"Kun Liong, mari ikut pinto keluar dan jangan sembarangan bergerak. Biar pinto yang membuka jalan." Kun Liong menurut karena gerakan-gerakan tadi membuat badannya terasa sakit lagi. Kiranya luka akibat pukulan Ouw-Siucai di perahu itu masih belum sembuh benar. Dia telah memperlihatkan kepada Li Hwa bahwa dia pun bukah bocah gundul sembarangan yang tidak patut bernama Yap Kung Liong, karena dia telah merobohkan dua orang lawan! Dengan dada dibusungkan, kedua tangan dikepal s iap bertanding, Kun Liong mengikuti tosu itu yang melangkah perlahan keluar dari tempat itu, menggendong Li Hwa.
Dari kanan kiri muncul belasan orang penjaga yang berpakaian seragam, tujuh orang bergolok dari kiri dan sembilan orang berpedang dari kanan. Dengan iringan teriakan, mereka menyerbu dari kanan kiri, Kun Liong yang mentaati perintah gurunya, hanya berdiri tenang, namun siapsiap untuk membela diri. Tosu itu kini menggerakkan kedua lengan bajunya ke kanan kiri membiarkan Li Hwa merangkul pundaknya dan mengempit pinggangnya dengan kaki. Dari lengan baju itu menyambar angin pukulan yang dahsyat ke kanan kiri dan... belasan orang itu roboh malang melintang seperti rumput-rumput kering dilanda angin taufan!
Kini dari depan datang belasan orang pasukan panah dan terdengarlah suara bersuitan ketika anak-anak panah datang meluncur ke arah Kun Liong dan kakek itu. Kembali kakek itu menggunakan pukulan lengan bajunya dan semua anak panah dipukul runtuh, berserakan ke lantai sebelah depan mereka.
Sebelum ada anak panah menyerang lagi, kakek itu mendorongkan kedua lengannya bergantian ke depan dan seperti juga tadi, pasukan panah itu roboh terguling-guling!
Tentu saja hal ini menimbulkan kegemparan dan mereka yang roboh dan bangun kembali, tidak berani sembarangan menyerang, hanya berdiri dan siap menanti perintah atasan.
Kun Liong gembira dan kagum bukan main. Ingin ia bertepuk tangan saking kagumnya, akan tetapi melihat Li Hwa bersikap tenang, dia pun tenang-tenang saja dan kini melangkah tegap di samping gurunya, dengan kedua tinju bergerak-gerak memasang kuda-kuda!
Pasukan-pasukan penjaga mengurung dari belakang, depan, kiri dan kanan. Akan tetapi mereka tidak menyerang, hanya bergerak mengikuti kakek yang melangkah perlahan menuju ke ruangan dalam rumah tahanan itu.
"Pinto tidak ingin berkelahi. Pinto ingin bicara dengan pangcu kalian!" kata kakek itu dengan suara tenang dan penuh kesabaran.
Tiba-tiba pintu depan terbuka lebar dan lima orang yang memegang tombak, yaitu para pengawal pribadi Kian Ti, demikian nama pangcu itu, muncul dan meloncat masuk dengan sikap galak. Serta-merta mereka memekik dan menerjang maju, lima orang maju sekaligus dan lima batang tombak bergerak-gerak, ujung tombak tergetar menjadi banyak, tanda bahwa Si Pemegang memiliki tenaga lwee-kang yang kuat. Kemudian dibarengi teriakan nyaring, mereka menyerang tosu itu.
"Pergilah...!" Tosu itu berseru, hanya tampak kedua kakinya bergerak-gerak diikuti ujung kedua tali ikat pinggang yang tergantung panjang ke bawah, dan... lima orang itu jungkir-balik dan terbanting roboh di atas lantai! Mereka dapat meloncat lagi dengan sigap dan memandang dengan mata terbelalak penuh keheranan kepada kakek luar biasa itu.
"Suruh pangcu kalian maju, pinto ingin bicara dengamya." Kembali kakek itu berkata tenang.
Lima orang itu melompat ke samping dan berdiri berjajar, tombak di tangan didirikan di sebelah kiri mereka.
"Pangcu tiba...!" Terdengar seruan dari pintu depan.
"Kau mau bertemu Pangcu? Silakan!" kata seorang di antara pengawal-pengawal bertombak itu sambil mengembangkan lengan kirinya.
Tosu itu melangkah ke depan, memandang ke arah pintu depan. Li Hwa di belakang punggungnya menoleh ke kanan kiri dalam keadaan siap kalau-kalau mereka diserang dari belakang. Di belakang mereka pasukan-pasukan bergerak mengikuti, anak panah, tombak, golok dan pedang siap di tangan. Kun Liong melangkah perlahan di sebelah kanan gurunya, kedua tinju disiapkan, seluruh urat syaraf di tubuhnya menegang!
Tampak bayangan kuning berkelebat dan Si Ketua telah berdiri di s itu! Dia tersenyum mengejek, akan tetapi sepasang matanya menyinarkan hawa marah kepada tosu itu.
"Hemm... kiranya engkau seorang berkepandaian yang berpura-pura bodoh, ya? Agaknya engkau memang utusan mereka untuk merampas tawanan kami?"
"Tidak sama sekali!!" Jawab tosu itu. "Pinto hanya kebetulan saja lewat dan tanpa sebab ditawan oleh orangorangmu.
Pangcu, engkau keliru sekali kalau menculik anak ini dan berarti engkau memancing datangnya bahaya yang akan menghancurkan Ui-hong-pang. Apakah gurumu, Kwi-eng Niocu masih belum bertobat dan berani menentang Thetaiciangkun?"
Kuharap saja engkau dapat sadar dan membiarkan pinto membawa pergi nona kecil ini sehingga urusan akan habis sampai di s ini saja."
"Tua bangka keparat! Siapa takut kepadamu? Hayo katakan, siapa engkau sebelum mati di depan kakiku!"
"Sudah pinto katakan, orang menyebut pinto Bu Beng Tosu (Tosu Tanpa Nama)."
"Keparat! Dengan menggunakan nama Laksamana The Hoo, apa kaukira aku Kian Ti akan takut kepadamu? Engkau tidak mau mengaku nama, baiklah, engkau akan mati tanpa nama!" Setelah berkata demikian, Kian Ti menggerakan kedua lengan tangannya. Jari-jari tangannya dibentuk seperti cakar harimau, kedua tangan itu digerak-gerakkan perlahan saling menyilang dan berputaran dan terdengarlah suara berkerotokan seolah-olah semua lengan kedua tangannya remuk, dan perlahan-lahan, kedua lengan yang telanjang karena lengan bajunya tersingkap itu berubah menjadi kemerahan, makin lama makin merah sampai akhirnya menghitam! Melihat perubahan pada lengan ini diam-diam Kun Liong terkejut sekali. Biarpun dia belum pernah mempelajari ilmu yang aneh-aneh itu, akan tetapi dia adalah putera suami isteri yang sakti sehingga pernah dia mendengar penuturan ayah bundanya tentang ilmu-ilmu pukulan yang mujijat, yang dilatih oleh tokoh-tokoh persilatan dengan cara yang aneh-aneh pula.
"Suhu, dia mempunyai tangan beracun!" kata Kun Liong ketika melihat kedua tangan yang kehitaman.
"Totiang, apakah itu Hek-tok-ciang (Tangan Racun Hitam)?" Li Hwa juga bertanya.
Kakek itu tidak menjawab, bahkan berkata kepada Kiang Ti, "Kiang-kongcu, sebelum terlambat kuperingatkan kepadamu agar sadar dan tidak menggunakan kekerasan terhadap pinto seorang tua." Akan tetapi, sikap dan ucapan kakek itu seperti orang guru menasihati murid dianggap sebuah tantangan yang menghina oleh Kiang Ti. Tiba-tiba dia menerjang ke depan, berlari sambil memekik nyaring, "Yaaatttt!!" Kedua tangannya yang berubah menjadi hitam itu menghantam ke dada dan perut kakek yang berdiri dengan tenang, sama sekali tidak bergerak untuk menangkis maupun mengelak itu.
"Plakk! Bukkk!!" Tubuh kakek yang menggendong Li Hwa itu sama sekali tidak terguncang seperti sebuah pilar batu diterjang lalat, akan tetapi Kiang Ti terbelalak, tubuhnya seperti lumpuh dan ia roboh berlutut di depan kedua kaki orang tua itu dan mulutnya memuntahkan darah!
"Siancai...!" Kakek itu berkata, menunduk dan melihat tanda dua telapak tangan di dada dan perutnya karena bajunya di bagian yang terpukul itu telah berlubang dengan pinggirnya seperti dibakar, akan tetapi kulit tubuhnya sama sekali tidak ada tanda apa-apa. "Mengapa engkau keras kepala, Pangcu? Untung di dalam buntalan pinto yang kalian rampas itu terdapat akar obat yang bentuknya seperti ular belang. Masaklah dengan air dan minum airnya, tentu lukamu akan sembuh." Dengan tenang, kakek itu lalu melangkah menuju ke pintu, diikuti oleh Kun Liong yang merasa makin takjub dan bangga kepada kakek yang menjadi gurunya itu.
"Tunggu... Locicianpwe... nama apakah... yang akan kusebutkan... kepada... guruku kelak...?" Kiang Ti berkata tanpa bangkit dari lantai di mana dia jatuh berlutut.
"Hemmm, katakan bahwa akar cendana sudah lama dikubur, dan kepala naga sudah lama lenyap dari sungai telaga..." Tiba-tiba tubuh kakek itu lenyap bersama anak perempuan yang digendongnya dan bocah gundul yang digandengnya dari pandang mata Kiang Ti dan anak buahnya.
Kiang Ti terbelalak, bibirnya berkata dengan keluhan panjang "Aahhh... tongkat akar cendana berkepala naga... mengapa kakek sakti itu masih hidup dan muncul di sini...?"
Sungguh sialan..." Dia terguling dan roboh pingsan!
Kun Liong dan Li Hwa memejamkan mata dan merasa ngeri. Apalagi Kun Liong yang merasa betapa tubuhnya tergantung dengan tangan kanan dan meluncur seperti terbang cepatnya itu! Setelah lama dan napas mereka terengah karena kencangnya angin menderu di depan hidung, secara tiba-tiba angin berhenti dan ketika mereka membuka mata, kakek itu telah berhenti menggunakan ilmu lari cepat yang tidak lumrah hebatnya itu!
Li Hwa melorot turun dari gendongan dan serta-merta dia menjatuhkan diri berlutut di depan kaki kakek aneh itu.
"Mohon Locianpwe sudi memaafkan teecu yang tidak tahu bahwa teecu telah tertolong oleh Locianpwe Bun Hwat Tosu yang sakti!" Kun Liong terkejut sekali. Tentu saja dia sudah mendengar nama ini, nama yang dipuji-puji oleh ayah bundanya sebagai nama seorang di antara manusia-manusia sakti seperti dewa di dunia ini! Bahkan nama ini disejajarkan dengan nama Tiang Pek Hosiang, guru ayahnya yang menjadi orang paling sakti di Siauw-lim-pai (baca ceritaPedang Kayu Harum )! Nama yang dimiliki oleh tokoh pertama dari Hoa-san-pai! Maka dia pun cepat menjatuhkan diri berlutut.
"Teecu juga mohon maaf bahwa teecu tidak tahu telah diambil murid oleh Ketua Hoa-san-pai yang mulia!" Kakek itu tertawa sambil mengelus jengotnya. "Siancai...!
Anak-anak sekarang benar-benar bermata tajam sekali. Eh, Nona Li Hwa, bagaimana engkau bisa menduga bahwa pinto adalah Bun Hwat Tosu?"
"Suhu pemah menyatakan bahwa di antara sahabatsahabat beliau yang memiliki kesaktian tinggi adalah seorang tua yang bersenjata sebatang tongkat terbuat dari akar kayu cendana dan berukirkan kepala naga. Ketika tadi Locianpwe menyebut kayu cendana dan kepala naga, maka tahulah teecu."
"Ha-ha-ha, engkau memang cerdik, patut menjadi murid yang mulia The-taiciangkun! Gurumu terlalu memuji pinto.
Beliau sendiri adalah seorang ahli silat yang tinggi sekali ilmunya, seorang ahli sastra yang jarang tandingannya, seorang ahli perang yang jempolan dan seorang pemimpin besar armada yang luas pengetahuannya. Mana mungkin pinto yang bodoh sederhana dapat dibandingkan dengan dia?"
Nah, Nona kecil yang baik, apakah sekarang engkau dapat pulang sendiri ke Liok-ek-tung?" Li Hwa mengangguk. "Liok-ek-tung tidak jauh lagi dari sini, Locianpwe. Harap Locianpwe sudi singgah di rumahku, agar kedua orang tuaku dapat menghaturkan terima kasih kepada Locianpwe yang sudah menolongku, dan apabila mungkin dapat bertemu dengan Suhu..." Kakek itu menggeleng kepalanya. "Tidak perlu, tidak perlu... dan tentang pertemuan dengan gurumu, kelak tentu akan tiba saatnya pinto menghadap yang mulia. Nah, pulanglah agar orang tuamu berlega hati." Sekali lagi Li Hwa mengangguk-anggukkan kepalanya di depan kaki kakek itu. "Teecu menghaturkan terima kasih dan bermohon diri." Li Hwa bangkit berdiri, mengerling kepada Kun Liong.
"Selamat jalan, Adik Li Hwa! Jangan lupa kepadaku, ya!" Li Hwa tersenyum, memandang kepala Kun Liong yang licin mengkilap. "Mana bisa aku melupakan itu?" dia menuding.
Kun Liong juga tertawa dan meraba kepalanya. "Mengapa ragu-ragu? Katakan saja kepalaku, kepala gundul buruk!"
"Tidak buruk, bahkan kelihatan bersih sekali. Yang banyak rambutnya mungkin malah penuh kutu, hi-hik!" Li Hwa tertawa, Kun Liong tertawa dan keduanya saling pandang seperti dua orang sahabat lama. Setelah menjura sekali lagi kepada Bun Hwat Tosu, Li Hwa lalu meloncat dan berlarian menuju ke kota Liok-ek-tung di timur.
Setelah bayangan anak perempuan itu lenyap di balik pohon-pohon, Bun Hwat Tosu memandang Kun Liong dan bertanya, "Kun Liong, bagaimana engkau bisa tahu bahwa Bun Hwat Tosu adalah Ketua Hoa-san-pai?"
"Nama Suhu dihormati dan dipuji-puji oleh Ayah Bunda teecu." Kakek itu mengerutkan alisnya. Mendengar namanya dihormati dan dipuji-puji hatinya merasa tidak enak. Pujian sama bahayanya dengan musuh yang datang dari belakang, berbeda dengan kata-kata keras yang seperti musuh datang dari depan.
"Siapa nama ayahmu?"
"Ayah bernama Yap Cong San." Akan tetapi Bun Hwat tidak mengenal nama ini.
"Ayah menjajarkan Suhu setingkat dengan Sukong Tiang Pek Hosiang." Kini kakek itu mengangkat kedua alisnya. "Ahhh! Tiang Pek Hosiang bekas ketua Siauw-lim-pai? Heran sekali! Dan dia itu sukongmu (kakek gurumu)?"
"Ayah adalah murid beliau." Kakek itu mengangguk-angguk. "Hemm, pantas kalau begitu... gerakanmu memiliki dasar Siauw-lim-pai sungguhpun sudah bercampur dengan ilmu silat lain yang aneh..."
"Dari ibu teecu." Kun Liong memotong.
"Hemmm, ibumu juga lihai sekali?"
"Hanya kalah sedikit oleh Ayah, akan tetapi Ibu menang dalam hal ilmu pengobatan. Ibu adalah sumoi (adik seperguruan) dari Supek Cia Keng Hong..."
"Ahhhh! Benar-benar suatu kebetulan yang luar biasa!
Kalau begitu, pinto telah kesalahan besar mengambil engkau sebagai murid!" Serta-merta Kun Liong menjatuhkan dirinya berlutut di depan kaki orang tua itu karena khawatir kalau-kalau gurunya membatalkan pengangkatan murid. "Harap Suhu tidak membatalkan teecu menjadi murid."
"Kenapa? Engkau keturunan orang-orang pandai dan melihat dasarmu, sepatutnya engkau menjadi murid Siauw-lim-pai. Seorang murid Siauw-lim-pai tidak boleh belajar dari orang lain, dan kalau pinto menerimamu sebagai murid, tentu pinto kesalahan terhadap Siauw-lim-pai."
"Teecu bukan murid Siauw-lim-pai!"
"Akan tetapi ayahmu?"
"Ayah pun bukan murid Siauw-lim-pai, hanya bekas murid.
Sudah tidak diakui lagi. Menurut penuturan Ayah, Ayah pernah membuat kesalahan besar terhadap Siauw-lim-pai, biarpun diampuni akan tetapi tidak lagi diakui murid, hanya sebagai sahabat baik para pimpinan Siauw-lim-pai saja. Harap Suhu percaya keterangan teecu karena teecu tidak membohong." Kakek itu kembali mengelus jenggotnya. Dia sudah mendengar tentang riwayat Tiang Pek Hosiang yang mengundurkan diri dari Siauw-lim-pai (baca ceritaPedang Kayu Harum ), akan tetapi dia tidak pernah mendengar tentang murid-murid kakek sakti itu. Dia mengira bahwa tentu ayah bocah ini tidak diakui sebagai murid Siauw-lim-pai karena tersangkut persoalan gurunya. Padahal, duduknya pekara tidaklah demikian. Yap Cong San kehilangan haknya sebagai anak murid Siauw-lim-pai karena dia menikah dengan Gui Yan Cu, dara yang dianggap terlibat dalam urusan gurunya, Tung Sun Nio dan Tiang Pek Hosiang sehingga dapat mencemarkan nama baik Siauw-lim-pai (baca ceritaPedang Kayu Harum ).
"Akan tetapi, kalau ayah bundamu sendiri adalah orangorang pandai, perlu apa engkau belajar dari pinto?" Kun Liong mengerutkan alisnya, memutar otak untuk memberi jawaban yang tepat. Kemudian dengan suara sungguh-sungguh dia menjawab, "Belajar dari ayah dan ibu sendiri tidak akan maju, Suhu."
"Hemm, mengapa tidak akan maju? Ayahmu adalah murid Tiang Pek Hosiang yang berilmu tinggi, sedangkan ibumu adalah sumoi dari Cia-taihiap (Pendekar Besar Cia) yang sakti, tentu ayah bundamu memiliki kepandalan tinggi pula.
Bagaimana engkau dapat mengatakan bahwa belajar dari orang tuamu sendiri tidak akan maju?"
"Karena Ayah terlampau keras kepada teecu sehingga teecu selalu takut-takut, belajar dari Ayah tidak akan dapat maju, adapun ibu terlalu memanjakan teecu, belajar lelah sedikit sudah disuruh mengaso, juga tidak akan maju." Kini kakek itu mengerutkan alisnya yang berwarna putih, memandang tajam kepada Kun Liong, kemudian berkata, "Sungguh alasan yang tidak dapat diterima. Engkau agaknya seorang anak yang nakal dan bandel, Kun Liong, apakah kati kenakalanmu maka engkau meninggalkan rumah?"
"Wah, tidak... tidak, Suhu. Dan bukan hanya itu alasan teecu. Masih ada lagi alasan kuat mengapa teecu tidak ingin agar Suhu membatalkan teecu sebagai murid Suhu."
"Hemm, alasan tidak masuk akal apa lagi?"
"Pelajaran dari Ayah Bunda teecu dapat kapan saja, akan tetapi pertemuan dengan Suhu merupakan hal yang kebetulan sekali dan kiranya tidak akan ada kesempatan ke dua bagi teecu, maka tentu saja teecu ingin sekali menjadi murid Suhu yang namanya dipuji-puji oleh Ayah." Kakek itu menggeleng-geleng kepalanya. "Hemm... alasan ini pun tidak kuat dan hanya menonjolkan kemurkaanmu akan ilmu silat saja." Kun Liong menjadi gugup, "Ah, sama sekali tidak, Suhu!
Teecu benci... benci... akan ilmu silat!"
"Heee?"
"Maksud teecu... teecu benci akan penggunaannya yang hanya ditujukan untuk memukul lain orang, melukai bahkan membunuh lain orang."
"kalau begitu, mengapa engkau bersikeras hendak belajar ilmu silat dari pinto (aku)?"
"Justru karena itu, teecu ingin memiliki ilmu kepandaian tinggi agar teecu dapat mempergunakannya untuk mencegah orang-orang yang pandai silat menganiaya dan memukul orang lain." Kakek itu mengangguk-angguk. "Bisa diterima alasanmu, akan tetapi untuk memperoleh ilmu silat tinggi, ayah bundamu cukup untuk mengajarmu, tidak perlu engkau belajar lagi dari pinto." Kun Liong menjadi gelisah. Dia masih berlutut dan kini dia mengangkat mukanya memandang kakek itu sambil berkata, "Harap Suhu suka menerima teecu, dan sesungguhnya hal ini bukan semata untuk kepentingan teecu, melainkan demi kebersihan nama dan kehormatan Suhu sendiri." Bun Hwat Tosu terkejut sekali, menyentuh pundak Kun Liong dan bertanya, "Apa maksudmu?" Kun Liong menundukkan mukanya, hatinya menjadi berdebar takut melihat betapa ucapannya tadi membuat kakek itu bersikap demikian sungguh-sungguh. Namun sudah kepalang baginya, menggunakan siasat yang paling lihai. Dia tahu bahwa orang-orang aneh seperti Bun Hwat T osu ini tidak membutuhkan apa-apa lagi dan satu-satunya hal yang masih dipentingkan hanya satu, yaitu nama yang menyangkut kehormatan. Maka dia sekarang menyinggung tentang nama dan kehormatan. Ternyata kakek itu benar-benar tergugah dan menaruh perhatian besar sekali!
"Teecu tidak bermaksud buruk. Suhu sendiri yang telah mengambil teecu sebagai murid dan Suhu sendiri yang telah mengucapkan kata-kata itu. Teecu mendengar bahwa katakata seorang budiman, yang sudah keluar dari mulut, mewakili suara hati dan menjadi janji yang lebih berharga daripada nyawa. Maka dari itu, kalau sekarang Suhu menarik kembali janji Suhu itu, bukankah hal ini akan menodai nama dan kehormatan Suhu?" Bun Hwat Tosu mengelus-elus jenggotnya dan memandang kepada anak gundul itu dengan sinar mata tajam, kemudian dia menghela napas dan berkata, "Yap Kun Liong, sekecil ini engkau sudah dapat menggunakan kata-kata untuk mendesak dan menghimpit seorang tua seperti pinto, membuat pinto tidak berdaya. Benar-benar engkau berbakat cerdik, dan entah apa yang akan terjadi kalau engkau sudah dewasa kelak.
Kecerdikan dapat mengangkat orang ke tingkat tinggi, akan tetapi juga dapat menyeret orang ke tempat yang paling rendah. Baiklah, pinto tidak mungkin dapat menarik kata-kata sendiri. Pinto akan menurunkan ilmu kepadamu selama lima tahun, akan tetapi tidak boleh menyebut guru kepada pinto karena kalau hal ini pinto lakukan, yaitu mengambilmu sebagai murid, berarti pinto kurang hormat kepada Siauw-lim-pai dan Cin-ling-pai. Bagaimana, maukah engkau?" Kun Liong mengangguk-angguk memberi hormat. "Teecu menghaturkan terima kasih atas kemurahan hati Locianpwe." Bun Hwat Tosu menarik napas panjang. "Hemm, kemurahan hati apa? Pinto terpaksa dan entah akibat apa yang akan pinto tanggung kelak apabila engkau melakukan penyelewengan!" Serta-merta Kun Liong berkata lantang, "Teecu bersumpah bahwa apa pun yang akan terjadi dengan diri teecu, teecu tidak akan menyebutkan nama Locianpwe, tidak akan menyangkut nama Locianpwe!"
"Sudahlah, agaknya memang engkau sudah berjodoh dengan pinto. Ingat, bukan sekali-kali pinto takut engkau menyebut nama pinto, akan tetapi jangan dihubungkan dengan Hoa-san-pai. Pinto telah lama mengundurkan diri dari Hoa-san-pai, dan andaikata nama pinto rusak oleh sepak terjangmu, masih tidak terlalu hebat. Akan tetapi kalau sampai Hoa-san-pai tersangkut, pinto pasti kelak akan mencarimu untuk mencabut kembali semua ilmu yang kaupelajari dari pinto, biarpun dengan bahaya tercabutnya pula nyawamu atau nyawa pinto." Kun Liong hanya mengangguk-angguk dan wajahnya agak pucat. Hebat sekali ancaman yang keluar dari mulut kakek itu dan dia dapat merasakan kesungguhan hati kakek itu yang membuatnya mengkirik.
"Teecu akan selalu ingat kata-kata Locianpwe."
"Nah, mari kita pergi!" Sebelum Kun Liong bangkit berdiri, tahu-tahu tubuhnya telah disambar dan kembali dia mengalami peristiwa yang mengerikan ketika tubuhnya meluncur dengan cepatnya menuju ke sebuah pegunungan yang kelihatan melintang panjang seperti seekor naga tidur di sebelah depan.
Sungainya laksana pita sutera biru gunungnya laksana tusuk sanggul permata!
Sajak dua baris itu adalah pujian pujangga besar Han Yi (768 – 824) pada waktu Dinasti Tang (618 – 907) ketika pujangga itu mengagumi keindahan pemandangan alam di sekitar Sungai Li daerah Kuilin, Propinsi Kuangsi.
Memang luar biasa sekali keindahan tamasya alam di daerah ini, terutama sekali kalau orang memandang dari puncak sebuah di antara gunung-gunungm melihat air Sungai Li yang kelihatan seperti pita rambut sutera biru melambai dari rambut seorang perawan jelita. Pemandangan di sepanjang sungai itu selain indah menakjubkan juga berubah-ubah keadaannya, terutama sekali di bagian antara daerah Kuilin dan Yangsuo.
Gunung Haiyang berdiri tegak sebagai sebuah di antara gunung-gunung di Pegunungan Taliang-san, di perbatasan Propinsi Kuangsi dan Propinsi Hunan. Dari Gunung Haiyang ini mengalir turun dua batang sungai yang mengalir ke utara memasuki Propinsi Hunan adalah Sungai Siang, adapun yang mengalir ke selatan memasuki Propinsi Kuangsi adalah Sungai Li yang juga disebut Sungai Kui, Sungai Haiyang dan ada pula yang menyebutnya Sungai Kemala!
Lambang keindahan di daerah Yangsuo di sepanjang Sungai Li, adalah sebuah puncak gunung yang bernama Gunung Teratai Biru. Gunung ini berbentuk sekuntum bunga teratai yang sedang menguncup, segar kebiruan. Di lereng Gunung Teratai Biru ini mendapat sebuah kuil kuno, yaitu Kuil Cien yang ternama, kuil peninggalan dari Dinasti Tang.
Kun Liong kagum bukan main ketika dia dibawa oleh Bun Hwat Tosu ke kuil kuno ini. Dia berdiri di situ, kemudian mendaki puncak Gunung Teratai Biru menikmati keindahan alam yang seperti sorga indahnya. Dari puncak ini tampak kota Yangsuo di sekitar gunung berlapis-lapis dan berwama hijau, seolah-olah kota itu dipeluk oleh sekumpulan daun-daun bunga.
Tak jauh dari situ tampak Gunung Pelayan Pelajar.
Bentuknya seperti seorang kacung pelajar yang duduk tegak lurus, membuka mulut mendeklamasikan sajak! Dan di sebelah kiri tampak pula dua buah puncak yang berdiri sejajar seperti kembar. Itulah Gunung Besi dengan dua puncaknya Sepasang Singa yang tersohor, yang berdiri berhadapan dengan Gunung Pelayan Pelajar. Memang bentuk kedua buah puncak itu mirip dengan singa betina dan singa jantan, sepasang singa yang duduk dengan tenang, gagah perkasa, akan tetapi jinak dan tidak ganas.
Tebing-tebing gunung yang menjadi dinding di kanan kiri sungai yang melalui pegunungan, menimbulkan pemandangan yang aneh. Ada yang tebingnya berwarna putih berderet-deret sehingga penduduk di sekitar Sungai Li memberinya nama Pegunungan Tebing Putih. Tak jauh dari situ, tebingnya berderet dengan warna merah, dan diberi nama Pegunungan Tebing Merah. Betapa luar biasa pemandangan di situ dapat kita bayangkan. Di antara warna kehijauan pegunungan tampak tebing berwarna merah dan putih itu! Semua keindahan ini makin menawan hati kalau kita terus ke selatan, memasuki daerah Simping. Di s ini terdapat Pegunungan Panca Puncak dan Gunung Lukisan. Masih banyak lagi pegunungan dengan puncak-puncaknya yang berbentuk aneh-aneh sehingga diberi nama yang aneh-aneh pula. Patutlah kalau para pujangga, para penyair terkemuka dari berbagai dinasti di sepanjang sejarah Tiongkok berdatangan ke daerah ini untuk menikmati tamasya alam yang luar biasa, menulis sajaksajak abadi untuk memujinya. Para pujangga terkenal dari Dinasti Tang, misalnya Han Yi, Liu Cung Yuan, Huang Ting Cian, Mi Fu, Fan Ceng Ta, pernah berdarmawisata ke daerah ini. Tentu saja lebih banyak lagi para pujangga dari dinasti lebih muda yang mengagumi tempat itu.
Semenjak kecilnya, Kun Liong tinggal di kota. Tentu saja dia merasa girang dan betah sekali tinggal di tempat yang indah itu. Tubuhnya menjadi segar, kulit mukanya putih kemerahan, sepasang matanya bercahaya dan bibir mulutnya merah seperti bibir seorang dara remaja. Akan tetapi kepalanya tetap saja gundul pelontos tidak ada rambutnya!
Sampai lima tahun lamanya Kun Liong belajar dengan amat tekunnya, digembleng oleh Bun Hwat Tosu yang tidak sembarangan menurunkan ilmunya. Memang amat untung bagi Kun Liong. Karena kakek itu maklum bahwa Kun Liong adalah cucu murid Tiong Pek Hosiang dan murid keponakan Cia Keng Hong, maka Bun Hwat Tosu tidak berani sembarangan menurunkan ilmu yang remeh kepada anak itu!
Tentu saja dia merasa sungkan kalau tidak mewariskan ilmuilmu pilihan yang akan dihargai oleh kedua orang tokoh besar dunia persilatan itu. Maka dalam waktu lima tahun itu dia melatih Kun Liong yang sudah memiliki dasar yang baik berkat gemblengan ayah bundanya dengan dua ilmu baru yang diciptakan sendiri setelah dia mengundurkan diri dari Hoa-sanpai.
Yang pertama adalah ilmu tangan kosong yang bemama Pat-hong-sin-kun (Ilmu Silat Delapan Penjuru Angin) dan yang ke dua adalah ilmu tongkat kerena memang kakek ini terkenal sekali dengan kepandaiannya bermain tongkat ketika dia masih memegang tongkat kayu cendana berukir kepala naga.
Ilmu tongkat yang diajarkan kepada Kun Liong disebut Siangliong-pang (Tongkat Sepasang Naga), disebut demikian karena gerakan kedua ujung tongkat kalau dimainkan seolaholah merupakan dua ekor naga mengeroyok lawan!
Biarpun selama lima tahun hanya disuruh berlatih dengan dua macam ilmu silat ini, namun Kun Liong tidak pernah mengomel, melainkan berlatih dengan amat tekunnya sehingga Bun Hwat Tosu merasa kagum dan juga lega hatinya. Apa pun yang akan terjadi dengan keputusannya menurunkan ilmunya kepada Kun Liong, yang jelas, pemuda ini tidak akan mengecewakan sebagai muridnya, biarpun murid yang tidak sah atau tidak diakuinya! Rasa girang dan puas ini membuat Bun Hwat Tosu lupa diri dan timbul keinginan hatinya untuk menurunkan ilmu kepada Kun Liong, ilmu simpanannya yang khusus diciptakannya untuk menandingi Ilmu Thi-ki-i-beng dari Cia Keng Hong yang kabarnya tiada yang dapat menandinginya!
Pendekar besar Cia Keng Hong memang memiliki ilmu yang amat aneh, juga amat hebat, yaitu yang disebut Thi-ki-i-beng (Mencuri Hawa Memindahkan Nyawa). Ilmu ini adalah semacam daya tenaga sakti sinkang yang kalau digunakan begitu tangan menampel ke tubuh lawan, maka otomatis tenaga sinkang lawan akan tersedot sampai habis masuk ke dalam tubuh sendiri. Karena memiliki Ilmu Thi-ki-i-beng inilah maka Cia Keng Hong dianggap sebagai tokoh yang paling hebat kepandaiannya. Dan karena ilmu aneh yang dahulu dipakai perebutan di antara orang-orang sakti di seluruh dunia kang-ouw (baca ceritaPedang Kayu Harum ) diam-diam Bun Hwat Tosu merasa penasaran dan mencurahkan seluruh kepandaiannya untuk menciptakan sebuah ilmu yang khusus untuk menghadapi Thi-ki-i-beng! Dan kini, ilmu itu dia ajarkan kepada Kun Liong agar ini yang akan menandingi sehingga kalau berhasil, ilmu nomor satu di dunia persilatan itu telah ditaklukkan olehnya!
"Kun Liong, pemahkah engkau mendengar akan ilmu yang disebut Thi-ki-i-beng?" Setelah pemuda itu belajar selama empat tahun, suatu pagi Bun Hwat Tosu bertanya.
Kun Liong menggeleng kepala. "Teecu belum pernah dengar, Locianpwe. Ilmu apakah itu?"
"Thi-ki-i-beng pernah menggegerkan dunia persilatan dan kiranya di dunia ini hanya seorang saja yang memilikinya, yaitu Cia Keng Hong."
"Ahhh, Supek (Uwa Guru)? Memang, menurut penuturan Ibu, Cia-supek adalah seorang sakti yang jarang ada tandingannya."
"Ibumu benar. Dan kesaktiannya itu terutama sekali karena dia memiliki Thi-ki-i-beng. Akan tetapi, pinto telah menciptakan sebuah daya sin-kang yang hendak pinto ajarkan kepadamu. Ilmu ini adalah kebalikan dari Thi-ki-i-beng. Kalau Thi-ki-i-beng mempunyai daya menyedot sin-kang lawan, maka ilmu ini mempunyai daya membetot sehingga kalau engkau sudah berlatih dengan sempurna, pukulan-pukulan beracun lawan dapat kauhindarkan dengan ilmu ini, juga mungkin, dalam hal ini pinto sendiri belum yakin benar, mungkin saja ilmu ini akan dapat menahan daya sedot Thi-kii-beng." Kun Liong menganggukkan kepalanya yang gundul.
"Maukah engkau berjanji kepadaku?"
"Tentu saja, Locianpwe."
"Kelak, kalau ada kesempatan, engkau cobakanlah sin-kang ini untuk menahan Thi-ki-i-beng dari Cia Keng Hong. Maukah engkau?" Kun Liong terkejut dan maklum betapa akan sulitnya mencoba ilmu sakti dari supeknya itu. Akan tetapi melihat betapa sikap kakek itu penuh gairah, diam-diam otaknya yang cerdik dapat menangkap bahwa agaknya bekas Ketua Hoasan-pai ini sengaja menciptakan ilmu sin-kang ini untuk menghadapi Thi-ki-i-beng, bukan menghadapi sebagai musuh, melainkan hanya memuaskan hati sudah dapat memecahkan Thi-ki-i-beng yang tersohor di seluruh dunia persilatan. Maka dia tidak tega untuk menolak, benar-benar tidak tega, bukan karena inginnya mempelajari ilmu sin-kang itu.
"Teecu berjanji, Locianpwe."
"Bagus! Nah mulai sekarang, kalau siang kaupergunakan untuk melatih kedua ilmu silat yang sudah mendekati kesempurnaan itu, kalau malam engkau pergunakan untuk melatih sin-kang ini." Mulai hari itu, Bun Hwat Tosu melatih sin-kangnya yang memiliki daya membetot itu kepada Kun Liong, yang menerimanya dan berlatih dengan amat tekun, kadangkadang sampai tidak tidur semalam suntuk!
Demikianlah, lima tahun lewat dengan cepatnya, Kun Liong telah berusia lima belas tahun, menjadi seorang pemuda remaja yang bertubuh sedang dengan pinggang kecil dan dada lebar. Wajahnya tampan sekali, kadang-kadang kalau dia tersenyum dan menggerakkan alis malah kelihatan cantik karena mulut, mata dan gerakan dagunya mirip dengan ibunya. Gui Yan Cu seorang wanita yang amat cantik jelita.
Dagunya yang amat meruncing itu kadang-kadang tampak lembut seperti wanita, akan tetapi kadang-kadang mengeras dengan sedikit lekuk membayangkan kekuatan kemauan yang tak tertundukkan. Sinar matanya yang kadang-kadang lembut seolah-olah wataknya lemah dan cengeng, akan tetapi kadang-kadang sinar matanya membayangkan cahaya kilat yang menyeramkan, keras dan tajam menembus jantung.
Matanya lebar, kepalanya yang masih tetap gundul itu bundar dan dahinya lebar. Alisnya berbentuk golok, hidungnya mancung dan mulutnya agak kecil. Mungkin karena selama lima tahun hidup di samping seorang kakek tua renta, seorang tosu yang mengutamakan kesederhanaan dan kewajaran, maka pakaian Kun Liong juga sederhana sekali, demikian pula dalam gerak-geriknya tampak kesederhanaan dan kewajaran, sungguhpun kadang-kadang bersinar dan mulutnya tersenyum penuh kenakalan.
"Kun Liong, sudah saatnya pinto mengakhiri hubungan di antara kita. Lima tahun telah lewat seperti yang pinto janjikan dan pinto telah berusaha sebaik mungkin untuk menurunkan ilmu-ilmu yang tertinggi yang pinto miliki kepadamu. Mulai saat ini, kita berpisah dan engkau boleh mengambil jalan hidupmu sendiri. Pinto tidak menganjurkan atau memaksamu, akan tetapi sebaiknya kalau engkau kembali kepada orang tuamu agar mereka tidak gelisah memikirkan kepergianmu.
Nah, selamat berpisah!" Tanpa menanti jawaban Kun Liong yang sudah menjatuhkan diri berlutut, kakek itu melangkah pergi meninggalkan lereng Gunung Teratai Biru. Sampai beberapa lama Kun Liong tetap berlutut, menekan keharuan hatinya.
Betapapun juga, selama lima tahun dia tinggal di kuil bersama gurunya, berlatih silat di samping melayani gurunya, mencari kebutuhan mereka sehari-hari. Selama lima tahun itu hubungannya dengan guru yang tidak mau diakui sebagai guru itu, berjalan baik sehingga ada pula ikatan batin antara dia dan gurunya dan begitu gurunya pergi, Kun Liong merasa terharu dan merasa betapa sunyi dan tidak menyenangkan tempat yang indah itu!
Dia bangkit berdiri, memandang ke sekelilingnya dan menghela napas panjang. Terngiang di telinganya ucapan Bun Hwat Tosu ketika bicara dengannya mengenai keindahan, ketika dia memuji keindahan tamasya alam di situ.
"Memang indah sekali tamasya alam di sini, Kun Liong.
Akan tetapi apakah engkau kira hanya di sini saja yang indah pemandangan alamnya? Di manapun juga, di dalam kota yang ramai dan sibuk, di dusun-dusun yang kotor dan miskin, di mana saja adalah indah kalau orang yang melihatnya berada dalam keadaan bebas pikirannya. Keindahan terasa dan tampak oleh orang yang tidak terganggu pikirannya. Akan tetapi sekali pikiran manusia kemasukan hal-hal yang menimbulkan suka atau duka sehingga pikiran itu menjadi penuh sesak, mata tidak akan dapat melihat lagi keindahan di sekelilingnya. Yang bersenang-senang akan buta oleh kesenangannya, yang berduka akan buta oleh kedukaannya!" Sebagai seorang pemuda tanggung lebih mudah bagi Kun Liong untuk memenuhi kebutuhan perutnya dengan jalan bekerja di sepanjang perjalanannya. Dia membantu para pelancong membawakan barang-barangnya, adakalanya membantu penebang kayu dan akhirnya dia membantu tukang perahu muatan di sepanjang Sungai Huang-ho. Dengan cara ini, akhirnya dia sampai juga ke Leng-kok. Tidak ada seorang pun yang mengenal pemuda tanggung yang berkepala gundul ini, karena lima tahun yang lalu, Kun Liong masih merupakan seorang anak kecil yang berpakaian indah dan berambut panjang hitam mengkilap! Sekarang dia merupakan seorang pemuda tanggung berkepala gundul, berpakaian sederhana dan agak butut, mukanya agak kurus dan gerak-geriknya sederhana.
Bahkan Liok Siu Hok, kakek yang sudah tua itu sama sekali tidak mengenal cucu keponakannya ini ketika Kun Liong berdiri di depan toko citanya. Disangkanya hanya seorang tamu yang hendak berbelanja, sungguhpun dia memandang heran melihat seorang pemuda aneh, disebut hwesio akan tetapi biarpun gundul pakaiannya bukan seperti pendeta, kalau bukan hwesio mengapa kepalanya gundul? Barulah dia kaget ketika Kun Liong memberi hormat dan berkata, "Kukong (Paman kakek), apakah Kukong tidak mengenal padaku? Aku adalah Kun Liong." Mata tua yang terbelalak itu makin melebar, kemudian mata itu mengenal wajah di bawah kepala gundul. "Aihhhh...
Kun Liong... engkau...?" Tergopoh-gopoh dan membongkokbongkok Kakek Liok Siu Hok keluar dari tokonya memegang tangan Kun Liong dan menarik pemuda gundul itu masuk ke dalam rumah setelah memerintahkan seorang pegawai untuk menjaga toko.
"Engkau ke mana saja? Dan mengapa kepalamu...?"
"Kukong, aku tadi pulang ke rumah. Kenapa rumahku ditutup? Dan ke mana perginya Ayah dan Ibuku?" Kun Liong balas bertanya tanpa menjawab pertanyaan paman kakeknya.
"Aihhh... mengapa baru sekarang engkau pulang? Telah begitu lama... bertahun-tahun... aku sendiri tidak tahu ke mana perginya mereka setelah terjadi peristiwa hebat itu..."
"Kukong, apa yang telah terjadi?" Kun Liong bertanya.
Liok Siu Hok menyuruh cucu keponakannya minum teh yang disuguhkan pelayan, kemudian dia menceritakan semua yang terjadi semenjak Kun Liong pergi. Dia menceritakannya semua, tentang pengobatan gagal, tentang ditangkapnya Yap Cong San dan kemudian dibebaskan dengan paksa oleh Gui Yan Cu, dan betapa rumah keluarga Yap disita oleh pemerintah, toko obatnya ditutup. Ceritanya diselingi dengan tarikan napas panjang penuh penyesalan.
"Sayang ibumu terlampau keras hati, kalau menurut nasihatku, kita dapat menggunakan uang untuk membebaskan ayahmu dengan jalan halus sehingga tidak perlu mereka melarikan diri dan rumah mereka disita." Akan tetapi Kun Liong sudah tidak mendengarkan lagi karena dia telah menangis! Bukan main menyesal hatinya dan tampaklah dengan jelas sekarang betapa perbuatannya yang nakal dahulu itu telah menimbulkan malapetaka yang menimpa ayah bundanya! Ayah bundanya celaka karena dia!
Kegagalan mengobati itu tentu karena tertumpahnya obat, ditumpahkan oleh Pek-pek, anjing peliharaan yang lari dikejar dan ditakut-takuti dengan mengikatkan kaleng-kaleng pada ekornya. Tentu ayahnya ditahan karena gagal mengobati, dan ibunya telah membebaskan ayahnya. Karena itu, ayah bundanya terpaksa lari. Mereka menjadi orang-orang buruan, menjadi pelarian dan rumah serta toko disita pemerintah.
Semua gara-gara dia!
"Sudahlah, Kun Liong, jangan menangis. Masih untung bahwa mereka itu dapat menyelamatkan diri dan bahwa engkau ternyata juga selamat. Ke mana saja engkau pergi dari mengapa kepalamu gundul? Apakah engkau masuk menjadi hwesio?" Kun Liong menggeleng kepalanya. "Aku pergi belajar ilmu, Kukong, dan tentang kepalaku... aku baru senang gundul, begitulah. Sekarang aku hendak pergi menyusul ayah ibuku.
Ke mana kiranya mereka pergi, Kukong?"
"Mana aku tahu? Mereka pergi tanpa memberi tahu dan semenjak itu, tak pernah memberi kabar. Aihhh, semenjak kecil ayahmu memang berdarah perantau dan petualang!" Kakek itu menarik napas panjang dan menggeleng kepalanya, kelihatan berduka sekali. "Dan engkau jangan pergi, biarlah menunggu saja di sini."
"Tidak, Kukong. Sekarang juga aku akan pergi mencari ayah ibuku." Kun Liong bangkit dari duduknya.
"Eh-eeehhh... nanti dulu, baru saja datang masa mau pergi lagi?"
"Biarlah, Kukong. Aku harus cepat dapat menemukan ayah bundaku." Memang di dalam hatinya Kun Liong ingin segera menghadap ayah bundanya untuk menyatakan penyesalannya dan untuk minta ampun atas segala kesalahannya.
"Hemm, kau keras hati seperti ayahmu. Setidaknya engkau harus menerima bekal dariku, dan biar kusuruh carikan seekor kuda untukmu..."
"Tidak usah, Kukong. Aku dapat berjalan kaki, pula, tidak biasa menunggang kuda..."
"Aihhh, kalau begitu, kau harus membawa bekal uang, untuk keperluan di jalan." Tanpa menanti jawaban, tergopohgopoh kakek itu lari ke dalam kamarnya dan tak lama kemudian dia sudah keluar membawa sebuah buntalan yang agak besar. "Terimalah ini, pakaian dan uang. Pakaian baru, mungkin agak kebesaran bagimu, akan tetapi ergkau sih, terburu-buru, kalau tidak tentu dapat kusuruh buatkan beberapa stel." Kun Liong tidak berani menolaknya, takut menyinggung perasaan paman kakeknya yang sudah tua itu. Dia menerima bungkusan dan mengangkat kedua tangan memberi hormat, mengucapkan terima kasih, kemudian meninggalkan rumah kakek itu yang mengantar sampai di depan toko sambil menarik napas berulang-ulang dan menggelengkan kepala dengan muka muram.
Setelah keluar dari kota Leng-kok, Kun Liong sejenak berdiri bingung. Ke mana dia hendak menuju? Ke mana harus mencari ayah bundanya yang menjadi orang pelarian? Ke Cinling-san, bisik hatinya. Tidak salah lagi dalam menghadapi kesukaran itu, tentu ayah bundanya pergi kepada supeknya, Cia Keng Hong, Ketua Cin-ling-pai di Gunung Cin-ling-san!
Dengan langkah tegap dan hati mantap Kun Liong mulai melakukan perjalanan menuju ke Cin-ling-san. Dia belum pernah pergi ke tempat itu, akan tetapi ayahnya pernah menceritakan kepadanya di mana arah dan letaknya Cin-lingsan, tempat kediaman supeknya yarig dipuji-puji oleh ayahnya dan terutama ibunya itu.
Kun Liong dapat melakukan perjalanan cepat karena sekarang dia tidak perlu lagi menunda-nunda perjalanan untuk bekerja dan mencukupi kebutuhan perutnya. Bekal uang yang diterima dari kukongnya cukup banyak, bahkan lima stel pakaian dalam buntalannya itu cukup untuk dipakai ganti pakaiannya yang kotor dan sudah butut.
Beberapa pekan kemudian, karena hari sudah mulai gelap, dia berhenti di kota Taibun di sebelah selatan kota Tai-goan, di tepi Sungai Fen-ho. Pegunungan Cin-ling-san sudah tidak terlalu jauh lagi. Dia sudah tiba di sebelah utara kota Sian dan Pegunungan Cin-ling-san terletak di sebelah selatan kota Sian, memanjang ke barat.
Ketika dia mengikuti pelayan menuju ke sebuah kamar di losmen kecil kota Taibun, dia menjadi perhatian para tamu lain. Dengan acuh tak acuh Kun Liong melangkah terus biarpun dia maklum bahwa seperti biasa, kepala gundulnya yang menarik perhatian orang. Dia sudah terlalu biasa dengan hal ini sehingga tidak merasa mendongkol lagi seperti dahulu ketika mula-mula kepalanya menjadi gundul. Betapapun juga, dia melirik dengan muka terasa panas sekali ketika melihat bahwa di antara mereka yang memandangnya dengan senyum ditahan, tampak juga seorang dara remaja yang cantik manis. Biarpun dara itu cepat menutupi mulutnya dengan saputangan sutera ketika dia lewat, namun Kun Liong maklum bahwa seperti yang lain, tentu dara itu pun merasa lucu melihat seorang pemuda bukan pendeta berkepala gundul pelontos! Dia merasa malu dan juga jengkel. Kalau orang lain yang mentertawakannya masih tidak mengapa.
Akan tetapi seorang dara remaja! Buruk benarkah kepalanya?"
Dia menghampiri meja di mana terdapat tempat air yang disediakan pelayan tadi, untuk mencuci muka. Melihat bayangan kepala gundulnya di dalam air, Kun Liong menyeringai dengan hati kesal. Celakanya, ketika dia menyeringai ini mukanya kelihatan makin tidak menyenangkan baginya, seolah-olah wajah berkepala gundul di dalam baskom air itu pun ikut-ikutan mengejek!
"Sialan kamu!" Dia memaki dan mencelupkan kepalanya ke dalam air baskom, sengaja membenamkannya lama-lama untuk menghukum muka yang mengejeknya itu sampai akhirnya terpaksa diangkatnya kembali mukanya dari dalam air dengan napas terengah-engah! Digosoknya muka dan kepala gundulnya kuat-kuat dengan saputangan. Air baskom sudah diam lagi sehingga dapat menampung bayangannya.
Akan tetapi bayangan muka dan kepala yang kemerahan karena digosok kuat-kuat itu makin menyebalkan hatinya.
"Biarlah dia tertawa sampai mulas! Kepala dan mukaku sudah begini, siapa peduli?" Pikiran ini agak mendinginkan hatinya, akan tetapi dia masih merasa sebal dan melempar tubuhnya ke atas pembaringan.
Terbayanglah wajah yang ayu, lesung pipit yang manis kalau wajah itu tertawa, dan terdengarlah seperti bisik-bisik di telinganya, "Tidak buruk, bahkan kelihatan bersih sekali. Yang banyak rambutnya mungkin malah penuh kutu. Hi-hik!" Ahhh, Li Hwa memang seorang dara yang ayu manis!
Mungkin satu-satunya anak perempuan yang tidak membenci gundulnya, yang tidak mentertawakan gundulnya! Di manakah anak itu sekarang? Tentu sudah menjadi seorang dara remaja yang cantik! Dan tentu lihai bukan kepalang, karena dara itu adalah murid dari The Hoo, panglima yang kabarnya memiliki kesaktian seperti dewa itu ! Kun Liong menarik napas panjang, agak kecewa. Dia sadar dan kaget. Aihh, mengapa dia kecewa? Mengapa dia seperti menyesal dan berduka begitu teringat bahwa Li Hwa adalah murid The Hoo?"
Dia bangkit duduk dan termenung, meneliti diri sendiri. Ada apa dengan dia? Tadi, bayangan wajah Li Hwa, gema suara dara itu membuatnya gembira dan senang karena anak perempuan itu tidak mencela kepala gundulnya. Akan tetapi mengapa tanpa disadarinya, tiba-tiba dia menarik napas panjang dengan penuh sesal dan kecewa?"
"Wah, apakah aku tiba-tiba merasa iri hati?" demikian celanya. Tidak, bukan iri hati karena anak itu menjadi murid seorang sakti, karena dia sendiri juga telah diajar ilmu silat oleh Bun Hwat Tosu yang juga bukan manusia sembarangan.
Habis mengapa? Karena putus harapan, melihat kedudukan Li Hwa terlalu tinggi untuk dia? Terlalu tinggi untuk apa?"
Pertanyaan ini seperti mengejek dan kembali Kun Liong merasa bimbang dan jengkel.
"Plakk!" Kepala gundulnya ditamparnya sendiri. "Uhhh!
Tolol benar! Tentu saja terlalu tinggi untuk menjadi temanmu.
Habis apa lagi? Dan masih belum tentu lagi! Yang berteman bukan gurunya melainkan dia. Kalau memang dia mau berteman dengan aku, siapa berhak melarang? Dan kalau dia... wah celaka, aku sudah gila!" Kun Liong terbelalak.
"Plakk!" Gundulnya menjadi sasaran tangannya lagi. "Apaapaan ini mengenang dan bicara sendiri tentang Li Hwa sedangkan gadis itu tidak berada di s ini? Tolol!" Setelah menempiling gundulnya sekali lagi, Kun Liong tidur pulas!
Dua jam kemudian dia terbangun oleh rasa laparnya. Cepat dia mencuci muka lagi, membawa bekal uang dan keluar dari losmen untuk mencari makanan. Melihat sebuah restoran cukup besar tak jauh dari losmen, dia segera melangkah masuk. Seorang pelayan menyambutnya.
"Apakah Siauw-suhu (pendeta cilik) hendak makan? Maaf, di sini tidak disediakan makanan ciak-jai (sayur tanpa daging), harap Siauw-suhu mencari di warung lain saja." Kun Liong menelan ludah berikut kata-kata makian yang sudah berada di ujung lidah. Setelah kemarahannya tertelan, dia berkata, "Aku bukan hwesio!"
"Ahh, maaf... Tuan. Apakah Tuan hanya sendiri? Sayang meja telah penuh semua, kecuali kalau Tuan suka makan dengan membonceng di meja tamu lain..." Kun Liong mendengar suara ketawa ditahan dan cepat dia nenoleh. Benar saja! Gadis remaja di losmen tadi yang kini lagi-lagi mendekap mulut dengan saputangan suteranya, menahan suara ketawa biarpun pundaknya bergoyanggoyang!
Dan dua orang laki-laki yang duduk semeja dengan nona muda itu juga tersenyum. Seorang di antara mereka, yang usianya kurang lebih empat puluh tahun, segera mengangkat tangan berkata kepada pelayan yang sedang longak-longok mencarikan tempat duduk untuk Kun Liong.
"He, bung pelayan! Biarlah Tuan muda itu duduk makan bersama kami, meja kami masih kosong!" Pelayan itu tertawa lebar, mengajak Kun Liong menghampiri meja itu dan membungkuk mengucapkan terima kasih kepada orang yang menawarkan tempat duduk untuk Kun Liong itu, kemudian Si Pelayan menoleh kepada Kun Liong, bertanya, "Tuan hendak memesan makanan apa?"
"Ahh, tambah saja makanan yang kami pesan untuk seorang lagi. Dia menjadi tamu kami!" kata seorang laki-laki yang ke dua dengan suara ramah. Si Pelayan menganggukangguk kemudian pergi.
Kun Liong masih berdiri di dekat meja mereka. Dua orang laki-laki itu kelihatan peramah. Yang tua berusia empat puluh tahun, orang ke dua kurang lebih tiga puluh tahun, sedangkan dara remaja yang ternyata bermuka segar dengan sepasang pipi kemerahan, sepasang mata yang membayangkan kelincahan dan kejenakaan itu tentu tidak akan lebih dari dia sendiri. Mungkin baru empat belas tahun. Akan tetapi seperti dua orang laki-laki itu, dara remaja itu pun membawa sebatang pedang di punggungnya!
Melihat dari sinar mata dan sikap dua orang laki-laki itu ramah dan bersungguh menawarkan tempat untuknya, dan betapa dara remaja itu sudah tidak tertawa dan geli lagi, dia pun mengangguk dan berkata sederhana, "Terima kasih!" Kemudian duduk di atas bangku dekat meja, berhadapan dengan dara remaja itu.
Sepasang pipi Kun Liong masih tampak kemerahan karena tadi menahan kemarahan terhadap pelayan yang menyebutnya pendeta cilik. Melihat ini, laki-laki yang berusia tiga puluh tahun, berkata, "Pelayan itu mengeluarkan kata-kata yang tidak menyenangkan, akan tetapi dia tidak sengaja, harap saja tidak dipusingkan lagi." Kun Liong mengangguk tanpa menjawab. Matanya mengerling kepada dara remaja di depannya dan ternyata gadis kecil itu memandang kepadanya penuh perhatian secara terbuka, tidak seperti dara-dara lain yang dijumpainya di dalam perjalanan yang selalu memandang kepada pria dengan cara sembunyi-sembunyi, bahkan memandangi gundulnya pun mereka lakukan dengan sembunyi. Kini dara ini tidak saja menatap wajahnya dengan sepasang mata yang jeli dan terang-terangan, bahkan agaknya mengagumi kepalanya yang gundul. Terlalu sekali! Dia menjadi malu dan terpaksa menundukkan muka seperti seorang kanak-kanak yang melakukan sesuatu yang terlarang.
Melihat ini laki-laki yang tertua berkata dengan suara menghibur, "Harap saja Siauw-suhu tidak usah malu karena sekarang banyak saja hwesio yang melepaskan pantangan makan daging dan minum arak, dan..."
"Saya bukan hwesio!" Tiba-tiba Kun Liong memotong dan suaranya agak kaku karena dapat dibayangkan betapa sebal hatinya ketika mendapat kenyataan bahwa orang yang disangkanya ramah ini pun ternyata menduga dia seorang pendeta cilik! Mengertilah ia sekarang mengapa dia menjadi bahan tertawaan. Tentu dia disangka seorang hwesio yang sengaja menyamar dengan pakaian biasa agar dapat leluasa makan daging, minum arak, lupa kepada kepalanya yang gundul! "Saya bukan hwesio, apalagi hwesio yang pura-pura suci tapi diam-diam menyamar untuk dapat makan daging dan minum arak!" Tiga orang itu saling pandang dengan mata terbuka lebar, dan tiba-tiba dara itu pun tak dapat menahan ketawanya.
Biarpun dia cepat menutupi mulutnya dengan saputangan sutera hijaunya, namun masih tampak oleh Kun Liong betapa sepasang bibir yang merah itu terbuka, memperlihatkan rongga mulut yang lebih merah lagi dengan deretan gigi putih mengkilap.
"Brakkk!" Kun Liong menggebrak meja di depannya dengan kedua telapak tangannya, tidak terlalu keras akan tetapi cukup menyatakan kemendongkolan hatinya. "Mengapa engkau mentertawakan aku?" Berbeda dengan sikapnya kepada lakilaki itu, dengan kata-kata cukup sopan biarpun penasaran, terhadap dara ini yang dianggapnya tidak lebih tua dari dia.
Kun Liong bersikap kasar dan biasa saja, apalagi karena dia marah mengira nona muda itu mentertawakannya.
Dara itu memandang Kun Liong, makin geli melihat pemuda remaja gundul itu marah-marah sehingga dari dekapan saputangannya masih terdengar kekehnya.
"Aihh, harap suka maafkan sumoi yang masih muda dan suka bergurau," laki-laki tertua berkata, kemudian dia menoleh kepada dara remaja itu sambil berkata, "Sumoi, sudahlah jangan tertawa dan menimbulkan salah paham." Laki-laki ke dua juga berkata, "Maafkanlah kami yang salah menduga karena sesungguhnya kami mengira bahwa engkau adalah seorang hwesio muda." Dara remaja itu menurunkan saputangannya dan biarpun mulutnya tidak tersenyum lagi, akan tetapi sepasang matanya bersinar-sinar nakal, mulutnya cemberut karena dia ditegur suhengnya, lalu dia berkata sambil mengerling ke arah Kun Liong, "Salahnya sendiri! Orang semuda dia memakai potongan gundul, mana pantas? Sepatutnya dia memelihara rambut seperti orang muda pada umumnya."
"Ada hak apakah engkau hendak mengurus kepala dan rambut orang? Ini adalah kepalaku sendiri, hendak kugundul, atau kupelihara rambut sampai ke kaki, peduli apa engkau?"
Kalau kau hendak mengatur kepalaku, aku pun bisa saja bilang bahwa kau tidak pantas mengatur rambutmu seperti itu, pantasnya engkau gundul seperti aku!"
"Ihhh...!" Dara remaja itu melompat berdiri dari bangkunya dan meraba gagang pedangnya. "Engkau... engkau menghina, ya?" bentaknya.
"Nah, itu! Kepala orang untuk main-main sesukanya, dibalas satu kali saja sudah mau mengamuk!"
"Gundul plontos! Kapan aku main-main dengan kepalamu?"
"Sumoi! Jangan lancang, simpan pedangmu!" Laki-laki tertua membentak sumoinya dan anak perempuan itu sudah menyarungkan kembali pedangnya, duduk di atas bangku dan cemberut, akan tetapi memandang kepada Kun Liong dengan mendelik.
Kun Liong bingung juga. Memang kalau dipikir, dara remaja ini tidak pernah main-main dengan kepalanya! Akan tetapi karena sudah terlanjur, dia menjadi nekat dan berkata, "Sudah dua kali engkau mentertawakan kepalaku, di losmen tadi dan di sini..."
"Hemm, apakah kalau aku tertawa itu berarti mempermainkan gun... eh, anumu? Apakah kalau aku hendak tertawa harus minta ijin lebih dulu darimu? Begitukah?" Kun Liong termangu, tak dapat menjawab lagi. Dara ini ternyata pandai berdebat dan dia sudah didesak ke sudut.
"Sudahlah, Laote (Adik), harap maafkan kami. Nah, makanan sudah datang, mari kita makan. Silakan!" Akan tetapi Kun Liong sudah bangkit berdiri, menjura kepada dua orang laki-laki itu sambil berkata, "Harap Ji-wi twako (Kedua Kakak) sudi memaafkan saya. Setelah saya diundang makan oleh Ji-wi yang ramah, saya malah marahmarah, hal ini amatlah kurang ajar, bagaimana siauwte (adik) berani menerimanya? Maafkanlah!" Kun Liong mundur, mengangguk dan melangkah keluar dari restoran itu.
"Sian-sumoi, jangan!" Kun Liong yang mendengar suara laki-laki tertua mencegah sumoinya ini, tidak menoleh. Jadi namanya pakai huruf Sian, ya? Hemm, anak perempuan yang sombong! Awas kau, ya?"
Eh, mengapa awas? Dia mau apa? Ingin Kun Liong menampar kepalanya sendiri, untung dia teringat bahwa banyak mata mengikutinya ke luar dari restoran itu. Tak lama kemudian dia memasuki restoran lain tak jauh dari situ, restoran yang lebih besar. Seorang pelayan menyambutnya dan cepat Kun Liong mendahuluinya berkata, "Aku bukan hwesio. Aku mau pesan makanan dan minuman yang terbaik!" Pelayan itu tercengang, menatap gundulnya, kemudian tersenyum lebar dan dengan ramah mempersilakannya duduk.
Di restoran ini masih banyak meja kosong dan Kun Liong duduk sendiri menghadap meja, tidak peduli akan pandang mata para tamu yang sedang makan minum di ruangan itu.
Karena tidak mengenal nama-nama masakan, apalagi yang mahal-mahal dan yang tidak pemah dimakannya, dia memesan yang mudah saja, yaitu nasi, bakmi, daging panggang dan arak! Mulailah dia makan dengan lahapnya karena memang perutnya sudah lapar sekali. Tidak ingat lagi dia kepada tiga orang di restoran tadi, sungguhpun suara dara remaja yang bernama Sian itu masih mengiang di telinganya.
"Yakinkah engkau bahwa mereka adalah kaki tangan pemerintah?" Suara ini halus dan kata-katanya teratur baik, bukan suara orang-orang kasar.
"Tentu saja yakin, Ouw-twako. Mereka bertiga sebetulnya adalah murid-murid Pendekar Gak Liong di Secuan, dan Pendekar Gak adalah murid keponakan orang she The itu.
Bahkan yang termuda, Nona Hwi Sian, biarpun usianya baru belasan tahun pernah menewaskan seorang anggauta kami.
Inilah saatnya Twako membuat jasa untuk Kwi-eng-pai."
"Hemm, mudah saja. Cantikkah nona itu?"
"Aih, Twako hanya memikirkan wanita cantik saja. Nona itu cantik jelita, hanya usianya baru empat belas tahun."
"Ha, lebih muda lebih menyenangkan. Benar mereka berada di restoran itu?"
"Benar, aku melihat mereka masuk tadi."
"Hayo, tunggu apa lagi? Kita datangi mereka."
"Jangan, Twako. Kota ini cukup besar dan karena mereka masih kaki tangan orang she The, tentu pembesar setempat akan membela mereka dan kalau dikerahkan pasukan rencana kita bisa gagal. Sebaiknya kita membayangi mereka dan kalau mereka berada di tempat sunyi..."
"Sssttt... cukup. Mari minum!" Diam-diam Kun Liong terkejut bukan main. Tadinya dia tidak tertarik akan percakapan dua orang yang duduk di meja sebelah belakangnya itu, akan tetapi ketika mereka menyebutnyebut nama Hwi Sian, nona yang berusia empat belas tahun, segera dia teringat kepada dara remaja bernama Sian yang tadi cekcok dengan dia. Apalagi mendengar disebutnya Kwieng-pai, dia teringat akan anak buah Si Bayangan Hantu yang menculik Li Hwa. Bukankah Kwi-eng-pai berarti Perkumpulan Bayangan Hantu dan besar kemungkinannya adalah orangorang yang dahulu menculik Li Hwa? Dan isi percakapan tadi sungguh mencurigakan sekali.
"Traakkk..." Sebuah di antara sumpit Kun Liong terjatuh, menggelinding di bawah mejanya. Tentu saja hal ini dia sengaja dan dia sudah merangkak ke kolong meja mengambil sumpitnya. Kesempatan ini dia pergunakan untuk berpaling dan memandang kepada dua orang yang duduk di sebelah belakangnya. Betapa kagetnya ketika dia mengenal dua orang itu. Yang seorang adalah seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun, berwajah tampan. Berpakaian seperti seorang sastrawan kaya, yang dikenalnya sebagal Ouw Ciang Houw sastrawan yang dahulu pemah ikut di perahunya, kemudian memperkosa isteri guru silat Gui Tong yang kemudian mengakibatkan kematian suami isteri itu! Adapun orang ke dua adalah seorang laki-laki yang usianya lebih tua beberapa tahun, berpakaian serba kuning yang dikenalnya sebagai pemimpin gerombolan atau Ketua Ui-hong-pang di lembah Sungai Huang-ho, yang menculik Li Hwa! Tidak salah dugaannya. Teringat dia betapa orang ini, kalau tidak salah bernama Kiang Ti dan menurut Bun Hwat Tosu adalah murid kepala Si Bayangan Hantu, dengan Ilmu Pukulan Hek-tokciang telah menghantam Bun Hwat Tosu akan tetapi yang akibatnya payah bagi orang ini sendiri. Kini, dua orang jahat itu telah bersekutu agaknya dan mempunyai niat yang tidak baik terhadap nona bernama Sian yang agaknya lengkapnya bernama Hwi Sian itu dan dua orang suhengnya (kakak seperguruannya)! Menghadapi hal ini, berdebar jantung Kun Liong dan lupa lagi dia akan percekcokannya dengan dara remaja itu. Dia menekan perasaannya dan dengan tenang dia lalu membayar makanannya, keluar dari rumah makan dan diam-diam dia membayangi nona muda dan dua orang suhengnya itu untuk melindungi mereka!
Semalam suntuk Kun Liong tidak tidur! Dia melakukan penjagaan dengan diam-diam, siap untuk melindugi tiga orang yang menurut pendengarannya tadi adalah masih cucu keponakan murid dari "orang she The" yang diduganya tentulah Panglima Besar The Hoo, mengingat bahwa panglima itu dimusuhi oleh Si Bayangan Hantu seperti yang diceritakan oleh Bun Hwat Tosu kepadanya. Akan tetapi, tidak terjadi sesuatu di malam hari itu kecuali dia sendiri yang dikeroyok nyamuk karena melakukan penjagaan di luar kamar. Akan tetapi Kun Liong tidak menyesal, bahkan merasa lega bahwa pagi-pagi sekali tiga orang itu sudah berangkat pergi meninggalkan losmen. Dia pun segera membayar uang sewa kamar, kemudian dengan diam-diam dia terus membayangi tiga orang itu yang keluar dari kota Taibun menuju ke timur!
Biarpun Kun Liong mempunyai tujuan perjalanan ke selatan, akan tetapi pada saat itu dia sama sekali tidak ingat akan hal ini dan terus membayangi tiga orang itu keluar dari kota dan tak lama kemudian mereka melalui sebuah hutan yang sunyi di kaki Pegunungan Thai-hang-san. Tiga orang itu melakukan perjalanan tidak tergesa-gesa dan di sepanjang jalan mereka bersenda-gurau, atau lebih tepat lagi, dara remaja itu yang selalu mengajak kedua orang suhengnya untuk bersenda gurau. Dilihat dari jauh, jelas bahwa dara itu memang berwatak lincah gembira, dan diam-diam ada juga dugaan di dalam hati Kun Liong bahwa dara remaja itu bergurau tentang kepala gundulnya!
Tiba-tiba terjadilah seperti yang diduganya. Lima orang meloncat keluar dari balik batang pohon! Mengapa lima orang? Kun Liong dapat menyelinap di antara pohon-pohon dan bersembunyi, mengambil keputusan untuk tidak turun tangan membela sebelum tenaganya dibutuhkan. Dia maklum bahwa tiga orang yang "dilindungi" itu adalah orang-orang yang pandai ilmu silat dan pandai pula menjaga diri. Yang membuat dia heran adalah lima orang yang muncul itu.
Mengapa di antara mereka tidak ada Kiang Ti dan Ouw-siucai (Sastrawan Ouw) yang cabul? Atau barangkali lima orang ini adalah anak buah Ui-hong-pang yang disuruh turun tangan lebih dulu?"
"Siapakah kalian? Apakah perampok-perampok buta yang tidak melihat orang?" Dara remaja itu sudah membentak dan berdiri dengan sikap gagah, sedikitpun tidak kelihatan takut sehingga mengagumkan hati Kun Liong. Pemuda gundul ini pun memandang dengan penuh perhatian kepada lima orang itu. Mereka ini semua berpakaian serba putih seperti orangorang berkabung. Mendengar pertanyaan dara itu, lima orang tadi menggerakkan kedua tangan.
"Singgg...!" Lima batang golok besar tercabut mengeluarkan suara berdesing dan tangan kiri mereka masing-masing telah mengeluarkan sebuah benda berwarna biru sebesar telapak tangan yang mereka pasangkan di baju mereka sebelah kiri depan dada. Kini tampaklah oleh Kun Liong bahwa benda itu adalah sebuah ukiran bunga teratai putih pada dasar biru. Perkumpulan Pek-lian-kauw (Agama Teratai Putih)!
"Aihh, kiranya Ngo-wi (Tuan Berlima) dari Pek-lian-kauw?"
Ada maksud apakah Ngo-wi menghadang perjalanan kami tiga saudara?"
"Hemm, perlukah kalian masih bertanya lagi?" Seorang di antara lima orang itu, yang berjenggot panjang dan bermata sipit sekali berkata, "Bukankah kalian bertiga adalah tiga pendekar dari Secuan, murid-murid Gak Liong dan kalian membantu pemerintah memusuhi kami?" Laki-laki tinggi kurus itu kini berdiri tegak di dekat sumoinya dan berkata dengan suara lantang, "Benar! Aku bernama Poa Su It, ini suteku Tan Swi Bu, dan sumoiku Lim Hwi Sian. Kami bertiga adalah murid-murid Pendekar Gak di Secuan. Akan tetapi kami bukanlah orangnya pemerintah sungguh pun kami akui bahwa Suhu menugaskan kami untuk membantu Susiok-couw (Paman Kakek Guru) The Hoo untuk membersihkan negara dari para pengacau yang membuat negara kacau dan rakyat menderita!"
"Bagus! Karena itulah maka kami menghadang dan minta nyawa kalian!" Teriak orang Pek-lian-kauw yang berjenggot panjang dan ucapannya itu agaknya menjadi komando karena tiba-tiba lima orang Pek-lian-kauw itu sudah menyambit dengan tangan kiri, disusul gerakan mereka menerjang ke depan.
Tiga orang pendekar Secuan itu menggerakkan tubuh, dengan ringan sekali meloncat ke kanan kiri menghindarkan diri dari sambaran senjata rahasia yang berbentuk kuncup teratai itu, kemudian mereka pun sudah mencabut pedang masing-masing menghadapi para pengeroyok.
Kun Liong memandang kagum. Terutama sekali dia amat kagum menyaksikan dara remaja yang kini dia ketahui namanya, Lim Hwi Sian, menggerakkan pedangnya menghadapi seorang anggauta Pek-lian-kauw, sedangkan kedua orang suhengnya masing-masing dikeroyok dua oleh lawan. Dara remaja itu ternyata lihai limu pedangnya. Ketika dia melirik ke arah dua orang laki-laki yang dikeroyok empat orang Pek-lian-kauw, mengertilah ia mengapa dara remaja itu jauh lebih muda daripada kedua orang itu, menjadi adik seperguruan mereka, hal yang tadinya amat mengherankan hatinya. Kiranya ilmu pedang dara itu tidak kalah lihai oleh kedua orang suhengnya, dan bahkan dalam hal keringanan tubuh melebihi mereka. Mungkin dara itu kalah dalam hal tenaga saja.
Pertandingan itu tidak berlangsung lama, karena lima orang itu segera terdesak hebat. Terdengar seorang di antara mereka, mungkin Si Jenggot, mengeluarkan bunyi bersuit nyaring. Lima orang yang sudah menderita luka-luka goresan pedang itu membanting senjata di atas tanah dan terdengar ledakan-ledakan disusul asap putih tebal. Tiga orang pendekar Secuan cepat melompat ke belakang karena khawatir kalaukalau terkena senjata rahasia atau asap beracun. Ketika mereka mengejar dengan jalan menghindari asap, ternyata lima orang itu telah lenyap.
Kun Liong bernapas lega. Tidak perlu dia turut campur.
Untung dia tadi masih bertahan dan tidak muncul. Kalau dia muncul, melihat betapa dara remaja itu dan dua orang suhengnya dengan mudah dapat menghalau lawan, tentu dia akan mendapat malu dan bukan tidak mungkin dia akan menjadi bahan ejekan dara manis itu! Selain itu, dia sendiri belum tahu apakah dia akan mampu melawan seorang saja dari kelima anggauta Pek-lian-kauw tadi! Biarpun dia telah mendapat gemblengan dasar ilmu silat tinggi dari ayah bundanya, kemudian dilatih oleh Bun Hwat Tosu yang amat sakti, namun dia sendiri tidak dapat mengukur sampai di mana keampuhan ilmu yang dimilikinya dan tanpa bertanding menghadapi lawan, bagaimana dia mampu mengukur diri sendiri? Akan tetapi, dia amat benci akan perkelahian. Dia mempelajari ilmu bukan untuk berkelahi, melainkan untuk mencegah terjadinya kejahatan yang mengandalkan ilmu silat.
"Orang-orang Pek-lian-kauw sungguh menjemukan!" Lim Hwi Sian berkata sambil menyarungkan pedang dan mengebut-ngebutkan bajunya yang terkena debu.
"Mereka yang memusuhi orang-orang yang tidak berdosa, akan tetapi mereka selalu mengatakan bahwa pemerintah memusuhi mereka. Kalau mereka tidak memberontak, kiranya Susiok-cow tidak akan memerintahkan para pembantu untuk menentangnya dan Suhu tentu tidak menugaskan kita." Tan Swi Bu juga berkata.
"Kata-kata yang baik!" Tiba-tiba terdengar suara orang dan tahu-tahu di situ telah muncul dua orang laki-laki yang tersenyum-senyum. Jantung Kun Liong berdebar tegang melihat dua orang yang memang dinanti-nantikan kemunculannya itu. Ouw Ciang Houw Si Sastrawan cabul dan Kiang Ti, Ketua Ui-hong-pang!
Melihat dua orang yang tidak terkenal akan tetapi yang muncul secara tiba-tiba membuktikan ilmu kepandaian mereka yang tinggi, tiga orang pendekar Secuan menjadi kaget. Lim Hwi Sian telah mencabut pedangnya dan membentak dengan suara nyaring, "Apakah kalian juga orang-orang Pek-liankauw?" Ouw-siucai tersenyum lebar dan memandang Hwi Sian dengan sinar mata kagum penuh gairah. "Nona kecil yang manis dan pandai ilmu pedang, sungguh mengagumkan sekali!"
"Cih! Keparat bermulut lancang!" Hwi Sian sudah menyerang dengan tusukan pedangnya, akan tetapi dengan gerakan ringan Ouw-siucai miringkan tubuhnya dan mendorong pundak dara itu sehingga terhuyung ke depan.
"Ihhhh... iblis keparat!"
"Sumoi, tunggu dulu!" Poa Sut It yang menyaksikan ketangkasan sastrawan itu, cepat mencegah sumoinya dan dia berkata kepada mereka, "Melihat pakaian dan sikap Ji-wi, agaknya Ji-wi bukan dari Pek-lian-kauw. Siapakah Ji-wi dan ada keperluan apakah dengan kami?"
"Ha-ha-ha-ha!" Kiang Ti tertawa bergelak. "Kalian adalah kaki tangan The Hoo seperti yang kami dengar dalam percakapan kalian dengan orang-orang Pek-lian-kauw tadi, dan karena itulah maka kalian harus kami bunuh, kecuali nona ini yang sudah lancang membunuh seorang anggota kami, maka dia harus menebus dosa di dalam tangan Ouw-siucai, ha-ha-ha!" Kun Liong merasa sebal mendengar ini dan kini dia mengerti mengapa Ketua Ui-hong-pang itu yang usianya lebih tua menyebut twako (kakak) kepada Ouw-siucai, agaknya untuk menghormat karena dia membutuhkan tenaga bantuan siucai cabul itu. Diam-diam dia ingin sekali keluar dan membuka kejahatan mereka, akan tetapi dia takut menjadi bahan ejekan Hwi Sian, juga dia ingin melihat apakah tiga orang itu sanggup menghadapi dua orang ini yang agaknya lebih lihai daripada kelima orang Pek-lian-kauw tadi, maka dia tetap bersembunyi sambil menonton penuh perhatian.
Poa Sut It dan kedua orang adik seperguruannya memandang kepada Kiang Ti dengan tajam, kemudian terdengar Hwi Sian membentak, "Kiranya engkau orang Uihong-pang, kaki tangan iblis betina Si Bayangan Hantu!"
"Bocah lancang mulut!" Kiang Ti membentak. "Engkau berani memaki guruku? Aku adalah Ketua Ui-hong-pang!" Berkata demikian, dia sudah menubruk maju untuk menyerang Hwi Sian.
"Eiiit, ingat, dia untukku, Kiang-pangcu (Ketua Kiang)!" Ouw-siucai berkata dan menghadang sehingga Ketua Ui-hongpang itu kini menggunakan kedua tangannya untuk menyerang Poa Sut It dan Tan Swi Bu. Dua orang ini melihat pukulan yang hebat dari tangan yang berubah menghitam, maklum bahwa pukulan yang ini tidak boleh dipandang ringan, mereka cepat mengelak kemudian memutar tubuh membalas dengan serangan pedang mereka dari kanan kiri. Kiang Ti terkejut sekali melihat berkelebatnya dua sinar pedang yang amat cepat itu, dari kiri menyambar ke arah lehernya sedangkan sinar pedang dari kanan menyambar ke arah kaki.
Tidak ada jalan lain baginya kecuali meloncat ke belakang dengan cepat, menjatuhkan diri bergulingan sampai beberapa meter jauhnya. Ketika dia meloncat lagi, tangan kanannya telah memegang senjatanya yang tadinya dililitkan di pinggang, yaitu sebatang rantai baja lemas yang ujungnya dipasangi bola baja. Mukanya agak pucat karena serangan kedua orang lawannya tadi benar-benar amat dahsyat.
"Hiaaaattt!" Ketua Ui-hong-pang ini mengeluarkan pekikan panjang dan dia sudah menerjang maju sambil memutar senjata rantai bajanya.
"Cring! Tranggg!!" Dua orang lawannya menangkis dengan pedang sehingga tampak bunga api berpijar ketika senjata rantai itu bertemu dengan pedang-pedang itu. Selanjutnya terjadilah pertandingan yang seru antara mereka, namun segera rantai baja terhimpit dan terdesak oleh kedua sinar pedang, membuat Kiang Ti terpaksa harus mengeluarkan seluruh tenaganya dan sebentar saja dia sudah mandi keringat.
Hati Kun Liong merasa lega ketika dia melihat keadaan kedua orang suheng dari Hwi Sian itu karena dia maklum bahwa keadaan mereka tidak perlu dikhawatirkan. Akan tetapi ketika dia melihat keadaan Hwi Sian sendiri, dia terkejut dan diam-diam dia mencari tempat pengintaian yang lebih dekat.
Biarpun ilmu pedang dara itu amat tangkas, namun ternyata dia bukanlah tandingan Ouw-siucai atau Ouw Ciang Houw yang amat lihai. Sambil tersenyum-senyum sastrawan cabul itu mempermainkan Hwi Sian, dengan tangan kosong menghadapi pedang dara remaja itu, mengelak ke sana ke mari sambil mengejek dan menggoda, "Aih, luput lagi, Nona manis! Kalau marah begini engkau bertambah cantik saja. Aihhh, tidak kena! Wah, kedua pipimu menjadi merah jambon, ingin aku menciumnya!" Ketika pedang menyambar ke dada, siucai itu membuat sedikit gerakan dan pedang itu telah dijepitnya di bawah lengan, kemudian ia mendekatkan mukanya hendak mencium pipi Hwi Sian sambil memperdengarkan suara menyedot.
"Biadab...!" Hwi Sian memaki dan menarik tubuh atasnya ke belakang sambil menendangkan kakinya ke arah perut lawan dan menarik pedangnya dengan sepenuh tenaganya.
"Wahhh, galaknya! Makin galak makin menyala!" Ouwsiucai melepaskan pedang yang dijepit lengan, kemudian menyambar kaki yang menendang. Nyaris kaki itu tertangkap, akan tetapi ternyata Hwi Sian cukup cerdik dan sebelum kakinya tertangkap pedangnya sudah membabat dari samping ke arah tangan yang hendak menangkap kakinya. Ketika lawan menarik tangannya, dia pun meloncat ke belakang dengan muka merah sekali, siap untuk bertanding mati-matian karena dia maklum bahwa lawannya benar-benar amat lihai.
"Ouw-twako... lekas robohkan dia dan bantulah aku..." Terdengar Kiang Ti berseru minta bantuan kepada temannya.
"Ha-ha-ha, baiklah, Kiang-pangcu. Nah, kau tidurlah dulu, Nona manis, nanti aku menemanimu!" Sambil berkata demikian, Ouw Ciang Houw menerjang dengan hebat sekali, menggunakan jari-jari tangannya untuk menotok dengan sasaran jalan-jalan darah di tubuh nona itu. Repot sekali Hwi Sian mengelak dan melindungi tubuh dengan pedang, namun dia terdesak hebat dan agaknya tidak lama lagi benar-benar dia harus tidur dulu oleh totokan!
"Ouw-siucai sastrawan keparat!" Tiba-tiba Kun Liong melompat keluar dari tempat sembunyinya dan langsung dia mengulur tangan hendak menangkap dan mendorong pundak Ouw Ciang Houw. Gerakannya bukanlah serangan ilmu silat, hanya sekedar untuk menyuruh siucai itu mundur dan tidak mendesak Hwi Sian.
Melihat munculnya seorang pemuda tanggung berkepala gundul, Ouw Ciang Houw mengira seorang hwesio muda, maka dia cepat mengelak. Akan tetapi tanpa disadari sendiri oleh Kun Liong, pemuda itu telah memiliki gerakan yang amat luar biasa, karena hatinya ingin memegang pundak dan mendorong, otomatis gerakannya pun mengandung unsur Ilmu Silat Pat-hong-sin-kun yang dapat memotong jalan delapan penjuru, maka pengelakan itu sia-sia, tahu-tahu pundak siucai itu dapat didorongnya sehingga tubuh Ouwsiucai terhuyung ke belakang!
"Ehhh...!" Ouw-siucai berseru kaget bukan main karena dia sendiri tidak tahu bagaimana elakannya sampai gagal, hanya dia merasa lega bahwa tenaga dorongan "hwesio" muda itu ternyata tidaklah begitu hebat. "Hwesio busuk dari mana berani berlancang tangan mencampuri urusanku?" Bentaknya sambil memandang dengan mata mendelik kepada Kun Liong.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar