"Heran sekali. Kau masih tanya peduli apa denganku? Tentu saja aku tidak bisa membiarkan kau mengganggu keamanan wilayah ini, mengacau kini kalau saja hatinya tidak sudah terampas oleh Cui Sian, puteri Raja Pedang!
Setelah dia mengenal Cui Sian yang berhasil menjatuhkan hatinya dan merenggut cinta kasihnya, kini Yo Wan menganggap Yosiko sebagai seorang bocah yang nakal. la harus segera membebaskan diri dari ibu dan anak ini, akan tetapi kalau lukanya belum sembuh, agaknya tidak mungkin hal itu dia lakukan. Gadis ini sudah cukup berbahaya, apalagi di situ masih ada ibunya yang lihai. la harus bersabar dan menanti sampai lukanya sembuh betul.
Berpikir demikian, Yo Wan lalu merebahkan dirinya tanpa berkata apa-apa.
"Bagaimana? Menarikkah penuturanku? tanya Yosiko.
"Menarik juga, tapi sudahlah. Aku mau tidur."
Yosiko merengut gemas. "Bagaimana pendapatmu? Kau tentu tidak keberatan menjadi pilihanku?"
Edan, pikir Yo Wan. Terpaksa dia menjawab, "Yosiko, kau memandang terlalu rendah tentang perjodohan. Apa kaukira syarat kebahagiaan perjodohan adalah ilmu silat yang tinggi? Apakah kalau kau menjadi isteri seorang ahli silat yang lebih lihai dari padamu, hidupmu lalu bahagia?"
"Tentu saja!" jawab Yosiko tanpa ragu-ragu lagi. "Ayah tewas karena kepandaiannya kurang tinggi, sehingga ibu menjadi janda. Bukankah itu celaka sekali? Seandainya ayah berkepandaian tinggi seperti engkau, kiranya sekarang ayah masih hidup. Dengan seorang suami yang kepandaiannya paling tinggi hidupku akan terjamin, karena itu aku memilih engkau!"
Yo Wan menarik napas panjang dan menggeleng kepalanya, akan tetapi dia tidak bangkit dari pembaringan.
"Yosiko, agaknya kau sejak kecil hidup dikelilingi kekerasan dan kekejaman, sehingga kau tidak mempedulikan tentang perasaan. Apakah kau tidak mempunyai perasaan halus? Apakah ibumu tidak pernah memberi tahu kepadamu bahwa syarat perjodohan adalah kasih sayang?"
"Tentu saja sudah!" Yosiko tersenyum lagi, matanya bersinar-sinar gembira. "Apakah kau tidak kasih dan sayang kepadaku?"
Yo Wan mengeluh di dalam hatinya. Sukar bicara dengan gadis liar ini, pikirnya. la harus bicara dengan ibu gadis ini yang tentu lebih mudah diajak bicara. Diam-diam dia pun kasihan kepada Yosiko karena kalau dibiarkan demikian, kelak mungkin sekali berjodoh dengan seorang pria tanpa kasih sayang sehingga akhirnya akan merana dalam kesengsaraan batin.
Hatinya lega juga karena kini dia yakin bahwa perawatan gadis itu, sikap manisnya, bukan terdorong oleh rasa cinta yang dia khawatirkan, melainkan oleh rasa kagum akan kepandaiannya sehingga dia dipilih menjadi calon jodoh dan karenanya harus dirawat sampai sembuh! Diam-diam Yo Wan merasa seakan-akan dirinya menjadi seekor binatang peliharaan terkasih yang sedang sakit!
"Bagaimana, Yo Wan? Apakah kau tidak kasih dan sayang kepadaku?"
Yo Wan menarik napas panjang. "Sudahlah, Yosiko, biarkan aku mengaso. Kelak
kalau aku sudah sembuh, hal ini akan kita bicarakan bersama ibumu. Tentu saja
aku sayang kepadamu, kau gadis yang baik."
Girang sekali hati Yosiko dan wajahnya berseri. la cepat mengambil sehelai selimut dan menyelimuti tubuh Yo Wan yang segera tidur nyenyak. Yosiko juga berbaring di atas sebuah pembaringan kayu kecil di sudut ruangan, wajahnya kelihatan puas dan berseri.
Menjelang pagi, Yo Wan terbangun dari tidurnya ketika dia mendengar orang berseru girang, "Dia di sini.....!"
Sebagai seorang ahli silat yang iihai, begitu sadar Yo Wan sudah meloncat turun dari pembaringannya, siap menghadapi bahaya. Akan tetapi wajahnya berubah ketika dia melihat sepasang muda-mudi dari Lu-liang-pai yang berdiri di mulut gua dan memandang kepadanya dengan terheran, apalagi ketika mereka memandang kepada Yosiko yang juga sudah duduk di atas pembaringannya.
Tentu saja Yo Wan menjadi jengah dan bingung. Betapa tidak? Orang melihat dia berduaan dengan seorang gadis cantik dalam sebuah gua, melewatkan malam di situ! Di lain fihak, Tan Hwat Ki dan sumoinya yang tidak mengenal keadaan Yo Wan, tentu saja mengira bahwa wanita itu tentu ada hubungannya dengan pendekar yang telah menolong mereka.
"Saudara yang gagah, kiranya kau berada di sini dan dalam keadaan selamat. Syukurlah....." kata Hwat Ki sambill melirik ke arah Yosiko.
Lirikan inilah yang membuat Yo Wan cepat-cepat memperkenalkan, "Aku juga girang
melihat kalian selamat dan..... Nona ini..... eh, dia nona Yosiko....."
"Apa.....? Dia..... dia ketua Kipas Hitam.....?"
Yosiko tersenyum, sepasang matanya yang puas tidur itu berseri.
"Aku adiknya!"
"Srattt!" Tampak sinar hitam berkelebat ketika Bu Cui Kim mencabut Hek-kim-kiam dan sambil berseru nyaring nona ini menerjang maju ke arah Yosiko.
"Eh, ah, galaknya.....!" Yosiko mengejek dan sekali meloncat ia telah menghindarkan diri.
"Sumoi.....!" Hwat Ki berseru bingung. "Suheng, tidak lekas-lekas membantu aku membasmi bajak laut mau tunggu apa lagi?" Bu Cui Kim berseru dan terus menyerang lagi. Hwat Ki menjadi merah mukanya, akan tetapi biarpun tadinya dia ragu-ragu, mengingat betapa lihainya Yosiko, dia sudah mencabut pedangnya pula dan melompat maju untuk membantu sumoinya.
"Tahan senjata!" Yo Wan berseru sambil melangkah maju. Suaranya berpengaruh sekali sehingga tidak saja Hwat Ki dan Cui Kim menghentikan penyerangannya, juga Yosiko yang sudah memegang pedangnya, berhenti dan memandang dengan senyum mengejek kepada dua orang muda Lu-liang-san itu.
"Saudara Tan Hwat Ki, ketahuilah ibahwa nona Yosiko bukanlah orang lain, melainkan saudara misanmu sendiri. Dia adalah puteri dari bibimu Tan Loan Ki yang menikah dengan seorang pendekar Jepang."
Tentu saja Hwat Ki sudah mendengar nama-nama ini dari ayahnya, maka dia memandang dengan bingung, kemudian dia menatap wajah Yo Wan penuh curiga.
"Kau siapakah? Bagaimana mengetahui namaku?"
Yo Wan menjura sambil tersenyum.
"Aku Yo Wan....."
Hwat Ki terkejut. "Apa? Kau murid paman Kwa Kun Hong Pendekar Buta?"
"Ahhh.....!" Seruan ini keluar dari mulut Cui Kim dan mulut Yosiko.
"Beliau adalah suhuku yang terhormat," jawab Yo Wan sederhana.
"Saudara Yo..... tapi..... tapi mengapa dia menjadi..... eh, ketua bajak laut? Dan di mana pula Bibi Loan Ki?"
"Suheng, biarpun masih ada ikatan keluarga, kalau jahat harus kita basmi!" Cui Kim berseru, matanya masih melotot marah.
"Yo Wan, dua orang ini bersekongkol dengan orang pemerintah, anak buahku banyak yang tewas. Biarkan kubunuh mereka!" bentak Yosiko pula.
Yo Wan maklum akan sulitnya keadaan. Kalau dibiarkan, tiga orang ini tentu akan bertanding mati-matian. la mengangkat kedua tangannya dan berkata, suaranya keren.
"Tidak boleh! Saudara Hwat Ki, biarlah lain kali aku menerangkan semua ini kepadamu. Sekarang kuminta dengan hormat agar kau dan sumoimu meninggalkan tempat ini dan kuminta pula agar kau tidak memberitahukan tempat ini kepada orang lain."
Hwat Ki meragu. Cui Kim mengomel, "Mana bisa? Dia bajak....."
Akhirnya Hwat Ki menjura kepada Yo Wan. "Saudara Yo Wan, karena kau pernah menolong kami, maka aku percaya kepadamu, apalagi mengingat bahwa kau adalah murid paman Kwa Kun Hong. Namun, aku tetap mengharapkan penjelasanmu kelak mengapa kau melarang kami." Setelah berkata demikian, Hwat Ki mengajak sumoinya keluar dari gua itu.
Setelah dua orang muda itu pergi, Yosiko mengomel, "Yo Wan, mengapa kau menghalangi aku membunuh dua orang itu? Mereka musuh Kipas Hitam..."
"Mereka adalah pendekar-pendekar muda yang gagah perkasa, pembasmi kejahatan, apalagi Tan Hwat Ki adalah putera Lu-liang-pai, cucu Raja Pedang. Mana mungkin aku membiarkan dia terbunuh? Aku tidak menghendaki permusuhan dengan kau dan kalau kau menyerangnya, terpaksa aku membantunya."
Dengan muka masih cemberut Yosiko berkata, "Hemmm, kau memang tak kenal budi, tidak mengasihani, orang. Hwat Ki sendiri saja kepandaiannya sudah lebih lihai daripada aku, melawan dia saja aku belum tentu dapat menang, kau masih hendak membantunya. Sama saja dengan kau dan dia sengaja hendak membunuh aku!" Aneh sekali, secara tiba-tiba gadis itu menangis! Akan tetapi hanya sebentar saja air matanya bercucuran keluar, karena segera dihapusnya dan sikapnya kembali keras.
"Kau mau bunuh aku, mengapa masih memakai jalan memutar, plintat-plintut? Mau bunuh hayo bunuh!"
"Eh..eh, kenapa kau mengamuk tidak karuan, Yosiko? Siapa ingin membunuhmu? Aku bilang membantu mereka, yaitu kalau kau hendak membunuh mereka, karena biarpun ilmu silatmu kalah lihai, namun akalmu lebih banyak dan tipu muslihatmu mungkin akan mengalahkan mereka berdua. Kalau terjadi sebaliknya, yaitu mereka mengancam keselamatanmu dan hendak membunuhmu, sudah tentu akan kuhalangi niat mereka dan kubela engkau."
Seketika berubah wajah Yosiko, kemarahannya lenyap bagaikan awan tipis ditiup angin. Akan tetapi ia masih mencela, "Yo Wan, kalau memang kau suka kepadaku, mengapa kepalang tanggung? Kalau kau membenciku, juga kenapa tidak terus terang saja? Kau orang aneh ..... tapi sudahlah, kau mengaso biar sembuh, baru kita bicara lagi. Sebentar lagi ibu tentu akan mengantarkan obat yang kuminta, atau aku akan mencari ke sana."
Yo Wan tidak mau membantah lagi. la maklum bahwa menghadapi seorang gadis remaja yang galak ini, lebih baik dia menutup mulut dan bersabar sampai dia sembuh benar. Kalau dilawannya cekcok mulut tentu akan menjadi-jadi dan hal ini amat tidak baik baginya.
Di tempat lain, terjadi percekcokan lain lagi. Semenjak meninggalkan gua yang dijadikan tempat persernbunyian ketua Kipas Hitam itu, Bu Cui Kim tampak cemberut dan pendiam. Beberapa kali Hwat Ki mengajaknya bicara, akan tetapi sumoinya yang biasanya amat ramah dan taat kepadanya, kini hanya menjawab singkat-singkat saja, kadang-kadang bahkan tidak menjawab sama sekali. Seakan-akan kegembiraan dan semangat sumoinya tertinggal di gua!
Diam-diam Hwat Ki curiga. Hatinya sudah merasa amat tidak enak ketika malam tadi mereka dijamu sebagai tamu ketua Kipas Hitam, karena dia menduga bahwa sumoinya tertarik oleh ketua Kipas Hitam yang tampan jenaka. Apakah sumoinya menjadi kecewa melihat ketua Kipas Hitam yang disangkanya seorang pemuda tampan gagah itu seorang wanita? Ataukah..... sumoinya tertarik kepada Yo Wan, pemuda sederhana yang amat sakti itu? Akhirnya Hwat Ki tidak dapat menahan perasaannya.
la berhenti di tempat yang amat indah di tepi sungai. Amat sejuk hawa pagi itu dengan sinar matahari dan air sungai yang mulai mengeluarkan suara berdendang ketika alirannya
bermain dengan batu-batu karang. Burung-burung pagi berkicau dan menari-nari di atas dahan-dahan pohon. Angin pagi yang semilir merontokkan daun-daun tua dan mutiara-mutiara embun yang menempel di ujung daun-daun hijau. Daun bambu dilanda angin berkeresekan halus seperti sepasang kekasih berbisikan mesra. Pagi yang indah, akan tetapi anehnya, wajah muda-mudi dari Lu-liang-san ini muram!
Melihat Hwat Ki berhenti dan berdiri bersandarkan batu karang, Cui Kim juga berhenti, berdiri termeoung memandang air sungai, sama sekali tidak mempedulikan suhengnya. Suasana kaku dan tegang ini terasa benar oleh mereka dan Hwat Ki maklum bahwa sesuatu yang mengganjal ini kalau tidak lekas dia dongkel dan singkirkan, akan merupakan penghalang yang amat tidak menyenangkan dalam pergaulannya dengan sumoinya. Selama bertahun-tahun, sumoinya menjadi murid ayahnya, semenjak mereka berdua baru berusia dua tiga belas tahun, mereka telah bermain-main bersama, rukun dan tak pernah bercekcok, seperti kakak beradik kandung saja.
Baru sekarang ini terjadi hal yang amat aneh, yang membuat mereka murung dan. seakan-akan enggan menatap wajah masing-masing, hati penuh kemarahan dan ketidakpuasan!
"Sumoi, apakah yang kaupikirkan?"
"Tidak apa-apa....."
Hemm, jawaban yang dipaksakan sebetulnya enggan menjawab dan kemarahan serta sakit hati yang amat besar terkandung dalam suara itu, pikir Hwat Ki. Rasa cemburunya makin membesar dan dia pun membuang muka. Sampai beberapa lama keduanya diam saja. Hwat Ki berdiri dengan kaki kanan di atas batu karang, bersandar pada batu karang yang agak tinggi, membelakangi, sungai. Sebaliknya, Cui Kim berdiri menghadapi sungai, mukanya lurus memandang ke arah sungai, mulutnya yang biasanya manis itu cemberut. Karena keduanya berdiam diri, makin teganglah suasana.
"Sumoi, sungguh tak enak keadaan begini!" Akhirnya berkatalah Hwat Ki dengan suara marah pula. "Semenjak pertemuan kita dengan ketua Kipas Hitam malam tadi, kau sudah berubah, kemudian setelah meninggalkan gua, kau benar-benar berbeda sekali....."
Dengan gerakan serentak Cui Kim membalikkan tubuh memandang, matanya bersinar penuh kemarahan dan suaranya keras kaku, "Suheng, apa perlunya memutarbalikkan kenyataan? Siapakah yang berubah? Kau ataukah aku?"
Hwat Ki membelalakkan matanya. "Eh..eh, bagaimana ini? Kau bilang aku yang berubah? Sumoi, kau mencari-cari Aku berubah bagaimana?"
"Masa berpura-pura tanya lagi!" Kembali Cui Kim membuang muka, memutar tubuh membelakangi suhengnya. Benar-benar aneh sekali ini, pikir Hwat Ki. Belum pernah sumoinya ini bersikap seperti ini terhadapnya.
"Sumoi, bilanglah, apa kesalahanku sehingga kau marah-marah macam ini?"
"Hemmm, setelah melihat bahwa ketua Kipas Hitam ternyata seorang gadis secantik bidadari, gadis jelita yang malam tadi menyatakan terang-terangan hendak menjodohkan kau dengan dirinya sendiri, kau..... kau..... melepaskan dia begitu saja!"
"Eh..eh...... aku hanya mentaati permintaan saudara Yo Wan....."
"Alasan kosong. Biarpun dewa yang minta ia dilepaskan, mengingat dialah ketua Kipas Hitam, seharusnya kita membunuhnya atau setidaknya menangkapnya. Tapi kau..... dengan mudah kau melepaskannya, karena kau..... karena kau cinta padanya..." Kini suara ini mengandung isak.
Hening sejenak, Hwat Ki mengerutkan kening, kepalanya dimiringkan, memutar otak. Kemudian mendadak dia tertawa bergerak. "Ha..ha..ha..ha..ha!"
"Apanya yang lucu!" Cui Kim yang tadinya kaget menengok, bertanya. Hwat Ki masih tertawa terus, kemudian katanya, "Terang kau cemburu kepada Yosiko! Ha..ha..ha, dan malam tadi aku cemburu pula kepada Yosiko karena kau agaknya tertarik sekali kepadanya! Ha..ha..ha, kumaksudkan tentu saja aku cemburu kepada Yosiko laki-laki dan kau cemburu kepada Yosiko wanita! Ha..ha..ha, kita cemburu kepada satu orang, malam tadi aku mengira kau tergila-gila kepada Yosiko, sekarang kaulah yang menyangka aku tergila-gila kepada Yosiko pula. Bukankah lucu sekali ini?"
Seketika wajah Cui Kim pun menjadi merah dan jantungnya berdebar. Bagaimanapun juga ucapan ini mengenai perasaannya karena ia tak dapat menyangkal hatinya sendiri bahwa malam tadi memang ia tertarik oleh gerak-gerik Yosiko yang disangkanya pemuda yang amat tampan dan gagah! Akan tetapi sebagai seorang gadis, tentu saja ia tidak sudi mengakui hal ini, maka dengan tersipu-sipu ia berkata,
"Cih! Siapa tergila-gila pada seorang bajak? Suheng, jangan kau hendak menutupi kesalahan sendiri dengan fitnah pada orang lain!"
Namun Hwat Ki yang sudah mengenal sumoinya semenjak kecil, dengan lega mendapat kenyataan bahwa adik seperguruannya ini tidak marah lagi seperti tadi. la melangkah maju mendekati Cui Kim dan menegur.
"Sumoi, sungguh mati, aku berani bersumpah bahwa aku melepaskan Yosiko hanya karena melihat muka saudara Yo Wan, dan mungkin juga terdorong oleh kenyataan bahwa dia adalah puteri bibi Tan Loan Ki. Kau tahu, bibi Tan Loan Ki adalah saudara misan ayah. Akan tetapi, sudahlah, hal itu tak perlu dibicarakan lagi. Yang benar-benar membuat aku heran dan tidak mengerti, Sumoi, andaikata benar-benar aku jatuh cinta kepada Yosiko, kenapa kau menjadi marah-marah? Apakah.....sebabnya? Andaikata aku mencinta dia dan dia mencintaku..... ah, ini hanya andaikata, Sumoi....." Sambung Hwat Ki cepat-cepat karena melihat wajah sumoinya itu tiba-tiba menjadi pucat.
Sejenak mereka saling pandang. Kemudian Cui Kim berkata, suaranya gemetar, "Suheng,
sebaliknya engkau sendiri..... mengapa kaucemburukan Yosiko laki-laki? Andaikata aku benar mencinta seorang pemuda...... mengapa engkau marah-marah.....?"
Mereka saling pandang sampai lama dengan sinar mata penuh selidik. Seakan-akan baru kini mata mereka terbuka, baru sekarang mereka melihat kenyataan bahwa masing-masing merasa tidak rela kalau yang satu mencinta orang lain!
"Sumoi..... kau tidak senang melihat aku mencinta gadis lain.....?" Suara Hwat Ki juga gemetar kini. Cui Kim menggeleng kepala keras-keras.
"Aku pun tidak senang melihat kau mencinta pemuda lain! Sumoi...... kalau begitu...... kau mencintaku?" Cui Kim menundukkan mukanya yang merah dan mengangguk perlahan.
Hwat Ki melangkah maju dan di lain saat dia sudah merangkul sumoinya dan Cui Kim menyembunyikan muka pada dada suhengnya sambil menangis. Hwat Ki mendekap kepala
dengan rambut yang harum itu, menengadah dan berkata lirih,
"Ah, alangkah bodoh kita! Seperti buta! Selama ini kusangka bahwa antara kita hanya ada kasih sayang seperti saudara. Sumoi...... kiranya sekarang aku yakin betul bahwa aku tak dapat mencinta wanita lain! Sumoi, mari kita kembali ke Lu-liang-san, biar aku yang akan beritahukan ayah ibu tentang urusan kita!"
Cui Kim merenggangkan tubuhnya dan ketika mereka saling pandang, sinar mata mereka sudah jauh berbeda. Kini di an-tara mereka terdapat rahasia mereka berdua, sinar mata mereka membawa seribu satu macam pesan hati yang mesra, pandang mata bergulung menjadi satu, sepaham.
"Suheng," kata Cui Kim, suaranya penuh kesungguhan. "Aku pun sejak dahulu sudah yakin bahwa aku tak dapat mencinta laki-laki lain. Tentang urusan kita, terserah kepadamu, Suheng. Kelak kalau kita sudah pulang terserah kau yang menyampaikan kepada suhu dan subo. Akan tetapi sekarang kita belum boleh pulang. Bukankah kita bertugas untuk membasmi bajak? Suhu sendiri yang mewakilkan kepada kita. Bajak laut belum terbasmi habis, malah kepalanya, ketua Kipas Hitam, masih hidup berkeliaran. Apa yang akan kita katakan kepada suhu tentang ini?"
Hwat Ki menjadi bingung diingatkan demikian. "Habis, apa yang harus kita lakukan, Sumoi? Yo Wan itu adalah mu-rid paman Kwa Kun Hong, dia sudah menolong nyawa kita, dan dia amat lihai. Kalau dia melarang kita menangkap atau membunuh Yosiko, bagaimana baiknya?"
"Di dalam menunaikan tugas, kita tidak boleh mundur oleh segala kesukaran. Murid Pendekar Buta mestinya seorang pendekar pula yang bertugas membasmi penjahat. Kalau Yo Wan melindungi ketua Kipas Hitam berarti dia menyeleweng dari kebenaran. Biar dia sepuluh kali lebih lihai, sudah menjadi kewajiban kita untuk menentangnya."
Terbangkit semangat Hwat Ki oleh kata-kata sumoinya yang tercinta itu. Kini pandangannya terhadap Cui Kim berbeda dan dia merasa bangga sekali mendengar ucapan kekasihnya itu.
"Kau betul, Sumoi. Akan tetapi Yo Wan sudah berjanji hendak memberi penjelasan. Mari kita awasi gerak-geriknya dan kita berunding dengan saudara Bun Hui agar gua itu dikurung dan jangan sampai Yosiko dapat terbang."
"Itu benar, Suheng. Mari kita mencari saudara Bun Hui dan pasukannya."
Sambil bergandengan tangan mesra kedua orang muda-mudi yang semenjak kecil menjadi teman baik dan berkumpul, akan tetapi yang baru sekarang menemukan cinta kasih antara mereka, meninggalkan tempat yang indah sunyi itu.
Tiga hari lamanya Yo Wan dirawat oleh Yosiko di dalam gua. Selama tiga hari tiga malam, Yosiko merawatnya penuh ketekunan, hanya pergi meninggalkan pemuda itu untuk mengambil obat dan makanan.
"Obat ini adalah obat yang amat manjur untuk membersihkan darah, dan untuk menyembuhkan luka dengan cepat. Obat ini dari Jepang, akan tetapi ibu pandai membuat sendiri sekarang," kata Yosiko dengan suara bernada bangga.
"Terima kasih kepada ibumu, dia baik hati."
Yosiko terkekeh, "Hi..hik, kaukira dia memberi obat karena baik hati kepadamu? Sama sekali tidak. la ingin kau lekas-lekas sembuh agar dia segera dapat datang untuk menguji kepandaianmu."
Yo Wan tercengang. Aneh sekali wanita setengah tua keponakan Raja Pedang itu.
"Kemarin ibu bilang, kau hari ini sudah sembuh betul dan nanti ibu tentu datang, kau diminta siap melayaninya."
Memang Yo Wan sudah merasa sembuh dan dia bersyukur sekali. Sebetulnya kalau dia mau, bisa saja dia pergi sekarang juga. Namun dia bukan seorang pengecut yang melarikan diri dari seseorang, apalagi dia harus bertemu de-ngan ibu gadis ini, pertama untuk menguecapkan terima kasih atas pemberian obat, kedua untuk menjelaskan keadaan Yosiko agar niat buruk tentang pemilihan calon jodoh itu diubah.
"Biarlah ibumu datang, aku memang ingin sekali bertemu dengan ibumu. Bukan untuk bertanding, melainkan untuk bicara."
Yosiko tersenyum. "Bicara tentang perjodohan kita? Ibu tetap tidak percaya bahwa kau bisa menangkan dia, malah ibu juga tidak percaya bahwa kau adalah murid Pendekar Buta Kwa Kun Hong." "Eh, ibumu mengenal suhu?" "Tentu saja! Sahabat baik sekali, kata ibu, malah bekas kekasih, kata ibu."
"Apa....???" Kini Yo Wan yang tidak percaya. Suhunya seorang pria yang sakti dan gagah, berbatin mulia dan tangguh, setia kepada isteri, mana mungkin main gila dengan nenek galak itu?
Mendadak di depan gua berkelebat bayangan yang amat gesit. Yo Wan sudah melompat dan mengejar pada saat Yosiko baru saja melihat bayangan itu. Gadis ini menyambar pedang dan loncat mengejar pula.
"Dia bukan ibu! Tentu mata-mata musuh!" teriak Yosiko. Akan tetapi Yo Wan sudah mengejar lebih dulu. Bayangan itu gesit sekali, sebentar saja sudah lenyap di dalam hutan.
"Adik Cui Sian.....!" Yo Wan berteriak dengan jantung berdebar ketika dia tadi melihat bayangan tadi sebelum lenyap. Tak salah lagi, gadis itu tentu Cui Sian! Mengapa berada di sini dan apa sebabnya melarikan diri dari padanya? Karena bayangan gadis itu lenyap dan melihat sikapnya jelas tidak mau bertemu dengannya, Yo Wan menghentikan pengejarannya, berdiri termenung dengan bengong.
Dengan terengah-engah karena kalah cepat larinya, Yosiko akhirnya tiba juga di situ.
"Mana dia, Yo Wan? Siapa dia.....?"
Akan tetapi Yo Wan tidak menjawab karena pemuda ini dalam bingungnya teringat akan bayangan gesit di luar gua pada beberapa hari yang lalu, di waktu malam. Bayangan itu ternyata bukan ibu Yosiko, juga agaknya bukan Hwat Ki dan Cui Kim. Apakah bayangan tiga malam yang lalu itu juga bayangan Cui Sin? Berpikir sampai di sini mendadak wajahnya berubah. Celaka! Kalau benar bayangan itu bayangan Cui Sian, tentu gadis pujaan hatinya itu mengetahui pula bahwa selama tiga hari tiga malam dia tinggal berdua saja dengan Yosiko, gadis cantik! Itukah sebabnya mengapa Cui Sian menghindarkan pertemuannya dengan dirinya?
"Yo Wan, kenapa kau? Siapa yang kaupanggil-panggil tadi?" Yosiko kini memegang lengannya dan mengguncang-guncangnya.
Yo Wan menggeleng kepala, menarik napas panjang. "Kau yang mendatangkan gara-gara ini."
"Aku? Lho! Apa maksudmu?" Yosiko terheran dan penasaran.
"Kalau saja kau membiarkan aku pergi tiga hari yang lalu....."
"..... tentu kau akan mampus karena luka-lukamu!" sambung Yosiko.
Mendengar kata-kata ini, Yo Wan sadar dari lamunannya dan memandang. Mereka saling pandang dan melihat wajah yang ayu itu cemberut sehingga wajahnya berubah lucu, mau tidak mau Yo Wan tersenyum dan menghela napas lagi.
"Lebih baik mampus daripada dia menyangka yang bukan-bukan, Yosiko."
"Dia? Siapa dia? Laki-laki atau wanita tadi? Larinya cepat amat!"
Yo Wan merasa tidak perlu lagi untuk menyembunyikan sesuatu kepada gadis ini, malah lebih baik bicara sejujurnya untuk menghapus lamunan kosong gadis ini tentang perjodohan.
"Tentu saja ia lihai dan larinya cepat, dia itu bibimu!"
Saking kagetnya, hampir Yosiko meloncat tinggi. Matanya terbelalak, mulutnya terbuka dan lidahnya dikeluarkan sedikit.
"Jangan main-main kau! Siapa bibiku?" "Dia itu Tan Cui Sian, puteri tunggal Raja Pedang Tan Beng San. Karena ibumu adalah keponakan Raja Pedang, maka berarti dia itu saudara misan ibumu dan dia itu bibimu!"
"Ahhh.....!" Yosiko mengeluh. "Dan dia agaknya telah sejak tiga malam yang lalu memata-matai kita." "Ohhh.....!" Yosiko mengeluh lagi. "Mengapa ah..oh..ah..oh? Apa kau kehilangan suaramu?"
"Yo Wan, kau tadi bilang lebih baik mampus, daripada dia menyangka yang bukan-bukan!
Kalau begitu...... kalau begitu...... kau tidak suka dia menyangka yang bukan-bukan?"
"Tentu saja tidak suka!" " "Jadi kau..... kau suka kepadanya?"
Yo Wan mengangguk. "Aku cinta kepadanya dan kalau ada wanita di dunia ini yang kuinginkan menjadi jodohku, maka satu-satunya wanita itu adalah dia orangnya!"
"Ihhhhh.....!!" Kali ini Yosiko benar-benar meloncat mundur, kemudian mulutnya mewek dan terdengar suara, "Uhhhu..hu..hu.....!" dan dia menangis!
"Yosiko, tak usah kau menangis. Sudah kukatakan, perjodohan hanya dapat terjadi atas dasar saling mencinta," kata Yo Wan sambil melangkah maju dan memegang pundak gadis itu. Betapapun juga, dia merasa kasihan kepada gadis ini yang kembali telah menjadi kecewa. Mula-mula gadis ini memilih Hwat Ki yang mengecewakannya karena ternyata pemuda itu memusuhi dan membunuh orang-orangnya, kini pilihannya kepada dirinya kembali keliru.
Mendadak gadis itu menghentikan tangisnya. "Kubunuh dia! Kubunuh dia!" la meronta lepas dan meloncat, mengejar ke arah larinya bayangan tadi. Akan tetapi dengan loncatan panjang Yo Wan sudah mengejarnya dan memegangi tangannya.
"Jangan, Yosiko. Kau takkan menang!"
"Peduli amat! Aku menang dia mampus, aku kalah aku mampus!"
"Hush, jangan. Adikku yang baik, kau bersabarlah. Bukan begini caranya mencari jodoh. Dunia bukan sesempit telapak tangan, masih banyak sekali terdapat pria yang jauh melebihi pilihanmu sekarang."
Yosiko memandang kepadanya dengan mata terbelalak beberapa lamanya seakan-akan hendak menyelidiki isi hatinya, kemudian ia menggelengkan kepalanya.
"Tidak! Kau bohong!"
"Ah, kau benar-benar seperti katak dalam tempurung. Yosiko, sudah kukatakan bahwa memilih jodoh dengan dasar tingkat ilmu silat adalah cara yang amat bodoh. Ilmu kepandaian adalah seperti tingginya langit, sukar diukur. Gunung Thai-san yang tinggi masih kalah oleh awan, awan yang tinggi masih kalah oleh langit. Kalau kau memilih aku berdasarkan ilmu kepandaian, bagaimana kalau di sana ada beberapa ratus orang laki-laki yang melampaui aku tingkat kepandaiannya? Apakah kelak kalau, ada pria yang lebih pandai, kau akan menyesal dan memilih dia?"
Kembali Yosiko tertegun, memandang dengan mata terbelalak, agaknya ia mulai mengerti akan maksud kata-kata Yo Wan dan mulai bimbang akan sikapnya. Yo Wan girang sekali, tersenyum dan berkata halus, "Nah, kau agaknya mulai mengerti sekarang. Bagaimana, andaikata ada seorang kakek tua masih jejaka yang rupanya buruk, tangan kiri dan kaki kanan buntung, mata dan telinga kiri tidak ada, hidungnya patah, tapi kepandaiannya mengalahkan aku? Apa kau akan memilih dia sebagai jodohmu?"
Mata yang indah jeli itu bergerak-gerak, tapi tiba-tiba gadis itu menubruk dan merangkul lehernya, menangis. "Tidak! Tidak! Aku tidak mau memilih siapapun juga. Biar dia lebih pandai daripada engkau, tapi tidak ada yang seperti engkau, Yo Wan aku tidak mau memilih orang lain!"
Mampus kau sekarang! Yo Wan menyumpahi dirinya sendiri. Kenapa tiga hari yang lalu dia tidak pergi saja diam-diam meninggalkan gua, Celaka sekarang, celaka sekali kalau gadis peranakan Jepang ini mulai jatuh hati kepadanya, mulai mencintainya!
"Eh, Yosiko, jangan begitu, eh..... nanti dulu....." Yo Wan melepaskan sepasang lengan halus yang merangkul lehernya seperti dua ekor ular itu.
Dengan terisak dan ujung hidungnya merah Yosiko memandang kepadanya.
"Lihat siapa yang datang!" kata,Yo Wan sambil memandang ke depan. Yosiko menoleh dan wajahnya berubah. Cepat gadis ini menghapus air matanya dan menyusut hidungnya dengan ujung baju, dengan gerak dan sikap sewajarnya di depan Yo Wan, sama sekali tidak sungkan-sungkan!
Ternyata yang datang itu adalah seorang wanita setengah tua, ibu Yosiko. Wanita ini masih kelihatan cantik dan gagah, sikapnya galak dan cekatan sekali, pakaiannya ringkas, wajahnya yang masih cantik itu tidak dirias, namun kesederhanaan rias dan pakaiannya menambahkan kesegarannya yang asli. Inilah ibu Yosiko yang bernama Tan Loan Ki yang di waktu mudanya dahulu terkenal dengan julukan Bi-yan-cu (Walet Jelita) dan yang pernah menggemparkan dunia kang-ouw dengan kelincahan, kepandaian dan keberaniannya (baca cerita Pendekar Buta)!
Dengan gerakan lari cepat yang tangkas sebentar saja wanita ini sudah tiba di tempat itu, menghadapi Yo Wan dengan pandang mata penuh seiidik, seakan-akan seorang yang ingin menaksir barang dagangan sebelum dibelinya!
Ada lima detik ia menatap wajah Yo Wan, keningnya berkerut. Kemudian ia menoleh ke arah Yosiko. "Kenapa kau menangis?" tanyanya tiba-tiba.
Yosiko menjadi merah mukanya. Agaknya merupakan hal yang memalukan baginya dan aneh bagi ibunya melihat dia menangis. Memang semenjak Yosiko remaja dan suka memakai pakaian pria, belum pernah ibunya melihat puterinya itu menangis.
"Aku menangis karena girang melihat Yo Wan sembuh, Ibu. Lekas kauuji dia dan kalau dia menang, kau tidak boleh membohongi aku, Ibu."
"Hemmm, bohong apa?" tanya wanita itu agak gelisah karena anaknya demikian berterus terang di depan Yo Wan yang belum dikenalnya.
"Kalau Yo Wan menang, Ibu harus mengawinkan aku dengan dia. Kalau tidak tentu aku akan menganggap Ibu tukang bohong dan penipu!"
"Anak setan! Selain belum tentu dia mampu mengalahkan aku, laki-laki ini pun tidak berharga menjadi suamimu! Seperti orang gunung....."
"Memang aku tidak berharga menjadi mantumu, Twanio (Nyonya Besar)," kata Yo Wan
sambil menjura kepada wanita itu.
"Apa kau bilang?" Tan Loan Ki membentak.
"Terus terang saja, aku sama sekali tidak cukup berharga untuk menjadi suami seorang gadis seperti nona Yosiko."
"Apa? Kau berani menolaknya setelah dia setengah mati merawatmu dan kalian tinggal tiga hari tiga malam dalam segua?"
Wajah Yo Wan menjadi merah padam, dan kembali dia menjura. "Harap Twanio sudi memaafkan. Aku sama sekali tidak menghendaki hal itu terjadi. Akan tetapi Yosiko..... eh, nona Yosiko ini memaksaku dan mengobatiku. Aku amat berterima kasih kepadanya, dan juga amat berterima kasih kepadamu, Twanio, yang sudah memberi obat kepadaku. Percayalah, Yo Wan akan menganggap Twanio sebagai seorang locianpwe terhormat dan Yo..... eh, nona Yosiko sebagai seorang sahabat yang baik....."
"Cukup! Muak aku dengan pidatomu! Kutanya mengapa kau menolak anakku!
Kauanggap kurang cantik dia? Kurang pandai? Apa kau terlalu bagus untuknya? Kau merasa terlalu pandai menjadi suaminya, terlalu berharga?"
"Bukan begitu, Twanio. Sama sekali tidak, malah aku merasa diri sendiri kurang berharga. Aku tidak berani menerima maksud hati nona Yosiko karena..... sesungguhnya aku tidak setuju dengan dasar pemilihan jodoh itu. Menurut nona Yosiko, Twanio dan dia sendiri sudah mengambil keputusan untuk mencari jodoh bagi nona Yosiko dengan cara menguji kepandaian. Siapa yang dapat mengalahkan dia dan Twanio akan menjadi pilihannya."
"Kalau betul begitu, mengapa?"
"Maaf, Twanio. Kurasa hal ini amatlah tidak baik, karena perjodohan harus didasari saling pengertian, saling kasih sayang dan saling cocok. Kalau dasarnya hanya kepandaian ilmu silat, aku khawatir sekali kelak nona Yosiko akan mendapat jodoh yang tidak cocok wataknya dan akhirnya akan menghancurkan kebahagiaan rumah tangganya."
"Cerewet! Baru ini aku melihat laki-laki yang cerewet! Yosiko, benarkah kau memilih orang macam ini? Dia cerewet sekali, apakah kautidak menyesal kelak?
"Tidak, Ibu. Aku tidak mau menikah dengan orang lain kecuali dengan Yo Wan!"
"Kalau dia kalah olehku?" "Tak mungkin. Kau takkan menang, Ibu!"
Mendengar ini, diam-diam Yo Wan mengambil keputusan untuk mengalah dan sengaja memberi kemenangan kepada ibu Yosiko apabila dia dicoba kepandaiannya. Akan tetapi seketika maksud hatinya ini buyar sama sekali ketika dia mendengar wanita itu mendengus dan berkata,
"Huh, belum tentu! Dan biarlah aku mengalah dan membolehkan dia menjadi suamimu kalau aku kalah, biarpun dia cerewet dan aku tidak menyukai laki-laki cerewet. Mendiang ayahmu tidak banyak cakap, seorang jantan sejati! Akan tetapi kalau si lidah tak bertulang ini kalah olehku, dia harus mampus karena dia berani menolakmu, Yosiko!"
"Ibu takkan menang!" Yosiko bersungut-sungut.
Tan Loan Ki tidak bicara lagi melainkan meloncat mundur sambil mencabut pedangnya. "Keluarkan senjatamu!" bentaknya.
"Twanio, aku tidak menipunyai senjata," jawab Yo Wan sejujurnya karena memang tiga macam senjatanya telah habis semua, rusak ketika dia melawan Bhok Hwesio yang sakti.
"Hemm, lekas kau cari senjata, aku tidak sudi menyerang orang bertangan kosong!"
Pikiran baik menyelinap di benak Yo Wan. "Twanio, memang aku tidak ingin bertempur denganmu, dan aku tidak bersenjata. Nah, selamat tinggal....." Sambil berkata demikian dia melangkah hendak pergi.
"Berhenti" Tan Loan Ki berteriak keras dan Tahu-tahu tubuhnya sudah melayang dan menghadang di depan pemuda itu. "Aku tidak menyerang lawan bertangan kosong, akan tetapi aku akan membunuhmu sekarang juga kalau kau berani menghina dan tidak menerima tantanganku. Hayo lawan!"
Diam-diam Yo Wan mendongkol juga. Wanita ini amat galak, dan perlu ditundukkan. Akan tetapi dia menjadi serba salah. Kalau dia menang, berarti dia "lulus" sebagai calon mantu. Kalau kalah, tentu dia dibunuh. Tak mungkin dia mau dibunuh dan mati konyol. Matanya mencari-cari.
"Yo Wan, kau pakailah pedangku ini!" kata Yosiko dengan suara manis.
Yo Wan hendak menerima pedang, akan tetapi cepat-cepat menarik kembali tangannya yang sudah dia gerakkan. Tidak baik ini. Kalau dia menang dan kemenangannya menggunakan pedang Yosiko, hal itu lebih-lebih akan menguatkan mereka mengikatnya sebagai calon jodoh Yosiko.
"Terima kasih, Yosiko. Aku tidak perlu menggunakan pedang, cukup dengan ini, karena aku memang tidak ingin bertempur sungguh-sungguh dengan ibumu. Bukankah ini hanya ujian saja?" Sambil berkata demikian dengan sepatu barunya pemberian Yosiko. Yo Wan mencukil sepotong kayu, agaknya ranting pohon kering yang terletak di atas tanah. Kayu sebesar ibu jari kaki itu tersontek ke atas dan dia sambar di tangan kanan. Ranting yang kecil ini panjangnya kurang lebih empat kaki, kecil dan hanya kayu kering, mana bisa dipakai senjata menghadapi pedang pusaka?
Wajah Tan Loan Ki menjadi merah sekali. Selama hidupnya baru kali ini ia merasa dipandang rendah orang! Wajah yang merah berubah pucat dan merah lagi, tanda bahwa hatinya bergolak dan kemarahannya memuncak.
"Bocah sombong! Kau hendak menghadapi aku dengan ranting itu?"
"Twanio, karena pertempuran ini hanya coba-coba saja, aku yakin kau tidak bermaksud melukaiku, maka dengan sebatang ranting sudah cukuplah."
"Setan! Kau memandang rendah kepadaku, ya? Berjanjilah, kalau pedangku mengantar nyawamu ke neraka, jangan rohmu menjadi penasaran kepadaku kelak!"
Yo Wan menggelengkan kepalanya dengan sabar. "Aku yakin Twanio tidak akan dapat membunuhku."
"Apa?? Kau begini sombong??" Nyonya itu menjerit.
"Bukan sombong, Twanio. Akan tetapi hidupku adalah pemberian Tuhan, bagaimana kau akan dapat mengakhiri hidupku? Hanya Tuhan yang akan dapat melakukan hal itu!"
"Wah kau bersilat lidah! Lidahmu bercabang, tak bertulang! Kau lihat pedangku!" Sambil berkata demikian, Tan Loan Ki menerjang dengan pedangnya, menusuk ke arah dada dengan gerakan yang amat cepat dan kuat. Ujung pedang itu bagaikan sebatang anak panah terlepas dari busurnya melayang merupakan kilatan menyilaukan mata.
"Cring! Cring! Cring!!" Tiga kali pedang itu berkelebat dan tiga kali pula membalik seperti terbentur tembok baja.
"liihhhhh!!" Nyonya itu meloncat ke belakang dengan gerakan memutar, diam-diam ia merasa terkejut dan mulai percaya akan kata-kata puterinya. Betapa mungkin ranting kayu kecil itu menangkis pedangnya menerbitkan bunyi senyaring itu seakan-akan ranting itu telah menjadi sebatang besi baja pilihan?
Namun ia tidak gentar, dan cepat ia menubruk maju lagi dengan cekatan sekali. Kini ia mainkan ilmu pedang keturunan yang ia pelajari dari ayahnya dahulu. Ayahnya adalah Tan Beng Kui yang dahulu berjuluk Sin-kiam-eng (Pendekar Pedang Sakti) yang menjadi raja kecil di hutan Pek-tiok-lim (Hutan Bambu Putih), di tepi pantai Po-hai.
Sin-kiam-eng Tan Beng Kui ini adalah murid terkasih dari Bu-tek-kiam-ong Cia Hui Gan (Raja Pedang Tanpa Tanding), dan menjadi suheng dari isteri Raja Pedang kedua, yaitu adik kandungnya sendiri. Sebagai murid terkasih Cia Hui Gan, tentu saja dia mewarisi Ilmu Pedang Sian-li Kiam-sut (Ilmu Pedang Bidadari) yang gerakannya indah dan lemah gemulai, tetapi mengandung daya serang dan daya tahan yang luar biasa (baca cerita Raja Pedang dan cerita Rajawali Emas).
Demikianlah, Tan Loan Ki sekarang mainkan IImu Pedang Sian-li Kiam-sut dengan hebat, dan ditambah dengan gerak langkah Hui-thin-jip-te (Terbang ke Langit Amblas ke Bumi) yang dulu pernah ia pelajari dari Kwa Kun Hong (baca cerita Pendekar Buta). Dengan penggabungan kedua ilmu yang ampuh ini, tidaklah mengherankan apabila nyonya setengah tua yang masih cantik dan galak ini jarang menemui tandingan. Dan tidaklah mengherankan pula bahwa puteri tunggalnya menjadi jagoan di antara para bajak sehingga diangkat menjadi ketua.
Namun kali ini ia menghadapi Yo Wan! Seperti kita ketahui, Ilmu Langkah Hui-thain-jip-te yang dimainkan Tah Loan Ki itu hanya merupakan sebagian saja dari Si-cap-it Sin-po yang berdasar pada Kim-tiauw-kun, sedangkan Yo Wan sudah hafal semua, bahkan sudah menguasai dengan sempurna semua langkah Si-cap-it Sin-po. Tentu saja langkah dari nyonya itu dikenalnya baik-baik, seperti seorang guru mengenal langkah muridnya! Ada pun ilmu pedang yang dimainkan nyonya itu, Ilmu Pedang Sian-li Kiam-sut yang sukar sekali dikalahkan orang lain, juga tidak membingungkan Yo Wan.
Seperti kita ketahui orang muda ini telah digembleng secara hebat oleh dua orang guru sakti yang memiliki tingkat ilmu amat tinggi, sejajar dengan tingkat tokoh besar seperti Si Raja Pedang sendiri. Bahkan ilmu yang dia warisi dari Sin-eng-cu merupakan ilmu yang sesumber dengan Sian-li Kiam-sut, yaitu ilmu lemas yang menyembunyikan tenaga keras. Sebaliknya, dari pendeta Bhewakala dia mempelajari ilmu sakti yang kelihatan kasar akan tetapi menyembunyikan tenaga lemas.
Sambil membuat gerakan seperti orang menari-nari, Tan Loan Ki mainkan pedangnya. Pedang itu sama sekali tidak menyerang, melainkan digerakkan seperti orang menari, indah dan lemas sekali. Akan tetapi kadang-kadang dari gulungan sinar pedang yang indah itu menyambar keluar kilatan pedang yang merupakan tangan maut.
Ketika kilatan pedang macam itu menyambar ke arah leher Yo Wan, pemuda ini cepat menangkis dengan rantingnya. Sudah lebih dari lima puluh kali rantingnya tadi menangkis dan membalikkan pedang lawan. Kini dia menangkis lagi.
"Prakkk!" Patahlah ranting kayu itu. Yo Wan terkejut dan diam-diam dia memuji kecerdikan lawan. Kiranya Tan Loan Ki yang maklum bahwa pemuda luar biasa ini telah mengetahui rahasia ilmu pedangnya, telah dapat menangkis pedang dengan hanya sebuah ranting karena pemuda itu mengimbangi permainannya dan setiap kali menangkis pedang yang digerakkan secara lemas akan tetapi mengandung tenaga keras itu ditangkis dengan pengerahan tenaga Im yang lemas dan lembek. Karena itu, dalam penyerangan ke arah leher, diam-diam Tan Loan Ki membalikkan tenaganya, menyimpan tenaga keras dan menggunakan tenaga Iweekang yang lemas disalurkan melalui pedangnya. Inilah sebabnya maka ketika ranting yang mengandung tenaga lemas yang sama itu bertemu pedang yang juga mengandung hawa Im, ranting itu yang pada dasarnya jauh kalah kuat daripada pedang, menjadi patah!
"Hemmm, bocah sombong, kau tidak mengaku kalah?"bentak Tan Loan Ki. Akan tetapi di dalam hatinya ia diam-diam merasa kagum bukan main dan mulailah ia percaya bahwa pemuda macam ini sangat boleh jadi murid Kwa Kun Hong!
Yo Wan menjura dan melemparkan ranting di tangannya. "Twanio benar-benar lihai bukan main, aku tidak kuat menahan, mengaku kalah!"
Yosiko meloncat ke atas. "Tidak bisa! Tidak adil! Ibu, kau dengan pedang pusaka dilawannya dengan ranting, sampai lima puluh jurus lebih. Dan rantingnya patah setelah menangkis puluhan kali, apa anehnya? Dia sengaja mengalah, dia tidak kalah olehmu?"
Tan Loan Ki biarpun galak dan keras wataknya namun dia adalah seorang gagah yang jujur. Mendengar ucapan anaknya ia mengangguk.
"Kau benar, Yosiko. Orang muda ini memang hebat dan kalau dia melawan sungguh-sungguh, agaknya aku takkan mudah mencapai kemenangan. He, orang muda yang bernama Yo Wan. Apakah betul kau murid Kwa Kun Hong?"
"Betul, Twanio. Beliau adalah guruku, sungguhpun aku malu sekali harus mengaku sebagai muridnya karena kepandaianku tidak ada sepersepuluh kepandaian suhu yang sakti."
"Aku pernah diajar Hui-thian-jip-te oleh Kun Hong. Kau agaknya pandai pula ilmu langkah itu, akan tetapi mengapa lebih lengkap dari pada aku? Apakah kau dilatih pula ilmu itu oleh Kun Hong?"
"Ah, mana bisa aku yang bodoh disamakan dengan suhu? Aku hanya dapat menerima sedikit sekali, dan suhu pernah menurunkan Si-cap-it Sin-po kepadaku."
Tan Loan Ki berdiam sejenak, matanya kini memandang penuh selidik. Hemm, pikirnya, wajah bocah ini tidak buruk. Malah tampan, biarpun sederhana dan kelihatan bodoh. Akan tetapi tidak muda lagi!
"Yo Wan, berapa usiamu sekarang?"
Yo Wan kaget. Pertanyaan yang sama sekali tidak disangka-sangkanya. Sungguh sukar mengikuti jalan pikiran nyonya ini yang berubah-ubah seperti angin laut! Setengah terpaksa dia menjawab,
"Kalau tidak salah, tahun ini aku berusia dua puluh delapan tahun, Twanio."
"Berapa orang anakmu?"
"Heh …… ??? Anak ……. ??".
"Ya, berapa orang anakmu. Berapa laki-laki dan berapa perempuan?"
Wajah Yo Wan menjadi merah sekali. Sinting! Mau dibawa ke mana dia dengan pertanyaan-pertanyaan macam ini?
"Twanio, aku..... aku tidak punya anak....."
Terdengar suara cekikikan tertawa. Yosiko yang tertawa ini dan ia berkata lantang, "Ah, Ibu, dia adalah Jaka Lola!"
"Apa? Jaka Lola?"
"Ya, dia tidak berayah ibu lagi, tidak bersanak kadang, tentu saja tidak punya anak atau isteri. Dia masih perjaka!"
Nyonya itu mencibirkan bibirnya mengejek. "Biasa! Biarpun anaknya sudah sepuluh, di luaran laki-laki selalu mengaku jejaka! Usia dua puluh delapan tahun belum kawin? Bohong! Sekali berhadapan dengan perawan cantik, laki-laki lupa isteri lupa anak."
Muka Yo Wan makin merah. "Twanio! Aku bukanlah laki-laki macam itu. Aku betul-betul belum pernah menikah dan sama sekali tidak punya anak."
"Bagus!! Kalau begitu, biar agak tua, aku terima kau menjadi suami Yosiko!"
Hampir saja Yo Wan mengemplang mulut sendiri dan dia hanya bengong memandang Yosiko yang lari dan menubruk ibunya, merangkul leher dan menciumi kedua pipi ibunya. Menyaksikan adegan macam ini, terharu juga Yo Wan dan diam-diam dia merasa menyesal sekali mengapa dia terpaksa tak mungkin memenuhi maksud hati ibu dan anak ini. Kalau saja di sana tidak ada Cui Sian agaknya..... agaknya..... hemmm!
"Maaf, Twanio....." katanya dengan suara gemetar. "Maaf, terpaksa sekali aku tidak dapat memenuhi kehendak Twanio yang suci ini. Betapapun juga, aku merasa amat berterima kasih dan biarpun aku tidak mungkin dapat menjadi suami Yosiko, biar dia kuanggap sebagai adikku....."
"Apa kaubilang?!" Tan Loan Ki berseru dan mendorong anaknya. Sepasang matanya berkilat.
"Kau..... kau menolak menjadi suami Yosiko?"
"Bukan aku menolak, Twanio, melainkan..... menyesal sekali, aku..... aku tidak dapat memenuhi kehendakmu, aku...., tak mungkin menjadi suaminya....."
"Keparat, kalau begitu kau harus mampus!" Sambil memekik nyaring nyonya itu menerjang Yo Wan dengan pedangnya dengan tusukan maut yang dilakukan penuh kemarahan.
Yo Wan cepat menghindar. Dari gerakan ini tahulah dia sekarang bahwa kali ini lawannya tidak main-main lagi, melainkan menyerang dengan penuh nafsu hendak membunuh. Ngeri juga hatinya. Kepandaian wanita ini sudah hebat, apa-lagi dalam keadaan marah. Sama sekali dia tidak boleh memandang ringan, dan tidak boleh membuang waktu, karena kalau dia terlena sedikit saja pasti akan tewas.
"Maaf, Twanio.....!" katanya berkelebat cepat. Tan Loan Ki berseru kaget karena kehilangan lawannya. Ketika ia membabatkan pedangnya ke belakangnya di mana ia mendengar angin gerakan lawan, tiba-tiba ia merasa tangan kanannya lumpuh dan pedangnya mencelat sampai lima meter lebih jauhnya. Cepat ia membalik dan dilihatnya Yo Wan berdiri sambil menjura dan berkata,
"Maaf, Twanio, bukan maksudku hendak pamer".
Tan Loan Ki mendengus. Ia makin kagum dan diam-diam ia kini mengharapkan sekali mendapatkan mantu seperti ini. Uhhh, kau.....biar kucari Kwa Kun Hong. Biar dia yang mengadili dan dia yang memaksamu. Kalau tidak, kutantang Kun Hong!" Sambil berkata demikian, nyonya itu lari, menyambar pedangnya dan dengan loncatan-loncatan jauh menghilang dari situ.
Yo Wan menghela napas panjang. la mendengar isak tangis. Ketika dia menengok, dilihatnya Yosiko berdiri sambil .memandangnya dengan air mata bercucuran membasahi kedua pipinya.
Maafkan aku, Yosiko. Aku..... kau tahu sendiri..... aku mencinta gadis lain. Ah, mengapa kita tidak menceritakan hal itu kepada ibumu tadi....."
Dengan terisak-isak Yosiko berkata, "Aku akan mencari Tan Cui Sian dan membunuhnya!" Maka larilah gadis ini, lenyap ke dalam semak-semak di hutan itu, meninggalkan Yo Wan yang berdiri bengong dan menggeleng-geleng kepala berkali-kali dengan hati bingung. Akhirnya dia melangkah pergi dari situ dengan maksud mencari Tan Hwat Ki.
Kiranya di dunia ini tidak ada rasa sakit hati yang lebih hebat bagi seorang wanita daripada rasa sakit hati karena ditolak oleh seorang pria! Dan kiranya tidak ada rasa sakit yang lebih parah dan sengsara daripada rasa sakit dirundung asmara! Sudah tentu saja bagi yang sudah mengerti, perasaan sengsara ini adalah dibuat-buat sendiri, perasaan sakit hati dan hancur merana yang tanpa disadarinya sengaja ia timpakan kepada dirinya sendiri. Perasaan sengsara yang bersumber kepada rasa kasihan kepada diri pribadi (self pity) yang merupakan cabang terdekat dari rasa mementingkan diri pribadi (egoism).
Namun bagi Yosiko yang tidak memiliki self-pity dan egoism yang terlalu besar, sakit hatinya tidak membuat ia berduka, melainkan membuat ia marah dan penasaran. la tetap tidak mau menerima kenyataan bahwa Yo Wan menolak dia karena mencinta Tan Cui Sian. la marah kepada Cui Sian dan ingin membunuhnya karena ia menganggap Cui Sian telah merampas calon suaminya. la pun penasaran dan ingin memaksa supaya Yo Wan tetap menjadi jodohnya. Perasaan ini memang tidak wajar bagi seorang gadis, akan tetapi Yosiko adalah seorang gadis yang lain daripada yang lain. la dibesarkan dalam asuhan ibunya yang keras hati dan yang selama ini hidup di alam bebas yang liar, di tengah-tengah para bajak laut, setiap hari menyaksikan pertempuran-pertempuran dan peristiwa yang kejam dan mengerikan. Hal inilah yang mempengaruhi dirinya karena sesungguhnyalah benar kalau dikatakan orang bahwa keadaan sekeliling inilah yang membentuk watak seseorang.
Yosiko menyusup-nyusup di dalam hutan di sepanjang Sungai Kuning yang amat luas. Tiba-tiba ia menyelinap ke dalam semak-semak. Dilihatnya beberapa orang anggota tentara kerajaan berkelompok dan menjaga di situ. Dengan hati-hati dan cepat Yosiko mengambil jalan lain menjauhi mereka. la tidak takut terhadap mereka, tetapi karena ia maklum bahwa orang-orang ini dipimpin oleh putera Bun-goanswe yaog lihai, dibantu pula oleh Tan Hwat Ki dan sumoinya, maka ia tidak berani sembarangan turun tangan. Kini tujuan perjalanannya lain lagi, bukan sebagai ketua Kipas Hitam lagi, melainkan sebagai seorang gadis yang mencari saingannya!
Akan tetapi ketika ia menyusup-nyusup mengambil jalan ke timur, kembali ia melihat kelompok lain yang sudah menjaga di situ. Bahkan di sini terdapat sebuah tenda dan samar-samar ia melihat Tan Hwat Ki dan orang-orang lain berada di dalam tenda! Cepat ia memutar lagi dan diam-diam ia merasa khawatir. Tahulah ia sekarang bahwa gua yang menjadi tempat persembunyiannya itu, yang sudah diketahui oleh Tan Hwat Ki, kini telah dikurung dari segala penjuru. Apakah kehendak mereka? Hendak menangkapnya? Yosiko mengulum senyum mengejek. Jangan kira mudah menangkap ketua Kipas Hitam!
Kalau saja ia tidak sedang mencari Tan Cui Sian, agaknya ia akan menggunakan akal dan membasmi mereka. Setidaknya ia tentu akan berhasil membunuh beberapa puluh orang di antara mereka! Akan tetapi ia tidak ada waktu dan terutama sekali tidak ada nafsu untuk "main-main" dengan nyawa mereka.
Yosiko memasuki sebuah hutan bambu yang dahulu menjadi tempat tinggal kakeknya, yaitu Pek-tiok-lim, kemudian dari tengah-tengah rumpun bambu ia menggulingkan sebuah batu hitam yang menyembunyikan sebuah lubang. Orang lain tentu tidak akan menduga bahwa di bawah batu ini ada lubangnya. Andaikata ada orang lain mendapatkan lubang ini, tentu ia menyangka bahwa lubang itu adalah lubang ular atau binatang lain yang berbahaya sehingga tak mungkin orang berani masuk.
Akan tetapi Yosiko segera memasuki lubang ini, menutupnya dari dalam. Lubang ini bukanlah lubang ular atau lubang binatang lain, melainkan sebuah lubang yang menuju kepada terowongan kecil di bawah tanah. Yosiko merayap di dalam gelap sampai beberapa menit lamanya. Ketika ia keluar, ia telah berada jauh di luar hutan, keluarnya dari sebuah gua di antara batu-batu karang di mana terdapat banyak gua kecil. Juga gua ini mempunyai sebuah pintu rahasia, maka tidak pernah ada orang dapat memasukinya, mengiranya sebuah gua buntu.
Yosiko tersenyum karena ia telah keluar dari kepungan. Ia percaya bahwa ibunya tadi agaknya juga mengambil jalan ini dan dugaannya ini memang tidak keliru.
Yosiko berpikir sejenak. Tan Cui Sian tadi mengintai ke gua. Tentu gadis saingannya ini tidak berada jauh. Mungkin berada bersama Tan Hwat Ki dan kawan-kawannya. la harus dapat mencari kesempatan untuk berjumpa berdua dengan Cui Sian dan menantangnya berkelahi mati-matian memperebutkan Yo Wan!
Perutnya terasa lapar sekali. la harus mencari makanan. Celakanya, hutan yang mengandung buah-buahan dan binatang-binatang yang dapat dijadikan makanan adalah hutan yang terkepung prajurit-prajurit kerajaan tadi. Dan satu-satunya cara mendapatkan makanan hanya pergi ke dusun-dusun untuk membeli dari warung-warung nasi. Akan tetapi ia harus mencari dusun yang agak jauh, siapa tahu di situ terdapat mata-mata atau penjaga-penjaga yang tentu akan mengepung dan mengejarnya, mengacaukan urusannya sendiri.
Berjalanlah Yosiko menuju ke sebuah dusun yang agak jauh. Akan tetapi di tengah perjalanan, tiba-tiba ia menyelinap dan bersembunyi ketika ia melihat dua orang mendatangi dengan langkah perlahan. la tertarik sekali ketika melihat betapa mereka adalah seorang pemuda dan seorang gadis cantik. Mula-mula ia kaget dan mengira bahwa mereka adalah Tan Hwat Ki dan sumoinya, tetapi setelah mereka datang dekat, ternyata mereka adalah dua orang yang sama sekali tidak dikenalnya.
Gadis itu cantik sekali, juga gagah dan membayangkan bahwa gadis itu bukanlah gadis sembarangan. Akan tetapi pada saat itu, gadis itu wajahnya pucat, kedua pipinya basah air mata, rambutnya kusut dan matanya merah. Adapun yang seorang lagi, adalah pemuda yang memiliki wajah tampan bukan main. Belum pernah Yosiko melihat seorang pemuda setampan itu, dengan sikap yang gagah pula, sepasang mata bersinar-sinar seperti bintang. Sayang sekali, pemuda itu buntung lengan kirinya, sebatas siku! Mereka berjalan perlahan dan bercakap-cakap, keduanya memperlihatkan kesedihan dan kemuraman.
Siapakah mereka ini? Demikian pikir Yosiko dengan heran. la tertarik sekali karena dua orang ini jelas membayangkan orang-orang yang memiliki kepandaian, bukan orang-orang biasa. Apakah mereka ini juga merupakan anggota rombongan orang gagah yang hendak membasmi bajak laut di sekitar Lautan Po-hai? Akan tetapi mengapa mereka berdua jalan di sini dan kelihatan sedih sekali? Bahkan terang bahwa si gadis itu bekas menangis, matanya merah, pipinya masih basah dan hidungnya merah.
Yosiko tidak mengenal mereka, akan tetapi pembaca tentu mengenal mereka. Mereka itu bukan lain adalah Kwa Swan Bu dan The Siu Bi! Sudah lama sekali kita meninggalkan mereka. Seperti telah dituturkan di bagian depan, Swan Bu yang masih menderita itu bersama Siu Bi melarikan diri setelah Siu Bi berhasil membunuh Ouwyang Lam dan kemudian mereka ditolong oleh The Sun yang mengorbankan nyawa untuk anak tirinya di tangan Ang-hwa Nio-nio. Dua orang muda-mudi yang saling mencinta tapi yang terlibat dalam permusuhan dendam-mendendam antara orang-orang tua mereka itu, melarikan diri tanpa tujuan, dengan niat menjauhkan diri dari ancaman pihak musuh.
Rasa sakit pada lenganhya tidak membuat Swan Bu terlalu berduka. Yang membuat dia merasa amat bersedih adalah karena urusannya membuat hal-hal yang amat ruwet dan hebat terjadi. Nama baik Lee Si ternoda sebagai seorang gadis, malah ayah gadis itu telah dibunuh orang dengan pedang ibunya menancap di dada, pedang yang kini berada di tangannya. Dengan terjadinya peristiwa ini, dia tidak berani pulang! Bagaimana kalau ternyata ibunya yang membunuh ayah Lee Si? Bagaimana kalau paman Tan Kong Bu benar-benar dibunuh ibunya karena kesalahpahaman? Ah, hebat perkara itu dan dia tidak ada keberanian untuk menghadapi peristiwa menyedihkan itu.
Selain itu, juga dia tidak dapat berpisah dari Siu Bi. Andaikata ayah Siu Bi tidak meninggal, dia tentu akan memaksa diri meninggalkan Siu Bi. Akan tetapi kini Siu Bi tidak berayah ibu lagi, tidak ada sanak saudara, hidup sebatangkara. Bagaimana dia tega melepaskan Siu Bi merawat seorang diri begitu saja?
Perjalanan mereka penuh dengan kenang-kenangan memilukan. Kadang-kadang mereka memadu kasih dan janji, ingin sehidup semati. Ada kalanya mereka bertangis-tangisan mengingat keadaan keluarga mereka. Bahkan ada kalanya mereka cekcok mulut karena berbeda pendapat. Namun betapapun juga, Siu Bi selalu tekun dan rajin merawat Swan Bu sehingga luka pada lengannya sembuh.
Pada hari itu mereka tiba di lembah Sungai Huang-ho dengan maksud melanjutkan perjalanan dengan perahu karena perjalanan dengan perahu tidak melelahkan tubuh Swan Bu yang perlu banyak istirahat. Akan tetapi sejak pagi tadi, sambil berjalan perlahan, mereka cekcok kembali ketika Swan Bu mendesak agar Siu Bi suka ikut dia pulang saja ke Liong-thouw-san, menghadap ayah bundanya dan berterus terang. mengaku bahwa mereka sudah saling mencinta dan tak dapat terpisah lagi.
"Aku takut, Swan Bu. Aku takut untuk bertemu dengan ayah ibumu. Bagaimana kalau mereka tidak memperbolehkan aku dekat denganmu? Bagaimana kalau aku diusir? Aku pernah hendak membunuh mereka. Ibumu amat benci kepadaku! Ah, Swan Bu..... jangan paksa aku ke sana, lebiih baik kita pergi yang jauh, biar kita mencari pulau kosong, hidup berdua sampai kematian memisahkan kita....." demikian keluh-kesah Siu Bi.
"Siu Bi!" Swan Bu membentak marah. "Kau hanya ingat kepada dirimu sendiri saja! Apa kau tidak ingat betapa aku pun tidak mungkin selamanya harus berpisah dari ayah bundaku? Anak macam apa kalau begitu aku ini? Apa kau hendak memaksa aku menjadi seorang anak yang paling puthauw (murtad) di dunia ini?"
"Sesukamulah! Boleh kautinggalkan aku, akan tetapi kau harus membunuh aku lebih dulu. Swan Bu, aku lebih baik mati daripada kautinggalkan!"
Demikianlah percekcokan itu yang dilanjutkan di sepanjang jalan. Ketika mereka tiba di dekat tempat sembunyi Yosiko, percekcokan mereka sudah memuncak dan jelas terdengar oleh Yosiko ketika Siu Bi berseru keras,
"Sudahlah! Kau boleh pergi dan kalau kau tidak mau membunuh aku, aku akan membunuh diriku sendiri di depanmu sebelum kau pergi!" Sambil berkata demikian, Siu Bi mencabut pedangnya dan sinar menghitam menyambar ke arah lehernya. Hampir saja Yosiko mengeluarkan jeritan ngeri karena gadis ini melihat betapa gerakan pedang di tangan Siu Bi amat cepat sehingga agaknya sukar untuk menghindarkan gadis itu dari kematian.
Akan tetapi alangkah kagum hatinya ketika tiba-tiba pemuda itu menggerakkan tangan kanannya dan sinar keemasan berkelebat kemudian membentur sinar hitam menerbitkan suara berkerontangan nyaring. Kiranya pedang bersinar hitam di tangan gadis itu sudah ditangkis dan bahkan runtuh di atas tanah!
"Siu Bi, jangan gila kau! Kalau kau membunuh diri, mana aku dapat hidup lebih lama lagi?" kata Swan Bu sambil menyimpan pedangnya yang bersinar emas, yaitu pedang Kim-seng-kiam, pedang ibunya yang dia cabut dari dada jenazah Tan Kong Bu.
Siu Bi menangis. Swan Bu mendekatinya dan keduanya lalu berpelukan mesra sambil bertangisan,
"Siu Bi, bukankah kau sudah setuju bahwa aku harus mengawini Lee Si? Kau tahu, hanya itu satu-satunya jalan untuk mengusir awan kegelapan yang meliputi keluargaku. Hanya pengorbanan itu yang dapat kulakukan untuk menebus nama baik keluarga paman Tan Kong Bu. Kemudian bersama Lee Si aku harus mencari keterangan bagaimana matinya paman Tan Kong Bu. Betapapun juga, aku masih belum percaya benar bahwa ibuku yang membunuh paman Kong Bu."
"Swan Bu, kau sudah bersumpah sehidup semati dengan aku. Biarpun tidak secara resmi, bukankah aku ini isterimu yang sah karena sumpah kita? Bukankah! Tuhan yang menyaksikan, langit, bumi, bintang dan bulan? Swan Bu, aku tidak akan melarang kau mengawini Lee Si, akan tetapi..... jangan kautinggalkan aku."
Swan Bu mencium dan mengelus-elus rambut Siu Bi sehingga tangis gadis itu mereda.
"Siu Bi, harap kau suka berpikir dengan panjang. Aku mengajakmu menghadap ayah ibuku, kau merasa takut dan tidak mau. Kemudian kalau aku pulang lebih dulu seorang diri untuk kelak kita bertemu lagi, kau tidak membolehkan aku meninggalkanmu. Bagaimana ini? Siu Bi, kau tahu betapa aku mencintaimu dengan seluruh jiwa ragaku. Aku sudah bersumpah dan apa pun yang akan terjadi, sudah pasti aku akan kembali kepadamu. Sebaiknya kalau untuk sementara kita berpisah. Biarkan aku menghadap orang tuaku dan menyelesaikan urusan kami. Syukur kalau mereka tidak memaksaku mengawini Lee Si, andaikata begitu, aku tetap hendak menceritakan pada mereka tentang dirimu dan aku tetap hendak mengajukan syarat, yaitu aku mau menikah dengan Lee Si asal kau juga menjadi isteriku."
Untuk sejenak Siu Bi diam, hanya menyandarkan kepalanya di dada kekasihnya. "Betulkah kau tidak akan lupa kepadaku?"
"Apa kaukira aku gila? Marilah kita mencari tempat untukmu, di mana kau dapat menantiku. Begitu urusanku selesai, aku pasti akan datang menjemputmu dan kau tidak perlu merasa khawatir lagi bertemu dengan orang tuaku."
Keduanya berjalan lagi perlahan, Yosiko yang berada di tempat sembunyinya merasa kasihan kepada Siu Bi. Gerak-gerik gadis itu menarik hatinya, menimbulkan rasa suka. Agaknya, seperti juga dia, gadis bernama Siu Bi itu pun tidak beruntung dalam soal perjodohan. Dia ingin berjodoh dengan Yo Wan tapi pemuda itu memilih Tan Cui Sian. Agaknya gadis bernama Siu Bi itu pun ingin bersuamikan pemuda buntung itu, namun si pemuda hendak mengawini gadis lain! Dengan seorang yang senasib ini boleh sekali ia berkawan.
Tiba-tiba terdengar seruan, "Swan Bu.....!!"
Swan Bu dan Siu Bi terkejut, berhenti dan menengok. Seorang gadis tampak datang dengan lari cepat sekali, sebentar saja sudah tiba di tempat itu. Dari tempat sembunyinya Yosiko menyaksikan ini dan menjadi kagum. Gadis yang baru datang ini pun hebat sekali ilmu lari cepatnya dan ia mulai merasa heran. Mengapa begini banyak berkumpul orang-orang muda yang lihai? Akan tetapi alangkah terkejutnya ketika ia mendengar pemuda buntung itu menyebut nama gadis yang baru tiba.
"Sukouw (Bibi Guru) Cui Sian.....!!" teriak Swan Bu kaget karena dia benar-benar sama sekali tidak mengira bahwa gadis itu dapat datang ke tempat sejauh ini.
Yang datang memang benar adalah Tan Cui Sian, gadis Thai-san, puteri Raja Pedang yang amat lihai. Dengan pandang mata tajam Cui Sian mengerling ke arah Siu Bi yang biarpun tadi sudah didorong dari dadanya oleh Swan Bu, masih saja memegangi tangan kanan pemuda itu dengan erat, seakan-akan ia khawatir kalau-kalau kekasihnya akan direnggut orang.
"Swan Bu, mengapa kau berada di sini..... dengan dia ini? Ayah ibumu mencarimu, mereka amat mengharapkan kau pulang. Mau apa kau berkeliaran di sini bersama dia?" Kembali ia melirik tajam ke arah Siu Bi, jelas wajahnya memperlihatkan hati tidak senang
"Sukouw....." bingung sekali hati Swan Bu dan mau tak mau dia harus melepaskan tangannya dari pegangan Siu Bi karena merasa tidak enak di depan bibi gurunya itu memperlihatkan kasih sayangnya kepada Siu Bi, gadis yang tentu saja oleh bibinya dianggap musuh karena sudah membuntungi lengannya.
"Sukouw, bagaimana dengan..... ibu? Tidak apa-apakah? Siapa..... yang membunuh paman Kong Bu?"
"Tak usah khawatir, bukan ibumu yang membunuhnya, melainkan..... kawan bocah liar ini," kata Cui Sian sambil melirik lagi ke arah Siu Bi.
Watak Siu Bi memang keras dan ia pantang mundur menghadapi musuh yang bagaimanapun. Tadi ia sudah mendongkol melihat sikap Cui Sian, akan tetapi ditahan-tahannya. Mendengar bahwa yang membunuh ayah Lee Si bukan ibu Swan Bu, diam-diam ia merasa lega dan girang juga. Akan tetapi mendengar ia disebut-sebut gadis liar dan pembunuh itu adalah kawannya, kemarahannya bangkit. Lalu segera melangkah maju dan menudingkan telunjuknya ke muka Cui Sian sambil berseru nyaring.
"Enak saja kau bicara! Aku tidak punya kawan pembunuh! Hayo buktikan bahwa yang membunuh adalah kawanku, jangan hanya pandai melempar fitnah!"
Cui Sian tersenyum mengejek. "Yang biasa melakukan fitnah adalah manusia macam kau dan teman-temanmu. Pembunuh kakakku Kong Bu adalah Ang-hwa Nio-nio! Nah, bukankah dia kawanmu?"
"Bukan! Ngaco kau, dia bukan kawanku, aku benci kepadanya!"
"Siapa tidak tahu akan kejahatanmu? Ang-hwa Nio-nio sudah mampus dan sekarang kau pun harus mampus!" Cepat sekali gerakan Cui Sian yang maju dan menerjang Siu Bi dengan pedangnya. Pedang hitam Siu Bi belum sempat ditarik untuk menangkis, namun gadis ini dengan gesit sudah meloncat ke kiri untuk menghindarkan diri dari sambaran pedang, kemudian ia sudah mencabut pula pedangnya, siap bertanding mati-matian.
"Tahan! Sukouw, harap jangan serang dia!" kata Swan Bu sambil melompat ke depan, menghadang Cui Sian. Biarpun pemuda buntung ini tidak mencabut pedangnya, namun sinar matanya jelas memperlihatkan bahwa dia tidak akan membiarkan Siu Bi diganggu. Cui Sian ragu-ragu dan membentak,
"Swan Bu! Kau membela bocah liar ini, setelah apa yang terjadi semua? Setelah lenganmu dibuntungi dan setelah keluarga kita hampir rusak berantakan?"
"Sukouw, dia..... aku..... aku cinta kepadanya."
Siu Bi sudah menyimpan pedangnya dan kini ia kembali menggandeng tangan kanan Swan Bu. Wajahnya berseri memperlihatkan sinar kemenangan dan mengejek.
Cui Sian tertegun, heran dan tidak tahu harus berkata apa. Dengan tarikan napas panjang, ia menyimpan kembali pedangnya. Cinta memang aneh sekali, pikirnya, atau lebih tepat orang muda yang dilanda cinta memang tidak waras otaknya, seperti.... seperti... dia sendiri!
"Swan Bu, omongan apa yang kau keluarkan ini? Kau diharapkan pulang dan perjodohanmu dengan Lee Si sudah diatur orang tuamu."
"Aku hanya mau menikah dengan Lee Si asal Siu Bi juga diperkenankan menjadi isteriku."
Terbelalak mata Cui Sian, akan tetapi karena hal itu bukan urusannya, ia menjawab,
"Sudahlah, aku tidak tahu akan hal itu. Kau boleh bicara sendiri dengan orang tuamu dan dengan ibu Lee Si. Sekarang kau harus pulang dulu. Bocah ini kalau betul-betul mencintaimu..... hemm, aku masih ragu-ragu akan hal ini, melihat betapa ia tega membuntungi lenganmu, kalau betul ia mencinta, ia harus setia dan suka menantimu."
Swan Bu menoleh kepada Siu Bi. "Moi-moi, kau mendengar sendiri. Memang sebaiknya aku pulang lebih dulu. Aku yakin orang tuaku akan setuju dan kalau sudah demikian, baru aku akan menjemputmu."
"Tapi..... tapi..... aku akan tidak senang sekali kalau kau pergi....."
Cui Sian mendapat pikiran baik. Betapapun juga, Swan Bu harus dipisahkan dari gadis liar ini dan sekaranglah terbukanya kesempatan itu. Maka ia cepat berkata,
"Yang tidak berani berkorban adalah cinta palsu! Kalau bocah ini tidak membolehkan kau pulang untuk membereskan semua urusan, maka cintanya itu pura-pura saja."
Usahanya berhasil. Memang Siu Bi orangnya keras dan jujur, tidak merasa diakali orang. Mukanya menjadi merah dan ia membentak, "Kalau kau bukan sukouw dari Swan Bu, sudah tadi-tadi kuterjang kau! Siapa bilang cintaku palsu? Swan Bu, kau pulanglah, aku akan menantimu. Pulanglah, kau dan semua orang di dunia ini akan melihat bahwa cintaku tidak palsu dan aku setia kepadamu!"
Lega hati Swan Bu, akan tetapi khawatir juga.
"Siu Bi, kita harus mencari tempat untukmu, di mana kau dapat menantiku....."
"Bukankah di sini merupakan tempat juga? Aku akan tinggal di sini, Swan Bu di lembah sungai ini, menanti sampai kau datang menjemputku. Pergilah!"
Swan Bu merasa betapa berat perasaan hatinya harus meninggalkan kekasihnya di situ seorang diri. Akan tetapi apa yang dapat dia lakukan? Pertama, dia malu terhadap bibinya kalau terlalu memperlihatkan kelemahan hatinya akibat cinta kasih. Selain itu, kalau ia terlalu menahan dan tidak rela meninggalkan Siu Bi, tentu kekasihnya itu akan merasa rendah terhadap Cui Sian.
"Siu Bi, kautunggulah dan carilah tempat di sekitar ini. Percayalah, aku pasti akan datang menjemputmu. Percayalah....."
Siu Bi tersenyum sungguhpun kedua matanya menjadi basah. la pun merasa tidak rela dan berat harus berpisah dari orang yang paling ia cinta di dunia ini, miliknya satu-satunya yang masih tinggal. Tanpa Swan Bu di sampingnya, hidup tidak akan ada artinya baginya. Akan tetapi, bagaimanapun juga, tak mungkin ia dapat merampas Swan Bu begitu saja dari orang tuanya. Kalau ia menghendaki agar selanjutnya ia boleh menghabiskan sisa hidupnya di dekat Swan Bu, maka urusan itu harus ada persetujuan orang tuanya. Baginya, tidak peduli Swan Bu akan menikah dengan Lee Si atau dengan siapa juga atas kehendak orang tuanya, asalkan hati dan cinta kasih pemuda itu dia yang memilikinya.
Bukan main terharunya hati Swan Bu menyaksikan gadis itu berdiri lemas dengan air mata di pipi dan senyum di bibir. Ingin dia memeluknya, ingin dia menghiburnya, namun ia malu melakukan hal ini di depan Cui Sian.
"Siu Bi, selamat berpisah untuk sementara....."
"Pergilah Swan Bu, dan jaga dirimu baik-baik. Aku akan tetap menantimu.
Pergilah Swan Bu bersama Cui Sian dan ada tiga empat kali dia menengok sebelum bayangan mereka lenyap ditelan tetumbuhan.
Melihat wajah Swan Bu demikian sedih, diam-diam Cui Sian merasa terharu dan kasihan. Tentu saja, kalau menurutkan hatinya, ia tidak suka melihat Swan Bu berjodoh dengan Siu Bi, gadis liar yang semenjak kecil berdekatan dengan orang-orang jahat. Jauh lebih baik apabila Swan Bu berjodoh dengan Lee Si, selain gadis itu memang berdarah ksatria, juga perjodohan ini akan merupakan penghapus bagi luka-luka yang diakibatkan oleh kesalahpahaman antara keluarga Pendekar Buta dan keluarga Raja Pedang. Akan tetapi, oleh pengalamannya sendiri pada saat itu sebagai korban asmara, ia dapat merasai pula keadaan hati pemuda ini, maka diam-diam ia menaruh rasa kasihan. Pemuda itu berjalan sambil menundukkan mukanya yang pucat, seakan-akan semangatnya tertinggal pada gadis kekasihnya yang tadi tersenyum dengan air mata bertitik.
"Swan Bu....."
Pemuda itu kaget dan menengok. "Ada apakah, Sukouw?"
"Kau tentu maklum, bukan maksudku merusak kebahagiaanmu, akan tetapi aku memaksamu pergi menemui orang tuamu demi kebaikan kita bersama, demi kebaikan orang tuamu, kebaikan keluarga dan kebaikanmu sendiri!"
"Aku mengerti, Sukouw." Swan Bu menarik napas panjang.
"Sekarang, sebelum kita pulang, mari kita singgah dulu di perkemahan pantai Po-hai, di mana kau akan dapat bertemu dengan banyak sahabat baik dan saudara..."
Suara Cui Sian terdengar gembira, karena memang sengaja gadis ini hendak menghibur Swan Bu dan membangkitkan semangatnya. Kalau pemuda ini bertemu dengan orang-orang gagah yang bertugas membasmi bajak-bajak laut, tentu akan terbangkit pula semangatnya sebagai keturunan seorang pendekar sakti seperti Pendekar Buta.
"Mereka siapakah, Sukouw?" Suara Swan Bu dalam pertanyaan ini tidak begitu mengacuhkan. Setelah berpisah dengan orang yang paling dia sayangi di dunia ini di samping ayah bundanya, siapa pulakah yang dapat menggembirakan hatinya dalam perjumpaan?
"Kau akan bertemu dengan Bun Hui!" "Mengapa saudara Bun Hui berada di tempat ini?"
"Dia mewakili ayahnya untuk memimpin pasukan dari Tai-goan yang bertugas membasmi bajak-bajak laut di daerah Po-hai."
Swan Bu mengangguk-angguk, akan tetapi pikirannya melayang lagi, dia tidak begitu memperhatikan urusan pembasmian bajak laut yang dianggapnya bukanlah urusannya.
"Dan di sana kau akan menemui banyak orang-orang gagah, di antaranya adalah seorang yang sama sekali takkan dapat kau duga-duga siapa adanya!" Cui Sian memperdengarkan suara gembira agar pemuda itu tertarik. Memang berhasil dia karena Swan Bu benar-benar memperhatikan.
"Sukouw, siapakah dia?"
"Seorang pendekar muda yang hebat, dan dia masih keponakanku sendiri!"
Wajah Swan Bu mulai berseri. "Apa?" Sukouw maksudkan... dia..... Hwat Ki?"
Ketika Cui Sian mengangguk membenarkan, wajah pemuda ini sudah mulai berseri gembira, pernah dia berkenalan dan bertemu dengan Tan Hwat Ki sewaktu mereka berdua masih kecil, baru berusia belasan tahun. la membayangkan cucu Raja Pedang itu yang tampan dan gagah.
"Dia berada di sana bersama sumoinya, seorang gadis cantik dan gagah perkasa."
Akan tetapi Swan Bu tidak memperhatikan ucapan ini karena pikirannya penuh oleh bayangan Tan Hwat Ki yang akan dijumpainya, dan perjalanan mereka kini dilakukan dengan cepat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar