16 Kisah Si Bangau Putih

Biarpun ia pangling dan tidak mengenal suami isteri perkasa yang datang membantunya, tapi begitu menyaksikan gerakan-gerakan mereka, apalagi melihat Kam Bi Eng memainkan suling emas, Kao Hong Li segera dapat menduga siapa adanya mereka.

"Paman Liong dan bibi Eng, terima kasih kalian datang membantuku!" teriaknya dan tendangan-tendangannya membuat lima orang pengeroyoknya menjadi kalang kabut.

Sin-kiam Mo-li dan Toat-beng Kiam-ong adalah dua orang yang cerdik dan licik. Melihat kehebatan musuh, mereka berdua tanpa banyak cakap lagi lalu melarikan diri, diikuti oleh lima orang anak buah mereka yang juga menjadi ketakutan! Kap Hong Li meloncat untuk mengejar, akan tetapi Suma Ceng Liong mencegahnya. "Musuh yang lari jangan dikejar!" kata pendekar ini. Dia maklum betapa lihainya lawan, dan tentu licik sekali sehingga mengejar mereka amatlah berbahaya. Siapa tahu mereka itu lari ke tempat kawan-kawan mereka.

Kao Hong Li mentaati cegahan pamannya akan tetapi ia mengerutkan alisnya memandang ke arah menghilangnya tujuh bayangan orang itu dan berkata, "Sayang, seharusnya mereka itu ditumpas, terutama sekali wanita itu!" Lalu, seperti baru teringat bahwa baru saja ia berjumpa dengan paman dan bibinya, gadis itu memberi hormat dan berkata, "Saya segera mengenal Paman dari gerakan Paman, dan mengenal Bibi setelah melihat suling emas itu!"

"Kami pun mengenalmu setelah melihat gerakan silatmu, Hong Li," kata Kam Bi Eng sambil mengamati wajah yang cantik manis itu.

"Hong Li, siapakah wanita tadi? Ia kelihatan lihai sekali, dan melihat senjatanya pedang dan kebutan, mengingatkan aku akan seorang iblis betina...."

"Dugaan Paman benar. Ia adalah Sin-kiam Mo-li!"

"Ahhh!" Suami isteri itu terkejut.

"Agaknya ia tidak mengenal saya lagi, Paman, karena ketika ia menculik saya, ketika itu usia saya baru tiga belas tahun. Akan tetapi, saya tidak akan pernah dapat melupakan iblis itu dan tadi, begitu bertemu, saya segera mengenalnya. Padahal, saya memang sengaja hendak mencari dan membunuhnya!" kata gadis itu penuh semangat. Ia teringat akan pengalamannya ketika berusia tiga belas tahun. Pernah ia diculik oleh iblis betina itu, bahkan kemudian diaku sebagai anak angkat dan murid, akan tetapi ia kemudian tahu bahwa sikap baik iblis betina itu hanya siasat belaka(baca kisah Suling Naga).

Suma Ceng Liong menatap tajam wajah Kao Hong Li, diam-diam merasa heran mengapa gadis ini seolah-olah diracuni dendam, padahal, dia mengenal benar pribadi ayah dan ibu gadis ini, orang-orang yang berjiwa pendekar dan tidak mudah dikuasai dendam.

"Hong Li, kenapa engkau hendak membunuhnya dan nampaknya engkau amat membencinya? Apakah karena ia dahulu menculikmu?" tanya Ceng Liong tak puas.

Hong Li menarik napas panjang. "Memang saya sedang menuju ke rumah Paman untuk menceritakan hal ini. Saya tidak mendendam karena ia pernah menculik saya, Paman. Akan tetapi karena ia dan kawan-kawannya telah menyerbu kerumah kakek dan nenek di Gurun Pasir, mereka mengeroyok dan berhasil membunuh kakek, nenek dan juga locianpwe Wan Tek Hoat, bahkan membakar Istana Gurun Pasir."

"Ihhh....!" Kam Bi Eng berseru kaget.

Suma Ceng Liong juga terkejut sekali. "Apa? Bagaimana mungkin ia membunuh locianpwe Kao Kok Cu, isterinya, dan bahkan locianpwe Wan Tek Hoat?" Hampir dia tidak percaya bahwa ada orang mampu membunuh tiga orang sakti itu, apalagi kalau orang itu hanya wanita tadi dan kawan-kawannya.

"Ayah, ibu dan saya sendiri tadinya juga merasa terkejut, heran dan tidak percaya, Paman. Akan tetapi pembawa berita itu adalah murid dari tiga orang tua sakti itu sendiri." Hong Li lalu mengulang cerita tentang peristiwa di Istana Gurun Pasir itu seperti yang didengarnya dari Tan Sin Hong. Suami isteri perkasa itu mendengarkan dengan penuh perhatian, dan wajah mereka dibayangi duka mendengar akan kematian tiga orang tua sakti itu. Setelah Hong Li selesai bercerita, Kam Bi Eng tidak sabar lagi bertanya.

"Tiga orang tua yang sakti itu tewas semua, akan tetapi bagaimana mungkin murid mereka itu dapat hidup dan dapat menceritakan peristiwa itu kepada keluargamu?"

"Kami juga berpendapat demikian dan dengan penasaran menanyakan hal itu kepada Tan Sin Hong, dan ternyata bahwa pada saat penyerbuan terjadi, murid itu sama sekali tidak berdaya. Ia baru saja menerima pengoperan tenaga sakti dari tiga orang gurunya dan selama satu tahun dia pantang mempergunakan tenaga sakti karena hal itu berarti akan membunuh dirinya sendiri. Karena itulah maka dia tidak dapat melakukan perlawanan, karena sekali mengerahkan tenaga, dia akan mati konyol."

Mendengar ini, Ceng Liong menarik napas panjang, "Aih, sungguh menyedihkan. Akan tetapi bagaimanapun juga, tiga orang locianpwe itu sudah tua sekali dan mereka tewas sebagai orang-orang gagah, gugur dalam menghadapi orang-orang sesat. Heran sekali nasib mereka sama benar dengan nasib kakek dan nenek-nenekku di Pulau Es! Gugur dalam menghadapi penyerbuan tokoh-tokoh sesat. Sekarang aku mengerti. Tentu setelah mengoperkan tenaga sakti kepada murid mereka itu, ketiga locianpwe itu mengalami kekurangan tenaga dan pada saat itu, para tokoh sesat datang menyerbu. Bagaimanapun juga, hampir semua penyerbu tewas, dan ini membuktikan bahwa tiga orang locianpwe yang sudah berusia tinggi sekali itu memang masih amat hebat. Nyawa manusia di tangan Tuhan! Kalau Tuhan menghendaki, maka ada saja penyebab kematian seseorang. Kita tidak mungkin dapat mengelakkan kehendak Tuhan!"

"Untung sekali bahwa saya dapat bertemu dengan Ji-wi di sini sehingga bukan saja Paman dan Bibi dapat menyelamatkan saya dari tangan orang-orang jahat itu, akan tetapi juga saya tidak kecelik berkunjung ke rumah Paman dan Bibi yang kosong. Sebenarnya, ke manakah Paman dan Bibi hendak pergi, maka kebetulan berada di sini?"

"Kami memang meninggalkan rumah karena kami mendengar akan gerakan pemberontakan yang kabarnya dilakukan oleh Tiat-liong-pang dibantu oleh para tokoh sesat. Karena anak kami Suma Lian, juga sedang merantau, maka kami merasa khawatir dan ingin mencarinya."

"Ah, Paman! Kebetulan sekali belum lama ini saya bertemu dengan adik Suma Lian!" Hong Li segera bercerita tentang pertemuannya dengan Suma Lian yang diawali perkelahian karena kesalahpahaman ketika Hong Li mengejar seorang laki-laki yang menculik seorang anak laki-laki.

"Pertemuan itu singkat saja, Paman. Kami berpisah, saya pergi berkunjung kepada Paman sedangkan, adik Lian melakukan pengejaran terhadap laki-laki penculik anak-anak itu."

"Di mana terjadi peristiwa itu?"

"Di kota Ban-koan."

"Kalau begitu, kami akan cepat mencari jejaknya di sana," kata Ceng Liong. Mereka lalu berpisah, Ceng Liong dan Bi-Eng segera menuju ke kota Ban-koan, sedangkan.Hong Li mencoba untuk mencari jejak Sin-kiam Mo-li yang tadi melarikan diri bersama kawan-kawannya. Ia kini bersikap hati-hati, maklum bahwa Sin-kiam Mo-li mempunyai banyak kawan yang lihai. Menghadapi wanita itu sendiri, ia tidak gentar, akan tetapi kalau dikeroyok banyak orang seperti tadi, ia bisa celaka.

Akan tetapi, ketika mereka tiba di kota Ban-koan, tentu saja suami isteri pendekar itu sama sekali tidak dapat menemukan lagi jejak puteri mereka. Tak seorang pun tahu tentang Suma Lian dan penculik anak-anak, karena memang kedua orang ini meninggalkan kota itu secara diam-diam, di waktu malam pula. Dari tempat ini, Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng lalu pergi ke Pegunungan Tapa-san untuk mengunjungi pondok tempat tinggal Suma Ciang Bun karena sebelum pergi, Suma Lian telah mereka pesan untuk berkunjung ke rumah pamannya itu dan membujuk Suma Ciang Bun yang hidup sebatanghara untuk tinggal bersama mereka di dusun Hong-cun. Tentu Suma Ciang Bun akan dapat memberi keterangan ke mana selanjutnya puteri mereka itu pergi setelah berkunjung ke sana.

Dugaan mereka yang juga menjadi harapan mereka memang tidak keliru. Di tempat kediaman Suma Ciang Bun, mereka memperoleh keterangan yang banyak. Suma Ciang Bun menyambut mereka dengan gembira sekali dan pendekar ini merangkul adiknya dengan sepasang mata basah. Dia sudah merasa rindu sekali kepada Suma Ceng Liong dan pertemuan ini sungguh membuat dia terharu dan juga gembira.

"Bagaimana, Bun-ko, engkau tentu sehat-sehat saja, bukan? Engkau nampak sehat dan segar."

"Engkau juga semakin gagah saja, Liong-te. Dan isterimu juga semakin gagah dan cantik!" kata Suma Ciang Bun.

Kam Bi Eng tertawa, mukanya berubah agak kemerahan. "Ah, Bun-koko ini bisa saja. Orang sudah semakin tua, mana mungkin semakin cantik?"

Seorang anak laki-laki muncul. Usianya baru tujuh tahun lebih, akan tetapi keadaan anak ini sungguh mengagumkan hati Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng. Anak itu memiliki sepasang mata yang tajam bersinar penuh semangat dan keberanian, juga mengandung kecerdikan dan wajahnya tampan.

"Ah, Bun-ko telah memiliki seorang murid yang baru? Dia baik sekali, Bunko...."

Suma Ciang Bun tersenyum. "Anak ini hanya titipan, yang menitipkannya di sini adalah puteri kalian!"

Tentu saja suami isteri itu terkejut dan girang sekali. "Suma Lian, anak kami?" keduanya hampir berbareng bertanya.

Suma Ciang Bun mengangguk, dan mengajak mereka semua duduk di dalam pondoknya yang tidak besar namun karena mempunyai banyak jendela maka terbuka dan sejuk hawanya. Lalu dia menceritakan tentang kunjungan Suma Lian dan Tan Sin Hong dan tentang Yo Han yang dititipkan kepadanya oleh dua orang muda itu.

"Bun-ko, apakah kaumaksudkan Tan Sin Hong murid dari Istana Gurun Pasir itu?" tanya Ceng Liong memotong cerita kakaknya.

"Benar, engkau sudah mendengar akan malapetaka yang terjadi di sana?"

"Sudah, dari Kao Hong Li yang kami jumpai di jalan."

"Dan tahukah engkau siapa anak ini? Anak ini adalah putera dari Ciong Siu Kwi dan suaminya, Yo Jin," kata Suma Ciang Bun.

"Ciong Siu Kwi....? Bi...." Suma Ceng Liong yang tadinya hendak mengatakan Bi Kwi, menahan ucapannya teringat akan kehadiran anak itu. Suma Ciang Bun maklum dan dia mengangguk, lalu diceritakannya semua yang pernah didengarnya dari Suma Lian tentang anak itu, betapa ayah dan ibu anak itu menjadi tawanan para tokoh sesat yang bergabung dengan Tiat-long-pang.

Mendengar semua cerita itu, Suma Ceng Liong saling pandang dengan isterinya, kemudian dia menghela napas panjang. Kami sudah mengkhawatirkan bahwa tentu Lian-ji akan terlibat dalam urusan pemberontakan Tiat-liong-pang. Kalau ia mendengar akan gerakan kaum sesat mendukung pemberontakan, tentu ia akan menentangnya. Kami justeru mengkhawatirkan hal itu, Bun-ko. Oleh karena itu, kami tidak akan berlama-lama tinggal di sini. Kami akan segera berangkat untuk mencari puteri kami dan membantunya kalau ia menentang Tiat-liong-pang."

Suma Ciang Bun mengangguk-angguk. "Memang sebaiknya begitu, Liong-te. Kaum muda itu memang amat berani, dan kadang-kadang terlalu berani sehingga tidak lagi memakai perhitungan. Aku juga mendengar bahwa gerakan Tiat-liong-pang sekali ini didukung oleh tokoh-tokoh sesat yang amat lihai, bahkan kabarnya Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai ikut pula mendukung, belum lagi pasukan pemerintah yang berkhianat dan orang-orang Mongol."

Suami isteri itu lalu berpamit dan mereka pun melanjutkan perjalanan mereka untuk mencari puteri mereka. Sekali ini, tujuan mereka sudah jelas, yaitu perkumpulan Tiat-liong-pang yang pusatnya berada di lereng bukit di kota Sangcia-kou di utara.

***

Di benteng pasukan-pasukan pemerintah Ceng yang berada di perbatasan utara terjadilah peristiwa yang menggegerkan. Selama beberapa minggu sudah ada belasan orang perwira menengah dan perwira tinggi secara tiba-tiba saja hilang tanpa meninggalkan jejak! Mereka yang hilang itu semua adalah para perwira yang setia kepada pemerintah. Karena tidak mungkin pasukan tanpa pimpinan, maka beberapa pasukan yang kehilangan pimpinan lalu dikuasai oleh Coa Tai-ciangkun, seorang di antara panglima yang bertugas di perbatasan utara. Perwira-perwira baru diangkat oleh Coa Tai-ciangkun.

Keadaan seperti itu mencemaskan hati para perwira yang setia kepada pemerintah dan yang masih hidup. Ada beberapa orang di antara mereka nyaris diculik oleh orang-orang berkedok yang berkepandaian tinggi. Mereka ini merasa cemas melihat betapa rekan-rekan mereka lenyap dan kini kekuasaan. Coa Tai-ciangkun atas pasukan-pasukan di utara semakin besar. Padahal, mereka sudah mendengar desas-desus bahwa Coa Tai-ciangkun disangsikan kesetiaannya karena kabarnya mengadakan hubungan dengan kekuatan-kekuatan di luar pasukan. Maka, diam-diam di antara para perwira itu mengirim utusan dengan cepat ke selatan, ke kota raja untuk melaporkan peristiwa yang mencemaskan itu.

Pada suatu pagi yang cerah, di atas puncak sebuah bukit tak jauh dari Tembok Besar nampak dua orang menuruni bukit itu perlahan-lahan sambil menikmati pemandangan alam yang amat indah dari puncak bukit. Memang indah bukan main pemandangan dari situ. Tembok Besar buatan manusia yang sudah mengorbankan mungkin jutaan orang manusia dalam pembuatannya dan perbaikan-perbaikannya itu, nampak seperti seekor naga di antara bukit-bukit, naik turun dan berkelok-kelok, membuat dua orang itu kadang-kadang berhenti melangkah untuk lebih menikmati pemandangan itu.

Mereka adalah seorang nenek dan seorang kakek. Kakek itu usianya sudah kurang lebih tujuh puluh tahun, berpakaian sastrawan yang sederhana, bertubuh tinggi agak kurus, namun wajahnya masih membayangkan ketampanan dan tubuh itu masih tegak. Gerak-geriknya halus, dan pandang matanya lembut, walaupun kadang-kadang mencorong penuh wibawa. Adapun nenek itu belasan tahun lebih muda, baru lima puluh tahun lebih, gerak-geriknya masih lincah dan bentuk tubuhnya masih ramping dan cekatan. Keduanya menggendong sebuah buntalan pakaian di punggung dan keduanya nampak gembira, mungkin karena hawa udara yang sejuk nyaman dan pemandangan alam yang amat indahnya itu menyeret mereka ke dalam suasana gembira. Manusia adalah sebagian dari alam, merupakan bagian tak terpisahkan dari alam, oleh karena itu, betapapun manusia mabuk oleh nafsu duniawi yang membuat mereka selalu tenggelam ke dalam kesibukan mencari uang, mengejar kesenangan, hiburan atau urusan rumah tangga, keluarga, atau juga masyarakat dan negara sekali waktu akan timbul rindunya kepada alam. Dan setelah manusia jenuh daripada segala keduniawian dengan tata kehidupan yang serba mengejar kesenangan ini, misalnya dia berada di puncak bukit atau di tepi samudera, dia akan tenggelam ke dalam kesyahduan alam, ke dalam keheningan yang menghanyutkan, yang mendatangkan ketenangan dan kedamaian di dalam batin. Timbul suatu pertanyaan masing-masing, dalam batin masing-masing, yaitu : Dapatkah kita bebas daripada segala kebisingan pikiran sewaktu kita berada di dalam masyarakat ramai sehingga kita memperoleh keheningan ketenangan dan kedamaian seperti kalau kita berada seorang diri di puncak gunung atau di tepi samudera?

Biarpun kakek dan nenek itu kelihatan seperti orang-orang biasa saja, namun kalau ada yang mengenal mereka, tentu si pengenal akan terkejut sekali mendapatkan mereka berdua di situ. Mereka bukanlah orang biasa, melainkan pasangan pendekar sakti yang pernah menggemparkan dunia persilatan dengan ilmu mereka yang tinggi! Kakek itu bernama Kam Hong. Puluhan tahun yang lalu dia pernah menggegerkan dunia persilatan dengan ilmunya yang tinggi dan dijuluki Pendekar Suling Emas karena ilmunya mengingatkan dunia persilatan akan kehebatan ilmu pedang yang dimainkan dengan suling dari seorang pendekar ratusan tahun yang lalu yang Juga berjuluk Suling Emas (baca kisah Suling Emas Naga Siluman). Adapun nenek itu adalah isterinya yang juga merupakan seorang pendekar wanita yang tinggi ilmunya, bernama Bu Ci Sian. Isterinya ini, yang belasan tahun lebih muda dari sang suami, juga masih sumoi dari suami itu, karena mereka berdualah yang telah menemukan kitab ilmu yang amat tinggi dan keduanya mempelajari ilmu itu. Disamping ilmu memainkan suling emas, juga nenek Bu Ci Sian ini memiliki ilmu menaklukkan ular, dan di samping itu, juga pernah menerima gemblengan ilmu gabungan sin-kang Im dan Yang dari pendekar Suma Kian Bu, putera Pendekar Super Sakti Pulau Es.

Sudah puluhan tahun kedua suami isteri ini tidak pernah terjun ke dunia persilatan, hidup aman tenteram di istana kuno yang pernah menjadi pusat perkumpulan Khong-sim Kai-pang, yaitu di puncak bukit Nelayan di Pegunungan Tai-hang-san, sebelah selatan kota Pao-teng. Bagaimana kini mendadak suami isteri tua yang sakti itu berada di pegunungan utara dekat Tembok Besar?

Sebulan yang lalu, nenek Bu Ci Sian merasa rindu sekali kepada puterinya, yaitu Kam Bi Eng yang telah menjadi isteri Suma Ceng Liong, juga ia ingin sekali melihat dunia luar setelah bertahun-tahun berdiam di rumah saja. Ia mengajak suaminya untuk meninggalkan istana tua itu dan berkunjung ke tempat kediaman puteri mereka di dusun Hong-cun. Akan tetapi, setelah tiba di tempat itu, ternyata Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng tidak berada di rumah dan menurut keterangan para pembantu rumah tangga, suami isteri itu meninggalkan rumah untuk pergi mencari nona Suma Lian yang telah pergi lebih dahulu dari rumah. Para pembantu rumah tangga itu tidak dapat memberi keterangan ke mana majikan mereka pergi.

Kakek dan nenek itu tentu saja merasa kecewa dan mereka hanya tinggal semalam saja di rumah puteri mereka yang kosong. Mereka telah mendengar berita tentang gerakan Tiat-liong-pang yang dibantu oleh banyak tokoh sesat, maka kakek Kam Hong menduga bahwa tentu puteri, mantu dan cucu mereka itu pergi ke sana untuk menentang gerakan kaum sesat. Maka, mereka berdua lalu pergi ke utara untuk melihat-lihat keadaan dan mencari puteri dan mantu mereka. Di sepanjang perjalanan mereka mencari keterangan dan makin kuat dugaan mereka bahwa puteri mereka tentu pergi ke utara setelah mendengar bahwa memang banyak pendekar yang melakukan perjalanan ke utara sehubungan dengan berita gerakan kaum sesat di utara yang dipimpin oleh Tiat-liong-pang itu

Demikianlah, pada pagi hari itu, kakek Kam Hong dan nenek Bu Ci Sian tiba di puncak bukit, menuruni bukit sambil menikmati pemandangan alam yang amat indah, kadang-kadang berhenti dan memandang ke empat penjuru dengan penuh kagum.

"Eh, lihat di sana itu!" Tiba-tiba nenek itu berseru sambil menuding ke arah selatan, ke bawah. "Bukankah itu sebuah kereta?"

Kakek Kam Hong cepat memandang ke arah yang ditunjuk isterinya dan mengamati. "Benar, sebuah kereta dikawal oleh belasan orang."

"Dan para pengawal itu mengenakan pakaian seragam!" Sambung Bu Ci Sian.

"Juga di kereta itu ada benderanya, tidak jelas dari sini, akan tetapi seperti bendera tanda pangkat. Agaknya orang berpangkat yang duduk di dalam kereta itu

"He, lihat! Dari sebelah kanan itu! Dua orang itu seperti hendak menghadang kereta!"

"Siancai....! Benar katamu, dan lihat, mereka sudah bertempur!" kata kakek Kam Hong. "Ah, dua orang itu bukanlah lawan para pengawal, mari kita cepat ke sana untuk melihat apa yang telah terjadi!"

Kakek dan nenek itu bagaikan terbang cepatnya menuruni bukit dan berkat ilmu berlari cepat mereka yang tinggi, tak lama kemudian mereka tiba di tempat pertempuran.

Ketika mereka tiba di tempat itu, belasan orang berpakaian seragam telah rebah malang melintang tanpa nyawa lagi! Hanya tinggal empat orang berpakaian perwira yang masih melindungi kereta itu. Dengan pedang di tangan, empat orang itu repot sekali melindungi dirinya di depan kereta, menahan serangan seorang pemuda yang juga memainkan pedang akan tetapi permainan pedangnya sedemikian hebatnya sehingga empat orang perwira itu terdesak hebat dan agaknya takkan lama lagi mereka dapat bertahan.

Sementara itu, orang ke dua yang menghadang kereta, seorang kakek yang usianya sudah mendekati tujuh puluh tahun, berpakaian seperti seorang sastrawan, tinggi kurus, dengan gerakan ringan sekali meloncat ke dekat kereta dan sekali tangan kanannya bergerak, terdengar suara keras dan kereta itu pecah berantakan, dua ekor kudanya yang terkejut meronta lepas dan melarikan diri. Dari dalam kereta meloncat ke luar seorang laki-laki berusia lima puluh tahunan, berpakaian sebagai seorang panglima besar dengan tanda pangkat di pundak dan dada. Dengan gerakan cukup sigap panglima ini meloncat turun sehingga tidak ikut terbanting dengan pecahnya kereta. Melihat panglima itu, sastrawan tua tersenyum mengejek sambil mengeluarkan sebuah kipas dan mengipasi tubuhnya.

"Hemmm, kiranya engkau yang disebut Panglima Besar Liu, yang datang dari kota raja untuk menyelidiki keadaan di benteng utara? Jangan harap akan dapat menyelidiki apa pun, karena engkau akan mati di sini seperti yang dialami anak buahmu. Nah bersiaplah untuk mati!"

Panglima Besar yang bertubuh tinggi besar itu tidak kelihatan takut, bahkan mencabut pedangnya, siap untuk membela diri sedapat mungkin walaupun dia tahu bahwa bela dirinya takkan ada gunanya, melihat betapa para pengawalnya yang lihai saja kini nampak repot menghadapi penyerang muda itu.

"Bagus, kini aku mengerti mengapa terjadi geger di benteng utara dan banyak perwira kami yang kabarnya lenyap diculik orang. Kiranya ada musuh yang sengaja bersekutu dengan pengkhianat dan kalau aku tidak keliru, tentu engkau ini yang disebut Ouwyang Sianseng atau Nam San Sianjin seperti yang dikabarkan oleh orang-orang kami. Engkau bersekutu dengan Tiat-liong-pang untuk mengadakan pemberontakan, dan membujuk beberapa orang panglima dan perwira kami untuk berkhianat."

Ouwyang Sianseng menudingkan kipasnya. "Tidak keliru, Liu Tai-ciangkun, dan sekarang tiba giliranmu untuk mati di tanganku!"

"Tahan....!" Tiba-tiba nampak dua bayangan orang berkelebat dan tahu-tahu di depan Ouwyang Sianseng telah berdiri seorang kakek tua yang bukan lain adalah Kam Hong sedangkan Bu Ci Sian berkelebat ke arah pemuda yang mendesak empat orang pengawal itu, mengelebatkan suling emasnya. Nampak sinar terang sekali dan disusul suara berdentang nyaring ketika pedang yang dipergunakan oleh Siangkoan Liong untuk mendesak empat orang lawannya itu bertemu dengan sinar kuning emas. Siangkoan Liong terkejut dan meloncat mundur ketika merasa betapa benturan senjata itu membuat tangan kanannya tergetar hebat. Maklum bahwa ada lawan tangguh yang muncul, Siangkoan Liong cepat menghampiri gurunya. Bu Ci Sian juga menghampiri suaminya dan kini suami isteri tua itu berdiri berhadapan dengan Ouwyang Sianseng dan Siangkoan Liong.

Ouwyang Sianseng mengamati kakek dan nenek di depannya itu, mengerutkan alisnya dan bertanya kepada muridnya, "Tahukah engkau siapa mereka ini?" Siangkoan Liong juga memandang penuh perhatian, lalu dia menggeleng kepala sebagai jawaban. Ouwyang Sianseng kini menatap wajah Kam Hong dengan penuh perhatian dan diam-diam hatinya diliputi kekaguman. Kakek di depannya ini sebaya dengan dia, dan memiliki sikap yang halus berwibawa. Mengertilah dia bahwa kakek yang pakaiannya juga seperti sastrawan amat sederhana ini adalah seorang yang berilmu tinggi dan merupakan lawan yang tangguh. Ouwyang Sianseng lalu menjura dengan sikap hormat.

"Selamat berjumpa, Sobat," katanya dengan suara yang halus, "boleh aku mengetahui, siapakah Ji-wi dan apa pula alasan Ji-wi hendak mencampuri urusan kami yang sedang menentang penjajah Mancu?"

Kam Hong mengerutkan alisnya. Harus diakuinya bahwa sikap ramah dan halus dari orang ini membuat dia waspada karena sikap itu hanya menunjukkan bahwa dia berhadapan dengan orang yang sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Apalagi orang ini dengan cerdiknya menempatkan dia di posisi yang buruk, seolah-olah orang itu adalah pejuang dan patriot, sedangkan dia dan isterinya merupakan orang-orang yang membela kaum penjajah! Dengan tenang dia pun tersenyum dan balas menjura dengan hormat, diikuti pula oleh isterinya karena tadi ketika Ouwyang Sianseng menjura, pemuda tampan itu pun ikut pula memberi hormat.

"Maaf, Sobat," jawabnya halus pula. "Memang di antara kita tidak pernah saling mengenal, juga tidak ada hubungan apa pun. Penjajah Mancu sudah menguasai tanah air sejak hampir seratus tahun dan kami kira panglima ini bukanlah biang keladi penjajahan, melainkan hanya seorang petugas! Kami melihat betapa Ji-wi membunuhi para pengawal dan menyerang kereta, maka hal ini sudah merupakan urusan pribadi, bukan lagi pertempuran dalam perjuangan melawan penjajah! Dan kami tidak biasa membiarkan saja manusia saling bunuh, apalagi melihat yang lebih kuat membunuh yang lemah tanpa sebab."

Ouwyang Sianseng masih bersikap sabar. "Kami adalah pejuang-pejuang yang berjiwa patriot. Kami hendak menumbangkan kekuasaan penjajah Mancu, dan kami mulai dari utara ini dengan cara melenyapkan para perwira dan panglima. Barulah kami akan bergerak ke selatan, menyerang ke kota raja dan merampas tahta kerajaan!" Ketika berkata demikian, sinar mata Ouwyang Sianseng mencorong penuh nafsu dan dendam, juga pemuda di sampingnya yang bukan lain adalah Siangkoan Liong, memandang dengan muka berseri penuh semangat.

"Kami percaya bahwa Locianpwe berdua tentulah dua orang berilmu tinggi yang berjiwa patriot pula, oleh karena itu kami akan merasa gembira sekali kalau Ji-wi sudi membantu perjuangan kami untuk menentang pemerintah penjajah Mancu!" kata Siangkoan Liong.

Kam Hong tersenyum, diam-diam memuji kecerdikan pemuda itu, dan dia menjawab dengan cerdik, "Kami mendengar akan gerakan pemberontakan yang dipelopori oleh Tiat-liong-pang, tidak tahu apakah Ji-wi ada hubungannya dengan Tiat-liong-pang?" Kemudian disambungnya, "Kami pernah mendengar bahwa Siangkoan Tek, ketua Tiat-liong-pang, adalah seorang yang gagah."

"Dia adalah ayah saya!" kata Siangkoan Liong dengan cepat, girang bahwa kakek itu mengenal ayahnya dan menyebut ayahnya orang gagah.

Kam Hong mengangguk-angguk dan memandang kepada isterinya, lalu berkata, seolah-olah kepada isterinya, "Sungguh aneh sekali. Sepanjang pendengaran kita, sekarang Tiat-liong-pang bersekutu dengan orang-orang golongan sesat, bagaimana bisa begitu?"

Bu Ci Sian mendengus. "Huh, kalau perjuangan sudah dikotori dengan masuknya kaum sesat, jelas bahwa perjuangan itu tidak bersih lagi, hanya merupakan pemberontakan yang berpamrih demi kepentingan pribadi atau golongan. Aku tidak bisa percaya gerakan macam itu!"

"Maaf, maaf....!" kata Ouwyang Sianseng. "Dalam gerakan perjuangan tidak terdapat istilah golongan jahat atau golongan baik, kaum hitam atau kaum putih. Yang penting kita haruslah mengumpulkan seluruh kekuatan dari rakyat jelata untuk menentang pemerintah penjajah. Yang penting, tujuan kita adalah baik, yaitu menumbangkan penjajahan, adapun caranya dapat mempergunakan cara apa saja agar berhasil."

Kam Hong tertawa, merasa bahwa lawannya terjebak. "Ha, sobat baik, bagaimana mungkin cara yang kotor dapat menghasilkan tujuan yang bersih? Yang penting bukanlah tujuannya, melainkan caranya itulah! Kalau caranya kotor, maka kami tidak ingin mengotorkan tangan membantunya, bahkan sudah menjadi kewajiban kami untuk menentangnya. Kalau kalian bersekutu dengan kaum sesat untuk membunuhi para perwira dan panglima, maka terpaksa kami akan menentang kalian!"

Habislah kesabaran Ouwyang Sianseng. Kalau tadi dia bersikap sabar hanya karena dia menghargai kakek dan nenek itu dan kalau mungkin menarik orang-orang pandai sebanyak mungkin untuk membantu gerakannya. Kini, mendengar ucapan Kam Hong, dia pun maklum bahwa akan percuma saja membujuk kakek dan nenek itu untuk bekerja sama kalau pendiriannya seperti itu.

"Bagus! Kalau begitu ternyata kalian adalah pengkhianat penjual negara kepada orang Mancu dan layak mati di tanganku!" berkata demikian, Ouwyang Sianseng lalu menggerakkan kipasnya, melakukan totokan bertubi dengan cepat sekali ke arah tujuh jalan darah terpenting di bagian tubuh atas depan dari lawannya. Melihat gerakan serangan ini, diam-diam Kam Hong terkejut dan dia pun maklum bahwa lawannya ini sungguh lihai dan sama sekali tidak boleh dipandang ringan.

Sementara itu, melihat betapa gurunya menyerang kakek lawan, Siangkoan Liong juga menggerakkan pedangnya, menerjang ke arah nenek yang sejak tadi memandang penuh perhatian. Bu Ci Sian tidak terkejut melihat datangnya serangan pedang secepat kilat itu. Begitu tangannya bergerak, nampak sinar keemasan berkelebat dan tangannya sudah memegang sebatang suling emas, tidak sebesar milik suaminya, akan tetapi cukup panjang untuk menjadi sebuah senjata yang digerakkan seperti pedang. Siangkoan Liong yang terkejut ketika tiba-tiba saja matanya silau oleh sinar kuning emas yang mengeluarkan suara mendegung mengerikan dan tahu-tahu dari gulungan sinar emas itu mencuat sinar yang menyambar-nyambar ke arahnya. Dia harus memutar pedangnya secepatnya untuk menarik serangan dan mengubah gerakannya menjadi gerakan pertahanan, membentuk gulungan sinar seperti payung yang menjadi perisai dan pelindung tubuhnya.

"Trang-cringgg....!" Kembali Siangkoan Liong terkejut karena tangannya tergetar dan pada saat itu, tangan kiri nenek itu sudah mendorong dan keluarlah hawa panas sekali ke arahnya. Siangkoan Liong adalah seorang pemuda perkasa, dengan ilmu silat yang tinggi, maka menghadapi pukulan jarak jauh yang mengandung sin-kang panas ini dia pun cepat mengelak dan mengibaskan lengan kirinya menyampok dan menangkis, lalu pedangnya berkelebat membalas serangan nenek itu dengan tusukan yang dahsyat. Nenek itu juga maklum akan datangnya tusukan maut, maka dengan amat lincahnya, tubuh nenek itu sudah meliuk dan menghindar, lalu dari samping membalas dengan ujung suling yang menotok tiga kali bertubi-tubi ke arah leher, pundak, lalu lambung! Repot juga Siangkoan Liong menghadapi totokan berbahaya ini dan hanya dengan keadaan terhimpit dan terdesak dia mampu menghindarkan diri lalu memutar pedangnya dan membalas dengan gerakan dahsyat dan sengit karena dia merasa penasaran dan marah sekali.

Ketika Ouwyang Sianseng melakukan totokan ke arah tubuh atas Kam Hong dengan gagang kipasnya, tiba-tiba saja kipasnya bertemu dengan sebatang kipas lain yang dipegang oleh tangan kiri Kam Hong. Ouwyang Sianseng terkejut akan tetapi juga kagum dan gembira. Kiranya lawannya ini pun agaknya pandai mempergunakan kipas sebagai senjata! Ouwyang Sianseng lalu mengeluarkan kepandaiannya, kipasnya bergerak-gerak dengan cepatnya. Kipas itu bagaikan seekor kupu-kupu raksasa, beterbangan, kadang-kadang terbuka sayapnya, kadang-kadang tertutup dan kalau terbuka sayapnya, kipas menyambar mendatangkan angin yang kuat, kalau tertutup sayapnya, gagang kipas meluncur dengan totokan-totokan maut! Diam-diam Kam Hong kagum sekali dan dia pun menggerakkan kipasnya dan mainkan ilmu kipas Lo-hai San-hoat (Ilmu Kipas Pengacau Lautan) yang hebat dan kuat. Dengan ilmu itu, Kam Hong juga ingin menguji ilmu kepandaian lawan.

Ouwyang Sianseng juga kagum. Ternyata lawannya ini memiliki ilmu permainan kipas yang kuat dan tangguh, maka dia pun cepat menggerakkan tangan kanannya, membantu kipasnya dengan pukulan-pukulan tangan miring yang menjadi demikian kuat tiada ubahnya sebatang pedang, membabat dan mengeluarkan suara bercuitan. Terkejutlah Kam Hong. Sungguh seorang lawan yang amat tangguh. Sudah lama sekali dia tidak pernah bertemu lawan setangguh ini, maka dia pun cepat menggerakkan tangan kanannya dan nampaklah sinar kuning emas bergulung-gulung, dibarengi suara suling yang melagu seperti ditiup saja. Padahal suling itu mengeluarkan suara hanya karena digerakkan oleh Kam Hong. Sinar terang menyambar bagaikan kilat dari atas mengarah kepala Ouwyang Sianseng. Orang ini terkejut, menangkis dengan kipasnya dan akibatnya, dia terhuyung! Dia segera meloncat ke belakang.

"Tahan!" serunya kaget dan dia memandang penuh perhatian. Kam Hong menghentikan gerakannya, tersenyum menanti, kipas di tangan kiri, suling emas di tangan kanan, sikapnya halus namun gagah sekali, membuat Ouwyang Sianseng merasa gentar juga.

"Kau kau     Pendekar Suling Emas....?" tanyanya, suaranya agak gemetar saking tegangnya.

Kam Hong tersenyum, bukan senyum bangga, melainkan merasa betapa lucunya segala macam julukan itu, seperti kanak-kanak manja yang ingin dipuji saja!

"Dulu orang menyebut aku seperti itu, akan tetapi sekarang aku hanyalah seorang tua bangka yang sebetulnya tidak ingin lagi mempergunakan senjata, kalau tidak terpaksa. Serangan-seranganmu berbahaya, engkau seorang yang memiliki kepandaian tinggi dan terpaksa aku harus mengeluarkan kedua senjataku ini."

Biarpun belum berkelahi dengan sungguh-sungguh, namun Ouwyang Sianseng merasa gentar. Dia sudah mendengar akan nama besar Pendekar Suling Emas, dan sudah mendengar pula betapa isteri pendekar itu pun merupakan adik seperguruan yang lihai. Ketika dia melirik, dia melihat betapa Siangkoan Liong repot bukan main menghadapi gulungan sinar kuning emas dari suling di tangan nenek itu, maka dia pun membentak, "Siangkoan Liong, mundur dan jangan kurang ajar di depan orang pandai!"

Mendengar bentakan suhunya, Siangkoan Liong merasa heran, akan tetapi juga lega dan dia pun cepat meloncat mundur mendekati gurunya. Dia sudah terdesak hebat dan kini dia dapat menghentikan perkelahian itu tanpa merasa meninggalkan gelanggang karena dia dilarang gurunya! Jadi dia berhenti sebelum kalah. Melihat lawannya mundur, Bu Ci Sian yang kini telah berubah wataknya menjadi penyabar seperti suaminya, lalu tersenyum dan berdiri di samping suaminya. Kalau mengingat wataknya ketika gadis dahulu, tentu ia tidak akan berhenti sebelum lawannya kalah dan akan mendesak terus!

Ouwyang Sianseng berkata kepada muridnya, sekedar untuk membuyarkan suasana penuh pertentangan tadi, "Ketahuilah, bahwa Locianpwe ini bukan lain adalah Pendekar Suling Emas dan isterinya yang namanya sudah terkenal di seluruh dunia sebagai pendekar-pendekar yang berbudi dan gagah perkasa." Lalu dia menjura kepada Kam Hong dan isterinya, diikuti pula oleh Siangkoan Liong yang sudah cepat-cepat menyimpan kembali pedangnya.

"Saudara yang perkasa," kata Ouwyang Sianseng, "kami sudah mendengar bahwa saudara dan isteri saudara adalah pendekar-pendekar perkasa, oleh karena itu, dengan segala kehormatan kami mengundang Ji-wi untuk bekerja sama dengan kami, bersama-sama menentang pemerintah penjajah dan membasmi mereka untuk menyelamatkan tanah air dan bangsa...."

"Cukup," kata Kam Hong dengan alis berkerut. "Sudah kami katakan tadi, kalau gerakan kalian itu didukung oleh para tokoh sesat, maka itu merupakan suatu pemberontakan berpamrih demi kepentingan golongan sendiri, dan kami sudah pasti tidak akan suka bekerja sama, bahkan akan menentangnya."

Ouwyang Sianseng tersenyum pahit. "Terserah kalau demikian penilaianmu! Sudahlah, Siangkoan Liong, mari kita pergi!" katanya dan sekali meloncat, dia pun sudah lenyap, demikian cepatnya gerakan kakek ini. Siangkoan Liong juga meloncat dan berlari cepat mengejar gurunya yang sudah berada jauh di depan.

Kam Hong menarik napas panjang. "Hebat sekali kepandaian orang itu!"

"Orang muda itu pun lihai sekali!" kata pula isterinya.

Panglima yang tadi hampir celaka di tangan guru dan murid yang lihai itu, kini menghampiri mereka dan di depan Kam Hong, dia lalu memberi hormat dengan hati terharu, "Kalau bukan Ji-wi Taihiap yang muncul dan menolong, tentu kami semua telah tewas di tangan Ouwyang Sianseng dan Siangkoan Liong itu. Kami menghaturkan terima kasih kepada Ji-wi Taihiap dan mohon tanya nama besar Ji-wi. Kami sendiri adalah Panglima Liu, utusan dari kota raja yang hendak menyelidiki peristiwa aneh yang terjadi di benteng pasukan pemerintah di utara."

Kam Hong dan Bu Ci Sian membalas penghormatan itu dengan sederhana. Bagaimanapun juga, mereka berdua tidak mempunyai perasaan bersahabat dengan para pembesar pemerintah Mancu yang menjajah tanah air mereka. Akan tetapi Kam Hong tertarik juga untuk menyelidiki keadaan para pemberontak yang bersekutu dengan tokoh-tokoh sesat.

"Liu Tai-ciangkun, sebenarnya apakah yang telah terjadi. Mengapa kedua orang tadi menghadang rombongan Ciangkun di sini dan membunuh?" tanya Kam Hong.

"Di perbentengan utara terjadi kehebohan karena banyak sekali perwira-perwira dan panglima yang setia kepada pemeritah tiba-tiba lenyap, dan kedudukan mereka diganti oleh orang-orangnya Coa-ciangkun yang memimpin sebagian dari pasukan di utara. Coa-ciangkun menurut laporan yang kami terima, dicurigai mengadakan hubungan dengan Tiat-liong-pang yang akan memberontak. Maka, kami diutus dengan wewenang penuh dari raja untuk melakukan penyelidikan dan menangkap mereka yang bersalah dan berkhianat. Kami sudah mendapat laporan lengkap tentang Tiat-liong-pang dan tentang hubungan Coa-ciangkun dengan para pemberontak. Oleh karena itu, kami tahu bahwa dua orang tadi adalah Ouwyang Sianseng atau juga dikenal dengan nama Nam San Sianjin, dan yang muda itu adalah Siangkoan Liong, putera dari Siangkoan Lohan ketua Tiat-liong-pang. Tentu saja mereka hendak membunuh kami karena mudah diduga bahwa Tiat-liong-pang atau para pemberontak yang bersekutu dengan Coa-ciangkun itulah yang telah menculik dan membunuhi para perwira dan panglima yang setia kepada pemerintah, untuk diganti dengan kaki tangan mereka sendiri agar pasukan mudah dikuasai untuk membantu gerakan pemberontakan."

Kam Hong mengerutkan alisnya. Biarpun dia sendiri tentu saja sama sekali tidak berniat untuk membantu tegaknya pemerintah penjajah Mancu, akan tetapi gerakan Tiat-liong-pang yang didukung para tokoh dunia hitam ini amatlah berbahaya bagi keselamatan rakyat jelata dan dia harus ikut menentangnya, bukan untuk membantu pemerintah, melainkan untuk membasmi para tokoh sesat yang tentu hendak memancing di air keruh itu.

"Kalau begitu berbahaya sekali. Biarpun Ciangkun sudah terhindar dari bahaya di sini, akan tetapi kedua orang itu tentu akan menghubungi panglima yang menjadi sekutunya dan sebelum Ciangkun tiba di benteng, tentu akan dihadang dan dibunuh."

Panglima Liu mengangguk-angguk, saling pandang dengan empat orang pengawal pribadinya yang tadi mati-matian mempertahankan keselamatan atasan mereka dari serangan guru dan murid itu.

"Baiklah, kita mencari jalan bagaimana baiknya. Mari, silakan duduk di sana, karena kami mohon bantuan Ji-wi untuk mencari jalan keluar yang baik, sementara empat orang pengawalku biar mengubur jenazah belasan orang anggauta pasukan pengawal itu."

Panglima besar Liu mengajak Kam Hong dan Bu Ci Sian bercakap-cakap di bawah pohon, sedangkan empat orang pengawal itu menggali sebuah lubang besar untuk mengubur belasan orang rekan mereka yang tewas dalam pertempuran tadi.

Sambil duduk di bawah pohon, panglima besar Liu bercakap-cakap dengan kakek dan nenek pendekar itu, minta pendapat dan nasihat mereka. Setelah mendengar semua penjelasan panglima itu, Kam Hong lalu mengajukan siasat, yaitu agar Liu Tai-ciangkun dan empat orang pengawal pribadinya bersembunyi dulu di dalam hutan, ditemani dan dilindungi oleh Bu Ci Sian. Sedangkan Kam Hong sendiri akan membawa surat panglima itu menemui Pouw-ciangkun, yaitu perwira yang telah mengirim laporan kepada para pembesar di kota raja. Kam Hong akan mengajak perwira Pouw itu keluar dari benteng dan menjumpai Liu Tai-ciangkun dan kemudian akan diatur rencana sebaiknya untuk menyambut kedatangan panglima besar itu agar dapat memasuki benteng tanpa gangguan dari pihak pengkhianat dan pemberontak. Setelah masuk ke dalam benteng, dikawal oleh Kam Hong dan isterinya, maka panglima dan perwira yang bersekutu dengan Tiat-liong-pang dapat diringkus sebelum mereka dapat melakukan gerakan.

Setelah penguburan itu selesai, Kam Hong dan isterinya mengajak Panglima Liu masuk ke dalam hutan dan memilih tempat yang baik untuk bersembunyi, yaitu di sebuah gua. Kemudian, Kam Hong meninggalkan mereka untuk menyelundup ke dalam benteng. Dengan ilmu kepandaiannya yang tinggi, tidak sukar bagi Kam Hong untuk menyelundup, ke dalam benteng tanpa diketahui para penjaga, melompati pagar tembok benteng dan mencari perwira Pouw!

Dapat dibayangkan betapa kagetnya perwira Pouw yang sedang tidur di dalam kamarnya seorang dari ketika tiba-tiba saja ada orang mengguncang tubuhnya dan ketika dia terbangun, dia melihat seorang kakek sastrawan sudah berdiri di dekat pembaringannya. Akan tetapi kakek itu memberi isyarat agar dia tidak mengeluarkan suara.

"Tenanglah, Pouw-ciangkun, aku datang bukan dengan niat buruk. Aku adalah utusan dari panglima besar yang datang dari kota raja."

Wajah Pouw-ciangkun yang tadinya sudah pucat itu menjadi agak merah kembali. Tadinya dia mengira bahwa tentu orang ini masuk ke kamarnya untuk menculik dan membunuhnya, seperti yang telah terjadi pada belasan orang rekannya yang lenyap tanpa meninggalkan bekas. Mendengar kata-kata itu, dia terkejut dan heran, lalu bangkit duduk, masih belum lenyap kekhawatirannya. Kam Hong maklum akan kegelisahan perwira itu, maka cepat dia mengeluarkan sebuah sampul yang ada cap dari Panglima Besar Liu, dan menyerahkannya kepada perwira itu.

"Nah, inilah surat dari beliau untukmu, Pouw-ciangkun."

Perwira itu menerima sampul, memeriksanya dan hatinya menjadi semakin lega ketika dia melihat bahwa memang benar cap pada sampul itu adalah cap dari Panglima Besar Liu yang dikenalnya sebagai seorang panglima yang jujur dan adil, juga bertangan besi terhadap para pemberontak.

"Akan tetapi, mengapa Liu-tai-ciangkun tidak langsung saja datang bersama pasukan pengawalnya ke sini? Kenapa harus mengutus Locianpwe?" Pouw-ciangkun menggunakan sebutan penghormatan ini karena dia maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang kakek yang berilmu tinggi sehingga malam itu dapat tiba-tiba saja muncul di dalam kamarnya seperti setan. Bagaimanapun juga, dia masih sangsi karena peristiwa ini terlalu aneh baginya.

Kam Hong maklum akan keraguan perwira itu. "Liu-ciangkun dan pasukan pengawalnya dihadang oleh Ouwyang Sianseng dan Siangkoan Liong di dalam perjalanan dan belasan orang pasukan pengawalnya tewas semua. Hanya beliau dan empat orang pengawal pribadi yang masih hidup ketika aku dan isteriku datang membantunya. Karena kami maklum bahwa nyawanya masih terancam, maka akulah yang datang mengantar suratnya, dan isteriku melindunginya di tempat persembunyian."

Mendengar ini, terkejutlah Pouw-ciangkun. Kini dia percaya dan cepat dibuka dan dibacanya surat itu. Ternyata Liu-tai-ciangkun memanggilnya, sekarang juga agar dia ikut dengan kakek sakti ini. Tanpa banyak cakap lagi Pouw-ciangkun lalu diam-diam memanggil tiga orang rekannya, yaitu para perwira lain yang setia kepada pemerintah. Tiga orang perwira itu pun terkejut melihat Kam Hong, akan tetapi ketika mereka mendengar keterangan Pouw-ciangkun, mereka lalu mengatur siasat dengan Pouw-ciangkun.

"Malam ini aku akan pergi menghadap Liu-tai-ciangkun bersama Locianpwe ini dan kalian harus dapat merahasiakan kepergianku ini. Aku akan mengambil jalan rahasia kita, dan mungkin besok malam aku baru kembali." kata Pouw-ciangkun. Para rekannya menyetujui dan demikianlah, Pouw-ciangkun lalu pergi bersama Kam Hong, melalui jalan rahasia di belakang benteng. Tanpa diketahui orang lain, mereka berdua pergi meninggalkan benteng dan lewat tengah malam, mereka tiba di dalam hutan di mana Liu-tai-ciangkun bersembunyi di dalam gua dijaga oleh empat orang pengawal pribadi dan juga nenek Bu Ci Sian.

Pouw-ciangkun cepat memberi horinat kepada atasannya itu dan mereka bersama Kam Hong dan Bu Ci Sian, segera mengadakan perundingan dan mengatur siasat. Pouw-ciangkun menceritakan betapa keadaan sudah amat berbahaya karena kekuasaan Coa-tai-ciangkun kini menjadi semakin besar. Tidak kurang dari dua puluh orang perwira yang menjadi bawahannya dan yang menyetujui persekutuannya dengan Tiat-liong-pang, termasuk mereka yang diangkat untuk menggantikan para perwira setia yang diculik.

"Bagaimana dengan pasukannya sendiri?" tanya Liu-ciangkun, terkejut juga mendengar akan hal itu.

"Sudah saya selidiki, Tai-ciangkun. Para anggauta pasukan agaknya belum tahu akan niat Coa-ciangkun yang bersekutu dengan para pemberontak. Akan tetapi, pasukan yang bertugas di utara adalah pasukan istimewa yang selalu mentaati perintah atasan tanpa banyak bertanya. Jadi, kalau para perwiranya sudah dapat dikuasai Coa-ciangkun, maka dengan sendirinya pasukannya juga akan taat akan segala perintahnya. Mereka takkan mundur walaupun diperintah untuk menyerbu pasukan pemerintah sendiri!"

"Berapa jumlah seluruh pasukan yang berjaga di tapal batas utara?"

"Yang sudah siap di benteng adalah pasukan-pasukan inti yang jumlahnya kurang lebih selaksa orang. Pasukan cadangan berada di benteng sebelah selatan, akan tetapi mereka itu biasanya kurang siap dan kurang kuat karena merasa jauh dari bahaya, tidak seperti pasukan inti yang berada di tapal batas."

"Dan berapa banyak yang telah dipengaruhi Coa-ciangkun?"

"Melihat jumlahnya perwira, kurang lebih separuh yang telah dikuasainya. Yang separuh lagi, sebagian masih setia kepada kerajaan, ada sebagian yang bimbang dan gelisah karena adanya penculikan-penculikan itu."

Liu-ciangkun mengangguk-angguk. "Engkau kembali ke benteng dan hubungi para rekan yang setia, agar mereka siap siaga. Lalu aturlah agar terdapat pasukan khusus yang menyambut kedatanganku yang akan dikawal oleh kedua Locianpwe ini. Dengan adanya penyambutan pasukan khusus yang cukup besar jumlahnya, apalagi adanya kedua Locianpwe ini, tentu para penjahat itu tidak berani turun tangan. Kemudian, di sana aku akan memanggil semua perwira dan panglima untuk berkumpul dan mengadakan rapat. Nah, pada saat itulah aku akan mengumumkan penangkapan terhadap mereka. Engkau harus sudah mempersiapkan pasukan yang setia untuk mengepung tempat pertemuan itu sehingga mereka tidak akan mampu lolos. Kemudian, akan kuangkat perwira-perwira baru yang setia, dan semua gerakan ini harus dirahasiakan, jangan sampai bocor agar jangan diketahui oleh pihak Tiat-liong-pang. Selanjutnya akan kuatur nanti. Demikianlah Liu-tai-ciangkun mengambil keputusan setelah berunding dengan Kam Hong dan Bu Ci Sian.

Untuk menjaga keselamatannya agar semua rencana dapat berjalan dengan lancar, Pouw-ciangkun kembali ditemani Kam Hong ketika kembali ke benteng, juga melalui jalan rahasia di belakang benteng setelah melihat betapa Pouw ciangkun kembali dengan selamat tanpa diketahui siapapun, Kam Hong lalu kembali dan mereka semua menanti datangnya pasukan yang akan mengadakan penyambutan.

Pouw-ciangkun berunding dengan para rekannya, kemudian mengumumkan bahwa Liu-tai-ciangkun akan datang berkunjung ke benteng, maka dia dan para rekannya lalu mempersiapkan dua ratus orang pasukan khusus untuk keluar benteng melakukan penyambutan. Tentu saja diam-diam Coa-tai-ciangkun sudah mendengar dari sekutunya akan datangnya Lui-tai-ciangkun dari kota raja yang pangkatnya lebih tinggi darinya, bahkan yang membawa surat kuasa dari para penguasa di kota raja. Dia tidak berdaya untuk menghalangi kunjungan ini, akan tetapi karena merasa bahwa kekuasaannya di benteng amat besar, dia tidak merasa khawatir, bahkan oleh Ouwyang Sianseng dianjurkan untuk menerima utusan kota raja itu dalam benteng. Nanti kalau gerakan dimulai, akan mudah menyergap Lui-tai-ciangkun, demikian pendapat Ouwyang Sianseng. Andaikata pasukan penyambut tidak begitu besar, tentu Coa-tai-ciangkun dan para rekannya akan turun tangan menghadang dan membasmi pasukan penyambut dan membunuh utusan kota raja itu. Akan tetapi pasukan yang dikumpulkan dan dikerahkan Pouw-ciangkun itu berjumlah dua ratus orang dan merupakan pasukan khusus, maka tentu saja hal ini akan sukar dilaksanakan tanpa terjadi pertempuran besar yang tentu akan mengguncangkan benteng itu dan akan memecah belah pasukan sehingga akan terjadi perang saudara sendiri yang akan menghancurkan seluruh pasukan!

Ketika pasukan khusus itu memasuki hutan, muncullah Liu Tai-ciangkun bersama empat orang pengawal pribadi, ditemani pula oleh kakek dan nenek itu yang selalu siap siaga, menjaga segala kemungkinan. Namun, penyambutan berjalan lancar dan dengan kehormatan, Lui Tai-ciangkun dikawal oleh pasukan itu memasuki benteng.

Begitu memasuki benteng dan disambut oleh semua perwira dan panglima, Liu Tai-ciangkun berkata dengan suara lantang, "Kami datang membawa perintah dari kota raja! Kami akan mengadakan rapat rahasia dengan seluruh pimpinan di benteng ini. Tidak seorang pun dari luar, kecuali kedua Locianpwe ini, yang boleh berada di dalam benteng. Pintu benteng harus ditutup dan dijaga ketat agar tidak ada orang luar dapat masuk. Kuperingatkan pasukan yang menjemputku tadi agar dibagi dan melakukan penjagaan membantu para penjaga di semua pintu benteng! Sekarang, kuperintahkan agar semua perwira dan panglima berkumpul di ruangan rapat pusat!"

Karena utusan dari kota raja itu memperlihatkan pula surat kuasa yang dibawanya dari kota raja, maka tak seorang pun perwira berani membantah, bahkan Coa Tai-ciangkun tidak membantah. Dia merasa lega karena sikap panglima tinggi dari kota raja itu sama sekali tidak memperlihatkan kecurigaan kepadanya, dan tidak memperlihatkan tanda-tanda bahwa utusan itu akan melakukan tindakan-tindakan. Maka dia pun memberi isyarat kepada para kaki tangannya untuk mematuhi perintah itu, untuk melihat perkembangan selanjutnya sebelum dia mengambil keputusan untuk bergerak.

Semua perwira berkumpul di dalam ruangan rapat yang luas itu, dan diam-diam pasukan yang khusus dipersiapkan oleh Pouw-ciangkun dan para rekannya seperti yang telah direncanakan oleh Liu-tai-ciangkun, mulai mengepung ruangan rapat itu. Ada lima ratus orang pasukan dikerahkan, mengepung rapat tempat itu bukan hanya untuk mencegah mereka yang berada di dalam menerobos keluar, juga untuk menjaga kalau-kalau ada kaki tangan pemberontak yang menyerbu untuk membebaskan mereka yang berada di dalam ruangan rapat! Dan semua ini berlangsung diam-diam tanpa keributan seperti yang diperintahkan Liu-tai-ciangkun sehingga tidak ada seorang pun di antara para perwira yang mengetahui bahwa tempat itu sudah dikepung dengan ketat oleh pasukan. Tentu saja yang mengetahui hanya Liu-tai-ciangkun, Pouw-ciangkun dan para rekan-rekannya yang melaksanakan siasat itu.

Suasana dalam rapat itu tenang setelah semua orang mengambil tempat duduk. Ada tiga puluh orang lebih perwira menengah dan perwira tinggi, dan semua kursi menghadap ke arah panggung di mana duduk Liu-tai-ciangkun yang dikawal hanya oleh kakek dan nenek yang duduk tenang di belakangnya itu. Tidak ada anggauta pasukan pengawal menjaga panglima tinggi ini. Dan kakek nenek itu kelihatannya sudah tua dan lemah, bahkan sama sekali tidak nampak membawa senjata.

Setelah menghitung jumlah perwira. Liu-tai-ciangkun membuka persidangan itu dengan pertanyaan. "Mengapa yang hadir hanya ini? Di mana lagi yang lain? Bukankah di sini terdapat perwira-perwira yang jumlahnya ada lima puluh orang?" Lalu dia memandang ke arah Coa Tai-ciangkun yang duduk di deretan paling depan. "Coa-ciangkun, setelah dua orang panglima lainya tidak hadir, maka engkaulah perwira paling tinggi pangkatnya di sini. Nah, aku ingin mendengar laporanmu di mana adanya belasan orang perwira lainnya itu dan mengapa pula mereka tidak hadir!"

Wajah Coa Tai-ciangkun berubah merah. Dia merasa heran mengapa utusan kota raja ini masih berpura-pura. Dia yakin bahwa tentu ada di antara para perwira yang melapor ke kota raja dan tentu dalam laporan itu sudah disebutkan akan lenyapnya belasan orang perwira secara aneh. Mengapa Liu Tai-ciangkun masih berpura-pura bodoh dan bertanya kepadanya? Namun, dengan sikap tenang dia lalu bangkit berdiri, memberi hormat secara militer dan melapor dengan suaranya yang lantang.

"Lapor kepada Liu Tai-ciangkun! Empat belas orang perwira dan panglima yang pada hari ini tidak hadir, telah lenyap dalam waktu selama dua bulan ini. Mereka lenyap secara aneh dan biarpun kami sudah mencari-carinya, namun tidak berhasil menemukan di mana mereka berada, sudah mati ataukah masih hidup!"

Liu Tai-ciangkun mengerutkan alisnya. "Hemmm, mana mungkin ada belasan orang perwira lenyap begitu saja dari dalam benteng tanpa diketahui orang sama sekali ke mana perginya?"

"Kami semua sudah berusaha mencari dan menyebar penyelidik, namun tidak berhasil. Kami telah menunjuk perwira-perwira pengganti untuk sementara, dan karena mereka belum dilantik dan disahkan, maka tidak kami hadirkan di tempat ini."

"Hemmm, sungguh kacau balau dan menyedihkan! Kehilangan belasan orang perwira tanpa dapat diketahui ke mana mereka pergi hanya menunjukkan kelemahan para pemimpin yang menguasai perbentengan ini. Perlu diadakan perombakan seperlunya! Sekarang kami hendak mengadakan pemilihan, dan perwira yang namanya kami sebut, harap suka berdiri di bagian kiri ruangan ini!? Mendengar suara Liu Tai-ciangkun yang penuh wibawa, semua perwira yang hadir saling pandang dan merasa tegang, bahkan Coa Ciangkun sendiri merasa tidak enak, akan tetapi dia tidak tahu apa yang akan dilakukan selanjutnya oleh utusan kota raja itu, maka dia pun tidak dapat berbuat sesuatu kecuali saling pandang dengan para anak buahnya. Selagi masih kebingungan karena tidak tahu harus berbuat apa, tiba-tiba terdengar suara Liu Tai-ciangkun yang lantang memanggil namanya!

"Panglima Coa Seng! Silakan berdiri di bagian kiri sana!"

Tentu saja Coa Tai-ciangkun semakin kaget, akan tetapi dia tidak dapat berbuat lain kecuali bangkit berdiri dari tempat duduknya, memandang ke sekeliling, kemudian kepada Liu Tai-ciangkun yang dengan tangannya mempersilakan dia pergi ke bagian kiri ruangan itu, di mana sudah ada bangku-bangku kosong menunggu. Dengan senyum menghias bibirnya dan sikap yang tenang karena dia percaya akan kekuasaannya, Coa Tai-ciangkun yang bernama Coa Seng itu lalu melangkah dan duduk di bangku terdepan dari tempat yang ditunjuk itu.

"Perwira Song Pun Ki!" Disebutnya nama ke dua ini membuat jantung Coa Tai-ciangkun berdebar tegang. Kenapa kebetulan sekali yang disebut sebagai orang ke dua adalah Song-ciangkun, perwira berkumis tebal yang menjadi tangan kanannya dalam persekutuannya degan pihak Tiat-liong-pang? Apakah ini hanya kebetulan saja? Akan tetapi, seperti juga dia, Song-ciangkun tidak dapat membantah dan dia pun lalu bangkit, lalu berjalan dengan langkah lebar, lalu duduk di dekat Coa Tai-ciangkun, sejenak mereka saling pandang, akan tetapi tentu saja tidak sempat untuk bicara.

Nama demi nama dipanggil dan keadaan menjadi semakin menegangkan karena ternyata bahwa nama-nama yang dipanggil ini adalah nama-nama para perwira yang menjadi anak buah Coa Tai-ciangkun, yaitu para perwira yang sudah setuju untuk bersama Tiat-liong-pang melakukan pemberontakan!

Setelah dua puluh dua orang perwira dipanggil dan berkumpul di bagian kiri ruangan itu, panggilan dihentikan oleh Liu Tai-ciangkun dan panglima tinggi ini lalu bangkit berdiri. Sambil memandang ke arah para perwira yang duduk di ruangan sebelah kiri, dan dengan suara lantang, Panglima Liu itu lalu berkata dengan tegas, "Panglima Coa Seng dan semua perwira yang telah berkumpul di sebelah kiri, semua sebanyak dua puluh dua orang, atas nama Kaisar, dengan wewenang yang ada pada kami selaku utusan yang berkuasa penuh, kami menangkap dan menahan kalian dengan tuduhan memberontak!"

Coa-ciangkun, Song-ciangkun dan rekan-rekannya serentak bangkit berdiri, ada pula yang mencabut pedang. Akan tetapi pada saat itu nampak bayangan dua orang berkelebat cepat sekali. Tahu-tahu, kakek Kam Hong dan isterinya, nenek Bu Ci Sian, sudah meloncat ke arah sekumpulan perwira yang hendak ditangkap itu. Pada saat itu, Coa-ciangkun dan Song-ciangkun sudah siap memberontak bersama rekan-rekannya, dan memberi tanda kepada anak buah mereka yang berada di luar. Bahkan mereka sudah mencabut pedang masing-masing.

Akan tetapi, tiba-tiba saja Coa-ciangkun roboh terkulai, terkena totokan jari tangan kakek Kam Hong, sedangkan Song-ciangkun demikian pula, roboh tertotok oleh nenek Bu Ci Sian! Para perwira lainnya segera menyerang dan hendak memberontak di ruangan itu, maka kakek Kam Hong dan nenek Bu Ci Sian bergerak cepat merobohkan beberapa orang. Pada saat itu, pasukan yang sudah siap di luar dan mengepung tempat itu, menerjang masuk dan dengan mudah, tanpa banyak menimbulkan kegaduhan, apalagi karena dibantu oleh Kam Hong dan Bu Ci Sian, dua puluh dua orang perwira pemberontak itu dapat dilumpuhkan, diborgol kedua tangan mereka dan menjadi tawanan! Semua ini berlangsung tanpa diketahui orang luar.

Liu Tai-ciangkun lalu memerintahkan agar menjaga ketat benteng itu dan melarang semua anggauta pasukan keluar dari dalam benteng. Ternyata perintahnya ini membawa hasil dengan ditangkapnya puluhan orang anak buah pasukan, perwira-perwira rendahan yang hendak melarikan diri keluar benteng. Mereka adalah anak buah Coa Tai-ciangkun yang mendengar akan penangkapan-penangkapan itu dan mereka hendak melarikan diri dan melapor kepada Tiat-liong-pang. Namun, berkat kesiapsiagaan sesuai dengan perintah Liu-tai-ciangkun, mereka semua tertangkap dan selanjutnya, dengan memaksa para tawanan ini, dengan mudah rekan-rekan mereka ditangkapi. Ternyata jaringan itu sudah cukup luas karena jumlah orang tawanan ada seratus orang lebih!

Liu-ciangkun lalu mengangkat perwira-perwira baru untuk menggantikan memegang pimpinan di dalam benteng itu, dan membersihkan semua unsur pemberontakan. Para tawanan dikawal dengan ketat oleh pasukan khusus, lalu dikirim ke kota raja untuk diadili. Semua ini terjadi tanpa kebocoran sehingga pihak Tiat-liong-pang sama sekali tidak mengetahuinya. Setelah penumpasan para perwira pemberontak di dalam benteng itu selesai, kakek Kam Hong dan isterinya, nenek Bu Ci Sian lalu meninggalkan benteng untuk melakukan penyelidikan ke Tiat-liong-pang karena mereka menduga bahwa besar sekali kemungkinan puteri mereka juga berada di antara para pendekar yang kabarnya juga bergerak menentang para tokoh sesat yang bersekutu dengan Tiat-long-pang untuk melakukan pemberontakan, seperti yang mereka dengar dari para penyelidik pasukan yang masih setia kepada pemerintah. Liu-ciangkun mengucapkan terima kasih dan ketika panglima ini hendak memberi hadiah berupa barang berharga dan emas, tentu saja kakek dan nenek itu menolak secara halus dan sekali berkelebat keduanya pergi tanpa pamit lagi.

***

Pengalamannya yang pahit ketika dia bertemu dengan kakek sakti Kam Hong dan isterinya itulah yang membuat Ouwyang Sianseng tidak mau membunuh tiga orang pendekar yang tertawan itu begitu saja. Dia tahu betapa di antara para pendekar terdapat banyak sekali orang sakti, dan bahwa dia harus mendapatkan lebih banyak pembantu yang memiliki kepandaian tinggi, karena kalau tidak, hanya mengandalkan pasukan saja akan sukarlah gerakan mereka itu akan berhasil dengan baik. Para pendekar yang menentang gerakannya harus dapat dihadapi dengan kekuatan yang memiliki ilmu silat tinggi pula. Maka, melihat betapa Hong Beng, Kun Tek dan Li Sian ketiganya adalah orang-orang muda yang memiliki ilmu silat tinggi, Ouwyang Sianseng merasa sayang kalau harus membunuh mereka begitu saja. Oleh karena itu, dia berusaha sedapat mungkin untuk membuat mereka bertiga itu tunduk dan takluk, kemudian suka membantu gerakan "perjuangan" mereka menjatuhkan pemerintah Mancu. Setelah memperlihatkan hukuman yang amat mengerikan kepada Cui Bi atau Nyonya Pouw Ciang Hin untuk membuat hati mereka bertiga itu ngeri, Ouwyang Sianseng meninggalkan mereka dan memberi waktu sehari semalam untuk memilih, yaitu mereka bertiga menakluk dan membantu gerakan perjuangan Tiat-liong-pang!

Setelah Ouwyang Sianseng dan Siangkoan Liong meninggalkan mereka bertiga, tiga orang muda itu saling pandang, Pouw Li Sian bergidik mengenang nasib yang menimpa diri bekas kakak iparnya tadi. Akan tetapi ia dapat membayangkan apa yang terjadi pada diri kakak iparnya itu setelah kakaknya terbunuh. Agaknya Siangkoan Liong menyuruh tangkap wanita itu dan dengan kepandaiannya merayu ditambah ketampanan dan kegagahannya, Siangkoan Liong telah berhasil menundukkan wanita yang agaknya tak dapat mempertahankan kehormatannya dan menyerahkan diri menjadi kekasih atau permainan Siangkoan Liong! Hal ini mudah dilihat tadi ketika kakak iparnya itu mencela dan memakinya, dan sikap wanita itu terhadap Siangkoan Liong. Sungguh pemuda berhati iblis! Ia sendiri telah menjadi korban rayuan pemuda jahat itu! Li Sian merasa menyesal sekali dan diam-diam ia bersumpah untuk membunuh pemuda itu sebelum ia mati.

Tiba-tiba terdengar suara Gu Hong Beng, halus namun penuh kesungguhan, ditujukan kepada ia dan Kun Tek. "Bagaimana pendapat kalian dengan pilihan yang mereka ajukan tadi?"

Mendengar pertanyaan ini, Li Sian meragu untuk menjawab, akan tetapi Cu Kun Tek, dengan suaranya yang besar dan lantang, segera menjawab tanpa banyak pikir lagi. "Pilihan yang mana? Bagiku tidak ada pilihan lain! Lebih baik mati daripada harus takluk kepada mereka! Menyerah dan membantu pemberontakan mereka? Huh, biar mereka membunuh aku seratus kali, aku tetap tidak akan sudi untuk menakluk!"

"Hemmm, jadi engkau memilih mati konyol di tangan mereka, Kun Tek? Bagaimana dengan pendapatmu, nona Pouw?"

Diam-diam Li Sian merasa kagum sekali melihat sikap Kun Tek. Pemuda tinggi besar ini tidak hanya gagah wajah dan tubuhnya, akan tetapi juga wataknya amat gagah perkasa, seorang pendekar perkasa sejati! Ia memandang kagum kepada pemuda itu dan mendengar pertanyaan Hong Beng, ia pun menoleh kepadanya.

"Bagi aku pun tidak ada pilihan lain. Aku tidak sudi menyerah dan menakluk kepada mereka!"

"Bagus sekali! Ha-ha-ha, jangan khawatir, Nona. Kita berdua tidak sudi menakluk, biarlah kalau Hong Beng takut mati dan ingin menakluk. Aku akan menemanimu sampai kita berdua dibunuh, kemudian nyawaku akan menemani nyawamu sampai selamanya. Jangan khawatir, nona Pouw, sekali bicara, aku akan memegang teguh janjiku, disaksikan Langit dan Bumi!"

Mendengar ini, wajah Pouw Li Sian menjadi agak pucat dan ia memandang kepada Kun Tek dengan mata terbelalak. Hatinya seperti ditusuk dan merasa terharu sekali.

"Saudara Cu Kun Tek.... engkau.... mengapa engkau berkata demikian? Mengapa....?" Ia bertanya agak gagap karena ia benar-benar merasa terkejut, heran dan bingung mendengar ucapan Kun Tek tadi. Akan tetapi Hong Beng hanya menahan senyumnya, karena pemuda ini sudah dapat menjenguk isi hati Kun Tek dan tahu bahwa Kun Tek telah jatuh hati kepada Pouw Li Sian.

Kun Tek adalah seorang pemuda yang keras hati, jujur dan dalam hal cinta mencinta, dia dapat dikatakan masih hijau. Selama hidupnya, pernah dia satu kali jatuh cinta, yaitu kepada seorang gadis bernama Can Bi Lan yang sekarang menjadi isteri Pendekar Suling Naga (baca kisah Suling Naga). Ketika cintanya gagal karena dia bertepuk tangan sebelah, dia merasa jera untuk mendekati gadis lagi sehingga sampai sekarang dia tidak pernah lagi mau bergaul dengan seorang gadis, sampai kini dia bertemu dengan Li Sian dan tergila-gila karena jatuh cinta! Saking jujurnya, maka di depan Hong Beng dia pun tidak merasa ragu-ragu lagi untuk membuat pengakuan, apalagi mengingat bahwa mereka menghadapi ancaman maut yang agaknya takkan terelakkan lagi itu.

"Nona Pouw Li Sian, aku kagum padamu, aku kasihan padamu, dan aku.... aku cinta padamu! Nah, lega rasanya hatiku setelah pengakuan ini. Kita akan mati bersama-sama, dan memang sebaiknya sebelum mati engkau mengetahui bahwa aku cinta padamu dan bersedia mati untukmu. Apalagi mati bersamamu, merupakan suatu kebahagiaan bagiku, Nona. Jangan khawatir, sampai mati pun, nyawaku pasti akan tetap mendampingimu, karena kata orang-orang bijaksana, cinta kasih tidak akan mati bersama badan!"

Kini wajah Li Sian berubah merah sekali, lalu berubah pucat lagi, dan merah lagi. Ia merasa begitu terharu sampai tak dapat membendung lagi turunnya air matanya yang deras. Betapa luhur budi pemuda ini, pikirnya, betapa jauh dibandingkan Siangkoan Liong! Cinta pemuda ini demikian murni dan agung, bukan sekedar nafsu terselubung kata-kata manis penuh rayuan, melainkan pernyataan cinta yang tulus dan bersih.

Melihat gadis itu tiba-tiba menangis dengan air mata bercucuran, seketika wajah Kun Tek menjadi pucat sekali. Dia khawatir kalau-kalau pernyataan cintanya yang terang-terangan itu malah menyinggung hati gadis ini yang tidak cinta padanya! Ingin rasanya dia memukul kepalanya sendiri! Dengan suara gemetar dia lalu berkata, "Aih, nona Pouw mohon kaumaafkan aku.... ah, mulutku lancang sekali, aku telah membuatmu menangis. Tentu engkau tersinggung. Aku sudah gila barangkali, bagaimana mungkin seorang kasar seperti aku berani mengaku cinta kepada seorang gadis seperti engkau? Maafkanlah aku, Nona...."

"Tidak, bukan begitu maksud tangisanku, saudara Cu Kun Tek! Ah, aku berterima kasih sekali, aku terharu sekali. Aku menangis karena.... karena terharu dan bahagia. Seorang pendekar gagah perkasa seperti engkau, Cu-taihiap (Pendekar Besar Cu), mencinta seorang gadis seperti aku? Aih, Taihiap, apakah engkau tidak keliru pilih?"

Kalau tadi wajah Kun Tek keruh dan berduka, kini seolah-olah ada sinar mencorong dari dalam, terutama sekali sepasang matanya yang bersinar-sinar!

Dia tertawa-tawa, suara ketawanya bebas lepas dan keluar langsung dari dalam perutnya, melepaskan semua keraguan dan kedukaan, menjadikannya gembira luar biasa dan segala sesuatu nampak indah.

"Ha-ha-ha, ah, nona Pouw, pertama-tama kumohon padamu, janganlah menyebut aku taihiap! Selain itu, jangan engkau merendahkan dirimu. Engkau sendiri seorang gadis perkasa dan tentang ilmu silat, belum tentu aku akan mampu menang darimu! Engkau membuat aku malu saja menyebutku taihiap. Aku tidak keliru, Nona, karena aku mengenal suara hatiku sendiri. Aku cinta padamu!"

"Tapi.... Toa-ko (Kakak), aku tidak berharga mendapatkan cintamu. Aku.... aku adalah seorang gadis yang hina, yang ternoda.... aku.... aku telah...." Ia tidak dapat melanjutkan kata-katanya karena duka telah menyergap perasaannya lagi ketika ia teringat betapa ia telah menjadi korban kebiadaban Siangkoan Liong.

"Aku tahu, Nona," kata Kun Tek, suaranya tenang saja seolah-olah yang mereka bicarakan itu tidak ada artinya baginya. "Aku telah mendengar apa yang dikatakan wanita itu, dan aku dapat menduga bahwa engkau tentu telah menjadi korban dari pemuda yang bernama Siangkoan Liong itu."

Li Sian kini mengusap air matanya, memandang kepada Kun Tek. "Benar....!" katanya tegas. "Biarlah engkau mendengarnya, Cu-toako, dan juga saudara Gu Hong Beng ini mendengarnya. Tak perlu aku menutupi lagi peristiwa itu karena kita semua akan mati. Dengarlah baik-baik pengakuanku. Ketika aku tiba di sini, aku telah terbujuk oleh mereka untuk dapat menemui kakak kandungku yang kemudian mereka bunuh tanpa sepengetahuanku. Dan ketika aku berduka karena kematian kakakku, kesempatan itu dipergunakan oleh manusia iblis Siangkoan Liong itu, untuk merayuku. Dengan bantuan obat-obat, kekuatan sihir, dan rayuannya, juga terdorong oleh kelemahanku, akhirnya aku menyerah, aku menyerahkan diriku kepadanya     dan akhirnya aku melihat kepalsuannya, bahwa dia menyuruh bunuh kakakku, bahwa dia hanya mempermainkan aku.... nah, engkau telah tahu sekarang, Toako, bahwa aku memang gadis yang sudah ternoda, bukan perawan lagi, aku seorang gadis hina yang tidak berharga untuk mendapatkan cintamu...." Li Sian menangis lagi.

Kalau saja tidak ada rantai yang menghalanginya, tentu Kun Tek sudah menghampiri untuk merangkul dan menghibur gadis itu. Dia menggerak-gerakkan rantai panjang itu sehingga mengeluarkan bunyi berkerontangan, lalu berkata dengan suara tegas.

"Nona Pouw Li Sian, jangan berkata demikian! Aku cinta padamu, aku semakin kasihan padamu. Yang kucinta adalah engkau seluruhnya, bukan keperawananmu! Engkau sekarang inilah yang kucinta, bukan engkau sebelum engkau menjadi korban kejahatan pemuda itu karena ketika itu aku belum mengenalmu. Akulah yang akan membalas sakit hatimu, Nona. Biarpun andaikata aku dibunuh, nyawaku akan berusaha untuk membalas kejahatan pemuda itu!"

Kata-kata ini seperti sebuah nyanyian merdu bagi Li Sian bukan sekedar menghibur, akan tetapi juga mengangkatnya, dan juga membersihkannya! Ia tidak lagi merasa kotor dan hina rendah dalam pandangan pemuda itu atau bahkan orang lain!

"Terima kasih, Cu-koko...., terima kasih....! Aku akan berbohong kalau sekarang mendadak mengaku cinta padamu. Akan tetapi aku kagum padamu, aku berterima kasih padamu, dan aku berjanji bahwa kalau kita dapat lolos dari maut, kelak aku akan siap untuk menjadi isterimu yang setia, atau kalau kita mati, aku ingin mati bersamamu, dan aku akan girang kalau nyawamu mendampingi nyawaku...."

Kun Tek terbelalak, ingin rasanya dia bersorak, ingin dia berjingkrak-jingkrak saking girang hatinya. Akan tetapi karena tidak mungkin hal itu dia lakukan, kini matanya yang lebar itu hanya mengamati wajah Li Sian dan ada dua butir air mata besar menggelinding keluar dari kedua matanya, menuruni pipinya! Melihat ini, Li Sian terharu sekali bahkan Hong Beng juga merasa terharu dan maklum bahwa cinta pemuda itu memang murni dan hebat! Dia membiarkan saja kedua orang itu saling mencurahkan cinta kasih mereka melalui pandang mata, kemudian dia menarik napas panjang dan berkata, seperti kepada diri sendiri.

"Ah, betapa anehnya kalian ini. Saling mencinta dalam menghadapi maut, dan rela mati konyol....! Sungguh, ke manakah larinya kegagahan kalian?"

Mendengar ucapan ini, Kun Tek memandang kepada Hong Beng dengan sinar mata marah. "Gu Hong Beng, sudahlah engkau jangan mengeluarkan suara karena setiap kali engkau bicara, engkau hanya membuat hatiku muak saja! Sepantasnya pertanyaanmu itu kau ajukan kepada dirimu sendiri, bukan kepada kami. Ke manakah larinya kegagahanmu? Aku mengenalmu dahulu sebagai seorang pendekar gagah perkasa, akan tetapi sekarang engkau hanya seorang pengecut yang takut mati!"

"Kun Tek, engkau bicara tanpa dipikir lebih dahulu. Aku bukan pengecut, bukan pula takut mati. Akan tetapi aku bukan orang tolol yang ingin mati seperti seekor babi, mati konyol tanpa melawan. Kalau toh kita harus mati, sepatutnya kita mati sebagai harimau, mati dalam perlawanan. Akan tetapi, kalau kita dibelenggu seperti ini, bagaimana kita mampu melawan? Kita mati konyol begitu saja!"

"Karena tidak ada pilihan, perlu apa takut mati? Jauh lebih baik mati dibunuh lawan daripada harus menyerah dan takluk! Dan engkau ingin takluk kepada lawan? Bukankah itu hanya untuk menyelamatkan nyawamu dan berarti engkau seorang pengecut?" tanya Kun Tek penasaran.

"Hemmm, nekat dan mati konyol bukan perbuatan gagah perkasa, melainkan perbuatan tolol! Dan menyerah karena keadaan belum tentu pengecut, melainkan perbuatan yang cerdik dan mempergunakan perhitungan."

"Sudahlah, aku tidak sudi mendengar omonganmu lagi. Terserah engkau mau takluk, mau menjilati sepatu para pemberontak itu, mau masuk menjadi anggauta golongan sesat. Akan tetapi aku dan Pouw-moi lebih suka memilih mati!" kata Kun Tek.

Sejak tadi Li Sian hanya mendengarkan saja. Kini, melihat percekcokan dua orang gagah yang tadinya menjadi sahabat itu, ia lalu berkata, "Cu-koko, kurasa ada benarnya juga apa yang dikatakan saudara Gu Hong Beng. Biarkan dia bicara mengemukakan pendapatnya dan jangan dibantah dulu sebelum dia selesai bicara."

Kun Tek mengerutkan alisnya, akan tetapi melihat sinar mata Li Sian yang lembut dan senyum manis ditujukan kepadanya, dia pun mengangguk dan menoleh kepada Hong Beng sambil berkata, "Nah, bicaralah!"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar