06 Pendekar Lembah Naga

Semenjak terjadi peristiwa itu, sikap Siong Bu makin angkuh dan menghina Sin Liong. Siong Bu masih merasa penasaran dan sakit hati karena daun telinganya digigit. Biarpun kini lukanya telah sembuh, namun ujung telinganya masih berbekas, dan ini mengingatkan dia betapa dia hampir kalah oleh "anak monyet" itu! Kekalahan inilah yang lebih menyakitkan daripada luka di daun telinganya. Akan tetapi kini Sin Liong tidak pernah mau melayaninya biarpun dia sudah sering kali menghinanya dan memancing suatu perkelahian lagi. Karena sikap Sin Liong yang mengalah ini, maka hal itu menimbulkan perasaan tidak senang di hati Beng Sin yang menganggap bahwa Sin Liong pengecut dan penakut. Juga Lan Lan dan Lin Lin merasa tidak senang. Rasa kagumnya terhadap Sin Liong yang berani melawan Siong Bu bahkan hampir menang, segera lenyap karena merekapun menganggap bahwa Sin Liong penakut. Padahal, bukan demikian sesungguhnya. Ada sebabnya mengapa Sin Liong tidak lagi mau melayani penghinaan Siong Bu yang merasa sakit hati kepadanya itu. Bukan karena takut dihajar lagi oleh ayah angkatnya.

Pada keesokan harinya setelah perkelahian itu, dia dipanggil oleh Si Kwi. Dalam pertemuan empat mata ini, Si Kwi menerimanya dengan alis berkerut dan memandang wajahnya dengan penuh perhatian.

"Sin Liong, aku mendengar bahwa kau berkelahi dengan Siong Bu?" tanya nyonya ini dengan suara halus. Semalam dia diceritakan oleh suaminya betapa Sin Liong mencuri belajar silat dan berani berkelahi melawan Siong Bu dan dalam keliarannya menggigit telinga Siong Bu hampir putus!

Sin Liong menunduk dan mengangguk. Satu-satunya orang yang dipandang dan dihormati serta dicintanya di dalam rumah itu hanyalah ibu angkatnya ini. Dia tidak ingin membuat ibu angkatnya ikut berduka atau marah kepadanya.

"Dan engkau telah mencuri dan mempelajari ilmu silat mereka?"

"Ibu... saya... saya hanya menonton dan meniru-niru saja."

"Hemm, yang sudah lalu biarlah. Akan tetapi mulai sekarang jangan kau ikut mempelajari ilmu silat mereka, dan terutama sekali jangan engkau berkelahi dengan siapapun."

Sin Liong menundukkan mukanya, wajahnya kelihatan berduka sekali, tetapi dia tidak menjawab. Melihat wajah itu, teringatlah Si Kwi kepada Cia Bun Houw dan dia menarik napas panjang. Dia sendiri merasa heran mengapa anaknya ini, yang sejak kecil tidak pernah belajar ilmu silat, dapat bersilat hanya dengan menonton saja, dan yang lebih mengejutkan lagi, dapat melawan dan menandingi Siong Bu yang sudah memiliki kepandaian lumayan dan paling kuat di antara empat orang anak yang dipimpin suaminya!

"Sin Liong, mengapa kau ingin sekali belajar silat?" Tiba-tiba dia bertanya, pertanyaan yang digerakkan karena teringat akan Cia Bun Bouw.

Tiba-tiba anak itu mengangkat mukanya dan Si Kwi merasa jantungnya tergetar ketika melihat sepasang mata yang mencorong dan tajam sekali itu! "Ibu, katakan... siapa yang membuntungi tangan kiri ibu?"

Wajah Si Kwi seketika menjadi pucat dan matanya terbelalak. "Ahhhh...!"

"Saya ingin membalasnya, saya ingin memotong dan membuntungi kedua tangannya! Siapa dia, ibu?"

"Ohhh... Liong-ji...!" Si Kwi merintih dan tak dapat menahan air matanya. Dia cepat menggunakan saputangan untuk menyusuti air mata yang mengalir turun di atas kedua pipinya itu.

Melihat ini, Sin Liong cepat berlutut di depan kaki ibu angkatnya. "Ibu, ampunkan saya... sakit sekali hati saya melihat ada orang berbuat demikian keji terhadap ibu. Saya ingin belajar silat karena ingin membalasnya!"

Si Kwi menggunakan tangan kanannya mengelus rambut kepala anak itu. Sejenak tangannya membelai rambut itu dan jantungnya seperti diremas-remas. Anak ini adalah anaknya! Tidak salah lagi! Anak Cia Bun Houw!

"Jangan salah mengerti, anak yang baik. Tangan kiriku ini bukan dibuntungi oleh musuh, melainkan oleh mendiang guruku sendiri."

"Ahh...!" Sin Liong memandang wajah ibu angkatnya dengan mata terbelalak. "Betapa kejamnya! Mengapa ibu?"

"Itulah kalau orang belajar silat, anakku. Guru-guru yang mengajar ilmu silat memang biasanya keras. lbumu ini telah melakukan kesalahan maka hukumannya adalah potong tangan kiri! Oleh karena itu, jangan kau belajar ilmu silat, tidak ada gunanya, anakku. Ayah angkatmu masih lunak ketika menghajarmu dengan cambukan. Maka, kalau engkau suka mendengarkan kata-kata ibumu, mulai sekarang, jangan engkau layani siapapun untuk berkelahi. Belajarlah dengan tekun, anakku, agar kelak engkau menjadi seorang manusia yang baik dan berguna."

Sin Liong kecewa sekali, akan tetapi dia amat mencinta ibunya ini yang sejak dia kecil amat baik kepadanya, maka dia mengangguk. Lalu bangkit dan meninggalkan kamar ibunya. Sampai di pintu, dia menengok. "Ibu, apakah sampai sekarang ibu belum juga mendengar siapa adanya ayah dan ibuku yang sesungguhnya?"

"Ahh...!" Si Kwi merasa ditampar lalu dicekik lehernya. Dia hanya memandang dengan wajah pucat. Entah sudah berapa kali anak ini menanyakan hal itu, dan selalu dijawabnya bahwa dia tidak tahu, bahwa dia akan berusaha untuk menyelidikinya. Dan sekarang anak itu kembali menanyakan hal itu. Dia tidak mampu menjawab, hanya menggeleng kepalanya. Sin Liong menunduk, memutar tubuh dan melangkah pergi.

"Liong-ji...!"

Sin Liong berhenti dan ibunya telah berada dekatnya. Dengan sentuhan mesra Si Kwi membuka baju anaknya, melihat jalur-jalur merah di punggungnya. Dia berkata, "Mari kuobati luka-lukamu akibat cambukan itu dan... heii, sudah kering semua..."

"Tidak perlu, ibu. Semalam luka-luka itu telah dijilati oleh monyet betina tua dan sudah sembuh." Setelah berkata demikian, Sin Liong melangkah pergi, menghilang di dalam gelap.

Nah, itulah sebabnya mengapa Sin Liong tidak pernah mau melayani godaan dan ejekan Siong Bu. Dia selalu teringat akan pesan ibu angkatnya dan dia tidak ingin menyusahkan hati ibu angkatnya. Maka ditelannya semua hinaan dan godaan, dan dia sama sekali tidak pernah mau melayani.

Akan tetapi, sesungguhnya Sin Liong menderita batin yang sukar dapat dipertahankannya. Pada dasarnya dia memiliki watak keras dan tidak takut terhadap siapapun juga, maka ejekan, hinaan dan tantangan Siong Bu yang dilontarkan kepadanya dan tidak dijawabnya karena dia teringat akan ibu angkatnya, membuat hatinya sakit sekali. Akhirnya dia tidak dapat menahan kemarahannya lagi, apa pula ketika melihat betapa Beng Sin, Lan Lan dan Lin Lin mulai tidak suka kepadanya dan menganggap sebagai seorang anak yang pengecut dan penakut. Dia tahu bahwa tiga orang ini tadinya berfihak kepadanya dan tidak suka melihat dia dihina dan ditantang, mereka menghendaki agar dia melawan. Akan tetapi, bukan dia takut kepada Siong Bu, bukan pula takut akan hukuman dari ayah angkatnya, melainkan dia tidak ingin menyusahkan hati ibu angkatnya, tidak ingin melanggar pesan ibu angkatnya.

Akan tetapi kekerasan hatinya membuat dia makin tidak kuat bertahan, apalagi setelah dia merasa kesepian karena anak-anak yang lain mulai menjauhkan diri darinya. Maka pada suatu malam, diam-diam dia meninggalkan kamarnya, pergi menemui teman-temannya, yaitu para monyet besar dan bersama mereka dia memasuki hutan lebat dan tidak mau kembali lagi ke Istana Lembah Naga!

Pada keesokan harinya, semua orang di Istana Lembah Naga kehilangan. Si Kwi menjadi bingung sekali. "Biarlah," kata suaminya. "Sudah kuketahui bahwa dia terlalu banyak terpengaruh oleh monyet-monyet itu sehingga dia tidak betah lagi tinggal bercampur dengan manusia biasa. Kita sudah terlalu baik kepadanya, dan kalau kita lebih baik lagi, aku khawatir dia akan menjadi manja dan rusak. Ingat akan sifat-sifatnya yang liar."

Akan tetapi tentu saja Kui Hok Boan tidak tahu bahwa hati seorang ibu kandung mana mungkin bisa menegakan anaknya begitu saja? Si Kwi juga tidak berani membuka rahasianya. Kalau dia mau, tentu saja dia dapat mengerahkan tenaga para anak buah suaminya yang banyak jumlahnya. Akan tetapi dia tahu akan kekerasan hati dan keanehan watak Sin Liong. Kalau hanya mengandalkan para anak buah itu untuk mencari dan membujuknya sudah pasti anak itu tidak akan sudi pulang! Maka dia lalu diam-diam mencari sendiri dan dia tahu ke mana dia harus mencari.

Si Kwi membawa seperangkat pakaian dan memasuki hutan. Tepat dugaannya, lewat tengah hari dia tiba di tengah hutan dan dengan hati hancur dia melihat anaknya itu berloncatan dari dahan ke dahan di atas pohon-pohon yang amat besar dan tinggi bersama beberapa ekor monyet besar. Yang mengharukan hatinya adalah melihat anak laki-laki itu sama sekali telanjang bulat! Agaknya Sin Liong telah membuang semua pakaiannya dan bertelanjang seperti teman-temannya. Dan dari tempat dia mengintai, Si Kwi melihat betapa wajah anak itu menjadi tampan berseri-seri, penuh keberuntungan dan kegembiraan, bebas dari kungkungan manusia dengan segala peraturannya, iri hatinya, kebenciannya dan permusuhannya!

Melihat wajah yang tampan gembira itu, hampir saja Si Kwi pergi lagi. Tidak tega dia mengganggu kebahagiaan anak itu! Akan tetapi dia lalu teringat bahwa anaknya itu adalah seorang manusia. Dia akan merasa berdosa, berdosa terhadap Sin Liong, terhadap diri sendiri dan terhadap Cia Bun Houw kalau dia membiarkan saja anaknya menjadi monyet!

"Liong-ji...!" Dia meratap, memanggil dan air matanya bercucuran.

"Grrrr... grrrr...!" Monyet-monyet itu menggereng dan Sin Liong juga mengeluarkan suara gerengan seperti monyet. Akan tetapi ketika dia melihat ibu angkatnya di bawah pohon, dia terkejut sekali. Cepat dia meloncat ke dahan lain dan hendak melarikan diri.

"Sin Liong... kau... kau... tidak kasihankah kepada ibumu...? Sin Liong, anakku...!"

Mendengar seruan dan ratapan yang dikeluarkan dengan isak tangis ini, Sin Liong berhenti, termenung, kemudian dia berloncatan turun.

"Ibu...!" Dia meloncat ke atas tanah lalu berlutut di depan kaki ibunya. Sudah dua hari dua malam dia tinggal bersama monyet-monyet itu, dan kini ibunya menyusulnya. Kalau saja ibunya tidak menangis dan keadaannya demikian menyedihkan, tentu dia tadi sudah melarikan diri.

"Liong-ji... mengapa kau meninggalkan ibumu? Apakah kau tidak suka lagi kepada ibumu, anakku?"

"Ibu..." Sin Liong merasa lehernya seperti dicekik. Dua hari dua malam tidak bicara, hanya mengeluarkan suara seperti monyet-monyet itu, membuat lidahnya kaku dan sukar baginya untuk bicara. Akan tetapi akhirnya dapat juga dia berkata, "Aku tidak meninggalkan ibu, aku meninggalkan mereka itu!" Suaranya mengandung kemarahan.

"Akan tetapi, meninggalkan mereka berarti meninggalkan ibu, anakku. Marilah kita kembali, kau tidak boleh meninggalkan aku."

Sin Liong mengangkat mukanya, matanya mengeluarkan sinar berapi. Kemudian dia menggeleng kepalanya. "Tidak, ibu! Tidak, aku tidak mau kembali ke sana untuk menerima hinaan mereka!"

Si Kwi merangkul dan memeluk anaknya, mengelus kepala anaknya. "Salahku, Liong-ji, salahku. Sekarang aku berjanji bahwa tidak akan ada orang yang berani mengganggumu lagi. Aku akan melarang mereka! Ya, aku akan melindungi anakku!"

"Akan tetapi... mereka pandai silat dan aku tidak boleh..."

"Aku akan melatihmu, Liong-ji. Aku akan mengajarkan ilmu silat kepadamu."

"Benarkah?" Sin Liong girang sekali. "Menurut Lan-siocia dan Lin-siocia..."

"Mulai sekarang kau boleh menyebut mereka moi-moi, jangan menyebut siocia!"

"Ahhh...! Menurut mereka, kepandaian ibu tidak kalah oleh gi-hu..."

"Asal engkau rajin belajar, engkau tentu akan pandai, anakku, karena engkau memiliki bakat dan tenaga yang kuat."

"Akan tetapi, apa artinya belajar silat kalau aku tidak tahu siapa ayah dan ibuku?"

Si Kwi menarik napas panjang dan membantu anaknya memakai pakaian yang dibawanya dari rumah tadi. "Pakailah ini dan mari kita pulang, nanti akan kuceritakan kepadamu siapa adanya ayahmu..."

Janji dan bujukan ini berhasil. Wajah Sin Liong berseri, matanya terbelalak lebar penuh harapan. Dia tidak membantah lagi, mengenakan pakaian itu, kemudian dia mengikuti ibunya pulang. Mereka tiba di rumah di waktu senja. Karena tidak ingin melihat Sin Liong merasa malu dan sungkan bertemu dengan anggauta keluarga lain, maka dia langsung mengajak Sin Liong memasuki kamar anaknya itu di dekat kandang kuda. Sin Liong lalu menyalakan lampu minyak sederhana yang berada di atas meja kasar di dalam kamarnya. Semua gerak-geriknya diikuti oleh pandang mata Si Kwi dengan penuh keharuan. Insyaflah wanita ini bahwa dia memang telah membiarkan anak kandungnya ini terlantar! Tak terasa lagi dua titik air mata membasahi pipinya ketika dia duduk di atas bangku dan melihat keadaan di kamar itu. Dia telah memperlakukan anaknya sendiri seperti seorang bujang saja! Hal itu dia terpaksa lakukan agar suaminya dan semua orang tidak akan ada yang menyangka bahwa Sin Liong adalah anak kandungnya.

Sin Liong menoleh. Melihat ibunya menangis, dia lalu menubruk, menjatuhkan diri berlutut di depan ibunya dan berkata, "Ibu... aku hanya tahu bahwa ibu merawatku sejak kecil, bahwa aku adalah anak angkat dari ibu... bahwa katanya ibu menemukan aku di antara monyet-monyet itu. Akan tetapi aku tahu, aku melihat perbedaan antara aku dengan mereka, aku tahu bahwa aku bukanlah anak monyet, melainkan anak manusia seperti juga kedua kongcu dan kedua siauw-moi. Hanya ibu yang tahu siapa ayah bundaku yang sesungguhnya..."

"Liong-ji..." Si Kwi memejamkan mata, membelai kepala anaknya yang rebah di atas pangkuannya itu. Biarpun anak itu lenyap sejak dilahirkan, biarpun dia tidak menyaksikan dengan mata kepala sendiri bahwa anak ini adalah anak yang dilahirkannya di dalam guha itu, namun dia yakin. Inilah anaknya itu!

Wajah anak ini mengingatkan dia kepada Bun Houw, terutama matanya. "Angkatlah mukamu anakku, lapangkan dadamu. Engkau bukan anak orang sembarangan saja, Sin Liong. Ayahmu adalah seorang pendekar sakti yang sukar dicari bandingannya di dunia ini."

Sin Liong mengangkat mukanya, memandang kepada wajah wanita yang selama ini dianggap sebagai ibunya itu, "Ayah saya... siapa namanya, ibu?"

"Namanya adalah... Cia Bun Houw..."

"She Cia?" Sin Liong yang merasa tegang hatinya itu tidak memperhatikan suara ibunya yang tergetar penuh keharuan ketika menyebut nama itu. Ibunya mengangguk. "Engkaupun sesungguhnya she Cia..."

"Dan ibuku...?"

"Ibumu... ibumu... dia sudah meninggal dunia, anakku."

"Ahhh...!" Sin Liong tertegun, mukanya berubah agak pucat, akan tetapi dia tidak menangis lagi. Tadipun dia hanya menitikkan beberapa butir air mata yang cepat diusapnya. Setelah mendengar bahwa ayahnya adalah seorang pendekar sakti yang tiada keduanya atau tiada bandingannya di dunia ini, dia merasa malu untuk menangis!

"Ya, dia sudah meninggal dunia, dia, adalah murid seorang wanita sakti yang berjuluk Hek I Siankouw dan yang sudah meninggal pula..."

"Namanya, ibu? Siapa namanya?"

"Aku tidak tahu. Kelak engkau akan mengetahuinya dari ayahmu... kalau... kalau engkau ada jodoh bertemu dengan dia..."

"Di mana ayah kandungku itu tinggal, ibu?"

Si Kwi menggeleng kepalanya. "Aku sendiri tidak tahu, anakku. Dia adalah putera dari ketua Cin-ling-pai di Pegunungan Cin-ling-san. Hanya itu saja yang kuketahui. Sudahlah, jangan kau bertanya lagi... mulai sekarang, kau belajarlah ilmu silat yang tekun dan kelak... siapa tahu, engkau akan dapat mencari ayahmu itu."

"Baik, ibu!" Sin Liong berkata penuh semangat. Dia lalu bangkit berdiri, memandang kepada Si Kwi dengan sepasang matanya yang lebar. "Mulai sekarang, selain menjadi ibu angkatku, engkau juga menjadi guruku!" Dan anak ini lalu menjatuhkan diri berlutut dan memberi penghormatan dengan jalan menyentuhkan dahinya ke atas lantai di depan kali ibunya.

"Sin Liong..." Si Kwi merangkulnya penuh keharuan.

Ibu dan anak ini tidak tahu bahwa di dalam keremangan senja, ada orang di luar jendela yang sejak tadi mengintai dan mendengarkan percakapan mereka. Orang itu adalah Kwan Siong Bu yang memang sejak tadi sudah berada di dekat pondok itu sehingga dia tahu akan kedatangan ibu dan anak itu dan dengan mudah dia dapat mengintai tanpa diketahui oleh Si Kwi yang pandai. Kalau anak itu banyak bergerak, atau kalau Si Kwi tidak sedang dilanda keharuan, tentu wanita yang lihai ini akan tahu bahwa ada orang lain yang mendengarkan percakapan mereka di luar jendela pondok itu.

Demikianlah, mulai saat itu, Sin Liong belajar silat di bawah asuhan ibunya sendiri. Dan Si Kwi menegur kedua orang "keponakan" dari suaminya itu agar jangan lagi mengejek dan menghina Sin Liong. Melihat pembelaan dan perlindungan yang diberikan oleh isterinya kepada anak angkat itu, Kui Hok Boan pun hanya mengangkat bahu saja. Dia tentu saja tidak mau ribut-ribut dengan isteri yang dicintainya itu hanya karena urusan Sin Liong, si anak monyet. Dengan amat rajin dan tekun sekali Sin Liong mulai mempelajari dasar-dasar ilmu silat dan ternyata memang dia amat berbakat sehingga pclajaran ilmu silat itu dapat dikuasainya dengan lancar sekali. Hal ini membuat Si Kwi merasa girang. Akan tetapi, di samping mempelajari ilmu silat dari ibunya, Sin Liong masih tetap melakukan pekerjaannya sehari-hari, tidak pernah dia kelihatan malas. Anak ini tahu bahwa dia adalah seorang "luar" dalam keluarga itu, hanya seorang anak pungut atau anak angkat, maka diapun "tahu diri". Karena sikapnya ini, biarpun di dalam hatinya Kui Hok Boan merasa tidak senang dengan anak ini, namun dia tidak menemukan alasan untuk memperlihatkan ketidaksenangannya itu dan Sin Liong dapat bekerja seperti biasa.

Setahun telah lewat tanpa terasa. Pada suatu pagi yang cerah, terdengar suara nyaring dan merdu dari dua orang anak perempuan yang bermain-main di dalam taman indah Istana Lembah Naga. Mereka adalah Kui Lan dan Kui Lin yang sedang bermain-main di situ. Tadinya kedua orang anak perempuan kembar ini berlatih silat akan tetapi sebagai anak-anak yang baru berusia sepuluh tahun, mereka lalu merasa bosan dan bermain-main sambil tertawa-tawa. Mereka berkejar-kejaran, mengumpulkan bunga-bunga, kadang-kadang mengejar kupu-kupu yang beterbangan di antara bunga-bunga yang sedang mekar. Memang, musim bunga telah tiba dan taman itu penuh dengan bunga-bunga yang beraneka ragam dan warna.

"Ah, bunga di pohon itu indah sekali, Lin Lin," kata Kui Lan sambil menuju ke puncak pohon besar yang tumbuh di tengah-tengah taman.

"Benar," jawab Kui Lin. "Ibu juga suka memakai kembang ini sebagai hiasan rambut. Nah, itu di sana ada beberapa tangkai yang gugur dari atas." Kui Lin berlari dan mengambil bunga berwarna merah muda yang rontok, dari atas pohon.

"Ah, aku tidak suka bunga yang sudah gugur, sudah hampir layu dan kotor, Lin Lin. Kalau bisa mendapatkan yang masih segar di atas itu, baru indah!"

"Mana bisa, Lan Lan? Tempatnya begitu tinggi. Ngeri kalau harus memanjat pohon setinggi ini dan cabangnya banyak yang basah pula, licin dan sukar."

"Hei, Lin-moi! Kenapa engkau mulai lagi menyebut namaku begitu saja? Sudah berapa kali ibu mengharuskan engkau menyebut cici kepadaku?" Kui Lan menegur.

Kui Lin cemberut. "Memangnya berselisih berapa sih usia kita? Tidak ada sehari, hanya beberapa menit!"

"Kau memang bandel! Sudahlah, kita mencari bunga lain saja, aku tidak suka bunga yang layu itu."

Tiba-tiba muncul Sin Liong yang tadi menyapu di pinggir taman. Jalan menuju ke taman itulah yang harus selalu bersih dan harus disapu setiap pagi karena penuh dengan daun dan bunga gugur.

"Kalian menginginkan bunga merah di atas itu? Biar kuambilkan untuk kalian." katanya melihat dua orang anak perempuan itu kecewa karena tidak dapat memperoleh bunga-bunga yang mereka inginkan.

"Kau bisa mengambil bunga itu?" Kui Lin menudingkan telunjuknya di atas.

"Tentu saja bisa! Dia ahli memanjat pohon! Lekas ambilkan, Sin Liong!" kata Kui Lan dengan girang.

"Lan Lan, bukankah ibu sudah memesan agar kita menyebut koko kepadanya?" Kui Lin menegur kakaknya.

Kini Kui Lan yang cemberut dan melotot kepada adiknya. "Huh, kau sendiri tidak mau menyebut cici kepadaku!"

Sin Liong tersenyum. "Sudahlah, segala sebut-sebutan itu apa bedanya sih? Lihat, aku akan mengambilkan bunga-bunga yang paling segar untuk kalian. Kuambilkan yang berada di paling puncak!"

Sebelum dua orang anak perempuan itu menjawab, Sin Liong sudah melompat dan bagaikan seekor kera saja, dengan cekatan dan cepat sekali dia sudah memanjat pohon besar itu. Ketika tiba di atas, dia sengaja berayun-ayun di antara cabang-cabang pohon. Dua orang anak perempuan kembar yang berada di bawah bertepuk tangan dan berteriak-teriak memuji, kadang-kadang mereka menjerit karena merasa ngeri merryaksikan tubuh Sin Liong berayun-ayun seperti itu. Hati mereka merasa ngeri.

Semenjak kecil, manusia sudah mengenal pujian-pujian yang tentu saja mula-mula dimulai dengan timang dan puji dari ayah ibunya sendiri, lalu lama-kelamaan sifat suka dipuji ini dibentuk oleh keadaan sekeliling. Makin besar pertumbuhan anak itu, makin besar pula sifat suka dipuji ini, dan agaknya sifat ini dibawa terus sampai tua dan sampai mati. Betapa manusia ini selalu haus akan pujian. Sifat haus akan pujian ini makin memperbesar gambaran kita tentang diri kita sendiri dan hal ini menambah sukar bagi kita untuk memandang dan mengenal diri sendiri seperti apa adanya. Kita ini kerdil, namun gambaran-gambaran itu membuat kita melihat diri kita besar dan agung! Kita ini kotor, namun gambaran-gambaran itu membuat kita melihat bayangan kita sebagai yang paling bersih! Sehingga kekotoran kita sendiri itu tidak pernah nampak oleh kita, dan karena tidak pernah kelihatan maka tentu saja tidak pernah terjadi perubahan yang membersihkan kekotoran itu.

Sin Liong sebagai anak, baru berusia dua belas tahun, tentu saja tidak terlepas dari sifat ini. Mendengar dua orang anak itu bersorak memuji, dan kadang-kadang menjerit karena merasa ngeri, dia lalu sengaja hendak memamerkan kepandaiannya! Bagi dia, berayun-ayun dan bermain-main di pohon itu, betapapun tingginya, tiada bedanya dengan bermain-main dan berlarian di atas tanah saja. Melihat Sin Liong berayun-ayun demikian cepatnya, melepaskan cabang dan meloncat ke cabang lain, memutar-mutar tubuhnya dengan tangan berpegang pada ranting, mengenjot-enjot ranting, dua orang anak perempuan itu bersorak memuji. Akan tetapi tiba-tiba, pegangan Sin Liong terlepas dan tubuhnya melayang ke bawah!

"Aihhhh...! Dua orang anak perempuan itu menjerit dengan berbareng.

Akan tetapi, tiba-tiba kaki Sin Liong mengait ranting dan tubuhnya terayun dengan kepala di bawah dan dia tertawa-tawa, lalu berjungkir balik dan telah memanjat naik kembali. Dua orang anak perempuan itu juga tertawa, akan tetapi muka mereka berubah agak pucat. Ketangkasan Sin Liong bermain-main di atas pohon itu memang tidak ada bedanya dengan seekor monyet. Hal ini tentu saja tidak mengherankan kalau ingat bahwa sebelum dia dapat berjalan kaki, Sin Liong sudah pandai berayun-ayun di antara cabang-cabang pohon.

Tak lama kemudian Sin Liong sudah turun dari pohon itu membawa dua tangkai bunga merah segar yang indah. Dia menggigit tangkai bunga-bunga itu. Bunga-bunga itu segar dan masih basah oleh embun pagi.

"Engkau hebat, Sin Liong!" kata Kui Lin.

"Kembang itu indah sekali untuk hiasan rambut!" kata Kui Lan.

"Mari kupasangkan di rambut kalian, seorang satu," kata Sin Liong.

Dua orang anak perempuan itu tertawa-tawa girang dan Sin Liong lalu memasangkan setangkai bunga pada rambut kepala Kui Lan, kemudian setangkai pula di rambut kepala Kui Lin. Setelah kembang itu berada di atas kepala dua orang anak perempuan kembar ini, Sin Liong memandang mereka dengan kagum. Cantik sekali mereka itu, cantik dan amat baik kepadanya. Dan kembang-kembang itu membuat mereka nampak makin mungil.

"Kalian cantik sekali..." dia memuji.

"Ah, engkau yang hebat, Sin Liong. Tangkas sekali engkau memanjat pohon tadi, dan aku berani bertaruh bahwa kedua suheng kamipun tidak mungkin bisa memetik kembang ini seperti yang kau lakukan tadi!" Kui Lan memuji.

"Dan sebagai hadiahnya, maka engkau boleh memasangkan kembang di rambut kami," Kui Lin menambahkan.

Mereka tidak tahu bahwa di balik sebatang pohon, Kwan Siong Bu mengintai dan melihat serta mendengar semua itu dengan mata terbelalak, muka merah dan tangan terkepal. Dia merasa iri hati sekali. Tadi di mendengar sorak dan jerit kedua orang anak perempuan itu, maka dia menghampiri dan mengintai dari balik pohon. Kini hatinya menjadi panas oleh iri. Akan tetapi apa yang dapat dibuatnya? Untuk memanjat pohon dan bermain-main di atas pohon seperti yang dilakukan Sin Liong tadi, tentu saja dia tidak mampu. Huh, kau anak monyet, tentu saja pandai memanjat pohon, pikirnya marah.

"Sin Liong, tangkapkan kupu-kupu kuning itu untukku!" tiba-tiba Kui Lan berkata sambil menudingkan telunjuknya kepada seekor kupu-kupu berwarna kuning yang gerakannya gesit sekali.

"Ya, untukku seekor, Sin Liong. Tadi kami mencoba-coba menangkapnya selalu gagal," kata pula Kui Lin.

Mendengar ini, tentu saja Sin Liong ingin sekali menyenangkan hati dua anak perempuan itu. Untuk sementara dia melupakan pekerjaannya menyapu dan dia berkata dengan wajah berseri, "Baiklah, Lan-moi dan Lin-moi, kalian tunggu saja. Aku akan menangkap dua ekor kupu-kupu kuning untuk kalian!" Dan diapun sudah berlari mengejar kupu-kupu yang terbang menjauh itu.

Mendengar betapa Sin Liong bermain-main dengan dua orang sumoinya itu, dan menyebut pula moi-moi, hati Siong Bu menjadi makin panas. Huh, anak monyet, sombong kamu! Demikian pikirnya. Kalau selama setahun ini dia hanya menahan-nahan ketidaksenangan hatinya terhadap Sin Liong adalah karena dia takut kepada bibinya yang kini kelihatan melindungi Sin Liong. Kini melihat Sin Liong pergi mengejar kupu-kupu, Siong Bu cepat mencari akal untuk mengganggunya.

Iri hati selalu menimbulkan benci dan dendam. Benci dan dendam mendatangkan kecerdikan yang selalu didorong oleh kejahatan untuk mencelakakan orang lain dan menguntungkan diri sendiri. Oleh karena itu, sepatutnya kalau kita waspada terhadap diri sendiri yang mudah dikuasai oleh iri hati. Iri hati timbul dari perbandingan. Kita suka membandingkan keadaan kita dengan orang lain, menganggap orang lain lebih beruntung dari kita, lebih senang dan lebih enak daripada kita, maka timbullah iba diri yang berkawan dengan iri hati.

Dua orang anak perempuan itu sedang tersenyum-senyum dan saling pandang. Melihat saudaranya demikian cantik memakai kembang di kepala, mereka tahu bahwa merekapun masing-masing seperti saudaranya itulah. Dan mereka merasa bangga dan girang.

"Wuutt... wuuttt...!" Dua buah benda menyambar.

"Pratt! Prattt!"

Kui Lan dan Kui Lin menjerit dan cepat memegang kepala. Bunga-bunga di kepala mereka tadi telah runtuh dan kepala mereka menjadi kotor terkena lumpur! Entah dari mana datangnya mereka tidak tahu, akan tetapi ada tanah berlumpur yang menyambar bunga mereka sehingga bunga itu runtuh dari atas kepala mereka dan rambut mereka menjadi kotor. Kui Lan dan Kui Lin adalah dua orang anak manja. Melihat bunga itu jatuh rusak dan rambut mereka kotor, yang mereka ketahui dari melihat rambut saudara mereka keduanya lalu menangis.

Mendengar jerit itu yang disusul tangis, Sin Liong terkejut. Kupu-kupu kuning tadi memang lincah sekali, kelihatan terbang rendah akan tetapi beberapa kali ditubruknya selalu gagal dan luput. Ketika mendengar jerit kedua orang anak perempuan itu dia menoleh dan kagetlah hatinya melihat mereka menangis sambil memegangi kepala. Cepat dia berlari menghampiri. Napasnya sampai terengah-engah karena dia terkejut dan berlari cepat sekali. Ketika melihat betapa bunga itu rontok dari kepala mereka dan rambut mereka kotor terkena lumpur, Sin Liong mengerutkan alis dan memandang ke kanan kiri. Akan tetapi tidak nampak seorangpun di situ dan dia lalu membersihkan rambut kepala Kui Lan karena anak inilah yang lebih keras tangisnya, sambil menghibur.

"Sudahlah, biar nanti kucarikan lagi."

Sin Liong menggunakan ujung lengan bajunya untuk membersihkan rambut kedua orang anak perempuan itu.

"Heeei Sin Liong, kau berani kurang ajar terhadap dua orang sumoiku? Kau telah menggoda mereka dan mengotorkan rambut mereka, ya?"

Sin Liong terkejut dan menoleh. Dia melihat Siong Bu tiba-tiba muncul dan selagi dia hendak membantah, Siong Bu telah menerjang dan menyerangnya dengan pukulan ke arah dadanya. Sin Liong mundur-mundur, akan tetapi dia tidak mampu menghindarkan pukulan itu.

"Bukkk...!" dan dia terhuyung ke belakang.

"Heeeiii, aku aku tidak..."

"Pengecut! Beraninya hanya menggoda anak perempuan!" Siong Bu menerjang lagi, kini mengirim tendangan ke arah perut Sin Liong. Gaya serangan Siong Bu kini sudah makin berisi, berbeda dengan setahun yang lalu. Sin Liong meloncat ke belakang mengelak, akan tetapi pemuda kecil yang tampan dan pemarah itu sudah mendesaknya dan mengirim pukulan bertubi-tubi.

Setahun yang lalu, biarpun Sin Liong belum pernah mempelajari ilmu silat, namun dia memiliki ketangkasannya karena hidup secara liar bersama para monyet. Kini, karena dia sudah mempelajari ilmu silat, maka menghadapi serangan-serangan Siong Bu yang marah tentu saja dia bergerak menurut itu silat yang selama ini dilatihnya di bawah bimbingan ibunya. Dan justeru hal inilah yang membuat dia menjadi bulan-bulanan serangan Siong Bu. Siong Bu telah mempelajari ilmu silat sejak kecil, maka dibandingkan dengan Sin Liong yang baru belajar satu tahun itu, tentu saja Siong Bu jauh lebih menang, maka kalau Sin Liong menghadapinya dengan mengandalkan gerak silat, tentu saja dia kalah jauh dan elakan-elakannya menurut gaya silat yang belum matang itu tidak berhasil menghindarkan dia dari serangan-serangan Siong Bu. Dengan kepandaian silatnya yang masih mentah, namun yang dipakainya dalam gerakan, Sin Liong bahkan mengurangi kecepatannya sendiri, kehilangan ketangkasannya yang didapatnya secara wajar dan otomatis itu. Andaikata dia tidak lagi terikat dengan gerak silat, kiranya dia akan dapat bergerak lebih cepat karena bebas, dan dia dapat mengandalkan nalurinya yang amat kuat untuk menghindarkan semua pukulan dan tendangan. Namun, dia menangkis dan mengelak dengan gerak silat yang masih mentah sehingga berkali-kali dia terkena hantaman dan tendangan Siong Bu. Beberapa kali dia terpelanting dan terbanting roboh!

"Heii, suheng! Sin Liong! Jangan berkelahi...!" Beng Sin datang berlari-lari ke tempat itu dan mencoba untuk melerai. Akan tetapi hampir saja dia terkena sambaran tendangan kaki Siong Bu. "Sudah... sudah... kenapa berkelahi?" Beng Sin berseru lagi akan tetapi kini dia hanya berdiri dengan khawatir.

Akan tetapi, Sin Liong adalah seorang anak yang keras hati. Biarpun hidungnya sudah mengeluarkan darah dan mukanya benjol-benjol membiru, pakaiannya koyak-koyak dan tubuhnya babak belur, dia masih terus melawan dan sekali dua kali ada juga pukulannya yang mengenai tubuh Siong Bu. Akan tetapi, kembali dia terjengkang oleh tendangan kaki Siong Bu yang mengenai dadanya.

"Desss...!" Sin Liong terjengkang dan terbanting keras.

"Sudah... sudah, jangan berkelahi...!" Kui Lin berseru.

"Kwan-suheng, sudah jangan memukul dia lagi!" Kui Lan juga berteriak.

Akan tetapi Siong Bu bukan hanya marah, akan tetapi juga ingin memamerkan kepandaiahnya di depan kedua orang sumoinya, untuk menonjolkan kelebihannya dari Sin Liong agar harga dirinya naik dalam pandangan dua orang sumoinya itu, juga untuk merendahkan Sin Liong di depan mereka.

"Hayo kau minta ampun, baru aku mau sudah!" bentak Siong Bu kepada Sin Liong yang sudah babak belur itu. Akan tetapi, bagi anak ini, dia lebih baik dipukul mati daripada harus minta ampun kepada Siong Bu, minta ampun tanpa bersalah. Maka dia sudah merangkak bangun lagi dan dengan gerengan di dalam kerongkongannya, dia menubruk ke depan. Begitu terdengar gerengan ini, Sin Liong menyerang dengan ganas dan liar, tidak lagi menggunakan gerak silat. Dia sudah lupa akan silatnya, kini berubah menjadi seekor monyet marah, matanya mendelik dan mulutnya menyeringai, tubrukannya dahsyat sekali.

"Plak! Dukk!" Tendangan dan pukulan Siong Bu memapaki tubuhnya, akan tetapi kini Sin Liong seperti tidak mengenal rasa sakit lagi dan masih dia menubruk dan mencengkeram. Rambut kepala Siong Bu dijambak dan ditarik sekuatnya sehingga anak itu menjerit dan berusaha melepaskan jambakan. Namun, Sin Liong tetap mencengkeram rambut itu seperti seorang yang hanyut di sungai berpegang kepada ranting pohon penyelamat. Siong Bu kesakitan dan berteriak-teriak, kakinya menendang-nendang dan ketika lutut Sin Liong tertendang, dia terguling, akan tetapi karena jari-jari tangannya masih mencengkeram rambut Siong Bus anak inipun terbawa pula terguling bersamanya. Mereka kini bergulat dan bergulingan di atas tanah.

Tiba-tiba terdengar bentakan, "Lepas...!"

Mendengar suara ibunya, Sin Liong terkejut sekali dan melepaskan cengkeramannya. Juga Siong Bu melepaskan cekikannya dan kedua orang anak itu bangkit berdiri. Pakaian mereka penuh debu dan mereka berdiri dengan muka tunduk karena takut. Akan tetapi Sin Liong segera mengangkat mukanya dan memandang kepada ibunya.

Si Kwi terkejut bukan main melihat muka anaknya itu benjol-benjol biru dan berdarah di bibir dan hidungnya. Jelas bahwa Sin Liong telah dihajar oleh Siong Bu karena pada muka anak ini tidak ada bekas pukulan Sin Liong. Si Kwi adalah seorang wanita yang keras hati dan dia tidak mudah dipengaruhi oleh perasaan. Biarpun hatinya marah melihat muka anaknya seperti itu, namun dia tidak menuruti hatinya dan ingin tahu apa yang terjadi sebelum dia menyalahkan.

"Sin Liong, mengapa kau berkelahi dengan Siong Bu?"

Sin Liong menentang pandang mata ibunya. Sepasang matanya tajam menusuk dan diam-diam Si Kwi bergidik. Mata anak ini serupa benar dengan mata Cia Bun Houw, akan tetapi kalau dalam pandang mata Cia Bun Houw selain ketajaman luar biasa juga terkandung kelembutan, sebaliknya ketajaman pandang mata anak ini bercampur dengan sinar liar dan ganas! Dan anak itu sama sekali tidak menjawab, sebaliknya kini malah menunduk.

Si Kwi tahu akan watak aneh dari anaknya ini, maka dia menoleh kepada Siong Bu dan bertanya, "Siong Bu, hayo cepat katakan apa yang terjadi! Kenapa engkau memukuli Sin Liong?"

Siong Bu yang sejak tadi menunduk, kini mengangkat mukanya dan sambil menoleh ke arah Sin Liong dengan pandang mata marah, dia berkata, "Dia menggoda Lan-sumoi dan Lin-sumoi, mengotori rambut mereka dan membuat mereka menangis, maka saya lalu menghajarnya, bibi."

Si Kwi menoleh kepada Sin Liong yang masih berdiri dengan muka tunduk. "Sin Liong, benarkah engkau menggoda Lan Lan dan Lin Lin?" tanyanya dengan alis berkerut.

Sin Liong mengangkat mukanya, memandang ibunya sejenak, lalu menunduk lagi tanpa menjawab! Si Kwi maklum bahwa kalau sudah begitu, diapakanpun juga, Sin Liong tidak akan mau menjawab. Dia menoleh kepada Beng Sin yang gemuk dan yang sejak tadi berdiri agak jauh tanpa berani ikut bicara. Melihat bibinya memandang kepadanya, dia tersenyum ramah akan tetapi tidak berkata apa-apa. Si Kwi tidak mau bertanya kepada Beng Sin, karena dia tahu bahwa Beng Sin tidak ikut-ikut dalam hal ini. Yang paling tepat adalah menanyai anak-anaknya sendiri.

"Lan Lan dan Lin Lin, benarkah Sin Liong menggoda kalian dan mengotori rambut-rambut kalian?"

"Tidak, ibu. Sama sekali tidak!" Kui Lin berkata.

"Hemm, kalau begitu mengapa mereka berkelahi?" Si Kwi mendesak. Kui Lan yang kini menjawab karena Kui Lin memang tidak begitu pandai bicara.

"Sesungguhnya Sin Liong tidak menggoda kami, ibu. Sin Liong malah mencarikan bunga dan bermain-main dengan kami. Tahu-tahu Kwan-suheng datang dan menuduh Sin Liong menggoda kami lalu memukulnya."

Si Kwi menoleh dan memandang kepada Siong Bu dengan alis berkerut. Melihat ini Siong Bu cepat berkata, "Saya... saya melihat kedua sumoi menangis, maka tentu mengira Sin Liong menggoda mereka dan..."

"Kenapa kalian menangis?" Si Kwi memotong dan memandang kepada dua orang anaknya.

"Kembang kami jatuh..." Kui Lin berkata.

"Entah kenapa, ibu, kembang pemberian Sin Liong terjatuh dari rambut kami dan rambut kami menjadi kotor terkena tanah lumpur. Kami menangis, Sin Liong menghibur kami dan tahu-tahu Kwan-suheng muncul dan memukuli Sin Liong," kata Kui Lan.

Si Kwi kini memandang Siong Bu dengan mata marah. Dia dapat menduga apa yang terjadi dan dia lalu melangkah maju mendekati Siong Bu. Tangannya bergerak ke depan menyambar ke arah muka anak itu. "Plak! Plakk!" Dua kali kedua pipi Siong Bu ditampar oleh nyonya itu, Siong Bu terpelanting, lalu berlari sambil menangis dan memegangi kedua pipinya.

Hemm, dia tentu akan mengadu kepada pamannya, pikir Si Kwi. Lalu dia menegur Sin Liong dengan suara halus, "Liong-ji, kenapa engkau mencari gara-gara? Kalau ada orang menyerangmu, mengapa engkau tidak pergi saja mencariku dan aku yang turun tangan. Mengapa engkau melawan sendiri sedangkan kepandaianmu masih amat rendah? Engkau mencari penyakit." Akan tetapi Sin Liong tidak menjawab, bahkan lalu pergi meninggalkan ibunya untuk melanjutkan pekerjaannya menyapu lorong di taman itu. Si Kwi menarik napas panjang, tidak berani dia memperlihatkan kasih sayangnya secara terbuka kepada Sin Liong, maka diapun lalu menggandeng tangan kedua orang anak perempuan itu dan mengajaknya kembali ke dalam rumah.

Dugaan Si Kwi memang ternyata terbukti benar. Siong Bu yang merasa betapa pamannya amat menyayang dan memanjakannya, dan yang tahu pula bahwa pamannya itu tidak suka kepada anak angkat bibinya, sambil menangis lalu mengadu kepada pamannya bahwa dia ditampari oleh bibinya karena bibinya membantu Sin Liong.

Melihat kedua pipi keponakan yang sebenarnya adalah anaknya sendiri itu bengkak dan merah, marahlah Hok Boan. Apalagi ketika mendengar pengaduan Siong Bu bahwa perkelahian antara anak itu dengan Sin Liong disebabkan karena Sin Liong dianggap menggoda dua orang anak perempuannya.

"Anak monyet itu memang tak tahu diri!" bentaknya dan cepat dia menemui Si Kwi dengan muka merah dan mata mengandung kemarahan besar.

"Niocu, perbuatanmu sekali ini sungguh tidak menyenangkan hatiku!" Hok Boan berkata kepada isterinya yang sedang mencuci rambut kedua anaknya yang kotor terkena lumpur itu.

Si Kwi tahu bahwa suaminya marah dan tentu sudah terkena pengaduan Siong Bu, akan tetapi melihat betapa dalam kemarahannya Hok Boan masih bersikap halus kepadanya, diapun hanya memandang dan berkata dengan halus pula, "Kui-long (kakanda), apakah aku sebagai isterimu tidak boleh mengajar keponakanmu?"

Hok Boan amat mencintai isterinya, maka biarpun marah, dia tidak dapat bersikap kasar. Kini, ditanya seperti itu, pertanyaan yang mengandung teguran, dia menjadi gugup, lalu menarik napas panjang dan berkata, "Tentu saja engkau berhak dan boleh sekali mengajarnya karena keponakanku adalah keponakanmu pula. Bukan pengajaranmu itu yang tidak menyenangkan hatiku, niocu. Biar engkau mengajar Siong Bu lebih keras lagi, aku tidak akan merasa menyesal bahkan bersyukur bahwa engkau sebagai isteriku ikut memperhatikan pendidikan untuk keponakanku. Akan tetapi kalau engkau mengajarnya sebagai pembelaan terhadap anak monyet itu, sungguh hal ini amat tidak tepat!"

"Kui-long, aku sama sekali bukan hanya membela Sin Liong. Kalau Sin Liong melakukan hal yang tidak patut, tentu dia akan kuajar pula. Akan tetapi aku melihat Sin Liong dipukuli oleh Siong Bu tanpa salah. Suamiku, ingatlah bahwa kita mendidik anak-anak bukan untuk menjadi tukang pukul dan menjadi orang yang berhati kejam! Engkau tahu bahwa baru saja aku mengajar silat kepada Sin Liong dan dia tentu saja tidak akan mampu membela diri terhadap Siong Bu. Kalau dia tidak diserang, mana dia berani terhadap Siong Bu? Urusan ini adalah urusan anak-anak, dan kita sebagai orang tua wajib mendidik mereka, kalau perlu menghajar mereka yang menyeleweng. Kalau kini engkau membela Siong Bu, bukankah terdapat bahaya bahwa kita seolah-olah membela murid masing-masing?"

Diam-diam Hok Boan terkejut. Benar juga, pikirnya.

"Tia (ayah), Sin Liong tidak bersalah apa-apa dan suheng salah sangka, lalu datang-datang memukulnya. Suheng mengira Sin Liong menggoda kami berdua, padahal tidak sama sekali." Kui Lan berkata, membela Sin Liong dan membela ibunya.

Mendengar ini, Hok Boan makin tidak mampu berkata apa-apa. Dia sendiripun tahu bahwa puteranya itu Siong Bu, memang berwatak keras. Dia menarik napas panjang lalu berkata kepada isterinya, "Maafkan aku, niocu. Aku tidak menyalahkan engkau karena memberi hajaran kepada keponakan kita itu. Aku hanya khawatir bahwa melihat engkau menampari di depan anak monyet itu, hal ini akan membuat dia besar kepala dan makin liar. Ingat, sejak kecil dia itu sudah terpengaruh oleh keliaran binatang buas, maka kalau dia merasa dimanja, bukan maksudku mengatakan kau memanjakannya, akan tetapi kalau dia merasa dimanja, dia bisa menjadi makir liar. Dia harus dididik secara keras seperti mendidik seekor monyet liar agar dia menjadi jinak sehingga kelak tidak akan mencemarkan nama baik kita sebagai orang tua angkatnya."

Mendengar ini, Si Kwi mengangguk dan dia membenarkan pendapat suaminya. Dia mencinta Sin Liong yang diketahuinya adalah puteranya sendiri. Akan tetapi tentu saja dia lebih mencinta sauaminya ini. Suami yang sah, sedangkan Sin Liong bukanlah anaknya yang sah.

"Engkau memang benar, biar aku akan memperkeras pengawasanku terhadap Sin Liong."

"Hemm, kurasa sebaiknya sekarang aku memberi hukuman kepadanya agar dia tahu bahwa lain kali dia tidak boleh berkelahi dengan orang." Setelah berkata demikian, Hok Boan pergi mencari Sin Liong yang biasanya pada waktu itu tentu masih bekerja di belakang memberi makan kuda. Akan tetapi ketika Hok Boan tiba di kandang kuda, anak itu tidak berada di situ. Hanya kuda yang makan makanan kuda dari bak yang nampak di dalam kandang.

"Sin Liong...!" Hok Boan memanggil dengan suara marah. Tidak ada jawaban. Hok Boan sudah membawa sebatang ranting yang dipersiapkan untuk menghajar Sin Liong. Hatinya menjadi makin marah ketika dia tidak melihat anak itu dan tidak mendengar jawabannya, maka dia lalu meninggalkan kandang kuda dan mencari ke tepi hutan di belakang kandang kuda itu.

"Sin Liong...!" Suaranya memanggil-manggil menggema di dalam hutan.

***

Sementara itu, setelah mengadu kepada pamannya tentang dia ditampar oleh bibinya dan tentang Sin Liong, diam-diam Kwan Siong Bu menjadi takut sendiri. Dia tahu bahwa sesungguhnya dia yang lebih dulu memukuli Sin Liong karena hatinya panas melihat anak yang dianggapnya anak monyet itu bermain-main demikian akrabnya dengan Kui Lan dan Kui Lin. Biarpun dia disayang oleh pamannya, akan tetapi bibinya agaknya lebih menyayang Sin Liong, dan kalau pamannya mendengar akan semua yang terjadi, mungkin dia malah yang akan mendapat kemarahan pamannya itu. Oleh karena itu, setelah melapor sambil menangis di depan pamannya dan melihat pamannya pergi dengan marah, Siong Bu lalu pergi pula meninggalkan rumah dan masuk ke dalam hutan.

Dia memasuki hutan besar itu dan duduk di bawah pohon besar, tersembunyi di balik semak-semak belukar. Memang dia bermaksud untuk bersembunyi dan baru akan pulang kalau keadaan rumah sudah mereda, kalau paman dan bibinya tidak marah-marah lagi. Kalau dia teringat kepada Sin Liong hatinya menjadi makin panas. Terbayang dalam ingatannya ketika Sin Liong menangis dengan kepala di atas pangkuan bibinya, dibelai oleh bibinya. Hal itulah yang sesungguhnya menimbulkan iri di dalam hati anak ini. Dia sendiri tidak pernah merasakan kasih sayang seorang ibu. Sejak kecil dia dibawa dengan paksa oleh pamannya ke Istana Lembah Naga. Melihat Sin Liong yang dikenalnya hanya sebagai seorang anak angkat, tidak ada hubungan darah daging sama sekali dengan paman dan bibinya, bahkan anak yang kabarnya ditemukan dari sekumpulan monyet, demikian disayang oleh bibinya, tentu saja dia merasa iri hati dan perasaan ini menimbulkan kebencian di dalam hatinya.

Kedua pipinya masih terasa panas dan nyeri. Gara-gara anak monyet itu, pikirnya sambil mengusap kedua pipinya. Bibinya telah menamparnya demi membela anak monyet itu! Hatinya merasa penasaran dan sakit sehingga dua tetes air mata kembali menuruni pipinya. Siong Bu merebahkan diri di atas rumput, berbantal lengan dan sebentar saja diapun tertidurlah.

Dia terkejut dan bangun mendengar suara-suara tak jauh dari situ. Dengan heran Siong Bu bangkit duduk dan ketika mendengar suara orang bercakap-cakao, dia cepat merangkak dan mengintai dari balik semak-semak. Jantungnya berdebar keras karena dia mendengar suara wanita, mengira bahwa bibinya yang datang mencarinya. Akan tetapi setelah dia sadar benar, dia mendapat kenyataan bahwa suara itu bukanlah suara bibinya. Timbul keberaniannya dan dia mengintai. Ternyata wanita itu adalah seorang wanita yang berpakaian amat indah, usianya sepantar dengan bibinya akan tetapi wanita ini cantik sekali, cantik dan pakaiannya mewah. Rambutnya digelung malang melintang dan membelit-belit seperti beberapa ekor ular saling belit dan rambut itu dihias dengan hiasan rambut yang gemerlapan. Lengan kirinya memakai gelang emas kecil-kecil yang banyak sehingga setiap kali dia menggerakkan tangan kiri, terdengar suara gemerincing nyaring. Wajah itu cantik dan manis, akan tetapi dingin sekali dan kelihatan angkuh sehingga menakutkan hati Siong Bu.

Siong Bu kini mengalihkan perhatiannya, memandang orang ke dua yang berdiri berhadapan dengan wanita itu. Orang ini adalah seorang pemuda kecil, usianya kurang lebih empat belas tahun, akan tetapi perawakannya tinggi tegap, setinggi orang dewasa. Seperti juga wanita itu, pemuda ini memakai pakaian yang amat mewah, topinya terhias mainan seekor naga dengan mata mutiara indah. Wajahnya tampan dan gerak-geriknya halus, mulutnya selalu tersenyum.

Siong Bu merasa terheran-heran. Memang banyak sudah orang tinggal di sekitar Lembah Naga, akan tetapi mereka itu semua adalah orang-orang dusun yang miskin dan berpakaian sederhana. Dari mana datangnya dua orang yang berpakaian seperti bangsawan-bangsawan tinggi itu? Dia mendengarkan percakapan mereka dengan penuh perhatian tanpa berani bergerak.

"Suci, kenapa kita harus meninggalkan kereta dan pengawal?" anak laki-laki itu bertanya kepada wanita yang disebutnya kakak seperguruan itu.

"Sute, di dunia kang-ouw, hal yang paling terpandang adalah keberanian dan kegagahan. Kalau kita datang bersama banyak pengawal, tentu orang akan mengira bahwa kita hanya mengandalkan kekuatan pasukan pengawal dan hal itu berarti mencemarkan nama sucimu ini."

Mendengar ucapan itu, Siong Bu terheran dan kini dia memandang wanita itu dengan makin penuh perhatian. Tadi dia tidak berani memandang terlalu lama karena wajah wanita yang dingin dan angkuh itu menakutkan hatinya. Baru sekarang dia melihat bahwa wanita yang cantik dan berpakaian indah itu ternyata membawa sebatang pedang yang tergantung di punggungnya. Selain pedang ini, juga nampak sebuah kayu salib tergantung di punggung itu, kayu salib yang jelas kelihatan ada tulisan tiga huruf besar, yaitu CIA, YAP dan TIO.

"Suci, banyakkah jagoan-jagoan di dunia kang-ouw?"

Wanita itu menarik napas panjang. "Banyak? Sampai tidak terhitung, sute. Dan masing-masing mempunyai keistimewaan sendiri. Di dunia ini penuh orang pandai, oleh karena itu, dalam melakukan perjalanan ke kota raja di selatan nanti bersama sucimu, engkau harus berhati-hati dan selalu menurut bimbingan sucimu, jangan bertindak ceroboh, sute."

"Akan tetapi kenapa kita harus berhenti dulu di Lembah Naga, suci? Bukankah itu membuang-buang waktu belaka?" anak laki-laki itu mencela.

"Ayahmu sri baginda yang mengutus aku ke sini, sute. Selain itu, juga ada beberapa urusan pribadi yang harus kuselesaikan. Beberapa orang musuh menantang sucimu untuk mengadakan pertemuan di tempat ini."

"Apakah mereka lihai, suci?"

"Ah, tidak berapa lihai, hanya beberapa orang yang datang hendak mengantar nyawa saja."

"Suci, biarkan aku menghadapi mereka!"

"Bagaimana nanti sajalah..."

Pada saat itut terdengar bentakan nyaring. "Kim Hong Liu-nio, perempuan sombong! Kami datang menagih nyawa saudara-saudara kami!" Dan bermunculanlah lima orang laki-laki dari balik pohonpohon. Namun wanita cantik itu hanya tersenyum mengejek, sedangkan anak laki-laki itupun memandang dengan wajah gembira dan dia tersenyum lebar.

"Suci, kenapa baru sekarang mereka muncul? Bukankah sejak tadi mereka itu bersembunyi di balik pohon-pohon itu?"

Siong Bu terkejut. Kiranya anak laki-laki itu sudah tahu akan kedatangan lima orang ini! Jangan-jangan suci dan sute itupun sudah tahu akan tempat dia bersembunyi! Siong Bu makin ketakutan dan dia mengintai terus dengan hati penuh ketegangan. Dia melihat bahwa lima orang yang baru datang itu kelihatan gagah dan kuat, dikepalai oleh seorang laki-laki berusia enam puluh lima tahun lebih yang bertubuh pendek besar dan di pinggangnya tergantung sebatang golok besar. Orang ini pakaiannya serba hitam, dengan sabuk dan kain kepala berwarna kuning. Empat orang lainnya agak lebih muda, antara empat puluh tahun usia mereka dan sikap mereka juga gagah, dengan memegang bermacam senjata, sikap mereka penuh ancaman dan kemarahan.

Kim Hong Liu-nio, wanita cantik itu, menghadapi mereka dengan sikap memandang rendah, lalu dia mengangkat muka memandang kakek pendek besar itu, bertanya dengan sikap tak acuh, "Jadi kalian inilah yang mengirim surat tantangan agar aku datang ke tempat ini?"

"Suci, apakah mereka ini jagoan-jagoan kang-ouw?" Anak laki-laki itu bertanya setelah memandang kepada lima orang itu penuh perhatian.

Wanita itu mendengus dan bibirnya berjebi. "Sute, di dunia kang-ouw, orang-orang seperti mereka ini hanya merupakan cacing-cacing busuk yang tiada artinya."

Kakek pendek besar yang membawa golok besar di pinggangnya itu membentak marah. "Perempuan sombong! Aku Twa-sin-to Kui Liok selamanya tidak pernah bermusuhan denganmu! Akan tetapi, tanpa dosa sama sekali, dua orang keponakanku telah kau bunuh, hanya karena mereka itu she Tio!"

"Semua orang she Cia, Yap dan Tio harus mampus di tanganku!" kata wanita itu sambil memperlihatkan papan kayu salib yang diambilnya dari punggung.

"Siluman betina, engkau juga telah membunuh sute kami yang she Yap!" Tiga orang laki-laki yang memegang pedang melangkah maju dengan sikap mengancam.

"Dan engkau membunuh ibuku yang she Cia!" kata orang ke lima, juga marah sekali.

"Sute, apakah engkau jadi ingin menghadapi cacing-cacing in!?"

"Benar, suci. Aku ingin mencoba apa yang telah kupelajari dari subo dan darimu." Anak itu lalu melangkah maju, menghadapi lima orang itu dengan sikap tenang.

Lima orang itu saling pandang dengan ragu-ragu. Tentu saja mereka tidak sudi mengeroyok scorang anak laki-laki yang usianya belum dewasa ini. Mereka adalah orang-orang yang terkenal di perbatasan utara ini. Bahkan Twa-sin-to Kui Liok adalah seorang perampok tunggal yang amat terkenal di selatan.

"Kim Hong Liu-nio, suruh anak ini minggir! Kami hanya ingin membalas dendam kepadamu dan menagih nyawa!" bentak kakek itu sambil melangkah maju.

"Twa-sin-to, biarlah aku yang mewakili suci. Cabutlah golok besarmu dan kalian boleh maju semua, aku akan menghadapi kalian dengan tangan kosong saja," kata anak laki-laki itu dengan sikapnya yang halus, namun senyum di bibirnya penuh ejekan dan penuh ketinggian hati.

Selagi Twa-sin-to Kui Liok meragu, seorang di antara mereka, yang termuda, kurang dari empat puluh tahun usianya, bermuka hitam, telah melangkah maju dan membentak. "Biarlah aku melemparkan setan cilik yang sombong ini!"

Laki-laki itu bertubuh tinggi besar, bermuka hitam menyeramkan dan karena kedua lengan bajunya tergulung sampai ke atas siku, maka nampak kedua lengannya yang berotot dan amat kuat. Kini, menghadapi anak itu, dia menyimpan lagi pedangnya di sarung pedang yang tergantung di pinggangnya dan dia menghadapi anak itu dengan dua tangan kosong yang telah dikembangkannya ke kanan kiri, siap untuk menubruk.

"Nanti dulu!" kata anak yang tampan itu. "Apakah engkau juga seorang jagoan kang-ouw dan mempunyai nama julukan? Lebih baik kauberitahukan nama julukanmu itu agar aku dapat mencatat namamu sebagai jagoan kang-ouw pertama yang kurobohkan."

Muka yang hitam itu menjadi makin hitam, matanya melotot. "Bocah sombong, setan cilik yang bosan hidup!" bentaknya dan dengan cepat, seperti seekor harimau kelaparan, si muka hitam ini sudah menerjang ke depan, menubruk dengan tangan kiri mencengkeram ke arah pundak anak itu dan tangan kanan mencekik ke arah leher!

"Hemm... kasar sekali, suci!" anak itu berseru dan sekali tubuhnya bergerak, dengan langkah kaki indah sekali, serangan orang itu mengenai tempat kosong, dan sambil mengelak itu kaki kanannya diangkat sedikit menyentuh lutut kiri lawan.

"Dukk...!" Perlahan saja tendangan itu, akan tetapi karena tepat mengenai sendi lutut tak dapat dicegah lagi si muka hitam jatuh berlutut!

"Wah, dia tahu aturan juga, suci. Lihat, belum apa-apa dia sudah berlutut minta ampun!" anak itu berkata mengejek.

Tentu saja si muka hitam menjadi makin marah dan malu. Dia adalah seorang jagoan yang telah terkenal memiliki kepandaian tinggi dan nama besar. Sekarang, dalam segebrakan saja dia telah dihina oleh seorang anak kecil belasan tahun!

"Bocah keparat!" Dia meloncat dan kini dia mengirim serangan hebat, bukan lagi serangan biasa karena memandang rendah seperti tadi, melainkan serangan yang berdasarkan ilmu silat, kedua tangannya secara bergantian menghantam ke arah leher dan pusar, sedangkan kaki kanannya menyusul dengan tendangan maut ke arah dada. Cepat sekali terjangan yang dilakukan oleh si muka hitam ini. Akan tetapi baru saja dia bergerak, anak itu telah berseru, "Wah, suci, bukankah ini jurus Go-houw-pok-sit (Macan Kelaparan Menyambar Makanan)? Kalau kutangkis begini, tentu dia menyusul dengan tendangan, nah baiknya kutangkap kakinya dari bawah dan kudorong terus ke atas, ya?" Sambil bicara demikian, dia melaksanakan kata-katanya.

Serangan pukulan kedua tangan si muka hitam itu berhasil ditangkisnya dan ketika kaki si muka hitam menyambar, dia cepat meloncat ke samping, lalu secepat kilat tangannya menyambar kaki yang lewat, menyangga dari bawah dan mendorongnya terus ke atas. Tanpa dapat dicegah lagi tubuh si muka hitam itu terjengkang dan terbanting berdebuk ke atas tanah sampai mengeluarkan debu mengepul!

"Bagus, sute, memang tepat perhitunganmu!" Wanita cantik itu memuji sambil mengangguk-angguk. "Akan tetapi jangan terlalu lama main-main dengan dia, masih ada empat ekor lagi yang lain!"

Si muka hitam itu menjadi marah bukan main. Marah dan malu sekali. Jagoan seperti dia sampai dua kali dirobohkan oleh seorang anak kecil dalam dua gebrakan saja! Saking marahnya sampai dia lupa diri, lupa bahwa yang dihadapinya adalah seorang anak laki-laki yang belum dewasa. Dia sudah bangkit berdiri, mukanya makin menghitam dan matanya mendelik lalu dia membungkuk seperti seekor kerbau marah, mendengus-dengus.

"Wah, tadi berlutut sekarang menjura. Sudahlah, muka hitam, jangan menggunakan terlalu banyak peradatan dan sopan santun. Aku tidak bisa menerima penghormatanmu!" Anak itu yang ternyata selain lihai juga memiliki lidah tajam dan pandai mengejek, menggerak-gerakkan kedua tangan ke depan seperti orang menolak. Melihat kehebatan anak laki-laki ini, diam-diam Siong Bu menjadi kagum bukan main. Akan tetapi terkejutlah dia ketika melihat tiba-tiba si muka hitam itu mengeluarkan suara gerengan seperti harimau, lalu tubuhnya sudah menerjang ke depan dengan kepala di depan, menyeruduk seperti seekor kerbau gila!

Siong Bu terkejut bukan main. Dia pernah mendengar dari pamannya tentang ilmu menyeruduk seperti ini, yang mengandalkan latihan lwee-kang yang dipusatkan di kepala, dan ilmu ini amat berbahaya karena lawan yang kena diseruduk tentu akan remuk tulang-tulang dadanya. Biarpun dia belum pernah menyaksikan kehebatan ilmu aneh ini, namun mendengarkan penuturan pamannya dia merasa ngeri dan kini melihat anak yang dikaguminya itu diserang dengan ilmu aneh ini, dia terbelalak dan merasa tegang. Juga empat orang laki-laki yang menjadi teman si muka hitam merasa tegang dan mereka hampir merasa yakin bahwa kini anak kecil itu tentu akan celaka. Anehnya, wanita cantik yang menjadi suci anak itu memandang dengan sikap tenang saja, sama sekali tidak merasa kaget atau gelisah.

Bagaikan seekor gajah atau seekor kerbau gila, si muka hitam menyeruduk dan nampaknya anak yang menjadi lawannya itupun tidak tahu harus berbuat apa. Dia sama sekali tidak mengelak dan berdiri tegak saja. Ketika kepala yang mengancamnya itu sudah meluncur dekat tiba-tiba anak itu menggerakkan tanga kanannya, dengan jari-jari terbuka dia menusuk ke depan, menyambut kepala itu dengan tusukan jari-jari tangannya.

"Crokk...!" Tubuh anak itu terhuyung ke belakang bergoyang-goyang dan mukanya agak pucat, akan tetapi tubuh si muka hitam terguling dan dari kepalanya mengalir darah merah bercampur cairan otak putih! Dia tewas seketika! Empat orang temannya menjadi kaget bukan main dan memandang dengan mata terbelalak. Akan tetapi, wanita cantik itu tidak memperdulikan mereka, cepat menghampiri sutenya dan dua kali dia mengurut dada sang sute yang menjadi tenang dan pulih kembali.

"Ah, sute, kenapa kau begitu ceroboh? Kau harus ingat bahwa orang yang menggunakan serangan dengan kepala adalah yang yang memiliki lwee-kang kuat, apakah kau lupa lagi? Dan melawan kekerasan dengan kekerasan merupakan kecerobohan besar. Untung bahwa lwee-kangnya tadi belum kuat benar, kalau lebih kuat setingkat saja, bukankah engkaupun akan menderita luka biarpun kau berhasil membunuhnya?" Anak laki-laki itu mengangguk. "Aku telah keliru, suci, mengharapkan petunjukmu."

"Lihat baik-baik. Nah, kaulontarkan dia dalam kedudukan menyerang seperti tadi kepadaku!"

Anak itu mengangguk, lalu menghampiri mayat si muka hitam. Dicengkeramnya baju di tengkuk dan di belakang pinggul mayat itu dan sambil mengerahkan tenaga, dilontarkannya mayat itu ke arah sucinya. Mayat itu meluncur dengan cepat ke arah wanita tadi dengan kepala di depan, seperti ketika dia menyeruduk anak itu. Dan seperti juga sikap anak tadi, wanita ini tenang saja, baru setelah serudukan itu dekat, tiba-tiba dia menggeser kakinya, tubuhnya sudah berputar ke kiri dan ketika kepala yang menyeruduk itu lewat, secepat kilat jari-jari tangannya bergerak seperti gerakan anak tadi, menusuk ke arah pelipis kanan mayat yang lewat.

"Crokkk!"

Mayat itu terbanting dan pelipis kanannya nampak berlubang-lubang bekas jari tangan, sedangkan wanita itu tetap berdiri tegak. "Nah, kaulihat, sute? Kalau kau memapaki dari depan, selain melawan tenaga lwee-kangnya, juga tenaganya itu ditambah lagi dengan tenaga luncuran tubuhnya, tentu saja menjadi amat kuat. Sebaliknya, kalau kau menusuk dari samping, engkau tidak memapaki tenaga lawan secara langsung."

Tadinya empat orang teman si muka hitam itu hanya memandang dan mendengarkan dengan mata terbelalak, akan tetapi kini mereka telah sadar dan menjadi marah sekali.

"Bocah setan, berani kau membunuh teman kami?" bentak Twa-sin-to Kui Lok kakek berusia enam puluh tahun lebih yang pendek gemuk itu. Goloknya yang besar panjang tahu-tahu telah berada di tangan kanannya dan begitu dia menggerakkan tangan, terdengar suara berdesing dan golok itu lenyap berubah menjadi gulungan sinar yang menyilaukan mata.

"Jangan lawan dengan tangan kosong, gunakan pedangmu!" tiba-tiba wanita cantik itu berseru setelah melihat gerakan Kui Lok.

Srattt...!" Nampak sinar berkeredepan dan tahu-tahu anak itupun telah mencabut pedangnya, sebatang pedang yang amat indah, gemerlapan dan mengkilat sekali seperti perak kebiruan, gaganngya berukir tubuh naga dan ronce-ronce merah berbentuk lidah yang keluar dari kepala naga yang terukir di ujung gagang.

Twa-sin-to Kui Lok yang dihadapi oleh anak itu, merasa dipandang rendah sekali, maka dia terus saja menggerakkan goloknya dengan dahsyat. Si pendek gemuk ini berjuluk Twa-sin-to (Si Golok Besar Sakti) maka tentu saja ilmu goloknya amat hebat dan dengan goloknya itu dia telah membuat nama besar di selatan. Kini dia dihadapi oleh seorang anak yang usianya baru empat belas tahun, tentu saja dia marah sekali dan ingin dia cepat membunuh anak ini agar dapat mencurahkan seluruh perhatian dan memusatkan tenaga dan kepandaian untuk menghadapi Kim Hong Liu-nio yang menjadi musuh besarnya itu. Dia tidak berlaku sungkan-sungkan lagi, maka goloknya yang berubah menjadi sinar bergulung-gulung itu kini seperti gelombang samodera datang menerjang anak yang telah melintangkan pedang di depan dada dan memandang permainan lawan dengan penuh perhatian.

"Awas, yang dimainkan itu adalah pecahan dari Lo-han-to yang tidak aseli lagi, namun masih memiliki dasar-dasar Lo-han-to!" tiba-tiba wanita cantik itu berseru ketika melihat gerakan golok Twa-sin-to Kui Lok. Diam-diam si gemuk pendek ini kaget bukan main, kaget dan juga marah. Dia merasa telah menguasai Lo-han-to, ilmu golok yang amat hebat dari cabang persilatan Siauw-lim-pai itu dengan baik, kini disebut pecahan yang tidak aseli lagi! Memang dia bukan murid langsung dari Siauw-lim-pai, akan tetapi dia mengira telah menguasai Ilmu Golok Siauw-lim-pai itu. Lo-han-to (Golok Orang Tua Gagah) memang merupakan Ilmu Golok Siauw-lim-pai yang hebat, gerakannya gagah bersemangat dan biarpun digerakkan dengan lambat, namun mengandong lwee-kang yang amat kuat dan sinarnya bergulung-gulung seperti ombak.

Akan tetapi, Kui Lok tidak mau perhatiannya terpecah oleh kata-kata wanita itu, dia sudah menerjang ke depan, gerakannya ringan dan goloknya menyambar-nyambar seperti kilat dari atas, mengarah tubuh atas anak itu.

"Itulah jurus Yan-cu-tiak-sui (Burung Walet Menyambar Air), engkau tahu sifatnya, sute, jaga yang atas jangan lupakan yang bawah!" kembali wanita itu berseru.

Anak itu menggerakkan pedangnya menangkis. Terdengar bunyi trang-tring-trang-tring nyaring sekali dan kemanapun golok itu menyambar dari atas, selalu bertemu dengan bayangan pedang. Kui Lok terkejut juga dan cepat kakinya bergerak. Memang tendangan merupakan imbangan dari serangan golok jurus itu, karena itulah maka wanita itu tadi mengingatkan sutenya untuk tidak melupakan yang bawah! Maka begitu kakinya bergerak menendang, tiba-tiba anak itu membalikkan pedangnya menyambut kaki yang menendang.

"Ehhh!" Si gemuk pendek cepat menarik kembali kakinya dan meloncat ke belakang sehingga dia agak terhuyung. Mukanya berubah dan keringat dingin membasahi leher karena dia mengingat betapa hampir saja dalam satu gebrakan kakinya dibikin buntung oleh bocah lihai ini. Dengan kemarahan meluap dia lalu menerjang lagi dengan kecepatan yang lebih dari tadi, dan sekali ini dia sengaja mengeluarkan ilmu golok simpanannya yang biasanya hanya dia pergunakan kalau menghadapi lawan tangguh.

"Sute, itulah Ngo-houw-toan-bun-to (Lima Harimau Menjaga Pintu) yang terkenal itu. Akan tetapi ini lebih palsu lagi, hanya tinggal gayanya saja, akan tetapi hati-hati terhadap tangan kirinya!" kembali wanita itu berseru dan makin marahlah hati Kui Lok. Tadi, Lo-han-to yang dikuasainya dikatakan tidak aseli, kini Ngo-houw-toan-bun-to yang dibanggakan itu dikatakan tinggal gayanya saja dan lebih palsu lagi! Maka goloknya sampai mengeluarkan suara berdesing-desing dan bersuitan ketika dia menyerang dengan dahsyat.

Anak itu ternyata hebat sekali. Dengan lincah anak itu bergerak dengan kedua kakinya digeser ke sana-sini, melangkah ke depan belakang, kanan kiri dengan cara yang aneh, dan semua sambaran sinar golok selalu mengenai tempat kosong. Kalau Kui Lok sudah merasa yakin bahwa goloknya akan mengenat tubuh lawan, ternyata kemudian bahwa yang diserangnya hanya bayangan saja dan anak itu sudah mengelak dengan cepat dan tak terduga-duga. Anak itu lebih mengandalkan gerak kakinya menghindarkan semua serangan-serangan daripada menangkis, sungguhpun kadang-kadang dia menangkis juga dengan pedangnya. Agaknya dia seperti orang sedang berlatih, melatih kelincahan atau melatih langkah-langkah kakinya menghadapi hujan serangan golok itu. Kui Lok yang memainkan goloknya sampai menjadi makin heran dan penasaran karena telah tiga puluh jurus dia menyerang, sama sekali goloknya belum mampu mengenai tubuh lawan, bahkan mencium ujung bajunya belum pernah!

Sementara itu, tiga orang saudara seperguruan yang tadi mengatakan hendak menuntut balas atas kematian sute mereka she Yap, kini telah mencabut pedang mereka dan menyerang ke depan untuk membantu Kui Lok merobohkan anak itu. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara melengking nyaring disusul berkelebatnya sinar merah dan teguran suara halus wanita itu, "Jangan kalian berani mengganggu sute yang sedang berlatih!" Sinar merah itu bergulung-gulung menyambar ke arah tiga orang pemegang pedang itu. Mereka terkejut sekali melihat sinar yang panjang seperti seekor naga itu, dan cepat mereka menggerakkan pedang untuk membacok putus sinar yang ternyata adalah sehelai sabuk merah itu.

"Wuut-wuut-wuuttt...!" Pedang itu bertemu dengan sinar merah dan otomatis sinar merah itu melibat tiga batang pedang.

"Ouhhhh...!" Tiga orang itu terkejut bukan main ketika tahu-tahu pedang mereka terlibat sabuk merah dan ketika wanita itu menggerakkan tangan, sabuk itu menyendal dan tiga batang pedang itu sudah terampas biarpun mereka tadi sudah mengerahkan tenaga untuk mempertahankan. Mereka hanya melongo melihat tiga batang pedang mereka terbang ke atas terbelit sabuk merah dan beberapa kali tiga pedang itu beterbangan di atas kepala wanita itu.

"Terimalah!" Tiba-tiba wanita itu berseru dan ketika dia menggerakkan tangan, tiga batang pedang yang tadi terbelit sabuk itu meluncur ke depan, menuju ke arah pemiliknya masing-masing!

Tiga orang itu terkejut bukan main dan berusaha untuk mengelak, akan tetapi lontaran pedang dan belitan sabuk merah itu cepat bukan main dan pedang-pedang itu telah menembus tubuh mereka, ada yang terkena dadanya, ada yang tertembus perutnya. Mereka roboh berkelojotan dan tewas!

Wanita cantik itu sudah tidak memperhatikan mereka lagi sebelum mereka roboh, kini sudah memperhatikan lagi sutenya yang "berlatih" di bawah hujan sinar golok. Ilmu golok dari Kui Liok memang hebat. Biarpun ilmu atau jurus Ngo-houw-toan-bun-to yang dimainkannya itu tidak aseli, namun karena sudah sering dilatihnya, maka memiliki daya serang yang hebat dan lihai. Setiap serangan yang luput dari sasaran selalu disambung dengan serangan lain, tusukan disambung tikaman, bacokan disambung bacokan membalik. Dan sampai lima jurus lamanya anak itu dapat selalu menghindarkan diri. Akan tetapi apa yang diperingatkan oleh wanita tadi tidak kunjung tiba, yaitu tangan kiri Kui Liok.

Wanita itu tadi memperingatkan sutenya agar berhati-hati terhadap tangan kiri si pemegang golok itu, akan tetapi setelah lewat lima puluh jurus, tetap saja Kui Liok belum pernah mempergunakan tangan kirinya. Hal ini sama sekali bukan karena peringatan itu keliru, melainkan karena Kui Liok sengaja tidak mau mempergunakan tangan kirinya yang belum apa-apa sudah diterka oleh wanita itu!

"Sute, sekarang latih serangan pedangmu!" tiba-tiba wanita yang sejak tadi memperhatikan jalannya pertandingan itu berseru.

Anak itu tidak menjawab, melainkan mengubah gerakannya dan kini pedangnya mengeluarkan suara berdengung yang naik turun nadanya, seperti orang bersenandung! Kui Liok terkejut melihat pedang itu tahu-tahu telah berada di dekat lehernya.

"Tranggg...!" Dia menangkis dengan keras. Pedang terpental akan tetapi tahu-tahu telah hinggap dekat pundaknya. Pundaknya tentu akan putus kalau pedang itu membabat turun, maka cepat dia melempar tubuh ke belakang dan berjungkir balik sambil bergulingan dan memainkan ilmu golok yang dinamakan Tee-tong-to (Ilmu Golok Bergulingan). Tubuhnya berguling dan dari gulingan itu goloknya menyambar, membabat ke arah kaki lawan. Kalau tadi dia bergulingan untuk menghindarkan diri dari ancaman pedang, kini tubuhnya bergulingan mengejar lawan untuk balas menyerang!

Namun, dengan cekatan anak itu melompat dan tahu-tahu pedangnya telah menusuk dari belakang ke arah tengkuk Kui Liok. Orang gemuk pendek ini merasa tengkuknya dingin, cepat dia meloncat dan menyapok ke belakang. Akan tetapi, anak itu menarik kembali pedangnya dan kini tahu-tahu pedang telah menodong lambung lawan! Kembali Kui Liok menahan jeritnya dan cepat dia meloncat ke belakang sambil menangkis. Bulu tengkuknya benar-benar meremang saking ngerinya menghadapi ilmu pedang yang amat aneh ini dan telinganya terus mendengar bunyi pedang bersenandung dan nampak sinar pedang putih bergulung-gulung dengan ujung pedang secara aneh dan tiba-tiba berada di sekitar tubuhnya, sudah menempel tinggal menusuk saja!

Twa-sin-to Kui Liok maklum bahkan biarpun yang dihadapinya itu masih kanak-kanak, namun ternyata telah memiliki kepandaian yang amat luar biasa. Maka dia cepat menangkis pedang dengar goloknya sambil mengerahkan tenaga sin-kang menyedot sehingga pedang dan golok melekat. Saat itu dipergunakannya untuk menggerakkan tangan kirinya, secepat kilat tangan itu terbuka dan menghantam ke arah dada anak itu. Itulah pukulan Ang-see-jiu yang amat hebat. Pukulan beracun yang telah dilatih dengan pasir merah beracun dan yang sejak tadi tidak dipergunakan karena telah didahului oleh peringatan wanita itu.

"Awas, sute!" Wanita itu memperingatkan, akan tetapi anak itu agaknya memang sejak tadi tidak pernah melupakan peringatan sucinya. Melihat sinar merah dari telapak tangan kiri lawan, dia lalu membuka mulut dan mengeluarkan bentakan nyaring.

Huiiiihhh!" Dari mulut anak itu menyambar sinar putih ke arah tenggorokan Twa-sin-to Kui Liok.

"Aughhh...!" Tubuh yang pendek gemuk itu terjengkang, matanya terbelalak, di tenggorokannya menancap sebatang jarum putih yang amblas sampai lenyap. Akan tetapi Kui Liok masih dapat melanjutkan pukulan tangan kirinya ke arah dada anak itu.

"Desss...!" Wanita itu mendorong dari samping dan biarpun tangannya tidak sampai menyentuh tubuh Kui Liok, namun angin pukulannya yang kuat membuat tubuh itu terpelanting roboh, pukulan Ang-see-jiu tadi tidak sampai mengenai dada anak itu dan begitu roboh, Kui Liok sudah tegang kaku dan tewas seketika!

Anak itu menyimpan kembali pedangnya dan memandang mayat Kui Liok. Ada sedikit peluh di dahinya dan sucinya cepat menghampiri dan menyusut peluh itu dengan saputangannya yang halus dan berbau harum.

"Sute, latihanmu berhasil dan baik sekali. Akan tetapi sayang, ketika engkau menyerangnya dengan pek-ciam (jarum putih) tadi, sasaran kurang tepat. Kalau sasaranmu kautujukan ke dahinya, tepat di antara kedua alisnya, tentu pukulan Ang-see-jiu dari tangan kirinya itu tidak dapat dilanjutkan. Karena kau memilih tenggorokan sebagai sasaran, maka hampir saja engkau terkena pukulan. Harap lain kali engkau lebih cermat lagi."

Anak itu mengangguk. "Suci memang benar, dan akupun tadi sudah berpikir demikian. Akan tetapi aku merasa sangsi untuk menyerang antara sepasang keningnya, karena kupikir bagian itu lebih keras. Dengan sin-kang yang belum kuat seperti yang kumiliki ini, aku khawatir jarumku tidak akan dapat menembus tulang kepalanya dan tentu hal itu malah berbahaya sekali."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar