20 Jaka Lola

Bun Hui tersenyum. Yang disangka llmu sihir itu tentulah bantuan Yo Wan secara diam-diam. "Tidak, aku hanya akan menggunakan ilmu silatku, akan tetapi kau pun harap jangan menggunakan senjata gelap dan segala racun."

"Baik, mulailah!"

Bun Hui menggerakkan pedangnya menyerang dan beberapa menit kemudian mereka sudah saling terjang dengan hebat dan seru. Sebetulnya hanya Yosiko yang terus-menerus melakukan penyerangan. Karena mentaati pesan Yo Wan, Bun Hui tidak mau menyerang, hanya melindungi tubuhnya dengan Ilmu Pedang Kun-lun Kiam-sut yang amat kuat. Pedangnya membentuk benteng baja yang sukar ditembus sehingga makin penasaranlah hati Yosiko. Namun, biarpun hanya mempertahankan diri, Bun Hui selalu mengincar kedudukan kaki Yosiko untuk menanti kesempatan seperti yang diajarkan oleh Yo Wan.

Kesempatan pertama terbuka ketika Yosiko menyerangnya dengan mengembangkan lengan kiri dan menusukkan pedang ke dadanya. Kedudukan kaki dan posisi badan gadis itu persis seperti yang diajarkan Yo Wan kepadanya. Cepat dia miringkan tubuh ke kiri seperti diajarkan Yo Wan, kemudian pedangnya berkelebat menyabet lengan kiri gadis yang dikembangkan itu dengan cepat sekali.

Kagetlah Yosiko menghadapi serangan balasan ini. Lengan kirinya terancam bahaya dan serangan balasan yang tiba-tiba ini sama sekali tidak pernah ia sangka karena justru kelemahan kedudukannya adalah pada lengan kiri itu. Tepat seperti diperhitungkan dan diajarkan Yo Wan kepada Bun Hui, gadis itu menarik lengan kirinya dan melangkah mundur setindak dengan kaki kiri pula. Bun Hui mempergunakan kesempatan itu untuk mencengkeram dengan tangan kirinya ke arah pedang si gadis sambil berseru, "Lepaskan pedang!"

Kembali Yosiko terkejut sekali dan cepat ia menarik gagang pedangnya sambil menggoyang pergelangan tangan untuk menangkis cengkeraman itu dengan mata pedang. Akan tetapi ternyata cengkeraman itu hanya gertakan belaka karena tahu-tahu yang betul-betul menyerang adalah pedang di tangan kanan Bun Hui. Pedang itu berkelebat dan..... putuslah sabuk sutera yang mengikat pinggang Yosiko, putus kedua ujungnya yang berkibar-kibar!

"Ihhh.....!!" Yosiko meloncat lagi air mukanya menjadi merah sekali.

"Maaf...... tidak sengaja....." kata Bun Hui sambil tersenyum.

"Aku belum kalah!" kata Yosiko menutupi rasa malunya dan pedangnya berkelebat lagi melakukan serangan yang lebih hebat. Bun Hui yang sudah siap cepat memutar pedangnya melindungi tubuhnya dan kembali mereka bertanding dengan seru. Pedang mereka berkali-kali bertemu mengakibatkan bunyi nyaring dan percikan bunga api.

Kesempatan kedua tiba ketika Bun Hui melihat posisi menyerang lawannya dengan tubuh miring. Cepat ia "memasuki" lowongan dengan memukulkan tangan kirinya ke arah pundak sambil menangkis pedang Yosiko. Tepat seperti yang diajarkan Yo Wan. Yosiko mengelak sambil menusukkan pedangnya dari samping. Cepat bagaikan kilat karena sudah menduga akan perubahan atau perkembangan kaki Yosiko, Bun Hui menekan pedang lawan ke bawah dan selagi gadis itu mengerahkan tenaga untuk menarik pedangnya, kaki Bun Hui menyapu dan...., terjungkallah Yosiko!

Namun gadis itu dapat cepat melompat berdiri dan memandang dengan mata terbelalak. la terheran-heran karena seakan-akan pemuda itu mengenal baik jurus-jurusnya dan tahu pula akan perubahannya, kalau tidak demikian bagaimana dapat tahu bahwa pada saat itu kelemahannya terletak pada kedudukan kakinya sehingga dapat melakukan penyerangan yang begitu tepat?

"Maaf.....!" untuk kedua kalinya Bun Hui berkata perlahan.

"Aku tetap belum mengaku kalah!" kata Yosiko pula yang merasa penasaran dan cepat menerjang lagi. Diam-diam Bun Hui menarik napas panjang. Tepat, betul penafsiran Yo Wan tentang gadis ini, keras dan liar wataknya, namun gerak-geriknya benar-benar telah mencengkeram hati Bun Hui.

la telah melakukan pesan Yo Wan dengan baik. Menurut petunjuk Yo Wan, dia tidak boleh sekaligus merobohkan gadis ini, karena hal itu akan melukai harga dirinya. Maka setelah dua kali memperlihatkan keunggulannya, baru Bun Hui menanti kesempatan baik untuk mengalahkannya. Kesempatan itu tiba setelah Yosiko mulai mengeluarkan jurus-jurusnya yang paling ampuh. Memang sudah diperhitungkan oleh Yo Wan bahwa setelah dua kali berturut-turut menderita kekalahan, pasti Yosiko yang keras hati itu akan mengeluarkan jurus-jurus yang paling hebat dan oleh karena inilah untuk menjatuhkan Yosiko, dia sengaja mengajar Bun Hui untuk menghadapi jurus yang paling berbahaya. Pada saat Yosiko menerjang dengan bacokan pedang ke arah leher diteruskan sabetan ke bawah mengarah pinggang dibarengi dengan dorongan-dorongan tangan kiri yang mengandung hawa pukulan jarak jauh, terbukalah kesempatan ketiga itu bagi Bun Hui.

Tepat seperti ajaran Yo Wan yang sudah dilatihnya baik-baik, karena tahu bahwa pedang lawan yang membacok leher itu akan terus menyabet pinggang, otomatis pedang Bun Hui menjaga leher dan pinggang sehingga dua serangan itu otomatis gagal. Adapun gukulan atau dorongan tangan kiri Yosiko itu oleh Bun Hui sengaja diterima dengan pundak kanannya. Girang sekali hati Yosiko karena ia melihat bahwa ia bakal menang, karena sekali pukulannya mengenai pundak, tak dapat tidak pemuda itu tentu akan roboh, sedikitnya terhuyung-huyung sehingga memudahkan dia untuk mendesak terus.

Akan tetapi alangkah kagetnya ketika pada saat pukulannya mampir ke pundak, tangan kiri Bun Hui dengan kecepatan luar biasa telah menotok bawah siku kanannya, membuat lengan kanannya setengah lumpuh dan sebelum ia dapat mencegahnya, tangan kiri pemuda itu sudah berhasil merampas pedangnya dari tangan kanan yang setengah lumpuh itu. Memang betul pukulan kirinya tepat mengenai pundak Bun Hui dan membuat pemuda itu terhuyung ke belakang dengan muka pucat, akan tetapi pedangnya telah berada di tangan kiri pemuda itu. Hal ini berarti ia kalah mutlak!

Dengan pandang mata penuh kekaguman Yosiko berdiri memandang Bun Hui. Tak mungkin ia melawan terus setelah pedangnya terampas. Jelas bahwa pemuda ini lebih lihai dari padanya!

"Kau lihai sekali, Nona. Pundakku terluka oleh pukulanmu!" kata Bun Hui merendah sambil mengangsurkan pedang rampasannya kepada Yosiko.

"Tidak, aku telah kalah dan aku mengaku kalah. Tak dapat aku menerima kembali pedangku. Aku sudah berjanji dan biarkan aku kembali untuk membubarkan mereka, besok baru aku akan datang kepadamu dan selanjutnya terserah."

Saking girangnya Bun Hui tak dapat berkata-kata, hanya memandang dengan sinar mata penuh kebahagiaan dan dia hanya dapat menjura ketika nona itu mengundurkan diri. Dari tempat dia berdiri, dia melihat Yosiko memberi tanda dengan tangan kepada anak buahnya dan mereka lalu menghilang di balik semak-semak di hutan.

Cui Sian dan yang lain-lain segera lari menghampiri.

"Selamat, saudara Bun Hui, kau telah menang!" kata Tan Hwat Ki girang.

"Setelah ia kalah, apa yang akan ia lakukan?" tanya Cui Sian.

"la telah berjanji akan membubarkan anak buahnya, dan ia sendiri menyerahkan diri besok untuk menjadi tawanan dan dibawa ke kota raja," kata Bun Hui. "Semua ini adalah jasa Yo-twako. Ehhh.., Yo-twako mengapa tidak muncul?" la menoleh ke arah belakang di mana terdapat banyak pohon besar. la menduga bahwa Yo Wan tentu bersembunyi di situ dalam persiapan membantunya apabila rencananya gagal.

Benar saja, Yo Wan muncul dari balik pohon dan tertawa girang. "Kau berhasil baik, Bun-lote. Bagus sekali! Kurasa seorang seperti Yosiko akan memegang janjinya. Alangkah baiknya urusan ini dapat dibereskan dengan jalan damai sehingga daerah ini akan bebas dari gangguan bajak laut tanpa banyak banjir darah."

"Betapapun juga, aku sangsi apakah jalan ini cukup baik dan menjamin keamanan. Andaikata para bajak itu betul-betul mau pergi dari sini, kiranya mereka akan mengganas di tempat lain," kata Cui Sian menyatakan pendapatnya.

"Setuju sekali dengan ucapan Bibi," sambung Hwat Ki, "membasmi pohon jahat harus sampai ke akar-akarnya, kalau tidak tentu akan tumbuh kembali. Penjahat-penjahat itu kalau tidak dibasmi habis, kelak tentu akan melakukan kejahatan pula."

Yo Wan menggeleng-geleng kepalanya, lalu berkata, suaranya sungguh-sungguh, "Kurasa tidak demikian persoalannya. Kejahatan bukanlah suatu sifat dari jiwa. Tidak ada manusia yang lahir sudah jahat atau selama hidupnya setiap saat ia jahat. Kejahatan adalah kebodohan atau penyelewengan dari kesadaran hati nurani oleh keadaan yang terdorong oleh nafsu-nafsu keduniawian.

Memang sudah menjadi kewajiban kita yang mempelajari ilmu dan mengabdi kebenaran dan keadilan untuk memberantas kejahatan-kejahatan, tetapi bukanlah cara yang sempurna kalau kita harus membunuhi setiap orang yang melakukan kejahatan yang sesungguhnya hanya kebodohan itu. Hal ini akan merupakan pekerjaan sia-sia belaka, bahkan membunuh itu sendiri pun termasuk kebodohan yang berdasar pada kebencian, jadi pada umumnya juga disebut jahat! Yang kita musnahkan bukanlah orangnya melainkan kebodohannya itulah." Yo Wan berhenti sebentar mengumpulkan ingatannya tentang filsafat yang pernah dia pelajari ketika dia bertapa di Himalaya.

Orang-orang muda yang gagah mendengarkan dengan tertarik.

"Yo-twako, teruskanlah, aku masih belum dapat memahami filsafatmu ini." kata Bun Hui.

"Anggapan bahwa orang yang sekarang dianggap jahat akan menjadi jahat selamanya, dan anggapan bahwa orang yang sekarang dianggap baik akan menjadi baik selamanya, adalah anggapan yang sempit. Apa yang disebut jahat maupun baik hanyalah akibat dari kesadaran si orang itu pada saat itu. Apabila dia lupa dan lemah, bodoh menghambakan diri pada hawa nafsu, maka dia melakukan perbuatan yang dianggap jahat. Sebaliknya apabila pada saat itu ia sadar dan kuat menghadapi godaan nafsu, ia akan ingat dan menjauhi perbuatan yang dianggap jahat. Jadi hanyalah akibat sementara saja dari kesadaran. Tidak akan selamanya begitu. Yang sadar mungkin lain waktu akan lupa, sebaliknya yang sekarang lupa mungkin sekali lain waktu akan sadar.

Saudara-saudaraku yang baik, pada hakikatnya, apakah itu yang disebut baik dan jahat? Dari manakah timbulnya sebutan ini? Ingat, banyak sekali di antara kita yang menyalahtafsirkan istilah baik dan jahat ini, bahkan banyak yang menyeleweng dari kebenaran dan keadilan dalam menentukan tentang orang baik dan orang jahat,"

"Bagaimana ini? Baru sekarang aku mendengarnya. Yo-koko, coba kau beri penjelasan," kata Cui Sian dengan hati tertarik sehingga ia lupa bahwa ia menggunakan sebutan mesra sekali, yaitu sebutan "koko". Baiknya semua orang pun sedang dalam keadaan tertarik oleh filsafat Jaka Lola sehingga tidak ada yang memperhatikan sebutan itu.

"Sebelumnya maaf. Kalian adalah putera-puteri pendekar-pendekar sakti yang berilmu tinggi, tentu sudah menerima gemblengan-gemblengan batin yang dalam. Akan tetapi, tiada salahnya kalau sekarang kita bertukar pikiran untuk memperlengkapi ilmu dan mencari kesesuaian pendapat. Yang kumaksud penyelewengan dalam penilaian seseorang terhadap orang lain yang dianggap baik dan jahat adalah karena sebagian besar manusia menilai orang lain berdasarkan nafsu kokati....."

"Nanti dulu, Yo-twako. Apa artinya kokati?" tanya Hwat Ki.

"Nafsu kokati adalah nafsu mementingkan diri pribadi, demi kesenangan sendiri, demi keuntungan sendiri, demi kepentingan sendiri tanpa menghiraukan orang lain. Orang menilai orang lain sebagai orang baik kalau orang lain itu mendatangkan keuntungan atau kesenangan kepadanya. Dan orang menilai orang lain sebagai orang jahat kalau orang lain itu mendatangkan kerugian atau kesusahan kepadanya."

"Tentu saja, bukankah itu wajar?" Bun Hui berkata.

Yo Wan mengangguk. "Wajar bagi penilaian yang berdasarkan kokati. Memang ini menjadi kesalahan atau penyelewengan yang tak terasa lagi oleh manusia yang dalam setiap geraknya dikendali oleh nafsu kokati. Akan tetapi sebetulnya tidak wajar bagi orang yang mengabdi kepada kebenaran dan keadilan!"

"Mengapa begitu?" tanya Hwat Ki.

"Agaknya persoalan ini sulit dimengerti. Baiklah aku menggunakan contoh. Ada seorang yang menjadi perampok, merampasi barang lain orang dengan jalan kekerasan. Orang ini pada umumnya disebut jahat, bukan? Akan tetapi orang ini amat baik kepadamu, tidak merampokmu, malah membantumu, menolongmu dengan ikhlas.

Nah, saudara Hwat Ki, bagaimana penilaianmu terhadap orang ini? Tentu kau akan sukar sekali menganggap dia orang jahat, dan akan inenerima dia sebagai seorang yang baik karena memang ia amat baik terhadapmu. Sebaliknya, andaikata ada seorang yang oleh umum dianggap baik, suka menolong orang lain, akan tetapi justru kepadamu orang itu berbuat hal yang merugikan, misalnya menghina atau menyusahkan. Bukankah kau akan sukar sekali menilai dia sebagai orang baik, Bun-lote?

Kiranya akan lebih mudah bagimu untuk menilai dia sebagai seorang yang jahat karena ia kauanggap amat jahat kepadamu. Nah, bukankah jelas bahwa penilaian saudara Hwat Ki dan Bun-lote ini menyeleweng dari kebenaran dan keadilan? Karena penilaian ini hanya mendasarkan kepada untung atau rugi bagi dirinya sendiri! Bagaimana pendapat kalian?"

"Betul sekali! Baru sekarang aku dapat mengerti!" kata Cui Sian, sepasang matanya berseri penuh kekaguman.

"Memang betul apa yang dikatakan Yo-twako. Aku pun pernah mendengar filsafat seperti ini diwejangkan oleh ayah," kata Swan Bu.

Yo Wan mengangguk. "Suhu adalah seorang yang bijaksana. Sungguhpun suhu kehilangan kedua alat penglihatannya, namun mata batinnya terbuka lebar sehingga tidak mudah suhu terperosok ke dalam jurang penyelewengan. Banyak orang yang kedua matanya awas, namun mata batinnya seperti buta sehingga terjadilah di dunia ini perebutan kebenaran, dan yang diperebutkan itu adalah kebenaran palsu, kebenaran diri sendiri yang bukan lain hanyalah penyamaran dari nafsu kokati juga.

Kebenaran sejati tidak diperebutkan orang, karena sesungguhnyalah bahwa siapa yang merasa diri tidak benar, dialah yang paling dekat kepada kebenaran sejati! Perasaan bahwa diri sendiri tidak benar ini menghilangkan atau setidaknya mengurangi nafsu yang amat buruk, yaitu nafsu membencl orang lain. Tentu saja orang lain dibenci karena dianggap jahat. Kalau kita merasa bahwa diri kita sendiri pun tidak benar, maka tidak mudah menilai orang lain jahat dan karenanya berkuranglah rasa benci.

Hapuskan rasa benci dari dalam lubuk hati dan kita akan mudah menerima cahaya kasih, yaitu kasih sayang kepada sesama manusia, dan ini merupakan jembatan yang akan membawa kita kepada kebenaran sejati."

Hening sejenak karena orang-orang muda itu seakan-akan terpesona dan terpengaruh hikmat kata-kata yang mengandung filsafat hidup itu. Kemudian dengan perasaan kagum dan bangga Cui Sian tertawa, memecah suasana yang tercekam oleh kesunyian itu.

"Wah-wah, mengapa kita jadi menyimpang jauh dari persoalan pokok? Bukankah kita tadi bicara tentang bajak-bajak itu?"

Yo Wan juga tertawa, hatinya gembira karena dia dapat menangkap suara kekasihnya yang mengandung kekaguman dan kebanggaan. "Kita tidak menyimpang karena apa yang kita bicarakan tadi juga ada hubungannya dengan para bajak. Aku tidak membenci mereka, namun kasihan terhadap kebodohan dan penyelewengan mereka. Aku akan merasa lebih bersyukur apabila mereka itu dapat diinsyafkan dan dapat ditunjukkan jalan benar. Kalau hal ini tidak berhasil, tentu saja kita harus mencegah mereka melakukan kejahatan, menggunakan kepandaian kita. Cuma baiknya kalau tidak terpaksa sekali untuk mempertahankan diri, tidak perlu membunuh lain orang."

"Wah, nasihat Yo-twako sama benar dengan nasihat ayah, kata Swan Bu lagi.

"Memang aku murid ayahmu, tentu saja sependirian."

Malam ini tidak terjadi sesuatu, akan tetapi pada keesokan harinya pagi-pagi sekali menjelang subuh, di waktu ayam hutan ramai berkokok, tiba-tiba terjadi penyerbuan besar-besaran dari pihak bajak laut. Para penjaga malam di perkemahan pasukan kota raja yang hanya berjumlah dua puluh orang lebih, tak dapat menahan serbuan ratusan bajak itu sehingga dalam waktu beberapa puluh menit saja dua puluh orang lebih penjaga itu telah tewas. Ributlah keadaan pasukan ketika malam keadaan masih nanar karena baru bangun tidur secara mendadak menghadapi musuh-musuh menyerbu itu.

"Wah, agaknya Yosiko tidak pegang janji!" seru Cui Sian marah sambil mencabut pedangnya setelah para orang muda gagah itu berkumpul di ruangan depan."Belum tentu," jawab Yo Wan. "Mari kita berpencar, kita tahan serbuan mereka dari empat penjuru, membantu Bun Hui yang sudah pergi lebih dulu mengatur pasukannya."

Orang-orang muda itu lalu berloncatan ke luar di dalam cuaca yang: masih gelap itu. Hwat Ki dan sumoinya berlari ke arah barat untuk menahan gelombang serangan bajak laut dari arah ini. Cui Sian berlari ke arah utara sedangKan Yo Wan berlari ke selatan. Swan Bu sendiri yang sejak malam tadi gelisah memikirkan Siu Bi, kini menghilang seorang diri dengan tujuan untuk mencari kekasihnya di antara para bajak laut.

Hebat perang kecil yang terjadi di pagi buta yang masih gelap itu. Banyak anggota pasukan pemerintah roboh karena hujan anak panah, akan tetapi setelah orang-orang muda perkasa itu keluar turun tangan, keadaan berubah dan banyak bajak laut yang roboh dan banyak pula yang mengundurkan diri. Akan tetapi tak seorang pun di antara para muda perkasa itu melihat Yosiko. Bahkan pimpinan bajak laut yang lain hanya dua orang yang muncul, yaitu Thio Kong dan Yauw Leng, sedangkan yang dua orang lagi, Bong Ji Kiu dan adiknya Bong Kwan yang lengan kanannya kemarin buntung oleh serangan kilat Swan Bu juga tidak tampak batang hidungnya.

Bun Hui memimpin anak buahnya mengamuk dan mengejar bajak-bajak yang melarikan diri. Karena tidak melihat Yosiko memimpin mereka, setelah merobohkan Thio Kong, Bui Hui, membentak kepala bajak yang terluka ini, "Hayo katakan, di mana adanya Hek-san-pangcu Yosiko?"

Biarpun sudah terluka parah, Thio Kong masih tertawa mengejek, "Kau takkan melihat dia hidup lagi! Dia menjadi tawanan Bong Ji Kiu di dalam gua di tepi laut!"

Bukan main kagetnya hati Bun Hui. Di samping kaget dan khawatir akan keselamatan Yosiko, diam-diam dia juga lega. Ternyata gadis itu tidak mengingkari janji, tidak mengkhianatinya, melainkan menjadi tawanan bawahannya sendiri yang memberontak! "Hayo kau tunjukkan aku di mana gua tempat ia ditawan!" bentaknya sambil mengempit tubuh Thio Kong yang terluka dan membawanya lari. Pasukannya itu ikut pula mengejar para bajak, dan selebihnya lalu mengikuti komandan mereka ke tepi laut.

Di depan sebuah gua yang besar dan gelap, Bun Hui berhenti. Dengan napas empas-empis Thio Kong berkata, "Di situlah tempatnya..... Bong-twako pesan bahwa kau sendiri harus memasuki gua melawannya kalau kau ingin bertemu dengan Yosiko. Kalau membawa pasukanmu menyerbu, dia akan dibunuh..... Setelah berkata demikian, Thio Kong roboh pingsan.

Bun Hui memerintahkan anak buahnya untuk menawan Thio Kong. Kemudian dia menghampiri mulut gua. Gua ini lebar, akan tetapi gelapnya bukan main. Dari luar tidak tampak apa-apa, hanya hitam gelap menyeramkan, agaknya ada terowongannya. Gua batu karang itu merupakan mulut naga yang mengerikan dan tahulah Bun Hui bahwa memasuki gua ini merupakan bahaya besar. Akan tetapi mengingat akan nasib Yosiko di tangan Bong Ji Kiu, tak mungkin dia berdiam diri saja di luar gua.

Pada saat itu, Yo Wan dan Hwat Ki berlari-lari menghampiri Bun Hui. Dua orang muda ini tadinya bersama Cui Kim dan Cui Sian yang bertemu setelah mereka berhasil mengundurkan para bajak laut. Akhirnya Yo Wan mengajak Hwat Ki untuk membantu Bun Hui, sedangkan Cui Sian mengajak Cui Kim untuk mengejar ke lain jurusan sambil mencari Swan Bu yang belum tampak.

Pada saat Yo Wan dan Hwat Ki tiba di tempat itu, Bun Hui sudah mulai meloncat memasuki gua setelah dia memerintahkan anak buahnya menjaga di luar. "Bun-lote! Ke mana kau?" Yo Wan berteriak heran.

Akan tetapi Bun Hui yang khawatir kalau-kalau Yo Wan dan Hwat Ki akan merintanginya jika mendengar bahwa Yosiko tertawan di dalam dan hanya dia yang boleh masuk seorang diri, tidak mempedulikan seruan ini dan terus melompat ke dalam.

Yo Wan bukan seorang sembrono. Cepat dia menghampiri seorang kepala regu dan bertanya apa maksudnya semua itu.

"Siauw-ciangkun masuk gua untuk menolong nona Yosiko yang menjadi tawanan bajak!" Orang itu menerangkan cepat. "Orang lain tak boleh masuk....."

Yo Wan cepat melompat ke depan gua, berteriak, "Bun-lote! Kembalilah cepat, kau terjebak.....!"

Akan tetapi terlambat sudah terdengar suara keras dan dari sebelah atas di dalam gua itu tiba-tiba runtuhlah batu-batu karang yang besar dan berat menutupi mulut gua di mana tadi Bun Hui lari masuk! Debu mengebul tinggi keluar dari gua disertai pecahan-pecahan batu yang berhamburan ke sana ke mari. Yo Wan menggerakkan kakinya melompat keluar sehingga terhindar dari hujan batu kecil yang hancur beterbangan tertimpa batu karang besar dari atas itu.

Selagi Yo Wan, Hwat Ki dan para perajurit tertegun dan gelisah, tiba-tiba terdengar suara nyaring dari belakang, "Apa yang terjadi? Mana Yosiko anakku?"

Ketika Yo Wan menengok, ternyata yang datang ini adalah wanita setengah tua yang pernah menguji kepandaiannya, yaitu Tan Loan Ki, ibu dari Yosiko. Wanita ini wajahnya pucat, agaknya sudah mendengar tentang perang antara pasukan pemerintah dengan anak buah bajak laut, dan kini mencari Yosiko.

"Dia tertawan oleh Bong Ji Kiu dan berada di dalam gua ini. Komandan pasukan, Bun-ciangkun sedang berusaha menolongnya, akan tetapi terjebak ke dalam gua," kata Yo Wan. Wanita itu mengeluarkan seruan marah keras sekali, lalu tiba-tiba ia lari dari tempat itu! Yo Wan tidak mempedulikanya lagi, lalu maju dan bersama Hwat Ki memimpin para prajurit untuk membongkar runtuhan batu-batu dari atas yang menutup gua.

Bagaimanakah Yosiko bisa tertawan oleh Bong Ji Kiu? Betulkah ia tertawan? Memang sebetulnya begitu. Setelah kalah bertanding melawan Bun Hui, hati gadis ini kagum sekali dan ia sudah mengambil keputusan untuk membubarkan orang-orangnya dan mencuci tangan, menyerah kepada Bun Hui yang bersikap baik terhadap dirinya.

la tidak pedulikan anak buahnya yang tampak tidak puas. Dengan kata-kata singkat ia berkata kepada Bong Ji Kiu dan yang lain-lain,

"Aku lelah sekali. Biarlah aku mengaso malam ini dan besok kau kumpulkan semua kawan, aku mau bicara penting sekali. Jangan bergerak dan jauhkan dari pasukan kota raja agar tidak terjadi bentrokan."

Yang kelihatan tidak puas sekali adalah Bong Ji Kiu. Adik kandungnya telah kehilangan lengan kanan dan kini pemimpin ini tampaknya tidak mempedulikan, bahkan tadi dalam pertandingan kelihatan mengalah terhadap musuh!

Malam itu Yosiko tidur di dalam pondoknya, bersama Siu Bi. Gadis ini tak dapat tidur, apalagi ketika ia tadi mendengar dari Yosiko tentang Swan Bu yang masih berada bersama pasukan kota raja, malah Yosiko memuji-muji Swan Bu dan menceritakan betapa pemuda buntung itu dengan hebatnya telah membuntungi lengan Bong Kwan yang menghinanya.

"Pilihanmu tidak keliru, Siu Bi. Putera Pendekar Buta itu hebat. Akan tetapi, Bun-ciangkun lebih hebat. Mereka memang orang-orang yang mengagumkan." demikian kata Yosiko menutup ceritanya sebelum gadis kepala bajak itu pulas. Siu Bi tak dapat pulas, gelisah hatinya. Mungkin sekali kekasihnya akan salah sangka, mengira bahwa dia kini menjadi bajak pula membantu Yosiko. Padahal ia bersama Yosiko karena tadinya hendak bersama-sama memusuhi Cui Sian. Aku harus pergi dari sini, pikirnya. Tidak ada gunanya lagi berkumpul dengan Yosiko.

Tiba-tiba Siu Bi mencium sesuatu yang harum sekali. la menjadi curiga dan cepat ia mengerahkan sinkang menahan nafas. Dilihatnya Yosiko bernapas panjang dan tenang dalam tidurnya. Ada asap kekuningan memasuki kamar itu dari celah-celah dinding. Siu Bi makin curiga. Dengan masih menahan napasnya, ia mengguncang-guncang tubuh Yosiko. Akan tetapi alangkah heran dan kagetnya ketika ia melihat Yosiko membuka sedikit matanya akan tetapi gadis itu lemas dan tidak mampu bangun.

"Asap beracun!" bisik Siu Bi kaget. Cepat ia mencabut pedangnya dan meloncat turun dari pembaringan, terus menerjang ke arah pintu. Ternyata di depan pintu sudah menanti banyak anak buah bajak, dipimpin oleh Bong Ji Kiu yang langsung menyerangnya dengan pengeroyokan, Siu Bi memutar pedangnya,, akan tetapi karena ia memang sudah mengambil keputusan untuk pergi dari tempat itu, setelah berhasil merobohkan dua orang pengeroyok, ia lalu melompat ke dalam gelap, terus melarikan diri. Kemudian di dalam hutan itu ia mendengar keributan dan perang tanding antara bajak-bajak laut melawan pasukan pemerintah. la tetap bersembunyi.

Adapun Yosiko yang sudah menjadi korban asap beracun itu, sama sekali tidak dapat melawan ketika Bong Ji Kiu membelenggunya dan memanggulnya pergi. Andaikata gadis ini tidak berada dalam keadaan tidur pulas, seperti halnya Siu Bi, tentu ia takkan menjadi korban. Akan tetapi dalam keadaan pulas, ia telah menyedot asap beracun dan terbius dalam keadaan setengah pingsan.

Ketika melihat anak buahnya terdesak hebat dan banyak yang tewas, akhirnya Bong Ji Kiu maklum bahwa pihaknya akan kalah. Maka dia lalu menibawa Yosiko lari ke dalam gua rahasia dan berhasil menjebak masuk Bun Hui. la hendak menggunakan Bun Hui dan Yosiko untuk menjadi jaminan menyelamatkan diri.

Sementara itu, Swan Bu yang lebih dulu menyerbu ke daerah musuh dalam usahanya mencari Siu Bi, menjadi gelisah karena dia tidak melihat gadis itu di antara para bajak. Juga dia tidak melihat Yosiko. Pemuda ini mengamuk dan setiap orang bajak yang berani menghadangnya tentu roboh dengan sekali gerakan. Banyak sudah dia merobohkan anak buah bajak, menangkap mereka dan bertanya di mana adanya kekasihnya, Siu Bi. Akan tetapi para bajak itu tidak ada yang tahu, atau tidak ada yang mau memberi tahu sehingga Swan Bu menjadi makin bingung.

Akhirnya dia dikepung oleh belasan orang bajak yang dipimpin oleh kepala bajak Yauw Leng yang bertubuh tinggi besar dan memegang sepasang pedang. Yauw Leng kemarin ikut dengan rombongan Yosiko, karena itu dia mengenal pemuda buntung ini yang kemarin telah membuntungi lengan kanan temannya, Bong Kwan. Maka melihat pemuda ini, marahlah Yauw Leng dan ingin membalas dendam sahabatnya. la lalu mengerahkan anak buahnya mengepung.

Akan tetapi kasihan bajak-bajak kecil itu. Mereka seakan-akan merupakan serombongan laron yang menerjang api lilin. Api itu hanya bergoyang-goyang, sama sekali tidak padam, akan tetapi laron-laron itu satu demi satu roboh! Swan Bu berpikir bahwa sebagai pemimpin bajak, tentu orang tinggi besar yang kemarin datang bersama Yosiko ini sedikitnya tahu akan Siu Bi. Maka dia lalu mempercepat permainan pedangnya, merobohkan para bajak dan dengan gerakan yang tak tersangka-sangka dia meloncat ke depan Yauw Leng yang tadinya hanya memberi komando dari jarak aman.

Bajak laut itu kaget setengah mati. Tak disangkanya pemuda buntung itu dengan mudahnya mampu menembus kepungan belasan orang anak buahnya dan tahu-tahu sudah berkelebat di depannya. la cepat menggerakkan sepasang pedangnya menyerang, pedang kanan menyerang tubuh lawan, pedang kiri menyerang bagian atas. Gerakannya cepat dan ganas, tenaganya besar sehingga sepasang pedangnya mengeluarkan bunyi berdesingan.

Namun hal ini bajak laut yang biasanya jarang menemukan lawan dengan sepasang pedangnya yang dahsyat itu, menemui lawan yang ilmu kepandaiannya jauh lebih tinggi daripadanya. Biarpun Swan Bu telah kehilangan lengan kirinya, namun kalau baru lawan setingkat bajak laut ini, biar ada sepuluh orang macam Yauw Leng kiranya dia takkan kalah. Pedang Kim-seng-kiam, berkelebat bagaikan halilintar menyambar, dari mulutnya keluar bentakan yang menggetarkan jantung, kemudian terdengar bunyi nyaring dan tahu-tahu sepasang pedang di tangan Yauw Leng telah patah-patah, disusul pekik kesakitan ketika bajak itu tertotok roboh oleh gagang pedang Swan Bu.

Para anak buah bajak berteriak-teriak menyerbu, namun sekali memutar pedang, empat orang bajak laut roboh. Kemudian Swan Bu menyambar tubuh Yauw Leng dan sekali dia berkelebat, lenyaplah dia dari depan para bajak laut yang menjadi kebingungan karena kehilangan pimpinan. Akhirnya mereka lari cerai-berai ketika melihat pasukan pemerintah sudah berlari-lari dari lain jurusan dengan senjata diacung-acungkan penuh ancaman!

"Hayo katakan, di mana adanya nona Siu Bi yang tadinya bersama ketuamu Yosiko? Katakan sebenarnya, kalau tidak .....akan kucincang hancur tubuhmu!" Swan Bu mengancam setelah dia berada di tempat sunyi dan membanting tubuh bajak ke bawah.

Yauw Leng mengeluh panjang, lalu berkata, "Dia..... dia tertawan oleh..... Bong Kwan yang kemarin kaubuntungi lengannya! Dia tentu akan tewas oleh Bong Kwan yang sakit hati kepadamu kalau tidak lekas kau tolong....."

"Di mana dia? Di mana bangsat itu dan di mana Siu Bi ditawan?" tanya Swan Bu dengan gugup.

"Apa gunanya aku memberi tahu kalau kau akhirnya toh membunuhku? Berjanji dulu bahwa kau takkan membunuhku, baru aku mau menunjukkan tempatnya."Karena amat khawatir akan keadaan Siu Bi, Swan Bu segera berkata, "Baiklah kau akan kubebaskan. Lekas tunjukkan tempatnya."

la menotok bebas bajak itu dan menyeret tangannya diajak lari ke tempat yang ditunjukkan oleh Yauw Leng. Tibalah mereka di depan batu-batu karang di tepi laut, di mana terdapat banyak sekali gua-gua batu karang yang liar. Kadang-kadang kalau ombak laut besar, air laut sampai di mulut gua-gua ini, dan batu-batu karang di tempat ini amat runcing, tajam dan licin.

"Di sinilah tadi malam Bong Kwan membawa Siu Bi. Kaucarilah sendiri ke dalam gua, aku tidak berani," kata Yauw Leng.

Cepat bagaikan kilat menyambar, tangan kanan Swan Bu menotok Yauw Leng roboh. Akan

kubuktikan, kalau kau tidak membohong, kau kubebaskan. Akan tetapi awas kalau kau bohong!"

Dengan pedang di tangan, Swan Bu lalu meloncat memasuki gua itu dengan gerakan tangkas. la meloncat ke atas batu-batu karang yang runcing, terus memasuki gua yang amat dalam itu.

"Siu Bi.....!! la memanggil. Tidak ada jawaban kecuali gema suaranya dari dalam gua. la meloncat ke atas batu karang sebelah dalam lagi.

"Siu Bi.....!"

Mendadak telinganya menangkap suara yang terdengar dari jauh.

"Swan Bu.....!!"

Itulah suara Siu Bi! Tak salah lagi! Gemetar kaki Swan Bu mendengar suara ini, suara yang sukar diketahui dari mana datangnya, akan tetapi terpengaruh oleh keterangan Yauw Leng tadi, ia menduga bahwa suara itu pasti datang dari dalam gua ini. Dengan cepat dia meloncat terus, memasuki bagian yang gelap.

Tiba-tiba terdengar angin menyarnbar dari kanan kiri. Swan Bu terkejut, pedangnya bergerak cepat, diputar sedemikian rupa sehingga dia berhasil menangkis banyak anak panah yang beterbangan dari kanan kiri menyambarnya. Anak-anak panah itu runtuh ke bawah dan dia meloncat lagi ke depan. Sekali lagi dia menangkis sambaran senjata-senjata gelap yang terbang dari depan.

Tiba-tiba terdengar suara keras dan asap hitam tebal memenuhi tempat itu. Swan Bu terbatuk-batuk dan cepat menahan napas, maklum bahwa asap itu beracun, akan tetapi karena tempat itu gelap, ketika meloncat ke atas batu karang di sebelah kanan yang kelihatah hanya hitam saja, dia tergelincir. Pada, saat itu dia merasa pundak kanannya sakit. Sebatang senjata piauw telah menancap di pundaknya. Tak tertahan lagi Swan Bu roboh terguling, tubuhnya terbanting di atas batu-batu karang yang runcing dan tajam. Lalu sunyi senyap!

Bagaikan terbang cepatnya, Siu Bi datang berlari-lari. la tadi mendengar suara Swan Bu yang memanggilnya dan ia telah menjawab dengan menyerukan nama pemuda itu sambil berlari ke arah datangnya suara. Ketika ia tiba di depan gua, dari dalam gua berlompatan empat orang bajak yang tadi bersembunyi di situ dan menghujankan anak panah pada Swan Bu. Siu Bi marah sekali. Melihat Yauw Leng menggeletak dalarn keadaan tertotok, pedangnya menyambar dan putuslah leher kepala bajak itu.

Empat orang bajak menjadi marah, beramai menyerbu. Namun Siu Bi memutar pedangnya dan dalam beberapa menit saja empat orang bajak itu sudah roboh tak bernyawa lagi, mandi darah!

"Swan Bu." Siu Bi menjerit ke dalam gua.

Tiba-tiba dari dalam gua itu terdengar suara orang tertawa bergelak, menyeramkan suara ini.

"Ha..ha..ha, Manis! Kau mencari kekasihmu? Si buntung lengan? Ha..ha..ha, dia di sini. Masuklah!" Siu Bi terkejut. Itulah suara Bong Kwan yang katanya kemarin dibuntungi lengannya oleh Swan Bu. la tidak percaya dan memanggil lagi.

"Swan Bu.....!!"

"Ha..ha..ha, kau tidak percaya? Lihat, apakah ini?" Dari dalam gua itu melayang sebatang pedang yang mengkilap putih, menyambar ke arah Siu Bi. Dengan cekatan Siu Bi menyambar pedang itu dengan tangan kirinya. Tangannya menggigil. Itulah pedang Kim-seng-kiam, pedang kekasihnya!

"Swan Bu.....!"

"Masuklah kalau hendak menemui kekasihmu!" kembali suara Bong Kwan mengejek.

Pada saat itu, Cui Sian dan Cui Kim datang berlari-lari. Melihat Siu Bi dengan sepasang pedang berdiri di depan gua, timbul kemarahan mereka berdua. Gadis liar ini telah bersekutu dengan Yosiko dan terang bahwa Yosiko telah bersikap curang, melanggar janji dan diam-diam melakukan penyerbuan yang menewaskan banyak perajurit. Terang bahwa Siu Bi ini membantu penyerbuan Yosiko.

"Gadis jahat!" Cui Sian melompat maju hendak menyerang. Kemudian ia mengenal pedang Kim-seng-kiam di tangan Siu Bi.

"Eh, itu pedang Kim-seng-kiam milik Swan Bu! Di mana dia? Kauapakan dia?" bentaknya.

Muka Siu Bi pucat sekali. "Dia..... dia..... entah bagaimana keadaannya, tapi..... dia..... dia di dalam gua ini, ditawan.....!" Sambil berkata demikian,. Siu Bi lalu melompat memasuki gua dengan sepasang pedang di tangan.

"Swan Bu.....!" la berseru lagi sambil berlari dan berloncatan dari batu karang ke batu karang sebelah dalam.

Tiba-tiba terdengar ledakan keras dan asap hitam memenuhi tempat di sebelah dalam gua di mana Siu Bi berdiri. Gadis ini menjadi limbung, pandang matanya gelap dan dalam keadaan matanya gelap dan dalam keadaan setengah sadar itu, tiba-tiba ia merasa dadanya sakit sekali. la terhuyung-huyung dan terbanting roboh di samping Swan Bu yang menggeletak pingsan di antara batu-batu karang.

"Swan Bu......" Siu Bi merintih lemah, merangkak dan merangkul pemuda itu.

Cui Sian dan Cui Kim terkejut sekali. Mereka lalu meloncat masuk pula dengan pedang terhunus, bergerak hati-hati sekali. Cui Sian di depan, Cui Kim di belakangnya.

"Mundur.....!" teriak Ciui Sian sambil melompat keluar lagi ketika dia mencium bau yang memuakkan, bau asap hitam yang masih tergantung tebal di dalam gua. Terpaksa keduanya melompat keluar lagi dan berdiri bingung.

Tiba-tiba berkelebat bayangan dan tahu-tahu di depan gua itu sudah berdiri sepasang suami isteri yang gagah perkasa. Mereka ini bukan lain adalah Pendekar Buta sendiri bersama isterinya.

Kedatangan mereka ini sebetulnya bersama Tan Loan Ki. Seperti kita ketahui. Tan Loan Ki mencari Pendekar Buta untuk memaksa pendekar ini menjodohkan muridnya, Yo Wan dengan puterinya, Yosiko. Mendengar permintaan yang aneh ini, Pendekar Buta yang kebetulan bertemu di jalan dengan Tan Loan Ki sepulang mereka dari Thai-san, segera ikut dengan wanita aneh itu. Perjalanan dilakukan cepat bukan main karena biarpun sudah setengah tua, Tan Loan Ki masih berwatak keras dan tidak mau kalah, maka dia seakan-akan mengajak suami-isteri dari Liong-thouw-san itu berlomba adu lari cepat!

Setiba di daerah Po-hai, melihat kekacauan dan peperangan, Tan Loan Ki merasa khawatir sekali dan cepat-cepat ia mencari puterinya sehingga ia bertemu Yo Wan di depan gua di mana puterinya tertawan. Adapun Pendekar Buta dan isterinya, mendengar keterangan dari para perajurit bahwa Swan Bu putera mereka juga berada di situ malah ikut bertempur. Atas petunjuk para prajurit inilah mereka berdua mencari dan akhirnya mereka bertemu dengan Cui Sian dan Cui Kim yang berloncatan keluar dari dalam gua yang penuh asap hitam beracun!

"Cui Sian...... apa yang terjadi? Apa kau melihat Swan Bu?" tanya Hui Kauw, isteri Pendekar Buta, tak sabar lagi.

"Saya khawatir..... Swan Bu berada di dalarn gua..... dan Siu Bi baru saja meloncat masuk untuk mencarinya, akan tetapi agaknya..... agaknya dia mengalami kecelakaan. Gua ini penuh asap hitam beracun...."

"Ahhh.....!" Hui Kauw mencabut pedangnya dan bergerak hendak meloncat masuk, akan tetapi cepat Kwa Kun Hong si Pendekar Buta menyambar lengan isterinya.

"Tunggu! Biar aku yang masuk!" katanya dan sebelum isterinya sempat membantah, tubuhnya sudah bertindak ke depan, dengan hati-hati dia melangkah masuk, meraba-raba dengan kedua kakinya. Segera dia mencium bau asap hitam yang beracun.

"Bahan ledak berbahaya....." katanya perlahan, kemudian Pendekar Buta menggerak-gerakkan kedua tangannya, mendorong ke dalam gua. Asap hitam itu yang tadinya mengambang di dalam gua, menjadi buyar, terdorong oleh angin pukulan dahsyat yang memenuhi gua. Karena dorongan ini, asap itu lalu terbang keluar gua dan sebentar saja habislah asap hitam itu. Kemudian dari dalam gua menyambar senjata-senjata rahasia piauw bagaikan hujan lebatnya. Namun, hanya dengan gerakan kedua tangannya yang mengeluarkan angin pukulan luar biasa, semua piauw itu terpental, ada pula yang membalik dan menyambar lebih cepat lagi ke dalam gua. Terdengar pekik kesakitan ketika piauw-piauw beracun itu menyambar tubuh Bong Kwan sendiri yang segera terjungkal dari atas batu karang di sudut gua, tewas seketika itu juga.

Pada saat itu, matahari telah naik tinggi dan sinarnya memasuki gua. Hui Kauw, Cui Sian dan Cui Kim sudah berani memasuki gua setelah asap hitam itu buyar semua.

"Swan Bu.....!" Hui Kauw menjerit ketika melihat puteranya yang kini sudah buntung lengannya itu menggeletak seperti mayat, dipeluki oleh Siu Bi yang tubuhnya mandi darah.

Sekali lagi Kun Hong mencegah isterinya, malah dia berjongkok dan memeriksa puteranya dengan rabaan tangannya. Hati lega karena luka di pundak puteranya tidak berbahaya. Swan Bu hanya pingsan karena ketika tadi terguling, kepalanya tertumbuk batu. Hanya keadaan Siu Bi yang payah. Ketika Kun Hong memeriksanya sebentar, pendekar ini mengerutkan keningnya.

"Biarkan dia sebentar....." katanya, hatinya penuh keharuan. Tiga batang piauw beracun yang menancap di dada Siu Bi tak mungkin dapat dicegah pengaruhnya lagi.

"Swan Bu....." Siu Bi berbisik, tetap merangkul leher pemuda itu erat-erat.

"Swan Bu...... aku hanya punya engkau....."

Ucapan ini gemetar dan lemah, mendatangkan rasa haru pada mereka yang menyaksikan dan mendengar. Mata gadis itu penuh air mata, akan tetapi sinarnya sudah redup. Jari-jari tangannya dengan lemah meraba-raba muka Swan Bu yang masih pingsan.

"Swan Bu..... aku tidak punya apa-apa lagi..... hanya ingin punya engkau..... masa tidak boleh.....? Swan Bu..... kenapa diam saja.....? Kau marah kepadaku? Swan Bu..... ah, kau..... kau terluka..... kau mati? Aku pun ikut..... Swan Bu..... aku ikut!!" Gadis itu lalu berkelojotan, menjerit-jerit, "Aku ikut! Aku ikut!!"

Pelukannya mengeras, akan tetapi hanya sebentar, tubuhnya menjadi lemas dan kata-kata terakhir yang keluar dari bibirnya hanya helaan napas dan bisikan, "Swan Bu kekasihku..... aku..... ikut....."

Terdengar sedu-sedan dari kerongkongan Hui Kauw yang memeluk dua tubuh itu, tubuh Siu Bi yang sudah tak bernyawa lagi dan tubuh Swan Bu yang masih pingsan. Juga Cui Sian menangis terisak-isak, ingat betapa tadinya ia membenci Siu Bi. Baru kini dia sadar betapa Siu Bi patut dikasihani, seorang gadis yatim piatu yang hidup sebatangkara di dunia ini, tidak punya apa-apa, tidak punya orang yang dikasihinya, tidak punya harapan. Sekali lagi ia sadar betapa benar pendapat kekasihnya, Yo Wan. Adapun Cui Kim berdiri bengong, air matanya juga membasahi pipinya.

"Sudahlah, mari kita angkat keluar mereka. Swan Bu perlu diobati," kata Pendekar Buta. Hui Kauw memondong tubuh puteranya, Cui Sian memondong mayat Siu Bi dan mereka keluar dari gua itu, terus menuju ke perkemahan di dalam hutan. Di sepanjang jalan Hui Kauw menangis sesunggukan, menangisi puteranya yang kehilangan lengan kiri, menangisi Siu Bi yang betapapun juga sampai di akhir hidupnya membuktikan cinta kasih dan pengorbanan yang besar kepada Swan Bu.

Hanya Pendekar Buta yang berjalan dengan muka tunduk itu diam-diam berterima kasih kepada Tuhan bahwa Tuhan telah mengatur sedemikian rupa demi kebaikan. Memang sebaiknya begini. la tahu bahwa puteranya mencintai Siu Bi, tetapi dia tahu pula bahwa demi kebenaran, demi menjaga kerukunan keluarga, demi mencuci bersih nama dan kehormatan keluarga Raja Pedang, Swan Bu harus berjodoh dengan Lee Si.

Dengan pengerahan tenaga para prajurit, dan dia sendiri pun menggunakan kepandaiannya untuk menggulingkan batu-batu yang besar dan berat, akhirnya sejam kemudian Yo Wan berhasil membongkar batu-batu karang yang tadi menutupi gua. Cepat dia menerjang masuk dan apa yang dia lihat?

Tempat itu kini sudah terang, diterangi oleh dua buah obor yang dipasang di kanan kiri. Di atas sebuah batu karang halus tampak duduk seorang wanita yang bukan lain adalah Tan Loan Ki, duduk sambil tersenyum-senyum. Di depannya berlutut dua orang yang bergandeng tangan, Bun Hui dan Yosiko! Adapun di sudut ruangan gua itu menggeletak mayat si cambang bauk Bong Ji Kiu, lehernya putus! Yo Wan berdiri tertegun, namun hatinya merasa lega.

Apakah yang terjadi? Kiranya ketika Bun Hui memasuki gua itu, Bong Ji Kiu menggerakkan sebuah alat rahasia dan runtuhlah batu-batu dari atas menutupi gua, sebagian dari batu-batu itu menimpa Bun Hui yang cepat melompat ke dalam akan tetapi karena keadaan gelap, dia tidak dapat menghindarkan serangan Bong Ji Kiu. Sambaran golok Bong Ji Kiu melukai pahanya dan sebuah tendangan mengenai dadanya membuat Bun Hui terpelanting dan roboh tak dapat bangun pula. Kemudian Bong Ji Kiu menyalakan obor dan dengan hati penuh kegelisahan Bun Hui melihat betapa Yosiko benar benar berada di situ, terbelenggu kaki tangannya!

"Ha..ha..ha, kau berani datang untuk melihat kekasihmu? Kau mencinta Yosiko, bukan? Ha..ha, bagus sekali. Kau saksikanlah betapa nona manis ini menjadi isteriku, kemudian kau mampus! Kaukira akan dapat mengalahkan Kim-bwee-liong Bong Ji Kiu? Ha..ha..ha!" Kemudian secara kasar kepala bajak ini memeluk dan menciumi Yosiko.

"Bangsat! Kalau kau laki-laki, jangan mengganggu wanita! Hayo bertanding secara laki-laki, jangan menggunakan kecurangan!" Bun Hui memaki sambil merangkak bangun dengan susah payah. la berhasil berdiri setelah mengambil pedangnya, lalu meloncat menggunakan sebelah kaki menyerang kepala bajak itu.

Sambil tertawa Bong Ji Kiu menangkis dengan goloknya. Tangkisannya keras sekali dan karena Bun Hui masih pening, luka di pahanya parah, serta dadanya masih membuat napasnya sesak, tangkisannya ini saja cukup membuat pedangnya terlepas dan kembali dia terguling roboh karena tendangan lawan.

"Ha..ha..ha, macam mana kau berani melawan aku?" Bong Ji Kiu melangkah maju dengan golok di tangan.

"Bong Ji Kiu!" Yosiko berseru keras. "Kalau kaubunuh dia, aku bersumpah akan mencari kesempatan menghancurkan kepalamu sampai lumat!"

"Ha..ha..ha, kiranya kau benar-benar mencinta bocah ini? Ah, Yosiko, kau benar-benar aneh sekali dan mengecewakan hati. Sepatutnya kau, anak bajak laut, berjodoh dengan bajak laut pula. Akan tetapi kau memang tak kenal budi, tak menghargai kawan sendiri. Dulu Shatoku, murid ayahmu sendiri tewas di tangan Tan Hwat Ki dan kau tidak peduli, padahal Shatoku amat mencintamu.

Juga kau tidak mau pedulikan lamaranku, sebaliknya kau mencinta bocah ini, padahal dia ini adalah komandan pasukan kerajaan yang sengaja datang hendak membasmi kita! Ah, di mana kegagahan ayahmu? Mana rasa setia kawanmu?" Setelah berkata demikian, Bong Ji Kiu menggunakan sehelai tambang untuk mengikat kaki tangan Bun Hui yang sudah tidak berdaya lagi kemudian dia meraih hendak memeluk Yosiko lagi untuk menyiksa hati Bun Hui.

"Jangan sentuh aku! Dengar, Bong Ji Kiu, aku hanya bersedia menjadi isterimu kalau kau membebaskan Bun Hui dan jangan menyentuhku di depannya. Kalau kau melanggar pantangan ini, biarpun kau akan memaksaku, pasti akan tiba saatnya aku merobek dadamu dan mengeluarkan jantungmu!"

"Ha..ha..ha, baiklah, Manisku. Akan tetapi tidak bisa aku membebaskan dia sekarang. Dia harus ikut dengan kita ke pantai dan ke perahu. Aku akan membawamu lari ke pulau selatan di mana kita dapat membuat sarang baru yang aman, sebagai suami isteri bajak laut. Dia harus menjamin keselamatan kita sampai kita berlayar, baru dia kubebaskan. Mari, mari kita pergi, Manisku!"

Bong Ji Kiu memondong tubuh Yosiko dan menyeret tubuh Bun Hui melalui terowongan yang kasar sehingga dapat dibayangkan betapa tersiksanya Bun Hui.

Diam-diam Yosiko cemas sekali. Terowongan rahasia ini adalah peninggalan kakeknya dahulu, tidak ada yang tahu kecuali dia dan ibunya, dan anak buahnya. Agaknya Kamatari telah membocorkan rahasia ini sehingga kini dipergunakan oleh Bong Ji Kiu untuk menjebak Bun Hui dan untuk melarikan diri melalui terowongan rahasia. Kalau sampai Bong Ji Kiu dapat menggunakan Bun Hui sebagai jaminan, agaknya apa yang dikatakan bajak ini akan terlaksana!

Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara ketawa yang menyeramkan. Bong Ji Kiu kaget bukan main sehingga pondongannya terlepas, tubuh Yosiko terguling di dekat tubuh Bun Hui. Bajak laut itu menghunus golok besarnya dan membentak,

"Siluman dari mana berani mengganggu Kim-bwee-liong?"

"Bong Ji Kiu, kematian sudah di depan mata masih berani berlagak?"

Suara itu terdengar aneh karena bercampur dengan kumandangnya, seperti suara yang dating dari alam lain.

"Keluarlah dan makan golokku ini.....!" Tiba-tiba suara Bong Ji Kiu terhenti dan matanya terbelalak lebar ketika dia melihat bayangan berkelebat dan tahu-tahu Tan Loan Ki telah berdiri di depannya dengan pedang di tangan!

"Toa..... Toanio.....! Saya terpaksa menangkap Yosiko karena dia berkhianat dan bersekutu dengan pasukan kota raja, dan..... dan ini..... komandan pasukan juga sudah saya tangkap....."

"Setan kaul Anakku boleh memilih jodoh siapapun juga, peduli apa dengan kau? Keparat! Hayo berlutut menerima kematian!"

Menggigil sepasang kaki Bong Ji Kiu. ..... tidak, Toanio..... ini tidak adil! Aku..... aku....." Akan tetapi terpaksa dia menghentikan kata-katanya karena Tan Loan Ki dengan kemarahan meluap-luap sudah menerjangnya dengan serangan kilat.

Terpaksa Bong Ji Kiu melawan dan memutar goloknya. Terjadilah pertempuran mati-matian yang amat seru di dalam ruangan gua yang kini diterangi obor itu. Bong Ji Kiu berlaku nekat, tetapi mana mungkin dia dapat menandingi Tan Loan Ki? Belum tiga puluh jurus, sambaran pedang merobek kulit lengan dan hampir membuntungi pergelangan tangannya sehingga golok besarnya terbang.

"Ti..... tidak..... Toanio..... ampun.....

Bong Ji Kiu meloncat ke belakang dengan tubuh gemetaran dan muka pucat. Akan tetapi Tan Loan Ki menghampirinya dengan mata berapi-api dan langkah-langkah lambat sampai akhirnya Bong Ji Kiu tak dapat lari lagi karena punggungnya menyentuh dinding di sudut. Pedang Tan Loan Ki berkelebat, hanya tampak cahayanya dan tahu-tahu tanpa dapat sambat lagi Bong Ji Kiu terguling dengan kepala terpisah dari tubuh!

Tan Loan Ki cepat membebaskan dua orang muda itu dan dengan gembira sekali Yosiko menceritakan semuanya kepada ibunya.

"Ibu, aku memilih dia ini menjadi suamiku. Kalau tidak dijodohkan dengan, Bun Hui, aku lebih baik mati! Ibu, permintaanku hanya sekali ini kepadamu, harap kau suka mengabulkan."

"Hemmm..... kau bocah aneh. Mula-mula Tan Hwat Ki, kemudian Yo Wan, dan sekarang Bun Hui komandan pasukan kota raja. Bagaimana ini?"

"Dulu aku tidak tahu, Ibu. Kukira hanya laki-laki yang dapat mengalahkan aku saja yang patut menjadi jodohku, tetapi setelah mendengarkan nasihat Yo Wan, dan mendengar pula penuturan Siu Bi, aku..... aku tahu bahwa tanpa cinta tak mungkin menjadi isteri orang. Dan aku..... aku mencinta Bun Hui!" Bukan main girang hati Bun Hui mendengar pengakuan ini, pengakuan yang begini terus terang, terbuka, membayangkan kejujuran dan kepolosan hati gadis ini. Yo Wan benar, pikirnya, gadis ini jujur dan baik, hanya liar karena pengaruh pendidikan dan lingkungan.

"Bun Hui, kau anak siapa?"

"Ibu, dia itu cucu ketua Kun-lun-pai, bukan sembarang pemuda!" Yosiko yang menjawab cepat.

"Ehhh?" Tan Loan Ki tercengang. "Kalau begitu, kau ini putera Bun Wan?"

"Betul, Bibi," jawab Bun Hui, girang dan heran bahwa ibu Yosiko ini kiranya mengenal ayahnya.

"Hemmm, dia juga baik dan boleh saja. Tapi..... eh, Bun Hui, anakku mencintamu, apakah kau juga cinta kepadanya?"

"Dia tentu cinta kepadaku, Ibu, dia..... dia membujukku untuk insyaf dan dia hendak membawaku ke Thai-goan.....

"Diam kau! Harus dia sendiri yang menjawab. Bagaimana, Bun Hui? Apakah kau mencinta Yosiko?"

"Saya..... saya mencintanya, Bibi."

Yosiko meloncat dan memegang tangan Bun Hui, wajahnya berseri gembira dan ia mengguncang-guncang lengan itu. "Betulkah itu, Bun Hui? Ah, alangkah bahagia dan lega hatiku. Tadinya..... tadinya kukira kau tidak mencintaiku.... aku sudah khawatir sekali....."

Tan Loan Ki tertawa dan berkata, "Anak-anakku, aku girang melihat Kalian bahagia. Bun Hui, kau tidak memberi hormat kepada ibu mertuamu?"

Bun Hui dengan muka merah, dengan tangan masih digandeng Yosiko, segera berlutut di depan wanita itu. Mereka berbahagia, tidak peduli akan suara hiruk-pikuk dari Yo Wan dan para prajurit yang membongkar batu-batu di depan gua. Demikianlah, ketika akhirnya Yo Wan menerjang masuk dengan hati penuh kekhawatiran menyaksikan adegan yang tenteram bahagia, yang membuatnya bengong terlongong keheranan!

Bajak laut menjadi kocar-kacir setelah kehilangan pimpinan. Apalagi ketika Tan Loan Ki dan Yosiko keluar dan menyerukan perintah agar mereka menyerah, sebagian besar di antara mereka lalu membuang senjata dan berlutut, menyerah.

Bun Hui cukup bijaksana untuk menyerahkan urusan mereka kepada Yosiko dan ibunya yang membubarkan Hek-san-pang dan perkumpulan bajak laut yang lain. Selanjutnya harta kekayaan yang ada oleh Yosiko dibagi-bagikan kepada mereka dengan peringatan agar mereka memulai hidup baru, jangan melakukan kejahatan lagi.

Adapun Swan Bu setelah sadar dan melihat kekasihnya, Siu Bi, meninggal karena membelanya, menjadi berduka sekali. Namun, sebagai seorang yang telah menerima gemblengan batin dari orang tuanya, apalagi di situ terdapat Pendekar Buta yang menasihati dan menghiburnya, dia menerima kenyataan pahit yang menimpa dan mendukakan hatinya. Semenjak saat itu, Swan Bu berubah menjadi seorang yang pendiam, seorang yang masak jiwanya, dan biarpun dia kehilangan lengan kiri dan kehilangan Siu Bi yang dikasihinya, dia mendapatkan pengalaman hidup yang membuatnya menjadi seorang yang kuat lahir batin

Orang-orang gagah ini berpisahan dari daerah pantai Po-hai ketika para bajak laut sudah dibubarkan. Bun Hui memimpin sisa pasukannya ke kota raja, tentu saja selain membawa kemenangan lahir juga kemenangan batin, karena di sebelahnya ikut pula Yosiko dan ibunya, sedangkan di dalam sakunya terdapat sebuah surat dari Pendekar Buta untuk ayahnya, surat yang membantu dan mengusulkan agar Bun Wan memperkenankan perjodohan antara Bun Hui dan Yosiko.

Tan Hwat Ki dan sumoinya, yang masing-masing menyimpan rahasia kebahagiaan sendiri, yang dalam perjalanan kali ini telah menemukan cinta kasih mereka satu kepada yang lain, buru-buru kembali ke Lu-liang-san dengan pengharapan besar mendapat restu ayah dan guru mereka, dengan lamunan dan cita-cita yang muluk-muluk!

Pendekar Buta dengan isteri dan puteranya kembali ke Liong-thouw-san. Tentu saja Swan Bu membawa keperihan hati karena dia harus meninggalkan Siu Bi di dalam gundukan tanah kuburan di dalam hutan tepi pantai. la merasa kasihan sekali kepada kekasihnya ini. Sampai mati pun harus bersunyi sendiri, dikubur di tempat sunyi. la baru mau pergi bersama ayah bundanya setelah dia menemani kuburan Siu Bi semalam suntuk, di mana dia duduk bersamadhi di dekat gundukan tanah kuburan baru itu.

Masih terngiang di telinganya ketika dia mulai sadar, dia sempat mendengar jeritan Siu Bi berkali-kali, "Swan Bu, aku ikut..... aku ikut.....!" Kenangan inilah yang akhirnya membesarkan hatinya karena ketika dia melakukan perjalanan pulang, dia merasa seakan-akan Siu Bi benar-benar mengikutinya. Biarpun bukan Siu Bi dalam kenyataan, atau bayangannya, namun setidaknya cinta kasih gadis itu selalu mengikutinya!

Sebelum pergi, Pendekar Buta memanggil Yo Wan, lalu berkata di depan Cui Sian yang menundukkan mukanya karena jengah. "Muridku, Yo Wan. Aku sebagai wakil orang tuamu, telah membicarakan urusan perjodohanmu dengan Tan Beng San locianpwe. Beliau berkenan menjodohkan Cui Sian denganmu. Segala hal telah kami rundingkan dengan masak-masak, dan sekarang, kauajaklah calon isterimu itu kembali ke Thai-san. Kelak pada saat pernikahan kalian, sudah pasti aku akan datang ke sana menghadirinya. Yo Wan, aku merasa bangga kepadamu dan aku sungguh-sungguh merasa bahagia bahwa dahulu aku ikut mendidikmu sehingga sekarang kau menjadi seorang yang benar-benar tak mengecewakan. Arwah ibumu akan ikut bahagia, muridku."

Yo Wan tak dapat menjawab, hanya berlutut dan memeluk kaki gurunya itu dengan air mata bertitik yang cepat-cepat dihapusnya. "Banyak terima kasih atas budi kebaikan Suhu dan Subo. Semoga Thian yang akan membalasnya kalau teecu tidak mampu membalas."

Maka berangkatlah Yo Wan dan Cui Sian berdua, sebagai orang-orang terakhir yang meninggalkan tempat itu menuju ke Thai-san, tentu saja dengan hati penuh kebahagiaan dan perjalanan itu merupakan perjalanan yang paling menyenangkan selama hidup mereka, karena bukankah di depan mereka terbentang masa depan yang penuh madu?

Memang tidak ada kebahagiaan yang melebihi bagi orang muda selain kebahagiaan menghadapi hidup baru berdampingan, membina rumah tangga bersama, mendayung biduk rumah tangga mengarungi samudera hidup, menempuh gelombang dan ombak samudera bersama-sama, menuju pantai cita yaitu keluarga bahagia. Susah sama diderita, senang sama dirasa, berat sama dipikul, ringan sama dijinjing.

Biarlah kita mendoakan mereka itu, Bun Hui dan Yosiko, Hwat Ki dan Cui Kim, Swan Bu dan Lee Si, Yo Wan dan Cui Sian, semoga orang-orang muda yang gagah perkasa, pengabdi kebenaran dan keadilan itu, akan menjadi pasangan suami isteri yang rukun dan menurunkan manusia-manusia yang selalu akan sadar dan ingat. Sadar sebagai manusia yang harus bertindak dengan dasar perikemanusiaan, dan ingat selalu kepada Yang Maha Kuasa. Karena hanya manusia yang sadar dan ingat demikianlah yang akan menjadi manusia-manusia berguna bagi dunia dan akhirat.

Sampai di sini, pengarang mengakhiri cerita JAKA LOLA yang merupakan bagian terakhir dari rangkaian cerita RAJA PEDANG, RAJAWALI EMAS, PENDEKAR BUTA,dan JAKA LOLA ini. Harapan pengarang, semoga cerita-cerita tersebut di samping memberi hiburan ringan kepada para pembaca sebagai cerita khayal yang tegang dan romantis, juga sedikit banyak mengandung teladan dan sumbangan bagi pembangunan moral.

Teriring salam bahagia pengarang dan sampai jumpa di lain cerita.

TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar