Kamatari mengerling sekejap ke arah Yo Wan, kemudian dia menghadapi nona itu, wajahnya membayangkan kepuasan dan harapan bahwa kali ini gadis itu akan menjadi jerih dan suka menurut. Akan tetapi dugaannya meleset jauh. Gadis itu berpaling kepada suhengnya dan berkata, "Suheng, bukankah lucu sekali badut pendek ini?"
"Sumoi, jangan main-main. Agaknya dia jujur dan mari kita menemui kongcu itu, kita lihat apa kehendaknya," jawab suhengnya yang agaknya tidak ingin mencari keributan.
"Suheng, setelah dia mengeluarkan pedang cakar ayamnya, kalau kita menurut saja, bukankah orang akan menganggap kita ini tidak becus apa-apa? Biarkan aku main-main sebentar dengannya."
Si pemuda menghela nafas, lalu jawabnya lirih, "Sesukamulah, akan tetapi jangan menimbulkan gara-gara."
Si gadis tersenyum manis. "Aku hanya ingin main-main, siapa hendak menimbulkan gara-gara?" Kemudian ia menghampiri Kamatari dan berkata, "Namamu Kamatari dan pedangmu yang bengkok adalah pedang cakar ayam, ya? Sengaja ia mengganti Cakar Naga dengan cakar ayam.
"Bagus, aku pun punya pedang yang saat ini kuberi nama pedang penyembelih ayam. Boleh kau coba-coba layani pedangku ini, Kamatari. Sekali lagi kunyatakan bahwa kalau kau tidak bisa menangkan pedangku ini, aku tidak sudi bertemu dengan kongcumu!" Setelah berkata demikian, gadis itu mencabut sebatang pedang dengan perlahan.
Tertawalah orang-orang Jepang yang berada di belakang Kamatari ketika melihat sebatang pedang pendek dengan ukuran kurang lebih dua puluh cun (satu cun ±2 senti meter), warnanya hitam sama sekali tidak mengkilap, bahkan warna hitamnya hitam kotor seperti tanah. Dari jauh tampak seperti pedang terbuat dari tanah lempung saja. Tentu saja orang-orang Jepang yang terkenal dengan pedang-pedang samurai mereka yang terbuat dari baja tulen dan berkilauan saking tajamnya itu tertawa mengejek menyaksikan pedang si nona yang begitu buruk dan pendek.
Akan tetapi diam-diam Yo Wan kagum. Ia maklum bahwa pusaka yang ampuh tampak sederhana, seperti juga orang pandai kelihatan bodoh dan air dalam kelihatan tenang.
Kamatari juga tertawa. Suara ketawanya pendek-pendek susul-menyusul dan kepalanya bergoyang-goyang, kemudian dia menoleh kepada teman-temannya yang masih berdiri seperti barisan dengan tubuh tegak di belakangnya. "Kalian mendengar sendiri, dia yang memaksaku bermain-main, harap. kalian nanti dapat melaporkan kepada kongcu agar aku tidak dipersalahkan." Setelah berkata demikian, dia melangkah maju menghadapi gadis itu sambil berkata, lagaknya sombong.
"Aku sudah siap Nona!"
Nona itu tersenyum mengejek, akan tetapi alisnya yang hitam kecil itu bergerak-gerak. "Cabut pedangmu, orang sombong!"
"Cakar Naga tak pernah meninggalkan sarungnya kalau tidak perlu. Nona boleh menyerang."
"Cih, siapa sudi? Aku bukan orang yang suka menyerang orang tak memegang senjata. Kalau kau mengajak kami menemui kongcumu, kau harus menyerang dan mengalahkan pedangku. Habis perkara!"
"Begitukah? Nah, lihat pedangku!" Kamatari tiba-tba mengeluarkan pekik menyeramkan, tubuhnya menerjang maju didahului sinar berkilauan. Bagi mata orang biasa, gerakan mencabut dan mempergunakan pedang samurai tidak akan tampak, yang kelihatan hanya sinar pedang yang menyilaukan mata. Akan tetapi gadis itu agaknya dapat melihat jelas karena sekali menggeser kaki ia telah mengelak ke kiri.
"Crakkk!" terdengar suara kayu terbelah. Kamatari sudah berdiri tegak lagi, tangan kiri dengan jari terbuka melindungi dada, tangan kanan tergantung di plnggang, dekat gagang pedang, akan tetapi pedangnya sendiri sudah bersarang di dalam sarung pedangnya lagi. Meja yang tadi berada di dekat gadis itu, meja kosong, bergoyang-goyang, tidak kelihatan disentuh, tidak kelihatan rusak, akan tetapi perlahan-lahan miring lalu roboh menjadi dua potong. Begitu tajamnya samurainya, seakan-akan meja itu terbuat dari agar-agar saja!
"Hi..hi..hik, mengapa kau berhenti, Kamatari? Kalau hanya membelah meja, anak kecil pun bisa!"
"Jagalah ini. Haiiiiittttt!" Kamatari sudah menerjang lagi, didahului sinar samurainya yang berkelebatan menyambar-nyambar. Sambaran pertama dihindarkan oleh gadis itu dengan melejit ke kanan, sambaran kedua yang menyerampang kakinya dia hindarkan dengan loncatan indah ringan ke atas melalui meja. Serangan ketiga yang luar biasa sebat dan berbahayanya, dia tangkis dengan pedang hitamnya.
"Cring..... tranggggg.....!!" Dua kali samurai tajam mengkilat bertemu pedang pendek hitam buruk. Bunga api berpijar menyilaukan mata dan tampak Kamatari terhuyung ke belakang sedangkan gadis berdiri dengan tangan kiri bertolak pinggang dan tersenyum.
"Kenapa berhenti lagi? Kau mau merusak pedangku?" Gadis itu mengejek.
Kini Kamatari mengurangi lagaknya. Pedang samurai tidak dimasukkan ke dalam sarung pedangnya, melainkan dipegang di tangan kanan. la tadi terkejut setengah mati karena selain pedang buruk lawannya itu dapat menahan samurainya, juga telapak tangannya serasa hendak pecah-pecah dan kuda-kuda kakinya tergempur. Tahulah dia bahwa gadis di depannya ini sama sekali tak boleh dipandang ringan.
Kini dia tidak main-main aksi-aksian lagi, dan menyerang dengan sungguh-sungguh. Terdengar mulutnya mengeluarkan pekik berkali-kali, pekik serangan, dan samurainya menyambar-nyambar menjadi gulungan sinar memanjang. Gerakannya penuh tenaga dan gesit samurainya selalu membalik dan mengikuti gerakan si gadis yang mengelak ke sana ke mari. Namun dia seakan-akan menyerang bayangannya sendiri. Ke manapun dia menyabet, selalu samurainya membelah angin belaka.
Diam-diam Yo Wan terkejut dan matanya terbelalak, jantungnya berdebar. Baginya, pemandangan di depan mata ini mengejutkan. Betapa tidak? Ia mengenal baik gerakan gadis itu, gerakan mengelak sambil berloncat-loncatan, jongkok, berdiri, terhuyung-huyung. Biarpun ada beberapa perbedaan, namun tak salah lagi, itulah gerakan-gerakan yang mirip sekali dengan Si-cap-it Sin-po, yaitu empat puluh satu jurus langkah ajaib yang dia pelajari dan suhunya, Pendekar Buta. Memang gaya dan perkembangannya berbeda, namun dasarnya memiliki persamaan yang tidak dapat diragukan lagi tentu dari satu sumber. Keduanya memiliki ciri-ciri yang khas dari gerakan seekor burung, atau jelasnya, gerakan seekor burung rajawali.
Setelah bertempur kurang lebih lima puluh jurus lamanya, tiba-tiba gadis itu membuat gerakan aneh, tubuhnya meloncat ke atas seperti hendak menubruk. Kamatari berseru heran, pedangnya menyambar memapaki tubuh itu, akan tetapi secara indah dan mengagumkan sekali kaki kiri gadis itu menendang dari samping sehingga sekaligus mengancam pergelangan tangan lawan sedangkan pedang hitamnya berkelebatan di depan muka Kamatari. Sebelum jago Jepang itu dapat menyelami jurus yang aneh ini, tiba-tiba dia merasa pundaknya sakit dan terhuyunglah dia ke belakang. Kiranya pundak kirinya sudah terluka oleh ujung pedang hitam, membuat tangan kirinya serasa lumpuh!
Cepat dia menyimpan samurainya dan menutupi lukanya, lalu menjura sampai dalam. "Ilmu pedang Nona sungguh hebat ...".
Pada saat itu berkelebat bayangan putih, cepat dan tak terduga gerakannya, seperti seekor burung dara melayang memasuki restoran itu.
"Sumoi, awas.......!" seru si pemuda yang sudah melompat maju.
Gadis itu cepat mengangkat pedangnya, akan tetapi ia tertahan dan tertegun melihat bahwa yang meloncat masuk ini adalah seorang pemuda berpakaian serba putih berkembang-kembang kuning yang indah sekali, sebuah muka yang tampan luar biasa, dengan sepasang mata bersinar-sinar seperti bintang pagi, sepasang bibir yang merah dan tersenyum amat tampannya! Begitu kaki pemuda ini menginjak tanah, tangannya bergerak dan dua bayangan putih melayang ke depan, langsung sinar ini menyambar ke arah leher si gadis. Gadis itu berseru keras dan mengelak ke belakang, akan tetapi tiba-tiba sinar putih kedua menyambar pedangnya dan di lain saat pedang itu sudah terlibat sesuatu dan terampas dari tangannya!
"Kembalikan pedang, Sumoi!" Si pemuda menerjang maju, gerakannya cepat dan amat kuat sehingga diam-diam Yo Wan kagum melihatnya. Akan tetapi lebih kagum lagi hati Yo Wan menyaksikan gerakan pemuda baju putih yang baru masuk, karena sekali menjejakkan kedua kaki, tubuh pemuda baju putih itu sudah melayang keluar restoran, meninggalkan dua sinar putih menyambar yang diikuti teriakannya nyaring, "Awas senjata rahasia!"
Si pemuda kaget sekali, apalagi ketika melihat dua sinar putih berkilauan menyambar ke arah jalan darah yang berbahaya di tubuhnya. Cepat dia mengibaskan lengan baju dan runtuhlah dua senjata rahasia itu. Anehnya, senjata rahasia itu hanyalah dua potong uang perak! Uang perak untuk senjata rahasia benar-benar merupakan hal yang langka, pemboros mana yang menghamburkan uang perak begitu saja? Ketika dia memburu keluar, pemuda baju putih itu sudah lenyap!
Marahlah si pemuda. Sekali dia bergerak, dia sudah menangkap Kamatari, menjambak baju pada punggungnya dan mengangkatnya ke atas seperti orang mengangkat seekor kelinci saja!
"Tikus busuk! Kalau kami menghendaki, apa susahnya mencabut nyawamu yang tak berharga? Hayo katakan, siapa bangsat tadi"
Kamatari terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa si pemuda begini galak dan begini kuat. Tentu saja dia tidak sudi diperlakukan seperti ini, maka dia membentak, "Lepaskan bajuku!" dan tangannya memukul. Akan tetapi tiba-tiba seluruh tubuhnya menjadi kaku, kedua lengannya yang bergerak hendak memukul seakan-akan berubah menjadi dua batang kayu kering!
"Keparat, jangan banyak lagak kau! Hayo bilang siapa dia tadi!"
Tahulah kini Kamatari bahwa pemuda ini memiliki ilmu yang luar biasa. Percuma untuk berkeras kepala lagi, maka dengan suara merintih dia berkata,
"Dia adalah kongcu kami. Baiknya kongcu masih tidak berniat memusuhi kalian. Kalau kalian ada kepandaian, boleh datang merampas pedang di pantai Po-hai di dusun Kui-bun, cari gedung Yo-kongcu!"
Dengan sekali gerakan, pemuda itu melempar tubuh Kamatari ke belakang. Jago Jepang ini menabrak kawan-kawannya dan roboh terguling, ditolong teman-temannya, lalu mereka pergi dari tempat itu dengan cepat. Si pemuda teringat akan Yo Wan, cepat dia melompat dan membalikkan tubuh. Akan tetapi pemuda tenang yang mencurigakan hatinya tadi telah lenyap dari situ, di atas mejanya terletak beberapa potong uang, agaknya untuk membayar makanan dan minuman. Makin curigalah pemuda itu.
"Sumoi, kita harus mengejar si baju putih she Yo itu."
"Mari, Suheng. Aku pun gemas sekali terhadap manusia itu. Kalau dia tidak menyerang secara menggelap, jangan harap dia bisa merampas pedangku Hek-kim-kiam (Pedang Emas Hitam)!" Biarpun mulutnya berkata demikian, diam-diam hatinya berdebar, matanya terbayang wajah yang tampan itu dan ia sendiri merasa sangsi apakan ia akan rnampu menandingi pemuda luar biasa itu.
Pemuda itu memanggil pelayan, dengan suara nyaring. Datanglah seorang pelayan berlari-lari, diikuti oleh empat temannya. Agaknya para pelayan yang sejak tadi bersembunyi, sekarang berani keluar lagi setelah keadaan menjadi reda dan pertempuran berhenti.
"Hitung semua, termasuk pengganti kerusakan-kerusakan di sini akan saya bayar."
Pelayan itu membungkuk-bungkuK dan tersenyum-senyum penuh hormat. "Harap Kongcu jangan repot-repot, semua sudah dibayar lunas."
"Siapa yang membayar?" Pemuda itu mengangkat alisnya.
"Yang membayar pemberi benda ini kepada Kongcu, semua sudah dibayarnya dan meninggalkan benda ini yang harus saya serahkan kepada Kongcu." Sambil berkata demikian, pelayan itu menyerahkan sebuah kipas dari sutera hitam.
Pemuda itu mengerutkan kening, akan tetapi menerima juga kipas itu sambil bertanya, "Siapa dia?"
"Siapa lagi kalau bukan yang terhormat pangcu (ketua) dari Hek-san-pang (Perkumpulan Kipas Hitam) yang tersohor? Kiranya Kongcu dan Siocia (Tuan Muda dan Nona) adalah sahabat-sahabat Hek-san-pangcu, maaf kalau kami berlaku kurang hormat....."
Pemuda itu mengerutkan kening, menggeleng-geleng kepala lalu meninggalkan restoran itu bersama sumoinya.
"Benar-benar manusia aneh. Apa artinya dia membayari semua hidangan, mengganti semua kerusakan dan memberi kipas hitam ini kepada kita? Apakah ini semacam hinaan lain lagi? Keparat!"
"Kurasa kalau orang membayar makan minum kita dan memberikan kipasnya, hal itu bukanlah berarti penghinaan, Suheng. Coba buka kipasnya, barang kali ada maksud di dalamnya."
Pemuda itu membuka kipas sutera hitam. Benar saja, kipas sutera hitam yang amat indah dan berbau semerbak harum itu ditulisi dengan tinta putih, merupakan huruf-huruf bersyair yang halus indah gayanya,
"Berkawan sebatang pedang menjelajah laut bebas, sunyi sendiri merindukan kawan dan lawan seimbang hati mencari-cari....."
"Bagus.....!" tak terasa lagi ucapan ini keluar dari mulut mungil gadis itu. Si pemuda cepat menoleh, memandang dan sepasang pipi gadis itu menjadi merah sekali. la merasa seakan-akan sajak itu ditujukan khusus kepadanya. Pemuda yang aneh, luar biasa, tampan dan berkepandaian tinggi, merasa sunyi, merindukan kawan yang memiliki kepandaian seimbang! Dan pedangnya dirampasnya, dengan maksud supaya ia datang ke sana!
"Pemuda sombong, atau cengeng......"
Si pemuda malah mencela. Sumoinya diam saja, takut kalau-kalau tanpa disadarinya mengucapkan sesuatu yang membuka rahasia hatinya. Mereka segera melakukan perjalanan cepat, menuju ke timur, melalui sepanjang lembah Sungai Kuning, menuju ke pantai Po-hai.
Pemuda dan sumoinya itu bukanlah pendekar-pendekar biasa, bukanlah petualang-petualang biasa di dunia kang-ouw. Si pemuda adalah putera tunggal dari pendekar besar Tan Sin Lee.
Seperti kita ketahui, pendekar besar putera Raja Pedang ini tinggal di Lu-liang-san, bersama isterinya yang bernama Thio Hui Cu murid Hoa-san-pai.
Pemuda inilah putera sepasang suami isteri pendekar itu yang bernama Tan Hwat Ki, berusia kurang lebih dua puluh tiga tahun, seorang pemuda yang sejak kecilnya digembleng oleh orang tuanya dan mewarisi ilmu silat tinggi. Adapun sumoinya, gadis jelita itu, bernama Bu Cu Kim. Pendekar besar Tan Sin Lee mempunyai murid sepuluh orang jumlahnya termasuk putera mereka. Akan tetapi di antara para murid, yang paling menonjol kepandaiannya adalah Bu Cui Kim.
Cui Kim adalah anak yatim piatu, ayah bundanya sudah meninggal dunia karena penyakit yang merajalela di dusunnya. Karena kasihan kepada anak yang bertulang baik ini, Tan Sin Lee mengambilnya sebagai murid, bahkan karena mereka tidak mempunyai anak perempuan sedangkan Cui Kim sejak kecil kelihatan amat rukun dengan Hwat Ki, Cui Kim lalu dianggap anak sendiri.
Demikianlah, semenjak kecil Cui Kim seakan-akan menjadi adik angkat Hwat Ki dan bersama putera suhunya itu mempelajari ilmu silat tinggi.
Pada suatu hari di puncak Lu-liang-san menerima kunjungan seorang tamu yang bukan lain adalah Bun Hui, putera Bun-goanswe yang tinggal di Tai-goan. Boleh dibilang, di antara pendekar-pendekar keturunan Raja Pedang, yang paling dekat tinggalnya dengan Tai-goan dan kota raja, adalah Tan Sin Lee inilah.
Lu-liang-san terletak di sebelah barat kota Tai-goan, bahkan dari kota itu sudah kelihatan puncaknya. Maka, begitu menghadapi kesulitan, Bun-goanswe teringat akan sahabat baiknya ini dan menyuruh puteranya mengunjungi Tan Sin Lee.
Di dalam suratnya, Bun-goanswe minta bantuan Tan Sin Lee dan muridnya untuk membantu negara yang sedang menghadapi banyak gangguan. Di dalam surat itu, dia ceritakan betapa gangguan dari pihak Mongol di utara masih makin menghebat sehingga kaisar sendiri berkenan memimpin barisan untuk menumpas perusuh-perusuh dari utara itu.
Diceritakan pula betapa bajak-bajak laut di laut timur juga merupakan pengganggu-pengganggu keamanan, tidak saja bagi para nelayan di laut, akan tetapi juga di darat sepanjang pesisir Laut Po-hai. Demikian besar gangguan ini sehingga kaisar sendiri memerintahkan kepada Bun-goanswe untuk mengerahkan tenaga menumpas para bajak laut itu kalau mereka berani mendarat. Bun-goanswe sudah melakukan usaha ini, akan tetapi ternyata bahwa para bajak laut Jepang itu bersama-sama bajak laut bangsa sendiri, mempunyai banyak orang-orang yang berilmu tinggi sehingga banyak sudah perwira dari kota raja yang tewas di tangan para bajak laut. Karena inilah Bun-goanswe mengharapkan pertolongan Tan Sin Lee dan murid-muridnya.
Dan inilah pula sebabnya maka pendekar Lu-liang-san itu menyuruh puteranya sendiri ditemani oleh Cui Im, turun gunung melakukan penyelidikan ke pantai Po-hai. Sepasang orang muda ini sengaja menyewa perahu berlayar di sepanjang pantai Po-hai.
Betul saja, pada suatu hari perahu itu diganggu bajak laut yang menggunakan bendera Kipas Hitam. Akan tetapi kali ini para bajak laut menemui hari naas karena mereka itu kocar-kacir dan banyak yang tewas di tangan sepasang pendekar dari Lu-liang-san ini.
Kemudian karena mendengar bahwa banyak bajak mesngganas pula di sepanjang Sungai Huang-ho, Hwat Ki dan sumoinya lalu pergi ke kota Leng-si-bun di tepi Sungai Huang-ho, memasuki rumah makan dan terjadi peristiwa dengan anak buah Kipas Hitam seperti yang telah dituturkan di bagian depan.
Tentu saja Hwat Ki dan Cui Im menjadi girang karena mereka mendapatkan jejak ketua perkumpulan Kipas Hitain yang merupakan gerombolan bajak laut yang cukup
terkenal, di samping bajak-bajak laut lainnya yang banyak mengganas di sepanjang pantai timur.
Hari telah menjadi hampir malam ketika kedua orang pendekar muda dari Lu-liang-san ini tiba di dusun Kui-bun. Dusun ini bukanlah dusun besar, hanya didiami oleh para nelayan yang tidak lebih dari tiga puluh buah keluarga banyaknya.
Di setiap rumah nelayan itu nampak jala-jala dibentangkan, dan di pinggir rumah banyak terdapat bekas-bekas perahu dan tiang-tiang layar. Di ujung yang paling jauh dari pantai, terdapatlah sebuah rumah gedung besaryang kelihatan ganjil karena jarang terdapat gedung sedemikian besarnya di dusun sekecil itu. Di pantai laut itu sendiri banyak terdapat para nelayan besar kecil sibuk bekerja, agaknya mereka itu sedang memasang atau pun menarik jaring dari pantai. Biasanya kalau hari mulai gelap itulah mereka menarik jaring dan kalau untung mereka baik, mereka akan menarik banyak ikan di dalam jaring.
Hwat Ki dan Cui Kim segera tertarik oleh rumah gedung itu. "Kiranya takkan salah lagi, tentu gedung ini sarang mereka," kata Hwat Ki kepada sumoinya.
"Akan tetapi sebaiknya kalau kita mencari keterangan dulu, Suheng. Di tempat yang asing ini, sungguh tak baik kalau kita keliru memasuki rumah orang."
Hwat Ki mengangguk, menyuruh adik seperguruannya itu menanti di tempat gelap, lalu dia sendiri melangkah cepat menuju ke pantai. Dengan lagak seperti sudah mengenal baik orang yang dicarinya, dia bertanya dengan lantang kepada seorang nelayan,
"Sahabat, ingin saya bertanya. Di manakah tinggal seorang bernama Yo-kongcu? Apakah rumah gedung itu?"
Mendadak sekali orang-orang yang tadinya sibuk bekerja itu berhenti bergerak dan memandang kepada Hwat Ki. Melihat ini, pemuda itu dapat menduga bahwa agaknya mereka ini pun anak buah pimpinan Kipas Hitam itu, atau setidaknya tentu teman-teman baik, maka cepat-cepat dia menyambung, "Saya adalah sahabat baiknya, belum pernah datang ke sini, tidak tahu di mana rumahnya. Apakah gedung besar itu?"
Seorang nelayan setengah tua mengangguk pendek. "Betul." Kemudian dia memberi aba-aba kepada teman-temannya untuk melanjutkan pekerjaan mereka.
Hwat Ki lega hatinya, cepat dia kem-bali ke tempat Cui Kim menanti. "Sudah kuduga bahwa orang she Yo itu tentu berkuasa di sini. Orang-orang itu agaknya takut kepadanya. Sumoi, mari kita ke sana."
Keduanya lalu berjalan menghampiri gedung besar. Di sekitar gedung itu gelap, akan tetapi tampak sinar lampu-lampu menerangi sebelah dalam gedung yang dikelilingi tembok setinggi satu setengah tinggi orang. Hwat Ki dan adiknya mengelilingi luar tembok dan mendapat kenyataan bahwa pintu satu-satunya hanyalah pintu depan yang tertutup rapat.
"Kita ketuk saja pintunya," kata Cui Kim.
"Hemmm, takkan ada gunanya. Mengunjungi tempat lawan tak perlu banyak aturan.
Mengetuk pintu berarti membuat mereka siap untuk menjebak kita. Mari!" Pemuda itu menggerakkan kedua kakinya dan tubuhnya melayang naik ke atas tembok, diikuti oleh Cui Kim. Bagaikan dua ekor burung walet mereka sudah meloncat dan berdiri di atas tembok.
Terang sekali di sebelah dalam tem-bok. Ruangan depan rumah gedung itu pun amat terang dan bersih, akan tetapi sunyi tidak tampak ada orangnya.
"Orang she Yo! Kami datang untuk minta kembali pedang!" teriak Tan Hwat Ki dengan suara lantang. Adapun Cui Kim berdiri di dekatnya dengan tegak, siap menghadapi segala kemungkinan.
Sunyi menyambut suara teriakan Hwat Ki yang bergema sedikit di dalem gedung. Kemudian terdengar suara halus dan nyaring, "Silakan masuk, pintu tidak dikunci dan kami menanti di ruangan tengah!"
"Hati-hati, Suheng, jangan-jangan musuh mengatur perangkap!" bisik Cui Kim.
"Tak usah takut, marilah!" kata Hwat Ki yang melayang turun ke ruangan depan. Dengan gerakan lincah sekali Cui Kim mengikutinya, melompat turun ke atas lantai ruangan depan yang licin dan bersih itu tanpa mengeluarkan suara. Sejenak keduanya berdiri memandang ke sekeliling dengan sikap waspada. Ruangan ini, yang merupakan ruangan depan menyambung halaman, amat bersih dan indah.
Ketika mereka memandang ke dalam, di sebelah kiri dinding ruangan penuh dengan tulisan-tulisan bersajak. Mereka lalu melangkah ke dalam melalui pintu besar yang memang tidak tertutup.
Ruangan tengah itu luasnya ada lima belas meter persegi, juga terhias lukisan-lukisan indah dan di tengah ruangan terdapat sebuah meja bundar dikelilingi bangku-bangku terukir burung hong. Empat orang duduk mengelilingi meja dan seorang di antaranya adalah kongcu yang berpakaian serba putih.
Melihat pemuda baju putih ini duduk di kepala meja, dapatlah diduga bahwa dia menjadi pemimpinnya. Tiga orang yang lain adalah dua orang laki-laki setengah tua dan seorang wanita berusia empat puluh tahun yang rambutnya sudah berwarna dua dan di gelung tinggi-tinggi
di atas kepala. Melihat sikapnya, tiga orang setengah tua ini tentu bukan orang sembarangan pula. Seorang di antara dua laki-laki itu bertubuh pendek gemuk, modelnya seperti Kamatari, juga di pinggang orang ini tergantung pedang samurai.
Mudah diduga bahwa dia seorang Jepang, tubuh dan mukanya tidak bergerak-gerak, akan tetapi sepasang matanya lincah bergerak ke kanan kiri. Yang seorang pula
bertubuh tinggi kurus, bajunya lebar dan lengan bajunya panjang, kumisnya tipis panjang bertemu dengan jenggotnya yang menutupi dagu dan leher. Mereka berempat kini memandang kepada sepasang orang muda yang baru datang.
Ketika pandang matanya bertemu dengan pandang mata yang lembut dari pemuda baju putih, tiba-tiba jantung Cui Kim terasa berdebar tidak karuan. Akan tetapi begitu ia melihat pedang hitamnya terletak di atas meja depan pemuda itu, timbul kemarahannya. Seketika sinar matanya berapi-api dan dia berteriak dengan nyaring.
"Dengan muslihat curang kau telah merampas pedangku. Orang she Yo, kalau kau memang jantan, kembalikan pedangku dan kita boleh bertanding sampai seribu jurus!"
Pemuda itu tersenyum, bangkit dari bangkunya lalu memberi hormat dengan membungkuk dalam-dalam. "Bukan salahku.....!" jawabnya sambil tersenyum ramah. "Aku mengutus orang mengundang kalian baik-baik, kalian tidak datang malah menyerang orangku. Kalau tidak merampas pedang mana bisa memancing kalian datang pada malam ini?" Berkata demikian, mata pemuda baju putih itu menatap wajah Hwat Ki dengan tajam dan pandang mata penuh selidik.
Hwat Ki tetap tenang, memang pe-muda ini semenjak kecil memiliki sikap yang tenang. la maklum bahwa bersama sumoinya dia telah memasuki gua harimau, akan
tetapi sedikit pun dia tidak gentar.
"Setelah kami datang untuk minta kembali pedang, apakah yang hendak kaubicarakan dengan kami?" tanyanya.
Pemuda baju putih itu kembali tersenyum lebar sehingga tampak deretan giginya yang putih dan rapi. Hwat Ki harus mengakui bahwa wajah orang ini memang amat tampan.
"Banyak yang hendak kami bicarakan. Akan tetapi, kalian berdua adalah tamu-tamu kami, silakan duduk. Sebelum menjamu tamu terhormat, mana bisa bicarakan urusan penting? Silakan duduk, ataukah..... barangkali kalian takut kalau-kalau kami menipu? Apakah kalian tidak berani duduk?"
Hwat Ki tersenyum mengejek. "Takut apa?" la lalu melangkah maju, diikuti sumoinya. Keduanya lalu duduk di atas bangku, berhadapan dengan empat orang itu. Tiga orang setengah tua itu pun berdiri dan mengangguk, dibalas oleh Hwat Ki dan Cur Kim yang merasa heran dan aneh, karena sama sekali tidak menyangka mereka akan diterima sebagai tamu. Hanya adanya pedang Hek-kim-kiam di atas meja itu yang membikin suasana menjadi kaku. Agaknya tuan rumah merasai hal ini.
Dipungutnya Hek-kim-kiam dan disodorkannya pedang itu kepada Cui Kim sambil berkata,
"Silakan, Nona. Ini pedangmu, maaf atas kelancanganku tadi."
Cui Kim menerima pedangnya dengan kedua pipi merah dan kembali jantungnya berdebar tidak karuan. Semangatnya serasa terbetot oleh senyum dan pandang mata yang menarik itu. Setelah menyimpan pedang ke dalam sarung pedangnya, kembali ia duduk dengan muka tunduk.
Si pemuda baju putih bertepuk tangan " tiga kali dan bermunculanlah pelayan-pelayan wanita yang muda-muda dan cantik-cantik, berjumlah lima orang. Mereka sibuk membawa datang hidangan-hidangan lezat dan arak wangi yang mereka tuangkan ke dalam cawan enam orang itu dengan gerakan dan gaya yang manis. Si pemuda baju putih itu dengan ramah-tamah mempersilakan kedua orang tamunya makan dan minum arak.
Memang sehari itu, Hwat Ki dan sumoinya baru makan sekali, yaitu di rumah makan kota Leng-si-bun sebelum tengah hari, tentu saja pada saat itu mereka sudah merasa lapar. Hwat Ki yang tahu bahwa pihak tuan rumah menguji ketabahan mereka, tentu saja tidak sudi memperlihatkan kekhawatiran. Dengan wajar dan tenang dia mulai makan minum menemani tuan rumah dengan enaknya. Hanya Cui Kim yang merasa canggung. Sebagai seorang gadis, ia berbeda dengan gadis biasa dan baginya sudah biasa merantau di dunia kang-ouw, makan bersama orang-orang lelaki bukanlah hal yang menyulitkan.
Akan tetapi entah bagaimana, berhadapan dengan tuan rumah she Yo yang muda, tampan dan luar biasa itu, membuat hatinya bergoncang dan sepasang sumpit yang dipegangnya agak gemetar!
"Nona, mengapa sungkan-sungkan? Marilah, harap kau suka mencoba masakan ini. Ini masakan sirip ikan Hiu Harimau, Nona tentu belum pernah mencobanya, bukan?
Silakan!" Pemuda Yo itu mengangkat mangkok masakan itu dan menawarkannya kepada Cui Kim. Dengan amat ramah dia menawarkan beberapa macam masakan, malah
menuangkan arak memenuhi cawan gadis itu sehingga si gadis menjadi makin canggung dan jengah.
Diam-diam Hwat Ki mendongkol sekali. Tuan rumah yang masih muda dan tampan ini, biarpun amat ramah, namun agaknya terlalu manis sikapnya terhadap Cui Kim. la diam-diam menduga bahwa orang she Yo ini tentulah seorang pemuda hidung belang, seorang kongcu yang gila akan wanita cantik. Buktinya para pelayannya tadi pun muda-muda cantik-cantik dan lagaknya menarik, membayangkan pendidikan cukup.
la takkan heran kalau para pelayan itu pandai bernyanyi, menari dan main musik untuk menghibur hati sang kongcu hidung belang. Oleh karena dugaan ini, Hwat Ki bersikap waspada dan hati-hati. Siapa tahu, pancingan ini pada hakekatnya hanya untuk menjadikan sumoinya yang cukup cantik sebagai korban!
Sikap pemuda she Yo itu makin manis terhadap Cui Kim, selalu tersenyum dan mengajak Cui Kim bercakap-cakap Malah kelancangannya makin menjadi ketika dia bertanya sambil tersenyum manis dan mengerling tajam.
"Nona, agaknya lebih patut aku menyebutmu adik. Aku berani bertaruh bahwa usia kita sebaya, akan tetapi lebih enak aku menyebut adik. Berapakah usiamu tahun ini dan eh..... betul juga, aku belum mengetahui namamu. Namamu tentu indah, sama manis dengan orangnya.
Muka Cui Kim menjadi merah sekali, sampai ke telinga dan lehernya. Karena sikap yang manis dan pembicaraan yang manis tadi ia sampai lupa akan kewaspadaan dan agak terlalu banyak minum arak. Mungkin inilah yang membuat ia sekarang merasa betapa badannya panas dingin dan jantungnya berdegupan hampir meledak mendengar kata-kata itu. Biasanya, ia akan marah dan memukul atau sedikitnya memaki orang yang berani bersikap begini lancang kepadanya.
Akan tetapi entah mengapa, kali ini ia hanya menundukkan muka dan mulutnya berkata gagap,
"Aku..... namaku..... Bu Cui Kim dan..... dan....."
"Sumoi, tak perlu memperkenalkan diri pada orang yang belum kita ketahui keadaannya!" tiba-tiba Hwat Ki memotong, lalu menarik bangkunya agak mundur dari meja, menggunakan ujung lengan baju menghapus bibirnya, kemudian dia berkata, suaranya tenang dan penuh wibawa,
"Sahabat, kami berdua sudah menerima undanganmu, sudah makan dan minum hidanganmu, semua ini kami lakukan untuk melayanimu sebagaimana lazimnya kebiasaan di dunia kang-ouw. Sebagai orang yang mengundang, berarti kaulah yang mempunyai urusan dengan kami, maka sudah sepatutnya kalau kau yang harus memperkenalkan dirimu kepada kami dan menyatakan secara terus terang apa yang tersembunyi di dalam hatimu terhadap kami."
Begitu melihat sikap suhengnya dan mendengar ucapan ini, sadarlah Cui Kim. la pun segera menarik bangkunya menjauhi meja, mukanya masih merah akan tetapi kini pandang matanya berkilat dan penuh curiga!
Pemuda berbaju putih itu tersenyum lebar, sebelum bicara dia menggunakan sehelai saputangan putih bersih menghapus mulutnya. Agak keras dia menggosok-gosok bibirnya yang berleporan minyak masakan itu sehingga ketika dia menurunkan saputangan itu, sepasang bibirnya menjadi merah seperti dipulas gincu. Makin tampan wajahnya sehingga kembali Cui Kim harus menekan perasaan hatinya yang bergelora.
Selama hidupnya baru kali ini Cui Kim mengalami hal seaneh ini melihat seorang pemuda. Akan tetapi, memang pemuda ini luar biasa tampannya!
"Sayang, kalian masih belum percaya bahwa aku mengandung maksud hati yang baik. Padahal kalau dipikir, kau telah membunuhi belasan orang-orang kami, bahkan kau tadinya tidak mengindahkan undangan kami. Baiklah aku memperkenalkan diri. Aku adalah keturunan campuran antara bangsamu dan darah Jepang, namaku Yosiko atau boleh diubah menjadi Yo Si Kouw." la tersenyum.
Dengan masih berdiri dan sikapnya angker, Hwat Ki berkata, pandang matanya tajam menyelidik,
"Kau bernama Yosiko dan menjadi ketua dari perkumpulan bajak Kipas Hitam yang mengganggu keamanan Laut Po-hai dan muara Sungai Kuning. Terus terang saja, kami berdua kakak beradik seperguruan memang bertugas untuk membersihkan daerah ini dari gangguan bajak! Karena itulah ketika anak buahmu mengganggu, kami bunuh mereka. Nah, sekarang kau mengundang kami, ada keperluan apakah?"
Ucapan Hwat Ki ini merupakan tantangan langsung. Akan tetpai Yosiko tidak menjadi marah, bahkan tersenyum dan memandang kagum.
"Kau benar gagah berani! Apa kaukira mudah saja membasmi kami? Apa kau berani menghadapi kami yang banyak, sedangkan banyak perwira kerajaan tewas di tangan kami?"
"Orang she Yo, kalau tadi aku sudah berani mengaku terus terang di depanmu, berarti kami tidak takut menghadapi kalian! Akan tetapi karena sikapmu berbeda dengan bajak-bajak yang kasar, bahkan kau telah mengundang kami dan menjamu sebagai tamu, biarlah kunasihatkan agar kau segera kembali ke tempat asalmu dan jangan melanjutkan pekerjaan kotor menjadi bajak di daerah ini.
Aku sudah bicara dan kalau tldak menghargai saranku, baiklah, terpaksa aku melupakan kebaikanmu dan menganggapmu sebagai musuh!"
Yo-kongcu itu tertawa, giginya putih berkilat. "Ah, alangkah gagahnya! Kau tentu she Tan, bukan? Bukankah kau putera dari ketua Lu-liang-pai dan ayahmu bernama Tan Sin Lee?"
Hwat Ki tidak menjadi heran. Sebagai seorang kepala bajak, tentu saja kepala bajak muda ini mempunyai banyak kaki tangan dan penyelidik sehingga dapat mengetahui keadaan dirinya. "Memang aku Tan Hwat Ki dan ayahku bernama Tan Sin Lee ketua dari Lu-liang-pai. Setelah tahu akan hal itu, lebih baik kau menerima saranku, hentikan pembajakan-pembajakan di daerah ini."
"Ahhh, benar dugaanku. Orang sendiri! Eh, Tan Hwat Ki, enak saja kau menyuruh orang menghentikan pekerjaan. Kalau aku tidak mau mundur, bagaimana?"
"Pedangku akan membereskan segalanya!" kata Tan Hwat Ki sambil menepuk gagang pedangnya. la maklum bahwa menghadapi kepala bajak yang aneh dan lihai ini, perlu sikap tegas, karena mereka berdua sudah berada di sarang harimau.
"Tapi..... tapi aku tidak ingin bermusuhan denganmu!"
Kini Cui Kim yang merasa tidak enak kalau diam saja, menjawab. "Kalau tidak ingin bermusuhan, lebih baik menerima saran suhengku, sebelum terlambat dan pedang kami membasmi kalian!"
"Wah..wah..wah, galaknya!" Yo-kongcu mengeluh. "Tan Hwat Ki, dengarlah sekarang maksud hatiku. Aku sengaja mengundang kau dan Sumoimu ke sini dengan maksud baik. Ketahuilah bahwa telah lama aku mendengar nama besar jago-jago di daratan, di antaranya jago dari Lu-liang-san.
Aku mempunyai seorang adik perempuan yang sedang mencari jodoh, sukarnya, dia menghendaki jodoh seorang pemuda yang dapat mengalahkan aku! Nah, kulihat kau cukup hebat, maka ingin aku mencoba kepandaianmu." Setelah berkata demikian, Yo-kongcu yang aneh ini melolos sehelai sabuk sutera putih dan sebatang pedang yang kecil panjang.
Merah sekali wajah Hwat Ki, juga dia menjadi makin marah. "Ucapanmu tidak karuan, orang she Yo! Siapa sudi melayani ucapan gila-gilaan itu? Hayo lekas kau memilih, mengundurkan diri dari wilayah ini dengan aman atau harus makan pedangku!"
"Bagus, Tan Hwat Ki, kau majulah. Memang aku hendak menguji kepandaian-mu!" tantang ketua Hek-sin-pang (Perkumpulan Kipas Hitam) itu.
"Suheng, biarkan aku maju menghadapi bajak ini!" tiba-tiba Cui Kim meloncat maju dengan pedang Hek-kim-kiam di tangan.
Pemuda tampan baju putih itu tersenyum, membuat wajahnya menjadi ganteng sekali.
"Aha, adik yang manis. Apakah kau juga hendak memasuki sayembara?"
"Apa..... apa maksudmu?"
"Agaknya kau sama dengan adik perempuanku, mencari jodoh dengan menguji kepandaian pemuda yang disukainya. Kau hendak menguji kepandaianku?"
Wajah Cui Kim menjadi merah sekali.
"Setan kau.....!!"
"Sumoi, tunggu! Laki-laki ceriwis ini tak perlu kaulayani, serahkan kepadaku. He, orang she Yo! Kalau kau memang laki-laki sejati, jangan mengganggu wanita dengan ucapan kotor. Hayo kau tandingi pedangku!"
"Srattt!" Tampak sinar berkilauan ketika pemuda dari Lu-liang-san ini mencabut pedang. Pedangnya pendek saja, akan tetapi pedang ini mengeluarkan cahaya menyilaukan dan mengandung hawa dingin. Inilah pedang yang terbuat dari logam putih yang sudah terpendam di dalam salju ribuan tahun lamanya, maka diberi nama Swat-cu-kiam (Pedang Mustika Salju). Karena logam putih itu tidak banyak terdapat, maka hanya dapat dibuat menjadi sebatang pedang pendek saja. Logam putih itu didapatkan oleh Tan Sin Lee di puncak gunung yang selalu tertutup salju, dibuat menjadi pedang pendek dan diberikan kepada puteranya.
Pada saat itu, dari pintu samping melortipat masuk seorang pemuda. Pemuda ini pendek tegap tubuhnya, kelihatan kuat sekali, mukanya agak hitam karena sering terbakar sinar matahari, pakaiannya ringkas dan kepalanya dicukur botak semodel dua orang kakek yang duduk di situ, tangannya memegang pedang Samurai dan matanya berkilat-kilat penuh kemarahan.
"Yosiko..... eh, Yo-kongcu, tidak ada laki-laki yang cukup berharga menandingimu sebelum menangkan Shatoku!"
Yo-kongcu kelihatan kaget dan membentak, "Shatoku, mundur.....!"
"Maaf, dia harus mengalahkan aku lebih dulu!" Setelah berkata demikian, pemuda Jepang yang bernama Shatoku itu menerjang ke depan, ke arah Hwat Ki sambil memekik keras,
"Haaaiiiiittt!"
Pedang samurainya berkelebat bagaikan halilintar menyambar, kuat dan cepat bukan main, jauh lebih kuat dan lebih cepat daripada gerakan samurai di tangan Kamatari. Menyaksikan gerakan ini, Hwat Ki tidak berani memandang ringan. la dapat menduga apa yang terjadi. Tentu pemuda Jepang yang bernama Shatoku ini seorang yang mencinta atau tergila-gila kepada gadis adik ketua Kipas Hitam dan kini menjadi cemburu.
Diam-diam dia mendongkol sekali kepada orang she Yo itu, juga dia marah kepada pemuda Jepang ini yang datang-datang menerjangnya dengan mati-matian. la harus perlihatkan kepandaian. Cepat dia mempergunakan langkah-langkah Kim-tiauw Sin-po (Langkah Ajaib Rajawali Emas) yang dia warisi dari ayahnya.
Begitu dia mainkan langkah-langkah ini, sinar samurai yang menyambar-nyambar bagaikan halilintar itu selalu mengenai tempat kosong. Pemuda Jepang Shatoku itu menjadi penasaran sekali. Dia seorang yang terkenal paling hebat di antara pemuda bangsanya yang menjadi anggota Kipas Hitam. Masa sekarang dia tidak mampu merobohkan seorang pemuda kurus yang kelihatan lemah?
Samurainya diputar secepatnya dan kini serangannya mengeluarkan bunyi berdesingan di samping menciptakan gulungan sinar yang melibat-libat di sekitar tubuh Hwat Ki.
Setelah mainkan Kim-tiauw Sin-po sampai tiga puluh jurus sambil memperhatikan gerakan lawan, tahulah sekarang Hwat Ki rahasia dan kelemahan ilmu silat pedang lawannya yang aneh itu. Ilmu pedang itu hanya mengandalkan tenaga dan kecepatan tanpa ada variasi atau kembangan, juga tenaga yang diandalkannya hanya tenaga kasar.
Memang harus diakui amat cepat dan andaikata dia tidak mempunyai Ilmu Kim-tiauw Sin-po, agaknya serangan kalang-kabut seperti hujan badai itu sedikitnya akan membuat dia gugup dan kacau. Setelah mempelajari gerakan lawan, tiba-tiba Hwat Ki mengeluarkan seruan nyaring, tubuhnya berkelebat dan bagi pandangan Shatoku, tiba-tiba lawannya lenyap dari pandangan matanya. Kemudian dia mendengar angin di belakangnya, cepat samurainya dia kelebatkan ke belakang. Namun hanya mengenai angin belaka dan tahu-tahu, sebelum dia sempat menjaga karena tidak tahu lawan menyerang dari mana, Shatoku merasa betapa dadanya dimasuki sesuatu yang amat dingin sehingga membuat dia menggigil.
Samurainya terlepas dari tangan, dia terhuyung-huyung lalu roboh miring. Dari dadanya mengucur keluar darah karena dada itu sudah ditebusi pedang Swat-cu-kiam!
"Yosiko....." bibirnya berbisik sedangkan matanya yang sudah mulai pudar sinarnya itu ditujukan ke arah ketua Kipas Hitam.
Orang she Yo itu membuang muka dan berkata, "Salahmu sendiri, Shatoku. Kau tidak tahu diri, seperti si cebol merindukan bulan. Matilah dengan tenang, kau roboh di tangan seorang pendekar gagah!"
Mata Shatoku tertutup dan matilah pemuda Jepang itu. Atas isyarat Yo-kongcu, empat orang laki-laki muncul dan membawa pergi jenazah itu, sedangkan para pelayan wanita cepat membersihkan sisa-sisa darah di lantai dengan kain dan air. Cepat pekerjaan ini dan sebentar saja keadaan sudah bersih kembali seperti semula.
"Tan Hwat Ki, kepandaianmu cukup untuk menandingi aku. Hayo majulah!" Yo-kongcu berseru, pedangnya tegak lurus ke atas di depan keningnya, sabuk sutera putih di tangan kiri digulung. Gaya kuda-kuda ini indah dipandang, akan tetapi juga aneh dan asing.
"Orang she Yo, sekali lagi kunasihatkan supaya kau mundur dan menarik semua bajak dari daerah ini, kembali ke tempat asalmu. Contohnya orangmu tadi, terpaksa kurobohkan karena secara kurang ajar dia menyerangku tanpa sebab. Aku sungguh tidak ingin membunuh orang yang baru saja menjamu kami."
"Tak perlu banyak cakap lagi, Tan Hwat Ki. Kalau kau dapat menangkan aku, kau akan menjadi jodoh adikku, kalau tidak, terpaksa kami memberi hukuman atas kelancanganmu membunuh banyak orang anggota Kipas Hitam."
"Bagus, kaulihat baik-baik pedangku!" Hwat Ki segera menikam dengan jurus Kim-tiauw-liak-sui (Rajawali Emas Sambar Air). Mula-mula jurus ini digerakkan dengan lambat, akan tetapi secara mendadak berubah cepat dan dahsyat sekali, yang dijadikan sasaran sekaligus adalah tiga tempat, yaitu tenggorokan, ulu hati dan pusar! Ujung
pedang tergetar menjadi tiga, biarpun menusuk secara berturut-turut, namun saking cepatnya seakan-akan merupakan tiga batang pedang menusuk sekaligus.
"Bagus!" Yo-kongcu memuji dalam bahasa Jepang, dan sepasang kakinya dengan cekatan melangkah ke samping dan sekaligus terhindarlah dia dari pedang lawan.
"Ehhh.....!!" Hwat Ki berseru kaget melihat cara lawannya menghindarkan diri dan cepat dia menerjang lagi bertubi-tubi dengan tiga jurus dirangkai sekaligus tanpa memberi kesempatan lawan balas menyerang. Pancingannya berhasil karena Yo-kongcu melanjutkan langkah-langkahnya untuk menghindar. Lincah sekali gerakannya dan tiga jurus yang dilancarkan dengan cepat ini dapat dihindarkan dengan baik.
"Tahan!" teriak Hwat Ki yang tak dapat menahan keheranan hatinya lagi. "Orang she Yo, dari mana kau mencuri langkah-langkah ajaib dari Kim-tiauw-kun?"
Yo-kongcu tertawa mengejek, mempermainkan sabuk sutera putih di tangan kirinya.
"Tan Hwat Ki, apa kaukira hanya engkau sendiri yang mampu mainkan langkah Kim-tiauw-kun?
Ihhh.., kau terlampau memandang rendah kepadaku. Lihat seranganku!"
Dengan cepat sekali sesosok sinar putih menyambar ke arah Hwat Ki. Pemuda ini mengenal sinar putih yang siang tadi telah merampas pedang Hek-kim-kiam dari tangan sumoinya. la tidak menjadi gentar, lalu memutar tangan kirinya dan mendorong ke depan.
"Plakkk!" Ujung sinar putih atau lebih tepat ujung sabuk sutera putih itu terpental kembali ketika bertemu dengan tangan kiri Hwat Ki yang ketika didorongkan mengeluarkan cahaya kehijauan itu. Kagetlah Yo-kongcu.
Pukulan tangan kiri Hwat Ki tadi jelas adalah pukulan jarak jauh yang luar biasa sekali. Memang sesungguhnya demikianlah. Hanya satu macam ilmu pukulan jarak jauh di dunia ini yang dilakukannya dengan cara memutar-mutar lengan kiri seperti itu, yaitu Ilmu Pukulan Ching-tok-ciang (Tangan Racun Hijau)!
Ilmu Pukulan Ching-tok-ciang ini diwarisi oleh Hwat Ki dari ayahnya, karena ilmu ini merupakan peninggalan neneknya, ibu dari Tan, Sin Lee. Karena ilmu yang sifatnya ganas dan liar, lebih tepat dipergunakan oleh golongan hitam, maka Tan Sin Lee tidak mengajarkannya kepada murid-muridnya yang lain kecuali kepada putera tunggalnya, dengan pesan agar ilmu ini jangan dipergunakan kalau tidak perlu. Biarpun ilmu ini merupakan ilmu ganas, namun karena merupakan peninggalan ibunya, terpaksa dia wariskan kepada puteranya.
Akan tetapi pemuda she Yo yang tangkas itu hanya sebentar saja terkejut karena selain dia segera dapat mengatasi kekagetannya, juga pedangnya kini sudah menerjang dengan gerakan yang amat ganas dan cepat. Jauh bedanya sifat gerakan pedangnya kalau dibandingkan dengan gerakan samurai di tangan Shatoku, pemuda Jepang tadi.
Gerakan samurai itu cepat bertenaga, akan tetapi tenaganya adalah tenaga kasar sedangkan kecepatannya wajar, berbeda dengan ilmu silat pedang yang lebih banyak mengandalkan kecepatan ginkang, tenaga dalam dan gerak-gerak tipu dan pancingan-pancingan yang berbahaya.
Hwat Ki menjadi heran dan kagum juga. Pemuda Jepang darah campuran ini ternyata memiliki ilmu pedang yang hebat dan aneh sekali, karena gerakan-gerakannya biarpun masih jelas merupakan ilmu pedang yang pilihan, juga tercampur gerakan silat Jepang. Ginkangnya cukup tinggi, tenaga sinkangnya juga amat kuat, sedangkan pedang di tangannya itu pun terbuat dari bahan baja pilihan karena setiap kali bertemu dengan Swat-cu-kiam di tangannya, mengeluarkan warna seperti perak dan mempunyai tenaga getaran tanda logam pusaka.
Selain ini, pemuda peranakan Jepang itu benar-benar lincah sekali menggunakan langkah-langkah bersumber Kim-tiauw-kun. la pernah mendengar dari ayahnya bahwa Kim-tiauw-kun merupakan sumber banyak macam ilmu langkah ajaib, di antaranya yang paling hebat adalah Si-cap-it Sin-po dan yang kedua adalah Ilmu Langkah Hui-thian-jip-te (Terbang di Langit Masuk ke Bumi).
Berbeda dengan Si-cap-it Sin-po yang mempunyai empat puluh satu langkah, Hui-thian-jip-te mempunyai dua puluh empat langkah. Agaknya, pemuda she Yo ini menggunakan Hui-thian-jip-te karena langkah-langkahnya tidak terlalu banyak macamnya namun cukup untuk menghindarkan diri dari serangan-serangan berbahaya.
Yang lebih berbahaya adalah sabuk sutera putih ini berkelebatan menjadi gulungan sinar putih yang menyilaukan mata, kadang-kadang bergulung-gulung menjadi lingkaran-lingkaran besar kecil yang selain dipergunakan untuk menotok jalan darah lawan, juga suka dipergunakan untuk berusaha melibat pedang lawan dan merampasnya.
Namun Tan Hwat Ki tidak selemah sumoinya, ilmu pedangnya mantap, gerakannya penuh tenaga dalam, sikapnya tenang dan pertahanannya kokoh kuat. Sama sekali sabuk sutera putih itu tidak membuat hatinya gugup, malah perlahan-lahan dengan dorongan-dorongan Ching-tok-ciang serta tekanan pedang Swat-cu-kiam di tangan kanan, dia mulai mendesak lawannya setelah pertandingan berlangsung seratus jurus lebih dengan amat serunya.
Tiga orang tua yang masih duduk menghadapi meja, juga Bu Cui Kim, memandang penuh kekaguman. Diam-diam Cui Kim makin kagum terhadap pemuda Jepang yang tampan sekali itu. Tadinya ia menganggap bahwa di antara semua pemuda di dunia ini, sukarlah mencari tandingan suhengnya yang memiliki kepandaian luar biasa.
Siapa kira, kini pemuda peranakan Jepang yang tampan sekali itu mampu menandingi Hwat Ki sampai seratus jurus lebih dalam pertandingan yang seru dan seimbang. Hatinya makin kagum dan ia memandang penuh perhatian. Setelah melihat betapa perlahan-lahan pemuda peranakan Jepang itu mulai terdesak oleh lingkaran-lingkaran sinar pedang suhengnya, diam-diam ia menaruh kekhawatiran kalau-kalau kakak seperguruan itu akan menurunkan tangan besi dan membunuh si pemuda Jepang seperti yang dilakukannya terhadap Shatoku, pemuda Jepang tadi.
Memang Hwat Ki tidak mau memberi kesempatan lagi kepada Yosiko. la pikir lebih baik melenyapkan ketua Kipas Hitam ini karena kalau ketuanya sudah tewas, tentu akan lebih mudah membasmi gerombolan bajak laut yang mengganggu keamanan wilayah Po-hai. Maka dia makin hebat mendesak dengan jurus-jurus pilihan dari ilmu pedangnya.
Adapun Yo-kongcu yang terdesak itu, berkali-kali mengeluarkan seruan kagum atas ilmu kepandaian lawan. la tidak, kelihatan gelisah, biarpun terdesak dan tertekan, seruan-seruan kagum dari mulutnya mengandung kegembiraan.
"Hebat, kau patut menjadi jodohnya...." demikian berkali-kali dia berseru. "Ilmu pedangmu hebat!"
"Tidak usah banyak cakap, bersiaplah untuk mampus!" Hwat Ki membentak dan pedangnya menyambar-nyambar seperti tangan maut mencari korban.
Mendadak dia mendengar suara Cui Kim berseru keras, "Suheng, celaka..... kita tertipu.....!"
Hwat Ki kaget dan menengok. Ternyata adik seperguruannya itu terhuyung-huyung lalu roboh pingsan di atas lantai! la tidak tahu apa yang terjadi atas diri sumoinya, cepat dia meloncat ke arah adik seperguruannya itu, akan tetapi mendadak dia merasakan kepalanya pening, pandang matanya berkunang-kunang. Tahulah dia sekarang. la, seperti juga sumoinya, terkena racun! Agaknya tadi karena dia bertanding dan mengerahkan sinkang, racun itu tidak begitu terasa olehnya, apalagi memang sinkang yang dimiliki sumoinya tidak sekuat sinkangnya.
Dengan penuh kemarahan Hwat Ki menengok. Dilihatnya Yosiko atau Yo-kongcu (tuan muda Yo) itu tersenyum, berdiri memandang kepadanya seperti orang mengejek.
"Keparat! Kau..... curang! Kau meracuni kami.....!" Hwat Ki menguatkan diri dan memaki.
Senyum itu melebar, akan tetapi kini pandangan mata Hwat Ki sudah remang-remang kurang jelas, hanya kelihatan gigi putih berkilat, kemudian terdengar suara pemuda Jepang kepala bajak itu berkata, terdengar oleh telinganya seperti suara yang datang dari jauh sekali,
"Tan Hwat Ki, kau belum mengenal kelihaian Kipas Hitam. Kalau kau kalah bertanding denganku, kau dan adikmu tentu sudah mati sekarang. Akan tetapi kalau
menang, kau dan adikmu harus menjadi tawananku. Jangan khawatir, kami takkan membunuh kalian, racun itu hanya beberapa menit saja membuat kalian pingsan....."
Apa yang diucapkan selanjutnya, tak terdengar lagi oleh Hwat Ki yang sudah roboh pingsan di samping adik seperguruannya.
"Siauw-pangcu..... (Ketua Muda), untuk apa menawan mereka? Lebih baik lekas bunuh saja agar tidak menimbulkan keruwetan di belakang hari," kata seorang di antara dua kakek itu, yang bertubuh kurus kering.
"Pauw-lopek (uwa Pauw), mereka itu masih orang sendiri, tak mungkin aku membunuh mereka, kecuali..... hemmm kecuali kalau mereka tidak mau menurut memihak kita," jawab Yosiko dengan suara tegas.
"Bagus sekali! Kipas Hitam kiranya hanya perkumpulan bajak busuk yang dipimpin oleh seorang wanita curang" tiba-tiba terdengar suara orang.
Kaget bukan main hati Yosiko, serentak dia meloncat dan siap, demikian pula tiga orang tua itu. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di situ telah muncul seorang pemuda berpakaian serba putih yang sederhana, dengan wajah yang tenang dan penuh wibawa. Pemuda ini bukan lain adalah Yo Wan!
Seperti kita ketahui, secara kebetulan sekali Yo Wan berada di rumah makan dalam dusun Leng-si-bun dan menyaksikan peristiwa yang terjadi antara muda-mudi Lu-liang-san itu dengan orang-orang Kipas Hitam. Ketika muncul Yosiko yang mengaku she Yo dan memiliki gerakan yang hebat, dia kaget dan heran sekali, juga ingin tahu karena bagaimana ketua Kipas Hitam itu memiliki she (nama keturunan) yang sama dengan dia?
Diam-diam dia menyelinap pergi sambil meninggalkan uang pembayaran makan minum, kemudian membayangi si pemuda ketua Kipas Hitam itu ke dusun Kui-bun di pantai Po-hai. Dengan kepandaiannya yang luar biasa, Yo Wan berhasil membayangi terus sampai di gedung tempat kediaman ketua Kipas Hitam itu dan bersembunyi. la dapat menduga bahwa muda-mudi yang dirampas pedangnya itu pasti akan menyusul ke Kui-bun, maka diam-diam dia bersembunyi sambil memasang mata, siap menolong muda-mudi itu apabila mereka terancam bahaya. Kalau muda-mudi itu bertentangan dengan golongan bajak laut yang mengganggu ketenteraman penghidupan para nelayan dan saudagar di tepi laut, pasti dia akan memihak mereka. Apalagi karena timbul dugaan di dalam hatinya bahwa muda-mudi itu sedikit banyak tentu mempunyai hubungan dengan gurunya, Pendekar Buta.
Ketika dugaannya terbukti dengan munculnya muda-mudi di ruangan besar gedung itu, dia mendapat kenyataan yang menggirangkan, juga mengherankan hatinya. Bahwa pemuda itu bernama Tan Hwat Ki putera Tan Sin Lee ketua Lu-hang-pai. Kini tidaklah heran dia mengapa pemuda itu dan sumoinya demikian lihai dan memiliki gerakan langkah Kim-tiauw-kun.
Tentu saja dia girang dan niatnya menolong atau membantu mereka lebih mantap lagi. Akan tetapi, hal yang amat mengherankan hatinya adalah ketika dia melihat pula kenyataan bahwa pemuda baju putih yang disebut Yosiko atau Yo-kongcu dan menjadi ketua Kipas Hitam itu ternyata adalah seorang wanita! Pandang matanya yang tajam segera dapat membuka rahasia ini ketika Yosiko mulai bersilat melawan Hwat Ki. Ada gerakan-gerakan otomatis pada kaki dan lengan seorang wanita, yang amat berbeda dengan gerakan otomatis kaki tangan pria.
Dalam menggerakkan lengannya, seorang wanita otomatis tidak mau membuka pangkal lengannya menjauhi dada, hal ini adalah sifat pembawaan tiap wanita. Tentu saja dalam mainkan ilmu silat, hal ini tidak mengikat benar, namun dalam ilmu silat pun tercampur dengan gerakan otomatis yang menjadi dasar menurut pembawaan masing-masing. Melihat gerak ini, kemudian melihat wajah yang terlalu tampan itu, kulit yang terlalu halus untuk pria, mudah saja Yo Wan menduga bahwa pemuda tampan itu adalah seorang gadis cantik yang menyamar pria!
Keheranan ini belum seberapa kalau dibandingkan dengan keheranan ketika dia melihat betapa gadis peranakan Jepang ini menggerakkan kaki dalam langkah-langkah ajaib yang amat dikenalnya. Itulah inti ilmu langkah ajaib yang pernah dia pelajari dari suhunya, Pendekar Buta! Hanya bedanya, yang dia pelajari adalah lebih lengkap berjumlah empat puluh satu jurus, sedangkan yang dikuasai gadis Jepang itu adalah dua puluh empat jurus Hui-thian-jip-te! Benar-benar amat luar biasa dan hal ini meragukan hatinya untuk memusuhi dan membasmi ketua Kipas Hitam ini.
Demikian, ketika dia melihat Hwat Ki sudah mendesak hebat, seperti juga Cui Kim, dia khawatir kalau-kalau Hwat Ki dalam kemarahannya membunuh ketua Kipas Hitam itu, maka dia bersiap-siap untuk menghentikan pertandingan mati-matian itu. Akan tetapi, tiba-tiba dia melihat Cui Kim roboh pingsan, disusul oleh Hwat Ki dan mendengar ucapan Yosiko, dia mengerutkan kening. Gadis peranakan Jepang itu benar-benar lihai, berani, juga liar dan curang, maka sambil mengejek dia lalu menampakkan diri.
Marahlah hati Yosiko ketika melihat munculnya seorang asing secara mendadak. la bertepuk tangan tiga kali dan muncullah enam orang pendek-pendek yang ternyata bukan lain adalah Kamatari dan lima orang temannya.
Si Pedang Cakar Naga ini bersama lima orang temannya menjura dalam-dalam sampai jidat mereka hampir menyentuh tanah di depan Yosiko.
"Apa yang dapat kami lakukan untuk Yo-kongcu yang terhormat?" tanyanya dalam bahasa Jepang.
"Kalian ini sekelompok udang goblok, bagaimana dengan tugasmu menjaga sehingga orang dusun ini bisa masuk ke sini tanpa ijin?" bentak Yosiko sambil menudingkan telunjuknya ke arah Yo Wan.
Kamatari melirik dan tampak kaget ketika melihat Yo Wan. "Dia..... dia adalah orang yang kelihatan di dalam rumah makan di Leng-si-bun!" katanya gagap dan heran.
"Goblok, seret dia keluar!" bentak Yosiko.
Diikuti lima orang temannya, Kamatari melangkah maju, lambat-lambat, selangkah demi selangkah, dengan gerak kaki menurutkan ilmu silatnya, kedua tangannya tergantung di kanan kiri, agak ditekuk sikunya dan jari-jari tangannya terbuka dan tertutup, sikapnya mengancam sekali!
Lima orang temannya juga seperti itu gerakannya, malah dengan teratur mereka berenam membuat gerakan mengelilingi Yo Wan.
"Eh, cakar nagamu ke mana? Apakah sudah kautukar dengan cakar ayam maka kau malu mengeluarkannya?" Yo Wan berkata sambil menghadapi Kamatari, karena di antara enam orang itu, Si Cakar Naga inilah yang paling kuat.
Merah muka dan kepala yang botak itu, kemudian tiba-tiba Kamatari mengeluarkan pekik nyaring yang agaknya keluar dari dalam perutnya, disusul dengan gerakannya seperti katak melompat dan tahu-tahu pedang samurainya telah menyambar ke arah Yo Wan. Dalam detik-detik berikutnya, lima orang temannya juga sudah menerjang dengan samurai terhunus sehingga dari enam penjuru menyambarlah kilatan enam sinar samu-rai yang amat tajam!
"Cring-crang-cring!"
Tampak bunga api berpijar menyilaukan mata ketika enam batang samurai itu saling bentur dalam kekacauan yang membingungkan. Tadinya Kamatari dan lima orang temannya merasa yakin bahwa samurai-samurai mereka pasti akan mencincang hancur tubuh si pemuda desa yang agaknya sudah tidak dapat mengelak ke mana-mana karena semua jalan keluar sudah tertutup enam buah samurai. Enam buah samurai itu menghantam ke satu titik, yaitu di mana Yo Wan berada.
Akan tetapi, ternyata tepat tiba di sasaran, pemuda itu tidak tampak bayangannya lagi dan enam buah samurai itu saling bentur. Karuan saja enam orang itu terheran-heran dan terkejut sekali, dan sebelum mereka tahu apa yang terjadi, mereka merasa didorong dari belakang oleh tenaga mujijat dan..... berturut-turut terdengar suara beradunya kepala sama kepala dan bergelimpanglah enam orang itu dengan tambahan benjol sebesar telor ayam pada botak kepala masing-masing. Mereka pingsan seketika.
"Hek-san-pangcu (ketua Kipas Hitam), udang-udang busuk begini kau pergunakan untuk menakut-nakuti orang? Memalukan sekali" kata Yo Wan, kedua tangannya bergerak dan enam orang itu terlempar keluar pintu depan satu demi satu seperti rumput-rumput kering ditiup angin saja.
Sepasang alis Yosiko terangkat naik, lalu turun dan hampir bersambung. Marahlah dia, juga heran karena sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa "orang desa" ini ternyata lihai juga.
"Hemmm, kau boleh juga, akan tetapi belum cukup berharga untuk bertanding denganku. Pouw-lopek, harap wakili aku beri hajaran kepada bocah dusun ini!"
Kakek tinggi kurus yang kulitnya sudah berkeriput semua, melangkah lebar. Kagetlah Yo Wan karena sekali melangkah saja kakek itu sudah berada di depannya! Mana mungkin begini? Kalau kakek itu melompat, dia tidak merasa heran, bahkan hal itu biasa saja. Akan tetapi kakek itu sama sekali bukan melompat, melainkan melangkah. Betapapun panjang kakinya, tak mungkin dapat sekali melangkah sampai di depannya, padahal jaraknya kurang lebih lima tombak (kurang lebih sepuluh meter)! Ilmu apakah ini? Yo Wan memutar otak dan dapat menduga bahwa kakek tinggi kurus ini tentu memiliki ilmu luar biasa yang mengandalkan kedua kakinya, dan hal ini mudah diduga bahwa ilmu itu tentulah ilmu tendangan. Apalagi yang dapat dipergunakan sepasang kaki dalam pertandingan untuk menyerang lawan kecuali menendang?
Maka dia bersikap waspada dan mencurahkan sebagian besar perhatiannya kepada gerakan sepasang kaki calon lawannya.
"Orang muda" kata kakek itu, suaranya jelas menyatakan bahwa dia seorang dari daerah pesisir selatan, "kau sungguh seorang yang tak tahu diri, tak mengenal luasnya lautan tingginya langit. Siapakah kau ini yang berani lancang memasuki gedung tempat tinggal ketua Hek-san-pang dan menjual lagak di sini? Dan apakah kehendakmu?"
Mendengar ucapan ini dan melihat sikap yang berwibawa, Yo Wan dapat menduga bahwa kakek ini tentu mempunyai kedudukan yang cukup tinggi dalam perkumpulan Hek-san-pang, maka dia pun bersikap hormat.
Setelah menjura dia menjawab, "Namaku Yo Wan dan secara kebetulan aku menyaksikan peristiwa di rumah makan. Karena tertarik mendengar bahwa ketua kalian juga she Yo, apalagi ditambah sepak terjangnya merampas pedang, biarpun urusan itu dengan aku tidak ada sangkut-pautnya, namun memaksa aku untuk datang ke sini dan menonton. Kiranya ketuanya seorang wanita yang begitu curang merobohkan dua orang muda ini dengan racun. Hal ini aku Yo Wan tak mungkin diam saja membiarkan kecurangan".
Yosiko membentak marah, "Bocah dusun lancang. Kau sombong sekali. Apa maksudmu dengan kata-kata bahwa Hek-san-pang dipimpin oleh seorang wanita?"
"Seorang wanita curang kataku tadi," jawab Yo Wan sambil tersenyum kepada ketua Hek-san-pang itu. "Mata orang lain boleh kaukelabuhi, akan tetapi bagiku jelas bahwa kau seorang wanita, mengapa memakai sebutan kongcu (tuan muda) segala macam? Dan memang kau curang sekali, mengambil kemenangan menggunakan racun....."
"Pouw-lopek, hajar dia!" bentak Yosiko, tak dapat menahan kemarahannya lagi.
Orang tua tinggi kurus itu sebetulnya adalah seorang bajak laut tunggal di pantai selatan yang bernama Pouw Beng, akhirnya dia ditarik oleh Kipas Hitam menjadi pembantu utama di samping dua orang lain yang selalu mendampingi ketua Kipas Hitam. Ketika tadi menyaksikan gerak-gerik Yo Wan, kakek yang bermata tajam ini maklum bahwa Yo Wan adalah seorang "pemuda gunung" (istilah murid pertapa di gunung) yang tak boleh dipandang ringan, maka dia bersikap sabar dan bertanya lebih dulu. Kini mendengar kemarahan Yosiko yang mendesaknya, dia lalu memasang kuda-kuda, kedua kakinya dipentang lebar pada bagian lutut, akan tetapi mata kakinya saling bertemu.
"Orang muda she Yo, lihat serangan!" bentaknya mengguntur dan sekali meraba punggung, kakek ini sudah mencabut keluar sebatang ruyung lemas (joan-pian) yang berwarna hitam lalu menerjang dengan senjata seperti pecut ini dengan gerakan yang dahsyat.
"Wuuuttttt!" angin pukulan joan-pian ini menyambar ke arah kepala ketika Yo Wan mengelak, namun dengan kelincahannya, mudah saja Yo Wan melompat lagi ke samping. Ketika joan-pian ini seperti seekor ular hidup mengejarnya terus dengan cepat, Yo Wan diam-diam menjadi kagum dan memuji kepandaian si kakek mainkan
joan-pian yang dapat terus-menerus melakukan serangan sambung-menyambung.
la masih belum dapat melihat bahayanya ancaman joan-pian ini maka Yo Wan tetap saja mengelak ke sana kemari sambil tiada hentinya memperhatikan kedua kaki lawan. Benar saja dugaannya, gerakan joan-pian yang menyerang kalang kabut ini hanyalah usaha untuk membingungkan lawan, karena tiba-tiba kedua kaki kakek itu bergerak menyambar, susul-menyusul dengan kecepatan yang tak terduga-duga dan dengan kekuatan yang luar biasa!
Yo Wan kagum. Hal ini sudah diduganya, dan memang sesungguhnya tendangan-tendangan inilah yang merupakan inti dari penyerangan kakek kurus itu. Seorang lawan yang kurang waspada pasti akan roboh oleh tipu muslihat ini, karena hanya tampaknya saja joan-pian yang mengancam, akan tetapi sesungguhnya bukan demikian, sehingga lawan yang terlalu mencurahkan perhatian terhadap serangan joan-pian yang bertubi-tubi, akan celaka oleh tendangan-tendangan tersembunyi ini.
Yo Wan bukan seorang pemuda sombong dan dia tidak suka memamerkan kepandaiannya. Akan tetapi keadaan sekarang memaksa dia untuk mengeluarkan kepandaiannya. Pertama, karena dia berada di sarang harimau yang berbahaya, kedua untuk menolong muda-mudi putera ketua Lu-liang-pai atau cucu Raja Pedang itu, ketiga memang sudah menjadi tugasnya untuk membasmi bajak laut, apalagi setelah dia teringat akan ucapan penuh sindiran dari ketua Siauw-lim-pai, yaitu Thian Seng Losu.
Maka melihat datangnya tendangan, dia sengaja bersikap seakan-akan dia kurang waspada dan memberi kesempatan orang menendangnya!
Karuan saja Pouw Beng girang bukan main, "Pergilah!" bentaknya sambil mengerahkan tenaga pada tendangannya ketika lawan muda itu sibuk mengelak dari sambaran joan-pian.
"Dukkk!" Bukan tubuh Yo Wan yang mencelat seperti yang telah dibayangkan si penendang dan teman-temannya, melainkan kakek itu sendiri yang terpelanting dan bergulingan, tak mampu bangkit lagi karena tulang kakinya yang menendang tadi remuk sedangkan joan-pian di tangannya pun sudah mencelat entah ke mana! Kiranya
tadi ketika kakinya sudah hampir mengenai sasaran, yaitu perut Yo Wan, pemuda ini secepat kilat menggunakan tangan kirinya menotok jalan darah lalu menggencet.
Karena dia mempergunakan jurus ampuh Ilmu Silat Liong-thouw-kun yang dia warisi dari kakek sakti Sin-eng-cu, seketika remuklah tulang kaki lawannya, sedangkan tangan kanan Yo Wan pada detik yang sama juga menghantam pergelangan lengan yang memegang joan-pian sehingga joan-pian itu terpental dan mencelat entah ke mana.
Yosiko melongo. Sama sekali tak pernah disangkanya bahwa pemuda dusun itu demikian lihainya. Pouw Beng dirobohkan hanya dalam beberapa gebrakan saja! Tendangan maut itu diterima tangan kiri dan kaki Pouw Beng remuk! Mana mungkin ini? Apakah pemuda sederhana baju putih itu main sihir? Dia sendiri yang sudah mengenal kelihaian Pouw Beng, agaknya sebelum seratus jurus tak mungkin dapat mengalahkannya!
"Paman Sakisoto, majulah!" teriaknya karena dia masih merasa penasaran. Kalau terhadap Tan Hwat Ki, dia maju sendiri karena dia sudah yakin akan kelihaian pemuda Lu-liang-pai itu. Akan tetapi pemuda dusun yang tak ternama ini, yang kelihatan begitu lemah dan sederhana, mana berharga menghadapinya?
Para pelayan mengangkat pergi tubuh Pouw Beng yang masih pingsan, sedangkan kakek yang botak dan pendek sekali itu sudah melangkah maju menghampiri Yo Wan. Kakek tua yang pendek botak ini adalah seorang jagoan Jepang yang terkenal dengan ilmunya Yiu-yit-su. la seorang jago gulat yang jarang menemui tandingan di antara sekalian bajak laut, dan menjadi juara di kalangan Kipas Hitam.
Kedudukannya tinggi, sejajar dengan kedudukan Pouw Beng dan dia menjadi tangan kanan Yosiko pula, terutama untuk urusan mengendalikan anak buah bajak laut Kipas Hitam. Semua anak buah bajak laut, terutama yang berasal dari Jepang, takut belaka kepada Sakisoto, demikian nama jagoan tua ini. Selain ahli dalam ilmu gulat dan ilmu tangkap Yiu-yit-su, dia pun termasuk seorang jago samurai yang ampuh. Kalau dibandingkan dengan Pouw Beng sukarlah untuk menilai karena keduanya memiliki keistimewaan masing-masing.
"Bocah sombong, hayo lekas berlutut menyerahkan diri sebelum kubanting tubuhmu sampai remuk!" bentak Sakisoto, karena bagaimanapun juga dia merasa malu, kalau harus melawan seorang pemuda tak ternama, apalagi kelihatannya kurus kering dan lemah begitu, maka dia memberi peringatan lebih dulu agar bocah itu menyerah saja.
Yo Wan tentu saja sudah pernah mendengar tentang ilmu gulat dan ilmu tangkap dari Jepang, tentu semacam Ilmu Silat Sauw-kin Na-jiu-hoat, pikirnya. la maklum akan kelihaian ilmu ini yang sama sekali tidak membolehkan anggota badan tertangkap. Akan tetapi menyaksikan gerakan kakek ini, dia berbesar hati. Langkah kakek ini sedikit banyak sudah membayangkan keadaan tenaga Iweekang yang dimilikinya dan dia merasa sanggup untuk menghadapinya.
"Orang tua, kau tentulah seorang ahli membanting orang. Biarlah, aku ingin merasakan bantinganmu, kalau aku kalah tak usah kau suruh menyerah, tentu saja aku sudah tak berdaya lagi. Silakan!" la sengaja bicara dengan lambat agar kakek Jepang itu dapat mengikuti kata-katanya karena tadi ketika bicara, orang Jepang ini juga lambat-lambat dan agak sukar.
"Bocah sombong, kau cari mampus" Sakisoto berseru, lalu kedua kakinya yang pendek itu bergerak maju, kedua lengan-nya menyambar dengan gerakan kuat dan jari-jari tangan terbuka. Alangkah heran dan juga girangnya ketika dia melihat lawannya sama sekali tidak mengelak sehingga begitu dia menggerakkan kedua tangannya, Yo Wan sudah kena dicengkeram lengan kiri dan pundak kanannya! Dengan sepasang mata sipitnya berseri-seri saking gembiranya akan hasil ini, Sakisoto mengerahkan tenaga dari perut, disalurkan kepada jari-jari tangannya dengan maksud untuk meremas hancur pergelangan lengan kiri dan pundak kanan pemuda kurang ajar itu.
Jari-jari tangannya mengeras, menggigil karena terisi getaran tenaga yang dahsyat, tenaga yang membuat jari-jari tangan itu mampu meremas hancur batu karang! Akan tetapi alangkah kagetnya ketika jari-jari tangannya meremas kulit yang lunak dan licin seperti kulit belut, lunak akan tetapi ulet seperti karet sehingga tenaga remasan jari-jari tangannya lenyap tertelan atau tenggelam, sama sekali tidak ada hasilnya seperti orang meremas kapas?
Dalam kagetnya jago tua Jepang yang sudah banyak pengalamannya itu dapat menduga bahwa pemuda ini memiliki tenaga dalam dari orang-orang daratan yang memang amat luar biasa, maka secepat kilat dia mengubah getaran tenaganya, kini jari-jarinya tidak menceng-keram untuk meremuk lagi melainkan mencengkeram erat-erat lalu dia menge-rahkan tenaga perut untuk mendongkel dan melontarkan lawannya dengan gerak tipu dalam Ilmu Yiu-jit-su. Kakinya menjegal dan tangannya yang satu mendorong yang lain menyentak kuat. Namun, orang yang disentaknya tidak bergeming sama sekali. Hal ini tidak mengherankan oleh karena Yo Wan sudah pula mengganti tenaga dalamnya, kini dia mengerahkan tenaga Selaksa Kati yang disalurkan ke arah kedua kaki dan berdiri dengan kuda-kuda Siang-kak-jip-te (Sepasang Kaki Berakar di Tanah), Jangankan baru seorang Sakisoto, biar kedua kaki (tu ditarik oleh lima ekor kuda kiranya belum tentu akan dapat terangkat!
Mulut jago tua Jepang itu mengeluarkan suara ah..ah..uh..uh..uh, ketika dia beberapa kali mengganti kedudukan dan jurus untuk berusaha mengangkat kaki lawan untuk terus dilontarkan di atas pundak dan dibanting remuk. Keringatnya sudah memenuhi muka, otot-ototnya menonjol keluar, nafasnya terengah-engah, namun hasilnya sia-sia belaka. Pemuda yang kurus itu masih berdiri tegak dengan senyum manis, sedikit pun tidak kelihatan mengerahkan tenaga. Hal ini selain membuat Sakisoto merasa penasaran, juga membuatnya menjadi malu dan marah sekali.
"Mampus kau!" bentaknya dan secepat kilat kedua tangannya melepaskan cengkeraman pada lengan dan pundak, kini berganti dengan serangan memukul dengan telapak tangan dimiringkan. Tangan kanan memukul leher dan tangan kiri memukul lambung! Jangan dipandang ringan serangan ini karena kedua tangan itu sudah terlatih, ampuh sekali. Kepala orang bisa remuk terpukul oleh tangan miring ini, apalagi tempat-tempat gawat macam leher dan lambung. Sekali pukul tentu nyawa akan melayang!
Mendengar menyambarnya hawa pukulan, Yo Wan maklum bahwa serangan ini cukup berbahaya. Cepat dia menyambar dengan kedua tangannya, jauh lebih cepat daripada datangnya pukulan. Tahu-tahu kedua pergelangan tangan jago tua itu sudah dia tangkap dan seketika bagaikan dilolosi semua urat syaraf dalam tubuh Sakisoto. Tiba-tiba Yo Wan berseru keras dan tubuh pendek tegap itu melayang ke atas dan terbang sampai sepuluh meter jauhnya. Namun, begitu dilepaskan, jago tua yang sudah berpengalaman ini dapat menggerakkan tubuhnya sehingga ketika terbanting ke bawah, dia dapat mendahulukan daging belakangnya, sehingga hanya terdengar suara berdebuk, tubuhnya membal ke atas dan dia turun lagi dalam keadaan berdiri dan mulutnya meringis karena daging tua di belakang pantatnya terasa kesemutan dan sakit! Kemarahannya memuncak dan dengan kerongkongan mengeluarkan gerengan seperti beruang, dia menubruk maju, didahului pedang samurainya yang panjang dan besar.
Yo Wan cepat miringkan tubuh, membiarkan sinar berkelebat pedang panjang itu lewat, jari tangannya bekerja dan di lain saat sekali lagi tubuh Sakisoto terguling, kali ini jatuh tersungkur tak marnpu bangkit untuk beberapa menit lamanya karena jari-jari tangan Yo Wan telah berhasil menyentil sambungan tulang pundak kanan dan menotok jalan darah di punggung kiri! Jago tua Jepang itu hanya mampu mengulet dan merintih perlahan.
Kalau tadi sepasang mata Yosiko berapi-api marah, kini mulai bersinar penuh kekaguman. Dua orang jagonya dirobohkap demikian mudahhya. Bukan main pemuda sederhana ini. Mungkinkah ada pemuda yang lebib pandai daripada jago tampan dari Lu-liang-pai? Diam-diam dia melirik ke arah Hwat Ki yang masih pingsan di dekat sumoinya, di sudut ruangan. Kemudian dia memberi tanda dan para pelayan datang membangunkan Sakisoto dan mengangkatnya keluar dari ruangan itu.
Yo Wan tersenyum menghadap Yosiko. "Bagaimana? Cukupkah?"
"Hemmm, setelah kau mampu merobohkan dua orang pembantuku kau mau apa?"
"Tidak apa-apa, hanya minta supaya kau bebaskan kedua orang muda dari Lu-liang-san itu, kemudian gulung tikar dan kembali ke Jepang, jangan lagi kau atau anak buahmu mengganggu pantai dan perairan Po-hai."
"Peduli apa dengan kau? Kau murid siapa? Dari partai apa?"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar