Tentu saja Leng Ek Cu tidak sudi diperlakukan demikian. Andaikata tadi Sung Bi Tosu tidak berlaku sembrono dan tidak memandang rendah lawannya seperti halnya Leng Ek Cu sekarang, belum tentu dia dapat dirobohkan sedemikian mudahnya oleh Bo Wi Sianjin yang memiliki Ilmu Katak Sakti. Leng Ek Cu amat hati-hati, dapat menduga bahwa lawannya, pendeta asing ini, memiliki kepandaian yang luar biasa dan aneh. Karena itu dia cepat menarik pedangnya yang dikelebatkan merupakan lingkaran membabat kedua lengan lawan. Gerakan ini dia lakukan dengan pengerahan tenaga Iweekang.
"Bagus!" Maharsi berseru gembira. Memang demikianlah wataknya. Makin tinggi tingkat kepandaian lawan, makin gembiralah hatinya untuk melayaninya. Ilmu silatnya yang aneh, sebagian besar mengandalkan tenaga sinkang mujijat yang bercampur dengan ilmu sihir, namun harus diakui bahwa tubuhnya yang jangkung itu dapat bergerak lamas dan lincah, sungguhpun kedua kakinya jarang sekali dipindahkan dengan cara diangkat, hanya digeser-geserkan dengan menggerakkan kedua tumit.
Sepasang lengannya yang panjang itu bagaikan sepasang ular hidup, tapi setiap gerakan mengandung tenaga dahsyat dari ilmu pukulan sakti Pai-san-jiu. Makin lama makin cepat kedua lengan bergerak, kini kedua tangan dikembangkan jari-jarinya, sepulun buah jari itu bergerak-gerak seperti ular-ular kecil dan terbentanglah jari-jemari yang menggeliat-geliat mengaburkan pandangan mata, sepuluh batang jari itu bergerak-gerak cepat menjadi ratusan dan dari jari-jari itu menyambar hawa pukulan Pai-san-jiu!
Inilah ilmu yang hebat! Leng Ek Cu, tokoh tingkat dua dari Kong-thong-pai yang memiliki kiam-hoat pilihan, berusaha mengurung dirinya dengan selimut sinar pedangnya, namun dia hanya dapat bertahan sampai dua puluh lima jurus saja. Pandang matanya kabur, sinar pedangnya makin membuyar dihantam hawa pukulan yang merayap masuk antara sinar pedangnya bagaikan titik-titik air hujan. Pertahanannya makin lemah, kepalanya pusing dan tubuhnya bermandi peluh.
Maharsi makin kuat saja, kini hawa pukulan yang dapat menyelinap di antara sambaran sinar pedang makin membesar tenaganya, mengenai tubuh Leng Ek Cu bagaikan jarum-jarum beracun menusuk-nusuk. Pakaian tosu Kong-thong-pai itu sudah bolong-bolong, kulit tubuhnya yang terkena hawa pukulan mengakibatkan titik-titik hitam dan makin lama pukulan-pukulan yang sebetulnya hanya merupakan sentilan-sentilan jari tangan yang sepuluh buah banyaknya itu makin gencar datangnya.
Leng Ek Cu seorang gagah sejati, sedikit pun tidak mengeluh walau rasa nyeri pada tubuhnya hampir tak tertahankan lagi. Akhirnya dia melakukan serangan balasan yang nekat, pedangnya membacok dengan disertai tenaga sepenuhnya, tubuhnya seakan-akan dia tubrukan dengan tubuh lawan agar bacokannya tidak dapat dihindarkan Maharsi. Maharsi melengking tinggi, kedua tangannya bergerak dan dari atas dia mendahului lawan dengan pukulan Pai-san jiu sekerasnya.
"Hukkk!" Demikian bunyi yang keluar dari mulut Leng Ek Cu. Tubuhnya sejenak berdiri tegak, seakan-akan tubuh itu kemasukan aliran listrik dari sambaran halilintar kemudian tubuh yang tegak itu menggigil, makin lama makin keras dan robohlah Leng Ek Cu dengan pedang di tangan. Tubuhnya tetap kaku tapi sudah tak bernafas lagi!
Dapat dibayangkan betapa marah dan sedihnya hati Thian Ti Losu melihat kejadian ini. Dua orang tosu itu, tokoh Kun-lun-pai dan tokoh Kong-thong-pai, keduanya adalah orang-orang gagah yang melakukan perjalanan bersamanya. Sekarang mereka berdua tewas dalam keadaan yang amat menyedihkan, semua gara-gara urusan dia dengan suhengnya, Bhong Hwesio yang murtad. Kalau tidak ada urusan Bhok Hwesio, kiranya tidak akan terjadi peristiwa ini dan kedua orang temannya itu tidak akan mengorbankan nyawa.
"Bhong-suheng, benar-benar kau telah tersesat jauh sekali", serunya dengan suara keras penuh kemarahan. "Kau membiarkan teman-temanmu membunuh dua orang tosu tidak berdosa dari Kun-lun dan Kong-thong. Bhok-suheng, kau insyaflah, jauhkan diri dari pergaulan sesat dan mari pulang bersama siauwte, menghadap twa-suheng Thian Seng Losu dan menebus dosa menghadap perjalanan ke alam asal!"
Namun Bhok Hwesio yang sudah menyimpan rasa sakit hati dan juga penasaran terhadap Siauw-lim-pai, mana mau mendengar nasihat ini? la membuka kedua matanya dan menegur, "Thian Ti Losu, kau dan aku bukan saudara bukan teman bukan segolongan lagi, mengapa banyak cerewet? Mengingat akan perkenalan kita yang sudah puluhan tahun, mau aku mengampunimu dan lekas kau pergi dari sini jangan menggangguku lagi."
"Bhok Hwesio, kau benar-benar tidak mau insyaf? Terpaksa pinceng mentaati perintah twa-suheng dan menjalankan peraturan Siauw-lim-pai yang kami junjung tinggi. Berlututlah!" Thian Ti liosu mengangkat tangan kanan tinggi di atas kepala sedangkan tangan kirinya dengan jari-jari terbuka ditaruh miring berdiri di depan dada. Inilah pasangan kuda-kuda yang sudah biasa dilakukan oleh seorang tokoh Siauw-lim-pai untuk memberi hukuman kepada murid murtad. Mesti menurut aturan, murid-murid yang sudah tidak diakui lagi oleh Siauw-lim-pai menerima hukuman paling berat, yaitu dimusnahkan kepandaiannya sehingga ia akan menjadi seorang pendeta cacad di dalam tubuh yang tak dapat disembuhkan lagi, membuatnya menjadi seorang yang lemah dan tidak memiliki sinkang lagi.
"Hu-huh-huh, siapa sudi mendengar ocehanmu?" bentak Bhok Hwesio marah.
"Bhok-taisuhu, kenapa begini sabar? Biarlah aku mewakilimu memberi hajaran kepada si sombong ini!" Bo Wi Sianjin si pendek gendut membentak marah, lalu melompat maju menghadapi Thian Ti Losu, tubuhnya berjongkok dan kedua lengannya didorongkan ke depan sambil mengeluarkan bunyi "kok-kok" dari kerongkongannya.
"Omitohud, pendeta sesat!" Thian Ti Losu mengeluarkan teguran dan dia pun mendorongkan kedua lengannya ke depan. Karena si pendek itu mendorong dan bawah ke atas, untuk mengimbangi tenaganya dari arah yang berlawanan, hwesio Siauw-lim ini mendorong dari atas ke bawah. Tampaknya perlahan saja dua pasang telapak tangan itu bertemu, akan tetapi akibatnya hebat. Tubuh Thian Ti Losu mencelat ke atas sampai kedua kakinya meninggalkan tanah setinggi setengah meter, sedangkan tubuh Bo Wi Sianjin melesak ke dalam tanah sampai sepinggang dalamnya! Ini saja sudah membuktikan bahwa Ilmu Katak Sakti yang mengandung tenaga sinkang luar biasa itu ternyata tidak dapat melawan kekuatan si hwesio tokoh Siauw-lim-pai.
"Bi Wi Sianjin, biar pinceng bereskan sendiri bocah ini!" kata Bhok Hwesio yang menggerakkan kedua kakinya melangkah maju menghampiri sutenya. Mereka berdiri berhadapan dan saling pandang seperti dua ekor jago tua sedang mengukur kekuatan dan keberanian hati sebelum mulai bertanding. Adapun Maharsi cepat menghampiri Bo Wi Sianjin dan sekali kakek jangkung ini menyendal tangan temannya, tokoh Mongol itu sudah "tercabut" keluar dari tanah. Wajahnya menjadi merah karena dalam segebrakan tadi saja sudah dapat dibuktikan bahwa ilmu kepandaian tokoh Siauw-lim-pai itu masih terlampau kuat baginya. Diam-diam dia harus mengakui kehebatan Siauw-lim-pai yang bukan kosong, terbukti dengan dua orang hwesio ini sudah cukup menyatakan bahwa tokoh-tokoh Siauw-lim-pai memang hebat.
Sementara itu, Bhok Hwesio dan Thian Ti Losu sudah mulai bertanding. Karena maklum betapa lihainya hwesio murtad itu, Thian Ti Losu menyerang dengan senjata tongkatnya. Begitu bergebrak, dia telah mempergunakan ilmu tongkatnya yang amat kuat. Tongkat itu mengeluarkan bunyi mengaung-aung dan ujungnya tergetar lalu pecah menjadi banyak sekali, langsung menyerang bagian-bagian tubuh yang berbahaya. Bo Wi Sianjin dan Maharsi memandang kagum dan penuh perhatian. Sering sudah mereka menyaksikan ilmu tongkat dari Siauw-lim-pai yang tersohor dimainkan orang, akan tetapi baru kali ini melihat permainan tongkat demikian dahsyatnya.
Bhok Hwesio sendiri pun maklum akan kelihaian sutenya ini, dan tentu saja sebagai tokoh Siauw-lim-pai, dia mengenal baik ilmu tongkat dari Siauw-lim, maka dengan tenang namun tangkas dia melayani tongkat itu dengan kedua ujung lengan bajunya. Thian Ti Losu baru merasa terkejut ketika gerakan tongkatnya menyeleweng setiap kali bertemu dengan ujung lengan baju Bhok Hwesio. Hal ini menandakan bahwa bekas suhengnya itu luar biasa kuatnya dan dia kalah banyak dalam hal tenaga sakti. Selain ini, dia melihat gerakan suhengnya amat aneh, biarpun dasar-dasarnya masih memakai dasar Ilmu Silat Siauw-lim-pai yang kokoh kuat, namun perkembangannya berubah banyak seakan-akan jurus-jurus Siauw-lim-pai yang tidak asli lagi.
Memang demikianlah halnya. Selama dua puluh tahun menjalani hukumannya sambil bertapa di dalam kamar, Bhok HwesiO telah menciptakan ilmu pukulan dengan kedua lengan bajunya, yang sedianya dia ciptakan untuk menghadapi musuh-musuhnya yang lihai. Ilmu pukulan ini dasarnya memang ilmu Silat Siauw-lim-pai yang dia pelajari semenjak kecil, tetapi perkembangannya dia ciptakan sendiri, khusus untuk melayani ilmu silat yang mengandung penggabungan hawa Im dan Yang, karena kedua orang musuh besarnya, Pendekar Buta dan Raja Pedang, adalah ahli-ahli dalam hal ilmu silat gabungan tenaga itu. Kini, menghadapi bekas sutenya dia malah mendapat kesempatan untuk sekali lagi, setelah tadi mencobanya atas diri Bo Wi Sianjin dan Maharsi, menggunakan dan mencoba ilmu ciptaannya itu.
Kepandaian Bhok Hwesio memang hebat. Hawa sinkang di dalam tubuhnya menjadi berlipat kuatnya setelah dia bertapa selama dua puluh tahun, berlatih setiap hari dengan tekun. Memang dasar latihan samadhi dan peraturan bernafas dari Siauw-lim-pai amatlah kuatnya, berasal dari sumber yang bersih dan diperuntukkan bagi para pendeta Buddha untuk menguatkan batin dan mencapai kesempurnaan. Dan agaknya dalam hal ini, Bhok Hwesio sudah mencapai tingkat yang amat tinggi, sungguhpun setelah sampai pada batas yang tinggi, ilmunya menjadi menyeleweng dari garis kesempurnaan karena dikotori oleh rasa dendam dan sakit hati sehingga tak dapat menembus rintangan yang dibentuk oleh nafsunya sendiri.
Andaikata Bhok Hwesio tidak dikotori oleh dendam dan nafsu, kiranya dia akan dapat mencapai tingkat yang lebih tinggi daripada yang pernah dicapai oleh tokoh-tokoh Siauw-lim-pai karena memang pada dirinya terdapat bakat yang amat besar.
Thian Ti Losu baru sadar akan kehebatan bekas suhengnya ini setelah bertanding selama lima puluh jurus. la terdesak hebat dan sinar tongkatnya selalu terbentur membalik oleh hawa pukulan lawan yang kuat sekali. Mamun, bagi tokoh Siauw-lim-pai ini, membela kebenaran merupakan tugas hidup dan merupakan pegangan sehingga die tidak gentar menghadapi apa pun. Mati dalam membela kebenaran adalah mati bahagia. la mengerahkan tenaga dan memutar tongkatnya lebih cepat, berusaha sekuatnya untuk menghancurkan benteng hawa pukulan yang menghimpitnya itu.
Dengan gerakan melingkar, tongkatnya melepaskan diri dari tekanan ujung lengan baju, lalu dari samping dia mengirim tusukan ke arah lambung. Gerakan ini boleh dikatakan nekat karena dalam menyerang, dia membiarkan dirinya tak terlindung. Jika lawannya membarengi dengan serangan balasan, biarpun tongkatnya akan mencapai sasaran dia sendiri tentu akan celaka.
Bhok Hwesio mengeluarkan dengus mengejek. la tidak mempergunakan kesempatan itu untuk balas menyerang, melainkan cepat sekali kedua ujung lengan baju dia sentakkan ke samping dan di lain saat tongkat itu telah terlibat oleh ujung lengan baju kedua menotok ke arah lehernya.
Thian Ti Losu kaget sekali, mengerahkan tenaga untuk merenggut lepas tongkatnya. Namun hasilnya sia-sia, tongkatnya seperti telah berakar dan tak dapat dicabut kembali. Sementara itu, ujung lengan baju kiri Bhok Hwesio seperti seekor ular hidup sudah meluncur dekat. Terpaksa sekali, untuk menyelamatkan dirinya, Thian Ti Losu melepaskan tongkatnya dan melempar tubuh ke belakang sambil bergulingan. la selamat dari totokan maut, tetapi tongkatnya telah dirampas lawan. Bhok Hwesio tertawa pendek, tangannya bergerak dan..... tongkat itu amblas ke dalam tanah sampai tidak kelihatan lagi!
"Thian Ti Losu, terang kau bukan lawanku. Sekali lagi, kau pergilah dan jangan menggangguku lagi, aku maafkan kekurangajaranmu untuk terakhir kali mengingat bahwa kau hanya menjalankan perintah. Nah, pergilah!"
Akan tetapi, mana Thian Ti Losu sudi mendengarkan kata-kata ini? Melarikan diri dari tugas hanya karena takut kalah atau mati adalah perbuatan pengecut dari akan mencemarkan nama baiknya dan terutama sekali, nama besar Siauw-lim-pai. Mati dalam menunaikan tugas jauh lebih mulia daripada hidup sebagai pengecut yang mencemarkan nama baik Siauw-lim-pai. Dan Bhok Hwesio bekas suhengnya, menganjurkan dia menjadi pengkhianat dan pengecut. Thian Ti Losu menengadahkan mukanya ke atas, tertawa bergelak lalu mengerahkan seluruh Iweekangnya dan di lain saat dia telah menerjang maju dengan kepala yang mengepulkan uap di depan, menubruk Bhok Hwesio.
Inilah jurus mematikan yang berbahaya bagi lawan dan diri sendiri! Karena jurus seperti ini, yang menggunakan kepala untuk menghantam tubuh lawan, merupakan tantangan untuk mengadu tenaga terakhir untuk menentukan siapa harus mati dan siapa akan menang. Kalau dielakkan, hal ini akan menunjukkan kelemahan yang diserang, tanda bahwa dia tidak berani menerima tantangan adu nyawa, dan bagi seorang jagoan, apalagi seorang tokoh besar seperti Bhok Hwesio, tentu saja merupakan hal yang akan memalukan sekali.
"Huh, kau keras kepala!" ejek Bhok Hwesio sambil berdiri tegak, perutnya yang gendut besar ditonjolkan ke depan. Bagaikan seekor lembu mengamuk, Thian Ti Losu menyeruduk ke depan, kepalanya diarahkan perut bekas suhengnya.
"Cappp!" Kepala hwesio itu bertemu dengan perut suhengnya dan menancap atau lebih tepat amblas ke dalam ketika perut itu mempergunakan tenaga menyedot. Hebatnya, tubuh Thian Ti Losu lurus seperti sebatang kayu balok. Kedua tangannya bergerak hendak memukul atau mencengkeram, namun Bhok Hwesio yang sudah siap mendahuluinya, mengetuk kedua pundaknya. Terdengar suara tulang patah dan kedua lengan Thian Ti Losu menjadi lemas seketika, tergantung di kedua pundak yang telah patah sambungan tulangnya. Bhok Hwesio meneruskan gerakan tangannya. Tiga kali dia mengetuk punggung Thian Ti Losu dan tubuh yang tegak lurus itu menjadi lemas, tanda bahwa tenaganya lenyap. Adapun kepala tokoh Siauw-lim-pai itu masih menancap di "dalam" perut Bhok Hwesio.
"Nah, pergilah!" seru Bhok Hwesio. Perutnya yang tadinya menyedot itu dikembungkan dan..... tubuh Thian Tl Losu yang sudah lemas itu terlempar ke belakang sampai lima meter lebih jauhnya, roboh di atas tanah dalam keadaan setengah duduk. la maklum apa yang telah menimpa dirinya. Bhok Hwesio sudah melakukan tindakan yang amat kejam, bukan membunuhnya melainkan mematahkan tulang kedua pundak, tulang punggung dan menghancurkan saluran hawa sakti di punggung sehingga mulai saat itu dia tidak akan mungkin lagi mempergunakan Iweekang atau sinkang dan menjadi seorang tapa daksa selama hidupnya!
"Manusia keji....." katanya terengah-engah menahan nyeri akan tetapi matanya masih memandang tajam, "bunuh saja aku sekalian....."
"Huh-hu-huh, Thian Ti Losu. Kau benar-benar seorang yang tak kenal budi. Aku sengaja tidak membunuhmu agar kau dapat kembali ke Siauw-lim-pai dan membuktikan bahwa kau seorang yang setia dan dapat menunaikan tugas sampai batas kemampuan terakhir. Dan kau masih mengomel?"
"Lempar saja dia ke jurang!" kata Bo Wi Sianjin yang masih merasa penasaran dan marah karena tadi dia terbanting masuk ke dalam tanah oleh tokoh Siauw-lim-pai itu.
"Heeeiii.....! Mana dia.....??"
Seruan Maharsi itu membuat Bhok Hwesio dan Bo Wi Sianjin menengok. Baru sekarang mereka teringat akan diri gadis cucu Raja Pedang ketua Thai-san-pai itu.
"Wah, dia melarikan diri. Hayo kejar, dia penting sekali harus kita tawan!" seru Bhok Hwesio dan ketiga orang kakek ini segera meloncat dan lenyap dari tempat itu mengejar Lee Si, meninggalkan Thian Ti Losu yang hanya dapat memandang dengan hati mendongkol. la ditinggal dalam keadaan cacad, bersama mayat dua orang temannya. Sung Bi Tosu tokoh Kun-lun-pai dan Leng Ek Cu tokoh Kong-thong-pai.
"Ke manakah perginya Lee Si? Mengapa betul dugaan Bhok Hwesio tadi. Ketika gadis ini melihat bahwa di antara para kakek sakti itu timbul pertengkaran, ia maklum bahwa kehadirannya di situ amat berbahaya dan bahwa saat itu merupakan kesempatan baik sekali baginya. Diam-diam ia menyelinap pergi pada saat pertandingan pertama terjadi. Setelah menyelinap di antara pepohonan dia lalu berlari cepat sekali, sengaja mengambil jalan melalui hutan-hutan lebat.
Sepuluh hari kemudian, Lee Si yang kali ini berlari menuju ke timur tanpa disengaja, tiba di sebuah kota. Di tempat ini barulah ia mendapat kenyataan dari keterangan yang ia dapat bahwa selama ini ia telah salah jalan dan tersesat amat jauh. Kota ini adalah Kong-goan, sebuah kota di Propinsi Secuan sebelah utara, cukup besar dan ramai, di lembah Sungai Cia-ling. Karena ketika tiba di kota ini hari sudah menjelang senja, setelah mendapatkan keterangan itu Lee Si lalu menyewa sebuah kamar di rumah penginapan yang kecil tapi cukup bersih. Sehabis makan, ia berjalan keluar dari kamarnya, terus ke depan rumah penginapan dengan maksud hendak keliling kota.
Tiba-tiba ia mengangkat muka dan hatinya berdebar. Entah apa sebabnya, bertemu pandang dengan seorang pemuda yang kebetulan lewat di depannya, hatinya berdebar dan mukanya terasa panas. Lee Si bingung dan heran sendiri. Pemuda itu tampan sekali, mukanya putih dan halus seperti muka wanita, alisnya hitam tebal, pakaiannya sederhana saja akan tetapi tidak menyembunyikan tubuhnya yang kuat dan tegap, gerak-geriknya jelas membayangkan "isi", yaitu bahwa orang muda ini tentu memiliki kepandaian.
Agaknya yang kemasukan aliran "stroom" aneh bukan hanya Lee Si karena pemuda itu yang tadinya berjalan dengan kepala menunduk, tiba-tiba mengangkat muka memandang Lee Si, malah setelah lewat, beberapa kali dia menengok sehingga dua pasang mata bertemu dan sinarnya seakan-akan menembus jantung!
Sejenak Lee Si berdiri termenung, memeras otak untuk mengingat-ingat di mana ia pernah bertemu dengan pemuda tadi dan mengapa ia menjadi tertarik seperti ini. Akan tetapi tetap saja ia tidak dapat ingat di mana dan bila ia pernah melihat wajah itu, wajah yang seakan-akan tidak asing baginya dan yang membuat darah di tubuhnya berdenyut lebih cepat dari biasanya. Akan tetapi setelah melihat betapa pemuda itu beberapa kali menengok memandangnya timbul kemarahan di hati Lee Si. Betapapun juga, pemuda itu kurang ajar, berani memandanginya seperti itu. Selain kurang ajar juga mencurigakan.
Lee Si cepat memasuki kembali kamarnya, mengambil pedangnya dan tak lama kemudian tubuhnya sudah berkelebat di atas genteng yang mulai gelap dan langsung mengejar ke arah perginya pemuda tadi. Gerakannya cepat dan gesit sekali dan sebentar saja ia melihat pemuda itu berjalan perlahan melalui jalan kecil yang gelap, kemudian terus keluar kota sebelah timur.
Siapakah pemuda tampan itu? Bukan pemuda biasa. Pemuda itu adalah Kwa Swan Bu, putera tunggal Pendekar Buta Kwa Kun Hong. Telah lama sekali kita meninggalkan Pendekar Buta dan anak isterinya. Setelah suami isteri dan putera mereka ini pindah kembali ke tempat lama, yaitu di Liong-thouw-san, Swan Bu tidak begitu dimanja lagi seperti ketika dia berada di Hoa-san. la amat tekun berlatih ilmu kepandaian di bawah bimbingan ayah bundanya, terutama ayahnya.
Pada suatu hari, pagi-pagi sekali seperti biasa, Swan Bu turun dari puncak Liong-thouw-san dan pergi ke lereng sebelah kanan di mana terdapat jembatan tambang yang menghubungkan Liong-thouw-san dengan dunia luar. la duduk di atas batu besar dan memandang ke timur. Sudah menjadi kesukaan Swan Bu untuk menanti munculnya matahari yang merah dan besar. Kadang-kadang dia memandang dengan hati penuh rindu, bukan rindu kepada matahari melainkan kepada dunia ramai. Bagi seorang pemuda seperti dia, tentu saja tinggal di puncak Liong-thouw-san hanya dengan ayah bundanya, merupakan keadaan yang kadang-kadang menyiksanya, tersiksa oleh kesunyian dan rindu akan keramaian dunia.
Tentu saja Kwa Kun Hong dan isterinya, Kwee Hui Kauw, maklum dan dapat merasakan kesunyian hidup putera mereka, dan maklum betapa besar hasrat hati Swan Bu untuk meninggalkan puncak dan merantau di dunia ramai. Akan tetapi, mereka selalu melarangnya dengan dalih bahwa tingkat kepandaiannya masih jauh dari cukup untuk dijadikan bekal merantau di dunia ramai karena di sana terdapat banyak sekali penjahat-penjahat yang berilmu tinggi.
Selagi Swan Bu duduk termenung sambil menikmati bola merah besar yang mulai tampak muncul dari balik puncak sebelah timur, tiba-tiba dia dikejutkan oleh sesosok bayangan manusia yang bergerak cepat meloncat ke sana ke mari. Jelas bahwa orang itu datang mendaki puncak itu yang memang tidak mudah dilalui. Swan Bu tetap duduk tak bergerak, memandang penuh perhatian. Dari jarak sejauh itu, dan dengan cuaca pagi yang masih remang-remang, dia tidak dapat mengenal siapa adanya orang yang datang ini. Terang bukanlah penduduk di sekitar Pegunungan Liong-thouw-san, karena tidak ada penduduk gunung yang dapat bergerak secepat itu. Timbul kegembiraan di hati Swan Bu. Tentu seorang di antara anak murid Hoa-san-pai! Siapa lagi kalau bukan orang Hoa-san-pai yang datang berkunjung? Hatinya gembira karena semua anak murid Hoa-san-pai telah dia kenal baik.
Swan Bu melihat betapa orang itu meloncat ke atas jembatan tambang. Sebetulnya bukanlah jembatan, melainkan sehelai tambang yang direntang dari seberang jurang dan untuk melalui "jembatan" ini, orang harus memiliki kepandaian dan ginkang. Sekali saja terpeleset, mulut jurang yang menganga lebar mengerikan telah menanti di bawah untuk menelan lenyap tubuh si penyeberang yang jatuh!
Swan Bu dapat melihat betapa tambang itu bergoyang sedikit ketika orang tadi meloncat di atasnya dan kini berlari melalui tambang. Bergoyangnya tambang ini saja sudah cukup dijadikan ukuran oleh Swan Bu bahwa si pendatang ini belumlah begitu sempurna ginkangnya. Teringat dia betapa ibunya melatih ginkang dan tambang inilah yang dijadikan ukuran. Selama dia belum dapat berlari-lari di atas tambang tanpa menggoyangkan tambang itu sedikit pun juga, dia diharuskan terus berlatih! Tentu saja sekarang dia dapat berlari-lari di atas tambang itu tanpa menggoyangkan tambang itu sama sekali.
Setelah orang itu datang dekat, Swan Bu terheran-heran. Orang itu adalah seorang pemuda, sebaya dengannya. Seorang pemuda yang tampan, pakaiannya indah, pedang yang bersarung pedang indah tergantung di pinggang, kepalanya ditutup sebuah topi lebar yang dihias sehelai bulu merak, membuat wajahnya tampak makin tampan. Yang membuat Swan Bu terheran-heran adalah bahwa dia sama sekali tidak mengenal orang ini. Orang ini bukanlah anak murid Hoa-san-pai! la cepat berdiri dan menghadang di situ.
Pemuda itu setelah melompat ke seberang setelah melalui jembatan tambang, melihat Swan Bu dan cepat dia menghampiri. Wajahnya yang tampan itu berseri dan mulutnya tersenyum. Cepat dia mengangkat kedua tangan memberi salam sambil berkata,
"Kalau tidak salah dugaanku, saudara ini adalah Kwa Swan Bu, putera dari paman Kwa Kun Hong, bukan?"
Kening Swan Bu berkerut dan dia menjadi makin curiga, akan tetapi dengan hati tabah dia menjawab, "Dugaanmu betul. Siapakah kau dan apa maksudmu mendaki puncak Liong-thouw-san?"
Pemuda itu tersenyum, tidak marah oleh sikap Swan Bu yang tidak manis. "Aku Bun Hui dari Tai-goan, ayahku adalah sahabat baik ayuhmu."
"Ayahmu siapakah? She Bun.....? Apakah ada hubungannya dengan Bun Lo sianjin ketua Kun-lun-pai?"
"Beliau adalah kakekku!" seru Bun Hui gembira. "Ayahku adalah Jenderal Bun Wan yang bertugas di Tai-goan, dengan ayahmu terhitung sahabat baik."
Swan Bu mengangguk-angguk. Tahulah dia sekarang siapa adanya pemuda tampan berpakaian indah dan mewah tetapi sikapnya ramah dan sederhana ini. Tentu saja dia sudah banyak mendengar tentang tokoh-tokoh di dunia kang-ouw dari ayah bundanya, baik tokoh-tokoh yang tergolong kawan maupun yang tergolong lawan. Sudah sering kali ayah bundanya menyebut-nyebut nama keluarga Bun dari Kun-lun-pai, malah dia pun tahu bahwa ibu dari pemuda ini masih terhitung bibinya karena ibu pemuda ini adalah adik angkat ibunya sendiri. Jadi mereka berdua masih dapat disebut saudara misan. la segera menjura dan berkata,
"Maafkan penyambutanku yang kaku karena aku tidak tahu sebelumnya. Kiranya saudara adalah putera paman Bun Wan. Benar dugaanmu, aku adalah Kwa Swan Bu. Bolehkah aku mendengar urusan penting apa gerangan yang mendorong saudara datang ke sini jauh-jauh dari Tai-goan? Kuharap saja tidak terjadi sesuatu yang buruk atas diri paman berdua di Tai-goan."
Bun Hui tersenyum, girang hatinya mendapat kenyataan bahwa Swan Bu tidaklah sesombong tampaknya tadi. "Girang sekali, hatiku dapat bertemu muka denganmu, adik Swan Bu. Sudah lama aku mendengar akan dirimu dari ayah bundaku, dan aku tahu bahwa usia kita sebaya, hanya aku lebih tua beberapa bulan saja darimu. Jangan kau khawatir, ayah bundaku dalam keadaan selamat. Kedatanganku ini diutus oleh ayah, selain untuk menyampaikan hormat kepada ayah bundamu, juga untuk memberi peringatan bahwa kini mulai bermunculan musuh-musuh besar yang berusaha membalas dendam."
Berubah wajah Swan Bu yang tampan. Alisnya yang tebal hitam itu berkerut, matanya memancarkan sinar kemarahan. "Hemmm, kakak Bun Hui, berilah tahu kepadaku, siapa gerangan musuh-musuh yang berusaha untuk membalas dendam kepada ayah?"
"Ayahku lebih mengetahui akan hal itu dan agaknya ayah telah mencatat secara lengkap dalam suratnya yang kubawa untuk ayahmu. Sepanjang pengetahuanku, agaknya penghuni Ching-coa-to yang mengumpulkan kekuatan untuk memusuhi ayahmu. Juga..... ada..... orang dari Go-bi-san....."
Melihat keraguan Bun Hui, Swan Bu makin tertarik. "Siapakah dia, Twako? Juga musuh besar ayah?"
Bun Hui menelan ludah dan mengangguk. Beratlah hatinya untuk menyebut nama Siu Bi. Tidak ingin dia melihat Siu Bi bermusuhan dengan Liong-thouw-san, dan lebih lagi tidak ingin dia melihat Siu Bi menjadi korban karena sudah pasti gadis itu akan menemui bencana kalau berani memusuhi Pendekar Buta.
"Dia datang dari Go-bi-san di mana terdapat dua orang bekas musuh besar ayahmu, yaitu Hek Lojin dan muridnya, The Sun. Mereka ini memiliki kepandaian hebat dan agaknya takkan mau berhenti sebelum dapat membalas kekalahan mereka belasan tahun yang lalu."
"Hemmm, dan penghuni Ching-coa- to itu, siapakah?"
"Sepanjang pengetahuanku, kini di situ menjadi sarang Ang-hwa-pai yang dipimpin oleh ketua mereka yang berjuluk Ang-hwa Nio-nio. Juga ada bekas jagoan di istana selatan berjuluk Ang Mo-ko, juga amat lihai biarpun tidak sehebat Ang-hwa Nio-nio kepandaiannya. Masih banyak lagi teman-teman mereka yang tidak kuketahui."
"Twako, di manakah letaknya Ching-coa-to? Di mana tempat tinggal Ang Mo-ko dan apakah orang-orang Go-bi-san itu sudah turun gunung? Mereka berkumpul di mana sekarang?"
Bun Hui memandang curiga. "Adikku yang gagah, agaknya bernafsu sekali kau ingin mengetahui tempat mereka, mau apakah kau?"
"Tidak apa-apa," twako. Bukankah lebih baik mengetahui kedudukan dan keadaan lawan?"
Bun Hui lalu memberi tahu di mana letak Ching-coa-to. "Mungkin Ang Mo-ko yang tak tentu tempat tinggalnya itu pun sudah berada di Ching-coa-to. Tentang orang-orang Gobi-san, aku sendiri tidak tahu pasti di mana mereka berada. Hanya..... kabarnya sudah turun gunung." Benar-benar berat hati Bun Hui untuk bicara tentang Siu Bi, dan ini pula yang menggelisahkan hatinya di dalam perjalanan itu karena dia merasa khawatir kalau-kalau ayahnya memberi tahu perihal Siu Bi di dalam suratnya kepada Pendekar Buta.
"Twako, silakan kau naik ke puncak menghadap ayah dan ibu. Kalau mereka bertanya tentang aku, katakan bahwa aku hendak turun gunung mencegah kutu-kutu busuk itu mengganggu ketenteraman Liong-thouw-san!"
"Eh, adik Swan Bu..... jangan begitu...... tak boleh tergesa-gesa dan berlaku sembrono.....!" Bun Hui berseru gugup.
Namun Swan Bu tersenyum dan dagunya mengeras membayangkan kekerasan "Mengapa jangan? Bukankah lebih baik mendahului lawan agar jangan memberi kesempatan kepada mereka untuk bergerak? Apakah artinya aku menjadi putera tunggal ayah ibu kalau aku tidak becus membasmi musuh-musuh ayah ibu sehingga bangsat-bangsat itu tidak akan berani mengganggu orang tuaku? Selamat berpisah, Twako dan terima kasih atas pemberitahuanmu. Kalau selesai tugasku, aku pasti akan mampir di Tai-goan untuk menghaturkan terima kasih kepada ayah bundamu."
Bun Hui menyesal bukan main mengapa dia tadi banyak bicara kepada pemuda yang berwatak keras itu. Cepat-cepat dia mendaki ke atas puncak agar dapat memberi tahu kepada paman dan bibinya sehingga mereka akan dapat mencegah Swan Bu turun gunung. la maklum bahwa Swan Bu tentu memiliki kepandaian yang tinggi, akan tetapi mana bisa pemuda ini menghadapi musuh-musuh tangguh itu seorang diri? Baru Siu Bi, gadis remaja itu saja sudah demikian hebat kepandaiannya, apalagi musuh-musuh lain yang lebih tua usianya. Ia juga sudah mendengar betapa Ang-hwa Nio-nio memiliki ilmu yang amat tinggi.
Tergesa-gesa dia mendaki puncak melalui tangga tambang. Ketika dia tiba di depan pondok, dia melihat seorang laki-laki berusia sebaya ayahnya, duduk di atas bangku menjemur diri di bawah sinar matahari pagi. Di sebelahnya duduk seorang wanita sebaya ibunya, lebih tua sedikit, cantik sekali, keduanya bercakap-cakap dengan sikap tenang. Biarpun seringkali dia mendengar ayahnya menyanjung-nyanjung dan memuji-muji Pendekar Buta, namun Bun Hui belum pernah bertemu muka dengan pendekar itu atau pun isterinya. Akan tetapi, melihat kesederhanaan mereka yang sekarang duduk di depan pondok, dia dapat menduga bahwa mereka tentulah paman dan bibinya itu.
Apalagi sekarang jelas kelihatan betapa sepasang mata laki-laki setengah tua itu tidak pernah berkedip dan ketika dia berjalan mendekat, tampak olehnya betapa sepasang mata itu kosong tidak berbiji! Sebatang tongkat kayu yang bersandar pada bangku laki-laki buta itu menarik perhatiannya dan diam-diam tengkuknya meremang karena dia sering mendengar dari ayahnya tentang keampuhan tongkat itu yang telah merobohkan banyak tokoh besar dunia kang-ouw.
Kini mereka berhenti bercakap-cakap dan menengok ke arahnya. Terkejut hati Bun Hui ketika bertemu pandang dengan sepasang mata nyonya itu. Alangkah tajam, penuh wibawa dan seakan-akan menembus langsung ke dalam dadanya! Seakan-akan mata nyonya itu mewakili pula mata suaminya yang buta sehingga kekuatan pandangannya seperti pandangan mata dua orang digabung menjadi satu. Cepat dia maju dan menjatuhkan diri berlutut di depan mereka tanpa mempedulikan tanah yang agak basah oleh embun pagi dan mengotori celana pakaiannya yang indah.
"Bangunlah, Hui-ji (anak Hui), tak perlu kau terlalu sungkan. Lihat, pakaianmu kotor oleh tanah basah!" Wanita itu, Kwee Hui Kauw, menegur Bun Hui.
Bun Hui tercengang. Bagaimana nyonya itu mengetahui bahwa dia adalah Bun Hui? Selamanya baru kali ini dia bertemu muka dengan suami isteri pendekar ini!
"Betul kata isteriku, orang muda. Kau bangkit dan duduklah, mari kita bicara yang enak."
"Paman..... Bibi..... mohon ampun sebesarnya..... saya telah bicara dengan adik Swan Bu dan....."
Pendekar Buta Kwa Kun Hong tersenyum, menggerakkan tangannya mencegah pemuda itu melanjutkan kata-katanya. "Dan dia pergi turun gunung? Tidak apa, anakku. Memang sudah waktunya dia turun gunung menambah pengalaman. Lebih baik kauserahkan surat ayahmu kepadaku."
Untuk kedua kalinya Bun Hui tercengang. Bagaimana suami isteri itu dapat mengetahui semuanya? Dapat tahu bahwa dia datang membawa surat ayahnya, tahu pula tentang perginya Swan Bu turun gunung dan tahu bahwa dia itu Bun Hui padahal baru kali ini bertemu muka. Satu-satunya jawaban yang menerangkan keanehan ini hanya bahwa suami isteri ini tentu telah melihat kedatangannya dan mendengar percakapannya dengan Swan Bu tadi, tanpa dia sendiri mengetahui kehadiran mereka! Ini saja sudah membuktikan kelihaian mereka!
la segera mengambil surat ayahnya dan menyerahkannya kepada Kwa Kun Hong. Tak enak hatinya, karena bagaimana dia dapat menyerahkan surat kepada seorang yang buta kedua matanya? Untuk memberi tahu bahwa surat sudah dia keluarkan, bibirnya bergerak hendak bicara agar paman yang buta itu dapat mengetahui. Akan tetapi sebelum dia membuka mulut, Kun Hong sudah menggerakkan tangannya menerima surat itu dengan gerakan sewajarnya seperti seorang yang tidak buta. Seakan-akan dia melihat surat itu dan menerimanya tanpa ragu-ragu lagi. Tentu saja Bun Hui kaget setengah mati dan mulailah dia meragukan kebutaan Kwa Kun Hong.
Akan tetapi keraguannya lenyap ketika Kun Hong menyerahkan surat kepada isterinya untuk dibaca. Dengan suaranya yang halus dan merdu Kwee Hui Kauw membaca surat itu yang isinya hampir sama dengan apa yang telah diceritakan Bun Hui kepada Swan Bu tadi, hanya bedanya bahwa di dalam surat itu disebut nama Siu Bi sebagai seorang musuh besar yang mengancam hendak membuntungi tangan Pendekar Buta dan anak isterinya!
Kwa Kun Hong tersenyum pahit dan berkata lirih setelah isterinya selesai membaca, "Hemmm, benci-membenci, dendam-mendendam, permusuhan, bunuh-membunuh, apa senangnya hidup kalau dunia penuh dengan amukan nafsu ini? Isteriku, aku sudah bosan dengan segala urusan itu. Mudah-mudahan saja Swan Bu akan dapat mengingat semua nasihatku dan tidak suka menanam bibit permusuhan dengan siapapun juga di dunia ini....."
"Tak perlu digelisahkan semua itu," jawab isterinya dengan suara tetap tenang, halus dan merdu, "Orang lain boleh meracuni hati sendiri dengan menanam kebencian, orang lain boleh mengikat diri dengan dendam dan permusuhan, akan tetapi kita yang sadar akan penyelewengan hidup itu tidak akan menuruti bujukan nafsu dan setan. Orang membenci kita, orang memusuhi kita, asalkan kita tidak membenci dan tidak memusuhi mereka, kita lah yang menang. Bukanlah begitu kata-katamu sendiri? Nah, kalau ada yang hendak memusuhi kita, biarkan mereka datang. Kalau boleh, kita peringatkan mereka, kita sadarkan mereka, kalau tidak, apa boleh buat, kita hidup dan kita wajib membela diri. Kalau kita yang diberi anugerah hidup tidak mau melakukan kewajiban membela dan menjaga diri, berarti kita kurang terima dan tidak menghargai anugerah itu. Bukankah begitu apa yang sering kaukatakan, suamiku?"
Kwa Kun Hong menarik nafas panjang dan mengangguk-angguk. Bun Hui berdiri bengong, hatinya terharu sekali dan tak kuat dia menentang wajah dua orang itu, membuatnya tunduk lahir batin. Baru kali ini selama hidupnya dia menyaksikan keadaan penuh damai, penuh cinta kasih, penuh pengertian dan penuh kata-kata yang mempunyai arti begitu dalam pada sepasang suami isteri. la menunduk dan sikap serta kata-kata suami isteri itu saja sudah lebih dari cukup untuk membuat hati anak muda ini menjadi kagum dan tunduk.
"Hui-ji, kami sangat berterima kasih kepada ayahmu yang penuh perhatian dan juga kepadamu yang sudah melakukan perjalanan sejauh ini. Kuharap saja kau suka beristirahat di sini barang sepekan, agar kita dapat bercakap-cakap dan kami dapat mendengar ceritainu tentang keadaan orang tuamu dan juga keadaan dunia ramai," kata Kwa Kun Hong.
"Saya akan mentaati perintah Paman dan sementara itu, saya yang muda dan bodoh banyak mengharapkan petunjuk-petunjuk dari Paman dan Bibi." Senang hati suami isteri itu melihat sikap dan mendengar kata-kata yang amat baik dari Bun Hui. Demikianlah, pemuda ini tinggal sampai sepuluh hari di puncak Liong-thouw-san dan selama itu, selain menceritakan segala hal tentang keadaan di kota raja dan lain-lain yang ditanyakan kedua orang tua itu, juga dia menerima banyak petunjuk-petunjuk yang amat penting untuk menyempurnakan kepandaian ilmu silatnya, terutama ilmu pedangnya Kun-lun Kiam-sut banyak mendapat kemajuan oleh petunjuk Kwa Kun Hong.
Sementara itu, Kwa Swan Bu sudah berlari cepat sekali turun dari puncak. la merasa agak bersalah karena tidak berpamit kepada ayah bundanya, akan tetapi dia sengaja meninggalkan pesan saja kepada Bun Hui karena dia dapat menduga bahwa biarpun ayahnya tidak akan melarangnya, namun ibunya tentu akan menyatakan keberatan. Sudah sering kali dia menyatakan ingin turun gunung dan selalu dicegah ibunya yang berkata bahwa kepandaiannya kurang cukup untuk dipakai menjaga diri dari gangguan orang-orang jahat yang banyak terdapat di dunia kang-ouw.
Sekarang Swan Bu tidak ragu-ragu lagi. Tadinya, memang dia meragu dan membenarkan ibunya, maka dia menunda keinginan hatinya untuk turun gunung. Akan tetapi begitu melihat Bun Hui, keraguannya lenyap. Dari gerakan Bun Hui ketika menyeberangi jembatan tambang, jelas tampak olehnya bahwa tingkat kepandaiannya tidak kalah oleh tingkat yang dimiliki Bun Hui. Kalau Bun Hui sudah diperbolehkan ayahnya melakukan perjalanan jauh seorang diri, mengapa dia tidak boleh? Pendapat ini diperkuat lagi oleh dorongan hatinya yang menjadi panas mendengar betapa orang tuanya diancam oleh banyak bekas musuh lama.
Pada suatu hari sampailah dia di kota Kong-goan di tepi Sungai Cia-ling. la bermaksud untuk melanjutkan perjalanan melalui Sungai Cia-ling ke selatan sampai di Sungai Yang-ce-kiang kemudian melanjutkan perjalanan ke timur melalui sungai besar itu. Akan tetapi ketika dia tiba di tepi sungai dan hendak menyewa perahu yang suka mengantarnya sampai ke Sungai Yang-ce-kiang, dia melihat dua orang pengemis menggotong seorang pengemis lain yang agaknya sakit keras, wajahnya pucat, tubuhnya lemah dan dari mulutnya keluar darah.
Tadinya Swan Bu tidak mau mencampuri urusan orang lain sungguhpun sekilas pandang tahulah dia bahwa kakek pengemis yang digotong itu terluka hebat di sebelah dalam tubuhnya. Akan tetapi perhatiannya tertarik ketika dia melihat pakaian para pengemis penuh tambalan itu. Pakaian penuh tambalan itu berwarna-warni dan berkembang-kembang. Teringat dia akan penuturan ayahnya bahwa perkumpulan pengemis Hwa-i-kai-pang (Perkumpulan Pengemis Baju Kembang) adalah perkumpulan pengemis yang patriotik dan ayahnya sendiri menjadi ketua kehormatan!
"Lopek, berhenti dulu! Biarkan aku mencoba untuk menolong orang tua yang menderita luka pukulan Ang-see-ciang ini!"
Dua orang pengemis yang menggotong si sakit memandang curiga, akan tetapi kakek pengemis yang terluka itu membuka mata, memandang heran, lalu berkata dengan nafas terengah-engah "Turunkan aku...... biarkan Kongcu ini memeriksaku....."
Dua orang pengemis itu terheran, akan tetapi mereka tidak berani membantah. Tubuh kakek itu tidak jadi dimasukkan ke dalam perahu, melainkan diletakkan di atas tanah pasir. Swan Bu tidak membuang banyak waktu lagi. Jalur-jalur merah pada leher itu jelas menampakkan tanda korban pukulan Ang-see-ciang (Tangan Pasir Merah). la menghampiri, berlutut dan menggunakan jari telunjuk dan jari tengah kanannya untuk menotok dua kali pada pundak kanan kiri, kemudian sekali dia menekan punggung dan mengurutnya ke bawah sambil mengerahkan tenaga, kakek itu terbatuk dan muntahkan segumpal darah merah yang sudah mengental, sebesar kepala ayam.
Dua orang pengemis yang menggotong tadi kaget sekali dan mereka melompat maju, malah sudah mengepal tinju siap untuk menerjang Swan Bu, "Kau..... kau membunuh Susiok (Paman Guru).....!" bentak seorang di antara mereka sambil menubruk maju dan memukul. Swan Bu yang maklum bahwa orang ini salah duga, tidak mempedulikannya, tubuhnya yang masih berjongkok itu bergerak sedikit dan..... penyerangnya terlempar ke depan, melalui atas pundaknya dan langsung terbanting ke air sungai sehingga air muncrat tinggi dan orang itu gelagapan sambil berenang ke pinggir. Kawannya hendak menyerang, tetapi tiba-tiba kakek yang sakit tadi membentak,
"Goblok! Apa mata kalian sudah buta."
Si pengemis kedua tidak jadi menyerang, dan pengemis pertama yang sudah berhasil berenang ke pinggir, kini memandang dengan heran, juga girang. Kiranya kakek pengemis yang tadinya sudah empas-empis nafasnya, sekarang sudah bangkit duduk, malah dengan perlahan lalu bangun berdiri dan menjura ke depan Swan Bu!
"Orang muda yang gagah perkasa, kau telah menolong nyawa seorang pengemis tua bangka yang tiada gunanya. Sicu, bolehkah aku mengetahui namamu?"
"Lopek, tak usah banyak sungkan. Bukankah Lopek bertiga ini orang-orang Hwa-i-kai-pang?"
Pertanyaan Swan Bu ini disambut biasa saja oleh tiga orang kakek itu karena memang Hwa-i-kai-pang bukan perkumpulan yang tidak terkenal, apalagi mudah saja diketahui dari pakaian mereka. Kakek itu mengangguk dan menjawab,
"Tidak keliru dugaanmu, Sicu. Aku adalah kakek Toan-kiam Lo-kai (Pengemis Tua Pedang Pendek), sebuah julukan yang kosong melompong, dan dua orang ini adalah murid-murid keponakanku. Sicu masih begini muda sudah luas pandangannya, sekali pandang tahu akan bekas pukulan Ang-see-ciang, siapakah nama Sicu yang mulia dan dari perguruan mana?
"Lopek, mari kita bicara di tempat yang enak," kata Swan Bu sambil mengerling ke arah orang-orang yang banyak berkumpul karena tertarik oleh kejadian ini. Toan-kiam Lo-kai dapat menangkap isyarat ini, dia lalu menggerakkan kedua lengannya ke arah orang-orang di situ sambil berkata, "Saudara-saudara harap sudi meninggalkan kami agar kami dapat bicara leluasa."
Heran, orang-orang itu segera pergi tanpa banyak membantah lagi. Hal ini membuktikan kepada Swan Bu bahwa daerah ini agaknya Hwa-i-kai-pang bukan tidak mempunyai pengaruh. Setelah semua orang pergi, Swan Bu berkata,
"Lopek, ketahuilah bahwa aku she Kwa bernama Swan Bu, dari Liong-thouw-san ...".
Serta merta kakek itu bersama dua orang murid keponakannya lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Swan Bu! "Ah, kiranya Siauw-hiap (Pendekar Muda) yang telah menolong saya! Ah, sungguh suatu kebetulan yang membesarkan hati. Bagaimana kabarnya dengan Taihiap berdua di Liong-thouw-san?"
"Ayah dan ibuku baik-baik saja, terima kasih."
"Kiranya putera ketua kehormatan kita!" Kakek itu hampir bersorak kegirangan. "Kalau begitu tidak heran kalau sekali pandang saja sudah tahu akan luka pukulan Ang-see-ciang! Wah, Siauwhiap tentu telah mewarisi ilmu kepandaian yang sakti dari Taihiap, ilmu silat dan ilmu pengobatan!"
"Ah, aku yang muda dan hijau mana mampu mewarisi semua kepandaian ayah. Sudahlah, tidak ada gunanya segala puji-memuji ini. Lopek, lebih baik sekarang kauceritakan kepadaku, mengapa kau sampai terluka hebat oleh pukulan Ang-see-ciang dan siapakah pemukulmu, apa pula sebab-sebabnya?"
Toan-kiam Lo-kai menarik nafas panjang. "Siauwhiap, perubahan besar telah terjadi pada Hwa-i-kai-pang semenjak suhu Hwa-i Lo-kai meninggal dunia. Apalagi setelah Kwa-taihiap diketahui tak pernah turun dari puncak Liong-thouw-san. Hwa-i-kai-pang tidak dipandang mata lagi orang-orang kang-ouw. Tentu kau telah mendengar dari ayahmu bahwa sudah sejak dahulu, perkumpulan Hwa-i-kai-pang bukan perkumpulan pengemis biasa saja. Di samping itu para anggotanya memiliki tugas untuk menolong kaum lemah yang tertindas, bahkan ikut pula menjaga keamanan kota dari gangguan para penjahat.
Akan tetapi, dengan datangnya pembesar dari kota raja yang bertugas mengumpulkan tenaga suka rela untuk membangun terusan dan tembok besar atas perintah kaisar, banyak anak buah Hwa-i-kai-pang ditangkapi dan dipaksa menjadi sukarelawan. Orang-orang biasa, terutama yang kaya, dibebaskan asal bisa membayar uang tebusan. Bukankah ini menggemaskan?"
"Hemmm, pembesar macam itu sepatutnya diberi hajaran!" kata Swan Bu.
"Itulah! Kami sudah berusaha memberi peringatan kepada Lo-ciangkun (komandan Lo) yang memimpin pengerahan bantuan itu, akan tetapi kami malah dianggap memberontak terhadap perintah kaisar! Karena percekcokan ini, terjadilah keributan dan pertengkaran yang berekor pertempuran."
"Ah, kalau begitu keliru juga, Lopek. Tak baik melawan dengan kekerasan, hal itu bisa menimbulkan kesan Hwa-i-kai-pang memberontak."
Kakek itu mengangguk-angguk. "Memang betul, tetapi kami pun harus membela anak buah kami yang sudah ditahan dan dipaksa, membebaskan pula orang-orang muda miskin yang tidak mampu membayar uang tebusan yang ditahan juga. Mereka itu, untuk memberi makan keluarga sudah setengah mati setelah mereka ditangkap dan dibawa pergi untuk kerja paksa yang disebut sukarela itu, keluarganya tentu akan mati kelaparan!
"Akan tetapi kita bisa mengambil cara lain, misalnya menemui komandan itu secara langsung."
"Sudah kulakukan dan hasilnya aku terluka parah inilah, Siauwhiap. Komandan itu dibantu oleh seorang iblis wanita yang lihai sekali, seorang pendatang baru dari barat. Kabarnya karena munculnya wanita itu maka para pembesar di daerah ini amat berubah, berani berlaku sewenang-wenang. Orang-orang gagah yang mencoba menantangnya, semua tewas atau roboh oleh Ang-jiu Toa-nio, iblis wanita itu. Karena ingin menyingkirkan biang keladi penyalahgunaan kekuasaan mengandalkan orang kuat itu, aku sengaja mendatangi Ang-jiu Toa-nio dan kesudahannya aku terluka....."
Sudah bergolak darah Swan Bu mendengar ini, akan tetapi dia pun terheran mengapa seorang wanita tua, seorang tokoh kang-ouw, membantu pembesar she Lo itu. "Lopek, mari antarkan aku pergi menemui Lo-ciangkun itu. Biarkan aku bicara dengannya, kalau dia masih bertindak sewenang-wenang dan hendak mengandalkan Ang-jiu Toa-nio, biar aku akan coba-coba menghadapinya."
Girang hati kakek itu. "Akan tetapi, harap kau suka berhati-hati, Siauwhiap. Ketahuilah, Ang-jiu Toa-nio benar benar luar biasa sekali. Tinggalnya di kuil rusak di sebelah selatan kota, keadaannya penuh rahasia, seperti iblis saja. Tidak ada orang pernah dapat memasuki kuil, semua orang gagah, termasuk aku sendiri, roboh di halaman kuil oleh pukulan-pukulan Ang-see-ciang yang luar biasa."
"Biar aku akan mencobanya, Lopek, Mari!"
Toan-kiam Lo-kai dengan hati besar lalu mengiringkan Swan Bu menuju ke rumah gedung tempat tinggal Lo-ciang-kun. Gedung besar itu dijaga beberapa orang pengawal yang bersenjata tombak dan golok. Begitu para penjaga itu melihat Toan-kiam Lo-kai, mereka terkejut dan panik. Baru kemarin pengemis tua itu telah membikin onar dan mereka yang tidak melihat sendiri mendengar bahwa pengemis itu sudah dirobohkan oleh Ang-jiu Toa-nio, bagaimana sekarang berani muncul di gedung ini lagi?
"He, berhenti! Kalian siapa dan mau apa?" bentak mereka dan berbarislah belasan orang pengawal menjaga di depan pintu, sebagian lagi lari ke dalam untuk melapor kepada Lo-ciangkun.
"Aku hendak bicara dengan Lo-ciang-kun. Kalian ini para penjaga harap jangan bikin ribut, aku tidak ada urusan dengan kalian. Lebih baik lekas melaporkan kepada Lo-ciangkun bahwa aku Swan Bu minta bicara dengannya " kata Swan Bu dengan tenang, kemudian dia melangkah terus maju melalui pintu gerbang menuju ke ruangan depan. Para pengawal itu hanya mengurung tapi tidak berani menghalangi, terutama sekali mereka takut kepada Toan-kiam Lo-kai yang diam saja, hanya melirik ke kanan kiri dengan matanya yang sipit.
"Orang muda, berhenti, tidak boleh masuk! Apakah kami harus menggunakan kekerasan?" Komandan jaga membentak dan mengacung-acungkan tombaknya.
"Kalau Lo-ciangkun tidak mau keluar menemuiku, aku akan terus maju mencarinya ke dalam rumah sampai ketemu, soal kekerasan, terserah kalau hendak menggunakannya!" jawab Swan Bu, masih tetap tenang dan kakinya masih bergerak maju. Pengemis tua itu diam-diam merasa khawatir dan mengikuti dari belakang. la anggap perbuatan Swan Bu itu biarpun gagah berani, akan tetapi sembrono sekali. Bagaimana boleh memasuki mulut harimau secara begini sembrono? Tentu saja terhadap para penjaga itu, dia tidak takut sama sekali, tetapi dia maklum bahwa selain Lo-ciangkun sendiri seorang pandai, juga di situ terdapat banyak jago yang tangguh. Siapa tahu kalau-kalau wanita iblis itu berada disitu pula.
Para penjaga itu sudah mengurung dan siap menerjang dengan senjata mereka yang berkilauan tajam. Tiba-tiba mata mereka silau oleh gulungan sinar putih yang panjang berkelebatan, disusul suara nyaring. Sinar itu segera lenyap dan hanya tampak tangan pemuda itu bergerak mengembalikan pedang ke belakang punggung dan..... belasan batang tombak di tangan para pengawal itu tinggal gagangnya saja! Dalam waktu yang sukar diikuti mata saking cepatnya, dan dengan cara yang amat luar biasa. Pemuda itu sudah mencabut pedang dan membuntungi belasan batang tombak tanpa mereka ketahui.
Malah cara pemuda itu mencabut pedang, menggerakkan, kemudian menyimpannya kembali, tak seorang pun di antara mereka dapat melihat jelas. Seperti sulap saja. Toan-kiam Lo-kai sendiri mengangguk-angguk dan bukan main kagum hatinya. Itulah gerakan ilmu pedang yang luar biasa, kesaktian yang hanya mungkin dimiliki putera Pendekar Buta.
"Kalian lihai, aku tidak berniat buruk, buktinya leher kalian tidak putus. Aku hanya ingin bicara dengan Lo-ciangkun!" kata pula Swan Bu, suaranya tetap tenang.
Paniklah para penjaga itu. untuk mundur mereka takut meninggalkan tugas, maju pun jerih menghadapi pemuda yang luar biasa itu. Mereka hanya berdiri mengurung di ruangan depan itu, muka pucat dan badan gemetar, Swan Bu dan pengemis tua itu duduk di atas bangku yang banyak terdapat di ruangan itu.
"Lekas laporkan kepada Lo-ciangkun!" tiba-tiba pengemis itu membentak, suara galak.
"Sudah lapor...... sudah lapor.... " seorang penjaga menjawab ketakutan.
Tiba-tiba pintu sebelah dalam terbuka lebar dan muncullah seorang laki-laki tinggi kurus berpakaian perwira ini di dampingi oleh empat orang yang tinggi tegap, berpakaian ringkas dengan sikap seperti jagoan-jagoan.
"Ada apakah ribut-ribut di sini....." Eh, kau berani datang lagi? Benar-benar kau hendak memberontak," bentak perwira tinggi kurus itu sambil melotot ke arah Toan-kiam Lo-kai.
Swan Bu cepat bangun berdiri, tegak dan gagah. "Kaukah yang disebut Lo-ciangkun?" tanyanya, suaranya nyaring.
Komandan itu memandang marah. "Betul, aku Lo-ciangkun. Orang muda, kau tampan dan gagah, jangan kau ikut-ikut jembel pemberontak ini....."
"Lo-ciangkun, Lopek ini hanya mengantar aku ke sini. Aku sengaja ingin bicara denganmu tentang perbuatan sewenang-wenang yang kaulakukan di kota ini dan daerahnya. Kau memaksa orang-orang yang tidak mampu memberi uang tebusan untuk kerja paksa mengerjakan tembok besar dan terusan, dengan dalih bahwa itu adalah perintah kaisar. Orang-orang miskin, pengemis-pengemis, kau paksa dan kau tahan, tetapi mereka yang mampu membayar uang tebusan, yang mampu menyogok kau bebaskan. Benarkah ada perbuatan sewenang-wenang macam ini?" Swan Bu biarpun semenjak kecil tinggal di gunung-gunung, pertama di Hoa-san kemudian pindah ke Liong-thouw-san, namun dia banyak mendengar dari ayah bundanya tentang keadaan kota raja dan sejarahnya.
Wajah perwira itu menjadi merah saking marahnya. "Keparat, kau ini mempunyai kedudukan apa berani bicara macam itu kepadaku? Anak kecil masih ingusan belum tahu apa-apa, sikapmu yang kurang ajar ini akan mencelakakan kau sendiri. Mengingat akan usiamu yang muda, biarlah kuampuni. Hayo pergi dan jangan banyak rewel lagi!"
Diam-diam Swan Bu berpikir. Melihat sikap ini, Lo-ciangkun bukanlah seorang yang amat kejam dan menggunakan kedudukannya bertindak sewenang-wenang. Buktinya masih memperlihatkan kesabaran terhadap seorang pemuda seperti dia, padahal menurut pendapat umum, sikapnya itu sudah tentu merupakan pelanggaran yang tak boleh diampuni lagi terhadap seorang pembesar pemerintah.
"Lo-ciangkun, para lopek dari Hwa-i-kai-pang sudah herusaha memberi, peringatan kepadamu bahwa sepak terjangmu ini melanggar keadilan, akan tetapi kau malah mempergunakan kedudukanmu untuk menindas mereka dengan dalih memberontak. Insyaflah dan ubahlah peraturan yang tidak adil itu sebelum terlambat!".
"Orang muda sombong!" teriak seorang di antara empat jagoan tinggi besar itu dan tanpa komando lagi, empat orang itu sudah menerjang maju dengan golok besar di tangan. Jelas bahwa mereka ini hendak membunuh Swan Bu dan si pengemis tua.
"Lopek, jangan ikut-ikut!" kata Swan Bu. Mendengar ini, Toan-kiam Lo-kai enak-enak duduk saja menonton dan tubuh Swan Bu berkelebat cepat ke depan didahului gulungan sinar perak dan.....empat orang itu roboh malang-melintang, golok mereka terbabat buntung dan lengan mereka tergurat pedang sampai berdarah sedangkan dada mereka masing-masing telah tercium ujung sepatu Swan Bu.
"Anjing-anjing tukang siksa orang" kata Toan-kiam Lo-kai sambil tertawa. "Tidak lekas mengempit ekor dan lari mau tunggu digebuk lagi?"
Empat orang itu belum kehilangan kagetnya, mereka terbelalak memandang ke arah Swan Bu, kemudian lari ke luar tunggang-langgang!
"Lo-ciangkun, kau saksikan sendiri betapa aku bertekad untuk membela pendirianku, kalau perlu dengan pertumpahan darah, karena yang kulakukan ini adalah demi nasib ribuan orang yang tak berdosa," kata Swan Bu, berdiri tegak dan gagah. Para pengawal yang berdiri di dekat dinding mengurung tempat itu, hanya terbelalak dan tidak berani berkutik, menanti komando komandan mereka.
Akan tetapi Lo-ciangkun tidak memberi komando itu, malah menarik nafas panjang, lalu menggerakkan tangan berkata, "Mereka sudah pergi, sekarang boleh kita bicara. Orang muda, kau ini siapakah dan hak apakah yang kau miliki untuk mencampuri tugasku?"
"Aku Kwa Swan Bu, hanya rakyat biasa. Kau seorang pembesar yang digaji dengan uang hasil keringat rakyat, karena itu setiap orang berhak untuk menilai dan mencela tugasmu jika kau menyeleweng, ketahuilah bahwa puluhan tahun yang lalu, nenek moyang dan ayahku berjuang mati-matian membela negara dan rakyat, bahkan ayahku ikut pula membantu perjuangan kaisar sekarang, namun tidak murka akan kedudukan. Pamanku seorang pejuang yang besar jasanya, sekarang menjadi Jenderal Bun yang terkenal jujur dan berwibawa sebagai jaksa agung di Tai-goan. Kau ini, mungkin tak pernah ikut berjuang, setelah sekarang menemukan pangkat sedikit saja lalu kau pergunakan untuk memeras rakyat jelata, berlaku sewenang-wenang mengandalkan kedudukanmu. Hemmm, mana bisa aku mendiamkan saja kau membunuhi rakyat tidak berdosa?"
Pucat wajah Lo-ciangkun. Tentu saja dia mengenal siapa adanya Bun-goanswe di Tai-goan. Kiranya pemuda perkasa ini adalah keponakan jenderal itu! Dengan tubuh lemas dia menjatuhkan diri duduk di atas bangkunya.
"Siapa membunuh ? Mereka itu disuruh bekerja, dijamin....."
"Omong kosong!" Kini Toan-kiam Lo-kai yang bicara. "Mereka meninggalkan anak isteri yang harus makan setiap hari. Kalau mereka dibawa pergi, anak isterinya harus makan apa? Pula, ditempat kerja mereka hampir tidak diberi makan".
"Sudahlah..... sudahlah..... semua itu terjadi karena terpaksa....." akhirnya Lo-ciangkun berkata dengan muka pucat, "Bukan salahku..... bukan salahku....." la menutupi mukanya seperti orang ketakutan.
"Lo-ciangkun, tidak perlu main sandiwara lagi, apa artinya semua ini?" Swan Bu berkata, keningnya berkerut.
"Kau lihat empat orang tadi..... mereka bukanlah orangku, mereka adalah orang-orang..... dia....."
"Dia siapa?" Swan Bu mendesak, terheran-heran melihat pembesar itu begitu ketakutan.
"Peraturan dari kota raja sudah cukup adil. Memang yang dapat menyumbangkan harta, boleh bebas dari kerja suka rela, dan uang itu diperlukan untuk menjamin para sukarelawan dan menjamin keluarga mereka yang ditinggalkan selama tiga bulan sebelum diganti dengan rombongan lain. Semua sudah diatur yang sakit tidak akan dipaksa, hanya yang sehat dan tidak mempunyai pekerjaan penting..... tapi..... tapi..... di daerah ini..... dikuasai dia.... kami terpaksa menyerahkan uang tebusan, kalau tidak..... ahhhhh!" Pembesar itu tiba-tiba roboh terguling.
Swan Bu cepat melompat ke luar melalui sebuah jendela sambil menendang daun jendela, pedangnya merupakan gulungan sinar putih menerjang keluar dan terdengar jeritan di luar jendela. Seorang bermuka kuning yang kecil pendek roboh mandi darah.
"Siapakah kau? Mengapa menyerang Lo-ciangkun dengan jarum beracun?" Swan Bu membentak,
"Aku..... aku..... atas perintah..... Toa-nio.....!" Orang itu, berhenti bicara dan nafasnya putus. Kiranya terjangan Swan Bu tadi tidak saja melukai lehernya, akan tetapi juga beberapa batang jarum beracun yang sudah meluncur masuk, kena ditangkis pedang membalik dan melukai si penyambit sendiri.
Geger di ruangan itu. Lo-Ciangkun rebah dengan muka biru dan nafas putus! Toan-kiam Lo-kai berkata lirih, "Nah, agaknya Ang-jiu Toa-nio dan orang-orangnya yang tadi turun tangan. Siauw-hiap, terang bahwa para pembesar itu diperas dan dipaksa oleh Ang-jiu Toa-nio. Sekarang, apa yang hendak kaulakukan?"
"Lopek, agaknya wanita yang bernama Ang-jiu Toa-nio itu mempunyai banyak kaki tangan. Yang menyambit jarum itu tentu kaki tangannya yang tidak menghendaki Lo-ciangkun membuka rahasia. Lopek, harap kau suka kumpulkan teman-temanmu Hwa-i-kai-pang dan kita menyerbu ke kuil itu. Biarkan aku menghadapi Ang-jiu Toa-nio dan kalau anak buahnya bergerak, kau dan teman-teman membasmi mereka."
Gembira wajah kakek itu. "Baik, Siauw-hiap. Sedikitnya ada tujuh orang temanku di sini, cukup untuk membasmi setan-setan itu."
Demikianlah, pada petang hari itu Swan Bu melakukan perjalanan ke kuil di sebelah selatan kota setelah siang tadi dia menyelidiki tempat itu. Dan secara kebetulan dia bertemu dengan Lee Si yang bermalam di kamar hotel. Swan Bu terkejut sekali dan merasa heran mengapa hatinya menjadi tidak karuan ketika sepasang matanya bentrok dengan sepasang mata yang seperti mata burung hong itu. Beberapa kali dia menengok, kemudian dia merasa malu kepada diri sendiri dan mempercepat langkahnya meninggalkan nona cantik jelita yang berdiri di depan pintu rumah penginapan itu.
Ia dapat menduga dari gerak-gerik si nona bahwa gadis itu tentulah bukan orang sembarangan. Mungkin seorang tamu rumah penginapan, dan melihat kebebasannya, tentu seorang wanita kang-ouw. Akan tetapi karena dia menghadapi urusan besar, Swan Bu mengusir bayangan nona itu dari ingatannya dan dia langsung menuju ke kuil tua yang berdiri sunyi di pinggir kota.
Setelah tiba di depan kuil yang sunyi itu, dia berhenti. la maklum bahwa di kanan kiri kuil, bersembunyi di balik pohon-pohon, terdapat Toan-kiam Lo-kai yang berjaga dan menyembunyikan diri. Hati Swan Bu meragu. Kuil itu sudah tua, kotor dan agaknya kosong.
Jangan-jangan Ang-jiu Toa-nio yang menjadi biang keladi dari penindasan di kota Kong-goan, sudah melarikan diri. Tak mungkin, pikirnya. Wanita itu tentu memiliki kepandaian tinggi, sebelum bertanding melawannya mana mungkin mau lari? Tempat itu menyeramkan, sunyi seperti kuburan akan tetapi tidak gelap karena berada di tempat terbuka sehingga matahari yang sudah hampir menyelam itu masih menerangi halaman depan. Halaman kuil tadinya tertutup pagar tembok yang tinggi, tetapi karena pagar tembok itu banyak yang runtuh, sekarang menjadi terbuka dan di sana-sini tampak pintu yang terbentuk dari tembok runtuh berlubang. Rumah tua yang menyeramkan, kotor dan sunyi, patutnya menjadi tempat tinggal siluman-siluman.
Tiba-tiba dari pintu yang butut itu keluarlah seorang wanita tua, wanita yang tersenyum-senyum dan sanggul rambutnya dihias setangkai bunga merah. Wanita itu setibanya di halaman kuil berkata, suaranya penuh ejekan,
"Bocah she Kwa, kau berani datang ke sini? Lihatlah di sebelah kiri kuil di mana teman-temanmu sudah mendapat hukuman!"
Mendengar ini, Swan Bu terkejut, teringat akan Toan-kiam Lo-kai dan teman-temannya anggota Hwa-i-kai oang.
Dengan gerakan cepat dia melompat dan lari ke arah kiri kuil dan..... wajahnya berubah merah sekali. Nenek itu ternyata tidak membohong. Di pelataran pinggir itu tampak tujuh mayat bergelimpangan, di antaranya adalah Toan-kiam Lo-kai dan yang enam lagi jelas anggota Hwa-i-kai-pang karena pakaian mereka semua penuh tambalan berkembang! Dengan kemarahan memuncak Swan Bu berlari kembali ke depan kuil, berdiri di luar tembok dan menghadap nenek yang masih berada di situ dari balik pecahan pagar tembok.
"Apakah kau yang bernama Ang-jiu Toa-nio?" tanya Swan Bu, suaranya ditekan agar tidak menggigil saking marahnya. "Dan kaukah yang membunuh tujuh orang Hwa-i-kai-pang itu?"
Nenek itu tersenyum, kembang merah di atas kepalanya bergoyang-goyang. "Dan kau Kwa Swan Bu putera Pendekar Buta Kwa Kun Hong, bukan? Hi..hik-hik, kebetulan sekali kita bertemu di sini. Di sini aku disebut Ang-jiu Toa-nio, akan tetapi di tempatku aku adalah Ang-hwa Nio-nio, ketua Ang-hwa-pai, musuh besar ayahmu. Kau berani masuk ke sini dan mengadu kepandaian melawanku?"
Kalau tadi Swan Bu sudah marah sekali, sekarang serasa meledak dadanya. Kiranya inilah orangnya yang mengumpulkan teman-teman untuk menyerbu Liong-thouw-san? Kebetulan sekali!
"Siapa takut padamu? Orang macammu inikah yang hendak menantang ayah? Ha..ha..ha, nenek tua hampir mampus, tak usah dengan ayah ibu, cukup dengan aku puteranya!"
Sekali menggerakkan kaki, tubuh Swan Bu sudah melayang masuk dan menghadapi Ang-hwa Nio-nio yang sudah siap memasang kuda-kuda dengan sikap mengejek itu. Pembaca tentu heran mengapa Ang-hwa Nio-nio, ketua Ang-hwa-pai di Ching-coa-to itu bisa berada di Kong-goan? Bukanlah hal kebetulan karena memang sengaja Ang-hwa Nio-nio dan rombongannya datang ke Kong-goan ini untuk menyambut suhengnya, Maharsi. Kedatangan Ang Mo-ko bekas tokoh pengawal istana dan kaisar sebelumnya, juga ikut serta Ouwyang Lam dan Siu Bi.
Seperti kita ketahui, gadis ini menangis ketika ditinggalkan Si Jaka Lola Yo Wan setelah ia mengaku bahwa ia adalah puteri angkat The Sun. Dalam keadaan berduka ini ia ditemukan oleh Ang-hwa Nio-nio dan rombongannya yang tentu saja segera menggunakan kesempatan baik ini untuk membujuknya, kembali menggabungkan diri dengan mereka untuk menghadapi musuh besarnya, Pendekar Buta. Tadinya Siu Bi menyandarkan harapannya pada bantuan Yo Wan, akan tetapi setelah Yo Wan ternyata adalah musuh besar ayah tirinya dan tak mungkin mau membantunya, memang paling baik baginya adalah menggabungkan diri dengan rombongan Ang-hwa Nio-nio yang kuat.
Kong-goan, Ang-hwa Nio-nio dan rombongannya mengambil tempat di kuil tua itu karena memang di situlah ia berjanji dalam pesannya kepada Maharsi untuk menyambut kedatangan suhengnya dari barat ini. Tentu saja, untuk melayani segala keperluan mereka, Ang-hwa Nio-nio diikuti pula oleh serombongan anak buahnya yang cukup kuat. Karena pada dasarnya memang penjahat, di Kong-goan Ang-hwa Nio-nio melihat kesempatan baik untuk mendapatkan uang banyak ketika datang pembesar dari kota raja untuk mengumpulkan sukarelawan yang pada masa itu dibutuhkan sekali untuk memperbaiki bangunan tembok besar dan saluran air.
Kong-goan amat jauh dari kota raja, merupakan kota yang terpencil dan dengan kepandaiannya yang tinggi Ang-hwa Nio-nio dapat menguasai pembesar-pembesar itu, mengancam mereka untuk melakukan pemerasan dalam kesempatan mengumpulkan tenaga-tenaga kerja paksa. Mudah saja ia lakukan hal ini tanpa khawatir akan terganggu, dan ia menaruh beberapa orang anak buahnya untuk "menjaga" para pembesar yang bersangkutan, di antaranya Lo-ciangkun.
Tentu saja mula-mula ia mendapatkan tentangan hebat, namun setelah banyak orang roboh oleh pukulan tangannya yang berubah merah, ia mendapat julukan Ang-jiu Toa-nio (Nyonya Besar Tangan Merah) dan tak seorang pun beran membantahnya lagi. Akhirnya para pengemis Hwa-i-kai-pang mendengar tentang hal ini dan turun tangan, namun mereka roboh pula di tangan Ang-jiu Toa-nio atau Ang-hwa Nio-nio bersama teman-temannya yang amat lihai.
Demikianlah ringkasan tentang kehadiran Ang-hwa Nio-nio di Kong-goan dan kita kembali ke depan kuil di mana Swan Bu berhadapan dengan nenek itu Swan Bu maklum bahwa lawannya ini lihai, namun melihat nenek itu tidak mempergunakan senjata, dia pun tidak mengeluarkan Gin-seng-kiam yang tersimpan di balik jubahnya. Matanya yang tajam menatap ke arah kedua tangan nenek itu yang perlahan-lahan berubah merah ketika nenek itu mengerahkan Ang-see-ciang. Swan Bu tidak menjadi gentar, dia sudah mendengar banyak tentang Tangan Pasir Merah ini dari ayah bundanya dan karenanya dia maklum bagaimana harus menghadapinya. Segera dia menyalurkan sinkang di tubuhnya dan "mengisi" kedua lengannya dengan tenaga lemas yang mengandung Im-kang sehingga kedua tangannya menjadi lunak halus dan gerakannya mengeluarkan hawa dingin seperti es.
Akan tetapi sebelum nenek itu menyerangnya, Swan Bu mendengar gerakan orang di sebelah belakangnya. Cepat dia menggeser kaki mengubah kuda-kuda miring dan matanya mengerling ke arah luar. Kiranya di situ telah berdiri belasan orang anggota Ang-hwa-pai yang memegang senjata, berjajar menutup jalan keluar, di antara mereka terdapat empat orang yang dia robohkan di gedung Lo-ciangkun! Mengertilah dia bahwa dia kini berada di gua harimau dan harus berjuang mati-matian karena agaknya lawan berusaha benar-benar untuk menjebaknya dan tidak memberi kesempatan kepadanya untuk lolos dari tempat itu.
Pada saat itu, muncul pula tiga orang dari pintu kuil. Mereka ini bukan lain adalah Ouwyang Lam, Siu Bi, dan seorang kakek yang pakaiannya serba merah dan mukanya tersenyum-senyum, usianya sudah sangat tua, sedikitnya tujuh puluh lima atau delapan puluh tahun, memegang sebatang tongkat bambu yang dipakai menunjang tubuhnya yang agak bongkok. Kakek ini bukan lain adalah Ang Mo-ko, seorang tokoh yang cukup terkenal selama puluhan tahun di kota raja.
Sejenak Swan Bu tertegun ketika bertemu pandang dengan gadis yang cantik jelita itu. Teringat dia akan pertemuannya di depan rumah penginapan tadi. Hampir serupa gadis ini dengan gadis tadi, tetapi malah lebih jelita, terutama sepasang matanya yang begitu lincah dan tajam. Siu Bi juga memandang Swan Bu penuh perhatian, pandang matanya menjadi bimbang ragu.
Inikah putera Pendekar Buta? Betulkah seperti yang ia dengar dari Ang-hwa nio-nio bahwa putera tunggal Pendekar Buta akan datang menyerbu? Dan pemuda yang luar biasa tampan dan gagahnya inikah musuh besarnya? Diam-diam Siu Bi tertegun dan terpesona. Belum pernah ia melhat seorang pemuda sehebat ini. Wajahnya berkulit halus putih kemerahan seperti wajah perempuan, akan tetapi alisnya yang tebal hitam, dagunya yang berlekuk sedikit tengahnya, pandang mata yang berwibawa, dada bidang yang membayangkan kekuatan, semua itu membayangkan sifat jantan yang mengagumkan. Akan tetapi teringat lagi bahwa pemuda ini adalah putera musuh besar yang akan dibalasnya, matanya bernyala penuh kebencian.
Swan Bu dengan tenang menghadapi pengurungan ini, bahkan dia tersenyum karena memang hatinya gembira mendapat kenyataan bahwa musuh-musuh orang tuanya ternyata adalah orang-orang jahat. "Ang-hwa Nio-nio, memang betul kata-katamu tadi. Amat kebetulan kita dapat bertemu di sini karena sebenarnya aku hendak pergi ke Ching-coa-to untuk mewakili "orang tuaku yang kabarnya hendak kaucari dan kau tantang. Sekarang, melihat sepak terjangmu dan kawan-kawanmu, hatiku lega bukan main. Kiranya macam beginilah musuh-musuh orang tuaku, atau lebih tepat lagi, orang-orang yang memusuhi orang tuaku karena aku yakin bahwa orang tuaku tidak akan mau mencari permusuhan. Kalau orang orang yang memusuhi orang tuaku jahat-jahat belaka, jelas bahwa di waktu dahulu orang tuaku tidak berada di pihak salah."
Baru saja Swan Bu menutup mulutnya, Ang-hwa Nio-nio sudah menerjang maju sambil membentak, "Bocah sombong rasakan tanganku!" Kedua tangannya yang sudah berubah menjadi merah itu menerjang maju mengirim pukulan beruntun. Jangan dipandang rendah pukulan ini karena inilah pukulan-pukulan Ang-see-ciang yang amat hebat. Jangankan sampai tangan-tangan merah itu mengenai tubuh lawan, baru hawa pukulannya saja sudah cukup untuk merobohkan lawan yang tidak begitu tinggi ilmu kepandaiannya. Kedua tangan yang merah itu terbuka jari-jarinya, agak melengkung dan hawa pukulan yang menyambar dari telapak tangan itu amat panas seperti api membara.
Namun Swan Bu yang sudah mengerahkan Im-kang pada kedua lengannya, sengaja malah melangkah maju untuk menyambut pukulan-pukulan itu dengan tangkisan lengannya, hendak menguji kekuatan lawan sambil sekaligus memperlihatkan kepandaiannya. Nenek itu girang, juga heran melihat pemuda ini berani menerima Ang-see-ciang, ia pastikan bahwa pemuda itu tentu akan roboh dalam segebrakan saja. la menambah tekanan pada kedua lengannya.
"Duk! Dukkk!!" Dua kali lengan mereka bertemu susul-menyusul dalam waktu cepat sekali dan hasilnya..... Ang-hwa Nio-nio melompat ke belakang dua meter jauhnya sambil meringis kesakitan karena kedua lengannya serasa akan patah, sedangkan pemuda itu masih berdiri tetap dan tenang, biarpun diam-diam dia kaget karena kedua pundaknya serasa tergetar, tanda bahwa nenek itu benar-benar hebat kepandaiannya.
"Bibi Kui Ciauw, biarkan aku menghadapi musuh besarku ini!" tiba-tiba Siu Bi sudah melompat ke depan Swan Bu dengan pedang Cui-beng-kiam di tangannya. Sikapnya angkuh ketika ia menggerak-gerakkan pedang di depan dada sambil membentak,
"Orang she Kwa, bersiaplah kau untuk menerima hukuman dariku atas dosa ayahmu!"
Swan Bu mengerutkan kening. Sombongnya anak ini, pikirnya. Menyebut Ang-hwa Nio-nio bibi, tentu keponakannya dan karena itu, tentu bukan orang baik-baik. Akan tetapi ucapan Siu Bi tadi membuat dia penasaran.
"Memberi hukuman adalah urusan mudah, tapi jelaskan apa dosa ayahku dan hukuman apa yang hendak kau jatuhkan kepadaku," jawabnya tenang.
Tidak enak juga hati Siu Bi menyaksikan sikap begini tenang. Segala gerak-gerik pemuda ini membayangkan seorang gagah yang baik, tiada cacad celanya sehingga hatinya tidak senang. Andaikata putera Pendekar Buta ini seorang pemuda berandalan dan kurang ajar, hatinya akan lebih senang untuk memusuhinya. Akan tetapi ia mengeraskan hatinya dan membentak,
"Ayahmu si buta itu telah membuntungi lengan kakekku Hek Lojin, dan karenanya aku sudah bersumpah untuk membalas dendam, membuntungi lengan Pendekar Buta dan anak isterinya. Karena kau puteranya, sekarang aku akan membuntungi sebelah lenganmu agar roh kakekku dapat tenteram!"
Swan Bu tersenyum mengejek. "Roh orang jahat mana bisa tenteram keadaannya? Tentu dilempar ke neraka dan selamanya akan terbakar api derita! Kalau ayah membuntungi lengan kakekmu, itu berarti bahwa kakekmu adalah orang jahat.....
"Setan, lancang mulutmu!" Siu Bi menjerit sambil menggerakkan pedangnya disusul pukulan tangan kirinya. Hebat serangan ini, pedangnya menjadi segulung sinar hitam menuju leher dan tangan kirinya membayangkan uap hitam menerjang dada.
"Aihhh, ganas.....!" Diam-diam Swan Bu mengeluh dan cepat dia melempar diri ke belakang berjumpalitan sambil mencabut pedang Gin-seng-kiam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar