05 Pendekar Lembah Naga

"Siapa di antara kalian yang mempunyai nama keturunan ini?" Tangan kanannya bergerak ke punggung melalui atas pundaknya dan tahu-tahu dia telah memegang papan kayu berbentuk salib tadi dan mengangkatnya tinggi-tinggi ke atas kepalanya, membalikkan papan itu sehingga kini dapat terbaca tiga huruf besar yang tertulis di situ. Di atas papan yang melintang, terdapat tiga huruf yang berbunyi, CIA-YAP-TIO, tiga macam she (nama keluarga) Bangsa Han.

Semua orang membaca tiga huruf itu, akan tetapi tidak ada yang mengerti apa maksud wanita itu menanyakan tiga buah nama keturunan atau nama keluarga itu.

"Siapa tadi yang mengaku she Tio?" terdengar lagi dia bertanya, suaranya merdu sekali, akan tetapi juga nyaring melengking sehingga terdengar oleh mereka yang duduk di bagian paling sudut dari ruangan pesta itu.

Tio Kok Le yang tadi sedang berada di puncak hendak menyeret turun pengantin pria yang membuat dia iri hati itu, sudah siap untuk mencemarkan nama Hok Boan di depan orang banyak, merasa mendongkol sekali dengan kemunculan wanita ini yang dianggapnya mengganggu dan menggagalkan usahanya melampiaskan isi hatinya. Akan tetapi, melihat wanita ini cantik dan berpakaian mewah, dia cepat melangkah maju dengan guci arak masih di tangan, menyeringai dan memandang wanita itu dengan mata haus.

"Sayalah she Tio bernama Kok Le, nona. Apakah saya akan menerima nasib baik seperti sahabatku Kui Hok Boan itu? Ha-ha, percayalah, mutu diriku tidak kalah oleh sahabatku itu!" Kok Le adalah manusia kasar, akan tetapi saat itu dia menjadi lebih kasar lagi karena pengaruh arak.

Akan tetapi suara ketawanya mendadak terhenti ketika tiba-tiba sinar mata wanita itu menyambar bagaikan kilat kepadanya. Dan wanita itu berseru lagi, "Siapa lagi yang she Cia, she Yap dan she Tio? Majulah yang merasa mempunyai she itu, jangan bersikap pengecut dan aku hendak bicara!"

Biarpun wanita itu memperlihatkan sikap luar biasa dan penuh rahasia, namun nampaknya dia hanyalah seorang wanita muda yang cantik, maka tentu saja tidak menimbulkan rasa takut kepada orang-orang kang-ouw itu. Terdengar suara tertawa-tawa dan nampak beberapa orang laki-laki maju dan menghampiri wanita itu. Dua orang mengaku she Tio dan tiga orang pula mengaku she Yap. Tidak ada seorang pun she Cia.

"Hemm, hanya tiga orang she Tio dan tiga orang she Yap?" Wanita cantik itu bertanya dengan suara kecewa. "tidak seorangpun she Cia di sini?"

Tidak ada yang menjawab, dan agaknya memang tidak ada, atau kalaupun ada, tentu orang itu diam saja. Dan memang ada seorang she Cia dan beberapa orang lagi she Yap dan she Tio yang tidak mau melayani panggilan wanita itu. Enam orang laki-laki itu kini berdiri menghadapi si wanita, sikap mereka seperti anak-anak yang akan diberi hadiah, tersenyum-senyum agak malu-malu.

"He, nona manis. Engkau telah memanggil kami berenam di sini, sebenarnya hendak memberi apakah?" tanya seorang di antara mereka yang bernama keluarga Yap, orangnya tinggi besar dan kelihatan kuat sekali, di punggungnya terselip sebatang golok besar. Selain Tio Kok Le dan orang she Yap tinggi besar ini, empat orang yang lain juga jelas memperlihatkan diri sebagai orang-orang kang-ouw yang memiliki kepandaian. Bahkan seorang di antara mereka, she Tio yang bertubuh tinggi kurus, membawa sepasang senjata siang-kek (sepasang tombak cagak) dan orang yang mahir memainkan senjata ini tentu memiliki ilmu silat yang sudah tinggi.

Akan tetapi, wanita itu mencibirkan bibirnya dan makin tampak nyata sebuah titik tahi lalat hitam yang menghias dagunya sebelah kiri, menambah manis wajahnya. Dia tidak menjawab, melainkan mengambil enam batang hio dari dalam bungkusan hio itu, kemudian menyelipkan sisa bungkusan di ikat pinggangnya.

Dengan sikap tenang sekali dia lalu membuat api dan menyalakan enam batang hio itu. Gerak-geriknya dilakukan dengan sikap tenang dan dingin sehingga dalam kesunyian yang mencekam itu semua orang mengikuti semua gerak-geriknya dan di dalam hati masing-masing semua orang menduga-duga apa yang akan dilakukan oleh wanita luar biasa ini. Sementara itu, Kui Hok Boan sudah hendak bangkit dari tempat duduknya untuk menegur wanita yang aneh dan yang dianggapnya hendak mengacau pestanya itu, akan tetapi tiba-tiba tangannya disentuh oleh tangan kanan Si Kwi. Dia menoleh dan melihat isterinya memandang dengan mata terbelalak ke arah papan salib yang bertuliskan tiga buah nama keluarga itu, bibirnya berbisik, "Jangan bergerak..."

Kui Hok Boan terheran-heran, akan tetapi melihat sikap isterinya dan melihat wajah isterinya yang tiba-tiba berubah pucat itu, dia merasa serem dan tidak jadi melakukan sesuatu, hanya menonton saja dengan berdebar dan dengan urat syaraf siap menghadapi segala kemungkinan yang tidak wajar.

Kini wanita cantik itu telah selesai membakar enam batang hio. Enam orang she Tio dan she Yap itu sudah menjadi tidak sabar. Mereka berdiri seperti anak wayang, menjadi tontonan orang akan tetapi didiamkan saja oleh wanita yang memanggil mereka, seolah-olah wanita itu sama sekali tidak memandang sebelah mata kepada mereka.

"Heiii! Engkau memanggil kami mau bicara apakah?" bentak orang she Yap yang tinggi besar itu, nadanya kehilangan kesabaran dan sudah mulai marah.

"Nona yang baik, kalau aku akan kauajak kawin, sebelum sembahyang harus memakai pakaian pengantin dulu!" Tio Kok Le berkelakar dan terdengar suara tertawa di sana-sini karena kelakar ini setidaknya mengurangi ketegangan hati mereka yang penuh dengan dugaan-dugaan.

"Aku akan menyembahyangi roh yang baru saja meninggalkan badannya."

"Eh, dalam pesta pernikahan ini kenapa menyebut-nyebut orang mati? Siapa yang akan mati dan siapa yang akan kausembahyangi?" tanya Tio Kok Le dengan mulut masih menyeringai dan menganggap ucapan wanita itu sebagai kelakar belaka.

"Hari ini yang kusembahyangi adalah enam orang, yaitu tiga oreng she Tio dan tiga orang she Yap. Semua orang she Cia, Yap dan Tio harus mati!"

"Heiii...!" Tio Kok Le membentak marah akan tetapi tiba-tiba nampak sinar-sinar api menyambar. Orang she Yap yang tinggi besar itu cepat mencabut golok, demikian pula empat orang lain sudah siap, akan tetapi mereka itu tidak mampu menghindar ketika ada sinar-sinar api meluncur dan menyambar ke arah mereka.

"Oughhh...!"

"Aduhhh...!"

"Iiiihkkk...!"

Jerit-jerit mengerikan terdengar susul-menyusul dan enam orang itu roboh terpelanting, berkelojotan sebentar dan tak bergerak lagi. Mereka itu tewas seketika dengan gagang-gagang hio menancap di ulu hati mereka, menancap sampai dalam sekali, menembus jantung dan yang nampak hanya sebagian hio yang masih terbakar dan mengepulkan asap. Senjata-senjata mereka terlempar ke sana-sini dan guci arak di tangan Tio Kok Le yang masih dipegangnya erat-erat itu tumpah dan arak wangi berhamburan baunya. Setelah suara berisik dari jerit mereka, jatuhnya senjata-senjata mereka, lalu disusul robohnya tubuh mereka, disusul pula oleh teriakan dari para tamu, kini keadaan menjadi sunyi sekali. Sunyi yang menyeramkan dan semua wajah menjadi pucat, semua mata memandang kepada wanita itu dengan terbelalak dan kebanyakan dari para tamu merasa ngeri dan jerih. Menggunakan hio-hio biting sekaligus membunuh enam orang yang tidak lemah, hanya dengan sekali serang, benar-benar membayangkan tenaga dan kepandaian seperti iblis! Dan wanita cantik itu sama sekali tidak pernah berkedip menyaksikan hasil perbuatannya yang mengerikan. Dia hanya mencibirkan bibirnya dan memandang ketika enam orang itu berkelojotan dan mati, kemudian dengan tenangnya dia menyimpan salib yang bertuliskan nama she tiga macam itu, diselipkannya di punggung dengan terbalik sehingga hurul-huruf itu tidak nampak.

Tentu saja kawan-kawan dari enam orang yang dibunuh secara mengerikan itu menjadi marah. Mereka meloncat dan mencabut senjata mereka. Ada delapan orang laki-laki yang meloncat dan menerjang wanita cantik itu dengan senjata mereka.

"Siluman betina...!"

"Bunuh iblis keji ini!"

Mereka menyerbu dengan senjata pedang, golok dan sebagainya. Akan tetapi wanita itu dengan bibir masih tetap mencibir, bersikap tenang saja membiarkan mereka menerjangnya. Ketika mereka sudah datang dekat, tiba-tiba tangan kanannya yang sudah mengeluarkan sehelai sabuk merah itu bergerak dan nampak sinar bergulung-gulung menyambar ke sekeliling tubuhnya. Terdengar bunyi ledakan-ledakan seperti pecut, delapan kali dan delapan orang itu terhuyung ke belakang, senjata mereka terlepas dan mereka mengaduh-aduh, memegangi lengan tangan yang tersambar sinar merah itu, bahkan ada yang terbanting roboh dan ada pula yang lengannya berdarah, ada yang lepas sambungan tulang siku atau pergelangan tangan! Delapan orang itu mundur semua dan memandang dengan mata terbelalak.

Wanita itu kini tersenyum mengejek. Senyumnya dimaksudkan untuk mengejek, akan tetapi tahi lalat hitam di dagu itu benar-benar membuat dia nampak manis sekali ketika tersenyum, sungguhpun senyum itu dibuat-buat untuk mengejek.

"Untung bahwa kalian bukan orang-orang she Cia, Yap atau Tio, sehingga tidak perlu aku membunuh kalian!" Setelah berkata demikian, dengan langkah ringan dia lalu melangkah ke depan, hendak menghampiri sepasang mempelai.

"Omitohud, dari mana datangnya wanita yang begini kejam?"

Seruan itu keluar dari mulut Lan Kong Hwesio dan kakek pendeta besar bermuka hitam tokoh Go-bi-pai itu sudah berdiri menghadang di depan wanita itu. Lan Kong Hwesio adalah seorang tokoh Go-bi-pai dan sebagai hwesio, juga seorang ahli silat tingkat tinggi, tentu saja dia menentang segala bentuk kejahatan dan kekejaman, apalagi melihat wanita yang seperti iblis ini agaknya mengancam keselamatan sepasang mempelai.

Melihat hwesio tinggi besar itu menghadang dan menggerakkan ujung lengan baju yang menyambar dahsyat ke arah pinggangnya, ujung lengan baju yang dapat dipergunakan untuk menotok sehingga serangan itu dahsyat dan hebat bukan main, wanita itu mengeluarkan seruan marah dan ujung sabuk merahnya menyambar ke depan.

"Prakkk!" Sabuk merah itu membalik keras, akan tetapi ujung lengan baju Lan Kong Hwesio juga pecah-pecah! Hwesio tinggi besar itu terkejut bukan main. Kiranya wanita yang masih amat muda ini telah memiliki tingkat tenaga sin-kang yang amat hebat, dan ujung sabuk itu merupakan senjata maut. Kalau tadi wanita itu menghendaki, tentu delapan orang itu sudah menjadi mayat semua!

Akan tetapi, sebagai seorang tokoh besar, yang tentu saja tidak mau mendiamkan fihak yang jahat merajalela, Lan Kong Hwesio kembali menubruk kedepan. Sekali ini dia menggunakan jurus pukulan tangan kosong yang amat lihai dari Go-bi-pai, yang bernama jurus Siang-liong-pai-hud (Sepasang Naga Memuja Buddha). Kedua tangannya menyambar dari luar, dari kanan kiri dan menyambarlah angin dari dua jurusan yang amat dahsyat, gerakan ini membuat dua buah ujung lengan baju yang panjang itu seperti dua ekor ular menotok ke arah leher dan pinggang, atas dan bawah dengan kecepatan yang sukar diduga mana lebih dulu.

"Plak-plak! Aihh...!" Wanita itu berhasil menangkis dua serangan itu dan meloncat ke belakang sambil melengking. "Losuhu adalah seorang tokoh Go-bi-pai yang berjubah pendeta, mengapa begitu kejam untuk menggunakan jurus Siang-liong-pai-hud untuk membunuh orang?"

Ketika tertangkis tadi, Lan Kong Hwesio merasakan betapa kedua lengannya tergetar. Dia kaget bukan main, apalagi ketika mendengar ucapan itu. Gadis muda ini mengenal ilmu silatnya! Padahal, jurus itu merupakan jurus simpanan dan hanya dikenal oleh tokoh-tokoh Go-bi-pai yang sudah tinggi ilmunya. Seorang murid dengan tingkatan seperti Kui Hok Boan itupun tentu belum dapat mengenalnya! Dan melihat betapa wanita itu dapat menangkis dengan tepat, dia tidak akan heran kalau wanita itu bukan hanya mengenal melainkan juga dapat memainkan jurus itu! Akan tetapi, mendengar teguran itu, Lan Kong Hwesio menjadi makin penasaran.

"Omitohud...! Gadis muda yang kejam, engkau sendiri tanpa sebab membunuh enam orang yang tak berdosa, sekarang berani menegur pinceng yang hendak menentang kejahatahmu?"

Sementara itu, para tamu sudah bangkit semua dan kini mengurung gadis itu sambil meraba gagang senjata masing-masing. Jumlah tamu ada kurang lebih dua ratus orang dan mereka kelihatan sudah marah semua, baik golongan putih maupun golongan hitam karena di antara mereka tidak ada yang mengenal wanita muda ini! Mereka itu, kedua golongan yang biasanya saling bertentangan, sekali ini mempunyai niat yang sama, yaitu menentang wanita yang telah mengganggu kesenangan mereka berpesta.

"Losuhu, aku bukan orang gila yang membunuh orang tanpa sebab. Urusanku dengan semua orang she Cia, Yap dan Tio adalah merupakan urusan pribadi, merupakan permusuhan dan dendam turun-menurun yang seluas bumi, sedalam lautan dan setinggi langit. Apakah engkau hendak mencampuri urusan pribadi?"

Mendengar ini, hwesio itu tercengang. Dia menjadi ragu-ragu dan berkali-kali mengucapkan kata-kata. "Omitohud... omitohud..." untuk memohon kekuatan batin dari Sang Buddha yang dipujanya.

Sementara itu, para tamu berbeda pendapat dengan Lan Kong Hwesio. Mereka tidak ragu-ragu lagi dan mereka mulai berteriak-teriak.

"Bunuh siluman ini!"

"Tangkap iblis betina ini!"

"Kurung!"

"Serbu...!"

Akan tetapi tiba-tiba wanita itu mengangkat kedua tangannya dan terdengarlah bunyi ledakan keras bertubi-tubi empat kali dan terdengar suara berisik dari banyak sekali orang di empat penjuru mengurung gedung besar tempat pesta itu. Semua orang terkejut dan menengok keluar dan nampaklah banyak sekali perajurit berpakaian seragam dan bersikap gagah telah mengurung tempat itu dengan rapat seperti tembok benteng yang kokoh kuat!

"Hemm, kalian adalah orang-orang yang telah memasuki wilayah yang mulia Sri Baginda Raja Sabutai tanpa ijin, dan kini masih ingin berlagak? Tempat ini telah dikepung oleh tiga ratus orang perajurit-perajurit sri baginda, dan kaliam masih hendak mengurung aku? Aku adalah utusan sri baginda, hayo kalian semua mundur! Ataukah kalian ingin dibasmi semua sebagai pelanggar-pelanggar wilayah kami?"

Semua orang terkejut. Tentu saja mereka telah mendengar akan raja liar yang pernah menggemparkan Tiong-goan dengan serbuan-serbuannya itu (baca cerita Dewi Maut). Kiranya wanita ini adalah urasan raja itu untuk membasmi mereka! Para tamu yang berhati kecil menjadi panik, akan tetapi tiba-tiba Si Kwi bangkit berdiri, mengangkat tangan kanannya ke atas dan berkata dengan suaranya, "Cu-wi, sekalian, silakan duduk kembali dan harap tenang! Cu-wi adalah tamu-tamu kami dan kalau ada sesuatu, kamilah yang bertanggung jawab karena kedatangan cu-wi adalah atas undangan kami!"

Kui Hok Boan terkejut dan kagum menyaksikan keberanian isterinya. Dia sendiri sudah gemetar saking jerihnya menyaksikan kelihaian wanita itu yang dapat menandingi susioknya dan yang telah membunuh enam orang secara demikian mudah dan mengerikan. Tentu saja dia tidak pernah menyangka, karena memang isterinya belum pernah bercerita kepadanya, betapa isterinya itu pernah membantu suhu dan subonya yang menjadi kaki tangan Raja Sabutai! Karena itu, Si Kwi mengenal raja liar itu, juga, melihat tiga huruf yang menjadi nama keturunan tiga orang itu, Si Kwi segera mengerti siapa yang dimaksudkan dengan tiga huruf she itu. Maka, dia berani bertindak menenangkan semua tamu dan hendak menghadapi sendiri wanita yang mengaku utusan Raja Sabutai.

Kini wanita cantik itu sudah melangkah maju, berhadapan dengan Si Kwi. Pengantin wanita ini segera menjura dan membungkuk rendah sambil berkata, "Kami tidak tahu akan kunjungan utusan Sri Baginda Sabutai yang terhormat, maka tidak cepat-cepat menyambut. Harap sudi memaafkan kami."

Wanita itu tersenyum, dan kini senyumnya ramah sekali, membuat wajahnya nampak makin manis saja. Dia bertepuk tangan tiga kali dan dari luar masuklah seorang perajurit Mongol yang tinggi besar memanggul sebuah peti hitam berukir indah. Atas isyarat wanita utusan Raja Sabutai itu, perajurit ini menurunkan peti di depan kaki sepasang mempelai, lalu mundur lagi dan keluar setelah memberi hormat dengan berlutut sebelah kaki.

Wanita itu berkata lagi, "Liong-kouwnio, kami diutus oleh Sri Baginda Raja Sabutai untuk menyampaikan ucapan selamat beliau dan mengirimkan hadiah untuk sepasang mempelai, harap diterima dengan baik." Dia menuding ke arah peti itu.

Wajah di balik tirai pengantin itu berseri saking girangnya. Sungguh tidak pernah disangka oleh Si Kwi bahwa Raja Sabutai masih ingat kepadanya, bahkan masih ingat untuk mengirim hadlah pernikahan. Hal ini selain menggirangkan hatinya, juga mengejutkan karena menjadi bukti bahwa daerah yang ditempatinya bersama suaminya ini bukanlah daerah bebas, melainkan milik Raja Sabutai dan bahwa raja itu agaknya tahu akan segala gerak-geriknya di Lembah Naga dan Padang Bangkai!

"Ahh...!" Dia cepat memberi hormat. "Sungguh mulia sekali sri baginda! Harap sampaikan permohonan ampun dari kami berdua bahwa kami tidak berani mengundang sri baginda. Maka harap saja nona yang menjadi utusan beliau suka duduk sebagai tamu agung kami."

Akan tetapi wanita itu menggeleng kepala dan mengibaskan tangannya. "Tugas saya hanyalah menyampaikan selamat dan hadiah ini. Selain itu, juga kami diutus menyampaikan pesan sri baginda kepada Liong-kouwnio dan Kui-sicu."

Sepasang mempelai itu saling pandang dengan hati berdebar tegang akan tetapi mereka sudah mendengarkan lagi suara wanita itu. "Tadinya, sri baginda sudah akan turun tangan melihat Padang Bangkai ditempati orang tanpa perkenan beliau. Kalau Liong-kouwnio memang dianggap orang sendiri dan boleh saja mendiami istana yang kosong itu. Akan tetapi kemudian Kui-sicu muncul dan melihat usaha Kui-sicu memajukan Padang Bangkai, maka sri baginda memberi ampun, apalagi setelah beliau mendengar bahwa Kui-sicu hendak menikah dengan Liong-kouwnio. Maka beliau malah memberi ucapan selamat dan hadiah, dengan pesah agar ji-wi dapat hidup bahagia di sini dan selalu ingat bahwa daerah ini termasuk daerah kekuasaan sri baginda dan sewaktu-waktu kalau diperlukan agar ji-wi suka menyerahkan dengan baik-baik kepada sri baginda."

Si Kwi lalu memegang tangan suaminya dan menariknya sehingga mereka berdua beelutut. "Harap sampaikan terima kasih kami kepada sri baginda dan tentu kami akan selalu mentaati perintah beliau."

Wanita itu menggangguk dan menjura ketika sepasang mempelai itu bangkit berdiri lagi. "Nah, tugasku sudah selesai, saya mohon diri, Kui-sicu dan Liong-kouwnio." Tanpa menanti jawaban dia lalu membalikkan tubuhnya dan melangkah meninggalkan sepasang mempelai itu menuju keluar. Ketika tiba di tengah-tengah ruangan, dia berhenti, memandang sekeliling di antara tamu-tamu dan berkata, suaranya nyaring seperti tadi, penuh tantangan dan ancaman. "Kalau cu-wi sebagai orang-orang kang-ouw di selatan masih merasa penasaran, dengarlah bahwa aku adalah Kim Hong Liu-nio. Katakan kepada semua orang she Cia, Yap dan Tio bahwa mereka harus menjaga kepala mereka baik-baik, karena akan tiba saatnya Kim Hong Liu-nio akan datang mengambil kepala mereka sampai di dunia ini tidak ada lagi keturunan she Cia, Yap, dan Tio!" Setelah berkata demikian, wanita cantik yang mengaku bernama Kim Hong Liu-nio itu melangkah pergi, diikuti oleh pandang mata semua tamu sampai akhirnya dia lenyap di tengah-tengah pasukan Mongol yang berbaris pergi.

Kini sibuklah Kui Hok Boan menyuruh anak buahnya untuk menyingkirkan mayat-mayat itu, membersihkan tempat pesta dan melanjutkan pesta. Akan tetapi, suasana pesta sudah berubah dan para tamu tidak dapat bergembira lagi. Mereka semua menjadi tegang karena secara tak terduga-duga, di utara muncul seorang wanita yang demikian lihai, seorang wanita yang tidak saja memiliki tingkat kepandaian yang tinggi, akan tetapi bahkan juga menjadi utusan dari Raja Sabutai sehingga tentu saja kedudukan wanita itu amat kuat. Wanita itu telah memperlihatkan kepandaian di depan hidung mereka tanpa mereka mampu menentangnya, karena wanita itu dilindungi oleh ratusan orang perajurit Mongol. Hal ini merupakan pukulan bagi orang-orang kang-ouw ini, baik golongan putih maupun hitam sehingga suasana pesta tidak lagi gembira. Bahkan sebelum pesta selesai, sudah banyak yang berpamit kepada sepasang mempelai dan sebelum lewat hari itu, semua tamu telah meninggalkan Padang Bangkai!

Setelah sepasang mempelai berada berdua saja di kamar malam itu, barulah Si Kwi memperoleh kesempatan untuk bercerita kepada suaminya yang merasa terheran-heran. Dia bercerita bahwa suhu dan subonya, yaitu mendiang Hwa Hwa Cinjin dan Hek I Siankouw pernah membantu Raja Sabutai, bahkan membantu kakek dan nenek iblis yang menjadi guru dari Raja Sabutai, yaitu mendiang Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li yang tinggal di Istana Lembah Naga. Dan ketika itu dia sendiripun ikut dengan subonya tinggal di Lembah Naga sampai tempat itu diserbu oleh para pendekar sakti yang memimpin pasukan kerajaan.

Kui Hok Boan sudah mendengar sedikit-sedikit tentang penyerbuan itu dari para anggauta pasukan kerajaan ketika dia menyelidiki tentang keadaan Lembah Naga dan Padang Bangkai, akan tetapi dia tidak tahu akan keadaan yang sebenarnya, maka dia merasa tertarik sekali.

"Kiranya Raja Sabutai diam-diam masih memperhatikan tempat kita ini dan menganggap tempat ini sebagai daerahnya," katanya.

"Tentu saja," jawab isterinya. "Memang tempat ini bukan termasuk daerah kekuasaan kerajaan di selatan, akan tetapi aku tidak mengira bahwa beliau masih menaruh minat akan tempat-tempat kita ini."

"Isteriku, tahukah engkau tentang orang-orang she Cia, Yap dan Tio itu?"

Si Kwi mengangguk dan menarik napas panjang. "Yang dimaksudkan adalah tiga orang pendekar yang memiliki kesaktian hebat. Tak kusangka bahwa Raja Sabutai menaruh dendam pribadi yang demikian mendalam terhadap mereka. Ataukah, barangkali bukan Raja Sabutai yang menyuruh Kim Hong Liu-nio itu memusuhi tiga pendekar itu?"

"Tiga pendekar? Siapakah mereka dan mengapa dimusuhi demikian hebat?"

"Pendekar she Cia itu adalah Cia Bun Houw, putera dari ketua Cin-ling-pai, pendekar sakti Cia Keng Hong..."

"Ahhh...!" Kui Hok Boan terkejut bukan main sehingga dia tidak melihat betapa terjadi perubahan pada wajah isterinya ketika menyebutkan nama Cia Bun Houw tadi.

"Kenapa kau terkejut?" Si Kwi bertanya, memandang wajah suaminya.

"Kenalkah kau dengan nama itu?"

"Kenal? Tentu saja orang seperti aku ini tidak mungkin dapat kenal secara pribadi dengan mereka, akan tetapi aku sudah mendengar nama Cia-taihiap tua dan muda itu. Ayah dan anak itu merupakan pendekar-pendekar sakti yang namanya menduduki deretan paling tinggi di dunia kang-ouw."

Si Kwi menggangguk dan menunduk. Memang terlampau tinggi kedudukan Cia Bun Houw, terlampau tinggi sehingga tentu saja tidak mau memandang kepadanya. Biarlah, dia yang duduk di tingkat rendah kini bertemu dengan suaminya yang juga mengaku sebagai seorang yang bertingkat rendah. Teringat akan ini, hatinya gembira dan dia memegang tangan suaminya. Gerakan ini disambut senyum oleh Hok Boan yang lalu merangkul. Mereka berangkulan dan berciuman.

"Eh, nanti dulu, isteriku yang manis. Kau lupa untuk menceritakan dua she yang selanjutnya. She Yap dan Tio? Siapa mereka itu?"

"Yang she Yap itu adalah nona Yap In Hong, seorang pendekar wanita yang luar biasa lihainya, dan dia itu adalah adik kandung dari pendekar sakti Yap Kun Liong..."

"Wah, aku belum pernah mendengar nama Yap In Hong, akan tetapi nama Yap Kun Liong, sama tingginya dengan nama ketua Cin-ling-pai! Hebat sekali, mengapa orang berani memusuhi dua orang pendekar Cia dan Yap itu? Dan yang she Tio?"

"Yang dimaksudkan adalah Tio Sun, juga seorang pendekar muda, putera dari seorang bekas panglima pengawal kota raja yang bernama Ban-kin-kwi Tio Hok Gwan."

"Wah-wah-wah...! Kakek bertenaga raksasa itupun amat terkenal! Heran sekali, mengapa mereka dimusuhi orang?"

"Merekalah yang dahulu selalu menentang orang-orang kang-ouw yang membantu Raja Sabutai, dan mereka pula yang mengobrak-abrik Istana Lembah Naga."

"Kalau begitu, mereka juga termasuk musuh-musuh mendiang gurumu?"

Si Kwi mengangguk.

"Jadi termasuk musuh-musuhmu juga?"

Si Kwi menghela napas panjang. "Sudah sejak dahulu aku tidak setuju dengan sepak terjang subo yang membantu Raja Sabutai. Aku... aku tidak memusuhi mereka... karena aku tahu bahwa para pendekar itu adalah patriot-patriot sejati, orang-orang gagah yang berani di fihak yang benar."

"Ah, syukurlah, isteriku! Kalau engkau juga memusuhi mereka, sungguh... berbahaya sekali. Akan tetapi, membantu merekapun berbahaya! Wanita itu tadi sungguh amat lihai dan mengerikan. Engkau yang pernah mengenal para pembantu Raja Sabutai, mengapa tidak mengenal dia?"

"Entah, beberapa tahun yang lalu dia tidak ada, mungkin belum menjadi kaki tangan Raja Sabutai. Mungkin dia seorang pembantu baru. Bahkan nama Kim Hong Liu-niopun baru sekarang aku mendengarnya."

Suami isteri pengantin baru ini lalu membicarakan soal mereka dan biarpun siang tadi terjadi hal yang amat menegangkan, namun penumpahan rasa cinta mereka pada malam pertama sebagai pengantin baru itu membuat mereka melupakan segala hal yang buruk dan mengkhawatirkan. Mereka saling mencinta, dan ini sudah cukup bagi mereka, cukup kuat untuk menghadapi segala bahaya bersama-sama, sehidup semati, senasib sependeritaan. Kedua orang itu menemukan kebahagiaan mulai malam itu. Bahkan Kui Hok Boan yang benar-benar mencinta Si Kwi, merasa menyesal kalau dia teringat akan segala petualangan dan perbuatannya di masa lalu, dan berjanji kepada dirinya sendiri untuk menjadi suami yang mencinta dan baik dari isterinya.

Manusia selalu berubah. Tidak ada kedukaan yang abadi seperti juga tidak ada kesenangan yang kekal. Juga manusia tidak selalu baik atau selalu jahat, dalam diri manusia terdapat unsur kebaikan dan unsur kejahatan ini. Sekali waktu kejahatannya menonjol, ada kalanya kebaikannya nampak. Mengapa demikian? Karena sesungguhnya, pikiran kita sendirilah yang menentukan, yang menguasai seluruh kehidupan, sehingga kita diombang-ambingkan antara susah dan senang, baik dan jahat, indah dan buruk, yang timbul dari pikiran yang menilai-nilai, membanding-bandingkan semua merupakan permainan dari pikiran kita sendiri yang selalu mengejar kesenangan dan menolak kesusahan. Karena perbandingan dan penilaian ini, maka terciptalah sifat-sifat kebaikan, susah senang, baik jahat, dan sebagainya. Dan sifat-sifat kebaikan inilah yang menimbulkan adanya kebaikan tunggal, kebalikan abadi yang menguasai dan menyengsarakan kehidupan, yaitu kebalikan antara cinta dan benci. Yang menyenangkan atau dianggap menyenangkan kita cinta, sebaliknya yang kita anggap menyusahkan kita benci. Maka terjadilah pertentangan, permusuhan kelompok, bangsa, dan perang! Dapatkah kita terbebas dari cengkeraman pikiran yang menilai dan membandingkan? Mungkin dapat kalau kita bebas dari keinginan untuk mengejar kesenangan. Segala macam KEINGINAN, dalam bentuk apapun juga, adalah MENYESATKAN. Ingin baik, ingin bebas, ingin suka, ingin damai dan sebagainya, pada hakekatnya adalah INGIN SENANG! Betapapun tinggi dan mulianya nampaknya yang diinginkan itu, tetap saja itu merupakan keinginan untuk mencapai kesenangan, baik kesenangan batin maupun kesenangan lahir. Dan setiap pengejaran kesenangan, dalam bentuk apapun juga, pasti mendatangkan konflik dan ada yang menghalangi, ada yang merintangi, timbullah kekerasan dan pertentangan, timbullah rasa benci dan permusuhan. Betapa banyaknya hal ini terjadi di sekeliling kita! Betapa memang demikianlah hidup ini.

Contohnya, seorang pendeta bertapa untuk mencari kedamaian. Ini merupakan suatu keinginan, ingin mencapai kedamaian. INGIN SENANG! Karena kalau dalam keadaan damai, dianggapnya akan senang. Karena itu, setiap ada gangguan dalam pertapaannya, dia akan menentang si pengganggu ini dan terjadilah permusuhan. Dengan sendirinya kedamaian yang dicari-cari itupun hancur lebur! Betapa banyaknya hal ini dilihat dalam kehidupan kita sekarang ini! Bangsa-bangsa berteriak-teriak mencari perdamaian, INGIN DAMAI, yang berarti ingin senang pula! Bukan enggan perang, melainkan ingin damai, ingin senang. Maka, dalam mengejar perdamaian ini, kalau perlu dengan jalan perang! Dan kalau sudah perang, mana ada perdamaian? Padahal, perdamaian tidak perlu dikejar, tidak perlu dicari. Hentikan perang, jangan berperang, maka tanpa dicari sudah ada kedamaian itu! Demikian pula dalam kehidupan kita sehari-hari. Kita terlalu banyak MENGINGINKAN hal-hal yang tidak ada. Kita tidak mau membuka mata akan kehidupan kita sehari-hari, tidak mau memandang keadaan kita setiap saat, lahir batin. Kita INGIN sabar, padahal kita pemarah. Sama seperti ingin damai tapi dalam keadaan perang tadi. Kalau kita mengenal diri sendiri, melihat kemarahan sendiri, penglihatan ini menyandarkan dan menghentikan marah itu. Kalau sudah tidak ada marah perlukah belajar sabar lagi?

Kita manusia sebagai perorangan, sebagai kelompok, sebagai bangsa, agaknya lupa bahwa segala sumber peristiwa berada di dalam diri kita sendiri. Kuncinya berada dalam diri kita sendiri. Akan tetapi kita selalu mencari ke luar. Kita tidak mau mempelajari diri sendiri dalam hubungannya dengan kehidupan. Kehidupan adalah kita, kitalah pokoknya, kitalah, ujung pangkalnya, kitalah dasarnya, kitalah sebab akibatnya. Kita lebih suka mempelajari orang lain, mencari-cari kesalahan orang lain dan mencari kesenangan untuk diri sendiri belaka selama hidup. Maka tidaklah aneh kalau selama hidup kita diombang-ambingkan oleh gelombang kehidupan penuh suka-duka, jauh lebih banyak dukanya dari pada sukanya. Maukah kita menyadari semua ini dan mulai meneliti diri sendiri. Bercermin sepanjang hari setiap saat? Bercermin lahir batin? Kapan dimulai? SEKARANG JUGA!

Sang waktu berlalu terus tanpa memperdulikan segala sesuatu yang terjadi di dunia ini. Matahari timbul tenggelam setiap hari tanpa memperdulikan segala yang terjadi, bebas tanpa ikatan, melalui jalan kehidupan dengan wajar. Itulah ABADI! Apapun yang terjadi atas dirinya, ada maupun tidak ada, begini maupun begitu, tidak mempengaruhinya. Tidak ada kemarin, tidak ada esok, yang ada hanya SEKARANG. Dan sekaranglah abadi!

Tanpa terasa karena tidak diingat-ingat, sepuluh tahun telah lewat semenjak hari pernikahan di Padang Bangkai antara Liong Si Kwi dan Kui Hok Boan itu. Sepuluh tahun telah lewat semenjak terjadinya peristiwa menggegerkan di dalam pesta pernikahan itu.

Dan selama sepuluh tahun itu, Liong Si Kwi hidup sebagai suami isteri yang saling mencinta dengan Kui Hok Boan. Hidup rukun dan damai, menikmati kebahagiaan hidup suami isteri yang sebelumnya belum pernah mereka rasakan. Dan selama sepuluh tahun itu, terjadi perubahan hebat di tempat itu. Tempat yang dulu bernama Padang Bangkai dan merupakan tempat yang berbahaya dan menyeramkan, kini telah menjadi sebuah perkampungan besar. Sudah banyak dibuka toko dan pasar di tempat itu. Kui Hok Boan sendiri bersama isteri dan keluarganya telah pindah ke Istana Lembah Naga, dan kini Padang Bangkai hanya tinggal dongengnya saja. Kini telah menjadi dusun-dusun yang makmur karena tanah di daerah itu memang subur.

Kui Hok Boan dan isterinya telah mempunyai dua orang puteri. Dua orang anak perempuan kembar yang kini telah berusia sembilan tahun. Dua orang anak kembar itu diberi nama Lan dan Lin. Sukar sekali bagi orang lain untuk membedakan antara Kui Lan dan Kui Lin. Wajah mereka sama benar. Bahkan ayah bunda mereka sendiri kadang-kadang suka keliru memanggil dan hanya setelah melihat leher sebelah kiri dari seorang di antara mereka saja maka ayah bunda ini tahu mana yang Kui Lan dan mana yang Kui Lin. Di leher kiri Kui Lan terdapat sebuah titik berwarna merah, tanda semenjak lahir. Selain tanda itu, tidak ada lagi tanda lahiriah yang dapat membedakan antara dua orang anak kembar itu. Segala-galanya sama dari ujung kaki sampai ke ujung rambut! Akan tetapi kalau dua orang anak itu berbicara atau bergerak, terdapat perbedaan antara mereka. Sejak kecil, Kui Lan atau yang biasa dipanggil Lan Lan selalu cerewet dan nakal, sedangkan Lin Lin lebih pendiam. Lan Lan agak bandel dan pemberani, sebaliknya Lin Lin agak penakut dan cengeng. Akan tetapi kalau keduanya duduk diam dan Lan Lan tidak memperilhatkan tanda titik merah di leher kirinya biar ayah bundanya sendiripun tidak akan dapat mengenal dan membedakan mereka.

Selain Lan Lan dan Lin Lin, di dalam Istana Lembah Naga yang menjadi tempat tinggal sasterawan Kui Hok Boan dan isterinya itu, terdapat pula dua orang anak laki-laki yang sebaya, berusia kurang lebih dua belas tahun. Mereka ini adalah keponakan-keponakan dari Kui Hok Boan, yang oleh sasterawan itu diambil dari selatan untuk menjadi teman dua orang anak kembarnya. Yang seorang bersikap gagah dan berwajah tampan dan angkuh, bernama Kwan Siong Bu. Anak ini memang tampan dan biarpun usianya baru dua belas tahun, namun dalam segala hal dia meniru pamannya sehingga seperti juga pamannya, dia selalu berpakaian bersih dan rapi, rambutnya disisir rapi pula, muka, leher dan tangannya tidak pernah kotor. Wajahnya tampan dan sikapnya halus meniru pamannya, sikap seorang kongcu hartawan, dan wajah yang tampan itu membayangkan keangkuhan, keangkuhan yang timbul dari kesadaran bahwa dia adalah keponakan penghuni Istana Lembah Naga yang disegani, kaya raya dan lihai ilmu silatnya. Sedangkan anak ke dua sungguh jauh bedanya dengan Kwan Siong Bu. Anak ini juga keponakan dari Kui Hok Boan, akan tetapi biarpun wajahnya juga tidak buruk, bahkan boleh dibilang tampan, namun wajahnya bulat dengan sepasang pipi yang gendut, matanya lebar penuh kejujuran, mulutnya selalu menyeringai lucu, tersenyum bukan untuk melucu, akan tetapi memang wajahnya mempunyai garis-garis yang lucu. Tubuhnya juga kegemuk-gemukan sehingga cocok benar dengan wajahnya yang bulat dan bundar itu. Anak ini bernama Tee Beng Sin, seorang anak yang tidak bisa membohong dan terlalu jujur sehingga menyenangkan hati siapapun juga yang berhadapan dengan dia.

Sejak berusia lima tahun, Kwan Siong Bu dan Tee Beng Sin dibawa oleh paman mereka ke Istana Lembah Naga, menjadi teman bermain Lan Lan dan Lin Lin. Karena suaminya amat mencinta dua orang keponakan itu, dan karena dia sendiripun tidak mempunyai anak laki-laki dari suaminya, maka Si Kwi juga menyayang mereka. Tentu saja Si Kwi sama sekali tidak pernah menduga bahwa kedua anak laki-laki itu sebetulnya sama sekali bukan keponakan dari Kui Hok Boan, melainkan anak-anak kandungnya sendiri! Seperti diketahui, Kui Hok Boan di waktu mudanya adalah seorang petualang asmara, seorang yang gila perempuan dan entah sudah berapa ratus orang wanita yang dirayunya dan dijatuhkannya, menjadi kekasihnya. Baik wanita itu sudah bersuami, janda maupun perawan, jarang ada yang dapat bertahan terhadap rayuan petualang asmara ini. Dan tidak dapat dihindarkan lagi, di antara wanita-wanita yang telah dijatuhkannya itu, ada pula yang mengandung dan melahirkan anak keturunannya!

Kwan Siok Bu adalah anak keturunannya sendiri dari seorang janda bernama Kwan Sian Li, dan Tee Beng Sin adalah anak keturunannya dari seorang gadis yatim piatu bernama Tee Cui Hwa yang kini telah menjadi seorang nikouw. Tentu saja Kui Hok Boan tidak berani mengakui mereka sebagai putera-puteranya sendiri, maka dia memakai she dari ibu anak masing-masing ketika dia mengajak Siong Bu dan Beng Sin ke Lembah Naga. Dan bagaimanakah dengan keadaan Sin Liong? Anak dari Si Kwi yang semenjak lahirnya dipelihara oleh monyet betina? Kini Sin Liong sudah besar pula, sudah berusia kurang lebih dua belas tahun. Tubuhnya tegap dan kuat karena anak ini semenjak kecil sering kali bergaul dengan monyet-monyet, berloncatan dari pohon ke pohon.

Ketika anak itu sudah berusia lima tahun, Kui Hok Boan mendesak kepada isterinya agar Sin Liong tidak lagi diperkenankan untuk hidup liar di hutan-hutan bersama para monyet. "Anak itu bukan monyet, melainkan manusia," kata sasterawan ini. "Dan dia adalah anak angkat kita, maka sudah sepatutnya dididik menjadi calon manusia yang baik. Setidaknya, dia harus diajar baca tulis agar kelak menjadi manusia yang berguna." Si Kwi yang masih merasa yakin bahwa anak itu adalah anak kandungnya, melihat betapa wajah anak itu mirip dengan pendekar sakti Cia Bun Houw, tidak membantah. Memang dia setuju dengan pendapat suaminya. Akan tetapi, melihat betapa suaminya amat mencintanya, amat baik terhadap dirinya dan dia menemukan kebahagiaan di samping suaminya dan dua orang anak kembarnya, Si Kwi sama sekali tidak berani membayangkan kepada suaminya bahwa Sin Liong adalah puteranya sendiri! Maka, biarpun dalam hatinya dia kadang-kadang merasa kasihan, rindu dan prihatin melihat putera kandungnya ini, namun pada lahirnya dia tidak pernah memperlihatkan sesuatu yang melebihi sikap seorang ibu angkat!

Sin Liong amat taat kepada ibu angkatnya. Maka ketika Si Kwi melarang dia berkeliaran di hutan lagi, dia menurut biarpun merasa berduka. Hanya kalau semua orang sudah tidur saja, anak berusia lima enam tahun itu masih suka keluar dari kamarnya untuk menemani para monyet itu bergembira di bawah sinar bulan. Dan diapun tidak pernah menolak ketika Kui Hok Boan memberi dia pekerjaan yaitu membersihkan rumah, menyapu halaman, dan menggembalakan sapi dan kuda. Bahkan dia sayang sekali kepada kuda dan sapi yang dipelihara oleh ayah angkatnya sehingga pekerjaannya amat memuaskan. Akan tetapi, karena sudah menjadi kebiasaan, dia tidak pernah dapat menjaga bersih pakaiannya sehingga pakaiannya selalu kotor. Akhirnya, demi untuk menanamkan kerajinan kepada anak itu, Kui Hok Boan menyuruh isterinya mengajar anak itu menjahit dan menambal sendiri pakaiannya yang mudah robek karena dia tidak pernah menjaganya. Demikianlah, setelah berusia dua belas tahun, Sin Liong bekerja di istana itu sebagai seorang jongos atau pelayan, berpakaian cukup bersih akan tetapi ada tambal-tambalannya, dan mempelajari membaca dan menulis huruf di bawah pimpinan Kui Hok Boan sendiri, bersama-sama dengan Lan Lan, Lin Lin, Siong Bu dan Beng Sin. Biarpun di waktu sama-sama mempelajari ilmu bun (sastera) ini dia duduk di sudut terpisah, namun ternyata bahwa Sin Liong amat cerdas dan dapat lebih cepat menghafal dibandingkan dengan empat orang anak yang lain itu. Juga dia telah memiliki bakat menulis baik, coretan-coretan tangannya ketika menulis huruf amat kuat dan mengandung keindahan dan gaya tersendiri yang mengagumkan. Dia pandai pula menggambar dan suka membaca kitab-kitab kuno. Anak ini berwatak sederhana, pendiam dan suka menyendiri. Wajahnya tampan dan matanya mempunyai sinar yang tajam. Dia lebih banyak mendengarkan daripada bicara, dan memiliki kekerasan hati yang amat luar biasa. Anak ini tidak pernah menangis! Atau setidaknya, tidak pernah kelihatan menangis oleh orang lain. Agaknya, dia mempunyai pantangan menangis di depan orang lain!

Dalam segala hal kecuali pakaian dan pelajaran ilmu silat, Kui Hok Boan tidak membedakan sikapnya terhadap Sin Liong dengan sikapnya terhadap dua orang "keponakannya" itu. Dia selalu bersikap baik dan manis terhadap anak angkatnya ini. Hal ini kadang-kadang membuat Si Kwi merasa tidak puas. Dia mengerti bahwa dalam hal pakaian, memang Sin Liong yang sembarangan itu patut memelihara pakaiannya sendiri, dan memang tidak mengapalah memakai pakaian sederhana karena seingatnya, ayah kandung anak ini, pendekar sakti Cia Bun Houw juga seorang pria berjiwa sederhana. Akan tetapi dia tidak setuju kalau Sin Liong tidak diberi latihan ilmu silat. Anak pendekar sakti Cia Bun Houw dan tidak belajar ilmu silat!

Akan tetapi, suaminya membantah, "Isteriku, kita harus mencegah Sin Liong kelak menjadi seorang manusia yang mudah menyeleweng ke dalam kejahatan. Ingatlah, anak itu sejak kecil dipelihara monyet dan sampai sekarangpun dia masih memiliki watak aneh, penuh rahasia dan pendiam sekali, kadang-kadang seperti masih mengandung watak atau sifat liar. Bayangkan saja, anak sebesar itu sejak kecil belum pernah menangis! Aku khawatir sekali, kalau dia diberi pelajaran ilmu silat dan sudah menguasai ilmu itu, kelak akan muncul sifat liarnya dan dia tentu sukar untuk dikendalikan lagi. Lebih baik jejali dia dengan pelajaran bun dan kebudayaan, karena pelajaran ini tentu akan dapat menahan keliarannya. Dan aku melihat dia amat tekun dan berbakat mempelajari sastera. Kalau kelak dia sudah pandai dan menempuh ujian di kota raja sampai berhasil, alangkah baiknya."

Seperti biasa, Si Kwi tidak berani membantah lagi. Dia amat tunduk kepada suaminya yang telah mengembalikan kebahagiaan dalam kehidupannya itu. Dia tidak pernah dapat melupakan kebaikan suaminya, tiada habisnya dia berterima kasih kepada suaminya yang telah menuntunnya kembali ke dalam kehidupan yang berbahagia, setelah dia hampir kehilangan harapan untuk memperoleh kebahagiaan di dalam istana kuno yang sunyi itu. Apalagi, dia tahu bahwa suaminya amat baik hati dan menyayangi Sin Liong.

Dan memang sesungguhnyalah. Sama sekali tidak ada rasa benci dalam hati Kui Hok Boan terhadap anak itu. Dia menganggap anak itu sebagai anak angkat isterinya, dan diapun merasa kasihan kepada anak yang aneh sekali riwayatnya ini, anak yang tidak mengenal siapa ayah bundanya, anak yang ditemukan isterinya dalam rawatan monyet-monyet. Dia malah sudah mencoba untuk menyelidiki asal usul anak ini dengan bertanya-tanya kepada para penduduk dusun, namun tidak pernah dapat menemukan jejak orang tua anak itu. Maka dia juga tidak keberatan memberikan she Kui kepada anak yang tidak mempunyai nama keturunan itu. Hanya dia menekankan agar diketahui oleh Sin Liong bahwa she Kui hanyalah she "pinjaman" saja.

"Sin Liong, engkau tahu bahwa biarpun engkau memakai nama Kui Sin Liong, namun shemu itu bukanlah shemu yang sesungguhnya. Oleh karena itu, belajarlah yang tekun agar kelak engkau dapat memperoleh kedudukan yang tinggi dan engkau mendapat kesempatan untuk menyelidiki siapa orang tuamu yang sesungguhnya, atau kalau engkau memperoleh kedudukan, engkau tentu akan dihadiahi she oleh kaisar." Memang pada waktu itu terdapat kebiasaan aneh bahwa orang yang berjasa dan membuat pahala, dihadiahi she yang terhormat oleh kaisar! Sejak kecil sudah tertanam dalam hati Sin Liong bahwa dia bukanlah anak dari ayah dan ibu angkatnya. Dia tahu diri dan tidak banyak minta. Hanya satu hal yang membuat hati Sin Liong kadang-kadang merasa tidak senang, yaitu bahwa dia tidak pernah diajar ilmu silat! Hanya satu kali saja dia pernah mengajukan permintaan dan pertanyaan ini kepada Hok Boan.

"Gihu (ayah angkat), kenapa saya tidak diberi pelajaran ilmu silat seperti yang gihu ajarkan kepada kedua siocia dan kedua kongcu?" Sin Liong menyebut siocia (nona) kepada Lan Lan dan Lin Lin, sedangkan kepada dua orang "keponakan" dari Kui Hok Boan itu dia menyebut kongcu (tuan muda). Hal ini adalah atas perintah dari Hok Boan dan ditaati oleh Sin Liong, juga tidak dibantah oleh Si Kwi. Hok Boan, betapapun juga menganggap bahwa Sin Liong bukanlah darah dagingnya, juga bukan keluarga dari isterinya. Sin Liong adalah seorang anak berdarah lain, maka sudah semestinya menyebut nona dan tuan muda kepada anak-anak kandungnya!

"Sin Liong, ilmu silat tidaklah tepat untuk kaupelajari. Bakatmu lebih baik dalam ilmu bun saja, maka kau tekunlah menghafal kitab dan memperdalam pelajaranmu dalam kesusasteraan agar kelak engkau dapat menjadi seorang sasterawan yang berkedudukan tinggi."

Sekali saja bertanya dan meminta sekali ditolak, Sin Liong tidak mau minta lagi. Akan tetapi, kadang-kadang dia termenung dan ingin sekali mempelajari ilmu silat, bahkan secara diam-diam dia selalu memperhatikan kalau empat orang anak itu berlatih ilmu silat di bawah pimpinan Kui Hok Boan. Dan kadang-kadang juga dipimpin sendiri oleh Liong Si Kwi. Wanita ini tidak lagi prihatin melihat anak kandungnya, Sin Liong, tidak diperbolehkan belajar ilmu silat, karena dia menganggap suaminya benar. Lebih baik melihat Sin Liong kelak menjadi seorang sasterawan yang lemah lembut dan berhasil menjadi seorang yang berpangkat daripada anak itu terancam bahaya tersesat karena memiliki sifat keras dan liar setelah mempelajari ilmu silat.

Pada suatu hari, pagi-pagi sekali Sin Liong sudah menyapu pekarangan belakang. Tidak banyak kotoran di pekarangan ini karena musim rontok telah tiba, pohon-pohon banyak yang gundul tak berdaun. Maka sebentar saja dia telah selesai menyapu. Pada pagi hari itu, Kui Hok Boan melatih ilmu silat di pekarangan belakang ini kepada empat orang anaknya.

"Kalian kurang giat berlatih," terdengar dia mengomel. "Masa sudah hampir sebulan berlatih, jurus itu belum juga kalian kuasai dengan baik."

"Ayah, jurus Heng-pai-hud (Memuja Sang Buddha dengan Tangan Miring) itu memang sukar sekali, terutama perubahan dari tangan memukul lalu menangkis dalam satu gerakan sukar sekali, ayah," kata seorang di antara dua anak kembar itu. Baik ayah mereka sendiri maupun Siong Bu dan Beng Sin, tidak mungkin dapat yakin siapa yang bicara itu. Lan Lan ataukah Lin Lin. Akan tetapi Sin Liong yang berdiri di belakang dua orang anak kembar itu sambil memegang gagang sapunya, diam-diam dapat mengenal dan tahu bahwa yang bicara adalah Lan Lan. Bagi anak ini, dia bukan hanya mengenal dan dapat membedakan antara dua orang anak kembar itu dari tahi lalat merah di leher atau sifat mereka, akan tetapi dari gerak-gerik mereka dia dapat membedakan mereka. Kepekaan atau naluri ini didapatnya dari monyet-monyet itu. Tadi dia melihat betapa kepala anak perempuan yang bicara itu agak bergoyang, maka tahulah dia bahwa yang bicara adalah Lan Lan. Biarpun tidak diketahui orang lain, namun kewaspadaan Sin Liong yang didapat ketika dia hidup di antara monyet-monyet, dapat membuat dia mengenal kebiasaan dari gerakan yang sekecil-kecilnya. Lan Lan biasa menggoyang-goyangkan kepala tanpa disadarinya, mungkin dari perasaan yang menggerakkan syarafnya kalau bicara, sedangkan kebiasaan Lin Lin kalau bicara adalah agak menundukkan muka.

"Memang benar, paman. Agak sukarlah gerakan jurus itu, harap paman suka mengulang lagi dan memberi contoh," kata Siong Bu.

"Saya sudah melatih diri setiap hari, namun belum juga dapat bergerak dengan baik!" Beng Sin juga berkata, matanya terbelalak dan sikapnya lucu.

Kui Hok Boan menarik napas panjang. "Ilmu silat bukan hanya membutuhkan ketekunan, akan tetapi juga membutuhkan bakat. Bagi yang berbakat, setiap gerakan akan terasa sampai di tulang sumsum, gerakan seperti menjadi otomatis dan berirama sehingga setiap jurus baru dapat dikuasai dengan mudah, seperti pada gerakan menari. Kalian jangan hanya menguasainya secara lahiriah saja, melainkan harus dapat menjiwai ilmu itu! Ah, memang tidak mudah! Ilmu kesusasteraan hanya pekerjaan otak, akan tetapi ilmu silat adalah pekerjaan seluruh tubuh, lahir batin, harus ada keserasian antara otak, otot, tulang dan syaraf. Nah, kalian lihat baik-baik, aku akan memberi contoh lagi bagaimana harus bergerak dalam jurus Heng-pai-hud."

Kui Hok Boan lalu bersilat, memainkan jurus itu. Jurus ini adalah jurus serangan yang sekaligus juga merupakan jurus pertahanan. Jadi, menggunakan jurus ini dapat saja orang menyerang atau menangkis serangan lawan. Kedua tangan itu berganti gerakan, dari memukul ditarik ke depan dada dengan tangan miring untuk menghalau serangan lawan, dan dari menangkis ditarik ke pinggang lalu memukul lagi. Memang harus ada keseimbangan antara memukul dan menangkis dengan tangan miring di depan dada ini agar dapat menjadi otomatis dan tidak kaku. Jurus ini amat llhai, dalam keadaan diserang dapat membalas serangan dengan cepat, dan dalam keadaan menyerang selalu terjaga dan tidak terbuka.

"Nah, sekarang kaucoba lakukan jurus itu lebih dulu, Beng Sin!" kata Kui Hok Boan kepada si gendut itu. Siong Bu menonton penuh perhatian dan dia duduk setengah berlutut di atas batu sambil menunjang dagunya, sedangkan dua orang anak perempuan kembar berdiri berdampingan sambil memperhatikan dengan kedua mata terbuka lebar. Sin Liong masih berdiri di belakang mereka, memegang gagang sapunya dan juga menonton dengan hati tertarik. Dia tadi memperhatikan gerakan ayah angkatnya dan mencatat di dalam ingatannya semua gerakan yang sekecil-kecilnya. Apa sih sukarnya bergerak seperti itu, pikirnya. Di dalam benaknya dia menirukan gerakan itu dan merasa sudah dapat meniru dengan sempurna!

Beng Sin mulai mainkan jurus itu. Dengan penuh kesungguhan dia mencoba untuk menirukan gerakan pamannya. Anak ini mempunyai gerakan yang mantap dan tenaganya besar, akan tetapi gerakannya terlalu lamban.

"Keluarkan bentakan dan atur napas!" kata Kui Hok Boan.

"Heiiiittt! Ahh...! Heiiittt! Ahh...!" Anak gendut itu memukul dan menangkis sambil mengatur langkah, beberapa langkah maju ke depan setelah memukul dan menangkis, membalik dengan merubah kuda-kuda dan sekaligus memukul dan cepat menangkis, mulutnya terus mengeluarkan bentakan-bentakan.

Terlalu lamban, pikir Sin Liong dan ketika memukul, Beng Sin kurang memutar lengannya. Seharusnya lengan itu cepat diputar, dengan kepalan menelungkup ketika tiba di ujung pukulan sehingga ketika disambung gerakan menangkis, dapat dilakukan tangkisan dengan tangan miring di depan dada secara tepat. Nampak jelas olehnya kelemahan-kelemahan anak gendut itu. Akan tetapi tentu saja dia tidak berani mengeluarkan pendapatnya itu dan hanya menonton.

Kui Hok Boan juga kurang puas dengan hasil yang diperlihatkan Beng Sin. Kadang-kadang dia menghentikan gerakan anak itu, dan memberi petunjuk-petunjuk. Beng Sin mainkan jurus itu berulang-ulang tanpa mengenal lelah.

"Masih belum sempurna, kau harus banyak belajar," kata Kui Hok Boan dan kini tiba giliran Siong Bu.

Siong Bu juga mainkan jurus itu di bawah petunjuk pamannya. Gerakannya jauh lebih gesit daripada gerakan Beng Sin, dia lincah dan kuat, namun tidak semantap gerakan si gendut. Kedudukan kedua tangan Siong Bu sudah banyak lebih baik daripada Beng Sin, akan tetapi gerakan kedua kakinya masih kurang berirama dan kurang sesuai dengan gerakan tangan sehingga diapun mendapat teguran dan harus mengulang terus. Demikian pula Lan Lan dan Lin Lin diharuskan melatih jurus itu dibawah petunjuk-petunjuk ayah mereka.

Agak jengkel hati Kui Hok Boan melihat betapa empat orang anaknya itu tidak mudah menguasai jurus Heng-pai-hud, maka ketika dia melihat Sin Liong sejak tadi berdiri saja menonton, kejengkelan hatinya membuat dia menegur ketus, "Sin Liong, mau apa engkau berdiri di situ? Apakah tidak ada lagi pekerjaan yang lain?"

Sin Liong terkejut, menunduk dan melangkah pergi untuk mengurus kuda yang harus diberi makan dan sapi yang harus dibawa keluar. Akan tetapi, jurus Heng-pai-hud itu tidak pernah terlupa olehnya dan ketika dia mengambil makanan kuda, tanpa disadari kedua kakinya melakukan gerak langkah jurus itu, dari ketika dia sudah menaruh makanan kuda di depan lima ekor kuda itu, tanpa disadarinya pula kedua tangannya melakukan gerakan memukul dan menangkis dalam jurus Heng-pai-hud!

Diam-diam timbul iri di hatinya terhadap empat orang anak itu dan mulai saat itu dia mengambil keputusan untuk mengintai di waktu mereka berlatih dan menirukan gerakan-gerakan mereka. Dengan cara demikian, dalam waktu tiga bulan Sin Liong telah dapat "mencuri" empat macam jurus dan telah dapat melakukan gerakan-gerakan itu dengan baiknya. Dia selalu melihat gerakan itu dimainkan oleh ayah angkatnya, kemudian menirunya. Dia tidak mau meniru gerakan empat orang anak itu yang dianggapnya kaku dan tidak sama dengan gerakan ayah angkatnya.

Di dalam pergaulan sehari-hari, Sin Liong seperti sahabat-sahabat biasa dengan empat orang anak itu. Terutama sekali Lan Lan dan Lin Lin. Kedua orang anak perempuan ini suka sekali kepada Sin Liong yang ringan tangan dan kaki, mau memenuhi segala permintaan mereka sungguhpun Sin Liong kurang pandai bergaul, tidak banyak bicara dan lebih suka menyendiri. Beng Sin sering kali menggoda Sin Liong, akan tetapi diam-diam Sin Liong suka kepada anak gendut yang jujur dan suka melucu ini. Satu-satunya anak yang menimbulkan rasa tidak senang di hati Sin Liong hanyalah Siong Bu karena anak ini agak angkuh dan bersikap seperti seorang majikan terhadap dirinya. Bahkan kadang-kadang dia merasa sakit hati karena Siong Bu seringkali memakinya sebagai "anak monyet"!

Pada suatu hari, dengan tekun dan sungguh-sungguh Sin Liong berlatih "silat" yaitu gerakan-gerakan dari empat jurus yang dikenalnya dan dikuasainya dari hasil mengintai itu. Dia tidak tahu bahwa Lan Lan, Lin Lin dan Beng Su, mengintai dengan mata terbelalak heran dari balik semak-semak. Ketika itu, Sin Liong sedang menggembala sapi di padang rumput tak jauh dari taman istana. Tiga orang anak ini bermain-main dan akhirnya tiba di tempat itu, melihat dari jauh betapa Sin Liong bergerak-gerak seperti orang bersilat maka dengan penuh keheranan mereka menghampiri dan bersembunyi, mengintai.

Ketika melihat Sin Liong bergerak dengan jurus Heng-pai-hud, Beng Sin tak dapat menahan keheranannya dan dia meloncat keluar dari balik semak-semak sambil berseru, "Heii, itu adalah jurus Heng-pai-hud!"

Sin Liong terkejut sekali, cepat menghentikan gerakannya dan menengok. Wajahnya berubah merah ketika dia melihat Beng Sin dan dua orang anak perempuan itu berlari-lari menghampirinya.

"Hei, Sin Liong, dari mana engkau dapat memainkan jurus-jurus itu?" Beng Sin berkata dengan mata terbelalak, "Apakah paman diam-diam mengajarmu?"

Sin Liong menggelengkan kepala. "Ah, aku hanya main-main, Tee-kongcu."

"Ahaaaa, kalau di sini tidak ada paman, jangan menyebut kongcu-kongcuan segala. Namaku Beng Sin dan kau Sin Liong. Bukankah kita sahabat?"

"Terima kasih, Beng Sin. Akan tetapi lebih baik aku menyebutmu kongcu sesuai dengen perintah gihu."

"Sin Liong, aku melihat engkau tadi mainkan Heng-pai-hud. Dari mana kau dapat melakukan gerakan itu?" Kui Lin bertanya.

"Li-siocia, aku hanya menonton kalian berlatih dan meniru-niru saja..."

"Ah, tapi gerakanmu tadi baik benar!" Kui Lan juga memuji.

"Benar!" Kata Beng Sin. "Sebaliknya aku belum juga bisa melakukan gerakan jurus itu dengan baik."

"Gerakanmu sudah baik, hanya perlu dipercepat, kongcu. Terlalu lamban sehingga gerakan kedua tanganmu kalah cepat oleh kedua kakimu. Juga di waktu kau memukulkan tanganmu ke depan, engkau kurang memutar lenganmu sehingga ketika gerakan memukul itu disambung gerakan menangkis, kurang tepat."

Beng Sin membelalakkan matanya dan menjadi gembira. "Ah, begitukah? Biar kucoba!" Dan anak ini lalu bergerak melakukan jurus Heng-pai-hud dan mengubah gerakannya sesuai dengan petunjuk Sin Liong. Dia merasa betapa setelah dia mempercepat gerakan kedua lengannya, dia dapat mengikuti gerakan kaki secara baik, dan ketika dia memukul, dia memutar lengannya dan mendapat kenyataan bahwa perubahan, dari memukul menjadi menangkis dapat dia lakukan dengan baik!

"Horeeee...! Aku dapat melakukannya dengan baik!" Dia bersorak girang sekali dan dua orang anak perempuan itupun ikut gembira, tertawa-tawa melihat si gendut itu bersorak dan menari-nari dengan pinggul megal-megol.

"Hei, apa-apaan kalian di situ?" tiba-tiba terdengar teguran Siong Bu yang datang berlari ke tempat itu.

"AH, Bu-ko, terjadi keajaiban di sini!" Beng Sin berkata sambil tertawa dan menudingkan telunjuknya kepada Sin Liong. "Kaulihat, Sin Liong ternyata pandai mainkan Heng-pai-hud, dan dia telah memberi petunjuk sehingga gerakanku menjadi baik sekarang!"

"Benar, Bu-ko, dan Sin Liong dapat pula mainkan jurus-jurus lain dengan baiknya, padahal dia hanya melihat dan meniru-niru kita saja!" Lan Lan berkata.

Alis yang sudah kelihatan panjang tebal di atas sepasang mata Siong Bu berkerut ketika dia memandang kepada Sin Liong, akan tetapi dia memandang rendah anak angkat bibinya ini dan menganggap seorang bujang yang derajatnya lebih rendah daripada dia dan saudara-saudaranya. "Sin Liong, bukankah paman sudah melarangmuu untuk belajar silat?" bentaknya.

Sin Liong menundukkan mukanya. "Aku tidak belajar, hanya melihat dan ingat gerakannya."

"Dia benar, Bu-ko. Dia hanya mengenal jurus yang pernah dilihatnya saja, akan tetapi gerakannya hebat. Dia bisa mainkan jurus Heng-pai-hud lebih baik daripada engkau, Bu-koko!" Beng Sin berkata lagi dengan jujur, tidak tahu betapa kata-katanya itu membuat hati Siong Bu menjadi makin panas dan iri.

"Hemmm, golongan monyet mana bisa bermain silat?" dia mengejek.

"Ahh, jangan begitu, Bu-ko. Menurut penuturan paman, bukankah banyak ilmu silat diambil dari gerakan-gerakan binatang, seperti harimau, bangau, monyet dan lain-lain?" bantah Beng Sin. "Ingat jurus-jurus seperti Hek-wan-hian-ko (Lutung Hitam Memberi Buah), Sin-kauw-pai-bwe (Kera Sakti Menggerakkan Ekor) dan lain-lain."

"Hemm, jurus-jurus itu ciptaan manusia. Mana ada anak monyet bisa bersilat?" kembali Siong Bu mengejek.

"Bu-koko, kenapa kau menghina Sin Liong? Dia tidak mempunyai kesalahan apa-apa," tiba-tiba Lin Lin mencela Siong Bu.

"Benar, kau sengaja hendak memakinya anak monyet. Kau terlalu, Bu-ko, dan kau mengganggu kami yang sedang bergembira di sini!" Lan Lan juga membela Sin Liong.

Melihat dua orang anak perempuan itu membela Sin Liong, makin panaslah rasa hati Siong Bu. Akan tetapi dia adalah seorang anak yang cerdik. Dia tidak mau mendesak lagi karena biarpun dia dapat memperolok Sin Liong, dia tidak mau kalau untuk itu dia menimbulkan rasa tidak suka di hati Lan Lan dan Lin Lin.

"Aku sebenarnya tidak menghina, hanya tidak percaya. Akan tetapi kalau Sin Liong mau berlatih silat bersamaku, baru aku percaya," katanya sambil menghampiri Sin Liong.

Beng Sin berseru girang. "Bagus! Itu bugus sekali! Sin Liong, hayo layani Bu-ko berlatih. Dia baru akan percaya setelah melihat sendiri dan engkaupun akan memperoleh kemajuan kalau mau berlatih dengan dia."

Sin Liong tentu saja tidak mengerti apa yang dimaksudkan. Dia memang ingin sekali belajar silat, akan tetapi dia tidak berani belajar dari ayah angkatnya yang sudah melarangnya. Kini dia meragu dan memandang kepada Lan Lan dan Lin Lin. Dua orang anak perempuan itupun mengangguk dengan gembira. Mereka suka sekali belajar silat, dan melihat gerakan Sin Liong tadi, mereka mengira bahwa tentu Sin Liong sudah pandai pula, maka tiada buruknya untuk berlatih bersama Siong Bu.

Sin Liong adalah seorang anak yang keras hati. Tadinya dia ingin meninggalkan mereka pergi, akan tetapi melihat Siong Bu berlagak menantang, hatinya menjadi panas. Dia menatap wajah Siong Bu dan berkata, "Kwa-kongcu, kau mau mengajarku?"

Siong Bu menyeringai. "Kata mereka engkau pandai. Kalau engkau lebih pandai, berarti engkaulah yang mengajariku. Mungkin engkau mempunyai jurus-jurus monyet lain yang belum kukenal." Ucapan ini tentu saja bermaksud mengejek dan Beng Sin mengerti juga akan ejekan itu. Hati anak gendut ini berpihak kepada Sin Liong karena tidak jarang dia menjadi sasaran kenakalan dan ejekan-ejekan Siong Bu yang lebih tua beberapa bulan dari dia dan merasa lebih menang.

"Sin Liong, apakah kau takut? Aku tahu engkau kuat sekali, dan... hemmm, siapa tahu engkau benar-benar menyimpan jurus-jurus monyet sakti. Hayo, kaulayani Bu-ko!" Dia mendesak.

"Benar, kauhadapi dia, Sin Liong!" kata Lan Lan.

"Aku ingin sekali melihatnya!" sambung Lin Lin.

Sin Liong merasa tersudut, apalagi kini Siong Bu sudah menghampirinya dekat, lalu menggunakan jari tangan mendorong dada Sin Liong, dengan lagak angkuh berkata, "Kalau takut, kau berlutut saja minta ampun tiga kali!"

Marahlah Sin Liong. "Kwa-kongcu, terhadap setanpun aku tidak takut, apalagi terhadap engkau!"

"Heh-heh, dia memakimu setan, Bu-ko!" kata Beng Sin tertawa keras. "Dia memaki engkau setan!" Anak nakal ini sengaja mempergunakan kesempatan ini untuk memaki kepada Siong Bu yang sering memakinya tanpa dia berani membalas.

Merahlah wajah Siong Bu. "Anak monyet! Berani kau!" Dan tangannya lalu memukul ke arah muka Sin Liong. Sin Liong terkejut, dan dengan gerakan otomatis dia memalingkan mukanya.

"Plakk!" Bukan hidungnya yang kena dijotos, melainkan pipinya. Sin Liong terhuyung ke belakang.

"Eh, kenapa kau memukulku?" tanyanya, matanya terbelalak heran.

"Itu namanya latihan silat, tolol! Habis apa lagi artinya silat kalau bukan saling pukul? Nah, kau jaga ini!" Kembali Siong Bu menyerangnya dengan pukulan yang ditujukan ke arah dada Sin Liong.

Kini Sin Liong sudah siap. Kalau tadi mukanya terkena pukulan adalah karena dia tidak menyangka bahwa "latihan" itu berarti saling pukul! Kini diapun lalu teringat akan gerakan Heng-pai-hud, yaitu dengan tangan miring melakukan tangkisan, maka dia cepat memasang kuda-kuda seperti yang sering dilatihnya, melangkah mundur sambil miringkan tangan ke depan dada, menangkis pukulan itu.

"Desss!" Karena cara Sin Liong memasang kuda-kuda tidak tepat, biarpun gerakannya benar namun dia tidak tahu untuk apa kuda-kuda itu, maka penanaman tenaga di kakinya tidak benar dan dia terhuyung oleh pertemuan lengannya dengan lengan lawan, dan sebelum dia tahu harus berbuat apa, tiba-tiba kaki lawan sudah membabatnya dari samping, tepat mengenai belakang lututnya.

"Bresss...!" Tubuh Sin Liong terpelanting roboh.

"Hei, kenapa begitu mudah roboh?" Lan Lan berseru heran.

"Hayo, Sin Liong, jangan mengalah. Serampangan kaki itu mestinya dapat dihindarkan dengan loncatan, dan kau boleh balas memukul!" Beng Sin berseru.

Sin Liong bangkit berdiri dan pada saat itu Siong Bu sudah menerjang lagi dengan pukulan bertubi-tubi. Sin Liong masih mencoba untuk bergerak dengan jurus-jurus yang pernah dilihat dan dilatihnya, akan tetapi tentu saja gerakan-gerakan itu biarpun amat baik akan tetapi tidak tepat, dipergunakan bukan pada saatnya maka mulailah dia menjadi bulan-bulanan pukulan tangan dan tendangan kaki Siong Bu. Empat kali mukanya menerima pukulan keras sehingga kedua pipinya menjadi biru dan mata kanannya membengkak!

"Bu-koko, jangan memukul sungguh-sungguh!" Lin Lin berseru marah.

"Sin Liong, kenapa kau tidak membalas? Kau boleh membalas! Latihan ini umpamakanlah kau sedang berkelahi! Kalau kau diserang harimau, masa diam saja?" Beng Sin berteriak-teriak gemas melihat Sin Liong dijadikan bulan-bulanan.

Mendengar ucapan "diserang harimau", seketika bangkitlah kemarahan di hati Sin Liong. Seperti terbayang olehnya pengalamannya di waktu kecil ketika dia hampir mati oleh harimau dan diselamatkan oleh teman-temannya, yaitu para monyet. Kini dia tidak perduli akan latihan ilmu silat, tidak perduli akan jurus-jurus ilmu silat, akan tetapi menggunakan naluri dan tanggapan syarafnya terhadap ancaman dari luar. Dengan cekatan dia meloncat ke sana-sini, seperti seekor monyet dan dia dapat menghindarkan semua pukulan lawan. Ketika tangan kiri Siong Bu meluncur lewat, dengan cepat sekali dia menangkap tangan itu, memilinnya ke belakang sampai Siong Bu berteriak kesakitan, dan hampir saja dia lupa. Hampir saja Sin Liong menggigit leher lawannya! Akan tetapi dia masih teringat dan segera menggunakan kedua tangannya, mencengkeram pakaian lawan dan mengangkat tubuh Siong Bu ke atas dengan kedua tangan kemudian melemparkannya ke depan.

"Brukkk...!" Debu mengepul ketika tubuh Siong Bu terbanting.

"Hebat...! Kau hebat, Sin Liong...!" Beng Sin memuji dan bersorak, akan tetapi tiba-tiba Siong Bu yang sudah bangkit itu menerjang lagi dan sebuah tendangan mengenai perut Sin Liong, membuatnya terhuyung.

"Eh, kau curang, Bu-ko. Engkau sudah roboh dan latihan ini sudah berakhir," kata Beng Sin.

Akan tetapi Siong Bu tidak perduli dan dia menerjang terus, menghujankan pukulan dan tendangan. Akan tetapi, Sin Liong yang tidak bisa silat itu memiliki tubuh yang jauh lebih kuat, mempunyai daya tahan yang kuat, kegesitan sewajarnya yang didapatkan karena pergaulannya dengan monyet-monyet. Dia dapat mengelak ke kanan kiri dan satu dua kali pukulan yang mengenai tubuhnya tidak dirasakannya. Betapapun juga, mukanya sudah terasa panas dan nyeri karena pukulan-pukulan yang tadi, dan kemarahannya memuncak ketika Siong Bu sambil menyerang memaki-makinya. "Anak monyet bocah hina!" Dia mengeluarkan suara menggereng seperti binatang dan tiba-tiba dia maju menubruk.

"Bukk!" Pukulan yang mengenai lehernya tidak dirasakannya dan kini kedua tangannya sudah mencengkeram pundak Siong Bu. Anak ini biarpun sudah mempelajari ilmu silat, akan tetapi kepandaiannya masih belum matang, maka ketika merasa pundaknya dicengkeram dan sakit, diapun Ialu mencengkeram dan terjadilah pergulatan yang tidak memakai jurus ilmu silat lagi! Mereka saling jambak, saling cengkeram dan saling cekik!

Sin Liong yang tadinya tidak ingin berkelahi sungguh-sungguh, ketika dijambak rambutnya, merasa nyeri sekali, maka dia lalu membuka mulut dan menggigit daun telinga Siong Bu! Begitu keras gigitannya sehingga ujung daun telinga Siong Bu robek dan anak ini berteriak-teriak kesakitan!

"Heii, berhenti kalian!" terdengar bentakan keras dan tiba-tiba dua buah tangan yang kuat telah menarik tubuh Siong Bu dan Sin Liong ke kanan kiri dan mendorong mereka terpisah. Siong Bu terisak menangis sambil memegangi telinga kanannya yang berdarah sambil berlutut di depan pamannya, sedangkan Sin Liong berdiri dengan kepala tunduk, mukanya bengkak-bengkak dan biru-biru, akan tetapi sedikitpun tidak ada tanda-tanda bahwa dia menderita kesakitan atau menangis!

Kui Hok Boan berdiri dengan muka merah dan mata terbelalak marah. Tangannya sudah meraih sebatang ranting kayu dan dia menoleh kepada Siong Bu. "Kenapa telingamu?"

"Di... digigit... monyet cilik itu... aduhhhh...!" Siong Bu mengeluh ketika pamannya memeriksa telinga itu. Ternyata hanya ujungnya yang robek bekas gigitan.

"Bocah liar! Berani kau berkelahi dengan kong-cu dan menggigit telinganya? Kalau tidak dihajar, engkau tentu akan menjadi monyet liar!" Kui Hok Boan lalu menghampiri Sin Liong yang masih berdiri. "Hayo berlutut kau!"

Sin Liong berlutut dan sasterawan yang marah itu lalu mengayun ranting itu yang meledak-ledak dan melecuti tubuh anak itu. Kulit leher dan punggung Sin Liong pecah-pecah dan darah mulai mengalir keluar ketika ranting itu menyambar-nyambar ganas. Akan tetapi, anak itu hanya menunduk dan memejamkan matanya, menahan rasa nyeri dan sedikitpun tidak mengeluarkan suara mengeluh. Juga tidak nampak dia menangis.

"Prat-prat-prat-prat!" Ranting itu menari-nari dan setelah melihat baju itu berdarah, baru Hok Boan menghentikan sabetannya. Dia terengah-engah dan kemarahannya makin memuncak melihat anak itu sama sekali tidak mengeluh atau menangis. Hal ini diterimanya sebagai tantangan!

"Kau bandel, ya? Kau berkulit tebal, ya? Ingin kuhajar sampai mampus?" teriak Hok Boan yang makin marah mengingat bahwa puteranya digigit daun telinganya sampai pecah dan melihat Sin Liong sama sekali tidak menangis atau mengeluh.

"Ayah... harap ampunkan dia, ayah...!" Tiba-tiba terdengar suara Lin Lin meratap dan terdengar isak terkandung dalam suara itu. Anak ini tidak tega dan merasa kasihan melihat keadaan Sin Liong.

Hok Boan tidak jadi mencambuki lagi dan menoleh kepada Beng Sin. "Beng Sin, hayo katakan apa yang terjadi!" bentaknya.

Beng Sin berlutut dengan tubuh agak menggigil. "Mereka... mereka berkelahi... dan..." Dia melirik ke arah Siong Bu, melihat pandang mata kakaknya itu sehingga dia tidak berani untuk berterus terang. "Dan... paman lalu datang." Dia menutup mulut dan menunduk.

"Sin Liong, engkau tak tahu diri! Berani engkau berkelahi dengan seorang dari mereka? Apakah kerjamu di sini hanya untuk menentang dan berkelahi? Hayo jawab!" Hok Boan membentak. Akan tetapi Sin Liong tetap menunduk, tidak mau menjawab.

"Kau sungguh bandel! Apa ingin dihajar lagi?"

"Ayah, Sin Liong tidak bersalah!" tiba-tiba Lan Lan berkata dengan suara lantang. Hok Boan memandang puterinya itu, dan Lan Lan melanjutkan kata-katanya. "Mula-mula kami bertiga di sini melihat Sin Liong berlatih silat seorang diri, dia pandai mainkan jurus Heng-pai-hud..."

"Ehhh...?" Hok Boan terkejut bukan main.

"Dia menonton kami berlatih, ayah, lalu dia meniru-niru gerakan kami. Akan tetapi gerakannya baik sekali dan selagi kami bergembira, datang Bu-koko yang menantang Sin Liong."

"Dan Bu-koko memaki Sin Liong monyet," sambung Lin Lin.

"Bu-koko menantang untuk berlatih silat, mereka berkelahi sungguh-sungguh," sambung pula Lan Lan. "Akan tetapi Sin Liong didesak maka dia melawan, kalau tidak Bu-koko mendesak dan memaksa, tentu dia tidak akan balas memukul dan menggigit."

Kui Hok Boan mengerutkan alisnya. Soal perkelahian antara anak kecil tidak begitu aneh baginya, akan tetapi mendengar Sin Liong pandai bermain jurus Heng-pai-hud, benar-benar mengejutkan hatinya. Dan kenyataan yang mengejutkan hatinya adalah bahwa Siong Bu yang sudah dilatihnya selama lima tahun ternyata kini tidak mampu mengalahkan Sin Liong biarpun muka Sin Liong matang biru dan kalau dia tidak datang, bukan tidak mungkin Siong Bu akan kalah!

"Sin Liong, benarkah engkau telah menonton jurus-jurus itu dan menirunya?" bentaknya kepada Sin Liong.

"Benar, gi-hu."

"Mulai sekarang, engkau tidak boleh lagi menonton dan meniru-niru. Mengerti?"

"Baik, gi-hu."

"Mulai malam nanti, engkau harus menuliskan kalimat 'Saya tidak boleh melawan terhadap Kwa-kongcu dan Tee-kongcu' sampai seribu kali di atas kertas!"

"Ayah, Sin Liong tidak bersalah!" Lan Lan dan Lin Lin berkata hampir berbareng.

"Diam kalian! Hayo semua pulang! Dan kau menjaga sapi-sapi itu baik-baik!" kata Hok Boan dengan bengis. Empat orang anak itu bangkit dan mengikuti Kui Hok Boan meninggalkan Sin Liong yang masih berlutut di situ. Setelah semua orang pergi, barulah Sin Liong menggunakan ujung lengan bajunya untuk mengusap darah dan keringat dari lehernya, dan cepat-cepat menghapus dua titik air mata dengan kepalan tangannya.

Malam itu, ketika semua orang belum tidur, Sin Liong dengan tekun mulai menuliskan kalimat hukuman itu di atas kertas. Akan tetapi setelah semua orang tidur, dia pergi menemui monyet-monyet, jauh tinggi di atas pohon dan monyet betina tua itu menjilati luka-luka bekas cambukan di leher, lengan dan punggungnya. Akhirnya Sin Liong tertidur di atas pohon dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dia telah kembali ke dalam kamarnya.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar