09 Pedang Naga Hitam

Kun Liong menggeleng kepalanya. "Aku tidak menantang siapa pun, akan tetapi aku tidak ingin melihat orang-orang menggunakan kepandaian untuk melakukan kejahatan, apalagi terhadap Siauw-lim-pai. Karena itu, harap Sam-wi (Tuan Bertiga) suka pergi lagi dan jangan mengganggu para pimpinan Siauw-lim-pai yang sedang sibuk."

"Bocah lancang! Kau tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa! Manusia sombong seperti engkau layak dlhajar!" Si Muka Merah sudah mengepal tinju dan hendak menerjang maju, akan tetapi Si Pengantuk melarangnya, "Saudara Song, jangan!" Si Muka Merah itu mundur kembali, akan tetapi mukanya menjadi makin merah karena dia marah bukan main. Kini Si Pengantuk melangkah maju menghadapi Kun Liong dan memandang penuh selidik, kemudian berkata, "Sahabat muda, engkau dengan tegas melarang kami memasuki kuil Siauw-lim-si dan menuduh kami hendak mengadakan pengacauan.

Agaknya engkau salah sangka. Kami bukan berniat melakukari kekacauan, karena itu harap engkau jangan menghalangi kami." Kun Liong menggeleng kepalanya. "Melihat sikap kalian, aku tidak dapat percaya dan aku menduga bahwa tentu engkau tidak mempunyai niat baik. Akan tetapi, kalau engkau suka memberi tahu kepadaku apa niat kedatangan kalian bertiga, aku akan melaporkan kepada Ketua Siauw-lim-pai dan kalian menanti dulu di s ini." Akan tetapi Si Pengantuk masih kelihatan tenang dan sabar. "Orang muda, kami memang ada urusan penting dengan Ketua Siauw-lim-pai, akan tetapi urusan ini tidak dapat kuberitahukan kepada siapapun juga."

"Kalau begitu menyesal sekali, harap kalian suka pergi lagi saja." Kun Liong berkata tegas.

"Kalau kami tidak mau dan hendak terus memasuki kuil?"

"Terpaksa aku mencegah kalian."

"Orang muda, engkau menantang kami?"

"Nah, lagi-lagi aku dituduh menantang!" Kun Liong tersenyum. "Engkau ini orang tua disebut tai-hiap yang berarti pendekar besar dan dengan sendirinya tentu seorang pendekar maklum akan duduknya perkara. Sam-wi datang hendak memaksa memasuki kuil, aku sebagai seorang yang merasa pula bertanggung jawab akan keselamatan kuil Siauw-lim-si, menolak kedatangan Sam-wi dan minta agar Sam-wi pergi lagi saja, akan tetapi Sam-wi hendak memaksa. Tentu saja kalau Sam-wi memaksa aku akan mencegah. Eh, kini Sam-wi menuduh aku menantang! Benarkah pendapat seperti itu?" Si Pengantuk she Tio berkata, kini suaranya dingin dan tegas. "Orang muda, agaknya engkau memiliki sedikit kepandaian dan terlalu mengandalkan kepandaian itu sehingga berani bicara main-main dengan kami. Minggir dan jangan mencari perkara!"

"Kalian yang terlalu, aku tidak mau minggir."

"Kalau begitu bersiaplah kau, orang muda. Mari kita memutuskan urusan ini dengan mengadu kepandalan."

"Aku tidak mau berkelahi." Si Pengantuk tercegang dan bingung juga bagaimana harus bersikap terhadap pemuda gundul yang aneh ini. Si Muka Merah sudah membentak lagi, "Dia pengecut!"

"Aku tidak takut kepada kalian bertiga, pasti bukan pengecut," bantah Kun Liong yang tersinggung juga disebut pengecut.

"Kalau berani, majulah!" tantang Si Muka Merah.

"Tentu saja berani, akan tetapi aku tidak suka berkelahi!"

"Eh, orang muda! Engkau bersikap menantang kami akan tetapi menyatakan tidak suka berkelahi, sebenarnya apakah maksudmu!"

"Maksudku sudah jelas, Tai-hiap. Aku minta agar kalian bertiga tidak memasuki kuil dan suka pergi dengan aman dan damai. Nah, bukankah kita tidak saling mengganggu dan urusan dapat dihabiskan sampai di sini saja?"

"Bocah sombong! Tio-taihiap, biar aku menghajarnya!" orang she Song yang bermuka merah tak dapat menahan kemarahannya lagi karena merasa bahwa pemuda gundul itu sengaja mempermainkan mereka. Teriakannya ini disusul dengan gerakan tubuhnya yang sudah menerjang maju dan mengirim pukulan tangan kanannya ke arah dada Kun Liong.

Pukulan kasar ini biarpun dilakukan dengan pengerahan sin-kang dan cepat serta keras sekali datangnya, bagi Kun Liong yang sudah dapat mengukurnya bukan merupakan serangan berbahaya. Karena itu, pemuda ini sama sekali tidak mau mengelak atau menangkis, melainkan dia menerima pukulan dengan dadanya sambil mengerahkan tenaga sin-kang yang dahulu dipelajarinya dari Bun Hwat Tosu.

Dengan sin-kang yang sama, Bun Hwat Tosu dahulu pernah menerima pukulan Hek-tok-ciang (Tangan Beracun Hitam) dari Ketua Ui-hong-pang tanpa terluka, bahkan Si Ketua itu sendiri yang terluka tangannya oleh pukulan sendiri yang membalik hawanya.

"Bukkkk!" Keras sekali datangnya pukulan itu, mengenai dada Kun Liong dan membuat tubuh pemuda gundul itu terguncang, namun berkat tenaga sin-kang yang menolak dan membetot, tangan yang memukul itu meleset seolah-olah memukul karet yang amat keras dan Si Muka Merah itu meringis ketika tangannya menyeleweng dan tubuhnya terpental sampai terhuyung ke kiri! Ketika dia melihat ke arah tangan kanannya, tangannya itu telah bengkak-bengkak! Dan ketika dia melirik ke arah pemuda gundul itu, Si Pemuda masih berdiri tegak dengan sikap tenang dan mulut tersenyum.

"Hemm, tukang pukul orang! Masih ada lagikah pukulanmu yang lunak seperti tahu tadi?" Kun Liong mempermainkan Si Muka Merah yang menjadi marah sekali. Dengan tangan kirinya, Si Muka Merah sudah meraba punggung dan tampaklah sinar berkilauan ketika dia telah mencabut pedangnya.

"Saudara Song, jangan main senjata!" Si Pengantuk menegur.

"Sute, mundurlah!" Orang bermuka pucat she Kui yang menjadi suheng dari Si Muka Merah sudah meloncat ke depan.

Gerakannya lincah, ringan dan cepat bukan main. Sekaii pandang saja, tahulah Kun Liong bahwa kepandaian Si Muka Pucat ini lebih lihai darlpada Si Muka Merah yang kasar. Begitu menyerang, Si Muka Pucat she Kui itu telah mengirm totokan halus yang cepat sekali ke arah leher dan pundak Kun Liong.

Biarpun dia sama sekali belum berpengalaman, namun berkat bimbingan dua orang sakti yang berilmu tinggi, pandang mata Kun Liong menjadi awas sekali. Dia maklum bahwa amat berbahayalah untuk melindungi tubuhnya dengan sin-kang seperti yang dilakukannya tadi karena kini yang menjadi sasaran serangan lawan adalah jalan darah yang lemah dan totokan lawan itu selain cepat juga mengandung hawa pukulan yang amat kuat. Maka dia pun lalu menggerakkan tubuh mengelak dan begitu dia bergerak, Si Pengantuk menahan seruannya saking kagum. Gerakan Kun Liong jauh lebih cepat daripada gerakan Si Muka Pucat dan serangan bertubi-tubi yang dilanjutkan oleh orang she Kui itu selalu tak dapat berhasil, kalau tidak dielakkan tentu kena ditangkis secara tepat sekali oleh Kun Liong. Tidaklah mengherankan kalau semua serangan itu gagal karena Kun Liong sudah melindungi dirinya dengan gerakan Ilmu Silat Sakti Im-yang-sin-kun bagian pertahanan.

Si Pengantuk yang memperhatikan dengan teliti gerakan Kun Liong, terkejut menangkap dasar-dasar Ilmu Silat Siauw-lim-pai, akan tetapi ilmu silat yang dimainkan pemuda itu hanya mempunyai dasar ilmu silat Siauw-lim-pai, sedangkan perkembangan dan gerakannya sama sekali tidak dia kenal!

Padahal, biasanya dia boleh berbangga bahwa jarang ada ilmu silat yang tidak dikenalnya, apalagi ilmu silat yang berdasar Siauw-lim-pai.

Ketika kakek pengantuk itu melihat betapa pemuda gundul itu sama sekali tidak membalas serangan temannya, namun semua serangan temannya itu sama sekali tidak pernah berhasil tahulah dia bahwa temannya she Kui itu pun bukan lawan pemuda gundul yang amat aneh ilmu silatnya itu. Maka dengan gerakan ringan sekali seperti seekor burung terbang dia sudah meloncat ke depan, menyambar lengan temannya, menarik sambil berseru, "Mundurlah, Saudara Kui!" Tubuh orang she Kui yang bermuka pucat itu tertarik dan melayang meninggalkan lawan. Kun Liong yang kehilangan lawan itu memandang kaget ketika melihat betapa tahu-tahu lawannya telah berganti orang, yaitu Si Pengantuk yang ia tahu amat lihai.

"Sam-wi benar-benar keras kepala dan ingin mengandalkan kepandaian untuk memaksakan kehendak sendiri!" Kun Liong mencela, namun tetap siap siaga menghadapi lawan yang ia tahu tak boleh dipandang ringan itu.

"Orang muda, engkaulah yang keras kepala. Pergilah!" Si Pengantuk sudah menyerang, akan tetapi gaya serangannya jauh berbeda dengan gerakan kedua orang temannya tadi, Si Pengantuk ini hanya menggerakkan tangan kirinya, dan ujung jari tangan kirinya melecut seperti ujung cambuk yang lemas, mengarah leher dan pundak Kun Liong.

Pemuda itu terkejut bukan main. Biarpun serangan itu kelihatannya bersahaja dan tidak sungguh-sungguh, namun kepretan tangan itu mendatangkan hawa pukulan yang panas sekali! Tentu saja dia tidak berani menerima serangan sehebat itu, maka cepat dia pun mengerahkan tenaganya ke arah tangan, menggerakkan tangan kanannya menangkis jari-jari tangan lawan itu dan dari tangannya mengepul uap putih.

"Plak! Plakkk!" Kakek pengantuk itu mencelat mundur dengan terkejut sekali. Ternyata bahwa lengan pemuda gundul itu mampu menangkis kepretan ujung jari tangannya, padahal dia tahu benar bahwa jarang ada orang kang-ouw yang sanggup menangkisnya tanpa terdorong mundur atau terluka tangannya. Pemuda itu menangkis dengan kekuatan dahsyat dan sama sekali tidak kelihatan menderita! Bahkan tangan pemuda itu mengeluarkan uap putih yang aneh! Lagi-lagi dia tadi telah mempergunakan Pek-in-ciang yang dipelajarinya dari Tiang Pek Hosiang.

Kalau lawannya terkejut dan terheran, Kun Liong juga kagum sekali ketika merasa betapa hawa tamparan ujung jari itu membuat lengannya tergetar hebat. Makin yakinlah hatinya bahwa lawannya ini benar-benar berilmu tinggi!

"Orang muda, terpaksa aku tidak boleh mengalah lagi kepadamu!" Kakek pengantuk itu berkata, kedua lengannya bergerak dan terdengarlah suara berkerotokan seolah-olah seluruh tulang-tulang lengannya patah-patah! Kun Liong yang belum berpengalaman, memandang dengan mata terbelalak dan hati ngeri karena dia dapat menduga bahwa tentu kakek itu mengeluarkan ilmunya yang mujijat.

"Omitohud... harap tahan dulu, Tio-taihiap...!" Si Pengantuk dan Kun Liong yang sudah siap untuk bertanding mati-matian karena maklum bahwa lawan tak boleh dibuat main-main, segera melangkah mundur dan menoleh. Kiranya Thian Kek Hwesio sendiri, Ketua Siauw-lim-pai yang telah berada di situ. Melihat kakek ini, Si Pengantuk cepat menjura dengan hormat diikuti dua orang temannya dan Si Pengantuk berkata, "Harap Thian Kek-suhu suka memaafkan kami..." Thian Kek Hwesio memandang Kun Liong dengan terheran-heran lalu bertanya, "Yap-sicu, apakah yang telah terjadi?" Kun Liong sudah merasa terkejut dan menyesal sekali karena ternyata bahwa tiga orang itu benar-benar mengenal Ketua Siauw-lim-pai! Dengan terus terang dia menjawab, "Karena teecu curiga kepada mereka dan mengira mereka datang untuk mengacau Siauw-lim-si, maka teecu melarang mereka memasuki kuil sehingga terjadi pertengkaran." Hwesio tua itu tampak kaget sekali. "Aihhh... engkau tidak tahu siapa yang kautentang ini, Sicu!" Dia kembali menghadapi Si Pengantuk dan menjura sambil berkata, "Harap Taihiap sudi memaafkan Yap-sicu yang masih amat muda.

Sesungguhnya Yap-sicu berniat baik untuk membela Siauw-lim-pai. Dia adalah seorang sahabat kami yang baik... dan Yap-sicu, ketahuilah bahwa taihiap ini adalah Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan dan Tio-taihiap ini adalah pengawal kepala yang mulia Panglima Besar The Hoo!" Si Pengantuk yang ternyata bukan orang sembarangan itu mengangkat tangan ke atas mencegah Ketua Siauw-lim-pai itu melanjutkan perkenalan itu sambil berkata, "Losuhu, marilah kita bicara di dalam saja." Hwesio itu mengangguk-angguk, kemudian mempersilakan mereka semua memasuki kuil. Kun Liong juga ikut masuk sambil memandang dengan penuh perhatian, diam-diam dia terkejut mendengar disebutnya nama Panglima Besar The Hoo tadi. Kiranya kakek pengantuk itu seorang yang berpangkat tinggi! Dan mendengar julukannya, Ban-kin-kwi (Setan Bertenaga Selaksa Kati) dapat diduga bahwa kakek pengantuk itu tentu memiliki sin-kang yang amat kuat. Biarpun dia belum pernah mendengar nama Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan, namun melihat sikap Ketua Siauw-lim-pai itu terhadap Si Pengantuk ini, dia mengerti bahwa kakek pengantuk ini tentu seorang tokoh kang-ouw yang terkenal.

Memang demikianlah, kakek berusia lima puluh tahun yang ketihatan seperti seorang pengantuk itu bukanlah seorang biasa, melainkan seorang yang amat terkenal dan memiliki ilmu kepandaian tinggi. Nama besar Panglima The Hoo siapakah yang tidak mengenalnya? Dan pengawal panglima itu adalah Si Pengantuk ini yang merupakan pengawal paling setia, paling dipercaya oleh Panglima The dan paling lihai.

Melihat orangnya memang sama sekall tidak pantas kalau dia seorang kepala pengawal yang berkedudukan tinggi, lebih patut seorang pemalas yang selalu kurang tidur! Aken tetapi, pengawal itulah yang selalu mengawal Sang Panglima ketika Panglima Besar The Hoo melakukan pelayaran memimpin armada sampai jauh menyeberangi lautan dan menjelajah di negara-negara asing.

Adapun dua orang temannya itu adalah dua orang pengawal yang menjadi anak buahnya. Mereka juga bukan orang-orang biasa, melainkan kakak beradik seperguruan yang tentu saja sudah memiliki kepandaian tinggi untuk dapat diterima menjadi pengawal-pengawal Panglima The Hoo. Si Muka Pucat itu bernama Kui Siang Han, berusia empat puluh lima tahun sedangkan sutenya, Si Muka Merah bernama Song Kin berusia empat puluh tahun.

Ketika Tio Hok Gwan dan dua orang temannya memasuki kuil dan melihat dua buah peti jenazah, dia terkejut bukan main. Apalagi ketika mendapat keterangan bahwa peti-peti itu terisi jenazah Tiang Pek Hosiang dan Thian Le Hwesio!

"Ah... maafkan kami yang sama sekali tidak tahu akan hal yang menyedihkan ini dan berani datang mengganggu!" katanya dan cepat dia bersama dua orang anak buahnya lalu menyalakan hio (dupa) dan bersembahyang di depan kedua peti mati dengan penuh khidmat.

Setelah selesai sembahyang, tiga orang pengawal itu segera bertanya apa yang menyebabkan kematian dua orang tokoh Siauw-lim-pai itu. Thian Kek Hwesio memejamkan mata dan menarik napas panjang sambil merangkap kedua tangan di depan dada. "Omitohud... mati hidup manusia berada di tangan Tuhan, tidak ada yang harus disesalkan dalam menghadapi kematian seseorang. Akan tetapi, kalau Suhu meninggal dunia dengan wajar karena usia beliau sudah amat tua, adalah Sute Thian Le Hwesio meninggal secara menyedihkan sekali." Dia lalu menceritakan betapa rombongan piauwsu yang tidak tahu-menahu datang membawa peti yang terisi jenazab Thian Le Hwesio yang terbunuh orang!

"Sungguh penasaran sekali!" Tio Hok Gwan berseru. "Ini merupakan tanda bahwa kaum sesat di dunia kang-ouw sudah mulai berani bergerak lagi!" Tentu saja hati pengawal ini menjadi penasaran karena semenjak Panglima The Hoo melakukan pembersihan, kaum sesat di dunia persilatan banyak yang terbasmi dan tidak berani sembarangan bergerak. Kini, wakil Ketua Siauw-lim-pai terbunuh, berarti bahwa kaum sesat agaknya sudah mulai berani unjuk gigi dan merupakan tantangan tak langsung kepada pemerintah!

Ketika diperkenalkan kepada tiga orang pengawal itu, Kun Liong lalu menjura dan berkata, "Harap Tio-taihiap bertiga suka memaafkan saya yang karena tidak mengenal telah bersikap kurang hormat." Orang she Tio itu memandang Kun Liong dengan mata hampir terpejam, kemudian mengangguk-angguk dan memuji, "Yap-sicu tidak usah bersikap sungkan. Kami kagum sekali melihat kegagahan Sicu, dan tidak merasa heran setelah mendengar bahwa Sicu adalah putera tunggal Yap Cong San yang kami kenal. Siauw-lim-pai boleh merasa beruntung mempunyai seorang sahabat seperti Sicu yang setia dan menjaga Siauw-lim-pai dengan gagah." Sebagai tamu-tamu yang dihormati, tiga orang itu dijamu makan oleh para pimpinan Siauw-lim-pai dan mereka pun tidak bersikap sungkan dan menerima undangan makan, sungguhpun hidangannya hanya terdiri dari masakan tak berdaging yang bersahaja dan minumnya hanya air dan teh tanpa setetespun arak! Kun Liong yang dianggap "keluarga sendiri" juga hadir. Setelah selesai makan, barulah Ketua Siauw-lim-pai bertanya, "Pinceng mengerti bahwa kedatangan Sam-wi tentulah membawa urusan yang amat penting.

Pinceng harap Sam-wi tidak bersikap sungkan, dan biarpun di sini sedang tertimpa malapetaka, namun kami selalu siap untuk membantu Sam-wi. Maka harap Sam-wi suka menjelaskan urusan apa yang Sam-wi bawa dari kota raja." Tio Hok Gwan menarik napas panjang, agaknya sukar baginya untuk membuka mulut menceritakan keperluan kedatangannya. Akhirnya dia berkata setelah beberapa kali meragu, "Memang benar apa yang Losuhu katakan. Kalau kami tahu bahwa di Siauw-lim-pai terjadi hal yang amat menyedihkan ini, tentulah kedatangan kami hanya khusus untuk melayat dan berkabung. Akan tetapi karena kami tidak tahu, sebaiknya kami berterus terang saja. Kami memang sedang melaksanakan tugas, Losuhu, dan kami datang sebagai utusan pribadi dari Panglima The sendiri." Thian Kek Hwesio cepat bangkit berdiri dan menjura penuh hormat kepada tiga orang itu, "Pinceng dan para anak murid Siauw-lim-pai siap untuk melaksanakan perintah Yang Mulia Panglima The."

"Terima kasih atas kebaikan Losuhu. Sebetulnya tidak ada permintaan sesuatu kepada Losuhu dan Siauw-lim-pai, hanya kami diutus melakukan penyelidikan dan mengingat akan luasnya pengaruh dan hubungan Siauw-lim-pai dengan dunia kang-ouw, kami ingin mohon bantuan Siauw-lim-pai dalam hal ini." Thian Kek Hwesio menarik napas lega. Jelas, bahwa urusan itu tidak langsung menyangkut Siauw-lim-pai sehingga tidak akan timbul hal-hal yang tidak diinginkan. Dengan sikap ramah dia berkata, "Harap Tio-taihiap tidak bersikap sungkan dan ceritakanlah, bantuan apa yang dapat kami berikan kepada Taihiap demi terlaksananya perintah yang mulia itu." Tio Hok Gwan lalu bercerita dengan suara perlahan namun jelas, "Panglima The telah kehilangan sebuah pusaka, belasan tahun yang lalu dan hal ini tadinya dirahasiakan saja dan tidak dibocorkan ke luar karena telah diketahui bahwa yang mencuri dan melarikan pusaka itu adalah seorang pengawal panglima sendiri. Diam-diam panglima mengutus orang-orang kepercayaannya untuk melakukan pengejaran dan mencari pengawal yang mencuri pusaka itu. Namun semua usaha sia-sia belaka, sampai terdengar kabar bahwa pengawal yang berkhianat itu ternyata telah kehilangan pusaka yang dicurinya, dan kabarnya pusaka itu hilang tenggelam di Sungai Huang-ho. Sepuluh tahun yang lalu, pengawal khianat itu terbunuh bersama anak buahnya yang telah menjadi bajak sungai, dan pusaka itu masih belum diketahui berada di mana.

Hanya ada kabar angin yang mengatakan bahwa pusaka itu telah diangkat dari dasar sungai, akan tetapi tidak seorang pun tahu siapa yang membawanya. Kemudian kami mendengar berita pula bahwa pada saat pergawal khianat dan anak buahnya tewas, di sekitar daerah itu tampak bayangan Siang-tok Mo-li. Kami masih meragukan semua berita itu dan mengingat akan pengetahuan Losuhu yang amat luas, kami sengaja datang menghadap mohon petunjuk." Jantung Kun Liong berdebar tegang mendengar penuturan itu. T idak salah lagi tentu bokor emas yang dimaksudkan oleh Tio Hok Gwan ini. Dia mendengar disebutnya nama Siang-tok Mo-li, teringat dia kepada Bi Kiok yang manis!

Bi Kiok tentu sekarang telah menjadi seorang dara yang cantik manis! Dan dara itu pernah monolongnya, dua kali malah telah menolongnya. Pertama ketika bersama mendiang kakeknya, Bi Kiok menyelamatkannya dari gelombang air Sungai Huang-ho. Kedua kalinya ketika Bi Kiok membebaskannya pada waktu dia menjadi tawanan para tokoh Pek-lian-kauw dan Ketua Ui-hong-pang. Betapa manisnya anak itu! Kun Liong tak sengaja tersenyum ketika membayangkan wajah Bi Kiok.

Melihat pemuda gundul itu tersenyum-senyum, diam-diam Tio Hok Gwan melirik dengan penuh perhatian dan selidik.

Sementara itu, Thian Kek Hwesio sudah berkata, "Pinceng sendiri tidak pernah mendengar akan urusan itu, Taihiap. Akan tetapi pinceng akan mengumpulkan semua anak murid dan memperingatkan mereka agar memasang mata telinga, juga bertanya-tanya di dunia kang-ouw kepada para sahabat.

Tentu saja kami akan segera melapor kalau ada berita bahkan pinceng akan memerintahkan kepada para anak murid untuk membantu Taihiap mendapatkan kembali pusaka itu."

"Terima kasih atas kebaikan hati Losuhu. Eh, Yap-sicu, agaknya Sicu mempunyai suatu pendapat yang ada hubungannya dengan urusan ini, bukan?" Kun Liong yang sedang termenung membayangkan wajah Bi Kiok yang manis itu, terkejut mendengar teguran ini. "Ahh, saya hanya merasa heran mengapa seperti yang sering kali saya dengar, di dunia kang-ouw banyak terjadi perebutan pusaka-pusaka. Pusaka apa pula yang Taihiap ceritakan tadi?"

Sebuah senjatakah ataukah sebuah kitab?"

"Benar sekali pertanyaan itu, pinceng sendiri pun perlu mengetahui apa macamnya Pusaka yang hilang itu." Thian Kek Hwesio berkata.

"Pusaka dari The-ciangkun itu adalah sebuah bokor emas kuno yang amat berharga."

"Sebuah bokor emas...?" Thian Kek Hwesio berkata sambil mengangguk-angguk.

"Kalau hanya emas yang merupakan harta, mengapa orang-orang gagah di dunia kang-ouw sampai berebutan?"

Sungguh tiada bedanya dengan para perampok saja sikap ini!" Kun Liong berkata lagi, diam-diam jantungnya makin keras berdebar karena ternyata dugaannya tepat, pusaka yang dimaksudkan itu adalah bokor emas yang telah dia sembunyikan!

Tio Hok Gwan menghela napas panjang. "Agaknya engkau tidak tahu, Yap-sicu. Kalau hanya emas belaka, kiranya Panglima The tidak akan menyimpannya dan menganggapnya sebagai sebuah pusaka yang berharga. Kami hanya mengharapkan bantuan Losuhu, juga bantuan Yap-sicu yang kami anggap sebagai orang sendiri sehingga kami ceritakan semua tentang pusaka."

"Jangan khawatir, Taihiap. Setelah kami selesai dengan perkabungan kami, tentu kami akan bekerja keras membantu melakukan penyelidikan tentang bokor emas itu," kata Thian Kek Hwesio.

"Saya pun akan berusaha membantu, Tio-taihiap. Saya akan membantu menyelidiki dan kalau saya beruntung dapat menemukan benda pusaka itu, tentu akan saya persembahkan sendiri kepada Panglima The yang mulia." Thio Hok Gwan menghaturkan terima kasih, kemudian bersama kedua orang pembantunya, dia segera berpamit den meninggalkan kuil yang sedang berkabung itu. Kun Liong tetap tinggal di dalam kuil, membantu persiapan yang diadakan oleh Siauw-lim-pai untuk menerima kedatangan para tamu yang tentu akan membanjiri Siauw-lim-si untuk memberi penghormatan terakhir kepada jenazah dua orang tokoh besar itu. Selain merasa berkewajiban untuk membantu, juga Kun Liong sengaja hendak menanti dengan penuh harapan ayah bundanya akan datang pula ke Siauw-lim-si.

Ayahnya adalah murid Tiang Pek Hosiang dan bekas tokoh Siauw-lim-pai, dia merasa yakin ayahnya akan datang kalau mendengar akan kematian Tiang Pek Hosiang dan Thian Le Hwesio yang menjadi suhengnya. Selain mengharapkan kedatangan ayah bundanya di kuil Siauw-lim-si, juga Kun Liong ingin sekali mellhat dan bertemu dengan para tokoh kang-ouw yang diduga tentu akan datang memberi penghormatan terakhir kepada jenazah seorang tokoh besar seperti Tiang Pek Hosiang.

Kita tinggalkan dulu kuil Siauw-lim-si yang sedang berkabung dan mari kita tengok keadaan Pendekar Sakti Cia Keng Hong dan keluarganya yang merupakan tokoh-tokoh penting dalam cerita ini.

Seperti telah diceritakan di bagian depan, lima tahun yang lalu, ketika Kun Liong berusia lima belas tahun dan dia pergi ke Cin-ling-san mencari ayah bundanya, dan hanya bertemu dengan Cia Giok Keng, puteri tunggal keluarga pendekar itu, karena pada waktu itu Cia Keng Hong den isterinya sedang turun den mereka justeru pergi ke kota Leng-kok, mengunjungi sahabat baik mereka, yaitu Yap Cong San suami isteri.

Dengan perasaan penuh harap dan gembira karena akan dapat berjumpa dengan sahabat-sahabat mereka, Cia Keng Hong dan isterinya, Sie Biauw Eng, memasuki kota Leng-kok.

Mereka berjalan kaki memasuki kota itu dengan wajah berseri gembira. Kalau orang melihat mereka sepintas lalu, tentu akan mengira bahwa mereka itu hanyalah dua orang pelancong biasa saja karena tidak ada apa-apa yang menonjol pada diri mereka, kecuali bahwa mereka merupakan sepasang suami isteri setengah tua yang tampan dan cantik. Cia Keng Hong sudah berusia empat puluh tahun, tampak gagah dan tampan, dengan kumis dan jenggotnya yang panjang, akan tetapi tidak terlalu panjang. Rambutnya digelung ke atas dan dibungkus sehelai kain kepala berwarna kuning. Tubuhnya masih tegap dan langkahnya seperti seekor harimau. Pakaiannya longgar dan sederhana, jubah yang panjang menyembunyikan pedang Siang-bhok-kiam yang terselip di pinggangnya. Pedang Kayu Harum ini pernah menggegerkan dunia kang-ouw belasan tahun yang lalu (baca ceritaPedang Kayu Harum ). Kalau ada yang dapat menduga bahwa dia pandai ilmu silat, agakhya hanya karena sepatunya, sepatu kulit yang tinggi, kuat dan biasa dipergunakan merantau.

Isterinya, Sie Biauw Eng, masih tampak cantik jelita walaupun usianya sudah mendekati empat puluh tahun.

Tubuhnya masih ramping padat, kedua pipinya belum diserang keriputan, masih halus putih dan agak kemerahan karena sehari itu dia berjalan kaki sampai jauh. Juga nyonya cantik ini tidak kelihatan membawa senjata. Siapa yang akan menyangka bahwa sabuk sutera putih yang dengan indahnya membelit pinggang ramping itu merupakan senjata maut yang belasan tahun lalu menimbulkan kengerian di dalam hati setiap orang lawan? Pakaiannya juga sederhana namun bersih dan tidak dapat menyembunyikan bentuk tubuhnya yang matang dan padat itu. Seperti suaminya, dia pun memakai sepatu kulit yang tinggi.

Biarpun kenyataan bahwa suami isteri ini melakukan perjalanan jauh berdua saja sudah menimbulkan dugaan bahwa mereka bukanlah orang-orang lemah, namun kiranya tidak akan ada orang yang pernah mimpi bahwa pria itu adalah Pendekar Sakti Cia Keng Hong yang lebih terkenal dengan julukan yang diberikan karena pedangnya, yaitu Siang-bhok-kiam. Dan siapa yang akan mengira bahwa wanita cantik yang wajahnya berseri dan bibirnya selalu tersenyum itu adalah Sie Biauw Eng, yang di waktu masih gadis dahulu berjuluk Song-bun Siu-li (Dara Cantik Berkabung)? Nama julukan yang amat terkenal di kalangan kaum sesat?"

Pada waktu itu, kiranya tidak ada tokoh kang-ouw atau datuk kaum sesat yang lebih terkenal daripada Siang-bhokkiam Cia Keng Hong dan isterinya, Song-bun Siu-li Sie Biauw Eng. Bahkan Cinling-pai yang sebetulnya hanya sekumpulan penduduk dusun pegunungan, karena diketuai dan dipimpin oleh Cia Keng Hong, menjadi amat terkenal dan disegani dunia kang-ouw.

Sambil menoleh ke kanan kiri memandangi bangunan-bangunan di dalam kota Leng-kok, Sie Biauw Eng berkata, "Aihhh, sungguh banyak kemajuan terjadi di dalam kota ini. Hampir aku tidak mengenalnya lagi, padahal baru beberapa tahun kita tidak melihat Leng-kok." Cia Keng Hong tersenyum, "Kaukira baru berapa tahun?"

Jangan mimpi, sudah lima belas tahun kita tidak pernah ke sini dan lima belas tahun bukanlah waktu singkat, tentu saja banyak terjadi perubahan."

"Hemmm, waktu berlalu dengan cepat sekali, tanpa terasa belasan tahun telah lewat! Betapapun juga, kemajuan di Leng-kok mengagumkan dan aku yakin bahwa jasa Cong San dan Yan Cu dalam kota ini tidaklah kecil."

"Tentu saja! Mereka merupakan tabib-tabib yang terkenal di sini, agaknya tentu tidak ada seorang pun penduduk yang belum pernah mereka tolong. Kuharap saja putera mereka mewarisi kegagahan ayah bundanya sehingga tidak akan mengecewakan hati kita."

"Hem, mengapa kita akan kecewa andaikata anak mereka itu tidak seperti yang kita harapkan?" Sie Biauw Eng bertanya, "Anak itu bukanlah kita, dan harapan kita belum tentu sama dengan harapan orang tuanya. Apa yang kita anggap tidak baik, belum tentu dianggap buruk pula oleh orang lain."

"Wah, isteriku yang baik, lagi-lagi engkau berfilsafat!" Keng Hong menggoda.

"Bukan filsafat. Kau tahu bahwa aku tidak suka akan filsafat muluk-muluk yang hanya menjadi permainan kata-kata kosong belaka. Yang kukatakan tadi adalah kenyataan. Telah menjadi kesalahan kita pada umumnya bahwa kita selalu digoda harapan-harapan akan sesuatu, ingin melihat sesuatu sesuai dengan yang kita kehendaki. Inilah salahnya maka seringkali kita mengalami puas dan kecewa. Kita tidak dapat menerima apa adanya sehingga tidak pernah tenang. Anak Cong San itu... eh, siapa namanya...?"

"Yap Kun Liong, masa kau lupa lagi?"

"Oya, Kun Liong, seperti apa pun dia, kita harus dapat menerima dan melihat dia seperti keadaannya, bebas dari prasangka dan harapan kosong."

"Ah, mana mungkin begitu, isteriku? Dia bukan orang lain, dia calon mantu kita..."

"Hemm, belum juga melihat orangnya, bagaimana sudah hendak memastikan bahwa dia calon jodoh Giok Keng? Kita harus melihatnya dulu, apa sekiranya cocok kalau dijodohkan dengan anak kita. Selain itu, kita pun harus menanyakan pendapat dua orang anak yang bersangkutan itu pula."

"Hemmm... hemmm..."

"Hemm-hemm apa maksudmu?" Biauw Eng memandang suaminya.

"Kalau kau terlalu memanjakan Keng-ji, bahkan dalam soal perjodohan, engkau hanya akan merusak hidupnya..."

"Ehh! Apakah yang kaukatakan ini? Mari kita bicarakan hal ini dulu sebelum kita bertemu Cong San dan Yan Cu."

"Sudahlah, isteriku. Perlukah kita bertengkar setelah tiba di tempat ini? Kita bicarakan urusan jodoh perlahan-lahan..."

"Tidak bisa! Harus sekarang kita bicarakan lebih dulu. Aku mau ketegasan dalam hal ini, itu di sana ada warung, kita berhenti dulu di sana!"

"Tenanglah... ingat akan kandunganmu..." Keng Hong memperingatkan.

"Engkau sih yang bicara tidak beres. Hal ini tidak ada sangkut-pautnya dengan ini... apalagi baru dua bulan... ah, semua gara-gara engkau!" Mereka memasuki warung dan memilih tempat duduk di sudut, jauh dari tamu lainnya. Setelah hidangan yang mereka pesan disediakan, mereka bicara bisik-bisik namun kelihatan serius sekali.

"Semua salahmu! Sampai bingung memikirkan bagaimana harus memberitahukan Giok Keng! Dia sudah lima belas tahun dan... akan mempunyai adik! Betapa terlambatnya! Dan aku sudah tua! Salahmu...!" Suara Biauw Eng mengandung isak tertahan.

"Hishhh! Kenapa hanya aku saja yang salah? Bukankah hal ini akibat perbuatan kita berdua? Sudahlah, isteriku. Perlukah hal seperti ini dibuat cekcok? Engkau masih muda! Siapa bilang engkau sudah tua? Engkau masih patut mempunyai anak lima orang lagi!"

"Ngacau...!" Blauw Eng membentak dan mendelik, akan tetapi melihat suaminya yang tercinta itu tersenyum-senyum, perlahan-lahan kemarahannya mereda dan kedua pipinya menjadi merah.

"Tidak perlu kau bingung, Keng-ji tentu akan menari kegirangan kalau mendengar akan mempunyai seorang adik yang sudah bertahun-tahun diinginkannya."

"Sebetulnya aku pun tidak hendak membicarakan hal kandungan. Aku sudah menerimanya sebagai anugerah Tuhan, akan tetapi engkau sih, membawa-bawa dalam persoalan perjodohan Giok Keng. Apakah engkau akan berkeras kepala mengambil keputusan tentang perjodohan anak kita tanpa mempedulikan perasaan hatinya sendiri?" Keng Hong menarik napas panjang. "Isteriku, Giok Keng masih kanak-kanak, mana mungkin dia mempunyai pendapat tentang jodoh? Kita adalah ayah bundanya, andaikata aku salah pilih, kiranya engkau tidak akan membiarkan saja.

Pilihan kita tentu telah kita pikirkan masak-masak, dan kita tujukan semata demi kebahagiaan anak kita."

"Aku percaya, akan tetapi harus kita sadari bahwa pendapat kita belum tentu sama dengan pendapat Giok Keng.

Pemuda yang kita anggap baik belum tentu menyenangkan hatinya. Suamiku, mengapa kau tidak bersikap bijaksana dalam hal ini? Ingatlah akan riwayat kita sendiri. Perjodohan tidak boleh dipaksakan. Perjodohan harus terjadi atas dasar dorongan hasrat kedua orang anak yang hendak berjodoh itu sendiri. Perjodohan bukan hal main-main, melainkan dilakukan satu kali untuk selama hidup. Sekali salah pilih, akan menderita selamanya."

"Nah, itulah! Karena tidak ingin anak kita salah pilih, sebaiknya kita yang memilihkan, dan kurasa anak suami isteri seperti Cong San dan Yan Cu tentulah baik!"

"Betapapun juga, biarkan dia memilih sendiri."

"Kalau dia yang masih hijau dan bodoh itu salah pilih?"

"Kewajiban kita untuk turun tangan menyadarkannya!"

"Hemm, aku tetap ingin berbesan dengan Cong San."

"Mungkin saja, kalau Keng-ji cocok dan suka kepada Kun Liong. Mengapa engkau bingung seperti kucing hendak bertelur? Kalau memang sudah jodoh, apa yang dikhawatirkan kelak tidak akan bertemu?" Keng Hong merengut. "Gila kau! Masa aku disamakan kucing hendak bertelur? Mana ada kucing bisa bertelur?" Biauw Eng tertawa, girang dapat membalas dan membikin suaminya marah.

"Karena bingungnya, kau seperti kucing hendak bertelur!

Soal jodoh kita bicarakan nanti kalau semua pihak sudah setuju. Mengapa tergesa-gesa? Bukankah kedatangan kita ini untuk mengunjungi mereka dan sekalian melihat bagaimana macamnya putera mereka itu?"

"Ya, sudahlah, asal engkau jangan berkokok ribut seperti ayam hendak beranak!"

"Hehh? Mana ada ayam beranak...? Wah, engkau membalas, ya?" Biauw Eng mencubit lengan suaminya dan keduanya tertawa. Dalam keadaan seperti itu, suami isteri itu masih seperti ketika mereka berbulan madu dahulu! Dan memang demikianlah cinta kasih antara suami isteri yang benar-benar saling mencinta. Tidak ada usia tua, tidak ada keriput, tidak ada uban, tidak ada dan tidak pernah ada istilah buruk bagi mereka yang saling mencinta!

"Husshhh! Malu dilihat orang! Dan kalau tiba-tiba Cong San dan Yan Cu muncul dan melihat kita bukan langsung ke rumah mereka melainkan bersendau-gurau di warung arak, bisa kita dicap sombong!" Keng Hong segera membayar harga makanan, kemudian mereka bergegas keluar dari warung dan langsung menuju ke rumah Yap Cong San yang di kota itu terkenal sebagai Yap-sinshe (Tabib Yap).

Dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka mendengar bahwa suami isteri sahabat baik mereka itu telah kurang lebih lima tahun meninggalkan Leng-kok tanpa pamit dan tak seorang pun mengetahui ke mana mereka pergi.

"Ji-wi (Kalian Berdua) sudah lama sekali terlambat. Yapsinshe dan isterinya, juga puteranya, telah bertahun-tahun pergi."

"Mengapa? Apa yang terjadi?" Keng Hong bertanya, masih dicekam keheranan.

"Mereka... melarikan diri..." Seorang kakek bekas tetangga Yap-sinshe menjelaskan.

"Tidak mungkin!" Biauw Eng berseru. "Mereka bukanlah orang-orang pengecut yang melarikan diri begitu saja! Siapa yang mereka takutkan?"

"Mereka menjadi orang-orang buruan pemerintah."

"Ehhh...?" Keng Hong segera memegang tangan kakek itu dan berbisik, "Harap Loheng sudi menceritakan kepada kami." Kakek itu mengangguk. "Marilah, mari singgah di rumahku dan nanti kuceritakan kepada Ji-wi." Dengan hati berdebar penuh kekhawatiran, Keng Hong dan Biauw Eng mengikuti kakek itu memasuki rumahnya yang sederhana dan miskin. Setelah mereka dipersilakan duduk dan disuguhi air teh, kakek itu lalu bercerita tentang kesalahan Yap-sinshe tidak berhasil mengobati para perwira yang terluka sehingga ditangkap dan kemudian bersama isterinya, Yap-sinshe melarikan diri dari tahanan dan menjadi orang buruan.

"Mengapa tidak berhasil mengobati sampai ditangkap?" Keng Hong bertanya.

Kakek itu menarik napas panjang dan menggerakkan kedua pundaknya. "Aku tidak tahu, akan tetapi agaknya sudah pasti sekali Yap-sinshe bentrok dengan Pembesar Ma, kepala daerah di Leng-kok ini. Apa sebabnya aku tidak tahu, dan agaknya tidak ada orang yang tahu kecuali mereka sendiri."

"Dan puteranya? Ke mana perginya putera mereka, Yap Kun Liong?"

"Ahhh, Yap-kongcu sudah lebih dulu pergi sebelum ayahnya ditangkap. Entah ke mana. Sampai sekarang mereka bertiga tidak pernah muncul. Bahkan ketika kakek Liok Siu Hok meninggal dunia dua minggu yang lalu, mereka tidak muncul." Keng Hong dan isterinya teringat bahwa Kakek Liok Siu Hok adalah paman tua dari Cong San, satu-satunya keluarga sahabat mereka itu yang tinggal, karena itu, agak aneh kalau sampai Cong San seanak isteri tidak muncul ketika kakek itu meninggal dunia.

"Bagaimana matinya?"

"Mati tua... dan agaknya karena duka. Kasihan kakek itu tidak mempunyai keluarga lagi, mati dalam kesunyian." Keng Hong dan isterinya menghaturkan terima kasih, lalu keluar dari rumah kakek itu. "Ke mana kita harus mencari mereka?" katanya dengan suara kecewa.

"Tiada gunanya dicari kalau mereka itu melarikan diri.

Kalau mereka ingin berjumpa dengan kita, tentu mereka yang akan datang mengunjungi Cin-ling-san."

"Benar kata-katamu. Kalau begitu kita pulang saja."

"Tidak, aku masih belum puas. Aku harus mengerti duduknya perkara ini dan memaksa dia mengaku!" kata Biauw Eng gemas.

"Dia? Siapa?"

"Siapa lagi kalau bukan pembesar jahat she Ma itu!"

"Wah-wah! Isteriku, ingat, kita bukan orang muda petualang seperti dahulu lagi! Kita adalah pemimpin Cin-ling-pai dan orang she Ma itu adalah orangnya pemerintah! Apa kau ingin dicap pemberontak?"

"Serahkan saja kepadaku. Mari ikut!"

"Eh, ke mana?" Keng Hong tak berdaya menghadapi isterinya yang ia tahu sedang marah dan penasaran itu!

"Ke gedung Kepala Daerah!" Keng Hong tidak membantah dan diam-diam ia gembira melihat betapa isterinya sama sekali belum berubah, masih seperti Song-bun Siu-1i dia dahulu, dara cantik jelita yang kadang-kadang disebut dewi akan tetapi adakalanya disebut iblis betina yang ganas! Isterinya ini, biarpun usianya sudah tiga puluh tujuh lebih, ibarat gunung berapi belum kehilangan kawahnya, bagaikan merica belum kehilangan pedasnya, dan bagaikan bunga mawar harum belum kehilangan durinya!

Tanpa disadarinya, mulut Cia Keng Hong tersenyum-senyum dan dia tidak tahu betapa isterinya mengerling kepadanya dan mengerutkan alis penuh curiga ketika melihat senyumnya.

Tiba-tiba Biauw Eng berhenti melangkah.

"Mengapa kau mesam-mesem? Mentertawakan aku, ya?"

"Wah, tidak! Aku hanya..."

"Hanya apa...?"

"Kasihan kepada Ma-taijin!"

"Huh! Lihat saja nanti, si keparat itu!" Waktu itu hari telah sore dan kantor pembesar kepala daerah sudah lama ditutup. Pembesar Ma sedang beristirahat di dalam kamar seorang di antara selirnya, tidur nyenyak kelelahan. Semalam pembesar ini kurang tidur, menjamu beberapa orang tamu rahasia yang kini masih berada di dalam gedungnya dan juga beristirahat di dalam kamar-kamar tamu yang disediakan untuk mereka.

Ketika Keng Hong dan isterinya tiba di halaman gedung pembesar Ma, tentu saja mereka dihadang oleh para penjaga.

Akan tetapi kepala penjaga bersikap hormat ketika melihat sikap suami isteri itu yang tenang dan gagah. Dia menjura dan bertanya, "Ada keperluan apakah Ji-wi (Anda Berdua) datang ke sini? Tanpa ijin, siapa pun dilarang memasuki halaman ini." Pada waktu itu, Biauw Eng masih marah dan penasaran sekali mengingat akan nasib Yap Cong San dan isterinya, akan tetapi dia masih ingat akan kedudukannya sebagai isteri Ketua Cin-ling-pai maka dia menahan diri dan tidak terlalu ringan tangan seperti wataknya ketika masih gadis dahulu. Akan tetapi suaranya ketus dan dingin ketika dia berkata, "Laporkan kepada Ma-taijin bahwa kami ingin bertemu dan bicara dengannya!" Kepala penjaga mengerutkan alisnya. Hatinya tidak senang mendengar suara ketus dan melihat sikap yang amat tidak menghormat terhadap Ma-taijin itu, maka dia menjawab, "Tidak mungkin begitu mudah. Siapa pun yang hendak menghadap, harus lebih dulu mengajukan permohonan disertai keterangan nama, tempat tinggal dan keperluannya.

Pula, permintaan itu baru bisa diajukan besok pagi karena sekarang kantor sudah tutup dan Taijin sedang beristirahat, tidak boleh diganggu."

"Apa kaubilang?" Biauw Eng menudingkan telunjuknya ke arah muka kepala penjaga itu. "Apa kaukira tanpa laporanmu kami tidak bisa menemui orang she Ma itu?" Para penjaga terkejut dan delapan orang penjaga sudah datang mendekat dan siap untuk menghadapi suami isteri itu.

Akan tetapi Keng Hong cepat menjura dan berkata halus, "Harap kalian suka melaporkan kepada Ma-taijin bahwa Cia Keng Hong dan isterinya mohon bertemu dan bicara dengan Ma-taijin." Akan tetapi para penjaga itu tidak mengenal nama ini.

Biarpun nama ini amat terkenal, akan tetapi tentu saja yang mengenalnya hanyalah tokoh-tokoh kang-ouw saja dan tidak sembarangan orang seperti para penjaga itu mengenalnya.

Karena itu, disebutnya nama ini sama sekali tidak ada artinya bagi mereka.

"Siapapun adanya Ji-wi, tanpa surat ijin khusus, tak berani kami mengganggu Taijin, dan sebaliknya Ji-wi segera pergi dan jangan membikin ribut di sini. Kami masih bersikap sabar, kalau sampai para pengawal tahu, tentu Ji-wi akan mendapat susah. Kalau Ji-wi ada urusan penting dengan Taijin, harap besok pagi saja mengajukan surat permobonan menghadap."

"Keparat! Kalau begini kami tidak perlu dengan kalian!" Blauw Eng sudah tidak sabar lagi, langsung dia melangkah ke depan, sama sekali tidak mempedulikan para penjaga yang menghadang di depannya.

DELAPAN orang itu tentu saja agak segan untuk menyerang seorang wanita, maka mereka hanya berdiri menghadang dan menghalangi di depan Biauw Eng sambil melintangkan tombak dan golok di tangan.

"Pergi!" Biauw Eng membentak dan terdengar suara senjata-senjata itu terlempar disusul tubuh delapan orang penjaga itu terpelanting ke kanan kiri. Mereka berteriak kaget dan marah. Ketika mereka cepat melompat bangun lagi dan siap menerjang, mereka terbelalak melihat Keng Hong sudah berdiri tegak di depan mereka. Pendekar ini menyambar sebatang golok yang tadi terlempar, kemudian sambil memandang mereka dengan senyum di bibir, kedua tangannya mematah-matahkan golok itu sedemikian mudahnya seperti orang mematahkan sebatang lidi saja!

Melihat demonstrasi kehebatan kedua tangan ini delapan orang itu terbelalak dengan muka pucat, kedua kaki mereka mundur-mundur dan tak seorang pun di antara mereka berani menerjang ke depan.

"Anjing-aniing pengacau dari mana berani membikin ribut di sini?" Bentakan ini disusul munculnya tiga orang pengawal yang bertubuh tinggi besar dan bersikap garang. Melihat munculnya tiga orang pengawal yang terkenal jagoan ini, delapan orang penjaga itu berbesar hati. Kepala penjaga segera berkata, "Mereka memukul kami, mereka hendak membunuh Taijin," Mendengar ini, Keng Hong dan Biauw Eng marah sekali, sedangkan tiga orang pengawal itu terkejut bukan main.

Tampak sinar berkilat ketika mereka mencabut pedang dan meloncat ke depan menghadapi Keng Hong dan Biauw Eng.

Karena khawatir kalau-kalau isterinya tidak mampu mengendalikan diri dan membunuh alat pemerintah, Keng Hong sudah mendahului isterinya, melangkah ke depan, mendorongkan tangan kirinya ke arah tiga orang pengawal yang menerjang maju itu sambil membentak, "Mundur kalian!" Tentu saja tiga orang pengawal itu tidak mempedulikan bentakan ini dan sama sekali tidak peduli akan dorongan tangan Keng Hong, akan tetapi segera mereka itu berteriak kaget ketika merasa betapa tubuh mereka terdorong oleh angin yang amat dahsyat, yang membuat mereka tidak mampu mempertahankan diri dan terjengkang ke belakang!

Ketika mereka merangkak bangun dan memandang, ternyata kedua orang suami isteri itu telah lenyap.

"Heii, ke mana mereka...?" tanya mereka.

"Celaka... mereka memasuki gedung..." jawab para penjaga yang tadi hanya memandang dengan mata terbelalak.

"Hayo kejar...!" Berbondong mereka mengejar ke dalam gedung dan seorang di antara para perigawal sudah membunyikan kentungan tanda bahaya, memanggil berkumpul semua pengawal dan penjaga.

Keng Hong dan Biauw Eng memang telah berlari memasuki gedung, tidak rnau membuang waktu melayani para penjaga dan pengawal. Biauw Eng menangkap seorang pelayan wanita yang berlari ketakutan, menjambak rambutnya, dan menghardik, "Lekas katakan di mana kamar Taijin!" Jari-jari tangan Biauw Eng sengaja mencengkeram pundak pelayan itu yang merasa nyeri bukan main, sampai mukanya yang pucat mengeluarkan peluh dingin. Akan tetapi saking takutnya dia tidak dapat mengeluarkan suara, hanya menudingkan telunjuknya ke arah kamar besar di dekat ruangan tengah.

Biauw Eng melepaskan tubuh pelayan itu yang mendeprok berlutut dan tidak mampu bergerak lagi saking takutnya, hanya menangis di atas lantai tak berani mengangkat muka.

Ketika Biauw Eng dan Keng Hong tiba di depan pintu kamar itu, Keng Hong berbisik, "Isteriku, jangan membunuh orang..." Biauw Eng mengangguk lalu menggunakan kakinya menendang daun pintu. "Brakkk!" daun pintu jebol dan tampaklah seorang laki-laki tua, berusia hampir enam puluh tahun berdiri dengan mata terbelalak marah. Seorang wanita muda dan cantik dengan pakaian tidak lengkap menjerit kecil dan cepat bersembunyi di atas pembaringan, di bawah selimut. Kakek itu sudah berpakaian lengkap, agaknya tadi terkejut mendengar kentungan tanda bahaya. Dia adalah Mataijin yang tentu saja menjadi marah sekali, terganggu dari istirahatnya yang asyik bersama selirnya.

"Apa ini? Siapa kalian berani kurang ajar? Pengawal!

Tangkap mereka...!" Mataijin berseru marah.

Biauw Eng sudah melangkah masuk kamar. "Apakah engkau Ma-taijin?" tanyanya.

Pembesar itu mengangkat muka membusungkan dada.

"Sudah tahu aku Ma-taijin, hayo lekas berlutut minta ampun!"

"Manusia rendah!" Biauw Eng telah menyambar sehelai sabuk merah, agaknya sabuk milik wanita muda selir pembesar itu yang tadi ditanggalkan dan mungkin dalam keadaan tergesa dilempar begitu saja di atas lantai! Sekali tangan nyonya perkasa ini bergerak, tampak sinar merah berkelebat kemudian bergulung-gulung dan ujung sabuk telah menjerat leher Ma-taijin. Begitu sabuk ditarik dengan sentakan mendadak, pembesar itu berteriak dan roboh menelungkup di atas lantai. Karena sabuk yang menjerat lehernya itu ditarik terus oleh Biauw Eng, terpaksa pembesar itu merangkak dan terseret sampai ke depan kaki Biauw Eng.

"Hayo katakan, apa yang telah kaulakukan lima tahun yang lalu terhadap Yap-sin-she dan isterinya!" Biauw Eng membentak. Dia sengaja menarik ujung sabuk merah sehingga libatan yang mencekik leher makin ketat, membuat pembesar itu hampir mendelik dan napasnya terengah-engah.

"Yap-sinshe... dia... dia dan isterinya... pemberontak...!" katanya dengan kedua tangan sia-sia mencoba melepaskan libatan yang mencekik leher.

Biauw Eng menarik ujung sabuk. "Uukhhh!" Pembesar itu terengah, lidahnya terjulur ke luar.

"Tidak mungkin! Kalau engkau tidak berlaku sewenangwenang mengandalkan kedudukanmu, mereka tentu tidak akan memberontak! Mereka tidak berhasil menyembuhkan para pengawalmu, mengapa hal itu kausalahkan? Mereka bukanlah dewa atau iblis yang berkuasa atas kesembuhan atau kematian seseorang!"

"Am... ampun, Li-hiap..." Pembesar itu terpaksa mengeluh karena libatan pada lehernya makin mencekik erat.

"Orang macam engkau ini sepatutnya dikirim ke neraka!

Akan tetapi mengingat bahwa engkau hanya seorang pejabat rendahan saja, biarlah kuberi peringatan!" Setelah berkata demikian, Biauw Eng mengebutkan ujung sabuk merah itu ke arah telinga Ma-taijin.

"Prettt... aduuuuhhh...!" Ma-taijin bergulingan mendekap pinggir kepalanya sebelah kanan yang bercucuran darah karena daun telinganya telah hancur dan lenyap terpukul ujung sabuk merah tadi. Bukan main nyeri rasanya sampai menusuk jantung, pandang matanya berkunang dan ubun-ubun kepala rasanya berdenyut seperti hendak pecah.

Dia merintih-rintih sedangkan selirnya sudah roboh pingsan di bawah selimut.

"Sebagai peringatan, kuambil telingamu. Kalau aku mendengar lagi kau masih berlaku sewenang-wenang mengandalkan kedudukanmu, aku akan datang dan mengambil kepalamu!"

"Tar-tar-tarrr...!!" Biauw Eng maklum bahwa ada orang menyerangnya dari belakang dengan senjata lemas. Dia sendiri seorang ahli cambuk, maka tahulah dia bahwa penyerangnya menggunakan cambuk dan memiliki tenaga kuat, maka cepat dia menggerakkan tangannya dan gulungan sinar merah dari sabuk sutera melayang ke atas kepalanya, meluncur ke belakang dan menyambut datangnya sinar putih yang menyambar ke arah kepalanya dengan bunyi meledak-ledak tadi.

"Tarrr... bretttt!!" Biauw Eng meloncat ke samping dan memandang dengan kaget. Sabuk merah di tangannya telah hancur ujungnya bertemu dengan ujung cambuk penyerangnya dan kini dia melihat betapa ujung cambuk putih itu seperti seekor ular hidup melayang ke arah pinggang Ma-taijin dan di lain saat tubuh Ma-taijin telah melayang ke arah penyerangnya tadi dan diterima dengan tangan kiri yang amat besar dan kuat, disusul suaranya yang nyaring akan tetapi terdengar as ing dan kaku, "Ma-taijin harap mundur dan mengobati lukanya, biarlah saya menghadapi dua orang penjahat ini." Keng Hong dan Biauw Eng memandang orang itu dengan mata terbelalak penuh kaget dan keheranan. Kiranya telah datang tiga orang di dalam kamar itu. Dua orang di kanan kiri adalah kakek-kakek berusia enam puluh tahun dan pakaian mereka sederhana, memandang tak acuh. Akan tetapi orang yang berdiri di tengah dan yang memegang cambuk putih itu yang amat mengherankan kedua suami isteri itu. Biarpun mereka adalah tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw, bahkan Cia Keng Hong terkenal sebagai datuk muda yang belum dapat dicari tandingannya, namun dia sendiri belum pernah bertemu dengan seorang manusia yang seaneh pemegang cambuk itu sehingga dia sendiri pun sampai bengong terlongong!

Orangnya tinggi besar ukuran raksasa. Keng Hong yang berawak sedang itu hanya setinggi pundaknya. Tubuh orang itu besar dan perutnya berbentuk seperti gentong. Punggung tangannya penuh bulu kuning yang panjang-panjang seperti tangan monyet. Kepalanya botak kelimis di bagian atasnya, akan tetapi di bagian bawah sekeliling kepala tumbuh rambut yang warnanya amat luar biasa, seperti uban putih akan tetapi bercampur kuning emas berombak indah sekali, seolah-olah bukan rambut melainkan benang-benang perak dan emas ditempelkan di sekeliling kepala. Demikian pula kumis dan jenggotnya, biarpun ada yang agak gelap warnanya, tetap saja bercampur dengan warna kuning emas dan putih, juga alis matanya. Alisnya tebal, matanya lebar sekali dan mata itu bukan seperti mata biasa, karena maniknya bukan hitam melainkan biru! Biru laut! Selama hidupnya, baru satu kali itulah Keng Hong dan Biauw Eng melihat orang dengan mata yang berwarna biru laut! Hidungnya amat panjang, bukan mancung lagi namanya, bibir yang sebagian tertutup kumis itu terbentuk manis seperti bibir wanita, benar-benar seorang laki-laki yang amat aneh dan sukar ditaksir usianya. Akan tetapi pakaiannya lebih aneh lagi! Sepatu kulitnya mengkilap dan tinggi sampai ke bawah lutut. Celananya sempit dan membungkus ketat tubuh bawahnya sehingga memandangnya saja membuat wajah Biauw Eng menjadi merah. Betapa tidak sopannya, pikir pendekar wanita itu. Pakaian bagian atasnya yang aneh. Di sebelah dalam merupakan baju pendek yang berkancing emas. Di bagian luar tertutup oleh jubah lebar dan panjang sampai ke lutut, berlengan panjang pula, dengan saku-saku yang besar, akan tetapi lucunya, bagian depan jubah ini terbuka sama sekali dan lehernya diikat dengan sehelai kain seperti kapas.

Keng Hong dan Biauw Eng saling pandang. Mereka pernah mendengar dongeng bahwa di beberapa tempat sebelah selatan orang-orang geger mengabarkan adanya seorang manusia asing yang aneh, yang kabarnya datang dari tempat yang amat jauh dari seberang lautan, manusia "biadab" yang pakaiannya aneh-aneh, rambutnya ada yang putih, ada yang kuning dan ada pula yang coklat atau biru, matanya juga bermacam-macam warnanya, akan tetapi tadinya mereka menganggap kabar itu kosong dan seperti dongeng tentang iblis dan setan saja untuk menakuti anak-anak atau orang yang penakut. Akan tetapi kini mereka berhadapan dongan seorang yang bahkan keanehannya jauh melampaui dongeng yang pernah mereka dengar Laki-laki asing itu memandang Keng Hong dan Biauw Eng dengan sinar mata penuh selidik kemudian terdengar dia bertanya, "Siapakah Anda berdua yang berani mati mengganggu seorang pembesar pemerintah?" Keng Hong mewakili isterinya, melangkah maju dan menjawab, "Kami tidak mengganggu seorang pembesar, karena urusan kami tidak ada hubungannya dengan pemerintah, melainkan urusan pribadi. Orang she Ma itu telah berlaku sewenang-wenang terhadap saudara kami, karena itu kami perlu memberi hajaran agar dia lain kali tidak lagi berani mengandalkan kedudukannya dan bertindak sewenang-wenang. Kami tidak ada urusan dengan kalian." Sepasang mata biru itu berkilat dan wajah yang kemerahan itu berseri. "Hemm, sepasang pendekar, ya? Bagus sekali, ingin kami berkenalan dengan kalian!" Karena ucapan itu dikeluarkan dengan lidah asing, maka Biauw Eng sudah salah menduga. Dalam istilah kang-ouw, kalau dua orang berkepandaian tinggi berhadapan, maka kata-kata "berkenalan" dapat juga diartikan tantangan mengadu kepandaian, karena yang akan dikenal bukan orangnya melainkan ilmunya. Maka dia sudah membentak, "Iblis bermata biru! Siapa takut menghadapi tantanganmu?" Akan tetapi Keng Hong yang sudah melihat pembesar she Ma yang menjadi biangkeladi malapetaka yang menimpa keluarga Yap Cong San telah dihukum olch isterinya, tidak menghendaki urusan berlarut-larut dan timbul permusuhan antara mereka berdua dengan pemerintah, telah menggandeng tangan isterinya dan berkata "Mari kita pergi dari s ini!" Biauw Eng sadar kembali ketika merasa tangan suaminya menggandengnya. Dia menekan kemarahannya dan tidak membantah. Sambil bergandeng tangan suami isteri ini melangkah ke luar dari dalam kamar itu, tidak mempedulikan tiga orang itu dan para pengawal yang berkerumun di luar kamar.

"Eh-eh, sahabat gagah... tunggu dulu!" Suara asing itu berseru dan tangannya diulurkan ke depan seperti hendak mencegah suami isteri itu pergi.

Biarpun gerakan ini biasa saja, namun diam-diam Biauw Eng dan Keng Hong terkejut juga karena ada sambaran angin yang dahsyat dari tangan itu! Namun angin pukulan ini bukan merupakan serangan, melainkan lebih merupakan "ujian" karena tangan itu tidak menampar atau memukul, melainkan mencengkeram untuk memegang lengan Keng Hong. Karena itu, pendekar sakti ini pun tidak mau balas menyerang hanya menggoyang tangannya seperti menolak dan berkata, "Kami tidak ada waktu untuk melayani Tuan!"

"Plak! Plakk!" Biarpun kedua tangan itu tidak saling sentuh, namun pertemuan dua hawa pukulan di antara kedua telapak tangan itu mengeluarkan bunyi nyaring dan orang asing botak itu terkejut bukan main ketika merasa betapa tangannya terpental dan terasa panas. Ia berdiri bengong memandang suami isteri yang terus melangkah ke luar itu, terheran-heran dan akhirnya membentak teman-temannya yang sudah bergerak mengejar, "Biarkan mereka pergi, jangan ganggu!" Dua orang temannya menghentikan gerakan kaki mereka, kembali kepada orang asing botak dengan mata memandang penuh pertanyaan. Si Botak ini menghela napas panjang, menggelenggeleng kepalanya dan mengomel, "Hebat...!

Semuda itu sudah demikian hebat tenaganya...! Aihhh, ternyata benar cerita guruku bahwa bagian dunia ini penuh dengan orang-orang yang berkepandaian tinggi." Kemudian dia menoleh kepada dua orang temannya tadi dan berkata, "Amat keliru kalau kita mulai pekerjaan kita dengan menanam permusuhan dengan orang-orang pandai seperti mereka.

Tugas kita bahkan harus mendekati orang-orang pandai, bukan memusuhi mereka."

"Akan tetapi, mereka telah melukai Taijin?" bantah seorang temannya.

"Hanya luka ringan. Ma-taijin tentu dapat menyudahi perkara ini, demi tugas yang lebih penting. Pula, kehilangan sebuah daun telinga untuk menebus kesalahan lalu, masih murah!" Dua orang temannya mengangguk dan mereka bertiga segera menuju ke kamar Ma-taijin untuk bantu mengobati luka yang diderita pembesar itu.

Keng Hong dan isterinya terus meninggalkan Leng-kok pada malam hari itu juga, menuju pulang ke Cin-ling-san. Di sepanjang perjalanan suami isteri ini dengan penuh keheranan membicarakan tentang orang asing yang lihai itu.

"Sungguh membuat orang penasaran sekali!" kata Keng Hong. "Jelas dia adalah seorang asing biadab seperti yang kita dengar dari berita angin tentang munculnya orang-orang seperti itu di sepanjang pantai selatan dan timur. Akan tetapi mengapa dia menguasai ilmu kita? Sambaran tangannya tadi selain mengandung sin-kang yang cukup kuat, juga merupakan gerakan Eng-jiauw-kang (Cengkeraman Garuda) yang cepat dan baik sekali!"

"Hanya tokoh-tokoh golongan sesat saja yang sudi mengajarkan ilmu bangsa kita kepada orang asing!" kata Biauw Eng.

"Belum tentu!" kata pula suaminya. "Kaulihat tadi selain gerakannya lihai, ilmu cambuknya juga hebat, sikapnya amat baik, tidak kejam dan tidak pula kasar. Kalau dia termasuk anggauta kaum sesat, tentu dia tidak akan demikian mudah saja membiarkan kita pergi. Agaknya sudah banyak terjadi perubahan di dunia kang-ouw. Sudah terlalu lama kita mengubur diri di dalam kesunyian di puncak Cin-ling-san.

Sebaiknya kita menggunakan kesempatan ini, dalam perjalanan pulang singgah di tempat tokoh-tokoh kang-ouw yang kita kenal, selain mendenngar tentang keadaan kang-ouw, juga mencari keterangan tentang di mana adanya Yap Cong San, isterinya, dan puteranya."

"Memang sebaiknya begitu. Sekarang ini kesempatan terakhir bagiku karena beberapa bulan lagi, dengan seorang bayi mana aku mampu berpergian lagi sebelum dia berusia dua tiga tahun?" Demikianlah, kedua suami isteri itu melakukan perjalanan ke Cin-ling-pai dengan beberapa kali berhenti dan singgah di rumah tokoh-tokoh kang-ouw yang mereka kenal. Akan tetapi mereka kecewa sekali karena tidak ada seorang pun di antara para kenalan itu yang tahu di mana adanya Yap Cong San dan isterinya! Betapapun juga, mereka berdua sudah mendengar jelas akan perubahan di dunia kang-ouw pada waktu itu.

Mereka mendengar bahwa kini muncul lima orang datuk kejam sesat yang sepak terjangnya mengerikan, tidak saja menjagoi dunia kaum sesat, bahkan seringkali mengacau dunia kangouw dan merobohkan banyak orang gagah.

Mereka itu adalah Ban-tok Coa-ong Ouw-yang Kok, Siangtok Mo-li Bu Leng Ci, Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio, Hek-bin Thian-sin (Malaikat Muka Hitam) Louw Ek Bu, dan seorang lagi yang hanya dikenal namanya akan tetapi belum pernah ada yang bertemu dengannya yang terkenal julukannya saja, yaitu Toat-beng Hoat-su (Kakek Ajaib Pencabut Nyawa)!

Mendengar penuturan para tokoh kang-ouw yang menceritakan kepada mereka akan kelihaian lima orang datuk kaum sesat ini, timbul keinginan di hati Keng Hong dan terutama Biauw Eng untuk bertemu dengan mereka dan mencoba kesaktian mereka. Keinginan seperti ini memang wajar dimiliki oleh ahli-ahli seperti mereka, bukan keinginan menundukkan dan menjagoi, melainkan keinginan untuk mengukur kepandaian masing-masing. Namun Keng Hong mencegah isterinya dengan menyabarkan diri dan berkata bahwa tidak semestinya mereka yang telah memimpin sebuah partai seperti Cin-ling-pai merendahkan diri berkenalan dengan tokoh-tokoh yang dianggap jahat seperti iblis itu.

"Pula, dalam keadaan dirimu sedang mengandung, amat berbahaya untuk bertanding menghadapi lawan yang sakti, selain itu tidak baik kalau kita terlalu lama meninggalkan Giok Keng seorang diri saja di Cin-ling-san. Sebaiknya kita lekas pulang dan mengingat akan munculnya banyak orang pandai di kalangan kaum sesat, kita harus lebih tekun menggembleng Giok Keng dan meningkatkan kepandaian para anggauta Cin-ling-pai." Mendengar ucapan suaminya yang tak dapat dibantah kebenarannya, Biauw Eng tidak membantah, maka pulanglah suami isteri pendekar ini ke Cin-ling-san dengan hati kecewa karena mereka tidak berhasil bertemu dengan Yap Cong San dan Gui Yan Cu seperti yang mereka harap-harapkan.

Tentu saja mereka berdua sama sekali tidak pernah mimpi bahwa putera tunggal sahabat-sahabat mereka itu, Yap Kun Liong, baru beberapa pekan saja datang mengunjungi Cinling-san, bahkan telah bentrok dan bertanding dengan puteri mereka. Ketika mereka tiba di Cin-ling-san, Giok Keng yang merasa takut kalau-kalau ayahnya mendengar akan penyambutannya terhadap Yap Kun Liong, tentu saja menutup mulutnya dan sama sekali tidak menceritakan tentang kedatangan pemuda gundul itu kepada ayah bundanya.

Ketika Cia Keng Hong mendengar penuturan ayah bundanya akan nasib yang menimpa diri keluarga Yap, diam-diam Giok Keng merasa kasihan sekali kepada Kun Liong. Kemudian dia mendengar tentang lima orang datuk kaum sesat yang selain amat lihai juga kabarnya jahat seperti iblis, maka dia merasa ngeri dan dengan tekun dia memperdalam ilmu-ilmunya di bawah bimbingan ayahnya sendiri. Selama hampir tiga tahun dara yang telah berangkat dewasa ini berlatih dengan rajin sehingga dia hampir dapat mewarisi seluruh ilmu kepandaian ibunya dan hanya beberapa macam ilmu yang terlalu tinggi dan sulit saja yang belum dapat dia warisi dari ayahnya. Namun harus diakui bahwa untuk mencari tanding bagi Giok Keng di waktu itu, benar-benar bukan merupakan pekerjaan yang mudah!

Cia Giok Keng telah menjadi seorang gadis berusia tujuh belas tahun yang amat cantik jelita dan gagah perkasa.

Adiknya lahir tak lama setelah ibunya pulang ke Cin-ling-san sehingga pada waktu itu Cia Bun Houw telah menjadi seorang anak laki-laki berusia hampir tiga tahun, bertubuh sehat berwajah tampan dan berwatak gembira seperti encinya (kakaknya) ketika masih kecil. Dengan labirnya adik laki-laki ini, berkuranglah sifat kemanjaan Giok Keng, apalagi karena dia kini sudah dewasa, dan yang tinggal kepada dara ini hanya kekerasan hatinya yang diwarisi dari ibunya. Ayahnya seringkali memandang kagum karena melihat puterinya ini seolah-olah melihat isterinya ketika masih gadis! Begitu presis wataknya! Maka diam-diam Keng Hong suka merasa khawatir sendiri. Biarpun watak isterinya tidak jahat, namun andaikata isterinya itu tidak saling mencinta dengan dia dan kemudian menjadi isterinya yang cinta dan setia, andaikata isterinya itu tetap berkecimpung di dalam dunia kaum sesat, agaknya isterinya akan memiliki kekerasan yang mengerikan, dapat terjerumus ke dalam watak yang kejam! Yang lebih menggelisahkan hati Cia Keng Hong, dan menambah kerut di wajahnya adalah sikap Giok Keng yang sama sekali tidak mengacuhkan tentang perjodohan! Padahal usianya sudah tujuh belas tahun! Sedikit pun dara itu tidak mau mendengar kalau orang tuanya bicara tentang perjodohan, dan berkelebat pergi dengan marah kalau mendengar usul dan bujukan orang tuanya agar dia segera menentukan pilihan untuk menjadi jodohnya.

"Aku tidak ingin kawin. Harap Ayah dan Ibu jangan bicara tentang itu-itu saja. Muak aku mendengar tentang kawin!" Pernah dia berkata demikian kepada ayah bundanya yang hanya dapat saling pandang dengan melongo.

"Nah, lihat. Betapa dia manja dan membawa kehendak sendiri!" Keng Hong mengomel.

"Sabarlah, suamiku. Kalau memang dia belum ingin, apakah kita harus memaksanya?" Cia Keng Hong hanya dapat menarik napas panjang dan diam-diam dia makin merasa rindu kepada Cong San dan Yan Cu, ingin sekali dia dapat bertemu dengan mereka yang hilang tak tentu rimbanya itu untuk membicarakan tentang jodoh anak mereka.

Pada suatu hari lewat tengah hari keadaan di Cin-ling-san sunyi dan nyaman. Matahari yang bersinar terang tidak terhalang awan tebal seperti biasanya mendatangkan hawa yang hangat mengusir dingin yang biasanya membuat orang kedinginan. Kenyamanan hawa di siang hari itu dimanfaatkan oleh Pendekar Sakti Cia Keng Hong dan isterinya. Pada waktu itu, Cia Keng Hong telah berusia empat puluh tahun sedangkan isterinya sudah tiga puluh tujuh tahun. Mereka berdua yang telah mendengar akan banyaknya tokoh kaum sesat yang lihai, biarpun makin tua mereka tidak pernah lalai untuk berlatih ilmu silat dan menjaga daya tahan tubuh dan kekuatan sin-kang dengan bersamadhi setiap hari.

Pada siang hari itu pun mereka memanfaatkan hawa yang hangat nyaman dengan duduk bersamadhi berdua di dalam kamar mereka. Putera mereka, Bun Houw, sedang tidur di dalam kamarnya sendiri yang berdekatan dengan kamar mereka, sedangkan Giok Keng, seperti biasa di saat seperti itu, sedang berlatih seorang diri di lian-bu-thia (ruangan berlatih silat) yang berada di samping rumah.

Pada waktu itu, para penduduk dusun di lereng Puncak Cin-ling-san yang juga dikenal sebagai anggauta-anggauta Cinling-pai, telah mendapat latihan keras sehingga tingkat kepandaian mereka memperoleh kemajuan pesat selama tiga tahun ini. Pada siang hari itu, sebagian dari mereka bekerja di sawah ladang, dan sebagian pula ada yang berlatih di bawah pohon-pohon rindang. Seperti yang diajarkan oleh pimpinan mereka, para anggauta ini berlatih berpasangan, baik laki-lakinya, wanitanya, maupun anak-anaknya. Gerakan mereka cepat-cepat dan terutama kaum dewasanya, mereka memiliki sin-kang yang kuat yang merupakan ilmu khas dari para anggauta Cin-ling-pai. Untuk para anggauta ini, Cia Keng Hong menurunkan ilmu silatnya yang ampuh dan lihai sekali, yaitu San-in-kun-hoat (Ilmu Silat Awan Gunung) dan menggembleng mereka dengan cara-cara bersamadhi untuk menghimpun sin-kang yang kuat. Isterinya, Sie Biauw Eng, menurunkan ilmu meringankan tubuh yang disebut Hui-niaucoan?" in (Burung Terbang Menerjang Awan) sehingga rata-rata para anggauta Cin-ling-pai memiliki kecepatan gerak yang mengagumkan. Gabungan ilmu dari suami isteri pendekar ini yang masing-masing merupakan ilmu-ilmu pilihan yang tinggi nilainya, dikombinasikan dan menjadi landasan ilmu silat para anggauta Cin-ling-pai. Tentu saja di samping ilmu ini, Keng Hong masih mengajarkan ilmu silat yang lebih tinggi, akan tetapi hanya kepada beberapa orang yang dianggapnya telah cukup matang ilmunya dan mereka ini berjumlah sebelas orang merupakan anggauta-anggauta pimpinan atau muridmurid tertua. Betapapun juga, tidak ada seorang di antara mereka yang diwarisi dua macam ilmu yang jarang tandingannya di dunia persilatan, yaitu Thai-kek-sin-kun dan Thi-khi-i-beng. Yang pertama adalah karena ilmu itu merupakan ilmu rahasia dari Kun-lun-pai dan karena dia bukan murid Kun-lun-pai, tentu saja dia tidak berani mengajarkan ilmu rahasia itu kepada orang lain. Yang ke dua, Thi-khi-i-beng, adalah ilmu mujijat yang pernah diperebutkan para jagoan di dunia kang-ouw (baca ceritaPedang Kayu Harum ) dan di dunia ini hanya dia seorang yang memilikinya. Ilmu ini amat ganas, merupakan sin-kang yang dapat menyedot habis tenaga sakti lawan, membuat lawan kehabisan tenaga, lumpuh bahkan bisa tewas. Kalau belum memiliki dasar yang amat kuat, berbahayalah memiliki ilmu ini.

Karena itu, Keng Hong tidak berani menurunkan kepada orang lain bahkan belum berani mengajarkan kepada puterinya sendiri karena dia menganggap puterinya belum kuat menerima ilmu mujijat itu.

Pada siang hari itu, serombongan pemuda Cin-ling-san sedang berlatih silat berpasangan, dipimpin oleh dua orang kakak beradik yang menjadi murid-murid kepala dari Cin-ling-pai. Mereka berdua ini adalah Kwee Kin Ta, berusia tiga puluh lima tahun, dan Kwee Kin Ci, adiknya berusia tiga puluh tahun. Keduanya adalah dua orang pemuda ketika Cinling-pai mula-mula berdiri, dan telah belajar ilmu silat cukup lama di bawah pimpinan Cia Keng Hong, maka boleh dibilang mereka adalah dua orang yang paling tinggi tingkat kepandaiannya di antara para anggauta Cin-ling-pai. Kedua orang ini tidak pernah menikah dan hidup membujang di cinling-san, merupakan wakil-wakil dari Ketua Cin-ling-pai, bersama sembilan orang adik-adik seperguruannya, muridmurid kepala yang kesemuanya berjumlah sebelas orang itu.

Dengan penuh ketekunan kedua orang ini mewakili ketua mereka mengawasi para pemuda sebanyak lima belas orang yang sedang berlatih di s iang hari itu.

Tiba-tiba kedua orang saudara Kwee ini terkejut ketika mendengar suara orang tertawa, juga para pemuda yang sedang berlatih berhenti bersilat dan menoleh ke arah dua orang kakek berjenggot panjang yang tertawa-tawa dan tahutahu telah berada di dekat mereka. Yang mengejutkan kedua orang saudara Kwee itu adalah karena hadirnya dua orang kakek ini sama sekali tidak mereka ketahui dan hal ini saja sudah membuktikan bahwa dua orang tua itu bukan orang sembarangan!

"Ha-ha-ha, nama Cin-ling-pai dan ketuanya memang setinggi awan, akan tetapi mengapa para anggautanya hanya begini saja?" Seorang di antara mereka, kakek yang mukanya merah berkata sambil menyeringai lebar.

"Ahh, Ang-kui (Setan Merah), tentu saja karena mereka ini tentu hanya orang-orang rendahan dari Cin-ling-pai.

Betapapun jugat kurasa orang Cin-ling-pai bukan dewa-dewa yang berkepala tiga berlengan enam dan pandai terbang, haha!!" Para anggauta Cin-ling-pai itu adalah pemuda-pemuda yang biarpun sudah banyak digembleng selain ilmu silat juga kesabaran, tetap saja naik darah mendengar ucapan~ucapan yang nadanya mengejek itu. Dua orang di antara mereka tak dapat menahan kemarahan lagi, meloncat ke depan dua orang kakek itu sambil berteriak hampir berbareng, "Orang tua sombong, berani engkau menghina Cin-ling-pai?"

"Kalau kau menantang, terimalah seranganku!" Dua orang muda itu segera menerjang dengan pukulan keras ke arah kedua orang kakek itu dan dua orang bersaudara she Kwee tidak sempat lagi mencegah mereka.

Akan tetapi kakek-kakek asing yang diserang hanya tersenyum, sama sekali tidak gugup melainkan mengangkat kedua tangan mereka dengan gerakan lambat, satu tangan menangkis dan tangan ke dua menampar dari samping.

Biarpun gerakan mereka kelihatan lambat, namun aneh sekali, dua orang pemuda itu tidak mampu menghindar lagi. Mereka mengaduh dan terpelanting tak dapat bangun kembali. Melihat dua orang teman mereka roboh dengan muka di bagian pipi terdapat tanda telapak tangan hitam dan mereka itu pingsan, para pemuda menjadi marah sekali dan serta-merta dua orang kakek itu mereka terjang dan keroyok! Sambil tertawatawa, kedua orang kakek itu bergerak dan terjadilah pertempuran yang seru, akan tetapi baru beberapa jurus saja, kembali empat orang pemuda terpelanting dengan tanda telapak tangan hitam di tubuh mereka dan mereka itu pingsan.

"Mundur kalian!" Kwee Kin Ta dan Kwee Kin Ci berteriek nyaring, kemudian mereka berdua meloncat ke depan, tanpa banyak cakap lagi sudah menyerang dengan pukulan-pukulan berat. Kwee Kin Ta menyerang kakek muka merah dengan kedua lengan dilonjorkan ke depan, yaitu jurus dari Ilmu Silat San-in-kun-hoat yang disebut Siang-in-twi-san (Sepasang Awan Mendorong Gunung), jurus yang ke tiga.

Dua orang kakek itu ketika tertawa-tawa tadi bukan semata-mata sengaja hendak mengejek melainkan karena mereka memang kecewa dan terheran melihat pemuda-pemuda itu berlatih dengan gerakan yang mereka anggap terlampau rendah. Akan tetapi, ketika kakek muka merah itu menghadapi serangan yang dilakukan oleh Kwee Kin Ta, dia terkejut bukan main. Dari kedua tangan yang didorongkan itu menyambar hawa pukulan yang dahsyat sekali! Memang, Ilmu Silat San-in-kun-hoat yang diajarkan oleh Cia Keng Hong kepada para anggauta Cin-ling-pai, dan yang telah dikuasai dengan baik oleh dua orang saudara Kwee, adalah ilmu tingkat tinggi yang hebat. Ilmu silat ini hanya terdiri dari delapan jurus, namun jurus-jurus itu dahsyat sekali dan dapat dikembangkan dengan hebat sesuai dengan bakat masing-masing.

Sebelum - Beranda - Lanjut

Tidak ada komentar:

Posting Komentar