Tiba-tiba dia mengubah gerakannya dan berseru, "Awas, Sian-moi, aku akan menyerang dengan tendangan Ban-kin-twi!" Dan kini Siangkoan Liong sudah menggunakan kedua kakinya yang secara bertubi-tubi melakukan tendangan yang amat cepat dan kuat. Ban-kin-twi (Tendangan Selaksa Kati) adalah ilmu tendangan dari ayahnya, dan selain cepat dan sukar diduga dari mana datangnya tendangan, juga amat kuat, sesuai dengan namanya. Melihat tendangan kedua kaki menyambar-nyambar dari segala jurusan ini, Li Sian cepat memainkan San-po Cin-keng dan kedua kakinya membuat langkah-langkah aneh yang teratur dan sungguh aneh, semua sambaran kaki Siangkoan Liong hanya mengenai angin saja karena setiap kaki meluncur, tubuh gadis itu telah bergeser dengan langkahnya yang ringan aneh dan cepat. Akan tetapi, dengan begini, Li Sian tidak mampu lagi balas menyerang sehingga ia nampak terdesak.
"Sekarang aku akan menyerang dengan Ilmu Silat Tiat-wi Liong-kun, Sian-moi. Awas!" Dan pemuda itu sudah menghentikan rangkaian tendangannya, kini menyerang dengan cengkeraman-cengkeraman yang dicampur dengan totokan dan tendangan. Li Sian menghadapi seranganserangan ini dengan kembali memainkan Lo-thian Sin-kun agar ia dapat membalas serangan dan keduanya sudah bertanding lagi dengan amat serunya.
Ketika Siangkoan Liong melihat kesempatan baik, melihat tangan kanan Li Sian menyambar ke arah lambungnya dengan pukulan jari tangan terbuka, serti pedang, secepat kilat dia menangkap pergelangan tangan kanan itu dengan tangan kanannya dan cepat sekali, tanpa dapat diduga oleh Li Sian, dia sudah menyusup ke belakang tubuh gadis itu sambil memuntir lengan kanan Li Sian sehingga lengan kanan gadis itu terpuntir ke belakang tubuhnya. Kini tubuh Siangkoan Liong berada di sebelah kiri agak ke depan, dengan lengan kanan gadis itu masih dipuntir dan dicengkeram pergelangannya. Li Sian cepat menggunakan siku lengan kirinya untuk menyerang agar pemuda itu melepaskan lengan kanannya, akan tetapi serangan ini sudah diduga lebih dahulu oleh Siangkoan Liong yang cepat menggunakan tangan kirinya mencengkeram pula ke arah siku lengan kiri Li Sian. Siku itu dapat dicengkeram dan ketika gadis itu merasa tenaga pada lengan kirinya lenyap dan lumpuh. Ia terkejut dan cepat memutar tubuh kekiri dan kakinya bergerak hendak mengirim tendangan. Akan tetapi kembali gerakan ini sudah dapat diduga oleh Siangkoan Liong dan cepat sekali kaki pemuda itu telah mendahului, dimajukan ke depan di antara kedua kaki Li Sian. Dengan demikian, tentu saja gadis itu tidak berani melakukan tendangan karena bagian tubuhnya yang paling rahasia menempel pada paha di atas lutut Siangkoan Liong. Gadis itu mencoba untuk meronta, namun hasilnya hanya membuat dadanya bergeser dengan lengan kiri pemuda itu yang mencengkeram siku kirinya dan lengan itu ditekuk sehingga siku kiri pemuda itu mengancam dadanya! Wajah Li Sian berubah merah sekali merasa betapa bagian tubuh depan telah bersentuhan dan didekap oleh siku dan lutut pemuda itu!
"Sian-moi, inilah ilmu gulat yang terdapat dalam Tiat-wi Liong-kun kami. Maafkan aku!" katanya dan ketika bicara ini, wajahnya dekat sekali dengan wajah Li Sian. Dia pun melepaskan kedua tangannya dan melangkah mundur sambil berkata lagi, "Wah, ilmu kepandaianmu hebat sekali, Sian-moi. Kalau aku tidak mempergunakan akal dengan ilmu gulat yang tidak kaukenal, belum tentu aku akan mampu menyelamatkan diri dari serangan-serangan dan desakanmu."
Sampai beberapa lamanya Li Sian tidak mampu bicara, jantungnya masih berdebar keras dan tubuhnya terasa panas dingin. Ia merasa malu sekali. Bukan karena kekalahannya, sama sekali bukan, melainkan mengingat betapa tadi ia dirangkul, didekap dan tubuhnya bersentuhan dengan tubuh pemuda itu! Ia tidak dapat marah, karena ia tahu bahwa pemuda itu sama sekali tidak bermaksud menghinanya, bukan bermaksud melakukan perbuatan cabul dan tidak sopan. Bukankah Siangkoan Liong sudah memperingatkannya setiap kali hendak mengeluarkan suatu ilmunya? Dan pemuda itu tadi mempergunakan ilmu gulat untuk mengalahkannya, dan tentu saja ilmu gulat itu dimainkan dengan cara menangkap, memuntir dan menekan atau menghimpit. Akan tetapi, mengingat betapa payudaranya tadi tertekan lengan Siangkoan Liong, dan antara kedua pahanya tertekan lutut pemuda itu, sungguh membuat ia merasa tubuhnya panas dingin.
"Kenapa, Sian-moi? Maafkan aku, kalau aku telah mengalahkanmu dengan ilmu gulat sehingga mengecewakan hatimu," Siangkoan Liong berkata sambil memandang khawatir.
Li Sian tersenyum malu-malu dan menggeleng kepala. "Ah, tidak, Liong-toako. Aku memang sudah menduga bahwa aku takkan menang melawanmu dan ternyata engkau memang hebat, tingkat kepandaianmu lebih tinggi daripada aku, Toako."
"Sudahlah, Sian-moi. Terus terang saja, kalau aku tidak menguasai ilmu silat bercampur ilmu gulat, agaknya aku tidak akan mampu mengalahkanmu. Malam telah tiba marilah kita mencari anak buahku yang berjanji bahwa malam ini dia akan mengajak kakakmu itu datang untuk bertemu denganmu."
Bukan main girangnya hati Li Sian. Ia bangkit lagi dari tempat duduknya dan berseru, "Ah, terima kasih, Toako. Sungguh aku berterima kasih sekali kalau hal itu benar dan aku dapat bertemu dengan kakak sulungku Pouw Ciang Hin!" Mereka lalu meninggalkan taman itu dan sungguh aneh, seperti sudah sewajarnya saja tangan pemuda itu menggandeng tangan Li Sian dan lebih aneh pula, gadis ini pun tidak menarik tangannya, hanya tangan itu agak dingin dan sedikit gemetar ketika Siangkoan Liong menggenggamnya, akan tetapi dalam genggaman tangan pemuda itu yang mesra dan lembut, tangan Li Sian menjadi makin hangat dan tidak gemetar lagi.
***
Mereka berdua duduk menanti di dalam ruangan itu, ruangan bagian belakang rumah induk yang luas. Ruangan ini biasanya dipergunakan oleh pangcu Siangkoan Lohan untuk mengadakan rapat dan perundingan dengan para pembantunya.
Siangkoan Liong mempersilakan Li Sian duduk setelah dia bicara dengan beberapa orang anak buahnya.
"Kita tunggu di sini sebentar, Sianmoi. Tak, lama lagi utusanku itu akan datang dan mudah-mudahan dia tidak gagal membawa kakakmu ke sini untuk berjumpa denganmu."
Gadis itu menatap wajah Siangkoan Liong dengan sinar penuh rasa syukur dan terima kasih, jantungnya berdebar penuh ketegangan karena akan berjumpa dengan kakaknya sehingga ia tidak mampu mengeluarkan suara untuk menjawab, melainkan hanya mengangguk. Akan tetapi setelah beberapa menit lamanya, gadis ini dapat menenteramkan gejolak perasaan hatinya dan ia pun mengangkat muka memandang wajah pemuda itu. Kebetulan sekali Siangkoan Liong juga sedang memandang sehingga dua pasang sinar mata itu saling tatap dan sejenak melekat, sampai akhirnya Li Sian menundukkan pandang matanya dan bertanya dengan suara lirih.
"Toako, di manakah engkau menemukan kakakku? Benarkah dia bekerja menjadi perwira dalam pasukan pemerintah yang berjaga di perbatasan utara ini?"
Siangkoan Liong tersenyum dan mengibaskan ujung bajunya dengan jari tangannya. Ujung baju itu agak kotor karena pi-bu yang mereka adakan di taman tadi.
"Menurut laporan para penyelidik, memang begitulah, Sian-moi. Akan tetapi sebaiknya engkau bertanya sendiri kepada kakakmu nanti kalau benar dia dapat diajak datang oleh utusanku. Jangan khawatir, utusanku itu adalah suhengku sendiri. Dia adalah murid ayahku yang paling lihai dan paling dipercaya, oleh karena itu maka aku sengaja mengutus dia untuk menjemput kakakmu."
Percakapan mereka terputus ketika nampak dua orang memasuki ruangan itu dari pintu samping. Seorang di antara mereka adalah seorang laki-laki yang bertubuh tinggi kurus, mukanya pucat dan matanya tajam. Di punggungnya tergantung sebatang pedang. Akan tetapi Li Sian tidak memperhatikan orang itu, melainkan memperhatikan orang ke dua yang usianya sebaya dengan orang pertama, kurang lebih tiga puluh lima tahun yang mengenakan pakaian perwira pasukan kerajaan. Biarpun kini nampak jauh lebih tua, namun ia tidak pangling, melihat wajah orang ini. Kakaknya! Wajah yang tampan ini nampak jauh lebih tua dari usianya, penuh garis-garis penderitaan hidup, bahkan pandang matanya pun sayu. Sementara itu laki-laki berpakaian perwira itu pun memandang kepada Li Sian, dengan mata agak terbelalak.
"Li Sian engkau Li Sian...." kata laki-laki itu yang bukan lain adalah Pouw Ciang Hin, kakak sulung Pouw Li Sian. Hanya dialah seorang di antara keluarga Pouw-taijin yang selamat dan diampuni, bahkan kemudian masuk menjadi tentara dan mengingat bahwa dia putera seorang pejabat tinggi, juga karena kecakapannya, dia pun kini menjadi seorang perwira yang ditugaskan dalam pasukan yang berjaga di perbatasan.
"Kakak Pouw Ciang Hin...." Li Sian juga berkata lirih. Keduanya merasa agak kikuk karena selain di situ terdapat orang lain, juga karena sudah lama sekali mereka saling berpisah, bahkan menyangka bahwa masing-masing telah meninggal dunia. Akan tetapi sekali berjumpa, mereka saling mengenal, biarpun ketika mereka berpisah, Li Sian baru berusia dua belas atau tiga belas tahun.
Melihat sikap kakak beradik itu, Siangkoan Liong tersenyum dan berkata kepada pria yang tadi menemani Pouw Ciang Hin memasuki ruangan itu, "Ciu-suheng, mari kita keluar dan biarlah kakak beradik yang berbahagia ini bercakap-cakap dengan Sian-moi, biarlah kami pergi dulu. Pouw-ciangkun, selamat bertemu dengan adikmu." Setelah berkata demikian, dengan sikap hormat Siangkoan Liong menjura dengan hormat kepada mereka berdua, lalu dia keluar meninggalkan ruangan itu bersama suhengnya yang sejak tadi diam saja. Suhengnya itu adalah tangan kanan Siangkoan Lohan, murid utara yang terkenal dengan julukannya Tiat-liong Kiam-eng (Pendekar Pedang Tiat-liong-pang) dan memang dialah yang berbakat memainkan pedang sehingga bukan hanya mampu menguasai dengan baik ilmu pedang dari gurunya, bahkan dapat melampaui gurunya dalam hal ilmu pedang. Karena kelihaiannya dalam berolah pedang, maka di Tiat-liong-pang dia terkenal sebagai Kiam-eng (Pendekar Pedang)!
Setelah dua orang itu pergi, kakak beradik itu kembali saling pandang dan kini, semua perasaan yang tadi ditahan-tahan, seperti air bah menjebol bendungan.
"Koko....!" Li Sian berseru dan berlari maju, disambut oleh kakaknya yang mengembangkan kedua lengannya.
"Siauwmoi....!"
Kedua orang kakak beradik itu saling peluk dan bertangisan sampai beberapa lamanya, tidak mampu mengeluarkan kata-kata karena keduanya merasa terharu sekali. Teringatlah semua kenangan lama, tentang kehancuran keluarga mereka, dan bahwa hanya mereka berdualah yang bersisa hidup. Akhirnya Li Sian yang sudah lama digembleng oleh mendiang Bu Beng Lokai dapat lebih dulu menguasai dirinya. Dengan lembut ia melepaskan diri dari pelukan kakaknya, lalu berkata halus.
"Koko, mari kita duduk dan bicara dengan tenang," dan ia pun duduk sambil menyediakan sebuah kursi lain untuk kakaknya, diletakkan di depannya, terhalang sebuah meja.
Pouw Ciang Hin dapat pula menenangkan dirinya setelah melihat sikap adiknya sudah pulih dan tenang kembali. Dia menggunakan punggung tangan untuk menghapus sisa air matanya, lalu keduanya duduk sambil berpandangan.
"Adikku, engkau sekarang telah menjadi seorang gadis dewasa! Ah, sungguh tak kusangka akan dapat bertemu denganmu di sini! Ke manakah saja engkau selama ini, adikku? Dan bagaimana dapat lolos dari serbuan pasukan yang membasmi keluarga kita itu?"
Li Sian lalu menceritakan pengalamannya, betapa ia diselamatkan oleh mendiang Bu Beng Lokai dan dijadikan muridnya, dan betapa selama ini ia ikut bersama gurunya ke puncak Telaga Warna di Pegunungan Beng-san. Kemudian, setelah turun gunung ia melakukan penyelidikan ke kota raja tentang keluarganya dan mendengar bahwa semua anggauta keluarganya telah habis kecuali kakak sulungnya yang menjadi perwira dan bertugas di perbatasan utara.
"Aku lalu ingin mencarimu, Koko, dan aku teringat bahwa Tiat-liong-pang yang diketuai oleh paman Siangkoan Tek adalah sahabat mendiang ayah, maka aku lalu mengunjungi Tiat-liong-pang dan berkat bantuan Liong-toako dan anak buahnya, akhirnya malam ini kita dapat saling berjumpa. Dan bagaimana dengan engkau sendiri, Koko?"
"Tidak banyak hal lain di luar yang telah kudengar, adikku. Tadinya aku pun ditangkap dan dipenjara karena fitnah setelah keluarga kita dibasmi, akan tetapi berkat pertolongan para menteri yang setia, yang memintakan ampun, akhirnya Sribaginda mengampuniku, bahkan aku dianjurkan untuk membuktikan darmabaktiku kepada kerajaan dengan masuk menjadi tentara. Nah, aku masuk dan kini menjadi perwira. Akan tetapi, semua itu tidaklah penting. Yang penting adalah...." Perwira itu menoleh ke kanan kiri dan setelah merasa yakin bahwa tidak ada orang lain mendengarkan, dia pun melanjutkan, suaranya direndahkan sehingga terdengar lirih, ".... adalah kehadiranmu di sini, adikku."
"Kehadiranku di sini? Kenapa, Koko?" tanya gadis itu heran.
"Ah, mustahil engkau belum melihat sendiri kenyataan yang jelas ini. Engkau berada di antara para pemberontak! Jangan sampai engkau terbujuk dan bersekutu dengan para pemberontak, adikku."
Li Sian mengerutkan alisnya dan memandang wajah kakaknya dengan sinar mata mencela, lalu terdengar suaranya penuh kesungguhan. "Koko, engkau keliru! Bagaimana engkau dapat mengatakan Tiat-liong-pang pemberontak? Keluarga Siangkoan sejak dahulu adalah keluarga gagah perkasa sehingga menjadi sahabat baik ayah kita. Dan kalau Tiat-liong-pang kini menentang pemerintah, hal itu bukan berarti hendak memberontak, melainkan berjuang untuk menentang kelaliman!"
"Siauwmoi....!"
"Nanti dulu, Koko. Apakah engkau sudah lupa bagaimana keluarga kita terbasmi habis? Ayah ibu dan saudara-saudara kita terbunuh, semua itu terjadi karena kelaliman kaisar! Karena itu, aku sudah mengambil keputusan membantu perjuangan Tiat-liong-pang untuk menentang kaisar yang lalim, untuk membalas atas kematian keluarga kita...."
"Moi-moi! Nanti dulu, engkau salah paham. Agaknya karena engkau masih kecil dan dibawa pergi oleh gurumu maka engkau tidak tahu apa yang sebenarnya telah terjadi pada waktu itu...."
Pada saat itu terdengar langkah kaki memasuki ruangan dan melihat bahwa yang masuk adalah Siangkoan Liong, maka Pouw Ciang Hin segera menghentikan kata-katanya.
Siangkoan Liong tersenyum gembira dan ramah. "Ah, sungguh aku merasa menyesal sekali harus menganggu kakak beradik yang sedang bercakap-cakap melepas rindu. Akan tetapi, masih terdapat banyak waktu bagi Ji-wi (Kalian Berdua) untuk bercakap-cakap lagi kelak. Pouw-ciangkun, terpaksa aku mengganggu karena aku menerima perintah dari ayah agar mohon bantuan Ciangkun sekarang juga."
Pouw Ciang Hin memandang tajam penuh selidik, akan tetapi sikapnya juga ramah dan lembut. "Keperluan apakah itu, Kongcu?"
Siangkoan Liong mengeluarkan segulung surat dalam tempat surat tertutup rapat dan menyerahkan itu kepada Pouw Ciang Hin. "Ayah mohon bantuanmu agar surat yang amat penting ini disampaikan kepada komandanmu, yaitu Coa Tai-ciangkun. Harap dapat disampaikan sekarang juga karena amat penting."
Pouw Ciang Hin merasa kecewa karena belum sempat menjelaskan kepada adiknya tentang peristiwa yang menimpa keluarga mereka, akan tetapi karena maklum bahwa keraguan akan mendatangkan bencana, dia pun mengangguk.
"Baiklah, akan kusampaikan sekarang juga. Siauw-moi, terpaksa kita berpisah dulu. Tunggulah selama satu minggu, aku akan minta cuti dua hari agar dapat datang ke sini dan bermalam satu malam di sini sehingga kita mendapatkan banyak waktu untuk bercakap-cakap."
"Baiklah, Koko," kata Li Sian dan ia mengikuti bayangan kakak kandungnya itu yang pergi meninggalkan ruangan itu. Kemudian, ia pun minta diri dari Siangkoan Liong untuk pergi ke kamarnya. Di dalam kamarnya, gadis itu termenung, mengenang kembali percakapannya dengan kakaknya. Benarkah apa yang dikatakan kakaknya? Akan tetapi, tidak ada alasan untuk meragukan perjuangan Tiat-liong-pang yang diketuai seorang sahabat ayahnya. Pula, sudah jelas bahwa keluarganya dibasmi oleh kerajaan. Buktinya, empat orang kakaknya juga ditangkap dan dipenjara, bahkan tiga orang tewas di dalam penjara. Bukankah itu sudah jelas bahwa yang membasmi keluarganya adalah kekuasaan kaisar yang lalim? Katakanlah keluarga ayahnya difitnah orang, tetap saja kesalahan kaisarlah kalau sampai menjatuhkan hukuman kepada keluarga ayahnya, padahal ayahnya tidak bersalah. Ayahnya seorang menteri yang baik, jujur dan bijaksana! Betapapun juga, ia akan menanti kakaknya datang berkunjung dan melanjutkan keterangannya tentang peristiwa pembasmian keluarga mereka itu.
Memang Pouw Li Sian tidak tahu apa yang telah terjadi. Gurunya juga tidak pernah bercerita tentang hal itu, bahkan gurunya juga tidak tahu dengan jelas apa yang sesungguhnya terjadi di balik layar peristiwa itu. Di dalam kisah Suling Naga, diceritakan betapa Pouw Tong Ki yang menjabat sebagai Menteri Pendapatan, adalah seorang menteri yang jujur. Ketika ia melihat betapa Hou Seng, seorang thaikam yang amat dicinta oleh kaisar dan memiliki kekuasaan besar di istana, makin lama semakin mempengaruhi kaisar dan kekuasaannya dipergunakan untuk kepentingan pribadi, dengan jujur dan berani dia mencela perbuatan Hou Seng di depan kaisar. Hal ini tentu saja menimbulkan kemarahan Hou Seng dan thaikam yang berkuasa ini lalu memerintahkan seorang datuk sesat untuk membunuh Pouw Tong Ki dan isterinya. Untung ketika itu, Bu Beng Lokai menjadi tamunya, dan Bu Beng Lokai yang menyelamatkan Li Sian, bahkan melawan datuk sesat yang kemudian melarikan diri. Akan tetapi, Hou Seng lalu mengerahkan pasukan untuk menyerbu gedung keluarga itu dengan fitnah bahwa Bu Beng Lokai yang membunuh Pouw Tong Ki, dan empat orang putera Pouw Tong Ki ditangkap dengan tuduhan memberontak, dan rumah keluarga Pouw disita! Demikianlah keadaan yang tadinya hendak diceritakan oleh Pouw Ciang Hin kepada adiknya, akan tetapi belum sempat karena kedatangan Siangkoan Liong.
Dan Li Sian menanti kunjungan kakak kandungnya dengan sia-sia. Bahkan pada hari terakhir, pagi-pagi sekali Siangkoan Liong menemuinya dan dengan muka serius pemuda itu berkata, "Sian-moi, telah terjadi sesuatu dengan kakak kandungmu. Sungguh celaka!"
Tentu saja Li Sian terkejut bukan main. "Apa yang telah terjadi dengan kakakku?"
"Dia dibunuh orang...."
"Ahhhhh!" Betapapun tabah dan terlatih, Pouw Li Sian terbelalak dan mukanya berubah pucat. "Siapa yang membunuhnya dan mengapa?" tanyanya dengan suara membentak, hatinya penuh duka dan kemarahan.
"Tenanglah, Sian-moi, dan mari ikut bersamaku agar engkau dapat melihatnya sendiri. Aku sudah memesan anak buahku agar keadaannya jangan diubah sebelum engkau datang bersamaku."
Mendengar ini, tanpa membereskan rambutnya yang kusut, Li Sian lalu berlari mengikuti Siangkoan Liong yang menuju ke sebuah hutan kecil di sebelah utara perkampungan Tiat-liong-pang. Sambil berlari, Siangkoan Liong berkata, "Agaknya kakakmu baru meninggalkan markasnya untuk datang berkunjung, memenuhi janjinya denganmu, dan agaknya dia memang dihadang di hutan itu, terjadi perkelahian dan dia tewas bersama seorang perwira lain yang agaknya menjadi pembunuhnya."
Setelah mereka memasuki hutan, Li Sian melihat beberapa orang anak buah Tiat-liong-pang berjaga, dan di tengah hutan, ia melihat belasan orang anggauta perkumpulan itu berdiri melingkari dua sosok orang yang menggeletak di atas rumput. Seorang di antara mereka adalah kakaknya, Pouw Ciang Hin, dan orang yang ke dua adalah seorang laki-laki berpakaian perwira kerajaan, usianya setengah tua. Ketika dekat, ia melihat bahwa di antara anggauta, Tiat-liong-pang terdapat pula Sin-kiam Mo-li, Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek, dan Thian Kong Cinjin wakil ketua Pat-kwa-pai, tiga orang yang sudah dikenalnya sebagai tokoh-tokoh sakti yang membantu gerakan perjuangan Tiat-liong-pang. Juga ia melihat wanita cantik yang disebut Bi-kwi, sekali ini tanpa suaminya, berada di situ.
Akan tetapi, Li Sian hanya memandang mereka dengan sekelebatan saja karena ia sudah lari dan berlutut di dekat jenazah kakaknya. Kakaknya telah tewas, tak dapat diragukan lagi. Mandi darahnya sendiri. Dan orang ke dua yang berpakaian perwira itu pun tewas, juga mandi darah.
"Siapakah dia ini?" Li Sian bertanya kepada Siangkoan Liong sambil menudingkan telunjuk kepada perwira asing itu yang tangannya masih memegang sebatang golok besar, sedangkan di dekat tangan kakaknya nampak pula sebatang pedang yang berlepotan darah.
"Kami tidak tahu," kata Siangkoan Liong. "Dia tidak berada di dalam pasukan Coa Tai-ciangkun yang semua telah kami kenal. Jelas bahwa dia seorang perwira pasukan kerajaan yang lain, dan agaknya dia memaksa kakakmu untuk mengkhianati komandan pasukannya, mungkin memaksanya untuk menjadi mata-mata kerajaan. Dan tentu kakakmu menolak, lalu terjadi perkelahian dan keduanya tewas."
Mendengar penjelasan atau dugaan ini, Li Sian termenung. Teringat ia akan semua ucapan kakaknya yang membujuknya agar tidak mencampuri urusan pemberontakan. Apakah kakaknya sudah mulai tergerak hatinya oleh bujukan pihak pasukan kerajaan? Kemudian, setelah bertemu dengannya, kakaknya mungkin sadar dan hal ini membuat dia dimusuhi tentara kerajaan dan dibunuh? Ia mengepal tinju dan di dalam hatinya ia mengutuk. Kembali keluarganya menjadi korban keganasan tentara kerajaan kaisar lalim! Satu-satunya anggauta keluarganya yang tersisa dari pembasmian tentara kerajaan, kini dibunuh pula.
"Aku bersumpah untuk menumpas tentara kerajaan kaisar lalim!" katanya sambil bangkit berdiri, mengusap beberapa butir air matanya.
Mereka kembali ke perkampungan Tiat-liong-pang dan jenazah Pouw-ciangkun dipanggul. Jenazah perwira kerajaan yang menjadi lawannya itu dikubur di tengah hutan itu juga. Pada keesokan harinya, jenazah Pouw Ciang Hin dikubur dengan dihadiri semua tokoh yang bersekutu dengan Tiat-liong-pang, dengan upacara kehormatan, bahkan beberapa orang perwira dari, pasukan Coa Tai-ciangkun ikut pula hadir dan memberi penghormatan.
Li Sian merasa berduka sekali, tubuhnya terasa lemas dan hatinya nyeri. Ia mencari kakak sulungnya, satu-satunya keluarga yang masih ada di dunia ini, dan berhasil bertemu dengan kakaknya. Akan tetapi, hanya untuk diakhiri dengan kedukaan. Pertemuan singkat, bahkan mereka belum sempat bercakap-cakap secara panjang lebar. Lebih dari itu malah, agaknya terjadi ketidaksesuaian paham antara mereka mengenai Tiat-liong-pang. Dan ia tidak sempat lagi bicara karena kakaknya dibunuh orang.
Semenjak kakaknya mati, Li Sian selalu duduk di dekat peti mati, membalas penghormatan semua orang. Ia merasa lelah sekali, lelah lahir batin dan setelah jenazah itu dimakamkan, ia duduk terkulai di depan makam. Semua orang telah pergi meninggalkan kuburan kecuali ia sendiri dan Siangkoan Liong yang dengan penuh perhatian selalu menemaninya dan mencoba untuk menghiburnya.
Melihat gadis itu masih bersimpuh di dekat kuburan baru itu, Siangkoan Liong lalu berlutut di samping Li Sian. Dengan lembut tangannya menyentuh pundak gadis itu dan suaranya halus menggetar penuh perasaan iba, "Sian-moi.... sudahlah. Tidak ada gunanya ditangisi lagi, kakakmu telah tiada dan hal itu sudah dikehendaki Tuhan. Akan tetapi engkau masih hidup dan karena itu engkau harus menjaga kesehatanmu. Sejak kemarin engkau tidak makan, tidak minum, dan hanya menangis saja."
Li Sian menoleh, memandang kepada Siangkoan Liong dengan sepasang mata merah karena kebanyakan menangis. "Akan tetapi, Liong-ko, dia.... dia adalah satu-satunya orang di dunia ini yang kumiliki.... satu-satunya keluargaku...."
"Aih, harap jangan berpendapat demikian, Sian-moi. Bukankah keluarga Siangkoan telah menerimamu dengan tangan terbuka seperti keluarga sendiri? Dan lihatlah aku ini, Sian-moi. Aku masih ada di sampingmu, dan aku akan melindungimu, menemanimu, menjadi pengganti seluruh keluargamu, karena aku cinta padamu, Sian-moi. Tak tahukah engkau? Sejak pertama kali kita berjumpa, aku sudah jatuh cinta padamu dengan sepenuh jiwa ragaku...."
Dalam keadaan hatinya sedang duka dan lemah, mendengar ucapan yang penuh kasih mesra dan iba itu, luluh rasa hati Li Sian oleh perasaan haru. Matanya sayu menatap wajah pemuda itu dan mulutnya berbisik lirih, "Liong-ko...." dan ketika pemuda itu merangkul dan memeluknya, ia pun menyembunyikan muka di dada pemuda itu sambil menangis. Hatinya merasa terhibur dan di saat itu bagi Li Sian, tidak ada seorang pun manusia yang lebih baik daripada Siangkoan Liong. Karena hatinya sendiri memang sudah merasa kagum dan amat tertarik kepada pemuda itu, maka ia pun tidak menolak ketika Siangkoan Liong membelai rambutnya, mengusap air mata dari pipinya, bahkan ketika pemuda itu mencium pipinya dan mengecup bibirnya, ia pun hanya mengeluh panjang dan ia menemukan perasaan bahagia yang mendalam di antara kedukaannya.
"Sian-moi, aku akan segera minta kepada ayah agar menjodohkan kita. Maukah engkau menjadi isteriku, Sianmoi?" tanya Siangkoan Liong halus dan lirih sekali sambil menempelkan mulutnya di dekat telinga gadis itu. Li Sian kembali mengeluh, merasa canggung untuk menjawab dan memang sukar baginya di saat itu untuk bersuara, maka ia pun hanya menggerakkan kepalanya mengangguk, masih bersandar pada dada pemuda itu.
Mereka duduk dalam keadaan seperti itu beberapa lamanya, di depan kuburan baru Pouw Ciang Hin. Cumbu rayu dan belaian kasih sayang Siangkoan Liong perlahan-lahan dapat mengusir kedukaan dari hati Li Sian dan ia pun dapat memulihkan lagi tenaganya dan kesadarannyanya. Dengan lembut ia lalu menarik diri terlepas dari pelukan pemuda itu, lalu memandang kepada makam kakaknya dan kedua pipinya yang tadinya pucat berubah kemerahan.
"Ah, Liong-ko, apa yang telah kita lakukan? Bersenang-senang di depan makam kakakku....!" katanya agak menyesal.
"Sian-moi, kakakmu akan tersenyum melihat betapa kita saling mencinta dan adiknya mendapatkan jodoh yang tepat. Marilah Sian-moi, mari kita pulang dan makan. Engkau harus makan agar tidak jatuh sakit."
Mereka bangkit berdiri dan Li Sian kembali menoleh kepada makam kakaknya, lalu menjura sebagai penghormatan terakhir dan berkata, "Koko, tenangkanlah hatimu. Adikmu ini akan membalaskan kermatianmu dengan menentang pasukan kerajaan, menentang kaisar yang lalim....!"
"Bagus.... bagus....!" Terdengar suara yang dalam dan lantang. Li Sian dan Siangkoan Liong membalikkan tubuh dan menghadapi Siangkoan Lohan yang tiba-tiba muncul dan memuji ketika mendengar janji Li Sian di depan makam kakaknya.
"Paman Siangkoan....!" Li Sian memberi hormat.
"Bagus, Li Sian. Memang kami semua juga sedang berusaha untuk menghancurkan pemerintah lalim itu! Pemerintah kaisar lalim itu telah membasmi keluargamu, sahabatku Pouw Tong Ki yang jujur dan bijaksana serta baik, bahkan kini membunuh pula satu-satunya puteranya yang masih hidup. Dengan adanya bantuanmu, aku yakin gerakan kita akan berhasil baik."
"Ayah, ada sebuah berita baik sekali bagi Ayah dan kami berdua mengharapkan persetujuan dan keputusan Ayah."
"Hemmm, berita apakah itu, Liongji (anak Liong)?"
"Ayah, baru saja kami berdua telah menyatakan saling mencinta, dan Sian-moi sudah menyatakan setuju untuk menjadi isteriku. Oleh karena itu, kami mohon persetujuan dan keputusan Ayah mengenai hal ini."
Siangkoan Lohan tertawa, suara ketawanya bergema di seluruh tanah kuburan itu. "Ha-ha-ha-ha-ha! Bagus, bagus sekali! Sungguh merupakan berita yang amat membahagiakan hatiku. Tentu saja aku merasa setuju sekali dan biarlah nanti kalau sudah habis perkabungan sebulan, akan kurayakan pertunangan kalian dan kuumumkan!"
Siangkoan Liong cepat berkata, "Terima kasih, Ayah." Lalu dia menggandeng tangan Li Sian. "Mari, kita pulang dan makan." Mereka berdua lalu pergi meninggalkan kuburan, diikuti pandang mata Siangkoan Lohan yang tersenyum lebar.
Ketika mereka berdua tiba di ruangan makan, di situ telah duduk Sin-kiam Mo-li, Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek, Bi-kwi, Tiat-liong Kiam-eng suheng dari Siangkoan Liong tadi, juga Thian Kong Cinjin dan Thian Kek Sengjin, juga beberapa orang tokoh lain yang menjadi pembantu atau sekutu ketua Tiat-liong-pang. Mereka semua duduk menghadapi meja makan dan agaknya mereka sedeng makan minum, atau baru saja selesai. Ketika melihat Siangkoan Liong datang memasuki ruangan makan sambil menggandeng tangan Pouw Li Sian mereka semua bangkit berdiri untuk menghormati Siangkoan Liong, dan mereka memandang kepada gadis yang baru saja kematian kakak kandungnya itu.
"Para locianpwe dan saudara sekalian, kami membawa berita baik, yaitu bahwa nona Pouw Li Sian dan saya akan bertunangan, peresmiannya sebulan," kata Siangkoan Liong dengan wajah berseri gembira. Mendengar ini, semua yang hadir menyambut dengan gembira, ada yang bersorak, ada yang tertawa, kecuali tentu saja Bi-kwi yang hanya tersenyum saja dan sedetik wanita ini melempar pandang mata tajam ke arah wajah Pouw Li Sian.
"Ah, kalau begitu, kita harus memberi ucapan selamat kepada sepasang calon mempelai ini dengan suguhan secawan arak!" kata Sin-kiam Mo-li. Wanita ini lalu menuangkan arak yang kemerahan dari sebuah cawan, bau arak semerbak harum ketika arak itu mengalir ke dalam dua buah cawan bersih. Setelah kedua cawan ini penuh arak merah yang harum, Sin-kiam Mo-li lalu membawanya menghampiri Siangkoan Liong dan Pouw Li Sian yang masih berdiri, dan dengan sikap dan suara merdu menarik wanita ini menyuguhkan dua cawan arak sambil berkata dengan gembira.
"Perkenankanlah saya menghaturkan selamat atas nama semua kawan yang hadir di sini kepada Ji-wi yang berbahagia," katanya. Semua orang sudah mengisi cawan arak mereka masing-masing dan mereka pun mengangkat cawan arak mereka sambil membujuk dan berkata, "Selamat kepada Siangkoan-kongcu dan Pouw-siocia!"
Pouw Li Sian sejak kedatangannya pertama sudah merasa tidak senang kepada wanita cantik yang genit itu, dan tadi ia merasa ragu untuk menerima suguhan arak ucapan selamat itu. Akan tetapi melihat betapa semua orang sudah mengangkat cawan arak mereka, dan melihat pula betapa Siangkoan Liong juga sudah menerimanya, terpaksa ia menerimanya pula, dan mereka semua minum arak masing-masing sampai habis secawan penuh. Semua orang lalu bertepuk dan bersorak.
"Cu-wi (saudara sekalian), karena kita sudah makan kenyang, dan agaknya kedua calon pengantin belum makan, maka sebaiknya kalau kita tidak ganggu mereka dan biarlah mereka makan berdua dengan asyik." Semua orang tertawa dan setelah memberi hormat, mereka keluar dari ruangan makan itu sambil tertawa-tawa.
Siangkoan Liong memanggil pelayan. Empat orang datang dan dia menyuruh mereka membersihkan meja, dan menghidangkan masakan-masakan baru untuk mereka berdua.
Mereka lalu makan minum dan perlahan-lahan, Li Sian sudah melupakan kedukaannya. Ia merasa semakin gembira dan berbahagia, kedua pipinya merah, sinar matanya tajam dan wajahnya berseri, senyumnya tak pernah meninggalkan bibir. Bahkan ia pun hanya tersenyum kalau Siangkoan Liong bersikap dan bicara terlalu mesra, dan ia pun tidak menolak ketika pemuda itu menyuapinya dengan sumpitnya, memilihkan daging yang paling lunak. Mereka pun makan minum sambil berkasih-kasihan.
Li Sian sama sekali tidak tahu bahwa arak yang disuguhkan oleh Sin-kiam Mo-li tadi, untuk menghormatinya, diam-diam telah dimasuki bubuk merah oleh wanita itu. Arak itu telah menjadi arak obat perangsang! Hal ini diketahui pula oleh Siangkoan Liong yang memang sudah mengaturnya bersama wanita itu dan para pembantunya yang lain. Mereka semua maklum bahwa gadis yang menjadi murid keluarga Pulau Es ini, kalau dapat ditundukkan akan menjadi kawan yang amat berguna, sebaliknya kalau menjadi lawan, ia amat berbahaya. Dan cara satu-satunya untuk menundukkan adalah kalau ia dapat menjadi kekasih atau isteri Siangkoan Liong.
Bahkan ketika Siangkoan Liong, setelah mereka selesai makan, menggandengnya dan mengajaknya masuk ke kamar pemuda itu, Li Sian tidak sadar lagi dan menurut saja seperti seekor domba dituntun ke dalam rumah jagal. Gadis ini pun sama sekali tidak tahu bahwa di luar jendela kamar itu, nampak dua orang ypng berdiri sambil bersedakap dan mulut mereka berkemak-kemik. Mereka adalah Sin-kiam Mo-li dan Thian Kek Sengjin tokoh besar perkumpulan Pek-lian-kauw itu. Mereka berdua adalah ahli-ahli sihir, dan seperti yang telah mereka rundingkan bersama Siangkoan Liong, mereka berdua kini membantu pemuda itu, mengerahkan ilmu sihir mereka untuk mempengaruhi Li Sian.
Gadis itu tak berdaya lagi. Memang di dalam hatinya sudah terdapat rasa suka, kagum dan tertarik kepada Siangkoan Liong. Hal ini ditambah lagi bahwa ia berada dalam keadaan duka sehingga batinnya menjadi lemah, kemudian ia pun sudah terlena oleh bujuk rayu Siangkoan Liong dan keputusan Siangkoan Lohan bahwa ia telah ditunangkan dengan Siangkoan Liong. Dalam makan minum lagi, sebelumnya ia pun sudah menerima arak obat perangsang dari Sin-kiam Mo-li dan kini, di bawah pengaruh kekuatan sihir dua orang itu, dan bujuk rayu Siangkoan Liong, tentu saja habislah semua daya tahannya. Ia sama sekali tidak melakukan perlawanan dan terulang kembalilah peristiwa dalam kamar itu seperti yang pernah dialami oleh Kwee Ci Hwa.
Baru pada keesokan harinya, Li Sian diam-diam merasa menyesal bukan main dan mencela diri sendiri yang demikian lemahnya. Namun, semuanya telah terjadi dan karena Siangkoan Liong pandai menghiburnya, apalagi karena pemuda itu adalah calon suaminya, maka Li Sian akhirnya takluk dan tunduk, tidak lagi menyesali perbuatannya. Sama sekali ia tidak sadar bahwa ia telah menjadi korban dari siasat yang amat lihai, yang diatur oleh Siangkoan Liong bersama sekutunya untuk menjatuhkannya, untuk menariknya menjadi pembantu mereka yang setia.
Masih untung bagi Li Sian bahwa ia memiliki ilmu kepandaian tinggi sehingga nasibnya tidak seperti Kwee Ci Hwa yang dicampakkan begitu saja, seperti sampah tebu setelah manisnya dihisap habis. Dan ia pun mencinta calon suaminya dengan sepenuh hatinya, bahkan ia kini percaya benar akan sucinya perjuangan yang sedang direncanakan oleh calon ayah mertuanya.
***
Pria yang duduk bersila seorang diri di dalam gubuk itu usianya sudah mendekati lima puluh tahun. Belum tua benar, namun wajahnya sudah mulai nampak tua karena penuh guratan derita hidup yang membayang pada wajahnya yang masih nampak tampan. Muka yang berbentuk bulat dengan kulit agak gelap, tubuhnya tegap dan pakaiannya sederhana walaupun rapi dan bersih.
Gubuk itu berada di lereng Pegunungan Tapa-san, di dekat sumber air yang kemudian mengalir menjadi awal Sungai Han Sui. Pemandangan alam di situ indah sekali, dan sunyi karena dusun-dusun terletak jauh di sebelah bawah, di mana terdapat tanah pertanian di sepanjang kedua tepi sungai yang subur. Pertapa di dalam gubuk itu adalah Suma Ciang Bun, seorang di antara cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es.
Semenjak muridnya, Gu Hong Beng, pergi dua tahun yang lalu meninggalkannya untuk melakukan perjalanan merantau dan menentang gerakan para tokoh sesat, Suma Ciang Bun berdiam seorang diri di dalam gubuknya di lereng Pegunungan Tapa-san yang sunyi itu. Dia hidup menyendiri bercocok tanam sedikit, hanya cukup untuk keperluan hidupnya sehari-hari dan waktu selebihnya hanya diisi dengan samadhi. Dia sudah tidak ingin lagi mencampuri urusan dunia ramai dan di dalam tempat yang sunyi itu, pendekar ini telah memperoleh kedamaian batin. Dia tidak ingin mengganggu ketenteraman batinnya itu dengan urusan dunia yang selalu hanya menimbulkan pertentangan dan keruwetan belaka.
Tak dapat disangkal bahwa kedamaian terdapat di dalam batin, dan tergantung dari keadaan batin bukan dari keadaan di luar. Segala keinginan timbul dari batin sendiri, bukan dari keadaan di luar. Hal ini tentu saja memang benar. Namun tidak boleh diremehkan daya tarik keadaan di luar batin sendiri. Tempat yang sunyi tenteram mempunyai banyak pengaruh terhadap ketenteraman batin, seperti juga benda-benda memiliki daya tarik bagi keinginan batin. Jauh dari benda-benda itu tentu sedikit sekali membangkitkan keinginan, tidak seperti kalau benda-benda itu berada di depan mata. Biarpun demikian, tentu saja yang menentukan semuanya adalah keadaan batin itu sendiri. Batin yang kosong dan damai akan tetap tenang biar orangnya berada di tempat ramai, sebaliknya batin yang penuh persoalan dan tegang akan tetap merana biarpun orangnya berada di tempat yang sunyi.
Karena Suma Ciang Bun memang tidak mempunyai keinginan apa pun, tidak mempunyai pamrih atau cita-cita apa pun, maka dia sama sekali bukan melakukan pertapaan menyiksa diri seperti banyak dilakukan orang yang ingin mencapai sesuatu. Banyak terdapat orang-orang yang melakukan tapabrata untuk berprihatin, dengan pamrih agar sesuatu yang diinginkannya akan tercapai, dan tapa seperti ini seringkali disertai penyiksaan diri, seperti menahan lapar, menahan haus, menahan kantuk, dan sebagainya sampai berhari-hari, bahkan berminggu atau berbulan. Akan tetapi Suma Ciang Bun tidak melakukan penyiksaan diri. Ini bukan berarti bahwa dia menuruti semua nafsu badannya, bukan ingin menyenangkan tubuhnya, karena kalau demikian halnya, tidak ada bedanya dengan para pertapa yang ingin mencari sesuatu yang diinginkan.
Ketika perutnya berkuruyuk, Suma Ciang Bun sadar dari samadhinya dan dia pun teringat bahwa sudah tiba saatnya perutnya diisi karena sejak kemarin sore, dia belum lagi mengisi perut, dan hari ini matahari sudah naik tinggi. Dengan tenang dia pun turun dari tempat samadhi, menuju ke luar gubuk melalui pintu gubuk yang sejak pagi tadi telah dibukanya lebar-lebar sehingga hawa pegunungan memenuhi gubuknya. Dia pergi ke bagian belakang gubuk, di sebelah luar dan nampaklah asap mengepul ketika Suma Ciang Bun membuat api dan menanak nasi, memasak air dan sayuran, dengan bumbu sederhana.
Selagi dia masak itulah terdengar langkah kaki orang dan dia pun menengok. Kiranya ada tiga orang yang berjalan, menghampirinya, dari depan gubuk. Seorang gadis yang cantik dan lincah berusia sekitar dua puluh satu tahun, seorang pemuda yang wajah dan pakaiannya sederhana, pakaian yang serba putih, berusia sekitar dua puluh dua tahun, dan seorang anak laki-laki berusia kurang lebih tujuh tahun yang tampan dan matanya bersinar tajam. Suma Ciang Bun tidak mengenal siapa mereka itu dan dia memandang heran sambil mengingat-ingat. Hanya gadis itulah dia merasa seperti pernah mengenalnya. Gadis itu pun segera lari menghampirinya dan memegang lengannya.
"Paman Suma Ciang Bun! Lupakah Paman kepadaku?" kata Suma Lian sambil tertawa gembira. "Aku adalah Suma Lian!"
Suma Ciang Bun terbelalak memandang gadis itu. "Aih, engkau, Lian-ji? Wah, sudah begini dewasa engkau! Angin apakah yang meniupmu sampai di sini? Dan siapakah mereka itu?" Dia memandang kepada pemuda dan anak laki-laki itu dengan alis berkerut. Gadis ini adalah keponakannya, keponakan dalam, akan tetapi juga sebetulnya tunangan dari muridnya. Sejak Suma Lian berusia dua belas tahun, gadis ini sudah dijanjikan oleh mendiang neneknya untuk menjadi isteri Gu Hong Beng, muridnya (baca kisah SULING NAGA) .
Mendengar pertanyaan bertubi-tubi itu Suma Lian tersenyum. "Dia adalah saudara Tan Sin Hong, Paman. Kami berjumpa dalam perjalanan dan berkenalan. Ternyata masih ada hubungan dekat dengan keluarga kita, Paman. Tahukah Paman, siapa guru-gurunya? Kakek Kao Kok Cu dan isterinya, penghuni Istana Gurun Pasir, juga kakek Wan Tek Hoat. Tiga orang sakti itu mengemblengnya di Istana Gurun Pasir."
Tentu saja Suma Ciang Bun terkejut bukan main mendengar keterangan itu dan dia pun membalas penghormatan Sin Hong kepadanya sambil memandang pemuda itu dengan penuh perhatian. "Ah, kiranya murid para locianpwe yang sakti itu. Sungguh beruntung dapat berjumpa dengan seorang pemuda yang gagah perkasa. Dan siapakah anak ini?" Dia memandang kepada Yo Han, seorang anak laki-laki yang memiliki sikap gagah dan sepasang mata yang mencorong. Suma Ciang Bun merasa suka sekali, dan dia agak tercengang ketika anak itu tiba-tiba saja menjatuhkan diri berlutut di depan kakinya. Dia mengelus rambut kepala anak itu.
"Aih, anak yang baik, tidak perlu melakukan penghormatan seperti itu. Bangkitlah." katanya lembut.
"Paman, dia bernama Yo Han. Ayahnya adalah paman Yo Jin dan kurasa Paman sudah mendengar nama ibunya yang gagah perkasa, yaitu bibi Ciong Siu Kwi...."
Suma Ciang Bun mengerutkan alisnya, mengingat-ingat. "Ciong Siu Kwi...." katanya perlahan. Dia sudah banyak mendengar akan nama ini dari muridnya. Bukankah wanita iblis yang amat jahat, akan tetapi kemudian telah mengubah jalan hidupnya setelah menikah dengan seorang pemuda petani, bahkan kemudian menjadi orang yang mengasingkan diri dari dunia persilatan?
"Apakah ia yang berjuluk Bi-kwi....?" Suma Lian mengangguk. "Benar sekali, Paman."
Suma Ciang Bun memandang kepada anak itu dengan kagum. Dan anak ini putera bekas iblis betina itu? "Akan tetapi, mengapa dia ikut denganmu? Apa yang telah terjadi....?"
"Panjang ceritanya, Paman...."
"Ah, benar juga. Sampai lupa aku. Marilah kalian masuk, kita bicara di dalam." Ajaknya sambil mendahului tiga orang tamu itu memasuki gubuknya yang sederhana namun bersih. Tidak ada kursi atau bangku di dalam gubuk itu. Lantainya ditilami jerami kering dan mereka duduk di atas tikar anyaman sendiri yang bersih dan lunak karena di bawah tikar itu terdapat jerami kering yang tebal.
Setelah mereka semua duduk di atas tikar itu, Suma Lian lalu menceritakan maksud kunjungannya. "Paman Suma Ciang Bun, sebetulnya kunjunganku ke sini adalah diutus oleh ayah dan ibu. Mereka rindu kepada Paman dan mengutusku untuk menengok dan menanyakan keselamatan Paman. Selain itu, apabila Paman tidak merasa keberatan, ayah dan ibu ingin sekali agar Paman suka pindah saja ke rumah kami dan tinggal bersama kami di sana, daripada Paman hidup menyendiri di tempat sunyi ini. Kata ayah, dia dan Paman sudah mulai tua dan ayah ingin dekat dengan Paman."
Mendengar ucapan keponakannya itu, Suma Ciang Bun merasa terharu, akan tetapi dia tersenyum. "Ah, sejak dulu ayahmu memang amat baik! Aku sudah merasa cukup berbahagia di sini, akan tetapi undangan ayah ibumu itu bukan tidak menarik. Berilah waktu, akan kupikirkan masak-masak dan kalau kelak aku ingin hidup santai dan tenang, aku akan datang ke rumah kalian."
Selanjutnya, Suma Ciang Bun bertanya tentang Sin Hong dan Yo Han. Maka berceritalah Suma Lian tentang pengalaman perjalanannya, betapa ia melihat Yo Han dilarikan penculik, kemudian ia berusaha menyelamatkannya dan nyaris tewas kalau tidak ditolong oleh Sin Hong. Juga ia menceritakan betapa orang-orang golongan sesat itu telah menawan ayah dan ibu Yo Han. Mereka terpaksa menyerahkan diri demi menyelamatkan Yo Han yang dijadikan sandera oleh para penjahat.
"Saudara Tan Sin Hong ini dan aku bermaksud untuk melakukan penyelidikan terhadap para tokoh sesat yang kabarnya membuat gerakan untuk memberontak, Paman. Kami ingin melakukan penyelidikan terhadap Tiat-liong-pang di utara. Karena kami tidak ingin membawa Yo Han ke dalam bahaya sewaktu melakukan tugas itu, maka aku teringat untuk menitipkan anak ini di sini, Paman. Tentu saja kalau Paman tidak berkeberatan dan hanya untuk sementara. Kelak, kalau tugas kami selesai, saudara Tan Sin Hong ini tentu akan menjemputnya, karena Yo Han telah menjadi muridnya."
Mendengar ini, wajah Suma Ciang Bun berseri dan dia memandang kepada anak laki-laki di depannya itu. Sejak melihatnya pertama kali, memang hatinya telah tertarik sekali dan dia merasa kagum dan suka kepada Yo Han. Oleh karena itu, mendengar ucapan Suma Lian, dia mengangguk-angguk.
"Baiklah, biar dia berada di sini selama kalian melaksanakan tugas penting itu. Ketahuilah bahwa muridku, Gu Hong Beng, juga sudah pergi merantau dua tahun yang lalu dan aku merasa yakin bahwa dia tentu tidak akan tinggal diam kalau mendengar akan pergerakan kaum sesat itu. Engkau tentu belum lupa kepada muridku Gu Hong Beng itu, bukan?" tanyanya sambil menatap tajam wajah manis keponakannya.
Suma Lian tersenyum, membuat wajahnya nampak semakin cerah dan jelita. "Aih, Paman. Bagaimana aku dapat melupakan suheng Gu Hong Beng? Takkan pernah dapat kulupakan betapa dulu, ketika aku berusia dua belas tahun dan diculik oleh Sai-cu Lama, suheng Gu Hong Beng membelaku mati-matian." Gadis ini teringat akan pengalamannya ketika masih kecil itu, ketika ia diculik seorang datuk sesat, Sai-cu Lama, dan mengakibatkan kematian neneknya (baca kisah SULING NAGA) .
Mendengar jawaban itu Suma Ciang Bun merasa gembira sekali dan dia mendapat pikiran yang amat baik. Pemuda yang datang bersama Suma Lian ini adalah seorang pemuda yang memiliki kepandaian tinggi. Hal ini mudah diduga kalau mengingat betapa pemuda ini pernah menyelamatkan Suma Lian, apalagi karena ketiga orang gurunya adalah tokoh-tokoh besar yang sakti. Melihat pergaulan yang nampak akrab antara pemuda itu dan keponakannya, timbul kekhawatiran di dalam hatinya walaupun dia tidak merasa heran melihat pergaulan yang akrab antara muda mudi itu. Memang kehidupan di dunia persilatan lebih bebas. Bagi seorang gadis ahli silat yang suka merantau, bergaul dengan seorang pemuda merupakan hal biasa karena gadis itu mampu menjaga diri dengan kepandaiannya. Akan tetapi dia khawatir kedahuluan, maka dia mempunyai pikiran untuk menyampaikan saja pesan rahasia mendiang nenek Teng Siang In kepada keponakannya, di depan pemuda itu.
"Lian-ji, keponakanku yang baik. Dalam kesempatan ini, aku ingin menyampaikan suatu berita yang mungkin selama ini masih menjadi rahasia bagimu. Mengingat bahwa pemuda perkasa ini adalah murid Istana Gurun Pasir, maka berarti dia bukan orang luar dan tidak ada jeleknya kalau dia mendengarkan pula."
Mendengar ucapan yang dikeluarkan dengan wajah serius itu, Suma Lian terkejut dan menatap wajah pamannya dengan penuh keinginan tahu. "Paman, rahasia apakah itu?"
"Rahasia peninggalan pesan terakhir nenekmu. Atau barangkali engkau sudah mendengar dari orang tuamu?"
"Pesan terakhir nenek Teng Siang In? Belum, Paman, aku belum mendengar tentang itu. Apakah pesan terakhir itu ditujukan kepadaku?"
"Bukan kepadamu, akan tetapi justeru pesan itu mengenai dirimu, mengenai perjodohanmu."
Sepasang mata yang lebar dan jeli itu terbelalak, kemudian kedua pipinya berubah kemerahan, "Apa.... apa maksudmu, Paman?" tanyanya agak tergagap karena hatinya terguncang mendengar bahwa mendiang neneknya meninggalkan pesan mengenai perjodohannya.
Suma Ciang Bun menarik napas panjang. "Hal ini sudah kuceritakan kepada ayah ibumu, akan tetapi agaknya mereka belum menceritakannya kepadamu. Baiklah akan kuceritakan saja agar aku tidak akan selalu merasa berhutang janji kepada nenekmu itu, melalui muridku. Hal itu terjadi ketika engkau diculik oleh Sai-cu Lama. Engkau tentu masih ingat betapa telah terjadi perkelahian antara mendiang nenekmu dan Sai-cu Lama. Nenekmu kemudian dibantu oleh suhengmu, Gu Hong Beng, akan tetapi Sai-cu Lama amat lihai dan akhirnya nenekmu roboh dan terluka parah oleh Sai-cu Lama yang mempergunakan pedang Ban-tok-kiam...."
"Ban-tok-kiam....?" Tiba-tiba Sin Hong berseru kaget, di luar kesadarannya.
Suma Ciang Bun memandang kepadanya dan mengangguk. "Benar, Tan-sicu (orang gagah Tan), datuk sesat itu mempergunakan Ban-tok-kam, karena pedang dari Istana Gurun Pasir itu pernah terjatuh ke dalam tangannya."
Sin Hong sadar bahwa dia telah lancang bicara dan kini diam saja, membayangkan betapa Ban-tok-kiam dan Cuibeng-kiam kini terjatuh ke dalam tangan Sin-kiam Mo-li. Hal ini mengingatkan dia bahwa amatlah berbahaya kalau pedang-pedang yang amat ampuh dan ganas itu terjatuh ke tangan orang jahat. Bagaimanapun juga, dia harus mencari Sin-kiam Mo-li, bukan untuk sekedar membalas dendam atas kematian tiga orang gurunya, akan tetapi terutama sekali untuk merampas kembali Ban-tok-kiam dan Cui-beng-kiam agar dua batang pedang pusaka yang amat ganas itu tidak disalahgunakan oleh Sin-kiam Mo-li atau tokoh jahat lainnya untuk melakukan kejahatan.
"Lalu bagaimana, Paman?" tanya Suma Lian tidak sabar karena cerita pamannya yang akan membuka rahasia pesan terakhir neneknya itu tadi diselingi urusan Ban-tok-kiam.
"Nenekmu terluka parah dan dibawa pulang oleh Hong Beng sedangkan engkau dilarikan Sai-cu Lama. Ketika ayah ibumu mendengar pelaporan Hong Beng, mereka segera melakukan pengejaran terhadap Sai-cu Lama sedangkan Hong Beng menjaga dan merawat nenekmu. Namun, nenekmu tak tertolong lagi dan sebelum menghembuskan napas terakhir, nenekmu meninggalkan pesan kepada Hong Beng." Kembali Suma Ciang Bun menghentikan ceritanya, agaknya dia sendiri juga merasa canggung untuk membuka rahasia itu.
"Pesan mengenai diriku, Paman? Bagaimanakah pesan itu?"
Suma Ciang Bun menarik napas panjang sebelum melanjutkan. "Sebetulnya bukan pesan kepadamu, melainkan kepada Hong Beng. Nenekmu itu sebelum meninggal dunia, minta kepada Hong Beng untuk berjanji. Betapapun berat rasanya janji itu oleh Hong Beng, namun mengingat bahwa pesan itu adalah pesan dari seorang yang menghadapi kematian, Hong Beng tidak tega untuk menolak dan dia pun berjanji seperti yang diminta oleh mendiang nenekmu itu." Kembali dia berhenti.
"Apakah janji itu, Paman? Katakanlah, mengapa Paman nampak ragu-ragu?"
Suma Lian mendesak."Hong Beng. diminta berjanji agar kelak dia suka menjadi suamimu...."
Sepasang mata itu kembali terbelalak dan kini kedua pipi yang halus itu berubah merah sekali. "Ahhh...." Suma Lian menahan seruannya.
Suma Ciang Bun merasa hatinya lapang setelah dia menceritakan pesan yang selama bertahun-tahun dirahasiakan itu. "Demikianlah pesan nenekmu, Suma Lian. Hong Beng tidak berani menolak dan dia pun sudah berjanji di depan nenekmu yang sedang menghadapi kematian. Tentu saja janji itu amat mengganggu hati Hong Beng dan dia tidak berani menceritakannya kepada siapapun, apalagi kepada orang tuamu. Setelah engkau dewasa, akhirnya dia menceritakannya kepadaku. Mendengar itu, aku segera menemui orang tuamu dan sudah kuceritakan kepada mereka tentang pesan terakhir nenekmu itu."
Tanpa disengaja, Suma Lian menoleh kepada Sin Hong, akan tetapi pemuda itu hanya duduk bersila dengan muka ditundukkan sehingga ia tidak tahu bagaimana wajah pemuda itu yang tentu saja ikut mendengarkan semua percakapan tadi. Hati Suma Lian menjadi agak lega karena tadinya ia merasa rikuh sekali bahwa Sin Hong ikut mendengarkan percakapan tentang perjodohannya.
"Dan mereka.... ayah ibuku...., bagaimana pendapat mereka, Paman?" Ia teringat akan peringatan ayah ibunya kepadanya bahwa ia telah lebih dari dewasa untuk segera menentukan jodohnya! Akan tetapi ayah ibunya sama sekali tidak menyebut nama Gu Hong Beng. Teringat akan ini, ia pun membayangkan wajah Gu Hong Beng. Akan tetapi, ia tidak dapat mengingatnya dengan baik. Ketika itu, ia baru berusia dua belas tahun! Delapan atau sembilan tahun telah lewat ketika ia melihat Gu Hong Beng. Namun, karena pemuda itu dahulu pernah membelanya dari ancaman penculikan Sai-cu Lama, tentu saja ia mengenang pemuda itu dengan hati kagum dan berhutang budi. Samar-samar ia masih ingat bahwa Gu Hong Beng adalah seorang pemuda yang berpakaian sederhana, sikapnya lemah lembut, pendiam, halus, dan berwajah cerah dan tampan.
"Ayah dan ibumu, hemmm.... mereka tidak dapat mengambil keputusan dan mengatakan bahwa untuk urusan perjodohanmu, mereka menyerahkan sepenuhnya kepadamu. Lalu bagaimana dengan pendapatmu mengenai pesan terakhir nenekmu itu, Lian-ji (anak Lian)?"
Suma Lian tersenyum. Hatinya merasa lega dan bersyukur. Ayah ibunya memang bijaksana dan amat mencintanya. Ia tahu bahwa ayah ibunya amat menginginkan ia segera menikah, akan tetapi mereka itu menyerahkan pemilihan jodoh kepadanya sendiri. Kembali tanpa disengaja, ia melirik ke arah Sin Hong. Pemuda itu tetap menundukkan muka dan nampaknya rikuh sekali. Seorang pemuda yang sopan dan baik, pikir Suma Lian. Sikapnya yang diam menunduk itu banyak menolongnya dari kerikuhan.
"Aku tidak tahu, Paman...." Suma Lian memandang pamannya dengan senyum lebar. "Ayah dan ibu sungguh bijaksana. Terus terang saja, aku berterima kasih atas sikap mereka yang menyerahkan keputusan urusan perjodohanku kepadaku sendiri."
Suma Ciang Bun mengerutkan alisnya, akan tetapi hanya sebentar dan wajahnya sudah cerah kembali. "Maksudku, bagaimana pendapatmu dengan muridku Gu Hong Beng? Setujukah engkau kalau dia menjadi calon suamimu seperti yang dipesankan mendiang nenekmu? Kalau engkau setuju, aku akan merasa berbahagia sekali dan akan kubicarakan urusan ikatan jodoh itu dengan orang tuamu."
"Aih, Paman mengapa demikian tergesa-gesa? Kurasa, urusan perjodohan bukanlah urusan sederhana dua orang untuk selamanya di kemudian hari! Mana mungkin aku dapat menentukan sekarang? Sedangkan suheng Gu Hong Beng itu seperti apa pun aku tidak tahu...."
"Ah, bukankah engkau sudah pernah bertemu dengan dia?"
"Itu sembilan tahun yang lalu, Paman, dan aku sudah lupa lagi bagaimana rupanya. Kurasa, suheng Gu Hong Beng sendiri juga sudah lupa kepadaku...."
"Tidak, Lian-ji. Dia tidak pernah lupa, dan kurasa dia selalu menunggu keputusanmu tentang perjodohan itu."
Diam-diam Suma Lian terkejut juga mendengar ini dan ia merasa yakin bahwa pamannya ini tidak berbohong. Mungkinkah murid pamannya itu sejak ia berusia dua belas tahun telah jatuh hati kepadanya? Menggelikan!
"Biarlah aku akan memberi jawaban kalau kami sudah saling jumpa, Paman."
Mendengar ketegasan dalam suara keponakannya, Suma Ciang Bun tidak mendesak lebih jauh lalu mengalihkan percakapan ke arah gerakan para tokoh sesat yang hendak memberontak itu sehingga Sin Hong mendapat kesempatan untuk ikut bicara tanpa merasa kikuk. Atas pertanyaan Suma Ciang Bun, Sin Hong lalu bercerita tentang dirinya, tentang orang tuanya yang menjadi korban pembunuhan dan betapa dia melakukan penyelidikan yang jejaknya membawanya kepada Tiat-liong-pang pula. Ketika Suma Ciang Bun mendengar cerita Sin Hong betapa tiga orang gurunya di Istana Gurun Pasir diserbu oleh banyak datuk sesat sehingga tiga orang gurunya itu tewas, pendekar ini terkejut bukan main. Sepasang matanya terbelalak seolah-olah dia tidak percaya mendengar berita mengejutkan itu.
"Apa?" teriaknya. "Tiga orang locianpwe yang sakti itu tewas di tangan para tokoh sesat? Bagaimana hal itu mungkin terjadi? Siapakah mereka? Ceritakanlah!"
"Mereka adalah tokoh-tokoh Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw, yang bersekutu dengan Sin-kiam Mo-li dan Sai-cu Sintouw," kata Sin Hong yang selanjutnya menceritakan betapa di antara tujuh belas orang tokoh sesat yang menyerbu Istana Gurun Paisir itu, hanya tiga orang yang tidak tewas, yaitu Sin-kiam Mo-li, Thian Kong Cin jin wakil ketua Pat-kwa-kauw, dan Thian Kek Sengjin tokoh besar Pek-Lian-kauw, sedangkan empat belas orang tokoh lainnya tewas. Akan tetapi tiga orang gurunya juga tewas dalam perkelahian keroyokan itu.
"Akan tetapi, bagaimana engkau sendiri dapat lolos dari kematian, sedangkan tiga orang gurumu tewas?" Suma Ciang Bun bertanya, hatinya diliputi rasa penasaran mendengar bahwa tiga orang yang dianggapnya memiliki tingkat ilmu kependaian yang sukar dibayangkan tingginya, bahkan mendekati kebesaran nama kakeknya, Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, dapat tewas di tangan pengeroyokan orang-orang sesat.
Tan Sin Hong menghela napas panjang. Pertanyaan seperti itu selalu membuat dia merasa menyesal dan memancing datangnya rasa duka. Dengan singkat dia lalu menceritakan mengapa dia masih hidup dan mengapa dia tidak berdaya membela tiga orang gurunya ketika Istana Gurun Pasir diserbu para penjahat itu. Dan diceritakannya pula, tanpa menyinggung tentang usaha Sin-kiam Mo-li untuk merayunya tanpa hasil, betapa akhirnya dia dapat lolos dan menyelamatkan dirinya, setelah membakar istana itu dengan jenazah tiga orang gurunya berada di dalam dan ikut terbakar. Betapa selama setahun dia bersembunyi di dalam hutan untuk menyelesaikan latihannya, menguasai ilmu silat baru ciptaan tiga orang gurunya yang membuat dia tak berdaya ketika istana diserbu karena pada waktu itu dia belum menguasai Ilmu Pek-ho Sin-kun dan setiap kali mengerahkan tenaga dia akan roboh sendiri.
Setelah mendengar penjelasan Sin Hong, Suma Ciang Bun mengangguk-angguk dan dia pun menarik napas panjang. Agaknya memang sudah ditakdirkan oleh Tuhan bahwa keluarga sakti penghuni Istana Gurun Pasir harus mengalami kematian seperti itu. Buktinya, kebetulan sekali ketika marabahaya tiba, murid mereka yang mereka andalkan sedang dalam keadaan tidak berdaya. Andaikata pemuda ini sudah menamatkan ilmunya yang baru itu, tentu akan mampu membela mereka dan belum tentu mereka bertiga itu akan tewas.
"Paman, keadaan tiga orang locianpwe di Istana Gurun Pasir itu sama benar dengan nasib keluarga kakek buyutku di Istana Pulau Es. Mereka semua adalah keluarga yang sakti, memiliki ilmu silat yang amat tinggi, akan tetapi mengapa mereka semua tewas dalam tangan orang-orang jahat? Tewas dalam perkelahian?" kata Suma Lian dengan penasaran. Bukankah mereka itu adalah orang orang gagah perkasa yang selalu menentang kejahatan dan membela kebenaran dan keadilan?"
Mendengar pertanyaan ini, Suma Ciang Bun mengembangkan kedua lengannya lalu mengangkatnya ke atas, kemudian merapatkan kedua tangan di depan dada dan berkata dengan suara lirih, "Kekuasaan Tuhan menuntun segala sesuatu dan kehendak Tuhan pun terjadilah! Tiada kekuasaan lain di dunia ini mampu mengubah, mempercepat atau memperlambat setiap peristiwa yang sudah ditentukan Tuhan. Hukum Karma takkan terelakkan oleh siapapun juga. Siapa menanam dia memetik buahnya, pohon apel berbuah apel, pohon mawar berbunga mawar, pohon racun berbunga racun. Siapa bermain air akan basah, bermain api akan terbakar, bermain lumpur akan kotor. Siapa hidup di dalam kekerasan, takkan terelakkan lagi tentu akan menjadi korban kekerasan pula. Betapapun gagahnya seseorang, akan tiba saatnya dia menemukan tanding yang lebih gagah, atau sebaliknya, akan tiba saatnya di mana usianya akan menggerogoti kegagahanmu dia akan menjadi lemah. Keluarga Pulau Es dan keluarga Gurun Pasir memang terkenal sebagai keluarga yang sakti dan gagah perkasa. Justeru karena itulah maka mereka gugur di dalam kekerasan, di dalam perkelahian. Hal itu sama sekali tidak aneh, bukan, kalau kita mengingat akan Hukum Karma?"
"Akan tetapi, Locianpwe," kata Sin Hong. "Harap maafkan kalau saya lancang mencampuri bicara dan mengemukakan pendapat saya. Biarpun para guru saya itu merupakan ahli-ahli silat sehingga mereka itu tentu saja selalu mempergunakan kekerasan karena harus menentang para penjahat, namun bukankah mereka itu pembela kebenaran dan keadilan? Bukankah perbuatan mereka itu mulia dan sesuai dengan kebajikan? Akan tetapi mengapa mereka harus menerima nasib tewas di tangan kaum sesat yang jahat? Apakah hal itu dapat dikatakan sebagai hukum yang adil?"
Suma Ciang Bun tersenyum karena dari nada bicara pemuda itu, dia dapat menduga bahwa pemuda ini bukan tidak tahu, melainkan hendak mengajak dia berbincang tentang hukum yang nampaknya tidak adil itu.
"Orang muda yang gagah. Pendapatmu itu mewakili pendapat umum, akan tetapi hendaknya dimengerti benar bahwa pendapat umum bukan merupakan ukuran akan kebenaran dan keadilan kekuasaan Tuhan. Terdapat banyak rahasia tersimpan di balik semua peristiwa yang terjadi. Apapun yang terjadi di dalam kehidupan ini, sudah pasti sesuai dengan kehidupan ini, sudah pasti sesuai dengan kewajaran, tidak terlepas dari Hukum Karma yang mencerminkan keadilan kekuasaan Tuhan. Mungkin saja nampaknya tidak adil, bahkan ada kalanya suatu peristiwa dianggap janggal dan tidak adil sama sekali oleh kita, namun hal itu hanya membuktikan betapa lemah dan bodohnya kita. Akal kita, batin kita, pikiran kita, sama sekali tidak mampu menjangkau rahasia itu. Ada seorang bayi begitu terlahir sudah harus menderita, entah karena kemiskinan keluarganya, atau karena cacad badan, atau karena tertimpa bencana alam dan sebagainya. Menurut pendapat akal kita, tentu saja hal itu sama sekali tidak adil! Ada orang yang hidupnya penuh dengan kecurangan dan kejahatan, nampaknya hidup serba mewah, mulia dan senang. Sebaliknya, orang yang kita anggap berbudi mulia, baik dan dermawan, hidupnya serba kekurangan atau menderita karena penyakit yang berat dan lama. Nah, semua itu hanya sekedar bukti bahwa akal pikiran kita tidak akan mampu menguak rahasia kekuasaan Tuhan!"
"Paman, kalau begitu, apa gunanya kita membela kebenaran dan menentang kejahatan kalau hasilnya belum tentu menguntungkan kita?" Suma Lian membantah dengan hati penasaran. Mendengar bantahan keponakannya itu, Suma Ciang Bun tertawa. "Ha-haha, Suma Lian, pertanyaanmu itu mengejutkan dan mengherankan, seolah-olah engkau bukan keturunan keluarga Pulau Es saja, seolah-olah engkau bukan murid terkasih dari paman Gak Bun Beng! Kalau kita membela kebenaran dan keadilan, menentang kejahatan, dengan pamrih hasil yang menguntungkan apakah hal itu dapat disebut perbuatan gagah seorang pendekar? Ketahuilah, lahir dan matinya seorang manusia seutuhnya berada dalam kekuasaan Tuhan yang menentukan. Bagaimana mengisi kehidupan, antara kelahiran dan kematian itulah tugas hidup seorang manusia. Dan aku merasa yakin, demi keadilan Tuhan, bahwa kekuasaan yang menentukan itu tentu disesuaikan dengan mutu dan nilai kehidupan yang diisi oleh manusia sendiri. Jadi, tugas kita hanyalah selalu harus menjauhkan segala macam kebencian iri hati, pementingan diri sendiri, dan sebagainya. Sesudah itu, selesailah, karena yang lain-lain berada di tangan Tuhan dan kita harus menyerahkannya dengan penuh keimanan akan kekuasaan Tuhan."
Sin Hong menundukkan mukanya. Dia dapat merasakan kebenaran ucapan pendekar itu. Bagaimanapun juga, manusia adalah mahluk yang lemah sekali. Biarpun kebanyakan manusia merasa dirinya besar dan berkuasa, namun sesungguhnya itu hanyalah kesombongan kosong belaka. Jangankan menguasai hidup matinya, bahkan menguasai sehelai rambut pun tidak! Rambut itu tumbuh sendiri di luar kekuasaan manusia yang mengaku memilikinya. Penyerahan diri ke dalam kekuasaan Tuhanlah satu-satunya jalan tempat manusia berlindung, di samping, tentu saja, segala ikhtiar sekuatnya.
"Aku sudah mendengar akan semua itu, Paman." Suma Lian mendesak, "akan tetapi, aku tetap merasa penasaran mengapa kakek buyut dan kedua nenek buyutku di Pulau Es, juga para locianpwe di Istana Gurun Pasir, enam orang yang terkenal memiliki kesaktian dan nama mereka pernah menggemparkan dunia persilatan itu, di dalam usia tua sekali meninggal dunia secara menyedihkan, yaitu tewas di tangan orang-orang sesat. Kembali Suma Ciang Bun tersenyum. "Orang muda memang selalu ingin tahu dan penasaran. Akan tetapi sikap demikian itu baik sekali. Jangan mudah puas dan selidikilah segala sesuatu dengan seksama sampai engkau mengerti benar. Agaknya aku dapat menjawab pertanyaanmu itu, Lian-ji, karena aku dapat menyelami watak orang-orang tua yang gagah perkasa itu dan aku dapat menduga mengapa mereka itu tewas dalam perkelahian melawan kaum sesat. Kematian memang hanya satu macam saja, yaitu nyawa meninggalkan badan, akan tetapi ada berbagai macam cara kematian. Tidak ada kematian yang lebih membanggakan daripada kematian yang terjadi ketika sedang melaksanakan tugas. Tugas seorang pendekar adalah menentang kejahatan, berarti menentang golongan sesat. Agaknya itulah yang membuat para orang tua gagah itu lebih suka memilih kematian ketika mereka sedang menentang golongan sesat. Hal itu pada umumnya oleh para pendekar dianggap mati sebagai harimau, tidak mati sebagai seekor babi. Dan ini ada hubungannya dengan perputaran hukum karma tadi.
Perajurit mati dalam perang, pendekar mati dalam pertempuran melawan golongan sesat. Ini sudah tepat namanya.
"Semua keterangan Locianpwe itu sungguh membuka mata batin dan menambah pengertian saya. Terima kasih, Locianpwe," kata Sin Hong dengan pandang mata kagum. "Akan tetapi, dalam kesempatan ini saya mohon agar Locianpwe suka menerangkan kepada saya yang bodoh ini, apa sesungguhnya hakekat hidup dan mati. Mengapa kita dilahirkan, hanya untuk dimatikan pada akhirnya? Apa artinya semua ini Locianpwe?"
Suma Ciang Bun tersenyum. Persis seperti yang sering kali direnungkan ketika mulai menyendiri dalam pertapaan! "Orang muda yang gagah. Siapakah kita ini yang akan mampu membicarakan rahasia yang hanya diketahui Tuhan? Segala bentuk kelahiran di dunia pasti akan diakhiri dengan kematian. Hal ini sudah terbukti di atas bumi ini. Kalau ada kelahiran tanpa kematian, maka kelahiran seperti itu tentu terjadi bukan di dunia ini. Keadaan yang menyebutnya Sorga atau Nirwana atau sudah bersatu dengan Tuhan. Lebih tepat kalau kita bicara tentang kehidupan di atas dunia ini, kehidupan kita bersama yang sama kita rasakan. Kita hanya dapat bicara tentang pengalaman, hal-hal yang kita ketahui dari pengalaman orang lain. Sebelum kita terlahir, kita ini tidak ada. Kita lalu ada setelah terlahir dan hidup. Kemudian, setelah mati, kembali keadaan kita lenyap dan kembali menjadi tidak ada! Nah, keadaan tidak ada itu, sebelum terlahir dan sesudah mati, bukanlah urusan kita, melainkan urusan yang ditangani oleh kekuasaan Tuhan. Bukan hak maupun kewajiban kita untuk menyelidikinya, pula, bagaimana kita dapat menyelidiki sesuatu yang berada di luar jangkauan kemampuan akal budi dan pikiran kita? Lebih baik kita bicarakan tentang keadaan yang ada saja, yaitu keadaan hidup kita ini. Hak kita adalah menghayati kehidupan ini sepenuhnya, kewajiban kita adalah mengisi kehidupan ini sebagaimana mestinya, memupuk kebaikan dan menjauhi kejahatan, tanpa pamrih mendapatkan upah. Adapun semua penilaian tentang prilaku kita semasa hidup, kita serahkan saja kepada Tuhan!"
Kalau Sin Hong mendengarkan dengan penuh hormat. Suma Lian sebaliknya menjadi kagum. Dulu, telah beberapa kali ia mendengar pamannya ini bicara, akan tetapi alangkah bedanya cara pamannya bicara. Kini pamannya demikian pasrah, demikian dekat dengan Tuhannya. Agaknya itulah hasil pertapaannya, hasil perenungan di dalam samadhinya, dan Suma Lian menjadi kagum, juga terharu. Dari ayah ibunya ia sudah banyak mendengar tentang Suma Ciang Bun, tentang keadaannya yang luar biasa, kecondongannya untuk menyukai sesama jenisnya, yaitu laki-laki. Karena itu sampai setua itu dia tidak pernah menikah dan lebih suka hidup menyendiri di lereng Tapa-san yang sunyi itu.
Setelah bercakap-cakap dan menyerahkan Yo Han untuk dititipkan sementara waktu di tempat tinggal Suma Ciang Bun, Sin Hong dan Suma Lian lalu berpamit untuk memulai dengan perjalanan mereka melakukan penyelidikan terhadap Tiat-liong-pang yang kabarnya menghimpun para tokoh hitam untuk memberontak itu. Mereka pun ingin berusaha membebaskan ayah ibu Yo Han yang menjadi tawanan para tokoh hitam itu, di samping kepentingan Sin Hong yang hendak menyelidiki rahasia pembunuhan ayahnya, juga untuk menentang Sin-kiam Mo-li yang dia tahu amat jahat. Yo Han suka tinggal untuk sementara waktu dengan kakek yang amat ramah dan halus budi itu, apalagi karena Sin Hong berjanji bahwa setelah selesai tugasnya, dia pasti akan datang menjemput muridnya.
***
Sementara itu, Tiat-liong-pang kini mulai memperkuat diri, menerima banyak anggauta baru. Bahkan sedikit demi sedikit, orang-orang suku Mongol anak buah Agakai, mulai menyusup masuk lewat perbatasan bergabung dengan Tiat-liong-pang. Semua anak buah itu mulai dilatih perang-perangan, dan para tokoh sesat yang menjadi pembantu Siangkoan Lohan, sibuk disebar ke selatan untuk menghimpun kekuatan dan membujuk perkumpulan-perkumpulan untuk mendukung rencana pemberontakan mereka.
Bi-kwi belum dipercaya untuk bertugas keluar. Ia ditugaskan untuk ikut melatih pasukan-pasukan kecil yang terdiri dari anak buah Tiat-liong-pang yang kini telah menjadi semacam benteng. Tentu saja Bi-kwi tidak berdaya selama suaminya masih berada di situ dan selalu diawasi. Ia akan dapat mencoba untuk membebaskan diri, mengandalkan kepandaiannya walaupun di situ masih terdapat banyak orang pandai, akan tetapi sukar baginya untuk menjamin keselamatan suaminya. Masih baik bahwa mereka berdua mendapatkan sebuah kamar yang cukup luas, walaupun setiap malam kamar itu tidak pernah sunyi dari penjaga yang mengepungnya.
Ketika Bi-kwi pada malam hari memberitahukan kepada suaminya, Yo Jin, akan peristiwa kematian Pouw Ciang Hin, kakak Pouw Li Sian, mengemukakan dugaannya bahwa kakak gadis itu tewas secara aneh dan kemungkinan besar dibunuh oleh Siangkoan Liong dan kaki tangannya. Yo Jin yang berwatak gagah dan jujur itu lalu menjadi marah.
"Huh, orang-orang macam apa yang kaubantu ini? Kita tidak boleh tinggal diam saja! Engkau harus memberitahukan hal itu kepada nona Pouw Li Sian. Kalau tidak kaulakukan hal itu, sama saja dengan membantu mereka melakukan pembunuhan keji terhadap kakak gadis itu!"
Bi-kwi dapat menyetujui keinginan suaminya itu. Ia pun merasa muak melihat sepak terjang Siangkoan Liong dan ia yang bermata tajam dan berpengalaman luas itu segera dapat melihat apa yang sama sekali tidak dapat diduga oleh Pouw Li Sian yaitu bahwa dalam peristiwa kematian kakak gadis itu, terdapat hal-hal yang tidak wajar. Maka ketika mendapat kesempatan bertemu berdua saja dengan Li Sian, Bi-kwi lalu berbisik, "Nona Pouw, mari ke sini, aku ingin membicarakan sesuatu yang penting mengenai kematian kakakmu."
Li Sian mengenal Bi-kwi dari cerita Siangkoan Liong. Pemuda itu memberitahu kepadanya bahwa Bi-kwi adalah seorang tokoh sesat yang amat jahat dan licik, maka ia harus berhati-hati terhadap wanita cantik itu. Akan tetapi, ketika Bi-kwi menyebut tentang kematian kakaknya, ia pun segera mengangguk dan mengikuti wanita itu ke sebuah sudut bangunan di mana mereka tersembunyi dan mudah melihat kalau ada orang lain datang menghampiri tempat itu.
"Apakah yang hendak kaubicarakan dengan aku, Enci?" tanya Li Sian dan setelah kini mereka berdiri berhadapan dekat dan ia memperhatikan wajah wanita itu, ia melihat betapa wajah yang cantik itu membayangkan kekhawatiran dan juga sinar matanya nampak lembut, bukan seperti mata seorang yang berwatak jahat.
"Nona Pouw, aku merasa kasihan sekali kepadamu dan tidak ingin melihat engkau akan tertipu semakin jauh. Ketika kita semua menyaksikan kematian kakakmu, perwira Pouw Ciang Hin, di dalam hutan itu, aku pun ikut menyaksikan dan aku melihat suatu hal yang amat penting yang menunjukkan dengan jelas kepadaku bahwa kakakmu itu sama sekali tidak tewas karena berkelahi melawan perwira kerajaan."
Pouw Li Sian mengerutkan alisnya dan memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik ke arah wajah wanita cantik itu. Ia teringat akan pesan Siangkoan Liong bahwa ia harus berhati-hati terhadap wanita yang amat jahat dan licik. Siapa tahu, wanita ini hendak mempergunakan suatu tipu muslihat yang licik terhadap dirinya.
"Apa maksudmu yang sebenarnya, Enci? Sudah jelas bahwa mendiang kakakku itu tewas dalam perkelahian dan lawannya juga tewas. Apa buktinya dugaanmu itu bahwa dia tidak tewas dalam perkelahian melawan perwira kerajaan itu?"
"Memang tadinya aku pun percaya akan keterangan mereka bahwa kakakmu mati bersama lawannya berkelahi. Akan tetapi ketika aku memperhatikan lukanya, dan melihat betapa perwira kerajaan yang menjadi lawannya itu mati sambil memegang senjatanya, yaitu sebatang golok, aku pun menjadi curiga. Aku mendekat dan melihat keadaan luka pada kakakmu yang membawa kematian itu dan aku pun yakin setelah melihat dari depan dan belakang, bahwa kakakmu itu tewas bukan oleh perwira yang menjadi lawannya itu."
"Apa buktinya? Coba terangkan yang jelas," kata Li Sian, jantungnya berdebar tegang walaupun ia belum percaya benar dan masih mencurigai wanita ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar