Karena dia sudah mendengar akan keganasan dan kekejaman wanita iblis ini, Phoa Sek It yang sejak tadi sudah siap, begitu tangan wanita itu berada dekat sekali sehingga tidak mungkin menghindar lagi, secepat kilat dia menyabetkan golok besarnya ke arah lengan yang terulur itu!
"Siuuuuttt...!" Golok lenyap berubah menjadi sinar saking cepat gerakannya.
"Capppp!!" Mata Phoa Sek It terbelalak. Dia merasa seperti dalam mimpi dan tak percaya dia memandang, biarpun dia sudah melotot dan melihat jelas betapa jari tangan yang halus kecil dengan kuku meruncing terpelihara bagus itu "menjemput" goloknya tadi dan kini jari-jari tangan itu menangkap mata goloknya seperti lagak seorang dara jelita menangkap seekor kupu-kupu pada sayapnya! Dengan hati penuh rasa tidak percaya sehingga perasaan ini mengalahkan kegentarannya, Phoa Sek It mengerahkan tenaganya menarik untuk membetot lepas goloknya dari jepitan jari-jari tangan yang kecil mungil itu.
"Hemmm...!" Suara ini keluar sebagai ejekan dari tenggorokan wanita itu dan tiba-tiba terdengar suara "krekkkk!!" dan golok itu telah diremasnya patah-patah menjadi tiga potong!
Phoa Sek It menjadi bengong, kemudian dia bergidik, bulu tengkuknya berdiri dan dia mengeluarkan suara "...ihhhh..." penuh rasa gentar dan ngeri, kemudian membalikkan tubuhnya dan melarikan diri seperti seorang anak kecil takut melihat bayangan setan.
"Wuuuuttt...! Krekkk....!!" Tubuh Phoa Sek It yang gendut dan sedang melarikan diri itu tiba-tiba terhenti gerakannya, matanya mendelik karena tiba-tiba dia tidak dapat bernapas lagi lehernya tercekik.
Ketika dia meraba lehernya, temyata lehernya telah terlibat benda yang lemas sekali. Tiba-tiba ada tenaga raksasa yang menarik tubuhnya ke belakang, tidak dapat dilawannya dan akhirnya dia terbanting ke belakang, terjengkang ke depan kaki wanita itu. Ketika dia melihat, ternyata rambut wanita ini telah terurai lepas, panjang halus dan harum, dan rambut itulah yang tadi menangkapnya dengan membelit lehemya.
Tanpa menggunakan kaki tangan, hanya menggunakan rambutnya yang halus panjang itu saja, Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci telah berhasil merobohkannya! Seketika lenyap nyali Phoa Sek It dan dia merangkak, berlutut di depan kedua kaki yang kecil dan bersepatu baru itu.
"Ampunkan nyawa hamba..." Suaranya seperti orang merengek dan menangis.
"Crottt! Augghhh...!!" Phoa Sek It mendekam dan tubuhnya menggigil saking nyerinya. Pundaknya telah berlubang dan tulang pundaknya remuk ketika wanita ltu menggunakan jari telunjuknya menusuk pundak itu. Jari yang tadi meremas patah golok itu dengan mudah sekali menembus kulit daging, bahkan meremukkan tulang pundaknya!
"Katakan di mana bokor itu dan serahkan kepadaku!" Kembali Bu Leng Ci berkata, suaranya masih merdu dan kerling mata serta senyumnya masih genit, justeru itulah yang membuat dia amat menyeramkan.
Biarpun diancam maut akan tetapi tentu saja tidak mudah buat Phoa Sek It untuk melepaskan bokornya. Bertahun-tahun dia dengan susah payah mencari benda pusaka itu dan bahkan sampai saat ini pun kiranya belum dapat ia temukan kalau tidak kebetulan bocah gundul itu datang membawa pusaka itu. Mana mungkin sekarang diberikan begitu saja kepada wanita iblis ini?"
"Ham... hamba... tidak tahu..."
"Adduuuhhh... am... ampuuuunnnn...!" jerit yang keluar dari mulut Phoa Sek It mengerikan sekali, melengking atau melolong seperti serigala menangis dan rasa nyeri yang dideritanya membuat dia hampir tidak kuat bertahan. Wanita iblis itu dengan masih tersenyum sudah menggerakkan jari tangannya yang amat kuat dan sebelum Si Gendut tahu apa yang terjadi, tahu-tahu jari tangan itu dengan kukunya yang runcing telah mencubit dan merobek kulit kepalanya bagian pelipis, terus merobek ke atas sehingga kulit kepalanya dari pelipis ke atas, sepanjang sepuluh senti, terkupas dari kepala.
Bukan main hebat kenyerian yang dideritanya, sulit dilukiskan, perih dan panas, kiut-miut rasanya sampai ke jantung yang seperti ditusuk-tusuk, isi kepala seperti diremas-remas, seluruh tubuhnya menggigil.
Dengan sepasang mata terbelalak dan muka pucat sekali penuh kengerian Bi Kiok melihat siksaan ini. Sambil memegangi bajunya yang koyak-koyak menutupi tubuh bagian depan yang terbuka, gadis cilik itu melihat Phoa Sek It dan lenyaplah segala kebenciannya terhadap orang gendut itu.
Lupa lagi dia betapa Si Gendut itu telah membunuh kakeknya secara keji dan biadab, betapa semua pembantunya telah dibunuh pula, dan betapa tadi Phoa Sek It akan membunuhnya juga. Dia lupa akan semua itu, kebenciannya berubah menjadi perasaan tidak tega dan kasihan menyaksikan Si Gendut itu mengalami penyiksaan yang mengerikan itu.
"Paman Phoa Sek It, mengapa kau tidak mengaku? Engkau telah membunuh Kakek dan semua pembantumu, engkau telah menyembunyikan bokor itu. Katakan saja di mana!" Bi Kiok berkata.
Mendenga ini, Phoa Sek It terkejut dan dia masih sempat memandang ke arah Bi Kiok dengan mata mendelik penuh kemarahan, dan saking marahnya dia sampai lupa diri dan keadaan, memaki, "Anjing kecil, tutup mulutmu...!" Akan tetapi kembali dia meraung karena jari-jari tangan yang seperti ujung-ujung pisau runcing itu telah mencengkeram dadanya, menghunjam ke dalam kulit daging, akan tetapi gerakan itu tidak dilanjutkan dan terdengar suara wanita itu, "Di mana bokor itu?"
"Di... dalam perahu... di tepi sungai..." Kata-katanya disusul suaranya melengking, berkelojotan. Bi Kiok menutupi muka dengan kedua tangannya. Terlampau hebat dan mengerikan apa yang dia lihat dan saksikan itu. Wanita itu menggerakkan tangannya yang mencengkeram dan lima jari tangan berikut lengannya telah memasuki rongga dada Phoa Sek It, kemudian setelah tangan dicabut kembali, jari-jari tangan itu telah menggenggam sebuah benda merah yang berlepotan darah dan terus benda itu dimakannya! Itulah jantung yang masih hangat dan agak bergerak menggelepar yang dicabutnya dari dalam rongga dada Phoa Sek It. Dan beginilah satu di antara cara-cara Bu Leng Ci membunuh lawan. Tidak mengherankan apabila dia menjadi tokoh atau datuk ke lima dari dunia persilatan, dan dijuluki Mo-li (Iblis Betina) karena memang dia berhati keras dan ganas seperti iblis!
"Mari kita cari bokor itu." Bi Kiok yang merasa betapa pundaknya disentuh tangan halus dan mendengar suara yang merdu ramah, menurunkan kedua tangan dan memandang. Wanita itu kelihatan ramah dan cantik sekali, tersenyum kepadanya dan kedua tangan wanita itu bersih putih, entah ke mana perginya darah yang tadi membasahi tangannya.
Seperti dalam mimpi, Bi Kiok melangkah dan menurut saja diajak oleh wanita itu, digandeng tangannya. Wanita itu melangkahi mayat Phoa Sek It dan Bi Kiok terpaksa meloncatinya juga tanpa memandangnya.
"Di sini hanya ada empat buah perahu... eh, mengapa hanya ada tiga? Mana yang sebuah lagi?" Bi Kiok berkata ketika mereka tiba di tepi sungai.
"Mari kita mencari bokor itu," kata Bu Leng Ci. Mereka memeriksa tiga buah perahu, akan tetapi tentu saja mereka tidak dapat menemukan bokor yang telah terbawa ke dalam perahu yang dilarikan Kun Liong!
"Hemm, tentu berada di dalam perahu ke empat yang tidak ada lagi di s ini. Anak yang baik, siapakah di antara kalian yang tidak mati terbunuh oleh Phoa Sek It, kecuali engkau sendiri?" Bi Kiok menggeleng kepala dan mengerutkan alisnya, "Semua sudah mati, termasuk kakekku. Aku melihat sendiri semua berjumlah empat belas orang dengan kakekku, dibunuh Paman Phoa... eh, agaknya dia yang membawa perahu! Aihhh! Benar, aku sampai lupa! Tentu Liong-twako dan dia sudah selamat. Syukurlah! Dia berhasil menyelamatkan diri, membawa perahu dan..." Tiba-tiba Bi Kiok berhenti bicara dan memandang wanita itu dengan kaget.
"Dan bokor itu dibawanya pula?" Wanita itu mendesak.
"Aku tidak tahu..."
"Siapa itu Liong-twako?"
"Liong-twako adalah anak laki-laki yang telah menemukan bokor..."
"Ehh? Coba ceritakan yang jelas!" Bi Kiok lalu menuturkan bagaimana dia dan kakeknya secara kebetulan menolong Yap Kun Liong yang hanyut di sungai dan betapa tanpa disengaja Kun Liong telah menemukan bokor itu di dasar sungai. Semua dia tuturkan dengan jelas dan didengarkan oleh Bu Leng Ci dengan penuh perhatian.
"Demikianlah. Malam tadi dia masih bercakap-cakap dengan Kakek, kemudian aku tertidur dan entah ke mana perginya Liong-twako. Ketika aku terbangun tahu-tahu dia telah lenyap, Kakek terbunuh oleh Paman Phoa dan aku ditariknya keluar dari kamar." Iblis betina itu mengangguk-angguk. "Aku yakin sekarang.
Tentu Yap Kun Liong itu yang membawa bokor. Entah bagaimana dia dapat mengambilnya dari tangan Phoa Sek It, akan tetapi seorang bocah seaneh dia, yang telah menemukan bokor dan selama sehari hanyut di sungai yang banjir dalam keadaan selamat, bukan tidak mungkin dapat melakukan halhal yang luar biasa. Mari kita cari dia!"
"Aku... apakah aku... harus ikut?"
"Anak baik. Siapa namamu?"
"Namaku Yo Bi Kiok."
"Hemmm, nama yang manis seperti orangnya. Engkau hanya berdua dengan kakekmu, bukan? Sudah lama kulihat engkau bersama rombongan itu." Bi Kiok mengangguk. "Aku yatim, piatu."
"Bagus!"
"Mengapa bagus?" Bi Kiok memandang dengan penasaran.
Yatim piatu, tak berayah tak beribu sekarang kehilangaan kakek pula, dikatakan bagus!
"Jadi engkau sebatangkara, tiada sanak kadang, hidup seorang diri di dunia?" Bi Kiok masih memandang penasaran, akan tetapi dia mengangguk juga.
"Bagus!" Bi Kiok merenggut lepas tangannya yang digandeng wanita itu, kepalanya ditegakkan dan suaranya nyaring penuh keberanian ketika dia berkata, "Bibi, engkau sungguh kejam sekali, mengejek dan mempermainkan seorang anak-anak seperti aku! Aku memang yatim piatu, tiada sanak kadang, hidup seorang diri di dunia, akan tetapi tidak ada sangkut pautnya dengan Bibi. Tidak perlu Bibi mengejek dan mengatakan bagus!" Sepasang mata wanita cantik itu bersinar-sinar, kemudian dia mengangkat kedua tangan ke atas, dibentuk seperti sepasang cakar garuda, agaknya siap untuk mencengkeram kepala Bi Kiok. Gadis cilik itu menatap tajam, sedikit pun tidak takut!
"Hi-hik, engkau tidak takut? Kalau tanganku ini turun, kepalamu akan pecah-pecah!"
"Aku tidak takut! Aku tidak takut mati, tidak takut padamu!" Bi Kiok berkata lantang.
"Heh-heh-heh, bagus!" Wanita itu kembali memuji dan menurunkan kedua tangannya lagi.
"Lagi-lagi bagus! Apanya yang bagus!" Bi Kiok membentak, kini marah sekali, kedua tangannya dikepal seolah-olah dia hendak menyerang iblis betina itu!
"Tentu saja bagus, anak baik. Engkau hidup seorang diri di dunia, seperti aku! Tadinya kukira engkau penakut, tidak tahunya tadi engkau kelihatan takut karena dilanda duka dan ngeri, sebenarnya engkau seorang pemberani yang bernyali besar. Orang seperti engkau ini sungguh sudah pantas sekali menjadi muridku."
"Muridmu?"
"Ya, muridku, murid Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci, hal yang belum tentu terjadi di antara selaksa orang anak perempuan!" Bi Kiok seorang yang cerdik sekali. Biarpun usianya baru delapan tahun, akan tetapi dia maklum bahwa keadaannya yang sebatang kara itu akan sukar sekali, dari mana-mana akan muncul bahaya yang mengancamnya. Kini muncul wanita cantik ini, yang biarpun kejam seperti iblis akan tetapi memiliki ilmu kepandaian yang menakjubkan, sehingga orang seperti Phoa Sek It dibuat permainan, dan wanita ini mengambilnya sebagai murid. Serta-merta dia menjatuhkan diri berlutut dan berkata, "Teecu (murid) senang sekali menjadi murid Subo (Ibu Guru)!" Siang-tok Mo-li Bu Leng Ci tertawa gembira, menarik bangun muridnya, menggandeng tangan muridnya sambil meloncat ke atas sebuah di antara tiga perahu itu sambil berkata, "Mari kita kejar bocah she Yap itu!" Perahu Kun Liong sudah memasuki sungai Huang-ho.
Hatinya merasa tenteram karena telah lama dia berlayar, tidak ada yang tampak mengejarnya. Hari telah siang dan sinar matahari yang terik membuat seluruh tubuhnya berpeluh.
Akan tetapi dia tidak berhenti dan terus melayarkan perahunya. Pagi tadi ada empat orang ikut dengan perahunya dan untuk itu dia telah menerima sedikit uang dan makanan.
Perutnya tidak lapar lagi dan sewaktu-waktu dia dapat berhenti untuk membeli makanan.
Menjelang sore, tampak dua orang di tepi sungai yang memanggilnya. "Harap minggir! Kami hendak menumpang!" Demikian teriakan laki-laki itu. Yang seorang lagi, wanita masih muda, berdiri di dekat laki-laki itu.
Kun Liong meminggirkan perahunya. Lumayan, pikirnya.
Makin banyak penghasilannya makin baik karena melakukan perjalanan tanpa bekal sungguh berbahaya, kadang-kadang dia menderita kelaparan. Pula, melihat bahwa yang ingin menumpang perahunya adalah sepasang suami isteri, dia merasa kasihan. Hari amat panas dan membiarkan seorang wanita kepanasan menanti perahu, amat tidak patut.
"Bisakah engkau mengantar kami ke kota Liok-ek-tung?"
Perahumu hendak ke sana, bukan?" tanya laki-laki itu dengan ramah.
Kun Liong hanya mengangguk. Dia tidak tahu di mana itu Liok-ek-tung, akan tetapi karena laki-laki itu menudingkan telunjuknya ke depan, berarti arah yang mereka tuju sama karena dia pun tidak mempunyai tujuan tertentu, asal menurutkan ke mana air Sungai Huang-ho mengalir!
"Silakan, Ji-wi naik," kata Kun Liong tanpa banyak komentar. Laki-laki itu kelihatan galak, wajahnya biasa saja, mungkin pedang yang tergantung di punggung itulah yang membuat dia kelihatan galak. Akan tetapi isterinya, yang paling banyak berusia dua puluh tahun, sepuluh tahun lebih muda daripada suaminya, amat cantik dengan pakaian sederhana namun tidak menyembunyikan bentuk tubuhnya yang bagus. Si suami dengan sikap penuh kasih sayang membantu isterinya melangkah naik ke dalam perahu. Setelah isterinya naik dan duduk di bangku perahu, barulah dia sendiri naik sambil membawa buntalan besar yang agaknya bekal pakaian mereka. Setelah mereka duduk, Kun Liong menggerakkan dayungnya, hendak mendayung perahu ke tengah. Kini dia sudah mulai biasa mengemudikan perahu, setelah beberapa kali dia terpaksa menjadi tukang perahu, semenjak membantu para nelayan, sampai terpaksa melarikan perahu dua kali!
"Heeei, bung cilik gundul tukang perahu! Tunggu dulu aku mau ikut!" Tiba-tiba terdengar teriakan dan Kun Liong menghentikan dayungnya, menoleh dan melihat seorang lakilaki berpakaian sastrawan naik ke atas perahunya. Sekali pandang saja, dia merasa tidak suka kepada sastrawan muda itu, dan mungkin sekali rasa tidak suka ini timbul ketika mendengar sebutan "gundul". Pula, seorang sastrawan semestinya tahu aturan, tidak sekasar itu, apalagi kalau melihat bahwa di dalam perahu itu sudah ada seorang wanita yang menumpang. Dia melihat bahwa sastrawan itu lebih muda daripada orang yang membawa pedang. Usianya antara dua puluh lima dan tiga puluh tahun. Pakaiannya indah, dari kain halus, wajahnya tampan dengan kulit muka putih, sepasang matanya selalu bersinar-sinar. Akan tetapi mulut yang agak terlalu lebar dan selalu tersenyum itu menimbulkan rasa tidak suka di hati Kun Liong. Gerak senyum pada mulut lebar itu mengandung ejekan, bahkan kekejaman! Akan tetapi dia tidak peduli dan bertanya, "Tuan hendak ke mana?"
"Ke mana saja perahumu menuju, heh-heh!" Kun Liong tidak bertanya lagi, terus mendayung perahunya ke tengah dan memasang layar. Setelah perahunya meluncur, dia segera duduk memegang kemudi, mengambil sikap seolah-olah tidak memperhatikan tiga orang penumpangnya itu.
Si Sastrawan itu sudah menghadapi suami isteri yang duduk di atas papan, membungkuk dan mengangkat kedua tangan depan dada, akan tetapi matanya mengerling tajam ke arah dada membusung yang tertutup pakaian sederhana wanita itu. "Harap Ji-wi (Kalian Berdua) sudi memaafkan saya kalau kehadiran saya mengganggu Ji-wi." Wanita itu dengan muka merah dan malu-malu hanya menunduk membiarkan suaminya yang menjawab. Tidak biasa dia berhadapan dengan laki-laki asing, apalagi seorang lakilaki muda dan tampan menarik seperti sastrawan ini!
"Ahh, harap Kongcu jangan bersikap sungkan. Kita samasama hanya penumpang perahu ini. Kami suami isteri hendak pergi ke Liok-ek-tung, tidak tahu Kongcu hendak pergi ke manakah?" Laki-laki berpedang itu membalas penghormatan dan menjawab dengan suara ramah pula.
"Ah, saya hanya seorang pelancong, ke mana pun baik saja. Dan kalau perahu ini pergi ke Liok-ek-tung, ke sanalah saya pergi. Sungguh merupakan keuntungan dan kehormatan besar sekali bagi saya dapat bersama Ji-wi naik perahu.
Sungguh menyenangkan sekali!" Isteri itu mencuri pandang, mengangkat mata yang tadinya menunduk dan kebetulan siucai (sastrawan) itu pun mengerling ke arahnya sehingga dalam waktu satu dua detik, dua pasang mata itu bertemu pandang. Wanita itu makin merah mukanya dan cepat melempar pandang ke bawah lagi, memandangi lantai perahu kemudian ke luar perahu, seolaholah dia dia tertarik oleh bayangan ikan-ikan yang berenang di pinggir perahu, bibimya yang tipis merah itu tersenyumsenyum dikulum.
"Kami yang merasa terhormat sekali dapat melakukan perjalanan bersama Kongcu," Si Suami berkata lagi. "Silakan duduk, Kongcu."
"Terima kasih." Sastrawan itu mengambil tempat duduk di atas papan, berhadapan dengan suami isteri itu. "Congsu (Tuan) sungguh baik hati. Perkenalkan, saya Ouw Ciang Houw, tinggal di Nam-cu di selatan dan sekarang setelah selesai menempuh ujian dengan hasil baik, sebelum pulang, saya melancong dulu.
"Ahh, kiranya seorang siucai (sastrawan lulus ujian), harap maafkan kalau kami berlaku kurang hormat, Ouw-siucai.
Nama saya Gui Tiong, dan ini isteri saya. Kami tinggal di Liokek-tung dan di sana saya membuka perguruan silat." Ouwsiucai membelalakkan matanya, kelihatan terkejut. "Wah, kiranya saya berhadapan dengan seorang ahli silat yang lihai dan menjadi guru! Maaf, maafkan saya, Gui-kauwsu (Guru Silat Hui)."
"Aah, Ouw-siucai terlalu merendah. Saya hanya membuka perguruan silat kecil-kecilan saja karena kebisaanku pun tidak seberapa. Pula, kata orang, sekarang ini kepandalan bun (sastra) lebih berharga daripada bu (silat), dan gerakan sebatang pit (alat tulis) jauh lebih berbahaya daripada gerakan sebatang pedang!" Yang dimaksudkan dengan kata-kata ini adalah bahwa kepandaian menulis lebih berbahaya daripada pedang, karena dengan kepandaian menulis seorang dapat menjatuhkan fitnah yang lebih berbahaya daripada serangan pedang, pula kepandaian menulis dapat membawa orang kepada kedudukan yang lebih tinggi.
Ouw-siucai tertawa, sengaja dibuat-buat agar terdengar enak dan gagah, dan tentu saja ini dimaksudkan untuk mendatangkan kesan di hati wanita cantik yang duduk menunduk di depannya. "Ha-ha-ha, Gui-kauwsu bisa saja!
Akan tetapi, mungkin benar juga kata-kata itu. Saya sih tidak mempunyai kepandaian apa-apa kecuali sedikit coret-coret dan kesenanganku yang lain adalah bermain dadu dan minum arak"
"Wah, kesenangan itu cocok dengan kesenanganku.
Sayang tidak ada dadu dan kalau ada tentu kita berdua dapat melewatkan waktu dengan gembira sambil menanti sampainya perahu ini ke Liok-ek-tung..."
"Jangan khawatir, Gui-kauwsu. Saya selalu membawa bekal!" Seperti orang main sulap saja, siucai itu mengeluarkan seguci besar arak dan sebuah dadu dengan mangkoknya dari dalam saku jubahnya yang lebar. Melihat ini, guru silat itu tertawa bergelak dan dengan gembira mereka lalu bermain dadu. Mula-mula mereka bermain dengan taruhan minum arak, dan dalam hal ini, peruntungan mereka agaknya seimbang karena mereka yang menang menerima secawan arak hampir bergantian. Karena kemasukan arak, mereka berdua menjadi makin gembira dan seringkali terdengar suara mereka tertawa bergelak. Isteri guru silat itu hanya menonton dan kadang-kadang dia pun ikut tersenyum sehingga tampak deretan giginya yang putih dan kadang-kadang juga tampak ujung lidah kecil merah. Beberapa kali dia bertemu pandang dengan Si Siucai, tadinya secara tidak sengaja, akan tetapi lambat laun terjadi permainan mata di antara keduanya, sungguhpun nyonya muda itu bersikap malu-malu dan hal ini baru pertama kali dia lakukan selama hidupnya. Kesempatan memang merupakan penggoda yang amat kuat dan berbahaya. Kalau tidak ada kesempatan seperti ini, agaknya sampai mati pun nyonya muda itu tidak ada pikiran untuk bermain mata dan bertukar senyum dengan seorang laki-laki muda!
Arak telah habis, kegembiraan mereka berdua memuncak sehingga akhirnya, atas persetujuan berdua, mereka melanjutkan permainan dadu dengan taruhan uang ! Kun Liong yang mengemudikan perahu hanya menonton dari jauh, dari ujung perahu dan dia pun terbawa oleh kegembiraan mereka berdua itu. Akan tetapi setelah mereka berdua mempertaruhkan uang, dia mengerutkan alisnya dan diamdiam merasa tidak senang. Wajah kedua orang itu kini sungguh-sungguh dan tegang, tidak segembira tadi, dan bagaimana kalau seorang di antara mereka kalah dan kehabisan uang? Tentu tidak akan mampu membayar upah kepadanya!
Setelah kini permainan dadu disertai taruhan uang, agaknya bintang peruntungan siucai itu lebih terang dan dia lebih sering menarik uang guru silat itu sampai-sampai Si Guru Silat kehabisan uang dari saku bajunya dan mengambil bekal dari buntalan pakaian. Sementara itu, sore telah mendatang dan sungai mulai sunyi karena perahu-perahu telah kembali ke pelabuhan masing-masing. Hanya ada tampak beberapa buah perahu nelayan agak jauh.
Permainan dadu itu dilakukan dengan sederhana saja. Biji dadu yang hanya sebuah, yang mempunyai enam permukaan, diisi tulisan yang berarti jumlah satu sampai enam. Mereka mengocok biji dadu itu ke dalam mangkok, menutupi mangkok dengan telapak tangan, kemudian meletakkannya di atas lantai perahu dan membuka tangan yang menutup. Siapa yang mendapatkan angka sebanyak ketika mangkok dibuka, dialah yang menang.
"Wah, sudah cukup, Ouw-siucai. Uangku telah habis sama sekali. Engkau benar-benar sedang mujur!" Akhirnya guru silat itu berkata sambil menarik napas panjang.
Ouw Ciang Houw tersenyum lebar sambil melirik ke arah isteri guru silat itu yang kini tampak menunduk sambil mengerutkan alis. Biarpun mulutnya tidak mengatakan sesuatu, tentu saja isteri ini marah sekali melihat betapa bekal uang mereka dihabiskan ludas oleh suaminya untuk berjudi!
"Ah, Gui-kauwsu. Bermain dadu tidak hanya menggunakan uang saja sebagai taruhan. Masih banyak yang kaumiliki."
"Hemm, aku sudah kehabisan uang, tidak mempunyai apaapa lagi."
"Mari kita bertaruh satu kali lagi." Siucai itu berkata sambil mengeluarkan semua uang kemenangannya yang ia taruh ke dalam kantung uang itu ke atas lantai perahu. "Kalau menang, biarlah semua uangku ini untukmu."
"Ihhh! Mana mungkin aku bertaruh sebanyak itu, Ouwsiucai?"
Harap jangan engkau main-main!"
"Aku tidak main-main dan aku berjanji, kalau aku kalah satu kali ini, semua uang ini untukmu."
"Bagaimana kalau aku yang kalah?" Guru silat itu bertanya.
"Aku akan mengambil satu di antara milikmu."
"Wah, engkau aneh sekali. Milikku hanya pakaian dan... dan pedang ini, biarpun pedang baik namun harganya tidak sebanyak itu."
"Pendeknya, engkau berani atau tidak Gui-kauwsu? Engkau sudah kalah banyak dan aku hanya memberi kesempatan kepadamu untuk mendapatkan kembali uangmu." Merah wajah guru silat itu. Biarlah, biar dia kehabisan semua barangnya, sudah kepalang tanggung. Benar kata-kata siucai ini, dia sudah kalah terlalu banyak dan andaikata dia dalam pertaruhan terakhir ini sampai habis pakaian dan pedangnya, selisihnya tidak banyak dengan kekalahannya sekarang dan sampai di rumah tentu isterinya akan marahmarah.
Akan tetapi sebaliknya kalau dia menang, dia akan mendapatkan kembali semua uang kekalahannya! Biarlah kalau kalah tidak kepalang, dan siapa tahu kalau menang!
"Baiklah! Akan tetapi bukan aku yang mendesakmu, Ouwsiucai!" katanya sambil menyambar mangkuk dadu, memasukkan dadunya dan mengocok dengan keras.
"Plakk!" Mangkuk itu dia letakkan di atas papan dengan tangan masih menutupi mulut mangkok. "Diteruskankah pertaruhan terakhir ini, Ouw-siucai?" tanyanya lagi sebelum membuka tangannya.
Ouw Ciang Houw tersenyum dan mengangguk. "Tentu saja diteruskan."
"Dan ini merupakan permainan terakhir, kalau aku menang uang di kantung itu menjadi milikku dan..."
"Dan kalau aku yang menang, aku boleh mengambil satu di antara milikmu."
"Baik! Nah, kubuka, Ouw-siucai!" Tangan guru silat itu diangkat dan dadu di dalam mangkuk memperlihatkan angka lima!
"Ha-ha, engkau yang memaksaku, Ouw-siucai dan sekali ini agaknya engkau terpaksa harus mengembalikan semua uangku!" Angka lima merupakan angka kedua terbesar, dan dalam permainan dadu, angka ini merupakan angka yang amat baik dan harapan besar untuk menang. Satu-satunya lawan hanya angka terakhir, angka enam, sedangkan angka lima lawan hanya akan berarti sama kuat dan diulang. Angka satu sampai angka empat dari lawan berati dia menang, dengan demikian, harapannya untuk menang dengan kemungkinan kalah adalah empat lawan satu!
Ouw-siucai masih tersenyum tenang dan ketika melirik ke arah wanita itu, Si Wanita kelihatan berseri wajahnya, tanda girang hatinya melihat suaminya mendapatkan angka lima.
Melihat ini, senyum Ouw-siucai melebar dan dengan tenang dia mengambil mangkuk, mengocok mangkuk itu sambil berkata, "Memang angkamu itu baik sekali, Gui-kauwsu," dan meletakkan mangkuk di atas papan sambil menutup mulut mangkuk dengan tangan "Akan tetapi, yang menentukan adalah peruntungan, dan siapa tahu, bintangku masih terang.
Lihat, kubuka, Gui-kauwsu!" Siucai itu mengangkat tangannya dan Si Guru Silat mengeluh ketika melihat dadu itu memperlihatkan angka enam! Dia kalah lagi!
Dengan lemas guru silat itu menjatuhkan diri duduk di atas papan melirik kepada isterinya yang menunduk dengan muka merah. Dia menghela napas panjang lalu berkata, "Ouw-siucai, ternyata engkau mujur sekali. Nah, ambillah barangku, kau boleh pilih."
"Ha-ha-ha-ha, benar-benar hari mujur bagiku, Gui-kauwsu, aku memilih milikmu yang ini, bukan kuambil, hanya kupinjam untuk semalam saja!" Dengan berkata demikian, tangan Ouwsiucai memegang pundak isteri guru silat itu!
Mata guru silat itu terbelalak, mukanya menjadi pucat sekali, sedangkan wanita itu pun terkejut dan mukanya berubah merah padam. Tak dapat disangkalnya bahwa diamdiam dan menjadi rahasia pribadinya, dia tertarik kepada siucai yang tampan ini, dan agaknya dia akan mengenang wajah tampan itu dalam alam mimpi, menyambut senyum dan pandang mata itu sebagai cumbuan di alam mimpi. Sama sekali tidak disangkanya bahwa siucai itu akan secara terangterangan dan kurang ajar sekali minta dia sebagai taruhan untuk dipinjam semalam!
"Apa...? Srattt!" Guru silat itu telah mencabut pedangnya.
Tangannya bergemetar ketika ia memalangkan pedang di depan dada. "Hemmm... kau... kau...! Jahanam keparat!
Manusia rendah! Kalau tidak ingat engkau seorang kutu buku yang lemah, sudah kupenggal kepalamu! Hayo cepat engkau berlutut minta ampun kepada isteriku, kemudian meloncat keluar dari perahu!" Kun Liong merasa tegang sekali. Tidak disangkanya urusan menjadi begini dan dia pun merasa marah kepada siucai yang kurang ajar itu. Akan tetapi di samping kemarahannya, dia pun heran sekali dan mulai curiga melihat betapa siucai itu sama sekali tidak gentar menghadapi ancaman itu. Bahkan dia tersenyum, lalu benar-benar dia telah berlutut di depan wanita yang masih duduk itu akan tetapi bukan untuk minta ampun, melainkan tangannya memeluk dan dia terus menciumi!
Wanita itu terpekik dan berusaha melepaskan diri.
"Hemm, manis... jangan berpura-pura..." bisik siucai itu.
"Jahanam!" Gui Tiong menggerakkan pedangnya menusuk ke arah punggung siucai itu. Gerakannya cukup cepat dan mengandung tenaga dan agaknya menurut penglihatan Kun Liong, tentu punggung siucai itu akan tertembus pedang.
Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika tanpa menoleh, masih merangkul leher dan dengan paksa menciumi pipi dan bibir wanita itu, Si Siucai menggunakan sebelah tangan ke belakang, memukul pedang itu dengan telapak tangan dimiringkan dan... pedang itu terlempar, terlepas dari tangan Gui-kauwsu dan lenyap ke dalam air sungai!
Guru silat itu terkejut bukan main, akan tetapi hal ini menambah kemarahannya. Kini dia menggunakan kepalan tangan menghantam ke arah kepala Ouw-siucai. Tiba-tiba siucai itu melompat bangun, membalikkan tubuh dan dia mendahului dengan sodokan jari-jari tangannya ke arah pusar Gui-kauwsu.
"Hukkk...!!" Tubuh kauwsu itu terjengkang dan dia terengah-engah, sukar bernapas dan dalam keadaan setengah pingsan!
"Kau berani menyerangku, ya? Dasar sudah bosan hidup!" Siucai itu menyambar tali layar perahu dan menggunakan ujung tali mengikat leher guru silat itu dan menggantung tubuhnya ke atas! Guru silat itu siuman dan meronta, akan tetapi dua kali s iucai menotok pundak membuat kedua lengan guru silat itu kaku dan tak dapat bergerak dan tentu saja tali yang mengikat lehernya menjadi makin mencekik erat karena berat tubuhnya. Sebentar saja, mata orang yang digantung ini mendelik dan lidahnya keluar!
"Aughhh... jangan bunuh... jangan bunuh dia... lepaskan suamiku...!"
"Ha-ha-ha, bagus sekali dia, bukan? Seperti penakut burung di tengah sawah!" Si Siucai tertawa dan suara ketawanya seperti suara ketawa orang yang miring otaknya.
"Aihhh... ampunkan suamiku... jangan bunuh dia...!" Wanita itu meloncat dan hendak lari menghampiri bambu tiang layar, untuk menolong suaminya. Akan tetapi siucai itu mendorongnya sehingga dia jatuh telentang di atas papan.
"Jangan bunuh dia...! Tolonggg...! Ahhh... engkau menginginkan aku, bukan? Nah, ambillah..." Seperti orang gila wanita menanggalkan pakaiannya dengan cepat namun dengan jari-jari tangan gemetar. "Kau boleh memiliki tubuhku, akan tetapi... bebaskan dia... jangan bunuh suamiku... uhuhu-huuk...!" Wanita itu menjadi lemas dan menangis, tubuhnya setengah telanjang, rebah di atas papan.
"Ha-ha-ha, bagus! Engkau bertanggung jawab kalau begitu! Ha-ha-ha! Orang laknat! Engkau telah berani menyerangku, untuk itu sebetulnya kau harus mampus. Akan tetapi, isterimu cantik manis, dan biarlah engkau menyaksikan betapa isterimu melayaniku, ha-ha-ha!" Siucai gila itu lalu meloncat dan sekali renggut putuslah tali yang menggantung Gui-kauwsu. Tubuh guru silat itu jatuh ke atas lantai perahu.
Ketika ikatan lehernya dilepas, lehernya tampak ada guratan merah membiru, akan tetapi dia dapat bernapas lagi, terengah-engah dan kedua lengannya masih kaku tak dapat bergerak, tertotok.
Dengan mata terbelalak, dalam keadaan setengah sadar, Gui-kauwsu melihat betapa siucai itu menubruk isterinya di atas papan perahu. Ia melihat isteriya menggeliat dan mengeluh menangis perlahan seperti merintih.
"Manusia jahat yang gila! Lepaskan dia...!!" Kun Liong tak dapat menahan diri melihat perbuatan siucai itu dan dia sudah menubruk ke depan sambil menghantamkan tangannya ke arah kepala siucai itu.
"Desss...! Aduhhh...!!" Siucai itu yang tadinya tanpa menoleh menangkis pukulan Kun Liong, terkejut bukan main karena tangkisannya itu mengenai lengan yang mengandung kekuatan dahsyat dan yang mendatangkan nyeri bukan main pada lengannya, sampai terasa ke dalam dadanya. Hampir dia tidak percaya akan keanehan ini dan dia sudah melompat bangun, menghadapi Kun Liong.
"Eh, engkau bocah gundul, berani engkau menyerangku?"
"Manusia hina ! Aku mempertaruhkan nyawa untuk membasmi manusia macam engkau yang jahat dan gila ini!" Kun Liong berteriak lalu menyerang dengan kenekatan bulat.
Melihat gerakan Kun Liong, tahulah siucai itu bahwa anak gundul ini memang pandai ilmu silat, akan tetapi karena masih kanak-kanak, tentu saja dia memandang rendah gerakan Kun Liong. Hanya dia tahu bahwa secara luar biasa sekali, bocah ini telah memiliki tenaga sin-kang yang mujijat, maka dia tidak berani menangkis, melainkan miringkan tubuhnya dan secepat kilat dia memukul dari samping.
"Desss!!" Lambung Kun Liong terpukul dan tubuhnya terlempar keluar dari perahu.
"Byuuurrr!!" Air muncrat tinggi dan tubuhnya tenggelam, lenyap dari permukaan air. Siucai itu tertawa bergelak, sejenak memandang ke permukaan air. Setelah yakin bocah gundul itu tidak muncul lagi, Ouw Ciang Houw Si Siucai gila yang lihai itu sambil terkekeh-kekeh kembali kepada isteri guru silat yang masih menangis lirih.
Kebiadaban yang terjadi di perahu itu dilihat dan didengar oleh Gui Tiong, dan karena tubuhnya masih kaku tertotok, dia hanya dapat memejamkan mata, dan hanya pendengaran telinganya saja yang menyiksa hatinya karena dia diharuskan mendengar rintihan isterinya. Senja mendatang, cuaca menjadi gelap seolah-olah hendak menyelubungi peristiwa terkutuk itu agar tidak tampak oleh orang lain.
Kun Liong yang terlempar ke dalam air, cepat dapat menguasai dirinya. Dia berenang ke arah perahu, lalu berpegang pada dasar perahu di mana dia menyembunyikan bokor emas. Sebelum perahunya memasuki Huang-ho, dia sudah menyembunyikan bokor itu pada bawah perahu sehingga tidak tampak dari luar. Karena dia maklum bahwa bokor itu akan mendatangkan banyak malapetaka kalau terlihat orang, maka dia melakukan hal itu dan sekarang dia dapat berpegang pada tali pengikat bokor itu, tubuhnya tenggelam akan tetapi kepalanya timbul di atas permukaan air, di bawah tubuh perahu. Napasnya agak sesak dan dadanya teras nyeri sekali oleh pukulan tadi. Kalau tidak ada tali untuk berpegang, tentu dia akan tewas dan tenggelam karena dia tidak mempunyai tenaga lagi untuk naik ke perahu, apalagi berenang ke tepi sungai yang masih jauh dari situ.
Dari bawah perahu, dia tidak tahu apa yang terjadi di atas perahu dan untung bahwa dia terluka sehingga tidak dapat naik ke perahu, karena kalau hal ini terjadi dan dia menyaksikan apa yang terjadi di perahu, tentu dia akan mempertaruhkan nyawanya dan tentu dia akan tewas di tangan Ouw-siucai yang gila namun amat lihai itu.
Setelah malam tiba, perahu bergerak ke pinggir, di bawah perahu berombak tanda banyak ada yang mengemudikan perahu. Setelah dekat dengan tepi, perahu bergoyang dan terdengar suara dari tepi sungai, "Engkau hebat dan manis sekali, sayang! Selamat tinggal. Eh, terima kasih, Gui-kauwsu ha-ha-ha!" Tahulah Kun Liong bahwa siucai gila itu tadi meloncat ke darat dan telah pergi, jadi di atas perahu tinggal guru silat Gui dan isterinya. Kun Liong mengerahkan tenaganya, dengan susah payah berusaha naik ke perahu. Jari-jari tangannya berhasil menjangkau pinggiran perahu dan perlahan-lahan, payah sekali, dia menarik tubuhnya ke atas dan akhirnya dengan napas hampir putus dia berhasil naik ke perahu, tiba di ujung perahu dekat kemudi. Bulan purnama bersinar terang sehingga dia dapat melihat permukaan perahu itu dengan jelas.
Isteri guru silat itu dengan pakaian awut-awutan, hanya dipakai untuk menutupi tubuh belaka, kelihatan berlutut dan menangis dekat tubuh suaminya, memeluk tubuh itu dan menangis tanpa dapat mengeluarkan kata-kata yang bisa dimengerti. Agaknya sudah tiba saatnya Gui-kauwsu terbebas dari totokan. Jalan darahnya dapat mengalir kemball pulih seperti biasa dan sambil mengeluh dia bangkit duduk.
Dipandangnya sejenak isterinya yang berlutut dan menangis itu. Ketika tampak olehnya tubuh isterinya setengah telanjang, teringatlah dia dan tiba-tiba dia mendorong tubuh isterinya sehingga terjengkang dan pakaian isterinya terbuka lagi.
"Tidak perlu lagi kau pura-pura menangis! Apa pula yang ditangisi?" bentak Gui-kauwsu.
Wanita itu merangkak bangun, terbelalak dan terisak.
"Mengapa... mengapa... kau marah-marah kepadaku?"
Mengapa... kau marah kepadaku? Apa salahku...?" Dia menangis tersedu-sedu.
"Huh! Palsu! Air mata palsu! Perempuan rendah tak tahu malu! Kau menikmatinya, ya? Kalau engkau lebih suka tidur dengan bajingan itu, kenapa kau tadi tidak ikut saja dengan dia?" Wanita itu menjerit, "Apaaa...-!! Kau... kau... kau tega berkata demikian? Suamiku, aku... aku terpaksa melakukannya untuk menolong nyawamu!" Wanita itu kini menghentikan tangisnya dan memandang suaminya penuh rasa penasaran.
"Hemm, alasan kosong! Memang kau sudah tergila-gila kepadanya! Kaukira aku tuli? Kaukira aku tak tahu betapa engkau menikmatinya? Betapa engkau merasa puas dengan dia? Perempuan rendah pelacur dan hina...!!"
"Suamiku...!!" Wanita itu menubruk dan merangkul suaminya, akan tetapi kembali suaminya mendorong, bahkan menampar pipi isterinya dengen keras.
"Plakkk!! Jangan dekat aku! Jangan sentuh aku dengan tubuhmu yang ternoda, yang kotor dan hina! Kau pergi sana ikut dengan siucai gila yang menjadi kekasihmu itu!!" Wanita itu bangkit perlahan, tampak perubahan dalam sikapnya dan pandang matanya. Dia bangkit berdiri, tidak mempedulikan pakaiannya yang lebih banyak terbuka daripada tertutup itu, kemudian terdengar suaranya, masih bercampur isak tetapi bernada dingin, "Cihhh! Laki-laki tak tahu diri! Baik, dengarkan sekarang, buka telingamu lebar-lebar seperti tadi, buka matamu lebarlebar seperti ketika engkau menonton tadi! Aku menikmatinya, memang! Nah, habislah! Aku lebih puas dengan dia daripada dengan engkau! Sudah cukupkah? Masih kurang puas? Aku lebih suka ikut dengan dia kalau saja dia mau, daripada ikut dengan engkau manusia tak tahu diri, tak kenal budi. Cihhh!
Aku muak melihatmu, dan aku tidak sudi lagi berdekatan denganmu!" Tiba-tiba wanita itu meloncat keluar dari perahu.
"Byuuurrr...!" Air muncrat tinggi dan dengan mata terbelalak Kun Liong melihat betapa tubuh itu disambar air yang mengalir agak kuat di tempat itu, lalu tenggelam.
Tubuhnya terlalu lelah, dadanya sesak dan sakit-sakit sehingga dia merasa tidak kuasa menolong wanita itu. Dia mengharapkan Si Suami akan menolong isterinya maka dia menoleh kepada laki-laki yang berdiri bengong di pinggir perahu.
"Isteriku...! Di mana engkau...? Apa yang telah kaulakukan ini? Isteriku, maafkanlah aku... aku berdosa padamu, aku... aku cinta padamu...! Jangan tinggalkan aku...!" Dan Guikauwsu itu pun moloncat keluar dari perahu.
"Byuuur...!" Untuk kedua kalinya air sungai muncrat ke atas dan dengan mata terbelalak lebar Kun Liong melihat betapa guru silat itu gelagapan dan tenggelam. Ternyata guru silat itu, seperti juga isterinya, sama sekali tidak pandai renang!
Lupa akan keadaan dirinya sendiri, Kun Liong meloncat keluar dari perahu. Akan tetapi dia pun gelagapan karena arus air amat deras, dan tenaganya amat lemah. Pula, ketika dia mencari-cari dengan matanya, dia tidak dapat melihat lagi tubuh kedua orang itu. Terpaksa dia berenang kembali ke perahunya dan dengan amat susah payah, akhirnya dapat juga dia naik ke perahunya. Dia masih menggunakan sisa tenaganya untuk mendayung perahu, mencari-cari tubuh suami isteri itu, akan tetapi sama sekali tidak tampak.
Dalam keadaan setengah pingsan karena peristiwa hebat itu dan karena kehabisan tenaga ditambah luka oleh pukulan di lambungnya tadi, Kun Liong rebah di perahu, membiarkan perahu hanyut perlahan-lahan, akhimya dia tidak bergerakgerak lagi, setengah tidur setengah pingsan!
Anak ini mengalami ketegangan hati hebat ketika menyaksikan peristiwa di perahu tadi. Dia benar-benar tidak mengerti akan sikap orang-orang dewasa itu. Mengapa siucai itu melakukan perbuatan yang begitu hina? Dan mengapa isteri guru silat itu membiarkan dirinya diperkosa, bahkan menawarkan dirinya! Benarkah untuk menyelamatkan suaminya? Dan yang paling aneh baginya yang membuat dia bingung sekali, adalah sikap Gui-kauwsu sendiri. Tadi Guikauwsu membela isterinya mati-matian terhadap penghinaan Ouw-siucai, kemudian melihat isterinya diperkosa siucai itu, timbul kebenciannya sehingga dia menampar dan mengusir, memaki dan menghina isterinya. Setelah isterinya nekat membunuh diri dengan terjun ke sungai, dia yang tidak pandai berenang nekat pula terjun dan mengaku cinta! Mengapa orang-orang dewasa itu bersikap seperti itu? Dan isteri kauwsu itu benarkah lebih suka kepada Si Siucai? Ataukah hanya untuk membalas perlakuan suaminya? Apakah isteri itu pun mencinta suaminya? Dia benar-benar tidak mengerti dan dalam tidur setengah pingsan itu, wajah suami isteri dan siucai itu ganti berganti menganggunya, menjadi muka yang amat besar, tanpa tubuh, menakutkan sekali.
Cinta terlalu halus untuk dapat dimengerti pikiran manusia yang kasar, terlalu tinggi untuk dicapai pikiran yang rendah dan terlalu dalam untuk dijajaki pikiran yang dangkal. Pikiran yang berputar sekitar sayang diri, demi aku, untuk aku, tak mungkin dapat mengerti cinta yang bersih daripada kepentingan diri tanpa pamrih itu. Gui-kauwsu ingin menguasai isterinya lahir batin, memonopoli isterinya lahir batin dan menganggap hal ini sebagai perasaan cintanya terhadap isterinya. Keinginan menguasai dan memiliki lahir batin ini tentu saja menimbulkan iri jika melihat isterinya menoleh kepada orang lain dan menimbulkan cemburu, bahkan menimbulkan benci! Adakah iri itu cinta? Adakah cemburu itu cinta? Adakah benci itu cinta? Adakah cinta mendatangkan derita? Hanya pengejaran dan pemuasan nafsulah yang akan mendatangkan derita. Keinginan menguasai dan memiliki lahir batin terhadap sesuatu, benda maupun manusia, berarti mengundang datangnya derita sengsara, pertentangan dan penyesalan. Memang, berhasil menguasai dan memiliki sesuatu atau seseorang, dapat mendatangkan rasa puas, akan tetapi kepuasan nafsu keinginan ini hanya seperti angin lalu karena keinginan itu selalu didorong oleh pengejaran akan sesuatu yang lebih indah. Kalau sudah didapat, tentu akan lepas dari pengejaran dan perhatian, karena keinginan sudah mencari lagi ke depan untuk mendapatkan yang lebih indah lagi!
Pada keesokan harinya, setelah sinar matahari telah naik tinggi, Kun Liong bangun dari tidurnya. Dadanya masih terasa sakit sedikit, akan tetapi tenaganya sudah agak pulih. Melihat betapa perahunya berhenti, dia cepat melihat ke depan dan ternyata dia telah tiba di daerah yang berbatu-batu. Sungai menjadi lebar sekali, akan tetapi batu-batu itu menonjol ke permukaan air. Perahunya tertahan oleh sebaris batu dan untung saja terdampar di situ, tidak terbentur keras dan pecah.
Ketika dia berdiri di pinggir perahu, tiba-tiba dia membelalakkan mata melihat sesuatu tersangkut pada batu tak jauh dari situ. Tadinya dia mengira seekor ikan besar yang mati, akan tetapi setelah matanya terbiasa, dia hampir berteriak saking kagetnya. Yang dilihatnya itu adalah mayat isteri Gui-kauwsu! Hanya sebagian muka, rambutnya, dan perutnya yang tampak, perut yang mengembung besar sehingga kelihatan seperti perut ikan, putih bersih. Mayat yang telanjang bulat!
Kun Liong mengejap-ngejapkan matanya, ingin mengusir penglihatan itu. Ketika dia memandang ke kanan kiri, hampir dia terpekik lagi melihat sesosok mayat lain, juga terdampar dan tersangkut batu. Mayat Gui-kauwsu sendiri, mukanya tidak tampak akan tetapi dia dapat mengenal celana hitam baju putih dan sarung pedang di punggung mayat yang tertelungkup itu!
Kun Liong menghela napas panjang penuh kengerian.
Sudah dia duga bahwa tentu suami isteri itu akan tewas melihat betapa mereka tidak pandai renang dan arus sungai yang dalam itu amat derasnya. Perahunya tersangkut dan agaknya bocor. Seorang diri saja tak mungkin dia dapat mengambil dua jenazah itu untuk dikuburkan ke darat. Dia tidak dapat berbuat apa-apa, bahkan harus meninggalkan perahu yang tersangkut dan terjepit ini. Dia teringat akan bokor di bawah perahu. Sayang kalau dibiarkan begitu saja.
Bokor itu amat penting dan menjadi rebutan orang-orang di dunia kang-ouw. Kalau kelak dia bawa pulang dan dia serahkan ayahnya, siapa tahu bokor itu akan agak meredakan kemarahan ayahnya. Dengan hati-hati dia lalu turun ke air, mengumpulkan napas, menyelam dan meraba-raba. Bokor itu masih ada, terikat di bawah perahu. Dilepaskannya ikatan itu dan dibawanya bokor meninggalkan perahu, berenang dari batu ke batu, sampai akhimya dia tiba di darat yang berbatubatu.
Pandang matanya tertarik kepada sebuah batu besar di tepi sungai dan tak terasa dia meraba kepalanya. Batu itu besar dan halus, bentuknya seperti kepalanya! Dihampirinya batu itu dan diraba-rabanya. Benar-benar batu yang halus dan besar sekali, dikelilingi batu-batu yang tidak sebesar batu kepala itu.
Ketika dia meraba-raba ini, dia menemukan sebuah lubang terhimpit di antara batu-batu dan segera dia memasuki bokor ke dalam lubang ini. Lubang itu dalam sekali dan begitu bokor dimasukkan, benda itu meluncur dan hilang! Sama sekali tidak tampak dari luar dan betapapun Kun Liong merogoh ke dalam lubang, jari tangannya tidak dapat mencapainya. Hatinya menjadi girang. Benda itu tersimpan dengan aman dan hanya kalau batu berbentuk kepalanya itu didorong roboh, bokor itu dapat ditemukan. Akan tetapi siapakah orangnya yang akan mendorong batu besar itu? Pula, siapakah yang akan kuat mendorong batu sebesar itu? Agaknya akan membutuhkan tenaga sedikitnya belasan orang kuat!
Hatinya meniadi ringan. Benda itulah yang selama ini membuat hatinya berat dan setelah benda itu disimpan di tempat aman, dia dapat melanjutkan perjalanannya tanpa khawatir terlibat dalam perebutan bokor emas. Sejenak dia memandang ke sekeliling sampai dia yakin benar kelak akan dapat mengenali tempat ini. Mudah mengenalinya. Bentuk pegunungan di utara itu, pemandangan di seberang yang penuh pohon-pohon raksasa, sungai yang penuh batu batu menonjol dan belokan sungai di depan itu. Apalagi dengan adanya batu yang berbentuk kepala gundulnya ini, dia tidak akan dapat melupakan tempat ini, dan dia pasti kelak akan mengingat tempat persembunyian bokor emas!
Mulailah Kun Liong melanjutkan perjalanannya ke timur, menyusuri sepanjang pantai sungai. Di dalam kantungnya masih terdapat sisa-sisa uang upah perahu. Sayang bahwa tiga orang penumpangnya itu tidak membayarnya sepeser pun, bahkan yang dua orang sudah mati dan yang seorang lagi? Teringat akan siucai gila itu, meremang bulu tengkuknya.
Sungguh banyak berkeliaran orang berilmu tinggi dunia ini, namun mengapa setiap orang berilmu tinggi yang dijumpainya demikian jahat dan kejam? Pertama-tama Loan Khi Tosu, tosu Pek-lian-kauw yang membunuh orang tanpa berkedip mata.
Kemudlan Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok dengan puteranya, Ouwyang Bouw yang mengerikan dan yang ilmunya jauh lebih tinggi daripada tosu Pek-lian-kauw itu. Setelah itu Si Siucai gila yang menyeramkan! Dia harus berhati-hati. Ternyata perantauannya membawanya kepada bahaya yang beberapa kali nyaris merenggut nyawanya.
Kun Liong tersenyum seorang diri. Betapa ibunya akan terbelalak dan ayahnya akan menggeleng-geleng kepala kalau melihat dia seperti sekarang ini. Dia dapat membayangkan keheranan hati ayah bundanya itu. Kun Liong tertawa dan meraba kepalanya. Dapatkah ibunya menyembuhkan kepalanya sehingga dapat tumbuh rambut kembali? Aha!
Tentu ayah dan ibunya akan mengira dia sudah menjadi hwesio! Kenangan akan ayah bundanya dan akan lucunya kalau mereka melihat dia membuat Kun Liong merasa gembira dan dia berloncatan di atas batu-batu besar yang berserakan di tepi sungai. Tiba-tiba dia menyelinap dan bertiarap, bersembunyi di balik batu-batu besar ketika dia melihat tiga orang laki-laki muncul dari balik pohon-pohon di tepi sungai.
Yang seorang bertubuh tinggi besar seperti raksasa, mukanya licin tidak berambut dan sebatang pedang tergantung di punggungnya. Orang ke dua brewok dan kelihatan galak sekali, pakaiannya kasar seperti orang pertama, bahkan tidak berlengan, dan di pinggangnya tergantung ruyung berduri yang menyeramkan. Orang ke tiga masih muda, juga bajunya tidak berlengan dan punggungnya tergantung sebuah golok.
"Benarkah dia lewat di sini?" tanya Si Brewok kepada yang termuda.
"Benar, aku sudah mengikutinya sejak kemarin. Dia tertukar keledai dan membawa buntalan yang berat." kata yang muda.
"Seorang tosu mempunyai apa sih?" tanya Si Tinggi Besar.
"Aihhh, lupakan dulu urusan merampok!" Si Brewok menegur. "Kita sedang menanti datangnya utusan yang akan membawa uang tebusan."
"Masa seorang tosu?"
"Mungkin saja! Kalau bukan utusan, masa seorang tosu menunggang keledai s iang malam, bertukar keledai, menginap di hotel, dan membawa bungkusan besar?" kata yang muda.
"Nah, itu dia...!" sambungnya sambil menuding ketika dia menoleh ke belakang. Tiga orang itu dengan gerakan cepat sekali berlompatan sudah menyelinap dan sembunyi di belakang pohon-pohon.
Kun Liong juga mengintai dari balik batu-batu dan melihat seorang kakek tua menunggang seekor keledai perlahan-lahan menuju ke tempat itu. Di depan kakek itu, di punggung keledai, tampak buntalan besar dan berat, sedangkan di punggung kakek itu pun tergendong sebuah buntalan kain.
Jantung Kun Liong berdebar penuh ketegangan. Dia merasa kasihan kepada kakek itu, yang pakaiannya longgar seperti pakaian seorang tosu. Ingin dia berteriak memperingatkan, akan tetapi tiga orang tadi berada di antara dia dan tosu itu. Untuk lari menyambut juga tidak mungkin, tentu didahului mereka. Akan tetapi kakek yang dikhawatirkan itu mulai bemyanyi dengan suara lantang!
"Mengerti akan orang lain adalah bijaksana mengerti akan diri sendiri adalah waspada mengalahkan orang lain adalah kuat mengalahkan diri sendiri lebih gagah perkasa!
Kata-kata yang benar tidaklah manis kata-kata yang manis belum tentu benar yang baik tidak akan berbantah yang berbantah belum tentu baik!" Kun Liong mengenal sajak yang dinyanyikan itu. Yang pertama adalah ayat ke tiga puluh tiga dan yang ke dua ayat ke delapan puluh satu dari kitab To-tik-keng, diambil bagian depannya saja. Pada saat itu, tosu tua ini sudah tiba dekat dan tiba-tiba muncullah tiga orang tadi! Mereka langsung mengurung dan Si Brewok sudah mendekat dan memegang tali di hidung keledai.
"Siancai..., Sam-wi-sicu (Tiga Orang Gagah) siapakah dan mengapa menghentikan pinto (saya)?" Tosu itu bertanya setelah mengangkat sepasang alisnya tanda keheranan dan kekagetan.
"Tak perlu banyak cakap lagi, turunlah dan ikut dengan kami!" Si Brewok membentak.
"Siancai...! Pinto adalah seorang tua yang tidak mempunyai urusan apa-apa, yang hidup dengan tenang dan damai, tak pernah berbuat kesalahan kepada siapapun juga, apalagi kepada Sam-wi yang tidak pinto kenal..."
"Ha-ha-ha, kakek ini selain pandai menyanyi juga pandai berceloteh!" Si Tinggi Besar berkata sambil tertawa-tawa.
"Aihhhh..." Tosu itu menggeleng kepala. "Yang dicari belum ketemu, sekarang timbul kesulitan baru lagi!" Mendengar ini, Si Brewok girang dan cepat berkata, "Totiang tentu akan dapat bertemu dengan yang dicari asal membawa tebusan cukup. Dan marilah ikut dengan kami."
"Apa? Pinto tidak mengerti..." Si Brewok agaknya kehilangan kesabarannya. Dipegangnya lengan kanan kakek itu dan ditariknya, hendak dipaksa turun.
"Eh-eh-eh, mengapa ditarik-tarik? Engkau sungguh tidak menghormati orang yang sudah tua!" Kemarahan dan rasa penasaran di dalam hati Kun Liong tak dapat ditahan lagi dan dia sudah meloncat keluar dari balik batu, lari menghampiri dan berkata marah kepada tiga orang yang memandang kepadanya dengan terheran-heran itu.
"Sam-wi bertiga kelihatannya adalah orang-orang gagah yang berkepandaian tinggi! Akan tetapi siapa kira, ternyata sekarang Sam-wi mengganggu seorang kakek yang lemah dan tidak bersalah apa-apa. Apakah Sam-wi (Tuan Bertiga) tidak merasa malu?"
"Bocah gundul, kau muncul seperti setan. Siapa engkau?" bentak Si Brewok heran.
"Dia tentu mata-mata yang sejak tadi bersembunyi!" kata temannya yang muda.
"Ah, siapa lagi kalau bukan kaki tangan kakek ini?" kata yang tinggi besar.
"Tangkap saja mereka berdua!" Si Brewok membentak.
"Hayo kalian ikut bersama kami! Ataukah kami harus rnenggunakan senjata?" Dia sudah melepas ruyungnya dan mengancam kepada kakek itu. Juga Si Tinggi Besar telah melolos pedangnya ditodongkan ke dada Kun Liong, sedangkan orang yang termuda memegang kendali keledai dan menuntunnya.
Kakek itu hanya menggeleng-geleng kepala dan memandang Kun Liong sambil tersenyum. "Anak yang baik, mari kita ikut saja agar dapat melihat bagaimana kesudahan urusan aneh ini. Naiklah ke sini, anak baik, di belakangku." Kun Liong menggeleng kepala. "Keledai itu sudah terlalu tersiksa oleh muatan yang berat, aku berjalan kaki saja, Totiang."
"Hayo jalan, jangan banyak mengobrol" Si Tinggi Besar mendorong pundak Kun Liong dan pedangnya tetap ditodongkan di lambung anak itu. Hal ini membuat Kun Liong mendongkol sekali dan dia mendorong pedang itu ke samping sambil berkata, "Aku tidak bersalah apa-apa. Aku mau ikut sudah baik.
Perlu apa ditodong-todong?" Pedang itu terdorong miring dan Si Tinggi Besar kelihatan terkejut dan marah, sudah membuat gerakan hendak menyerang. Akan tetapi Si Brewok membentak dan melarangnya. Bergeraklah rombongan aneh ini menuju ke sebuah bukit yang tampak dari situ.
Kakek itu tertawa dan melorot turun dari atas punggung keledai, berjalan dekat Kun Liong. "Anak baik, engkau membuat pinto malu. Memang keledai itu sudah cukup menderita. Biarlah pinto jalan kaki saja." Kun Liong hanya tersenyum dan melangkah perlahan dengan kepala menunduk. Sungguh sial, pikirnya. Di manamana bertemu dengan orang-orang yang menggunakan kekerasan dan kekuasaan menekan orang lain! Di mana-mana dia bertemu dengan halangan, dan karena membela kakek tua yang lemah ini, dia ikut pula menjadi tawanan. Entah golongan apa tiga orang yang menangkap dia dan kakek itu, dan entah urusan apa yang membuat kakek itu ditangkap. Dia selalu terlibat dengan urusan lain yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan dia sendiri. Apakah selama ini dia terlalu lancang dan usil? Apakah selanjutnya dia harus diam saja melihat segala sesuatu yang terjadi pada lain orang dan yang tidak ada hubungannya dengan dirinya? Ah, tak mungkin. Mana bisa dia diam saja menyaksikan hal yang menimbulkan rasa penasaran? Melihat seorang kakek tua renta yang lemah ini diganggu tiga orang yang kelihatan gagah itu, bagaimana dia harus diam saja di tempat persembunyiannya!
"Tidak mungkin!" Kun Liong lupa diri dan kata-kata ini terlompat keluar dari mulutnya.
"Apa yang tidak mungkin?" Si Tinggi Besar membentak.
Orang termuda itu berjalan di depan menuntun kendali keledai, Kun Liong di sebelah kakek itu berjalan di tengah dan Si Brewok bersama Si Tinggi Besar paling belakang.
Ternyata perjalanan itu cukup jauh, keluar masuk hutan dan mendaki bukit yang bentuknya seperti sebuah mangkuk menelungkup. Ada tiga jam mereka berjalan dan akhimya, ketika mendaki sampai di lereng dan membelok melalui sebuah tebing, tampaklah tembok-tembok bangunan di dekat puncak. Bangunan-bangunan itu dikelilingi pagar tembok yang cukup tinggi dan di luar pagar tembok sudah tampak para penjaga dengan pakaian seragam kuning, bukan seragam tentara melainkan seragam perkumpulan silat. Setelah rombongan ini tiba dekat pintu gerbang pagar tembok, tampaklah oleh Kun Liong bahwa para penjaga itu merupakan pasukan-pasukan panah, tombak, dan golok. Mereka berlari berjajar dengan rapi dan hanya mata mereka yang bergerak memandang penuh perhatian ke arah kakek dan Kun Liong, tubuh mereka sama sekali tidak bergerak, tetap berdiri dalam keadaan siaga! Ketika dua orang tawanan ini dibawa masuk melalui pintu gerbang pagar tembok, tampaklah oleh Kun Liong pasukan-pasukan lain berderet-deret. Ada pasukan ruyung, pasukan pedang, dan kesemuanya berbaris rapi. Kini dia dapat menduga bahwa tiga orang yang menangkapnya itu tentulah merupakan tokoh-tokoh dari pasukan ruyung, yaitu Si Brewok, Si Tinggi Besar tentu dari pasukan pedang, dan yang termuda itu dari pasukan golok.
Kakek itu melangkah sambil menoleh ke kanan kiri, agaknya terheran-heran, dan akhirnya dia berkata perlahan, "Siancai... tempat apakah ini? Seperti benteng dan dijaga pasukan-pasukan. Apakah pinto menjadi tangkapan pasukan asing?"
"Jangan bicara ngawur, Totiang!" Si Brewok membentak.
"Engkau menjadi tamu dari Ui-hong-pang!"
"Heh? Ui-hong-pang (Perkumpulan Burung Hong Kuning)?"
Apa itu?" Kakek itu membuka matanya lebar-lebar, juga Kun Liong tidak mengenal nama perkumpulan ini. Akan tetapi dia makin curiga dan khawatir. Kalau dia dan kakek lemah itu terancam bahaya di tempat yang terjaga kuat ini, harapan untuk lolos sungguh tidak ada sama sekali!
"Kita ini mau diapakan, Totiang?" Kun Liong berbisik, akan tetapi suaranya sama sekali tidak mengandung ketakutan, hanya keheranan. Kakek itu menunduk dan memandang, kemudian bertanya, "Engkau takut, Nak?" Kun Liong menggeleng kepala kuat-kuat dan menjawab, "Aku tidak bersalah apa-apa terhadap siapa juga, mengapa takut?" Diam sejenak dan mereka melangkah terus memasuki sebuah bangunan yang terbesar.
"Kau... dari kuil mana?" Tiba-tiba tosu tua itu bertanya.
Kun Liong mengerutkan alisnya dan memandang kakek itu dengan hati penasaran. Dengan suara yang agak dingin dia menjawab, "Aku bukan seorang hwesio!"
"Sssstt, tidak boleh bicara lagi. Kita menghadap Pangcu!" bentak Si Brewok ketika mereka memasuki sebuah ruangan yang luas di tengah bangunan itu.
Juga di dalam bangunan itu terjaga oleh pasukan pengawal seragam. Setiap lorong dan pintu terjaga kuat dan setelah mereka menghampiri seorang laki-laki gagah yang duduk di atas sebuah kursi kuning, di situ terdapat beberapa orang yang tidak seragam pakaiannya, dan agaknya mereka ini adalah pembantu-pembantu dan pengawal-pengawal pribadi Si Ketua Perkumpulan itu.
Kun Liong memandang ke arah ketua penuh perhatian. Dia seorang laki-laki yang bertubuh tinggi besar, berwajah gagah, usianya tiga puluh tahun lebih dan pakaiannya serba kuning akan tetapi warna kuningnya lebih tua daripada warna kuning seragam anak buah pasukannya. Berbeda dengan sikap tiga orang anak buahnya yang menangkap kakek dan Kun Liong, ketua ini tersenyum ramah ketika menerima mereka.
"Duduklah, Totiang, dan engkau juga, saudara kecil!" katanya dengan suara lantang sambil menuding ke arah beberapa buah kursi kosong di depannya.
"Terima kasih," kakek itu menjura dan duduk, sedangkan Kun Liong tanpa berkata apa-apa juga mengambil tempat duduk di dekat kakek itu.
"Siapakah nama Totiang?" Ketua itu kembali bertanya dengan suara ramah.
"Eh, nama pinto...? Pinto tidak bernama, hanya disebut orang Bu Beng Tosu," jawab kakek itu.
"Sungguh tidak kami sangka mereka akan mengirim seorang tosu untuk menjadi utusan menyambut anak itu.
Apakah Totiang sudah membawa tebusannya?"
"Menyambut anak? Utusan? Tebusan? Apakah artinya ini?"
Sungguh pinto tidak mengerti."
"Agaknya Cuwi telah salah menangkap orang!" Kun Liong berkata, suaranya nyaring dan dia memandang ketua itu dengan sinar mata penuh ketabahan.
Ketua itu mengerutkan alisnya dan menoleh kepada Si Brewok, membentak, "Apa artinya ini? Siapa kakek dan bocah ini?" Si Brewok menjadi pucat. "Maaf, Pangcu. Sikapnya mencurigakan, dia ber uang dan melakukan perjalanan seorang diri lewat di tempat yang telah ditentukan, membawa buntalan-buntalan besar. Kami mengira dialah utusan itu."
"Bodoh! Lekas periksa buntalannya!"
"Sudah diperiksa, Pangcu!" Tiba-tiba Si Tinggi Besar yang baru saja masuk menjawab dan berdiri tegak seperti sikap seorang perajurit menghadap komandannya.
"Apa isi bungkusannya? Emas dan perak?"
"Bu... bukan... Pangcu..."
"Habis, apa isinya?"
"Batu-batu karang dan akar-akaran!"
"Plakkk!" Ketua itu menepuk ujung kursinya dengan marah.
"Sialan! Apa yang kalian lakukan?"
"Harap Pangcu maafkan. Kami telah salah menangkap, dan kami akan melakukan penjagaan lagi di sana. Akan tetapi... mereka... mereka itu...?"
"Pergi menjaga! Sekali lagi kalian keliru menangkap orang akan kuhajar! Biarkan mereka di sini. Pergi kalian bertiga!!" Si Brewok dan dua orang temannya pergi seperti anjing-anjing dibentak.
Ketua ini kini menoleh ke arah kakek itu dan bertanya, "Mengapa kebetulan sekali Totiang lewat di tempat ini dan untuk apa semua batu dan akar itu?"
"Aihhh, pinto adalah seorang yang hidup dari menjual bahan-bahan obat. Batu-batu itu dapat dipergunakan sebagai bubuk obat, dan itu adalah bahan campuran obat pembersih darah. Pinto sedang mencari telur kura-kura hitam yang kabarnya banyak terdapat di pantai Sungai Huang-ho, telur belum dapat malah pinto ditangkap."
"Hemmm... dan kau, bocah gundul? Apakah engkau murid tukang obat ini?" Kun Liong sudah mengetutkan alisnya, kelihatan marah sekali disebut gundul! Setelah kepalanya gundul pelontos, temyata sebutan gundul merupakan sebutan yang amat menyakitkan hatinya, karena mengingatkan dia akan keadaannya yang tidak menyenangkan itu. Akan tetapi sebelum dia melontarkan jawaban yang keras, tosu itu sudah mendahuluinya menjawab, "Benar, Pangcu. Dia adalah murid pinto yang keras hati dan bandel." Kun Liong menoleh dan memandang kakek itu, dan tibatiba dia sadar akan keadaan dirinya. Memang dia keras hati.
Kalau dia menuruti kemarahannya dan mengeluarkan katakata keras dan tidak enak terhadap ketua ini, bukan hanya dia seorang yang akan menderita hukuman, juga kakek yang tidak berdosa itu akan terbawa-bawa. Maka dia menahan kemarahannya dan menggigit bibir, tidak mengeluarkan suara.
"Kalian memang tidak bersalah dan anak buah kami kesalahan menangkap orang. Akan tetapi karena kalian sudah terlanjur masuk ke sini, sebelum urusan ini beres kalian akan kami tahan."
"Akan tetapi..." tosu itu membantah.
"Tidak ada tapi! Haii, pengawal! Antarkan mereka ini masuk ke kamar tahanan biar mereka berdua menemani anak perempuan itu!" Empat orang pengawal sudah maju dan menggunakan tombak mereka untuk mengiring tosu dan Kun Liong pergi dari situ, ke sebuah bangunan lain yang kokoh dan kuat dan akhirnya mereka didorong masuk ke dalam sebuah kamar empat meter persegi, kosong dan hanya ada beberapa helai tikar dan di dalamnya terdapat seorang anak perempuan yang usianya kurang lebih delapan tahun, bersikap tenang dan cantik, berpakaian indah seperti puteri bangsawan, akan tetapi yang amat mencolok adalah sikapnya yang penuh ketenangan itu. Dengan sepasang matanya yang lebar ia memandang Kun Liong dan tosu yang didorong masuk ke dalam kamar tahanannya, kemudian pintu kamar tahanan yang terbuat dari baja dan di atasnya terdapat ruji baja itu ditutup kembali dan dikunci dari luar. Dari lubang-lubang ruji tampak kepala para penjaga yang tertutup kain kuning, dan ujung-ujung tombak mereka.
Anak perempuan itu tetap di atas lantai, matanya memandang Kun Liong dan kakek itu bergantian, penuh perhatian.
"Engkau siapakah?" Kun Liong bertanya dan diam-diam dia mendapat kenyataan bahwa anak perempuan ini pandai duduk seperti cara orang bersamadhi, bersila dan punggungnya lurus tegak.
Anak perempuan itu menggerakkan kepala menoleh kepadanya, gerakan kepalanya begitu tiba-tiba sehingga rambutnya yang panjang dan dikuncir dua buah itu seperti dua ekor ular hiam bergerak.
"Engkau siapa? Dan kakek ini siapa? Mengapa kalian dijebloskan di sini?" Anak perempuan itu balas bertanya, suaranya mengandung keangkuhan dan kekerasan.
Seketika berkerut sepasang alis tebal Kun Liong. "Sombong engkau, ya?" katanya tak senang. Akan tetapi gadis cilik itu sama sekali tidak mempedulikannya dan kini membuang muka, memandang kepada Si Kakek Tua yang telah duduk di depannya dengan sikap tenang.
"Anak baik kulihat tulang pahamu yang kanan patah, akan tetapi sudah disambung, apakah sudah baik?" Anak perempuan itu melirik ke arah kaki kanannya yang sama sekali tidak kelihatan karena tertutup pakaiannya, juga tidak ada tanda-tanda bahwa dia menderita sakit.
"Totiang, engkau awas sekali!" serunya kagum.
"Pinto adalah seorang yang biasa mengobati tulang patah, tentu saja tahu. Coba kuperiksa sebentar!" Anak perempuan itu mengangguk dan kakek itu lalu meraba paha kanan anak itu, kemudian mengangguk-angguk.
"Sambungannya sudah benar, hanya obat penguatnya kurang manjur. Tulang kakimu sudah tersambung, akan tetapi engkau tidak boleh banyak bergerak dulu sedikitnya dua pekan engkau tidak boleh menggunakan kakimu secara kuat." Kemarahan Kun Liong atas kekasaran dan kesombongan anak perempuan itu lenyap sama sekali, terganti oleh rasa iba ketika mendapat kenyataan bahwa anak ltu menderita tulang paha patah. Sudah ditawan, menderita luka pula!
"Aihhh, siapakah yang begitu kejam mematahkan tulang kakimu?" tanyanya dan sekarang anak perempuan itu menjawab.
"Aku berusaha melawan. Aku sanggup menghajar tikustikus penculik itu seorang demi seorang kalau saja mereka tidak mengeroyok secara curang dan Si Brewok itu memukul patah pahaku dengan ruyungnya." Kun Liong mengepal tinju. "Sudah kusangka, Si Brewok, Si Tinggi Besar dan temannya itu bukan manusia baik-baik!"
"Siapakah engkau, Nona? Dan mengapa engkau diculik?" tosu itu bertanya dengan suara sungguh-sungguh. Mereka bertiga duduk di atas tikar yang tergelar di lantai.
"Aku Souw Li Hwa dan ayahku bernama Souw Bun Hok, tinggal di Lok-ek-tung. Ketika aku sedang bermain-main seorang diri dengan perahu di Sungai Huang-Ho, mereka menyergap dan menculik aku. Menurut keterangan mereka, aku ditahan sampai orang tuaku datang menebusku dengan seribu tail perak. Sudah dua pekan aku ditahan di sini." Kakek itu mengangguk-angguk. "Sungguh mengherankan sekali. Sepanjang pengetahuanku, Ui-hong-pang bukanlah kaum penculik anak-anak!" Ucapan ini dikeluarkan dengan lirih, akan tetapi Kun Liong yang mendengarnya menjadi heran karena kata-kata itu membuktikan bahwa tosu tua ini telah mengenal Ui-hong-pang! Mengapa ketika ditangkap pura-pura tidak mengenal perkumpulan itu?"
"Apakah ayahmu dapat menebusmu dengan uang sebanyak itu?" Kun Liong bertanya dengan hati penasaran. Kembali dia menghadapi perbuatan manusia yang jahat!
Gadis cilik yang bernama Souw Li Hwa itu menggeleng kepalanya. "Mana mungkin ayahku menebus dengan uang sebanyak itu? Ayah hanya bekas juru mudi saja yang sekarang sudah mengundurkan diri karena tua, dan selama bekerja, Ayah tidak pemah mengumpulkan uang haram!" Kun Liong kaget sekali dan kini mengertilah dia mengapa anak itu demikian angkuh, kiranya keturunan orang yang hebat. "Wah, ayahmu hebat!" Dia memuji.
"Memang, akan tetapi ayahku tidak akan dapat menolongku. Biarpun begitu, aku tidak khawatir. Aku percaya bahwa Suhu tentu akan membebaskan aku, dan kalau Suhu sampai turun tangan sendiri, tikus-tikus itu tentu akan dibasmi habis sampai ke akarnya!"
"Siapa sih gurumu?" tanya Kun Liong.
"Nama guruku tidak boleh disebut-sebut. Tikus-tikus itu yang melihat aku melakukan perlawanan, juga menanyakan nama Suhu, akan tetapi sampai mati aku tidak akan menyebut namanya. Ketua tikus-tikus Ui-hong-pang itu mengatakan sudah tahu siapa guruku, akan tetapi aku tidak percaya!" Tosu tua yang sejak tadi mendengarkan saja, lalu memegang tangan anak perempuan itu dan bertanya halus.
"Nona kecil, apakah suhumu she The?" Anak itu berteriak heran. "Bagaimana Totiang bisa menduga?"
"Benarkah?" Anak itu mengangguk.
Tosu itu menarik napas panjang. "Aihhh, pantas saja kalau begitu, engkau diculik bukan karena ayahmu melainkan karena suhumu."
"Bagaimana Totiang tahu? Apakah Totiang mengenal suhuku?" Kun Liong juga memandang kakek itu dengan penuh keheranan. Kakek itu kembali menarik napas panjang dan mengangguk perlahan. "Sungguh kebetulan sekali kejadian ini... siapa, kira aku akan bertemu dengan engkau. Tentu saja aku mengenal suhumu, Nona. Dan karena engkau murid Thetaiciangkun (Panglima Besar The), maka Ui-hong-pang menculikmu. Kalau pinto tidak salah dengar, pangcu dari perkumpulan ini adalah murid Kwi-eng Niocu (Nona Bayangan Hantu) Ang Hwi Nio, Majikan Telaga Siluman. Tentu pangcu itu membela gurunya yang menaruh dendam terhadap gurumu."
"Mengapa Totiang?"
"Ketika suhumu dahulu sebagai panglima besar mengadakan pembersihan, membasmi golongan sesat dan jahat, ayah Si Bayangan Hantu roboh dan tewas di tangan gurumu yang sakti. Tentu saja wanita iblis itu menaruh dendam, dan untuk membalas secara langsung kepada Thetaiciangkun adalah tidak mungkin, maka dia melalui muridnya membalas dendam dengan jalan menculikmu. Mungkin hal ini dilakukan untuk memancing agar gurumu datang ke sini."
"Tikus-tikus tak tahu diri!" Li Hwa berseru, "Kalau Suhu datang, mereka tentu akan mampus semua!" Tosu itu menarik napas panjaang dan menggeleng kepala.
"Mungkin begitu, akan tetapi juga belum tentu gurumu mengotorkan tangan menghadapi mereka ini. Setelah pinto secara kebetulan lewat di s ini, biarlah pinto yang mewakilinya.
Marilah, Nona, dan kau juga muridku, mari kita keluar dari sini."
"Ehhh...?" Kun Liong berseru heran.
Tosu itu mengira bahwa Kun Liong tidak suka menjadi muridnya, maka dia bertanya, "Apakah kau tidak mau menjadi muridku? Aku sudah terlanjur mengakuimu."
"Teecu suka, akan tetapi... bagaimana kita dapat keluar dari s ini, Suhu?" Tosu itu tertawa, kemudian mengelus kepala yang gundul itu. "Muridku yang baik sekali, siapa namamu?"
"Teecu bernama Yap Kun Liong..."
"Aihh, namanya serem, orangnya hanya bocah gundul!" Li Hwa mencela.
"Sombong kau, ya?" Kun Liong membentak.
"Husshhh, bukan saat ribut-ribut urusan tak berarti. Anakanak, mari kita keluar dari sini." Setelah berkata demikian, kakek itu melangkah ke pintu baja, tangan kanannya yang tertutup lengan baju yang lebar itu mendorong ke depan.
"Braaakkkk...!!" Pintu baja itu terdorong roboh ke luar dan terbukalah lubang besar di dinding bekas pintu itu.
Seorang penjaga berseru kaget, menerjang masuk dengan goloknya. Akan tetapi, dengan gerakan seperti seekor burung walet, Li Hwa mencelat ke depan, tangan kirinya menahan lengan yang bergolok, tangan kanan meninju perut. Penjaga itu berteriak dan roboh terguling. Melihat ini, Kun Liong kagum bukan main. Anak perempuan itu benar-benar tidak membual ketika bercerita tadi, ternyata biarpun kaki kanannya masih sakit, dalam segebrakan saja mampu merobohkan seorang penjaga!
"Eh, jangan banyak bergerak, nanti kakimu patah lagi, Nona!" Tosu tua itu berkata dan tahu-tahu Li Hwa sudah melayang naik ketika tangan gadis itu dipegang dan ditarik oleh Si Tosu dan Li Hwa kini sudah duduk di atas punggung kakek itu! Kun Liong tidak mau kalah melihat ada penjaga ke dua datang menyerbu, dia meloncat ke atas, kedua kakinya meluncur ke depah.
"Haaaiiittt! Dessss...!!" kedua kaki yang kecil itu dengan tepat mengenai muka dan dada penjaga tadi yang terjengkang ke belakang dan roboh bergulingan tak dapat bangkit kembali karena kedua matanya tak dapat dibuka, kena hantam sepatu Kun Liong dan napasnya juga sesak!
Kun Liong sendiri yang melakukan gerakan meloncat lalu menendang, terpental dan menumbuk dinding, akan tetapi dia dapat berjungkir balik dan berdiri dengan terhuyung.
Dilihatnya seorang penjaga datang lagi dengan pedang diangkat tinggi-tinggi handak menyerang tosu yang menggendong Li Hwa dan yang bersikap tenang sambil memandang kepada Kun Liong dengan senyum geli, Kun Liong cepat berlari ke depan menyambut penjaga itu dengan serudukan kepalanya.
"Hyaaahhhh! Ngekkkk!!" Penjaga itu terjengkang, terbatukbatuk, dadanya sesak perutnya mulas, dan Kun Liong melompat ke belakang, terhuyung karena kepalanya berdenyut dan pandang matanya berkunang!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar