Di lan pihak Yo Wan adalah seorang pemuda yang cerdik. Setelah menjadi yakin bahwa terhadap Bhok Hwesio dia tidak akan mampu menggunakan ilmunya untuk mencapai kemenangan, dia sepenuhnya menjalankan pesan Pendekar Buta dan Raja Pedang. Ia mainkan langkah ajaib dengan cermat sekali dan setiap kali ada kesempatan, dia mengancam mata atau ubun-ubun kepala lawan. Selain ini, dia sengaja berloncatan menjauhkan diri mempergunakan ginkangnya, sehingga lawannya yang makin bernafsu itu mengejarnya lebih cepat. Ini membutuhkan pergerakan cepat sehingga makin lama mereka bergerak makin cepat sampai lenyap bentuk tubuh berubah menjadi dua bayangan yang berkelebatan.
Betapapun saktinya Bhok Hwesio, dia hanyalah seorang manusia juga. Manusia yang mempunyai darah daging, otot-otot dan tulang. Manusia yang tidak akan mampu, betapapun sakti dia, melawan kekuasaan dan kesaktian usia tua. Usia kakek ini sudah amat tinggi, mendekati sembilan puluh tahun. Boleh Jadi dia matang dalam kepandaiannya, amat kuat dalam tenaga sinkang. Namun harus diakui bahwa usia tua telah menggerogoti daya tahannya. Tanpa dia sadari, setelah mengejar-ngejar Yo Wan seperti orang mabuk mengejar bayangannya sendiri, lewat tiga ratus jurus, nafasnya mulai kempas-kempis, mukanya penuh peluh dan pucat, sedangkan dari kepalanya yang gundul itu mengepul uap putih tebal!
Dapat dibayangkan, seorang kakek berusia sembilan puluh tahun main kejar-kejaran dengan gerakan secepat itu selama tiga jam! Ini masih ditambah oleh rasa marah dan penasaran yang tentu saja menambah sesak nafasnya.
Saking marahnya Bhok Hwesio, ketika untuk ke sekian kalinya, bagaikan ujung ekor ular mempermainkan kucing, cambuk Yo Wan menyambar ke arah kedua matanya. Bhok Hwesio menggeram, tidak mengelak melainkan menangkap cambuk ini dengan kedua tangannya! la berhasil menangkap cambuk, lalu merenggut keras.
Yo Wan terkejut, tapi dia mempertahankan cambuknya. Terjadi betot-membetot. Tentu saja pengerahan tenaga menarik jauh bedanya dengan tenaga mendorong. Mendorong merupakan tenaga yang dipaksakan, dan dalam hal ini Yo Wan tidak berani menerima dorongan lawan karena kalah kuat. Akan tetapi dalam adu tenaga menarik, tidak ada bahayanya kalau kalah, paling-paling harus melepaskan cambuk. Karena itulah maka Yo Wan tidak mau menerima kalah begitu saja. la memegang gagang cambuk erat-erat dan mengerahkan tenaganya menahan. Ada sedikit keuntungan baginya. la memegang gagang cambuk yang tentu saja lebih "enak" dipegang, daripada ujung cambuk yang kecil dan menggigit kulit tangan. Keuntungan inilah agaknya yang membuat Yo Wan dapat menebus kekalahannya dalam hal tenaga sehingga tidak mudah bagi Bhok Hwesio untuk dapat merampas cambuk itu cepat-cepat.
Cambuk Liong-thouw-pian peninggalan Bhewakala ini luar biasa kuatnya. Ditarik oleh dua orang yang memiliki tenaga sakti itu, benda ini mulur panjang, kadang-kadang mengkeret kembali seperti karet. Lama dan ramailah adu tenaga ini, seperti dua orang kanak-kanak main adu tambang. Hanya penasaranlah yang membuat Bhok Hwesio bersitegang tidak mau menyudahi betot-membetot yang lucu dan tidak masuk dalam kamus persilatan ini!
Yo Wan mengangkat muka memandang. Hwesio itu mukanya pucat sekali, seperti tidak berdarah atau agaknya semua darah di mukanya sudah terkumpul di kedua matanya yang menjadi merah mengerikan. Keringat sebesar kacang kedelai memenuhi muka dan leher, juga kepala, dadanya kembang-kempis secara cepat.
Melihat ini, Yo Wan mengerahkan tenaganya dan mempertahankan cambuknya. Bukan karena dia terlalu sayang akan cambuknya, melainkan dengan jalan ini dia dapat menguras dan memeras habis tenaga lawan. Dalam ilmu silat dan tenaga dalam dia kalah, namun dia harus mencari kemenangan dalam keuletan dan pernafasannya, mencari kemenangan mengandalkan usianya yang jauh lebih muda. Dia sendiri juga mandi keringat, akan tetapi agaknya tidak sehebat kakek itu.
Bhok Hwesio makin penasaran, menahan nafas dan mengerahkan seluruh tenaganya, menarik. Tubuhnya seakan-akan membesar, otot-otot di lehernya mengejang dan menonjol ke luar.
"Krekkkkk!!" Cambuk itu putus di tengah-tengah! Yo Wan terbanting ke belakang, terus bergulingan seperti bola, ada lima meter jauhnya. Tanpa disengaja, dia terguling ke dekat Cui Sian dan agaknya akan menabrak gadis itu kalau saja Cui Sian tidak mengulurkan tangan dan menahannya sehingga mereka seperti berpelukan! Cepat-cepat Cui Sian menjauhkan diri dan mukanya menjadi merah sekali!
"Ah..... eh...... maaf, Sian-moi....." kata Yo Wan, juga merah mukanya.
Akan tetapi Cui Sian segera dapat mengatasi hatinya. "Waspadalah, Yo-twako, dia lihai bukan main. Kau usap peluhmu itu....." Sambil berkata demikian, Cui Sian menyerahkan sehelai sapu tangan sutera. Yo Wan menerimanya, teringat akan lawannya dan cepat dia melompat bangun dan berdiri sambil mengusapi peluh di mukanya. Bau sedap dari saputangan itu menyegarkan semangatnya sehingga dia lupa akan cambuknya yang amat disayangnya, cambuk yang kini sudah putus menjadi dua. la melihat kakek itu juga berdiri tegak, sepasang matanya yang biasanya meram itu kini terbelalak, merah menakutkan. Jelas sekali kakek itu tidak dapat menahan nafasnya yang terengah-engah.
"Hwesio tua, kalau kau mau mengaso, mengasolah dulu. Nafasmu perlu diatur, jangan-jangan putus nanti seperti cambukku....." Yo Wan sengaja mengejek, karena dia khawatir kalau kakek itu mengaso dan mendapatkan kembali tenaga dan nafasnya, tentu akan lebih berbahaya.
"Iblis cilik, sekarang pinceng akan menghancurkan kepalamu!" Sambil berkata demikian, Bhok Hwesio menerjang maju lagi. Yo Wan meloncat dan menghindar. Kini tangan kirinya sudah memegang sebatang pedang yang berkilauan putih sebagai pengganti cambuknya yang putus. Itulah pedang Pek-giok-kiam pemberian Hui Kauw dahulu.
"Tidak mudah, Hwesio, kalau kepandaian yang kaubawa dari Siauw-lim-pai hanya seperti ini....."
Terdengar teriakan ngeri ketika Bhok Hwesio melompat maju seperti harimau menerkam. Teriakan ini keluar dari mulut Cui Sian saking kaget dan gelisahnya. Terkaman itu hebat bukan main. Tubuh Bhok Hwesio seperti terbang di angkasa dan tampaknya kedua kakinya ikut pula menyerang, persis seperti seekor harimau yang menerjang.
Yo Wan melompat lagi menghindar, akan tetapi tubuh Bhok Hwesio itu mengikutinya, seperti seekor kelelawar besar, mengancam dari atas. Melihat jari-jari tangan yang gemetar dan mengeluarkan bunyi berkerotokan itu, Yo Wan menjadi pucat. Sekali kena dicengkeram, akan hancurlah dia. Jangankan kena dicengkeram, kena sentuh jari-jari itu saja cukup untuk membuat orang roboh!
Melihat betapa tubuh di atas itu seperti terbang dapat mengikutinya, Yo Wan menjadi nekat. Sekuat tenaga dia menggerakkan kedua pedangnya, pedang Siang-bhok-kiam (Pedang Kayu Wangi) di tangan kanan dan pedang Pek-giok-kiam (Pedang Kumala Putih), menyerang dengan tusukan-tusukon maut ke arah tenggorokan dan bawah pusar!
Tapi kakek yang melayang Itu menggerakkan kedua tangannya, langsung menerima pedang-pedang itu dengan cengkeramannya. Terdengar bunyi "krakkk-krekkk!" dan pedang kayu Siang-bhok-kiam hancur berkeping-keping sedangkan pedang Pek-giok-kiam patah-patah menjadi tiga potong!
Akan tetapi terjangan ini membuat tubuh hwesio itu terpaksa turun kembali dan ternyata tangan kanannya yang mencengkeram Pek-giok-kiam tadi mengeluarkan darah karena terluka!
Bhok Hwesio mengeluarkan suara gerengan keras, lalu tiba-tiba berlari menerjang Yo Wan dengan kepala di depan. Gerakan ini luar biasa sekali, aneh dan lucu, seperti seekor kerbau gila mengamuk. Seekor kerbau tentu saja mengandalkan tanduknya yang kuat dan runcing, akan tetapi hwesio tua itu kepalanya gundul licin, masa hendak dipergunakan sebagai andalan serangan? Karena Yo Wan memang kurang pengalaman, dia melihat gerakan hwesio ini dengan hati geli. Biarpun dia telah kehilangan cambuknya, kehilangan Siang-bhok-kiam dan Pek-giok-kiam, namun dia tidak menjadi gentar karena mengandalkah Si-cap-it Sin-po dan ilmu silat-ilmu silatnya yang tinggi, dia masih mampu mempertahankan dirinya sampai hwesio tua ini kehabisan nafasnya.
"Yo Wan, awaaasss.....!!" Seruan ini hampir berbareng keluar dan mulut Raja Pedang dan Pendekar Buta.
Kagetlah hati Yo Wan. Tadinya dia menganggap gerakan Bhok Hwesio itu gerakan nekat yang pada hakikatnya hanya gerakan bunuh diri karena dengan kepala menyeruduk macam itu, alangkah mudah baginya untuk mengirim pukulan maut ke arah ubun-ubun kepala hwesio itu. Maka dapat dibayangkan betapa kagetnya mendengar seruan dua orang sakti itu.
Cepat dia menggerakkan kaki mengatur langkah cepat karena tadinya tidak menganggap serangan itu berbahaya. la hanya merasa tekanan hawa yang luar biasa, panas dan membawa getaran aneh, lalu tubuhnya terjengkang. Kepala maupun tubuh hwesio itu sama sekali tidak menyentuhnya, serangan kepala itu boleh dibilang tidak mengenai dirinya, karena tubuh Bhok Hwesio menyambar lewat, namun hawa pukulannya, demikian hebat sehingga Yo Wan terjengkang, terbanting dan merasa betapa dadanya sesak!
Cepat dia menekan perasaan ini dengan mengerahkan sinkang di tubuhnya, akan tetapi dia tidak dapat mencegah tubuhnya terbanting dan bergulingan. Pada saat itu, Bhok Hwesio sudah mengejar maju, dan bertubi-tubi mengirim pukulan dengan kedua tangannya, pukulan jarak jauh yang tidak kalah ampuhnya oleh pukulan toya baja yang beratnya ratusan kati!
Raja Pedang memandang cemas, demikian pula Pendekar Buta mengepal tangan, hatinya tegang, kepalanya agak miring untuk dapat mengikuti semua gerakan itu dengan baik melalui pendengarannya. Yo Wan melihat bahaya maut datang, cepat dia bergulingan lagi sehingga pukulan-pukulan jarak jauh itu hanya mengenai tanah, membuat debu beterbangan dan batu-batu terpukul hancur.
Dengan gemas Bhok Hwesio menyambar pedang Pek-giok-kiam yang tadi patah dan menggeletak di atas tanah, dilontarkannya pedang buntung itu ke arah dada Yo Wan yang masih bergulingan di atas tanah.
Yo Wan mendengar bersiutnya angin, cepat dia menekankan kedua tangan di atas tanah, tubuhnya melejit ke atas dan "syyyuuuttt!" pedang buntung itu lewat di pinggir tubuhnya, merobek baju kemudian menancap sampai amblas di dalam tanah!
Yo Wan sudah berhasil melompat bangun, agak terhuyung-huyung dia karena pengaruh angin pukulan sakti tadi masih membuat dia sesak dadanya. Keadaannya berbahaya sekali karena setelah sekarang bertangan kosong dan terluka di sebelah dalam, biarpun tidak parah namun cukup akan mengurangi kelincahannya, agaknya dia akan roboh oleh kakek hwesio yang luar biasa tangguhnya itu. Adapun Bhok Hwesio sudah menggereng lagi dan kepalanya menunduk, tubuhnya merendah, siap menerjang seperti tadi, terjangan dengan kepala seperti seekor kerbau mengamuk.
"Omitohud, Bhok-sute, banyak jalan utama, mengapa memilih jalan sesat? Selagi masih ada kesempatan, mengapa tidak mencuci noda lama dan kembali ke jalan benar?"
Ucapan yang dikeluarkan dengan suara halus dan tenang penuh kasih sayang ini mengagetkan semua orang, terutama sekali Bhok Hwesio. la cepat mengangkat muka yang tadi ditundukkan itu memandang dan alis matanya yang sudah putih itu bergerak-gerak, keningnya berkerut-kerut. Kiranya di depannya telah berdiri seorang hwesio tua yang tinggi kurus, usianya sudah sangat tua, kepalanya gundul mengkilap, alis, jenggot dan kumisnya yang jarang sudah putih semua, jubahnya kuning bersih dan tangannya memegang sebatang tongkat hwesio.
Melihat hwesio tua ini, Raja Pedang dan Hui Kauw terkejut. Juga Pendekar Buta miringkan kepalanya. Hanya Cui Sian dan Lee Si yang tidak mengenal siapa adanya kakek itu, juga Yo Wan tidak mengenalnya. Tentu saja Raja Pedang dan Hui Kauw terkejut karena mengenal kakek itu sebagai Thian Seng Losu, ketua Siauw-lim-pai. Kalau kakek ini datang dan membantu Bhok Hwesio yang terhitung sutenya sendiri, celakalah mereka semua. Menghadapi Bhok Hwesio seorang saja sudah repot, apalagi ditambah suhengnya yang tentu saja sebagai ketua Siauw-lim-pai memiliki ilmu yang hebat. Mana Yo Wan akan sanggup menahan?
"Suheng, harap jangan ikut-ikut, ini urusanku sendiri!" Bhok Hwesio mendengus marah ketika melihat ketua Siauw-lim-pai itu.
"Bhok-sute, insyaf dan sadarlah. Bukan saatnya bagi orang-orang yang mencari penerangan seperti kita ini melibatkan diri pada karma yang tiada berkesudahan. Mengapa sudah baik-baik kau bertapa, diam-diam kau pergi, Sute? Kalau kau masih ingin terikat karma, bukan begitu caranya. Lebih baik kau melakukan bakti terhadap negara. Pinceng mendengar bahwa kaisar sekarang kembali memimpin sendiri pasukan ke utara, dan kabarnya di luar tembok besar, Orang-orang Mongol mengganas dan memiliki banyak orang-orang sakti dari barat. Kalau memang hatimu belum puas dan ingin terikat pada dunia, kenapa kau tidak menyusul ke utara dan membantu kaisar?"
"Suheng, sekali lagi, jangan ikut-ikut. Raja Pedang adalah musuh besarku, dia harus menebus!"
"Omitohud! Pinceng lihat Bu-tek-kiam-ong ketua Thai-san-pai yang terhormat sudah terluka parah dan tidak melawanmu. Mengapa kau sekarang main-main dengan anak muda?"
"Bocah ini mewakili Raja Pedang, terpaksa aku harus membunuhnya, Suheng, kemudian aku akan membikin musuh besarku tapa daksa, baru aku akan ikut dengan Suheng kembali ke kelenteng dan bertapa mencari jalan terang."
"Ah..,.. ah...... menumpuk dosa dulu baru bertobat? Mengganas dalam kegelapan untuk mencari jalan terang. Mana bisa, Sute. Kau tersesat jauh sekali. Marilah kau ikut dengan pincengi dengan damai....."
"Nanti sesudah kurobohkan bocah ini!" Setelah berkata demikian, kembali Bhok Hwesio merendahkan tubuhnya, menundukkan muka dan siap untuk menerjang Yo Wan dengan ilmunya yang dahsyat.
"Jangan, Sute....." Tiba-tiba tubuh kakek tua itu melayang bagaikan sehelai daun kering dia tiba di depan Yo Wan, menghadang di antara pemuda itu dan Bhok Hwesio. "San-jin-pai-hud (Kakek Gunung Menyembah Buddha) bukanlah ilmu untuk membunuh manusia.....!"
"Suheng, minggir!" bentak Bhok Hwesio.
"Jangan, Sute. Pinceng tidak membolehkan kau melakukan pembunuhan, sayang akan pengorbananmu selama puluhan tahun menderita dalam hidup. Apakah kau ingin mengulanginya lagi dalam keadaan yang lebih sengsara? Insyaflah."
"Suheng, sekali lagi. Minggirlah!" Bhok Hwesio membentak marah sekali.
"Tidak, Sute....."
"Kalau begitu terpaksa aku akan membunuhmu lebih dahulu!"
"Omitohud, semoga kau diampuni....."
Bhok Hwesio mengeluarkan suara menggereng keras dan tubuhnya segera menerjang maju, kepalanya mengeluarkan uap kekuningan dan bagaikan sebuah pelor baja kepala gundul itu menubruk ke arah perut Thian Seng Losu yang kurus. Ketua Siauw-lim-pai ini hanya berdiri diam, tidak mengelak, juga tidak menangkis.
"Desssss!!!" Kepala gundul itu bertemu dengan perut dan tubuh Thian Seng Losu terpental dan tak bergerak lagi! Sedangkan Bhok Hwesio berdiri, tubuhnya bergoyang-goyang, lalu maju terhuyung-huyung.
Yo Wan melompat marah. "Hwesio jahat! Iblis kau, telah membunuh suheng sendiri!" Yo Wan hendak menerjang Bhok Hwesio dengan penuh amarah, akan tetapi terdengar Kun Hong berseru.
"Yo Wan, mundur.....!"
"Yo Wan, tak perlu lagi, pertempuran sudah habis....." kata Raja Pedang pula.
Yo Wan terkejut dan alangkah herannya ketika dia melihat tubuh Bhok Hwesio menggigil keras, lalu roboh miring.
Ketika dia mendekat, ternyata hwesio tinggi besar ini telah tewas, kepalanya retak-retak! Dan pada saat dia menengok, dia terbelalak memandang Thian Seng Losu sudah bangkit perlahan, wajahnya pucat dan matanya sayu memandang ke arah Bhok Hwesio. Kemudian dia menghampiri jenazah sutenya, perlahan dia mengangkat jenazah itu, dipanggulnya, dan sambil menarik nafas panjang dia menoleh ke arah Yo Wan.
"Orang muda, kepandaianmu hebat. Tapi apa gunanya memiliki kepandaian hebat kalau hanya untuk saling bunuh dengan saudara dan bangsa sendiri? Di pantai timur bajak laut dan penjahat merajalela, di utara orang-orang liar mengganas, di dalam negeri sendiri, para pembesar menyalahgunakan wewenangnya, para menteri durjana berlomba mencari muka sambil menggerogoti kekayaan negara. Kasihan kaisar yang bijaksana, pendiri kota raja baru, sampai di hari tuanya bersusah payah menghadapi musuh demi keamanan negara.
Kalau orang-orang muda berkepandaian seperti kau ini hanya berkeliaran di gunung-gunung, saling serang dan saling bunuh dengan bangsa sendiri, bukankah itu sia-sia dan mengecewakan sekali?" Kembali kakek itu menarik nafas panjang dan melangkah hendak pergi dari tempat itu.
"Thian Seng Losuhu, harap maafkan bahwa saya tidak dapat menyambut kedatangan Losuhu. Menyesal sekali urusan pribadi antara kami dan Bhok Hwesio membuat Losuhu terpaksa beptindak dan mengakibatkan tewasnya sute dari Lo-suhu," kata Raja Pedang dengan suara menyesal dan mengangkat kedua tangan memberi hormat sambil duduk bersila.
Kakek itu menengok kepadanya, memandang sejenak, lalu memutar pandang matanya ke arah mayat bertumpuk-tumpuk di tempat itu. Kembali dia menarik nafas panjang lalu berkata, "Bunuh-membunuh, dendam-mendendam, apakah hanya untuk ini orang hidup di dunia mempelajari bermacam-macam kepandaian? Bu-tek Kiam-ong, sayang kau yang memiliki kepandaian tinggi memihak kepada sifat merusak, alangkah baiknya kalau kau memihak kepada sifat membangun".
Setelah berkata demikian, kakek itu melanjutkan langkahnya, dibantu tongkat, dan mayat Bhok Hwesio tersampir di pundaknya. Akan tetapi baru beberapa langkah dia berjalan, terdengar suara orang memanggilnya.
"Losuhu!"
Thian Seng Losu menengok dan memandang kepada Kun Hong yang memanggilnya tadi. Pendekar Buta ini melanjutkan kata-katanya, "Losuhu, perbuatan yang sifatnya merusak amatlah perlu di dunia ini, bahkan amat dipentingkan karena tanpa ada sifat merusak, maka tidak akan sempurnalah sifat membangun. Merusak bukanlah selalu jahat, asal pandai orang memilih, apa yang harus dirusak, apa yang harus dibasmi, kemudian apa yang harus dibangun dan dipelihara. Petani yang bijaksana takkan ragu-ragu mencabuti dan membasmi semua rumput liar yang akan mengganggu kesuburan padi. Seorang gagah yang bijaksana takkan ragu-ragu pula untuk membasmi penjahat-penjahat yang akan mengganggu ketenteraman hidup rakyat.
Semua baik-baik saja dan sudah tepat kalau masing-masing mengetahui kewajibannya, melaksanakannya tanpa pamrih dan kehendak demi keuntungan pribadi. Tentang membunuh dan dibunuh..... ah, Losuhu yang mulia dan waspada tentu lebih maklum bahwa hal itu sudah ada yang mengaturnya dan kita semua hanyalah alat belaka....."
Wajah kakek tua yang tadinya muram itu kini berseri-seri, bahkan mulutnya yang ompong membentuk senyum lebar.
"Omitohud...... ucapan-ucapan peringatan sama nilainya dengan air jernih dingin bagi seorang yang kehausan! Bukankah Sicu ini pendekar Liong-thouw-san yang terkenal dijuluki Pendekar Buta? Hebat..... kau gagah sekali, Sicu, gagah lahir batin! Betul kata-katamu, kita semua hanyalah alat yang tidak berkuasa menentukan sesuatu, akan tetapi..... sama-sama alat, bukankah lebih menyenangkan menjadi alat yang baik dan berguna? Dan kita berhak untuk berusaha ke arah pilihan yang baik, Sicu. Ha..ha..ha, sungguh pertemuan yang menyenangkan. Pinceng akan merasa bahagia sekali kalau Cu-wi (Tuan-tuan sekalian) sewaktu-waktu sudi mengunjungi Siauw-lim-sie untuk melanjutkan obrolan ini. Nah, selamat tinggal!"
Bagaikan segulungan awan, kakek itu bergerak dan seakan-akan kedua kakinya tidak menginjak bumi. Demikian hebat ginkang dan ilmu lari cepatnya. Biar Raja Pedang sendiri sampai menjadi kagum dan menarik nafas panjang. Tidak kelirulah kalau orang-orang kang-ouw menganggap bahwa Siauw-lim-pai adalah gudangnya orang-orang sakti yang menjadi murid-murid Buddha.
Sunyi di tempat itu setelah ketua Siauw-lim-pai pergi. Masing-masing merenung dan baru terasa betapa hebat akibat daripada pertempuran itu. Raja Pedang masih duduk bersila, berulang kali menarik nafas panjang. Pendekar Buta juga duduk bersila, berusaha sekuat tenaga untuk memulihkan kesehatan secepat mungkin, Hui Kauw dan Cui Sian saling pandang dengan sinar mata terharu karena mereka telah menjadi korban fitnah dan hampir saja saling bunuh.
Yo Wan masih berdiri seperti patung, merasai betapa hebatnya kakek Siauw-lim yang tadi menjadi lawannya. Hanya Lee Si yang kini terisak kembali.
Isak tangis ini menyadarkan mereka. Raja Pedang Tan Beng San berkata kepada Lee Si, "Lee Si, hentikan tangismu. Ayahmu tewas sebagai seorang laki-laki gagah, tak perlu disedihkan. Lebih baik sekarang kita urus jenazahnya."
Kun Hong yang juga sudah sadar dari keadaan termenung dan merasa perlu segera bertindak, segera berkata kepada Yo Wan, "Wan-ji (anak Wan), hanya kau yang tidak terluka. Jangan takut lelah, kau galilah lubang untuk semua mayat ini dan kuburkan mereka baik-baik."
Yo Wan menyanggupi dan pemuda ini segera menggunakan patahan pedang Pek-giok-kiam untuk menggali lubang yang besar. Melihat pemuda ini mengerahkan tenaga bekerja, tanpa diminta lagi Lee Si bangkit dan membantunya, juga Cui Sian dan Hui Kauw, biarpun terluka, segera membantu sedapatnya. Pertama-tama mereka mengubur jenazahnya Tan Kong Bu dengan sikap hormat akan tetapi sederhana tanpa upacara, hanya diiringi tangis Lee Si yang sampai tiga kali jatuh pingsan saking sedihnya, dihibur oleh Cui Sian dan Hui Kauw yang juga menangis. Kemudian mereka menggali lubang besar untuk mengubur semua jenazah itu sekaligus, jenazah Ang-hwa Nio-nio, Maharsi, Bo Wi Sianjin, dan anak buah Ang-hwa Nio-nio.
Setelah lebih setengah hari mereka bekerja, selesailah penguburan itu. Pada waktu itu, Kun Hong yang mengerti akan ilmu pengobatan sudah berhasil menyembuhkan lukanya sendiri, bahkan dia membantu penyembuhan luka yang diderita Raja Pedang. la bersila di belakang Raja Pedang dan menempelkan tangan kiri pada punggung ketua Thai-san-pai itu sambil mengurut jalan darah di pundak dengan jari-jari tangan kanannya.
"Cukuplah, Kun Hong. Tidak berbahaya lagi sekarang." Akhirnya Raja Pedang berkata dan mereka berdua bangkit berdiri. Tiba-tiba Lee Si berlari menghampiri Raja Pedang dan berlutut di depan kakinya sambil menangis tersedu-sedu.
"Sudahlah, Lee Si." Tan Beng San mengangkat bangun cucunya. "Kehendak Thian tak dapat dibantah oleh siapa pun juga. Aku hanya bingung memikirkan bagaimana kita harus menyampaikan berita ini kepada ibumu....."
Mendengar ini, Lee Si makin keras tangisnya.
"Betapapun juga, pembunuh ayahmu telah kita ketahui, dan dia sudah tewas pula."
Akan tetapi Lee Si masih menangis dan Raja Pedang berkali-kali menghela nafas karena dia dapat menduga bahwa kali ini Lee Si menangis karena mengingat keadaannya sendiri. Betapapun juga, gadis ini telah mengalami hinaan dan fitnah yang merusakkan namanya. Maka dia membiarkan cucunya menangis.
Adapun Hui Kauw yang mendekati Cui Sian, dengan wajah pucat bertanya, "Sian-moi, kau tadi bilang tentang Swan Bu...... bagaimanakah dia? Siapa yang membuntungi lengannya?" Terang nyonya ini mengeraskan hati dan menggigit bibir untuk menahan tangisnya. Hatinya ngeri dan cemas membayangkan puteranya itu menjadi buntung lengannya.
Cui Sian memeluk Hui Kauw. "Maafkan aku, Cici. Kau..... kau telah mengalami tekanan batin berkali-kali, difitnah, dituduh, dan sekarang puteramu menjadi korban lagi. Akan tetapi, hal yang sudah terjadi tak perlu melemahkan hati dan semangat kita, bukan? Swan Bu telah dibuntungi lengannya oleh gadis liar yang bernama Siu Bi....."
"Ahhh.....!" Hui Kauw menahan seruannya, sedangkan Pendekar Buta yang juga mendengarkan penuturan ini, juga mengerutkan kening. Diam-diam dia merasa menyesal sekali bahwa dahulu dia telah menanam bibit permusuhan yang tiada berkesudahan. Terbayanglah dia akan musuh lamanya, The Sun, yang agaknya sekarang menimbulkan bencana hebat, bukan langsung olehnya sendiri, melainkan oleh keturunannya.
"Aku sudah menangkapnya, menghajarnya, bahkan Lee Si harnpir membunuhnya. Akan tetapi..... Swan Bu sendiri yang dibuntungi lengannya oleh iblis betina itu mencegah, malah minta supaya Siu Bi dibebaskan."
Berdebar jantung Hui Kauw. Aneh sekali! Adakah suatu rahasia di balik itu, ataukah Swan Bu menjadi seorang pemuda yang berwatak aneh dan kadang-kadang lerdah penuh welas asih seperti ayahnya. Orang telah membuntungi lengannya, dan orang itu hendak memusuhi ayah bundanya, akan tetapi dia membebaskannya! Teringat dia akan wajah Siu Bi. Gadis yang cantik jelita berwatak iblis, hampir saja berhasil membunuh ia dan suaminya. Tiba-tiba dia merasa khawatir. Jangan-jangan kecantikan gadis itu telah melemahkan hati puteranya.
"Di mana dia sekarang, Sian-moi?"
"Aku tidak tahu, Cici. Ketika dia dan aku menemukan jenazah Kong Bu koko aku lalu meninggalkan dia di sini.
Agaknya dia yang menguburkan jenazah Kong Bu koko, yang kemudian, tentu saja dibongkar kembali oleh penjahat-penjahat itu untuk dirusak dalam usaha mereka mengadu domba antara kita. Adapun Swan Bu sendiri, entah ke mana dia pergi."
Tak dapat ditahan lagi Hui Kauw menangis karena ia membayangkan puteranya dalam keadaan buntung lengannya itu masih bersusah payah mengubur jenazah Kong Bu! Pendekar Buta menghampiri isterinya dan menghiburnya.
"Tahan air matamu. Swan Bu tidak apa-apa. la tentu akan pulang ke Liong-thouw-san. Sedikit banyak dia mengerti tentang ilmu pengobatan, luka di lengannya pasti akan sembuh."
Hui Kauw bangkit amarahnya mendengar sikap suaminya yang begitu dingin, seakan-akan soal buntungnya lengan Swan Bu "bukan apa-apa" bagi suaminya. la hendak membentak, menyatakan marahnya dan menyatakan kehendaknya untuk mencari Siu Bi untuk dibuntungi kedua lengan berikut kakinya!
Akan tetapi begitu mengangkat muka dan melihat sepasang mata suaminya, hatinya menjadi tertusuk dan kekerasan amarahnya mencair seketika. la sampai lupa saking marahnya, lupa bahwa suaminya sendiri adalah seorang yang cacad, seorang yang buta kedua matanya, namun tetap menjadi pendekar yang tak terkalahkan, menjadi Pendekar Buta yang terkenal. Apakah artinya buntung lengan kirinya kalau dibandingkan dengan buta kedua matanya? Masih ringan, hanya cacad yang kecil tak berarti. Itulah sebabnya Pendekar Buta tadi mengatakan "tidak apa-apa dan akan sembuh".
"Tapi..... tapi..... dia terlunta-lunta melakukan perjalanan dalam keadaan terluka, tidak ada yang merawatnya....." Yo Wan yang mendengar percakapan ini segera menghampiri mereka, dan berkata, "Suhu dan Subo harap tenangkan hati. Biarlah teecu yang akan pergi mencari Swan Bu dan menemaninya pulang ke Liong-thouw-san."
Girang hati Pendekar Buta mendengar ini. Memang tidak ada orang yang lebih dapat dia percaya untuk ini kecuali Yo Wan. la melangkah maju dan tangan kanannya merangkul pundak pemuda itu. "Yo Wan, kau anak baik. Kau tahu betapa besar rasa syukur di hati kami terhadapmu. Wan-ji, kaucarilah Swan Bu dan ajaklah dia pulang bersama." Suara Kun Hong terdengar menggetar penuh keharuan sehingga tak terasa lagi dua titik air mata membasahi bulu mata Yo Wan. Cepat dia mengusapnya, memberi hormat kepada suhu dan subonya.
"Teecu berangkat sekarang juga," katanya. Kemudian dia memberi hormat kepada Raja Pedang yang memandangnya dengan sinar mata kagum. Sungguh di luar sangkaannya sama sekali bahwa murid tunggal Pendekar Buta ternyata begini hebat, kuat menghadapi seorang tokoh besar seperti Bhok Hwesio yang kepandaiannya amat luar biasa sehingga dia sendiri pun belum tentu akan dapat mengalahkannya. Diam-diam dia tertarik dan kagum, dan makin gembiralah di dalam hati kakek perkasa ini ketika Yo Wan menjura kepada Cui Sian dan berkata halus,
"Adik Cui Sian, selamat berpisah, semoga kita dapat saling bertemu kembali."
Wajah gadis itu menjadi merah, kerling matanya jelas membayangkan hati yang gugup dan jengah ketika ia balas menghormat. "Yo-twako, semoga kau lekas dapat menemukan Swan Bu."
Yo Wan lalu berjalan cepat meninggalkan tempat itu, diikuti pandang mata yang mengandung bermacam perasaan. "Kun Hong, muridmu itu..... hemmm, ajaklah dia ke Thai-san sekali waktu. Aku perlu sekali bicara denganmu tentang dia." Ucapan Raja Pedang Tan Beng San ini terdengar jelas dan artinya pun mudah ditangkap sehingga Cui Sian makin merah mukanya sehingga ia menundukkan mukanya itu untuk menyembunyikan debar jantungnya.
Kwa Kun Hong mengangguk-angguk karena dia pun tentu saja mengerti bahwa pendekar tua itu bermaksud menjajaki kemungkinan terikatnya jodoh antara Cui Sian dengan Yo Wan. Akan tetapi sebagai seorang yang berperasaan halus, dia tidak berkata apa-apa agar jangan membuat Cui Sian menjadi malu.
"Kong-kong (Kakek), saya tidak berani pulang sendiri, tidak berani menyampaikan kematian ayah kepada ibu. Harap Kong-kong suka memperkenankan bibi Cui Sian menemani saja ke Min-san," kata Lee Si.
"Tidak hanya Cui Sian yang menemanimu, aku sendiri pun akan ke sana untuk menghibur ibumu. Malah kalau kalian tidak keberatan, Kun Hong dan isterimu, lebih baik kita semua pergi ke Min-san. Selain tempat itu paling dekat dari sini sehingga kita dapat beristirahat dan memulihkan kesehatan di sana, juga dengan hadirnya kalian berdua, kurasa akan mengurangi kedukaan ibunya Lee Si."
"Bukan itu saja, kuharap Suheng dan Cici ikut ke Min-san untuk membicarakan hal yang amat penting."
"Hal penting apakah?" tanya Pendekar Buta dan Raja Pedang hampir berbareng.
"Aku sudah ceritakan hal itu kepada cici Hui Kauw yang telah menyetujui pula. Marilah kita berangkat, nanti di dalam perjalanan aku akan ceritakan hal itu kepada Ayah, biar cici Hui Kauw menceritakannya kepada Kwa-suheng." jawab Cui Sian dan kali ini Lee Si yang menundukkan mukanya karena gadis ini sudah dapat menduga apa yang akan dikemukakan oleh Cui Sian itu.
Diam-diam ia amat berterima kasih kepada Cui Sian, karena ia pun tadi, biarpun kurang jelas, mendengar percakapan antara Cui Sian dan Hui Kauw. Dan ia pun maklum sedalam-dalamnya bahwa satu-satunya jalan untuk mencuci bersih namanya, dan untuk melenyapkan kesalahpahaman antara mereka, untuk mencuci habis peristiwa yang hampir merusak hubungan di antara mereka, hanya satu itulah yaitu ikatan jodoh antara dia dan Swan Bu! Dan ia sudah setuju seratus prosen. di dalam hatinya yang telah tercuri oleh SwanBu yang gagah dan tampan, biarpun ada satu hal yang merupakan ganjalan dan merupakan duri dalam daging, yaitu Siu Bi!
Sesungguhnya tidaklah terlalu sukar mencari keterangan tentang Swan Bu. Tidak banyak terdapat seorang pemuda tampan dengan tangan kiri buntung. Akan tetapi karena tidak tahu ke jurusan mana pemuda itu pergi, Yo Wan harus menjelajahi semua dusun di sekitar tempat itu, dan setelah dia berkeliling sampai sehari lamanya, barulah di sebuah dusun kecil dia mendengar keterangan tentang Swan Bu. Di dusun ini orang melihat pemuda tampan berlengan kiri buntung yang berjalan menuju ke utara.
Yo Wan segera mengejar ke utara dan terpaksa dia bermalam di sebuah dusun karena terhalang malam. Pada keesokan harinya, dia melanjutkan pengejarannya sambil bertanya-tanya. Keterangan yang dia dapatkan kemudian benar-benar membuat dia mengerutkan alisnya. Orang melihat Swan Bu melakukan perjalanan bersama seorang wanita cantik jelita yang merawat luka pemuda itu. Dari keterangan yang didapat, dia dapat menduga bahwa gadis itu adalah Siu Bi! Swan Bu agaknya bertemu dengan Siu Bi dan melakukan perjalanan bersama!
Hatinya amat gelisah. Tak salah dugaannya, Swan Bu saling mencinta dengan gadis itu, gadis yang telah membuntungi lengannya. la sudah menduga akan perasaan Swan Bu ini ketika dahulu Swan Bu minta supaya Siu Bi yang membuntungi lengannya dibebaskan. Akan tetapi tadinya dia tidak tahu bahwa Siu Bi pun membalas cinta kasih itu. Baru sekarang, mendengar gadis itu mengawani Swan Bu dan merawat lukanya dalam perjalanan yang mereka lakukan berdua, dia dapat menduga akan hal itu. Akan tetapi, mengapa Siu Bi membuntungi lengan Swan Bu?
Yo Wan benar-benar tidak mengerti. Akan tetapi dia cukup mengenal watak Siu Bi yang aneh dan liar dan tentu saja gadis seperti itu dapat melakukan hal yang aneh-aneh dan tak masuk akal, seperti misalnya membuntungi lengan orang yang dicintanya. Yang membuat Yo Wan mengerutkan keningnya adalah karena dia merasa tidak senang kalau benar-benar mereka berdua saling mencinta. Menurut pendapatnya, Swan Bu harus berjodoh dengan Lee Si. Gadis yang malang itu selain kehilangan ayahnya, juga telah difitnah dan dicemarkan nama baiknya. Swan Bu harus mengambilnya sebagai isteri, karena jalan inilah satu-satunya untuk mencuci noda pada nama baik Lee Si. Kalau Swan Bu berjodoh dengan Siu Bi, hal ini akan menimbulkan banyak akibat yang tidak baik dan tentu saja orang tua pemuda itu akan menentangnya.
Di dunia ini memang terjadi hal aneh-aneh. Cinta memang aneh, seperti anehnya sikap Cui Sian tadi! Terang bahwa hatinya telah bertekuk lutut dan mencinta puteri Raja Pedang itu. Akan tetapi tentu saja dia tidak berani nekat. la mengenal diri sendiri, seorang yatim piatu yang bodoh dan miskin, dan dia cukup mengenal pula siapa Cui Sian. Puteri tunggal Raja Pedang, ketua Thai-san-pai! Betapapun juga, dia tidak dapat menahan gelora di hatinya dan tak dapat menghapuskan harapan hampa di hatinya bahwa gadis itu akan membalas cintanya, harapan bahwa kelak gadis itu akan menjadi jodohnya. Betapapun gila harapan-harapan itu! Akan tetapi sikap Cui Sian tadi ah, siapa tahu, cinta memang aneh. Ataukah orang-orang yang terjerat cinta lalu menjadi sinting dan melakukan hal-hal aneh?.
Di dalam perjalanannya mencari Swan Bu ini Yo Wan mendengar banyak hal yang selama ini tidak pernah menjadi perhatiannya. Hal-hal mengenai keadaan. Agaknya ucapan ketua Siauw-lim-pai telah mengukir kesan mendalam di hatinya, membuat dia sadar bahwa selama ini hidupnya hampa, tidak ada isinya, karena dia telah lalai akan kewajibannya sebagai seorang anak bangsa. Kesan inilah yang membuat dia menaruh perhatian akan berita yang didengarnya di sepanjang jalan.
Semenjak Kaisar Yung Lo, pendiri dan kota raja utara (Peking), memegang tampuk pemerintahan, keadaan dalam negen boleh dikata menjadi tenteram. Kaisar yang semenjak mudanya menjadi panglima perang ini memerintah dengan tangan besi. Sayangnya bahwa pada waktu itu, kerajaannya masih mengalami banyak gangguan dari luar, terutama sekali dari bangsa Mongol dan suku bangsa lain di utara, yang berusaha keras menebus kekalahan bangsanya setengah abad yang lalu.
Selain ini, juga para bajak laut di pantai timur yang terdiri dari bangsa Jepang, merupakan gangguan. Namun tentu saja gangguan para bajak laut ini tidaklah sebesar gangguan dari utara. Oleh karena inilah Kaisar Yung Lo mencurahkan perhatiannya ke arah utara. Tembok besar yang melintang di utara itu dia betulkan dengan mengerahkan ratusan ribu tenaga. manusia. Tadinya tembok besar ini boleh dibilang sudah runtuh, atau sengaja diruntuhkan di jaman Kerajaan Mongol berkuasa, karena tentu saja bagi Kerajaan Mongol, tidak perlu adanya tembok besar yang memisahkan negara jajahan dengan negara asal mereka. Setelah Kerajaan Mongol jatuh dan Kerajaan Beng-tiauw berdiri, tembok besar yang seakan-akan merupakan tanggul pencegah banjirnya serbuan lawan dari utara itu dibangun kembali. Dan ketika Yung Lo menjadi kaisar, pembangunan ini dipergiat, juga Kota Raja Peking dibangun dengan hebatnya.
Namun, semua pembangunan ini oleh kaisar diserahkan kepada para pembantunya, karena kaisar sendiri, sebagai seorang bekas panglima perang yang berpengalaman, sibuk memimpin pasukan-pasukan menyerbu ke utara untuk memerangi bangsa Mongol yang selalu merupakan ancaman itu.
Agaknya karena terlalu sering kaisar meninggalkan istana untuk memimpin barisannya berperang itulah yang mengakibatkan merajalelanya kaum koruptor, golongan-golongan pembesar yang menyalahgunakan kedudukan dan wewenangnya, terjadi pertentangan dalam perebutan kekuasaan antara para penjilat dan para penentang, antara pangeran yang mencalonkan diri menjadi pengganti kelak apabila kaisar meninggal dunia. Terjadilah perpecahan menjadi beberapa golongan yang berdiri di belakang pangeran yang menjadi calon atau jago aduan masing-masing, dengan mereka sebagai "botoh-botohnya".
Yo Wan mendengar betapa banyak orang gagah pergi ke utara dan menjadi barisan suka rela membantu kaisar memerangi orang-orang Mongol. Ternyata bahwa musuh dari utara itu tidak boleh dipandang ringan. Sungguhpun mereka tidak pernah berhasil menyerbu ke selatan melalui tembok besar, namun perlawanan yang mereka lakukan di utara cukup sengit sehingga di pihak tentara kerajaan banyak jatuh korban. Orang-orang Mongol mempunyai panglima-panglima yang pandai, malah kabarnya dibantu oleh orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi. Bantuan dari orang-orang sakti inilah yang menarik banyak orang kang-ouw menjadi sukarelawan, karena sudah menjadi semacam penyakit pada ahli-ahli silat kelas tinggi untuk mencoba-coba ilmu mereka apabila mereka mendengar tentang musuh yang berilmu tinggi pula.
Demikian pula, penyakit macam ini terdapat pula dalam diri Yo Wan. Ketika pada suatu hari dia mendengar dongeng seorang bekas sukarelawan akan adanya seorang, jagoan Mongol yang sekaligus menewaskan enam orang jagoan kerajaan dalam sebuah pertempuran, dia menjadi penasaran sekali. Kemudian mendengar akan kegagahan kaisar yang memimpin setiap perang tanding besar-besaran dengan gagah perkasa, ikut pula mengayun pedang memutar tombak sebagai panglima yang tidak hanya mengomando dari belakang dan dari tempat yang aman saja, hati Yo Wan ikut bergelora penuh semangat dan tertarik. Alangkah senangnya ikut berjuang di bawah pimpinan seorang kaisar segagah itu, pikirnya, dan ucapan dari ketua Siauw-lim-pai makin jelas berdengung di telinganya.
"Apa gunanya memiliki kepandaian kalau hanya untuk saling bunuh dengan saudara dan bangsa sendiri?" demikian ucapan ketua Siauw-lim-pai yang berdengung di telinganya.
Diam-diam Yo Wan merasa heran ketika jejak Swan Bu menuju terus ke utara, malah agaknya ke kota raja. la telah mengeluarkan kepandaiannya untuk menyusul, akan tetapi ternyata selalu dia tertinggal di belakang. Soalnya adalah karena kedua orang itu agaknya melakukan perjalanan secara sembunyi sehingga, kadang-kadang mereka lenyap, tak dapat dia mendengar keterangan. Kalau akhirnya dia mendapatkan lagi keterangan tentang Swan Bu dan Siu Bi, ternyata mereka itu telah mengambil jalan memutar secara diam-diam, seakan-akan mereka memang sengaja menghilangkan Jejak agar jangan mudah disusul orang. Inilah yang membuat Yo Wan kewalahan dan sampai sekian lamanya belum juga dia dapat menyusul. Akan tetapi, hatinya lega selama dia masih bisa mendengar berita tentang Swan Bu. Ke manapun juga dia akan mengejar sampai dapat bertemu.
Pada suatu hari sampailah dia ke kota Leng-si-bun, sebuah kota kecil di sebelah timur Cin-an, di lembah Sungaij Huang-ho. Kota raja baru berada di sebelah utara daerah ini, tidak begitu jauh lagi, paling jauh dua ratus li. Laut timur, yaitu Lautan Po-hai, tidak jauh pula dari tempat ini, hanya, terpisah seratus li kurang lebih. Ramai di kota Leng-si-bun ini, karena tempat ini merupakan pelabuhan bagi perahu-perahu yang mengangkut barang hasil bumi yang hendak dilayarkan ke laut timur. Yo Wan memasuki kota Leng-si-bun karena dua hari yang lalu dia mendengar keterangan bahwa pemuda lengan buntung dan gadis cantik yang dicarinya menuju ke kota ini.
Hari telah siang ketika dia memasuki kota itu. Dimasukinya sebuah rumah makan yang cukup besar, yang berada di tengah-tengah kota. la merasa lelah dan kecewa juga karena di kota ini pun dia tidak melihat Swan Bu, biarpun dia tadi sudah berputar-putar di sepanjang jalan yang panas berdebu. Rumah makan itu mempunyai sepuluh buah meja, meja-meja bundar lebar dikelilingi delapan buah bangku tiap meja. Akan tetapi pada saat itu hanya ada tiga buah meja saja yang dihadapi tamu. Sebuah meja di sudut luar dikelilingi enam orang laki-laki yang minum arak sambil makan mie dan bersendau-gurau dengan suara parau.
Agaknya mereka itu adalah juragan-juragan perahu bersama pedagang pedagang.
Yo Wan mengerutkan keningnya ketika mendengar percakapan yang mereka lakukan dengan suara keras itu, karena percakapan ini kotor dan cabul. Mereka membicarakan pengalaman mereka dengan perempuan-perempuan lacur di kota itu dan percakapan mereka diseling tertawa terkekeh-kekeh. Tentu saja Yo Wan tidak akan mempedulikan mereka kalau saja dia tidak mengerling ke arah meja kedua yang dihadapi tamu. Dia meja sebelah dalam, duduk dua orang muda, seorang gadis dan seorang laki-laki muda.
Tadi ketika dia lewat di depan restoran ini, hatinya berdebar tegang karena mengira bahwa mereka adalah Swan Bu dan Siu Bi. Akan tetapi setelah dia masuk, dia mendapat kenyataan bahwa sepasang orang muda itu bukanlah orang-orang yang dia cari. Si pemuda mengena kan jubah biru muda dengan ikat pinggang dan ikat kepala warna kuning. Wajah pemuda itu tampan dan gagah, sikapnya tenang dan usianya paling banyak dua puluh dua tahun. Si gadis berpakaian serba merah muda, cantik jelita) antara dua puluh tahun usianya, di punggungnya tampak menonjol gagang pedang.
Gadis ini kelihatan keren dan angkuh. Keduanya sedang makan mie dan masakan daging sambil minum arak, sama sekali tidak bicara maupun memperhatikan keadaan sekelilingnya. Akan tetapi karena Yo Wan duduk menghadap ke arah gadis yang kebetulan juga duduknya menghadap ke arahnya, dia dapat mencuri pandang dan melihat betapa sepasang mata gadis itu menyambar-nyambar dari sudut mata, mengerling dengan ketajaman bagaikan gunting. Namun sikapnya tenang sekali. Dengan hadirnya seorang gadis di situlah yang membuat Yo Wan merasa mendongkol dan tidak senang hatinya mendengar kelakar enam orang laki-laki kasar itu, yang sama sekali tidak tahu sopan, bicara kotor dan cabul di dekat seorang wanita muda.
Makin mendongkol hati Yo Won ketika melihat betapa orang-orang kasar itu kadang-kadang menengok ke arah si gadis baju merah sambil menyeringai memperlihatkan gigi kuning. Akan tetapi diam-diam dia kagum melihat betapa gadis itu tetap tenang dan sama sekali tidak memperlihatkan perasaan apa-apa, juga si pemuda tetap makan dengan tenang-tenang saja.
Seorang di antara mereka, yang bermuka lonjong dan pipinya cacad sebelah kiri, agaknya sudah setengah mabuk. Dengan kepala bergoyang-goyang dia berkata kepada laki-laki pendek muka kuning yang agaknya menjadi pemimpin rombongan itu, "Heh..heh..heh, Pui-twako, yang kaudapatkan hanya kembang-kembang mawar kota yang sudah layu, yang tiada durinya sama sekali. Itu sih membosankan! Lain lagi kalau bisa mendapatkan mawar hutan yang liar, yang harumnya semerbak asli, yang berduri runcing, yang segar....."
"Ha..ha..ha" sambung seorang yang matanya sipit hampir meram dengan ketawanya yang kasar. "Pui-twako tentu saja berhati-hati, apalagi menghadapi mawar merah yang selain berduri, juga dijaga siang malam oleh tukang kebunnya! Jangan-jangan tangan akan tertusuk pedang dan kepala akan dikemplang tukang kebun! Ha..ha..ha!" Si mata sipit mengerling ke arah meja muda-muda itu.
"Ah, mana Pui-twako takut akan semua itu? Pedang itu hanya untuk berlagak agar harganya naik menjadi mahal, tukang kebunnya pun kecil kurus, bisa berbuat apa terhadap Pui-twako? Tidak percuma Pui-twako dijuluki Tiat-houw (Macan Besi), siapa yang tidak mengenal Harimau dari Huang-ho?"
Orang yang disebut Pui-twako dan berjuluk Harimau Besi itu hanya tersenyum-senyum dan mengerling ke arah meja muda-mudi itu. Dia seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun, tubuhnya pendek tapi tegap dan kelihatan kuat, sikapnya seorang jagoan asli, tersenyum-senyum mengejek dengan pandangan mata acuh tak acuh dan memandang rendah segala di sekelilingnya. Mukanya yang kekuningan itu kini menjadi merah oleh pengaruh arak dan jelas sekali dia menjadi bangga mendengar puji-pujian teman-temannya.
"Aku bukan termasuk lelaki rendah yang suka mengganggu wanita baik-baik," katanya dengan suara lantang, agaknya sengaja dikeluarkan agar didengar oleh gadis di seberang itu.
Yo Wan mengenal orang macam ini. Seorang dengan hati palsu dan mulut pandai bicara, pandai berlagak dan pandai pura-pura menjadi seorang gagah dan seorang yang baik hati. Akan tetapi ucapan ini dikeluarkan berlawanan dengan isi hatinya, hanya dengan maksud agar supaya dia kelihatan "berharga" dalam pandang mata wanita itu. Yo Wan tahu betul akan hal ini, karena suara dan pandang mata orang she Pui itu berlawanan, seperti bumi dengan langit.
"Ahhh, Pui-twako. Siapa yang tidak tahu bahwa kau seorang gagah perkasa? Mengganggu lain lagi dengan mengajak berkenalan. Gagah sama gagah, berkenalan dengan segala macam cacing busuk yang lemah, lebih baik berkenalan dengan Harimau Besi, sedikit banyak bisa ketularan kegagahannya!" kata si muka cacad sambil mengerling ke arah meja muda-mudi itu penuh arti.
Yo Wan makin mendongkol. Alangkah kurang ajar dan beraninya enam orang itu. Terang bahwa si pemuda diejek dan dihina, karena memang sikap dan pakaian pemuda itu seperti seorang pelajar yang pada masa itu sering kali diejek dengan sebutan cacing buku atau kutu buku. Akan tetapi muda-mudi yang dijadikan bahan percakapan dan bahan ejekan itu masih saja makan dengan lambat dan tenang, sama sekali tidak menghiraukan mereka berenam. Hanya terdengar gadis itu berkata, suaranya halus dan perlahan, seakan-akan bicara pada diri sendiri, tanpa melirik ke arah enam orang itu.
"Hemmm, banyak lalat-lalat kotor menjemukan di sini. Sayang...... biar bukan gangguan besar, sedikitnya mengurangi selera makan....."
"Biarlah, Sumoi..... biasanya dekat sungai besar memang banyak lalat kotor.
Tapi mereka tidak ada artinya....." kata pemuda itu menghibur.
Yo Wan hampir tak dapat menahan ketawanya. Bagus, pikirnya. Kiranya mereka itu adalah kakak beradik seperguruan, dan tepat sekali sindiran mereka itu yang diam-diam memaki enam orang kasar itu sebagai lalat-lalat hijau yang kotor.
Tentu saja enam orang itu mengerti pula akan sindirian ini. Si pipi cacad bangkit berdiri menepuk meja. "Pui-twako, masa diam saja dihina orang? Kalau suhengnya kutu buku, tentu pedang sumoinya itu hanya hiasan belaka, untuk menakut-nakuti orang supaya dianggap pendekar-pendekar jempolan. Hayo minta maaf pada....."
"Sssttttt, Gong-lote, jangan mencari gara-gara di sini!" tiba-tiba si Harimau Besi berkata tajam dan si pipi cacad itu segera duduk kembali.
"Pui-twako, orang-orang bilang singa-singaan batu dari restoran ini beratnya lebih dari tiga ratus kati dan tidak pernah ada yang kuat mengangkat. Dasar orang-orang lemah, siapa bilang tidak ada yang kuat angkat? Harap Pui-twako suka membantah kabar itu dengan membuktikan kepada mereka!"
Si Harimau Besi hanya tersenyum-senyum saja? "Ah, kalian ini ada-ada saja," katanya ketika teman-teman yang lain juga membujuknya.
"He, pelayan-pelayan, ke sinilah!" teriak si mata sipit. Lima orang pelayan berlari menghampiri mereka sambil tertawa-tawa. Agaknya enam orang itu memang langganan mereka. "Apa betul selama ini tidak ada orang yang mampu mengangkut singa-singaan batu di depan itu?" tanya si sipit sambil menuding ke arah sebuah singa-singaan batu yang terukir kasar dan diletakkan di depan pintu restoran sebagai hiasan.
"Betul, Loya. Singa itu berat sekali. Empat orang baru dapat mengangkatnya, itu pun harus orang-orang kuat dan menggunakan tambang," jawab seorang pelayan yang kurus.
"Ah, dasar orang-orang tiada guna. Lihat, Pui-twako akan mengangkatnya seorang diri tanpa bantuan siapa pun juga!" kata si mata sipit sambil memandang kepada orang she Pui.
"Ahhh, harap Loya jangan main-main! Singa itu beratnya lebih dari tiga ratus kati! Jangankan mengangkat, kalau hanya sendiri, menggeser saja tidak ada yang mampu lakukan!"
Si mata sipit melotot, akan tetapi tetap sipit, karena memang lubang pelupuk matanya sempit. "Menggeser? Huh, dasar kalian ini gentong-gentong kosong. Lihat!" la melangkah lebar menghampiri singa-singaan batu, kedua lengannya memegang kepala singa-singaan itu dan sambil berseru "Hiyaaahhh!" la menggeser singa-singaan itu beberapa dim jauhnya!
"Wah, Loya kuat sekali!" lima orang pelayan itu memuji dan memandang kagum.
Si mata sipit mengangkat dadanya yang tipis dan yang bersengal-sengal. "Ini belum!" la menyombong. "Tapi Pui-twako yang di sana itu, dia mampu mengangkat singa-singaan ini. Kalian tidak tahu siapa itu adalah Tiat-houw Pui-enghiong, Harimau Besi dari Huang-ho! Aku sendiri, tenagaku tidak sebesar Pui-twako, akan tetapi sepasang golokku ini siapa berani melawan Huang-ho Siang-to (Sepasang Golok Huang-ho) inilah orangnya! Dan saudaraku di sana itu" Ia menudingkan telunjuknya ke arah pipi cacad, "siapa tidak pernah mendengar nama Huang-ho Sin-piauw (Piauw Sakti dari Huang-ho)? Kami bertiga sudah malang - melintang di sepanjang Huang-ho, baru sekarang berkesempatan memperkenalkan diri di Leng-si-bun."
Mendengar ini, lima orang pelayan itu segera menjura dengan muka berseri-seri, "Kiranya Sam-wi (Tuan Bertiga) tiga orang gagah juragan-juragan perahu yang terkenal itu? Maaf, kami tidak tahu dan kurang hormat. He, teman-teman, lekas sediakan arak wangi, untuk menghormati tamu-tamu besar"
Melihat sikap para pelayan yang menghormat mereka, diam-diam Yo Wan memperhatikan. Kiranya mereka itu adalah tiga orang juraga! perahu yang terkenal juga. Dan agaknya yang tiga lagi adalah pedagang-pedagang langganan mereka.
"Pui-twako, setelah kita memperkenalkan diri, harap suka turun tangan sedikit agar cacing-cacing buku tidak tertutup matanya!" kata pula Huang Siang-to yang bermata sipit.
"Bhe-lote, apa sih artinya angkat-angkat batu macam ini? Tidak ada artinya bagiku!" kata orang she Pui, akan tetapi dia melangkah ke arah singa-singaan batu, membungkuk, mengangkat dengan kedua tangannya lalu sekali dia berseru keras, singa-singaan batu itu sudah terangkat ke atas kepalanya!
Tepuk tangan menyambut demonstrasi ini, tepuk tangan para pelayan dan lima orang teman-teman si Harimau Besi. Ketika singa-singaan batu itu sudah diturunkan kembali, si Harimau Besi tidak kelihatan tersengal nafasnya hanya mukanya yang kuning berubah merah.
Yo Wan yang memandang dari sudut matanya tentu saja tidak heran menyaksikan demonstrasi itu dan dia sekaligus maklum bahwa si Harimau Besi adalah seorang ahli gwakang yang bertenaga besar. Ketika dia melirik ke arah muda-mudi itu, dia melihat si gadis tersenyum mengejek. Diam-diam Yo Wan terkejut juga. Kalau gadis itu masih berani tersenyum mengejek setelah menyaksikan demonstrasi ini, tentu saja gadis itu mempunyai andalan dan menganggap demonstrasi itu bukan apa-apa.
Mulailah dia menaruh perhatian dan kalau tadi dia agak mengkhawatirkan keselamatan muda-mudi itu, sekarang perhatiannya terbalik dan dia malah mengkhawatirkan keselamatan enam orang itu. la melihat kilatan mata yang penuh ancaman di atas bibir yang tersenyum mengejek.
"Dasar manusia-manusia tak tahu diri," diam-diam Yo Wan berpikir, "benar-benar seperti rombongan monyet berlagak, mencari penyakit sendiri."
Ahli golok bermata sipit she Bhe itu cengar-cengir, kini terang-terangan memandang ke arah meja si muda-mudi sambil berkata, "Kalau si kutu buku dan sumoinya sanggup mengangkat batu ini, biarlah kami takkan banyak bicara lagi.
Akan tetapi kalau tidak sanggup, si kutu buku harus membiarkan sumoinya yang cantik manis untuk menemani kami minum beberapa cawan arak."
Sungguh keterlaluan si mata sipit ini, kekurangajarannya sudah memuncak. Yo Wan ingin sekali mernberi tahu agar muda-mudi itu pergi saja meninggalkan restoran dan menjauhi keributan. Akan tetapi muda-mudi itu enak-enak saja makan, lalu terdengar si gadis berkata mengomel,
"Suheng, makin lama lalat-lalat hijau busuk itu membosankan. Bagaimana kalau aku tepuk mampus binatang-binatang hina itu?"
"Ihhh, apa perlunya melayani segala macam lalat bau, Sumoi? Biarkan saja, memang biasanya lalat-lalat hijau itu hanya berkeliaran di tempat-tempat kotor, lalu menimbulkan suara ribut dan menyebar penyakit. Biarkan saja, mereka tentu akan mampus sendiri kelak."
Muda-mudi itu tertawa geli sambil melanjutkan makan minum. Tiga orang jagoan itu kelihatan marah sekali, juga si pendek yang mengangkat batu tadi. Mukanya yang kuning menjadi merah, matanya melotot. la lalu mengangkat lagi singa-singaan batu, mengerahkan tenaga dan melontarkan singa-singaan itu ke atas, ke arah meja si muda-mudi. la sudah memperhitungkan bahwa dua orang muda itu tentu akan mengelak dengan melompat pergi sehingga singa-singaan batu akan menimpa dan menghancurkan meja dan mereka akan dapat mentertawakan dua orang itu. Batu besar itu berputaran ke atas, lalu menyambar ke arah meja si muda-mudi yang masih enak-enak saja makan minum seakan-akan tidak melihat datangnya bahaya!
Akan tetapi setelah singa-singaan batu itu melayang di atas kepala mereka dan agaknya akan menimpa mereka berdua dan meja di depan mereka, si nona cantik itu menggerakkan tangan kiri, dengan jari-jari terbuka, jari-jari tangan yang kecil meruncing dan halus itu hanya menyentuh batu itu tampaknya, akan tetapi batu itu tiba-tiba terputar di udara dan melayang kembali ke arah meja enam orang itu!
"Wah, celaka, lari....!" teriak si mata sipit. Karena tiga orang saudagar yang menjadi langganan mereka itu tak pandai silat, maka si mata sipit, si pendek, dan Si pipi cacad masing-masing menarik tangan seorang saudagar dan dibawa meloncat pergi dari dekat meja. Terdengar suara hiruk-pikuk ketika singa-singaan batu jatuh menimpa meja. Meja pecah, keempat kakinya patah-patah, mangkok piring hancur berantakan, sumpit beterbangan dan cawan-cawan arak tumpah.
"Ha..ha..ha!" Si pemuda tertawa.
"Hi..hi..hik!" Si pemudi mengikutinya. Akan tetapi mereka tetap saja makan minum tanpa pedulikan tiga orang jagoan yang melotot marah dan tiga orang saudagar yang menjadi pucat mukanya. Adapun Yo Wan yang masih duduk tenang, memandang kagum, akan tetapi juga merasa betapa gadis itu agak terlalu ganas. Enak saja bermain-main dengan batu seberat itu. Bagaimana kalau tadi menimpa kepala orang? Tentu akan remuk dan mati seketika juga.
"Kurang ajar!" Tiat-houw atau si Harimau Besi berseru marah. Dengan muka merah dia menarik singa-singaan batu dari atas meja yang sudah ringsek, mengangkatnya tinggi-tinggi di atas kepala dan kini dia melontarkan batu itu sekuatnya ke arah si nona manis! "Kau terimalah ini!"
Singa-singaan batu itu kali ini tidak melayang seperti tadi yang hanya dilontarkan ke atas ke arah meja si muda-mudi, melainkan langsung menyambar ke arah nona itu merupakan sambitan keras dan berbahaya. Namun, seperti juga tadi, nona itu dengan amat tenang masih terus asyik makan minum, malah pada saat singa-singaan batu sudah menyambar dekat, nona itu dengan tangan kirinya mengangkat cawan arak dan meminumnya!
Para pelayan memandang dengan muka pucat, bahkan ada yang meramkan mata, tidak sampai hati menyaksikan nona cantik jelita yang sedang minum itu remuk kepalanya oleh singa-singaan batu Hanya Yo Wan yang dapat menduga apa yang akan terjadi maka dia pun enak-enak minum araknya.
Tepat seperti dugaan Yo Wan, nona itu dengan tangan kanannya mengangkat sepasang sumpitnya, dan secara mudah dan enak saja ia "menerima" batu itu dengan sumpit. Batu besar berbentuk singa itu terputar-putar di ujung sumpit, kemudian sekali menggerakkan lengan kanan, singa batu itu terbang dari ujung sumpitnya, kembali ke alamat pengirim. Semua ini dilakukan dengan cawan arak masih menempel di bibir!
"Aiiihhh....." Orang she Pui yang berjuluk Harimau Besi itu berteriak kaget sekali ketika melihat singa-singaan batu itu tiba-tiba menyambar ke arahnya. la tidak sempat lagi mengelak, terpaksa dia menggerakkan kedua lengannya menerima singa-singaan batu itu. Sambil mengerahkan tenaganya dia menerima, akan tetapi alangkah kagetnya ketika singa-singaan batu itu ternyata berlipat kali lebih berat daripada tadi. Hal ini adalah karena batu itu dilontarkan dengan tenaga sinkang. Si pendek sombong berusaha menahan, namun dia terhuyung-huyung ke belakang, singa batu menghimpit dadanya dan setelah terhuyung-huyung sampai lima meter ke belakang dan menabrak meja, baru dia berhenti.
Singa-singaan batu itu dia lemparkan ke sebelah kanannya dan dia batuk-batuk. Darah segar tersembur keluar ketika dia batuk-batuk itu, temudian dengan lemas dia menjatuhkan diri ke atas kursi, nafasnya terengah-engah, mukanya pucat, matanya meram. Jelas bahwa dia menderita luka di sebelah dalam dadanya, yang cukup hebat!
Kini terbukalah mata si mata sipit dan si pipi cacad bahwa gadis yang mereka tadi sebut-sebut sebagai bunga hutan liar itu benar-benar liar dan tentang durinya, jangan tanya lagi! Melihat teman mereka terluka hebat, si pipi cacad yang berjuluk Huang-ho Sin-piauw dan she Gong menjadi amat marah. Dengan gerakan yang tak dapat diikuti pandang mata saking cepatnya, tahu-tahu dia telah mengayun kedua tangannya bergantian ke arah muda-mudi itu dan terdengar teriakannya.
"Bocah-bocah mau mampus, makanlah ini!"
Sinar hitam berkelebatan menyambar ke arah meja muda-mudi itu ketika beberapa batang piauw menyambar. Tidak heran si pipi cacad ini berjuluk Piauw Sakti dari Huang-ho. Kiranya dia pandai sekali bermain piauw dan dapat menyambitkan senjata rahasia itu dengan gerakan yang cepat. Agaknya orang akan kalah cepat kalau harus berlomba mencabut dan mempergunakan senjata rahasia dengan si pipi cacad yang bermuka lonjong buruk itu.
"Menjemukan!" seru si gadis, matanya yang bening dan indah itu memancarkan cahaya kemarahan.
"Biarlah, Sumoi.....!" kata si pemuda yang mendahului sumoinya, menggerakkan & sumpitnya. Sumpit itu bergerak-gerak seperti tergetar. Terdengarlah suara "cring-cring-ering" beberapa kali disusul berkelebatnya sinar-sinar hitam ke atas lalu "cap-cap-cap-cap-cap!.", empat batang piauw sudah menancap pada langit-langit di atas pemuda itu!
Si pemuda yang wajahnya masih belum tampak oleh Yo Wan karena pemuda itu duduknya membelakangi Yo Wan, kini bersikap seperti tak pernah terjadi apa-apa, minum araknya kemudian berdongak ke atas dan dari mulutnya tersembur arak lembut Seperti uap yang terus menyambar ke langit-langit. Terdengar suara nyaring dan..... empat batang piauw yang menancap pada langit-langit itu rontok dan runtuh semua ke bawah!
"Hebat.....!!"
"Luar biasa.....!"
"Bagus sekali.....!!" demikian teriakan para pelayan yang menjadi amat gembira menyaksikan kesudahan-kesudahan dari serangan-serangan yang tadinya amat mengkhawatirkan itu. Yo Wan enak minum araknya. Semua ini sudah diduganya dan dia tidak heran, hanya dia merasa kagum akan sikap muda-mudi yang begitu tenang. Timbul keinginan keras di hatinya untuk mengenal mereka.
Akan tetapi yang paling marah adalah si Piauw Sakti! Bagaimana julukannya Piauw Sakti akan dapat bertahan terus kalau permainan piauwnya diperlakukan seperti lalat-lalat menyambar oleh pemuda tak terkenal itu? Timbul pikiran yang licik dalam benaknya. Tadi si gadis mendemonstrasikan tenaga yang hebat ketika menghadapi singa-singaan batu. Kini yang menghadapi piauwnya adalah si pemuda, agaknya ini membuktikan bahwa si gadis tidaklah sehebat si pemuda dalam menghadapi piauw. Untuk menebus kekalahannya, si pipi cacad kembali mengayun senjata-senjata rahasianya, kali ini sekaligus dia menyambitkan enam batang piauw yang kesemuanya menyambar ke arah si gadis, bahkan menyambar ke enam bagian tubuh yang berbahaya.
"Suheng, kali ini jangan larang aku! terdengar si gadis berkata halus, tiba-tiba ia meloncat bangun dan sepasang sumpit telah berada di kedua tangannya. Dengan gerakan yang cepat kedua tangan yang memegang sumpit itu menangkis, terdengar suara nyaring berkali-kali dan sinar-sinar hitam itu menyambar kembali ke arah penyerangnya!
Si pipi cacad kaget sekali, cepat mengelak, namun dia hanya dapat menghindarkan diri dari empat batang piauw, sedangkan yang dua batang lagi telah menancap di pundak dan pahanya. la memekik dan roboh, termakan senjatanya sendiri seperti keadaan kawannya si pendek tadi!
Melihat perkembangan peristiwa itu menjadi pertandingan yang mengakibatkan luka dan darah, para pelayan yang tadi gembira menyaksikan demonstrasi kepandaian yang mengagumkan, sekarang menjadi bingung dan ketakutan. Ingin mereka melerai, ingin mereka minta agar supaya orang keluar dari restoran kalau hendak berkelahi, akan tetapi tak seorang pun di antara mereka berani bicara. Karena itu mereka hanya lari ke sana ke mari dan saling pandang dengah muka pucat, tak tahu harus berbuat apa seperti ayam hendak bertelur.
Kini tinggallah seorang jagoan lagi, yaitu si mata sipit yang berjuluk Huang-ho Siang-to. Orang she Bhe ini melihat dua orang kawannya sudah terluka, diam-diam merasa gentar juga dan maklum bahwa ternyata mereka bertiga yang selama ini menjagoi daerah lembah Sungai Huang-ho di bagian Leng-si-bun, kiranya telah tersandung batu! la maklum bahwa kedua orang muda itu adalah pendekar-pendekar yang berilmu tinggi. Akan tetapi melihat dua orang kawannya terluka, tak mungkin dia diam saja.
Ke mana akan disembunyikan mukanya kalau dia tidak membela? Nama besarnya tentu akan menjadi bahan ejekan orang. Maju dan kalah oleh lawan yang lebih lihai bukanlah hal memalukan, akan tetapi mundur teratur tanpa melawan, benar-benar tak mungkin dapat dia lakukan.
"Bocah-bocah sombong, siapakah kalian berani bermain gila di daerah ini? Hayo layani sepasang golok dari Huang-ho Siangrto, kalau dapat mengalahkan sepasang golokku, barulah boleh disebut gagah!"
Pemuda itu hanya tersenyum, akan tetapi si pemudi mendengus dengan sikap mengejek. "Suheng, agaknya tukang cacah daging bakso ini sudah sinting, mau apa dia bawa-bawa golok pencacah bakso?
Biar kuhabiskan saja dia....."
"Ssttt, jangan. Biarkan, kita lihat mau apa tikus ini....." kata si pemuda.
Tentu saja si mata sipit tahu bahwa dirinya yang dimaki tukang cacah bakso dan tikus, maka kemarahannya memuncak. Matanya menjadi makin sipit dan mukanya merah sekali. "Keparat, kalian yang akan kujadikan bakso....." Sambil berkata demikian, dia mengayun dan menggerakkan kedua goloknya di atas kepala. Sepasang golok itu berkelebatan mengeluarkan sinap berkeredepan.
Mendadak gerakannya terhenti dan si mata sipit terkejut dan heran karena dia merasa betapa sepasang goloknya terhenti di tengah udara, di belakang kepalanya seakan-akan tersangkut sesuatu. Betapapun dia berusaha membetotnya, tapi sia-sia.
Cepat dia membalikkan tubuh dengan bulu tengkuk meremang dan terpaksa dia melepaskan kedua goloknya. Apa yang dilihatnya? Ketika dia membalikkan tubuh, di depannya telah berdiri seorang laki-laki bertubuh pendek, berkepala botak. Laki-laki ini mengangkat kedua tangannya dan ternyata sepasang goloknya itu telah dijepit oleh jari tengah dan telunjuk yang ditekuk. Dapat dibayangkan betapa hebat tenaga orang ini, karena dengan dua jari menjepit sebuah punggung golok, si mata sipit tak mampu membetotnya! Ketika si mata sipit melihat bahwa di belakang orang pendek ini masih terdapat tujuh orang pendek lain kesemuanya berdiri tegak dan angker, tiba-tiba tubuhnya menggigil dan dia berkata gagap.
"Ki..... kipas..... Kipas Hitam....." Mendengar suara ini, para pelayan berserabutan lari melalui pintu belakang restoran dan sebentar saja mereka tidak tampak lagi. Diam-diam Yo Wan memperhatikan hal ini dan dia dapat menduga bahwa nama Kipas Hitam tentulah sudah terkenal dan ditakuti orang.
Cepat dia memandang penuh perhatian. Laki-laki yang menjepit sepasang golok dengan jari tangannya itu, benar-benar pendek tubuhnya, pendek gempal dan tegap, tampak amat kuat sepasang lengannya yang juga pendek itu. Di pinggangnya tergantung sarung pedang yang panjang dan agak bengkok, sedangkan di ikat pinggang depan terselip sebuah kipas berwarna hitam. Tujuh orang di belakangnya pun seperti itu dandanannya, hanya bedanya, orang yang di depan itu sarung pedangnya lebih indah.
Agaknya kipas-kipas hitam yang berada di pinggang mereka itulah yang menjadi tanda bahwa mereka adalah anggota-anggota Kipas Hitam. Dan lucunya, mereka semua, delapan orang ini kepalanya dicukur botak tinggal di atas kedua telinga dan di sebelah belakang saja.
Laki-laki pendek yang menjepit golok itu lalu berkata, suaranya kaku dan asing, "Tiga ekor cumi-cumi banyak tingkah!" Tiba-tiba kedua tangannya bergerak dan entah bagaimana, tahu-tahu tubuh si mata sipit sudah melayang keluar dari restoran setelah melalui jarak belasan meter. Dua orang jagoan lain, si pipi cacad dan si pendek muka kuning yang sudah terluka, tahu-tahu sudah melarikan diri diikuti oleh tiga orang saudagar. Mereka inilah yang mengangkat si golok sakti dan setengah diseret pergi dari tempat itu!
Yo Wan dapat menduga sekarang. Agaknya rombongan Kipas Hitam ini adalah perampok-perampok atau lebih tepat agaknya bajak-bajak laut, mengingat akan makiannya tadi. Hanya orang orang yang biasa berlayar saja agaknya yang akan menggunakan nama binatang laut cumi-cumi untuk memaki orang, Apalagi orang pendek ini suaranya kaku dan asing. Mereka inilah bajak laut-bajak laut Jepang seperti yang pernah didengar Yo Wan dari percakapan orang-orang di sepanjang perjalanan!
Sementara itu, sepasang muda-mudi yang tadinya kelihatan tenang-tenang saja itu, kini bangkit dari tempat duduk mereka. Agaknya sebutan Kipas Hitam tadi yang membuat mereka serentak bangkit dan memandang tajam kepada delapan orang yang baru tiba. Kini Yo Wan dapat melihat bahwa si pemuda juga amat tampan dan gagah, tubuhnya tegap dan biarpun tidak tampak, Yo Wan dapat mengetahui bahwa pemuda itu menyembunyikan sebatang pedang di balik jubahnya, jubah seorang pelajar. Pandang mata yang amat tajam dari pemuda itu satu kali melirik ke arahnya, dan tercenganglah hati Yo Wan. Biarpun hanya melirik satu kali, namun pandang mata itu tajam menembus hati, seakan-akan si pemuda itu sudah dapat menilainya hanya dengan sekali lirikan saja!
"Hemmm, bukan pemuda sembarangan. Harus hati-hati menghadapi orang seperti ini....." pikirnya.
Keadaan di restoran itu tegang. Para pelayan sudah lari menyingkir, juga di depan restoran tampak sunyi. Agaknya orang-orang di situ sudah mendengar akan kedatangan delapan orang pendek-pendek rombongan Kipas Hitam. Muda-mudi itu sudah berdiri berhadapan dengan pemimpin rombongan, saling pandang seperti lagak jago-jago mengukur pandang dan saling menaksir lawan. Akhirnya si pendek itu bertanya, suaranya ketus, kasar dan kaku,
"Kalian berdua yang membunuhi teman-teman kami di pantai Laut Po-hai seminggu yang lalu?"
Gadis itu melangkah maju dan dengan sikap menantang ia berkata nyaring,
"Kalau betul, kalian mau apa? Kalian inikah bajak laut Kipas Hitam? Apakah kau kepalanya?"
Kepala rombongan itu mengeluarkan suara makian dalam bahasa asing, sikapnya mengancam. "Kami tidak diberi perintah untuk membunuh kalian, hanya diperintah untuk mengajak kalian ikut menghadapi kongcu (tuan muda) kami.
"Mau apa dia? Siapa kongcu kalian itu?" tanya si gadis, lalu terdengar bisiknya kepada suhengnya, "Suheng, kau awasi tikus di belakang kita itu, dia mencurigakan....."
Si pemuda membalikkan tubuhnya dan sekali lagi Yo Wan tercengang ketika melihat sinar mata tajam menyambarnya di samping senyuman mengejek. Ia tahu bahwa dirinya dicurigai, maka untuk menyembunyikan wajahnya, dia menenggak araknya dan berkata seperti orang sinting, "Ahhh ..... arak habis para pelayan pergi semua. Ke manakah orang-orang tolol itu?"
Sementara itu, si pendek menerangkan dengan suara kaku, "Kongcu adalah pemimpin kami, sekarang kongcu menanti di pantai. Kalian harus ikut dengan kami menghadap kongcu."
"Mau apa dia?"
"Kalian bicara sendiri dengan kongcu, kami hanya diperintah untuk mengajak kalian dengan baik, harap kalian jangan membantah lagi....."
"Kalau kami tidak mau?" tanya pultt si gadis.
"Hemmm....... hemmmmm....... mudah-mudahan jangan begitu. Mau tidak mau kalian harus menghadap kongcu. Kongcu bilang bahwa kalian bukanlah orang-orang pengecut yang tidak berani menghadapi pemimpin Kipas Hitam"
"Aku tidak mau! Persetan dengan kongcu kalian! Pergi dari sini, kalian mau apa kalau aku tidak mau?" tantang si gadis dengan sikap menantang, sedangkan si pemuda tetap tenang saja,kadang-kadang melirik ke arah Yo Wan yang dicurigai.
Si pendek itu sejenak memandang dengan mata mengancam, kemudian dia menarik nafas panjang. "Sayang," katanya, "Sudah lama aku tidak bertemu lawan yang pandai. Segala macam cumi-cumi seperti juragan-juragan perahu tadi hanya menjemukan saja. Alangkah senangnya kalau dapat mengadu ilmu dengan kalian yang kabarnya lihai. Sayangnya, kongcu tidak memperkenankan kami mengganggu kalian. Kongcu mengundang kalian dengan baik-baik, untuk diajak bercakap-cakap entah urusan apa. Kalau saja tidak ada pesan dari kongcu, sudah sejak tadi samuraiku bicara!" Sambil berkata demikian dia menepuk-nepuk pedang panjang yang tergantung di pinggangnya sambil berkata, "Cakar Naga, jangan kecewa, mereka bukan musuh....."
"Sumoi, kalau orang yang mereka sebut kongcu itu hendak bicara, mari kita pergi menemuinya. Kita bukanlah pengecut, takut apa bertemu dengan pemimpin Kipas Hitam?" kata si pemuda, agaknya tertarik juga menyaksikan sikap orang Jepang itu.
"Wah, tidak ada alasan untuk bersikap murah dan mengalah, Suheng. Kalau memang ingin bicara, mengapa yang menyebut dirinya kongcu itu tidak datang sendiri menemui kita? He, orang pendek. Pedangmu kausebut Cakar Naga, tentu kau pandai bermain pedang. Dengarlah! Kalau kau dapat mengalahkan aku dengan pedangmu, baru kuanggap kau cukup pantas menjadi utusan untuk mengundang kami. Kalau tidak dapat, jangan banyak cerewet lagi!"
Orang Jepang itu mengangkat muka, keningnya berkerut lalu dia menepuk dada dengan tangan kirinya. "Aku Kamatari tidak pernah mundur menghadapi tantangan siapapun juga, akan tetapi aku taat kepada perintah kongcu. Nona, mungkin kau berkepandaian, akan tetapi harap kau jangan memandang rendah samurai Cakar Naga di tanganku. Lihatlah betapa saktinya Cakar Naga!" Sambil berkata demikian, Kamatari menggunakan kakinya menendang sebuah bangku kayu yang berada di dekatnya.
Bangku itu terlempar ke atas dan pada saat bangku melayang turun, tiba-tiba tampak sinar berkeredepan berkelebat beberapa kali, terdengar suara "crak-crak!" perlahan.
Dalam sekejap mata, sinar berkeredepan itu, lenyap dan..... bangku yang sudah terbelah menjadi tiga potong itu runtuh ke bawah. Anehnya, yang sepotong melayang ke arah meja Yo Wan menimpa di atas meja membikin pecah mangkok dan menggulingkan cawan arak!
Yo Wan tidak berkata apa-apa, hanya berdiri sebentar, mengebut-ngebutkan bajunya yang terkena percikan arak, lalu duduk kembali dengan tenang. la maklum bahwa orang Jepang yang lihai ilmu pedangnya dan besar tenaga dalamnya itu agaknya mencurigainya dan sengaja mementalkan sepotong kayu bangku ke arahnya untuk memancing. Tentu saja dia dapat melihat betapa tadi orang pendek itu mencabut pedang samurainya dengan gerakan yang betul-betul cepat serta mengandung tenaga yang hebat. Demikian cepatnya gerakan Kamatari sehingga bagi mata orang biasa, orang pendek ini tidak berbuat apa-apa, karena sebelum potongan-potongah bangku jatuh ke tanah, samurainya sudah kembali ke sarungnya. Seperti main sulapan saja!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar