05 Kisah Si Bangau Merah

"Terima kasih, Sobat. Mari kita basmi iblis-iblis Pek-lian-kauw yang jahat ini!" serunya dan biarpun paha kirinya sudah terluka, ia memutar pedangnya dan bersama Suma Ciang Bun mendesak tiga orang lawan itu.

Tiba-tiba dua orang tokoh Pek-lian-kauw itu membaca mantram yang aneh, kemudian Kwan Thian-cu berseru, "Kalian berdua orang-orang bodoh! Lihat baik-baik siapa kami! Kami lebih berkuasa, hayo kalian cepat berlutut memberi hormat kepada kami!" Dalam suara ini terkandung kekuatan sihir. Agaknya mereka berusaha untuk mencoba sihir mereka kembali untuk menundukkan dua orang lawan tangguh itu. Gangga Dewi terhuyung, akan tetapi Suma Ciang Bun adalah cucu Pendekar Sakti Pulau Es. Dia sudah memiliki kekebalan terhadap sihir. Kakeknya, Pendekar Super Sakti, adalah seorang yang memiliki kepandaian sihir amat kuatnya, dan biarpun ilmu itu tidak dipelajari oleh Suma Ciang Bun, akan tetapi dia memiliki kekebalan terhadap segala macam ilmu sihir. Maka, melihat sikap lawan, Suma Ciang Bun tertawa halus.

"Hemm, kalian tidak perlu menjual segala macam sulap dan sihir di depanku. Dua orang tosu itu terkejut dan pada saat itu, Gangga Dewi yang sudah tak terpengaruh sihir, menerjang dengan hebat, disusul Suma Ciang Bun yang menggerakkan sepasang pedangnya. Tiga orang itu terpaksa memutar senjata dambil mundur. Akan tetapi, Ang I Moli yang licik sudah meloncat ke dekat tubuh Yo Han yang masih pingsan. Ia menyambar tubuh itu dan dipanggul dengan tangan kiri, lalu ia berteriak nyaring,

"Hentikan perlawanan kalian atau aku akan membunuh anak ini!"

Mendengar ucapan itu, Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi terkejut, menahan pedang mereka dan memandang ke arah Ang I Moli. Mereka melihat betapa wanita iblis itu telah memanggul tubuh Yo Han dan mengancamkan pedangnya ke dekat leher anak itu. Melihat ini, Gangga Dewi menarik napas panjang. Ia tahu bahwa kalau ia dan penolongnya ini bergerak, tentu wanita iblis itu tidak akan ragu-ragu untuk membunuh Yo Han.

"Sudahlah, biarkan mereka pergi," katanya lirih, namun tegas dan penuh wibawa. Suma Ciang Bun mengerutkan alisnya. Ketika dia datang tadi, dia melihat anak itu ditampar pingsan oleh wanita berpakaian merah dan dia dapat menduga bahwa wanita yang gagah perkasa itu tentu melindungi Si Anak dan ia dikeroyok. Sekarang, setelah anak itu ditawan, dan diancam, wanita itu merasa tidak berdaya dan terpaksa menyerah.

"Mari kita pergi!". Ang I Moli berkata kepada dua orang suhengnya dan ia pun meloncat jauh membawa tubuh Yo Han yang masih pingsan. Dua orang takoh Pek-lian-kauw juga cepat-cepat mengejar karena mereka juga merasa jerih setelah Suma Ciang Bun muncul membantu Gangga Dewi.

Melihat betapa tiga orang itu melarikan anak yang dipondong Si Iblis Betina berpakaian merah, Suma Ciang Bun merasa gelisah. "Tapi.... mereka membawa pergi anak itu....!" katanya khawatir dan melangkah ke depan dengan maksud untuk melakukan pengejaran.

"Jangan dikejar!" kata Gangga Dewi mantap. "Kalau dikejar membahayakan keselamatan nyawanya. Dan lagi, aku percaya Yo Han mampu menjaga dirinya."

"Yo Han? Yo.... Han....? Anak itu....?"

Gangga Dewi memandang tajam. "Engkau mengenal Yo Han?"

"Kalau benar Yo Han yang kaumaksudkan itu, tentu saja aku mengenalnya. Dia pernah tinggal bersamaku di sini...."

"Ah, kalau begitu engkau tentu Suma Ciang Bun!" kata Gangga Dewi dengan girang.

Suma Ciang Bun menatap wajah wanita yang gagah perkasa itu. "Benar dan.... kalau boleh aku mengetahui.... siapakah.... eh, Nyonya ini....?"

Gangga Dewi memandang dengan wajah berubah kemerahan, matanya bersinar-sinar dan hatinya dicekam keharuan yang hampir membuat ia menangis. Ingin memang ia menangis! Suma Ciang Bun memang nampak jauh lebih tua daripada tiga puluhan tahun yang lalu. Akan tetapi masih tampan, masih lembut dan canggung pemalu!

"Ciang Bun.... kau.... benarkah engkau sudah lupa kepadaku?" tanyanya, dan wanita yang berhati keras ini sudah mampu mengendalikan perasaannya. Biarpun hatinya menjerit, namun ia dengan gagah dapat menahan diri. Sungguh hal ini menunjukkan betapa Gangga Dewi kini telah menjadi seorang wanita yang lebih kuat hatinya lagi dibandingkan dahulu. Di waktu mudanya, sebagai seorang gadis yang menuruni jiwa petualang ayah ibunya, ia pernah merantau ke timur dan dalam perantauannya itulah ia pernah mengalami peristiwa bersama Suma Ciang Bun, peristiwa yang membuat ia tidak dapat melupakan pria ini selama hidupnya (baca KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES) . Dalam perantauannya itu, ketika itu ia baru berusia delapan belas tahun, ia menyamar sebagai seorang pria dan mengganti namanya menjadi Ganggananda. Dan ia bertemu dengan Ciang Bun yang menyangka ia seorang pria. Dan, diam-diam ia jatuh cinta kepada Suma Ciang Bun yang gagah perkasa. Mereka bersahabat. Kemudian, ia pun mendapat kenyataan bahwa Ciang Bun mencintanya, mencintanya bukan sebagai Gangga Dewi, melainkan sebagai Ganggananda! Ternyata cucu Pendekar Sakti Pulau Es itu memiliki suatu kelainan, yaitu tidak suka berdekatan dengan wanita, melainkan suka kepada sesama pria! Ciang Bun jatuh cinta kepadanya secara aneh, yaitu karena ia disangka pria. Ia tahu akan hal itu dari Suma Hui, kakak dari Suma Ciang Bun. Ketika ia menyatakan sendiri, membuka rahasia dirinya kepada Suma Ciang Bun dan mendengar pengakuan Ciang Bun bahwa pemuda itu mencinta dirinya sebagai pria, bukan sebagai wanita, ia lalu melarikan diri. Bagaimana mungkin ia hidup bersama seorang pemuda yang mencintanya sebagai pria, betapa besar pun ia mencinta pemuda itu? Ia lari meninggalkan Ciang Bun, kembali ke Bhutan dengan hati hancur dan luka karena cinta yang gagal. Karena itulah, ia menurut saja ketika ayah dan ibunya menjodohkan ia dengan seorang panglima muda di Bhutan, panglima yang masih murid ayahnya sendiri dan seorang pria Bhutan yang gagah perkasa. Ia berusaha untuk melupakan Ciang Bun. Sampai suaminya tewas di dalam perang dan ia sudah mempunyai dua orang anak yang sudah dinikahkannya pula, kemudian sampai ia pergi lagi ke timur untuk mencari ayahnya, ia sudah hampir tidak pernah ingat lagi kepada Suma Ciang Bun. Siapa kira, ia bertemu Yo Han dan anak itulah yang mengajaknya menemui Suma Ciang Bun untuk bertanya di mana ia dapat menemukan ayahnya. Ketika Yo Han menyebut nama Suma Ciang Bun, dapat dibayangkan betapa rasa kagetnya. Dan kini, ia telah berhadapan dengan bekas kekasih hatinya itu.

Suma Cian Bun menatap wajah Gangga Dewi dengan sinar mata heran dan penuh pertanyaan. Dia tidak dapat mengingat lagi wajah wanita perkasa yang berdiri di depannya ini. Seorang wanita yang cantik dan gagah. Rambutnya sudah beruban, namun wajahnya masih segar dan nampak muda. Pakaiannya, dari sutera kuning, juga rambut beruban yang mengkilap dan tebal panjang itu ditiup kerudung sutera kuning. Namun hiasan rambutnya yang berbentuk burung merak masih dapat nampak karena kerudung itu tipis. Wajah yang cantik itu membayangkan ketabahan dan semangat yang amat kuat. Namun, ia tetap tidak dapat mengingat wajah ini, apalagi karena jarang ia bergaul dengan wanita. Dia merasa heran sekali mendengar betapa wanita ini menyebut namanya sedemikian akrabnya. Hanya di dalam hatinya ada keyakinan bahwa dia seperti pernah mengenal sinar mata itu, sepasang mata yang lebar dan jernih sekali, juga tajam berwibawa.

"Siapa.... siapakah Nyonya? Aku.... rasanya pernah bertemu, tapi aku lupa lagi di mana dan kapan...."

Gangga Dewi tidak merasa menyesal atau kecewa. Ada baiknya kalau Suma Ciang Bun melupakannya. Dahulu ia selalu teringat kepada Suma Ciang Bun dengan hati penuh iba dan ia selalu membayangkan betapa hancur hati pemuda itu ditinggalkannya, betapa pemuda itu tentu merana dan hidup sengsara. Kalau Suma Ciang Bun dapat melupakannya, maka hal itu sungguh baik sekali.

Akan tetapi, ia melihat betapa sinar mata pria ini jelas menunjukkan betapa dia telah menderita banyak sekali, matanya begitu redup dan ada kesedihan mendalam yang tak pernah hapus dari batinnya.

"Ciang Bun, aku dari Bhutan!" ia membantu ingatan bekas kekasih hatinya itu.

Tiba-tiba mata itu terbelalak, sinarnya penuh pengenalan, wajah itu mendadak menjadi pucat, bibir itu gemetar dan beberapa kali bergerak tanpa suara, kedua tangan dikembangkan dan agaknya Ciang Bun harus mengerahkan seluruh tenaganya untuk akhirnya dapat mengeluarkan suara. Bagaikan air bah yang membanjir karena jebol tanggulnya, dari dalam dadanya menghambur suara yang tidak jelas.

"Gangga.... kau Gangga.... Gangga Dewi....!" Dan dia pun menubruk wanita itu.

Gangga Dewi membiarkan dirinya dirangkul dan ia pun balas memeluk.

"Ciang Bun....!" Ia harus mengerahkan tenaga sin-kangnya untuk melindungi tubuhnya, ketika merasa betapa dekapan itu amat kuatnya. Akan remuklah tulang-tulang iganya kalau ia tidak mengerahkan tenaga, dan dengan hati penuh iba ia pun berbisik, ".... aku Ganggananda, Ciang Bun,"

"Gangga Dewi.... engkau Gangga Dewi....!" hanya itu yang dapat diucapkan Ciang Bun dan wanita itu merasa jantungnya seperti diremas-remas ketika ia menengadah dan melihat betapa air mata bercucuran dari kedua mata pria gagah perkasa itu. Suma Ciang Bun menangis! Menangis seperti seorang wanita!

Gangga Dewi merasa semakin terharu, Ciang Bun mencium dahi dan rambutnya dan ia dapat merasakan detak jantung yang penuh kasih sayang dalam dada pria itu.

"Ya Tuhan, terima kasih, terima kasih bahwa engkau telah mempertemukan aku kembali dengan Gangga-ku.... Ahhh, Gangga Dewi, betapa aku rindu kepadamu...."

"Aku pun rindu kepadamu, Ciang Bun. Akan tetapi kepada siapakah engkau rindu? Gangga Dewi ataukah Ganggananda....?"

"Sama saja, Gangga, sama saja. Aku mencintamu, mencinta pribadimu, tidak peduli engkau pria atau wanita...." Kembali Suma Ciang Bun mencium dahi Gangga Dewi dengan penuh cinta kasih dan Gangga Dewi merasa betapa air mata membasahi dahinya dan menuruni pipinya. Jawaban itu melegakan hatinya dan ia pun balas merangkul. Betapa keadaan seperti ini seringkali terjadi dalam mimpinya ketika dulu, betapa ia merindukan rangkulan pria ini.

Akan tetapi, tiba-tiba Ciang Bun mengeluarkan keluhan perlahan dan dia pun melepaskan rangkulan, lalu melangkah ke belakang dan ketika Gangga Dewi memandang, ia melihat wajah itu basah air mata yang masih menetes turun, dan wajah itu pucat kembali, mulutnya bergerak-gerak gugup.

"Aih, Gangga Dewi.... kaumaafkan aku.... ya Tuhan! Apa yang telah kulakukan? Gangga, maafkan aku.... maafkan aku...." Dan kini Ciang Bun menangis sambil menutupi muka dengan kedua tangannya.

Gangga Dewi memandang dan wajahnya sendiri berubah pucat. Kiranya Ciang Bun masih seperti dulu! Masih menangis cengeng seperti seorang wanita lemah, dan agaknya merasa menyesal atas sikapnya yang penuh kehangatan dan kemesraan tadi karena ia muncul sebagai wanita. Agaknya Ciang Bun teringat lagi bahwa ia seorang wanita dan menyesali perbuatannya tadi. Perasaan kecewa yang membuat hatinya nyeri terasa oleh Gangga Dewi.

"Ciang Bun," katanya dan suaranya kini kering dan tegas. "Katakan mengapa engkau minta maaf? Mengapa? Katakan"

Ciang Bun menurunkan kedua tangannya dan memandang dengan mata merah. Dia pun sudah dapat menguasai hatinya, tidak menangis lagi walau kedua matanya masih basah.

"Gangga Dewi, maafkanlah kelemahanku tadi. Sesungguhnya aku telah lupa diri tadi, saking haru dan girangku bertemu denganmu. Aku telah melakukan hal yang tidak pantas, tidak sopan. Aku lupa bahwa engkau bukanlah Gangga Dewi yang dulu lagi, engkau seorang yang telah bersuami, berumah tangga. Aku telah mendengar bahwa engkau kini menjadi seorang isteri yang berbahagia di Bhutan, dengan anak-anakmu. Ah, aku ikut merasa girang bahwa engkau hidup berbahagia, Gangga."

Gangga Dewi tersenyum. Hatinya senang karena ternyata Ciang Bun tidak minta maaf sebagai tanda bahwa penyakitnya yang dulu masih ada, melainkan minta maaf karena teringat bahwa ia seorang yang telah bersuami. Hal ini wajar, bahkan baik sekali, tanda bahwa pria ini masih dapat menguasai gelora nafsunya.

"Dan engkau sendiri bagaimana, Ciang Bun?" tanyanya, sikapnya tenang, juga Ciang Bun agaknya sudah mampu menguasai hatinya dan kini mereka berdiri saling pandang dengan sinar mata penuh selidik, seolah ingin menjenguk isi hati masing-masing. Mendengar pertanyaan itu, Ciang Bun menggeleng kepala dan menghela napas panjang.

"Aku masih hidup sendirian, Gangga. Semenjak engkau pergi, aku telah kehilangan segala-galanya dan aku hidup mengasingkan diri di sini. Gangga Dewi, bagaimana dengan suami dan anak-anakmu? Kenapa engkau melakukan perjalanan seorang diri dan bersama Yo Han?"

"Ciang Bun, aku meninggalkan Bhutan. Aku sekarang juga hidup sendirian seperti engkau. Suamiku telah lama meninggal dalam perang. Kedua orang anakku telah berumah tangga dan hidup berbahagia dengan keluarga masing-masing. Aku kesepian. Ibu telah meninggal dan ayahku telah lama meninggalkan Bhutan. Aku lalu pergi untuk mencari ayahku, dan dalam perjalanan aku bertemu Yo Han. Dialah yang mengajak aku ke sini karena dia berkata bahwa engkau tentu tahu di mana adanya ayahku"

"Ahhh....! Yo Han telah dilarikan orang jahat. Kita harus cepat mengejarnya Gangga. Kita harus menyelamatkannya dari tangan mereka. Nanti saja kita bicara, yang penting sekarang kita harus menolong Yo Han!" Suma Ciang Bun yang teringat kepada Yo Han meloncat jauh ke depan untuk melakukan pengejaran.

"Tahan dulu....!" Suma Ciang Bun melihat bayangan kuning berkelebat mendahuluinya dan Gangga Dewi sudah berdiri di depannya menghalanginya.

Suma Ciang Bun mengerutkan alisnya. "Yo Han tarjatuh di tangan orang-orang jahat, nyawanya terancam bahaya dan aku hendak mengejar dan menolongnya. Kenapa engkau mencegahku, Gangga Dewi?"

"Kenapa engkau hendak menolong Yo Han?"

Tentu saja! Aku sayang padanya. Dia pernah tinggal di sini, dititipkan oleh gurunya, Tan Sin Hong. Biar anak lain yang tidak kukenal sekalipun, sudah sepatutnya kubebaskan dari tangan orang-orang jahat itu. Apalagi Yo Han!" Suma Ciang Bun hendak meloncat lagi, akan tetapi Gangga Dewi menghadangnya.

"Nanti dulu, Suma Ciang Bun. Tenanglah dan mari kita bicara dengan kepala dingin. Kaukira aku tidak sayang kepada Yo Han? Biarpun belum lama kami saling berkenalan, namun anak itu sudah kuanggap sebagai keluarga sendiri, bahkan aku suka dan ingin mengambilnya sebagai murid. Justeru karena kita sayang kepadanya, kita tidak boleh melakukan pengejaran secara langsung, karena hal ini bahkan akan membahayakan dirinya. Kalau Ang I Moli yang jahat itu melihat kita melakukan pengejaran, ia tidak akan ragu untuk segera membunuh Yo Han! Kautahu, Ciang Bun, perkenalanku dengan Yo Han justeru ketika aku merampasnya dari cangkeraman Ang I Moli. Tak kusangka hari ini ia merampas anak itu kembali dari tanganku, dibantu dua orang tosu Pek-lian-kauw itu. Jadi, kalau hendak menyelamatkan Yo Han, kita harus menggunakan siasat, tidak boleh sembarangan saja!"

Suma Ciang Bun mengangguk-angguk dan meraba jenggotnya yang terpelihara rapi. Dia berada dalam pemainan gelombang perasaan. Ketika tadi mendengar bahwa Gangga Dewi sekarang hidup seorang diri, sudah menjadi janda, dia merasakan suatu kegembiraan luar biasa di hatinya, kegembiraan yang muncul dengan adanya suatu harapan baru. Akan tetapi kegembiraan ini terganggu oleh kekhawatiran tentang diri Yo Han. Kini menghadapi sikap Gangga Dewi yang demikian tegas dan tenang, dia merasa tak berdaya, seperti seorang bawahan menghadapi atasannya!

"Kurasa engkau benar, Gangga Dewi. Baiklah, aku menurut saja bagaimana baiknya untuk dapat menolong Yo Han."

"Kita membayangi mereka dari jarak jauh dan menjaga agar mereka, jangan sampai tahu bahwa kita membayangi mereka. Kita mendekati mereka dan mencari kesempatan baik untuk turun tangan, suatu penyerbuan mendadak sehingga mereke tidak mempunyai kesempatan untuk membunuh Yo Han."

"Akan tetapi, kalau kita berlambat-lambat, aku khawatir mereka akan mengganggu dan membunuh Yo Han dan kita akan terlambat."

Gangga Dewi menggeleng kepalanya. "Engkau, tidak mengenal betul siapa Yo Han. Aku sendiri pun masih terheran-heran dan takjub melihat keadaan anak itu. Dia mampu menjaga dirinya sendiri. Dia memiliki kekuatan yang ajaib. Mari kita mulai membayangi mereka dan akan kuceritakan semua tentang keanehan Yo Han dalam perjalanan."

"Karena pengejaran ini mungkin memakan waktu lama, biarlah aku akan membawa bekal pakaian dulu, Gangga. Tempat tinggalku tidak jauh dari sini. Mari!"

Keduanya lalu berlari mendaki lereng dan tak lama kemudian mereka tiba di sebuah pondok sederhana yang kokoh dan yang terletak di dataran dekat puncak, sebuah tempat yang amat indah pemandangan alamnya, dan sejuk hawanya.

"Alangkah indahnya tempat ini...." Gangga Dewi memuji dan dengan wajah berseri ia memandang ke empat penjuru dari tempat ketinggian itu den menghisap hawa udara yang jernih, sejuk dan harum karena di sekitar tempat itu terdapat banyak sekali pohon dan tumbuh-tumbuhan yang sedang berkembang.

Suma Ciang Bun hanya tersenyum girang dan mencatat ucapan Gangga Dewi itu di dalam hatinya. Dia membawa pakaian dalam buntalannya dan tak lama kemudian, mereka berdua sudah menuruni puncak dengan ilmu berlari cepat mereka. Biarpun tidak mengeluarkan suara, keduanya merasa betapa ada kebahagiaan besar menyelubungi hati mereka ketika mereka melakukan perjalanan bersama seperti itu. Tanah dalam hati mereka yang tadinya hampir mengering itu seolah tersiram embun pagi yang sejuk, menerima siraman air yang membuat tanah itu hidup kembali dan bunga-bunga cinta yang tadinya seperti layu kini mekar kembali. Mereka melakukan pengejaran dan mencari jejak Ang I Moli yang melarikan Yo Han dan di sepanjang perjalanan ini, mereka saling menceritakan pengalaman mereka semenjak mereka saling berpisah kurang lebih tiga puluh tahun yang lalu!

Setelah mendengarkan Ciang Bun menceritakan semua pengalamannya, Gangga Dewi merasa terharu sekali. Kini ia merasa yakin bahwa Ciang Bun memang mencinta dirinya, bukan mencintanya sebagai seorang pemuda yang dulu memakai nama samaran Ganggananda, melainkan mencintainya dengan tulus walaupun sudah tahu bahwa ia seorang wanita, bukan pria seperti yang disangkanya semula. Ciang Bun rela hidup menyendiri, tidak lagi mau mencari pasangan, baik pria maupun wanita. Ia merasa terharu, akan tetapi tidak memperlihatkannya.

"Gangga, sekarang giliranmu untuk bercerita. Aku ingin sekali mendengar tentang semua pengalamanmu sejak kita saling berpisah sampai sekarang."

Mereka bercakap-cakap di dalam sebuah guha di mana mereka terpaksa melewatkan malam. Jejak Ang I Moli yang mereka dapatkan melewati bukit itu dan karena malam itu gelap, mereka tidak dapat melanjutkan perjalanan dan terpaksa melewatkan malam di guha itu. Mereka membuat api unggun, dan setelah makan malam, makan roti dan daging kering yang dibawa oleh Ciang Bun dan minum air jernih yang dibawa Gangga sebagai bekal, mereka lalu bercakap-cakap.

"Baiklah, Ciang Bun. Pengalamanku jauh lebih menyenangkan daripada pengalamanmu, walaupun berakhir dengan perasaan kesepian juga." Ia lalu menceritakan tentang pernikahannya dengan seorang panglima Bhutan, hidup berbahagia sampai mempunyai dua orang anak. Akan tetapi setelah kedua orang anaknya berumah tangga, dan suaminya tewas di dalam medan perang, ia merasa kesepian sekali.

"Sudah bertahun-tahun ayahku meninggalkan Bhutan, sejak ibu meninggal. Aku ingin sekali bertemu dengan ayah, maka aku lalu meninggalkan Bhutan dan mencarinya di timur. Dalam perjalanan, aku bertemu dengan Yo Han yang sedang terancam keselamatannya oleh Ang I Moli itu. Aku menolong Yo Han dan berhasil mengusir Ang I Moli. Ketika mendengar bahwa guru Yo Han yang pertama yang bernama Tan Sin Hong itu adalah murid ayahku, tentu saja aku menganggap Yo Han seperti warga sendiri. Dia yang mengajak aku ke sini untuk menemuimu, karena menurut Yo Han, engkau tentu tahu di mana ayahku berada. Nah, sekarang katakan, di mana ayahku, Ciang Bun? Engkau tahu siapa ayahku, bukan?"

Suma Ciang Bun menarik napas panjang dan wajahnya yang tampan itu nampak muram. "Tentu saja aku tahu siapa ayahmu, Gangga. Ayahmu dahulu terkenal dengan Julukan Si Jari Maut, bernama Wan Tek Hoat dan sekarang menjadi hwesio dengan Julukan Tiong Khi Hwesio. Benarkah?"

"Benar, dan ayahku selalu memuji-muji keluarga Pulau Es. Di mana dia sekarang?"

"Ketahuilah, Gangga Dewi. Kurang lebih lima tahun yang lalu, ayahmu pergi ke Istana Gurun Pasir, dan tinggal di sana bersama Naga Sakti Gurun Pasir Kao Kok Cu dan isterinya...."

"Bibi Wan Ceng, saudara seayah dari ayahku?" Gangga Dewi memotong.

"Benar, Gangga. Tiga orang tua itu tinggal di Istana Gurun Pasir, hidup dengan tenteram dan bahagia, bahkan mereka bertiga mengambil Tan Sin Hong sebagai murid. Beruntung sekali pendekar itu, sekaligus menjadi murid mereka bertiga."

"Ahhh! Kalau begitu, ayahku kini masih di sana?"

Ciang Bun menarik napas panjang dan sampai lama tidak dapat menjawab, karena dia merasa ragu untuk menerangkan keadaan yang sesungguhnya.

"Ciang Bun, jawablah! Aku bukan anak kecil lagi, aku siap untuk mendengar berita apa pun. Masih hidupkah ayahku? Dan apakah dia masih berada di Istana Gurun Pasir?"

Setelah beberapa kali menarik napas panjang, Suma Ciang Bun berkata, "Terjadi hal yang menyedihkan dan juga menggemaskan, Gangga. Tiga orang tua itu sudah mengasingkan diri di tempat sunyi itu dan tidak lagi mencampuri urusan dunia, hidup dengan tenang tenteram. Akan tetapi, agaknya orang-orang yang dahulu pernah mereka basmi atau kalahkan, orang-orang sesat dari dunia hitam, agaknya masih menaruh dendam. Orang-orang Pat-kwa-kauw dan Pek-lian-kauw, dan beberapa orang datuk sesat lainnya, menyerbu Istana Gurun Pasir dan mengeroyok tiga orang tua itu. Akibatnya, biarpun pihak pengeroyok itu banyak yang terluka dan tewas, namun tiga orang Locianpwe itu juga tewas.... ah, maafkan aku, Gangga Dewi, telah menyampaikan berita duka ini."

Akan tetapi Gangga Dewi sama sekali tidak nampak berduka atau terkejut, bahkan ia mengepal tinju dan bangkit berdiri. Wajahnya yang tertimpa api unggun itu kemerahan dan cantik sekali, gagah pula, dan matanya bersinar-sinar.

"Bukan berita duka, Ciang Bun! Aku bangga mendengar ayah tewas seperti itu. Sungguh sesuai dengan wataknya yang gagah. Apalagi tewas dalam menentang para datuk sesat bersama Bibi Wan Ceng dan suaminya, Naga Sakti Gurun Pasir. Tidak, aku tidak berduka, apalagi ayah memang telah berusia lanjut. Aku bangga karena dia mati secara gagah perkasa! Akan tetapi aku penasaran kepada mereka yang melakukan penyerbuan itu. Sungguh pengecut dan curang! Mengeroyok tiga orang yang sudah tua dan yang sudah mengasingkan diri dari dunia persilatan!"

"Begitulah watak orang-orang jahat dari dunia sesat, Gangga."

"Siapakah mereka itu? Kalau engkau tahu, sebutkan namanya satu demi satu, aku akan pergi mencarinya dan membunuh mereka!" kata Gangga Dewi dengan marah.

"Tenanglah, Gangga. Mereka itu sudah tidak ada lagi. Seorang demi seorang telah tewas oleh para pendekar muda, termasuk Tan Sin Hong."

"O ya, mengapa Tan Sin Hong diam saja ketika tiga orang gurunya dikeroyok? Apakah dia tidak membantu, dan kalau demikian, mengapa, dia dapat lolos dan hidup? Apakah dia melarikan diri?"

"Sama sekali tidak. Ketika peristiwa penyerbuan itu terjadi, baru saja Sin Hong menerima sebuah ilmu dari ketiga orang gurunya, bahkan menerima, pengoperan tenaga gabungan mereka. Selama setahun Sin Hong harus memperdalam ilmu itu dan dia sama sekali tidak boleh mempergunakan sin-kang, karena kalau hal itu dilanggar, dia akan tewas oleh tenaganya sendiri! Itulah sebabnya dia tidak mampu membela ketika tiga orang gurunya dikeroyok. Dia ditawan, akan tetapi mampu meloloskan diri dan bersembunyi untuk menyelesaikan ilmu baru itu selama setahun. Setelah itu, baru dia pergi mencari mereka yang membunuh tiga orang gurunya, dan akhirnya setelah bekerja sama dengan para pendekar muda lainnya, dia berhasil menewaskan para penjahat itu. Dia bekerja sama dengan para pendekar muda keturunan Istana Pulau Es dan Istana Gurun Pasir."

Gangga Dewi mengangguk-angguk. "Ah puaslah rasa hatiku. Kematian ayah telah dibersihkan dari penasaran oleh para pendekar keluarga Istana Pulau Es dan Istana Gurun Pasir! Sungguh merupakan suatu kehormatan besar sekali dan aku ikut merasa bangga dan berbahagia. Tentu arwah dari ayah akan merasa bangga dan puas pula. Ingin aku bertemu dan mengucapkan terima kasihku kepada Tan Sin Hong. Dia masih terhitung sute-ku (adik seperguruanku) sendiri. Akan, tetapi, bagaimana aku dapat bertemu dengan dia tanpa membawa Yo Han, muridnya yang terculik penjahat? Mari, Ciang Bun, kita percepat usaha kita mencari jejak iblis betina itu."

Mereka lalu berlari cepat dan tiga hari kemudian baru mereka mendapatkan jejak Ang I Moli. Mereka mendapatkan keterangan dari penduduk sebuah dusun di kaki bukit. Tidak begitu sukar mencari jejak Ang I Moli dan dua orang tosu itu. Ang I Moli adalah seorang wanita cantik yang selalu menggunakan pakaian merah. Keadaannya menyolok sekali dan orang yang berjumpa dengannya tidak mudah melupakannya.

Jejak itu menuju ke Propinsi Hu-nan di sebelah selatan. Mereka melakukan pengejaran terus dan hubungan mereka menjadi semakin akrab. Dua orang setengah baya ini merasa seperti menjadi muda kembali dan mereka terkenang akan masa lalu ketika mereka masih sama muda dan juga melakukan perjalanan bersama. Akan tetapi sekarang perasaan mereka lebih mendalam dibandingkan dahulu karena sekarang agaknya Suma Ciang Bun telah sembuh dari kelainan yang dideritanya. Atau mungkin juga dia tidak berubah, hanya karena sifat Gangga Dewi yang gagah perkasa, keras dan bahkan "jantan" itu yang membuat Ciang Bun semakin jatuh cinta. Andaikata sikap Gangga Dewi lunak dan penuh kewanitaan, belum tentu dia akan merasa demikian tertarik dan jatuh cinta untuk ke dua kalinya. Kalau dahulu dia mencinta Ganggananda, kini dia benar-benar mencinta Gangga Dewi sebagai wanita.

Ketika Gangga Dewi menceritakan tentang keadaan Yo Han yang aneh, Suma Ciang Bun termenung. Mereka menghadapi api unggun di sebuah kuil kosong di luar sebuah dusun di mana mereka terpaksa melewatkan malam karena di dusun itu tidak ada rumah penginapan.

"Sungguh luar biasa sekali anak itu," katanya termenung. "Dahulu ketika dia kepadaku oleh Sin Hong, aku hanya melihat dia sebagai seorang anak yang luar biasa cerdiknya, berwatak halus dan berpemandangan terlalu dewasa dan luas bagi seorang anak berusia tujuh tahun. Memang sudah menonjol dan aku amat sayang kepadanya, akan tetapi belum memperlihatkan sesuatu yang aneh. Dia tidak pernah berlatih silat akan tetapi luka beracun dan kekuatan sihir tidak mempengaruhinya? Hebat!"

"Aku melihat sesuatu yang mujijat pada diri anak itu, Ciang Bun. Akan tetapi dia tidak mau menceritakan riwayatnya. Sebetulnya, anak siapakah dia?"

Suma Ciang Bun menghela gapas panjang dan sejenak menatap wajah wanita yang amat dicintanya itu. "Aihhh, dunia ini penuh dengan penderitaan. Bahkan orang yang baik hati nampaknya lebih banyak menderita ketimbang orang yang menyeleweng dari pada kebenaran. Mungkin memang demikianlah keadaannya yang wajar. Orang jahat menjadi hamba nafsu, dan penghambaan nafsu ini nampaknya mendatangkan kesenangan. Tentu saja kesenangan duniawi yang palsu. Ayah kandung Yo Han adalah seorang laki-laki bernama Yo Jin, seorang petani yang jujur dan tidak pandai silat. Akan tetapi juga seorang laki-laki sejati, seorang jantan yang tidak berkedip takut menghadapi ancaman maut, berani menentang kejahatan. Bahkan sikapnya yang jantan itulah yang menjatuhkan seorang tokoh sesat, seorang iblis betina cantik yang terkenal dengan sebutan Bi Kwi (Setan Cantik). Bukan hanya menjatuhkan hatinya, akan tetapi setelah mereka menjadi suami isteri, Bi Kwi yang tadinya terkenal sebagai seorang tokoh sesat yang amat jahat dan kejam itu menjadi sadar sama sekali! Ia ikut suaminya menjadi seorang petani di dusun yang mencuci tangannya dari segala macam kekerasan."

"Luar biasa dan menarik sekali!"

"Nah, mereka menikah dan lahirlah Yo Han! Suami isteri itu telah bersepakat untuk tidak memperkenalkan putera mereka dengan kekerasan dan kehidupan dunia persilatan. Mereka tidak mengajarkan ilmu silat kepada Yo Han. Tentu saja hal ini terpengaruh oleh sikap Yo Jin yang tidak suka akan kekerasan, dan juga oleh pengalaman-pengalaman pahit dari Bi Kwi selama ia menjadi tokoh sesat dalam dunia kang-ouw."

"Keputusan yang bijaksana." Gangga Dewi memuji.

"Akan tetapi, latar belakang kehidupan Bi Kwi tidak membiarkan ia hidup tenang dan tenteram. Ada saja penjahat yang menginginkan tenaganya dan orang-orang jahat menculik Yo Han yang baru berusia tujuh tahun, bahkan menculik Yo Jin pula. Karena suami dan puteranya diculik penjahat yang memaksa ia membantu golongan sesat, terpaksa Bi Kwi terjun lagi ke dunia kang-ouw. Suami isteri itu berhasil menukar diri mereka dengan putera mereka yang dibebaskan dan Yo Han diserahkan kepada Tan Sin Hong oleh ayah dan ibunya. Sin Hong menitipkan Yo Han kepadaku, dan dia sendiri bersama para pendekar membasmi penjahat di mana terdapat pula pembunuh-pembunuh yang membunuh kakek dan nenek penghuni istana Gurun Pasir dan juga ayahmu itu. Dan dalam pertempuran itu, ayah dan ibu Yo Han yang juga membalik dan membantu para pendekar menentang golongan sesat yang tadinya mereka bantu demi menyelamatkan putera mereka, tewas sehingga Yo Han menjadi seorang yatim-piatu."

Gangga Dewi berulang kali menghela napas panjang. "Omitohud....! Betapa penuh kekerasan kehidupan manusia di dunia ini. Sekarang aku mengerti mengapa Yo Han tidak pernah mau melatih ilmu silat walaupun dia memiliki suhu dan subo yang berkepandaian tinggi seperti Tan Sin Hong dan Kao Hong Li itu. Hanya yang tetap membuat aku heran, bagaimana dia dapat memiliki kekuatan aneh yang dapat menolak pengaruh racun dan ilmu sihir. Sungguh aneh sekali!"

"Hal itu tentu akan dapat kita ketahui kelak kalau kita berhasil membebaskannya dari tangan Ang I Moli," kata Suma Ciang Bun.

"Mudah-mudahan saja kita tidak akan terlambat," kata Gangga Dewi. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali mereka sudah meninggalkan kuil tua itu dan melanjutkan perjalanan mereka dengan cepat untuk melakukan pengejaran dan mencari Yo Han yang diculik Ang I Moli dan dua orang suhengnya dari, Pek-lian-kauw itu.

***

Siang itu cuaca cerah sekali di Bukit Naga. Matahari amat teriknya. Bahkan hutan di puncak bukit itu yang biasanya gelap karena rindangnya pohon-pohon besar yang sudah puluhan tahun umurnya, kini nampak terang ditembusi cahaya matahari yang kuat. Di langit tidak ada mendung, hanya awan-awan putih berserakan di sana sini, tidak, menghalangi kecerahan sinar matahari, bahkan menjadi hiasan langit yang indah.

Tepat pada tengah hari, nampak bayangan-bayangan orang berkelebat memasuki hutan itu. Hutan yang biasanya amat sepi itu tiba-tiba saja diramaikan oleh kunjungan orang-orang yang memiliki gerakan yang amat ringan dan cekatan. Mula-mula nampak seorang tosu yang usianya sekitar lima puluh tahun, dengan sebatang pedang di punggung. Tosu tinggi kurus itu muncul dengan loncatan yang ringan, berada di atas lapangan rumput yang dikurung pohon-pohon tinggi dan dia memandang ke sekeliling. Pandang matanya yang tajam sudah melihat adanya beberapa sosok bayangan orang yang bergerak dengan cepat dan kini suasana nampak sunyi kembali. Bayangan-bayangan itu agaknya sudah menyelinap dan bersembunyi di balik pohonpohon besar atau semak belukar.

Setelah memandang ke sekelilingnya, tosu ini tersenyum mengejek, dan dia pun berseru dengan suara lantang karena dia mengerahkan khi-kangnya sehingga suaranya langsung keluar dari perut dan terdengar melengking nyaring.

"Sejak kapankah orang-orang Go-bi-pai menjadi pengecut? Setelah orang yang diundang datang memenuhi tantangan, kenapa malah bersembunyi-sembunyi? Keluarlah, orang-orang Go-bi-pai. Pinto (aku) dari Kun-lun-pai sudah datang memenuhi tantanganmu!"

Belum lenyap gema suara itu, nampak sesosok tubuh melayang turun dari puncak sebuah pohon besar. Dengan ringan sekali tubuh itu berjungkir balik beberapa kali dan seorang kakek berusia enam puluh tahun berpakaian seperti seorang petani sederhana telah berdiri di depan tosu Kun-lun-pai itu. Tubuhnya tegap dan kaki tangannya kokoh kuat seperti biasa tubuh seorang petani yang biasa bekerja keras. Kulitnya juga coklat terbakar matahari.

"Siancai....!" Tosu Kun-lun-pai itu berseru dan matanya bersinar penuh kemarahan. "Kiranya Go-bi Nung-jin (Petani Gobi) yang muncul! Hem, engkau petani yang biasa berwatak jujur, katakan, sejak kapan Go- bi-pai memusuhi Kun-lun-pai dan mengirim tantangan? Pinto (aku) mewakili Kun-lun-pai untuk menyambut tantangan Go-bi-pai itu!"

"Ciang Tosu, apa artinya kata-katamu itu? Kami tidak pernah dan tidak akan memusuhi Kun-lun-pai. Kedatanganku kesini pada saat ini bukan sebagai penantang, bahkan aku mewakili Go-bi-pai untuk menyambut tantangan Bu-tong-pai!" Kemudian kakek petani itu memandang ke sekeliling dan dengan lantang dia pun berteriak, "Di mana orang-orang Bu-tong-pai yang telah berani mengirim tantangan kepada Go-bi-pai? Nah, aku datang mewakili Go-bi-pai untuk menerima tantangan itu!"

Tentu saja Ciang Tosu dari Kun-lun-pai merasa heran bukan main, akan tetapi sebelum dia dapat berkata sesuatu, nampak bayangan berkelebat keluar dari balik semak belukar dan di situ telah berdiri seorang laki-laki gagah perkasa berusia empat puluh tahun lebih. Orang ini berpakaian seperti seorang pendekar dan di pinggangnya tergantung sebatang pedang. Tubuhnya tinggi kurus dan sikapnya gagah, matanya tajam memandang kepada kakek petani yang tadi menantang Bu-tong-pai. Sikap orang ini hormat, mungkin karena dia merasa lebih muda. Dia mengangkat kedua tangan di depan dada menghadapi kakek petani Go-bi Nung-jin.

"Go-bi Nung-jin adalah seorang pendekar Go-bi-pai yang gagah. Dan selama ini Bu-tong-pai selalu memandang hormat dan menganggap Go-bi-pai sebagai saudara. Kami tidak pernah menantang Go-bi-pai, bahkan saya datang ke sini sebagai wakil Bu-tong-pai untuk menghadapi tantangan yang kami terima dari Siauw-lim-pai! Kami tidak pernah menantang Go-bi-pai atau partai persilatan mana pun juga." Setelah berkata demikian kepada Go-bi Nung-jin yang menjadi terheran-heran, wakil Bu-tong-pai itu pun kini memandang ke sekeliling lalu berseru dengan pengerahan khi-kangnya.

"Orang-orang Siauw-lim-pai dengarlah baik-baik! Kalian telah menantang Bu-tong-pai dan inilah aku, Phoa Cin Su murid Bu-tong-pai mewakili partai kami untuk menerima tantangan kalian!"

Mendengar ucapan wakil Bu-tong-pai ini, Go-bi Nung-jin dan Ciang Tosu saling pandang dengan heran. Dan pada saat itu terdengar suara halus namun terdengar jelas dan menggetarkan, "Omitohud....! Agaknya dunia sudah akan kiamat! Apa yang terjadi sungguh aneh!" Dan muncullah seorang hwesio berusia lima puluhan tahun.

Phoa Cin Su murid Bu-tong-pai segera memberi hormat. "Kiranya Loan Hu Hwesio yang datang untuk mewakili Siauw-lim-pai yang menantang Bu-tong-pai. Nah, saya yang mewakili Bu-tongpai untuk menerima tantangan yang membuat kami merasa penasaran sekali itu!" Karena Phoa Cin Su agaknya sudah mengenal benar siapa hwesio Siauw-lim-pai ini, dia pun segera meloloskan pedangnya dari pinggang dan siap untuk bertanding!

Akan tetapi hwesio Siauw-lim-pai itu merangkap kedua tangan di depan dadanya. "Omitohud....! Phoa-sicu harap bersabar dulu. Ketahuilah bahwa Siauw-lim-pai selalu memandang Bu-tong-pai dengan hormat dan sebagai rekan, bagaimana Siauw-lim-pai dapat mengirim tantangan? Pinceng (aku) datang ini pun sebagai wakil Siauw-lim-pai yang menerima tantangan dari Kun-Lun-pai!"

Tentu saja wakil-wakil dari empat perkumpulan atau partai persilatan terbesar di seluruh negeri itu menjadi terheran-heran mendengar ini. Kun-lun-pai menerima tantangan dari Go-bi-pai, Go-bi-pai menerima tantangan dari Bu-tong-pai, Bu-tong-pai menerima tantangan dari Siauw-lim-pai dan kini Siauw-lim-pai menerima tantangan dari Kun-lun-pai Apa artinya semua ini?

"Siancai....!" Ciang Tosu berseru heran. "Bagaimana kami dapat menantang Siauw lim-pai yang kami anggap sebagai sahabat dan juga sumber segala ilmu yang kami miliki? Itu tidak mungkin sama sekali!"

"Omitohud, demikian pula Siauw-lim-pai tidak pernah menantang Bu-tong-pai," kata Loan Hu Hwesio dari Siauw-lim-pai.

"Saya juga berani memastikan bahwa Bu-tong-pai tidak pernah menantang Go-bi-pai," kata Phoa Cin Su.

"Dan Go-bi-pai juga tidak mungkin menantang Kun-lun-pai!" kata Go-bi Nung-jin.

"Omitohud...." Kini hwesio Siauw-lim-pai itu mengangkat kedua tangannya ke atas. "Harap Cu-wi bersabar dulu. Para suhu pimpinan di Siauw-lim-pai tidak mungkin keliru. Ketika mengutus pinceng turun gunung memenuhi tantangan itu, pinceng sendiri melihat surat tantangan yang ditandai dengan cap dari Kun-lun-pai."

Ciang Tosu dari Kun-lun-pai, Phoa Cin Su dari Bu-tong-pai, dan Go-bi Nung-jin dari Go-bi-pai serempak menyatakan. Bahwa mereka pun melihat keaselian surat tantangan yang diterima pimpinan masing-masing, surat-surat tantangan itu pun memakai tanda cap dari partai yang menantang.

"Omitohud....! Kalau begitu, tentu ada pemalsuan. Ada pihak lain yang sengaja mengirim surat-surat tantangan itu untuk mengadu domba atau hendak mengacau keadaan. Kita harus waspada!"

Tiba-tiba terdengar suara ketawa bergelak. Suara ini bergema ke empat penjuru sehingga sukar diketahui dari mana asal suara itu. Empat orang wakil dari empat perkumpulan silat besar itu maklum bahwa ada orang pandai muncul, maka mereka pun sudah siap siaga. Ciang Tosu sudah mencabut pedang dari punggungnya. Phoa Cin Su juga sudah mencabut pedang. Go-bi Nung-jin menyambar senjatanya yang istimewa, yaitu sebatang cangkul yang gagangnya lurus seperti toya, dan hwesio Siauw-lim-pai yang tidak pernah bersenjata itu siap dengan pengerahan sin-kang dan setiap urat syarafnya menegang. Mereka adalah orang-orang yang berkepandaian tinggi, orang-orang yang memiliki tingkat kedua dari perguruan masing-masing.

"Ha-ha-ha-ha-ha....!" Suara ketawa yang bergema di empat penjuru itu disusul oleh kata-kata yang juga mengandung getaran kuat. "Kalian berempat seperti tikus-tikus yang terjepit!" Tiba-tiba saja muncullah seorang kakek berusia enam puluhan tahun, bertubuh tinggi besar bermuka merah dan dia mengenakan jubah lebar yang berwarna merah pula. Pakaiannya seperti seorang pendeta, akan tetapi rambutnya digelung rapi dan mengkilap bekas minyak, dan jepitan rambutnya merupakan perhiasan dari emas permata yang mahal. Akan tetapi di balik jubah merah itu nampak baju ketat sulaman benang perak yang gemerlapan. Di antara empat orang tokoh partai-partai persilatan besar itu, hanya Loan Hu Hwesio yang mengenal orang ini. Hwesio ini menjura dengan sikap hormat kepada kakek tinggi besar bermuka merah itu.

"Ah, kiranya Lauw Eng-hiong (Orang Gagah she Lauw) yang datang. Tidak tahu apa alasannya engkau datang-datang memaki kami empat orang wakil partai-partai persilatan?"

"Huh!" kakek tinggi besar itu mendengus dengan sikap mengejek. "Apalagi kalian ini kalau bukan tikus-tikus pengkhianat bangsa, atau anjing-anjing, penjilat penjajah Mancu?"

Phoa Cin Su, jago dari Bu-tong-pai itu menjadi merah mukanya karena marah. "Loan Hu Hwesio, siapakah orang yang sombong dan bermulut lancang ini?"

Sebelum hwesio Siauw-lim-pai itu menjawab, kakek tinggi besar itu sudah mendahuluinya. "Kalian wakil-wakil Bu-tong-pai, Kun-lun-pai, dan Go-bi-pai. Ketahuilah bahwa kalian berhadapan dengan aku Lauw Kang Hui, wakil Ketua Thian-li-pang!"

Tiga orang itu terkejut. Tentu saja mereka sudah mendengar nama besar perkumpulan Thian-li-pang, sebuah perkumpulan orang-orang yang menamakan diri mereka patriot dan yang dengan gigih menentang pemerintah, yaitu penjajah Mancu dan memberontak di mana-mana untuk menjatuhkan pemerintah penjajah. Akan tetapi di antara para anak buah Thian-li-pang, banyak pula yang melakukan penyelewengan dan mereka itu melakukan kejahatan mengandalkan kekuatan mereka, mengganggu rakyat dengan perampokan dan pemerasan. Maka, dari empat buah perkumpulan persilatan besar itu, tentu sudah pernah murid-murid mereka bentrok dengan orang Thian-li-pang yang melakukan kejahatan.

"Siancai, kalau begitu agaknya Thian-li-pang yang membuat undangan palsu kepada kami empat perguruan tinggi. Benarkah begitu?" kata Ciang Tosu dari Kun-lun-pai.

"Ha-ha-ha, memang benar! Kami yang membuat undangan palsu. Empat perguruan silat seperti perkumpulan kalian hanyalah perkumpulan pengkhianat dan pengecut. Kalian tidak menentang penjajah, tidak mau bekerja sama dengan kami bahkan menentang kami dan banyak sudah anak buah kami yang tewas di tangan kalian!"

"Hemm, apa anehnya itu? Kami bukanlah perkumpulan pemberontak, kami tidak mempunyai urusan dengan pemberontakan. Kalau murid-murid kami menentang murid-murid Thian-li-pang, tentu bukan perkumpulannya atau pemberontakannya yang ditentang, melainkan perbuatan jahat yang dilakukan para murid Thian-li-pang. Kami adalah perkumpulan para pendekar yang menentang kejahatan, kapan saja, di mana saja dan dilakukan siapa saja!" kata Go-bi Nung-jin.

"Benar sekali itu!" kata Phoa Cin Su. "Murid-murid kami pernah menentang anggauta Thian-li-pang, bukan karena mereka memberontak terhadap pemerintah, melainkan karena mereka itu merampok dan memeras rakyat jelata!"

"Ha-ha-ha-ha, sudah berada di ambang maut, kalian masih bermulut besar! Kalian berempat bersiaplah untuk mampus dan menjadi penyebab pertentangan antara perkumpulan kalian sendiri!" Lauw Kang Hui tertawa dan pada saat itu muncullah seorang wanita cantik yang bukan lain adalah Ang I Moli Tee Kui Cu dan dua orang suhengnya dari Pek-lian-kauw, yaitu Kwan Thian-cu dan Kui Thian-cu. Munculnya tiga orang ini disusul munculnya belasan orang Pek-lian-kauw dan Thian-li-pang yang mengepung tempat itu!

"Omitohud....!" kata Loan Hu Hwesio ketika melihat orang-orang Pek-lian-kauw yang dapat dikenal dari gambar teratai putih di dada mereka. "Kiranya Thian-li-pang bersekongkol pula dengan perkumpulan siluman jahat, agama palsu Pek-lian-kauw!"

"Kepung! Bunuh mereka!" Lauw Kang Hui sudah memberi aba-aba dan dia sendiri sudah mencabut sebatang golok besar dan menyerang Loan Hu Hwesio! Golok besar yang berat itu menyambar dengan cepat, berubah menjadi sinar perak yang amat kuat menyambar ke arah leher Loan Hu Hwesio. Pendeta Siauw-lim-pai ini cepat mengelak dengan menundukkan muka dan menggeser kakinya sehingga tubuhnya mendorong ke kanan dan dari jurusan ini, lengan kirinya meluncur dan dari jari tangannya menghantam ke arah lambung lawan. Lauw Kang Hui mengelebatkan goloknya menyambut hantaman ini sehingga terpaksa Loan Hu Hwesio menarik kembali lengannya yang diancam babatan golok, lalu kakinya yang menendang dengan cepat dan kuat ke arah perut lawan. Hebat memang gerakan silat tangan kosong dari hwesio Siauw-lim-pai ini dan memang ilmu silat Siauw-lim-pai merupakan ilmu silat yang paling tua dan bahkan menjadi sumber daripada ilmu-ilmu silat lainnya.

Namun Lauw Kang Hui bukan seorang lemah. Dia juga sudah mempelajari banyak macam ilmu silat, di antara ilmu-ilmu silat Siauw-lim-pai sehingga dia mengenal gerakan lawan, maka dia dapat menjaga diri dan membalas dengan dahsyat pula. Terjadilah serang menyerang yang seru antara dua orang ini. Akan tetapi ada beberapa orang anggauta Thian-li-pang yang membantu wakil ketua mereka sehingga hwesio Siauw-lim-pai ini dikeroyok dan terdesak hebat. Dia hanya bersenjatakan kaki tangan dibantu dua ujung lengan bajunya yang longgar dan panjang.

Ang I Moli sudah menerjang Phoa Cin Su, jagoan Bu-tong-pai dengan pedangnya. Phoa Cin Su menyambut dengan pedang pula dan dua orang ini pun segera bertarung dengan seru. Seperti juga Lauw Kang Hui, wanita ini dibantu oleh lima orang anggauta Thian-li-pang sehingga tentu saja Phoa Cin Su segera terdesak. Menghadapi Ang I Moli seorang saja dia sudah menemukan tanding yang tidak ringan, apalagi kini dikeroyok!

Ciang Tosu diserang oleh Kwan Thian-cu yang menggunakan golok, juga Kwan Thian-cu dibantu oleh lima orang anggauta Pek-lian-kauw sehingga tosu dari Kun-lun-pai itu pun terdesak hebat. Sementara itu, Kui Thian-cu dan lima orang anggauta Pek-lian--kauw lainnya telah mengepung dan mengeroyok Go-bi Nung-jin yang bersenjata cangkul.

Memang Lauw Kang Hui yang mengirim surat tantangan kepada empat penguruan itu telah merencanakan siasatnya lebih dahulu sehingga kini empat orang itu terkurung dan terkeroyok seperti yang telah direncanakan. Setelah usaha Thian-li-pang untuk membunuh Kaisar gagal, juga usaha mereka mengajak Siang Hong-houw bersekongkol membunuh Kaisar tidak berhasil bahkan mereka kehilangan Ciang Sun, tokoh Thian-li-pang yang tewas dalam usahanya membunuh Kaisar, Thian-li-pang lalu menggunakan siasat lain. Para pimpinannya berkumpul dan mengatur rencana. Pertama, mereka mengadakan persekutuan dengan Pek-lian Kauw, agama sesat yang juga merupakan perkumpulan yang memberontak terhadap pemerintah. Dan kedua, mereka merencanakan siasat adu domba untuk mengacaukan dunia persilatan sehingga para pendekar dari empat perguruan silat yang besar akan saling bermusuhan dan tidak ada kesempatan lagi untuk menentang mereka dan membantu pemerintah kalau mereka melancarkan gerakan pemberontakan. Demikianlah, surat tantangan kepada empat buah perkumpulan besar itu diatur dan kini para wakil empat perkumpulan itu dikepung dan dikeroyok, dipimpin oieh Lauw Kang Hui yang menjadi wakil Ketua Thian-li-pang.

Pek-lian-kauw mewakilkan kepada Ang I Moli, Kwan Thian-cu dan Kui Thian-cu bersama sepuluh orang anggauta Pek-lian-kauw untuk membantu gerakan menjebak para tokoh empat perkumpulan besar itu.

Seperti kita ketahui, Ang I Moli dan dua orang suhengnya itu melarikan diri dari kejaran Gangga Dewi yang dibantu Suma Ciang Bun. Ia menculik Yo Han dan membawa anak itu melarikan diri. Mereka berhasil lolos dari pengejaran dua orang sakti itu dan tiba di sarang Pek-lian-kauw yang kebetulan sekali menerima para pimpinan Thian-li-pang untuk mengadakan persekutuan.

Ketika empat orang wakil pimpinan para perguruan besar itu dikeroyok, Ang I Moli yang tidak pernah melepaskan Yo Han dari pengawasannya, menggantung anak itu di atas pohon! Yo Han dapat melihat dan mendengar semua yang terjadi, akan tetapi walaupun hatinya merasa penasaran dan marah, dia tidak berdaya. Kaki tangannya terbelenggu dan dia digantung jungkir balik di cabang pohon yang tinggi itu! Dia hanya dapat menonton dan mendengarkan, dan hatinya seperti ditusuk-tusuk melihat betapa kejahatan mengganas tanpa dia dapat berbuat sesuatu. Makin nampak olehnya betapa jahatnya orang-orang yang memiliki ilmu silat, dan betapa celaka orang-orang yang berada di pihak kebenaran apabila mereka menjadi pendekar silat. Andaikata empat orang itu merupakan orang-orang biasa, petani-petani yang tidak pandai ilmu silat, tidak mungkin kini mereka dikeroyok oleh orang-orang yang baginya nampak seperti srigala-srigala yang haus darah itu!

Akhirnya terjadi apa yang dikhawatirkan Yo Han yang tidak berdaya itu. Mula-mula Loan Hu Hwesio yang roboh. Seperti juga tiga orang tokoh lainnya, setelah dikeroyok selama lima puluh jurus yang dipertahankannya dengan mati-matian, Loan Hu Hwesio sudah menderita luka-luka. Pada suatu saat yang baik, dia berhasil memukulkan kedua tangannya ke arah dada Lauw Kang Hui dengan pengerahan tenaga sekuatnya tanpa mempedulikan lagi perlindungan diri sendiri. Dia ingin mengadu nyawa dengan wakil Ketua Thian-li-pang itu. Pukulannya berhasil mengenai sasarannya dengan tepat sekali.

"Pukkkk....!" Kedua telapak tangan itu mengenai dada yang bidang dari Lauw Kaing Hui. Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Loan Hu Hwesio ketika kedua telapak tangannya bertemu dengan benda yang keras. dan kuat sekali. Pada saat kedua tangannya menghantam dada, Lauw Kang Hui sama sekali tidak mengelak bahkan membarengi dengan gerakan goloknya ke arah lambung lawan. Dan hanya sedetik setelah kedua tangan hwesio itu menghantam dada, ujung golok juga menyabet lambung dan merobek lambung perut Loan Hu Hwesio!

Lauw Kang Hui terhuyung ke belakang oleh pukulan itu, akan tetapi Loan Hu Hwesio terkulai roboh mandi darah! Wakil Ketua Thian-li-pang itu tidak terluka karena di balik jubah merahnya, dia menggunakan baju ketat dari sulaman benang perak yang membuat tubuhnya kebal!

"Jangan bunuh dulu!" bentak Lauw Kang Hui kepada para pembantunya yang tadinya hendak menghujankan senjata karena marah. Beberapa orang kawan mereka yang mengeroyok juga tadi dirobohkan hwesio yang lihai itu.

Robohnya Loan Hu Hwesio yang terluka parah disusul robohnya Ciang Tosu oleh Kwan Thian-cu dan teman-temannya Ciang Tosu roboh dengan luka parah di lehernya, membuat dia roboh pingsan dengan darah mengucur keluar dari luka itu. Phoa Cin Su juga roboh oleh tusukan pedang Ang I Moli pada dadanya, sedangkan Go-bi Nung-jin yang tadi mengamuk dengan hebat, roboh pula oleh bacokan pedang Kui Thian-cu yang mengenai pinggangnya.

Seperti juga Lauw Kang Hui, tiga orang tokoh Pek-lian-kauw itu melarang anak buah mereka membunuh orang yang dikeroyok dan telah roboh terluka parah. Kemudian, Lauw Kang Hui memberi isyarat kepada tiga orang sekutunya. Mereka mengangguk. Kwan Thian-cu lalu mengambil cangkul yang tadi dipergunakan Go-bi Nung-jin sebagai senjata dan dengan senjata ini dia lalu menghantam ke arah kepala Ciang Tosu, tokoh Kun-lun-pai yang sudah roboh tak berdaya ini. Tanpa dapat mengeluarkan keluhan lagi. Ciang Tosu yang dihantam cangkul itu tewas dengan kepala luka besar oleh cangkul.

Kini Kui Thian-cu mengambil pedang milik Phoa Cin Su dan dengan pedang itu dia pun menyerang kepala Go-bi Nung-jin. Tokoh Go-bi-pai ini pun tewas seketika dengan kepala terluka hebat oleh pedang itu.

Lauw Kang Hui yang tadi merobohkan Loan Hu Hwesio mempergunakan pedang milik Ciang Tosu dari Kun-lun-pai tadi untuk membunuh bekas lawannya itu dengan melukai kepalanya pula.

Kini tinggallah Poa Cin Su. Karena mereka mengatur siasat agar empat orang saling bunuh sesuai dengan bunyi surat tantangan masing-masing, maka seharusnya Phoa Cin Su murid Bu-tong-pai terbunuh oleh murid Siauw-lim-pai yang mengirim surat tantangan. Akan tetapi Loan Hu Hwesio tidak pernah menggunakan senjata, maka Ang I Moli merasa ragu-ragu bagaimana harus membunuh murid Bu-tong-pai itu.

"Mudah saja," kata Lauw Kang Hui sambil tersenyum. "Aku pernah mempelajari ilmu pukulan Kang-see-ciang (Tangan Pasir Baja) dari Siauw-lim-pai. Biar kupukul dia dengan ilmu itu." Lauw Kang Hui lalu menghampiri tubuh Phoa Cin Su yang sudah tergolek dan tarluka parah tanpa mampu bangkit itu. Dia lalu menggerak-gerakkan jari tangan kanannya sehingga terdengar bunyi berkerotokan, lalu dipukulkannya telapak tangan kanannya ke arah kepala Phoa Cin Su. Terdengar suara keras dan kepala itu menjadi retak, dan Phoa Cin Su tewas seketika. Ada tanda telapak tangan dengan sebagian jari-jarinya pada pipi dan pelipis yang terpukul!

Biarpun dia harus beberapa kali memejamkan mata karena merasa ngeri, Yo Han dapat melihat semua itu. Dia seorang anak yang cerdik, maka setelah melihat dan mendengar kesemuanya itu, dia pun mengerti apa yang menjadi siasat keji dari orang-orang Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw. Diam-diam dia merasa penasaran bukan main. Bahaya besar mengancam keamanan negeri, pikirnya. Tentu dua gerombolan penjahat yang bersekutu itu akan mengirimkan mayat-mayat itu sebagai bukti kepada perguruan masing-masing yang telah menerima surat tantangan dan dengan demikian maka empat perguruan besar itu akan saling bermusuhan! Sungguh tipu muslihat yang amat jahat dan kejam.

Dia melihat betapa mereka membawa pergi mayat-mayat itu, akan tetapi dia tak dapat menahan kemarahannya. "Ang I Moli! Engkau telah membiarkan dirimu terseret ke dalam perbuatan yang paling keji dan jahat yang pernah kulihat! Apakah engkau tidak takut akan akibat dari perbuatanmu itu? Tuhan pasti akan menghukummu, Ang I Moli!"

Suara anak itu lantang sekali, mengejutkan Lauw Kang Hui yang tidak pernah tahu bahwa Ang I Moli datang membawa anak kecil yang kini digantung di pohon. Dia menoleh dan melihat anak yang tergantung dengan kepala di bawah itu, dia terbelalak.

"Moli,, siapa dia?"

Ang I Moli tersenyum, "Aih, jangan perhatikan dia. Dia itu punyaku!" wanita ini lalu meloncat ke atas pohon, melepaskan ikatan tangan kaki Yo Han dan mengempit tubuh anak itu lalu membawanya meloncat turun. Sementara itu, ketika Ang I Moli sibuk menurunkan Yo Han tadi, Lauw Kang Hui mendengar dari dua orang tosu Pek-lian-kauw bahwa anak itu adalah seorang anak luar biasa dan Ang I Moli hendak menghisap darah anak itu untuk memenuhi persyaratannya melatih ilmu rahasianya.

Lauw Kang Hui merasa tertarik sekali, maka ketika Ang I Moli sudah menurunkan Yo Han, dia cepat menghampiri. Kini Yo Han sudah diturunkan dan anak itu berdiri dengan gagah walaupun tubuhnya terasa nyeri semua dan kepalanya masih pening karena terlalu lama digantung terbalik. Lauw Kang Hui melihat sepasang mata yang begitu jernih akan tetapi juga tajam tanpa dibayangi takut sedikit pun.

"Anak baik, siapa namamu?" tanyanya

"Namaku Yo Han. Locianpwe (Orang Tua Gagah) adalah seorang yang berkedudukan tinggi, memiliki ilmu kepandaian yang tinggi pula, akan tetapi mengapa melakukan perbuatan yang demikian keji dan pengecut?"

Kembali Lauw Kang Hui terbelalak dan memandang penuh kagum. Bukan main anak ini! Begitu beraninya. Dan sinar mata itu demikian jernih. Suara itu demikian lembut.

"Moli, titipkan anak itu kepada ketua suhengmu. Aku ingin bicara penting denganmu," kata Lauw Kang Hui.

"Ada urusan apakah, Lauw Pangcu (Ketua Lauw)?" tanya Moli setelah mereka pergi agak jauh agar percakapan mereka tidak didengarkan orang lain, terutama Yo Han. Biarpun dia wakil Ketua Thian-li-pang, namun dia selalu disebut Lauw Pangcu.

"Kuharap engkau suka berterus terang saja, Moli. Anak itu, Yo Han itu, untuk apakah kautawan?"

Ang I Moli tersenyum dan nampak deretan giginya yang putih. "Aih, itu urusan pribadiku, Lauw Pangcu. Kenapa sih engkau ingin sekali mengetahui urusan pribadi orang?" Ia tersenyum dan melirik manja.

"Katakan saja terus terang. Bukankah engkau ingin menghisap darahnya untuk memenuhi persyaratan engkau mempelajari sebuah ilmu rahasia?"

Ang I Moli terbelalak, lalu menoleh ke arah dua orang suhengnya yang berdiri di sana sambil menjaga Yo Han. "Hemm, tentu dua orang lancang mulut itu yang membocorkannya kepadamu!"

"Apa salahnya, Moli? Kita bukan orang lain. Katakan saja terus terang."

"Benar, Lauw Pangcu."

"Kalau begitu, biarlah kutukar dengan seorang anak laki-laki lain untukmu. Yo Han itu berikan saja kepadaku!"

Ang I Moli menatap tajam wajah wakil ketua itu dengan penuh selidik. Kemudian dengan alis berkerut ia berkata, "Hemm, tentu saja aku keberatan, Lauw Pangcu. Anak itu sama harganya dengan dua belas orang perjaka remaja! Sayang dia masih terlalu kecil. Aku harus menanti satu dua tahun lagi...."

"Kalau begitu, biar kutukar dengan dua belas orang pemuda remaja yang tampan dan sehat! Dan akan kupilihkan mereka yang sudah agak dewasa sehingga engkau tidak perlu menanti sampai satu dua tahun lagi. Anak itu bertingkah dan tentu akan repot sekali menawannya selama satu dua tahun. Bagaimana?"

Tawaran ini menarik hati Moli. Memang ia seringkali merasa jengkel dengan Yo Han. Setelah melarikan anak ini selama kurang lebih tiga bulan, ia sampai bosan mencoba untuk menjatuhkan anak ini ke dalam pelukannya. Berbagai macam cara sudah ia pergunakan. Dengan sihir bantuan dua orang suhengnya. Dengan ramuan obat dan racun. Dengan totokan. Dengan siksaan. Semua tidak ada gunanya. Sihir dan racun agaknya tidak mempengaruhi anak itu. Juga ancaman, siksaan dan bujuk rayu tidak mempan! Untuk mendapatkan darah anak itu melalui penghisapan darahnya melalui mulut begitu saja, selain ia merasa muak juga daya gunanya banyak berkurang. Ia membutuhkan hawa murni dari tubuh anak itu.

"Hemm, usulmu menarik juga, Lauw Pangcu. Akan tetapi kalau aku sudah berterus terang, kuharap engkau juga suka berterus terang. Untuk apakah engkau menginginkan Yo Han?"

Lauw Kang Hui menghela napas panjang. "Engkau tahu siapa kini yang paling tinggi kedudukan atau tingkatnya di Thian-li-pang?"

"Tentu saja Ouw Pangcu, suhengmu." jawab Ang I Moli tanpa ragu lagi. "Kalau bukan Sang Ketua yang paling tinggi tingkat dan kedudukannya, habis siapa lagi."

"Bukan dia."

"Ah, aku tahu. Tentu guru kalian, Locianpwe Ban-tok Mo-ko (Iblis Selaksa Racun)! Akan tetapi dia sudah tidak lagi mengurus Thian-li-pang, bukan?"

"Memang Suhu tidak lagi mengurus Thian-li-pang dan tingkatnya lebih tinggi daripada suheng dan aku. Akan tetapi yang kumaksudkan bukan Suhu."

"Wah, kalau begitu aku tidak tahu lagi."

"Yang paling tinggi tingkatnya di antara kami di Thian-li-pang adalah Su-pek (Uwa Guru) Thian-te Tok-ong (Raja Racun Langit Bumi)!"

"Ahhh....? Tapi.... bukankah beliau sudah.... sudah tidak ada lagi?"

"Tidak ada di dunia ramai maksudmu. Akan tetapi beliau masih hidup. Dan Supek yang baru-baru ini memesan kepadaku bahwa kalau aku bertemu dengan seorang anak yang berbakat luar biasa, aku harus membawa anak itu menghadap Supek. Nah, ketika aku melihat Yo Han, aku tertarik dan siapa tahu, anak seperti itulah yang dicari Supek."

"Lauw Pangcu, aku senang sekali dapat membantu Locianpwe Thian-te Tok-ong! Siapa tahu kelak beliau suka membantuku kembali sebagai imbalan jasaku."

"Hemm, bantuan apakah yang kau kehendaki, Moli?"

"Ilmu rahasia yang akan kulatih merupakan ilmu yang mengandung hawa beracun. Aku ingin memohon bantuan Locianpwe Thian-te Tok-ong untuk membuatkan obat penawarnya."

"Baik, akan kusampaikan kepada Supek kalau dia dapat menerima Yo Han, tentu dia akan suka membantu."

Tepat seperti telah diduga oleh Yo Han, mayat keempat orang tokoh perguruan-perguruan silat besar itu dikirim ke perguruan masing-masing. Hanya bedanya, bukan seluruh mayatnya yang dikirim, melainkan hanya kepalanya saja! Kepala-kepala itu diberi obat, dengan cara direndam- sehingga tidak membusuk, dimasukkan ke dalam guci besar, direndam dan ditutup rapat, dimasukkan peti lalu dikirimkan ke perguruan masing-masing melalui piauw-kiok (kantor pengiriman barang).

Dapat dibayangkan betapa gemparnya para perguruan itu ketika menerima kiriman kepala. Dan petugas pengiriman itu mengaku sesuai dengan pesanan pengirim peti itu. Pengirim peti ke Siauw-lim-si (Kuil Siauw-lim) mengatakan bahwa orang yang mengirim peti itu mengaku sebagai seorang murid Kun-Lun-pai. Petugas pengiriman peti untuk Kun-lun-pai mengaku disuruh seorang murid Go-bi-pai. Petugas pengiriman peti untuk Go-bi-pai mengaku disuruh seorang murid Bu-tong-pai. Petugas pengiriman peti untuk Bu-tong-pai disuruh seorang murid Siauw-lim-pai.

Tentu saja para murid perguruan-perguruan silat itu menjadi marah bukan main. Mula-mula para ketua masing-masing memang masih meragukan kebenaran keterangan para pengirim barang itu. Ketika mereka menerima tantangan-tantangan itu, para ketua mengirim murid-murid terpandai untuk memenuhi undangan di Bukit Naga, untuk membuktikan sendiri apakah benar ada tantangan seperti dalam surat yang mereka terima. Kini, murid-murid itu kembali tinggal kepala saja dan ketika mereka melakukan pemeriksaan jelas bahwa murid-murid itu memang tewas oleh senjata lawan dari perguruan yang mengirim tantangan. Biarpun sudah terjadi hal ini, tetap saja para pimpinan perguruan-perguruan itu masih belum yakin benar. Mereka adalah orang-orang sakti yang tahu benar bahwa perguruan yang mengirim tantangan adalah golongan bersih, para pendekar yang tidak pernah bermusuhan dengan mereka, bahkan bersahabat. Bagaimana tiba-tiba saja timbul tantangan, bahkan kini melakukan pembunuhan terhadap murid yang mereka utus untuk memenuhi undangan di Bukit Naga itu? Bagaimanapun juga, terbukti bahwa murid mereka tewas.

Biarpun para pimpinan masih ragu-ragu, namun para muridnya tak dapat menahan lagi kemarahan dan sakit hati mereka. Terjadilah bentrokan-bentrokan di antara empat partai persilatan besar itu. Setiap kali terjadi pertemuan, murid-murid Kun-lun-pai menyerang murid-murid Go-bi-pai. Go-bi-pai menyerang Bu-tong-pai, Bu-tong-pai menyerang Siauw-lim-pai dan sebaliknya Siauw-lim-pai menyerang Kun-lun-pai. Terjadi beberapa kali bentrokan yang mengakibatkan jatuhnya korban, baik yang terluka maupun yang tewas. Dan setelah terjadi bentrokan-bentrokan, mau tidak mau para pimpinan partai masing-masing ikut pula terseret. Dan mulailah terjadi pertentangan di antara empat partai persilatan besar itu, sesuai dengan apa yang diinginkan Thian-li-pang yang bersekongkol dengan Pek-lian-kauw!

***

Yo Han diserahkan kepada Lauw Kang Hui oleh Ang I Moli dan sebagai gantinya, wanita iblis itu oleh Lauw Kang Hui disuguhi pemuda-pemuda remaja seperti yang dijanjikannya. Remaja-remaja itu satu demi satu mati kehabisan darah dalam pelukan iblis betina itu.

Yo Han diajak ke pusat Thian-li-pang oleh Lauw Kang Hui. Dia diperlakukan dengan baik. Bahkan Lauw Kang Hui membujuknya dan berusaha menyadarkan anak itu bahwa Thian-li-pang adalah perkumpulan patriot yang hendak membebaskan tanah air dan bangsa dari tangan penjajah Mancu. Namun, semua itu percuma. Yo Han tidak dapat melupakan peristiwa mengerikan yang dilihatnya di Bukit Naga dan bagaimanapun juga, dia tetap menganggap bahwa orang-orang Thian-li-pang bukanlah orang-orang baik. Penuh tipu muslihat dan kejam. Dia sudah banyak membaca tentang para pahlawan yang dengan setulusnya hati berjuang membela tanah air dan bangsa, tanpa pamrih untuk diri sendiri. Akan tetapi, apa yang diperlihatkan orang-orang Thian-li-pang di Bukit Naga itu tidak ada hubungannya dengan perjuangan membebaskan bangsa dari cengkeraman penjajah! Bahkan Thian-li-pang mengadu domba antara perguruan-perguruan silat besar yang terdiri dari bangsa sendiri! Setiap orang pendekar pasti tidak setuju dengan tindakan Thian-li-pang itu. Dan Thian-li-pang bersekutu dengan orang-orang seperti Ang I Moli dan dua orang suhengnya, tokoh-tokoh Pek-lian-kauw. Padahal, dia sendiri sudah membuktikan sendiri betapa jahatnya Ang I Moli! Oleh karena itu, biar dia diperlakukan dengan baik oleh Lauw Kang Hui dan dibujuk dengan omongan manis, tetap saja dia tidak percaya kepada perkumpulan ini.

Di dalam perkampungan Thian-li-pang Yo Han melihat bahwa perkumpulan itu nampak kuat, dengan perkampungan yang dikelilingi tembok tinggi dan tebal seperti benteng. Perkampungan di lereng bukit itu luas, di dalamnya terdapat banyak bangunan dan tidak kurang dari tiga ratus orang anak buah Thian-li-pang tinggal di situ. Mereka setiap hari latihan silat dan berbaris. Ketika dia dihadapkan kepada Ketua Thian-li-pang, yaitu Ouw Pangcu (Ketua Ouw) atau Ouw Ban yang berusia enam puluh tahun, kakek itu memandang kepada Yo Han seperti orang menaksir seekor kuda yang akan dibelinya.

"Namamu Yo Han?" tanya Sang Ketua suaranya parau dan besar.

Yo Han memandang kepada kakek tinggi kurus yang mukanya pucat kekuningan seperti orang berpenyakitan itu. Dia mengangguk. "Benar, namaku Yo Han."

"Engkau mau menjadi murid Thian-li-pang?" tanya pula ketua itu.

Yo Han memandangnya dengan sinar mata tajam dan dengan tegas dia menggeleng kepala lalu menjawab. "Tidak! Aku tidak mau menjadi murid Thian-li-pang yang jahat, kejam dan pengecut!"

Ouw Ban membelalakkan matanya dan menoleh kepada Lauw Kang Hui. "Dan kau bilang anak ini luar biasa?"

Lauw Kang Hui tersenyum. "Suheng, bukankah sikapnya yang pemberani ini menunjukkan keluarbiasaannya?"

"Huh, kita lihat saja sampai di mana keluarbiasaannya. Bocah sombong, coba kausambut ini!" Tiba-tiba saja tangan kiri kakek itu bergerak menampar dengan cepat bukan main. Gerakan tangannya itu bahkan tidak nampak saking cepatnya tahu-tahu telapak tangan itu telah mengenai tengkuk Yo Han.

"Plakk!" Tubuh Yo Han yang duduk di kursi itu terjungkal dan anak itu roboh pingsan.

"Suheng! Kau membunuhnya?" tanya Cauw Kang Hui dengan kaget dan dia meloncat lalu berlutut memeriksa anak itu.

"Hemm, kalau dia mati pun lebih baik daripada engkau dimarahi Supek. Lihat, anak macam itu kaukatakan luar biasa?" kata Ketua Thian-li-pang. Lauw Kang Hui mendapat kenyataan bahwa Yo Han hanya pingsan saja, maka dia pun bangkit lagi berdiri dan memandang kepada kakak seperguruannya.

"Suheng, keluarbiasaan anak ini bukan hanya pada sikapnya yang gagah berani, tabah dan dewasa, akan tetapi juga menurut keterangan Ang I Moli, anak ini kebal terhadap racun dan tidak dapat dipengaruhi sihir."

"Ha-ha-ha, apakah engkau tidak mengenal orang macam apa adanya Ang I Moli, Sute? Engkau dikibuli saja! Masa anak macam ini ditukar dengan dua belas orang pemuda remaja yang pilihan. Engkau sungguh bodoh, Sute."

"Kurasa ia tidak berani mempermainkan aku, Suheng. Bagaimanapun juga, biar dia kubawa menghadap Supek dan biarlah Supek yang menentukan apakah anak ini memenuhi syarat ataukah tidak."

"Sute, agaknya engkau berusaha keras untuk menyenangkan hati Supek, ya? Engkau hendak menyuapnya agar engkau memperoleh hadiah ilmu baru sehingga tingkat kepandaianmu akan melampaui aku?"

Lauw Kang Hui yang tadinya sudah duduk kini bangkit berdiri lagi sambil memandang kepada wajah suhengnya dengan mata terbelalak. "Ehh? Kenapa engkau menyangka buruk seperti itu, Suheng? Suheng sendiri juga mendengar pesanan Supek itu, untuk mencarikan seorang anak yang luar biasa agar Supek dapat menggemblengnya dan kelak akan makin memperkuat Thian-li-pang."

"Kalau begitu, biar kucoba lagi dia! Apakah benar dia kebal racun!" Ketua Thian-li-pang itu mengambil sesuatu dari saku jubahnya.

"Suheng, jangan! Engkau bisa membunuhnya dengan Ang-tok-ting (Paku Beracun Merah) itu!" kata Lauw Kang Hui. "Lebih baik dicoba kekebalannya terhadap, sihir saja." Lauw Kang Hui maklum bahwa suhengnya itu merasa iri kalau sampai ada anak lain diterima menjadi murid Thian-te Tok-ong karena suhengnya itu ingin sekali agar puteranya sendiri yang mewarisi ilmu-ilmu yang ampuh dari supek mereka. Akan tetapi supek mereka menganggap bahwa Ouw Cun Ki, putera suhengnya yang berusia lima belas tahun itu tidak cukup berbakat.

Akan tetapi Ouw Ban yang memang berniat membunuh Yo Han sudah meluncurkan sebatang paku ke arah leher anak yang masih rebah di atas lantai itu. Sinar merah kecil menyambar dan Lauw Kang Hui menahan seruannya dan merasa putus harapan karena serangan itu tentu akan membunuh Yo Han. Akan tetapi pada saat itu, tiba-tiba saja Yo Han siuman dari pingsannya dan anak yang tadinya sama sekali tidak bergerak itu bangkit duduk dan gerakan yang tidak disengaja ini membuat sambaran paku tidak mengenai sasaran! Paku itu lewat dekat lehernya dan menancap ke lantai bahkan amblas ke dalam dan tidak nampak lagi!

"Ehhh....?" Ouw Ban terbelalak kaget, akan tetapi dia juga merasa penasaran lalu tangannya bergerak ke saku jubahnya lagi.

"Suheng, tidak cukupkah itu?" Lauw Kang Hui memegang lengan suhengnya, mencegah suhengnya menyerang lagi. "Tidak kau lihat betapa luar biasanya itu?"

"Huh, hanya kebetulan saja dia siuman!"

"Sama sekali tidak kebetulan. Nampaknya kebetulan akan tetapi justeru yang kebetulan itulah yang luar biasa. Suheng, jangan ganggu dia. Kalau Supek menolaknya, baru Suheng boleh lakukan apa saja terhadap dirinya."

"Sute, aku masih penasaran!" kata Ouw Ban.

"Suheng, jangan!" cegah Lauw Kang Hui. Suheng dan sute atau ketua dan wakilnya itu bersitegang dan pada saat itu terdengar suara batuk-batuk di belakang mereka. Dua orang itu mengenal suara ini dan cepat mereka membalik, lalu keduanya menjatuhkan diri berlutut.

"Suhu....! Sudah lama sekali Suhu tidak meninggalkan kamar...."

Karena Yo Han sudah siuman dan berdiri, dia memandang kepada kakek yang baru muncul. Seorang kakek yang usianya tentu sudah tujuh puluh tahun lebih. Rambutnya yang sudah berwarna kelabu itu digelung ke atas seperti rambut pendeta tosu, yang menyolok pada wajahnya itu adalah sepasang alisnya yang amat tebal dan panjang. Pandang matanya sayu seperti orang mengantuk.

Mendengar dua orang ketua Thian-li-pang itu murid kakek ini, Yo Han maklum bahwa tentu kakek ini memiliki ilmu kepandaian yang tinggi!

"Hemm, Ouw Ban dan Lauw Kang Hui," kata kakek itu sambil mengelus jenggotnya dan memandang kepada dua orang muridnya itu silih berganti. "Entah mengapa aku ingin sekali keluar kamar dan begitu tiba di sini aku melihat kalian bertengkar dan bersitegang. Heran, kalau Thian-li-pang dipimpin oleh kalian berdua, lalu kalian saling bertengkar, apa akan jadinya dengan perkumpulan kita?" Suara kakek itu halus dan ramah, akan tetapi mengandung teguran keras.

"Maaf, Suhu. Teecu berdua tidak bertengkar, hanya teecu ingin menguji kebenaran keterangan sute tentang anak ini."

"Benar, Suhu. Sebetulnya teecu hanya ingin mencegah suheng membunuh anak ini karena teecu hendak membawanya menghadap Supek, yang telah memesan teecu untuk mencarikan seorang anak luar biasa."

"Anak luar biasa....?" Ban-tok Mo-ko, kakek itu kini memandang Yo Han penuh perhatian. "Apanya yang luar biasa pada anak ini?"

"Itulah, Suhu. Teecu juga menganggap bahwa ,anak ini tidak ada apa-apanya yang luar biasa. Sekali tampar saja dia tadi roboh pingsan. Akan tetapi Sute...."

"Suhu, Suheng tidak mau mengerti. Anak ini memang luar biasa. Dia kebal terhadap racun dan pengaruh sihir," kata Lauw Kang Hui.

"Eh? Benarkah?" kata kakek itu dan kini sepasang mata yang sayu itu mengeluarkan sinar ketika dia mengamati wajah Yo Han.

"Teecu hendak menguji kekebalannya itu dengan paku merah, akan tetapi Sute mencegahnya, maka tadi teecu berdua kelihatan seperti bertengkar, Suhu."

Kakek itu menggerakkan tangan memberi isarat kepada dua orang muridnya agar tidak bersuara, kemudian diam-diam dia mengerahkan kekuatan sihirnya, sepasang mata yang biasanya sayu itu kini mencorong penuh wibawa seperti hendak menembus kepala Yo Han melalui sepasang mata anak itu, kemudian terdengar suaranya menggetar, lirih mendesis, dan jelas sekali.

"Anak baik, siapa namamu?"

Yo Han adalah seorang anak yang sudah mengenal sopan santun. Telah menjadi kebudayaan sejak jaman dahulu untuk menghormati orang yang lebih tua, apalagi orang setua kekek itu. Karena pertanyaan kakek itu ramah dan halus, dia pun menjawab dengan sikap hormat.

"Nama saya Yo Han, Kek."

Bagi orang yang biasa mempergunakan kekuatan sihir, jawaban ini saja sudah menunjukkan bahwa korbannya telah masuk perangkap dan tentu akan mentaati segala perintah. Kakek itu memandang lebih tajam dan suaranya semakin berwibawa ketika dia berkata, dengan nada memerintah walaupun masih ramah dan halus,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar