untuk menarik pedang sedangkan tangan kirinya menyambut kipas dengan cengkeraman. Tepat pada saat itu, tongkat di tangan Toa Ok datang menyambar.

Ang I Sianjin terhuyung ke belakang, dan Ji Ok juga terhuyung ke belakang. Akan tetapi pedang itu telah terlepas dari tangan Ang I Sianjiin dan disambar oleh Toa Ok dengan cepatnya. Ternyata Toa Ok telah menotok siku lengan kanan Ang I Sianjin sambil mendorong dengan tangan kirinya sehingga Ang I Sianjin terpaksa melepaskan pedangnya dan tubuhnya terdorong ke belakang. Sebaliknya, cambuk di tangan Ji Ok putus dan Ji Ok terdorong tenaga tarikannya sendiri sehingga terhuyung ke belakang.

Ang I Sianjin sudah dapat berdiri tegak kembali. Dia tidak terluka dan dia memandang kepada Toa Ok dengan penasaran. Melihat pedang pusakanya berada di tangan datuk yang bertubuh gendut itu, dia berkata dengan penasaran.

"Kalian telah bertindak curang! Kalian mengeroyokku!"

Toa Ok tertawa dan sama sekali dia tidak merasa malu disebut curang. Segala perbuatan keji dan jahat sudah dia lakukan bersama Ji Ok, apalagi bertindak curang.

"Ha-ha-ha, Ang I Sianjin, jangan berlaku bodoh dan pura-pura gagah! Ketika kami berdua melawanmu beserta puluhan orang anak buahmu, bukankah itu juga melakukan pengeroyokan? Kalau engkau masih penasaran, engkau boleh mencoba untuk merampas pedang ini dari tanganku, akan tetapi aku tidak mau berjanji untuk tidak membunuhmu!"

Ditantang demikian, Ang I Sianjin diam saja. Dia tahu benar bahwa dia tidak akan menang melawan datuk gendut ini, apalagi Toa Ok sudah memegang Pek-lui-kiam.

"Baiklah, Toa Ok. Aku mengaku kalah dan seperti yang sudah kujanjikan, aku bersama semua anggauta Kui-jiauw-pang mengangkatmu sebagai pimpinan. Akan tetapi aku minta agar dapat menjadi saudara kalian dan di sebut Sam Ok (Jahat Ketiga). Bagaimana?"

Toa Ok dan Ji Ok saling pandang dan mereka berpikir. Mendapatkan pembantu seperti Ang I Sianjin amat menguntungkan, apalagi beserta seratus orang lebih anggauta Kui-jiauw-pang yang boleh diandalkan.

Sebaliknya kalau mereka menolak, tentu pernyataan taluk dari Ang I Sianjin hanya pada lahirnya saja, dan orang itu hanya akan menjadi musuh dalam selimut yang berbahaya.

"Baiklah, Sam-ok!" kata Toa Ok.

Ji Ok tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, bagus sekali! Kami senang sekali mempunyai saudara ketiga, dan sekarang kita harus merayakan peristiwa ini, Sam Ok!"

Diam-diam Ang I Sianjin juga merasa girang. Dia tahu bahwa banyak orang yang memiliki kepandaian tinggi sedang berlumba untuk memperebutkan Pek-lui-kiam.

Tadinya dia mengandalkan anak buahnya yang banyak. Akan tetapi ternyata anak buahnya yang banyak itu tidak mampu melindunginya dari Toa Ok dan Ji Ok. Kini, dengan bergabung menjadi satu, mereka bertiga merupakan kekuatan yang dapat menentang siapapun juga, di tambah lagi dengan anak buahnya.

Bagaimanapun juga, kekalahannya dan kehilangan pedang pusaka itu tidak membuatnya kehilangan muka karena dia bahkan kini menjadi Sam Ok, kedudukan yang lebih besar daripada ketua Kui-jiauw-pang. Dengan julukan Sam Ok, berarti dia terangkat menjadi anggauta dari persaudaraan yang dikenal sebagai datuk barat!

Ang I Sianjin atau Sam Ok berpaling memandang anak buahnya dan dia berkata dengan lantang. "Kalian semua tentu telah melihat dan mendengar! Mulai saat ini, kalian memanggil Toa Ok dengan Toa-pangcu (Ketua Pertama), Ji Ok dengan Ji-pangcu (Ketua Kedua) dan aku Sam Ok dengan Sam-pangcu (Ketua Ketiga).

Mengertikah kalian semua? Kalian sekarang dipimpin oleh tiga orang ketua sehingga kedudukan kita semakin kuat!"

Para anak buah itu sudah melihat sendiri kehebatan ilmu kepandaian dua orang datuk itu, maka dengan serentak mereka menjawab dengan sorakan gembira.

Sam Ok lalu memerintahkan anak buahnya untuk mengadakan pesta merayakan peristiwa itu dan mereka makan minum dengan penuh kegembiraan.

=====ooOoo=====

Gadis yang mendaki Kui-liong-san dari barat itu amat cantik dan gagah. Mukanya bulat telur, hidungnya kecil mancung, bibirnya merah membasah, dan setitik tahi lalat menghias dagunya, menambah kemanisan wajahnya.

Tubuhnya ramping padat dan langkahnya gemulai namun tetap. Gadis itu masih muda, paling banyak sembilanbelas tahun usianya. Rambutnya yang hitam dan panjang lebat itu digelung ke atas, dihias dengan tusuk konde perak berbentuk teratai.

Setelah agak lama memandang ke arah puncak Kui-liong-san, tanpa ragu lagi mulailah ia mendaki bukit itu. Melihat seorang gadis muda melakukan perjalanan seorang diri di tempat sunyi dan berbahaya itu, mudah di duga ia tentulah seorang gadis kangouw yang memiliki ilmu silat tinggi. Hal ini diperkuat lagi dengan adanya sebatang pedang yang tergantung dipunggungnya.

Memang ia bukan gadis biasa yang lemah. Sama sekali bukan. Ia adalah seorang gadis yang memiliki ilmu silat yang tangguh sekali.

Ia adalah Pek Bwe Hwa yang telah kita kenal. Gadis perkasa ini pernah berjumpa bahkan bertanding melawan Si Kong ketika ia menjadi tamu ketua Hek I Kaipang.

Setelah bertanding mereka saling mengenal dan bersahabat. Akan tetapi Si Kong segera pergi sehingga Bwe Hwa tidak sempat mengenalnya lebih baik.

Gadis itu meninggalkan kota Ci-bun dan melanjutkan perjalanannya mencari dan ikut memperebutkan pedang pusaka Pek-lui-kiam seperti yang dipesan ayahnya.

Pek Bwe Hwa adalah puteri dan anak tunggal dari pendekar besar Pek Han Sing. Ibunya adalah Siangkoan Bi Lian yang pernah menggemparkan dunia persilatan pula.

Ia mewarisi ilmu-ilmu dari ayah dan ibunya, bahkan tahi lalat di dagunya itu persisi ibunya. Bwe Hwa memiliki kekerasan dan keberanian hati seperti ibunya, namun memiliki ketenangan seperti ayahnya.

Dalam usianya yang sembilanbelas tahun itu, ia telah mahir ilmu silat Pek-sim-pang yang dimainkan dengan tongkat, ilmu Kwan Im Kiam-sut dan Kwan Im Sin-kum, ilmu pedang dan ilmu silat tangan kosong yang lemah lembut namun menyembunyikan daya serang yang amat kuat,

Kim-ke Sin-kun (Silat Sakti Ayam Emas), dan selain semua ilmu silat yang tinggi-tinggi itu, ia masih mempelajari ilmu sihir dari ayahnya! tidak mengherankan kalau ayah bundanya merelakan ia pergi merantau, ikut memperebutkan Pek-lui-kiam karena mereka yakin Bwe Hwa cukup kuat untuk menjaga diri sendiri.

Biarpun masih muda, namun Bwe Hwa memiliki kebijaksanaan seperti ayahnya. Juga nama besar ayahnya amat menolongnya ketika ia mencari keterangan tentang pedang pusaka Pek-lui-kiam.

Akhirnya ia mendapat keterangan tentang pedang pusaka itu berada di tangan Ang I Sianjin, ketua Kui-jiauw-pang yang amat terkenal.

Bwe Hwa mendapat pesan dari ayah ibunya bahwa kalau pedang pusaka itu terjatuh ke tangan penjahat, ia harus berusaha untuk merampasnya, akan tetapi kalau terjatuh ke tangan seorang pendekar budiman, ia bahkan harus membela pendekar itu kalau diganggu orang jahat.

Kini ia mendengar betapa Kui-jiauw-pang merupakan sebuah perkumpulan orang-orang kejam dan jahat yang sudah sangat terkenal mempunyai pengaruh besar sekali terhadap dunia kangouw di sekitar daerah Kui-liong-san.

Karena itulah maka Bwe Hwa pada pagi hari itu telah tiba dikaki gunung Kui-liong-san.

Matahari telah naik tinggi, namun sinarnya masih belum dapat menembus kegelapan hutan yang dimasuki Bwe Hwa itu. Di dalam hutan itu, cuaca masih remang-remang dan sinar matahari hanya dapat menyusup masuk melalui celah-celah daun pohon. Namun pemandangan itu sungguh indah. Sinar-sinar matahari itu membentuk garis-garis keputihan karena disambut hawa lembab yang keluar dari tanah yang selalu terlindung pohon-pohon itu.

Bwe Hwa melangkah terus. Pagi-pagi tadi ia sudah berhenti di sebuah dusun dan sarapan di sebuah kedai bubur yang sederhana. Penjaga kedai itu terbelalak ketika mendengar bahwa gadis itu hendak mendaki Kui-liong-san.

"Maaf, nona. Nona hendak mendaki Kui-liong-san, mempunyai keperluan apakah?" tanya kakek penjual bubur itu.

Bwe Hwa tersenyum. "Aku mendaki gunung untuk pesiar, paman."

Orang itu memandang penuh kekhawatiran. "Ah, nona keliru memilih tempat untuk pesiar! Kui-liong-san bukan tempat untuk pesiar, nona. Disana menanti bahaya-bahaya maut bagi siapa saja yang berani memasuki hutan-hutan di bukit itu."

"Bahaya apakah, paman?" tanya Bwe Hwa, pura-pura tidak tahu padahal ia sudah mendengar bahwa bukit itu menjadi sarang perkumpulan Kui-jiauw-pang yang tersohor jahat.

"Apakah nona belum mendengar? Gunung itu mempunyai hutan-hutan yang liar, penuh dengan binatang-binatang buas yang berbahaya sekali!"

Bwe Hwa tersenyum lagi. "Aku tidak takut kepada binatang buas, paman. Aku mempunyai pedang untuk mengusir kalau ada yang berani menggangguku."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar