Akan tetapi Tiauw Sun Ong tidak memperdulikannya. "Bun Houw, mari kita pergi." Guru dan murid itupun pergi meninggalkan Lembah Bukit Siluman. Biarpun di situ terdapat banyak anak buah Ouwyang Sek, namun tidak ada seorangpun berani bergerak untuk menentang mereka karena selain mereka tidak berani, Juga tidak ada perintah dari majikan mereka. Ouwyang Sek dengan sedih memondong jenazah isterinya, dibawa masuk ke dalam runah dan keluarga itu berkabung. Akan tetapi, Hui Hong tidak berada di situ, bahkan Ouwyang Toan juga tidak ada karena pemuda ini setelah mengetahui bahwa Hui Hong pergi tanpa pamit, segera pergi pula untuk mencarinya.
DUA orang wanita yang mamasuki rumah makan An-lok (Selamat Bahagia) di kota Ki-ciu itu memang amat menarik hati, terutama kaum pria, karena keduanya amat cantik jelita. Orang pertama adalah seorang wanita yang telah matang karena ia nampaknya berusia tiga puluh tahun lebih. Pada hal sesungguhnya wanita ini sudah berusia empat puluh delapan tahun! Dalam usia mendekati setengah abad itu, ia masih kelihatan muda dan cantik menarik. Wajahnya yang berkulit putih halus kemerahan itu manis sekali, nampak masih segar dan tidak kelihatan tanda ketuaan sama sekali. Juga bentuk tubuhnya masih padat dan ramping. Rambutnya digelung indah seperti sanggol rambut seorang puteri bangsawan saja, dan pakaiannya juga indah dan mahal. Hal ini tidaklah mengherankan karena wanita ini adalah Bwe Si Ni yang berjuluk Kwan-im sian-li (Dewi Kwan Im)! Ia adalah bekas dayang istana kerajaan Liu-sung yang telah jatuhi, dan setelah kini keluar dari istana, ia meniru gaya dan dandanan seorang pateri istana, bukan seorang dayang lagi!"
Wanita yang ke dua lebih menarik lagi walaupun pakaian dan dandanannya tidak semewah wanita pertama. Ia seorang gadis yang juga berkulit putih mulus, namun pakaian dan dandanannya sederhana sehingga ia nampak cantik manis dan agung, juga gagah karena di punggungnya terdapat gendongan sebuah bantalan kain kuning dan di bawah buntalan itu terdapat pula sepasang pedang yang sarung dan gagangnya terukir indah. Gadis berusia dua puluh satu tahun ini adalah Hui Hong.
Seperti kita ketahui, Hui Hong mendengar pengakuan ibu kandungnya bahwa ia bukanlah puteri Ouwyang Sek, melainkan puteri bekas Pangeran Tiauw Sun Ong, ketika ia bertanya kepada ibunya di mana ayah kandungnya itu berada, ibunya tidak mampu menjawab, dan Kwan-im Sian-li Bwe Si Ni yang menjawabnya, bahwa ia tahu di mana adanya Tiauw Sun Ong. Maka Hui Hong lalu mau diajak pergi untuk ditunjukkan di mana ayahnya tinggal. Dan mereka melakukan perjalanan jauh sampai pada pagi hari itu mereka tiba di kota Ki-ciu dan memasuki rumah makan An-lok, menjadi pusat perhatian para tamu yang pada pagi hari itu banyak yang sarapan di rumah makan itu.
Kedua orang wanita itu sama sekali tidak perduli akan sikap dan gaya para pria yang berada di rumah makan itu. Hui Hong sendiri sudah sering melakukan perjalanan dan ia tahu benar bahwa semua pria di manapun juga sama saja, selalu bergaya dan beraksi kalau melihat wanita cantik dan ia tahu bahwa sahabat barunya ini yang mengaku bernama Bwe Si Ni dan mengetahui di mana adanya ayah kandungnya, adalah seorang wanita yang amat cantik. Juga selain cantik, wanita ini tentu lihai, hal itu pernah ia buktikan ketika ia mengejar wanita ini yang dapat berlari cepat bukan main. Biarpun belum pernah ia menguji ilmu silatnya dan mereka berdua dalam perjalanan tidak banyak cakap dan tidak pernah bicara tentang ilmu silat, namun Hui Hong dapat menduga bahwa wanita ini tentu lihai. Setelah mengambil tempat duduk dan pelayan dengan sikap hormat bertanya makanan dan minuman apa yang mereka pesan, Bwe Si Ni bertanya kepadanya. "Engkau ingin makan apa? Dan minum apa?"
Hui Hong tersenyum. Wanita cantik ini jarang sekali bicara. Kalau tidak perlu tidak pernah bicara dan nampaknya acuh saja terhadap dirinya. Akan tetapi pagi ini kelihatan lebih ramah dari pada biasanya, "Apa saja sesukamu, enci. Aku tidak ingin sesuatu yang istimewa, juga tidak menolak macam makanan." jawabnya, ramah pula. Biarpun di lubuk hatinya, Hui Hong belum percaya sepenuhnya kepada wanita ini, dan tidak begitu suka karena wanita ini dianggapnya pesolek dan dingin, namun karena ia membutuhkan bantuannya untuk dapat bertemu dengan ayah kandungnya maka iapun berusaha untuk bersikap baik dan ramah.
Bwe Si Ni tersenyum. "Aku ingin makan bebek panggang dan goreng burung dara. Minumnya ringan saja sari buah, tidak enak minum yang keras sepagi ini."
"Terserah, pilihanmu terdengar enak. Enci." Bwe Si Ni lalu memesan masakan itu kepada kepala pelayan yang sudah datang melayani sendiri. Ketika kepala pelayan sudah mencatat pesanannya, dan matanya jelas menatap tajam dan penuh kagum kepada dua orang tamunya itu. Bwe Si Ni mengerutkan alisnya dan suaranya mendesis ketus.
"Apa yang kaulihat! Matamu kurang ajar, hayo cepat sediakan pesanan kami!"
Kepala pelayan itu terkejut, membungkuk-bungkuk dan segera pergi. Sudah beberapa kali dalam perjalanan mereka, Hui Hong melihat sikap galak dan ketus dari temannya itu terhadap pria. ia sendiri juga membenci pria yang kurang ajar dan tidak sopan, akan tetapi tidak sehebat Bwe Si Ni. Baru melihat saja sudah dapat membuat ia marah-marah. Sikapnya seolah wanita cantik ini amat membenci kaum pria. Diam-diam ia merasa heran. Seorang wanita sehebat ini, mustahil kalau belum berumah tangga dan ia menduga-duga siapa gerangan suami wanita ini dan di mana tempat tinggalnya, dari mana asalnya. Akan tetapi ia belum sempat mendapatkan saat yang tepat untuk menanyakan hal itu tanpa menyinggungnya.
Tak lama kemudian, pesanan mereka datang dan keduanya lalu makan minum tanpa memperdulikan puluhan pasang mata yang seolah mengikuti setiap gerak gerik mereka. Hui Hong yang diam-diam memperhatikan temannya, melihat betapa cara makan Bwe Si Ni juga anggun, seperti dibuat-buat dan diatur. Pernah ia mendengar dari ayahnya, atau ayah tirinya, bahwa kehidupan para bangsawan tinggi lain dari cara hidup orang biasa. Bahkan dalam hal bicara atau makan saja mereka mempunyai cara sendiri, seperti diatur. Apakah wanita di depannya ini juga seorang wanita bangsawan?
Ketika kedua orang wanita ini hampir selesai makan, tiba-tiba mereka melihat para pelayan nampak ketakutan, dan kepala pelayan bersama pimpinan rumah makan itu yang tadinya hanya duduk di dekat kasir, dengan membungkuk-bungkuk dan senyum dibuat-buat menyongsong ke luar, seperti menyambut datangnya tamu agung. Bahkan para tamu yang tadinya nampak gembira mengamati dua orang wanita cantik itu, kini nampak khawatir, bahkan ada beberapa orang di antara mereka yang tergesa-gesa membayar harga makanan dan meninggalkan meja mereka.
"Sediakan meja besar untuk kami! Yang di tengah itu, dan keluarkan hidangan yang kami sukai, seperti biasa! Usir yang duduk di meja besar tengah itu dan bersihkan mejanya sampai mengkilap!" terdengar suara dengan logat selatan, dan suara itu mengandung keangkuhan yang memuakkan hati Bwe Si Ni dan Hui Hong.
Akan tetapi karena yang diusir dari meja bukan mereka, keduanya diam saja dan tidak ambil perduli. Sekeluarga yang tadinya makan minum di meja itu, tanpa berani membantah lalu pindah ke meja lain dan makanan mereka diusungi para palayan. Ada yang membersihkan meja itu.
"Hayo cepat hidangkan masakan buat kami. Kami sudah lapar dan keluarkan dulu arak yang paling baik!" kembali terdengar suara orang, sekali ini bukan suara yang tadi, kemudian terdengar bangku diseret dan terdengar pula orang yang membesihkan hidung dan tenggorokan dengan suara yang menjijikkan sekali.
"Jahanam!" Bwe Si Ni mendesis dan melepaskan sepasang sumpitnya di atas meja. Juga Hui Hong merasa muak dan tidak melanjutkan makan. Untung mereka sudah kenyang. Kini dengan sinar mata marah, ketuanya menoleh untuk melihat orang-orang macam apa yang demikian sombong dan tidak mengenal sopan santun.
Kiranya meraka adalah tiga orang yang sikapnya kasar, berusia antara tiga puluh sampai empat puluh tahun, potongan pakaian mereka ringkas seperti yang biasa dipakai orang-orang dari dunia persilatan, dan di punggung mereka terselip golok telanjang yang berkilauan. Dari dandanan, senjata, dan sikap mereka jelas dan mudah diketahui bahwa mereka tentu orang-orang kang-ouw golongan sesat yang suka mempergunakan kekuatan bermain kasar dan keras memaksakan kehendak kepada orang lain. Hal inipun tidak akan diperduli oleh Hui Hong maupun Bwe Si Ni kalau saja tiga orang itu tidak mencari penyakit sendiri. Ketika dua orang wanita itu menoleh ke arah mereka, kebetulan sekali yang termuda, berusia tiga puluh tahun dan mukanya kekuning-kuningan seperti penderita penyakit dan tubuhnya tinggi kurus, memandang kepada mereka dan baru melihat bahwa dua orang wanita yang menoleh itu amatlah cantiknya.
"Heiiii! Wah, sekali ini kita memang beruntung sekali, kawan-kawan!" Serunya gembira. "Siapa kira di sini ada dua orang bidadari yang amat cantik jelita sudah menunggu dan siap menemani kita makan minum dan bersenang-senang!"
Mendengar ucapan adik segerombolan mereka itu, dua orang yang lain juga memandang. Mereka tidak semata keranjang adik mereka, akan tetapi sekali ini mereka menelan ludah karena jarang mereka melihat dua orang wanita secantik yang ditunjukkan adik mereka itu.
"Heh-heh-heh. matamu awas sekali, sute (adik seperguruan)!" kata yang bertubuh pendek gendut berperut besar sambil terkekeh. "Mereka memang cantik manis dan sekali ini aku tidak ingin pura-pura alim."
Orang ke tiga yang paling tua, berusia empat puluhan tahun, juga terpesona. Akan tetapi dia lebih berhati-hati dibandingkan dua orang sutenya karena dia melihat sepasang pedang yang tergantung di pinggang Hui Hong. Bwe Si Ni sendiri menyembunyikan pedangnya di balik jubahnya yang lebar dan panjang.
"Sute, mereka agaknya segolongan. Sebaiknya kalau kita mengundang mereka baik-baik untuk berkenalan." katanya dan tiga orang itu seperti dikomando, telah bangkit berdiri dan menghampiri meja di mana dua orang wanita itu sudah tidak makan lagi dan sedang membersihkan bibir dengan saputangan.
Mereka memutari meja itu dan berdiri berjejer, menghadapi dua orang wanita itu dengan muka cengar-cengir. Si kumis lebat, yaitu orang tertua yang bertubuh sedang dan nampak kokoh kuat. mengangkat kedua tangan dan memberi hormat kepada Si Ni dan Hui Hong, diikuti dua orang sutenya yang masih menyeringai senang karena setelah kini mereka berhadapan dengan dua orang wanita itu, semakin jelas nampak betapa cantik menariknya dua orang wanita di depan mereka itu.
"Nona berdua tentulah wanita wanita kang-ouw yang segolongan dengan kami, oleh karena itu, kami ingin berkenalan dengan ji-wi (anda berdua). Kami adalah tiga orang di antara Ki-ciu Ngo-houw (Lima Harimau Ki-ciu) ,yang mengusai daerah ini. Kami mengundang ji-wi untuk berkenalan sambil makan minum di meja kami. Silakan!" Dengan sikap dibuat-buat si kumis lebat itu mempersilakan dua orang wanita itu untuk pindah ke meja mereka dengan keyakinan bahwa dua orang wanita itu akan pasti suka menerima undangannya karena kama berur Ki-elu Nf,o-houw ditakuti senni orang didsersb itu ... "
Bwe Si Ni mengerutkan alisnya dan matanya mencorong ketika ia menyapu tiga orang itu dengan pandang matanya. "Tidak perduli kalian ini Lima Harimau atau Lima Anjing dari Ki-ciu, aku tidak perduli dan aku tidak sudi berkenalan dengan kalian!"
Hui Hong tersenyum. "Hi-hik. kami sudah makan kenyang. Andaikata belum makanpun, kami tidak sudi makan bersama kalian yang jorok dan menjijikkan!"
Kedua orang wanita itu bangkit, lalu menghampiri meja kasir dan membayar harga makanan dan minuman tanpa memperdulikan tiga orang itu lagi, kemudian keluar dari rumah makan. Semua tamu yang kebetulan melihat semua ini, terbelalak dan terheran-heran bagaimana ada dua orang, wanita lagi, berani bersikap saperti itu terhadap tiga orang ini. Tiga orang jagoan itupun sudah marah sekali dan mereka mengepal tinju.
"Mohon sam-wi tidak o en bikin ribut di sini ... " pemilik rumah makan menjura dan meratap kepada mereka.
"Sediakan saja pesanan kami! Setelah kami menghajar dan menyeret dua orang perempuan itu, baru kami akan makan!" kata si kumis tebal dengan marah dan bersama dua orang suteenya, dia lalu melangkah lebar keluar dari rumah makan melakukan pengejaran. Tiga orang ini memang merupakan tiga orang di antara Ki-ciu Ngo-houw yang terkenal memiliki kekuasaan dan pengaruh besar di daerah Ki-ciu. Merekapun berhubungan baik dengan para pejabat setempat sehingga ada kerja sama diantara mereka. Mereka tidak dimusuhi para pejabat, akan tetapi merekapun berjanji tidak akan membuat kacau dan kerusuhan di kota Ki-ciu. Inilah sebabnya mengapa mereka tadi masih menahan sabar walaupun marah sekali dengan sikap dua orang gadis di rumah makan An-lok. Ketika mereka membayangi dua orang gadis itupun mereka masih tidak mau membikin ribut di dalam kota. Setelah Hui Hong dan Si Ni tiba di luar kota Ki-ciu untuk melanjutkan perjalanan, barulah tiga orang itu dengan cepat mengejar, kemudian mendahului mereka dan menghadang di jalan yang sunyi itu.
Tentu saja dua orang wanita perkasa itu sejak tadi tahu bahwa tiga orang yang menjemukan itu membayangi mereka sejak dari rumah makan dan kini menghadang mereka di jalan sunyi luar kota.
"Enci biar aku yang menghadapi mereka," kata Hui Hong mendahului karena ia dapat menduga bahwa kalau wanita cantik itu yang turun tangan mungkin saja ia akan membunuh ketiganya. Biarpun sejak kecil ia dididik oleh Bu-eng-kiam Ouwyang Sek, seorang datuk besar yang tadinya ia anggap sebagai ayahnya, bukan saja dididik dengan ilmu-ilmu yang hebat, akan tetapi juga melihat kekerasan dipergunakan datuk itu, namun ia selalu diberi nasehat oleh ibunya agar ia tidak berwatak kejam dan tidak sembarangan membunuh orang. Karena itu, dalam hati Hui Hong terbentuk watak yang tidak kejam seperti ayahnya walaupun ia keras dan galak, dan tidak mau membunuh orang sembarangan saja. sekarangpun ia menganggap bahwa tiga orang laki-laki yang kurang sopan itu hanya patut dihajar, tidak seharusnya dibunuh seperti orang-orang jahat.
Bwe Si Ni mengangguk, lalu ia duduk di atas batu di tepi jalan, ingin menonton dan melihat sampai di mana kehebatan puteri kandung Tiauw Sun Ong atau juga murid dari Bu-eng-kiam ini.
Melihat betapa yang menghadapi mereka adalah gadis yang lebih muda, sedangkan wanita yang ke dua enak-enak duduk menonton, tiga orang itu menjadi semakin marah dan merasa dipandang ringan. Si kumis tebal sudah melangkah maju dan menudingkan telunjuknya ke arah hidung Hui Hong sambil berkata, "Gadis liar, tadi kami bertiga tidak ingin membikin ribut di rumah makan dan di kota, maka kami menahan sabar. Sekarang, kami akan menghajar kalian dan menyeret kalian kembali ke rumah makan An-lok untuk menemani kami! Kami harus menebus penghinaan yang kalian lakukan tadi yang telah membikin malu kepada kami di depan orang banyak."
Hui Hong tersenyum dan tiga orang itu menelan ludah. Gadis yang mereka hadapi ini manis luar biasa! "Enci itu tadi mengatakan kalian tiga ekor anjing, dan memang benar karena kalian pandai menggonggong. Biasanya, anjing-anjing yang banyak menggonggong tidak menggigil. Pergilah, sekali ini biar kuampuni. Pergi sebelum kalian menerima penghinaan lebih parah lagi!"
Tentu saja tiga orang itu menjadi marah bukan main. "Tangkap gadis liar ini! Bekuk dulu, baru kita bekuk yang seorang lagi!" teriak si kumis tebal.
Tiga orang itu menerjang ke depan dan mereka memang memiliki gerakan yang tangkas, cepat dan kuat. Namun, yang mereka hadapi adalah gadis puteri atau murid datuk besar majikan Lembah Bukit Siluman! Tingkat kepandaian Hui Hong jauh lebih tinggi dibandingkan mereka, maka melihat mereka bertiga sudah menerjang untuk menangkapnya, dengan ringan dan mudah saja Hui Hong menyelinap di antara tangan-tangan mereka dan lolos dari terkaman. Tiga orang itu terkejut melihat gadis itu menjadi bayangan berkelebat dan lenyap. Mereka membalik dan ternyata gadis itu telah berdiri di belakang mereka dan menggunakan tangan menggapai dan menantang.
Dari gerakan gadis itu, mereka dapat menduga balwa gadis itu bukan orang lemah, maka kalau tadi mereka hanya berebut untuk dapat menangkap Hui Hong, kini mereka menerjang dengan pukulan pukulan!"
Kembali Hui Hong menggunakan kelincahannya untuk mengelak ke sana-sini. kemudian ketika lengan si tinggi kurus muka kuning menyentuh pundaknya dari belakang, ia menangkap pergelangan tangan itu, mengerahkan tenaga dan membungkuk, menarik tangan itu dan tubuh si tinggi kurus berputar dengan kaki ke atas melewati tubuh Hui Hong dan terbanting keras di atas tanah.
"Ngekkk ... !" Si muka kuning mengaduh-aduh. lalu merangkak dan mencoba bangkit sambil memegangi punggungnya yang rasanya seperti patah-patah tulangnya dan pinggulnya yang tipis tak berdaging itu nyeri bukan main. Dia melangkah menjauh dengan terpincang, pincang, untuk sementara tidak maupu menyerang lagi.
Dua orang kawannya tentu saja marah sekali melihat si muka kuning toboh. Mereka, menyerang semakin nekat dan kini mereka bukan hanya ingin menghajar, bahkan kalau perlu membunuh karena serangan-serangan mereka kini merupakan serangan maut yang dapat mematikan lawan. Melihat ini, Hui Hong juga tidak mau membuang banyak waktu lagi. Ketika si perut gendut menerjang dari samping. ia mundur dua langkah dan ketika tubuh gemuk itu terdorong ke depan, secepat kilat kaki kiri Hui Hong mencuat dan ujung sepatunya memasuki perut yang bergajih itu dengan kerasnya.
"Ngekk ...!" Tubuh gendut itu terjengkang dan terbanting keras sampai bergulingan.
Si gendut berteriak-teriak kesakitan dan seperti juga sutenya tadi, dia merangkak dan dengan susah payah mencoba bangkit sambil menekan perutnya yang tiba-tiba menjadi mulas.
Orang pertama yang selain marah juga terkejut melihat akibat perkelahian ini. mencabut goloknya yang terselip di punggung, lalu menyerang Hui Hong dengan bacokan-bacokan goloknya. Terdengar suara berdesing-desing ketika golok yang lebar dan tajam itu membelah udara kosong karena tidak pernah dapat menyentuh sasarannya.
Hui Hong menjadi marah. Mungkin saja tiga orang ini bukan orang-orang yang suka berbuat jahat, akan tetapi sudah jelas bahwa mereka, terutama si kumis tebal ini mempunyai hati yang kejam. Buktinya mereka mengeroyok seorang lawan wanita, bahkan melakukan serangan untuk mematikan, pada hal sebab perkelahian hanya sepele saja. Dan si kumis tebal ini malah tidak segan segan menggunakan golok menyerang lawan yang tidak bersenjata.
Ketika untuk ke sekian kalinya golok itu menyambar, Hui Hong membiarkan golok itu lewat dengan sedikit mengelak, dan pada saat gotok menyambar lewat, tangan kirinya bergerak menotok pergelangan tangan yang memegang golok sehingga senjata tajam itu terlepas dan ia sudah merampasnya! Pada detik yang lain, Hui Hong sudah menggerakkan lagi tangan kirinya, sekarang ke arah muka si kumis tebal. Jari-jari tangannya mencengkeram, menarik dengan sentakan kuat dan si kumis tebal mengeluarkan pekik kesakitan, terpelanting roboh dan dia melangkah bangun sambil menutupi muka dengan tangan. Kulit di bawah hidungnya yang sebelah kanan berdarah karena kumisnya telah dicabut oleh tangan Hui Hong. Kini kumis yang tebal itu tinggal sebelah saja, dan kulit di bagian kumis yang dijebol itu terluka berdarah.
Hui Hong menggunakan kedua tangannya menekuk golok rampasan itu sambil mengerahkan tenaga. Terdengar suara nyaring dan golok itupun patah menjadi dua potong. Ia melemparkannya ke atas tanah sambil tersenyum mengejek.
"Hemm, kalian tiga ekor anjing masih juga tidak cepat merangkak pergi?"
Tentu saja tiga orang itu terkejut dan ketakutan, ekan tetapi juga penasaran dan marah. Peristiwa yang amat memalukan dan menghina ini belum pernah mereka alami selama hidup. "Kau ... kau ... kalau memang gagah, tunggu saja ... kami mengundang twa-suheng dan jisuheng ... " kata si kumis dengan suara aneh karena mulutnya sakit digerakkan tanpa menimbulkan rasa perih di bibir atasnya. Kamudian mereka bertiga melarikan diri ke arah kota.
Hui Hong hanya tersenyum ketika Bwe Si Ni menegurnya, "Hui Hong, kenapa engkau bermain-main dengan jahanam-jahanam seperti mereka?"
"Enci, orang-orang sombong itu memang patut dihajar. Biar dua orang kakak mereka yang lain datang, akan kuhajar sekalian di sini."
Bwe Si Ni bangkit berdiri. "Huh, aku tidak mempunyai waktu untuk main-main dengan mereka. Mari kita melanjutkan perjalanan."
"Tapi, kita bisa dianggap takut!"
"Masa bodoh, biar mereka mencari kita kalau memang sudah bosan hidup. Mari kita pergi."
Karena ia memang sedang mengikuti wanita itu untuk diajak menemui ayah kandungnya, Hui Hong tidak dapat membantah lagi dan ia pun mengikuti Bwe Si Ni pergi dari situ melanjutkan perjalanan.
Belum jauh mereka pergi, mereka mendengar derap kaki kuda dari belakang. Setelah beberapa ekor kuda itu datang dekat, Hui Hong dan Si Ni minggir dan menanti untuk membiarkan mereka lewat. Akan tetapi, segera mereka melihat bahwa yang datang adalah lima ekor kuda dengan lima orang penunggangnya. Tiga di antara mereka bukan lain adalah tiga arang yang tadi dihajar oleh Hui Hong. Yang dua orang lagi adalah dua orang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun, yang seorang tinggi besar bermuka hitam dan yang ke dua, tegap dan berwajah tampan yang lelalu tersenyum memikat. Wajah seorang penaluk wanita! Tanpa bertanyapun, dua orang wanita itu dapat menduga bahwa dua orang itu tentulah sang twa-suheng dan ji-suheng dan sekarang lengkaplah sudah Ki ciu Ngo-houw, lima harimau yang mengaku berkuasa di daerah Ki-ciu itu.
Hui Hong segera melangkah maju dan bertolak pinggang, menghadapi lima orang yang kini sudah berlompatan turun dari punggung kuda. Setelah membiarkan kuda mereka makan rumput di tepi jalan, lima orang itu menghadapi Hui Hong yang tersenyum mengejek. "Mau apa kalian datang mengejar kami? Apakah masih belum puas dan ingin dihajar lebih keras lagi?"
Si kumis tebal itu kini kehilangan semua kumisnya. Agaknya dia sudah memotong kumis sebelehnya sehingga wajahnya yang tidak berkumis itu kini nampak lucu. Akan tetapi yang menjawab pertanyaan Hui Hong bukan dia melainkan laki-laki tampan yang juga tersenyum dan melirik-lirik ke arah dua orang wanita itu.
"Nona, engkaukah tadi yang telah menghajar tiga orang suteku? Bagus, ternyata engkau selain gagah perkasa, juga cantik jelita. Engkau akan menjadi pasanganku yang cocok sekali!"
"Ji-sute (adik kedua), gadis-gadis ini sudah menghina tiga orang adik kita. Hajar saja. kalau perlu bunuh untuk mengangkat kembali nama Ki-ciu Ngo houw!" kata yang tinggi besar bermuka hitam dengan sikap bengis sekali.
"Suheng, sayang kalau dibunuh begitu saja. Mereka terlalu cantik, biar kuajak bersenang-senang barang sepekan sebelum dibunuh!" kata pula si muka tampan.
Tiba-tiba Sin Ni memegang tangan Hui Hong dan menariknya ke belakang sambil berkata, suaranya lirih mendesis seperti desis seekor ular cobra yang marah. "Mundurlah, Hui Hong. Sekarang giliranku!"
Hui Hong mundur karena ia sendiripun ingin menyaksikan sepak terjang sahabat baru yang aneh itu. Suara mendesis itu cukup membuat ia bergidik dan kini Hui Hong yang duduk di atas sebuah akar pohon yang menonjol keluar dari tanah. Kini, Bwe Si Ni yang berdiri menghadapi lima orang itu. Ia sudah tersenyum-senyum seperti Hui Hong. Wajahnya yang cantik jelita itu nampak anggun dan dingin angkuh, seperti sikap seorang putri menghadapi para abdi yang siap menaati semua perintahnya. Agaknya wanita ini ingin menyesuaikan sikapnya dengan julukannya. Julukannya adalah Dewi Kwan Im, seorang dewi yang dipuja orang karena terkenal sebagai Dewi Welas Asih.
"Wah, yang ini biar untukku saja, Ji-suheng!" kata orang ke empat yang gendut dan yang tadi perutnya menjadi mulas oleh tendangan kaki Hui Hong. "Sejak semula bertemu di rumah makan, aku sudah jatuh cinta padanya!"
"Singgg ... crattt ...!" Si perut gendut menjerit dan terjungkal, berkelojotan karena tepat di antara kedua alis matanya tertntuk sebatang jarum hijau yang telah dilepaskan Kwan-Im sianli Bwe Si Ni tanpa ada yang tahu saking cepatnya gerakan tangannya.
Tentu saja empat orang itu menjadi terkejut satengah mati. Terutama orang ketiga dan kelima yang selalu bertiga dengan si gendut, merasa terkejut dan juga sedih bukan main. Dan kini di situ terdapat kakak pertama dan ke dua mereka, membuat hati mereka bertambah berani. Dengan teriakan-teriakan marah, keduanya sudah mencabut golok masing-masing dan menerjang ke arah Bwe Si Ni.
Wanita ini tidak bergerak sedikitpun untuk mengelak atau menangkis, melainkan nampak tangan kanannya saja yang bergerak ke arah perutnya, disusul mencuatnya sinar yang menyilaukan mata ke arah dua orang penyerangnya dan merekapun menjerit dan terjengkang roboh dengan golok masih di tangan. Kiranya sebelum golok mereka mengenai sasaran, telah ada sepasang pedang yang digerakkan secepat kilat menyambar dan menusuk dada kedua orang itu tanpa mereka mampu mengelak atau menangkis lagi. Mereka roboh dan berkelojotan di dekat tubuh si gendut yang kini sudah tidak bergerak lagi.
Si tinggi besar dan sutenya yang tampan itu terbelalak dan muka mereka berubah pucat. Di samping kemarahan yang hebat, merekapun terkejut dan gentar karena sebagai ahli-ahli silat pandai merekapun dapat mengenal orang yang memiliki kesaktian, yang kiranya tidak mungkin dapat mereka lawan. Cara wanita cantik itu membunuh tiga orang sute mereka sudah membaktikan betapa lihainya wanita itu, membuat mereka mengingat dan menduga-duga siapa gerangan wanita itu. Merrka mulai mengamati Si Ni dan akhirnya mereka dapat mengenal hiasan rambut berupa teratai di sanggul rambut yang tinggi itu, mengenal pula jubah panjang lebar teperti jubah pendeta.
"Nona ... nona ... Kwan Im Sianli ... ?" tanya si muka hitam dan mendengar sebutan ini, sutenya menjadi pucat dan kakinya gemetar.
Bwe Si Ni baru sekarang tersenyum, akan tetapi senyum yang dingin dan amat merendahkan, terdengat dengus lirih dari hidungnya, "Huh, kalau sudah tahu, kenapa tidak cepat kalian membunuh diri?"
Dua orang itu dengan tubuh gemetar cepat mengangkat kedua tangan ke depan dada dan membungkuk-bungkuk memberi hormat kepada Bwe Si Ni. Mendengar bahwa wanita cantik ini adalah Kwan-im sianli, datuk besar golongan sesat yeng amal ditakuti, mereka seperti mati kutu.
"Ampunkan kami, Sianli (Dewi), tiga orang sute kami memang layak mati karena berani kurang ajar terhadap Sian-li. Ampunkan kami berdua yang tidak mengenal sian-li dan bersikap kurang hormat." kata si tinggi besar.
"Sian-li, kami kakak beradik seperguruan selalu menghormati dan memuja nama besar Sian-li. Karena belum pernah berjumpa, hari ini kami telah berlaku kurang hormat. Mohon Sian-li sudi memberi ampun kepada kami berdua." kata pula yang tampan dan kini dia sudah kehilangan gayanya sebagai pemikat hati wanita, bersikap sedemikian rendah diri dan penuh rasa takut.
"Tidak perlu benyak cakap. Cepat kalian bunuh diri, atau menanti aku yang membunuh kalian?" suara Si Ni terdengar dingin dan datar, membuat Hui Hong sendiri yang sudah biasa melihat kekejeman orang-orang dunia sesat, merasa ngeri. Wanita cantik jelita yang julukannya Dewi Kwan Im ini sungguh merupakan Iblis betina yang amat kejam.
Dua orang itu saling pandang dengan muka pucat, kemudian secara tiba-tiba mereka sudah mencabut golok dan menyerang dengan gerakan dahsyat, dengan serangan yang mematikan. Si tinggi besar menyerangkan goloknya ke arah leher Si Ni sedangkan adik seperguruannya membabatkan golok ke arah pinggang.
Akan tetapi. keduanya terkejut karena tiba-tiba saja wanita di depan mereka itu lenyap dan hanya nampak bayangannya berkelebat ke atas kepala mereka. Keduanya cepat membalikkan tubuh karena maklum, bahwa wanita itu tadi meloncati kepala mereka dan berada di belakang. Akan tetapi mereka kalah cepat. Baru saja memutar tubuh, dua kali sinar berkilauan menyambar dan keduanya roboh tanpa dapat mengeluarkan suara lagi karena leher mereka hampir putus terbabat sebatang pedang yang tadi dicabut, digerakkan, lalu disimpan kembali secara cepat seperti kilat menyambar olah Kwan-im Sian-li Bwe Si Ni! Tewaslah Ki-ciu Ngo-Houw yang biasanya merajalela di daerah itu, mati konyol di tangan seorang datuk wanita tanpa dapat melawan sedikitpun.
Tak lama kemudian, nampak dua orang wanita itu sudah menunggang dua ekor kuda, melanjutkan perjalanan. Mereka merampas dua di antara lima ekor kuda tadi, memilih yang terbaik dan kini mereka dapat melakukan perjalanan cepat tanpa terlalu melelahkan diri. Ketika matahari sudah naik tinggi, udara panas dan kuda mereka sudah mulai berpeluh dan terengah kelelahan, mereka berdua menghentikan kuda mereka di luar sebuah hutan besar dan membiarkan dua ekor kuda itu mengaso dan makan rumput. Dua ekor kuda itu nampak senang sekali ketika dituntun ke sebuah anak sungai yang airnya jernih, minum dan makan rumput hijau segar yang tumbuh di tepi sungai. Dun orang wanita itupun beristirahat, duduk di atas akar menonjol di bawah pohon besar yang teduh.
"Enci, kenapa engkau tadi membunuh kelima Ki-ciu Ngo-houw? Kesalahan mereka tidak terlalu besar, hanya bersikap agak kurang ajar terhadap kita. Kenapa engkau begitu membenci mereka?"
"Huh, mereka memang layak dibunuh. Semua laki-laki, terutama yang tidak menghargai wanita, harus dibunuh!" jawab Si Ni dan dari suaranya dapat diketahui bahwa ia memang bersungguh-sungguh dan nampak kebenciannya terhadap pria.
"Enci, engkau agaknya amat membenci pria!"
"Memang benar. pria adalah mahluk yang paling jahat, paling kejam, suka menyiksa hati wanita!"
"Ehh? Akan tetapi, maafkan aku, enci. Apakah engkau tidak ingat kepada ayahmu, suamimu ... mereka juga pria, belum lagi para pamanmu dan mungkin saudaramu laki-laki ... "
"Aku tidak mempunyai semua itu! Aku selamanya tidak pernah bersuami, dan semua ini kulakukan karena kekejaman pria!"
Tentu saja Hui Hong terkejut sekali dan hatinya amat tertarik. Agaknya wanita cantik ini pernah mengalami hal-hal yang amat mengecewakan atau mendukakan hatinya, akibat ulah seorang pria, maka sampai sekarang ia tidak mau menikah dan apalagi berdekatan dengan pria, bahkan ia membenci pria.
"Akan tetapi engkau masih muda, enci, masih banyak harapan untuk kelak bertemu dengan seorang pria yang cocok untuk menjadi suamimu ... "
"Diam, jangan ulangi lagi itu atau terpaksa aku akan menyerangmu!"
Hui Hong menghela napas panjang. "Enci, aku pernah mendengar namamu disebut oleh ayah ... maksudku, oleh Bueng-kiam Ouwyang Sek bahwa yang berjuluk Kwan-im Sian-li adalah seorang datuk persilatan yang amat lihai, dan menurut ceritanya, Kwan-Im Sian li adalah seorang wanita tua. Akan tetapi, sekarang aku bertemu engkau yang berjuluk Kwan-im Sian li, dan memiliki kepandaian yang tinggi, akan tetapi engkau masih muda ... "
"Hemm, siapa bilang aku masih muda? Ayah tirimu itu yang matanya sudah lamur barangkali. Usiaku sudah mendekati setengah abad, bagaimana bisa dibilang muda?"
Hui Hong terbelalak, "Setengah abad? Ah, aku tidak percaya, enci! Engkau nampak berusia tiga puluhan tahun lebih sedikit!"
Bagaimanapun keras hatinya, Bwe Si Ni hanya seorang perempuan yang selalu amat memperhatikan riasan dan dandanannya, maka tentu saja ia merasa senang mendengar pujian bahwa ia awet muda, apalagi pujian itu keluar dari mulut seorang wanita sehingga bukan merupakan rayuan pria yang memuakkan hatinya.
"Usiaku sudah empat puluh delapan, Hui Hong."
"Ahhhh, sungguh tak disangka!" Hui Hong berseru, terkejut dan juga kagum sekali.
"Karena itu, mulai sekarang jangan sebut enci (kakak) kepadaku, melainkan bibi." Bwe Si Ni tersenyum. Baru sekarang Hui Hong melihat senyum yang bukan senyum dingin mengandung ejekan dari wanita itu. Manis sekali. Ia merasa yakin bahwa ketika mudanya, wanita ini amatlah cantiknya.
"Baiklah, Bibi Bwe Si Ni. Maafkan keberanianku bertanya karena aku merasa amat tertarik dan ingin tahu sekali, bibi. Bibi adalah seorang wanita yang selain pandai, juga teramat cantik. Kalau wanita biasa yang bodoh dan tidak cantik saja mendapatkan jodoh, kenapa bibi tidak pernah menikah? Maafkan pertanyaanku."
"Hemm, kalau orang lain yang mengajukan pertanyaan itu, tentu sudah kubunuh seketika. Akan tetapi engkau justeru merupakan satu-satunya orang yang harus mengetahui riwayatku. Nah, aku menjadi pembenci pria dan tidak sudi lagi didekati pria manapun juga karena ulah seorang laki-laki, ketika aku masih muda, dua puluh tahun lebih yang lalu." Wanita itu merenung dan beberapa kali menarik napas panjang seolah undangan semua kenangan lama itu mendatangkan pula kedukaan yang mendalam di hatinya.
"Hemm, tentu engkau mesih muda dan cantik jelita, bibi."
"Sudah sepatutnya aku cantik, karena ketika itu aku adalah seorang dayang di istana kaisar."
Hei Hong memandang kagum. Kukira bukan dayang melainkan puteri, pikirnya. Kalau dayang, kenapa sekarang dandanan pakaian dan rambutnya seperti seorang puteri saja? Akan tetapi tentu saja ia diam dan tidak berkata apa-apa, hanya menanti wanita itu melanjutkan ceritanya yang tentu akan menarik sekali.
"Ketika itu, aku bertemu seorang pria dan kami saling mencinta. Akan tetapi, laki-laki itu seorang yang mata keranjang. Bukan aku saja yang menjadi kekasihnya, melainkan banyak! Dan akhirnya dia meninggalkan aku begitu saja!"
Hui Hong mengerutkan alisnya. "Bibi, laki-laki seperti itu tentu sudah bibi cari dan bibi bunuh!"
Si Ni menggeleng kepalanya dan wajahnya nampak muram, sedih, "Ada dua hal yang membuat hal itu tidak mungkin kulakukan, Hui Hong. Pertama, aku ... aku masih mencintanya dan aku mengharapkan dapat menghabiskan sisa hidupku di samping orang yang selamanya kucinta. Dan ke dua, kalaupun aku hendak membalas dendam, aku tidak akan menang. Dia lihai sekali dan aku bukan tandingannya."
"Ahhh ...!" Hui Hong terkejut, dan kagum pula. Ia merasa kasihan kepada wanita ini.
"Hui Hong, ketika aku mendengar engkau menanyakan ayah kandungmu, aku yang mengetahui di mana dia, segera menawarkan diri untuk menjadi penunjuk jalan agar engkau dapat bertemu dengan ayahmu. Akan tetapi, aku mempunyai syarat, yaitu kalau aku sudah berhaail mempertemukan engkau dengan ayahmu, aku ingin minta bantuanmu."
"Bantuan apakah itu, bibi? Kalau memang aku mampu, dan kuanggap tidak bertentangan dengan isi hatiku, pasti aku akan membantumu."
"Begini, Hui Hong. Setelah engkau bertemu dengan ayahmu, aku minta agar engkau membujuk pria yang kucinta itu agar dia mau menerima diriku, agar dia memperkenankan aku hidup di sampingnya, melayaninya, merawatnya. Kemudian, kalau dia berkeras menolak dan tidak kasihan kepadaku, aku minta engkau membantuku untuk mengalahkan dan membunuhnya!"
Hui Hong berpikir sebentar. Permintaan itu cukup pantas dan kalau pria yang tidak setia itu benar-benar menolak dan mengandalkan kepandaiannya untuk merusak kehidupan Bwe Si Ni, memang sudah selayaknya kalau dibasmi. "Baik, bibi, aku berjanji untuk membantumu melakukan dua hal itu."
Wajah wanita itu berseri. "Engkau ... engkau tidak akan melanggar janjimu, Hui Hong?"
Sepasang alis Hui Hong berkerut. "Bibi Bwe Si Ni, biarpun sejak kecil aku dididik oleh Ouwyang Sek, namun Ibuku selalu menanamkan watak bertanggung jawab, adil dan dapat dipercaya. Kalau aku sudah berjanji, pasti akan kupenuhi, dan kalau perlu mempertaruhkan nyawaku. Aku Juga mempunyai kebanggaan dan harga diri, bibi. Apalagi karena permintaan bibi itu pantas, kalau laki-laki yang sudah membuat bibi merana selama puluhan tahun itu tidak menaruh iba dan mau menerima bibi, dia memang pantas untuk dihukum!"
Bwe Si Ni menjadi girang dan ia merangkul dan menciumi kedua pipi Hui Hong, membuat gadis ini termangu dan terheran. Sungguh sikap ini berbeda sekali dengan sikap Bwe Si Ni selama ini, biasanya dingin dan kaku, seperti mayat hidup. Dan kini tiba-tiba menjadi hangat, penuh gairah hidup.
"Terima kasih, Hui Hong, terima kasih ... " bisiknya. Memang wanita ini merasa gembira bukan main. Ia sudah berhasil membuat puteri kekasihnya berjanji untuk membujuk ayah gadis itu sendiri untuk menerimanya, dan kalau perlu membantunya mengeroyok!
"Tidak perlu berterima kasih, bibi. Akulah yang harus berterima kasih sebelumnya bahwa bibi mau mempertemukan aku dengan ayahku. Dan akupun belum tentu berhasil membujuk pria pujaan hati bibi itu. Kita lihat saja nanti."
"Ya, kita lihat saja nanti, Hui Hong."
Mereka lalu melanjutkan perjalanan, menuju ke Hwa-san, sebuah pegunungan yang memiliki banyak bukit dan puncak yang tinggi. Sikap kedua orang wanita itu memang tidaklah aneh. Setiap orang manusia di dunia ini, seperti juga mereka berdua, selalu bertindak atau berbuat menurut pikiran masing-masing. Dan hati akal pikiran membentuk gambaran si aku yang selalu mementingkan diri pribadi, mementingkan kesenangan diri sendiri. Memang beginilah ulah nafsu dan dalam hati akal pikiran kita semua sudah bergelimang nafsu yang memang disertakan kepada kita sebagai peserta yang membantu jiwa dalam kehidupan dalam badan ini. Akan tetapi, karena sejak kecil kita membiarkan nafsu makin lama semakin berkuasa dan merajalela, sehingga akhirnya mencengkeram dan menguasai hati akal pikiran sepenuhnya, maka kehidupan ini sepenuhnya dikemudikan nafsu. Nafsu membentuk aku yang ingin menang, ingin senang sendiri. Karena itu, muncullah segala macam kemunafikan, yaitu yang pada luarnya nampak baik, namun sebenarnya palsu karena di sebelah dalamnya ternyata nafsu yang berpamrih berkuasa dan segala yang tampaknya besar itu hanya merupakan suatu cara untuk mendapatkan imbalan yang menyenangkan.
Keinginan si aku untuk enak sendiri inilah yang menimbulkan segala macam konflik. Kalau sudah terjadi benturan antara si aku dan si-aku yang lain, maka bermusuhanlah kedua orang itu. Benturan kepentingan, atau lebih tepat lagi benturan keinginan untuk senang selain mendatangkan pertentangan, kebencian dan permusuhan. Bahkan cintapun menjadi sarang konflik karena pengaruh nafsu atau si aku yang ingin menang sendiri.
Perjanjian antara Si Ni dan Hui Hong juga terdorong oleh kepentingan masing masing. Mereka seolah saling memanfaatkan pihak lain demi keuntungan atau kesenangan diri sendiri, Si Ni hendak mempertemukan Hui Hong dengan ayahnya karena di balik itu ia berpamrih agar Hui Hong menolongnya membujuk ayah gadis itu agar menerimanya, atau kalau ditolak, membantunya mengeroyoknya. Di lain fihak, Hui Hong mau berjanji karena ia ingin agar Si Ni menolongnya, menemukan dan mempertemukan ia dengan ayah kandungnya. Betapa dalam kehidupan ini, kalau kita mau membuka mata melihat kenyataan, kitapun selalu hanya saling mempergunakan dan saling memanfaatkan orang lain demi keuntungan atau kesenangan kita! Terhadap keluarga, terhadap teman, masyarakat, negara dan bangsa. Pernahkah terdapat suatu saat suci di mana kita tidak lagi merenungkan apa yang dapat mereka lakukan demi keuntungan kita, dan mulai merenungkan apa yang dapat kita lakukan demi kebaikan mereka? Pernahkah? Demi kebaikan mereka, sepenuhnya, bukan hanya selubung yang menyembunyikan pamrih kita yang tersembunyi agar kita disenangkan oleh perbuatan atau hasil perbuatan itu?
Semua mahluk hidup yang berada di permukaan bumi, bahkan berada di bawah permukaan, menyambut air dengan gembira dan sibuk. Namun, dua orang wanita itu bergegas memasuki sebuah guha besar untuk berlindung dari siraman air hujan.
Mereka adalah Bi Moli Kwan Hwe Li dan muridnya, Cia Ling Ay. Setelah memasuki guha, Ling Ay cepat membersihkan tanah guha, membeberkan kain pembungkus pakaian di lantai dan mempersilakan gurunya duduk. Mereka duduk di atas lantai guha bertilamkan kain kuning itu.
Bi Moli Kwan Hwe Li duduk bersila dan tiba-tiba ia menutupi mukanya dengan kedua tangan dan pundaknya bergerak-gerak. Ia menangis! Muridnya, Ling Ay, memandang saja dengan terbelalak. Selama tiga tahun ia menjadi murid wanita cantik itu, baru sekali ini ia melihat gurunya bersedih, apalagi menangis, walaupun tidak mengeluarkan suara, Ia tidak menegur atau bertanya. Ling Ay amat menyayang gurunya, dan selain gurunya telah menyelamatkan ia dari perkosaan penjahat. Juga gurunya telah mengambilnya sebagai murid, mendidiknya dan ia merasa berhutang budi kepada wanita itu. Ia menyayang, menghormat dan amat patuh, walaupun kadang ia harus mengerutkan alisnya kalau gurunya bertindak keras sekali terhadap orang yang dianggap musuhnya. Sudah sering kali ia melihat gurunya menghukum penjahat, atau menghajar laki-laki iseng yang menggoda mereka. Gurunya dapat membunuh orang tanpa berkedip. Walaupun wajah gurunya yang cantik itu selalu tersenyum, namun kalau ia sudah marah, tidak lama kemudian, Kwan Hwe Li menurunkan kedua tangannya, dan jelas nampak betapa kedua pipinya basah. Ia benar-benar telah menangis tadi!"
Ia menoleh kepada Ling Ay yang kebetulan menatapnya, akan tetapi muridnya itu cepat-cepat menunduk, seolah tidak tahu bahwa gurunya habis menangis.
Ling Ay, tahukah engkau mengapa aku tadi menangis?"
Ling Ay mengangkat muka, memandang gurunya dan menggeleng kepala.
Gurunya tersenyum, manis sekali. Kadang Ling Ay merasa heran. Ia sendiri juga seorang wanita cantik, akan tetapi ia masih muda walaupun sudah menjadijJanda tanpa anak, usianya baru dua puluh empat tahun. Akan tetapi subonya pernah mengaku bahwa subonya sudah berusia lima puluh tahun. Setengah abad. Akan tetapi, subonya masih nampak demikian cantiknya seperti seorang gadis berusia dua puluh lima tahun saja. Mereka seperti enci adik dan tak seorangpun menyangkal bahwa mereka itu seperti enci adik.
Dari senyum, merekahlah tawa kecil. "Hi-hi-hik, aku menangis karena bahagia. Heh-heh, Tiauw Sun Ong, saat ini engkau pasti merana, berduka, menyesal, bingung dan gelisah. Nah, sekali-sekali engkau perlu merasakan hukumanmu, hi-hik."
"Subo. mengapa subo mentertawakan bekas pangeran yang sudah menderita karena buta itu. Hati teecu (murid) sudah merasa kasihan sekali melihat dia, seorang pria setengah tua yang buta, hidup terasing seorang diri di pegunungan sunyi, masih dimusuhi pula oleh Kwan Im Sian li yang ingin membunuhnya. Aih, subo, kenapa subo. tidak kasihan malah kini mentertawakan dia?"
"Ling Ay engkau sudah mendengar semua ceritaku tentang Pangeran Tiauw Sun Ong, tentang hubungannya dengan aku, tentang Kwan-im sianli dayang tak tahu malu itu, dan tentang Pouw Cu Lan selir kaisar yang menyeleweng itu. Akan tetapi, engkau tidak tahu apa yang sebenarnya terkandung dalam hatiku."
"Maaf, subo, teecu dapat menduga apa yang terkandung dalam hati sanubari subo. Ingatlah, subo, teecu pernah menceritakan tentang riwayat teecu yang tidak jauh bedanya dengan riwayat subo. Teecu juga pernah merasakan bagaimana hancurnya hati yang menderita karena kasih tak sampai,"
"Hemmm, apakah sampai sekarang engkau juga masih mencinta pemuda yang bernama ... eh, siapa lagi namanya?"
"Kwa Bun Houw ... teecu tak pernah mencinta pria lain kecuali dia, subo. Teecu pernah mencoba untuk belajar mencinta pria yang dipaksakan menjadi suami teecu, akan tetapi sama sekali tidak pernah berhasil. Hanya Bun Houw seorang yang pernah teecu cinta, tetap dan akan teecu cinta selamanya."
Senyum di mulut Kwan Hwe Li melebar. "Heh.heh, bagaimana mungkin cinta dapat dipelajari atau dilatih? Cinta adalah suatu keadaan hati. Yang ada hanya engkau mencinta seseorang itu ataukah tidak. Akan tetapi, Ling Ay, setelah engkau mencinta mati-matian kepada pemuda yang bernama Bun Houw itu, apakah engkau tidak mempunyai niat untuk mendapatkannya, agar engkau dapat selamanya hidup di sampingnya?"
"Subo, tidak ada keinginan lain yang lebih besar dalam hati teecu kecuali hidup di sampingnya untuk selamanya. Akan tetapi teecu membatasi diri, subo. Teecu tahu bahwa teecu tidak pantas untuk menjadi jodohnya. Orang tua teecu pernah menolaknya dan menyakiti hatinya, teecu sendiri pernah menjadi isteri orang. Teecu hanya seorang janda yang pemah menyakiti hatinya, dan dia seorang pendekar yang budiman. Bagaimana mungkin teecu akan dapat berjodoh dengan dia?" Suara Ling Ay mengandung rintihan batinnya. Ayah ibunya tewas dibunuh penjahat, ia sendiri sudah menjadi janda, dan Bun Houw entah berada di mana. Tidak ada sedikitpun harapan baginya untuk dapat bertemu dengan Bun Houw, apalagi hidup bersama reperti yang dikatakan subonya.
Kwan Hwe Li menghela napas panjang. "Engkau benar, Ling Ay. Keadaan kita memang tidak jauh berbeda. Akupun hanya mencinta seorang pria saja, yaitu Pangeran Tiauw Sun Ong. Sampai sekarang aku masih mencintanya dan satu-satunya keinginanku adalah sama dengan yang diinginkan Kwan-im sian-li, yaitu ingin menghabiskan sisa hidupku di sampingnya. Akan terapi, kita mendengar sendiri penolakannya terhadap Kwan-im Sian-li. Aku tidak ingin mendengar dia manolak ajakanku, maka akupun tidak menyampaikan maksud hatiku. Andaikata dia menolak, mungkin akupun seperti Kwan-im Sianli akan mengajaknya mati bersama!"
Ling Ay menggeleng-geleng kepala. "Teecu tidak dapat menyelami perasaan subo dan Kwan Im Sianli. Kenapa harus memaksa seseorang untuk hidup bersama, dan kalau dia menolak akan diajak mati bersama? Apakah dua orang tidk bisa hidup dalam keadaan saling terpisah walaupun hati saling mencinta? Teecu bahkan tidak berani mengharapkan orang yang teecu cinta untuk menjadi teman hidup, dan teecu hanya mendoakan semoga dia mendapatkan seorang jodoh yang baik dan dapat hidup berbahagia selamanya."
Bi Moli Kwan Hwe Li tertawa geli. "Heh-keh, kalau begitu engkau seorang munafik, Ling Ay!"
"Ehhh? Maaf, subo. Mengapa subo mengatakan teecu munafik?"
"Tentu saja engkau munafik. Dalam hatimu, tadi engkau mengatakan bahwa tidak ada keinginan yang lebih besar dalam hatimu kecuali hidup bersama pria yang kau cinta. Akan tetapi di luarnya engkau mendoakan dia hidup berbahagia dengan wanita lain. Bukankah itu munafik?"
"Tidak sama sekali, subo. Memang teecu mencintanya dan ingin hidup bersama dengan dia. Akan terapi, kalau dia tidak menghendaki hal itu, teecu tidak akan memaksanya atau menyalahkannya, apalagi membencinya. Dia berada di samping teecu ataukah tidak, teecu tetap mencintanya dan ingin melihat dia hidup berbahagia."
"Hi-hi-hik, aku dapat membayangkan. Engkau ingin melihat dia hidup berbahagia, akan tetapi kalau benar-benar engkau melihat dia hidup berbahagia di samping wanita lain, engkau akan merasa betapa hatimu perih seperti ditusuk-tusuk, engkau akan menangis sendiri dalam kamarmu menyesali nasib dan penuh iba diri. Tidakkah begitu? Nah, itu yang kumaksudkan dengan munafik, tidak samanya perasaan hati dengan perbuatan,"
"Maaf, subo. Teecu rasa tidaklah demikian. Teecu hanyalah seorang manusia biasa yang serba lemah dan tidak teecu sangkal, mungkin kalau teecu melihat doa teecu terkabul dan Bun Houw hidup berbabagia dengan wanita lain. melihat dia bersanding dengan wanita lain, teecu akan teisiksa dalam hati, akan menangis penuh iba diri. Akan tetapi hal itu wajar saja. bukan? Di samping itu. teecu akan selalu sadar bahwa tidak selamanya orang harus menurutkan kata hati, tidak memenuhi keinginan hati. Teecu mempunyai pertimbangan untuk menimbang, keinginan bagaimana yang boleh dilaksanakan dan keinginan yang bagaimana yang harus dikekang. Dan keinginan memaksa Bun Houw hidup berdua dengan teecu, keinginan untuk senang sendiri seperti itu, adalah satu di antara keinginan-keinginan yang harus teecu kekang."
"Huh, itulah mengapa engkau selalu tertimpa kemalangan dalam hidupmu. Engkau terlalu lemah! Engkau terlalu memikirkan orang lain dan lihatlah apa yang selama ini kaualami. Engkau menurut saja dinikahkan dengan pria yang tidak kausukai, engkau terlalu lemah sehingga tidak berani menentang orang tuamu. Kemudian, engkau rela saja dipermainkan laki-laki yang tidak kaucinta. Kalau yang pertama kali engkau lebih mementingkan orang tuamu dari pada dirimu sendiri, kemudian engkau mementingkan pria yang dipaksa menjadi suamimu. Kemudian engkau bertemu dengan bekas tunanganmu itu, dan engkau tidak meraihnya sehingga dia lepas lagi. Huh, aku muak mempunyai murid yang begini lemah!"
Melihat gurunya marah, Ling Ay terkejut.
Selama ini, belum pernah gurunya marah kepadanya! Dan ia merasa menyesal sekali. Ia belum dapat membalas semua budi yang dilimpahkan gurunya itu kepadanya, dan sekarang ia malah membuat gurunya kecewa dan marah. Ia segera berlutut di depan gurunya yang duduk bersila di dalam guha itu.
"Maafkan teecu, subo. Akan tetapi, apa yang harus teecu lakukan? Teecu tetap mentaati semua perintah subo."
Bi Moli mengangkat mukanya dan meletakkan tangan kirinya ke atas pundak, muridnya. Ia menyayang Ling Ay. Selama beberapa tahun ini, Ling Ay bukan saja menjadi muridnya, akan tetapi juga menjadi sahabat baiknya, menjadi pelayannya dan bersikap amat baik kepadanya sehingga ia merasa sayang sekali kepada murid yang juga amat berbakat ini.
"Yang harus kaulakukan, muridku yang baik, adalah seperti aku. Aku gurumu yang harus kautaati, bukan? Nih, kita harus dapat menikmati hidup ini, kita harus bertindak sesuai dengan perasaan kita. Seperti juga aku yang selalu mengharapkan dapat hidup berdampingan dengan pria yang kucinta, dan menghancurkannya kalau dia menolak dan menyakiti hatiku, engkaupun harus mencari Bun Houw. Engkau dahulu pernah menjadi tunangannya, saling mencinta, maka sudah sewajarnya kalau sekarang engkau menuntut disambungnya kembali ikatan itu dan menjadi isterinya. Bukankah itu harapan dan idaman hatimu?"
"Akan tetapi, subo. Teecu adalah seorang yang tadinya memutuskan hubungan itu, teecu yang meninggalkannya dan menikah dengan pria lain."
"Itu adalah kehendak orang tuamu, bukan kehendakmu. Dan ketika itu engkau belum menjadi muridku. Kalau engkau bertemu lagi dengan dia, dia harus menerimamu kembali dan engkau akan menjadi isterinya, hidup berbahagia, dan akupun akan ikut gembira melihat engkau bahagia. Kalau dia menolak dan memilih wanita lain, aku akan membantumu menghancurkannya. Daripada orang yang kita cinta terjatuh ke tangan wanita lain lebih baik kita binasakan saja!"
"Tapi, subo ... " Ling Ay yang bergidik mendengar bahwa ia harus membunuh Bun Houw, mencari akal dan tidak berani membantah lagi atau menolak, "bagaimana teecu akan dapat mencari dan menemukannya. Teecu tidak tahu di mana dia berada. Dia sebatangkara dan tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap."
"Biar kita cari perlahan-lahan. Sekarang, kita lebih dulu pergi ke kota raja Nan-king. Sejak terjadinya keributan dan perang saudara yang menjatuhkan kerajaan Liu Sung tiga tahun yang lalu. aku tidak pernah melihat Nan-king. Sekarang, di sana yang berkuasa adalah Kerajaan Chi dan kaisarnya adalah Siauw Bian Ong yang dahulunya adalah Pangeran Siauw Hui Kong. Tiga tahun telah lewat sejak kerajaan baru itu menguasai daerah selatan Sungai Yang-ce. dan kabarnya sekarang keamanan telah pulih kembali, tidak ada lagi terjadi pertempuran. Aku ingin berkunjung ke sana, menjenguk kota kelahiranku dan kautahu, muridku, masih banyak keluarga bangsawan yang menjadi kerabatku."
Ling Ay menurut saja, di dalam hati ia masih bingung oleh perintah gurunya mengenai sikapnya terhadap Bun Houw tadi. Ia memang mencinta Bun Houw, hal ini tidak disangkalnya. Ia memang mengharapkan agar dapat hidup menjadi isteri Bun Houw, hal ini pun harus diakuinya. Akan tetapi andaikata Bun Houw menolak, bagaimana mungkin ia akan tega untuk membunuhnya? Bun Houw telah berbuat banyak untuknya. Rasanya ia akan rela mati untuk membela pria yang dikasihinya itu. Bagaimana mungkin ia akan dapat membunuhnya, walaupun dia akan menolaknya sekalipun? Akan tetapi ia tidak berani membantah, dan girang mendengar subonya mengajaknya pergi ke Nan-king. Setidaknya, urusan baru di Nan-king akan membuat gurunya lupa akan Bun Houw dan diapun akan diam saja. tidak akan membicarakan lagi tentang bekas kekasih dan tunangannya itu.
Tiauw Sun Ong tersenyum. Bekas pangeran yang usianya sudah lima puluh sembilan tahun itu masih nampak tegap dan memang wajahnya tampan dan gagah, walaupun dia nampak lemah dengan kebutaannya, "Bun Houw, tidak perlu engkau mengantarku. Aku masih kuat untuk mendaki Hwa-san dan sebaiknya kalau engkau sekarang juga mulai pergi mencari Hui Hong dan kauceritakan semuanya tentang dirinya, tentang hubungannya dengan aku sebagai ayah kandungnya. Kasihan sekali Hui Hong, ia tidak tahu akan kematian ibu kandungnya yang amat menyedihkan. Aih, ulah nafsu selalu mendatangkan akibat yang menyedihkan."
Bun Houw yang sudah mengenal baik watak suhunya yang sekali mengambil keputusan tidak akan mengingkari lagi, tidak membantah dan diapun menghela napas panjang. Dia merasa iba kepada suhunya. Biarpun suhunya tidak mengeluarkan ucapan yang menunjukkan kesedihannya, namun dia tahu benar betapa hancur hati gurunya ketika pertemuannya dengan satu-satunya wanita yang pernah dicintanya, yaitu Pouw Cu Lan, berakibat matinya wanita itu membunuh diri. Akan tetapi suhunya tidak pernah melihatkan kesedihannya dan diapun kagum bukan main. Gurunya adalah seorang laki-laki sejati!
"Baiklab, suhu. Kalau suhu menghendaki demikian, teecu akan mentaati keinginan suhu."
"Selain mencari Hui Hong. Juga ada sebuah tugas untukmu. Ketahuilah bahwa kini kerajaan Sung atau Liu Sung telah jatuh dan yang berkuasa adalah kerajaan Chi yang dipimpin oleh Kaisar Siauw Bian Ong. Perubahan ini hanya merupakan perebutan kekuasaan saja, karena yang memegang pimpinan tetap masih keluarga sendiri. Bahkan ada baiknya, karena Kaisar Cang Bu yang masih remaja itu tidak pantas untuk menjadi kaisar dan dia tentu mudah dikuasai para pejabat yang menjilat dan menyelewengkannya. Bagaimanapun juga, kita harus mendukung kerajaan Chi di Nan-king karena kita di selatan selalu diancam oleh kekuasaan dari utara, yaitu kerajaan Wei yang dipimpin oleh bangsa Toba Tartar. Memang tidak perlu engkau memegang jabatan, akan tetapi kalau melihat negara diancam bangsat Tartar, sudah menjadi kewajiban setiap orang warga negara untuk membelanya. Nah, tugas yang kuberikan padamu adalah pergi ke Nan-king dan melihat suasana di sana. Kuberi waktu dua tahun kepadamu untuk mencari Hui Hong dan melihat keadaan pemerintah kerajaan Chi yang baru. Satelah dua tahun, bertemu Hui Hong atau tidak, engkau harus mencariku di Hwa-san dan memberi laporan tentang semua hasil usahamu."
"Baik, suhu."
Guru dan murid itu berpisah di persimpangan jalan. Tiauw Sun On melanjutkan perjalanan dengan langkah tegap menuju ke Hwa-san. Bagaimanapun juga, hatinya terasa ringan. "Pouw Cu Lan, yang dulunya sudah tidak dia pikirkan lagi, akan tetapi kemudian teringat kembali setelah dia mendengar bahwa wanita yang pernah menjadi kekasihnya itu telah melahirkan seorang puteri darinya, kini telah meninggal dunia. Hal itu berarti pula bahwa wanita itu telah terbebas dari penyiksaan diri berkorban demi puteri mereka. Pouw Cu Lan telah mengambil jalan yang paling tepat. Adapun puterinya, Hui Hong, dalam keadaan selamat dan sehat. Puterinya! Akan tetapi tiba-tiba dia mengerutkan alisnya. Menurut keterangan mendiang Pouw Cu Lan sebelum membunuh diri. Hui Hong telah pergi untuk mencarinya bersama seorang wanita cantik yang mukanya putih halus dan nampak masih muda. Kwan Im sianli Bwe Si Ni! Siapa lagi kalau bukan bekas dayang itu? Menurut keterangan Bi Moli Kwan Hwe Li. Kwan Im Sianli tentu bermaksud untuk membunuh Pouw Cu Lan dan puterinya, puteri mereka. Dan kini. Pouw Cu Lan telah membunuh diri, dan Hui Hong pergi bersama Kwan Im Sianli! Nyawa puterinya berada dalam bahaya!
Bagaimana mungkin dia dapat kembali ke Hwa-san dan dapat bertapa dengan hati tenang kalau Hui Hong belum ditemukan? Dan biarpun dia yakin akan kemampuan muridnya, akan tetapi Bun Houw tidak tahu ke mana harus mencari Hui Hong! Alangkah baiknya kalau dia sendiripun pergi mencari. Usaha dua orang lentu jauh lebih baik dan mendatangkan lebih banyak harapan dari pada usaha seorang saja. Maka, tanpa ragu lagi diapun mengubah arah perjalanannya, berlawanan dengan arah yang dituju Bun Houw. Bun Houw menuju ke timur, ke Nan-king. dan dia sendiri akan pergi ke utara, ke Lok-yang.
Sementara itu, tanpa mengetahui perubahan arah perjalanan gurunya, Bun Houw melanjutkan perjalanan dengan cepat. Nan-king masih jauh di timur dan perjalanan melalui daratan amatlah sukarnya, juga amat melelahkan. Oleh karena itu. Bun Houw menyusuri tepi Sungai Yang-ce untuk menyewa perahu. Dengan perahu melakukan perjalanan dapat lebih cepat dan tidak begitu meletihkan, karena perahu akan terbawa arus sehingga tidak banyak membutuhkan tenaga untuk mendayung, hanya mengemudikannya saja.
Banyak memang dia bertemu pemilik perahu, akan tetapi belum ada yang dapat menyewakan perahu kepadanya. Tukang perahu tidak mau menyewakan perahu untuk perjalanan sejauh itu, ke Nan-king yang akan makan waktu berhari-hari. Untuk membeli sebuah perahu, tentu saja Bun Houw tidak mampu. Emas permata yang dimilikinya, yang dahulu diterimanya dari gurunya, telah dirampas oleh Suma Koan dan puteranya. Suma Hok. Dan kini dia hanya mempunyai sedikit perak untuk bekal dalam perjalanan. Juga pemberian gurunya.
Terpaksa Bun Houw membonceng perahu yang kebetulan ke hilir, sampai ke mana tujuan perahu itu berhenti, lalu disambung lagi dengan perahu lain. Akan tetapi tentu saja perjalanan ini makan waktu lebih lama karena dia harus menunggu setiap kali di suatu tempat pemberhentian untuk mencari perahu yang melakukan pelayaran ke timur.
Pada suatu pagi, setelah melakukan perjalanan selama belasan hari, perahu yang ditumpangi Bun Houw berhenti di sebuah kota di tepi sungai yang bernama Kui-cu, sebuah kota yang cukup ramai karena di situ merupakan pusat perdagangan yang menjadi semacam bandar sungai pula. Banyak pedagang mendirikan toko, rumah makan dan rumah-rumah penginapan karena banyaknya saudagar dari daerah dan kota lain yang datang dan bermalam di Kui-cu, untuk memperjualbelikan barang dagangan mereka.
Ada sebuah perahu besar yang akau melakukan perjalanan ke timur, akan tetapi pemilik perahu mengatakan bahwa dia harus menunggu muatan selama dua hari baru dapat berangkat. Karena perahu itu merupakau perahu pertama yang akan berlayar ke timur, terpaksa Bun Houw menunggu dan diapun mencari kamar di rumah penginapan yang kecil untuk menghemat biaya.
Setelah memperoleh sebuah kamar di rumah penginapan yang berada di ujung kota Kui-cu karena penginapan lain yang berada di tengah kota sudah penuh dengan tamu, Bun Houw keluar berjalan-jalan dan melihat-lihat kota Kui-cu. Kota yang sibuk sekali. Datang-banya banyak tamu pedagang yang berjual-beli di kota itu, membuat kota itu menjadi pusat pasar, dan banyak orang memanfaatkan keramaian itu dengan membuka bermacam tempat hiburan. Para pedagang itu mempunyai banyak uang, apalagi di tempat itu seringkali para saudagar mendapatkan keuntungan yang banyak, maka uang berlimpahan dan mereka itu. segera nencari hiburan untuk merayakan keuntungan yang mereka peroleh. Tempat-tempat pelesir, rumah-rumah judi dan sebagainya dibuka orang.
Matahari telah naik tinggi dan Bun Houw memasuki sebuah rumah makan, tertarik oleh bau sedap masakan yang keluar dari dalam rumah makan itu. Belasan orang sudah berada di situ dan Bun Houw bingung juga memasuki rumah makan yang tidak terlalu besar itu. Tidak ada meja kosong, akan tetapi di sudut sebelah dalam terdapat sebuah meja di mana hanya duduk seorang laki-laki muda saja yang menghadapi meja itu. Seorang pelayan menyambut dan menggelengkan kepala.
"Maaf, tidak ada meja kosong, harap sebentar lagi saja kembali kalau sudah ada tamu yang keluar," katanya.
Bun Houw memandang kepada pria yang duduk seorang diri itu, dan pria inipun memandangnya, lalu pria itu bangkit berdiri dan. berteriak kepada pelayan itu. "Disini aku hanya duduk sendiri, kalau sobat itu mau, dia boleh, saja duduk makan di sini."
Tentu saja pelayan itu menjadi girang. Jarang ada tamu yang mau membagi mejanya dengan tamu lain yang tidak dikenalnya. Bun Houw juga girang dan segera memberi hormat-ambil menghampiri meja itu. "Terima kasih atas kebaikanmu, sobat." katanya.
"Ah, tidak, mengapa. Meja inipun terlalu besar untukku sendiri. Silakan!" kata orang itu dengan ramah. Bun Houw lalu duduk di seberang orang itu, terhalang meja sehingga mau tidak mau mereka saling pandang.
Pria itu berusia kurang lebih dua puluh dua tahun. Tubuhnya sedang saja, bahkan agak kewanitaan karena tidak nampak otot-otot kekar di tangannya. Tubuhnya itu lebih condong tubuh wanita yang termasuk besar. Wajahnya tampan dan matanya cerdik, senyumnya manis. Akan tetapi wajah itu adalah wajah pria, dengan alis yang tebal dan hidung besar. Ada sesuatu dalam sikapnya yang agung dan anggun.
Tentu saja Bun Houw hanya memandang sekalian dan dia menduga bahwa pemuda ini agaknya seorang pemuda terpelajar, tidak miskin, akan tetapi juga bukan kaya-raya. Walaupun pakaiannya cukup baik, akan tetapi dia bukan seorang pesolek dan pakaian itu tidak menyolok. Bahkan pemuda itu duduk dalam rumah makan dengan menghadap ke sebelah dalam sehingga tidak dilihat wajahnya dari luar, seolah dia hendak menyembunyikan wajahnya agar tidak terlihat banyak orang. Pada hal, dia tidak melihat sesuatu yeng mencurigakan pada pemuda ini, "Kulihat engkau seperti bukan orang sini, sobat. Benarkah!" pria itu agaknya merasa tidak enak kalau berdiam diri ia saja, maka dia bertanya, suaranya terdengar sambil lalu saja.
"Benar, aku memang baru dalang hari ini, pagi tadi." jawab Bun Houw singkat. Dia tidak ingin berkenalan dengan pemuda itu, dan tidak ingin menceritakan keadaan dirinya.
Hening sejenak dan pesanan makanan pemuda itu datang lebih dahulu karera memang dia telah memesan sebelum Bun Houw masuk. Dia memesan nasi dengan dua macam sayur dan daging, juga air teh. Tidak memesan arak. hal ini mengherankan Bun Houw. Hari itu hawanya cukup dingin sehingga biasanya orang akan minum arak, walaupun sedikit. Dia sendiri memesan nasi dan semacam sayur yang di sukainya.
"Silakan engkau makan lebih dulu, sobat," kata Bun Houw melihat betapa pemuda itu. memandangnya tanpa menyentuh masakan di depannya. Pemuda itu mengangguk, kemudian makan, cara dia makanpun sopan dan dengan hati-hati menggerakkan sumpitnya, mengunyah makananpun tanpa mengeluarkan suara, bahkan jarang sampai membuka mulut, sungguh cara makan yang hati-hati dan perlahan-lahan, sopan sekali. Bun Houw semakin tertarik dan senang. Dia sendiri merasa terganggu kalau melihat orang makan dengan lahap seperti orang kelaparan, dengan mata melotot memandang ke arah makanannya, kemudian mengunyah cepat-cepat dengan mulut terbuka dan mengeluarkan bunyi berkecapan. Apalagi kalau menyeruput kuah dari mangkuk, mengeluarkan bunyi seperti seekor babi sedang makan.
Pesanan makanan baginya datang. Pemuda di depannya itu tersenyum dan mengangguk tanpa bersuara, seolah mempersilakan dia untuk makan. Bun Houw makan pula dan tentu saja dia makan lebih hati-hati dan lebih sopan dari pada biasanya!"
Tiba-tiba masuk lima orang laki-laki yang bertubuh tinggi besar dan bersikap kasar. Mula-mula kedatangan mereka tidak menarik perhatian, akan tetapi dua orang di antara mereka berdiri di depan pintu rumah makan, menghadap ke luar dan seperti penguasa rumah makan, mereka berdua itu menolak masuknya tamu-tamu baru dengan mengatakan bahwa rumah makan sudah penuh! Adapun tiga orang lainnya, dengan sikap galak sudah menghampiri pemilik rumah makan dan memaksanya untuk menyerahkan semua uang hasil penjualannya sejak pagi tadi! Seorang memaksa pemilik rumah makan, dan dua orang lainnya mulai menggertak para tamu untuk menyerahkan uang mereka!
Melihat betapa di antara para tamu ada yang nampak penasaran dan marah, seorang diantara mereka yang mukanya hitam membentak. "Hayo serahkan uang kalian kepada kami. Kalau ada yang membantah, kepalanya akan kubikin seperti ini!" Tangan kanannya bergerak ke arah ujung sebuah meja.
"Krakkk!" Ujung meja terbuat dari papan tebal itu pecah berentakan. Tentu saja semua orang menjadi ketakutan. Apalagi ketika tiga orang yang beroperasi di dalam itu mencabut golok mereka dan mengamangkan golok, mereka menjadi semakin ketakutan. SI pemilik rumah makan terpaksa membiarkan semua uang pendapat di laci mejanya dikuras oleh seorang perampok, sedangkan dua orang lain mulai menguras isi saku para tamu. Hanya ada seorang tamu yang berusaha untuk menolak dan tidak mau memberikan semua uangnya. Si muka hitam menamparnya dan beberapa buah giginya rontok, mulutnya berdarah dan sejak itu, tidak ada lagi tamu yang berani membantah. Ketika si muka hitam menghampiri meja di mana Bun Houw dan pemuda itu duduk, Bun Houw melihat betapa pemuda itu sedikitpun tidak nampak khawatir. Bahkan dengan suka rela pemuda itu mengeluarkan semua uangnya dari dalam saku, yang jumlahnya lima enam kali lebih banyak dari pada uang bekalnya sendiri. Tentu saja Bun Houw sudah merasa mendongkol sekali kepada lima orang yang berani melakukan perampokan di siang hari di tempat umum yang ramai itu. Akan tetapi, kalau dia menghajar mereka di rumah makan, tentu akan merusak perabot di rumah makan itu dan dia tidak akan mampu mengganti kerugian. Pula, di situ terdapat banyak tamu. Kalau lima orang itu mengamuk, dia khawatir ada tamu yang akan terluka atau bahkan tewas. Maka, dengan tenang diapun mengeluarkan semua uang bekalnya dan meletakkannya di atas meja. Perampok muka hitam mengambil uangnya dan uang pemuda itu dari atas meja. memasukkannya ke dalam kantung hitam besar yang sudah dipersiapkan sebelumnya.
Perampokan itu berlangsung cepat sekali dan agaknya lima orang itu memang sudah ahli dalam pekerjaan ini. Setelah menguras semua uang terdapat di situ, mereka pergi dan si muka hitam yang menjadi pimpinan meninggalkan ancaman. "Kalau ada di antara kalian yang berani berteriak setelah kami berada di luar. kami akan masuk lagi dan memenggal lehernya di sini juga!" Goloknya berkelebat dan sebuah bangku terbelah menjadi dua dengan mudahnya. Semua orang menjadi pucat dan mereka berlima meninggalkan rumah makan itu dengan cepat. Bun Houw cepat menghampiri pemilik rumah makan.
"Paman, aku akan mengejar mereka dan mencoba untuk mendapatkan kembali semua uang yang dirampok!" Diapun keluar dari rumah makan itu dan melakukan pengejaran.
Para perampok itu telah keluar dari pintu gerbang kota Kui-cu sebelah selatan. Dan di luar kota itu, di tempat yang sunyi, mereka bergabung dengan lima belas orang lain yang rata-rata bersikap kasar dan bertubuh kuat. Dan mereka itu menyediakan pula lima ekor kuda untuk lima orang perampok itu. Lima belas orang itu sedang duduk berkelompok di bawah pohon dan mereka bersorak ketika melihat lima orang perampok itu datang membawa kantung hitam yang sudah penuh uang!"
"Ha-ha-ha. agaknya Hek-hin (Muka Hitam) berhasil baik!" kata beberapa orang dengan gembira.
Si muka hitam mengangkat kantong hitam itu tinggi-tinggi. "Penuh uang, cukup untuk kita pesta beberapa hari!" serunya dan kembali semua orang bersorak gembira.
Bun Houw sudah sejak tadi mengintai. Setelah merasa yakin bahwa dua puluh orang itu adalah gerombolan perampok atau penjahat, diapun segera melompat keluar dan menghampiri mereka.
Melihat tiba-tiba muncul seorang pemuda yang berpakaian sederhana, dua puluh orang itu memandang heran. Lima orang perampok tadi mengenai Bun Houw sebagai seorang di antara para korban di rumah makan. Si muka hitam sudah meloncat ke depan dan memandang rendah kepada pemuda yang tingginya hanya sampai ke lehernya itu. Si muka hitam ini memang memiliki bentuk tubuh yang tinggi besar.
"Mau apa kau? Bukankah engkau seorang dari tamu di rumah makan tadi? Sudah kukatakan, siapapun tidak boleh membuat ribut. Eh, engkau, malah berani mengejar kami ke sini? Mau apa kau?"
"Tidak mau apa-apa," jawab Bun Houw dengan sikap tenang, "hanya ingin minta kembali semua uang yang kalian rampas di rumah makan tadi. Kalian tidak berhak, semua uang itu harus dikembalikan kepada pemilik masing-masing."
Sejenak hening sekali dan semua penjahat itu memandang kepada Bun Houw dengan mata terbelalak. Mereka terheran-heran bagaimana mungkin ada seorang pemuda seperti itu berani bicara demikian kepada mereka! Sungpuh sukar untuk dipercaya. Akan tetapi kemudian, bagaikan dikomando saja, dua puluh orang itu tertawa bergelak-gelak, mereka geli dan lucu sampai ada yang perutnya besar terpaksa memegangi perutnya karena tertawa terpingkal-pingkal membuat perutnya sakit dan terguncang keras.
"Heii, booh gila!" teriak seorang diantara lima perampok tadi. "Kalau sekarang engkau berlaku begini, kenapa tadi di rumah makan engkau diam saja, malah menyerahkan pula uangmu tanpa melawan sedikitpun?"
"Aku tidak ingin ribut-ribut di rumah makan, aku sengaja membayangi kalian sampai ke sini, dan di sinilah kita membuat perhitungan."
"Ha-ha-ha-ha!" Si muka hitam tertawa bergelak. "Kalau kami tidak mau mengembalikan uang itu, habis engkau mau apa?"
"Terpaksa aku akan menggunakan kekerasan uutuk merampasnya kembali dari tangan kalian." kata Bun Houw tenang dan kembali meledak utara tawa dua puluh orang itu.
Memang lucu dan seperti ocehan orang yang tidak waras mendengar pemuda itu bicara seperti itu. Akan tetapi, biarpun mereka menertawakannya dan pandang mata mereka mulai marah, tak seorangpun bergerak untuk menyertainya. Agaknya orang-orang ini taat kepada komando pimpinan dan hanya menanti perintah. Dia ingin tahu siapa pemimpin mereka semua, karena jelas bahwa si muka hitam itu pun hanya memimpin regu kecil perampok tadi.
Seorang diantara para perampok tadi yang juga tinggi besar akan tetapi perutnya gendut seperti gentong. memandang kepada si muka hitam dan berkata, "Hek-bin twako (kakak muka hitam), biar kubereskan pemuda nekat ini!"
Sebelum si muka hitam menjawab, terdengar suara yang kecil meninggi seperti suara perempuan, akan tetapi suara itu keluar dari mulut seorang, yang tinggi kurus dan berkepala botak. "Tunggu! Pemuda ini sudah berani bersikap seperti itu, berarti bahwa dia mempunyai andalan. Kalian berlima majulah bersama menghadapinya!"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar