Kun Tek mengangguk-angguk dan diam-diam dia merasa kasihan sekali kepada Li Sian, terutama sekali ketika mendengar betapa suara bisikan gadis itu tadi gemetar pada saat mengatakan bahwa ia adalah seorang yatim piatu. Agaknya gadis itu teringat akan keadaan dirinya yang yatim piatu dan menjadi sedih, pikir Kun Tek dengan hati terharu. Biarpun baru beberapa kali saja dia mendapat kesempatan mengamati wajah gadis itu, dia masih teringat akan seraut wajah yang cantik dan anggun, dengan sinar mata tajam namun lembut, dengan mulut yang membayangkan kehalusan watak.
"Kalau begitu, kita mempunyai kepentingan yang sama, Nona. Apakah Nona sudah mengenal dua orang kawan lain yang tertawan di sebelah?"
"Belum, aku belum mengenal mereka berdua. Apakah engkau telah mengenal mereka?"
"Aku belum mengenal gadis itu, akan tetapi laki-laki gagah perkasa itu adalah seorang sahabat lamaku, sahabat baik sejak bertahun-tahun yang lalu. Dia bernama Gu Hong Beng dan dia murid seorang anggauta keluarga Pulau Es yang terkenal."
"Ahhh....!"
Mendengar seruan Li Sian, Kun Tek menjadi heran. Dalam seruan itu, bukan hanya terkandung rasa kaget atau kagum, melainkan lebih mengandung keheranan.
"Kenapakah, Nona?"
"Mendiang guruku, Bu Beng Lokai, adalah mantu dari Pendekar Super Sakti dari Pulau Es!"
"Ahhh....!" Kini Kun Tek yang berseru, seruan kaget, heran dan kagum menjadi satu. "Kalau begitu, tentu engkau mengenal Hong Beng karena ada hubungan perguruan antara dia dan engkau, Nona"
"Aku belum pernah mengenalnya. Saudara Cu Kun Tek, apa yang dapat kita lakukan sekarang? Mereka itu ternyata memiliki banyak orang pandai, terutama sekali siucai tua yang tinggi kurus itu, yang merobohkan kita. Dia sungguh memiliki ilmu kepandaian tinggi dan lihai bukan main."
"Benar, Nona. Tadi aku sudah bicara dengan Hong Beng dan kami bersepakat untuk malam ini menghimpun tenaga, bersiap-siap untuk memberontak apabila kesempatan tiba. Biarpun kakek itu lihai, kalau kita bertiga, berempat dengan nona yang seorang lagi itu, kurasa kita akan dapat menghadapi kakek lihai itu."
Mereka menghentikan percakapan dan mereka lalu duduk bersila di tengah kamar tahanan masing-masing untuk menghimpun tenaga. Dalam hati Li Sian terasa agak lega setelah ia dapat bercakap-cakap dengan Cu Kun Tek, pemuda tinggi besar yang gagah perkasa itu.
Mendengar suara yang berat dan tegas itu, hatinya menjadi lebih tenang dan ia menghadapi segala kemungkinan dengan penuh semangat. Diam-diam ia mengingat kembali tiga orang yang tidak dikenalnya itu, yang berdatangan membantunya dalam perkelahian sehingga akhirnya mereka semua menjadi tawanan. Ia merasa terharu kalau teringat akan nasib Bi-kwi dan suaminya. Jo Yin, suami wanita lihai itu, tewas seperti seorang yang gagah perkasa walaupun pria itu tidak pandai silat, dan Bi-kwi tewas sebagai seorang isteri yang amat mencinta suaminya. Ketika ia teringat akan sikap gadis yang menjadi tawanan di sebelah, ia merasa heran sekali. Gadis itu begitu muncul, memaki Siangkoan Liong dan menyerang mati-matian, walaupun tingkat kepandaian silat gadis itu masih jauh di bawah tingkat Siangkoan Liong. Gadis itu demikian nekad dan agaknya amat membenci Siangkoan Liong. Ada dendam apakah antara gadis itu dan Siangkoan Liong? Ia menduga-duga dan mengingat akan dendamnya sendiri, dia menduga bahwa agaknya gadis itu pun menjadi korbun rayuan Siangkoan Liong.
Ingin rasanya ia menampar pipinya sendiri kalau ia teringat betapa ia telah menyerahkan dirinya dengan sukarela kepada pemuda biadab itu! Ia telah terpikat dan memang telah jatuh cinta kepada pemuda tampan itu, tidak tahu bahwa pemuda itu selain mempergunakan rayuan maut, juga mempergunakan minuman yang merangsang, dan juga pengaruh ilmu sihir untuk menjatuhkannya!
"Keparat! Aku harus membunuhmu!" Ia mengepal tinju, akan tetapi lalu mengusir gangguan pikiran ini yang akan melenyapkan ketenteraman hatinya dan akan menggagalkan usahanya untuk menghimpun tenaga dalam.
Lewat tengah malam, tiba-tiba Hong Beng dikejutkan dengan munculnya Ci Hwa di luar pintu kamar selnya dan gadis itu malah membuka daun pintu kamarnya dengan kunci, dengan hati-hati sekali.
"Adik Ci Hwa....! Bagaimana engkau dapat keluar dari kamar selmu....?"
"Sssttttt....!" Ci Hwa memberi isyarat agar pemuda itu tidak membuat gaduh, dan ia pun masuk ke dalam kamar itu. Hong Beng melompat bangun dan ketika Ci Hwa lari merangkulnya, dia pun memeluk dengan hati yang cemas dan girang. Akan tetapi dia melihat Ci Hwa menangis sesenggukan di dadanya, dan dia menjadi semakin heran. Dia tentu saja tidak tahu betapa Ci Hwa menangis karena teringat akan pengorbanannya, telah membiarkan dirinya diperhina sesuka hati oleh Ciu Hok Kwi, demi untuk menyelamatkan Hong Beng. Akan tetapi hanya sebentar saja Ci Hwa dipengaruhi kesedihannya. Ia segera melepaskan pelukannya dan berbisik, "Cepat, bebaskan teman-teman yang lain, ini kunci-kunci kamar tahanan, cepat dan larilah kalian semua dari sini selagi ada kesempatan!" Berkata demikian, Ci Hwa menyerahkan kunci-kunci itu kepada Hong Beng lalu melompat keluar.
"Hwa-moi....!" Hong Beng berseru lirih memanggil, akan tetapi gadis itu tidak menoleh lagi dan menghilang dalam kegelapan malam. Hong Beng hanya tertegun, tidak tahu kemana gadis itu pergi, akan tetapi dia segera melangkah keluar dari kamar tahanan itu, dan dengan kunci-kunci itu, dia berhasil membebaskan Pouw Li Sian dan Cu Kun Tek yang tentu saja menjadi girang sekali.
"Bagaimana engkau dapat keluar membebaskan kami?" bisik Kun Tek.
"Kita ditolong oleh adik Kwee Ci Hwa. Ialah yang tadi membebaskan aku dan menyerahkan kunci-kunci ini," jawab Hong Beng.
"Di mana ia sekarang?" Li Sian bertanya sambil memandang wajah pemuda yang menurut keterangan Kun Tek adalah murid keluarga Pulau Es itu."
Hong Beng juga memandang wajah Li Sian dan menggeleng kepala dengan khawatir. "Entahlah, setelah menyerahkan kunci-kunci ini, ia terus melompat pergi."
"Ah, berbahaya sekali kalau begitu. Kita harus mencarinya, dan bersama-sama mencoba untuk meloloskan diri dari tempat ini!" kata Kun Tek, Li Sian dan Hong Beng mengangguk tanda setuju dan mereka bertiga lalu berindap-indap keluar melalui lorong kecil itu.
Akan tetapi, pada saat itu, para penjaga telah menemukan mayat tiga orang kawan mereka dan begitu muncul tiga orang tawanan ini, belasan orang penjaga sudah mengepung dan mengeroyok mereka. Terjadilah perkelahian yang seru di mulut lorong, di mana tiga orang muda itu mengamuk, dengan tangan kosong saja menghadapi belasan orang penjaga yang semuanya bersenjata tajam.
Sementara itu, Ci Hwa sudah berhasil kembali ke dalam kamar Ciu Hok Kwi yang masih tidur mendengkur. Jantungnya berdebar penuh ketegangan karena kini ia memasuki kamar hanya dengan satu niat, yaitu membunuh Ciu Hok Kwi dengan pedang di tangannya. Karena ketegangan ini, Ci Hwa menjadi agak gugup dan tidak tenang sehingga tubuhnya melanggar bangku, membuat bangku itu roboh dan mengeluarkan bunyi gaduh. Suara ini menggugah Ciu Hok Kwi. Dia membuka mata dan tubuhnya bergerak untuk duduk. Pada saat itu, nampak sinar pedang berkelebat dan pedang di tangan Ci Hwa menyambar, membacok ke arah leher Ciu Hok Kwi dengan cepat dan kuat!
Ciu Hok Kwi adalah murid pertama dari Siangkoan Lohan, ilmu kepandaiannya sudah tinggi, bahkan dia dijuluki Tiat-liong Kiam-eng (Pendekar Pedang Naga Besi), seorang ahli pedang yang amat lihai. Oleh karena itu, biarpun dia baru saja bangun tidur dan belum sempat mempersiapkan diri lalu tiba-tiba diserang dengan bacokan pedang ke lehernya, dia tidak kehilangan akal dan dengan cepat dia melempar tubuhnya yang masih telanjang bulat itu ke bawah pembaringan, lalu bergulingan di lantai. Untung dia bergulingan sehingga pedang di tangan Ci Hwa yang mengejarnya hanya melukai pundak kiri, merobek kulit dan sedikit dagingnya sehingga darah bercucuran keluar.
"Heh, apakah engkau telah menjadi gila?" bentaknya marah sambil meloncat dan menyambar pakaiannya, dikenakan pakaian itu sedapatnya karena pada saat itu Ci Hwa sudah menyerangnya lagi. Dengan tangan kiri memegang bangku yang disambarnya, Ciu Hok Kwi menangkisi serangan Ci Hwa, sedangkan tangan kanan sibuk mengenakan pakaian pada tubuhnya. Bajunya terbalik-balik, celananya sampai robek bagian bawahnya. Akan tetapi setidaknya kini tubuhnya tidak lagi telajang bulat dan dia dapat menghadapi Ci Hwa dengan tenang.
"Ci Hwa, mengapa engkau melakukan ini? Bukankah tadi kita saling mencinta dan kau...."
"Tutup mulutmu yang busuk dan bersiaplah untuk mampus!" bentak Ci Hwa yang merasa menyesal sekali bahwa ia telah gagal membunuh orang yang amat dibencinya ini. Ia tahu bahwa tingkat kepandaiannya kalah jauh, maka kini ia dengan nekat menyerang terus. Ciu Hok Kwi mulai marah, apalagi ketika dia meraba saku bajunya dan tidak mendapatkan untaian kunci-kunci itu. Dia juga seorang yang cerdik, maka tahulah dia bahwa gadis ini sengaja menyerahkan diri untuk membuat dia terlena dan tertidur, kemudian mencuri kunci-kunci kamar tahanan itu. Celaka, pikirnya, tentu tahanan-tahanan itu telah dikeluarkan oleh gadis ini! Dan tiba-tiba dia pun mendengar suara ribut-ribut orang berkelahi, maka tahulah dia bahwa para tawanan lain itu telah keluar dan kini berkelahi melawan anak buahnya.
"Perempuan jahanam! Jadi engkau hanya menipu aku, ya? Kalau begitu, mampuslah kamu!" Ciu Hok Kwi menyerang dengan patahan bangku, disambut oleh Ci Hwa dengan serangan pedangnya, penuh kebencian dan kenekatan. Terjadilah perkelahian mati-matian di dalam kamar itu. Hanya karena kenekatan Ci Hwa saja maka ia mampu mengadakan perlawanan mati-matian, karena sesungguhnya, tingkat kepandaiannya masih kalah jauh dibandingkan lawannya.
Sementara itu, tiga orang pendekar perkasa, Gu Hong Beng, Cu Kun Tek, dan Pouw Li Sian, tanpa banyak membuang waktu dan tenaga, telah merobohkan belasan penjaga itu. Mereka bertiga merampas masing-masing sebatang pedang dan berloncatan untuk mencari Ci Hwa. Akan tetapi, sebelum mereka berhasil menemukan gadis itu tiba-tiba muncul Siangkoan Lohan, Siangkoan Liong, dan Ouwyang Sianseng! Di samping tiga orang sakti ini, masih nampak belasan orang tokoh sesat yang menjadi kaki tangan mereka, mengepung tiga orang muda yang baru saja merobohkan belasan orang penjaga itu.
Siangkoan Lohan dan puteranya mengerutkan alis dan memeriksa para penjaga yang malang melintang itu dengan pandang mata mereka.
"Di mana Ciu Hok Kwi....?" Siangkoan Lohan berseru.
"Mana Kwee Ci Hwa?" Siangkoan Liong juga berseru heran. Ayah dan anak ini masih merasa heran mengapa tiga orang tawanan ini dapat lolos dan tidak adanya Ciu Hok Kwi dan Kwee Ci Hwa membuat mereka merasa curiga. Namun, tiga orang pendekar itu yang maklum bahwa tidak perlu lagi banyak bicara dengan para pimpinan pemberontak yang lihai ini, sudah cepat menggerakkan pedang masing-masing untuk membuka jalan berdarah dan meloloskan diri dari tempat berbahaya itu.
Akan tetapi mereka segera dikeroyok. Bahkan Ouwyang Sianseng sendiri, juga Siangkoan Lohan turun tangan. Siangkoan Lohan ketua Tiat-liong-pang yang menjadi pemimpin pemberontakan itu sudah mengeluarkan senjatanya yang istimewa, yaitu hun-cwe emas. Ouwyang Sianseng juga sudah menggerakkan kipasnya, juga Siangkoan Liong sudah menggunakan pedangnya untuk ikut mengepung.
"Tangkap mereka kembali, jangan bunuh!" terdengar Ouwyang Sianseng berseru. Kakek ini sedang berusaha untuk memberontak untuk membalas dendamnya terhadap kerajaan. Dia membutuhkan bantuan orang-orang muda ini, maka dia merasa sayang kalau mereka dibunuh begitu saja. Alangkah akan menguntungkan kalau tiga orang ini dapat dibujuk untuk membantu gerakan mereka.
Sementara itu, di dalam kamar Ciu Hok Kwi masih terjadi perkelahian mati-matian antara Ci Hwa dan Ciu Hok Kwi. Biarpun Ci Hwa mengamuk dengan nekat, namun ia bukanlah lawan Tiat-liong Kiam-eng Ciu Hok Kwi dan setelah lewat tiga puluh jurus, kayu potongan bangku di tangan Hok Kwi berhasil melukai pergelangan tangan gadis itu. Ci Hwa berteriak kesakitan dan pedangnya terlepas. Di lain saat, pedang itu telah dirampas oleh Ciu Hok Kwi dan kini, dengan pedang di tangan, Ciu Hok Kwi dengan beringas memandang gadis itu. Dia sudah marah sekali karena maklum bahwa dia telah ditipu oleh Ci Hwa, mempergunakan keindahan wajah dan tubuhnya, memikatnya sehingga kini tawanan yang lain telah keluar dari kamar-kamar mereka. Dia akan membunuh Ci Hwa, menyiksanya, untuk melampiaskan kemarahannya.
"Wuuuttt....!" Pedangnya menyambar dan karena dia memang ahli pedang, gerakan pedangnya itu cepat sekali. Ci Hwa meloncat ke belakang akan tetapi tetap saja paha kirinya terserempet ujung pedang. Celananya robek dan kulit paha berikut sedikit dagingnya robek pula. Darah menetes keluar. Ci Hwa menyambar sebuah bangku lain dari sudut kamar dan ia dengan nekat menyerang lawan itu dengan bangku. Akan tetapi, kembali sinar pedang berkelebat dan pangkal lengannya robek terluka! Ci Hwa menyerang terus mati-matian tanpa mempedulikan dirinya dan dalam belasan jurus saja, ia telah menderita belasan luka yang tidak parah namun cukup merobek pakaian dan kulit tubuhnya, membuat darah berlepotan membasahi seluruh tubuh. Mengerikan sekali keadaan gadis itu, dan Hok Kwi menyeringai puas.
"Akan kubunuh engkau, perempuan setan!" desisnya berkali-kali setiap kali pedangnya mengenai sasaran. Dia sengaja hanya melukai dengan ujung pedang karena tidak ingin segera membunuh gadis itu. Setelah gerakan Ci Hwa semakin lemah karena terlalu banyak mengeluarkan darah, Hok Kwi melakukan serangan yang sesungguhnya.
"Cappp....!" Pedangnya menancap ke lambung Ci Hwa, agak lebih dalam dan gadis itu pun terhuyung, lalu roboh.
"Mampuslah....!" Ciu Hok Kwi menggerakkan pedangnya untuk dibacokkan ke arah leher, akan tetapi tiba-tiba sebuah tangan menyambar dan mengetuk pergelangan tangan kanannya.
"Dukkk! Ahhhhh....!" Ciu Hok Kwi terkejut sekali, tangannya lumpuh dan pedangnya terlepas. Ketika dia mengangkat muka, ternyata di situ telah berdiri seorang pemuda yang berpakaian serba putih, bersama seorang gadis yang cantik jelita dan bersikap gagah sekali. Makin terkejutlah dia ketika mengenal bahwa pemuda itu bukan lain adalah Tan Sin Hong!
"Paman Ciu Hok Kwi ! Apa apa yang kaulakukan ini dan mengapa engkau berada di sini?" tanya Sin Hong yang juga terkejut dan heran sekali melihat bahwa orang yang hampir membunuh Kwee Ci Hwa itu bukan lain adalah Ciu Hok Kwi atau Ciu Piauwsu, bekas pembantu mendiang ayahnya!
Hok Kwi nampak kebingungan, lalu menjawab gagap. "Aku.... aku...." dan tubuhnya lalu meloncat keluar kamar dan melarikan diri!
"Biar kukejar dia!" kata Suma Lian, gadis yang datang bersama Sin Hong.
"Jangan," kata Sin Hong. "Gadis ini luka parah, kita harus menyelamatkan dulu keluar dari sini."
Mereka berdua lalu keluar dari dalam kamar. Sin Hong memondong tubuh Ci Hwa yang berlumuran darah dan gadis itu dalam keadaan pingsan. Karena pada saat itu para tokoh sesat sedang sibuk mengeroyok Hong Beng, Kun Tek, dan Li Sian, maka dua orang muda perkasa ini dapat melarikan diri keluar dari perkampungan Tiat-liong-pang dengan aman.
Sementara itu, dengan ketakutan Ciu Hok Kwi meninggalkan kamarnya dan tiba di tempat di mana tiga orang pendekar muda itu dikeroyok. Perkelahian ini tidak seimbang. Tiga orang muda itu memang lihai bukan main, akan tetapi, mereka dikeroyok dan di antara para pengeroyok mereka terdapat orang-orang yang tingkat kepandaiannya lebih tinggi dari mereka, seperti Siangkoan Lohan, Siangkoan Liong dan terutama sekali Ouwyang Sianseng. Apalagi tiga orang pendekar ini telah kehilangan senjata mereka, hanya mempergunakan pedang biasa saja, hasil rampasan dari para penjaga tadi. Tentu saja pedang-pedang biasa itu tidak ada artinya bertemu dengan senjata-senjata pusaka di tangan para pengeroyok mereka. Ketika mereka terdesak, kembali dengan gagang kipasnya, Ouwyang Sianseng berhasil menotok roboh mereka satu demi satu. Tiga orang muda itu lalu dibelenggu dan dilempar ke dalam sebuah tahanan yang besar, disatukan dan dirantai pada dinding kamar sehingga mereka bertiga tidak akan mampu berkutik lagi!
Ciu Hok Kwi mengajak teman-temannya lari ke kamarnya untuk menghadapi Tan Sin Hong dan wanita cantik itu, akan tetapi ketika mereka tiba di sana, Sin Hong dan Suma Lian telah lenyap, bahkan Ci Hwa yang tadi telah roboh juga tidak nampak di situ.
"Hok Kwi, apa yang telah terjadi?" Siangkoan Lohan menegur muridnya, suaranya tegas dan keren. "Bagaimana mereka bisa keluar?"
Wajah Hok Kwi berubah pucat. Dia tidak dapat mengelak lagi, akan tetapi dia seorang yang cerdik dan dalam waktu beberapa detik itu dia telah dapat mengatur siasat untuk menyelamatkan diri. Tiba-tiba dia menjatuhkan diri berlutut di depan gurunya.
"Harap Suhu sudi memaafkan, teecu mengaku telah melakukan kesalahan, telah lalai."
Siangkoan Lohan amat menyayang muridnya ini, karena muridnya ini selain merupakan murid paling lihai, juga cerdik sekali dan selama ini membuat jasa besar untuk kemajuan gerakan pemberontakannya. Melihat muridnya berlutut minta maaf dan mengaku salah, kesabarannya telah datang kembali.
"Sudahlah, ceritakan saja apa yang telah terjadi! Engkau memimpin anak buahmu melakukan penjagaan terhadap para tawanan itu, bagaimana mereka dapat keluar dan membuat ribut, bahkan telah membunuh banyak penjaga?"
"Maaf, Suhu. Memang teecu telah bersalah dan teledor, akan tetapi kalau tidak ada keparat Tan Sin Hong, putera Tan Piauwsu dari Ban-goan itu, tentu tidak akan terjadi pelepasan para tawanan. Harap Suhu ketahui bahwa gadis itu, yang bernama Kwee Ci Hwa, adalah puteri Kwee Piauwsu di Ban-goan dan sudah mengenal teecu. Teecu.... teecu tergoda dan membawanya ke kamar teecu, karena teecu merasa yakin bahwa para tawanan takkan mungkin dapat lolos dengan adanya penjagaan ketat. Akan tetapi, tiba-tiba saja terjadi kegaduhan dan tiga orang tawanan itu lolos, ternyata dilepaskan oleh Tan Sin Hong itu bersama seorang temannya. Karena marah, teecu lalu bunuh Kwee Ci Hwa. Tan Sin Hong dan temannya itu datang, dan terpaksa teecu melarikan diri karena tidak dapat menandingi mereka. Dan ternyata dia telah pergi bersama temannya itu, dan agaknya membawa pergi mayat Kwee Ci Hwa."
Cerita ini dapat diterima oleh Siangkoan Lohan. "Sudahlah, sekarang jaga baik-baik, awas kalau sampai mereka terlepas lagi. Kecerobohanmu membuat kita kehilangan belasan anak buah!"
"Maaf, Suhu. Teecu akan menjaga dengan taruhan nyawa," kata Ciu Hok Kwi.
Sementara itu, Sin Hong dan Suma Lian berhasil keluar dari sarang Tiat-liong-pang dan memasuki sebuah hutan di lereng bukit. Matahari pagi telah mulai mengirim cahayanya mengusir kegelapan malam ketika mereka berhenti di atas padang rumput dalam hutan itu. Dengan hati-hati Sin Hong merebahkan tubuh Ci Hwa ke atas rumput. Tadi, dalam perjalanan, dia telah menghentikan beberapa jalan darah untuk menahan keluarnya terlalu banyak darah. Akan tetapi, keadaan Ci Hwa sudah amat payah dan lemah, disebabkan oleh luka di lambungnya yang dalam, dan juga karena terlampau banyak keluar darah.
Ci Hwa membuka matanya dan mulutnya tersenyum ketika ia mengenal wajah Sin Hong yang berlutut di dekatnya. "Hong-ko.... syukurlah.... aku dapat bertemu denganmu...."
"Ci Hwa, tenanglah, aku akan berusaha mengobatimu...."
Ci Hwa menggeleng kepala. Di dalam hatinya ia berkata bahwa ia tidak ingin hidup lagi, setelah penghinaan yang dideritanya dari Siangkoan Liong, dari Ciu Hok Kwi. "Hong-ko, dengarlah. Ciu Hok Kwi itu...., dialah yang mengatur semua.... yang membunuh ayahmu, membunuh Tang Piauwsu.... dia pula orang bertopeng yang membunuh orang she Lay itu...."
Sin Hong terkejut bukan main, memandang wajah Ci Hwa dengan sinar mata tidak percaya dan mengira bahwa karena keadaannya yang payah, gadis itu telah bicara tidak karuan.
"Tapi, Hwa-moi, dia.... dia itu pembantu mendiang ayahku...."
Ci Hwa menggeleng kepalanya. "Dia murid pertama Siangkoan Lohan...., mereka ingin memberontak, mereka menguasai piauw-kiok ayahmu.... agar dapat mengatur hubungan dengan luar Tembok Besar.... dengan orang-orang Mongol. Semua itu siasat belaka untuk menguasai piauw-kiok milik ayahmu.... dia telah mengaku semua ini kepadaku...."
"Keparat....!" Sin Hong terbelalak, baru dia tahu mengapa ayahnya dihunuh, kiranya ada hubungannya dengan pemberontakan. Pantas saja orang she Lay itu menyebut Tiat-liong-pang. Kiranya Tiat-liong-pang yang mengatur, dan Ciu Hok Kwi adalah murid kepala ketuanya. Sikap Ciu Hok Kwi yang marah-marah dan menyerbu rumah Kwee Piauwsu, lalu dia dikalahkan Kwee Piauwsu, semua itu hanya siasat belaka!
"Hong-ko.... engkau telah tahu sekarang siapa musuh besarmu. Aku.... aku...." Tiba-tiba gadis itu berusaha untuk bangkit duduk, namun tidak kuat dan ia tentu akan rebah kembali kalau saja Sin Hong tidak cepat membantunya. Dan mata gadis itu terbelalak, mukanya membayangkan kemarahan dan kebencian, telunjuk kanannya menuding ke depan, seolah-olah ada orang yang dibencinya berada di situ.
"Siangkoan Liong! Keparat kau....! Engkau telah menodaiku.... engkau.... kubunuh engkau.... ahhhhh....!" Tubuhnya terkulai dan nyawa gadis yang bernasib malang itu pun melayang pergi meninggalkan tubuhnya.
Sin Hong merebahkan gadis itu, menutupkan mulut dan matanya, lalu meletakkan kedua tangan di depan dada. Suma Lian yang melihat semua ini, mengerutkan alisnya. Ia melihat betapa Sin Hong duduk tepekur, seperti tenggelam ke dalam lamunan yang menyedihkan.
"Hong-ko, siapakah adik yang malang ini?" Suma Lian memecahkan kesunyian dengan pertanyaannya dan Sin Hong yang sedang melamun sedih itu terkejut dan seolah-olah terseret kembali ke dalam kenyataan. Dia menoleh, memandang wajah Suma Lian dan menarik napas panjang. Hubungannya dengan Suma Lian, semenjak mereka berdua meninggalkan Yo Han kepada Suma Ciang Bun dan menuju ke sarang Tiat-liong-pang itu, menjadi lebih akrab dan mereka saling menyebut kakak dan adik.
"Namanya Kwee Ci Hwa," katanya menjelaskan. "Puteri dari Kwee Piauwsu di Ban-goan, kota kelahiranku. Tadinya aku terbujuk oleh Ciu Piauwsu tadi untuk mencurigai Kwee Piauwsu sebagai dalang pembunuhan ayahku. Agaknya, Ci Hwa menjadi penasaran dan melakukan penyelidikan sendiri sampai ke sini ketika ia dan aku memperoleh jejak bahwa Tiat-liong-pang ada hubungannya dengan pembunuh ayahku dan beberapa orang lain. Ternyata sampai di sini, ia mengalami hal-hal yang lebih menghancurkan kehidupannya, walaupun ia telah berjasa untukku, telah mengetahui rahasia pembunuhan ayahku."
"Hemmm, agaknya ia telah diperkosa oleh Siangkoan Liong. Bukankah Siangkoan Liong itu putera Siangkoan Lohan pemimpin pemberontak seperti yang kita dapatkan keterangan di sepanjang perjalanan itu? Sungguh jahat. Kita harus segera masuk ke sana dan menghajar mereka!"
"Harap sabar dan tenang, Lian-moi. Kurasa tidak semudah itu. Di sana berkumpul banyak sekali orang pandai, apalagi karena mereka sedang menyusun kekuatan untuk memberontak. Dari keterangan yang kita peroleh baru anak buah mereka saja sudah tiga ratusan orang, belum lagi anak buah Sin-kiam Mo-li yang merupakan pembantu utama mereka. Ang I Mo-pang yang menjadi anak buah Sin-kiam Mo-li itu tentu lima puluh orang lebih jumlahnya. Dan masih banyak tokoh sesat yang berada di sarang mereka. Apa artinya tenaga kita berdua?"
Suma Lian dapat membenarkan pendapat Sin Hong. "Lalu. bagaimana baiknya sekarang. Apa yang harus kita lakukan?"
"Kita rawat dulu jenazah Ci Hwa, kita kubur saja di bukit ini dengan baik-baik. Kemudian kita melakukan penyelidikan kembali. Kabarnya banyak orang gagah tertawan oleh mereka. Kalau saja kita dapat menyelundup dan dapat menolong mereka, alangkah baiknya."
Suma Lian hanya menyetujui dan mereka berdua lalu mengurus pemakaman jenazah Ci Hwa dengan sederhana namun cukup khidmat. Sin Hong meletakkan sebuah batu besar di depan makam itu dan menuliskan nama Kwee Ci Hwa di atas batu.
Kemudian, setelah memberi penghormatan terakhir, dua orang muda perkasa itu mulai melakukan penyelidikan kembali ke sarang Tiat-liong-pang, dengan hati-hati sekali.
***
Pouw Li Sian, Gu Hong Beng, dan Cu Kun Tek kini ditahan dalam sebuah kamar tahanan yang baru. Kamar tahanan ini luas sekali, dan mereka bertiga dirantai kaki mereka pada besi di dinding yang kuat sekali. Setelah terbebas dari totokan, mereka dapat duduk bersila dan dapat bercakap-cakap karena mereka berada dalam satu kamar tahanan. Kun Tek yang sadar lebih dahulu, memandang kepada Pouw Li Sian dengan penuh iba. Gadis itu pun mulai dapat bergerak kembali, lalu membereskan pakaiannya yang agak kusut, dan duduk bersila, di sebelah kanan Kun Tek. Hong Beng duduk bersila pula di sebelah kiri Kun Tek yang berada di tengah-tengah. Jarak antara mereka hanya dua meter, namun mereka tidak dapat saling menghampiri karena rantai yang mengikat kaki mereka.
"Nona, sungguh aku merasa menyesal bahwa Nona mengalami bahaya seperti ini," kata Kun Tek karena tidak tahu apa yang harus dikatakan dalam keadaan seperti itu.
"Kenapa menyesalkan aku, saudara Cu Kun Tek? Bukankah engkau dan saudara Gu Hong Beng ini pun mengalami nasib yang sama dengan aku? Kita sama-sama tertawan, sama-sama terancam bahaya maut!" Li Sian menatap wajah pemuda tinggi besar yang gagah perkasa itu sambil menahan senyumnya, senyum sedih karena gadis ini masih menderita tekanan batin karena dendamnya yang sedalam lautan setinggi langit terhadap Siangkoan Liong!
"Ucapan Kun Tek memang benar, Nona. Aku pun merasa menyesal sekali bahwa Nona sampai menjadi tawanan seperti kami. Walaupun kami sendiri tertawan, namun kami adalah laki-laki. Kalau saja kami dapat melakukan sesuatu untuk membebaskanmu," kata pula Hong Beng.
Pouw Li Sian kini mamandang kepada Hong Beng dan ia bertanya, "Menurut keterangan saudara Cu Kun Tek, engkau adalah murid seorang keluarga Pulau Es. Bolehkah aku mengetahui siapa nama besar gurumu, saudara Gu Hong Beng?"
Biarpun Hong Heng tidak pernah membanggakan nama gurunya, namun mendengar pertanyaan ini, terpaksa dia mengaku dengan sikap rendah hati. "Suhu bernama Suma Ciang Bun."
Li Sian mengangguk-angguk. "Pernah aku mendengar nama besar suhumu. Bukankah beliau itu masih cucu dari Pendekar, Super Sakti dari Pulau Es? Ketahuilah, saudara Hong Beng bahwa mendiang guruku adalah mantu dari Pendekar Super Sakti...."
"Aihhh....! Apakah beliau kakek guru Gak Bun Beng....?"
"Benar, akan tetapi namanya sudah berubah menjadi Bu Beng Lokai."
"Kalau begitu, Nona adalah saudara seperguruan dari nona Suma Lian?"
"Benar sekali! Engkau mengenal suciku? Sungguh, semakin sempit saja dunia ini!" Untuk sejenak, Li Sian melupakan kedukaannya dan ia tersenyum gembira sekali. Kun Tek ikut bergembira melihat hal ini.
"Sungguh menyenangkan sekali. Kiranya engkau masih ada hubungan keluarga seperguruan yang dekat dengan Hong Beng, dan dia adalah sahabat lamaku yang amat baik. Kita ternyata masih orang segolongan yang berhubungan dekat. Sayang kita saling berjumpa dalam keadaan seperti ini."
Li Sian teringat kembali akan keadaan mereka, teringat kembali akan keadaan dirinya. Ia membayangkan kemungkinan mengerikan yang akan menimpa dirinya. Ia tahu kini betapa kejam dan kejinya hati Siangkoan Liong dan para pimpinan pemberontak itu. Ada bahaya yang lebih mengerikan daripada sekedar kematian mengancam dirinya. Hong Beng dan Kun Tek memang benar kalau tadi mengkhawatirkan keselamatannya karena ia seorang wanita. Membayangkan semua ini, ia teringat akan keadaan dirinya yang sudah ternoda dan ia pun mengepal tinjunya.
"Benar apa yang telah dilakukan enci Ciong Siu Kwi itu! Kalau mendapat kesempatan lagi, aku akan melawan dan mengadu nyawa dengan mereka. Lebih baik aku mati daripada sampai tertawan kembali!" Wajah gadis itu menjadi pucat dan sepasang matanya seperti bernyala.
"Jangan khawatir, Nona. Aku Cu Kun Tek bersumpah akan membelamu sampai mati." Tiba-tiba Kun Tek berkata dengan suaranya yang dalam dan mantap. Mendengar ini, Li Sian menoleh dan menatap wajah pendekar muda yang gagah itu, dan keduanya saling pandang, sinar mata mereka bertemu dan berpaut, dan dalam saat beberapa detik itu, Li Sian melihat betapa sinar mata pemuda itu penuh dengan cinta kasih yang ditujukan kepadanya. Hal ini membuat ia terharu dan wajahnya yang pucat tadi berubah kemerahan, lalu sinar matanya menunduk dan kedua matanya menjadi basah. Melihat keadaan mereka berdua itu, timbul kekhawatiran dalam hati Hong Beng. Dia sudah mengenal watak Kun Tek yang keras dan pantang mundur, gagah perkasa dan berani menentang kematian sehingga watak ini kadang-kadang dapat membuat dia menjadi agak sembrono. Dia tahu bahwa kalau kedua orang muda itu nekat mengadu nyawa, hal itu hanya berarti bahwa mereka berdua akan membunuh diri saja, atau mati konyol karena bagaimanapun juga, mereka bertiga tidak akan mungkin mampu mengalahkan musuh yang jumlahnya demikian banyak dan memiliki banyak orang yang lebih lihai daripada mereka.
"Nona Li Sian dan Kun Tek, dengarkan kata-kataku baik-baik. Kita bertiga mengalami nasib yang sama, menjadi tawanan tak berdaya di sini. Bagaimanapun juga, kita harus dapat meloloskan diri dan kurasa untuk itu, tak mungkin kalau kita hanya mengandalkan keberanian dan kenekatan saja. Kita harus menggunakan akal dan kuharap kalian suka mengikuti apa yang akan kulakukan, demi keselamatan kita. Ingat, kalau aku mempergunakan akal, hal itu bukan berarti aku pengecut dan takut mati. Sama sekali bukan. Hanya agar kita dapat lolos lebih dahulu dari sini, untuk kemudian mengatur siasat bagaimana agar dapat menghancurkan mereka, kalau perlu dengan bala bantuan."
"Menggunakan akal? Apa yang kaumaksudkan, Hong Beng?" tanya Kun Tek.
"Kita harus mengakui bahwa kalau hanya menggunakan kenekatan, kita takkan mampu mengalahkan mereka yang jauh lebih banyak jumlahnya, dan akhirnya kita takkan mampu lolos dan akan mati konyol di sini."
"Aku tidak takut, apalagi untuk melindungi nona Li Sian!" kata Kun Tek dengan sikap gagah. Hong Beng tersenyum dan diam-diam dia teringat akan masa lampau. Pemuda tinggi besar dan yang gagah perkasa itu kalau sudah jatuh cinta memang kelihatan nekat sekali!
"Kita semua tidak takut mati, saudaraku yang baik. Akan tetapi mati konyol seperti itu bukanlah perbuatan gagah namanya, melainkan perbuatan bodoh sekali. Bukankah begitu? Tidak, untuk keadaan kita yang dalam perimbangan lebih lemah ini kita harus menggunakan akal. Kalau perlu, aku akan bermain sandiwara dan pura-pura takluk...."
"Takluk kepada mereka? Tidak sudi! Aku akan melawan!" teriak Kun Tek.
"Saudara Kun Tek, harap suka mendengarkan dulu perjelasan saudara Hong Beng. Dia benar, kalau tidak ada harapan menang menggunakan kekerasan, mengapa tidak menggunakan akal mengalah? Mengalah untuk akhirnya menang?"
Aneh sekali, demikian pikir Hong Beng. Mendengar ucapan gadis itu, Kun Tek kelihatan sabar kembali dan mengangguk, lalu berkata, "Bagaimana akalmu, coba katakan Hong Beng."
Hemmm, raksasa ini sudah menjadi jinak agaknya, di bawah sinar mata lembut gadis hebat ini, demikian Hong Beng berkata dalam hatinya.
"Begini. Mereka itu jelas musuh kita, akan tetapi setelah kita memberontak terhadap mereka atas bantuan Ci Hwa tadi, setelah kita membunuh belasan orang anak buah mereka, kini kita ditawan kembali. Kita tidak mengalami siksaan, juga tidak dibunuh. Hal ini bukan tidak ada artinya sama sekali. Kalau kita terus dibunuh, hal itu sudah jelas. Akan tetapi tidak, kita tidak dibunuh dan ini hanya berarti bahwa mereka itu, setidaknya pemimpinnya, dan kurasa kakek berkipas itu sendiri, tidak menginginkan kita mati. Dan alasannya tentu hanya satu, yaitu dia menghendaki agar kita membantu pemberontakan mereka."
"Tidak sudi! Aku...." Kun Tek menghentikan teriakannya ketika melihat betapa Li Sian menoleh dan memandang kepadanya dengan alis berkerut. "Teruskan, Hong Beng.... " akhirnya dia berkata lirih.
Hong Beng menahan kegelian hatinya melihat sikap Kun Tek, lalu melanjutkan dengan suara bisik-bisik. "Tentu saja kita tidak akan bersekutu dengan kaum sesat seperti mereka. Akan tetapi, dalam keadaan terjepit dan tiada pilihan lain, kita boleh memperlihatkan sikap seolah-olah kita setuju untuk bersama mereka menentang pemerintah. Bagaimanapun juga, bukankah kita sendiri juga tidak suka melihat pemerintah penjajah menguasai tanah air kita? Tapi, sikap kita setuju menentang pemerintah penjajah bukan merupakan suatu kepura-puraan belaka. Hanya sikap mau bekerja sama itu yang menjadi permainan sandiwara kita. Nah, kalau sudah begitu, tentu muncul kesempatan bagi kita untuk membebaskan diri kelak. Bagaimana pendapat kalian?"
Kun Tek masih hendak membantah. Pemuda ini merasa betapa memalukan kalau dia harus memperlihatkan sikap lunak dan takluk kepada tokoh-tokoh sesat itu. Akan tetapi, melihat betapa Li Sian mengangguk-angguk menyambut pendapat Hong Beng itu dan nampaknya setuju, dia pun.... mengangguk pula beberapa kali dan menutup mulutnya!
Mereka bertiga terpaksa kini menutup mulut karena mendengar suara orang dan langkah kaki menuju ke kamar tahanan itu. Ternyata yang muncul adalah Ouwyang Sianseng bersama Siangkoan Liong! Hong Beng bertukar pandang dengan Kun Tek, memberi isyarat bahwa agaknya apa yang diduganya akan terjadi. Buktinya Ouwyang Sianseng yang lihai sekali itu, kini mengunjungi mereka! Apalagi kalau bukan untuk membujuk mereka agar suka bekerja sama? Akan tetapi, Hong Beng melihat betapa Li Sian memandang kepada Siangkoan Liong dengan sinar mata memandang penuh kebencian sehingga dia terkejut. Pandang mata seperti itu tak dapat menipu yang hanya dapat dilakukan oleh seseorang yang amat benci karena dendam sakit hati! Apakah yang telah dilakukan pemuda tampan putera ketua Tiat-long-pang itu sehingga membuat Li Sian demikian membencinya?
Di belakang kedua orang ini nampak tiga belas orang yang keadaan tubuhnya amat menyeramkan. Tinggi besar seperti raksasa, dengan tubuh bagian atas telanjang sehingga nampak dada dan pundak lengan yang berotot melingkar-lingkar dan juga berbulu! Mereka itu seperti segerombolan orang hutan, mata mereka sempit kemerahan dan mulut mereka, lebar menyeringai, nampak gigi yang tidak terpelihara baik-baik dan kekejaman yang buas nampak pada wajah mereka. Usia mereka sekitar tiga puluh sampai empat puluh tahun dan celana mereka hitam dengan kaki bersepatu kulit tebal. Ketika Siangkoan Liong dan gurunya membuka pintu kamar tahanan dan memasukinya, tiga belas raksasa Mongol itu tinggal di luar, akan tetapi mereka menjenguk ke dalam melalui jeruji-jeruji besi dan mata mereka semua memandang kepada Li Sian seperti segerombolan srigala kelaparan, dengan mulut menyeringai, dan di antara mereka ada yang tak dapat menahan air liur yang mengalir keluar melalui ujung bibir mereka. Li Sian membuang muka karena merasa ngeri dan jijik.
Dua orang anak buah Tiat-liong-pang membawa dua buah bangku dan memberikannya kepada guru dan murid itu, kemudian keluar lagi. Siangkoan Liong dan gurunya duduk di dekat pintu, memandang kepada tiga orang tawanan yang kini sudah bangkit berdiri, seperti dua orang yang nonton tiga ekor binatang buas yang diikat pada dinding. Kun Tek memandang kepada mereka dengan mata melotot marah. Kalau saja kaki kirinya tidak dibelenggu rantai baja dan terikat pada dinding, ingin rasanya dia menerjang kedua orang itu! Hong Beng berdiri dengan sikap tenang saja, sedangkan Li Sian yang juga sudah berdiri, kini menundukkan pandang matanya karena tidak sudi lagi ia memandang kepada Siangkoan Liong lebih lama lagi.
"Sian-moi, sungguh aku merasa bersedih dan menyesal sekali bahwa engkau telah terkena hasutan Bi Kwi sehingga engkau memusuhi aku. Sian-moi, tidak dapatkah kita berbaik kembali? Lupakah engkau akan hubungan antara kita?"
Kalau tadinya Li Sian sudah dapat menenangkan batinnya, kini mendengar ucapan itu, seolah-olah api yang sudah mengecil itu disiram minyak sehingga berkobar kembali, mengingatkan ia akan kematian kakaknya dan akan dirinya yang telah ternoda oleh pemuda perayu ini. Ketika ia mengangkat mukanya, sepasang matanya berkilat memandang Siangkoan Liong penuh kebencian. "Siangkoan Liong, tidak perlu banyak bicara lagi! Omonganmu yang beracun tidak perlu kudengarkan lagi. Tidak ada hubungan apa-apa di antara kita kecuali hubungan dendam dan permusuhan yang hanya akan dapat dihapus dengan darah!"
Seperti juga Hong Beng, kini Kun Tek memandang dan menekan keheranan hatinya. Dia juga dapat merasakan kebencian yang mendalam dari gadis itu terhadap Siangkoan Liong.
Sebelum Siangkoan Liong menjawab atau bicara lagi, Ouwyang Sianseng sudah mencegahnya dengan mengangkat tangan kanan ke atas dan kini terdengar kakek itu bicara, suaranya halus dan penuh wibawa, sikapnya tenang sekali dan sikapnya seperti dia sedang bicara kepada para muridnya saja.
"Tidak perlu perbantahan lagi, lebih baik kalau nona Pouw Li Sian mengetahui duduknya persoalan yang sebenarnya. Nona Pouw Li Sian, bukankah engkau merasa penasaran dan mendendam sakit hati karena kakak kandungmu terbunuh? Nah, ketahuilah bahwa memang sesungguhnyalah kalau dia itu dibunuh oleh kami sendiri! Lebih baik berterus terang agar engkau tahu duduknya persoalan."
Li Sian mengangkat muka memandang wajah kakek itu. Matanya terbelalak dan tentu saja ia mau mendengarkan karena kakek itu agaknya kini berterus terang dan mengakui secara jujur.
"Akan tetapi, mengapa dia dibunuh? Apa kesalahannya?" tanyanya sambil mengamati wajah kakek itu penuh selidik.
"Dia telah mengkhianati perjuangan kami! Dia hendak melaporkan kegiatan kami ke kota raja. Kalau dia tidak dibunuh, kami semua bisa celaka."
"Bohong! Aku tidak percaya!" kata Li Sian, walaupun di sudut hatinya ia meragukan bantahannya sendiri. Bukankah kakaknya itu sudah memperlihatkan sikap aneh, seolah-olah terkejut dan sama sekali tidak setuju melihat ia membantu gerakan perjuangan yang dipimpin Siangkoan Lohan itu? "Bukankah kakakku itu anak buah Coa Tai-ciangkun yang sudah bergabung dengan Tiat-liong-pang?"
"Itulah sebabnya mengapa kami harus bertindak tegas. Pengkhianatannya itu diketahui oleh perwira lain dan ketika dia ditegur, terjadi perkelahian di antara mereka. Kakakmu menang, perwira itu dibunuhnya, akan tetapi pada saat itu, kami mengetahuinya dan kami lalu membunuhnya pula. Nah, engkau sudah mendengar sekarang, dan memang demikianlah keadaannya. Karena itu, harap engkau suka menyadari kekeliruanmu memusuhi muridku ini, nona Pouw."
Pouw Li Sian hampir terbujuk, akan tetapi ia teringat kembali akan kematian Yo Jin dan Bi Kwi yang mengerikan, dan perasaan tidak suka sudah mulai tumbuh di dalam hatinya terhadap Siangkoan Liong yang tadinya berhasil menjatuhkan hatinya.
"Tidak, aku masih belum percaya! Ini semua tentu tipu muslihat kalian!" katanya.
"Memang kami hendak memperlihatkan bukti kebenaran omongan kami." kata kakek itu sambil memberi isyarat ke luar kamar tahanan yang luas itu. Terdengar suara gaduh dan masuklah seorang anak buah Tiat-liong-pang menyeret lengan seorang wanita yang wajahnya pucat dan pakaiannya kusut, rambutnya juga awut-awutan. Namun masih dapat nampak jelas bahwa wanita yang usianya sekitar dua puluh lima tahun itu berwajah cantik dan memiliki tubuh yang montok menggairahkan. Wanita itu terhuyung lalu jatuh berlutut di depan kaki Ouwyang Sianseng.
"Nah, Nyonya Pouw Ciang Hin, sudahkah engkau pikir baik-baik. Kalau engkau ingin agar kami mengampunimu, ceritakan dengan terus terang tentang suamimu yang menjadi pengkhianat itu!" kata Ouwyang Sianseng dengan sikap lembut namun keren.
Li Sian merasa betapa jantungnya berdebar penuh ketegangan dan ia mengamati wajah wanita itu. Kiranya mendiang kakaknya telah mempunyai seorang isteri dan kini isterinya telah menjadi tawanan dari gerombolan ini pula!
Wajah pucat itu diangkat memandang kepada Ouwyang Sianseng dengan sinar mata mohon dikasihani. Sudah berulang kali kuceritakan semuanya, dan suamiku bukan seorang pengkhianat...."
"Bohong!" bentak Siangkoan Liong marah. "Dia mengkhianati Coa Tai-ciangkun, dia mengkhianati gerakan perjuangan kami, dia setia kepada pemerintah penjajah Mancu dan dia merencanakan pengkhianatan dengan laporan ke kota raja. Hayo. ceritakan, siapa saja sekutunya dalam pengkhianatan ini!"
"Kongcu.... sudah berulang kali kunyatakan bahwa aku tidak tahu.... dia seorang yang baik dan tidak mungkin menjadi pengkhianat.... ah, Kongcu, aku telah menceritakan segalanya dan engkau masih belum juga percaya? Kalau begitu, bunuh saja aku agar aku dapat menyusul suamiku...." Wanita itu menangis.
Siangkoan Liong bertukar pandang dengan gurunya dan Ouwyang Sianseng mengangguk. Siangkoan Liong lalu memanggil ke luar kamar. "Hei, seorang dari kalian masuklah ke sini!"
Ketika pemuda itu menunjuk kepada mereka, tiga belas orang raksasa Mongol itu menyeringai dan mereka saling berebut hendak masuk, bahkan dorong mendorong dan tarik menarik. Siangkoan Liong menghardik dan mereka pun diam, lalu seorang di antara mereka, yang paling besar, dengan tubuh berbulu seperti seekor gorila, melangkah masuk, kedua tangannya tergantung panjang sampai ke lutut, mulutnya yang lebar menyeringai dan matanya yang sipit kemerahan itu ditujukan kepada wanita yang masih berlutut dan kini memandang dengan mata terbelalak ngeri kepada manusia monyet itu.
Raksasa itu lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Siangkoan Liong, dan suaranya terdengar parau dan besar ketika dia bertanya, "Kongcu, apakah yang harus saya lakukan?" Karena logat bicaranya asing, maka terdengar lucu dan juga menyeramkan.
"Engkau Okatou, kau boleh melakukan apa saja terhadap wanita tawanan ini agar ia mau mengakui semua pengkhianatan suaminya. Akan tetapi jangan bunuh!"
Raksasa itu lalu menyeringai dan menoleh kepada isteri mendiang Pouw Ciang Hin. "Heh-heh-heh, Kongcu. Boleh saya melakukan apa saja terhadapnya, di sini?"
"Ya, bahkan kalau perlu kau boleh memperkosanya agar ia mau mengaku!" kata pula Siangkoan Liong. Mendengar ini, wajah Kun Tek, Hong Beng dan Li Sian menjadi merah karena marah. Akan tetapi mereka tidak berdaya dan hanya dapat menonton dengan hati tegang. Sementara itu, dua belas orang raksasa lain di luar kamar, menonton dari balik jeruji dan mereka tertawa-tawa dan menyeringai dengan mulut berliur, agaknya mereka iri terhadap kawan mereka yang dianggap mujur itu
Raksasa bernama Okatou itu kini bangkit dan menghampiri isteri Pouw Ciang Hin yang terbelalak dengan muka pucat sekali, tubuhnya menggigil dan ia pun bangkit berdiri. Karena keadaan terhimpit, ia pun agaknya hendak berlaku nekat dan memasang kuda-kuda. Agaknya sedikit banyak wanita ini pernah belajar silat dari suaminya. Melihat ini, Okatou tersenyum lebar, memperlihatkan giginya yang besar-besar dan kotor.
"Cui Bi, mengakulah saja sebelum dia menjamah tubuhmu." terdengar Siangkoan Liong berkata dan mendengar betapa pemuda ini menyebut nama kecil nyonya itu, mudah diduga bahwa dia sudah akrab dengannya. Dan memang demikianlah semenjak suaminya meninggal, nyonya ini diboyong ke dalam kamar Siangkoan Liong dan dengan cara halus, dengan bujuk rayu dan permainan cinta, pemuda itu sudah berusaha untuk membuat wanita itu mengakui semua kegiatan suaminya. Karena tidak berhasil walaupun nyonya itu telah menyerahkan diri dengan terpaksa, maka diambil jalan ini, untuk memaksa nyonya itu mengaku, juga sekalian untuk membuat Li San dan dua orang pemuda tawanan itu menjadi jerih dan tunduk.
Nyonya itu menggeleng kepala berkali-kali. "Tidak.... tidak.... jangan lakukan ini, Kongcu.... ah, bunuh sajalah aku...."
Raksasa Okatou itu sambil menyeringai telah menubruk dengan kedua lengannya yang panjang. Wanita itu mengelak dan mencoba untuk menendang dari samping. Akan tetapi, sekali sambar, raksasa itu telah menangkap kaki dan menendang.
"Ahhhhh.... lepaskan kakiku.... Lepaskan aku....! Nyonya yang bernama Cui Bi itu meronta-ronta, namun percuma saja, kaki kanannya seperti terjepit besi. Kini tangan kiri raksasa itu menyambar ke depan dan di lain saat tubuh wanita itu telah dirangkulnya dan ditariknya mendekat, didekapnya dan sambil tersenyum menyeringai, raksasa Mongol itu itu menciumi muka Cui Bi! Wanita ini berusaha memutar kepalanya ke kanan kiri untuk mengelak, namun kini tangan kiri Okatou menjambak rambutnya, memaksa kepala itu untuk diam dan dengan lahapnya dia mencium pipi dan mulut Cui Bi dengan ciuman yang mengeluarkan bunyi.
Dua belas orang raksasa Mongol lainnya menonton dengan mata melotot dan mulut mengeluarkan air liur. Sementara itu, Li Sian menarik-narik rantai di kakinya. Ia sudah marah sekali dan kalau saja ia dapat melepaskan diri dari rantai itu, tentu ia akan menerjang raksasa Mongol yang sedang menghina kakak iparnya itu! Akan tetapi rantai itu telalu kuat. Kun tek juga mengepal tinju dan berteriak. "Jahanam busuk, lepaskan ia!" Akan tetapi, Okatou yang hanya mentaati perintah Siangkoan Liong, tentu saja tidak memperdulikan semua itu.
"Brettttt! Brettttt....!" Kini kedua tangan raksasa itu merobek-robek dan merenggut pakaian Cui Bi. Bagaikan kertas saja, kain pakaian itu robek dan tanggal sehingga kini tubuh wanita yang malang itu menjadi telanjang bulat! Dan jari-jari tangan yang besar berbulu itu, tanpa rikuh atau malu-malu di depan banyak orang, menggerayangi bagian tubuh dengan penuh nafsu. Okatou dan kawan-kawannya, yang menjadi pasukan khusus dan anak buah Siangkoan Liong, datang dari luar Tembok Besar dan mereka itu memang merupakan manusia liar yang buas. Mereka sudah biasa melakukan siksaan atau pembunuhan, perkosaan begitu saja di depan banyak orang tanpa merasa rikuh sedikit pun juga.
Cui Bi, wanita yang malang itu, hampir pingsan ketika dirinya didekap, diciumi dan kini pakaiannya telah tanggal semua, akan tetapi ia masih ingat untuk nekat menggigit pipi raksasa Mongol itu sekuat tenaga.
"Aughhh....!" Okatou mengeluarkan suara gerengan seperti binatang buas dan dia mendorong tubuh Cui Bi dengan keras sehingga gigitan itu terlepas dan tubuh Cui Bi terlempar ke arah Li Sian. Raksasa itu meraba pipinya yang kulitnya robek berdarah oleh gigitan Cui Bi, kini matanya makin merah memandang ke arah Cui Bi yang tentu akan terbanting kalau saja Li Sian tidak menyambutnya dengan tangan kirinya.
"Heh-heh-heh...." dalam kemarahannya, Okatou menyeringai dan terkekeh, lalu melangkah perlahan-lahan menghampiri wanita telanjang itu, sinar matanya penuh ancaman mengerikan.
"Heh-heh-heh, engkau kuda betina binal.... heh-heh-heh, mari sini manis...." Okatou tiba-tiba melompat ke depan, tangannya terulur untuk menangkap rambut Cui Bi yang kini terurai karena terlepas dari sanggulnya. Akan tetapi, sebuah kaki menyambutnya.
"Dukkk....!" Dan tubuh Okatou terjengkang keras oleh tendangan yang dilakukan Li Sian untuk melindungi Cui Bi. Tubuh Okatou terbanting keras dan Li Sian berkata kepada Cui Hi, "So-so (Kakak Ipar), bersembunyilah di belakangku. Aku akan melindungimu, aku adalah adik perempuan suamimu."
Pada saat itu Cui Bi merangkak ke belakang Li Sian. Okatou sudah bangkit lagi dan dengan kemarahan meluap, Okatou sudah menubruk ke depan, sekali ini bukan menubruk ke arah Cui Bi, melainkan ke arah Li Sian, wanita tawanan yang berani menendang sehingga dadanya terasa nyeri dan sesak napas itu. Li Sian yang sudah amat marah dan membenci raksasa ini, sudah mempersiapkan diri, mengumpulkan tenaga sin-kang pada seluruh tubuhnya. Ia menanti sampai penyerangnya itu dekat, lalu ia mendahului dengan luncuran tangan kirinya, dengan dua jari mencuat, yaitu telunjuk dan jari tengah, agak direnggangkan dan dua buah jari itu meluncur dan menghujam ke arah kedua mata raksasa itu.
"Creppp....!" Dua batang jari itu seperti sumpit baja menusuk dan masuk ke dalam rongga mata Okatou. Tubuh Okatou menggigil dan gerengan aneh keluar dari mulutnya, kemudian dia terjengkang, akan tetapi pada saat itu, kaki kanan Li Sian menyusul dengan tendangan maut.
"Desssss....!" Dan kini tubuh itu terbanting keras dan tidak mampu bergerak lagi. Kedua matanya berlumuran darah dan di bagian tengah celananya juga berlepotan darah. Kalau tusukan jari tangan itu membutakan matanya, maka tendangan tadi menghancurkan selangkangnya dan membuat nyawa raksasa buas itu melayang!
"Soso, jangan takut, aku melindungimu," kata pula Li Sian kepada wanita telanjang yang masih berlutut di belakangnya. Akan tetapi, Cui Bi terbelalak memandangnya, kemudian berkata dengan suara lantang.
"Hemmm, kiranya engkau adik suamiku yang bernama Pouw Li Sian? Cihhh, sungguh tidak tahu malu engkau! Kakakmu dibunuh orang dan engkau menyerahkan diri dan kehormatanmu kepada Siangkoan Kongcu!"
Wajah Li Sian tiba-tiba menjadi pucat sekali, kemudian berubah merah dan pada saat itu, Siangkoan Liong yang juga tidak mengira wanita itu akan mengeluarkan kata-kata seperti itu, menghardik, "Cui Bi, ke sini engkau!"
Bagaikan seekor anjing yang takut mendengar panggilan majikannya, Cui Bi berjalan menghampiri Siangkoan Liong, berusaha menggunakan kedua tangan menutupi bagian tubuh atas dan bawah, lalu ia berlutut di depan pemuda itu.
"Kongcu, jangan siksa aku seperti ini. Ampunkan atau bunuh saja aku," ratapnya.
Ouwyang Sianseng mengerutkan alisnya menyaksikan semua peristiwa yang tidak disangkanya itu. "Hemmm, Kongcu apakah engkau masih menyayang dan membutuhkan wanita ini?" tanyanya kepada Siangkoan Liong.
Pemuda itu menggeleng kepala dan mendengus dengan pandang mata menghina.
"Tidak, Suhu, saya sudah bosan padanya."
"Kalau begitu, suruh bunuh saja ia agar jangan mendatangkan keributan lagi," kata Ouwyang Sianseng.
Siangkoan Liong memandang kepada Cui Bi, lalu menoleh kepada wajah dua belas orang raksasa Mongol di luar yang masih terbelalak memandang ke arah tubuh wanita telanjang itu seperti srigala-srigala kelaparan, lalu dia berkata, "Tidak Suhu. Biar untuk mereka saja! Nih, ia kuberikan kepada kalian. Bawa pergi ke belakang sana!" Siangkoan Liong tiba-tiba melakukan gerakan dengan kakinya, menendang tubuh Cui Bi yang terlempar keluar dari pintu kamar. Di luar, dua belas orang itu sambil mengeluarkan suara teriakan-teriakan liar telah menyambut dan jerit melengking yang keluar dari mulut Cui Bi mengatasi semua suara gaduh. Li Sian melihat tubuh berkulit putih mulus menjadi rebutan, di antara tangan-tangan yang berbulu ,dan berotot, lalu tubuh wanita itu diangkat pergi oleh dua belas orang raksasa itu. Yang terdengar hanya lengking tangis dan Li Sian lalu menundukkan mukanya dan mematikan pendengarannya agar ia tidak lagi mendengar jeritan kakak iparnya.
Sementara itu, Kun Tek kini duduk bersila dan matanya menatap ke arah Siangkoan Liong, bagaikan mencorong dan mengeluarkan api. Di dalam hatinya, pemuda ini mengambil keputusan untuk membunuh pemuda tampan itu. Bukan hanya untuk perbuatannya yang keji terhadap Cui Bi, melainkan juga karena Li Sian! Kini dia mulai mengerti mengapa gadis perkasa itu demikian penuh kebencian terhadap Siangkoan Liong!
Setelah para anak buah Tiat-liong-pang membawa pergi mayat Okatou, Ouwyang Sianseng lalu memandang kepada tiga orang tawanan itu. Dia menarik napas panjang lalu berkata, "Ahhh, perang memang kejam. Dalam perjuangan, kadang-kadang memang harus mempergunakan kekerasan terhadap musuh. Apalagi kaum pengkhianat memang harus dibasmi. Kami mengenal Sam-wi (Kalian bertiga) sebagai orang-orang gagah, keturunan para pendekar sakti. Sudah tentu memiliki jiwa patriot dan membenci pemerintah penjajah Mancu. Kami sedang berusaha menumbangkan penjajah, membebaskan rakyat dari penjajahan, oleh karena itu, kami yakin bahwa sebagai pendekar-pendekar gagah yang membela tanah air dan rakyat, Sam-wi tentu akan berpikir panjang. Membantu perjuangan kami atau terpaksa kami lenyapkan Sam-wi sebagai lawan-lawan yang berbahaya. Kami memberi waktu untuk mengambil keputusan sampai besok pagi." Setelah berkata demikian, Ouwyang Sianseng mengajak muridnya keluar dari kamar itu dan memesan kepada para anak buah untuk menyuguhkan hidangan yang hangat dan baik kepada mereka bertiga.
Dengan cerdik, Hong Beng diam saja, tidak menjawab pertanyaan Ouwyang Sianseng. Dia tahu bahwa Kun Tek dan Li Sian masih terguncang batinnya menyaksikan kekejaman yang tak berperikemanusiaan tadi, maka mereka berdua itu pasti akan menentangnya kalau dia menyambut dengan lembut. Apalagi, kakek itu memberi waktu sampai besok, masih banyak waktu bagi mereka bertiga berunding.
***
Suma Ceng Liong dan isterinya, biarpun tinggal di dusun Hong-cun di luar kota Cin-an yang jauh dari keramaian, jauh pula dari urusan para pendekar di dunia persilatan, namun ada saja kenalan yang memerlukan singgah di dusun itu untuk mengunjungi suami isteri terkenal ini dan menyampaikan penghormatan mereka. Oleh karena itu, berita tentang gerakan orang-orang kang-ouw yang memberontak di perbatasan utara, dipimpin oleh Siangkoan Lohan sebagai ketua Tiat-liong-pang, dapat mereka dengar dan hal ini mengejutkan hati mereka.
"Sungguh mengherankan sekali berita itu." kata Suma Ceng Liong kepada Kam Bi Eng, isterinya. "Padahal, nama Siangkoan Tek atau Siangkoan Lohan sebagai ketua Tiat-liong-pang amat terkenal. Perkumpulan itu bahkan pernah berjasa terhadap pemerintah Mancu, dan kalau tidak salah, aku pernah mendengar bahwa Siangkoan Lohan dihadiahi seorang puteri dari keluarga kaisar untuk menjadi isterinya. Bagaimana kini tersiar berita bahwa dia memimpin orang-orang kang-ouw untuk mengadakan pemberontakan? Sungguh aneh."
"Hal seperti itu mungkin saja terjadi," kata isterinya. "Bagaimanapun juga, sebagai seorang pendekar yang gagah, tentu Lohan juga merasa tidak puas melihat betapa bangsa dan tanah air dijajah oleh orang-orang Mancu. Kalau sekarang dia mengadakan gerakan perjuangan untuk menentang pemerintah penjajah, apakah anehnya hal itu?"
Kalau dia menggerakkan orang-orang gagah dan rakyat yang tertindas untuk berjuang menentang penjajah Mancu, hal itu tidaklah aneh dan tidak mengkhawatirkan. Akan tetapi, menurut berita yang kita dengar itu, dia menggerakkan orang-orang kang-ouw (sungai telaga), golongan hitam dan sesat. Ini amat berbahaya karena perjuangan itu jelas bukan demi rakyat, bukan demi bangsa dan tanah air, melainkan mengandung pamrih untuk golongan itu dan celakalah rakyat jelata kalau hal itu terjadi. Mereka, kalau menang, bahkan akan lebih jahat dan kejam daripada pemerintah penjajah sendiri."
Kam Bi Eng memegang lengan suaminya. "Sudahlah, kenapa kita harus memusingkan kepala memikirkan urusan pemberontakan? Itu urusan pemerintah dan bukankah pemerintah memiliki pasukan yang kuat untuk memberantasnya? Bukan urusan kita untuk mencampurinya. Hanya, aku teringat kepada anak kita. Ke mana perginya Lian-ji? Engkau tahu, wataknya masih amat keras sehingga kalau ia mendengar tentang persekutuan golongan hitam itu, tentu ia akan maju menentangnya."
Suma Ceng Liong mengangguk. "Itulah yang kukhawatirkan. Ia memang telah memiliki ilmu kepandaian yang cukup untuk membela diri, akan tetapi kalau ia sampai mencampuri urusan pemberontakan itu dan ia menentang Tiat-liong-pang, sungguh berbahaya. Tingkat kepandaian Siangkoan Lohan amat tinggi dan belum tentu anak kita yang kurang pengalaman itu akan mampu menandinginya, apalagi kalau diingat bahwa Siangkoan Lohan mengumpulkan banyak tokoh sesat seperti yang beritanya kita dengar."
Kam Bi Eng mengerutkan alisnya. "Lalu bagamana baiknya? Kita harus menyusulnya dan melindunginya!
Suaminya mengangguk-angguk. "Hanya tidak mudah mencari anak kita itu. Sebaiknya kita pergi berkunjung ke pertapaan kanda Suma Ciang Bun. Tentu ia sudah tiba di tempat itu untuk menyampaikan pesan kita, dan dari sana kita bisa mengikuti jejaknya, karena tentu Bun-ko tahu kemana anak itu pergi setelah meninggalkan tempatnya."
Karena mengkhawatirkan keadaan anak tunggal mereka yang tercinta, sepasang suami isteri perkasa ini lalu berkemas dan meninggalkan rumah mereka menuju ke Tapa-san, di mana Suma Ciang Bun bertapa untuk mulai mencari jejak puteri mereka.
Suami isteri yang sakti ini sudah lama tidak pernah memasuki dunia ramai, apalagi mencampuri urusan dunia persilatan. Belasan tahun lamanya mereka hidup dengan tenang dan tenteram di dusun Hong-cun. Kini, begitu meninggalkan rumah, apalagi setelah mereka tiba di luar dusun, timbul kegembiraan dalam hati mereka. Jiwa petualangan mereka bangkit lagi. Di waktu muda, mereka adalah orang-orang yang suka bertualang, menghadapi banyak macam bahaya sebagai pendekar-pendekar yang setiap saat siap menentang kejahatan. Kegembiraan itu nampak pada wajah mereka yang berubah cerah. Bagaikan suami isteri yang sedang bertamasya saja mereka berjalan perlahan menuruni bukit kecil menuju ke padang rumput di kaki bukit yang menjadi permulaan sawah ladang yang amat luas, dengan warna hijau menguning menyedapkan mata. Bau tanah dan tanaman gandum yang harum memasuki hidung mereka, bersama hawa udara yang amat segar dan nyaman.
Akan tetapi, tiba-tiba mata mereka yang sudah terlatih dan amat tajam melihat sesuatu yang menarik perhatian mereka. Jauh di sana, di luar padang rumput yang membatasi padang rumput dengan sawah ladang nampak beberapa orang manusia bergerak-gerak. Kecil sekali mereka itu nampak dari tempat jauh, akan tetapi gerakan-gerakan mereka itu dapat dikenal suami isteri ini sebagai gerakan orang-orang berkelahi dengan ilmu silat tinggi.
"Di sana ada orang-orang berkelahi!" kata Kam Bi Eng kepada suaminya. "Seorang dikeroyok oleh tujuh lawan!"
"Benar," kata suaminya, seolah-olah suami isteri ini sedang mengadu ketajaman mata mereka. "Yang seorang itu agaknya wanita, dan pengeroyoknya seorang wanita dan enam orang pria."
Mendengar ucapan suaminya itu, Kam Bi Eng mengerahkan tenaganya memandang dan ia pun berseru membenarkan. "Hayo cepat kita ke sana!" teriak wanita sakti itu dan tanpa menanti jawaban suaminya, Kam Bi Eng sudah meloncat ke depan dan berlari secepat angin menuruni bukit. Suma Ceng Liong juga segera mempergunakan ilmunya berlari cepat, mengejar isterinya. Karena keduanya mempergunakan ilmu berlari cepat yang hebat sekali, maka tak lama kemudian mereka berdua pun sudah tiba di tempat perkelahian itu. Memang penglihatan Suma Ceng Liong dari jauh tadi tidak keliru. Seorang gadis cantik manis berusia kurang lebih dua puluh satu tahun sedang dikeroyok oleh seorang wanita setengah tua dan enam orang laki-laki. Para pengeroyok itu rata-rata memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, namun gadis muda itu pun hebat sekali ilmu silatnya.
Melihat betapa gadis cantik manis itu memainkan ilmu pedang yang aneh, namun yang tidak asing baginya, Suma Ceng Liong segera berkata kepada isterinya. "Mari kita bantu gadis itu, bubarkan para pengeroyoknya sebelum ia celaka!"
Memang pada saat itu, gadis berpedang itu sudah terdesak hebat karena memang para pengeroyoknya memiliki kepandaian yang tinggi sekali, bahkan wanita setengah tua itu agaknya jauh menonjol tingkat kepandaiannya dibanding para pengeroyok lain. Sesungguhnya, tidak mengherankan kalau para pengeroyok itu lihai, karena wanita setengah tua itu bukan lain adalah Sin-kiam Mo-li, tokoh sesat yang menjadi pembantu utama dari Siangkoan Lohan! Dan selain Sin-kiam Mo-li, di antara mereka terdapat pula Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek yang menjadi rekan dan juga kekasihnya, dan lima orang lain adalah kaki tangan Tiat-liong-pang yang sedang mengadakan pemberontakan. Adapun gadis cantik manis yang sedang dikeroyok itu adalah Hong Li!
Seperti telah kita ketahui, gadis perkasa ini memang sedang menuju dusun Hong-cun di luar kota Cin-an di Propinsi Shantung, lembah Huang-ho untuk berkunjung ke rumah Suma Ceng Liong seperti yang dipesan oleh ayah ibunya. Ketika tiba di padang rumput di kaki bukit itu, tiba-tiba ia bertemu dengan seorang laki-laki setengah tua pesolek yang genit dan ceriwis sekali. Pria itu adalah Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek. Sudah menjadi watak atau ciri khas dari tokoh sesat yang berjuluk Raja Pedang ini untuk tidak melewatkan setiap kesempatan bertemu wanita cantik. Selalu saja dia mengganggu dan berusaha mendapatkan wanita itu dan kalau hatinya tertarik, dia tidak peduli lagi siapa wanita itu, isteri orang atau anak gadis orang. Dia akan menundukkannya, dan mungkin dengan bujuk rayu mengandalkan kegantengannya, kalau tidak, dia akan mempergunakan kepandaiannya untuk mendapatkannya. Dia tidak pantang mempergunakan kekerasan memperkosa wanita itu.
Melihat seorang gadis melakukan perjalanan seorang diri di tempat sunyi itu, apalagi gadis itu cantik manis sekali, segera hati Giam San Ek terpikat dan dia pun menghadang sambil cengar-cerigir menyeringai untuk memikat. Baru beberapa hari dia dan Sin-kiam Mo-li bersama beberapa orang kaki tangan mereka, tinggal mondok di dusun berdekatan dalam tugas mereka menghimpun tenaga bantuan untuk gerakan yang dilakukan Tiat-liong-pang.
"Selamat pagi, Nona Manis! Dari mana hendak ke manakah? Dan bolehkah kutemani Nona yang berjalan sendirian saja agar tidak kesepian?" demkian tegur Toat-beng Kiani-ong Giam San Ek kepada Kao Hong Li.
Wajah yang bulat telur itu menjedi merah dan mata yang jeli lebar itu mengeluarkan sinar berapi. Hong Li adalah seorang gadis yang cantik dan manis sekali dan sudah lama melakukan perjalanan seorang diri, maka sudah tidak aneh baginya melihat sikap pria yang mencoba untuk menggodanya. Dan setiap kali digoda pria secara kurang ajar, ia pasti turun tangan menghajar pria yang snma sekali tidak menyangkanya bahwa dia berhadapan dengan seorang pendekar wanita yang lihai sekali. Kini melihat sikap pria setengah tua yang amat ceriwis itu, Hong Li yang juga pandai bicara lalu tersenyum simpul, menahan kemarahannya yang membuat kedua pipinya kemerahan itu.
"Hemmm, orang tua, pernahkah engkau bercermin?"
Melihat gadis itu tersenyum simpul yang membuat wajahnya semakin manis, dan melihat kedua pipi yang halus itu kemerahan yang disangkanya gadis itu malu-malu kucing, Giam San Ek tidak marah mendengar gadis itu menyebutnya orang tua. Dia meraba rambutnya, dan meneliti pakaiannya apakah ada yang kusut, lalu menjawab.
"Tentu saja, Nona Manis! Aku selalu membawa cermin ke manapun aku pergi. Lihat!" Dan seperti bermain sulap saja, tangan kirinya yang bergerak itu telah mengeluarkan sebuah cermin kecil dari saku bajunya. Melihat betapa ucapannya itu dianggap benar-benar dan orang itu benar-benar pula mengeluarkan sebuah cermin, Kao Hong Li tak dapat menahan ledakan ketawanya.
"Hemmm, manusia tak tahu diri! Kalau engkau sering bercermin, apakah engkau belum juga melihat betapa engkau ini sudah tua? Akan tetapi engkau masih pesolek, genit dan suka menggoda gadis muda seperti aku. Tidak malukah engkau?"
Mana mungkin orang macam Giam San Ek memiliki perasaan malu? Teguran Hong Li ini dianggapnya main-main saja, bahkan disangka sebagai tanda bahwa gadis itu menanggapi godaannya.
"Ha-ha-ha, Nona Manis. Betapa tuanya seorang laki-laki, kalau melihat gadis manis sepertimu ini, siapa yang tidak menjadi tergila-gila? Hayolah, tak usah malu-malu, mari ikut dengan aku bersenang-senang!" Berkata demikian, Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek mengulurkan tangannya untuk mencubit dagu gadis itu.
Tentu saja Kao Hong Li menjadi marah melihat sikap orang ini makin berkelanjutan, bahkan semakin berani hendak mencolek dagunya. Dengan mudah ia mengelak dengan mundur selangkah, dan tangannya menampar keras sekali ke arah muka orang.
Giam San Ek yang sama sekali tidak mengira bahwa gadis manis itu berani menamparnya, mengelak, akan tetapi karena memandang rendah, dia bergerak kurang cepat sehingga walaupun mukanya tidak kena ditampar, pundaknya masih terserempet ujung tangan gadis itu. Dia terkejut, baru tahu betapa tamparan itu mengandung tenaga yang amat kuat, maka dia pun melangkah mundur dan memandang dengan alis berkerut.
"Eh? Engkau hendak membalas keramahan orang dengan pukulan?" bentaknya, kini kurang ramah.
"Keramahanmu hanyalah kekurangajaran, dan aku adalah seorang gadis yang tidak sudi kaupermainkan. Pukulanku adalah pukulan untuk menghajar laki-laki kurang sopan macam kalian ini!" Dan kini Kao Hong Li sudah menerjang ke depan, mengirim tamparan bertubi-tubi. Gerakannya tentu saja cepat dan kuat sekali!
Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek mengelak dan menangkis dua kali.
"Dukkk! Plak!" Pertemuan kedua tangan mereka membuat keduanya terkejut. Hong Li juga kaget karena ternyata dalam tangkisan tangan lawan itu terkandung tenaga sin-kang yang kuat, sedangkan Giam San Ek tentu saja kaget karena pertemuan lengan itu membuat tubuhnya hampir terjengkang kalau saja dia tidak dapat meloncat ke belakang. Kini dia memandang gadis itu penuh perhatian, baru tahu bahwa dia berhadapan dengan seorang gadis yang memiliki ilmu silat tinggi dan tenaga dalam yang kuat.
"Ah, kiranya engkau memiliki sedikit kepandaian, pantas sikapmu jual mahal!" bentak Giam San Ek dan dia pun sudah menerjang lagi dengan cepat dan ganas, menyerang dengan sungguh-sungguh, bukan sekedar ingin memegang atau mencolek.
Namun, sekali ini dia kecelik dan bukan hanya gadis itu mampu menghindarkan diri dari semua terkamannya, bahkan membalas tak kalah dahsyatnya sehingga membuat Toat-beng Kiam-ong itu terdesak mundur. Kalau dilanjutkan perkelahian tangan kosong itu, tentu dia akan kalah, karena Kao Hong Li adalah cucu Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir, ahli ilmu silat tangan kosong dengan ilmu silat Sin-liong-ciang-hoat, dan juga isterinya ahli silat tangan kosong Han-tok-ciang (Silat Tangan Selaksa Racun). Kedua ilmu silat ini telah diwarisi Hong Li dari ayahnya, yaitu Kao Cin Liong. Juga dari ibunya, cucu Pendekar Super Sakti Pulau Es gadis bermata lebar ini telah mewarisi ilmu-ilmunya, maka tidaklah mengherankan kalau Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek terdesak hebat setelah mereka berkelahi selama belasan jurus saja.
"Singgg...." Nampak sinar berkelebat ketika Giam San Ek yang berjuluk Raja Pedang Pencabut Nyawa itu menghunus pedangnya dan mengelebatkan pedang di depan tubuhnya. Melihat ini, Hong Li juga mencabut pedangnya. Giam San Ek yang berwatak tekebur itu tertawa mengejek, memandang rendah.
"Ha-ha-ha, Nona Manis. Dengan tangan kosong memang aku tidak berhasil mengalahkanmu, akan tetapi ketahuilah dengan siapa engkau berhadapan! Aku Giam San Ek terkenal dengan julukan Toat-beng Kiam-ong (Raja Pedang Pencabut Nyawa), sungguh sayang bahwa seorang gadis jelita seperti engkau terpaksa harus tercabut nyawanya oleh pedangku!"
"Tak perlu banyak cakap, lihat pedangku!" bentak Hong Li dan ia pun sudah memutar pedangnya dan menyerang dengan dahsyatnya.
"Haaaiiitt!" Dengan lagak mengejek, Giam San Ek menangkis, membuat putaran dengan pedangnya dan membalas dengan tusukan ke arah dada Hong Li. Akan tetapi, gadis itu bukan hanya tangguh dalam ilmu silat tangan kosong, juga ia amat lihai dengan pedangnya. Ia mainkan Ban-tok Kiam-sut dan biarpun ilmu pedang ini paling tepat dimainkan dengan pedang Ban-tok-kiam milik neneknya, namun dengan pedang di tangannya pun yang tidak beracun, ilmu pedang itu tetap hebat. Kalau tadinya Giam San Ek masih mengejek dan memandang rendah, makin lama dia menjadi semakin kaget mendapat kenyataan betapa lihainya gadis itu dengan pedangnya. Apalagi mencari kemenangan dengan mudah, baru mempertahankan dirinya agar tidak sampai terkena pedang lawan saja sudah merupakan hal yang tidak mudah baginya! Bahkan makin lama, Si Raja Pedang yang sombong ini menjadi semakin terdesak.
Selagi Giam San Ek kebingungan, muncullah bantuan baginya yang amat membesarkan hatinya karena yang muncul itu bukan lain adalah kekasihnya, Sin-kiam Mo-li yang lebih lihai darinya dan lima orang anak buahnya, yaitu tiga orang anggauta Ang I Mopang dan dua orang murid Tiat-liong-pang yang kesemuanya memiliki ilmu silat yang sudah boleh diandalkan. Melihat betapa kekasih dan rekannya itu terdesak oleh seorang wanita muda yang lihai sekali, Sin-kiam Mo-li segera mengeluarkan pedang dan kebutannya, lalu terjun ke dalam pertempuran. Lima orang kawannya juga segera mengeluarkan senjata masing-masing dan kini Hong Li harus menghadapi pengeroyokan tujuh orang lawan tangguh! Namun, gadis perkasa ini tidak menjadi gentar walaupun kini ia terkepung, terhimpit dan terdesak karena fihak para pengeroyoknya memang amat kuat, jauh lebih kuat dari padanya. Namun, dengan putaran pedangnya, dibantu tangan kirinya yang mendorong disertai tenaga Swat-im Sin-kang, satu di antara ilmu dari Pulau Es yang amat hebat karena dorongan tangan itu mengeluarkan hawa dingin yang amat kuat, ia melindungi dirinya.
Ketika Suma Ceng Liong melihat dorongan tangan kiri ini, yakinlah dia bahwa gadis itu tentulah keluarga Pulau Es, anggauta dari keluarganya sendiri. Siapa lagi gadis itu kalau bukan puteri dari encinya, Suma Hui, yang bernama Kao Hong Li? Dia lupa lagi akan wajah keponakannya itu, apalagi karena bertahun-tahun tak pernah berjumpa, akan tetapi pukulan itu bagaimanapun juga akan dikenalnya dengan baik!
"Jangan takut, kami datang membantumu!" kata Ceng Liong yang tadi sudah menganjurkan isterinya untuk membantu gadis yang dikeroyok. Kini tubuhnya berkelebat menerjang ke depan dan melihat betapa yang paling lihai di antara para pengeroyok itu adalah wanita yang berpedang dan memegang kebutan, maka dia pun lalu menerjang wanita itu dengan totokan Coan-kut-ci! Coan-kut ci (Jari Penembus Tulang) adalah suatu ilmu yang dahsyat sekali, yang dipelajari Suma Ceng Liong dari Hek I Mo-ong, gurunya yang juga seorang datuk kaum sesat yang amat terkenal.
Terdengar suara mencicit dibarengi angin yang kuat bukan main menyambar ke arah Sin-kiam Mo-li. Wanita ini terkejut bukan main, cepat menyambut dengan kebutannya. Akan tetapi, begitu bertemu dengan jari tangan Ceng Liong, bulu kebutan itu rontok dan wanita itu merasa betapa lengannya yang memegang kebutan tergetar hebat. Ia membalas dengan tusukan pedang, akan tetapi didahului oleh tendangan Soan-hong-twi (Tendangan Angin Badai) yang cepat dari Ceng Liong, membuat wanita itu cepat-cepat melempar diri ke belakang. Nyaris perutnya tertendang dan kini Sin-kiam Mo-li benar-benar kaget bukan main, tidak menyangka akan bertemu dengan lawan sehebat ini! Ia lalu berkemak-kemik dan menudingkan pedangnya ke arah Suma Ceng Liong, mengerahkan kekuatan sihirnya dan membentak.
"Engkau yang berani melawan aku, berlututlah!"
Akan tetapi laki-laki tinggi besar yang gagah perkasa itu malah tertawa bergelak. Tentu saja sihir itu tidak dapat mempengaruhi Ceng Liong karena pendekar ini pun telah mempelajari ilmu sihir dari ibunya sendiri, yaitu mendiang nenek Teng Siang In. Sambil tertawa, Ceng Liong juga mengerahkan kekuatan sihirnya dan tiba-tiba saja Sin-kiam Mo-li juga tertawa bergelak, tidak dapat menahan geli hatinya karena terseret oleh suara ketawa Ceng Liong! Sambil tertawa, Ceng Liong sudah melakukan gerakan-gerakan mendorong dengan kedua tangannya silih berganti, yang kanan mengeluarkan hawa panas dengan Hwiyang Sin-kang, yang kiri mengeluarkan hawa dingin dengan Swat-im Sin-kang. Sin-kiam Mo-li sedang terkejut bukan main melihat dirinya tertawa tanpa dapat dikuasainya, cepat ia mengerahkan tenaga untuk melawan pengaruh tawa itu. Dan pada saat itu, lawannya sudah menyerangnya dengan dua ilmu yang hebat dari Pulau Es. Tentu saja ia menjadi kaget bukan main dan hanya dengan melempar tubuh ke belakang, lalu bergulingan saja wanita ini dapat terhindar dari pukulan lawan yang dahsyat.
Sementara itu, Kam Bi Eng juga sudah mencabut suling emasnya dan kini suling itu mengaung-ngaung ketika ia mainkan ilmu pedang gabungan antara Koai-long Kiam-sut dan Kim-siauw Kiam-sut! Ilmu ini pun merupakan satu di antara ilmu-ilmu tertinggi pada waktu itu, dan yang diserang oleh Kam Bi Eng adalah Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek. Orang ini terkejut, mencoba untuk memutar pedangnya, akan tetapi tangkisannya tidak dapat menahan suling itu yang terus menerobos di antara sinar pedangnya dan mengancam ulu hatinya. Giam San Ek berteriak kaget dan melempar tubuh ke samping, lalu meloncat agak jauh dengan keringat dingin membasahi tubuhnya! Nyaris dia celaka oleh suling wanita cantik dan gagah itu!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar