08 Petualang Asmara

"Wuussss...!!" Kedua tangan Giok Keng sudah menerjang lagi dengan totokan totokan lihai sekali dan hal ini tidaklah mengherankan karena dara itu mainkan jurus jurus San in Kun hoat (Ilmu Silat Awan Gunung), semacam ilmu silat tinggi sekali yang dipelajari dari Cia Keng Hong. Ilmu silat San in Kun hoat ini hanya terdiri dari delapan jurus, akan tetapi setiap jurusnya merupakan gerakan gerakan yang luar biasa lihainya. Kalau saja Giok Keng sudah memiliki sin-kang yang kuat, tentu dia dapat merobohkan Kun Liong dengan ilmu silat tinggi ini. Akan tetapi karena dara itu menyangka bahwa pemuda gundul itu memiliki kekebalan luar biasa, dia mengganti kepalan dengan totokan. Namun kecepatan dan keanehan gerakannya membuat Kun Liong sibuk sekali. Terpaksa pemuda ini lalu mainkan jurus dari Pat hong sin kun untuk menjaga diri dan memang daya tahan dari ilmu silat ini luar biasa. Jangankan hanya dua buah tangan Giok Keng yang datang dari dua jurusan, andaikata dia diserang dari delapan jurusan sekalipun, dia akan dapat melindungi dirinya sesuai dengan sifat Ilmu Silat Pat hong sin kun (Silat Sakti Delapan Penjuru Angin). Setelah beberapa lama Giok Keng tak dapat mengenai sasaran tubuh lawannya, dara itu menjadi makin marah dan timbullah kenakalan Kun Liong untuk mengejeknya, "Hayo, keluarkan Thi khi-I beng, hendak kulihat bagaimana lihainya."

"Eihhh...!!" Giok Keng tak dapat menahan kemarahannya. Thi-khi-I-beng adalah ilmu sakti yang hanya dimiliki ayahnya. Tentu saja dia belum diajar ilmu itu, atau belum tentu selamanya akan diajar ilmu itu yang menurut ayahnya tidak boleh sembarangan dimiliki orang yang dasarnya belum kuat benar lahir batin. Kini pemuda gundul ini menantang Ilmu Thi-khi-I-beng. Hati siapa tidak menjadi gemas?

"Jahanam gundul keparat sombong! Tak perlu dengan Thi-Khi-I-Beng untuk melawan manusia macam engkau!" Kini dara itu merobah ilmu silatnya dan gerakannya menjadi aneh sekali. Baru beberapa jurus saja, dengan gerakan memutar setelah mendesak Kun Liong dengan totokan totokan maut, dara itu berhasil menendang pinggul Kun Liong sehingga pemuda itu terlempar dan terbanting.

"Wah, curang! Kusangka hanya menotok terus, tahu-tahu menendang pinggul!"

"Mampuslah!"

Giok Keng sudah menubruk maju. "Ciaaattt!" Dua buah jari tangan kirinya menusuk ke arah mata Kun Liong yang masih telentang dan baru hendak bangkit duduk.

"Aihhhh...!" Kun Liong meloncat ke atas, menghindarkan totokan dan tangan sudah dikepal untuk balas menghantam kepala dara itu dari atas. Akan tetapi entah mengapa, dia tidak tega memukul dan kepalannya dibuka, berubah menjadi cengkeraman dan dia berhasil menjambak sebuah di antara dua kuncir rambut dan menariknya.

"Aduhhhh... curang kau, setan!" Giok Keng yang dijambak rambutnya menjerit, akan tetapi berbareng dia pun menggunakan jari tangannya menotok pundak sambil mengerahkan tenaga.

"Dukkk!!"

Tubuh Kun Liong menjadi lemas dan dia roboh terguling!

Sambil bertolak pinggang berdiri di dekat tubuh Kun Liong yang rebah telentang, Giok Keng tersenyum mengejek, menggerakkan kepalanya untuk memindahkan rambutnya yang agak awut-awutan dijambak Kun Liong tadi ke belakang punggung, napasnya agak terengah, muka dan lehernya berkeringat, pipinya merah segar.

"Hemmm, kalau hendak membunuhmu, betapa mudahnya!" Dia mengejek.

Biarpun tubuhnya masih lemas dan tak dapat digerakkan, namun Kun Liong masih dapat menggerakkan mulut bicara, dan pandang matanya sama sekali tidak takut atau menyerah, bahkan mengejek! "Kalau begitu, mengapa tidak kaubunuh? Hemmm, kau tidak berani membunuhku, ya? Karena kalau kau membunuh orang yang kaucurangi sehingga tanpa tersangka-sangka kena totokan, berarti engkau seorang dara pengecut paling besar!"

"Setan gundul! Kau masib berani membuka mulut besar?"

"Mengapa tidak? Engkau seorang dara yang cantik tapi galak, behati baik akan tetapi pura pura keras. Engkau puteri seorang pendekar besar yang tentu berjiwa pendekar pula, akan tetapi kau memperlakukan seorang tamu dengan kurang ajar dan menghina. Tunggu saja kau, akan kulihat bagaimana sikapmu kalau kuceritakan kepada ayah bundamu kelak!"

Sepasang mata yang indah itu terbelalak. "Ehh...? Kau... kau siapa?"

"Ayahmu adalah Supekku (Uwa Guru) karena ibuku adalah sumoinya."

"Apa? Engkau... engkau she Yap?"

"Tidak ada keduanya!"

"Engkau yang bernama Yap Kun Liong putera Paman Yap Cong San?"

"Hanya inilah orangnya!"

"Celaka! Kenapa kau tidak bilang sejak tadi ?" Tergopoh-gopoh Giok Keng menotok kembali pundak Kun Liong sehingga pemuda itu terbebas dan dapat bangkit berdiri lagi. Mereka berdiri saling berhadapan, saling pandang. Akhirnya Giok Keng yang membuka mulut berkata dengan nada suara penuh permintaan. "Eh, kau jangan..."

"Namaku bukan eh!"

"Orang she Yap..."

"Mengapa kau sombong amat, sih? Memangnya aku penjahat sampai kau tidak sudi menyebut namaku?"

Giok Keng membanting-banting kakinya dengan jengkel, gerakan yang ia warisi dari ibunya. Biasanya dia amat pandai berbantah, dan dimanja oleh siapa pun, sekarang dia selalu dibantah dan dicela habis-habisan oleh Si Gundul ini! Akan tetapi dia takut kalau-kalau Si Gundul ini mengadu kepada ayah-ibunya, terutama sekali kepada ibunya. Mereka memanjakannya, akan tetapi ibunya keras dan kalau ibunya sudah marah, dia amat takut kepada ibunya.

"Kun Liong..."

"Eh, eh, engkau memang kurang ajar, tidak tahu aturan, ya?"

"Kenapa lagi? Cerewet benar kau!"

"Bukan cerewet, akan tetapi ayahmu adalah suheng ibuku, berarti di antara kita masih ada hubungannya."

"Hubungan apa? Keluarga bukan, kenal pun baru sekarang!"

"Eeehh, orang tua kita adalah saudara seperguruan, berarti kita masih ada bau-bau..."

"Bau apa? Kurang ajar kau!"

"Maksudku, masih bau-bau... eh, hubungan sanak. Engkau keponakan ibuku dan aku keponakan ayahmu, berarti kita masih saudara misan seperguruan. Bukan begitukah? Jadi, karena engkau masih kecil..."

"Sombong! Apa kaukira engkau ini sudah kakek kakek? Aku bukan anak kecil!"

"Kalau begitu engkau nenek-nenek!"

"Aku bukan anak kecil, usiaku sudah empat belas tahun lebih, hampir lima belas tahun!"

"Dan aku sudah lima belas tahun. Nah, berarti aku lebih tua. Engkau adalah piauw sumoi, dan aku adalah piauw-suhengmu (kakak misan seperguruan). Engkau jangan kurang aturan menyebut namaku begitu saja, ya?"

Kembali Giok Keng membanting kaki dengan gemas. Dia merasa kalah bicara. Dengan susah payah dia menekan perasaannya dan berulang kali menghela napas, menahan tangannya agar jangan menampar kepala gundul itu. Entah kenapa, tangannya gatal gatal untuk menampar kepada gundul licin itu!

"Baiklah, Piauw suheng!" Dia mengejek sambil membungkuk dibuat buat. "Aku minta engkau jangan mengadu kepada ayah bundaku, ya?"

Kun Liong menggerakkan hidung. Rasakan engkau sekarang, pikirnya! Bocah galak harus dihajar! Dengan angkuh dia menegakkan tubuh mengangkat muka. "Salah siapa! Engkau telah menyambutku dengan cara yang kurang ajar sekali, bahkan berani memukul aku. Biar kuberitahukan kepada Supek dan Supek bo, aku ingin melihat bagaimana kalau kau dimarahi, mungkin dipukul!"

"Aihhh... janganlah, Piauw suheng... ibuku keras sekali. Apa kau tidak kasihan kepada piauw sumoimu?"

"Huh, enak dan gampangnya. Sudah menghina, sudah memukul, malah minta tolong segala. Kiranya aku ini orang apa, hah?"

"Piauw suheng yang baik, kaumaafkan aku, ya? Aku tidak marah lagi kepadamu, aku tidak menghinamu lagi. Habis engkau sendiri juga salah. Siapa yang menyangka bahwa engkau putera Paman Yap Cong San kalau melihat... eh..."

"Bilang saja kepala gundulku! Kenapa sih ragu-ragu?" Kun Liong menghardik sampai Giok Keng kaget.

"Ya, ya... karena kepalamu yang gundul itu mendatangkan keraguan dan kecurigaan padaku sehingga aku bersikap keras. Ketahuilah, ayah dan ibuku sedang pergi, malah pergi ke tempat ayahmu dan aku diberi tugas untuk mewakili mereka menjaga di sini, memimpin Cin-ling pai. Bayangkan saja betapa beratnya! Maka begitu melihat engkau yang kucurigai akan mengacau Cin-ling-san, aku terus turun tangan. Maafkan aku, ya?"

Kun Liong merasa seperti dielus-elus. Enak sekali rasanya, akan tetapi mulutnya tetap diruncingkan agar kelihatan cemberut dan marah. "Kalau aku membiarkan semua orang menampar kepalaku kemudian cukup dengan permintaan maaf saja, agaknya kepalaku akan remuk dalam waktu singkat. Tidak cukup hanya dengan permintaan maaf."

"Habis, harus bagaimana?" tanya Giok Keng penasaran. "Apakah aku harus berlutut di depan kakimu?"

Kun Liong ingin sekali menuntut hukuman seperti yang dia lakukan kepada Hwi Sian, yaitu agar dara ini pun mencium kepalanya. Akan tetapi dia berpikir panjang. Kalau sampai dara ini marah, karena wataknya begini keras, bisa berabe. Dan lebih hebat lagi kalau dara ini mengadu kepada ayah bundanya, lebih celaka sekali kalau sampai ayahnya mendengar akan hal itu! Dara ini takut kepada ibunya yang keras, tentu tidak tahu betapa dia pun amat takut kepada ayahnya yang keras pula! Tidak, dia tidak boleh menyuruh Giok Keng mencium kepalanya. Tiba-tiba dia mendapat akal dan menjawab sambil tersenyum. "Engkau amat menghinaku karena kepalaku yang gundul, bahkan tadi engkau telah menampar kepalaku. Nah, sekarang aku baru mau menghabiskan urusan ini sampai di sini saja kalau engkau suka menampar kepalaku sampai tiga kali lagi!"

Mata Giok Keng terbelalak lebar. "Apa...? Sudah gilakah engkau? Kalau kupukul dengan sungguh sungguh, tentu akan pecah kepalamu. Jangankan sampai tiga kali, satu kali saja cukup..."

"Sudahlah, menyombong lagi! Biar pecah, lebih baik agar ayah bundamu tahu bahwa puteri mereka telah menyambut kedatangan piauw suhengnya dengan pukulan maut sampai kepalanya pecah!"

"Aihhh... habis bagaimana?"

"Terserah kepadamu. Pendeknya, aku ingin kau menggunakan tanganmu menampar kepalaku sampai tiga kali!"

Giok Keng memandang kepala itu dengan muka menunjukkan kebingungan hatinya. Tangannya memang gatal-gatal rasanya, ingin sekali dia menampari kepala itu, akan tetapi kalau dia menampar sampai Kun Liong terluka atau mampus, tentu dia tidak akan mendapat ampun dari ibunya. Ia memutar otak dan akhirnya dengan wajah berseri dia berkata, "Baik, akan kutampar kepalamu tiga kali, akan tetapi luput!"

"Eeh, mana bisa? Aku tidak menangkis tidak mengelak mana bisa luput? Padahal engkau puteri Ketua Cin ling-pai! Siapa mau percaya?"

"Habis bagaimana?"

"Terserah, asal menampar kepala." Kun Liong diam diam girang sekali dan merasa sudah dapat membalas dendam mempermainkan dara galak itu.

"Kalau pelan pelan boleh, kan?"

"Pokoknya asal menggunakan tangan menampar kepala." Jantung Kun Liong berdebar karena dia sudah membayangkan betapa kepalanya akan dielus elus oleh telapak tangan yang halus itu!

"Baiklah. Nah, awas, aku akan mulai!"

Giok Keng menggerakkan tangan kanannya dan tepat seperti yang diduga dan dikehendaki Kun Liong, telapak tangan yang halus dan hangat itu menjamah kepala gundul itu tiga kali. "Sudah cukup tiga kali!" kata Giok Keng sambil melangkah mundur, geli juga meraba kepala yang gundul kelimis itu.

"Terima kasih, enak sekali!" kata Kun Liong sambil membungkuk dan tersenyum lebar.

"Pringas pringis (menyeringai), bilang saja ingin diusap kepalanya, pura pura minta ditampar!"

"Sudah pantas saja, Piauw sumoi, untuk obat kepalaku yang masih terasa nyeri oleh tamparanmu tadi. Jadi Cia-supek dan Supek bo tidak berada di rumah?"

"Tidak, karena itu, lain kali saja kau datang menjumpai mereka. Akan tetapi awas, kau sudah berjanji tidak akan mengadu kepada mereka!"

"Wah, kau tidak percaya kepadaku? Eh, sumoi, namamu Cia Giok Keng, ya? Sekarang aku ingat. Indah sekali namamu, seindah... orangnya... eh, maksudku... eh, kau cantik sekali, Piauw moi, dan ilmu silatmu lihai bukan main. Aku kagum sekali kepadamu."

"Dan aku benci kepadamu!"

"Oh, ya? Sebaliknya, aku sangat cinta kepada diriku ini!"

"Aku benci, terutama kepalamu."

"Dan aku terutama sekali sayang kepada kepalaku ini." Kun Liong mengelus kepalanya. Betapa dia tidak sayang? Kepalanya mendatangkan banyak "untung" jika dia bertemu dengan dara~dara jelita!

Sambil tersenyum lebar dia lalu menjura dan berkata lagi, "Nah, aku pergi, Piauw-sumoi yang cantik dan galak. Sampai bertemu lagi, ya?"

"Tidak sudi! Sekalipun cukuplah."

"Uihh, jangan begitu! Bagaimana kalau kelak orang tuarnu minta kau berjumpa dengan aku?"

"Tidak usah, ya!"

Kun Liong tertawa bergelak lalu meninggalkan nona itu yang masih membanting banting kaki saking jengkelnya.

Biarpun mulutnya tertawa tawa dan hatinya lega karena sudah berhasil membalas dara galak itu, menggodanya dan berhasil pula dielus elus kepalanya oleh tangan halus itu, namun diam-diam Kun Liong merasa penasaran sekali. Harus dia akui bahwa ilmu kepandaian Giok Keng amat hebat dan agaknya kalau bertempur sungguh sungguh, dia tidak akan mampu menandingi dara itu yang sejak kecil tentu digembleng ayah bundanya yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, jauh lebih tinggi daripada kepandaian ayah bundanya sendiri. Dia harus mempelajari ilmu silat yang lebih tinggi! Kalau tidak, apa dayanya untuk mencegah perbuatan jahat kalau dia bertemu dengan orang-orang seperti Ban tok Coa ong Ouwyang Kok dan Siang tok Mo li Bu Leng Ci?

Akan tetapi, ke mana dia harus belajar ilmu? Kalau saja dia dapat menjadi murid supeknya, Cia Keng Hong, tentu dia akan memperoleh kemajuan hebat. Akan tetapi dia bergidik kalau mengingat akan kegalakan Giok Keng. Baru bertemu saja sudah cekcok dan berkelahi, apalagi kalau tinggal serumah. Tentu seperti kucing dengan anjing! Teringat ini, Kun Liong tertawa. Dara itu dimakinya seperti kucing, dan memang pantas! Dan dia anjingnya. Ha ha! Mana ada anjing gundul? Kembali dia mengelus kepalanya dan teringatlah dia akan Pek pek, anjingnya yang berbulu putih seperti kapas, yang dahulu menumpahkan obat ayahnya. Ke manakah anjing itu pergi? Sudah matikah? Kata ayahnya, Pek pek dahulu ditemukan di dekat Kuil Siauw lim si. Ahhh...! Benar! Kuil Siauw-lim si! Siauw-lim pai adalah sebuah perkumpulan besar yang memiliki banyak orang sakti. Ayahnya sendiri pun bekas murid Siauw-lim-pai. Dia harus pergi ke Kuil Siauw-lim-si, belajar kepada tokoh tokoh Siauw-lim pai!

Bukan niat ini saja yang mendorong Kun Liong pergi mengunjungi Kuil Siauw-lim si, akan tetapi juga ada dugaan bahwa ayah dan ibunya tentu mengunjungi kuil itu pula. Kalau tidak ada di rumah Cia Keng Hong, ke mana lagi ayah dan ibunya akan pergi? Setidaknya tentu akan singgah di Siauw lim si, karena ketika ayahnya mencarikan obat untuk para perwira yang terluka, bukankah ayahnya juga pergi ke Siauw-lim si ?

Bekal pemberian kakek pamannya tinggal tak berapa lagi, akan tetapi dengan berhemat, kadang kadang hanya makan buah buah dan binatang hutan cukup juga sisa bekal itu mengantarnya sampai ke Kuil Siauw lim si. Kuil besar yang berada di lereng bukit itu kelihatan megah, membesarkan hati Kun Liong akan tetapi juga menimbulkan ketegangan karena menduga duga apakah dia akan berhasil mendapatkan keterangan tentang ayah bundanya di kuil itu, dan apakah dia akan dapat menjadi murid Siauw-lim si.

Menjadi murid Siauw lim pai? Tak mungkin, pikirnya ketika dia tiba-tiba teringat bahwa ayahnya sendiri sudah keluar dari Siauw-lim si dan tidak diakui sebagai murid. Biarpun ayahnya tidak pernah menceritakan sebabnya, namun dia tabu bahwa dengan menyebut dirinya "bekas murid Siauw lim pai" berarti ayahnya tidak lagi diakui sebagai murid. Kalau para hwesio tokoh Saiuw-lim pai tahu bahwa dia adalah anak Yap Cong San yang telah tak diakui lagi sebagai murid, mana mungkin Siauw-lim pai mau menerimanya. Pikiran ini membuat dia berkeputusan untuk menyelidiki ayah ibunya di kuil itu tanpa mengaku bahwa dia adalah putera mereka.

Demikianlah, pada suatu hari menjelang senja, dia telah berdiri di depan pintu gerhang Kuil Siauw-lim si yang menjadi pusat dari Siauw-lim pai yang terkenal. Berbeda dengan kuil kuil Siauw-lim si yang menjadi cabang Siauw lim-pai, kuil pusat ini selain besar, juga amat luas dan dikelilingi pagar tembok yang tinggi dengan pintu pintu gerbang yang dijaga oleh dua orang hwesio siang malam, seperti sebuah benteng saja!

"Apa? Engkau hendak mengabdi kepada kuil kami, orang muda? Dan untuk keperluan itu engkau telah mendahului membuang rambutmu?" tanya kepala penjaga yang diberi laporan oleh penjaga pintu gerbang akan datangnya seorang pemuda tanggung berkepala gundul yang datang untuk mengabdi dan menjadi kacung kuil itu.

Karena tidak ingin banyak rewel, Kun Liong menjawab, "Demikianlah, Losuhu, sungguhpun teecu tidak sengaja. Harap saja Suhu sudi menerima teecu."

"Hemm, urusan menerima seorang kacung harus diputuskan oleh ketua sendiri, karena kami tidak berani bertanggung jawab kalau kalau ada pihak musuh yang menyelundup."

Di dalam hatinya, Kun Liong mencela hwesio ini. Orang yang sudah menjadi hwesio, berarti menyerahkan jiwa raganya kepada agama, dan orang beragama berarti orang yang melakukan hidup suci, mengapa masih mengaku punya musuh? Akan tetapi karena niatnya hanya ingin menyelidiki kalau kalau ayah bundanya berada di situ dan untuk mencari kesempatan belajar limu silat tinggi, Kun Liong tidak banyak rewel dan mengikuti kepala penjaga yang membawanya menghadap Ketua Siauw lim pai. Dia sudah mendengar dari ayahnya bahwa Ketua Siauw lim pai adalah hekas suheng ayahnya sendiri yang berilmu tinggi dan bernama Thian Kek Hwesio, maka dengan jantung berdebar dia menghadap ketua ini.

Memang benar demikian. Thian Kek Hwesio sendiri yang menerima pelaporan kepala penjaga dan Kun Liong menjadi kecut hatinya ketika melihat bahwa ketua kuil itu adalah seorang hwesio yang amat menakutkan, berusia delapan puluh tahun lebih, tubuhnya tinggi besar dan berkulit hitam, matanya seperti kelereng besar, dan sikapnya keren, kelihatan galak bukan main! Memang demikianlah keadaan Thian Kek Hwesio, wataknya sesuai dengan tubuhnya, kasar dan jujur namun memiliki hati emas!

"Saudara muda, kepalamu kenapakah?"

Suara Thian Kek Hwesio besar dan kasar, namun nada suaranya tidak menyinggung hati Kun Liong yang berlutut di depan hwesio itu di samping hwesio kepala penjaga.

"Teecu makan jamur di hutan dan rambut teecu lalu rontok semua, Lo-suhu." Kun Liong membohong. Dia terpaksa membohong karena kalau dia bicara terus terang, tentu akan berkepanjangan dan dia tidak akan dapat menyembunyikan keadaannya lagi sehingga sia?sialah usahanya.

"Omitohud...! Engkau keracunan, orang muda. Racun yang hebat sekali yang dapat membuat rambut rontok seperti itu! Dan biasanya, racun yang tidak merenggut nyawa, hanya merontokkan rambut berarti bahwa racun itu bertemu dengan racun lain sehingga daya mautnya punah. Engkau masih beruntung!"

Diam?diam Kun Liong kagum sekali. Kini dia mengerti mengapa rambut kepalanya habis. Tentu racun ular dan racun jarum Ouwyang Bouw saling bertanding dalam tubuhnya, urung mencabut nyawanya akan tetapi berhasil menghabiskan rambutnya! Kalau dia dapat berguru kepada kakek ini, akan tetapi ah, tidak banyak selisihnya tentu dengan kepandaian ayahnya. Mereka hanya sute dan suheng. Bukan, bukan kepada Ketua Siauw-lim?pai ini dia ingin berguru, akan tetapi kepada Tiang Pek Hosiang, guru ayahnya atau sukongnya (kakek gurunya)! Dia sudah mendengar dari ayahnya bahwa kakek sakti itu telah mengasingkan diri di dalam Kuil Siauw?lim?si ini, di dalam sebuah kamar yang disebut Ruang Kesadaran! Dan menurut ayahnya, sampai sekarang kakek sakti itu masih hidup. Tentu sudah amat tua, sedikitnya seratus tahun usianya. Kepada sukongnya itulah dia ingin berguru!

"Sebetuinya di sini sudah tidak membutuhkan lagi bantuan seorang kacung, karena banyak sudah anak murid yang melakukan semua pekerjaannya, akan tetapi karena secara mujijat sekali rambut kepalamu menjadi habis tanpa dicukur, seolah?olah Tuhan sendiri yang menakdirkan engkau menjadi calon hwesio, maka biarlah pinceng (aku) menerima pengabdianmu. Kau bekerjalah di sini membantu para hwesio kecil, kelak kalau memenuhi syarat, engkau boleh menjadi anak murid dan masuk menjadi hwesio. Siapakah namamu?"

"Teecu she Liong, bernama Kun." Kun Liong membohong.

"Baiklah, kami sebut engkau Liong-ji (Anak Liong). Kau ikutlah kepada kepala penjaga ini. Berikan sebuah kamar untuk dia bersama para hwesio kecil dan serahkan beberapa pekerjaan harian suruh dia bantu," kata ketua itu yang sudah duduk bersila kembali sambil memejamkan mata. Kepala penjaga itu memberi hormat, kemudian menyentuh lengan Kun Liong diajak keluar dari kamar ketua itu.

Demikianlah, Kun Liong yang di situ terkenal dengan sebutan Liong?ji, bekerja di dalam Kuil Siauw?lim?si, membantu tukang kebun. Pekerjaan ini menyenangkan hatinya karena dia lebih bebas. Dari percakapannya dengan para hwesio kecil yang dipancing?pancingnya secara lihai, Kun Liong mendengar, bahwa ayahnya dan ibunya tidak pernah datang ke kuil ini semenjak yang terakhir ayahnya datang minta obat. Juga dia mendengar bahwa Tiang Pek Hosiang masih bertapa di dalam Ruang Kesadaran tanpa ada yang berani mengusiknya. Dia telah tahu pula di mana letak kamar itu, di dekat kamar gudang penyimpanan pusaka Siauw?lim?pai yang siang malam dijaga oleh empat orang hwesio secara bergilir.

Kecewa juga hati Kun Liong mendengar bahwa ayah bundanya tidak pernah datang ke kuil itu, apalagi ketika dia mendapat kenyataan bahwa siapapun juga, baik dia anggauta Siauw-lim-pai atau orang luar, dilarang keras memasuki dua tempat tanpa ijin ketua sendiri, pertama adalah kamar Ruang Kesadaran yang pintunya selalu tertutup dan kabarnya ketua sendiri tidak berani mengusiknya, ke dua adalah gudang pusaka yang hanya jarang dibuka oleh ketua sendiri untuk mengambil atau menyimpan sesuatu. Hilanglah harapannya untuk dapat berguru kepada Tiang Pek Hosiang yang telah belasan tahun lamanya bertapa di dalam kamar itu!

Sebulan telah lewat. Malam itu gelap dan sunyi. Agaknya semua hwesio telah tidur pulas, kecuali tentu saja mereka yang bertugas jaga. Akan tetapi Kun Liong tak dapat tidur. Dia telah membuang waktu sia?sia selama sebulan dan dia sudah mengambil keputusan tetap untuk mencoba menghadap Tiang Pek Hosiang, apapun juga yang menjadi risikonya. Dia mendengar bahwa siapa berani melanggar dua larangan itu akan dihukum mati. Biarlah kalau dia ketahuan dan dihukum mati. Biarlah kalau orang-orang yang sudah menjadi hwesio, berarti memasuki penghidupan suci masih mau menghukum mati orang! Kalau dalam hal ini dia gagal, besok pagi dia akan minggat dari tempat ini. Hal ini mudah dilakukan karena tugasnya sebagai pembantu tukang kebun memungkinkan dia untuk keluar dari pintu gerbang, membersihkan halaman di luar pintu gerbang.

Menjelang tengah malam, setelah keadaan sunyi benar, Kun Liong keluar dengan hati?hati dari kamarnya. Dua orang hwesio kecil yang menjadi temannya sekamar sudah tidur meringkuk di bawah selimut karena malam itu dingin sekali, di luar penuh kabut sehingga malam bertambah gelap.

Karena sudah hafal akan tempat?tempat penjagaan, Kun Liong dapat menyelinap ke dekat dua kamar terlarang yang letaknya berdekatan itu. Kamar pusaka dan kamar pertapaan Tiang Pek Hosiang. Dia tahu bahwa seperti biasa, tentu ada empat orang hwesio penjaga di depan dan belakang kamar pusaka itu, maka dia sudah mempunyai rencana untuk menyelinap dan menghampiri Ruang Kesadaran dari samping sehingga tidak tampak oleh ke empat orang hwesio penjaga. Dia hendak memasuki kamar itu melalui jendela yang selalu tertutup pula.

Akan tetapi ketika dia menyelinap di balik tembok dan mengintai untuk melihat dua orang penjaga di depan kamar pusaka, dia terbelalak kaget melihat dua orang hwesio penjaga itu menggeletak tak bergerak! Tidurkah mereka? Tidak mungkin! Tertidur di waktu menjaga kamar pusaka bisa mendapat hukuman yang amat berat! Andaikata tertidur, masa dua?duanya? Tentu ada apa?apa yang tidak beres, pikirnya. Dia lalu menyelinap dengan hati?hati sekali, memutari dua kamar itu dan mengintai untuk melihat dua penjaga yang biasanya duduk di sebelah belakang kamar pusaka. Hampir dia berseru heran dan kaget ketika melihat bahwa kedua orang hwesio ini pun sama keadaannya dengan para penjaga di depan. Tertidur! Atau lebih tepat lagi, menggeletak di lantai seperti orang tidur!

Musuh! Dia teringat akan ucapan kepala penjaga akan kekhawatiran mereka ada musuh menyelundup. Apakah malam ini ada musuh Siauw?lim?pai yang menyelundup masuk ke Siauw?lim?pai? Kun Liong lalu menghampiri kamar pusaka. Terdengar suara perlahan dan dia melihat jendela kamar pusaka terbuka, dan ada sinar penerangan menyorot dari dalam. Cepat namun hati?hati sekali Kun Liong menghampiri jendela itu dan mengintai. Tak salah apa yang dikhawatirkannya! Ada tiga orang laki?laki berada di dalam kamar pusaka! Tiga orang laki-laki membongkar lemari dan sedang mengumpulkan benda?benda pusaka, dibuntal kain dan muka mereka memakai kain penutup.

"Maling...!" Kun Liong berteriak dan meloncat ke dalam kamar pusaka melalui jendela yang terbuka.

Tiga orang itu terkejut, melepaskan buntalan, bahkan pemimpin mereka yang biarpun mukanya ditutup sebagian dengan saputangan tampak sebagai seorang pemuda tampan, melepaskan pula buntalannya. "Robohkan dia, hwesio cilik itu!" katanya kepada seorang di antara mereka.

Orang ini menerjang ke depan dengan totokan yang lihai sekali. Akan tetapi kini Kun Liong telah siap karena dia berhadapan dengan maling?maling yang dianggapnya berbahaya. Melihat totokan, dia memasang tubuhnya dan mengerahkan sin?kangnya, menggoyang sedikit tubuh itu sehingga totokan meleset mengenai tubuh yang kebal, sedangkan dia sendiri membarengi dengan pukulan dari jurus Ilmu Silat Pat?hong?sin?kun, mendorong perut orang itu. Maksudnya hanya mendorong, akan tetapi karena sinkangnya masih tersalur, orang yang didorong perutnya itu mengeluarken suara "hekkkhh!" dan roboh pingsan.

"Crattt! Augghh...!" Kun Liong terhuyung?huyung ketika ada sebuah benda merah menancap di leher kirinya. Pandang matanya gelap dan dia terjungkal keluar dari jendela kamar. Sebelum pingsang dia melihat banyak bayangan hwesio?hwesio berkelebatan masuk ke dalam kamar itu.

Dan memang teriakannya tadi telah menggegerkan Siauw?lim?si. Thian Le Hwesio, sute atau wakil Ketua Siauw-lim?si, memimpin sendiri murid-muridnya menuju ke kamar pusaka. Akan tetapi, pemuda yang memimpin pencurian itu lihai bukan main. Dia menyebar jarum merahnya, mencelat ke atas genteng membobol langit?langit kamar itu dan biarpun dikejar, dia sempat menghilang keluar dari Siauw?lim?si. Anak buahnya yang seorang lagi dapat dirobohkan dan ditangkap, bersama seorang yang telah dibikin pingsan oleh Kun Liong dengan dorongan pada perutnya.

Thian Lee Hwesio merasa cemas melihat buntalan?buntalan yang berserakan. Kalau saja tidak ketahuan, tentu banyak pusaka penting Siauw?lim?pai tercuri. Dia cepat melakukan pemeriksaan dan ternyata ada dua buah benda pusaka yang hilang, agaknya terbawa oleh pencuri yang lihai tadi. Kedua benda itu adalah sebuah pedang dan sebuah hio?louw (tempat abu hio) yang amat berharga karena merupakan pusaka kuno dari Siauw?lim-si! Namun masih untung bahwa bukan semua yang berada di buntalan terbawa. Hal ini berkat kewaspadaan Liong?ji, karena empat orang hwesio telah tewas!

"Liong?ji, ke mana dia? Suruh dia ke sini!" Thian Le Hwesio berkata.

Para hwesio mencari?cari, namun mereka tidak dapat menemukan Kun Liong. Thian Le Hwesio sendiri pergi mencari, namun hasilnya kosong sehingga dia termangu dan terheran?heran penuh kekhawatiran. Apakah memergoki maling, lalu pimpinan maling itu menaruh dendam dan membawa lari anak itu? Dengan hati cemas dia lalu menghadap suhengnya, Thian Kek Hwesio Ketua Siauw?lim?pai untuk membuat laporan.

Ke manakah sebetulnya Kun Liong pergi? Tentu saja pemuda itu tidak dapat pergi ke mana?mana kalau tidak ada yang membawanya karena dia tadi terguling pingsan terkena jarum merah pemuda berkedok saputangan yang lihai tadi. Dia terhuyung ke belakang dan terjungkal keluar dari jendela kamar pusaka.

Ketika siuman kembali, Kun Liong mendapatkan dirinya telah berada di dalam sebuah kamar yang luas dan kamar ini kosong tidak ada perabotnya, hanya lantainya bersih sekali, ditilami permadani kuning dan di atas permadani itu duduk bersila seorang kakek yang amat tua, dengan rambut putih dan jenggot panjang. Lehernya masih terasa sakit dan ketika dia meraba lehernya, luka di lehernya telah tertutup obat. Mengertilah dia bahwa dia telah tertolong oleh kakek ini, dan otaknya yang cerdik cepat bekerja. Kakek ini tua sekali, dan bukan hwesio karena rambutnya panjang. Siapa lagi yang dapat menolongnya seperti itu selagi dia berada dalam kuil Siauw?lim-si tanpa diketahui orang? Cepat dia bangkit dan berlutut di depan kakek itu sambil berkata,

"Sukong (Kakek Guru), teecu (murid) Yap Kun Liong menghaturkan banyak terima kasih atas pertolongan Sukong dan membawa teecu ke dalam Ruang Kesadaran ini."

Kakek itu tercengang dan mengelus jenggotnya. "Aihhh, bagaimana engkau bisa tahu bahwa kau berada di Ruang Kesadaran? Tahukah kau siapa aku?"

"Sukong adalah Tiang Pek Hosiang..."

"Hemm, anak cerdik. Agaknya engkau bukan kacung biasa di kuil. Aku melihat engkau berindap seperti maling, akan tetapi malah memergoki maling?maling itu. Kelakuanmu aneh, aku menolongmu selagi kau pingsan akan tetapi kau dapat mengenalku. Siapakah engkau dan mengapa kau menyebut aku kakek guru?"

"Harap Sukong sudi mengampunkan teecu. Sesungguhnya karena ingin menghadap Sukong sematalah maka teecu berani melakukan kelancangan dan membohong kepada para losuhu. Teecu bernama Yap Kun Liong, ayah teecu Yap Cong San murid Sukong..."

"Aha! Kiranya engkau anak Cong San? Engkau menyamar sebagai kacung karena hendak bertemu denganku? Apakah kau disuruh oleh ayahmu?"

"Tidak, Sukong. Teecu menghadap Sukong untuk berguru kepada Sukong."

Kakek itu tersenyum lebar. "Wah, agaknya engkau nakal sekali, sampai-sampai rambut kepalamu habis karena racun. Mengapa engkau ingin berguru kepadaku? Bukankah ayah dan ibumu memiliki kepandaian juga, apalagi engkau dapat minta petunjuk supokmu Cia Keng Hong?"

"Teecu tidak berani minta petunjuk Supek! Teecu telah dibimbing selama lima tahun..." Tiba?tiba dia teringat akan janjinya kepada Sun Hoat Tosu, maka cepat dia menyambung. "Maaf, teecu tidak dapat menyebutkan namanya karena sudah berjanji."

"Ha?ha, Bun Hoat Tosu sungguh tua bangka yang aneh. Mengapa justeru kepadamu dia menurunkan ilmunya?"

"Aihhh...! Teecu tidak pernah menyebut nama beliau...!"

"Jangan khawatir, engkau tidak melanggar janji. Dari gerakanmu ketika kau merobohkan seorang maling, ada dasar gerakan rahasia dari Hoa?san?pai. Dahulu dia pernah mengatakan kepadaku untuk menciptakan sebuah ilmu silat yang mempunyai dasar delapan penjuru. Benarkah?"

"Sukong sungguh waspada. Memang demikianlah. Teecu selama lima tahun diajar oleh beliau dan diberi ilmu silat tongkat Siang?liong?pang dan ilmu silat tangan kosong Pat?hong?sin?kun, juga latihan tenaga sin?kang yang mempunyai daya membetot."

"Ha?ha?ha! Tentu untuk melawan Thi-khi?i-beng, bukan?"

"Ehh...! Sukong tahu juga?"

"Kakek tua Hoa?san?pai itu terlalu jujur sehingga segalanya dapat dilihat dari perubahan mukanya. Dahulu dia merasa penasaran sekali mengapa tidak ada ilmu yang dapat menandingi Thi?khi?i-beng, maka kalau dia menurunkan sinkang kepadamu dengan daya membetot, tentu dia tujukan untuk melawan Thi-khi?i?beng."

Kun Liong mengangguk?angguk sampai dahinya membentur lantai. "Mohon petunjuk dari Sukong."

"Baiklah. Bun Hoat Tosu yang tidak mempunyai hubungan apa?apa denganmu telah rela melatihmu selama lima tahun. Engkau yang masih putera muridku yang paling baik, tentu saja berhak mewarisi ilmu?ilmuku, terutama ilmu yang selama ini kuciptakan di sini. Apa artinya ilmu itu kalau aku mati? Tak dapat kubawa, maka biar engkau yang mewarisinya."

Bukan main girangnya hati Kun Liong. Mulai hari itu, di luar pengetahuan para penghuni kuil, dia mendapat gemblengan ilmu silat tinggi dari kakek sakti itu. Mengapa hal ini sampai tidak ketahuan oleh para penghuni kuil? Karena memang tidak ada seorang pun hwesio yang berani memasuki ruangan itu, dan setiap hari seorang hwesio pelayan kecil mengantar makanan dan minuman serta semua keperluan Tiang Pek Hosiang, meletakkannya dengan penuh hormat di depan pintu ruangan yang tertutup lalu pergi lagi. Ransum makanan dan minuman ini cukup untuk makan minvm mercka berdua, apalagi karena kakek itu jarang sekali makan.

Sementara itu, dua orang tawanan diseret ke depan kaki Ketua Siauw?lim-pai dan dengan suara halus Thian Kek Hwesio, Ketua Siauw-lim?Pai, berkata, "Ji?wi (Kalian Berdua) siapakah dan siapa pula pemimpin kalian yang sudah mencuri pedang dan bokor? Kalian dari golongan mana?"

Biarpun Thian Kek Hwesio bicara dengan suara halus, namun karena sikapnya memang angker sekali dengan tubuhnya yang tinggi besar bermuka hitam matanya lebar, mendatangkan rasa takut dan ngeri di dalam hati dua orang maling itu. Mereka mencoba menggerakkan kaki tangan, namun sia-sia saja karena tubuh mereka sudah lemas dan lumpuh oleh totokan lihai.

"Bebaskan totokan mereka," kata pula Ketua Siauw?lim?pai itu kepada sutenya, Thian Le Hwesio yang menggerakkan tangan dan ujung lengannya yang panjang menyambar dua kali ke arah punggung dua orang tawanan. Mereka mengeluh dan dapat bergerak kembali.

"Nah, sekarang katakan siapa yang menyuruh kalian. Kalau kalian suka berterus terang, tentu pinceng akan memaafkan kalian dan membolehkan kalian pergi dengan aman."

Dua orang itu kembali mengeluh, kemudian saling pandang dan tangan mereka merogoh saku dalam baju. Semua tokoh Siauw?lim?pai yang hadir di situ sudah siap untuk menjaga diri kalau?kalau kedua orang tawanan itu hendak menyerang mereka, atau siap untuk menangkapnya kembali kalau mereka mencoba untuk melarikan diri. Akan tetapi, tiba?tiba dua orang itu mencabut lagi tangan mereka, meraba leher dan keduanya terguling, berkelojotan dan mati.

Thian Le Hwesio meloncat dekat, memeriksa leher mereka yang menjadi bengkak menghijau. Dengan ails berkerut hwesio tua ini mengeluarkan saputangan dan mencabut benda kecil dari leher kedua orang itu, lalu berkata, "Omitohud... kalau tidak salah ini duri kembang hijau...!"

Dia melangkah maju memperlihatkan dua batang duri itu kepada suhengnya, Ketua Siauw?lim?pai. Thian Kek Hwesio memeriksanya sebentar, lalu mengangguk-angguk dan berkata, "Engkau benar, Sute. Ini tentu duri kembang hijau dan kembang itu hanya tumbuh di tepi Kwi-ouw (Telaga Setan)."

"Kalau begitu mereka adalah orang-orang Kwi?eng?pai (Perkumpulan Bayangan Hantu)!" Thian Le Hwesio berseru kaget. "Kita harus segera mengejarnya ke sana dan menuntut kepada ketuanya!"

Pada saat itu, Thian Kek Hwesio duduk memejamkan matanya dan sikapnya penuh perhatian sehingga sutenya, Thian Le Hwesio memandang heran dan tidak mendesak. Memang pada saat itu Thian Kek Hwesio sedang mencurahkan perhatian terhadap suara bisikan halus yang memasuki telinganya seperti hembusan angin lalu, suara yang amat dikenalnya karena suara itu adalah suara gurunya, suara Tiang Pek Hosiang!

"Kacung itu kini menjadi sute kalian yang termuda, dan biarlah urusan pusaka hilang kelak dia yang akan mencarinya."

Thian Kek Hwesio membuka matanya dan berkata, "Sute, tidak usah kita menyusul ke sana. Kelak akan ada orang yang bertugas mengambilnya kembali. Sekarang harap Sute menyuruh para murid memakamkan dua jenazah ini sebagaimana mestinya."

Thian Le Hwesio memandang penasaran, akan tetapi tentu saja dia tidak berani membantah kehendak ketuanya, mengangguk dan mengundurkan diri untuk memimpin para anak buah Siauw?lim-pai untuk mengubur dua jenazah maling itu. Diam?diam hwesio tua ini merasa tidak puas dan penasaran sekali. Boleh jadi Kwi?eng?pai merupakan perkumpulan kaum sesat yang amat terkenal dan ditakuti, apalagi ketuanya yang berjuluk Kwi?eng Niocu (Nona Bayangan Hantu) yang kabarnya menjadi seorang di antara datuk?datuk kaum hitam di waktu itu. Akan tetapi Siauw?lim?pai juga sebuah perkumpulan bersih yang amat besar. Kalau sampai terdengar dunia kang?ouw betapa Siauw?lim?pai dihina, pusakanya dicuri oleh orang Kwi?eng?pai tanpa berani membalas atau mencari, bukankah Siauw-lim?pai akan ditertawakan orang dan para tokoh Siauw?lim?pai dianggap penakut?

Betapapun juga, Thian Le Hwesio masih tidak berani membantah kehendak suhengnya yang menjadi ketua, dan hanya menanti kesempatan baik untuk merebut kembali pedang dan hio?louw pusaka Siauw-lim?pai yang dicuri orang itu. Adapun Thian Kek Hwesio yang maklum bahwa kini di dunia kang?ouw timbul pertentangan dan persaingan antara mereka yang pro dan anti pemerintah, bersikap bijaksana. Tidak saja dia ingin mentaati pesan gurunya yang berdiam di Ruangan Kesadaran, dan yang kini menggembleng sutenya yang termuda, Si Bekas Kacung itu, akan tetapi juga Ketua Siauw?lim?pai yang bijaksana ini tidak mau melibatkan Siauw?lim?pai ke dalam gelanggang pertentangan hanya karena dua buah pusaka saja. Kalau dia atau Thian Lee Hwesio atau para tokoh Siauw-lim?pai yang lain maju menyerbu Kwi?eng?pai, tentu berarti melibatkan Siauw-lim?pai ke dalam pertentangan. Sebaliknya kalau kacung yang kini digembleng suhunya itu yang kelak menyerbu, karena bocah itu bukan jadi anggauta Siauw?lim?pai resmi, tidak ada hubungannya dengan Siauw?lim?pai, tentu Siauw-lim?pai akan bebas dari libatan permusuhan.

Lima tahun lewat dengan amat cepatnya. Di dalam Ruang Kesadaran yang terletak di bagian belakang kompleks bangunan Kuil Siauw-lim?si terasing dari dunia luar, Kun Liong digembleng setiap hari oleh Tiang Pek Hosiang yang sudah menjadi makin tua. Selama lima tahun itu Kun Liong hanya menerima dua macam ilmu yang amat tinggi, yaitu Ilmu Silat Im?yang?sin?kun yang dapat dipergunakan untuk main silat tangan kosong maupun dengan sepasang senjata apa saja, dan ilmu sin?kang yang disebut Pek?in?ciang (Tangan Awan Putih), sin-kang yang amat lembut namun memiliki kekuatan yang amat dahsyat. Siang malam Kun Liong berlatih. Tubuhnya menjadi kurus karena kurang makan, mukanya agak pucat karena tak pernah kenyang menerima sinar matahari, namun matanya kini mengeluarkan cahaya yang aneh dan tajam menusuk seolah?olah menembus jantung orang yang dipandangnya. Yang tidak pernah berubah adalah kepalanya. Tetap gundul, tidak ada sehelai pun rambutnya tumbuh! Dia telah menjadi seorang pemuda dewasa berusia dua puluh tahun, tampan wajahnya, amat sederhana gerak?geriknya, dan yang paling menarik adalah kepala gundulnya. Melihat kepalanya, semua orang tentu menganggap dia sebagai orang hwesio, akan tetapi pakaiannya sama sekali bukan pakaian hwesio.

Pada suatu pagi, Tiang Pek Hosiang berkata kepada Kun Liong yang sudah menghadap dan berlutut di depannya, "Kun Liong, tibalah saatnya engkau keluar dari ruangan ini dan beritahukan kepada Ketua Siauw-lim?pai agar menyediakan sebuah peti mati sederhana untukku, dan kelak membakar jenazahku di puncak bukit belakang kuil tanpa upacara, tak perlu mengundang orang?orang kang?ouw."

"Sukong...!" Kun Liong terkejut bukan main mendengar pesan kakek itu, memandang terbelalak dan mukanya pucat.

Kakek itu tersenyum lebar. "Mengapa, Kun Liong? Mengapa mendengar aku akan mati engkau menjadi terkejut dan pucat mukamu seperti orang takut?"

"Sukong, siapakah yang tidak ngeri dan takut menghadapi kematian?"

"Mengapa timbul takut, Kun Liong?"

"Karena kita tidak tahu apa dan bagaimana kematian itu, Sukong. Kita menjadi ngeri membayangkan apa yang akan terjadi dengan kita."

"Ha?ha, benarkah demikian? Kalau kematian itu sesuatu yang tidak kita kenal, mana mungkin kita menjadi takut akan sesuatu yang tidak kita ketahui? Barulah timbul takut kalau kita mengetahui sesuatu akan kematian yang kita ketahui dari dongeng nenek moyang kita, dari tahyul, mengenal siksaan-siksaan sesudah mati, semua itulah yang menimbulkan rasa takut, bayangan kita sendiri yang timbul dari dongeng-dongeng itu."

"Tidak hanya itu, Sukong. Teecu sendiri tidak percaya akan adanya dongeng tentang neraka, akan tetapi teceu merasa ngeri kalau membayangkan kematian."

"Hemm, kalau begitu, yang kautakutkan bukanlah kematian itu sendiri, melainkan kau takut untuk berpisah dari hidup yang kau kenal ini, takut untuk meninggalkan segala yang kaukenal di dunia kehidupan ini. Andaikata orang-orang yang kausayang, benda-benda yang kausukai di dunia ini, dapat bersamamu pergi ke kematian, agaknya takut itu pun akan lenyap. Bukankah begitu?"

Kun Liong berpikir dan mengangguk, "Agaknya teecu tidak akan takut lagi, Sukong."

"Jelas bahwa orang takut akan kematian karena sesungguhnya dia takut akan berpisah dari isi dunia kehidupan yang disukainya. Bagi seseorang yang sudah dapat mematikan akunya sewaktu hidup, tiada perubahan keadaan antara hidup dan mati. Yang berbeda hanya sebutannya saja karena bagi dia yang tiada lagi ber-aku, setiap saat adalah sama, apa pun yang akan terjadi dengan dia. Mengertikah engkau, Kun Liong?"

Kun Liong mengangguk?anggukkan kepalanya yang gundul, akan tetapi mulutnya berkata terus terang, "Teecu mengerti akan tetapi masih sukar untuk menyelami wejangan ini, Sukong. Akan tetapi, kalau benar Sukong hendak pergi meninggalkan penghidupan ini, perkenankanlah teecu merawat Sukong sampai saat terakhir."

"Jangan, Kun Liong. Sudah tiba waktunya engkau keluar dari sini, biarlah aku melewatkan beberapa hari lagi ini seorang diri saja di sini. Nah, keluarlah dan sampaikan pesanku kepada Thian Kek Hwesio. Pergilah!" Kakek itu sudah memejamkan matanya kembali sambil duduk bersila.

Kun Liong merasa terharu juga. Selama lima tahun dia tidak pernah berpisah dari kakek itu dan menerima gemblengan?gemblengan yang hebat. Dia berlutut dan membentur?benturkan dahinya di atas lantai depan kaki sukongnya itu, menitikkan air mata, kemudian sambil menarik napas panjang keluarlah dia dari ruangan itu membuka daun pintu, menutupkan lagi dari luar dan melangkah ke ruangan dalam.

Dua orang hwesio penjaga terkejut sekali melihat seorang pemuda gundul keluar dari Ruangan Kesadaran. Cepat mereka meloncat menghampiri dan siap untuk menerjang, akan tetapi mereka melongo ketika mengenal Kun Liong, apalagi karena Kun Liong cepat menjura kepada mereka dan berkata,

"Ji?wi Suhu apakah lupa kepada Liong-ji? Aku mendapat pesan dari Sukong untuk disampaikan kepada Thian Kek-losuhu."

"Kau... kau kacung Liong?ji...? Bagaimana bisa keluar dari Ruangan Kesadaran?" Seorang di antara dua hwesio itu bertanya, membelalakkan matanya dan hampir tidak percaya.

"Panjang ceritanya, akan tetapi Thian Kek?losuhu tentu mengerti, harap bawa aku menghadap beliau."

Dua orang hwesio itu saling pandang, kemudian mereka mengiringkan Kun Liong pergi menghadap Thian Kek Hwesio yang tentu saja tidak kaget melihat munculnya Kun Liong. Kakek tinggi besar ini memandang penuh kagum, juga diam?diam dia girang mempunyai seorang sute (adik seperguruan) begini muda dan gagah.

"Liong?ji, engkau baru keluar sekarang?" Ketua Siauw?lim?pai itu menyambut dengan kata?kata ini.

Kun Liong segera berlutut di depan kakek itu dan berkata, "Pertama?tama teecu mohon maaf sebanyaknya bahwa teecu telah membohong kepada Locianpwe. Teecu sebenarnya she Yap bernama Kun Liong, teecu adalah putera tunggal Ayah Yap Cong San di Leng?kok."

Para hwesio yang kebetulan berada di kamar itu terbelalak kaget, akan tetapi Thian Kek Hwesio tersenyum dan mengangguk?angguk. "Pengakuanmu ini makin menggirangkan hatiku, Yap?sicu karena berarti babwa Sicu adalah orang sendiri. Tentu saja pinceng (aku) memaafkan hal itu."

"Terima kasih atas kebijaksanaan Locianpwe. Hal ke dua yang perlu teecu laporkan adalah bahwa selama lima tahun ini, teecu berada di dalam Ruangan Kesadaran bersama Sukong."

"Hal itu pun pinceng sudah tahu, Yap?sicu dan pinceng merasa girang sekali mendengar bahwa Suhu berkenan menurunkan ilmunya kepada seorang pilihan seperti Sicu. Mudah?mudahan saja Sicu dapat mempergunakan pelajaran dari Suhu itu untuk membela kebenaran dan keadilan."

"Tentu saja teecu akan memperhatikan pesan Locianpwe. Dan laporan ke tiga dari teecu adalah pesan dari Sukong bahwa Sukong minta agar Locianpwe suka menyediakan sebuah peti mati sederhana untuk Sukong dan kelak Sukong minta agar jenazahnya diperabukan di puncak bukit di belakang kuil tanpa upacara dan tidak perlu memberi tahu orang?orang kang?ouw."

"Omitohud...!" Thian Kek Hwesio menangkap kedua tangan ke depan dada dan memejamkan kedua matanya. "Pinceng akan melaksanakan semua perintah Suhu."

"Sekarang teecu mohon diri dari Locianpwe, akan meninggalkan Siauw?lim-si," kata Kun Liong sambil memberi hormat.

"Nanti dulu, Sicu. Tidakkah Suhu memerintahkan sesuatu untuk Sicu kerjakan?"

"Tidak, Locianpwe."

"Kalau begitu, agaknya Subu menghendaki agar pinceng yang minta bantuan Sicu. Dahulu ketika Suhu memberi tahu kepada pinceng bahwa Sicu diambilnya sebagai murid, Suhu mengatakan bahwa Siculah yang akan ditugaskan untuk mencari kembali dua buah pusaka yang dahulu dicuri oleh maling?maling itu. Karena itu, sekarang pinceng mengharapkan bantuan Sicu untuk mendapatkan kembali dua buah pusaka yang dicuri itu."

"Ahh, jadi maling?maling itu berhasil membawa pergi dua buah pusaka? Pusaka apakah yang dibawanya dan siapakah maling itu, Locianpwe?"

"Yang diambil adalah sebatang pedang Liong?bwe?kiam (Pedang Ekor Naga) dan sebuah hio?louw emas berukirkan burung hong bermata kemala. Adapun pencurinya, kalau tidak salah dugaan kami adalah tokoh?tokoh dari Kwi?eng?pai yang berpusat di pulau di tengah?tengah Telaga Kwi?ouw (Telaga Hantu)." Hwesio tua itu lalu menceritakan tentang dua orang anggauta maling yang tertangkap dan betapa mereka membunuh diri dengan duri kembang hijau sehingga tidak sempat mengaku.

"Yang mengkhawatirkan hati kami adalah Sute Thian Le Hwesio. Suhu telah memesan bahwa Sicu yang akan mencari kembali pusaka?pusaka yang tercuri, akan tetapi Sute tidak sabar lagi dan dua bulan yang lalu Sute Thian Le Hwesio sudah diam?diam meninggalkan kuil dan menurut para murid, katanya Sute menyatakan bahwa dia pergi untuk merampas kembali pusaka?pusaka itu. Karena itu, pinceng harap sukalah Sicu membantu dan menyusul Sute ke Kwi?ouw untuk membantunya mengambil kembali pusaka yang tercuri."

"Baikiah, Locianpwe. Teecu akan berusaha sedapat mungkin untuk mendapatkan kembali dua pusaka itu."

Setelah Thian Kek Hwesio memberi petunjuk kepada Kun Liong di mana letaknya Telaga Hitam, berangkatlah Kun Liong meninggalkan kuil itu. Setelah berada di luar dan melihat pandangan alam yang indah, terlupalah olehnya akan hal-hal yang tidak menyenangkan, akan kematian sukongnya, akan tugas berat yang dipikulnya, dan yang terasa olehnya hanyalah kelegaan hati yang membuat dadanya seperti melembung dan ringan.

Betapa indahnya pemandangaa alam yang telah dipisahkan dengan dia selama lima tahun! Keluar dari Ruangan Kesadaran yang hanya berupa empat dinding tembok itu dan memasuki dunia luas ini, dia seolah?olah seperti hidup lagi, seperti memasuki dunia baru! Hawa yang amat sejuk segar terasa, nikmat dan sedap sekali memasuki paru?parunya, membawa keharuman bau tanah, rumput, pohon dan kembang?kembang. Ingin dia bernyanyinyanyi, demikian senang dan gembira hatinya. Begini agaknya perasaan seekor burung yang dilepas dari kurungan selama bertahun?tahun!

Hati yang gembira, tubuh yang ringan karena tanpa disadarinya sendiri dia kini telah memiliki ilmu kepandaian yang hebat, membuat Kun Liong dapat bergerak cepat sekali menuruni bukit. Pagi hari itu amat indah dan cerah dan suasana di pegunungan sunyi sekali. Menjelang tengah hari, Kun Liong melihat enam orang laki?laki yang kelihatannya kuat dan gagah mengawal sebuah kereta naik ke puncak gunung dan di atas kereta itu tampak berkibar bendera yang menandakan bahwa para pengawal itu adalah para piauwsu dari Sam?to Piauw-kiok (Perusahaan Expedisi Tiga Golok).

Enam orang itu memandang dengan sinar mata tajam menyelidiki ketika bertemu dengan Kun Liong, akan tetapi karena pemuda gundul itu tidak mempedulikan mereka, maka tidak terjadi sesuatu. Kun Liong hanya menganggap bahwa ada barang kiriman untuk Siauw-lim?pai, maka tentu saja dia tidak berani bertanya-tanya, dan dia tidak tahu barang apa yang berada di dalam kereta yang ditarik oleh empat ekor kuda itu. Dia melanjutkan perjalanamya turun gunung sambil bersenandung dengan hati riang.

Sukongnya benar, pikirnya sambil menikmati hawa udara yang jernih sejuk. Hidup adalah saat sekarang ini yang sesungguhnya nikmat kalau pikiran kita tidak kita biarkan untuk mengenang hal-hal lalu atau hal?hal mendatang, bahkan kematian bukan merupakan hal yang menakutkan atau mendukakan. Apa sih kematian? Kita tidak tahu bagaimana kematian itu, dan tidak mungkin kita takut akan sesuatu yang kita belum tahu. Ketakutan timbul dari bayangan?bayangan, dari angan-angan tentang hal yang kita ketahui atau yang kita anggap telah kita ketahui dari kitab atau dari orang lain. Kalau kematian hanya menjadi kelanjutan dari hidup, perlu apa takut?

Hidup sendiri pun sesungguhnya bukanlah suatu keadaan yang amat menyenangkan. Lihat saja pengalamannya sejak dia meninggalkan rumah. Betapa hidup manusia penuh dengan pertentangan, penuh persoalan yang agaknya sambung menyambung tiada kunjung henti. Dan kalau dia pelajari persoalan-persoalan itu, kesemuanya timbul dari nafsu keinginan manusia memperebutkan sesuatu, baik yang diperebutkan itu benda atau kebenaran! Semua demi si?akunya manusia, sampai?sampai kebenaran sekalipun ingin dimonopoli. Kebenaran?Ku! Si aku inilah sumber dari segala persengketaan, sumber dari segala pertentangan dan permusuhan, membuat hidup menjadi semacam gelanggang pertempuran demi si aku masing?masing. Memang benar sukongnya yang berkata bahwa bagi seseorang yang sudah dapat mematikan akunya sewaktu hidup, tiada perubahan keadaan antara hidup dan mati!

Setelah hari senja baru Kun Liong tiba di sebuah dusun di kaki bukit. Dari jauh dia melihat sebuah warung makan di dekat sebuah rumah penginapan kecil sederhana. Dirogohnya bajunya yang lebar sederhana. Tadi dia diberi bekal uang sekedarnya oleh Thian Kek Hwesio. Lima tahun lamanya dia tidak pernah makan masakan yang enak, hanya makan sayur-sayuran sederhana saja seperti yang dimakan sukongnya. Minumnya pun selama lima tahun itu hanya air jernih. Ada tercium bau arak dan daging panggang dari warung itu, membangkitkan seleranya. Maka masuklah dia ke dalam warung itu, warung kecil yang hanya mempunyai beberapa bangku panjang, meja reyot dan diterangi oleh lampu minyak kecil tergantung di bawah genteng.

Tiga orang tamu yang sudah lebih dulu duduk di dalam warung, mengangkat muka memandang Kun Liong dengan penuh perhatian. Melihat orang?orang itu memandangnya penuh selidik, Kun Liong merasa tidak enak, akan tetapi dengan sikap tidak peduli dia menoleh kepada seorang pelayan yang sedang melayani mereka dan berkata sederhana, "Bung pelayan, tolong sediakan arak dan bakmi semangkuk!"

Pelayan itu menoleh, kelihatan ragu?ragu dan mengulang, "Arak? Dan bakmi dengan daging?"

Kun Liong mengangguk, lalu dia mengambil tempat duduk di ujung sebuah bangku panjang karena tidak ada tempat duduk lain yang kosong. Bangku ini di ujung sana telah diduduki oleh seorang di antara tiga tamu itu, seorang setengah tua yang berjenggot pendek dan agaknya sudah terlalu banyak minum arak karena mukanya merah dan wajahnya berseri. Dengan menggerakken kedua pundaknya dan bertukar pandang dengan tiga orang tamunya, pelayan itu lalu pergi ke belakang untuk mengambilkan arak dan bakmi yang dipesan Kun Liong.

"Aku mendengar bahwa Siauw?lim?pai merupakan partai persilatan yang paling besar dan telah terkenal sekali bahwa hwesio?hwesio Siauw?lim?pai adalah para hwesio yang tidak pernah menyeleweng." Terdengar suara yang tinggi sekali seperti kaleng digurat menyakitkan anak telinga. Kun Liong melirik dan melihat bahwa yang bicara ini adalah seorang di antara tiga tamu tadi, orang yang mukanya kecil, bertopi kain dan bermuka pucat.

"Ha?ha?ha?ha, apa yang kaudengar itu memang benar, Kui?suheng (Kakak Seperguruan Kui). Kalau ada seorang hwesio melakukan pelanggaran, sudah hampir dapat dipastikan dia itu bukan seorang anggauta Siauw?lim?pai!" kata orang yang duduk sebangku dengan Kun Liong.

Arak dan bakmi yang dipesan Kun Liong tiba, dan pemuda ini segera mulai makan tanpa mempedulikan tiga orang tamu itu. Orang ke tiga di antara tamu itu sudah tua, kurus dan lucu sekali karena kelihatan selalu mengantuk. Biarpun kadang-kadang dia mengangkat cawan araknya, akan tetapi matanya seperti terus tidur melenggut dan tidak pernah ikut bicara dengan kedua orang temannya, bahkan sama sekali tidak mempedulikan Kun Liong.

"Benarkah bahwa setiap ada anak murid yang melanggar, Siauw?lim?si bertindak keras sekali dengan hukumannya?" tanya pula Si Muka Pucat yang disebut Kui?suheng oleh Si Jenggot Pendek tadi.

"Kabarnya demikian. Bahkan seorang murid tidak akan diijinkan keluar sebelum lulus dari ujian yang diadakan. Apakah Suheng tidak mendengar betapa ketuanya yang lama, Tiang Pek Hosiang yang terkenal di seluruh dunia kang?ouw itu, terpaksa harus mengundurkan diri karena pelanggaran?"

"Ya, kabarnya begitu. Bahkan murid Siauw-lim?pai yang paling lihai, Yap Cong San yang kabarnya mewarisi ilmu kepandaian kakek sakti itu, terpaksa pula harus meninggalkan keanggautaannya dari Siauw?lim?pai karena pelanggaran."

"Urusan apakah?"

"Entahlah, Sute. Aku sendiri pun tidak tahu jelas. Tentu Tio?taihiap (Pendekar Besar Tio) yang lebih tahu," jawab Si Muka Pucat sambil memandang kepada teman yang sejak tadi seperti orang mengantuk itu. Kedua orang itu kini memandang kepadanya dan diam?diam Kun Liong juga memperhatikan dengan kerling matanya kepada Si Pengantuk yang disebut Pendekar Besar Tio itu.

"Sudahlah, perlu apa bicara tentang urusan orang lain? Yang penting malam ini kita mengaso di losmen dan baru besok pagi kita naik ke Siauw-lim?si. Mudah?mudahan saja perjalanan jauh kita akan berhasil."

Mendengar ini, timbul kecurigaan di dalam hati Kun Liong. Tiga orang ini sikapnya mencurigakan dan mereka ini besok mau nalk ke Siauw?lim?si! Mau apakah mereka? Apakah ada hubungan mereka dengan Kwi?eng?pai yang telah mencuri pusaka Siauw-lim?si?

"Ucapan Tio?taihiap benar," kata Si Jenggot Pendek. "Kita harus menghormati para pendeta Siauw?lim?pai yang terhormat, akan tetapi bagaimana mungkin aku dapat menghormat pendeta munafik yang terang?terangan melanggar pantangan di depan umum?" Setelah berkata demikian, Si Muka Merah yang berjenggot pendek ini mengangkat cawan araknya melirik ke kiri ke arah Kun Liong sambil mengerahkan tenaga sinkang di tubuh bagian bawah.

Kun Liong terkejut bukan main ketika tiba?tiba bangku yang didudukinya itu bergetar dan bergerak terangkat naik! Maklumlah dia bahwa Si Muka Merah ini sengaja main gila hendak mempermainkan dia yang tentu dianggap seorang hwesio yang melanggar pantangan makan daging dan minum arak. Perutnya terasa panas, akan tetapi dia bersikap tenang saja seolah?olah tidak tahu apa yang terjadi, akan tetapi dia pun lalu mengerahkan sin?kang sehingga ujung bangku yang didudukinya itu, yang tadinya sudah terangkat sampai sejengkal lebih dari lantai, kini turun kembali! Si Muka Merah terbelalak dan heran, lalu menjadi penasaran. Sin?kangnya dikerahkan dengan sekuatnya, dan andaikata Kun Liong bukan seorang yang telah memiliki sin?kang kuat, tentu dia akan terlempar jauh oleh getaran ujung bangku yang didudukinya! Akan tetapi, tubuh pemuda ini sama sekali tidak berguncang, bahkan ketika dia mengerahkan tenaganya, terdengar suara "krakkk!" bangku itu patah pada tengahnya dan tubuh Si Muka Merah itu terlempar ke atas seperti dilontarkan oleh tenaga raksasa yang tidak tampak! Cawan araknya terlepas dari tangannya dan tentu akan terbanting tumpah di atas meja kalau saja Si Pengantuk yang disebut Tio?taihiap itu tidak mengulur tangan menyambar cawan itu dan aneh sekali... arak yang tumpah itu seakan-akan tersedot dan melayang kembali ke dalam cawan itu! Sedangkan Si Muka Merah sudah berjungkir?balik dan tidak sampai terbanting. Dia sudah mengepal tinju dan memandang kepada Kun Liong dengan mata mendelik, melihat pemuda gundul itu tetap enak?enak duduk di ujung bangku yang sudah patah tengahnya, menghabiskan sisa arak dalam cawannya!

"Pendeta palsu hayo lawan aku orang she Song kalau kau ada kepandaian!" Si Muka Merah itu membentak marah.

Kun Liong menghabiskan sisa arak dalam cawan, kemudian meletakkan cawan kosong di atas meja dan bangkit berdiri. Tentu saja bangku yang sudah patah tengahnya itu terguling roboh ketika dia bangkit, mengeluarkan bunyi nyaring memecah kesunyian yang menegangkan itu. Dia merogoh saku dan menggapai kepada pelayan yang datang membungkuk?bungkuk dengan ketakutan, kemudian membayar harga makanan dan minuman setelah menanyakan harganya. Setelah pelayan bergegas pergi, dia berpaling kepada Si Muka Merah dan berkata, "Semenjak tadi aku makan dan minum di sini dengan aman, tidak pernah mengganggu orang baik dengan ucapan atau dengan tingkah laku. Engkau hampir jatuh oleh tingkah sendiri, mengapa sekarang ribut?ribut hendak menantang orang?"

"Pendeta palsu, tak usah banyak cakap. Keluarlah kalau kau berani!"

"Saudara Song, duduklah!" Tiba?tiba Si Pengantuk itu berseru nyaring dan Kun Liong melihat betapa Si Muka Merah itu, biarpun bersungut?sungut, mengangguk tak berani membantah, sudah duduk di sudut dengan muka merah. Si Pengantuk itu lalu berdiri menghadapi Kun Liong, mengangkat tangan ke depan dada sambil berkata, "Siauw?suhu, harap suka memaafkan kekasaran kawanku. Akan tetapi aku pun tidak dapat terlalu menyalahkannya karena dia memang paling tidak suka menyaksikan sesuatu yang ganjil, misalnya seorang pendeta yang melanggar pantangan di depan umum, makan daging dan arak."

Kun Liong tersenyum lebar dan memandang Si Pengantuk itu dengan wajah berseri. Dia tidak marah lagi, bahkan merasa betapa lucunya keadaan. Sambil balas menjura dia menjawab, "Sudahlah, tidak ada apa?apa yang harus diributkan kalau hanya karena kesalahpahaman diakibatkan oleh kepalaku yang gundul Tai?hiap, aku bukanlah seorang hwesio dan tidak ada seorang manusia pun di dunia ini yang berhak melarang aku berkepala gundul, minum arak dan makan daging!"

SI MUKA PUCAT tertawa dan sungguh aneh. Biarpun dia kelihatan mengantuk, setelah tertawa wajahnya yang tua kurus itu berseri dan sepasang mata yang sipit itu mengeluarkan sinar mata yang menyambar amat tajamnya, membuat Kun Liong terkejut sekali dan diam-diam pemuda ini maklum bahwa dia berhadapan dengan orang pandai.

"Ha?ha?ha, Song?laote, kaulihat betapa lucunya dan betapa merugikan kalau kau tidak teliti, menyangka orang yang bukan?bukan dan sudah tergesa?gesa turun tangan sebelum yakin akan kesalahan orung. Saudara muda ini sama sekali bukan hwesio, tentu saja bukan merupakan hal aneh kalau dia makan daging dan minum arak."

Orang she Ong itu kini berubah sikapnya. Dia cepat bangkit dan menjura ke arah Kun Liong sambil berkata, "Aihh, mataku seperti buta! Harap suka memaafkan kecurigaan saya tadi, Siauw?eng-hiong. Semuda ini engkau telah memiliki kepandaian hebat, sungguh mengagumkan hatiku. Pertemuan ini harus dilanjutkan dengan persahabatan dan sudilah engkau menjadi tamu kami!"

Kun Liong cepat menjura, "Maaf, saya tidak dapat menerima kehormatan itu. Saya adalah seorang petualang biasa yang tidak ada artinya, dan saya lelah sekali ingin mengaso. Maaf!" Dia lalu melangkah keluar dari warung itu, memasuki losmen sederhana, memesan kamar dan merebahkan dirinya di atas dipan di dalam kamar yang sempit itu, melupakan lagi urusan tadi, akan tetapi diam?diam dia masih menaruh hati curiga terhadap ketiga orang yang hendak naik ke Siauw-lim?si. Kecurigaannya ini membuat Kun Liong gelisah dan pada keesokan harinya, pagi?pagi sekali, dia mendahului tiga orang itu naik ke puncak, kembali ke Siauw?lim?si. Sedikitnya dia harus memberitahukan Thian Kek Hwesio akan tiga orang aneh yang hendak mengunjungi kuil dan yang keadaannya mencurigakan agar Siauw?lim?pai dapat berjaga?jaga.

Biarpun kini Kun Liong melalui jalan yang jauh lebih sukar daripada ketika dia meninggalkan puncak, yaitu jalannya terus mendaki, namun karena dia tergesa?gesa dan mempergunakan ilmu berlari cepat, maka menjelang senja sampai juga dia ke puncak dan memasuki halaman kuil Siauw?lim?si yang amat luas.

Heran hati pemuda ini menyaksikan kesibukan anak murid Siauw?lim-pai, dan setelah dia berhadapan dengan ketua dan para tokoh Siauw-lim?pai di ruangan depan, dapat dibayangkan betapa kagetnya mendengar berita bahwa Thian Lee Hwesio telah tewas terbunuh orang dan baru saja kemarin jenazahnya tiba, dibawa oleh rombongan piauwsu yang kemarin dijumpai di tengah jalan. Kiranya yang berada di dalam kereta adalah sebuah peti yang terisi jenazah Thian Le Hwesio!

Di dalam ruangan itu terdapat dua buah peti mati dan Kun Liong segera berlutut memberi hormat di depan kedua peti mati itu setelah dia mengetahui bahwa dua peti mati itu berisi jenazah sukongnya, Tiang Pek Hosiang, dan jenazah Thian Le Hwesio!

"Bukan pinceng tidak mentaati pesan terakhir dari Suhu," kata Thian Kek Hwesio kepada Kun Liong setelah mempersilakan pemuda itu duduk. "Akan tetapi sebelum kami dapat melaksanakan perintah Suhu dan memperabukan jenazahnya, telah datang jenazah Sute. Maka biarlah kita sekarang mengadakan upacara kepada dua jenazah, apalagi karena sudah sepatutnya kalau jenazah Suhu memperoleh kehormatan dan menerima penghormatan para tokoh kang?ouw yang tentu akan berdatangan mendengar berita kematian Suhu dan Sute. Pinceng harap Sicu akan suka menunggu di sini sampai kedua jenazah disempurnakan."

Kun Liong mengangguk. "Tentu saja, teecu akan menanti di sini karena teecu juga ingin sekali bertemu dengan tokoh-tokoh kang?ouw. Sudah menjadi kewajiban teecu pula untuk menunggu jenazah Sukong sampai diperabukan. Akan tetapi yang sangat mengherankan hati teccu, bagaimanakah Thian Lee?losuhu yang katanya mencari pusaka yang hilang, tahu?tahu kembali dalam keadaan telah tewas dan siapa pula yang mengantar dengan kereta piauw?kiok itu?"

"Yap?sicu telah kami beri tugas untuk mencari kembali pusaka sesuai dengan pesan Suhu, sekarang dengan terjadinya kematian Sute, tugas Sicu menjadi lebih berat. Agar jelas, baiknya Sicu mendengar sendiri penuturan para piauwsu yang mengawal jenazah Sute," kata Ketua Siauw?lim?pai yang segera memanggil enam orang piauwsu itu ke ruangan, sedangkan dia sendiri melanjutkan memimpin para anak murid melakukan upacara sembahyangan terhadap dua peti mati terisi jenazah.

Enam orang piauwsu itu tercengang juga ketika diperkenalkan kepada Kun Liong yang mereka kenal sebagai pemuda gundul yang kemarin berjumpa dengan mereka di tengah jalan. Ketika mendengar bahwa pemuda itu adalah sahabat baik Ketua Siauw?lim?pai, mereka segera memberi hormat, apalagi ketika Ketua Siauw-lim?pai minta agar mereka menceritakan semua kepada Kun Lion, pimpinan piauwsu yang bermuka hitam segera mulai dengan penuturannya.

Sam?to?piauw?kiok adalah sebuah perusahaan pengawalan dan pengiriman barang di kota Lam?san?bun yang sudah amat terkenal karena perusahaan ini dipimpin tiga orang kakak beradik yang tinggi ilmu silatnya, terutama sekali ilmu golok mereka yang sukar dicari tandingannya, sehingga terkenallah sebutan Sam?to?eng (Tiga Pendekar Golok). Karena itu, perkumpulan yang juga memakai nama Tiga Golok ini amat dipercaya orang untuk mengawal pelancong atau barang?barang berharga.

Pada suatu hari, seorang pemuda tampan datang berkereta dan membawa sebuah peti yang panjang besar, menyerahkan peti itu kepada Sam?to?piauw-kok dan minta agar peti itu dikirimkan secepatnya ke Siauw?lim?pai dengan biaya mahal dan dibayar kontan pula!

"Karena pada waktu peti itu datang tiga orang pimpinan kami sedang tidak ada di rumah, maka kami sebagai pembantu?pembantunya menerima barang itu dan kami tidak mengutus anak buah, melainkan kami mengawalnya sendiri mengingat akan baiknya hubungan antara tiga orang pemimpin kami dengan Siauw?lim?pai. Karena barang kiriman itu untuk Siauw-lim?si, maka harus kami jaga agar jangan sampai terjadi sesuatu di tengah jalan. Sama sekali kami tidak pernah menyangka bahwa peti itu berisi... berisi..."

"Jenazah Thian Le?losuhu?" Kun Liong melanjutkan karena pemimpin para piauwsu yang bermuka bitam itu kelihatan gagap.

"Benar, Yap-sicu. Kalau kami tahu apa isinya, hemmm... tentu kami akan menahan dia!"

"Siapakah dia yang mengirim peti itu?"

"Seorang pemuda tampan, dan sekarang, melihat bahwa peti itu berisi jenazah wakil Ketua Siauw-lim?pai, timbul dugaan kami babwa agaknya pemuda itu adalah penyamaran dari dia..." Si Muka Hitam yang biasanya bersikap gagah itu kelihatan ragu?ragu dan jerih, tampak dari matanya yang otomatis melirik ke kanan kiri, seolah?olah dia merasa takut kalau?kalau suaranya terdengar orang lain!

"Siapakah dia yang kaumaksudkan?"

"Giok... hong... cu..."

Kun Liong mengerutkan alisnya karena dia sama sekali tidak mengenal nama julukan Giok?hong?cu (Si Burung Hong Kemala) itu. "Hemmm, dia itu orang apakah?"

Pemimpin rombongan piauwsu itu memandang dengan heran, kemudian dia dapat menduga bahwa pemuda gundul yang diakui sebagai sahabat oleh Ketua Siauw?lim?pai itu agaknya adalah seorang yang sama sekali belum mengenal keadaan dunia kang?ouw, maka dengan penuh gairah seorang yang suka bercerita dia berkata, "Dia adalah seorang wanita muda yang namanya tersohor di seluruh dunia kang?ouw selama dua tahun ini. Ilmu kepandaiannya hebat dan mengerikan, sepak terjangnya ganas sekali dan melihat betapa banyaknya tokoh?tokoh golongan putih yang menjadi korban keganasan tangannya, agaknya dia adalah seorang tokoh baru golongan hitam, sungguhpun ada pula golongan hitam yang dibasminya. Dia seorang tokoh penuh rahasia dan melihat bahwa isi peti adalah jenazah wakil Ketua Siauw-lim?pai, kami terus saja ingat kepadanya."

"Hemm, sungguh tidak baik kalau menuduh orang tanpa bukti, siapapun juga orang itu." Kun Liong membantah, hatinya merasa tidak rela ada orang menuduh seorang wanita muda yang melakukan pembunuhan keji terhadap Thian Le Hwesio.

"Kami tidak menuduh sembarangan!" Si Muka Hitam membantah. "Biarpun dia berpakaian seperti seorang pemuda, akan tetapi wajahnya demikian tampan dan suara serta gerak?geriknya demikian halus. Dia pasti seorang wanita muda yang menyamar."

"Tapi bagaimana kau dapat memastikan dia itu tokoh wanita yang berjuluk Giok?hong?cu?"

"Karena Giok?hong?cu juga seorang dara muda yang cantik jelita, dan... di baju pemuda itu, di bagian dada kiri, terdapat sebuah hiasan burung hong terbuat dari batu kemala. Kabarnya, kami sendiri belum pernah bertemu dengan Giok?hong?cu, tokoh itu pun selalu menghias rambutnya dengan burung hong batu kemala, maka benda itu dijadikan julukannya karena tidak ada seorang pun tahu siapa namanya."

Kun Liong mengerutkan alisnya makin dalam. Blarpun dia tidak yakin benar akan tuduhan ini, namun dia mencatat semua itu di dalam hatinya untuk bahan penyelidikannya kelak. Dia bertugas dan ini perintah mendiang sukongnya, untuk mendapatkan kembali dua buah benda pusaka Siauw?lim?pai yang dicuri orang. Dan karena Thian Le Hwesio tewas dalam usahanya mencari pula pusaka itu, maka agaknya pembunuh hwesio tua itu tentulah orang yang mempunyai hubungan dengan pencurian pusaka itu. Dahulu pun orang yang memimpin pencurian, yang telah melukainya, adalah seorang pemuda yang amat lihai sehingga tidak dapat tertangkap oleh tokoh?tokoh Siauw-lim?pai. Akan tetapi, pemuda itu dahulu berkedok saputangan, dan tubuhnya memang kecil namun tegap dan gagah. Menurut penuturan Ketua Siauw?lim?pai, dua orang pencuri yang tertangkap kemudian membunuh diri, mungkin sekali adalah anggauta Kwi?eng?pai di Kwi?ouw, melihat dari duri yang mereka pakai membunuh diri.

"Apakah Giok?hong?cu yang kausebut itu seorang anggauta Kwi?eng?pai?" tanyanya.

Kembali piauwsu itu kelihatan kaget dan jerih, menggeleng kepala dengan kuat. "Ah, saya rasa tidak ada hubungannya dengan Kwi?eng?pai... akan tetapi entahlah, sepanjang pendengaran kami, Giok?hong?cu selalu bergerak sendiri. Kwi?eng?pai terlalu besar untuk hanya diwakili oleh satu orang saja yang tidak pernah menyebut nama perkumpulan itu."

Kun Liong mengangguk?angguk. "Jadi orang yang mungkin sekali menyamar Giok?hong?cu itu mendatangi Sam?to-piauwkiok di Lam?san?bun? Apakah memang dia tinggal di Lam?san?bun?"

"Yap?sicu, siapakah yang dapat mengetahui di mana tempat tinggalnya? Akan tetapi memang pada bulan?bulan terakhir ini sepak terjangnya berbekas di antara Lam?san?bun sampai ke kota raja."

Kun Liong merasa lega mendengar keterangan ini. Biarpun dia belum yakin benar bahwa tokoh wanita terkenal itu yang membunub wakil Ketua Siauw?lim-pai, namun sedikitnya dia dapat menyelidikinya dan mencarinya antara Lam-san?bun dan kota raja.

Para piauwsu Sam?to?piauwkiok itu tidak lama berada di Siauw?lim?si. Mereka segera berpamit untuk kembali ke Lam-san?bun dan melaporkan peristiwa hebat itu kepada tiga orang pimpinan mereka. Setelah para piauwsu itu pergi, teringatlah Kun Liong akan tiga orang yang ditemuinya di warung, dan kecurigaannya bertambah. Dalam keadaan seperti pada waktu itu, setelah peristiwa hebat yang menimpa diri wakil Ketua Siauw-lim?pai, maka setiap orang yang datang ke Siauw?lim?si tentu mengandung niat yang meragukan. Siapa tahu kalau-kalau tiga orang yang dijumpainya itu, yang jelas bukanlah orang?orang biasa, adalah anak buah Kwi?eng?pai atau setidaknya mempunyai hubungan dengan pembunuh Thian Le Hwesio.

Pikiran ini mendorong Kun Liong untuk meninggalkan kuil dan menghadang di depan kuil, menanti munculnya tiga orang yang dicurigai itu. Dia tidak menanti lama, karena segera tampak olehnya tiga orang yang ditunggu?tunggu itu berlari mendaki puncak dengan gerakan cepat. Diam?diam dia terkejut juga. Dia memang tahu bahwa mereka itu adalah orang?orang berkepandaian, terutama sekali Si Pengantuk yang telah ia saksikan kelihaiannya ketika Si Pengantuk yang disebut Tio?taihiap itu menyambar cawan arak yang terlempar dan menyedot arak yang tumpah keluar kembali ke dalam cawan, membuktikan tenaga sin?kang yang amat kuat. Akan tetapi melihat tiga orang itu menaiki puncak sambil berlari sedemikian cepatnya, dia benar?benar tercengang dan kecurigaannya bertambah. Siauw-lim?pai telah kedatangan tiga orang lawan berat, pikirnya. Lebih baik dia menghalangi mereka itu di luar agar tidak mengacaukan dalam kuil di mana sedang diadakan upacara sembahyang terhadep dua jenazah dalam peti?peti mati.

Hari masih pagi di waktu itu. Kun Liong berdiri di tengah lorong kecil yang menuju ke kuil, membelakangi pintu kuil yang terbuka sebelah. Keadaan di luar kuil sunyi karena semua hwesio sibuk di sebelah dalam, melayani ketua dan para pimpinan yang melakukan sembahyangan. Dari luar terdengar bunyi liam?keng (doa) mereka dan suara ketukan?ketukan mengiringi doa sembahyang seperti nyanyian puji?puji yang penuh khidmat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar