08 Jaka Lola

"Yo-twako..... nah, aku pun menyebutmu Yo-twako, seperti Cui Sian tadi. Yo-,,. twako....."

"Hemmm".

"Waduh, kau senang ya kusebut Yo twako?"

"Tentu saja senang, Bi-moi. Kau hendak berkata apa tadi?"

"Yo-twako, apakah kau suka kepadaku?"

Yo Wan tersentak kaget. Benar-benar gila! Mana ada seorang gadis bertanya tentang hal ini seperti orang bertanya tentang perut lapar atau tubuh lelah saja. Begitu biasa dan sederhana! Begitu langsung dan terus terang. Apakah tidak luar biasa?

"Tentu saja, Bi-moi. Aku..... aku..,.. suka kepadamu."

"Betul? Tidak bohong? Jangan-jangan di mulut bilang begitu, di hati berbunyi lain!"

"Sungguh mati, Bi-moi. Aku suka padamu, suka betul, tidak main-main dan tidak bohong!"

"Betul suka? Dan kau. mau menolongku, mau membantuku?"

"Tentu saja!"

Siu Bi memegang kedua tangan Yo Wan dan meloncat-loncat kecil seperti orang menari, wajahnya berseri, matanya bersinar-sinar, kedua pipinya merah, bibirnya yang manis dan merah membasah itu agak terbuka, terhias senyum. Bukan main cantik manisnya, membuat Yo Wan terpesona dan tubuhnya serasa dingin,

"Yo-koko yang baik, koko yang perkasa. Terima kasih! Aku pun suka sekali padamu! Yo-twako, mari kaubantu aku mencari Pendekar Buta untuk membuat perhitungan, membalas sakit hati kakek Hek Lojin!"

Serasa disambar geledek kepala Yo Wan. Mampus kau sekarang! Mau rasanya dia menggejil (memukul dengan buku jari) kepalanya sendiri. Mampus kau si sembrono! Cih. terbujuk dan tertipu oleh kanak-kanak! Ingin dia marah marah kepada diri sendiri, marah kepada Siu Bi. Akan tetapi dia tidak tega memarahi dara yang begini gembira-ria dan bahagia. Ia harus berlaku cerdik. Boleh juga membohong demi keselamatan hubungan mereka, demi kesenangan Siu Bi.

"Tentu saja aku akan membantumu dalam segala hal, Bi-moi. Akan tetapi, mari kita duduk dulu dan kauceritakan kepadaku riwayat hidupmu. Siapakah kakekmu yang bernama Hek Lojin itu? Dan mengapa kau memusuhi Pendekar Buta? Kemudian, kau juga belum ceritakan bagaimana kau yang tadinya terculik oleh anggota Ang-hwa-pai itu bisa bebas dan kelihatannya tidak dimusuhi lagi di Ching coa to".

Siu Bi duduk diatas rumput wajahnya masih berseri. "Kau baik sekali, Yo-twako. Aku sekarang takkan marah lagi padamu. Maafkan kelakuanku yang sudah-sudah, ya?"

Yo Wan terharu. Seorang gadis yang baik, baik sekali pada dasarnya. Kasihan, agaknya tidak mendapatkan pendidikan sebagaimana mestinya di waktu kecil.

"Tidak ada yang perlu dimaafkan, adikku. Kau seorang gadis yang baik sekali.

"Sebetulnya aku tidak suka menceritakan riwayatku kepada siapapun juga, Twako. Akan tetapi kepadamu..... lain lagi."

Aduhhhhh, jantung Yo Wan serasa cesssss..... direndam air es. la memandang wajah itu dan sepasang matanya seakan-akan bergantung kepada bibir yang bergerak-gerak lincah.

"Aku mau ceritakan semua, akan tetapi kau harus berjanji akan memberi pelajaran ilmu silat kepadaku, Twako."

"Ilmu silat? Tapi...... ilmu silatmu sudah hebat sekali!"

"Hebat apanya? Cara kau menghindarkan pedangku tadi. Bukan main! Aku ingin kau mengajarkan aku cara mengelak seperti itu, Twako."

Yo Wan kaget, Si-cap-it Sin-po atau ilmu langkah ajaib itu dia pelajari dari Pendekar Buta! Mana boleh diajarkan kepada orang lain, apalagi kepada orang yang berniat memusuhi Pendekar Buta? Tapi dia segera mendapat sebuah pikiran yang cerdik dan bagus, maka dia mengangguk. "Baiklah, nanti kuajarkan itu kepadamu!"

Siu Bi mulai dengan ceritanya secara singkat. "Aku anak tunggal seorang janda, sampai sekarang aku tidak tahu siapa ayahku karena ibu merahasiakannya. Aku diambil anak ayah angkatku, juga aku menerima pelajaran dari kakek guruku, yaitu Hek Lojin. Semenjak kecil aku belajar silat di Go-bi-san dan kakek Hek Lojin ainat sayang kepadaku. Dia kehilangan lengannya, buntung sebatas siku kiri, dibuntungi Pendekar Buta ketika bertempur melawannya. Karena kakek amat baik kepadaku, dia menurunkan semua ilmunya kepadaku dan aku telah bersumpah sebelum dia meninggal dunia bahwa aku pasti akan mencari Pendekar Buta dan membalaskan dendam hatinya dengan jalan membuntungi lengan Pendekar Buta dan anak isterinya."

"Mengapa kakekmu bertempur dengan Pendekar Buta? Apakah dia tidak menceritakan kepadamu sebab-sebabnya sehingga kau dapat mengerti apakah sebetulnya kesalahan Pendekar Buta terhadap kakekmu?" Dengan hati-hati dan secara berputar, Yo Wan bertanya dengan maksud mengingatkan gadis ini bahwa tidak baik mengancam hendak membuntungi lengan orang-orang tanpa mengetahui kesalahan mereka yang sesungguhnya.

Akan tetapi dia keliru. Siu Bi menggerakkan alisnya yang hitam panjang dan kecil seperti dilukis. "Apa peduliku tentang itu? Bukan urusanku! Urusan antara mendiang kakek dan Pendekar Buta, tiada sangkut-pautnya dengan aku. Urusanku dengan Pendekar Buta hanya untuk membalaskan sakit hati kakek yang telah dibuntungi lengannya, tentu saja berikut bunganya karena kakek sudah menderita puluhan tahun lamanya. Adapun bunganya edalah lengan isteri dan anak Pendekar Buta."

Jawaban ini membuat Yo Wan menggeleng-gelengkan kepalanya dan menarik nafas panjang.

"Eh, kau tidak setuju? Bukankah kau bilang hendak membantuku menghadapi mereka?"

Cepat Yo Wan menjawab. "Memang, aku akan membantumu dalam segala hal, Bi-moi. Akan tetapi, aku hanya ingin mengatakan bahwa tugasmu itu sama sekali bukanlah hal yang mudah dilaksanakan. Pendekar Buta Kwa Kun Hong adalah seorang pendekar besar yang amat sakti. Isterinya pun memiliki ilmu kepandaian tinggi, juga puteranya. Mereka bertiga merupakan keluarga yang sukar sekali dilawan, apalagi dikalahkan secara yang kaukatakan tadi, membuntungi lengan mereka. Wahhh, hal ini kurasa takkan mungkin dapat kaulakukan."

"Hemmm, Yo-twako, kenapa kau begini kecil hati dan penakut? Aku sih sama sekali tidak takut! Apalagi ada kau di sampingku yang akan membantuku, Menghadapi iblis-iblis dari neraka pun aku tidak takut! Kau tidak usah khawatir, Twako. Kalau kita sudah berhadapan dengan mereka, biarkan aku menghadapi mereka sendiri. Kau tidak usah turut campur atau turun tangan. Terserah kepadamu apakah kau mau membantuku kalau melihat aku kalah oleh mereka. Aku hanya minta kautemani aku ke Liong-thouw-san. Bagaimana?"

Yo Wan merasa kasihan sekali dan tidak tega hatinya untuk menolak. Benar-benar seorang gadis yang patut dikasihani. Tidak tahu siapa ayahnya! Adakah kenyataan yang lebih pahit dari ini?

"Bi-moi, aku sendiri merasa heran mengapa ibumu merahasiakan siapa adanya ayahmu. Akan tetapi, siapakah itu ayah angkatmu?"

"Dia suami ibu!"

"Ah.....!" Tak dapat Yo Wan menahan seruannya ini, karena memang sama sekali tak disangka-sangkanya. Melihat gadis itu memandang tajam karena seruan kagetnya, dia cepat-cepat menyambung. "Kalau begitu, dia itu bukan ayah angkatmu, melainkan ayah tirimu. Begitukah?"

Siu Bi mengangguk, lalu terus menundukkan mukanya. Betapapun juga, hatinya tertusuk dia merasa sakit. Semenjak kakeknya terbunuh oleh The Sun dan ia mendengar bahwa orang yang selama itu ia anggap ayahnya ternyata bukan ayahnya sejati, timbul rasa tak senang, bahkan benci kepada diri ayah tirinya itu.

"Benar, dia itu ayah tiriku, namanya The Sun. Selama ini aku memakai she The, padahal bukan..... eh, kau kenapa? Ketika mengangkat muka memandang, Siu Bi melihat betapa Yo Wan melompat berdiri tegak, mukanya pucat sekali dan sepasang matanya memandang kepadanya, dengan terbelalak. Cepat ia menghampiri dan hendak memegang pundak pemuda itu sambil berkata gemas, "Yo-twako, kau kenapa? Sakitkah kau?"

"Tidak..... tidak..... jangan sentuh aku!" teriak Yo Wan sambil melompat mundur.

"Yo-twako, kenapakah ... ?" Siu Bi benar-benar gelisah melihat keadaan Yo Wan yang seperti tiba-tiba menjadi gila itu.

"Kenapa?" suara Yo Wan parau dan tiba-tiba dia tertawa tapi seperti mayat tertawa. "Huh-huh-huh kenapa katamu? Ayah tirimu, The Sun itu adalah pembunuh ibuku!" Setelah berkata demikian, Yo Wan berkelebat dan sebentar saja dia sudah lenyap dari depan Siu Bi. Gadis ini tercengang, berusaha mengejar, akan tetapi hatinya sendiri terlampau tegang sehingga kedua kakinya menjadi lemas. la berusaha memanggil, akan tetapi tidak ada suara keluar dari mulutnya. Kemudian ia bersungut-sungut dan berbisik lirih, penuh kemarahan dan kegemasan.

"The Sun, kau benar-benar telah merusak hidupku...... aku benci padamu..... aku benci....." dan gadis ini lalu menangis terisak-isak di bawah pohon.

Sementara itu, dengan hati perih dan perasaan tidak karuan Yo Wan berlari-lari cepat sekali, menjauhkan diri sejauh mungkin dari gadis yang ternyata adalah anak tiri The Sun. Dan anak tiri musuh besarnya yang telah menghina ibunya dan menyebabkan kematian ibunya ini (baca Pendekar Buta), sekarang bermaksud akan membuntungi lengan suhu dan subonya serta putera mereka!

***

Tan Kong Bu dan isterinya, Kui Li Eng dengan penuh kebahagiaan menikmati hidup mereka di puncak Min-san. Para pembaca cerita Rajawali Emas tentu sudah mengenal siapa adanya suami isteri pendekar ini, yang keduanya memiliki ilmu kepandaian sangat tinggi.

Tan Kong Bu adalah putera Raja Pedang Tan Beng San, sedangkan isterinya, Kui Li Eng adalah puteri Kui-san-jin ketua Hoa-san-pai. Yang laki-laki putera ketua Thai-san-pai, yang wanita puteri ketua Hoa-san-pai. Tentu saja mereka merupakan pasangan yang hebat. Akan tetapi, suami isteri ini lebih suka bersunyi diri, menjauhkan keramaian dunia, memperdalam ilmu dan menerima belasan orang murid di Min-san sehingga kelak terkenal munculnya sebuah partai persilatan baru, yaitu Min-san-pai.

Biarpun belasan orang anak murid Min-san-pai merupakan anak-anak pilihan yang berbakat sehingga rata-rata mereka itu dapat mewarisi kepandaian yang diturunkan oleh kedua suami isteri pendekar ini, namun mereka itu tidak dapat menyamai kemajuan yang diperoleh puteri tunggal guru mereka. Tan Kong Bu dan isterinya memang hanya mempunyai seorang anak perempuan yang diberi nama Tan Lee Si. Seorang gadis berusia sembilan belas tahun, cantik dan berwajah agung, berwatak keras seperti ibunya dan jujur seperti ayahnya. Biarpun merupakan anak tunggal, Lee Si tidak biasa dimanja dan ia dapat berdiri dengan teguh di atas kaki sendiri, dalam arti kata segala sesuatu ingin ia putuskan dan laksanakan sendiri sehingga biarpun masih amat muda, namun ia telah mempunyai pandangan luas dan ketabahan yang luar biasa.

Ilmu silat yang dimiliki Lee Si memang aneh, merupakan percampuran dari ilmu kedua orang tuanya. Ayahnya, Tan Kong Bu, memiliki ilmu warisan dari mendiang Song-bun-kwi Kwee Lun terutama sekali Ilmu Silat Yang-sin-kun! Adapun ibunya, Kui Li Eng, mewarisi ilmu silat asli dari Hoa-san-kun. Karena ia menerima gemblengan dari ayah bundanya, maka Lee Si tentu saja paham akan kedua ilmu itu, malah kedua ilmu yang sudah mendarah daging di tubuh dan urat syarafnya itu telah bercampur dan terciptalah ilmu silat campuran yang aneh dan lihai. Ayahnya memberi hadiah sebatang pedang yang bersinar kuning, sebuah pedang pusaka ampuh yang bernama pedang Oie-kong-kiam. Adapun ibunya, seorang ahli senjata rahasia Hoa-san-pai, setelah melatih puterinya dengan ilmu senjata rahasia, menghadiahi sekantung gin-ciam (jarum perak).

Tidak sembarang ahli silat mampu mempergunakan gin-ciam ini, karena jarum-jarum itu amatlah lembutnya, jika dipergunakan hampir tidak mengeluarkan suara dan sukar diikuti pandangan mata. Cara menggunakan harus mengandalkan sinkang dan latihan yang masak.

Pada suatu pagi yang cerah, Lee Si berlatih ilmu silat pedang di dalam kebun di belakang rumahnya. Sejak kemarin ia melatih jurus campuran dari Yan-sin-kiam jurus ke delapan dengan Hoa-san-kiam-sut jurus ke lima. Kedua jurus ini mempunyai persamaan, akan tetapi mengandung daya serangan yang amat berlainan sehingga kalau kedua Jurus ini dapat dikawinkan, akan merupakan jurus yang ampuh. Akan tetapi Lee Si menemui kesulitan. Tiap kali ia mainkan kedua jurus ini dalam gerakan campuran, ia merasakan dadanya sesak. Beberapa kali sudah ia mencoba dan akhirnya ia menyarungkan pedangnya di punggung, lalu berdiri tegak dan mengumpulkan nafas, suatu ilmu berlatih nafas secara aneh yang diajarkan oleh ayahnya untuk mengerahkan tenaga Yang-kang. Beberapa menit kemudian ketika sesak pada dadanya sudah lenyap, ia membuka matanya dan menarik nafas panjang. Pada saat itu terdengarlah suara orang perlahan,

"Anak baik, mengapa kau tidak mencoba dengan barengi cara Pi-ki-hu-hiat (Tutup Hawa Lindungi Jalan Darah)? Jurusmu terlalu kacau dan berbahaya, kalau diulang-ulang bisa membahayakan diri sendiri."

Lee Si menengok dan tampaklah olehnya seorang laki-laki berusia kurang lebih lima puluh tahun duduk berjongkok di atas tembok kebun. Orang itu dapat berada di sana tanpa ia ketahui sudah membuktikan bahwa dia adalah seorang yang berkepandaian tinggi. Lee Si berpandangan luas, biarpun hatinya tak senang ada orang tak terkenal berani menegur dan malah memberi nasehat kepadanya yang berarti bahwa orang itu memandang rendah, namun ia dapat menekan perasaannya dan berkata,

"Orang tua, siapakah kau dan apa perlunya kau berada di sini mengintai orang?"

Laki-laki itu tersenyum dan wajahnya yang tenang itu berseri. "Aku adalah sahabat baik ayahmu, sengaja datang ke Min-san. Kebetulan tadi aku mendengar sambaran angin pedangmu, membuat aku tertarik sekali dan secara lancang menonton. Gerakan-gerakanmu menyatakan bahwa kau tentulah puteri Kong Bu."

Keterangan ini dapat diterima, akan tetapi karena Lee Si belum pernah bertemu dengan orang ini dan sering kali ia mendengar dari ayah bundanya bahwa mereka dahulu banyak dimusuhi orang-orang jahat di dunia kang-ouw, maka ia tetap menaruh curiga.  "Maaf, Lopek (Paman Tua), kalau memang kau adalah seorang tamu dari ayah, mengapa tidak langsung masuk dari pintu depan? Sebelum bertemu dengan ayah, maaf kalau saya tidak berani melayanimu lebih jauh."

Orang itu tertawa. "Ha..ha..ha, bagus sekali! Puteri Kong Bu benar-benar seorang yang hati-hati dan tidak sembrono. Ketahuilah, anak baik, aku datang dari Thai-san. Beritahukan ayahmu bahwa..... ah, itu dia sendiri datang!"

Lee Si menengok dan kagumlah ia akan kelihaian orang tua itu. Benar saja bayangan ayahnya berkelebat keluar dari pintu belakang. Begitu ayahnya melihat laki-laki yang berjongkok di atas pagar tembok, ia tercengang sejenak, kemudian terdengar dia berseru girang,

"Haiii..... bukankah suheng (kakak, seperguruan) Su Ki Han yang datang berkunjung?" Suara Kong Bu keras dan nyaring. Pendekar ini biarpun usianya sudah empat puluh tahun lebih, masih tampak muda dan gagah. la tertawa dan dengan beberapa kali lompatan saja dia sudah berada di dalam kebun. Tak lama kemudian berkelebat bayangan yang gesit dari seorang wanita cantik.

"Lihat siapa yang datang berkunjung ini!" Kong Bu berseru.

Wanita itu berdiri memandang, latu tersenyum manis dan sepasang matanya yang masih bening itu bersinar-sinar. "Ah, kiranya seorang tamu agung dari Thai-san!" Kui Li Eng wanita ini, juga berlompatan dalam kebun.

Lee Si menjadi girang sekali la cepat memberi hormat kepada laki-laki yang sudah melompat turun dari atas pagar tembok dan kini berpelukan dengan Kong Bu itu. "Sudah lama saya mendengar nama Supek, harap maafkan kekurangajaran saya tadi."

"Wah, kau anak nakal. Apakah kau sudah berlaku kurang ajar kepada Su-suheng?" bentak Kong Bu.

"Eh, jangan galak-galak, Sute. Dia anak baik, baik sekali, sama sekali tidak nakal atau kurang ajar. Malah aku yang tidak tahu diri, menerobos memasuki rumah orang melalui kebun belakang seperti maling dan mulutku yang gatal ini berani memberi komentar atas latihannya bermain pedang."

"Bagus sekali! Hayo cepat kauhaturkan terima kasih kepada Supekmu atas petunjuknya yang berharga!" kata Li Eng kepada puterinya.

Lee Si kembali menjura dengan hormat. "Supek, saya menghaturkan banyak terima kasih atas petunjuk Supek tadi yang tentu akan saya coba dan saya perhatikan."

Su Ki Han menggoyang-goyang kedua tangannya ke atas. "Wah-wah, kalian ini memang orang-orang yang berjiwa satria, pandai merendah diri. Pantas saja anak ini demikian maju dan hebat kepandaiannya, kiranya bermodal sikap merendahkan diri yang amat baik untuk mencapai kemajuan! Petunjukku tadi belum tampak buktinya, belum juga dicoba, bagaimana patut ditebus dengan ucapan terima kasih?"

"Supek, sesungguhnya sudah berhari-hari saya bingung menghadapi dua jurus yang hendak saya satukan itu, belum menemui jalan pemecahannya. Malah dada saya terasa sesak bernafas."

"Kau memang bandel!" Kong Bu mencela puterinya. "Ilmu silatku dan ilmu silat Ibumu semenjak dahulu memang berlawanan, sudah berkali-kali Ibumu dan aku bertanding, selalu tiada yang menang tiada yang kalah. Bagaimana bisa kau satukan?"

"Ayah dan Ibu buktinya bisa bersatu, mengapa ilmunya tidak bisa?"

"Eh, anak gila.....!" Li Eng berseru dengan muka menjadi merah sekali.

"Ha..ha..ha, anak kalian ini memang benar. Biarpun ilmu silat itu berlawanan sifatnya, namun bukan tak mungkin dapat disatukan, asal pandai mengaturnya. Sifat Im dan Yang memang berlawanan inilah yang menjadikan segala apa di dunia ini. Bukankah dalam kitab Ya-keng disebut bahwa IT IM IT YANG WI CI TO (sebuah Im dan sebuah Yang, itulah yang disebut TO)?

Kekuasaaan alam bekerja dengan dasar Im Yang dua unsur berlawanan yang saling menarik, juga saling menolak, saling menghancurkan, juga saling menghidupkan. Dengah adanya perpaduan Im dan Yang, barulah tercipta Ngo-heng, sari pati SUI HO BOK KIM THO (air-api-kayu-logam-tanah). Cara kerja Ngo-heng pun berdasarkan Im dan Yang, saling menghidupkan dan saling mematikan. AIR menghidupkan KAYU, KAYU menghidupkan API, API menghidupkan TANAH, TANAH menghidupkan LOGAM, dan LOGAM menghidupkan AIR. Sebaliknya, AIR mematikan API, API mematikan LOGAM, LOGAM mematikan KAYU, KAYU mematikan TANAH, dan TANAH mematikan AIR. Tentu saja arti kata menghidupkan boleh diganti menghasilkan, sedangkan mematikan boleh memusnahkan atau memakan habis. Wah, aku jadi ngacau terus..... ha..ha..ha!"

"Bagus, bagus, Supek. Saya mulai dapat menangkap rahasia Im dan Yang!" teriak Lee Si sambil bertepuk tangan kegirangan.

"Supekmu adalah murid tertua dari kakekmu, tentu saja dia telah mewarisi Ilmu Im-yang-sin-hoat," kata Kong Bu tersenyum.

Kembali sambil tertawa Su Ki Han mengangkat kedua lengannya ke atas menolak pujian itu. "Tentang ilmu kepandaian silat, mana bisa aku dibandingkan dengan Ayah dan Ibumu? Anak baik kalau belajar ilmu silat, ayah bundamu inilah gurunya. Kalau mempelajari teori tentang Im Yang, mungkin aku akan dapat memberi penjelasan. Karena tadi kulihat bahwa gerakanmu dalam mempersatukan dua jurus itu mengandung hawa Im dan Yang, dua hawa yang berlawanan, maka kau gagal dan dadamu merasa sesak.

Satu-satunya cara untuk mengatasinya hanya dengan Pi-ki-hu-hiat, karena dengan demikian, kau akan dapat mengatur kedua hawa yang bertentangan itu dengan teratur dan bergiliran sehingga dapat menghasilkan jurus yang lihai dan sukar diduga iawan."

"Lee Si, setelah mendapat petunjuk dari Supekmu, kenapa tidak segera dicoba agar kalau ada kekurangannya dapat minta penjelasan lagi?" kata Li Eng kepada puterinya. Ibu yang amat mencinta puterinya ini tentu saja menggunakan setiap kesempatan untuk kepentingan dan keuntungan puterinya.

"Sing.....!" Sinar kuning berkelebat ketika Lee Si mencabut pedang Oei-kong-kiam. "Supek, mohon petunjuk Supek kalau ada kekeliruan," katanya dan sekali lagi, seperti yang telah ia lakukan di luar tahu ayah bundanya selama beberapa hari ini tanpa hasil, ia bersilat mainkan jurus yang digabung itu. la mentaati petunjuk Su Ki Han dan sambil bersilat ia mengerahkan Ilmu Menutup Hawa Melindungi Jalan Darah. Gerakan kedua jurus itu ia satukan dan...... ia berhasil melakukannya dengan baik.

"Eh, seperti Yang-sin-kiam jurus ke delapan!" seru Kong Bu.

"Tidak, seperti jurus ke lima dari Hoa-san Kiam-sut " seru Li Eng.

Dengan girang sekali Lee Si menghentikan gerakannya dan bersorak, "Aku berhasil! Ayah, Ibu, memang itu tadi jurus ke delapan dari Yang-sin-kiam digabung dengan jurus ke lima dari Hoa-san Kiam-sut. Supek, terima kasih." Mereka tertawa-tawa dengan girang.

"Wah, kita ini tuan dan nyonya rumah macam apa?" Kong Bu tiba-tiba berseru mencela diri sendiri dan isterinya "Ada tamu agung datang, bukan lekas-lekas disambut dan dijamu, malah direpotkan dengan anak kita. Inilah kalau kita terlalu memanjakan anak!"

"Ah, di antara saudara sendiri, manah ada aturan sungkan-sungkan segala macam?" Su Ki Han membantah. Akan tetapi dia segera mengikuti mereka memasuki rumah di mana pemilik rumah cepat menyuguhkan minuman dan menanyakan keselamatan ayah bunda mereka di Thai-san. Tan Kong Bu adalah putera Raja Pedang Tan Beng San dan mendiang Kwee Bi Goat. Nyonya Tan Beng San yang sekarang, yaitu Cia Li Cu, ibu Tan Cui Sian adalah ibu tiri Kong Bu.

"Keadaan suhu dan subo (ibu guru) sehat-sehat dan selamat. Juga Thai-san-pai makin berkembang, tidak pernah terjadi hal-hal yang buruk."

"Supek, kenapa bibi Cui Sian tidak ke sini? Saya sudah kangen betul. Sepuluh tahun sudah tak pernah bertemu dengannya. Tentu dia lihai sekali dan cantik jelita, ya?"

"Karena bibimu itulah maka hari ini aku berada di sini. Sumoi sudah sebulan lebih turun gunung ketika datang putera Bun-goanswe yang mengabarkan bahwa ada anak murid Hek Lojin yang mencari-cari Pendekar Buta untuk membalas dendam. Malah putera Jenderal Bun itu pun menceritakan adanya sekawanan penjahat yang bernama Ang-hwa-pai, bermarkas di Pulau Chong-coa-to dipimpin oleh Ang-hwa Nio-nio dan banyak orang sakti lainnya, juga mengumpulkan tenaga untuk menyerbu Liong-thouw-san.

Putera Jenderal Bun itu dalam perjalanannya ke Liong-thouw-san untuk memberi kabar, dan dia sengaja mampir ke Thai-san, seperti yang dipesankan oleh ayahnya. Mendengar berita ini, suhu menjadi tidak enak hatinya. Permusuhan berlarut-larut yang kini mengancam keselamatan keluarga Pendekar Buta sebetulnya terjadi karena suhu, sedangkan Pendekar Buta, Kwa-taihiap, hanya membantu suhu. Maka aku lalu disuruh turun gunung, mencari sumoi untuk bersama-sama pergi ke Liong-thouw-san, bila perlu membantu Kwa-taihiap menghadapi musuh-musuh yang menyerbu."

Mendengar ini, Kong Bu malah tertawa. "Ah, ayah terlalu mengkhawatirkan keselamatan Kwa Kun Hong, sungguh lucu! Suheng, di jaman ini, siapakah orangnya yang akan mampu mengalahkan Pendekar Buta dan isterinya? Kalau ada yang sakit hati dan ingin membalas dendam, biarkan mereka itu pergi menandingi Pendekar Buta, biar mereka tahu rasa. Ingin aku melihat mereka itu seorang demi seorang dirobohkan."

"Paman Hong, biarpun sudah buta, penjahat-penjahat itu akan dapat berbuat apakah terhadapnya? Akan tetapi, ayah mertua benar juga. Adik Cui Sian akan mendapat pengalaman yang amat berharga kalau dia sempat menyaksikan paman Kun Hong menghajar para penjahat yang hendak menyerbu ke Liong-thouw-san." Ucapan Li Eng ini disertai suara mengandung kebanggaan. Kwa Kun Hong terhitung pamannya, seperguruan, maka ia patut berbangga akan kelihaian dan ketenaran nama pamannya.

Su Ki Han tersenyum mendengar kata-kata suami isteri ini. Ternyata mereka ini masih sama dengan dahulu, tabah, berani dan gagah perkasa, juga jujur kalau bicara. Suami isteri yang cocok sekali, pantas mempunyai puteri sehebat Lee Si.

"Memang tak dapat disangkal bahwa Kwa-taihiap memiliki kepandaian yang sakti. Suhu sendiri sering kali memuji-mujinya, apalagi karena sumber ilmu kepandaian Kwa-taihiap dan suhu adalah sama, yaitu dari kitab pusaka Im-yang Bu-tek Cin-keng. Akan tetapi menurut suhu, sekarang banyak bermunculan orang-orang sakti di dunia hitam, apalagi yang datang dari barat dan utara. Kaisar sendiri sampai bersusah payah dalam usahanya memperkuat dan memperbaiki Tembok Besar untuk mencegah perusuh dari barat dan utara. Namun, banyak tokoh-tokoh sakti mereka itu berhasil menerobos masuk dan selain melakukan penyelidikan untuk mengukur keadaan, juga mereka banyak berhubungan dengan tokoh-tokoh hitam di  sini.

Karena itulah, menurut suhu, sudah tiba saatnya kita semua harus bangkit, siap sedia membela negara dan bangsa menghadapi mereka itu. Pada saat ini, agaknya pribadi Pendekar Buta menjadi pusat perhatian para tokoh hitam yang banyak menaruh dendam. Maka, Kwa-taihiap boleh diumpamakan sebagai umpan untuk memancing datang tokoh-tokoh itu dan kita harus membantunya membasmi mereka agar negara bersih dari gangguan mereka. Bagaimana pendapat, Sute?"

Kong Bu mengangguk-angguk. "Ayah, selalu berpandangan luas. Tentu saja kami di sini, biarpun hanya terdiri dari kami bertiga dan beberapa belas anak murid yang kaku dan bodoh, selalu siap membantu apabila diperlukan."

"Bagus!" Li Eng menyambung. "Belasan tahun pedangku tinggal bersembunyi di dalam sarungnya, membuat aku menjadi malas. Berilah aku lawan yang jahat dan kuat, dan kegembiraan lama akan timbul kembali!"

"Wah-wah, kau kambuh lagi? Apa tidak takut ditertawai anakmu? Kita sudah tua, tidak perlu menonjolkan semangat seperti di waktu muda." Kong Bu menggoda isterinya.

"Ayah, aku setuju dengan Ibu. Ibu gagah dan bersemangat, mengapa dicela? Dan aku percaya, kalau Ibu ikut terjun, segala macam penjahat itu mana berani menjual lagak?" Lee Si membela ibunya.

Su Ki Han tertawa bergelak. "Anak baik, kalau Ibumu tidak begitu bersemangat dan gagah perkasa, mana bisa menjadi isteri Ayahmu? Sute berdua, kedatanganku ke sini, seperti telah kukatakan tadi, adalah mencari sumoi. Tadinya kusangka bahwa sumoi mengunjungi kalian. Apakah sumoi tak pernah datang ke sini?"

"Tidak, Su-suheng."

"Heran sekali, ke mana dia pergi? Apakah ke Lu-liang-san, ke rumah sute Tan Sin Lee? Ataukah ke Hoa-san-pai? Dalam penyelidikanku, pernah dia terlihat di dekat daerah Taingpan, malah kabarnya dia telah pergi mengunjungi Pulau Ching-coa-to! Akan tetapi sekarang dia tidak berada di sana, malah ketika kutanyakan Bun-goanswe, juga tidak singgah di sana."

"Mana bisa mencari seorang yang sedang merantau? Suheng, lebih baik kau mendahului ke Liong-thouw-san dan menanti di sana. Akhirnya Cui Sian tentu juga akan singgah ke sana."

"Senang sekali memang melakukan perantauan seorang diri seperti Cui Sian. Dengan sebatang pedang menjelajah seribu gunung, memberi kesempatan kepada pedang untuk menghadapi seribu kesulitan. Wah, kau takkan berhasil mencarinya, Su-suheng. Memang sebaiknya kau menanti di Liong-thouw-san. Kelak kalau dia muncul di sini, tentu akan kuberi tahu," kata Li Eng dengan wajah berseri. Nyonya ini yang dahulunya merupakan seorang gadis yang lincah dan suka sekali merantau, teringat akan masa mudanya dan timbul kegembiraannya.

"Cui Sian tidak seperti kau!" sela Kong Bu. "Kau dahulu selalu mencari perkara. Kalau semua gadis muda seperti kau akan kacaulah dunia. Ada gadis seperti kau lima saja, pasti dunia kang-ouw akan geger." Mereka tertawa-tawa lagi. Pertemuan dengan murid kepala Thai-san-pai ini ternyata mendatangkan kegembiraan luar biasa dan mereka bertiga itu bercakap-cakap sambil tertawa-tawa sampai hampir semalam suntuk. Banyak arak dan daging melewati tenggorokan mereka, dan ketiganya tidak memperhatikan lagi betapa sore-sore Lee Si sudah masuk ke kamarnya.

Baru pada keesokan harinya suami-isteri ini mendapat kenyataan bahwa puteri mereka tidak berada di dalam kamarnya dan bahwa pembaringannya tak pernah ditiduri malam itu. Di atas meja dalam kamar Lee Si terdapat kertas bertulisan huruf-huruf halus yang berbunyi, "TURUN GUNUNG MENCARI BIBI CUI SIAN ".

"Bocah lancang!" seru Kong Bu yang cepat memanggil murid-muridnya yang tinggal di puncak dalam bangunan lain. Para murid yang berjumlah tiga belas orang ini juga tidak ada yang melihat bila Lee Si pergi turun gunung, karena malam hari itu, tahu bahwa suhu dan subo mereka menjamu seorang tamu dari Thai-san, para murid ini tidak berani berada di dalam bangunan tempat tinggal mereka.

"Mengapa ribut-ribut? Biarkan dia turun gunung mencari pengalaman. Dia bukan anak kecil lagi," kata Li Eng, tidak puas melihat suaminya seperti seekor ayam kehilangan anaknya.

"Biarpun dia sudah dewasa dan kepandaiannya cukup, tapi dia masih hijau. Dunia banyak sekali orang jahat, bagaimana kalau dia tertimpa bencana?"

"Ah, kau sebagai ayah terlalu memanjakannya! Kalau dia tidak digembleng dengan kesulitan dan bahaya, mana patut menjadi puteri kita?"

Su Ki Han menjadi tidak enak. "Ahhh, akulah gara-garanya. Kalau tidak muncul di sini, agaknya Lee Si tidak akan pergi turun gunung. Biarlah aku minta diri sekarang dan akan kususul dia!"

"Jangan menyalahkan diri, Suheng. Memang sudah lama anak itu ingin sekali turun gunung, tapi selalu ditahan ayahnya. Sekarang ada kesempatan dan ada alasan, yaitu untuk mencari bibinya, Cui Sian, biar sajalah," kata Li Eng menghibur.

Juga Kong Bu menghibur, menyatakan bahwa bukan kesalahan Su Ki Han yang menyebabkan Lee Si pergi. Akan tetapi Su Ki Han tetap berpamit dan segera turun gunung dengan maksud mengejar Lee Si dan membujuk anak perempuan itu pulang ke puncak Min-san. Atau setidaknya ia dapat mengamat-amati dan menjaganya. Akan tetapi, betapapun cepat dia menggunakan ilmunya lari turun gunung, tetap dia tak dapat menyusul Lee Si. Gadis ini bukanlah orang bodoh dan ia pun tahu bahwa ayahnya tidak suka membiarkan ia pergi. Oleh karena itu, malam tadi ia berangkat dengan cepat dan menyusup-nyusup hutan, tidak mau melalui jalan besar.

Karena baru kali ini ia turun gunung dan ia tidak ingin ayahnya dapat mengejar dan memaksanya kembali, ia sengaja turun dari lereng sebelah barat dan sesukanya ia lari tanpa tujuan sehingga tanpa ia sadari, gadis ini melakukan perjalanan menuju ke barat! Dari Pegunungan Min-san ke barat, melalui daerah pegunungan yang tiada habisnya dan beberapa pekan kemudian gadis ini masih belum terbebas dari daerah pegunungan karena ternyata ia telah masuk daerah Pegunungan Bayangkara!

Penduduk dusun di pegunungan adalah orang-orang gunung yang tak pernah meninggalkan daerah pegunungan, maka tak seorang pun yang dijumpainya dapat menerangkannya ke mana jalan menuju Ke Liong-thouw-san atau ke kota raja. Hanya ada dua tempat di dunia ini yang menarik hati Lee Si dan yang mendorong ia turun gunung yaitu pertama di Liong-thouw-san karena ia ingin sekali berjumpa dengan paman dari ibunya yang terkenal dengan nama Pendekar Buta, dan kedua, ia ingin sekali menyaksikan bagaimana keadaan kota raja yang hanya pernah didengarnya dari cerita ibunya.

Pada suatu hari, ketika ia menuruni sebuah puncak di Pegunungan Bayangkara dan baru saja keluar dari sebuah hutan, ia mendengar suara aneh. Suara melengking tinggi dan suara seperti seekor katak buduk "bernyanyi" di musim hujan. Sebagai puteri suami-isteri pendekar yang berilmu tinggi, ia segera dapat menduga bahwa suara-suara itu tentulah suara yang keluar dari mulut orang-orang sakti yang mengerahkan khikang tinggi. Cepat ia menyusup di antara pepohonan dan mengintai. Betul seperti telah diduganya, dari balik batang pohon ia mengintai dan melihat dua orang laki-laki aneh sedang berhadapan.

Yang melengking tinggi dan nyaring, lebih nyaring daripada lengking suara ayahnya kalau mengerahkan khikang, adalah seorang kakek berjenggot pendek yang tubuhnya amat tinggi, lebih dua meter tingginya. Laki-laki ini berpakaian seperti orang asing, jubahnya berwarna kuning dan kepalanya dibungkus kain sorban warna kuning pula. Telinganya memakai anting-anting dan melihat bentuk hidungnya yang panjang melengkung serta kulitnya yang agak coklat gelap, terang bahwa si jangkung ini adalah seorang asing. Adapun orang kedua yang memasang kuda-kuda dengan kedua lutut ditekuk setengah berjongkok sambil mengeluarkan suara "kok-kok-kok!" seperti suara katak buduk, adalah seorang kakek yang tubuhnya pendek gemuk berkepala gundul, kumis seperti tikus dan jenggotnya pendek.

Dengan hati tertarik Lee Si memandang. Pasangan kuda-kuda kakek pendek gendut itu baginya tidaklah asing. Itu adalah pasangan kuda-kuda yang umum dan banyak dilakukan oleh ahli silat dari utara. Akan tetapi pasangan kuda-kuda si jangkung itulah yang amat mengherankan hatinya. Si jangkung itu berdiri dengan kedua kaki terpentang lurus, berdirinya bukan menghadapi lawan melainkan miring sehingga lawannya berada di sebelah kanannya, kedua lengan dikembangkan dengan jari-jari terbuka, mukanya seperti orang kemasukan setan dan dari mulutnya keluarlah bunyi lengkingan yang kadang-kadang mendesis-desis.

Lee Si dapat menduga bahwa dua orang itu tentu sedang berada dalam awal pertandingan. la tidak mengenal mereka, juga tidak tahu mengapa dua orang aneh ini seperti hendak bertempur, maka ia hanya mengintai dan menjadi penonton. Tiba-tiba si pendek gendut makin merendahkan tubuhnya dan suara "kok-kok" dari mulutnya makin dalam, kemudian kedua tangannya mendorong ke depan. Kedua lengan itu tampak menggetar, penuh dengan tenaga mujijat yang menerjang ke depan. Si tinggi itu menggerakkan kedua lengan seperti orang menangkis, namun tetap saja ia terhuyung ke kiri, mukanya berubah merah sekali.

Lee Si terkejut bukan kepalang. Hebat si pendek itu. Entah ilmu pukulan jarak jauh apa yang diperlihatkan tadi, tapi terang bahwa si jangkung telah terdesak hebat dan keadaannya berbahaya. Mendadak si jangkung mengeluarkan suara melengking tinggi, tubuhnya berjungkir balik tiga kali dan tahu-tahu dia telah melayang ke tempat yang tadi, kemudian kedua lengannya bergerak dari atas kepala ke bawah seperti orang menekan. Dari kedua lengan yang panjang ini menyambar hawa pukulan sakti yang membuat debu mengebul di depan kakinya! Kali ini si pendek gendut yang menerima serangan ini dengan kedua tangannya, terdorong mundur sampai satu meter lebih dan hanya dengan melempar tubuh ke belakang lalu bergulingan seperti bola karet ia dapat mematahkan daya serangan lawan yang menggunakan pukulan jarak jauh mengandalkan tenaga mujijat.

Keduanya lalu melompat dan berdiri berhadapan dalam keadaan biasa. Keduanya agak pucat dan si pendek gendut tertawa dengan suaranya yang parau dan dalam, "Ha..ha..ha, sobat Maharsi, hebat bukan main pukulanmu tadi. Aha, agaknya inilah Pai-san-jiu (Pukulan Mendorong Gunung) yang terkenal hebat itu!"

"Hemmm, Bo Wi Sianjin, kami orang-orang barat hanya mempunyai sedikit hasil latihan, mana dapat disamakan dengan kau, seorang tokoh utara yang hidupnya menentang keadaan alam yang buas dan kuat? Sudah lama aku mendengar bahwa Ilmu Pukulan Katak Sakti darimu tiada bandingnya dan ternyata hari ini aku telah membuktikan sendiri kehebatannya. Kalau kau tidak memandang persahabatan, agaknya aku tadi takkan kuat menahan!"

"Ha..ha..ha..ha..ha, kau orang barat nnemang pandai sekali mengelus hati merayu perasaan dengan pujian muluk! Bagiku, tidak ada kesenangan yang melebihi bertanding ilmu untuk membuktikan sampai di mana hasil jerih payah yang kita derita selama puluhan tahun. Akan tetapi, karena kita perlu sekali menyatukan tenaga menghadapi lawan yang lihai, biarlah aku bersabar dan kelak masih banyak waktu bagi kita untuk memuaskan hati menengok siapakah di antara kita yang lebih berhasil."

"Hemmm, aku selalu akan mengiringi keinginan hatimu, Sobat. Akan tetapi betul sekali kata-katamu tadi, saat ini kita perlu menghimpun tenaga. Lawan-lawan kita bukanlah orang-orang yang mudah dikalahkan," jawab si jangkung dengan bahasa yang terdengar kaku namun cukup jelas bagi Lee Si yang masih mengintai sambil mendengarkan.

"Kau benar, Maharsi. Kaukatakan tadi bahwa kau menerima permintaan bantuan dari adik seperguruanmu Ang-hwa Nio-nio? Jadi sekarang kau hendak pergi mengunjunginya ke Ching-coa-ouw (Telaga Ular Hijau)?"

"Betul, Sianjin. Adikku Kui Ciauw itu sekarang menjadi ketua Ang-hwa-pai di Pulau Ching-coa-to. Memang dulu sudah kujanjikan akan membantunya karena kedua orang adikku Kui Biauw dan Kui Siauw telah tewas di tangan Pendekar Buta dan teman-temannya. Kau sendiri, kukira turun dari pegunungan utara untuk urusan kematian suhengmu Ka Chong Hoatsu. Bukankah begitu?"

"Betul, Maharsi. Kakak seperguruanku itu tewas di tangan Raja Pedang yang sekarang menjadi ketua Thai-san-pai.

"Hemmm, lawan kita memang berat. Pendekar Buta biarpun masih muda, kepandaiannya luar biasa sekali. Untuk menghadapinya maka selama hampir dua puluh tahun aku melatih dengan Pai-san-jiu."

Si pendek gendut mengangguk-angguk. "Sama halnya dengan aku, Sobat. Bu-tek Kiam-ong Tan Beng San memiliki ilmu kepandaian yang lihai, terutama ilmu pedangnya Im-yang-sin-kiam. Karena itulah maka aku menyembunyikan diri selama dua puluh tahun lebih, khusus untuk melatih Ilmu Pukulan Katak Sakti guna menghadapinya. Mudah-mudahan jerih payah kita takkan, sia-sia dan roh-roh saudara kita akan dapat tenteram."

Lee Si yang mendengarkan percakapan ini menjadi kaget sekali. Baiknya dia seorang gadis yang cukup cerdik dan tidak sembrono. la dapat menduga bahwa dua orang ini merupakan lawan-lawan yang amat tangguh, maka ia tidak mau sembarangan keluar dari tempat persembunyiannya. Pada saat itu, terdengar suara orang tertawa bergelak, tepat di belakang Lee Si dan sebelum gadis ini sempat berbuat sesuatu, pundaknya telah dicengkeram orang dan ternyata yang menangkapnya adalah seorang hwesio yang sudah amat tua, mukanya pucat seperti mayat, tubuhnya tinggi besar dan kedua matanya selalu meram seperti orang buta, bajunya yang terbuat dari kain kasar terbuka lebar di bagian dada memperlihatkan sebagian perut yang gendut.

"Tokoh-tokoh utara dan barat diintai bocah di luar tahu mereka, benar-benar aneh!" kata hwesio itu dengan suara tak acuh, kemudian tangannya bergerak dan..... tubuh Lee Si melayang ke arah dua orang aneh itu seperti sehelai daun kering tertiup angin!

Tentu saja Lee Si yang tadinya sudah kaget, kini menjadi takut setengah mati. la maklum bahwa tubuhnya melayang ke arah dua orang aneh itu dan tidak tahu bagaimana akan jadinya dengan dirinya. Tentu saja dengan mempergunakan ginkang, setelah kini terbebas dari pegangan hwesio sakti itu, ia dapat melayang ke samping untuk melarikan diri. Akan tetapi ia pun cukup maklum bahwa hal ini akan sia-sia belaka. Tak mungkin ia melarikan diri dari tiga orang aneh ini kalau mereka tidak menghendaki demikian.

la teringat akan cerita ayah bundanya tentang keanehan tokoh-tokoh kang-ouw di dunia persilatan. Jalan satu-satunya hanya menyerah tanpa mengeluarkan kepandaian sehingga tiga orang itu akan merasa malu untuk mengganggu seorang lawan yang tidak memiliki kepandaian seimbang. la harus mempergunakan kecerdikan di mana kepandaiannya takkan dapat menolongnya. Oleh karena inilah, ia hanya memutar agar dalam melayang ini ia dapat memandang kepada kedua orang tokoh dari barat itu.

Siapakah tiga orang sakti ini? Seperti dapat diketahui dari percakapan antara si jangkung dan si pendek yang didengarkan oleh Lee Si tadi, si jangkung adalah seorang tokoh barat berbangsa India sebelah timur, seorang pertapa dan pendeta yang disebut Maharsi (Pendeta Agung). Maharsi ini adalah kakak seperguruan dari Ang-hwa Sam-ci-moi, yaitu Kui Ciauw, Kui Biauw dan Kui Siauw. Sebagaimana kita ketahui, Kui Biauw dan Kui Siauw ini tewas ketika Ang-hwa Sam-ci-moi bentrok dengan Pendekar Buta dan teman-temannya, adapun Kui Ciauw sekarang menjadi ketua Ang-hwa-pai yang berjuluk Ang-hwa Nio-nio.

Sudah bertahun-tahun lamanya Ang-hwa Nio-nio menaruh dendam kepada Pendekar Buta atas kematian kedua orang saudaranya, dan untuk membalas dendam ia telah minta bantuan Maharsi. Akan tetapi, karena maklum betapa lihainya Pendekar Buta, mereka berdua menunda niat membalas dendam ini dan masing-masing menggembleng diri untuk membuat persiapan menghadapi musuh lama yang amat sakti itu.

Adapun si pendek itu adalah seorang tokoh dari daerah Mongol. Bo Wi Sianjin dahulu mempunyai seorang suheng (kakak seperguruan) bernama Ka Chong Hoatsu yang tewas di tangan Raja Pedang Tan Beng San. Juga karena maklum betapa lihainya musuh besar ini, Bo Wi Sianjin tidak tergesa-gesa dan berlaku sembrono, melainkan dia malah menyembunyikan diri untuk menyakinkan sebuah ilmu yang ampuh untuk menghadapi musuhnya. Selama dua puluh tahun lebih dia menggembleng diri dan sekarang dia mulai turun dari tempat persembunyiannya untuk mencari musuh lama, yaitu Raja Pedang ketua Thai-san-pai. Di tengah jalan kebetulan bertemu dengan Maharsi dan kebetulan sekali terlihat oleh Lee Si.

Hwesio tua renta yang tinggi besar dan amat lihai itu bukanlah seorang yang tidak dikenal para pembaca cerita Pendekar Buta. Dia itu bukan lain adalah Bhok Hwesio, seorang tokoh yang amat terkenal dari perkumpulan besar Siauw-lim-pai. Akan tetapi, berbeda dengan para hwesio Siauw-lim-pai yang terkenal sebagai pendeta-pendeta berbudi yang hidup suci dan biasanya menggunakan ilmu silat dari Siauw-lim-pai yang hebat untuk membela kebenaran dan keadilan. Bhok Hwesio ini semenjak dahulu merupakan seorang anak murid atau tokoh yang murtad. Ilmu kepandaiannya memang tinggi dan lihai sekali. Boleh dibilang jarang tokoh Siauw-lim-pai yang dapat menandinginya, kecuali para pimpinan dan ketuanya saja.

Di dalam cerita Pendekar Buta diceritakan betapa Bhok Hwesio ini, dua puluh tahun yang lalu, dapat terbujuk oleh mereka yang memusuhi Pendekar Buta dan kawan-kawannya. Akhirnya dia ditawan oleh suhengnya sendiri, Thian Ki Losu tokoh Siauw-lim-pai yang sakti, dibawa kembali ke Siauw-lim-pai dan seperti sudah menjadi peraturan keras Siauw-lim-pai kalau ada anak murid menyeleweng, Bhok Hwesio di "hukum" di dalam "kamar penunduk nafsu" selama sepuluh tahun! la tidak boleh keluar dari kamar yang pintunya di "segel" dengan tulisan "hu" (surat jimat) diberi makan melalui lubang sehari sekali, dan diharuskan bersamadhi dan menindas hawa nafsu duniawi.

Karena yang menjaga agar hukuman ini terlaksana baik adalah Thian Ki Losu sendiri, Bhok Hwesio tidak berdaya dan terpaksa dia menyerah. Suhengnya itu terlampau sakti baginya. Akan tetapi sesungguhnya hanya pada lahirnya saja dia menyerah. Di dalam hatinya dia menjadi marah dan sakit hati terhadap Pendekar Buta, Raja Pedang, dan lain-lainnya yang dianggapnya menjadi biang keladi penderitaannya ini. Diam-diam dia bersamadhi untuk menggembleng diri, memupuk tenaga dan memperdalam ilmu silat dan ilmu kesaktian di dalam kamar kecil dua meter persegi itu!

Saking tekunnya melatih diri, sudah sepuluh tahun lewat dan sudah lama Thian Ki Losu yang amat tua itu meninggal dunia, namun dia malah tidak mau keluar dari kamar hukuman ketika pintu dibuka sendiri oleh ketua Siauw-lim-pai, yaitu Thian Seng Losu. Akhirnya dia dibiarkan saja karena hal ini dianggap malah amat baik dan bahwa Bhok Hwesio agaknya sudah mendekati ambang pintu "kesempurnaan"!

Demikianlah, setelah bertapa menyiksa diri selama dua puluh tahun, pada suatu malam para hwesio di Siauw lim-pai kehilangan hwesio tua yang dianggap hampir berhasil dalam tapanya itu. Tak seorang pun di antara para tokoh Siauw-lim-si itu menduga bahwa kepergian Bhok Hwesio kali ini adalah untuk mencari musuh-musuhnya yang dianggapnya membuat dia menderita selama dua puluh tahun untuk membalas dendam! Dan secara kebetulan sekali dia melihat Maharsi dan Bo Wi Sianjin yang sudah dia kenal namanya. Girang hatinya mendengar bahwa mereka berdua itu pun mempunyai tujuan yang sama, maka dia lalu muncul sambil menangkap dan melemparkan tubuh gadis yang dia ketahui sejak tadi mengintai.

Sengaja dia menggunakan tenaga sakti dalam lemparan itu untuk "menguji" kelihaian dua orang tokoh utara dan barat yang akan menjadi teman seperjuangan menghadapi musuh-musuh besarnya yang sakti, yaitu Pendekar Buta, Raja Pedang dan teman-teman mereka.

Maharsi dan Bo Wi Sianjin yang selama dua puluh tahun bersembunyi di tempat pertapaan masing-masing dan sudah lama tidak turun gunung, tidak mengenal hwesio tua renta yang tinggi besar dan bermuka pucat seperti mayat itu. Sekilas pandang saja ketika mereka tadi memandang wajah pucat tak berdarah itu, mereka sebagai orang-orang sakti maklum bahwa hwesio tua itu benar-benar telah menguasai ilmu mujijat yang disebut I-kiong-hoan-hiat (Memindahkan Jalan Darah)! Hanya orang yang sinkang atau hawa sakti dalam tubuhnya sudah dapat diatur secara sempurnalah yang akan dapat menguasai ilmu "hoan-hiat" ini yang berarti bahwa hwesio itu sudah mencapai titik yang sukar diukur tingginya.

Sekarang melihat tubuh seorang gadis muda melayang ke arah mereka, tahulah kedua orang itu bahwa hwesio tua ini hendak menguji kesaktian. Mereka tidak mengenal Lee Si dan biarpun jelas bahwa gadis itu mengintai, namun mereka tidak tahu apakah gadis ini musuh atau bukan. Namun karena gadis itu sudah dilontarkan ke arah mereka, Maharsi mengeluarkan suara melengking tinggi, sambil mendorongkan kedua lengannya ke depan, ke arah tubuh Lee Si sambil mengerahkan sinkang dengan tenaga lembut. Demikianpun Bo Wi Sianjin mengeluarkan suara "kok-kok" sambil mendorongkan lengannya, juga dengan tenaga lembut karena dia pun seperti Maharsi, tidak mau melukai atau mencelakakan gadis yang tak dikenalnya.

Untung bagi Lee Si bahwa ia berlaku hati-hati dan cerdik, tadi tidak menggunakan ginkang untuk melarikan diri, karena ternyata Bhok Hwesio hanya sementara saja melepaskannya. Begitu kedua orang kakek itu menyambut, Bhok Hwesio sudah menggerakkan lengan lagi ke arah tubuh yang melayang itu. Lee Si merasa betapa tenaga yang hebat sekali dan panas datang menyambar dan menyangga punggungnya dari belakang. Pada saat itu, dari depan datang menyambar dua tenaga gabungan dari kakek jangkung dan kakek pendek. Gabungan tenaga ini bertemu dengan tenaga Bhok Hwesio sehingga tubuh Lee Si yang tergencet di tengah-tengah di antara dua tenaga sakti yang saling bertentangan berhenti di tengah udara seakan-akan tertahan oleh tenaga mujijat dan tidak dapat jatuh ke bawah. Memang hal ini sebetulnya amat tidak masuk di akil tampaknya, karena menyalahi hukum alam. Namun, harus diakui bahwa di dalam tubuh manusia terdapat banyak sekali rahasia-rahasia yang belum dapat dimengerti oleh manusia sendiri, dan sudah banyak yang mengakui bahwa terdapat tenaga-tenaga mujijat yang masih merupakan rahasia dalam diri manusia. Di antaranya adalah sinkang (hawa sakti) yang selalu terdapat dalam diri setiap orang manusia. Hanya sebagian besar orang belum sadar akan hal ini dan karena tidak mengenalnya maka tidak kuasa pula mempergunakannya.

Sebagai puteri suami-isteri pendekar yang berilmu tinggi, sungguhpun tingkatnya belum setinggi itu, namun Lee Si sudah maklum apa yang terjadi dengan dirinya. Ia dijadikan alat untuk mengukur tenaga sinkang, andaikata diambil perumpamaan, ia merupakan sebatang tongkat yang dijadikan alat untuk main dorong-dorongan mengadu tenaga otot. Hanya dalam hal ini, bukan tenaga otot yang dipertandingkan, melainkan tenaga sinkang yang merupakan dorongan-dorongan dari jarak jauh!

Lee Si tidak begitu bodoh untuk mencoba-coba mengerahkan sinkangnya sendiri dalam arena pertandingan ini, karena hal ini akan membahayakan nyawanya. Kecuali kalau ia memiliki tenaga yang mengatasi tenaga tiga orang itu, atau setidaknya mengimbangi. la sengaja mengendurkan seluruh tenaga dan sedikit pun tidak melawan, namun dengan penuh perhatian ia merasakan getaran-getaran hawa sakti yang saling mendorong melalui tubuhnya itu. Segera ia dapat menduga bahwa di antara tiga orang kakek itu, si hwesio tinggi besar inilah yang paling hebat tenaganya, juga tenaga sinkang hwesio ini yang mencengkeramnya.

Akan tetapi dibandingkan dengan tenaga si jangkung dan si pendek digabung menjadi satu, ternyata hwesio tua itu masih kalah kuat sedikit. Inilah yang perlu diselidiki oleh Lee Si dalam waktu singkat. Tentu saja ia tidak sudi menjadi "alat" mengukur sinkang seperti itu, karena kalau dibiarkan saja, akibatnya amatlah buruk. Kalau hanya berakibat tenaga sinkangnya sendiri melemah saja masih belum apa-apa, akan tetapi kalau ada kurang hati-hati sedikit saja dari ketiga orang itu, ia bisa menderita luka parah di sebelah dalam tubuhnya.

Lee Si sudah tahu apa yang harus ia lakukan. Setelah mengukur tenaga yang bertanding, tiba-tiba ia mengeluarkan jeritan keras sekali sambil mengerahkan sinkang di tubuhnya, membantu atau lebih tepat "menunggangi" tenaga gabungan Si Jangkung dan Si Pendek, terus ia mendorong hawa hwesio tinggi besar yang mencengkeramnya. Benar saja perhitungannya, Bhok Hwesio yang sudah merasa lelah dan tahu bahwa kalau dilanjutkan adu sinkang ini dengan dikeroyok dua, dia akan kalah, tiba-tiba menjadi terkejut karena pihak lawan menjadi makin kuat. Terpaksa dia mendengus dan menurunkan kedua lengannya.

Begitu terlepas dari gencetan dari kedua pihak, tubuh Lee Si terlempar ke bawah. Namun gadis cerdik ini sudah menggunakan ginkangnya dan melompat dengan selamat ke atas tanah. Sedikit pun ia tidak terpengaruh atau menjadi gugup biarpun baru saja ia terbebas dari ancaman bahaya maut. la malah segera menggunakan kesempatan untuk mengadu mereka demi keselamatannya sendiri, karena kalau tiga orang itu bersatu memusuhinya, terang ia akan celaka.

"Hemmm, hwesio sudah tua renta, mestinya berlaku alim dan budiman terhadap orang muda, kiranya sebaliknya, datang-datang kau menghina. Terang bahwa kau sengaja hendak menyombongkan kepandaianmu kepada aku orang muda dan selain itu kau pun memandang rendah kepada dua orang Locianpwe (Orang Tua Gagah) ini. Hemmm, hwesio tua renta, betapapun kau menyombongkan kepandaian, kenyataannya dalam adu tenaga tadi kau telah kalah!"

Bhok Hwesio tercengang, demikian s pula Maharsi dan Bo Wi Sianjin. Ucapan terakhir dari gadis itu membuktikan bahwa Lee Si bukan orang sembarangan dan malah mengerti akan adu sinkang tadi serta dapat mengetahui pula siapa kalah siapa menang! Perhitungan Lee Si memang tepat. Ucapannya membuat kedua telinga Bhok Hwesio menjadi merah sehingga kelihatannya aneh sekali, muka demikian pucat tapi kedua telinga merah seperti dicat!

"Siapa kalah? Biar Maharsi dari barat dan Bo Wi Sianjin dari utara terkenal lihai, dikeroyok dua sekalipun pinceng tidak akan kalah! Bocah liar, kau lancang mulut!" Bhok Hwesio menggoyang-goyang lengan bajunya. Akan tetapi Lee Si yang cerdik tidak bergerak dari tempatnya.

"Kalau menyerang dan merobohkan aku orang yang patut jadi cucu buyutmu, apa sih gagahnya? Tapi mengalahkan kedua orang Locianpwe yang sakti ini? Huh, omong sih gampang! Kalau kau menangkan mereka tak usah kaubunuh aku akan menggorok leherku sendiri di depanmu!"

Di "bakar" seperti itu, Bhok Hwesio tersinggung keangkuhannya. la tersenyum lebar menghampiri Maharsi dan Bo Wi Sianjin, mementang kedua lengannya dan berkata, "Hayo kalian layani aku beberapa jurus, baru tahu bahwa pinceng (aku) lebih unggul daripada kalian!" Setelah berkata demikian, hwesio tua tinggi besar ini sudah menggerakkan kedua lengan bajunya yang menup angin pukulan seperti taufan.

Maharsi dan Bo Wi Sianjin terkejut, akan tetapi sebagai orang-orang sakti yang berkedudukan tinggi, tentu saja mereka tidak sudi dihina oleh hwesio yang tak mereka kenal ini. Cepat mereka bersiap, Maharsi menangkis, dengan gerakan lengan dari atas ke bawah sedangkan Bo Wi Sianjin sudah berjongkok dan dari mulutnya keluar suara kok-kok-kok seperti katak buduk. Di lain saat, tiga orang sakti ini suah bertempur dengan gerakan lambat namun setiap gerakan mengandung sinkang dan Iweekang yang dapat membunuh lawan dari jarak jauh!

Inilah yang diharapkan oleh Lee Si. Jalan satu-satunya bagi keselamatan dirinya adalah mengadu tiga orang sakti itu agar ia dapat menggunakan kesempatan itu untuk melarikan diri. Maka begitu tiga brang itu saling gempur dengan gerakan lambat namun mengandung tenaga dahsyat, Lee Si segera menyelinap ke belakang batang pohon dan siap hendak melarikan diri.

"Hendak lari ke rnana kau, bocah liar?" Suara ini adalah suara Bhok Hwesio dan tiba-tiba hawa pukulan yang dahsyat menyambar ke arah Lee Si Gadis ini terkejut bukan main, cepat mengelak sambil melompat dan..... "brakkk!" pohon di sebelahnya tadi patah dan tumbang! Lee Si menjadi pucat. Bukan main hebatnya hwesio tua itu yang dalam keadaan dikeroyok dua oleh Maharsi dan Bo Wi Sianjin, masih tetap dapat melihatnya dan mengetahui niatnya melarikan diri, bahkan dari jarak jauh dapat mengirim serangan yang demikian dahsyatnya.

"Huh, kaukira dapat lari dari Bhok Hwesio?" Hwesio tinggi besar itu dengan sebelah tangannya menahan serangan Maharsi dan Bo Wi Sianjin, sedangkan tangan kirinya kembali melancarkan pukulan-pukulan jarak jauh yang membuat Lee Si melompat ke sana kemari dengan cepat.

"Ah, kiranya Bhok-taisuhu (Guru Besar) dari Siauw-lim-pai? Maaf..... maaf....."

Bo Wi Sianjin melompat mundur. Juga Maharsi yang sudah mendengar nama ini menghentikan serangannya.

Lee Si kaget dan gelisah. Celaka, pikirnya. Tiga orang itu sudah saling mengenal dan agaknya tidak akan bermusuhan lagi, dan hal ini berarti ia akan celaka! Menggunakan kesempatan terakhir selagi Bhok Hwesio terpaksa membalas penghormatan dua orang itu, ia cepat melompat dan mengerahkan ginkangnya. Akan tetapi tiba-tiba ada sambaran angin dari belakang. Lee Si secepat kilat membanting diri ke kiri sambil mencabut pedang dengan tangan kanan dan merogoh gin-ciam (jarum perak) dengan tangan kiri. Sambil membalik dengan gerakan Lee-hi-ta-teng (Ikan Lele Meloncat) ia menggerakkan tangan kirinya, menyerang dengan jarum perak ke arah bayangan Bhok Hwesio yang sudah melangkah lebar mengejarnya.

Dalam keadaan terpojok, Lee Si lenyap rasa takutnya dan siap untuk melawan dengan gagah berani sebagaimana sikap seorang pendekar sejati.

Penyerangan Lee Si dengan jarum-jarum perak itu bukanlah hal yang boleh dipandang ringan. Ilmunya melepas jarum perak adalah ilmu senjata rahasia yang ia pelajari dari ibunya dan boleh dibilang ia telah mahir dengan Ilmu Pek-po-coan-yang (Timpuk Tepat Sejauh Seratus Kaki). Serangannya tadi sebetulnya lebih bersifat menjaga diri, sambil membalik melepaskan segenggam jarum sebanyak belasan batang untuk mencegah desakan lawan. Biarpun jarum-jarum itu hanya disambitkan dengan sekali gerakan, namun benda-benda halus itu meluncur dalam keadaan terpisah dan langsung menerjang ke arah bagian-bagian berbahaya di perut, dada, leher, dan mata.

Serangan ini masih disusul oleh terjangan Lee Si sendiri yang telah memutar pedangnya melakukan serangan. Ternyata gadis muda yang cerdik ini, yang tahu bahwa tak mungkin ia akan dapat membebaskan diri kalau hanya lari dari hwesio kosen itu, telah menggunakan taktik menyerang lebih dulu untuk mencari kedudukan baik sehingga dapat mengurangi besarnya bahaya menghadapi lawan yang lebih tangguh.

"Eh, kau anak Hoa-san-pai?" Bhok Hwesio berseru ketika lengan bajunya dikibaskan menyampok runtuh semua jarum perak dan cepat ia menggerakkan tubuh ke belakang karena melihat bahwa sinar pedang gadis muda itu tak boleh dipandang ringan.

"Kalau sudah tahu, masih berani menghinaku?" Lee Si menjawab dan kembali tangannya yang sudah menggenggam jarum perak bergerak menyambitkan jarum. Kini karena berhadapan dan dapat mencurahkan perhatian, Lee Si memperlihatkan kepandaiannya, yaitu ia telah melepas jarum-jarum peraknya dengan gerakan Boan-thian-ho-i (Hujan Bunga di Langit), gerakan yang tidak saja amat indah, akan tetapi juga hasilnya luar biasa sekali karena jarum-jarum itu tersebar mekar seperti payung, atau seperti hujan mengurung tubuh Bhok Hwesio. Hebatnya, jarum-jarum itu kini mengarah jalan-jalan darah yang amat penting.

"Ho..hoh..hoh, siapa takut Hoa-san-pai?" Bhok Hwesio berseru, tubuhnya tiba-tiba rebah bergulingan dan di lain saat dia telah melompat berdiri sambil menggerakkan kedua tangannya. Benda-benda hijau meluncur ke depan, menangkis jarum-jarum itu sehingga di lain saat rumput dan daun hijau yang tertancap jarum perak runtuh ke atas tanah.

Kini Lee Si yang kaget setengah mati. Kiranya hwesio itu luar biasa sekali kepandaiannya, sudah amat tinggi, malah lebih tinggi daripada ibunya dalam hal menggunakan senjata rahasia. Baru saja hwesio tua itu mendemonstrasikan kelihaiannya menggunakan senjata rahasia dengan Ilmu Cek-yap-hui-hwa, yaitu ilmu melepas senjata rahasia menggunakan bunga dan daun. Tadi dengan hanya rumput-rumput dan daun yang direnggutnya sambil bergulingan, Bhok Hwesio berhasil memukul runtuh semua jarum yang dilepas oleh Lee Si. Namun ia tidak menjadi gentar atau putus asa, cepat pedangnya sudah bergerak dengan jurus-jurus yang ia gabungkan dari kedua ilmu pedang warisan ayah bundanya.

Bhok Hwesio tercengang ketika dia mengelak dan mengebutkan ujung lengan bajunya. la mengenal baik Ilmu Pedang Hoa-san-pai, akan tetapi yang diperlihatkan gadis ini hanya mirip-mirip Ilmu Pedang Hoa-san-pai, bukan Ilmu Pedang Hoa-san-pai asli, namun malah lebih hebat! Yang amat mengherankan hatinya adalah hawa pukulan yang terkandung oleh ilmu pedang ini, karena kadang-kadang mengandung hawa Im yang menyalurkan tenaga lemas, akan tetapi di lain detik berubah menjadi hawa Yang dengan tenaga kasar.

Mirip dengan ilmu kepandaian yang dimiliki musuh besarnya, yaitu Pendekar Buta dan terutama Raja Pedang yang menjadi pewaris dari Ilmu Im-yang-sin-hoat. Selama dua puluh tahun ini, di dalam kamar kecil yang menjadi tempat dia menderita hukuman "penebus dosa" dan sekaligus menjadi tempat dia bertapa dan menggembleng diri, memang dia khusus mencari ilmu untuk menghadapi Im-yang-sin-hoat. Maka sekarang menghadapi ilmu pedang Lee Si yang memang mengandung penggabungan kedua hawa yang bertentangan ini, dia tidak menjadi bingung. Sepasang lengan bajunya bergerak seperti sepasang ular hidup yang mengandung dua macam tenaga pula sehingga Lee Si sebentar saja terdesak hebat!

Memang kalau bicara tentang tingkat ilmu, tingkat Lee Si masih jauh di bawah tingkat kakek ini. Bhok Hwesio usianya sudah delapan puluh tahun lebih dan selain memiliki ilmu yang amat iinggi dari Siauw-lim-pai, juga dia mempunyai pengalaman bertempur puluhan tahun lamanya. Hanya dua hal yang membuat Lee Si dapat bertahan sampai tiga puluh jurus lebih. Pertama, karena gadis ini memang mempunyai ilmu kepandaian asli yang bersih dan sakti, kedua karena Bhok Hwesio sendiri merasa rendah untuk merobohkan gadis yang patut menjadi cucu buyutnya seperti dikatakan Lee Si tadi.

Kalau dia mau mengeluarkan jurus-jurus simpanan yang mematikan, agaknya sudah sejak tadi Lee Si roboh. Namun, kini Lee Si benar-benar terdesak hebat, pedangnya tidak leluasa lagi gerakannya karena sudah terbungkus oleh gulungan sinar kedua ujung lengan baju Bhok Hwesio. Gulungan sinar itu seperti lingkaran besar yang amat kuat, yang meringkus sinar pedangnya, makin lama lingkaran itu menjadi makin kecil dan sempit. Ruang gerak pedang Lee Si juga makin sempit. Gadis itu mulailah mengeluarkan peluh dingin. Maklum dia bahwa hwesio ini benar-benar amat kosen dan sekarang sengaja hendak mengalahkannya dengan tekanan yang makin lama makin berat untuk memamerkan kepandaiannya ia tahu bahwa akhirnya ia takkan dapat menggerakkan pedangnya lagi kecuali untuk membacok tubuhnya sendiri!

"Hayo kau berlutut dan minta ampun, mengaku murid siapa dan apa hubunganmu dengan ketua Thai-san-pai!" berkali-kali Bhok Hwesio membentak karena melihat betapa ilmu pedang gadis ini mengandung gabungan hawa Im dan Yang, dia menduga tentu ada hubungan antara gadis ini dengan musuh besarnya, Si Raja Pedang.

Lee Si maklum bahwa hwesio ini tentu bukan sahabat baik kakeknya Si Raja Pedang, akan tetapi ia pun mengerti bahwa akhirnya ia akan mati, maka lebih baik baginya mati sebagai cucu Raja Pedang yang berani dan tak takut mati daripada harus mengingkari kakeknya yang merupakan seorang pendekar sakti yang bernama besar.

"Hwesio jahat! Tak sudi aku menyerah. Kalau mau tahu, Bu tek Kiam-ong Tan Beng San ketua Thai-san-pai adalah kakekku!"

Bhok Hwesio tidak menjadi kaget karena sudah menduga akan hal ini. Akan tetapi dia girang sekali karena sedikitnya dia dapat membalas penasaran terhadap Raja Pedang kepada cucunya.

"Bhok-taisuhu, kita tawan saja cucunya!" tiba-tiba Bo Wi Sianjin berteriak.

"Betul kita jadikan cucunya sebagai jaminan!" Maharsi menyambung.

Akan tetapi pada saat itu berkelebat tiga bayangan orang dan terdengar seorang di antara mereka berseru, "Bhok-suheng, tahan.....!"

Bhok Hwesio mengeluarkan seruan rendah seperti kerbau mendengus, akan tetapi dia mundur dan Lee Si merasa terhindar dari tekanan hebat. Wajahnya pucat, mukanya yang cantik penuh keringat, akan tetapi sepasang matanya berapi-api penuh ketabahan. Menggunakan kesempatan ini, Lee Si melompat mundur dan memandang kepada tiga orang pendatang baru yang menyelamatkannya itu dengan teliti.

Orang pertama yang tadi berseru kepada Bhok Hwesio adalah seorang pendeta pula, seorang hwesio tua, sedikitnya tujuh puluh tahun usianya, bermuka hitam dan cacad bekas korban penyakit cacar. Biarpun mukanya bopeng dan buruk, namun sepasang mata hwesio ini membayangkan kehalusan budi dan kesabaran seorang pendeta yang sudah masak jiwanya. Hwesio ini membawa sebatang tongkat kuningan dan kini dia berdiri tegak menghadapi Bhok Hwesio. Keduanya saling pandang seakan-akan mengukur kekuatan masing-masing dengan pandang mata.

Hwesio ini memang bukan orang sembarangan, karena dia adalah Thian Ti Losu, seorang tokoh tingkat tiga dari Siauw-lim-pai, masih terhitung adik seperguruan Bhok Hwesio. Adapun dua orang yang lain adalah tosu-tosu dari Kun-lun-pai dan Kong-thong-pai, yaitu Sung Bi Tosu tokoh tingkat tiga dari Kun-lun-pai dan Leng Ek Cu tosu tingkat dua dari Kong-thong-pai. Thian Ti Losu ini adalah seorang utusan Siauw-lim-pai yang sengaja keluar dari pintu kuil untuk mencari Bhok Hwesio yang menghilang dari dalam kamar hukumannya. Di tengah jalan dia berjumpa dengan Leng Ek Cu, sahabat baiknya Kemudian setelah mendengar bahwa suhengnya itu berada dalam perjalanan melalui Pegunungan Bayangkara, dia mengejar dan ditemani oleh Leng Ek Cu yang maklum betapa lihai dan berbahayanya suheng temannya itu.

Belum lama mereka memasuki daerah pegunungan ini, mereka bertemu dengan Sung Bi Tosu yang juga mereka kenal sebagai tokoh Kun-lun. Tosu ini sedang menuju ke Kun-lun-san di sebelah barat, maka mereka lalu mengadakan perjalanan bersama? Kebetulan sekali mereka datang pada saat Lee Si berada di ambang kematian di tangan Bhok Hwesio, maka cepat-cepat Thian Ti Losu mencegahnya.

"Thian Ti Sute, mau apa kau datang ke sini?" Bhok Hwesio menegur sutenya dengan pandang mata penuh selidik dan curiga.

"Bhok-suheng, siauwte diutus oleh ketua kita untuk mencari Suheng dan mengajak Suheng kembali ke Siauw-lim-si," jawab Thian Ti Losu dengan suara tenang.

Sepasang mata Bhok Hwesio yang biasanya meram itu kini terbuka sebentar, memandang dengan sinar kemarahan, tapi lalu terpejam lagi, hanya mengintai dari balik bulu mata.

"Sute, pulanglah dan jangan membikin kacau pikiranku. Aku tidak ada urusan apa-apa lagi dengan kau atau dengan Siauw-lim-si."

"Tapi, Suheng. Siauwte hanya utusan dan ketua kita memanggilmu pulang."

"Cukup! Thian Seng Suheng boleh jadi ketua Siauw-lim-si, akan tetapi aku bukan orang Siauw-lim-pai lagi. Hukuman yang dijatuhkan kepadaku sudah cukup kujalani sampai penuh. Mau apa lagi? Pergilah!"

"Kau tahu sendiri, Bhok-suheng, apa artinya menjadi utusan ketua. Tugas harus dilaksanakan dengan taruhan nyawa. Dan kau pun cukup maklum, lebih maklum daripada siauwte yang lebih muda dari padamu, apa artinya tidak mentaati perintah ketua kita, berarti penghinaan. Marilah, Suheng, kau ikut denganku kembali menghadap ketua kita dan percayalah, kalau kau minta dirl dengan baik-baik, Suheng kita yang menjadi ketua itu tentu akan meluluskanmu."

"Thian Ti! Kautonjol-tonjolkan nama Thian Seng Suheng untuk menakut-nakuti aku? Huh, jangankan baru kau atau dia sendiri, biar Thian Ki Lo-suheng sendiri bangkit dari lubang kuburnya, aku tidak akan takut dan tidak sudi kembali ke Siauw-lim-si. Nah, kau mau apa lagi?"

"Ini pengkhianatan paling hebat! Suheng, kalau ada seorang anak murid Siauw-lim-pai murtad dan berkhianat, setiap orang anak murid yang setia harus menentangnya. Suheng, sekali lagi, kalau mau taat dan ikut dengan aku pulang atau tidak?"

Bhok Hwesio hanya tertawa mengejek. la maklum bahwa sutenya ini memiliki kepandaian hebat, terkenal dengan ilmu tongkat dari Siauw-lim-pai tingkat tinggi, juga terkenal sebagai seorang ahli Iwee-kang yang tenaganya hampir sama dengan tingkat yang dimiliki mendiang Thian Ki Losu sendiri. Akan tetapi dia tidak takut dan merasa yakin bahwa dia akan dapat mengalahkan sutenya ini.

"Bhok-taisuhu, menghadapi adik seperguruan yang cerewet, mengapa masih terlalu banyak sabar?" tiba-tiba Bo Wi Sianjin berseru dari samping kiri Bhok Hwesio. "Kalau mau bicara tentang ketaatan, seorang adik seperguruanlah yang seharusnya taat kepada suhengnya!"

"Ha..ha..ha, benar-benar lucu ini. Bo Wi Sianjin dari Mongol bukanlah anak kecil, bagaimana bisa bersikap begini tak tahu malu, mencampuri urusan dalam dua orang murid Siauw-lim-pai?" Sung Bi Tosu sudah melangkah maju menghadapi Bo Wi Sianjin dan memandang tajam.

Bo Wi Sianjin si kakek pendek gendut tertawa mengejek. Kenyataan bahwa tosu itu mengenal namanya sedangkan dia sendiri tidak mengenal tosu itu membuktikan bahwa dia cukup dikenal oleh para tokoh kang-ouw. "Eh, kau ini tosu bau dari mana berani lancang mulut? Aku bicara dengan Bhok-taisuhu, ada sangkut-paut apa denganmu?"

"Pinto adalah Sung Bi Tosu dari Kun-lun-pai. Memang pinto tidak ada urusan denganmu, akan tetapi kau juga tidak ada urusan sama sekali untuk mencampuri persoalan saudara seperguruan Siauw-Lim-pai."

"Eh, keparat. Apa yang kaulakukan, bagaimana bisa ikut campur? Tosu Kun-lun selamanya sombong, apa kaukira aku takut mendengar nama Kun-lun? Heh-heh-heh, tosu cilik, berani kau menentangku?"

"Menentang kelaliman adalah tugas  setiap orang yang menjunjung kebenaran!

Kalau kau mencari perkara, pintu tidak akan mundur setapak pun!" jawab tokoh Kun-lun-pai dengan suara gagah.

Si kakek pendek gendut dari Mongol mengeluarkan suara ketawa yang serak. "Bagus, kau sudah bosan hidup!" Setelah berkata demikian, dia melompat maju ke depan Sung Bi Tosu, lalu memasang kuda-kuda dengan tubuh jongkok sehingga tubuh yang sudah pendek itu tampak menjadi makin pendek lagi. Dari mulutnya terdengar suara "kok-kok-kok!" dan kedua kakinya berloncatan dengan gerakan berbareng seperti katak meloncat.

"Hemmm. pendeta liar dari Mongol, apakah kau mau membadut di sini.....?" Belum habis Sung Bi Tosu bicara, tiba-tiba kakek gendut pendek itu menggerakkan kedua tangan depan dan tubuh Sung Bi Tosu terjengkang ke belakang, roboh telentang dan bergulingan. Ternyata dia telah terkena pukulan ilmu Katak Sakti yang dahsyat. Namun, sebagai seorang tokoh Kun-lun-pai yang lihai, begitu tadi merasai datangnya pukulan jarak jauh yang luar biasa, dia telah mengerahkan sinkangnya, sehingga biarpun dia telah terpukul dan "roboh terjengkang, dia tidak tewas. Orang lain yang terkena hawa pukulan sehebat itu tentu akan tewas di saat itu juga, akan tetapi tokoh Kun-lun-pai ini hanya terluka dan masih kuat melompat bangun dengan muka pucat dan mata merah.

"Iblis jahat!" serunya dan tubuhnya sudah melayang maju, sinar pedangnya berkelebat cepat menyambar.

Akan tetapi sekali lagi terdengar suara "kok-kok-kok!" dan sambil mengelak dari sambaran pedang, kakek gendut pendek itu sudah mengirim dua kali pukulannya. Pukulan pertama membuat pedang Sung Bi Tosu terpental, pukulan kedua membuat tubuhnya terlempar sampai lima meter lebih dan tosu Kun-lun-pai itu roboh tak bangun lagi karena nyawanya sudah melayang meninggalkan tubuhnya!

Pucat muka Leng Ek Cu, tokoh Kong-thong-pai saking marahnya menyaksikan pembunuhan atas diri teman baiknya ini. Diam-diam dia juga kagum dan ngeri menyaksikan kehebatan ilmu pukulan Bo Wi Sianjin yang demikian hebat sehingga seorang tokoh Kun-lun-pai yang sudah tinggi tingkatnya dapat terpukul binasa hanya oleh tiga pukulan jarak jauh.

"Keji..... keji sekali....." katanya sambil melangkah maju. "Mati hidup manusia bukanlah hal aneh, seperti angin lalu. Akan tetapi mengandalkan kepandaian untuk merenggut nyawa orang lain hanya untuk urusan tak berarti, benar-benar keji sekali. Apalagi kalau yang melakukan itu seorang yang sudah menamakan dirinya tua dan pertapa pula. Bo Wi Sianjin, untuk kekejianmu itulah pinto terpaksa bertindak!" Sambil berkata demikian, Leng Ek Cu sudah mencabuf pedangnya dan bersiap menghadapi lawannya yang tangguh.

Akan tetapi tiba-tiba dia cepat miringkan tubuh dan menggeser kaki kiri ke belakang sambil mengibaskan pedangnya karena tahu-tahu dari sebelah kanan menyambar hawa pukulan. Kiranya pendeta tinggi bersorban itulah yang menggerakkan lengannya yang panjang untuk mencengkeram pundaknya tanpa berkata sesuatu.

"Heh, siapa kau? Pendeta asing, jangan mencampuri urusan orang lain!" bentak tokoh Kong-thong-pai itu sambil melintangkan pedang di depan dada.

Penyerangnya adalah Maharsi. Pendeta India yang jangkung ini mengeluarkan suara tertawa seperti suara burung hantu, lalu berkata dengan kata-kata yang kaku dan suara asing. "Sudah berani mencabut pedang tentu berani menghadapi siapa juga, termasuk aku. Maharsi orang bodoh dari barat." Setelah berkata demikian, dari kerongkongannya terdengar suara melengking tinggi yang memekakkan telinga, kedua lengannya mendorong-dorong setelah tubuhnya miring-miring dalam kedudukah kuda-kuda yang ganjil. Akan tetapi dari kedua lengannya itu menyambar hawa pukulan yang amat dahsyat. Inilah ilmu Pukulan Pai-san-jiu!

Leng Eng Cu adalah tokoh tingkat dua dari Kong-thong-pai, ilmu pedangnya merupakan ilmu pedang kebanggaan partainya, cepat dan bergulung-gulung panjang, juga dia memiliki ginkang yang membuat dia dapat bergerak cepat sekali. Tingkat kepandaiannya lebih tinggi daripada tingkat Sung Bi Tosu. Melihat gerakan aneh dari pendeta asing ini, Leng Ek Cu tidak berani memandang rendah dan trdak mau menyambut langsung. la mengandalkan ginkangnya, dengan lincah dia mengelak dan tubuhnya meliuk ke samping, terus mengirim tusukan diiringi tenaga Iweekang yang membuat pedang itu berdesing menuju ke arah sasarannya, yaitu perut si pendeta India!

Maharsi kembali mengeluarkan lengking tinggi dan tubuhnya tanpa berubah sedikit pun juga agaknya tidak mengelak dan bersedia menerima tusukan pedang. Namun tidaklah demikian kiranya Karena sebelum pedang itu mencium kulit perutnya lewat baju, tiba-tiba perutnya melesak ke dalam dan tangannya yang berlengan panjang itu sudah menyambar ke depan mengarah leher dan kepala iawan. Hebat memang pendeta ini, karena begitu dia menjulurkan lengannya den mengempiskan perutnya, selain pedang lawan tidak dapat mengenai perutnya, juga lengannya itu lebih panjang jangkauannya sehingga kalau Leng Ek Cu melanjutkan tusukannya, tentu lehernya akan patah dicengkeram dan kepalanya akan bolong-bolong!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar