06 Kisah Si Bangau Merah

"Yo Han, kuperintahkan padamu. Hayo cepat engkau berlutut dan menyembah kepadaku!"

Orang yang terkena pengaruh sihir yang amat kuat ini tentu di luar kehendaknya dan kesadarannya sendiri akan menjatuhkan diri berlutut dan menyembah. Akan tetapi, betapa kaget dan herannya hati kakek tokoh besar Thian-lipang itu. Anak itu sama sekali tidak mentaati perintahnya, hanya tetap berdiri dan memandang kepadanya dengan sepasang matanya yang lebar dan jernih.

"Maafkan, Kek, kalau aku tidak dapat berlutut menyembah kepadamu. Engkau bukan guruku, bukan orang tuaku, bahkan bukan pula kakekku."

Kini barulah Ouw Ban percaya akan keterangan sutenya. Juga Ban-tok Mo-ko menggeleng kepalanya, tak habis heran. Apakah kekuatan sihirnya telah punah dan kini dia telah menjadi lemah? Padahal, selama dia mengundurkan diri dari urusan perkumpulan dan berdiam di kamarnya, dia memperbanyak latihan samadhi sehingga sepatutnya kalau kekuatan sihirnya semakin bertambah.

"Lauw Kang Hui dan Ouw Ban, kalian bangkitlah dan pandang aku!"

Dua orang murid itu bangkit berdiri dan memandang kepada suhu mereka dengan patuh. Dan kini kakek itu berseru dengan nada memerintah.

"Lauw Kang Hui dan Ouw Ban, sekarang kalian duduklah di lantai dan menangis!"

Dalam keadaan wajar, walaupun yang memerintah itu suhu mereka sendiri, tentu dua orang itu tidak akan mau mentaati begitu saja. Mereka adalah ketua dan wakil ketua Thian-li-pang, tentu mereka tidak mau kalau disuruh menangis seperti anak kecil tanpa sebab, bahkan seperti orang gila. Akan tetapi karena mereka sudah dicengkeram pengaruh sihir yang amat kuat, begitu mendengar perintah Ban-tok Mo-ko, mereka lalu menjatuhkan diri di atas lantai dan keduanya menangis seperti dua orang anak kecil kehilangan barang mainan!

Tentu saja Yo Han yang tidak mengerti apa artinya itu semua, melihat dua orang kakek berusia enam puluh dan enam puluh lima tahun kini menangis mengguguk seperti anak-anak kecil tanpa sebab, menjadi terheran-heran dan juga penasaran kepada orang yang memerintah kedua orang ketua itu.

"Kek, sungguh tidak pantas sekali apa yang kaulakukan ini! Kenapa engkau menghina murid-murid sendiri seperti ini?", Yo Han berkata dengan nada menegur. Ban-tok Mo-ko terkejut dan merasa heran bukan main. Dia menggerakkan tangannya ke arah dua orang muridnya dan berkata dengan suara tenang.

"Kalian bangkitlah!"

Dua orang pimpinan Thian-li-pang itu bangkit dan mereka seperti baru bangun dari tidur, nampak bingung dan tidak tahu apa yang telah terjadi.

"Yo Han, katakan mengapa tidak pantas dan menghina? Ban-tok Mo-ko bertanya kepada anak itu.

"Mereka ini adalah ketua dan wakil ketua perkumpulan besar dan juga murid-muridmu sendiri. Akan tetapi kenapa engkau menyuruh mereka menangis seperti anak-anak kecil? Bukankah itu tidak pantas dan menghina namanya?"

Barulah dua orang pimpinan itu tahu bahwa tadi mereka dipergunakan oleh guru mereka untuk menguji kekuatan sihirnya dan ternyata ilmu sihir suhu mereka masih ampuh. Namun, tadi jelas bahwa ilmu sihir itu tidak mempan terhadap Yo Han! Ban-tok Mo-ko juga menyadari hal ini dan diam-diam dia merasa heran dan kagum bukan main.

"Kang Hui, sebaiknya ajak anak ini menghadap supekmu. Biar dia yang menentukan!"

Mendengar ini, Lauw Kang Hui merasa girang sekali. Memang benar seperti dugaan Ouw Ban tadi, dia mengharapkan hadiah dengan menyerahkan anak luar biasa ini kepada supeknya, yaitu hadiah sebuah ilmu. Bukan karena dia ingin mengungguli suhengnya, melainkan untuk kemajuannya sendiri.

"Mari Yo Han, kita menghadap supek!" katanya sambil menggandeng tangan anak itu dan menariknya pergi. Karena tidak berdaya, walaupun hatinya menolak, namun Yo Han tidak dapat membantah dan dia pun hanya menurut saja. Anak ini memang memiliki bakat selalu mendekatkan diri kepada Tuhan. imannya kuat karena sejak kecil dia ditinggal ayah ibunya dan Tuhan menjadi gantungan hidupnya, menjadi tumpuan harapannya dan dia selalu menyerahkan jiwa-raganya ke tangan Tuhan, penuh kepasrahan. Maka, menghadapi apa pun dia tidak merasa gentar karena di dasar hatinya terkandung keyakinan akan kekuasaan Tuhan, bahwa kalau Tuhan menghendaki dia harus mati sekalipun, tidak ada kekuasaan lain yang akan mampu menghalanginya. Oleh karena dia pasrah dan menghadapi maut pun dia tidak gentar.

Lauw Kang Hui membawa Yo Han ke bagian sudut paling belakang dari perkampungan Thian-li-pang yang ternyata amat luas itu. Bagian belakang itu merupakan puncak bukit dan penuh dengan jurang dan guha. Di depan sebuah guha besar, Lauw Kang Hui berhenti sambil tetap memegang tangan Yo Han. Dia tahu akan keadaan luar biasa anak ini, maka dia tidak berani melepaskannya takut kalau-kalau anak itu akan mampu meloloskan diri.

Setelah tiba di depan guha, Lauw Kang Hui menghadap ke arah guha, dan menarik tubuh Yo Han untuk bersama dia berlutut di atas tanah. Yo Han tidak mampu membantah karena tangannya ditarik ke bawah, dia pun ikut berlutut di sebelah Lauw Kang Hui walaupun dia tidak bermaksud untuk memberi hormat ke arah guha. Maka ketika wakil ketua Thian-li-pang itu mengangkat-angkat kedua tangan depan dada, dia pun diam saja, hanya memandang penuh perhatian ke arah guha. Guha itu lebarnya ada sepuluh meter dan nampak terawat bersih seperti rumah saja. Ada pintu di kanan kiri, akan tetapi di bagian tengah terbuka dan nampak menghitam gelap.

"Supek yang mulia, teecu Lauw Kang Hui datang menghadap!" Akan tetapi suara itu bergema di dalam guha dan tidak ada jawaban, juga tidak nampak gerakan apa pun. Lauw Kang Hui menanti sejenak, maklum bahwa supeknya memang tidak pernah mau diganggu, tidak pernah mau berhubungan dunia di luar guha kalau tidak ada keperluan yang teramat penting.

"Supek, teecu datang mengajak seorang anak luar biasa seperti yang pernah Supek pesan kepada teecu!"

Kembali hening sejenak. Tiba-tiba terdengar suara angin dari dalam guha dan tiba-tiba saja tubuh Yo Han tersedot ke arah guha. Anak itu mencoba untuk mempertahankan dirinya, akan tetapi tubuhnya terguling-guling seperti bola saja menggelinding ke arah guha dan lenyap ditelan kegelapan guha. Tak lama kemudian terdengar suara yang jenaka dibarengi tawa. "Heh-heh-heh, bagus sekali, Kang Hui. Engkau boleh pergi sekarang!"

"Maaf, Supek. Teecu mendapatkan anak ini dari Ang I Moli, akan tetapi teecu sudah berjanji kepadanya untuk mohon bantuan Supek memberi obat penawar dari hawa beracun pukulan yang sedang dilatihnya."     

"Heh-heh, Si Iblis Betina Cilik Ang I Moli banyak tingkah! Pukulan apa yang sedang ia latih itu?"

"Katanya ilmu itu disebut Toat-beng-Tok-hiat (Darah Beracun Pencabut Nyawa)."

"Wah-wah-wah, keji sekali! Untuk menguasai Ilmu itu ia harus memperoleh hawa murni dan darah perjaka-perjaka remaja yang sehat!"

"Tadinya anak ini yang akan dijadikan korban. Katanya mengorbankan seorang saja cukup karena anak ini lebih berharga daripada dua belas orang remaja biasa."

"Huh, iblis betina licik. Akan tetapi kalau sampai tiga hari anak ini masih di sini, berarti aku cocok dengan dia dan boleh kauserahkan obat penawar itu kepadanya. Nah, sekarang pergilah!"

"Maaf, Supek. Kalau Supek berkenan dengan anak yang teecu bawa ke sini, teecu mohon sedikit petunjuk Supek agar teecu memperoleh kemajuan dalam ilmu silat teecu."

"Heh-heh-heh-heh, engkau orang tamak! Tapi kalau anak ini memang menyenangkan hati, kelak akan kuajarkan sebuah ilmu kepadamu."

"Terima kasih, Supek. Terima kasih!" kata Lauw Kang Hui sambil memberi hormat lalu dia bergegas pergi sebelum kakek aneh itu membatalkan janjinya.

Sementara itu, Yo Han yang menggelinding seperti disedot tenaga yang amat kuat, kini tiba di dalam guha, masih duduk di lantai guha di dekat sepasang kaki yang kurus dan telanjang karena celana pemilik kaki itu hanya sampai ke lutut. Kaki itu memakai sandal yang amat sederhana, hanya sepotong kulit tebal diikatkan pada kaki secara kasar, di masing-masing kaki. Yo Han merasa penasaran dan juga marah sekali. Dia adalah seorang anak yang pernah menjadi murid suami isteri yang sakti, maka biarpun dia tidak pernah berlatih ilmu silat, namun pengetahuannya akan ilmu silat sudah cukup mendalam. Dia tahu bahwa pemilik kaki ini telah mempergunakan semacam ilmu yang aneh untuk menariknya dari luar gua. Semacam sinkang (tenaga sakti) yang sudah demikian tinggi tingkatnya sehingga Si Pemilik tenaga itu dapat mempergunakan seenaknya saja dapat untuk menyedot seperti tadi! Dan dia pun tahu bahwa orang ini tentu lihai bukan main. Akan tetapi dia tidak takut, bahkan marah karena merasa dipermainkan. Dia hendak bangkit berdiri dan memprotes, akan tetapi sungguh aneh, dia tidak mampu bangkit berdiri!

Baru setelah Lauw Kang Hui pergi, kakek itu terkekeh dan tiba-tiba Yo Han merasa leher bajunya dicengkeram tangan yang kecil, lalu tubuhnya diangkat dan dia pun sudah di jinjing pergi memasuki guha itu yang ternyata di sebelah dalamnya amat luas, seperti sebuah rumah gedung saja dengan dua buah kamar dan berikut pula ruangan duduk, dapur dan kamar mandi lengkap! Juga di sebelah dalam guha itu tidak gelap seperti nampak dari luar karena selain bagian atasnya terdapat lobang sehingga sinar matahari dapat masuk, juga guha itu menembus ke terowongan belakang dari mana datang pula sinar matahari. Belum lagi adanya lampu-lampu gantung.

Yo Han dibawa masuk ke dalam ruangan yang terang sekali dan dia lalu dilepas oleh tangan yang menjinjingnya. Ketika dia turun, dia membalik dan menghadapi orang yang membawanya ke dalam guha. Baru sekarang dia dapat melihat kakek itu dan diam-diam Yo Han terkejut. Seorang kakek yang tua renta, ada delapan puluh tahun usianya. Rambutnya putih seperti kapas, tinggal sedikit saja sehingga di bagian tengah kepalanya botak mengkilat. Tubuhnya kecil pendek. Pakaiannya sederhana seperti pakaian kanak-kanak, dengan celana setinggi lutut dan baju yang lengannya juga hanya sampai di sikunya. Kaki dan tangan yang menonjol keluar itu nampak kecil kurus seperti kaki tangan anak-anak. Wajah kakek itu pun kecil namun ketuaannya karena keriput. Matanya tajam dan lincah, dan mulutnya selalu menyeringai, memperlihatkan mulut yang ompong tanpa gigi secuil pun!

Mereka saling pandang, berdiri berhadapan dan kakek itu hanya lebih tinggi sekepala saja dibandingkan Yo Han. Sampai lama mereka saling berpandangan dan diam-diam Yo Han merasa heran. Kakek ini sama sekali tidak mendatangkan kesan buruk atau jahat. Sinar mata yang tajam lincah itu nampak demikian lembut. Bahkan kakek ini jauh berbeda di bandingkan Ban-tok Mo-ko.

"Heh-heh, aku dengar dari sini tadi bahwa namamu Yo Han?" tanya kakek itu, dan suaranya seperti suara anak-anak pula, demikian ringan dan belum pecah. Yo Han kagum. Dari tempat ini, cukup jauh dari tempat dia bicara dengan Ban-tok Mo-ko dan dua orang muridnya tadi, kakek ini dapat mendengarkan!

"Benar, Locianpwe (orang Tua Pandai), namaku Yo Han," jawabnya dan dia bersikap hormat karena dia maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang kakek yang amat sakti.

"Heh-heh, dan engkau anak luar biasa?" tanya kakek itu pula. Yo Han merasa kesal. Hanya itu saja yang dibicarakan orang! Dia pun tanpa diminta menghampiri sebuah dipan dan naik, lalu duduk bersila di atas dipan itu, mulutnya cemberut.

"Orang-orang itu mengada-ada saja, Locianpwe. Aku bernama Yo Han. Yatim piatu, hidup sebatang kara saja di dunia ini, tidak bisa apa-apa, dan orang-orang mengatakan aku anak luar biasa, dan aku dijadikan rebutan! Sungguh aneh orang-orang tua di dunia ini, seperti orang gila saja. Aku ini manusia biasa, hanya ingin melanjutkan hidup wajar dan tentram, tidak senang diganggu dan tidak senang pula menggangu."

Kakek itu terkekeh dan tiba-tiba Yo Han melihat hal yang aneh. Kakek itu tidak membuat gerakan meloncat atau berjalan, akan tetapi tahu-tahu tubuhnya melayang ke atas dipan dan kakek itu sudah pula duduk bersila di depan Yo Han. Akan tetapi anak itu sudah terlalu banyak melihat kehebatan ilmu kepandaian yang dipamerkan orang kepadanya sehingga dia tidak kelihatan heran, bahkan acuh saja.

"Heh-heh-heh, aku yakin Kang Hui tidak akan salah pilih. Dan biasanya cermat dan dia haus akan ilmu baru dariku.

Yo Han, engkau diamlah, aku akan memeriksamu." Setelah berkata demikian, kakek itu menggerakkan tangannya dan kedua tangan itu sudah memegang kepala Yo Han. Anak ini berniat hendak menolak, akan tetapi sungguh aneh. Dia tidak mampu bergerak!

Tahulah dia bahwa kakek yang katai ini telah mempergunakan semacam ilmu totok yang amat aneh yang membuat dia tidak mampu menggerakkan kaki tangannya, seperti menjadi lumpuh.

Thian-te Tok-ong, kakek tua renta itu, kini memijit-mijit kepala Yo Han dengan jari-jari tangannya, pijat sana, pijat sini, mengelus bagian belakang kepala yang menonjol, mengukur dengan jari dan berulang-ulang dia mengeluarkan suara lidah seperti cecak berbunyi. "Ck-ck-ck-ck!" Kemudian, kedua tangan itu meraba ke seluruh tubuh Yo Han, dari kepala leher, dada perut, kaki tangan sampai ke ujung jari kaki! Dan suara seperti bunyi cecak itu semakin sering. Lalu kakek itu menempelkan kedua telapak tangannya di atas dada Yo Han. Anak itu merasa betapa ada hawa panas dari telapak tangan itu memasuki dadanya. Dia hanya pasrah saja, tidak menerima, tidak pula melawan. Dia merasa yakin sepenuhnya bahwa kalau Tuhan tidak menghendaki, orang yang seribu kali lebih sakti dari kakek ini takkan mampu mencelakainya, sebaliknya kalau sampai dia menderita celaka, apa dan siapa pun penyebabnya, hal itu hanya terjadi karena Tuhan menghendakinya. Keyakinan ini membuat hatinya tenteram karena untuk berusaha membela diri pun tidak ada gunanya karena kaki tangannya tidak dapat dia gerakkan.

Yo Han merasa betapa hawa panas dari tangan kakek itu memasuki tubuhnya seperti meraba-raba di bagian dalam tubuhnya, memasuki kepalanya, berputar-putaran, lalu ke dadanya, juga berputar-putar kemudian turun ke arah pusarnya.

Tiba-tiba, ketika hawa panas yang dapat bergerak-gerak itu memasuki rongga bawah pusarnya, hawa panas itu meluncur keluar dan kakek itu pun terlempar sampai ke atas lantai di bawah dipan! Kakek itu meloncat bangun, terbelalak memandang kepada Yo Han yang kini tiba-tiba mampu bergerak lagi, dan kakek itu berseru dengan penuh takjub.

"Wah-wah-wah, apa ini? Apa-apaan ini? Sungguh mati, selama hidupku belum pernah aku melihat yang begini! Hei, Yo Han! Pernahkah engkau belajar ilmu dan menjadi murid orang-orang pandai?"

Yo Han cemberut. "Locianpwe, aku tahu bahwa Locianpwe adalah seorang tua yang berilmu tinggi. Aku menghormatimu karena kepandaianmu dan karena ketuaanmu. Akan tetapi apa yang kaulakukan terhadap aku yang muda? Biarpun aku pernah menjadi murid orang pandai, akan tetapi kalau Locianpwe mengira bahwa aku pernah mempelajari ilmu silat atau ilmu kekerasan lain lagi, Locianpwe keliru. Aku tidak pernah belajar silat!"

"Tapi.... tapi.... dari pusat tenaga di bawah pusarmu terdapat tenaga yang amat dahsyat!"

"Aku tidak tahu, Locianpwe. Apakah anehnya hal itu? Yang menghidupkan manusia adalah kekuasaan Tuhan, dan siapa dapat mengukur kekuatan dari kekuasaan Tuhan? Kekuatan yang mampu menggerakkan bintang dan bulan, mampu menciptakan segala sesuatu di alam maya pada ini? Apa anehnya kalau hanya kekuatan secuil di dalam tubuhku ini?"

"Wahhh! Luar biasa! Memang engkau anak luar biasa, Engkaulah yang telah lama kutunggu, telah lama kurindukan! Engkaulah yang pantas menjadi muridku, engkau yang pantas menjadi orang yang kelak akan mengangkat nama Thian-li-pang, yang akan membersihkan nama Thian-li-pang dan mengharumkan kembali namanya. Ha-ha-ha-heh-heh!"

"Locianpwe, aku pernah membaca pengalaman orang bijaksana jaman dahulu bahwa yang dirindukan itu akhirnya menjadi yang mengecewakan! Kalau yang dirindukan itu kesenangan, maka yang merindukan adalah nafsu pikiran dan di samping kesenangan tentu muncul kesusahan, di balik kepuasan bersembunyi kekecewaan. Menurut pengalaman para suci, hanya yang dirindukan jiwa sajalah yang berharga dan benar."

Kakek itu terbelalak, lalu terkekeh. "Heh-heh-heh, kalau tidak melihat bahwa engkau ini seorang bocah, tentu aku mengira yang bicara ini seorang pendeta! Ha-ha-ha! Yo Han, apa itu yang dirindukan jiwa?"

"Apa yang dirindukan setiap tetes air kalau bukan samudera, kembali ke asalnya dan bersatu dengan samudera? Apa yang dirindukan oleh bunga api kalau bukan kepada api yang menjadi pusatnya? Demikianlah yang kubaca. Hanya persatuan, dengan sumber inilah yang akan membahagiakan hidup, Locianpwe, bukan segala kesenangan memuaskan nafsu. Apakah Locianpwe tidak rindu kepada Tuhan?"

"Kepada Tuhan?" kakek itu memandang heran.

"Tentu saja. Bukankah yang dimaksudkan dengan sumber itu adalah Tuhan Yang Maha Kuasa? Bukankah segala sesuatu datang dari padaNya dan sepatutnya kembali kepadaNya?"

"Wah-wah-wah....! Engkau ini siapa sih? katanya setengah berkelakar.

Akan tetapi Yo Han kini turun dari dipan itu, berdiri tegak dan dengan lantang berkata, "Aku ini seorang anak manusia seperti juga Locianpwe. Akut ini setetes air seperti Locianpwe, yang selalu merindukan samudera!"

"Hahhh?" Kakek itu kini benar-benar tertegun dan termenung. Dia membayangkan tetes-tetes air yang datang dari samudera melalui hujan. Semua air itu berasal dari samudera, akan tetapi setelah terbawa awan dan diturunkan ke bumi sebagai tetes-tetes air, harus mengalami banyak penderitaan dan kesukaran masing-masing sebelum dapat kembali ke samudera, tempat asalnya atau sumbernya. Lika-liku perjalanan tiap tetes air tidaklah sama. Ada yang dapat lancar kembali ke samudra, ada yang harus melalui pencomberan, lumpur dan kotoran. Akan tetapi, semua tetes air itu kalau akhirnya kembali ke samudra, akan menjadi satu dengan samudra dan tidak ada lagi perbedaan diantara mereka.

"Yo Han, engkau memang bocah ajaib dan aku girang sekali bisa mendapatkan engkau sebagai muridku."

Locianpwe ingin menjadi guruku, akan tetapi tidak pernah bertanya apakah aku suka menjadi muridmu."

"Ehh? Hah? Manusia mana tidak suka manjadi murid Thian-te Tok-ong? Bahkan anak Kaisar pun akan suka sekali menjadi muridku!"

"Akan tetapi aku bukan anak Kaisar dan sebelum aku mengatakan suka atau tidak, aku ingin dulu mengetahui, kalau Locianpwe menjadi guruku, Locianpwe akan mengajarkan apakah kepadaku?"

"Ha-ha-ha, apa saja yang kauingin pelajari!" Kakek ini memang cerdik sekali. Dia tahu bahwa seorang anak seperti Yo Han memiliki keteguhan hati dan tidak mengenal takut. Maka dia harus tahu dulu apa yang diinginkan dan tidak diinginkan anak ini sebelum menjawab agar dia tidak sampai bertumbuk keinginan dengan anak luar biasa ini.

"Segala macam ilmu baik untuk dipelajari dan aku suka mempelajarinya, Locianpwe, kecuali satu, yaitu ilmu silat. Aku tidak suka berlatih ilmu silat"

Kalau tidak cerdik sekali, tentu Thian-te Tok-ong sudah terkejut mendengar ucapan itu. Dia ingin mengambil anak luar biasa menjadi muridnya untuk mewariskan seluruh ilmu silatnya dan mendidik murid itu menjadi calon pemimpin Thian-li-pang yang pandai dan yang akan mengangkat nama Thian-li-pang, dan sekarang, anak yang dipilih itu terang-terangan mengatakan bahwa dia suka mempelajari ilmu apa saja kecuali ilmu silat!

"Heh-heh-heh, bagus! Engkau jujur sekali! Nah, tidak ada orang membenci sesuatu tanpa alasan tertentu. Kenapa engkau tidak suka berlatih ilmu silat, Yo Han?"

"Aku tidak membenci sesuatu, Locianpwe. Hanya aku tidak mau mempelajari ilmu silat karena aku melihat kenyataan betapa ilmu itu mengandung kekerasan, bersifat merusak dan hanya mendatangkan permusuhan dan pertentangan saja dalam kehidupan ini."

"Heh-heh-heh, cocok! Cocok dengan aku, Yo Han. Tidak, aku tidak mengajarkan ilmu silat kepadamu, hanya akan mengajarkan ilmu tari dan senam olah raga untuk membuat tubuhmu sehat. Bagaimana?"

Yo Han mengamati wajah yang kecil itu. "Tidak mengajarkan cara memukul dan menendang orang, bahkan membunuh?"

"Ho-ho-ho, sama sekali tidak! Memang kaupikir aku ingin melihat engkau menjadi algojo? Aku suka kepadamu, maka aku ingin melihat engkau sehat lahir batin, dan pandai menari indah!"

Yo Han tersenyum. "Baiklah, kalau begitu aku suka menjadi muridmu." Dan anak ini lalu menjatuhkan diri berlutut. "Aku akan belajar dengan rajin, Suhu, dan akan melayani Suhu di sini."

"Ha-ha-ha, bagus, bagus, muridku. Yo Han, hari ini merupakan hari paling bahagia untukku!"

Mulai hari itu, Yo Han tinggal di dalam guha bersama gurunya. Ternyata untuk mereka telah dikirim makanan dari luar sehingga Yo Han tidak perlu lagi mencarikan makanan untuk gurunya. Dan mulailah Thian-te Tok-ong mengajarkan "tari" dan "senam" kepada Yo Han. Memang kakek ini pandai sekali. Ilmu silat memang mengandung tiga unsur, yaitu pertama tentu saja ilmu bela diri, ke dua ilmu tari dan ke tiga ilmu senam kesehatan, kesehatan lahir batin.

Dia mengajarkan kepada Yo Han gerakan semua binatang yang ada di dunia ini yang dinamakannya Tarian Harimau, Tarian Naga, Tarian Burung, Tarian Monyet dan sebagainya. Padahal, dalam gerak tari ini terkandung ilmu silat yang dahsyat. Yo Han melatih diri dengan "tari-tarian" itu, dan tanpa disadarinya sendiri dia telah menggembleng diri dengan ilmu silat yang tinggi. Dan dalam latihan ini, otomatis ilmu-ilmu silat yang pernah dia pelajari secara teoretis tanpa disengaja keluar dan terkandung dalam gerak "tariannya".

Kurang lebih seminggu setelah dia berada di dalam guha itu, pada suatu malam Yo Han dikejutkan oleh suara yang menyayat jantung, suara mengerikan yang merupakan semacam lolong atau lengking memanjang. Bukan lolong anjing, dan tidak mirip suara manusia, namun dalam lengking itu terkandung semua perasaan duka dan derita yang amat hebat! Seperti tangis bukan tangis, seperti tawa bukan tawa, namun dia yang tidak pernah merasa takut itu sempat terbelalak dan merasa betapa tengkuknya dingin sekali. Dia segera lari ke kamar Thian-te Tok-ong yang sedang bersamadhi, menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu.

"Suhu, suara apakah yang terdengar dari arah belakang itu?" tanyanya kepada kakek itu yang sudah membuka matanya ketika dia berlutut,

"Heh-heh, engkau mendengar juga, Yo Han? jangan pedulikan. Suara itu sudah sejak lima tahun ini kadang terdengar, keluar dari dalam sumur bawah tanah di ujung belakang terowongan ini."

"Tapi.... suara apakah itu, Suhu?"

Thian-te Tok-ong menghela napas panjang. "Kelak engkau akan dapat mengetahuinya sendiri. Agar engkau tidak menjadi penasaran, baik engkau ketahui saja bahwa sumur itu merupakan tempat hukuman bagi seorang manusia iblis yang amat berbahaya. Dan mulai sekarang, setiap hari dua kali biar engkau mewakili aku menurunkan makanan ke bawah sana. Setiap kita mendapat kiriman makanan dan minuman, tentu ada sebungkus untuk dia dan biasanya kulemparkan saja ke dalam sumur."

"Tapi, siapa dia, Suhu? Dan siapa pula yang menghukumnya? Dan mengapa pula dia dihukum?"

"Panjang ceritanya dan engkau tidak perlu tahu. Yang penting kauketahui, orang itu seperti iblis atau sepetti gila, dengan kepandaian yang dahsyat dan tak seorang pun mampu menandinginya. Orang lain tidak mungkin dapat menuruni sumur itu, dan andaikata ada yang dapat turun pun tentu akan mati konyol oleh manusia iblis itu. Sudahlah, itu bukan urusanmu, tidak perlu engkau mencampuri. Merupakan urusan rahasia dan pribadi dari Thian-li-pang. Mengerti?"

Yo Han mengangguk dan menunduk. Hatinya penuh perasaan iba kepada orang hukuman yang disebut manusia Iblis itu. Akan tetapi suara itu sudah lenyap lagi dan sejak hari itu, dialah yang setiap hari dua kali mengirim sebungkus makanan ke sumur itu. Sumur itu kecil saja, bergaris tengah satu meter, akan tetapi amat dalam. Ketika dia mencoba untuk menjenguk ke dalam, yang nampak hanya kehitaman belaka, hitam pekat dan gelap sekali. Pernah dia mencoba untuk memanggil-manggil dengan sebutan "locianpwe" beberapa kali, namun selalu tidak ada jawaban. Menurut pesan Thian-te Tok-ong, dia harus melemparkan begitu saja bungkusan makanan ke dalam sumur. Karena merasa kasihan dan tidak ingin makanan itu rusak kalau jatuh ke dasar sumur, pernah Yo Han mengikatnya dengan tali dan mengereknya turun. Akan tetapi belum juga dua meter. tali yang ujungnya mengikat buntelan itu turun, tiba-tiba tali itu putus dan makanan itu pun jatuh ke bawah seperti kalau dia lemparkan!

Terdorong oleh rasa iba kepada orang hukuman itu, pernah Yo Han mencoba untuk mengukur dalamnya sumur, menggunakan tali panjang. Akan tetapi seperti juga ketika mencoba mengerek bungkusan makanan ke bawah, tiba-tiba tali itu putus tanpa sebab! Dia pun dapat menduga bahwa siapa pun orangnya yang berada di bawah, gila atau tidak, manusia atau iblis, tentu memiliki ilmu yang hebat sehingga entah dengan cara apa, tali yang diturunkan tentu akan putus seperti digunting!

Karena tidak mungkin baginya untuk turun ke sumur, juga kini tidak pernah lagi ada suara mengerikan itu, akhirnya Yo Han menganggap hal itu biasa dan setiap hari mengirim makanan dengan melemparkannya ke sumur. Dan dia mulai merasa senang di situ karena Thian-te Tok-ong memegang janjinya, mengajarkan "tari-tarian" yang dianggapnya amat indah. Juga kakek itu mendatangkan banyak kitab dari luar sehingga di waktu senggang, Yo Han dapat memuaskan selera bacanya yang tak kenal bosan. Segala macam kitab dilahapnya dan di dalam kitab ini dia berkenalan dengan para pahlawan dan para pendekar, juga riwayat partai-partai besar di dunia, persilatan. Akan tetapi, gurunya tidak perah mengajaknya bicara tentang dunia persilatan, tidak pernah pula bicara tentang ilmu silat.

***

Kita tinggalkan dulu Yo Han yang belajar "tari" dan "senam" kepada Thian-te Tok-ong, tokoh paling lihai dari Thian li-pang dan mari kita melihat keadaan keluarga Tan Sin Hong yang ditinggalkan Yo Han.

Setelah ditinggal pergi Yo Han, setiap hari Sian Li menangis dan selalu menanyakan suhengnya yang amat disayangnya itu. Anak berusia empat tahun itu sejak lahir selalu diasuh oleh Yo Han, selalu bermain-main dengan Yo Han sehingga ia menyayang Yo Han seperti kakaknya sendiri. Oleh karena itu, begitu Yo Han pergi meninggalkannya, siang malam ia rewel saja dan minta kepada ayah ibunya agar mereka menyusul Yo Han. Bahkan di waktu tidur, seringkali Sian Li bermimpi dan mengigau memanggil-manggil nama Yo Han.

Tentu saja Tan Sin Hong dan Kao Hong Li merasa prihatin sekali. Mereka berdua pun amat sayang kepada Yo Han dan kepergian anak itu sungguh membuat mereka merasa kehilangan sekali. Akan tetapi, demi masa depan Sian Li, mereka terpaksa merelakan Yo Han pergi. Yo Han bukan anak biasa. Hatinya teguh memegang pendiriannya yang tidak suka akan ilmu silat dan kalau hal ini sampai menular kepada Sian Li, sungguh akan membuat mereka berdua kecewa sekali. Bagaimana mungkin sebagai suami isteri pendekar, mereka mempunyai seorang anak yang tidak suka belajar silat dan menjadi seorang gadis yang lemah kelak?

Hidup memang diisi oleh dua keadaan yang berlawanan. Ada dua kekuatan yang berlawanan, akan tetapi juga saling mengadakan dan saling mendorong di dalam dunia ini. Justeru adanya dua kekuatan inilah yang membuat kehidupan ada dan dapat membuat segala sesuatu berputar dan hidup. Ada terang ada gelap, ada panas ada dingin, ada senang ada susah. Ada yang satu tentu ada yang ke dua, yang menjadi kebalikannya. Bagaimana mungkin ada yang disebut terang kalau tidak ada gelap. Setelah merasakan adanya gelap, baru terang dikenal, atau sebaliknya. Setelah orang mengalami senang, baru tahu artinya susah atau sebaliknya setelah mengalami susah baru mengenal arti senang. Dan segala sesuatu memiliki dwi-muka, dua sifat yang bertentangan. Kita sudah terseret ke dalam lingkaran setan dari dua unsur yang berlawanan ini sehingga kehidupan ini diombang-ambingkan antara yang satu dari yang lain. Padahal, semua keadaan itu hanyalah hasil daripada perbandingan dan penilaian, yang selalu berubah-ubah. Hari ini seseorang dapat menerima sesuatu dengan puas, lain hari sesuatu yang sama hanya mendatangan kecewa. Apa yang hari ini mendatangkan kesenangan, besok mungkin menimbulkan kesusahan.

Sebetulnya, susah senang hanyalah akibat daripada penilaian kita sendiri. Hati dan akal pikiran kita sudah bergelimang nafsu daya rendah sehingga pikiran yang licik selalu membuat perhitungan yang menguntungkan kita berarti senang, sebaliknya yang merugikan kita berarti susah! Banyak sekali contohnya. Kalau hujan turun selagi kita membutuhkan air, berarti hujan itu menyenangkan karena menguntungkan kita. Sebaliknya, kalau hujan turun mengakibatkan banjir atau becek atau menghalangi kesenangan kita, maka hujan itu menyusahkan karena merugikan kita. Demikian pula dengan segala peristiwa yang terjadi di dunia ini. Susah senang, susah senang, perasaan kita dipermainkan antara susah dan senang setiap hari, dipermainkan oleh ulah hati dan akal pikiran yang bergelimang nafsu daya rendah. Kalau kita sedang bersenang-senang, kita lupa bahwa kesenangan itu hanya sementara saja, dan kesusahan sudah siap menggantikannya setiap saat. Demikian sebaliknya, kalau kita sedang bersusah-susah, kita merana dan merasa hidup ini sengsara, lupa bahwa kesusahan itu pun hanya sementara saja sifatnya, akan tertimbun kesenangan dan kesusahan lain yang datang silih berganti.

Orang bijaksana akan menerima segala sesuatu seperti apa adanya. Segala yang terjadi itu wajar karena segala yang terjadi itu adalah kenyataan yang tak dapat dirubah atau dibantah lagi. Orang bijaksana tidak akan menentang arus peristiwa yang datang, melainkan menyesuaikan diri dengan arus itu, mengembalikan, kesemuanya kepada Tuhan, kepada kekuasaan Tuhan karena kekuasaanNya itulah yang mengatur dan menentukan segalanya. Hujan? Banjir? Bencana alam? Sakit dan mati? Kehilangan? Keuntungan dan keberhasilan. Semua itu dihadapi dengan penuh kesabaran, penuh keikhlasan, berdasarkan kepasrahan, penyerahan kepada Tuhan! Dan orang yang sudah pasrah lahir batin, secara menyeluruh kepada Tuhan, takkan lagi disentuh derita yang berlebihan, tidak akan mabok kesenangan.

Setelah lewat beberapa bulan, Sian Li menjadi kurus dan kurang bersemangat. Melihat keadaan anak mereka ini, Tan Sin Hong dan isterinya, Kao Hong Li, mengambil keputusan untuk mengajak puteri mereka pergi pesiar agar terhibur hatinya. Mereka mengajak Sian Li pergi berkunjung ke kota raja Peking yang besar, megah dan indah. Seminggu lamanya mereka tinggal di kota raja, bermalam di sebuah rumah penginapan dan setiap hari ayah dan ibu itu mengajak puteri mereka untuk berpesiar mengunjungi tempat-tempat yang indah di kota raja.

Tentu saja Sian Li yang baru berusia empat tahun lebih itu menjadi gembira bukan main dan tak lama kemudian ia sudah melupakan sama sekali kesedihannya karena ditinggal pergi Yo Han! Senang atau susah memang hanya permainan sementara waktu dari perasaan. Sang Waktu akan menelan habis semua kesusahan atau kesenangan sehingga tiada bersisa lagi. Atau perasaan lain akan muncul silih berganti sehingga perasaan yang timbul karena peristiwa lama itu akan tertimbun dan tidak nampak lagi, terganti oleh perasaan yang timbul karena peristiwa baru. Sejak kita kanak-kanak kecil sampai dewasa, hati dan akal pikiran kita sudah digelimangi nafsu yang selalu mencari kesenangan dalam hal-hal atau benda-benda yang baru. Kita selalu haus akan yang baru, karena yang baru selalu memiliki daya tarik yang besar, didorong oleh keinginan tahu. Kalau yang didapatkan itu sudah lama, akan membosankan dan perhatian kita akan tertarik oleh hal lain yang baru. Sejak kanakkanak, kita mudah bosan dengan barang mainan lama, dan akan tertarik oleh barang mainan baru. Setelah kita dewasa, kita tetap tidak berubah, tetap saja tertarik oleh barang mainan yang baru, walaupun bentuk barang permainan itu yang berbeda. Permainan kita ketika masih kanak-kanak tentu saja barang-barang mainan, atau permainan dengan kawan-kawan. Sesudah kita dewasa permainan kita bukan boneka atau barang-barang mainan lain, akan tetapi, permainan berupa harta benda, kedudukan, kekuasaan, dan pemuasan nafsu melalui panca-indrya. Biarpun demikian, tetap saja kita pembosan dan selalu haus akan hal yang baru. Itulah sifat nafsu! Selalu ingin yang baru, yang lebih!

Setelah berpesiar di kota raja, Sian Li sudah melupakan Yo Han dan sama sekali tidak pernah menangis lagi. Kegembiraannya semakin besar ketika dari kota raja ayah ibunya mengajaknya berkunjung ke kota Pao-teng di mana tinggal kakek dan neneknya, yaitu orang tua dari ibunya. Kakek-luarnya itu, Kao Cin Liong adalah putera Naga Sakti Gurun Pasir penghuni Istana Gurun Pasir, sedangkan nenek luarnya yang bernama Suma Hui adalah cucu dalam dari Pendekar Super Sakti penghuni Istana Pulau Es!

Suami isteri keturunan keluarga pendekar sakti itu tinggal di Pao-teng, berdagang rempa-rempa. Mereka sudah tua. Kao Cin Liong yang sudah berusia enam puluh tiga tahun sedangkan isterinya, Suma Hui, berusia lima puluh tiga tahun. Semenjak puteri mereka yang menjadi anak tunggal, Kao Hong Li, menikah dengan Tan Sin Hong dan ikut suaminya tinggal di kota Ta-tung, suami isteri ini tentu saja merasa kesepian. Mereka hidup berdua saja bersama tiga orang yang membantu toko rempa-rempa dan juga membantu rumah tangga. Namun, suami isteri pendekar itu hidup tenteram karena memang mereka telah lama mengurung diri dan tidak lagi mencampuri urusan dunia kang-ouw. Juga tidak ada golongan sesat yang berani mengganggu mereka. Bukan saja karena suami isteri ini terkenal amat lihai, juga Kao Cin Liong ketika mudanya pernah menjadi seorang panglima perang yang telah banyak jasanya. Kini, suami isteri yang sudah mulai tua dan hidup berdua saja ini memiliki penghasilan yang berlebihan bagi mereka dan mereka merupakan orang-orang dermawan yang suka menolong mereka yang membutuhkan pertolongan. Maka, seluruh penduduk kota Pao-teng merasa hormat den segan kepada mereka.

Dapat dibayangkan betapa gembira rasa hati kakek Kao Cin Liong dan isterinya, nenek Suma Hui ketika mereka menerima kunjungan puteri mereka bersama suaminya dan anaknya. Kakek dan nenek perkasa ini dahulu pernah merana dan berduka sekali melihat keadaan puteri tunggal mereka, Kao Hong Li. Dahulu, sebelum menjadi isteri pendekar Tan Sin Hong, puteri mereka itu pernah menjadi isteri dari Thio Hui Kong, putera seorang jaksa di Pao-teng yang adil dan jujur. Juga Thio Hui Kong merupakan seorang pria yang tampan dan gagah, pandai ilmu silat dan sastra. Namun sayang, karena pernikahan di antara mereka itu tidak ada cinta, terutama di pihak Kao Hong Li, pernikahan itu gagal. Hong Li tidak pernah mencintai suaminya dan bersikap hambar sehingga Thio Hui Kong yang merasa kecewa lalu menghibur diri dengan pelesir dan judi. Akhirnya rumah tangga mereka tidak dapat dipertahankan lagi dan mereka bercerai! Namun, dasar sudah jodohnya. Hong Li bertemu dengan Tan Sin Hong yang sejak dulu dicintanya akan tetapi Sin Hong menikah dengan wanita lain. Dalam pertemuan kembali ini, ternyata Tan Sin Hong juga sudah bercerai dari isterinya yang melakukan penyelewengan! Dan dua hati yang saling mencinta itu pun bertemu kembali dan menikahlah janda kembang dengan duda muda itu. Tentu saja peristiwa itu membuat Kao Cin Liong dan Suma Hui merasa berbahagia sekali, apalagi setelah lahir Tan Sian Li, cucu luar mereka.

"Sian Li, cucuku yang manis....!" Nenek Suma Hui mengangkat tubuh cucunya tinggi-tinggi, lalu mendekap dan menciumi kedua pipinya sambil tertawa gembira. "Aduh, engkau makin manis saja Sian Li. Dan pakaianmu merah! Heh-heh, engkau seperti seekor bangau merah!"

Kao Cin Liong mengelus rambut kepala, Sian Li yang berada di pondongan Suma Hui. "Bangau Merah? Ha-ha-ha, memang ia puteri Si Bangau Putih Tan Sin Hong. Si Bangau Merah, nama yang indah. Mari, mari ikut kong-kong!" kata kakek itu dan mengambil Sian Li dari pondongan isterinya.

Suma Hui menoleh ke kanan kiri, mencari-cari dengan pandang matanya.

"Ehh? Mana murid kalian? Apakah Yo Han tidak ikut?"

Tiba-tiba Sian Li yang berada di pondongan kakeknya, berkata, "Kong-kong dan Bo-bo (Nenek), Suheng Yo Han nakal dia pergi bersama seorang bibi iblis!"

Kakek dan nenek itu terbelalak memandang kepada Sin Hong dan Hong Li. Suami isteri ini memang selalu membujuk Sian Li untuk melupakan Yo Han yang mereka katakan nakal karena Yo Han minggat dan ikut dengan seorang wanita iblis yang jahat. Hal ini mereka tekankan agar Sian Li dapat melupakan Yo Han dan tidak selalu menagisinya.

"Apa yang terjadi dengan dia?" tanya Kao Cin Liong. Dia dan isterinya juga merasa sayang kepada Yo Han, murid mantu mereka itu.

"Ayah dan Ibu, biarlah nanti kami ceritakan tentang dia," kata Hong Li. "Kami masih lelah, karena baru saja kami datang dari kota raja di mana kami tinggal selama seminggu dan setiap hari kami mengajak, Sian Li pesiar."

Mereka semua lalu masuk dan Sin Hong bersama isterinya mendapatkan kamar yang dahulu menjadi kamar Hong Li. Adapun Sian Li tentu saja ditahan oleh neneknya dan diajak tidur di kamar neneknya.

Setelah beristirahat dan makan malam dan setelah Sian Li tidur pulas di kamar neneknya, barulah Tan Sin Hong dan Kao Hong Li bercakap-cakap dengan kakek dan nenek itu, menceritakan tentang Yo Han. Mereka menceritakan semua keanehan yang terdapat pada diri Yo Han, tentang sikapnya yang sama sekali tidak mau berlatih ilmu silat. Kemudian tentang munculnya Ang I Moli, Tee Kui Cu yang mula-mula menculik Sian Li, kemudian betapa Yo Han dapat menemukan wanita iblis itu dan menukar Sian Li dengan dirinya sendiri!   

"Demikianlah, Ayah dan Ibu. Yo Han pergi bersama iblis betina itu dan menjadi muridnya. Kami tidak dapat mencegahnya karena dia memang sudah berjanji untuk menukar Sian Li dengan dirinya sendiri."

"Ah, tapi mengapa begitu?" nenek Suma Hui mencela puterinya. "Apa artinya janji kepada iblis betina seperti itu? Ia telah berani menculik Sian Li dan kalian membiarkan saja ia pergi membawa Yo Han sebagai muridnya? Iblis betina itu pantas dibasmi!"

"Tidak boleh kita berpendirian begitu," kata Kao Cin Liong dengan suara tenang. "Sudah jelas bahwa Yo Han bukan anak biasa seperti yang diceritakan Sin Hong tadi. Dia tidak suka akan kekerasan, namun memiliki ketabahan yang luar biasa. Dan kalau dia sudah berjanji kepada Ang I Moli agar iblis betina itu membebaskan Sian Li dan sebagai tukarnya dia mau ikut dengan iblis betina itu, tentu saja Sin Hong dan Hong Li tidak dapat memaksa dan melanggar janji yang telah dikeluarkan Yo Han."

"Apa yang dikatakan ayah itu memang benar, Ibu," kata Kao Hong Li. "Akupun tadinya tidak mau mengalah begitu saja dan aku sudah memaksa iblis betina itu untuk melayaniku bertanding. Ia memang lihai, akan tetapi kalau ia tidak melarikan diri, tentu aku akan dapat membunuhnya. Betapapun juga, kami tidak mungkin dapat membunuhnya setelah ia mengembalikan Sian Li dan memperlakukan anakku dengan baik, dan kalau Yo Han ikut dengannya, hal itu adalah karena keinginan Yo Han sendiri. Kiranya anak yang luar biasa itu sudah tahu bahwa kami ingin menjauhkan Sian Li darinya, dan agaknya Yo Han memang sengaja ikut iblis itu agar dia dapat menjauhkan diri dari kami tanpa harus melarikan diri, atau tanpa kami harus menitipkannya kepada pendeta kuil seperti yang tadinya kami rencanakan. Dia sudah tahu semuanya, Ibu."

Kao Cin Liong dan Suma Hui saling pandang, diam-diam merasa aneh dan kagum kepada anak itu. "Jadi, dia sengaja mengorbankan diri, sengaja meninggalkan keluargamu karena tahu bahwa kalian ingin memisahkan Sian Li darinya?"

Hong Li mengangguk dan menunduk. "Sungguh kami merasa kehilangan dia, Ibu. Kami sayang kepada Yo Han, juga Sian Li amat menyayangnya, sehingga ia rewel terus dan terpaksa kami mengajaknya pesiar ke kota raja lalu ke sini. Akan tetapi, kami harus mementingkan masa depan Sian Li. Ia pasti akan terbawa oleh sikap Yo Han kalau terus dekat dengan dia."

Sin Hong menarik napas panjang. "Benar sekali, Ayah dan Ibu. Kami amat sayang kepada Yo Han, seperti kepada anak sendiri. Akan tetapi, dia amat aneh dan kami tidak ingin melihat Sian Li menjadi seperti dia."

"Tapi.... bagaimana dengan nasib Yo Han? Apakah tidak berbahaya sekali dia terjatuh ke tangan seorang iblis betina? Jangan-jangan keselamatan nyawanya terancam...." Suma Hui menyatakan kekhawatirannya.

"Aku juga khawatir sekali, Ibu. Akan tetapi ayah Sian Li mengatakan tidak perlu khawatir," kata Hong Li sambil memandang suaminya.

Kini mereka bertiga semua memandang kepada Sin Hong dan mengharapkan penjelasan yang meyakinkan, karena mereka semua mengkhawatirkan keselamatan Yo Han.

"Sesungguhnya pendapat atau jalan pikiran saya ini saya dapatkan dari Yo Han, betapapun janggalnya, saya harus mengakui bahwa dialah yang memberi teladan atau tanpa disengaja memberi pelajaran kepada saya. Yaitu bahwa nyawa setiap orang berada di tangan Tuhan. Dia amat yakin akan hal ini, maka dia tidak pernah takut menghadapi apapun bahkan ancaman maut sekalipun. Saya merasa yakin bahwa ada sesuatu yang mujijat pada diri anak itu. Seolah-olah ada suatu kekuatan gaib yang melindunginya. Seperti ketika dia diserang ular berbisa itu. Dengan gerakan yang luar biasa cepatnya, seperti seorang ahli silat yang pandai, tangannya bergerak menangkap ular itu. Akan tetapi dia tidak membunuhnya, melainkan bicara kepada ular itu, melepaskannya lagi dan ular itu menjadi jinak! Seolah-olah dia menguasai pula ilmu menundukkan ular."

"Aneh!" kata Suma Hui. "Padahal, biarpun aku sendiri pernah mempelajari ilmu menundukkan ular akan tetapi tidak begitu menguasainya, dan aku tidak pernah mengajarkannya kepadamu, Hong Li."

"Itulah keanehannya, Ibu," kata Hong Li. "Lebih aneh lagi, ketika kami semua mencari penculik Sian Li. Kami berdua yang memiliki kepandaian saja gagal menemukan penculik, akan tetapi kenapa Yo Han dapat menemukannya, bahkan lebih hebat lagi, dapat membujuk Ang I Moli untuk membebaskan Sian Li?"

Kakek dan nenek itu menjadi semakin heran dan kagum. Bagaimanapun juga, mereka menyayangkan bahwa Yo Han sampai ikut seorang tokoh sesat seperti Ang I Moli. "Kalau saja kalian membawa dia ke sini, kami akan suka mendidiknya." kata Suma Hui dan suaminya juga mengangguk setuju. Akan tetapi semua sudah terlanjur dan Yo Han sudah pergi bersama Ang I Moli entah ke mana.

Malam itu, karena lelah oleh perjalanan yang jauh, Sin Hong dan Hong Li tidur pulas di dalam kamar mereka. Sian Li tidur bersama neneknya di kamar neneknya, sedangkan kakek Kao Cin Liong yang merasa gembira dengan kunjungan puterinya, mantunya dan cucunya, juga sudah tidur dengan mulut tersenyum.

Kakek dan nenek itu memang merasa amat berbahagia. Betapa tidak? Mereka hanya mempunyai seorang anak saja, yaitu Kao Hong Li. Ketika puteri mereka itu menikah dengan Thio Hui Kong kemudian bercerai, mereka merasa prihatin dan berduka sekali. Anak mereka satu-satunya, seorang wanita lagi, dalam usia demikian muda telah menjadi seorang janda tanpa anak! Mereka sudah merasa putus harapan karena pada masa itu, derajat seorang janda yang bercerai hidup, apalagi tanpa anak, amatlah dipandang hina dan rendah. Sungguh di luar dugaan mereka, kemudian Kao Hong Li berjodoh dengan Tan Sin Hong yang berilmu tinggi, bahkan mereka hidup berbahagia dan mempunyai seorang anak yang menjadi cucu mereka yang mungil!

Menjelang tengah malam, ketika seluruh isi rumah itu tidur pulas dan juga keadaan sekeliling rumah itu sunyi karena tidak ada lagi orang berada di luar rumah dalam cuaca yang amat dingin itu, terdengarlah seruan di atas genteng kamar kakek Kao Cin Liong.

"Taihiap (Pendekar Besar) Kao Cin Liong, tolonglah pinceng (saya)!" terdengar teriakan di atas genteng kamar itu, lalu terdengar suara gedobrakan di atas genteng itu.

Kao Cin Liong yang sedang duduk bersamadhi, mendengar seruan ini dengan jelas. Bahkan dia mengenal suara itu sebagai suara seorang sahabatnya, yaitu Thian Kwan Hwesio ketua kuil di sudut kota Pao-teng, seorang murid Siauw-limpai yang termasuk tokoh karena tingkat, kepandaian silatnya sudah cukup tinggi. Mendengar suara itu, tubuh Kao Cin Liong meloncat dari atas pembaringan, membuka jendela dan dalam beberapa detik saja dia sudah meloncat naik ke atas genteng di mana dia melihat seorang hwesio sedang didesak dan dihajar dengan pukulan-pukulan oleh dua orang berpakaian jubah pendeta tosu (pendeta To) yang lihai sekali. Karena malam itu bulan hanya muncul secuwil, maka cuaca remang-remang dan dia tidak dapat melihat jelas wajah tiga orang itu. Akan tetapi dia dapat mengenal Thian Kwan Hwesio yang agaknya sudah payah, terhuyung-huyung di atas genteng.

"Tahan....!" seru Kao Cin Liong dan sekali meloncat dia sudah mendekati Thian Kwan Hwesio yang terhuyung, menyambar lengannya.

Hwesio yang usianya sudah hampir tujuh puluh tahun itu nampak lemah sekali dan dia bersandar kepada rangkulan lengan Kao Cin Liong.

"Thian Kwan Suhu, ada apakah? Siapakah mereka ini?"

"Mereka.... mereka.... orang-orang Bu-tong-pai.... uhhh-uhhh!" hwesio itu terengah-engah. "Kami sudah mengalah.... akan tetapi.... seperti pernah kuceritakan.... Bu-tong-pai selalu mendesak dan menyerang kami...." Tubuh hwesio itu terkulai dan dengan lirih dia masih menyebut "omitohud....!" dan dia pun lemas dan tewas dalam rangkulan kakek Kao Cin Liong.

Kao Cin Liong beberapa hari yang lalu pernah bercakap-cakap dengan ketua kuil itu dan mendengar bahwa kini Bu-tong-pai selalu memusuhi Siauw-lim-pai. Di mana-mana para murid Bu-tong-pai menyerang para murid Siauw-lim-pai sehingga terjadilah bentrokan-bentrokan berdarah. Menurut keterangan Thian Kwan Hwesio. Bu-tong-pai menuduh seorang tokoh Siauw-lim-pai, yaitu Loan Hu Hwesio telah membunuh Phoa Cin Su, tokoh Bu-tong-pai di puncak Bukit Naga. Padahal menurut keterangan kepala kuil itu, justeru Loan Hu Hwesio dibunuh oleh seorang tokoh Kun-lun-pai, juga di puncak Bukit Naga!

Dua orang tosu Bu-tong-pai itu maju mendekati Kao Cin Liong yang masih merangkul Thian Kwan Hwesio.

"Ini tentu murid Siauw-lim-pai juga, Sute. Kita bunuh dia!" Dan mereka berdua maju menyerang kakek itu dengan pukulan-pukulan yang mendatangkan angin pukulan yang dahsyat. Kakek Kao Cin Liong terkejut dan berseru,

"Heiii, tahan dulu!" teriaknya sambil mencoba untuk mengelak. Akan tetapi karena dia sedang merangkul Thian Kwan Hwesio yang agaknya sudah menjadi mayat, tentu saja gerakannya menjadi lambat. Dia terpaksa melepaskan tubuh hwesio itu dan mengangkat kedua lengannya untuk menangkis.

"Desss....!" Kakek itu terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa kedua orang tosu itu memiliki tenaga yang amat kuat. Kalau saja mereka tidak maju bersama, tentu dia dapat mengatasi tenaga seorang di antara mereka. Akan tetapi mereka maju berbareng dan agaknya mereka telah menggabungkan diri dan mengerahkan tenaga. Sedangkan dia sendiri karena belum tahu benar akan keadaan dan tidak ingin bermusuhan dengan Bu-tong-pai yang banyak dikenal para pemimpinnya, dia tidak mengerahkan seluruh tenaganya. Akibatnya, kakinya menginjak pecah genteng di bawahnya dan kedua tangannya melekat kepada tangan dua orang tosu itu!

Kao Cin Liong adalah putera Kao Kok Cu, Naga Sakti Gurun Pasir. Biarpun usianya telah lanjut, sudah enam puluh tiga tahun, namun dia telah mewarisi ilmu yang hebat dari Gurun Pasir. Karena maklum bahwa dua orang lawannya itu lihai, dan kedua tangannya sudah melekat pada tangan lawan dan kedua kakinya hampir tertekuk, dia lalu mengerahkan tenaga Sin-liong-hok-te (Naga Sakti Mendekam di Bumi). Ilmu ini merupakan satu di antara ilmu-ilmu yang ampuh dari Istana Gurun Pasir.

"Aaarghhhh....!" Kakek itu mengeluarkan suara yang menyayat hati dan dua orang tosu itu pun terjengkang! Akan tetapi pada saat ketika kakek yang sudah tua itu menghentikan pengerahan Sin-liong-hok-te, dari belakangnya ada dua orang tosu lain yang menghantamkan telapak tangan mereka ke punggungnya.

"Plakkk! Dukkk!"

Dua orang pemukul itu terjengkang dan menjadi terkejut bukan main karena mereka merasa betapa tangan mereka yang menampar itu menjadi nyeri. Akan tetapi kakek Kao Cin Liong sendiri terpelanting dan mengeluh karena dua tamparan pada punggungnya selagi dia menyimpan kembali tenaga Sin-liong-hok-te tadi sedemikian hebatnya sehingga dia merasa seolah-olah seluruh isi dada dan perutnya dilanda badai hebat!

"Aiihhh....!" Teriakan ini terdengar dari bawah, disusul teriakan seorang anak kecil.

"Kong-kong....!"

Suma Hui tadi keluar bersama cucunya karena terkejut mendengar teriakan suaminya. Ia menjerit karena sempat melihat suaminya roboh terpukul dari belakang. Tubuhnya cepat meluncur ke atas seperti seekor burung terbang saja. Seorang di antara empat tosu itu, yang tubuhnya kurus jangkung, menyambut Suma Hui dengan serangan kilat, dan kini dia mempergunakan sebatang pedang. Tubuh wanita itu masih melayang di udara ketika pedang itu menyambutnya dengan tusukan maut ke arah dada. Namun, Suma Hui adalah seorang wanita yang lihai sekali. Ia adalah cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, maka serangan yang bagaimana dahsyat pun, kalau dilakukan berterang, tentu akan dapat diatasinya.

"Haiiittt....!" Suaranya melengking dan tubuhnya berjungkir balik beberapa kali dan berhasil menghindarkan dari dari tusukan! Gerakan ini sungguh lincah bukan main, membuat penyerangnya terkejut. Akan tetapi Suma Hui juga kaget karena serangan tadi nyaris mengenai tubuhnya, membuktikan bahwa penyerangnya adalah seorang yang lihai. Begitu kakinya menyentuh genteng, ia membalik dan mengelak ketika pedang yang tadi sudah menyambar pula. Kiranya tosu tinggi kurus itu sudah menghujankan serangan pedang kepadanya. Suma Hui mempergunakan kegesitan tubuhnya untuk mengelak ke sana sini, lalu membalas pula dengan tamparan-tamparan yang mengandung tenaga Swat-im Sin-kang yang dingin. Karena maklum bahwa suaminya telah terluka dan lawan ini amat lihai, maka ia telah mengerahkan ilmu yang khas dari keluarga Istana Pulau Es itu. Lawannya terkejut ketika merasa ada hawa yang amat dingin menyambar dari kedua tangan lawannya, maka dia bertindak hati-hati dan memutar pedang menjaga jarak, melindungi diri dengan sinar pedangnya yang bergulung-gulung. Ketika tiga orang tosu yang lain hendak maju mengeroyok, tiba-tiba dua sosok bayangan berkelebat dari bawah, melayang ke atas genteng itu seperti dua ekor burung garuda. Mereka ini bukan lain adalah Tan Sin Hong dan isterinya, Kao Hong Li.

Melihat ini, dua orang tosu yang tadi memukul Kao Cin Liong secara curang dari belakang, menyambut mereka dengan pedang di tangan. Dan mereka terkejut bukan main ketika mendapat kenyataan betapa dua orang pria dan wanita muda yang baru datang ini juga amat lihai, terutama sekali yang pria. Begitu Sin Hong mengelak dan tangannya mendorong hawa pukulan tangannya membuat lawannya terhuyung ke belakang! Seorang tosu lain cepat membantu kawannya, dan baru setelah dua orang tosu yang berpedang menghadapi Sin Hong, mereka mampu saling menjaga dan terjadi perkelahian yang agak seimbang.

"Ayah....!" Kao Hong Li yang melihat ayahnya menggeletak di atas genteng, terkejut sekali dan cepat menghampiri ayahnya.   

Dengan napas empas-empis Kao Cin Liong berkata, "Hong Li.... cepat.... kaubantu.... ibumu...."

Hong Li menoleh dan melihat betapa ibunya memang nampak sibuk menghadapi permainan pedang seorang tosu. Suaminya, biarpun dikeroyok dua, tidak nampak terdesak. Ia pun cepat meloncat dan membantu ibunya. Kini, tosu berpedang itu menjadi repot sekali ketika berhadapan dengan ibu dan anak itu.

Walaupun mereka berdua tidak sempat membawa senjata, namun mereka seperti dua ekor singa betina yang marah dan tosu itu terdesak hebat, hanya mampu memutar pedangnya untuk melindungi tubuhnya dari terkaman dua ekor singa betina itu! Bahkan dia sempat berteriak. "Sute, bantu....!" Teriaknya ditujukan kepada tosu ke empat, karena dua orang tosu yang lain hanya dapat berimbang saja mengeroyok Sin Hong yang bertangan kosong. Bahkan dua orang tosu ini pun sudah mulai terdesak ketika Sin Hong terpaksa memainkan ilmu andalannya, yaitu Pek-ho Sin-kun. Ilmu ini adalah ilmu yang amat hebat, ilmu gabungan dari tiga orang sakti, yaitu mendiang kakek Kao Kok Cu dan Tiong Khi Hwesio, bersama nenek Wan Ceng. Juga tenaga sin-kang yang terkandung dalam ilmu ini amat hebatnya. Sin Hong sendiri mendapat pesan dari tiga orang gurunya itu bahwa kalau tidak terpaksa sekali dia tidak boleh mempergunakan ilmu itu. Sekarang, melihat ayah mertuanya sudah roboh, dan betapa para tosu itu lihai, dia terpaksa mempergunakan ilmu Pek-ho Sin-kun (Silat Sakti Bangau Putih). Dan begitu dia mengeluarkan ilmu ini, baru beberapa jurus saja dua orang pengeroyoknya yang berpedang itu sudah terhuyung dan terdesak.

Tiba-tiba terdengar teriakan suara anak kecil, "Ibuuu....! Ayaahhh....!" Suara ini disusul suara yang parau dan tegas, penuh ancaman.

"Hentikan perkelahian, atau anak ini akan pinto (aku) bunuh!"

Mendengar teriakan anak itu saja, Sin Hong dan Hong Li Sudah terkejut, demikian pula nenek Suma Hui. Mereka berloncatan ke belakang dan menengok ke bawah. Di sana, di bawah sinar lampu gantung yang remang-remang, nampak seorang tosu memondong Sian Li dan pedang di tangan kanannya menempel di leher anak itu! Seketika lemaslah tubuh tiga orang ini dan mereka tidak mampu bergerak, tidak berani bergerak dan terpaksa membiarkan tiga orang tosu yang tadi sudah mereka desak itu berloncatan dan menghilang ke dalam kegelapan malam.

"Jangan mengejar kami kalau menginginkan anak ini selamat!" kata pula tosu itu. Sin Hong dan isterinya seperti terpukau dan tidak berani bergerak, akan tetapi, Hong Li melihat ibunya yang tadi berada di belakangnya telah tidak berada di situ pula, entah ke mana perginya.

"Uhhh....!" Tubuh kakek Kao Cin Liong menggelundung dan tertahan talang, hampir jatuh ke bawah. Melihat ini, Sin Hong cepat meloncat dan menyambar tubuh ayah mertuanya itu, lalu dipondongnya. Sementara itu, melihat betapa tosu yang menawan puterinya itu meloncat pergi, Kao Hong Li meloncat turun dan berteriak.

"Jangan bawa anakku! Kembalikan!"

"Berhenti, atau kubunuh anakmu!" Tosu itu berseru dan mendengar ini, Hong Li yang sudah tiba di atas tanah itu menjadi pucat dan kedua kakinya menjadi lemas. Tak berani ia mengejar.

Tiba-tiba, dari balik tembok samping rumah itu, Suma Hui meloncat dan menubruk tosu itu dari belakang. Gerakan Suma Hui cepat bukan main, dan tahu-tahu pundak kanan tosu itu telah dihantamnya sehingga terdengar tulang remuk dan pedang di tangan yang menjadi lumpuh itu terlepas dari pegangan. Tosu itu terkejut dan begitu merasa betapa anak di pondongan tangan kiri dirampas oleh penyerangnya, dia membalik dan tangan kirinya berhasil menjambak rambut Suma Hui! Wanita ini cepat melempar tubuh Sian Li ke arah Hong Li.

"Terima anakmu!" teriaknya dan tubuh anak itu melayang ke arah Hong Li yang cepat menangkapnya.

"Ibuuu....!"

"Sian Li, engkau tidak apa-apa, nak?" Hong Li memeriksa anaknya dan mendekapnya, menciuminya dengan hati lega. Akan tetapi, ia terkejut mendengar ibunya menjerit. Ia terbelalak dan pada aaat itu, Sin Hong sudah melayang, turun memandong tubuh ayah mertuanya. Hong Li menurunkan Sian Li karena di situ sudah ada Sin Hong dan ia pun meloncat ke arah ibunya yang, terhuyung. Empat orang tosu tadi sudah lenyap.

"Ibu....!"

Hong Li merangkul ibunya yang terhuyung. "Aku.... berhasil menghajar penculik tadi.... tapi yang lain.... membokong dengan curang dari belakang.... ahhh.... bagaimana.... ayahmu....?" Wanita itu terkulai dan tentu roboh kalau tidak cepat dipondong Hong Li.

"Cepat bawa masuk. Mari Sian Li, masuk ke dalam!" kata Sin Hong kepada isterinya. Dia masih memondong tubuh ayah mertuanya, dan Hong Li memondong tubuh ibunya. Mereka masuk ke dalam rumah, diikuti oleh Sian Li. Anak ini tidak menangis walaupun nampak bingung dan masih belum hilang kagetnya.

Tiga orang pembantu dari kakek Kao Cin Liong yang tinggal di bagian belakang rumah menjadi terkejut mendengar ribut-ribut tadi dan mereka sudah berlarian keluar. Tentu saja mereka kaget bukan main melihat kedua majikan mereka dipondong masuk dalam keadaan luka dan pingsan.

"Kalian cepat undang tabib yang pandai di kota ini, kata Sin Hong setelah dia merebahkan tubuh ayah mertuanya ke atas pembaringan. Juga Hong Li merebahkan tubuh ibunya di atas pembaringan yang lain.

Sin Hong lalu keluar lagi, melompat ke atas genteng dan menurunkan tubuh hwesio tua yang telah menjadi mayat. Juga tubuh yang sudah tak bernyawa ini dibaringkan di atas sebuah dipan.

Sin Hong memeriksa luka pukulan di punggung ayah mertuanya. Dia mengerutkan alisnya melihat dua telapak tangan membekas di punggung itu, menghitam. Tahulah dia bahwa ayah mertuanya menderita luka dalam yang amat hebat. Kakek itu masih pingsan, napasnya empas-empis, tinggal satu-satu. Kemudian dia dan isterinya memeriksa luka yang di derita Suma Hui. Keadaan nenek ini tidak lebih baik dari suaminya. Sebuah luka tusukan pedang di lambung, dan di lehernya terdapat luka kecil-kecil yang menghitam, tanda bahwa ada dua buah benda kecil, mungkin senjata rahasia paku atau jarum, memasuki lehernya, dan jelas bahwa senjata rahasia itu beracun!

Melihat keadaan ayah ibunya, Kao Hong Li mencucurkan air mata tanpabersuara. Ia terlampau gagah untuk menangis keras. Ia menahan gejolak hatinya yang penuh kekhawatiran dan kemarahan. Dengan pandang matanya Sin Hong menghibur dan menenangkan hati isterinya, kemudian dengan lembut dia berkata, "Lebih baik bawa Sian Li tidur lebih dulu. Biar aku yang berjaga di sini sampai tabib datang."

Hong Li maklum akan maksud suaminya. Memang tidak baik membiarkan Sian Li di situ. Anak ini nampak kebingungan memandang ke arah kakek dan neneknya yang rebah di atas dua buah pembaringan di dalam kamar itu, dengan napas empas empis dan wajah pucat, kadang terdengar suara seperti rintihan lirih.

"Mari, Sian Li, kita kembali ke kamar untuk tidur."

Sian Li digandeng ibunya memasuki kamar mereka. Ketika Hong. Li merebahkan puterinya di atas pembaringan, anak itu memandang ibunya dan bertanya, "Ibu siapa yang melukai Kakek dan Nenek?"

"Mereka orang-orang jahat, Sian Li."

"Kenapa Ayah dan Ibu tidak menangkap mereka?"

"Mereka itu lihai dan sempat melarikan diri, bahkan hampir menawanmu, anakku."

"Tapi, Ibu. Tentu Ibu juga tahu siapa mereka?"

Kao Hong Li menggeleng kepalanya. "Aku tidak mengenal siapa mereka akan tetapi sebelum tewas, Thian Kwan Suhu berseru bahwa mereka adalah orang-orang Bu-tong-pai. Tentu mereka itu tokoh-tokoh Bu-tong-pai tingkat tinggi."

"Kalau begitu, Kakek dan Nenekku dilukai orang-orang Bu-tong-pai?"

"Begitulah. Kenapa engkau menanyakan hal itu, Sian Li."

Kini Sian Li mengepal tinjunya dan bangkit berdiri di atas pembaringannya. "Kalau begitu, kelak aku akan membasmi Bu-tong-pai!. Mereka orang-orang jahat!"

"Ssttt,sudahlah.Kau tidur dan jangan banyak memikirkan hal itu.

Serahkan saja kepada ayah dan ibumu, Sian Li. Engkau masih terlalu kecil untuk memikirkan urusan itu. Ibunya menghibur dan satelah putarinya tidur, Kao Hong Li menemani suaminya yang menjaga ayah dan ibunya. Tabib yang diundang datang, akan tetapi seperti yang telah dikhawatirkan Sin Hong, tabib itu hanya menggeleng kepala dan menarik napas panjang. Luka-luka itu selain parah, juga mengandung racun yang amat berbahaya. Tentu saja Sin Hong dan Hong Li menjadi gelisah sekali ketika tabib itu angkat tangan menyatakan tidak sanggup mengobati luka karena rscun itu.

Setelah tabib pergi, Hong Li berkata kepada suaminya. "Kiraku hanya ada seorang saja yang akan mampu menolong, yaitu Paman Suma Ceng Liong. Kita harus cepat memberi kabar dan mengundangnya ke sini, juga Paman Suma Ciang Bun yang biarpun tidak memiliki kesaktian seperti paman Suma Ceng Liong, namun memiliki pengalaman yang luas."

Sin Hong setuju dengan usul ini. Karena dia dan isterinya harus menjaga dan merawat ayah dan ibu mertua yang luka berat, mereka tidak dapat pergi sendiri dan segera mengirim utusan yang melakukan perjalanan secepatnya dengan kuda pergi ke kota Cin-an untuk mengundang Suma Ceng Liong dan yang lain pergi Tapa-san untuk mengundang Suma Ciang Bun. Sementara itu Tan Sin Hong, yang menjadi kenalan baik dari Ketua Bu-tong-pai, segera menulis surat protes kepada perkumpulan besar itu tentang terlukanya ayah dan ibu mertuanya oleh serangan orang-orang Bu-tong-pai.

Setelah tiga orang utusan itu berangkat, Sin Hong menjaga ayah dan ibu mertuanya, bersama isterinya. Mereka merasa khawatir sekali dan biarpun Sin Hong dan isterinya sudah berusaha untuk membantu mereka yang terluka itu dengan penyaluran tenaga sin-kang, namun mereka berdua tidak berhasil menyembuhkan, hanya mengurangi rasa nyeri dan memperlambat menjalarnya pengaruh pukulan beracun itu saja.

Melihat keadaan orang tuanya, Kao Hong Li mengerutkan alisnya dan ia berbisik kepada suaminya. Mereka sengaja duduk agak menjauh agar percakapan mereka tidak mengganggu dua orang tua yang sedang menderita sakit itu.

"Para tosu Bu-tong-pai yang keparat!" desis Hong Li sambil mengepal tangannya "Kalau Ayah dan Ibu sudah sembuh, aku pasti akan pergi ke sana untuk meminta pertanggungan jawab mereka. Perbuatan mereka melukai Ayah dan Ibu ini sungguh tidak boleh didiamkan begitu saja!"

Tan Sin Hong mengerutkan alisnya. "Kita harus bersabar dan tidak boleh menurutkan nafsu amarah saja. Kita sudah mengetahui bahwa memang akhir-akhir ini terdapat pertentangan antara Siauw-lim-pai dan Bu-tong-pai sehingga seringkali terjadi bentrokan antara murid-murid mereka. Kita belum mengetahui sebabnya dan memang bukan urusan kita. Kalau sekarang Ayah dan Ibu sampai terluka, hal itu terjadi dalam perkelahian karena mereka terlibat dalam perkelahian antara Thian Kwan Hwesio ketua kuil di Pao-teng yang menjadi tokoh Siauw-lim-pai dengan beberapa orang tosu Bu-tong-pai."

"Akan tetapi hwesio Siauw-lim-pai itu sahabat Ayah dan sudah lari ke sini minta bantuan Ayah, kenapa, mereka masih terus menyerang dan tidak memandang muka orang tuaku? Ayah dan Ibu tadinya tentu hanya ingin melerai saja, kenapa Ayah dan Ibu malah mereka serang?"

"Karena itu, aku sudah menulis surat teguran kepada Ketua Bu-tong-pai, dan aku yakin beliau akan memperhatikan teguranku itu dan akan menghukum murid mereka yang bersalah."

Akan tetapi isterinya menggeleng kepala. "Aku masih penasaran. Bagaimana kalau Ketua Bu-tong-pai membela muridnya dan tidak akan menghukum mereka? Aku harus membalas perbuatan mereka itu. Ingat saja, mereka itu jahat! Mereka merobohkan Ayah dengan cara yang curang sekali, bahkan merobohkan Ibu juga dengan serangan gelap. Mereka itu patutnya gerombolan penjahat, bukan murid-murid sebuah partai persilatan besar seperti Bu-tong-pai! Atau sekarang Bu-tong-pai telah menyeleweng dan murid-muridnya menjadi pengecut-pengecut yang curang!"

Sin Hong mengangguk-angguk. "Engkau benar. Aku sendiri memang ada perasaan curiga terhadap para tosu Bu-tong-pai itu. Cara mereka mengeroyok hwesio itu saja sudah bukan watak pendekar-pendekar Bu-tong. Kemudian, mereka menyerang Ayah dan Ibu secara menggelap dan lebih lagi, mereka menawan Sian Li sebagai sandera, ini pun bukan watak pendekar. Karena itu, aku lebih dulu mengirim surat kepada Ketua Bu-tong-pai. Kelak, kalau kita sudah selesai di sini, kalau Ayah dan Ibu sudah sehat kembali, tentu aku akan berkunjuhg ke Bu-tong pai untuk membikin terang perkara ini."

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Sian Li sudah memasuki ruangan kamar kakek dan neneknya. "Ayah, Ibu, bagaimana dengan Kakek dan Nenek?" tanyanya sambil mendekati pembaringan kakeknya, kemudian neneknya.

"Sst, Sian Li. Kakek dan nenekmu masih tidur. Biarkan mereka beristirahat dan bermainlah di luar."

Sian Li memandang kepada kakek dan neneknya dan alisnya berkerut, mulutnya cemberut. "Kakek dan Nenek tidak bisa lagi menemani aku bermain-main. Ini semua gara-gara gerombolan penjahat itu. Kelak aku akan membasmi mereka kalau aku sudah besar!" Setelah berkata demikian, Sian Li berlari keluar. Ayah dan ibunya saling pandang dan keduanya merasa lega. Puteri mereka itu sudah pasti kelak akan menjadi seorang pendekar wanita yang hebat, seperti yang mereka harapkan. Kalau dekat dengan Yo Han, tentu puteri mereka itu akan mengikuti jejak Yo Han, menjadi seorang wanita yang lemah.

Mereka lalu duduk di dekat pembaringan ayah ibu mereka dan dengan prihatin mereka melihat betapa keadaan mereka masih seperti malam tadi, dan kembali mereka berusaha untuk menyalurkan tenaga sin-kang mereka dengan telapak tangan mereka ditempelkan di punggung si sakit. Biarpun usaha ini belum dapat menyembuhkan, setidaknya dapat memperkuat hawa murni dalam tubuh ayah dan ibu mereka dan memperlambat kerusakan yang diakibatkan oleh pukulan beracun.

Dua orang yang terluka itu dalam keadaan tidur atau setengah pingsan. Wajah mereka pucat dan pernapasan mereka lemah. Sin Hong sudah memberi obat luka di lambung dan leher ibu mertuanya. Luka-luka itu tidak berat, akan tetapi racun yang terkandung di luka bagian leher amat berbahaya. Sedangkan pukulan kedua telapak tangan yang berbekas di punggung ayah mertuanya membuat keadaan ayah mertuanya itu lebih parah lagi.

"Hemm, keadaan mereka ini membuat aku menjadi sangsi," katanya lirih kepada isterinya. "Aku mengenal Bu-tong-pai sebagai partai persilatan bersih, perkumpulan orang-orang suci dengan para tosu menjadi pimpinan. Murid-murid mereka adalah pendekar-pendekar gagah. Biarpun mereka memiliki pukulan ampuh yang mengandung sin-kang amat kuat, namun belum pernah aku mendengar mereka mempelajari ilmu pukulan beracun. Juga, belum pernah aku mendengar mereka menggunakan racun atau paku beracun seperti yang melukai leher ibumu."

"Akan tetapi, mendiang Thian Kwan Hwesio dengan jelas menyerukan bahwa mereka adalah para tosu Bu-tong-pai," kata isterinya dan Sin Hong menjadi bingung. Memang sukar dimengerti kalau seorang pendeta seperti ketua kuil Pao-teng itu berbohong. Apa manfaatnya berbohong. Akan tetapi, Thian Kwan Hwesio sudah tewas sehingga tidak mungkin, dapat diperoleh keterangan yang lebih jelas darinya.

"Kita harus bersabar. Surat yang kukirim kepada Ketua Bu-tong-pai itu sedikit banyak tentu akan dapat menerangkan kegelapan peristiwa semalam."

Sementara itu, Sian Li berlari keluar rumah dengan hati kesal. Ketika ia datang ke rumah kakek dan neneknya, hatinya gembira karena kedua orang tua itu amat sayang kepadanya dan mengajaknya bermain-main. Sekarang, kakek dan neneknya hanya rebah dalam keadaan sakit. Apalagi bermain-main dengannya, bicara pun mereka itu tidak dapat lagi. Semua itu gara-gara perbuatan penjahat yang menyerbu malam tadi. Hatinya kesal dan marah, dan ia pun keluar dari pekarangan rumah, bermaksud mencari teman bermain.

Ada beberapa orang pegawai yang biasanya membantu kedua orang tua itu berdagang rempa-rempa. Mereka, empat orang itu, telah mendengar bahwa kedua majikan mereka menderita luka oleh serbuan penjahat. Mereka membuka toko rempa-rempa mewakili majikan mereka dengan wajah khawatir.

Sian Li tidak mempedullkan mereka yang tidak dikenalnya, dan ia pun keluar dari pekarangan dan terus berjalan-jalan seorang diri di jalan raya. Hatinya tertarik melihat seorang kakek berdiri di tepi jalan, memandang ke arah rumah kakek dan neneknya. Ia pun menoleh dan ikut memandang. Belasan orang hwesio memasuki pekarangan itu, dan mereka ini adalah para hwesio dari kuil di kota itu, para murid Thian Kwan Hwesio yang sudah diberi kabar tentang tewasnya guru dan ketua mereka di rumah keluarga Kao. Tak lama kemudian mereka mengangkut peti mati untuk dibawa pulang ke kuil mereka. Sian Li melihat pula ayah dan ibunya mengantar sampai di luar rumah dan belasan orang hwesio itu meninggalkan pekarangan itu sambil memikul peti mati.

Sian Li mengepal kedua tangannya, memandang dan mengikuti perjalanan para hwesio yang mengikuti peti mati sambil membaca doa sepanjang jalan. Hatinya merasa kasihan dan juga penasaran kepada para penjahat yang bukan saja telah membunuh seorang hwesio, akan tetapi juga melukai kakek dan neneknya.

"Penjahat-penjahat kejam, tunggu saja kalian. Kalau kelak aku sudah besar, akan kubalaskan kematian hwesio itu dan lukanya Kakek dan Nenekku!"

Sian Li tidak tahu betapa kakek yang tadi berdiri memandang ke arah kesibukan para hwesio mengangkut peti mati, kini memandang kepadanya dengan sinar mata yang penuh selidik dan mulut tersenyum. Kakek ini berpakaian seperti seorang sastrawan, akan tetapi jelas bahwa dia miskin melihat betapa pakaian itu sudah penuh jahitan dan ada beberapa tambalan, walaupun nampaknya bersih. Dia mirip seorang sastrawan setengah jembel, dengan rambut yang bercampur dengan cambang, kumis dan jenggot yang sudah berwarna kelabu. Namun wajah masih nampak sehat kemerahan belum dimakan keriput, matanya masih terang dan senyumnya cerah walaupun mulut itu tidak bergigi lagi. Rambut itu dibiarkan awut-awutan, sampai ke pundak. Tubuhnya jangkung kurus namun berdirinya tegak. Sebuah caping lebar tergantung di punggung, tangan kanan memegang sebatang tongkat butut dan tangan kirinya membawa sebuah keranjang obat, terisi beberapa macam akar-akaran dan daun-daunan.

"Nona kecil yang baik, apakah kakek dan nenekmu luka-luka?" Tiba-tiba kakek itu mendekat dan bertanya. Sian Li menoleh dan ia memandang kepada kakek itu penuh perhatian.

"Apakah engkau orang Bu-tong-pai?" tiba-tiba ia bertanya dan alisnya berkerut, matanya memandang penuh selidik.

"Kalau betul, kenapa?" kakek itu balas bertanya sambil tersenyum.

"Kalau engkau orang Bu-tong-pai, akan kupanggilkan Ayah dan Ibu. Jangan lari, mereka tentu akan menghajarmu!"

"Kalau aku bukan orang Bu-tong-pai?"

"Kalau bukan, jangan mencampuri urusan kami. Engkau tidak akan dapat menolong, Kek!"

"Ha-ha-ha, anak baik, mengapa engkau mengatakan bahwa aku tidak akan dapat menolong?"

Sian Li memandang kepada orang itu dengan sinar mata penuh selidik. "Engkau seorang kakek tua, miskin, dan nampak lemah. Andaikata engkau memiliki ilmu kepandaian pun, bagaimana engkau mampu menandingi orang-orang Bu-tong-pai yang lihai, sedangkan Ayah Ibuku saja tidak mampu melindungi Kakek dan Nenekku?"

Kakek itu memandang dengan kagum. Anak kecil ini baru berusia empat tahun, akan tetapi telah mampu mengolah pikiran seperti orang dewasa saja. Ini menandakan bahwa kelak anak ini akan menjadi seorang yang cerdik bukan main.

"Anak yang baik, engkau tadi bilang tentang kakek dan nenekmu yang luka-luka. Kebetulan sekali aku mempunyai sedikit ilmu pengobatan. Aku mendengar bahwa ini rumah dari Pendekar Kao Cin Liong, bekas panglima besar yang amat terkenal itu. Bagaimana kalau aku mencoba kepandaianku untuk menyembuhkan kakek dan nenekmu?"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar