Setelah bertempur beberapa puluh jurus dengan hebat, tiba-tiba Boan Sip merubah gerakannya dan sekarang ia mulai menyerang dengan limu Golok Keledai Gila Bergulingan. Tubuhnya berguling-guling ke arah lawan dan sambil bergulingan tubuhnya tertutup dan terlindung oleh perisai, sedangkan golok menyambarnyambar ke arah kaki lawan! Ilmu gerakan ini benarbenar berbahaya dan cepat dan ke mana saja Pek I Toanio loncat menghindar, selalu Boan Sip dengan cepat mengejar sambil bergulingan dan melancarkan serangan berbahaya. Ia tidak hanya bergulingan sambil menyerang kaki akan tetapi secara tiba-tiba ia bangun dan menyerang dengan golok itu kemudian bergulingan pula! Diserang secara begini, Pek I Toanio menjadi gugup sekali dan tidak berdaya melancarkan serangan balasan.
Ia menjadi gemas dan penasaran lalu melakukan sebuah gerakan dan serangan nekad. Sambil berseru nyaring Pek I Toanio lalu menjatuhkan diri bergulingan dalam gerak tipu Daun Kering Tertiup Angin! Ia mengimbangi gerakan lawan dan sambil bergulingan ia membabat dengan pedangnya dari samping dan karena serangannya ini hampir menempel lantai, maka tak mungkin tertangkis dengan perisai. Pada saat itu terdengar teriakan kaget dan ternyata bahwa Cin Hailah yang berteriak itu. Seperti lakunya seorang yang bingung dan gugup pemuda ini menyambar bangku yang didudukinya dan melemparkan bangku itu dengan sambaran ke arah mereka yang sedang bertempur sambil bergulingan! Kwee Tiong dan adik-adiknya serta orang-orang lain yang duduk dekat Cin Hai merasa heran sekali melihat perbuatan pemuda ini. Sementara itu, pada saat Cin Hai melemparkan bangkunya, Pek I Toanio setelah pedangnya kena tangkis, lalu bergulingan pergi menjauhi Boan Sip yang telah siap untuk melempar goloknya.
Ketika mendapat kesempatan baik dan pada saat tubuh Pek I Toanio yang bergulingan pergi membelakanginya, ia lalu menyambitkan goloknya ke arah punggung lawan! Akan tetapi, tepat pada saat itu, bangku yang dilempar oleh Cin Hai telah tiba di antara mereka hingga sebelum golok itu terlepas dari tangan Boan Sip, ia keburu menahan gerakannya kembali dan tidak jadi melontarkan goloknya. Boan Sip melompat berdiri dengan marah sekali, sedangkan Pek I Toanio juga sudah bangun berdiri. Boan Sip sambil bertolak pinggang memandang sekeliling, lalu menegur dengan suara nyaring, "Tuan rumah tidak kenal malu dan sengaja membantu secara diam-diam! Siapakah yang begitu berani mati melempar bangku tadi?"
Sementara itu, dengan marah Kwee Tiong menegur Cin Hai, "Cin Hai, engkau bodoh dan lancang tangan! Apa maksudmu melemparkan bangku tadi?"
Cin Hai pura-pura gugup dan bingung. "Aku... aku merasa ngeri melihat pertempuran itu dan berusaha memisahkannya!" semua orang yang mendengar ini tertawa geli dan diam-diam Kwee Tiong mentertawakan Cin Hai. Mengapa ia masih begini bodoh, pikirnya! Di antara semua orang merasa heran dan mentertawakan Cin Hai karena ketololannya, hanya Biauw Suthai dan Pek I Toanio saja yang mempunyai pikiran lain. Pek I Toanio insyaf akan kesalahan gerakannya tadi yang membuka punggungnya ketika ia bergulingan dan hal ini pun diketahui baik oleh gurunya, dan mengapa secara kebetulan sekali pemuda itu melemparkan bangku pada saat yang demikian tepat hingga jiwa Pek I Toanio terbebas dari ancaman? Bahkan Ang I Niocu sendiri tidak tahu akan hal ini karena ia tidak kenal gerakan-gerakan Pek I Toanio, dan Gadis Baju Merah ini pun merasa agak heran melihat perbuatan Cin Hai.
Sekali lagi Boan Sip berseru, "Tuan rumah berlaku curang! Hayo keluarkan dia yang telah berani mengganggu," katanya dengan lagak sombong, sementara itu, atas isyarat gurunya, Pek I Toanio kembali ke tempat duduknya setelah menjura kepada Kwee In Liang dan menyatakan penyesalannya karena tidak berhasil mengalahkan lawannya.
Tiba tiba Kwee Tiong yang diikuti oleh ketiga orang adiknya meloncat dengan pedang di tangan sambil membentak, "Orang she Boan jangan sombong! Yang melempar bangku adalah adik keponakanku yang tolol dan bodoh, tak perlu engkau memusuhi dan menantangnya. Kalalu engkau memang gagah, aku Kwee Tiong yang akan melawanmu!"
Boan Sip memandang kepada Kwee Tiong dengan senyum sindir. Pemuda ini mengeluarkan ucapan gagah, akan tetapi ternyata sekali maju membawa tiga orang adiknya. Melihat gerakan mereka, Boan Sip memandang sebelah mata dan berkata sambil tertawa, "Ha, ha, kalian ini putera-putera Kwee In Liang? Aneh, Harimau itu ternyata hanya mempunyai putera-putera berupa kucing yang hanya pandai mengeong!"
Kwee In Liang hendak memanggil putera-puteranya, akan tetapi Kwee Tiong sudah tak dapat menahan lagi marahnya. Ia lalu berseru keras dan menubruk dengan pedangnya diikuti oleh ketiga orang adiknya yang menyerang dengan berbareng. Boan Sip mengeluarkan suara di hidung dan gerakkan goloknya menangkis.
Sekali tangkis saja, dua dari empat buah pedang saudara-saudara Kwee itu terlempar. Dan Boan Sip melanjutkan gerakannya dengan serangan pembalasan.
Baiknya perwira muda ini masih ingat bahwa keempat anak muda ini adalah kakak-kakak dari Lin Lin yang ia rindukan, maka tidak berniat mencelakakan mereka, hanya ingin menggoda dan memperlihatkan kegagahannya saja. Maka serangan-serangannya hanya nampak hebat mengerikan karena goloknya menyambar nyambar hebat, akan tetapi tidak digerakkan cepat hingga keempat anak muda itu masih dapat berkelit ke sana ke mari dengan wajah pucat.
Tiba-tiba Cin Hai memegang sebuah bangku yang ditinggalkan oleh dua orang tamu yang berdiri karena tegangnya menonton pertempuran itu dan dengan bangku di tangan, Cin Hai lari menuju ke tempat pertempuran. Lalu ia menyerang Boan Sip secara membabi buta sambil berseru berkali-kali, "Jangan membunuh kakak-kakakku, jangan mencelakakan kakakkakakku!"
Mendapat serangan kacau-balau itu, Boan Sip terkejut dan melihat penyerangnya. Karena ia tujukan perhatiannya kepada penyerang baru ini, maka keempat saudara Kwee dapat mundur, sedangkan Cin Hai masih terus mengobat-abitkan bangkunya. Boan Sip ketika melihat bahwa pemuda inilah yang tadi menghalangi kemenangannya atas Pek I Toanio menjadi marah sekali.
"Orang tolol, engkau mencari mampus!" bentaknya dan ia lalu menggunakan goloknya menyerang. Akan tetapi Cin Hai mengobat-abitkan bangkunya yang cukup panjang hingga Boan Sip menjadi bingung. Gerakan pemuda ini tidak teratur dan kacau balau, bahkan seperti gerakan orang gila mengamuk, akan tetapi justru inilah yang membingungkan Boan Sip. Gerakan silat dapat diduga karena teratur, akan tetapi gerakan-gerakan menggila ini sungguh membingungkan dan sebelum ia dapat menyerang, sebuah kaki daripada bangku yang diobat-abitkan itu telah mengenai tubuh belakangnya hingga terdengar suara "buk!" karena bokongnya kena dihajar kaki bangku.
Semua orang tertawa geli melihat tingkah laku Cin Hai yang mereka anggap sebagai seorang pemuda tolol itu, akan tetapi karena pemuda itu dalam ketololannya berani membela keempat pemuda Kwee, biarpun mereka mentertawakannya, akan tetapi di dalam hati mereka suka kepadanya. Maka bersoraklah para tamu melihat betapa tanpa disengaja kaki bangku itu dapat memukul bokong Boan Sip yang sombong.
Sementara itu, Cin Hai sambil mengobat-abitkan bangkunya berkata kepada Kwee Tiong dan adikadiknya, "Engko Tiong, kauajaklah adik-adikmu mundur, biar aku tahan mengamuknya babi hutan ini!"
Kembali terdengar suara orang-orang tertawa karena pemuda yang dari gerak-geriknya ternyata bahwa ia tidak mengerti ilmu silat itu dengan sikap gagah sekali membuka mulut besar dan hendak membela keempat saudara Kwee dan menghadapi Boan Sip yang lihai.
Sungguh satu pemandangan yang lucu mengherankan! Akan tetapi, keadaan ini merupakan tamparan hebat bagi keangkuhan dan kesombongan Boan Sip. Kembali ia menyerang sambil memaki-maki. Ketika bangku itu menyambar kembali, dengan gemas Boan Sip membacok kaki bangku dengan goloknya. Mana bisa kayu itu dapat menahan bacokan golok Boan Sip. Dengan mudah saja kaki bangku itu terbabat putus. Akan tetapi sungguh malang bagi Boan Sip, yakni dalam pandangan semua orang yang menonton pertempuran itu, ketika kaki bangku itu terbabat putus ternyata saking tajam golok yang membabat, kaki bangku itu melayang dan kebetulan sekali dapat menampar pipi Boan Sip! Terdengar suara "plok!" dan pipi Boan Sip yang kena dilanggar potongan kaki bangku itu menjadi merah kulitnya dan terasa pedas sekali! Hal ini terlihat jelas oleh semua orang dan kembali terdengar sorak riuh rendah karena ternyata biarpun tolol dan tidak mengerti ilmu silat, agaknya pemuda tolol itu sedang "hok-khi" (beruntung), maka secara kebetulan sekali lawannya kena tamparan kaki bangku yang dipotongnya sendiri! Pada saat itu, di bagian tamu di mana tadi Cin Hai duduk, terjadilah lain hal yang menimbulkan tertawa geli.
Ternyata dua orang tamu yang tadi berdiri melihat pertempuran seru antara Kwee Tiong dibantu adiknya dan Boan Sip hingga bangku mereka diambil oleh Cin Hai di luar tahu mereka, ketika melihat betapa dua kali Boan Sip kena terpukul kaki bangku, mereka begitu gembira hingga sambil tertawa terkekeh-kekeh, mereka menjatuhkan diri di atas bangku di belakang mereka.
Akan tetapi suara mereka segera terganti seruan kaget dan kesakitan karena mereka berdua ternyata menjatuhkan diri ke belakang yang kosong dan tidak ada bangkunya lagi, maka tentu saja mereka terjengkang dan jatuh tunggang langgang! Orang-orang di sekitarnya tertawa bergelak dan kedua orang itu berdiri sambil meringis kesakitan, akan tetapi ketika mereka mengetahui bahwa bangku yang berhasil menghajar Boan Sip adalah bangku yang tadi mereka duduki, maka berserilah wajah mereka! Boan Sip marah sekali dan ia menyerang bagaikan kerbau gila. Bangku di tangan Cin Hai sudah tak karuan lagi macamnya bekas bacokan golok.
"Eh, eh, tak tahu malu! Menyerang orang yang tidak memegang senjata!" Cin Hai memaki dengan suara mengejek. Kata-kata ini mengingatkan Boan Sip bahwa jika ia nanti membunuh anak muda tolol yang tak bersenjata ini dengan goloknya, maka ia tentu akan dipandang rendah oleh orang-orang gagah. Pula untuk menyingkirkan bangku dari tangan pemuda bodoh ini, lebih mudah menggunakah tangan kosong. Maka, ia lalu membanting golok dan perisainya di atas lantai hingga mengeluarkan suara berkerontangan, lalu sambil mendelikkan mata ia memaki, "Baik, aku telah membuang senjataku, orang gila! Tunggulah aku akan mencekik lehermu!"
"Mengapa bermain cekik-cekikan? Kita bukan sedang bermain adu gulat!" jawab Cin Hai dengan muka lucu hingga kembali semua orang tertawa.
Sementara itu, Lin Lin merasa heran sekali, dan juga kagum. Ia heran dan kecewa melihat bagaimana Cin Hai setelah dewasa berubah menjadi seorang pemuda tolol, akan tetapi ia juga merasa kagum melihat betapa dalam ketololannya, Cin Hai ternyata mempunyai hati yang tabah, bersemangat, dan berani membela kakakkakaknya! Juga, Kwee In Liang menggeleng-gelengkan kepala karena ia ikut merasa malu mempunyai seorang keponakan setolol itu. Bahkan Biauw Suthai yang mempunyai pemandangan tajam dan pengalaman luas dapat pula dikelabuhi oleh aksi Cin Hai yang ketololtololan hingga diam-diam wanita tua ini bersiap sedia menolong jiwa anak muda yang tolol tapi pemberani itu, Loan Nio duduk dengan wajah pucat, hendak mengeluarkan suara saking terperanjat, dan kuatirnya.
Ketika Cin Hai mengangkat bangku menyerang kembali, Boan Sip menyambut bangku itu dengan kedua tangannya dan ia membetot. Akan tetapi, alangkah terkejutnya ketika ternyata bahwa ia tidak mampu membetot bangku itu dari tangan Cin Hai! Ia terkejut dan heran sekali. Apakah mungkin pemuda tolol ini memiliki tenaga sebesar itu? Ia membetot kembali dan Cin Hai mempertahankan sambil mengeluarkan suara "uhh... uh..." dan demikian keduanya saling membetot mempertahankan, sedikit pun tak mau mengalah! Bangku itu sebentar terbetot ke kanan, sebentar terbetot, ke kiri hingga seakan-akan kedua orang itu sedang mengadu tenaga membetot-betot bangku hingga air muka keduanya berubah merah! Yang merasa gembira sekali adalah para penonton.
Mereka bersorak riuh rendah dan lupa bahwa kedua orang itu sebenarnya sedang berkelahi dan lupa pula bahwa Boan Sip sedang marah besar dan dari kedua matanya mengeluarkan nafsu membunuh karena benci dan marahnya kepada pemuda tolol itu! Pada saat itu mereka merasa seakan-akan sedang menonton dua orang mengadu tenaga dengan menarik-narik bangku sebagai gantinya tambang yang biasa digunakan untuk mengadu tenaga bertarik-tarikan! Maka terdengarlah suara-suara yang memihak kepada Cin Hai sambil berteriak-teriak, "Hayo, tarik... tarik...! Keluarkan tenagamu..."
Jika bangku itu terbetot ke arah Cin Hai, maka semua orang berseru gembira, "Hayo... lebih keras lagi... tarik...!" Akan tetapi apabila bangku itu terbetot ke arah Boan Sip, terdengar teriakan-teriakan lain yang mengandung kekuatiran, "Awas... pertahankan... jangan sampai kalah...!"
Untuk beberapa lamanya kedua orang itu saling tarik, saling betot dan saling keluarkan tenaga, Boan Sip makin marah dan penasaran saja. Tenaganya untuk membetot bangku ini lebih dari pada tujuh ratus kati, akan tetapi sungguh aneh sekali bahwa pemuda tolol ini dapat mempertahankannya sedemikian rupa. Ia lalu mengerahkan seluruh tenaganya dan dengan tenaga yang tidak kurang dari seribu kati kuatnya. Dan tiba-tiba Cin Hai mengendurkan pegangannya hingga dengan cepat sekali bangku itu terbetot ke arah Boan Sip dan terbawa tubuhnya yang terhuyung-huyung ke belakang ini. Akan tetapi Cin Hai tidak melepaskan pegangannya hingga tubuhnya ikut terbetot dengan bangku itu.
Tarikan Boan Sip kian kerasnya hingga karena tenaga bertahan dilepas secara tiba-tiba, tidak mampu lagi perwira itu bertahan dan terlempar ke belakang terhuyung-huyung ke belakang dan akhirnya jatuh terjengkang dengan bangku dan tubuh Cin Hai menimpa di atasnya.
Orang-orang tertawa geli dan berrak-sorak. Akan tetapi pada saat itu Lin Lin sudah melompat ke tempat itu karena gadis ini yakin bahwa ketika tubuh Cin Hai menimpa di atas tubuh Boan Sip, maka perwira itu dapat memberi pukulan maut kepada pemuda itu. Dan alangah herannya Lin Lin ketika tanpa terlihat, tahu-tahu Ang I Niocu juga berada di situ dan cepat sekali Dara Baju Merah ini telah memegang tangan Cin Hai dan membetotnya! Ternyata bahwa Ang I Niocu juga kena ditipu oleh ketololan Cin Hai dan menguatirkan keselamatan pemuda ini.
Akan tetapi, ketika orang-orang melihat Boan Sip merangkak bangun, ternyata dari mulut perwira muda itu mengalirkan darah dan ia berdiri dengan terhuyunghuyung.
Karena terlalu menghabiskan tenaga dan tibatiba bangku dilepas, maka tenaganya membalik dan telah melukainya sendiri hingga ia mendapat luka dalam yang hebat juga! Kawan-kawannya segera menghampiri dan menuntunnya duduk di atas sebuah bangku. Ma Ing segera mengetuk pundak dan mengurut-urut dadanya, dan memberinya sebuah pil untuk ditelan. Boan Sip lalu duduk diam dan mengatur napas untuk memulihkan tenaganya kembali.
Lin Lin dan Ang I Niocu kembali ke tempat duduk masing-masing dan Cin Hai dengan mendapat sambutan tepuk tangan dan tertawa geli, dipanggil oleh ie-ienya, yakni di bagian para tamu wanita. Ketika Biauw Suthai memandang pemuda itu, teringatlah wanita gagah ini, ia lalu berdiri dan menghadapi Cin Hai.
"Bukankah kita pernah bertemu?" tanyanya mengingat-ingat.
"Sudah, Suthai," jawab Cin Hai, "Sudah empat kali kita bertemu."
"Empat kali?" Biauw Suthai mengingat-ingat.
"Ya, empat kali. Pertama kali ketika engkau menculik Adik Lin Lin. Ke dua kalinya ketika engkau menolongku dari serangan Biauw Leng Hosiang, ketiga kalinya di dalam Gua Tengkorak, dan ke empat kalinya... sekarang ini!"
Biauw Suthai tertawa senang. "Ah, benar... pantas saja kalau begitu. Memang semenjak dulu engkau telah memiliki keberanian yang besar!"
Lin Lin memandang kepada Cin Hai dengan kagum, lalu berkata, "Hai-ko, kau benar-benar gagah berani!"
Dan aneh sekali, mendengar pujian dan melihat sinar mata gadis ini Cin Hai merasa demikian girang hingga ia tersenyum dan tiba-tiba mukanya menjadi merah. Ang I Niocu dari tempat duduknya melayangkan pandang tajam ke arah kedua anak muda ini.
Sementara itu, Kwee Tiong dan adik-adiknya merasa iri hati dan jengkel melihat betapa Cin Hai yang tolol itu mendapat pujian dari orang-orang.
"Sungguh menjemukan, sungguh menyebalkan...!"
Kwee Tiong bersungut-sungut.
Pada saat itu seorang perwira lain yang bertubuh pendek dan bermuka hitam, meloncat masuk ke dalam arena. Dengan tertawa dingin ia menggulung lengan bajunya ke atas hingga nampak sepasang tangannya yang pendek dan berkulit halus putih, jauh berbeda dengan warna kulit mukanya. Ia memandang ke sekeliling dan berkata kepada Kwee In Liang, "Kwee-ciangkun..."
"Aku bukan seorang pembesar lagi, jangan kau menyebutku ciangkun." Kwee In Liang memotong.
Perwira kate itu tertawa, "Kwee Lo-enghiong," katanya lagi.
"Pertempuran antara Boan-sute dan Pek I Toanio, berakhir dengan seri karena kedatangnya gangguan dari pemuda tolol tadi, dan pertempuran antara Boan-sute dan pemuda itu tidak termasuk hitungan karena itu bukanlah pertempuran. Jadi keadaan pihak kami masih belum ada yang kalah belum ada yang memang.
Sekarang kuharap kau suka maju, atau boleh kau mengajukan pemuda tolol setengah gila tadi untuk menghadapiku, dalam sebuah pertempurah sungguhsungguh! Tetapi, tentu anak bodoh itu tidak berani!"
"Siapa yang tidak berani?" tiba-tiba Cin Hai berteriak.
"Mentang-mentang mukanya hitam, jangan membuka mulut besar!" Terdengar orang-orang tertawa keras karena geli mendengar ini. Muka perwira yang hitam itu menjadi lebih hitam lagi karena darah mengalir ke mukanya.
"Anjing tolol, jangan kau suka berbuat kepada lain orang sesuatu yang kau sendiri tak suka orang lain berbuat kepadamu! Kau datang-datang memaki orang, mengapa kau tidak suka mendengar disebut muka hitam?" Sambil berkata demikian, Cin Hai bangun berdiri hendak menyambut tantangan orang itu, akan tetapi Loan Nio yang duduk di dekatnya lalu memegang pundaknya dan mencegahnya membuat onar lebih jauh.
Tiba-tiba Ang I Niocu berdiri sambil tersenyum. Ia mengangguk kepada Biauw Suthai, lalu menghampiri Kwee In Liang dan bertanya, "Kwee Lo-enghiong, bolehkah aku mewakili Saudara Cin Hai?" Kwee In Liang yang merasa bahwa ia sendiri tidak berdaya, hanya menganggukkan kepala dengan bingung. Setelah mendapat perkenan Kwee In Liang, dengan sekali gerakan kaki tubuhnya, melayang cepat dan tahu-tahu telah berdiri di depan perwira muka hitam tadi. Semua orang memuji keindahan gerakan ini dan perwira muka hitam itu terkejut sekali. Ia maklum bahwa ia menghadapi seorang lawan yang lihai dan tangguh, maka ia tidak berani main-main dan segera menjura dengan hormat.
"Tuan rumah telah berhasil mengumpulkan pembelapembela yang pandai. Bolehkah kiranya aku mengetahui nama Lihiap dan apa hubungan Lihiap dengan Kweeenghiong?"
Ang I Niocu tersenyum dan orang-orang heran mendengar betapa tiba-tiba Ang I Niocu mengucapkan sajak, "Berkawan sebatang pedang Menjelajah ribuan li tanah dan air Tanpa maksud, tiada tujuan, Hanya mengandalkan kaki dan hati.
Kau hendak bertanya nama? Lihat pakaian dan pedang. Dan cari sendiri siapa namaku!"
Perwira itu memikir-mikir sebentar sambil memandang pakaian Ang I Niocu dengan penuh perhatian. Kemudian ia berkata dengan kaget, "Ah, bukankah Lihiap ini Ang I Niocu?"
Ang I Niocu tersenyum manis, dan sekalian orang yang hadir, juga Kwee In Liang, Kwee Tiong dan semua adiknya terkejut sekali. Telah lama nama ini sangat tersohor akan tetepi tak seorang pun pernah menyangka bahwa orangnya sedemikian muda dan cantiknya! "Apakah artinya nama bagi kita? Hal itu tidak ada hubungannya sama sekali dengan pibu yang kita hadapi.
Dan tentang perhubungan dengan keluarga Kwee yang kautanyakan tadi, terus terang saja aku pun hanya seorang tamu biasa bahkan tamu yang tak diundang seperti juga kalian! Akan tetapi, karena maksudku baik aku diterima dengan baik pula, tidak seperti kalian hanya datang mengacau!"
"Maaf, maaf! Tidak tahu bahwa Lihiap adalah Ang I Niocu maka berlaku hormat. Pertempuran ini tak dapat dilanjutkan!" kata Si Muka Hitam.
"Bukan karena aku tidak menghormat Lihiap, akan tetapi karena kami datang khusus untuk mengadu kepandaian dengan keluarga Kwee, maka aku Tan Song takkan mau melayaninya!"
Mendengar kata-kata ini, Ang I Niocu tak berdaya dan ia tak dapat memaksa, maka ia lalu bertindak ke tempatnya semula setelah berkata, "Kalau begitu, masih kuharapkan lain kali kau suka memperlihatkan kepandaianmu yang membuat kau sombong ini, Tanciangkun!"
Tan Siong merasa malu dan marah mendengar sindiran ini, akan tetapi ia memang cerdik dan pura-pura tak mendengar sindiran yang disengaja oleh Ang I Niocu itu.
"Hie, orang she Kwee, bagaimanakah? Apakah kau dan kaum kerabatmu tidak berani menghadapi aku? Mana pemuda gila yang menjadi keponakanmu tadi, suruh ia keluar, jangan sembunyi di dalam pelukan ibunya saja!"
Bukan main hebatnya hinaan ini dan Cin Hai sudah bermaksud hendak bertindak memperlihatkan kepandaian, akan tetapi pada saat itu dari luar berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu seorang pemuda berpakaian seperti seorang sasterawan telah berada di situ. Pemuda ini langsung menuding muka Tan Siong dan berkata, "Manusia sombong yang suka mengacau! Jangan kau menghina Ayahku, aku putera ke lima siap menghadapimu!"
"An-ji..." Kwee In Liang dan Loan Nio berseru hampir berbareng, akan tetapi karena pada saat itu Kwee An sedang menghadapi musuh, maka mereka hanya memandang dengan girang dan juga kuatir. Apalagi Kwee An hanya memiliki kepandaian silat yang masih rendah saja. Hanya saja cara melihat masuknya Kwee An tadi timbul harapan baru dalam hatinya. Ia sendiri yang berkepandaian cukup, hampir tak melihat gerakan Kwee An yang demikian cepat! Cin Hai dengan jelas dapat melihat bahwa ketika masuk tadi, Kwee Ang telah mempergunakan Ilmu Loncat Naga Sakti Mengejar Mustika dan bahwa ilmu loncat ini hanya dapat dilakukan oleh orang yang mempelajari keng-sin-sut atau ilmu berlari cepat dan telah memiliki ginkang tinggi. Maka ia tahu bahwa Kwee An telah mempelajari silat dari orang pandai. Juga Ang I Niocu, Biauw Suthai, Pek I Toanio, dan Lin Lin mengetahui hal ini hingga mereka menjadi girang.
Akan tetapi, Cin Hai adalah seorang yang sangat teliti dan hati-hati. Biarpun maklum bahwa Kwee An memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi ia masih merasa kuatir dan pada saat yang tegang itu, tiba-tiba ia berlari-lari menghampiri Kwee An sambil berteriak,-teriak "Kwee An... Kwee An..."
Kwee An cepat berpaling dan wajahnya yang cakap itu berseri girang melihat Cin Hai. "Cin Hai, engkau juga datang??" Mereka lalu berpelukan karena memang dengan Kwee Ang, semenjak dahulu Cin Hai mempunyai perhubungan yang akrab.
Ketika mereka berpelukan, dengan perlahan sekali Cin Hai berbisik, "Dia mempunyai Pek-mo-jiu."
Akan tetapi dengan suara keras ia berkata, "Kwee An, engkau begini gagah perkasa! Ah, Si Muka Hitam ini sebentar lagi akan bermuka biru!" Setelah berkata demikian, Cin Hai lalu bertindak kembali ke tempat duduknya. Semua orang tertawa mendengar olokoloknya kepada Muka Hitam. Diam-diam Kwee An heran melihat sikap Cin Hai yang ketolol-tololan, padahal bisikan tadi menyatakan bahwa mata Cin Hai tajam sekali. Ia sendiri kalau tidak diberi tahu tentu tak akan tnenyangka, karena memang seorang yang memiliki Pekmo- jiu, tidak nampak dari luar, tidak seperti halnya Hekseejiu atau Ang-see-jiu, karena orang yang memiliki ilmu ini, tangannya hitam atau merah. Pek-mo-jiu atau Tangan Iblis Putih adalah semacam ilmu yang dipelajari dengan melatih tangan dan lengan sedemikian rupa menggunakan bubuk perak putih yang dicampur obatobat kuat dan digosok-gosokkan ke seluruh lengan tangan, juga melatih dengan memukul-mukul bubuk perak kasar hingga kebal dan keras dan memiliki tenaga luar biasa! Pertempuran antara Kwee An dan Tan Song segera dimulai dan dalam beberapa gebrakan saja Cin Hai dapat tahu bahwa Kwee An telah mempelajari ilmu silat dari Kim-san-pai, sebuah cabang persilatan dari Go-bi-san yang mempunyai banyak cabang persilatan itu. Pernah dulu Bu Pun Su memberi tahu kepadanya tentang cabang persilatan ini yang biarpun kurang ternama, akan tetapi sesungguhnya memiliki ilmu silat yang tinggi. Dan sekarang Cin Hai membuktikan sendiri hingga ia merasa girang sekali karena Kwee An yang baik hati dan sederhana itu ternyata memiliki kepandaian silat yang tidak saja lebih tinggi dari Lin Lin, akan tetapi agaknya tak kalah dengan kepandaian Si Muka Hitam ini! Benar saja seperti dugaan Cin Hai semula, Tan Song yang maklum bahwa lawannya yang masih muda ini memiliki kepandaian tinggi dan merupakan lawan yang tangguh, lalu berusaha mencapai kemenangan mengandalkan kedua tangannya yang memiliki tenaga Pek-mo-jiu. Ia mengerahkan tenaga dan kepandaian melancarkan seragan kilat yang dapat membawa maut.
Akan tetapi Kwee An berlaku hati-hati sekali. Ginkang pemuda ini sudah mencapai tingkat tinggi dan ia memiliki ilmu meringankan tubuh yang lebih tinggi daripada lawannya maka ia mempergunakan ginkangnya untuk bergerak ke sana ke mari demikian cepatnya laksana seekor burung kepinis! Orang-orang bersorak gembira melihat pertunjukkan ini, karena pertempuran mereka seakan-akan seekor ular yang mengejar burung yang terlalu gesit dan cepat untuk dapat dicaploknya. Kwee An mengeluarkan ilmu silat Kim-san-pai yang lihai dan balas menyerang dengan totokan-totokan ke arah urat dan jalan darah lawan.
Pernah terjadi kelambatan pergerakan Kwee An yang hampir saja mencelakakan anak muda ini karena Tan Song mempergunakan kesempatan itu untuk mengirim sebuah pukulan maut yang keras ke arah dada Kwee An.
Semua orang terkejut, bahkan Ang I Niocu mengeluarkan seruan tertahan. Kwee An merasa betapa angin pukulan Pek-mo-ciang ini mengiris kulit dadanya, akan tetapi berkat kegesitannya, ia segera melempar diri ke belakang sambil menggerakan kedua kakinya menendang ke depan bergantian. Untung saja ia mempergunakan Ilmu Gerakan Kera Jatuh Dari Cabang ini, karena kalau saja ia tidak mempergunakan gerakan ini dan tidak menendangkan kedua kakinya, tentu lawannya akan menubruk maju dan mengirim serangan ke dua. Cepat sekali Kwee An menggunakan kedua tangan menekan lantai hingga tubuhnya dapat mencelat ke atas kembali dan kini ia menghadapi lawannya yang tangguh dengan lebih hati-hati.
Setelah bertempur seratus jurus lebih, lambat laun Tan Song mulai terdesak. Kwee An yang muda dan bertenaga kuat itu melancarkan serangan-serangan yang terlihai dari Kim-san-pai dan karena cabang persilatan ini memang tak banyak dikenal orang, maka Tan Song menjadi bingung menghadapi gerakan-gerakan yang aneh ini.
Cin Hai merasa gembira sekali dan ia bersorak-sorak gembira sambil berseru-seru "Hayo, Kwee An, hantam terus... hantam terus..." Semua penonton melihat dan mendengar Cin Hai ikut merasa gembira karena mereka ini hampir semua berpihak kepada tuan rumah dan membenci perwira-perwira Sayap Garuda yang terkenal jahat. Kwee In Liang merasa girang sekali melihat bahwa puteranya yang tadinya disangka bodoh dan paling lemah di antara semua puteranya yang lain, ternyata kini datang-datang membawa pulang kepandaian yang sangat tinggi, bahkan mungkin lebih tinggi daripada Lin Lin! Ketika mendapat kesempatan baik, pada saat lawannya terhuyung mundur karena serangan yang datang bertubi-tubi, Kwee An lalu melangkah maju dan memukul dengan tangan kiri ke arah mata lawan. Tan Song cepat mengelak tetapi segera berteriak kaget karena tiba-tiba kaki kanan Kwee An melayang dan menendang lawan yang tidak menyangka dan sedang berada dalam posisi yang lemah itu. Tak ampun lagi dada Tan Song berkenalan dengan ujung sepatu Kwee An dan perwira pendek itu berteriak kesakitan lalu roboh sambil memegangi dadanya! Kawan-kawannya lalu datang menolong dan mengangkatnya ke pinggir.
Kwee In Liang lalu menghampiri Kwee An. Ayah dan anak ini berpelukan. Lalu Kwee An digandeng oleh ayahnya menuju ke tempat duduk Loan Nio dimana Kwee An disambut oleh Loan Nio dengan terharu dan girang. Juga saudara-saudaranya lalu datang menyerbu menghujani pertanyaan dalam suasana gembira. Mereka ini merasa bangga sekali akan kepandaian Kwee An.
"Nah, inilah baru disebut kepandaian aseli," kata Kwee Tiong sambil mengerling ke arah Cin Hai, "diam-diam engkau mengeluarkan tenaga dan dengan jujur engkau mengalahkan orang she Tan yang tangguh itu. Engkau sungguh hebat, An!" Kwee Tiong menepuk-nepuk pundak adiknya dengan wajah bangga sekali.
Pada saat itu perwira ke tiga masuk ke dalam arena adu silat. Perwira ini bertubuh tinggi kurus dan gerakgeriknya lambat tetapi penuh mengandung tenaga sedangkan sepasang matanya tajam berpengaruh.
Melihat sepintas lalu saja Cin Hai dapat mengetahui bahwa orang ini adalah seorang ahli lweekeh yang tangguh. Perwira ini sebenarnya adalah kakak Tan Song dan bernama Tan Bu, sedangkan kepandaian ilmu silatnya masih jauh lebih tinggi daripada Tan Boan Sip.
Tetapi adatnya pendiam dan tidak sombong.
Setelah berdiri di tengah-tengah arena, Tan Bu lalu menjura ke arah Kwee In Liang dan berkata dengan suaranya yang besar, "Kwee-enghiong, puteramu tadi sungguh lihai, kalau kiranya tidak terlalu lelah dan sudi memberi pelajaran kepdaku yang bodoh, aku akan merasa gembira sekali!"
Kwee An hendak maju lagi, tetapi ia ditahan oleh Kwee In Liang.
"Kau terlalu lelah, baru saja datang sudah bertempur dengan musuh tangguh. Kalau sekarang kau maju lagi, maka kau akan terlalu letih. Lebih baik beristirahat dulu."
"Habis siapa yang akan maju melayani perwira itu?" tanya Kwee An.
Tiba-tiba Bhok Ki Sun yang menjadi kawan Kwee In Liang berdiri dan berkata, "Biariah aku yang tua ikut meramaikan pesta ini dan mencoba-coba tenaga." Muka Kwee In Liang berseri. Ia maklum bahwa kepandaian Bhok Ki Sun jago tua dari selatan ini cukup lihai dan lebih tinggi daripada kepandaianya sendiri, maka ia cepat menjura sambil berkata, "Kalau kau sudi membantu, aku merasa berhutang budi besar sekali."
Bhok Ki Sun lalu bertindak maju dan menghampiri Tan Bu. Jago tua yang berpakaian seperti seorang petani sederhana ini lalu menjura dan berkata, "Belum tahu siapa nama Ciangkun dan apakah pendirian Ciangkun sama dengan pendirian Tan-ciangkun bahwa orang luar tidak boleh membantu Tuan rumah? Aku Bhok Ki Sun karena menjadi kawan baik dari Kwee In Liang, maka mengajukan diri untuk melayanimu."
Berbeda dengan Tan Song, Tan Bu ini mempunyai pendirian yang lebih adil, maka ia menjawab, "Aku bernama Tan Bu dan maafkan ucapan adikku yang berpikiran pendek tadi. Kalau Bhok Lo-enghiong hendak turun tangan, aku merasa gembira sekali dan marilah kita bermain-main sebentar!"
Bhok Ki Sun adalah seorang anak murid dari Kun-lunpai, maka ia pun memiliki tenaga lweekang yang cukup sempurna. Setelah keduanya menjura dan saling memberi hormat, pertempuran segera dimulai. Keduanya bergerak lambat-lambatan dan lemas, seperti biasa ahliahli lweekeh bergerak. Akan tetapi setelah beberapa kali beradu lengan dan mendapat kenyataan bahwa pihak lawan sama kuatnya, mereka lalu mempercepat gerakan mereka dan tidak hanya mengandalkan tenaga lweekang semata. Mereka lalu mengeluarkan kecepatan dan kelihaian ilmu silat masing-masing, maka pertempuran segera berubah cepat dan hebat. Dan beberapa puluh jurus kemudian ternyatalah bahwa Bhok Ki Sun bukanlah lawan Tan Bu karena orang tua itu segera terdesak hebat. Ilmu silat Tan Bu benar-benar mengagumkan karena selain sukar diduga, juga mempunyai pecahan dan perubahan gerakan yang banyak sekali macamnya dan yang kesemuanya dilakukan dengan gerak cepat.
Beberapa kali Bhok Ki Sun hampir celaka karena serangan lawan hingga akhirnya ia pikir lebih baik mundur sebelum terluka dalam pertempuran yang sebetulnya lebih bersifat mengukur kepandaian ini.
Dengan gerakan Ikan Hiu Menerjang Ombak Bhok Ki Sun meloncat ke belakang dan berjumpalitan hingga tubuhnya terpental jauh. Ia turun sambil merangkapkan kedua tangannya dan berkata, "Tan-ciangkun, kepandaianmu sungguh luar biasa dan aku Bhok Ki Sun mengaku kalah!" Ia lalu menjura kepada Kwee In Liang sebagai pernyataan maafnya karena tak berhasil membela nama keluarga Kwee.
Pek I Toanio tertarik sekali melihat kepandaian Tan Bu, maka setelah mendapat perkenan dari gurunya, ia lalu maju menggantikan Bhok Ki Sun.
"Ingin sekali aku merasai kelihaian Tan-ciangkun bermain senjata," kata Pek Toanio sambil mencabut pedang di tangan kanan dan mengeluarkan juga sebuah hudtim (kebutan) di tangan kiri. Nyonya baju putih ini memang pernah mempelajari ilmu memainkan hudtim dan pedang dari gurunya.
"Baik, baik. Aku pun telah melihat permainanmu yang lihai tadi dan ingin sekali mencobanya," jawab Tan Bu yang segera mengambil senjatanya, yakni sebatang toya panjang yang ujungnya dipasangi kaitan.
Setelah saling memberi hormat, maka kedua orang ini lalu menggerakkan senjata masing-masing dalam pertempuran, yang jauh lebih hebat dan seru dari pada ketika Tan Bu bertempur melawan Bhok Ki Sun dengan tangan kosong. Sinar pedang Pek I Toanio bergulunggulung dibarengi menyambarnya hudtimnya yang cukup lihai, hingga permainannya mendatangkan pemandangan yang menarik sekali. Akan tetapi permainan toya dari Tan Bu juga mengagumkan, dan berbareng mengerikan.
Toya itu sangat berat dan digerakkan dalam putaran yang demikian cepatnya hingga mendatangkan angin berkesiur yang dirasai oleh semua penonton yang duduk di situ! Baru anginnya saja sudah memiliki tenaga hebat hingga menggerakkan pakaian dan rambut orang di sekitarnya, apalagi jika terkena kemplang toya yang berat dan digerakkan cepat ini! Baru bertempur dalam beberapa belas jurus saja, Pek I Toanio telah maklum bahwa jika ia mengadu tenaga, maka ia tentu akan kalah. Maka ia lalu berkelebat ke sana ke mari menghindarkan diri dari sabetan toya, sambil menggunakan kesempatan-kesempatan baik untuk membalas menusuk dengan pedang atau memukul jalan darah dengan ujung kebutan.
Ketika Tan Bu menggunakan gerak tipu Hing-sauchian- kun atau Serampang Bersih Ribuan Tentara dan tiba-tiba memutarkan toyanya ke arah Pek I Toanio sambil berseru keras, nyonya itu melompat ke atas melewati kepala lawannya. Akan tetapi cepat bagaikan kitiran angin, toya Tan Bu telah mengejar tubuh yang di atas itu dan cepat menusuk ke arah Pek I Toanio! Serangan ini berbahaya sekali hingga semua orang menahan napas. Akan tetapi, Pek I Toanio benar-benar memiliki ginkang yang sempurna. Melihat bahwa serangan lawan ini berbahaya sekali dan baginya tiada waktu lagi untuk berkelit dan untuk menangkis ia akan kalah tenaga maka ia segera memperlihatkan kegesitannya. Ketika ujung toya menyambar ke arahnya, ia mementangkan kaki dan menggunakan ujung kaki kanannya ditotolkan ke ujung toya itu lalu ia mengikuti gerakan toya yang menyerangnya sambil tidak lupa mengebutkan hudtimnya ke arah jalan darah kin-hu-hiat di pundak kanan Tan Bu! Gerakan ini luar biasa indah dan beraninya hingga Tan Bu sama sekali tidak menduga dan pundaknya kena terpukul tertotok oleh ujung hudtim yang tiba-tiba berubah keras, sedangkan tubuh Pek I Toanio terbawa oleh dorongan toya dan mencelat ke atas kepalanya hampir tebentur kepada tiang yang melintang di atas! Pek I Toanio tak kalah kagetnya. Totokannya tadi telah mengenai tempat di tubuh lawan dengan tepat sekali, akan tetapi Tan Bu kelihatan biasa saja seakanakan tak pernah terpukul, apa lagi terluka! Cepat nyonya ini meluncur turun dan ia merasa bahwa melawan terus takkan ada gunanya, karena harus ia akui bahwa kepandaian lawannya dalam memainkan senjata sungguh-sungguh hebat dan lebih tiggi daripada kepandaiannya sendiri. Maka ia lalu menjura dan berkata, "Terima kasih atas petunjuk Ciang-kun."
Tepuk sorak ramai terdengar dari pihak para perwira yang merasa senang sekali betapa dalam dua pertempuran berturut-turut, Tan Bu telah berhasil mengalahkan lawan! Dengan dua kali kemenangan itu, sekaligus Tan Bu telah membersihkan muka mereka dan menebus kekalahan Tan Song tadi.
"He, Kwee In Liang, kalau kau sudah tidak mempunyai jago lain lagi, majukan saja pemuda tolol itu!" Tiba-tiba Boan Sip berseru keras dengan suara menghina. Semua penonton memandang ke arah Kwee In Liang dengan cemas karena setelah kedua jago itu kalah, siapa lagi yang hendak maju? Kwee In Liang tidak berani minta tolong kepada Kwee An. "Sekarang kau, Lin Lin, atau aku sendiri yang maju dan herternpur mati-matian, membela nama kita!"
"Kwee-enghiong, sabar dulu. Biarkan pinni maju menghajar mereka," kata Biauw Suthai, akan tetapi tibatiba Ang I Niocu yang merasa marah sekali mendengar Cin Hai dimaki tolol, segera berdiri dan setelah berkata cepat-cepat tanpa menanti jawaban, "biarkan aku saja yang maju!" lalu sekali melompat tubuhnya telah berada di hadapan Tan Bu! Orang tidak melihat bagaimana ia mencabut pedangnya, akan tetapi tahu-tahu tangan kanan nona itu telah memegang sebatang pedang yang tajam berkilau.
"Manusia sombong yang membuka mulut besar, kau keluarlah dan mari kaurasakan tajamnya pedangku!" katanya sambil menggunakan telunjuk kiri menuding ke arah Boan Sip! Tan Bu maju selangkah dan mengangkat kedua tangan sambil berkata, "Bukankah engkau ini Ang I Niocu? Ah, sudah lama aku mendengar namamu yang besar, maka alangkah beruntungnya hari ini dapat menyaksikan kelihaianmu.
Jangan kauhiraukan Boan-sute yang memang berdarah panas, dan marilah kita mencoba-coba kepandaian!"
Ang I Niocu terpaksa menghadapi Tan Bu.
"Orang she Tan! Sungguh harus disesalkan bahwa orang yang memiliki kepandaian seperti engkau ini telah berlaku sembrono dan mengacau pesta orang lain."
"Ang I Niocu kita sama-sama orang luar dan peduli apa sama segala urusan remeh? Yang terpenting bagi kita sekarang ialah mencoba kepandaian masing-masing pada kesempatan yang baik ini, untuk meluaskan pengetahuan."
"Baiklah, kalau engkau menghendaki demikian. Nah, engkau majulah!" Ang I Niocu lalu membuat gerakan yang indah dan lemah gemulai dengan pedangnya hingga semua penonton bertepuk tangan kagum. Tan Bu maklum akan kelihaian lawan, maka ia segera mendahului, dan mengirim serangan kilat dengan toyanya yang hebat. Akan tetapi, dengan menari indah Ang I Niocu mudah saja menghindarkan diri dari serangan dan menghadapi lawan tangguh ini dengan tenang dan dengan tarian indah sekali hingga keduanya merupakan dua orang mahluk yang sangat berbeda.
Para penonton merasa kagum sekali dan belum pernah seumur hidupnya mereka menyaksikan seorang gadis cantik menghadapi ilmu silat toya yang ganas itu dengan hanya menari-nari, akan tetapi sedikit pun tidak kena terpukul! Tidak hanya para penonton yang kurang paham ilmu silat, bahkan Lin Lin, Pek I Toanio, Kwee An, dan yang lain memandang dengan melongo dan kagum.
Juga Biauw Suthai nampak mengangguk-anggukkan kepala sambil menggunakan sebelah matanya memandang dengan penuh perhatian.
Akan tetapi kegembiraan mereka tercampur kekuatiran karena ilmu toya Tan Bu benar-benar hebat dan dahsyat. Perwira yang kosen ini karena tahu bahwa kepandaian Ang I Niocu sangat tinggi dan lihai, lalu mengeluarkan ilmu toyanya yang paling hebat dan berbahaya, jauh lebih hebat dari pada ketika ia menghadapi Pek I Toanio tadi. Oleh karena ini diam-diam Ang I Niocu merasa terkejut juga dan tak pernah disangkanya bahwa sebenarnya Tan Bu memiliki kepandaian ilmu toya setinggi ini. Ia bertempur dengan hati-hati sekali dan selama itu belum pernah membalas dengan desakan, hanya mempertahankan diri sambil memperhatikan dan mempelajari gerakan lawan.
Melihat keragu-raguan Ang I Niocu ini, Cin Hai merasa tidak puas sekali. Dia yang telah mempunyai pengertian pokok rahasia segala macam ilmu silat, telah memiliki pemandangan tajam dan tahu bahwa gerakan-gerakan toya Tan Bu sebenarnya hanyalah ganas dan dahsyat karena toya itu selain berat, juga orang she Tan itu memiliki tenaga besar dan kalau saja Ang I Niocu mengeluarkan kegesitannya, maka Nona Baju Merah itu tak akan sukar mengalahkan lawannya. Oleh karena itu, maka diam-diam Cin Hai lalu mengeluarkan sulingnya.
Lin Lin yang duduk tidak jauh dari Cin Hai, dan semenjak tadi seringkali mengerling ke arah pemuda yang sangat menarik hatinya itu, menjadi kaget dan heran, lalu tak dapat ditahan lagi mengajukan pertanyaan, "Eh, Engko Hai, mengapa kaukeluarkan sulingmu pada saat seperti ini?" Ia bertanya sambil tersenyum geli.
Cin Hai juga tersenyum dan jawabannya menghilangkan senyum gadis yang menjadi sangat terheran itu ketika mendengar Cin Hai berkata, "Aku meniup suling untuk mengiringi tarian Niocu."
Sebelum Lin Lin dapat bertanya lanjut, Cin Hai telah meniup suling maka tiba-tiba terdengarlah tiupan suling yang merdu di ruangan itu. Semua orang menjadi heran sekali dan Kwee Tiong memandang kepada Cin Hai dengan marah. Ia anggap pemuda ini benar-benar tolol dan tidak pantas menyuling! Ia melangkah maju dan hendak melarang Cin Hai menyuling, akan tetapi Lin Lin memandang kepada Kwee Tiong dengan mata dilebarkan dan berkata, "Engko Tiong, biarkan saja dan jangan ganggu dia!"
Kwee Tiong merasa mendongkol sekali, akan tetapi semenjak adik perempuannya ini kembali membawa kepandaian yang tinggi, ia tunduk dan tidak berani melawan. Ia hanya memandang dengan mata marah kepada Cin Hai yang masih menyuling dengan asyiknya.
Akan tetapi, tiba-tiba ketika suara suling Cin Hai makin keras, nyaring dan meninggi, terdengar seruan-seruan orang menyatakan terkejut dan kagum. Ketika Kwee Tiong memandang kepada mereka yang bertempur, ia pun menjadi silau karena ternyata tubuh Ang I Niocu telah lenyap dan kini gadis itu berubah bayang-bayang merah yang berkelebat ke sana ke mari dengan luar biasa sekali! Lin Lin memandang kagum dan diam-diam ia memuji ilmu pedang yang tiada taranya dalam hal keindahan itu. Juga, Biauw Suthai merasa kagum dan diam-diam nenek tua yang lihai ini mengerling ke arah Cin Hai. Ia tahu bahwa suara suling itu tepat sekali mengiringi semua gerakan Ang I Niocu dan seakan-akan suara suling itulah yang menuntun dan membuat gerakan Dara Baju Merah itu menjadi demikian luar biasa! Oleh karena ini, diam-diam nyonya tua ini memperhatikan Cin Hai dan timbul dugaan di dalam hatinya bahwa pemuda ini hanya berpura-pura tolol, tetapi sebetulnya berkepandaian tinggi! Memang sebetulnya Ang I Niocu masih melayani lawannya dengan gerakan hati-hati sekali, tiba-tiba ia mendengar suara suling yang ditiup Cin Hai. Tiba-tiba hatinya berdebar girang dan timbul semangatnya. Suara suling itu baginya mempunyai pengaruh seakan-akan orang yang minum arak baik dan rasa hangat menjalar di seluruh tubuhnya dan membuat semangatnya bernyalanyala.
Ia lalu tersenyum manis dan tiba-tiba gerakan pedangnya berubah. Alangkah terkejutnya Tan Bu ketika melihat perubahan ini karena gerakan yang tadinya halus dan lemah gemulai dan hanya mengandalkan kelincahan tubuh dan kelemahan gerakan untuk menghindari serangannya, kini berubah menjadi ganas dan cepat laksana kilat menyambar! Kini Dara Baju Merah itu dengan sinar pedangnya melakukan serangan yang hebat, dan ia merasa betapa sinar pedang lawan ini mengurungnya dari segala jurusan hingga matanya menjadi kabur. Akan tetapi Tan Bu bukanlah orang lemah, dan ia memutar toyanya sedemikian rupa hingga toya ini merupakan benteng baja yang kuat dan yang melindungi seluruh tubuhnya! Suara suling yang ditiup Cin Hai makin meninggi dan nyaring, maka makin cepat pulalah gerakan pedang Ang I Niocu hingga pada suatu saat terdengar suara kain terobek dan tiba-tiba Tan Bu melompat tinggi dan jauh.
Bajunya telah terobek ujung pedang dari dada sampai ke lengan, akan tetapi hanya mendapat luka kulit saja di bagian lengannya yang mengeluarkan darah dan terasa perih.
"Ang I Niocu, sungguh kau benar-benar gagah dan nama besarmu bukan omong kosong belaka!" Tan Bu memuji dan mengundurkan diri ke tempat kawankawannya di mana ia membalut lukanya setelah memberi obat.
Ang I Niocu setelah menyinipan kembali pedangnya, lalu dengan senyum lebar kembali ke tempat duduknya, di mana ia disambut oleh keluarga Kwee dengan pujian dan ucapan terima kasih.
"Niocu tarianmu hebat sekali!" kata Cin Hai tertawatawa.
"Hai-ji, terima kasih atas doronganmu dengan suling tadi," jawab Ang I Niocu sambil memandang wajah Cin Hai dengan senyum mesra.
Diam-diam Lin Lin memperhatikan mereka berdua ia heran sekali mengapa dada kirinya merasa tidak enak melihat betapa mesra pandangan mata Ang I Niocu kepada Cin Hai dan betapa akrab hubungan mereka berdua. Akan tetapi ia heran sekali mendengar sebutansebutan mereka. Ang I Niocu menyebut Cin Hai dengan sebutan Hai-ji atau anak Hai! Sebetulnya, sampai di manakah hubungan kedua orang ini? Ia belum mendapat kesempatan untuk bicara banyak dengan Cin Hai.
Pada saat itu dari pihak perwira Sayap Garuda, perwira ke empat maju sambil mengangkat dada dan berkata, "Kami harus mengakui bahwa saudara kami Tan Bu telah dikalahkan oleh kepandaian Ang I Niocu yang benar-benar lihai. Sekarang aku yang bodoh hendak minta pengajaran dari keluarga Kwee yang gagah perkasa, dan kalau di antara keluarga Kwee tidak ada yang berani maju, barulah aku terpaksa melayani orangorang luar yang membela Kwee-enghiong!"
Perwira ke empat ini bernama Un Kong Sian dan kepandaiannya sangat tinggi karena sebenarnya ia adalah saudara termuda dari Santung Ngo-hiap atau Lima Jago Dari Santung yang kesemuanya kini menjadi perwira-perwira, kelas tertinggi di kota raja! Un Kong Sian ini bertubuh tinggi besar dan selain memiliki tenaga ginkang dan lweekang yang mengagumkan, ia juga memiliki tenaga gwakang yang mengagumkan. Di kota raja Un Kong Sian dan kakak-kakak seperguruan mendapat tugas melatih para perwira lain, hingga beleh dibilang bahwa ia menjadi seorang di antara guru-guru para perwira di kota raja. Oleh karena ini, maka dapat dibayangkan bahwa kepandaiannya tentu jauh lebih tinggi daripada yang lain-lain. Adapun Ma Ing, perwira ke lima yang menjadi suhengnya, adalah orang ke empat dari Santung Ngo-hiap, dan tentu saja kepandaian Ma Ing ini lebih tinggi daripada kepandaian Un Kong Sian.
Hanya ada sedikit perbedaan di antara kedua perwira tinggi ini. Un Kong Sian lebih memiliki kehebatan tenaga dan kekebalan, sebaliknya Ma Ing terkenal memiliki ilmu silat tinggi, permainan sepasang pedang yang hebat, dan kepandaian mempergunakan senjata rahasia mahir sekali.
Mendengar betapa Un Kong Sian menantang keluarga Kwee, Kwee An tak dapat menahan sabarnya dan ia lalu melompat maju sebelum dapat didahului orang lain, "Biarlah aku yang muda dan tak tahu diri melayanimu," kata Kwee An dengan tenang.
Un Kong Sian telah melihat kepandaian Kwee An dan ia merasa sayang kepada pemuda yang sopan santun dan halus budi bahasanya ini maka ia berkata sambil tertawa, "Anak muda, biarpun harus diakui bahwa engkau adalah murid seorang pandai, akan tetapi kepandaianmu belum matang dan jangan engkau sia-siakan jiwamu menghadapi aku."
Un Kong Sian adalah orang yang mempunyai kebiasaan bicara terus terang dan kasar maka katakatanya seringkali menyakiti hati orang. Kali ini ucapannya tentu saja membuat Kwee An menjadi merah telinganya. Ia dipandang ringan sekali, maka sambil tersenyum ia pun menjawab, "Terima kasih atas rasa sayangmu kepadaku, akan tetapi jiwaku yang tak berharga ini memang telah kusediakan untuk membela nama Ayahku. Sudahlah, kalau engkau memang memiliki kepandaian tinggi, keluarkan kepandaianmu itu hendak kulihat bagaimana hebatnya!"
"Ha, ha! Engkau pemberani, juga, anak muda. Akan tetapi kalau nanti engkau terluka, jangan salahkan aku!"
Sehabis berkata demikian, Un Kong Sian lalu melempar jubah luarnya dan tampaklah kedua lengan tangan yang besar berurat dan yang berkekuatan luar biasa besarnya.
"Nah, majulah, anak muda!" kata Un Kong Sian.
"Biarlah engkau berkenalan dengan kepandaian Un Kong Sian!"
Mendengar nama ini, diam-diam Biauw Suthai terkejut dan memperhatikan karena ia kenal nama ini sebagai saudara termuda dari Santung Ngo-hiap, maka tentu saja kepandaian orang ini sangat tinggi. Diam-diam ia menguatirkan keadaan Kwee An dan tak terasa lagi ia berkata kepada Cin Hai yang duduknya tidak jauh dari tempatnya, "Un Kong Sian itu adalah ahli gwakang yang tinggi ilmu silatnya! Engkau carilah akal supaya Kwee-kongcu suka mengundurkan diri sebelum mendapat celaka!"
Ternyata bahwa kalau lain-lain orang yang memiliki sepasang mata dapat ditipu oleh Cin Hai dan menganggap bahwa pemuda itu betul-betul tolol, adalah Biauw Suthai yang hanya memiliki sebuah mata saja segera dapat mengetahui bahwa Cin Hai adalah seorang pemuda yang banyak akalnya, maka sekarang ia minta kepada pemuda itu untuk mencegah Kwee An menghadapi Un Kong Sian! Tiba-tiba setelah mendengar ucapan Biauw Suthai, Cin Hai berlari-lari sambil memegang sulingnya ke arah arena pertempuran dan pada saat itu Un Kong Sian dan Kwee An telah saling berhadapan dan hampir bergebrak.
"Mengetahui kepandaian lawan lebih dahulu baru melayani bertempur bukanlah tindakan gagah berani, tetapi hanya kelakuan seorang yang licin dan curang!" kata Cin Hai sambil menuding Un Kong Sian dengan sulingnya. "Hanya Co Cho saja yang mempunyai kelicinan dan kecurangan seperti itu!!" Co Cho yang dimaksud oleh Cin Hai itu adalah seorang tokoh cerita Sam Kok yang terkenal curang dan licin hingga banyak orang membenci dan menghinanya, walaupun Co Cho adalah seorang yang terlalu cerdik.
Un Kong Sian menunda niatnya hendak menyerang Kwee An. Memang ia merasa benci dan mendongkol kepada Cin Hai karena gangguan tadi, maka ia lalu memandang dengan dipelototkan.
"Pemuda tolol! Gangguan apa lagi yang hendak engkau lakukan terhadapku?" bentaknya. "Lekas engkau menyingkir sebelum kepalamu kuhancurkan!"
"Memang kau licin, lebih licin daripada Co Cho!" Cin Hai menyindir lagi, sedangkan Kwee An memandang kepada Cin Hai dengan tidak mengerti dan heran.
"Bangsat tolol, mengapa kau menyebut aku licin dan curang?" bentak Un Kong Sian.
"Engkau sudah melihat sampai di mana tingkat kepandaian Kwee An akan tetapi kami semua belum melihat tingkat kepandaianmu. Ini berarti sebuah kemenangan bagimu, karena kau dapat mengukur sampai di mana kepandaian lawanmu. Kalau kau memang gagah dan adil kau harus memperlihatkan dulu kegagahan dan tenagamu. Kalau kau bisa meniru perbuatanku barulah kau ada harga untuk melayani Kwee An yang gagah perkasa. Kalau tidak bisa, kau boleh pulang saja jangan mencoba mencari penyakit!"
Semua orang yang hadir kali ini dibikin tercengang dan heran karena sungguh-sungguh mereka tidak mengerti maksud Cin Hai.
"Anak bodoh! Kau mempunyai kebisaan apakah? Coba perlihatkan, tentu aku sanggup meniru dengan baik lagi!"
Cin Hai lalu meniup sulingnya sebentar, lalu berkata, "Nah, kau bisa tidak meniru kepandaianku tadi?"
Semua orang tertawa geli melihat kebodohan yang tolol ini, sedangkan Un Kong Sian marah sekali sampai membanting-banting kaki.
"Tolol! Kepandaian meniup suling saja apakah artinya? Aku tidak sudi menirunya. Kalau kau memperlihatkan demonstrasi atau ilmu silat, baru aku mau menirunya."
"Ha, ha, agaknya kau bertenaga seperti kerbau jantan! Baik, baik, coba keluarkan senjatamu!"
Biarpun merasa heran, akan tetapi Un Kon Sian lalu pergi mengambil senjatanya, yaitu sebuah toya yang beratnya lebih dari seratus kati. Inilah senjata perwira she Un yang benar-benar hebat itu.
"Nah, ini senjataku, kau mau apa?" bentaknya.
"Aku akan mainkan senjata ini dan kau boleh mencoba untuk menirunya," kata Cin Hai dengan gagah, lalu dengan sikap dibikin-bikin ia menerima toya besar dan hebat itu, mengangkat dengan kedua tangan dan mempergunakan sikap seakan-akan ia hampir tidak kuat mengangkat toya itu. Semua orang tertawa geli dan Kwee An memandang dengan wajah pucat. Tak ia sangka bahwa Cin Hai setolol ini.
"Celaka, budak tolol itu kali ini benar-benar membikin malu kita!" kata Kwee Tiong dengan mendongkol sekali.
Tetapi Cin Hai lalu memutar toya itu beberapa kali dan aneh! Ketika ia memutar toya itu, terdengarlah suara mengaung yang hebat. Setelah Cin Hai menghentikan putaran toya dan mengembalikannya kepada Un Kong Sian dengan napas terengah-engah, maka berhentilah suara mengaung itu.
"Nah, coba kautiru perbuatanku tadi. Hendak kulihat apakah tenagamu sebesar tenagaku!" Kembali semua orang tertawa, akan tetapi mereka masih merasa heran mengapa Cin Hai dapat memutar toya sampai mengeluarkan suara mengaung, padahal baru mengangkat saja sudah hampir tidak kuat. Sebenarnya, dengan diam-diam Cin Hai menyembunyikan sulingnya di belakang toya dan ketika ia memutar toyanya, dengan khikang yang tinggi ia meniup ke arah lubang suling itu hingga menerbitkan suara mengaung.
Un Kong Sian menerima toyanya dan memutarnya begitu cepat hingga mendatangkan angin keras, akan tetapi mana bisa toya itu mengaung seperti suling ditiup! Paling hebat toya itu hanya mengeluarkan suara mengiuk saja.
"Aha, engkau kurang kuat, sobat! Engkau tidak bisa memutar toyamu sampai mengeluarkan angin mengaung!"
"Bangsat tolol!" Un Kong Sian marah sekali, lalu ia gunakan tenaganya menancapkan toyanya yang berat itu ke lantai, dan toya itu menancap sampai setengahnya di lantai yang keras itu! "Lihatlah tenagaku dan siapa yang dapat mencabut toya ini, barulah berharga melayani aku!" Kwee An terkejut sekali melihat kehebatan tenaga gwakang ini dan inilah yang dimaksudkan oleh Cin Hai.
"Aha, benar-benar engkau hebat, Un-ciangkun.
Engkau seperti Thio Hwie!" Thio Whie adalah seorang tokoh yang gagah dan kuat sekali dalam cerita Sam Kok.
"Di dalam ruangan ini hanya satu orang saja yang dapat menandingi engkau dan orang itu bukanlah Kwee An yang masih muda belia ini!"
"Cin Hai, engkau mundurlah. Biarpun Un-ciangkun kuat dan gagah, aku yang bodoh masih akan mencoba minta pelajarannya," kata Kwee An dengan berani karena anak muda ini tentu saja tidak sudi memperlihatkan rasa jerih terhadap lawannya.
"Nah, mundurlah pemuda tolol! Kwee-kongcu ini jauh lebih berani dan gagah daripada engkau yang hanya pandai bicara dan mengacau!" kata Un Kong Sian.
"Eh, eh mana bisa! Engkau sudah berkata bahwa yang bisa mencabut toya inilah yang hendak engkau layani."
"Akan kucoba untuk mencabutnya!" Kata Kwee An sambil melangkah maju. Cin Hai menjadi bingung dan sibuk. Celaka, tak disangkanya bahwa Kwee An sekeras itu hatinya dan ia percaya Kwee An pasti akan dapat mencabut toya itu. Maklum akan peringatan Biauw Suthai dan tahu pula betapa bahayanya bagi Kwee An menghadapi orang she Un ini, karena orang she Un ini mempunyai muka yang membayangkan kekejaman, tanda bahwa hatinya telengas sekali, maka jika mereka bertempur, banyak bahayanya Kwee An akan terluka atau terbunuh! Ia lalu melangkah maju dan berkata, "Nanti dulu! Aku tadi telah berkali-kali dihinanya, biarkan aku mencoba dulu untuk mencabut toya ini! Apa sih susahnya mencabut kayu gapuk ini?"
Dengan lagak dibuat-buat Cin Hai menghampiri toya itu, sedangkan Un Kong Sian lalu melangkah mundur dan memandang dengan mata menghina dan kedua lengan tangan bersilang. Cin Hai pura-pura mengerahkan tenaga mencabut. Akan tetapi, jangan kata tercabut, tergoyang pun tidak toya itu. Semua orang yang menonton tertawa geli dan kini mereka mentertawakan Cin Hai yang mukanya menjadi pucat. Sebenarnya, Cin Hai betul-betul telah mengerahkan tenaga, akan tetapi tenaga lweekang yang disalurkan di kedua tangannya, hingga diam-diam tanpa diketahui siapa pun ia telah dapat mematahkan ujung toya yang terpendam di lantai.
Ia lalu bangun dan menjura kepada Un Kong Sian.
"Tenagamu betul-betul hebat. Aku tidak kuat mencabut!" katanya sambil terengah-engah.
Kwee An merasa malu sekali melihat sikap Cin Hai.
Dengan penasaran ia hendak mencuci malu di pihaknya yang ditimbulkan oleh Cin Hai. Ia melangkah maju dan membetot toya itu. Alangkah hebatnya ketika ia dapat membetot keluar toya itu tanpa banyak mengeluarkan tenaga.
Tepuk sorak riuh menyambut kejadian ini dan semua orang memuji tenaga Kwee An yang dianggap luar biasa dan besar sekali, sedangkan Un Kong Sian juga memandang pucat. Tak mungkin pemuda itu memiliki tenaga sedemikian hebatnya. Juga Cin Hai bertepuktepuk gembira sambil tertawa dan sama sekali tidak menghiraukan pandangan mata Kwee An yang menyelidik dan ditujukan kepadanya dengan penuh kecurigaan.
Tiba-tiba Un Kong Sian mengangkat kedua tangannya ke atas dan merampas toyanya lalu mengangkat tinggitinggi.
"Cuwi sekalian lihatlah! Kwee-kongcu ini tidak mencabut keluar toyaku, akan tetapi ia telah mematahkannya! Tentu saja hal ini tidak aneh."
Kwee An tercengang lagi. Ia sama sekali tidak mematahkan toya itu, tetapi benar saja, ketika ia memandang, ternyata bahwa ujung toya itu telah patah.
Kini ia dapat menduga bahwa sengaja Cin Hai mencegahnya bertempur melayani orang she Un ini.
Akan tetapi, benarkah Cin Hai demikian lihai, dan apa maksudnya bertempur melawan Un Kong Sian? "Betul, betul!" kata Cin Hai dengan suara keras.
"Ujung toya itu telah patah. Terang bahwa Kwee An tidak dapat mencabut toya itu, maka tidak pantas melayanimu.
Ada orang lain yang lebih tepat menghajarmu."
Bukan main marahnya Un Kong Sian karena toyanya telah patah. "Siapa dia? Suruh maju lekas!" bentaknya.
"Sabarlah orang she Un. Kalau kau mencari lawan, pinni bersedia melayanimu!" Dan tahu-tahu Biauw Suthai telah berada di situ. Cin Hai cepat membetot tangan Kwee An dan dibawa pergi dari situ.
"Aku hanya melakukan perintah Biauw Suthai." bisik Cin Hai menjawab pandangan mata Kwee An yang penasaran dan curiga kepadanya.
Sementara itu, ketika melihat seorang tokouw yang berwajah buruk dan mengerikan berdiri di depannya, Un Kong Sian lalu merangkapkan kedua tangan dan bertanya, "Siapakah Toa-suthai yang hendak memberi pelajaran kepadaku?"
"Orang-orang memanggilku Biauw Suthai." Diam-diam hati Un Kong Sian berdebar karena ia telah mendengar nama besar Biauw Suthai, akan tetapi ia sama sekali tidak merasa jerih.
"Kebetulan sekali. Telah lama aku mendengar nama Biauw Suthai yang tersohor dan ingin sekali merasai kelihaiannya. Tidak tahu Suthai hendak bertempur dengan tangan kosong atau dengan senjata?"
"Toyamu telah patah, maka tidak adil kalau pinni mengajak kau bermain senjata."
"Bagus, kalau begitu marilah kita menguji kepandaian tangan!" Tanpa banyak cakap lagi Un Kong Sian lalu maju menyerang dan kedua tokoh persilatan yang memiliki kepandaian tinggi itu segera bertempur dengan seru.
Dalam hal ilmu silat, Biauw Suthai memiliki kepandaian yang tinggi sekali dan pengalaman pertempuran yang luas, akan tetapi terhadap Un Kong Sian yang memiliki tenaga hebat itu, ia telah bertemu dengan tandingannya.
Gerakan pukulan kedua orang ini mendatangkan angin dan membuat para penonton menahan napas. Juga Cin Hai tidak berani berjenaka lagi karena ia maklum betapa kepandaian kedua orang itu benar-benar hebat dan masing-masing menghadapi lawan yang berat sekali.
Setelah bertempur puluhan jurus, Biauw Suthai yang lihai itu telah dapat memukul dua kali kepada pundak dan dada lawannya, akan tetapi kekuatan tubuh Un Kong Sian demikian hebat hingga perwira itu hanya terhuyung saja dan terus nekad menyerang lagi. Cin Hai merasa terkejut karena ia maklum bahwa biarpun di luar tidak kelihatan terluka parah dikarenakan kekebalan orang itu, akan tetapi pukulan Biauw Suthai yang disertai tenaga lweekang ini tentu telah mendatangkan luka di sebelah dalam.
Juga Biauw Suthai merasa sangat penasaran. Ia gemas sekali melihat kenekatan orang yang sudah terang mendapat luka, maka ia lalu menyerang makin hebat.
Pada suatu saat, ketika Biauw Suthai mendapat kesempatan baik, tokouw itu lalu menggunakan jari tangannya menotok ke arah iga kiri Un Kong Sian, akan tetapi alangkah terkejutnya ketika lawannya itu sama sekali tidak menangkis atau berkelit, bahkan berbareng pada saat itu juga membalas menyerang dengan pukulan Ular Putih Menyambar Burung! Pukulan tangan kanan Un Kong Sian dengan hebatnya mengarah leher Biauw Suthai.
Gerakan kedua orang ini cepat sekali hingga tak mungkin dihindarkan lagi. Biauw Suthai memiringkan tubuh hingga totokannya tidak mengenai tepat, juga pukulan Un Kong Sian meleset dan mengenai pundaknya.
Akan tetapi pukulan kedua orang ini cukup hebat untuk membuat keduanya terpental mundur. Biauw Suthai dapat berdiri tegak lagi dengan napas memburu dan wajah pucat, sedangkan Un Kong Sian terhuyung-huyung ke belakang sambil tertawa seram, kemudian ia roboh sambil memuntahkan darah.
Kawan-kawan Un Kong Sian segera maju dan menggotong perwira ini, sedangkan Lin Lin cepat meloncat menghampiri dan menuntun gurunya kembali ke tempat duduknya. Tokouw ini lalu mengeluarkan sebungkus obat putih dari saku bajunya dan minum obat itu dengan segelas air. Kemudian tokouw yang baik budi ini mengeluarkan tiga butir pil merah dan menyuruh Cin Hai memberikan pil itu kepada Un Kong Sian.
Akan tetapi pemberian obat itu ditolak oleh Ma Ing yang sudah menyediakan obatnya sendiri guna sutenya, kemudian Ma Ing dengan muka merah karena marah maju ke kalangan.
"Di pihak kami hanya aku seorang. Hayo kau keluarkan jago-jagomu, Kwee-enghiong, dan kita sudahi adu kepandaian ini!"
Kwee In Liang menjadi bingung sekali. Ia maklum bahwa kepandaian Ma Ing ini tinggi sekali dan setelah Biauw Suthai terluka, siapa lagi yang diharapkan bantuannya untuk menghadapi Ma Ing? Ma Ing agaknya tahu pula pihak keluarga Kwee sudah kehabisan jago maka dengan sombongnya ia berkata, "Kalau di pihak tuan rumah tidak ada jago yang berani menghadapi aku seorang diri, boleh kamu semua maju berbareng. Boleh kalian lihat aku Ma Ing seorang diri cukup untuk melayani kamu sekeluarga!"
Biarpun kepandaian Kwee Tiong dan adik-adiknya belum tinggi, akan tetapi mendengar ucapan sombong ini, sambil berseru keras mereka meloncat maju berbareng! Kwee Tiong, Kwee Sin, Kwee Bun, Kwee Siang sambil memegang pedang maju dan serentak menyerang tanpa dapat dicegah lagi! Ma Ing mengeluarkan suara menghina dan sekali tubuhnya bergerak, sepasang tangan dan kakinya menendang dan dalam beberapa gebrakan saja empat batang pedang di tangan Kwee Tiong dan adik-adiknya terpental ke atas lantai! Dengan kaget sekali Kwee Tiong dan adik-adiknya melompat mundur sambil memegangi tangan mereka yang kena pukulan dan tendangan! "Ha-ha-ha-ha! Segala tikus kecil berani mengganggu kumis macan?" Ma Ing menyindir.
Sikap dan kata-katanya yang sombong ini memanaskan hati Ang I Niocu dan Kwee An. Kedua orang ini tanpa berjanji lebih dulu, tahu-tahu meloncat berbareng dan dengan pedang di tangan mereka berdua menyerang Ma Ing! Ma Ing lalu mencabut pedangnya dan bertempurlah tiga orang ini. Menghadapi keroyokan Kwee An dan Ang I Niocu yang memiliki kiam-hoat bagus itu, Ma Ing tidak berani main-main dan melayani dengan sengit dan sebentar saja ia dapat mendesak kedua anak muda! Kwee Tiong dan adik-adiknya kembali ke tempat semula dan Kwee Tiong merasa marah dan sebal melihat betapa Cin Hai memandannya dengan tersenyum dan betapa pemuda itu dengan enaknya duduk memegangmegang sulingnya! Orang lain sibuk melayani musuh, akan tetapi pemuda tolol itu hanya tersenyum mentertawakannya.
"Kenapa kau tertawa?" tegurnya.
"Aku kagum melihat kelihaian orang she Ma itu yang dengan sekali bergerak saja dapat merampas pedang kalian berempat!" jawab Cin Hai.
Kwee Tiong marah sekali dan kalau ia tidak ingat bahwa di situ banyak orang, tentu ia sudah mengirim kepalannya ke arah Cin Hai. "Kau sendiri orang tolol hanya duduk diam dan kalau bergerak hanya menimbulkan malu, coba lihat Kwee An. Ia pantas sekali bertempur bersama Nona itu melayani musuh. Tidak seperti engkau! Engkau tentulah menjadi pelayan dari Ang I Niocu, bukan?"
"Tiong-ko, jangan kau menghina orang!" Lin Lin menegur kakaknya sambil mendekati Cin Hai. "Engko Hai, Ang I Niocu dan Engko An terdesak, apa daya kita?"
Cin Hai memandang kepada Lin Lin dengan senyum manis. "Adikku yang baik, apakah kau ingin melayani orang she Ma itu?"
Lin Lin mengerutkan alisnya yang bagus. Ia sungguh tidak segera mengerti maksud kata-kata Cin Hai ini. "Ah, sedangkan Ang I Niocu dan Engko An yang memiliki kepandaian tinggi masih terdesak olehnya, apalagi aku! Kulihat kepandaian orang she Ma itu tidak di sebelah bawah guruku!"
Cin Hai bangun dari duduknya. "Lin-moi, kausiapkan pedangmu dan mari kau kuantar melawan orang she Ma itu. Kalau kau tidak dapat merobohkannya jangan kaupanggil aku Engko Hai lagi!" kata-katanya disertai senyum mesra kepada gadis yang masih memandangnya dengan mata terbelalak. "Lin Lin benarkah kau tidak percaya kepadaku?" tanya Cin Hai sungguh-sungguh.
"Aku percaya kepadamu, Hai-ko. Mari kita maju!"
Lin Lin dan Cin Hai lalu maju ke kalangan pertempuran.
"Niocu! Saudara Kwee! Kalian mundurlah biar aku dan Adik Lin Lin menggantikanmu!"
Mendengar kata ini, Ma Ing menunda serangannya karena heran sekali mendengar bahwa pemuda tolol itu hendak maju. Dan kesempatan ini digunakan oleh Ang I Niocu dan Kwee An untuk melompat mundur ke belakang.
"Hai-ji, ia lihai sekali, jangan kau main-main!" kata Ang I Niocu kepada Cin Hai.
"Lin Lin dia bukan lawanmu!" kata Kwee An memperingatkan Lin Lin.
Akan tetapi, baik Cin Hai maupun Lin Lin tidak mempedulikan peringatan ini. Lin Lin mencabut pedangnya dan maju bersama-sama Cin Hai yang memegang sulingnya.
"Eh orang she Ma! Apa kau berani menghadapi aku dan Kwee-siocia ini?"
"Ha, ha, ha! Orang tolol! Kau agaknya sudah bosan hidup! Ingat, kali ini aku tidak mau mengampuni kau pengacau ini. Majulah! Jangankan baru kalian berdua, biar kau tambah seratus orang lagi, aku Ma Ing takkan gentar."
"Nah, kau bersiaplah!" kata Cin Hai dan ia menggerakkan sulingnya dengan sembarangan menusuk ke arah dada Ma Ing! Ma Ing segera melangkah mundur dan tertawa bergelak-gelak.
"Kau bersenjata suling? Ha, ha! Ah, kau benar-benar sudah gila, anak muda. Tukarkan senjatamu dengan pedang atau lain senjata tajam."
"Tak usah, orang sombong. Aku tak akan melukaimu karena yang akan menyerangmu hanya Kwee-siocia ini, aku hanya menghalangi serbuanmu saja untuk apa menggunakan senjata tajam?"
Tidak hanya Ma Ing, akan tetapi semua orang yang berada di situ menggeleng-gelengkan kepala karena menyangka bahwa benar-benar Cin Hai sudah gila! Hanya Biauw Suthai seorang yang berkata kepada Kwee Tiong yang membanting-banting kaki melihat lagak Cin Hai, "Kwee-kongcu, kau tenanglah karena sekarang Ma Ing benar-benar akan kehilangan muka!" Kwee Tiong heran sekali mendengar kata-kata ini akan tetapi terhadap guru Lin Lin ini tidak berani banyak cakap.
"Cuwi sekalian, semua orang hendaknya menjadi saksi bahwa pemuda gila ini mencari matinya sendiri. Aku takkan mengganggu Kwee-siocia akan tetapi kalau hari ini aku tak dapat membunuh anak gila ini, janganlah orang memanggil namaku Ma Ing lagi!" Setelah berkata demikian, Ma Ing lalu menyerang dengan pedangnya dan benar saja, ia menujukan serangannya yang hebat itu kepada Cin Hai dengan sebuah tusukan kilat ke arah dada pemuda itu! Semua orang menjerit ngeri karena telah terbayang di depan mata betapa dada Cin Hai akan tertembus pedang, akan tetapi Cin Hai juga menjerit, "Aya..." sambil menggunakan gerakan Monyet Jatuh Dari Cabang, tubuhnya terhuyung ke belakang dengan gerakan canggung, akan tetapi tubuhnya terluput dari pada tusukan pedang. Sambil terhuyung-huyung ini Cin Hai berkata, "Wah, galak... galak...! Lin-moi, lekas kau serang dia!"
Lin Lin tak perlu diperintah lagi karena melihat desakan Ma Ing kepada Ciri Hai, ia sudah merasa khawatir sekali dan cepat mengirim serangan dengan pedangnya. Ma Ing hendak menangkis akan tetapi tibatiba Cin Hai meniru gerakannya tadi dan menusuk ke arah punggungnya dengan suling itu. Terpaksa Ma Ing mengelak dari serangan Lin Lin dan cepat memutar tubuh menghadapi Cin Hai lagi dan hendak membacok suling itu dengan pedang, akan tetapi tiba-tiba suling yang ditusukkan itu dirobah lagi dan kini Cin Hai juga membacok ke arah lengan tangan Ma Ing yang memegang pedang. Gerakan pemuda ini sama betul dengan gerakannya dan tiba-tiba tangan Ma Ing terpukul oleh suling yang dibacokkan itu. Ma Ing terkejut sekali karena biarpun suling itu hanya terbuat dari pada bambu, akan tetapi tangannya merasa sakit sekali. Ia cepat memutar pedangnya dan menyerang Cin Hai dengan serangan kilat, akan tetapi, tiba-tiba ia memandang dengan mata terbelalak, karena Cin Hai juga bersilat persis ilmu silatnya sendiri.
Orang-orang yang menonton menjadi terheran-heran dan menganggap bahwa Cin Hai hanya meniru-niru gerakan Ma Ing, akan tetapi Ma Ing sendiri hampir tak dapat mempercayai matanya karena gerakan Cin Hai malah lebih sempurna daripada gerakannya sendiri. Maka ia cepat meloncat mundur dan berseru.
"Tahan dulu! Ehh, pemuda tolol, sebenarnya kau ini murid siapakah dan darimana kau dapat mainkan Pekcoa- kiam-hoat?" Pek-coa-kiam-hoat adalah ilmu pedang yang dimainkan oleh Ma Ing tadi.
Cin Hai pura-pura memandang heran. "Orang she Ma, mengapa kau masih bertanya lagi? Aku mempelajari ilmu pedang ini darimu sendiri!"
"Bangsat penipu! Kapan aku memberi pelajaran kepadamu?" Ma Ing berseru marah, "Bukankah baru saja kau telah memperlihatkan ilmu pedangmu?" jawaban Cin Hai ini memang sebenarnya saja, karena ilmu silat apapun juga jika dipergunakan untuk menyerangnya, maka otomatis ia akan dapat menirunya karena ia telah kenal akan pokok-pokok dasar segala macam gerakan silat.
"Anak muda, ternyata kau hanya berpura-pura tolol saja. Kalau kau memang laki-laki, jangan maju keroyokan. Aku kuatir kalau sampai salah tangan dan melukai Kwee-siocia," kata Ma Ing.
Cin Hai memandang kepada Lin Lin. "Mundurlah kau, Adik Lin, monyet tua ini takut kepada pedangmu, biariah aku yang melayaninya sendiri!"
"Tapi, Hai-ko..." kata Lin Lin ragu-ragu karena ia merasa kuatir sekali.
Tiba-tiba Cin Hai mengejapkan matanya kepada gadis itu dan mulutnya tersenyum. "Tidak percaya kau kepadaku?" Gadis itu tak menjawab, lalu mengangsurkan pedangnya.
"Kaupakailah pedangku, Hai-ko!"
"Tak usah, Adikku, cukup dengan suling saja. Kalau perlu, aku sendiri pun sudah mempunyai sebatang pedang."
Lin Lin mengundurkan diri tetapi berdiri di pinggir kalangan untuk menjaga kalau-kalau Cin Hai berada dalam bahaya. Ma Ing lalu mengeluarkan seruan keras dan tiba-tiba memutar pedangnya bagaikan kitiran cepatnya sehingga pedang itu berubah menjadi segulungan sinar keputih-putihan yang menyerbu ke arah Cin Hai.
"Bagus!" Cin Hai berseru dan ia lalu mengikuti gerakan lawan itu. Tubuhnya mencelat ke sana ke mari dan suling diputar hingga ketika ada angin memasuki lubang suling itu, terdengarlah bunyi melengking yang aneh dan lucu.
Baru sekarang semua penonton maklum bahwa pemuda ketololan ini sesungguhnya lihai sekali. Mereka bersorak-sorak karena heran dan kagum dan keadaan menjadi ramai dan riuh rendah sekali. Bahkan Kwee In Liang, Pek I Toanio, Biauw Suthai dan yang lain-lain lalu berdiri dari tempat duduk mereka agar dapat menonton lebih jelas! Sebaliknya, Kwee Tiong dan adik-adiknya lalu berdiri melongo penuh keheranan. Kwee An mengangguk-anggukkan kepala sambil berkata, "Ah, kepandaian Cin Hai sepuluh kali lebih tinggi daripada kebisaanku."
Ma Ing merasa pusing sekali karena ia tak berhasil mendesak kepada Cin Hai. Jangankan mendesak, menyerang pun sukar baginya, karena pemuda itu dengan aneh sekali telah mengetahui semua rahasia penyerangannya sebelum serangan itu sempat dilakukan.
Tiap kali apabila pedangnya berkelebat hendak menyerang, selalu Cin Hai mendahuluinya dengan sulingnya ke arah pundak atau sambungan sikunya hingga serangan-serangannya itu gagal sebelum dilancarkan. Sungguh aneh. Dan yang lebih gila, tiap serangan dibalas oleh Cin Hai dengan serangan yang sama pula.
Ma Ing merasa penasaran sekali. Ia menganggap bahwa pemuda ini tentulah ahli dalam ilmu Pedang Pekcoa- kiam-hoat, maka tiba-tiba ia merubah gerakan pedangnya dan memainkan limu Pedang Pat-sian-kiamhoat.
Akan tetapi, lagi-lagi ia kecele, karena pemuda itu pun telah kenal baik ilmu pedang ini dan dapat melakukan ilmu pedang ini dengan sama sempurna! Ia mengubah-ubah terus ilmu silatnya, dari ilmu silat yang terendah sampai yang tertinggi karena Ma Ing memang memiliki banyak sekali ilmu silat yang lihai, akan tetapi kini ia benarbenar tidak mengerti, karena baru saja ia mengganti gerakannya, tiba-tiba pemuda itu pun mengganti ilmu silatnya yang sama dan sedikit pun tidak berbeda. Masih seperti tadi, tiap-tiap serangannya tentu dibalas dengan serangan semacam pula. Ma Ing merasa seakan-akan ia sedang bertempur melawan bayangannya sendiri di dalam cermin. Dan yang lebih celaka lagi, Cin Hai agaknya mempermainkannya, karena telah beberapa kali suling itu berhasil memukulnya dengan perlahan di kepala, punggung, pundak, dan lain-lain bagian tubuh lagi. Biarpun pukulan ini perlahan sekali, akan tetapi cukup terasa pedas dan yang lebih terasa perih adalah perasaan di dalam hatinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar