3 Pedang Kilat Membasmi Iblis

1 2 3 4 5 6 7 8 9

Si muka hitam dan empat orang anak buahnya, yang tadi melakukan perampokan, tersenyum masam. Bagaimanapun juga, mereka merasa agak malu untuk mengeroyok seorang pemuda biasa reperti itu, apalagi pemuda itu tidak memegang senjata, kalau saja tongkat butut yang terselip di pinggangnya itu dapat dikatakan senjata! Mereka adalah orang-orang yang perkasa, bagaimana tidak akan malu dan merasa rendah mengeroyoknya? Akan tetapi agaknya mereka adalah orang-orang yang mentaati perintah si botak, maka mereka lalu melangkah maju dan menghadapi Bun Houw. Cara mereka menghadapi Bun Houw. semua di depannya dan tidak mengepungnya, ini saja sudah membuktikan bahwa mereka memandang rendah pemuda itu dan merasa malu untuk mengepung dari belakang. Hal ini diketahui oleh Bun Houw, namun dia tidak perduli, kini dia tahu bahwa pemimpin gerombolan ini adalah si botak tinggi kurus itu. Dan agaknya kalau lima orang ini hanya mengandalkan kekerasan-kekerasan otot mereka, pemimpin mereka itu juga mengandalkan otak.

"BOCAH gila, apakah engkau masih hendak meneruskan kehendakmu, merampas kembali uang itu?" tanya si muka hitam sambil menunjuk kantung uang yang kini dipegang oleh si botak.

"Tentu saja! Serahkan kembali uang itu dan aku tidak akan mengganggu kalian." kata Bun Houw dengan sikap tenang.

"Haiiiitt, mampuslah kau!" bentak seorang di antara lima perampok itu dan diapun sudah menyerang dengan tonjokan yang kuat ke arah muka Bun Houw. Dengan gaya petinju, agaknya dia ingin memukul roboh Bun Houw dengan sekali tonjok. Dan memang dia bertenaga kuat sehingga orang biasa sekali terkena tonjokan ini pada dagunya, pasti akan roboh dan pingsan atau setidaknya gegar otak!

Namun, pukulan itu mengenai angin kosong belaka dan sebelum dia sempat menarik kembali kepalannya, lengan kanan itu tiba-tiba lumpuh disentuh jari telunjuk kiri Bun Houw dan tahu-tahu tubuhnya terjengkang oleh sebuah tendangan kaki kanan pemuda perkasa itu.

Melihat betapa segebrakan saja penyerang itu terjengkang, barulah empat orang perampok lain terkejut dan marah. Mereka berempat segera menerjang maju, bahkan orang yang tadi terkena tendangan, untuk menebus malunya, melupakan perutnya yang mulas menendang, bangkit lagi dan ikut mengeroyok! Akan tetapi, semua anggauta gerombolan itu tercengang-cengang ketika belum ada sepuluh jurus, biarpun nampaknya lima orang perampok itu menghujankan pukulan dan tendangan, akan tetapi buktinya, lima orang itulah yang terpelanting ke kanan kiri seorang demi seorang. Melihat ini, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dengan suara tinggi dan si botak tinggi kurus itu sudah menyerang Bun Houw dan memang dia memiliki ketangkasan yang lain dibandingkan anak buahnya. Dia memiliki tenaga sinksng sehingga ketika menerjang, selain gerakannya cepat bagaikan seekor burung menyambar. Juga pukulannya mendatangkan angin pukulan yang cukup kuat.

Namun, bagi Bun Houw, si botak ini bukan apa-apa. Diapun menangkap tangan yang memukulnya dan sekali dorong, si botak itupun tak mampu menahan lagi dan terjengkang. Kasihan dia, karena kurus maka pinggulnya tidak berdaging sehingga ketika terbanting, pantat tanpa daging itu menghantam tanah dan rasanya seperti retak-retak tulang belakangnya. Dia meringis dan memberi aba-aba, "Bunuh dia! Dia! berbahaya bagi kita!"

Anak buahnya, termasuk lima orang perampok tadi, kini mengepung dan mengeroyok dengan senjata tajam di tangan! Melihat ini, Bun Houw memegang tongkat bututnya dan sekali tangan kanannya bergerak, nampak sinar berkilat. Pedang Lui-kong-kiam telah tercabut dari sarung yang berbentuk tongkat butut itu dan begitu pedang itu digerakkan, nampak gulungen sinar berkilauan yang membuat semua pengetoyok terkejut. Segera disusul suara berkerontangan di sana-sini. Ke manapun sinar kilat itu menyambar, tentu terdengar suara berkerontangan dan dalam waktu beberapa menit saja, dua puluh orang itu, termasuk si botak yang tadi mencabut pedang, menjadi terlongong memandang tangan kanan mereka yang kini hanya tinggal memegang gagang senjata berikut sedikit sisa potongan senjaia mereka. Dua puluh batang senjata tajam telah terbabat buntung semua oleh Pedang Kilat!

Pada saat itu terdengar bentakan nyaring, "Kalian semua mundur !" Dua puluh orang itu terkejut dan nampak gentar, lalu dengan sikap hormat mereka mundur. Bentakan itu amat berwibawa dan menggeledek, mengejutkan Bun Houw karena pemilik suara seperti itu tentulah seorang yang besar pengaruhnya dan sudah biasa ditaati. Dia cepat menoleh ke kiri dan sinar matanya mengandung keheranan ketika melihat munculnya dua orang. Seorang pria berusia lima puluh lima tahun, tinggi besar gagah sekali yang agaknya pemilik suara tadi, dan seorang membuat Bun Houw tercengang yaitu pemuda yang tadi ditemuinya di dalam rumah makan. Pemuda yang duduk semeja dengan dia!

Pemuda itu tersenyum kepadanya, senyum manis yang ramah dan pandang matanya kagum. "Aih sejak pertama kali sudah kuduga bahwa engkau bukan seorang pemuda biasa, sobat! Ternyata engkau hebat, pedangmu bergerak seperti kilat saja! Engkau patut kalau kunamakan Si Pedang Kilat!"

Bun Houw diam-diam kagum dan terkejut. Ini tentu bukan pemuda sembarangan pula. Dia sudah menyimpan kembali pedangnya, dan dari sinarnya saja pemuda itu sudah dapat memberi nama yang amat tepat. Memang pedangnya adalah Lui-kong-kiam (Pedang Kilat)! Akan tetapi Bun Houw mengerutkan alisnya. Pemuda yang ramah dan tampan ini tentu ada hubungan dengan gerombolan perampok ini! Tentu tadi hanya berpura-pura saja menyerahkan uangnya di rumah makan.

"Akan tetapi aku merasa heran melihatmu, sobat," kata Bun Houw dengan sinar mata penuh selidik. "Engkau sendiri apa hubunganmu dengan gerombolan perampok ini? Engkau tadi hanya berpura pura?"

Pemuda itu tersenyum, "Ha, apa bedanya denganmu, sobat? Engkau tadipun berpura-pura, menyerahkan uangmu kepada mereka. Kiranya engkau membayangi mereka dan menghajar mereka di sini. Akan tetapi sebelum kita bicara, aku ingin melihat kemampuanmu lebih jauh. Paman Pouw, coba kau tandingi Si Pedang Kilat ini!"

"Baik, kongcu (tuan muda)," kata pria tua gagah perkasa itu dengan sikap yang menghormat sekali. Kemudian, dia melangkah maju berhadapan dengan Bun Houw.

"Orang muda, kita bukan musuh. Kami menghargai orang-orang gagah, dan mentaati perintah kongcu, aku ingin mengenal ilmu silatmu. Nah, bersiaplah!"

Bun Houw senang dengan sikap yang tegas dan jujur dari orang gagah ini. Diapun ingin tahu sampai di mana kepandaiannya, dan pemuda aneh yang begitu ditaati dan disebut tuan muda itu telah mengatakan bahwa nanti saja mereka bicara setelah mengenal kepandandaiannya. Baik, dia akan memperlihatkan kepandaiannya. "Silakan, aku sudah siap," katanya. Ketika dia melihat betapa orang gagah itu memasang kuda-kuda dengan gaya aliran Siauw-lim-pai, Bun Houw semakin penasaran, Bilamana ada murid siauw-lim-pai yang menjadi pimpinan perampok? Ayah kandungnya sendiri, mendiang Kwa Tin, dikenal sebagai seorang pendekar Siauw-lim-pai dan dia sendiripun sejak kecil dilatih ayahnya dengan ilmu silat aliran Siauw-lim-pai. Karena penasaran, maka diapun sengaja memasang kuda-kuda Siauw-lim-pai untuk mengimbangi lawan.

Melihat pemuda itu memasang kuda-kuda Siauw-lim-pai, orang gagah itu mengeluarkan suara tertahan dan pandang matanya terbelalak, "Murid Siauw lim pai?" tanyanya heran.

"Murid Siauw-lim-pai aseli karena selalu menentang kejahatan!" kata Bun Houw menyindir.

"Ah, engkau belum mengerti. Mari kita mengadu kepandaian dulu baru nanti engkau bicara dengan Kongcu." kata orang itu. "Lihat serangan!" dan diapun mulai menyerap dengan ilmu silat Siauw-lim-pai yang amat kuat. Melihat gerakannya, tahulah Bun Houw bahwa lawannya menggunakan ilmu Lo-han kun (Silat Kakek Gagah), satu di antara llmu-ilmu Siauw-lim-pai. Diapun pernah mempelajari ilmu ini, maka diapun mempergunakannya untuk melawan. Karena keduanya menggunakan ilmu yang sama, maka mereka kelihatan seperti dua orang murid Siauw-lim-pai yang sedang melatih Lo-han-kun!

"Akan tetapi, Bun Houw segera menyadari bahwa dalam hal ilmu silat Siauw-lim-pai, dia masih kalah jauh dibandingkan lawan. Bahkan mungkin ayahnya sendiri tidak akan mampu menandingi tingkat lawan ini! Kalau dia bertahan dengan jurus-jurus Lo-han-kun, dia tentu akan kalah, maka diapun mengubah gerakannya dan kini dia memainkan ilmu it-sin-ci (Satu Jari Sakti), ilmu yaitu ilmu silat yang menggunakan totokan satu jari untuk menyerang, ilmu yang dipelajarinya dari Tiauw Sun Ong!

"Plak-plakkk" Dua kali totokannya ditangkis lawan, akan tetapi karena Bun Houw menggunakan tenaga Im-yang Bu-tek Cin-keng, orang gagah itu tak dapat menahan dirinya dan terhuyung ke belakang.

"Ahhh, bukankah itu it-sin-ci ...?" Orang itu berseru kaget dan Bun Houw semakin kagum. Lawannya ini benar-benar bermata tajam, dapat mengenal ilmu yang dipelajarinya dari gurunya. Diapun ingin memperlihatkan kepandaiannya, maklum bahwa lawan memang lihai sekali sehingga tadi mampu mengimbangi it-sin-ci, walaupun agak terhuyung.

"Coba lihat yang ini, apakah engkau juga mengenalnya?" Dan kini Bun Houw memainkan jurus-jurus rahasia dan aneh dari Im-yang Bu-tek Cin-keng. Lawannya mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian untuk melawan ilmu aneh itu. Mereka nampak saling pukul, saling elak dan tangkis, akan tetapi belum sampai sepuluh jurus, orang tua yang gagah perkasa itu terdorong ke belakang, mencoba untuk menahan diri, akan tetapi tetap saja dia terpelanting roboh! Dia cepat meloncat bangun dengan muka merah dan mata terbelalak.

"Bukan main! Ilmu apakah itu tadi? Tenagamu amat dahsyat! Belum pernah selama hidupku melihat tenaga yang sedemikian dahsyatnya! Engkau hebat, orang muda, aku mengaku kalah."

Terdengar tepuk tangan. Pemuda itu yang bertepuk tangan, wajahnya berseri dan senyumnya cerah, dia nampak girang sekali. "Sobat, engkau memang hebat, jauh di luar persangkaanku semula. Engkau dapat mengalahkan Paman Pouw. Bukan main! Mari, sobat, mari kita bicara, jangan di sini, tidak leluasa. Mari ikut ke tempat kami."

Bun Houw memang ingin sekali mengetahui siapa pemuda itu dan mengapa mempunyai anak buah yang melakukan perampokan di rumah makan itu, dan siapa pula ahli silat Siauw-lim-pai yang tangguh itu. Maka, diapun mengangguk dan tidak menolak ketika seorang anak buah, atas isarat pemuda itu, menuntun tiga ekor kuda untuk mereka bertiga. Bun Houw segera meloncat ke punggung kuda dan mengikuti pemuda itu dan orang she Pouw yang baru saja mengadu kepandaian dengannya. Dua puluh orang anak buah itu ternyata mengikuti mereka.

Setelah memasuki hutan dan mendaki sebuah bukit kecil, akhirnya mereka bertiga tiba di pekarangan sebuah rumah terpencil. Rumah itu sederhana saja bentuknya, akan tetapi cukup besar dan pekarangannya juga luas. Nampak beberapa orang laki-laki berpakaian pelayan menyambut tiga orang itu. Mereka memberi hormat kepada pemuda itu dan menuntun tiga ekor kuda.

"Ini rumah kami. mari silakan masuk, sobat dan kita bicara."

Bun Houw mengikuti pemuda itu dan si tinggi besar she Pouw itu mengikuti di belakangnya. Mereka memasuki rumah dan setelah masuk, baru Bun Houw mendapat kenyataan bahwa rumah yang dari luar nampak bercahaya itu, di sebelah dalamnya penuh dengan perabot yang mewah sekali! Dan begitu memasuki ruangan depan, nampak lima orang wanita muda yang usianya antara delapan belas sampai dua puluh tahun, kelimanya cantik jelita dan manis, keluar menyongsong pemuda itu dengan sikap mereka yang manja namun penuh hormat. Akan tetapi, kegembiraan mereka itu berubah menjadi sikap yang alim dan pendiam ketika mereka melihat bahwa pemuda itu datang bersama seorang pemuda lain yang asing bagi mereka. Pemuda itu tersenyum dan memberi isarat-kepada mereka berlima untuk masuk ke dalam dan memesan agar dipersiapkan hidangan makan siang untuk dia dan tamunya. Sambil tersenyum dan memberi hormat ke arah Bun Houw dengan malu-malu, lima orang itu berlari memasuki rumah bagian dalam, dan pemuda itu mempersilakan Bun Houw untuk masuk ke dalam ruangan tamu yang berada di bagian kiri.

Mereka bertiga duduk di ruangan tamu yang luas dan selain kursi-kursinya indah dan enak diduduki, juga ruangan itu bersih dan dindingnya digantungi tulisan-tulisan dengan huruf indah dan beberapa buah lukisan alam. Jendela-jendelanya terbuka ke taman sehingga hawa di dalam ruangan itu sejuk dan nyaman sekali.

"Nah, sekarang kita berkenalan, sobat. Namaku Siauw Tek, dan ini adalah Paman Pouw, pembantuku yang setia, juga pelindungku yang gagah perkasa. Seperti yang telah dikatakannya tadi, kami suka sekali berkenalan dan bersahabat dengan orang-orang gagah di dunia, maka pertemuan kami denganmu merupakan kebahagiaan besar bagi kami. Siapakah namamu dari mana dan dari aliran mana, juga apa kedudukanmu?"

"Namaku Kwa Bun Houw, berasal dari Nan-ping. Aku hidup sebatang kara. yatim piatu, tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap, juga bukan dari aliran manapun dan tidak mempunyai kedudukan apapun. "

Pemuda yang bernama Siauw Tek itu kelihaian semakin gembira mendengar keterangan singkat Bun Houw, terutama sekali karena Bun Houw tidak mempunyai kedudukan dan tidak terikat aliran apapun. Akan tetapi orang yang nama lengkapnya Pouw Cin itu, memandang penuh selidik dan bertanya, "Maaf, Kwa-enghiong (orang gagah Kwa). melihat dasar gerakan silatmu, tidak salah tapi bahwa engkau setidaknya pernah mempelajari ilmu silat Siauw-lim-pai. Bukankah engkau murid Siauw-lim-pai?"

Bun Houw menggelengkan kepalanya, "Mendiang ayahku adalah murid Siauw-lim-pai, dan ketika masih kecil aku pernah mempelajari ilmu silat aliran itu dari mendiang ayahku. Akan tetapi aku bukan murid langsung dari Siauw-li m-pai."

"Kalau boleh aku mengetahui, siapakah nama mendiang ayahmu, murid Siauw-lim-pai yang tinggal di Nan-ping itu?" Pouw Cin mendesak.

"Mendiang ayahku bernama Kwa Tin."

Pouw Cin terbelalak girang. "Ah, kiranya dia! Aku mengenalnya dengan baik, bahkan kami masih terhitung saudara sekeluarga, sealiran. Dia seorang pedagang kita yang berhasil dan gagah perkasa, seorang pendekar sejati. Akan tetapi ... aku tidak tahu bahwa dia sudah meninggal. Kalau tak salah, ... usianya sebaya denganku, belum tua benar."

"Ayah dan ibu tewas oleh gerombolan penjahat yang menbalas dendam kepada ayah." kata Bun Houw singkat. "Karena itu. aku selalu menentang para penjahat dan perampok." Setelah berkata demikian, dia menatap wajah Siauw Tek dengan pandang mata tajam.

"Ha ha, sekali lagi kuyakinkan padamu bahwa kami bukanlah penjahat dan perampok. Engkau tadi sudah mendengar bahwa Paman Pouw adalah murid Siauw-lim-pai. saudara seperguruan mendiang ayahmu. Apakah orang seperti dia ini pantas menjadi perampok, dan apakah aku pantas pula menjadi kepala perampok?"

"Akan tetapi di rumah makan tadi ... "

"Memang kami sengaja. Kwa-toako (kakak Kwa)!" kata Siauw Tek. "Sebaiknya aku menyebutmu toako saja, lebih akrab. Kuulangi, kami memang sengaja membiarkan anak buah kami melakukan perampokan secara menyolok."

"Aneh sekali! Bukan perampok akan tetapi membiarkan anak buah perampok, Hemm ... Kongcu, harap jangan mempermainkan aku!" kata Bun Houw tak senang, dan mengingat betapa semua orang menyebut pemuda itu kong-cu, diapun ikut-ikutan. Dia masih merasa yakin bahwa pemuda ini bukan orang biasa. "Melakukan perampokan akan tetapi bukan perampok, lalu apa?"

"Kami adalah pejuang!"

"Ehh? Pejuang? Berjuang untuk apa?"

"Untuk mengusir pemberontak dan pengkhianat!" kata pula Siauw Tek sambil mengepal tinju dan tiba-tiba saja sikapnya penuh semangat, pandang matanya berapi-api dan mukanya kemerahan.

"Ehh? Aku ... aku sungguh tidak mengerti apa maksudnya semua ini, Kongcu. Lalu apa hubungannya perjuangan dengan perampokan? Siapa pula pemberontak dan pengkhianat itu?"

Siauw Tek menghela napas panjang. "Sungguh sayang, betapa sedikit para pendekar yang gagah memperdulikan urusan negara! Kwa-toako, kami sengaja menyuruh anak buah kami melakukan perampokan di kota-kota, di tempat umum, pertama untuk menarik perhatian para pendekar dan orang gagah agar dapat berhadapan dengan kami seperti halnya engkau sekarang ini. Dan ke dua perampokan perampokan itu setidaknya akan menimbulkan kekacauan dan kesan buruk mengenai keamanan terhadap pemerintah pemberontak."

"Pemerintah pemberontak?"

"Ya, bukankah kerajaan Chi sekarang ini merupakan pemberontak yang telah mengkhianati dan menggulingkan kerajaan yang sah? Pemerintah yang sah adalah kerajaan Liu-sung!"

Bun Houw yang tidak pernah memperhatikan urusan kenegaraan, semakin bingung.

"Akan tetapi ... yang pernah kudengar, kerajaan Liu-sung telah jatuh dan sekarang yang menjadi penguasa adalah kerajaan Chi, kalau tidak salah, hal ini telah terjadi beberapa tahun yang lalu ... eh, aku sendiri tidak tahu benar, hanya mendengar-dengar saja karena bertahun-tahun aku sibuk belajar ilmu. Kalau begitu, kalian ini adalah orang-orang yang. anti kerajaan Chi yang baru dan menentangr pemerintah, sengaja menimbulkan kekacauan?"

"Tentu saja! Kami ... "

Akan tetapi tiba-tiba Pouw Cin memotong kata-kata pemuda itu. "Kwa-enghiong, harap jangan salah paham. Yang jelas, kami bukanlah penjahat, dan untuk memberi penjelasan, nanti setelah makan, aku akan. mengajakmu untuk melihat-lihat keadaan kami. Kami sedang menyusun pasukan dan mengumpulkan orang-orang gagah pembela kebenaran dan keadilan. Kalau sudah melihat keadaan kami, nanti engkau tentu akan mengerti."

"Ha-ha, benar sekali ucapan Paman Pouw! Kalau dijelaskan perlahan-lahan dan mengenal keadaan kami, dapat saja engkau menjadi salah paham dan mengira kami gerombolan penjahat. Nah, sekarang kupersilakan engkau untuk makan siang bersama kami, toako. Kita sudah saling berkenalan dan bersahabat, harap engkau tidak merasa sungkan lagi. Paman Pouw, coba kaulihat apakah sudah siap makan siang di dalam."

Pouw Cin keluar dan dua orang gadis pelayan cantik memasuki ruangan tamu itu, membawa suguhan anggur dan teh. Dengan sikap gembira Siauw Tek lalu menyuguhkan anggur kepada Bun Houw dan ketika meminum anggur itu, diam-diam Bun Houw kagum. Anggur yang lezat bukan main, manis, sedap dan halus sekali. Tak lama kemudian Pouw Cin masuk dan memberi tahu bahwa makan siang telah siap.

Biarpun merasa sungkan, Bun Houw tidak menolak. Dia merasa semakin tertarik dan ingin sekali mengenal tuan rumah lebih dekat. Banyak rahasia menyelubungi tuan rumah dan dia tentu selamanya akan merasa menyesal dan penasaran kalau tidak dapat mengetahui dengan benar siapa sebenarnya Siauw Tek ini dan apa maunya.

Ruangan makan itu lebih mewah daripada ruangan tamu. Meja yang terukir indah penuh dengan hidangan yang masih mengepulkan uap yang sedap. Kursi-kursinya juga berukir dan Siauw Tek duduk di kepala meja. Pouw Cin duduk di sebelah kanannya, dan Bun Houw dipersilakan duduk di sebelah kirinya. Lima orang wanita muda yang cantik jelita dan yang tadi menyambut kedatangan mereka, juga berada di situ dengan sikap yang genit dan ramah, penuh senyum manis dan kerling memikat. Mereka berlima inilah yang melayani Siauw Tek makan minum, dan atas isarat Siauw Tek dua orang di antara mereka kini melayani Bun Houw, menuangkan arak, mengambilkan dan menambahkan lauk pada mangkok Bun Houw, Pouw Cin tidak dilayani mereka, dan hal ini membuat Bun Houw merasa sungkan bukan main!

Hidangan itu sungguh merupakan hidangan mewah yang lezat, yang belum pernah dimakan oleh Bun Houw, tentu amat mahal harganya. Seperti makanan yang dihidangkan kepada raja-raja. Tiba-tiba Bun Houw tertegun dan jantungnya berdebar. Apa hubungan Siauw Tek ini dengan raja? Dengan kaisar ? Seorang pangerankah dia? Ah, sekarang dia dapat menduga. Siauw Tek tentulah seorang pangeran atau setidaknya seorang bangsawan tinggi dari kerajaan Liu-sung yang telah jatuh dan dia bercita-cita untuk merampas kembali tahta kerajaan dari pemerintah atau kerajaan Chi yang baru. Dan Pouw Cin tentu juga seorang yang setia kepada kerajaan Liu-sung yang telah jatuh.

Selagi mereka makan minum, tiba-tiba terdengar suara merdu dan nyaring seorang-wanita dari luar pintu ruangan itu. "Aihh sedapnya! Ada pesta apa sih? Kenapa koko (kakanda) tidak memberi tahu apa-apa? Kenapa aku ditinggal, tidak diajak ikut pesta? Tidak lucu, ah!" Dan muncullah orangnya di ambang pintu.

Bun Houw yang duduknya tepat menghadap pintu itu, memandang dan terpesona. Gadis itu bukan main! Lima orang wanita yang melayani mereka makan juga cantik jelita, akan tetapi dibandingkan dengan gadis yang kini berdiri di ambang pintu, sungguh nampak sekali perbedaannya. Kalau lima orang wanita itu hanya cantik dan lembut, namun gadis yang kini berdiri di depan pintu itu masih amat muda, dan memiliki kesegaran yang tidak dimiliki wanita lain. Begitu segar, bebas dan gagah perkasa! Pakaiannya ringkas, serba hitam, tidak mewah namun serasi dengan bentuk tubuhnya yang ramping padat. Wajahnya manis sekali, dengan rambut digelung ke atas, diikat saputangan kuning dan agak awut-awutan. mungkin baru pulang dari perjalanan sehingga pakaian itu agak berdebu dan rambut itu diusik angin. Tangan kirinya masih memegang sebatang cambuk kuda dari kulit, dan sikapnya begitu anggun, begitu gagah berwibawa, bahkan sedikit angkuh. Ia tidak pemalu seperti gadis lain, bahkan pandang matanya langsung menatap wajah Bun Houw dan pemuda inilah yang akhirnya menundukkan pandang matanya, seolah silau oleh sinar mata yang mencorong itu, atau setidaknya khawatir kalau disangka tidak tahu susila.

Sepasang alis Siauw Tek berkerut ketika dia melihat gadis itu, akan tetapi dia tersenyum. "Aha, kebetulan engkau pulang, siauw-moi! Pesta ini diadakan secara mendadak, jadi tidak keburu memberitahu engkau yang sejak pagi sudah pergi. Hayo, ikutlah makan dan kenalkan, tamu kehormatan kita ini adalah seorang pendekar yang memiliki ilmu silat hebat sekali. Namanya Kwa Bun Houw dan kujuluki dia Si Pedang Kilat!" Siauw Tek bangkit dan menarik tangan adiknya yang sudah mendekat, lalu memperkenalkannya kepada Bun Houw, "Kwa-toako, ini adalah adikku yang bengal dan manja, namanya Kiok Lan."

Bun Houw cepat bangkit dan memberi hormat kepada gadis yang lincah itu dengan mengangkat kedua tangan depan dada. Akan tetapi, gadis itu agaknya tidak perduli akan segala upacara perkenalan itu, lalu bertanya kepada Pouw Cin, "Paman Pouw, benarkah, kepandaiannya hebat? Bagaimana kalau dibanding dengan kepandaian paman?"

Wajah Pouw Cin berubah kemerahan dam hampir saja dia tersedak. Dia minum araknya, lalu menjawab, "Kepandaian Kwa-enghiong jauh lebih tinggi dari pada ilmu silat saya. Siocia (nona)."

"Aih, kalau begitu hebat! Aku harus belajar silat darimu, Kwa-enghiong!" seru gadis itu dan tanpa banyak ribut lagi iapun mengambil tempat duduk di sebelah Bun Houw.

Pemuda ini merasa seperti ada bunga mawar setaman mendekatinya, membuat jantungnya berdebar. Padahal, ketika dua orang pelayan cantik tadi melayaninya, demikian dekat bahkan disengaja atau tidak beberapa kali ujung lengan baju mereka menyentuhnya, dia sama sekali tidak merasa apa-apa, bahkan merasa tidak enak sekali.

Ketika seorang pelayan menghampirinya untuk menuangkan arak, Kiok Lan menolak halus dan berkata, ditujukan kepada Siauw Tek. "Koko, kurasa Kwa-enghiong dan Paman Pouw tidak perlu dilayani, dapat menuangkan arak dan mengambil lauk sendiri. Kenapa harus dilayani? Sebaiknya koko tidak menyusahkan kelima enci ini. Harap enci sekalian kembali saja ke dalam. Bukankah begitu. Kwa-enghiong dan kau, Paman Pouw?"

Lima orang wanita cantik itu saling pandang dan agak tersipu, akan tetapi Siauw Tek tertawa. "Ha-ha-ha, engkau selalu jujur dan kasar, siauw-moi. Baiklah, kalian mengasolah. Nanti saja kalau sudah selesai perintahkan para pelayan membersihkan meja."

Lima orang wanita cantik itu lalu berlari kecil meninggalkan ruangan makan itu. "Nah, begini lebih leluasa, bukan? Kita dapat bicarakan apa saja, tentu saja kalau Kwa-enghiong ini telah menjadi sahabat yang dapat dipercaya."

Tanpa sungkan lagi Kiok Lan mengambil masakan dengan sumpitnya, dan mulai makan. Sungguh jauh bedanya dalam hal sopan santun antara gadis ini dan kakaknya. Siauw Tek makan dengan sikap yang amat hati-hati dan selalu menjaga kesopananya cara makan seorang bangsawan tinggi yang tidak mau tercela sedikitpun. Sebaliknya, gadis itu makan seperti seorang gadis kang-ouw, makan dengan enaknya tanpa rikuh. Juga ia menuangkan dan minum arak bagaikan minum air saja!

"Apakah engkau membawa kabar penting siauw-moi? Kalau urusan negara, sebaiknya dibicarakan nanti saja denganku. Kalau urusan pribadi, boleh saja dibicarakan sekarang."

"Tidak ada urusan negara. itu kan urusanmu, koko. Dengar baik-baik, bukan hanya engkau yang menemukan Kwa-enghiong ini sebagai seorang pendekar sakti. Akupun membawa seorang tamu, seorang pendekar sakti yang berilmu tinggi, koko!"

"Ehh? Siapa dia? Bagaimana engkau bertemu dengan dia dan di mana dia sekarang?" Siauw Tek yang agaknya amat penuh perhatian itu bertanya dan jelaslah bahwa pemuda ini memang ingin sekali berkenalan dengan orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi.

"Nanti dulu, koko. Biar dia menanti di ruangan tamu. Aku sudah menyuruh pelayan menghidangkan minuman. Pertemuanku dengan dia menegangkan, koko. Aku dihadang orang-orang jembel menjemukan itu. Akan tetapi ilmu silat para pimpinannya lihai dan aku hampir celaka. Untung tiba-tiba muncul pendekar yang hebat ini sehingga aku tertolong."

Siauw Tek tertarik sekali. "Siauw-moi. ceritakanlah yang jelas. Apa yang telah terjadi? Jangan sepotong-sepotong membuat kami jadi penasaran sekali." tegur kakaknya.

Gadis itu tertawa, nampaknya puas sekali dapat membuat para pendengarnya tertarik. Kemudian, tanpa menghentikan makan, sambil makan ia bercerita tentang apa yang baru saja dialaminya pagi hari itu.

Gadis itu memang merupakan adik kandung seayah berlainan ibu dengan Siauw Tek. Sejak kecil, Kiok Lan memang memiliki watak yang lincah jenaka dan pemberani, apalagi karena sejak kecil ia suka berlatih silat sehingga kini, dalam usia tujuh belas tahun, ia telah menjadi seorang gadis yang lihai. Banyak sekali gurunya, yaitu para jagoan istana kerajaan Liu-sung yang telah jatuh. Dan, yang terakhir, Pouw Cin yang lihai juga melatihnya sehingga ia menjadi semakin lihai.

Pagi hari itu, ia berpamit kepada kakaknya untuk pergi berburu ke hutan di Bukit Hijau yang dihuni banyak binatang buruan. Siauw Tek yang mengetahui keberandalan adiknya, tidak dapat melarang, akan tetapi dia percaya penuh akan kelihaian adiknya sehingga berkeliaran seorang diripun takkan ada yang mampu mengganggunya. Adiknya itu tidak akan dapat dikalahkan oleh sepuluh orang pria kasar dan kuat sekalipun!

Dengan bersenjatakan busur kecil dan banyak anak panah, Kiok Lan memasuki hutan di lereng Bukit Hijau. Akan tetapi di tepi hutan itu, ia bertemu dengan tiga orang pengemis yang menghadang perjalanannya. Mereka memandang kepadanya dan ketiganya menyodorkan tangan kanan minta sedekah.

"Nona. tolonglah kami orang-orang miskin dan kelaparan!" kata mereka senada.

Kiok Lan berhenti melangkah dan berdiri di depan mereka, memandang penuh perhatian. Alisnya berkerut dan mulutnya senyum mengejek. Hatinya merasa tak senang sekali. Tiga orang itu adalah laki-laki bertubuh cukup sehat dan kuat, usia mereka antara tiga puluh-sampai empat puluh tahun. "lhhh, apakah kalian ini tidak malu? Tiga orang laki-laki sehat dan kuat, belum kakek-kakek lagi, menjadi pengemis yang minta-minta? Orang-orang macam kalian ini hanya membikin malu bangsa saja dan tidak layak hidup! Pergilah, aku tidak sudi memberi apapun kepada kalian!"

Berubah sikap tiga orang laki-laki itu. Kalau tadi mereka memasang wajah menyedihkan, dengan suara yang mohon belas kasihan, kini mereka melotot dengan muka berubah kemerahan. Mereka memandang ke kanan kiri, dan kesunyian tempat itu agaknya menambah semangat dan keberanian mereka. Yang termuda di antara mereka, matanya sipit hampir terpejam dan hidungnya pesek, melangkah maju dan tersenyum mengejek.

"Nona manis, kalau engkau tidak mempunyai uang untuk diberikan kepada kami, berikan saja apa yang kaumiliki. Kecantikanmu, heh-heh-heh, cukup untuk kami bertiga. Bukankah begitu, heh-heh, kawan-kawan?"

"Benar sekali!" kata dua orang kawannya.

Sepasang mata yang indah itu terbelalak, dan muka itu berubah kemerahan. "Memang kalian tidak patut hidup! Jahanam busuk kalian, anjing kotor!"

"Ha-ha-ha, ia cantik dan galak pula!" kata si mata sipit dan diapun sudah menerjang ke depan untuk meringkus dan memeluk gadis yang dianggapnya amat menggairahkannya itu.

Kiok Lan menyambutnya dengan sebuah tendangan yang ditujukan ke arah perutnya. Orang itu mengenal gerakan silat yang dahsyat, dan agaknya si mata sipit juga ahli silat. maka dia cepat menangkis dengan kedua tangannya yang disabetkan ke bawah, tidak jadi merangkul.

"Dukkk!!" dan akibat tangkisan ini, si mata sipit terjengkang dan terbanting sampai tiga meter jauhnya!

Dua orang temannya menjadi terkejut dan marah. Tahulah mereka mengapa gadis itu berani bersikap kasar dan menghina mereka. Kiranya seorang gadis kang-ouw yang pandai silat! Mereka segera mencabut tongkat besi yang terselip di pinggang, lalu menyerang, sekali ini bukan untuk berbuat mesum, melainkan untuk melukai gadis yang dianggap lawan berbahaya itu, Juga yang terjengkang tadi, setelah mengerang sebentar lalu bangkit, mencabut tongkat besinya dan tiga orang itu kini mengeroyok Kiok Lan! Akan tetapi, segera mereka mendapatkan kenyataan pahit. Mereka telah bertemu batu keras! Biarpun hanya bersenjatakan busurnya, Kiok Lan mampu menghajar tiga orang itu sampai babak belur dan akhirnya mereka bertiga lari tunggang-langgang dengan kepala benjol dan luka-luka kecil yang merobek baju dan kulit.

"Huh, belum bertemu binatang buruan, Bertemu tiga orang yang lebih jahat dari pada binatang!" kata Kiok Lan sambil tersenyum mengejek. Karena mereka merupakan lawan yang lunak saja baginya, Kiok Lan sudah melupakan peristiwa itu dan memasuki hutan. Dalam waktu kurang dari satu jam, ia telah berhasil memanah roboh seekor kijang muda yang gemuk.

"Heh-heh, koko tentu akan senang sekali. Dia paling suka makan daging paha kijang dipanggang!" katanya seorang diri sambil berlari menghampiri kijang yang roboh itu.

Akan tetapi, ia tiba di bawah pohon dekat semak belukar itu, ia mengerutkan alisnya. Kijang itu telah dipanggul seorang yang dikenalnya sebagai si mata sipit tadi, yang tertawa-tawa membawa pergi bangkai kijang itu.

"Hei, berhenti, kau anjing busuk! Kembalikan kijangku!" teriak Kiok Lan dan ia bergerak hendak mengejar. Akan tetapi tiba-tiba ada angin menyambar dari samping. Suara senjata berdesing membuat ia terkejut dan cepat melompat untuk mengelak. Kiranya yang menyerangnya adalah seorang laki-laki berusia lima puluhan tahun yang memegang sebatang tongkat besi pula. Dan kakek inipun berpakaian pengemis. Selain dia, di situ masih terdapat empat orang pengemis setengah tua lain lagi dan mereka semua memandang kepadanya dengan sikap marah.

"Heii! Kalian ini lima orang pengemis tua, mengapa tiba-tiba saja menyerangku? Aku hendak mengejar pencuri kijangku itu!" bentak Kiok Lan marah.

"Hemm, engkau seorang gadis yang masih, muda sekali, masih remaja akan tetapi sudah memiliki watak yang keras dan kejam. Engkau telah mengandalkan kepandaianmu untuk menghina dan memukuli tiga orang murid kami! Kalau engkau tidak mempunyai apa-apa untuk memberi sedekah kepada mereka sudah saja jangan beri apa-apa. Kenapa engkau tidak mau memberi malah menghina mereka, kemudian memukuli mereka?"

Baru sekarang Kiok Lan tahu bahwa ia berhadapan dengan lima orang jembel-jembel jagoan yang menjadi guru dari para pengemis, kurang ajar tadi dan timbullah kemarahannya.

"Aha, kiranya kalian adalah guru-guru para pengemis busuk yang kurang ajar tadi. Bagus, bagus! Kalau murid-muridnya jahat guru-gurunya tentu lebih jahat lagi! Kalian telah mengajarkan orang-orang yang masih sehat dan kuat untuk mengemis, bahkan untuk bersikap kurang ajar. Kalau kalian mengajar orang-orang untuk mengemis, tentu kalian sendiri juga pengemis-pengemis besar!"

"Hemm, engkau memiliki mata akan tetapi seperti buta. Kami adalah Ngo-liong Sin-kai (Pengemis Sakti Lima Naga), tentu saja pekerjaan kami mengemis. Para murid kami tadi juga adalah anggauta-anggauta Tiat-tung Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Tongkat Besi). Engkau berani mati hendak menentang Tiat-tung Kai-pang?"

"Orang masih sehat dan kuat mengemis, akhirnya tentu menjadi perampok. Kalau tidak diberi sedekah, tentu akan mengandalkan kekuatannya untuk memaksa. Kalian ini orang-orang jahat, pergilah sebelum kuhajar seperti tiga orang pengemis busuk tadi!"

"Bocah ingusan sombong! Makan tongkatku!" bentak pengemis setengah tua yang bertubuh kecil kurus itu. Biarpun dia nampak kecil kurus, akan tetapi ketika tongkat besinya menyambar, terdengar angin pukulan dahsyat sehingga Kiok Lan harus cepat melompat ke belakang untuk menghindarkan diri. Ia tahu bahwa lawannya ini lihai, akan tetapi Kiok Lan adalah seorang gadis yang tak pernah mengenal takut. Bahkan ia marah sekali dan begitu pukulan tongkat lawan itu luput, iapun langsung membalas dengan serangan pedangnya. Ia telah mencabut pedangnya. Dengan pedang di tangan kanan dan busur di tangan kiri, gadis itu bukan hanya membalas dengan serangan satu kali, melainkan secara bertubi-tubi dan iapun mendesak lawan dengan penuh kemarahan. Akan tetapi pada saat itu, empat-arang pengemis lainnya sudah menerjang dengan tongkat mereka dan ternyata setelah mereka maju berlima, gerakan tongkat mereka menjadi lain. Mereka bergerak bagaikan barisan tongkat saling tunjang dan saling melindungi sehingga dikeroyok barisan tongkat ini, Kiok Lan menjadi bingung dan terdesak. Sebetulnya, tingkat kepandaian lima orang itu, kalau maju seorang demi seorang, masih belum mampu menandingi Kiok Lan. Akan tetapi begitu maju bersama, apalagi mereka memiliki ilmu barisan tongkat yang amat lihai, Kiok Lan menjadi kewalahan dan nyawanya terancam bahaya maut. Ia kini hanya, mampu memutar pedang dan gendewanya untuk melindungi diri, namun kalau hal seperti itu dilanjutkan, akhirnya ia tentu akan terpukul roboh.

Pada saat keadaan Kiok Lan amat gawat itu, tiba-tiba terdengar suara suling melengking yang semakin lama semakin dekat. Dan tiba-tiba saja, terdengar bentakan setelah suara suling berhenti.

"Lima orang laki-laki mengeroyok seorang, gadis remaja! Sungguh tak tahu malu!"

Lima orang pengemis itu melihat munculnya seorang pemuda yang berusia dua puluh lima tahun, bertubuh sedang dan gerak-geriknya halus dengan pakaian sasterawan yang indah dan mewah, seorang pemuda tampan pesolek yang memegang sebatang suling yang panjangnya seperti pedang, dan suling itu berkilauan putih seperti terbuat dari perak.

"Nona, mundurlah, biar aku yang menghajar orang-orang kotor itu!" kata si pemuda.

Kiok Lan yang sudah kewalahan dan napasnya terengah-engah, menggunakan kesempatan selagi lima orang itu memandang si pemuda, melompat ke belakang dan iapun berdiri memandang dengan kagum. Sikap pemuda itu yang mengagumkan hatinya, begitu tenang begitu penuh kepercayaan kepada diri sendiri dan berani memandang rendah lima orang jagoan pengemis yang lihai itu.

"Keparat, jangan mencampuri urusan Tiat-tung Kai-pang!" bentak seorang pengemis, dan empat orang kawannya sudah bergerak mengepung pemuda yang memegang suling itu. Melihat ini, diam-diam Kiok Lan merasa khawatir. Jangan-jangan pemuda ini akan menjadi korban, pikirnya, ia merasa tidak enak. Pemuda ini hendak menolongnya, akan tetapi ia meragukan apakah pemuda yang tampan halus ini akan mampu mengalahkan Ngo-liong Sin-kai yang demikian lihai. Akan tetapi, kalau ia turun tangan membantu, ia merasa tidak enak pula kepada penolongnya, seolah ia memandang rendah. Biarlah, pikirnya, ia akan melihat perkembangannya dan kalau penolongnya itu terdesak dan terancam, baru ia akan turun tangan membantunya.

Kini lima orang pengepung itu mulai menggerakkan tongkat besi mereka, mengeroyok dan menyerang secara bertubi, Pemuda itu masih nampak tenang saja, dan tiba-tiba nampak gulungan sinar perak berkilauan ketika dia menggerakkan sulingnya. Lenyaplah tubuh pemuda itu terbungkus gulungan sinar senjatanya dan terdengar bunyi berdencingan ketika lima batang tongkat besi itu disambar sinar suling, disusul serangan aneh yang membuat lima orang pengeroyok itu berturut-turut terjengkang ke belakang! Kiok Lan sampai terbelalak saking heran dan kagumnya. Ternyata pemuda itu seorang pendekar sakti yang amat hebat ilmu kepandaiannya!

Ketika lima orang tokoh pengemis itu merangkak bangun, seorang di antara mereka berseru cemas, "Tok-siauw-kwi (Setan Suling Beracun)!"

Pemuda itu tersenyum mengejek, "Untuk membuktikan bahwa dugaan kalian itu benar, dalam waktu setengah hari, kalian akan mati keracunan."

Lima orang itu terkejut dan memeriksa tubuh masing-masing! Ada yang tadi terkena pukulan suling pada lengannya dan di situ nampak noda menghitam sebesar ibu jari tangan, kalau disentuh nyeri bukan main dan terasa panas di bagian dalamnya. Demikian pula dengan yang lain. Di bagian yang tadi terpukul ujung suling, terdapat tanda menghitam itu. Keracunan! Tanpa mengenal malu lagi, mereka lalu melempar tongkat besi dan menjatuhkan diri berlutut, berjajar menghadap pemuda itu.

"Kongcu, kami mohon kongcu sudi mengampuni nyawa kami ... " mereka meratap ketakutan.

Pemuda itu bukan lain adalah Suma Hok yang berjuluk Tok-siauw-kwi. Setelah menyanggupi syarat yang diajukan Bu-eng-kiam Ouwyang Sek ketika dia dan ayahnya datang melamar Hui Hong, dia lalu pergi untuk mencari gadis yang membuatnya tergila-gila itu. Juga dia akan menyelidiki tentang Akar Bunga Gurun Pasir yang menjadi satu di antara syarat yang diajukan Ouwyang Sek. Ketika dia kebetulan lewat di tempat itu, dia melihat Kiok Lan yang dikeroyok lima orang tokoh kai-pang itu.

Melihat betapa lima orang itu berlutut dan meratap minta ampun, Suma Hok tersenyum mengejek, "Yang kajian ganggu adalah nona ini, maka kepadanyalah kalian harus mohon ampun." Suma Hok adalah seorang mata keranjang yang selalu haus akan wanita cantik. Begitu melihat Kiok Lan dikeroyok tadi, yang mendorong dia turun tangan menolong dan menentang lima orang pengemis adalah karena dia melihat betapa cantik manisnya gadis yang dikeroyok itu. Andaikata gadis itu berwajah buruk, belum tentu dia akan suka membantu perkelahian yang tidak ada sangkut-pautnya dengan dirinya.

Kini lima orang pengemis itu memberi hormat dan berlutut menghadap Kiok Lan. "Nona, ampunkanlah kami ... ampunkanlah kami ... " mereka meratap.

Kiok Lan adalah seorang gadis yang lincah dan galak, juga keras, akan tetapi dara ini sama sekali tidak memiliki hati yang kejam. Memang lima orang ini bersalah karena membela murid-murid mereka yang kurang ajar terhadap dirinya. Akan tetapi kesalahan itu tidaklah sedemikian besarnya sehingga mereka perlu dihukum mati! Maka, iapun berkata kepada Suma Hok.

"Tai-hiap (pendekar besar), ampunilah mereka, tidak perlu dibunuh. Mereka tentu sudah bertaubat dan tidak akan berani sewenang-wenang lagi. Harap kau suka memberi obat penawarnya."

Suma Hok tersenyum, lalu merogoh saku bajunya, mengambil lima butir pel dari bungkusan. "Angkat muka kalian dan buka mulut kalian!" katanya kepada lima orang pimpinan pengemis itu.

Lima orang itu mentaati perintah ini dan lima kali Suma Hok menggerakkan tangan dan setiap orang menerima sebutir pel yang meluncur masuk ke dalam mulut. Mereka menelan pil itu dengan hati merasa lega dan girang sekali. Suma Hok lalu menggerakkan kakinya, menendangi mereka berlima, tepat di tempat yang terluka sambil berkata, "Sekarang, pergilah kalian!"

Lima orang itu terguling-guling, akan tetapi mereka merasa girang sekali karena tendangan itu agaknya merupakan cara pengobatan pula. Mereka menjura dengan hormat ke arah Suma Hok, kemudian pergi melarikan diri dari tempat itu, diiringi suara tawa Suma Hok.

Dengan girang dan kagum sekali Kiok Lan kini berhadapan dengan Suma Hok. Sejenak mereka saling pandang dan saling mengamati, kemudian Kiok Lan bertanya, "Siapakah engkau yang begini lihai? Benarkah bahwa julukanmu adalah Tok-siauw-kwi?"

Suma Hok mengangguk dan tersenyum, "Saya yang bodoh bernama Suma Hok dan memang orang di dunia kang-ouw memberi julukan Tok-siauw kwi kepadaku. Kalau boleh aku mengetahui, siapakah nama nona yang mulia?"

Sikap dan ucapan Suma Hok amat manis dan merendah-Memang pemuda ini terkenal sebagai seorang pemuda yang pandai merayu dan mengambil hati wanita cantik, sikapnya lemah lembut.

Kiok Lan terbelalak kagum. "Aihh. kalau begitu, tentu engkau putera dari Kui-siauw Giam-ong Suma Koan, bukan?"

Diam-diam Suma Hok heran. Gadis ini mengenal nama besar ayahnya! Kalau begitu bukan gadis semharangan pula. "Bagaimana engkau dapat menduga sedemikian tepat, nona? Bolehkah aku mengetahui siapa namamu dan mengapa pula nona berada di sini dikeroyok lima orang jembel busuk tadi?"

"Namaku Kiok Lan, dan kakakku pernah menerima ayahmu sebagai tamunya! Pernah kakakku menceritakan hal itu kepadaku dan mengatakan bahwa ayahmu adalah seorang di antara para datuk persilatan yang amat sakti. Siapa kira, hari ini aku bertemu dengan puteranya. Suma Taihiap, kalau begitu, marilah ikut denganku agar engkau dapat bertemu dengan kakakku. Dia tentu akan senang sekali bertemu putera Suma lo-cian pwe (orang tua gagah Suma)! Marilah, taihiap!"

"Siapakah kakakmu itu, nona!"

Akan tetapi gadis itu sudah memegang tangannya dan menariknya pergi dari situ. "Kuberitahu juga engkau tidak akan tahu. Namanya Siauw Tek. Nah, engkau tidak mengenal nama itu, bukan? Marilah. Kakakku adalah seorang yang suka sekali berkenalan dengan orang pandai, dan dapat menghargainya. Mari kita menghadap kakakku!"

Suma Hok tersenyum dan timbul keinginan tahunya, siapa dan orang macam apa adanya kakak dari gadis cantik jelita ini. Dia pun lalu mengikuti saja ketika gadis itu mengajaknya keluar dari dalam hutan dan mendaki sebuah bukit yang subur dan kehijauan. Akhirnya, gadis itu mengajaknya ke sebuah rumah terpencil yang berada di lereng bukit itu. Rumah besar yang sederhana, akan tetapi ketika gadis itu mengajaknya masuk ke dalam ruangan tamu, dia tercengang keheranan. perabot ruangan itu seperti peabot ruangan rumah seorang bangsawan tinggi! Kiok lan menyuruh dia menunggu di situ.

"Aku akan memberitahu kakakku. Akan tetapi mungkin sekarang dia sedang makan siang. Kau tunggulah di sini, taihiap, dan nikmatilah sekedar hidangan yarg, akan dikeluarkan pelayan nanti." Iapun memasuki rumah itu dan Suma Hok menjadi semakin heran dan ingin tahu sekali. Dia menanti dengan sabar sambil minum anggur sedap yang disuguhkan seorang pelayan.

Demikianlah. Kiok Lan menceritakan pengalamannya kepada Siauw Tek. Pouw Cin dan Bun Houw juga ikut mendengarkan kisah yang diceritakan secara menarik sekali oleh gadis yang pandai bicara dan lincah itu. Di dalam hatinya Bun Houw tentu saja kaget bukan main mendengar nama Suma Hok, akan tetapi dia menahan perasaannya dan tidak memperlihatkan perasaan hatinya pada wajahnya.

"Tok-siauw-kui Suma Hok?" kata Pouw Cin setelah mendengar penuturan Kiok Lan. Ketika terjadi perebutan Akar Bunga Gurun Pasir dan saya memimpin rombongan untuk merampasnya, saya melihat pula ayah dan putera Suma itu ikut pula berlumba untuk mendapatkan mustika itu. Kongcu."

Siauw Tek mengangguk-angguk, "Akupun masih ingat kepada datuk besar Suma Koan dan puteranya itu. Sekarang puteranya telah berada di sini, kalau dia dapat bekerja sama dengan kita, alangkah baiknya, Paman Pouw. Mari kita ke ruangan tamu menyambutnya, dan sebaiknya engkau ikut pula, Kwa-toako. Ketahuilah bahwa keluarga Suma merupakan keluarga datuk besar yang lihai sekali ilmunya."

"Koko, kalau Kwa-enghiong ini demikian hebat kepandaiannya dan merupakan ahli silat yang dapat menandingi Paman Pouw, tentu akan menarik sekali kalau dia bertemu dengan pendekar Suma Hok!"

Mendengar ini, Bun Houw tersenyum saja dan diapun merasa tegang hatinya karena tidak dapat membayangkan bagaimana nanti sikap Suma Hok kalau berhadapan muka dengan dia! Baru beberapa bulan yang lalu dia bertemu dengan Suma Hok di rumah Bu-eng-kiam Ouwyang Sek. ketika mereka berdua mempunyai maksud yang sama, yaitu meminang Hui Hong! Dalam pertemuan itu, dia bahkan sempat bertanding dan mematahkan suling Suma Hok.

Suma Hok yang duduk seorang diri minum arak di ruangan tamu yang indah itu, segera bangkit berdiri ketika mendengar langkah kaki beberapa orang menuju ke ruangan itu. Dia tersenyum ketika melihat Kiok Lan menggandeng tangan seorang laki-laki yang usianya kurang lebih dua puluh tahun, tampan anggun dan berwibawa. Kemudian dia melihat Pouw Cin dan terkejut karena mengenal laki-laki setengah tua itu sebagai seorang bekas panglima kerajaan Liu-sung yang telah jatuh, panglima yang terkenal karena dahulu pernah memimpin rombongan utusun kerajaan Liu-sung untuk ikut berlumba memperebutkan mustika Akar Bunga Gurun Pasir! Kemudian, wajahnya berobah kemerahan dan matanya terbelalak ketika dia melihat orang yang muncul paling akhir. Hatinya saja yang berteriak kaget.

"Kwa Bun Houw ...!" akan tetapi mulutnya diam saja dan diapun kembali memandang kepada pemuda yang digandeng Kiok Lan itu.

"Suma-taihiap, inilah kakakku," kata gadis itu.

Andaikata di situ tidak hadir Pouw Cin agaknya Suma Hok tidak akan mengenal pemuda kakak Kiok Lan itu. Akan tetapi, kehadiran Pouw Cin mengingatkan dia akan sesuatu dan ketika dia memandang wajah pemuda itu penuh perhatian, tiba-tiba dia teringat dan diapun segera menjatuhkan diri berlutut menghadap pemuda itu.

"Sribaginda, mohon ampun karena hamba tidak tahu bahwa hamba akan menghadap paduka di sini ... "

Mendengar ucapan ini dan melihat sikap Suma Hok, Bun Houw sendiripun terkejut bukan main. Dia belum pernah bertemu dengan Kaisar Cang Bu yang nama kecilnya Liu Tek dari kerajaan Liu-sung yang telah jatuh, maka dia sama sekali tidak mengenalnya. Tentu saja dia terkejut ketika melihat sikap Suma Hok, dan baru sekarang dia mengerti akan sikap pemuda yang mengaku bernama Siauw Tek itu.

Melihat sikap Suma Hok, wajah pemuda itu berseri akan tetapi hanya sebentar saja. Dia menghela napas, melangkah maju dan memegang kedua pundak Suma Hok, menariknya agar bangun berdiri.

"Cukup, Suma-toako, jangan bersikap begitu. Saat ini, aku bukanlah kaisar dan tidak perlu engkau bersikap begitu. Aku adalah seorang pemuda bernama Siauw Tek, dan engkau boleh menyebutku Kongcu saja. Nah, duduklah, dan engkau juga, Kwa-toako!"

Mereka semua duduk mengelilingi meja besar dan sesaat pandang mata Bun Houw bertemu dengan pandang mata Suma Hok. Kalau pandang mata Suma Hok nampak gelisah, Bun Houw bersikap tenang saja. Tentu saja hati Suma Hok merasa gelisah. Pertama karena dia tahu benar betapa Bun Houw kini telah menjadi seorang yang amat lihai, bahkan sedemikian lihainya sehingga pemuda itu mampu mengalahkan Ouwyang Sek, juga mampu menandiugi ayahnya! Dan yang lebih menggelisahkan adalah bahwa pemuda saingannya itu adalah murid Tiauw Sun Ong, seorang bekas pangeran yang tentu saja masih ada hubungan keluarga dengan bekas Kaisar Cang Bu yang kini menjadi pemuda bernama Siauw Tek itu. Tentu saja Suma Hok sama sekali tidak menduga bahwa saingannya itu bahkan sama sekali belum tahu bahwa Siauw Tek adalah bekas Kaisar Cang Bu! Dan baru sekarang Bun Houw mengetahuinya.

"Kwa-toako, engkau tidak kelihatan heran mendengar bahwa aku adalah bekas Kaisar kerajaan Liu-sung. Apakah engkau sudah dapat menduga sebelumnya?" bekas kaisar itu bertanya kepada Bun Houw.

Bun Houw menggeleng kepala. "Tidak sama sekali, Kongcu. Baru sekarang aku mengetahui. Baru sekarang aku tahu bahwa Kongcu adalah seorang bekas kaisar, dan tentu nona ini seorang puteri dan Paman Pouw seorang bekas panglima."

Kini Suma Hok juga kelihatan heran, juga dia merasa lega. Setidaknya, kini dia menjadi jelas bahwa tidak terdapat hubungan yang erat antara Bun Houw dan bekas kaisar itu yang dapat membahayakan dia. Kembali dua orang pemuda yang bersaingan itu saling pandang tanpa mengeluarkan sepatah katapun.

"Apakah kalian berdua sudah saling mengenai?" tiba-tiba Kiok Lan bertanya dengan suara riang.

Bun Houw mengangguk. ‘Saya sudah mendapat kehormatan beberapa kali bertemu dengan saudara Suma Hok," dalam suaranya, tidak terkandung sesuatu.

Suma Hok adalah seorang pemuda yang cerdik. Kalau tadi dia banyak berdiam diri adalah karena dia khawatir kalau-kalau Bun Houw mempunyai hubungan dekat dengan tuan rumah. Sekarang, setelah dia mengerti bahwa Bun Houw agaknya juga hanya seorang tamu baru, bahkan agaknya baru mengenal Kiok Lan sekarang, hatinya merasa lega dan dia cepat dapat membawa diri. Dia bangkit berdiri dan memberi hormat kepada Bun Houw.

"Ah, sungguh merupakan kejutan yang menggembirakan bahwa di sini aku dapat bertemu denganmu, saudara Kwa Bun Houw! Saking kagetku, sampai beberapa lamanya aku kehilangan suara! Memang benar apa yang telah dikatakan saudara Kwa Bun Houw tadi, kami memang pernah beberapa kali bertemu, akan tetapi kami mempunyai jalan masing-masing. Eh, hampir aku lupa, Saudara Kwa Bun Houw, sudah terlalu lama aku menyimpan benda yang pernah kautitipkan kepadaku harap kau suka menerimanya kembali sekarang!" Dia mengambil sesuatu dari balik jubahnya dan ketika dia menyerahkan benda itu kepada Bun Houw, diam-diam Bun Houw tersenyum geli dan juga kagum akan kecerdikan orang ini. Yang dikeluarkan dan diserahkan kepadanya adalah pundi-pundi uang, bekalnya dalam kantung pemberian gurunya tempo hari yang pernah dirampas oleh Suma Hok! Ternyata pundi-pundi itu masih utuh!

Karena diapun tidak ingin melibatkan urusan pribadinya dengan keluarga bekas kaisar ini, maka diapun menerima pundi-pundi itu dan berkata, "Terima kasih, saudara Suma Hok." dan menyimpan pundi-pundi itu ke balik bajunya.

Biarpun kedua orang pemuda itu bersikap ramah dan saling merendah, namun sesuatu yang dirasakan tidak wajar tertangkap oleh Kiok Lan yang memang amat cerdik dan berpemandangan tajam. Ia memandang berganti-ganti kepada dua orang pemuda itu seperti hendak menembus dan menjenguk isi hati mereka dengan mulut tersenyum penuh arti sehingga Suma Hok dan Bun Houw yang bertemu pandang dengannya, terpaksa menundukkan mata. Tiba-tiba gadis itu berkata dengan suara nyaring, mengejutkan hati kedua orang pemuda itu.

"Koko, bagaimana kalau kedua orang jago kita ini kita adukan? Aku berani bertaruh bahwa jagoku, Suma-taihiap, akan menang melawan jagomu, yaitu Kwa-enghiong itu."

"Ah. jangan bicara yang bukan-bukan, siauw moi!" Siauw Tek berseru, kaget juga dengan gagasan adiknya ini, walaupun hal itu sebenarnya menarik baginya. Akan tetap, dia tidak, ingin kehilangan kedua orang ini ingin menarik mereka untuk bekerja dengan dia, memperkuat posisinya. Sebaiknya, bersama Paman Pouw, engkau mengantarkan dua orang tamu kita untuk melihat-lihat kekuatan kita. Malam nanti baru aku ingin bicara dan berbincang-bincang dengan mereka."

Bun Houw merasa tidak enak. "Maaf Kongcu. Aku tidak dapat tinggal lebih lama."

"Kwa-twako! Kami mengharap dengan hormat dan sangat agar engkau suka tinggal beberapa hari di sini, setidaknya malam ini engkau bermalam di rumah kami!" kata Siauw Tek dengan suara mengharap.

"Aih, kenapa Kwa-enghiong mau tergesa-gesa pergi saja setelah aku pulang? Apakah engkau tidak suka dengan kehadiranku? Kalai begitu, aku akan menjauhkan diri darirnu ...

"Ah, sama sekali tidak, nona." Bun Houy cepat-cepat berseru, tidak tahu bahwa dia kena diakali oleh gadis itu yang sengaja mengeluarkan ucapan itu untuk membuat dia menjadi serba salah dan tidak dapat menolak lagi.

"Kalau begitu, tidak ada halangannya bagimu untuk bermalam di sini, toako." Siauw Tek mendesak pula. "Kami ingin memperlihatkan keadaan kami padamu."

"Tapi, aku sudah memesan sebuah kamar di penginapan, di sudut kota, pakaianku juga masih kutinggalkan di sana dan ... "

"Ah. jangan khawatir Kwa-enghiong. Kami akan menyuruh orang mengambilnya dan semua akan beres!" kata Pouw Cin. "Marilah, Siocia, kita mengajak kedua orang tamu dan sahabat kita untuk melihat-lihat keadaan dan kedudukan kita."

Terpaksa Bun Houw tak dapat menolak lagi. Bagaimanapun juga. dia memang ingin mengetahui apa yarg sedang dilakukan oleb bekas kaisar itu, dan apa pula niatnya maka berkeras menahannya. Dan gadis bekas puteri itu demikian cantik dan lincah, mengingatkan dia kepada Hui Hong! Banyak persamaan antara kedua orang radis itu, keduanya berdarah bangsawan pula dan mengingat bahwa Hui Hong adalah puteri kandung gurunya, seorang bekas pangeran kerajaan Liu-sung pula, maka tidak akan mengherankan kalau di antara kedua orang gadis itu masih ada hubungan darah atau keluarga. Selain itu, keadaan bekas kaisar ini amat menarik dan tentu akan merupakan, berita yang amat penting bagi gurunya.

Mereka berempat menunggang kuda mendaki bukit-bukit di sepanjang Sungai Yang-ce dan dari puncak bukit, Pouw Cin menunjuk ke arah bangunan seperti benteng. Ada empat tempat seperti itu dan Pouw Cin menerangkan bahwa di setiap benteng terdapat pasukan yang tidak kurang dari seribu orang jumlahnya! Pimpinan pasukan terdiri dari orang-orang kang-ouw yang pandai ilmu silat dan ilmu perang. Kongcu masih terus menarik dan mengumpulkan orang-orang gagah untuk memperkuat pasukan kami itu." demikian Pouw Cin memberi keterangan. Dua orang pemuda itu diam-diam terkejut. Tak mereka sangka bahwa bekas kaisar yang muda itu dapat menyusun kekuatan seperti itu.

"Akan tetapi, untuk apa menyusun pasukan di perbentengan itu?" Bun Houw bertanya, walaupun di dalam hatinya dia dapat menduga bahwa bekas kaisar itu tentu mengusahakan pemberontakan untuk merampas kembali tahta kerajaan yang sudah lepas dari tangannya. Dia hendak membangun kembali kerajaan Liu-sung yang telah jatuh, untuk menundukkan kerajaan baru Chi yang berkuasa.

"Nanti Kongcu akan memberi penjelasan serdiri kepada ji wi (kalian berdua) kalau kita sudah kembali ke sana," Pouw Cin menjawab dengan singkat. Jelas bahwa dia tidak berani dan merasa tidak berwenang untuk bicara tentang cita-cita bekas kaisar kerajaan Liu-sung itu.

Dalam perjalanan kembali ke tempat tinggal Siauw Tek, Suma Hok telah mengambil keputusan. Inilah jalan yang amat luas baginya, kesempatan untuk mencapai apa yang dia inginkan. Kalau dia dapat menjadi pembantu yang dipercaya oleh bekas kaisar itu, banyak sekali keuntungan yang akan diperolehnya. Sebelum bekas kaisar itu berhasil dengan cita-citanya, dia tentu telah mendapatkan kekuasaan atas pasukan, kalau dia menjadi pembantu utama. Apalagi kalau sampai bekas kaisar itu berhasil dalam perjuangannya merampas kembali singgasana. Tentu dia akan menjadi seorang pejabat tinggi, mungkin menteri, atau setidaknya panglima besar. Dia akan memegang, kekuasaan begitu diterima menjadi pembantu bekas kaisar itu. Keuntungan ke dua, dia dapat berdekatan dengan Pouw Kiok Lan, gadis bekas puteri istana yang cantik jelita itu. Kalau dia dapat memperisterinya, berarti dia menjadi adik ipar bekas kaisar, ataukah calon kaisar baru? Puteri ini akan dikawini demi memperoleh pangkat dan kekuasaan, sedangkan cintanya terhadap Hui Hong tidak akan berubah, bahkan pernikahannya dengan Hui Hong semakin banyak harapan terlaksana. Dengan adanya pasukan, tentu tidak sukar untuk mendapatkan Akar Bunga Gurun Pasir, dan dia-pun nanti dapat minta keterangan Pouw Cin di mana akar itu sekarang. Diapun dapat menyebar anak buah pasukan itu untuk mencari Hui Hong sampai dapat!

Sungguh berbeda sekali isi hati Suma Hok dengan isi hati Bun Houw. Dia tahu bahwa jatuhnya kerajaan Liu-sung yang kemudian diganti kerajaan Chi merupakan perang saudara. Kini, bekas kaisar Liu-sung yang kalah itu menyusun kekuatan. Perang saudara akan berlarut-larut, menimbulkan banyak korban di antara anak buah pasukan dan rakyat. Dia tidak mau terlibat perang saudara, tidak ingin menjadi satu di antara boneka-boneka yang disuruh saling bunuh demi kepentingan anggauta keluarga yang saling berebutan kekuasaan itu. Apalagi, gurunya berkata bahwa penggantian kaisar yang terjadi itu bahkan baik, karena menurut gurunya. Kaisar Cang Bu yang telah jatuh itu bukanlah kaisar yang cakap dan bijaksana, terlalu muda dan mudah terpengaruh oleh menteri-menteri yang palsu dan korup. Juga gurunya berkata bahwa penggantian kaisar itu bahkan lebih baik. Kalau kini dia melibatkan diri dalam usaha perjuangan atau pemberontakan bekas kaisar itu, berarti dia ikut saling bunuh dengan saudara sebangsa, demi kepentingan kaisar yang udah jatuh itu. Selain itu, menurut pendapatnya, usaha yang lebih merupakan pembatasan atau perebutan kekuasaan yang diadakan bekas kaisar ini, tidak akan berhasil. Apa artinya beberapa ribu orang pasukan dibandingkan dengan balatentara kerajaan Chi yang tentu amat besar jumlahnya? Selain itu, perjuangan menentang kekuasaan yang ada baru akan berhasil kalau dibantu oleh rakyat, dan rakyat baru akan mau membantu kalau kekuasaan itu dirasakan menindas dan jahat bagi rakyat. Tanpa bantuan rakyat, usaha perjuangan tak mungkin berhasil. Dan Bun Houw tidak melihat adanya dukungan rakyat jelata terhadap gerakan Siauw Tek ini, bahkan rakyat tidak mengetahuinya karena gerakan itu dilakukan secara rahasia.

Perjalanan meninjau perbentengan itu cukup jauh sehingga ketika mereka kembali ke rumah besar itu, matahari telah tenggelam ke barat dan cuaca sudah remang-remang, malam menjelang tiba. Rumah itu telah diterangi banyak lampu, seolah dalam keadaan pesta menyambut dua orang tamu agung itu. Suma Hok dan Bun Houw dipersilakan ke kamar masing-masing, dua buah kamar yang terpisah dan Bun Houw mendapatkan bahwa buntalan pakaian yang tadinya dia tinggalkan di rumah penginapan itu telah berada di dalam kamar itu. Seorang pelayan pria melayani keperluan Bun Houw, mempersiapkan air untuk mandi dan setelah mandi dan berganti pakaian, Bun Houw menerima undangan tuan rumah untuk makan malam di ruangan makan. Bun Houw memasuki ruangan itu dan ternyata Suma Hok telah berada di situ. Seperti siang tadi, Pouw Cin menemani mereka yang dijamu oleh Siauw Tek dan Kiok Lan. Wanita-wanita muda yang cantik kini diperkenankan melayani mereka makan minum dan suasana makan malam itu cukup gembira. Apalagi karena Suma Hok sudah kelihatan akrab dengan Siauw Tek dan terutama sekali dengan Kiok Lan. Pemuda, putera majikan Bukit Bayangan Iblis ini memang pandai merayu, halus tutur sapanya, dan selain ilmu silat tinggi, juga dia mengenal baik kesusasteraan dan pandai bermain suling dengan lagu-lagu merdu. Maka dengan mudah dia dapat menarik perhatian kakak beradik bangsawan itu dan menjadi akrab dengan mereka.

Dengan caranya yang halus dan cerdik, tadi Suma Hok dapat mendahului Bun Houw menemui Siauw Tek dan Kiok Lan, dan dengan pandai sekali dia memancing mereka untuk mendengar pendapat mereka tentang aib yang terjadi di istana ketika Pangeran Tiauw Sun Ong berjina dengan seorang selir kaisar. Dia mengatakan bahwa dia pernah mendengar peristiwa itu di luaran, dan apakah bekas kaisar itu tahu akan hal itu?

Mendengar ini, kakak beradik itu saling pandang, kemudian Siauw Tek mengerutkan alis dan berseru, "Ahh, jadi peristiwa itu sudah pula tersiar di luar istana? Memang aib yang amat memalukan. Terjadi ketika aku masih kecil, berusia tiga tahun kurang lebih. Aku mendengar peristiwa aib itu dari cerita para orang tua di istana."

"Jadi benarkah peristiwa itu, Kongcu? Tadinya saya kira hanya berita bohong belaka, karena di dunia kang-ouw, Tiauw Sun Ong muncul sebagai seorang tokoh yang lihai.

Akan tetapi dia buta, bagaimana mungkin seorang selir kaisar ... maaf, dapat tertarik kepada seorang pangeran buta?" Sebetulnya Suma Hok sudah tahu akan persoalannya, akan tetapi dia pura-pura tidak tahu untuk memancing dan melihat bagaimana sikap bekas kaisar ini terhadap Tiauw Sun Ong.

"Tadinya Paman Pangeran Tiauw Sun Ong tidak buta. Dia seorang pangeran yang tampan dan selir ... eh, selir mendiang ayahku itu tergila-gila kepadanya. Setelah perbuatan mereka ketahuan, Paman Tiauw Sun Ong membutakan mata sendiri dan meninggalkan istana. Adapun selir ayah itu dihukum buang, Ah, tidak perlu kita bicara tentang aib yang menjengkelkan itu!"

"Akan tetapi, kenapa yang melakukan aib menodai nama yang mulia dari Kaisar, tidak dihukum mati?" Suma Hok memancing.

Siauw Tek mengepal tinju. "Sepatutnya memang dia dihukum mati! Akan tetapi dia adalah adik mendiang ayah, dan dia sudah membutakan kedua matanya, ayah mengampuninya."

"Ah, mendiang ayah memang terlalu lunak," kata Kiok Lan. "Dosa itu teramat besar, menodai nama dan kehormatan seluruh keluarga. Karena kelemahan ayah, maka sampai sekarang dia masih hidup dan tentu saja peristiwa itu menjadi dongeng dan diketahui banyak orang. Coba andaikata ketika itu dia dan perempuan itu dihukum mati, mungkin berita itu tidak sampai tersebar."

"Engkau benar, adikku. Memang mendiang ayah terlalu lemah. Bahkan kabarnya, selir yang menyeleweng itupun tidak sampai mati. di dalam perjalanan, para pengawalnya dibunuh orang dan ia lenyap entah ke mana."

Kini yakinlah Suma Hok bahwa kakak beradik bangsawan ini tidak suka kepada Tiauw Sun Ong dan hal ini menyenangkan hatinya. Setidaknya dia memiliki senjata ampuh untuk menarik kedua orang ini berpihak kepadanya kalau dia bentrok dengan Bun Houw. Pada saat itulah, Bun Houw memasuki ruangan makan dan tentu saja percakapan itu terhenti.

Setelah selesai makan minum, sekali ini Siauw Tek mengajak mereka bercakap-cakap di ruangan dalam, tidak lagi di ruangan tamu. Hal ini saja sudah menunjukkan bahwa dia mulai percaya kepada kedua orang tamunya.

Setelah duduk diruangan dalam yang lebih mewah keadaannya ini, Siauw Tek bertanya kepada kedua orang tamunya. "Bagaimana, apakah kalian berdua sudah menyaksikan keadaan kami dan apa pendapat kalian?"

Suma Hok cepat menjawab. "Wah, hebat sekali, Kongcu. Pasukan-pasukan dengan empat benteng itu amat kuat, dan kalau mendapat pimpinan seorang ahli, tentu dapat menjadi kekuatan yang dahsyat!"

Siauw Tek senang dengan pendapat ini dan dia tersenyum bangga, akan tetapi melihat Bun Houw diam saja, dia bertanya. Bagaimana pendapatmu, Kwa-toako? Cukup kuatkah pasukan yang sudah kami himpun?"

Bun Houw menjawab dengan tenang, "Saya kira, tergantung dari penggunaannya, Kongcu."

"Apa maksudmu, toako?"

"Seperti sepotong pisau dapur, terlalu besar untuk mencukur jenggot dan terlalu kecil untuk bertempur di medan perang."

Siauw Tek mengangguk dan tersenyum. "Jawabanmu memang tepat akan tetapi terlalu berhati-hati, Kwa-toako. Baiklah, sekarang kalian berdua dengarkan dulu tentang keadaan diriku semenjak kerajaan Liu-sung dikhianati para pemberontak yang kini membangun kerajaan Chi itu."

Bekas kaisar itu lalu bercerita. Pemberontakan yang dilakukan oleh Siauw Hui Kong dan kawan-kawannya, yaitu juga anggauta keluarga kaisar dari pihak wanita, menimbulkan perang saudara selama tiga tahun, dimulai dari tahun 476 dan berakhir tiga tahun kemudian, yaitu pada tahun 479 dengan jatuhnya kerajaan Liu-sung. Siauw Hui Kong mengangkat diri menjadi Kaisar Siauw Bian Ong kaisar yang mendirikan dinasti atau kerajaan Chi. Dalam penyerbuan itu, Siauw Hui Kong dan sekutunya masih memberi kelonggaran kepada keluarga kaisar untuk melarikan diri. Akan tetapi mereka yang melakukan perlawanan, semua tertumpas dan binasa. Kaisar Cang Bu sendiri yang ketika itu berusia tujuh belas tahun, melarikan diri dengan dikawal oleh Panglima Pouw Cin. Dalam pelarian ini terbawa pula beberapa orang selir dan juga Kiok Lan yang baru berusia dua belas tahun ikut pula lari mengungsi bersama kakak tirinya. Kiok Lan dan Kaisar Cang Bu seayah berlainan ibu, karena Kiok Lan beribu dari seorang selir. Sesungguhnya, kalau pihak lawan, yaitu pihak keluarga Siauw yang memberontak, menghendaki pelarian bekas kaisar itu tentu akan gagal dan akan mudah saja menangkapnya rombongan pengungsi ini. Akan tetapi karena memang masih ada hubungan keluarga, agaknya pihak yang menang memang sengaja bersikap longgar, membiarkan pihak yang kalah untuk mengungsi.

"Demikianlah, ji-wi tahu bahwa setelah, kehilangan mahkota, terpaksa aku menyamar sebagai orang biasa, menggunakan nama kecilku, yaitu Liu Tek dan kusingkat menjadi Siauw Tek, agar selain tidak dikenal orang, juga aku sengaja menggunakan nama keluarga kaisar yang sekarang. Tentu saja, setema lima tahun ini, sejak keluar dari istana, aku tidak pernah melupakan kekalahan ini. Aku, dibantu oleh Paman Pouw, mulai menghimpun kekuatan karena kami bercita-cita untuk merampas kembali singgasana dan mendirikan kembali kerajaan Liu-sung yang telah dikhianati oleh keluarga Siauw yang kini mendirikan dinasti Chi. Kami mengundang sebanyaknya orang-orang pandai seluruh negeri untuk membantu kami. Karena itu, setelah bertemu dengan ji-wi, kami juga menawarkan kepada ji-wi agar suka membantu kami. Percayalah, kalau sampai cita-cita kami terlaksana, dan kami dapat mendirikan lagi kerajaan Liu-sung, kalian berdua akan menerima anugerah kedudukan yang tinggi dalam kerajaan kami. Kami tidak minta jawaban sekarang. Sebaiknya, ji-wi (kalian) mempertimbangkan permintaan kami itu semalam ini sambil beristirahat dalam kamar ji-wi masing-masing. Besok pagi kami mengharapkan jawaban dan keputusan yang pasti."

Tadinya Bun Houw ingin menyatakan keputusannya pada malam itu juga, yaitu menolak tawaran bekas kaisar itu untuk membantu gerakannya hendak memberontak. Akan tetapi karena Siauw Tek memberi waktu semalam untuk mengambil keputusan, diapun merasa tidak enak kalau menolak seketika tanpa dipertimbangkan dulu.

Di dalam kamarnya, Bun Houw duduk bersila di atas pembaringan, termenung. Dia dapat menduga bahwa orang yang berjiwa petualang seperti Suma Hok, yang hendak mencari keuntungan bagi diri sendiri saja, tentu tertarik oleh penawaran bekas kaisar itu. Apalagi dia melihat sinar mata pemuda pesolek itu ketika memandang Kiok Lan, ia tidak ragu lagi bahwa Suma Hok pastikan menerima penawaran itu. Akan tetapi dia tidak akan menerimanya, dia akan menolak dengan halus. Dia masih mempunyai tugas, yaitu mencari Hui Hong. Dan pengalamannya dengan bekas kaisar ini sudah merupakan suatu berita yang amat menarik bagi gurunya, selain itu, diapun akan melaksanakan pesan gurunya menyelidiki keadaan pemerintahan Kerajaan Chi yang baru itu.

Daun pintu terketuk. Bun Houw merasa heran. Malam telah larut, mungkin sudah hampir tengah malam. Siapa yang mengetuk pintu kamarnya? Ketukan itu lirih dan pendengarannya yang tajam menangkap gerakan kaki ringan di luar pintu. Seorang wanita di depan pintu kamarnya! Siapa? Mau apa? Dia memang mengunci daun pintu dari dalam. Dia berada di bawah satu atap dengan seorang seperti Suma Hok, maka dia harus berhati-hati. Tidak dapat diduga apa yang akan dilakukan oleh pemuda yang kejam dan licik bagaikan iblis itu.

"Siapa di luar?" Bun Houw bertanya sambil menghampiri pintu.

"Saya, Kwa-kongcu. Harap suka membuka pintu, saya mempunyai kepentingan untuk dibicarakan denganmu." terdengar suara wanita yang merdu. Bukan suara Kiok Lan, pikir Bun Houw yang menjadi semakin heran. Dia membuka kunci daun pintu dan masuklah seorang wanita muda yang cantik manis. Begitu ia masuk, tercium bau yang harum dari pakaiannya. Bun Houw mengenal wanita ini sebagai seorang di antara lima wanita cantik yang melayani ketika dia dan tuan rumah makan, lalu muncul Kiok Lan menyuruh lima orang wanita yang disebutnya enci itu agar tidak melayani mereka lagi. Wanita ini usianya tidak akan lebih dari dua puluh tahun, cantik manis dan di balik kerling mata dan senyumnya tersembunyi kegenitan dan gairah.

"Eh, kenapa nona masuk ke sini? Ada urusan penting apa yang akan dibicarakan?" tanya Bun Houw, alisnya berkerut karena tidak senang melihat seorang wanita muda memasuki kamarnya. Kalau kelihatan tuan rumah, tentu akan menyangka yang bukan-bukan. Akan tetapi, kesopanan melarangnya untuk mengusir begitu saja.

Gadis itu menundukkan mukanya, akan tetapi matanya mengerling ke samping atas, ke arah wajah Bun Houw dan senyumnya dikulum. Memang gaya ini membuat ia nampak manis dan menarik sekali, sikap jinak-jinak merpati! "Kwa-kongcu, saya bernama Yo Leng Liwa, biasa disebut Leng Leng, berusia sembilan belas tahun ... "

"Ya, ya ... akan tetapi mau apa engkau masuk ke sini? Ada kepentingan apa ... ?" Bun Houw memotong tak sabar.

Kembali kerling itu menyambar dan senyum itu melebar. Segumpal rambut jatuh berderai di leher yang panjang dan berkulit putih mulus itu. "Kongcu, malam begini dingin dan sunyi dan kongcu berada seorang diri saja di dalam kamar, saya pikir saya ... saya dapat menemani kongcu, menghibur kongcu dan melakukan apa saja untuk melayani kongcu." katanya dengan suara setengah berbisik, dan kata-katanya berlagu seperti orang bersenandung.

Wajah Bun Houw berubah kemerahan. Tentu saja dia mengerti apa yang dimaksudkan wanita ini. Wanita muda cantik genit ini merayunya. Akan tetapi dia menahan kemarahannya dan tidak menghardiknya karena tiba-tiba timbul kecurigaan dalam hatinya. Dia baru pertama kali bertemu wanita ini, di antara empat orang rekannya, itupun ketika mereka melayaninya makan. Tidak mungkin kalau dalam pertemuan singkat itu, wanita ini lalu jatuh hati kepadanya! Dan kiranya, tidak akan mungkin wanita ini berani begitu merayunya. Bukankah dia seorang tamu dihormati? Dan gadis ini juga bukan pelayan? Ada pelayan lain dan agaknya orang itu mempunyai kedudukan yang cukup terhormat di rumah itu. Bukankah Kiok Lan adik bekas kaisar itu sendiri juga menyebut mereka berlima itu dengan sebutan enci? Dia menduga bahwa gadis ini, seperti empat yang lain tentulah semacam dayang atau lebih tepat lagi, selir-selir dari bekas kaisar itu. Dan kini, kalau ia berani memasuki kamarnya, menawarkan diri untuk melayani dan menghiburnya, jelas bahwa hal ini tentu merupakan tugas baginya. Tentu ada yang memerintahnya?

TIBA-TIBA sinar matanya mencorong ketika dia berkata, "Nona, coba angkat mukamu dan kau pandang aku!!"

Gadis itu mengangkat mukanya yang cantik dan memberanikan diri memandang. Dua pasang mata bertemu dan gadis itu terkejut melihat mata yang mencorong penuh kekuatan itu. Ia ingin menundukkan kembali mukanya, akan tetapi tidak mampu, serasa ada kekuatan dari sepasang mata yang mencorong itu yang mengikat dan menahan pandang matanya sehingga tak dapat ditundukkan.

"Nona, engkau tentulah seorang selir dari Siauw Kongcu, bekas kaisar itu, bukan?" tanya Bun Houw.

"Benar, kongcu," jawab Leng Leng dengan lirih dan kini sikap rayuannya lenyap, berubah menjadi khawatir.

"Hemm, kalau engkau sudah menjadi selirnya, kenapa malam-malam begini berusaha menggodaku? Apakah engkau ini jenis isteri yang tidak setia dan suka melakukan penyelewengan dengan laki-laki lain?"

Wajah yang cantik itu tiba-tiba berubah merah dan mata itu mengeluarkan sinar merah. "Kwa-kongcu, jangan menuduh sembarangan! Aku adalah seorang isteri yang setia dan taat kepada suami. Andaikata suamiku menyuruh aku menyerahkan nyawa sekalipun akan kutaati, apalagi hanya menyerahkan badan. Aku hanya meliksanakan tugas, mentaati perintah."

1 2 3 4 5 6 7 8 9

Tidak ada komentar:

Posting Komentar