43 Pendekar Lembah Naga

"Cukup, Tok-ciang Sian-jin. Kalau engkau takut, masih belum terlambat bagimu untuk mengundurkan diri!" Kim-liong-ong yang bersama Hai-liong-ong kakaknya itu memang telah lama menjadi kaki tangan Pangeran Ceng Han Houw, sudah memotong dengan suara lantang dan sikap merendahkan.

Marahlah tosu itu. Mukanya menjadi merah kini tidak pucat seperti biasanya, dan biarpun matanya masih sipit, akan tetapi tidak seperti orang mengantuk lagi. "Engkau hendak menjadi perisai bagi pangeran? Bagus, majulah, orang sombong!" bentaknya dan diapun sudah menggerakkan jari-jari tangannya dan terdengar bunyi berkeretakan pada buku-buku jari tangannya dan kedua tangan itu kini nampak kehijauan. Kiranya kakek ini memang memiliki ilmu yang amat mengerikan, dan kalau sudah begitu, kedua tangannya merupakan benda-benda yang lebih berbahaya daripada sepasang senjata tajam, karena kedua tangan itu dari jari-jari tangan sampai ke siku yang berwarna kehijauan, mengandung hawa beracun yang amat berbahaya bagi lawan. Itulah sebabnya mengapa dia berani menerima julukan Tok-ciang (Si Tangan Racun).

Akan tetapi, Kim-liong-ong Phang Sun menyeringai melihat ini. Dia sendiri adalah seorang ahli tentang racun, maka biarpun dia tahu betapa hebat dan berbahayanya kedua tangan lawan itu, namun dia tidak menjadi gentar.

"Kedua tanganmu itu hanya baik untuk menakut-nakuti anak kecil saja. Bagiku tidak ada harganya sama sekali, seperti dua batang gagang sapu butut!" dia mengejek.

Tok-ciang Sian-jin menjadi semakin marah. Memang cerdik Kim-liong-ong ini. Ketika menerima peringatan kakaknya tadi, diapun sadar akan kemarahan yang membakar hatinya, maka dia sengaja mengeluarkan ejekan-ejekan dan membakar hati lawan. Dia berhasil, karena tosu itu menjadi semakin marah kini dan dengan gerengan dahsyat dia telah maju menyerang lawan yang bertubuh pendek kecil itu. Kini keadaannya menjadi terbalik, bukan Kim-liong-ong yang dicekik kemarahan, melainkan lawannya.

Tok-ciang Sian-jin menyerang dengan kedua tangan terbuka, jari-jari tangannya mencengkeram dari kanan kiri dan sebelum serangan itu tiba, hawa pukulannya yang mengandung hawa beracun itu telah menyambar lebih dulu dengan dahsyatnya. Akan tetapi, tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu kakek kecil itu lenyap dari depannya, tubrukan dan cengkeramannya mengenai tempat kosong dan begitu merasa ada angin menyambar dari kanan, tosu itu cepat membalik dan menangkis. Kiranya, Kim-liong-ong telah mempergunakan kecepatan gerakannya dan mengandalkan tubuhnya yang kecil dan gesit itu untuk menyelinap ketika tadi lawan menyerang, dan cepat memberi pukulan balasan dari arah kanan.

"Dukkk!" Lengan Tok-ciang Sian-jin bertemu dengan gelang emas tebal yang melingkar di lengan kiri Phang Sun dan akibatnya, Tok-ciang Sin-jin terdorong ke belakang dan agak terbuyung. Terkejutlah tosu ini dan maklumlah dia bahwa kakek kecil pendek gundul telanjang ini memiliki tenaga sin-kang yang luar biasa kuatnya! Maka diapun lalu menerjang lagi dengan memperlipatgandakan kecepatan gerakannya dan terjadilah perkelahian yang seru dan sangat dahsyat.

Kim-liong-ong Phang Sun telah mengeluarkan sebuah bungkusan sambil berloncatan ke sana-sini, lalu membalurkan bubuk putih ke atas lengannya. Itulah bubuk penolak racun. Setelah ini, dia dapat menangkis dan mengadu lengan dengan lawannya, tidak seperti tadi yang mempergunakan gelang emas untuk melindungi lengannya dari hawa racun yang keluar dari lengan lawan.

Memang tidak percuma kalau Kim-liong-ong menjadi tokoh nomor dua dari Lam-hai Sam-lo yang ditakuti oleh semua tokoh di dunia selatan. Ilmu kepandaiannya memang hebat sekali, gerakannya aneh dan cepat, dan biarpun kaki tangan kecil-kecil, namun setiap gerakan kaki dan tangan itu mengandung hawa pukulan yang kuat, sehingga bahkan tosu itu sendiri sampai beberapa kali terhuyung kalau mereka terpaksa mengadu tenaga.

Banyak di antara mereka yang bertaruh menjagoi Kim-liong-ong kecele. Ada yang bertaruh bahwa dalam waktu kurang dari tiga puluh jurus tosu itu tentu akan kalah. Akan tetapi ternyata tosu itu hebat sekali! Dia dapat mengimbangi semua kelincahan Kim-liong-ong dan setelah bertanding selama lima puluh jurus, ternyata kakek itu sama sekali tidak kalah, bahkan terdesakpun tidak, sungguhpun dia sendiri tidak mampu mendesak kakek kecil itu.

Setelah perkelahian itu berlangsung kurang lebih enam puluh jurus, tiba-tiba Tok-ciang Sian-jin meloncat mundur keluar dari lapangan pertandingan lalu membalikkan tubuh menghadapi Pangeran Ceng Han Houw yang sejak tadi menonton dengan penuh perhatian, menjura dan berkata, "Sekarang pinto mengharapkan agar pangeran sendiri..."

Baru sampai di situ dia bicara, tiba-tiba ada angin dahsyat menyambar dari belakang, memukul ke arah lambungnya! Bukan main kagetnya Tok-ciang Sian-jin. Cepat dia membalik untuk mengelak dan menangkis.

"Plakkk... desss!" Tubuh tosu itu terpelanting dan roboh, dari mulutnya keluar darah segar karena biarpun dia berhasil menangkis pukulan Kim-liong-ong, akan tetapi tangkisannya kurang tepat dan pukulan kakek pendek kecil itu masih meleset dan mengenai punggungnya. Tosu itu bangkit duduk dan memejamkan mata untuk mengumpulkan hawa murni dan menahan dadanya yang terguncang hebat. Biarpun dia tidak sampai terluka separah kalau pukulan itu mengenai lambung, namun dia sampai muntah darah dan tentu saja dia tidak mungkin depat melanjutkan pertempuran.

"Sungguh curang!" bentak Cui Kai Sun dengan lantang. Pemuda gagah murid Siauw-lim-pai ini menegur marah sekali.

Kim-liong-ong hanya tersenyum mengejek ke arah pemuda itu. Melihat betapa di antara para orang kang-ouw yang hadir itu banyak yang memperlihatkan muka tidak senang, Ceng Han Houw cepat bangkit berdiri dan berkata dengan suara yang halus namun berwibawa dan terdengar sampai jauh di luar.

"Cu-wi, hendaknya cu-wi bersikap adil! Tidak ada kecurangan terjadi di sini!"

"Siapa bilang tidak curang? Aku tidak hendak membela Tok-ciang Sian-jin, akan tetapi kami semua melihat tosu itu sedang bicara dengan pangeran ketika Kim-liong-ong menyerangnya dari belakang secara curang sekali!" Ciu Kai Sun berteriak lagi dan banyak tokoh kang-ouw, terutama sekali dari golongan bersih, mengangguk menyatakan persetujuan mereka dengan ucapan pemuda gagah itu.

Akan tetapi Pangeran Ceng Han Houw tersenyum. "Itu adalah kesalahan tosu itu sendiri, pertandingan belum selesai dan..."

"Aku menghitung sendiri bahwa tosu itu telah dapat melayani Kim-liong-ong sampai lima puluh jurus!" Terdengar suara orang lain membenarkan.

Sekarang Ceng Han Houw tersenyum semakin lebar dan dia mengangkat kedua tangan ke atas untuk minta para tamu diam. Setelah mereka semua itu tidak berisik lagi, dia lalu berkata, suaranya jelas dan halus, "Cu-wi sekalian yang sudah lama berkecimpung di dunia kang-ouw tentu tahu bahwa syarat untuk menjadi orang kang-ouw bukan hanya tergantung kepada kepandaian silat saja, melainkan juga membutuhkan kecerdikan dan ketelitian! Memang betul bahwa kami tadi berjanji kepada siapa yang dapat menandingi isteri saya selama lima puluh jurus, dia berhak untuk menjadi calon jagoan. Akan tetapi, tidak ada seorangpun yang berjanji tentang lima puluh jurus itu terhadap dua orang pembantu kami, yaitu Hai-liong-ong dan Kim-liong-ong. Karena tidak ada perjanjian maka pibu melawan merekapun tidak terbatas jumlah jurusnya. Tadi dalam keadaan belum ada yang kalah atau menang, Tok-ciang Sian-jin menghentikan pibu secara sepihak tanpa memberi tahu kepada Kim-liong-ong, maka kalau dia sampai terpukul, baik dari belakang maupun dari depan, bawah atau dari atas, hal itu adalah kesalahannya sendiri karena dia ceroboh dan lengah. Bukankah demikian, cu-wi?"

Ucapan yang dilakukan dengan suara halus dan penuh wibawa itu diikuti oleh kesunyian yang lengang karena semua tamu saling pandang dan mereka semua mau tidak mau harus membenarkan pembelaan pangeran itu. Memang tadi pangeran itu berjanji tentang ujian selama lima puluh jurus dalam menghadapi isteri pangeran itu, dan terhadap dua orang pembantunya itu dia tidak berjanji apa-apa. Oleh karena itu, kekalahan Tok-ciang Sian-jin merupakan kekalahan mutlak, walaupun kekalahan itu adalah akibat dari kelengahannya, bukan akibat dari kalah tinggi ilmunya dibanding dengan Kim-liong-ong Phang Sun.

"Pinto yang bodoh... pinto kena ditipu orang... pinto mengaku kalah." Tiba-tiba tosu itu bangkit berdiri, dengan muka pucat dan mata bersinar memandang kepada pangeran itu, menjura lalu dengan langkah lebar dia meninggalkan tempat itu sambil mengusap darah dari ujung bibirnya. Semua tamu hanya mengikuti langkah tosu itu dengan pandang mata dan kini tidak ada lagi yang mau mencampuri karena orang yang bersangkutan sendiri sudah mengakui kebodohannya dan mengaku kalah!

Karena ada yang merasa penasaran, berturut-turut terdapat beberapa orang tokoh yang belum mengenal betul kepandaian Lam-hai Sam-lo, maju memasuki ujian calon jagoan nomor satu di dunia. Namun, satu demi satu mereka itu dikalahkan oleh Kim-liong-ong atau Hai-liong-ong yang maju bergantian. Mereka yang sudah tahu akan kelihaian Lam-hai Sam-lo, siang-siang sudah kuncup nyalinya dan tidak berani maju.

Setelah tujuh orang calon semua kalah, kini agaknya tidak ada lagi yang berani maju. Melihat ini, diam-diam Pangeran Ceng Han Houw merasa penasaran. Tidak mungkin di antara tokoh kang-ouw tidak ada yang mampu mengalahkan Lam-hai Sam-lo, pikirnya. Apalagi di situ terdapat tokoh-tokoh Cin-ling-pai yang belum bertindak sesuatu.

"Siapakah lagi yang akan maju mencoba kemampuannya?" Hai-liong-ong Phang Tek berkata dengan suaranya yang lantang. Akan tetapi, para tamu hanya saling pandang dan agaknya tidak ada lagi yang berani maju.

Pangeran Ceng Han Houw bangkit berdiri. "Cu-wi, mengapa cu-wi merasa sungkan? Saya percaya bahwa di antara cu-wi masih banyak orang pandai! Ataukah hanya demikian saja kepandaian para tokoh kang-ouw? Sungguh di luar dugaan kami kalau di dunia kang-ouw ini tidak ada tokoh yang mampu menandingi Lam-hai Sam-lo!"

Ucapan itu halus, namun juga bernada mengejek dan membakar. Semenjak tadi Cia Giok Keng sudah merah sekali wajahnya dan dia sudah hendak bangkit berdiri. Akan tetapi adiknya, Cia Bun Houw, memegang lengannya dan berbisik, "Enci, Lam-hai Sam-lo itu terlalu lihai bagimu."

"Biar!" Cia Giok Keng, wanita berusia setengah abad yang nampak cantik dan gagah itu, menjawab dengan bisikan mendesis sehingga membuat beberapa orang tamu yang duduk dekat menengok.

"Aku tidak takut. Kalau kalah, biar aku mati di depan mata anak durhaka itu!" Jelaslah bahwa sumber kemarahan wanita ini adalah melihat puterinya, selain menjadi isteri pangeran itu tanpa minta ijin dulu darinya, juga melihat puterinya itu membantu pangeran yang hendak memberontak itu.

"Enci, itu kurang bijaksana. Apakah engkau ingin semua orang kang-ouw tahu akan pertentangan antara engkau dan puterimu sendiri? Biarkan aku saja yang maju, mereka itu bukan lawanmu, melainkan lawanku!"

Sebelum Cia Giok Keng dapat membantah, disetujui oleh isterinya, yaitu Yap In Hong dan juga Yap Kun Liong yang maklum bahwa dua orang kakek dari selatan Lam-hai Sam-lo itu memang lihai sekali, sekali bergerak Cia Bun Houw sudah meloncat ke depan. Semua tamu terkejut bukan main ketika melihat ada bayangan manusia melayang di atas kepala mereka, dari tempat duduk paling belakang dan melayang menuju ke depan, ke tengah ruangan di mana masih menanti Kim-liong-ong Phang Sun dengan lagak sombong itu. Ketika bayangan manusia itu telah tiba di tengah ruangan dan berdiri, mereka melihat seorang pria yang amat tampan dan gagah perkasa, dengan pakaian sederhana akan tetapi memiliki wibawa besar dan sepasang matanya menyapu ke arah pangeran, banyak di antara para tokoh kang-ouw mengenalnya dan di samping keheranan mereka, terdengar sorak-sorai menyambut pendekar ini. Siapakah yang tidak mengenal pendekar sakti Cia Bun Houw, putera Cin-ling-pai yang tersohor itu? Akan tetapi, banyak alis dikerutkan dengan heran dan menduga-duga. Isteri pangeran itu adalah cucu ketua Cin-ling-pai, dan kini tokoh Cin-ling-pai ini maju! Apa artinya ini? Akan tetapi mereka semua maklum bahwa kalau pendekar sakti ini maju untuk bertanding, maka akan terjadilah pertandingan yang amat hebat di tempat itu dan mereka semua merasa beruntung untuk dapat menyaksikannya.

Wajah Lie Ciauw Si seketika menjadi pucat ketika dia melihat pamannya telah maju di tengah ruangan. Hampir dia tidak berani menatap wajah yang tampan dan yang nampak gagah penuh wibawa itu. Sementara itu, Pangeran Ceng Han Houw tersenyum gembira. Saat yang dinanti-nantikannya telah tiba. Memang untuk inilah dia mengadakan pertemuan besar itu. Selain untuk menghimpun orang-orang pandai, juga untuk menonjolkan dirinya sebagai yang terpandai di antara semua orang kang-ouw juga ingin memancing datangnya keluarga Cin-ling-pai. Kalau dia dapat menarik mereka menjadi sekutunya, dengan umpan kenyataan bahwa Ciauw Si telah menjadi isterinya dan pembantunya, maka hal itu akan baik sekali karena kedudukannya akan menjadi semakin kuat. Sebaliknya, kalau dia gagal menarik mereka dan mempengaruhi mereka, dia akan dapat mengalahkan mereka satu demi satu sehingga dengan demikian dunia kang-ouw akan melihat bahwa dialah jago nomor satu di dunia, bahkan keluarga Cin-ling-pai yang terkenal sekali itu tidak ada yang mampu menandinginya! Maka, melihat betapa pendekar sakti Cia Bun Houw sudah maju, dia memandang dengan sinar mata berseri. Akan tetapi dia hendak membiarkan dulu dua orang pembantunya itu "menguji" sampai di mana kehebatan pendekar sakti ini, apakah memang sehebat apa yang dikabarkan orang.

Ketika pendekar sakti itu berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang lebar, kedua tangan tergantung di kanan kiri dan memandang dengan sinar mata tajam penuh wibawa kepada pangeran itu, Ceng Han Houw dengan tenang dan dengan bibir masih tersenyum, balas memandang. Dua pasang mata yang sama-sama mempunyai sinar tajam mencorong dan penuh wibawa itu saling pandang, dan seolah-olah mereka berdua saling mengukur kekuatan masing-masing melalui sinar mata itu. Suasana menjadi sunyi, sunyi yang menegangkan dan mencekam hati. Hanya Lie Ciauw Si yang nampak bergerak, kepalanya saja, kadang-kadang diangkat memandang pamannya, kadang-kadang menunduk kembali, kedua tangannya meremas-remas ujung bajunya, jantungnya berdebar penuh ketegangan dan kebingungan.

Akan tetapi suasana yang mencekam itu dipecahkan oleh suara Kim-liong-ong Phang Sun yang lantang, suaranya yang mengandung pura-pura karena sesungguhnya dia sudah tahu siapa adanya pria gagah yang kini berada di dekatnya itu.

"Enghiong dari manakah yang kini maju? Apakah hendak mengajukan diri sebagai calon jagoan? Harap suka memperkenalkan diri."

Baru setelah mendengar teguran ini, Bun Houw membalikkan tubuhnya dan menghadapi Kim-liong-ong yang ternyata berdiri bersama dengan Hai-liong-ong. Sejenak Bun Houw menatap mereka berdua dengan sikap keren, kemudian terdengarlah suara yang lantang dan jelas.

"Aku bernama Cia Bun Houw dan aku datang mewakili Cin-ling-pai!" Baru saja dia berkata sampai di sini terdengar suara berbisik di antara para tamu yaitu mereka yang baru sekarang melihat pendekar ini sungguhpun semua telah mendengar nama besarnya, apalagi nama besar Cin-ling-pai, yang akhir-akhir ini menjadi semakin terkenal setelah ada berita bahwa keluarga Cin-ling-pai dituduh sebagai pemberontak, bahkan menjadi pelarian-pelarian pemerintah. Setelah suara berbisik mereda, Bun Houw melanjutkan kata-katanya.

"Kami dari Cin-ling-pai tidak pernah merasa menjadi orang yang paling pandai di dunia ini. Oleh karena itu, kedatanganku di sinipun sama sekali bukan hendak memperebutkan julukan kosong sebagai jagoan nomor satu di dunia! Akan tetapi aku datang justeru untuk menguji sampai di mana hebatnya orang yang berani menyebut dirinya sebagai jagoan nomor satu di dunia!"

Terdengar tepuk tangan riuh rendah menyambut kata-kata ini dan kebanyakan yang bertepuk tangan adalah orang-orang yang termasuk dalam golongan bersih karena ucapan itu merupakan suara hati mereka pula. Mereka itu menganggap Bun Houw sebagai wakil mereka, wakil dari golongan putih untuk menentang usaha-usaha kaum sesat yang selalu hendak menonjolkan diri dan melakukan perbuatan-perbuatan demi mencari kedudukan, harta benda, atau nama besar.

Mendengar ucapan yang penuh wibawa ini, melihat sikap pendekar itu yang keren, dan melihat sambutan para orang kang-ouw, kedua orang dari Lam-hai Sam-lo itu mengerutkan alis dan merekapun menjadi bingung. Akan tetapi Kim-liong-ong yang berwatak angkuh dan selalu memandang rendah lawan itu lalu berkata lantang.

"Cia Bun Houw, ucapanmu itu sungguh menyimpang daripada maksud dari pertemuan besar yang diadakan oleh pangeran ini. Lalu dengan siapa engkau hendak bertanding, kalau jagoan nomor satu belum ditetapkan siapa?"

Bun Houw yang tadipun merasa penasaran menyaksikan kelicikan dan kecurangan kakek kecil pendek ini lalu menjawab, "Dengan siapa saja yang merasa dirinya jagoan tak terkalahkan. Lam-hai Sam-lo terkenal sebagai datuk-datuk selatan, akan tetapi hari ini aku melihat betapa seorang di antaranya hanyalah seorang tukang berkelahi yang licik dan tak tahu malu. Kalau Lam-hai Sam-lo merasa hebat, boleh saja aku menghadapinya, dan terhadapku, Lam-hai Sam-lo boleh berlaku licik dan curang sesuka hatinya!"

Ucapan ini terlalu hebat! Lebih-lebih lagi karena terdengar suara tertawa menyambut ucapannya yang terang-terangan mencela dan mengejek kelicikan Kim-liong-ong tadi. Akan tetapi, Kim-liong-ong dan Hai-liong-ong menjadi amat marah. Nama besar Lam-hai Sam-lo seperti diinjak-injak oleh pria muda ini!

Kini Hai-liong-ong Phang Tek sudah berkata dengan suara keras, "Orang muda she Cia yang sombong! Ucapanmu terlalu besar dan engkau menantang Lam-hai Sam-lo. Kami masih ingat bahwa engkau adalah putera ketua Cin-ling-pai, dengan demikian engkau tentu masih keluarga dengan isteri pangeran yang terhormat, maka..."

"Cukup!" Bun Houw membentak demikian nyaringnya sehingga mengejutkan semua orang karena dalam keadaan marah bentakan tadi mengandung tenaga auman harimau yang amat hebat, terbawa khi-kang dari Ilmu Thian-te Sin-ciang sehingga gema bentakan itu mendatangkan getaran dahsyat. "Tidak ada hubungannya keluarga dengan urusan ini...! Aku tidak datang membicarakan soal keluarga, dan kalau Lam-hai Sam-lo berani, majulah, tidak usah cerewet. Kalau tidak berani, menggelindinglah pergi dan biarkan aku menghadapi orang yang menggerakkan semua ini!" Sambil berkata demikian, kembali Bun Houw memandang ke arah Pangeran Ceng Han Houw.

"Paman...!" Lie Ciauw Si yang mukanya berubah merah membuka mulut, akan tetapi suaranya itu hanya merupakan bisikan dan keburu lengannya disentuh oleh suaminya yang masih tersenyum-senyum saja.

"Tenang, Si-moi dan kita lihat perkembangannya," bisiknya kembali. Sementara itu, kemarahan Phang Tek dan Phang Sun membuat wajah mereka berubah merah sekali.

"Cia Bun How, benarkah engkau menantang kami berdua untuk maju bersama melawanmu? Orang muda, hati-hatilah engkau dengan jawabanmu!" kata Phang Tek yang marah sekali, akan tetapi mengingat akan nama besar Lam-hai Sam-lo, dia merasa tidak enak dan malu kalau harus menghadapi orang muda ini dengan pengeroyokan mereka berdua.

"Lam-hai Sam-lo, mengapa banyak cerewet? Jangankan kini tinggal kalian berdua, biar masih lengkap tiga orangpun aku tidak akan takut melawan kalian. Majulah!" Cia Bun Houw yang memang sudah mengambil keputusan untuk memberi hajaran kepada mereka ini, sudah berdiri menghadapi mereka dengan kedua kaki terpentang lebar, tubuhnya tegak dan kedua lutut agak ditekuk, sepasang matanya mencorong seperti mata seekor naga, tanda bahwa pada saat itu tenaga sin-kangnya telah naik dari pusar dan berputar-putar di seluruh tubuhnya, siap untuk dipergunakan dalam setiap gerakan.

Dua orang kakek itu masih meragu, selain merasa malu kepada para tokoh kang-ouw, juga mereka merasa sungkan terhadap pangeran karena bukankah orang muda ini masih terhitung paman dari isteri sang pangeran sendiri? Maka Phang Tek lalu menghadap ke arah pangeran dan berkata, "Harap paduka maafkan kami berdua yang tidak tahu harus bersikap bagaimana dalam keadaan seperti ini."

Ceng Han Houw yang sejak tadi tersenyum dan wajahnya yang tampan itu tetap nampak berseri, lalu berkata tenang, "Seorang yang sakti dan gagah perkasa seperti Cia-taihiap telah berkenan meramaikan pertemuan ini dan hendak memperlihatkan kepandaian, hal itu sungguh membuat kita harus berterima kasih sekali. Sekarang Cia-taihiap mengajak kalian berdua untuk bermain-main dan menguji kepandaian, mengapa kalian berdua ragu-ragu lagi?"

Diam-diam Cia Bun Houw terkejut sekali. Tak disangkanya bahwa pangeran yang masih begitu muda namun ternyata pandai sekali mengatur perasaan sehingga sampai sedemikian jauh tetap tenang dan ramah, sungguh merupakan sikap seorang yang sama sekali tidak boleh dipandang ringan! Mulailah dia mengerti mengapa keponakannya itu, seorang gadis gagah perkasa, dapat tunduk terhadap pangeran itu. Kiranya pangeran itu, biarpun masih muda, selain memiliki wajah yang amat tampan menarik, juga memiliki kekuatan batin yang mengagumkan dan tentu memiliki kepandaian yang tinggi pula! Dan wajah pucat dari Ciauw Si agak berseri ketika dia mendengar ucapan suaminya itu. Diam-diam dia melirik ke arah ibunya dan dia melihat ibunya itu berbisik-bisik dengan ayah tirinya, yaitu Yap Kun Liong. Tentu saja dia tidak tahu apa yang sedang dibicarakan oleh ibunya dan suami ibunya itu. Sedangkan bibinya, Yap In Hong, hanya memandang ke arah suaminya dengan penuh perhatian karena tentu saja bibi itu tahu bahwa suaminya sedang menghadapi lawan yang amat tangguh kalau dua orang kakek itu benar-benar hendak maju bersama mengeroyoknya.

Sementara itu, dua orang kakek menjadi lega hati mereka. Jelaslah bahwa pangeran memperkenankan mereka maju bersama menghadapi tokoh Cin-ling-pai ini dan memang sudah menjadi tugas mereka untuk mengukur kepandaian orang-orang tangguh yang menjadi calon lawan majikan mereka.

"Kalau begitu, kami tidak akan menolak tantanganmu, Cia-taihiap." Setelah mendengar pangeran itu menyebut Cia-taihiap, maka Phang Tek juga tidak berani menyebut lain. "Kami akan maju bersama menghadapimu."

"Tak perlu banyak cakap, maju dan mulailah!" jawab Bun Houw tak sabar lagi.

Dua orang kakek itu lalu memasang kuda-kuda dan melangkah perlahan mengitari Bun Houw dengan lagak dua ekor jago yang memilih-milih tempat yang baik, sudut yang tepat untuk memulai serangan mereka. Bun Houw tetap berdiri tegak, sama sekali tidak bergerak dan hanya pandang matanya saja yang mengikuti gerakan mereka. Akhirnya dua orang kakek itu mengambil sudut yang mereka anggap paling menguntungkan, yaitu di kanan kiri pendekar itu. Phang Tek di sebelah kanan dan Phang Sun di sebelah kiri. Tiba-tiba, setelah saling memberi tanda dengan sinar mata, keduanya mengeluarkan teriakan nyaring dan mulailah mereka menyerang dari kanan kiri!

"Wuuut... wuuuttt... plak-plak plak-plak!"

Dengan gerakan yang mantap Bun Houw menyambut serangan mereka dari kanan kiri itu dengan menggerakkan tubuh dan kedua lengannya bergerak menangkis sehingga dia telah berhasil menangkis masing-masing lawan dua kali dan membuat dua orang kakek itu agak terhuyung!

Kembali Bun Houw berdiri tegak dan kedua orang lawannya kini berada di depan dan belakangnya. Dua orang kakek itu memandang dengan mata terbelalak karena pertemuan lengan mereka tadi dengan lengan Bun Houw membuat tubuh mereka terasa tergetar hebat. Dan hal itu tidaklah mengherankan karena Bun Houw telah mempergunakan tenaga Thian-te Sin-ciang yang sudah dilatih sampai di puncaknya! Dan kini, biarpun Kim-liong-ong Phang Sun berada di belakangnya, Bun Houw tidak menjadi gentar, bahkan sama sekali tidak menggerakkan kepalanya karena ketajaman pendengarannya dapat menangkap segala gerak-gerik lawan di belakang itu seolah-olah dia dapat melihatnya dengan mata, melihat dengan jelas. Maka dia membagi kekuatannya pada mata dan telinga sehingga dia dapat memperhatikan dan mengikuti segala gerak-gerik dua orang lawannya.

Kembali dua orang kakek itu mengirim serangan dan kini mereka melakukan serangan bertubi-tubi dan sambung-menyambung. Pukulan-pukulan mereka amat dahsyatnya, semua merupakan pukulan maut dan ternyata tubuh besar Hai-liong-ong Phang Tek itu tidak menghalanginya untuk bergerak cepat sekali, jauh lebih cepat daripada gerakan adiknya yang bertubuh kecil pendek! Bagaikan seekor singa Phang Tek menyerang dengan kedua tangan dibentuk seperti cakar dan kedua lengannya itu bergerak-gerak seperti seekor naga. Dan memang sesungguhnya orang pertama dari Lam-hai Sam-to ini adalah seorang ahli silat naga Liong-jiauw-kun dan Liong-jiauw-kiam-sut (Ilmu Pedang Cakar Naga). Sebaliknya biarpun gerakannya tidak seringan dan secepat kakaknya, namun si pendek Kim-liong-ong Phang Sun itu memiliki tenaga sin-kang yang amat kuat sehingga setiap pukulannya mendatangkan angin yang menyambar dahsyat dan mengeluarkan bunyi bercuitan!

Tingkat kepandaian Phang Tek dan Phang Sun memang seimbang, karena kalau Phang Tek lebih cepat gerakannya, Phang Sun lebih kuat pukulannya. Hal ini terasa benar oleh Bun Houw maka diapun tidak berani memandang rendah dan untuk menghadapi serangan dua orang lawannya yang tangguh ini, dia telah mainkan Thai-kek Sin-kun, ilmu silat keramat dari ayahnya. Ilmu silat ini memang merupakan ilmu silat halus yang amat tangguh untuk menjaga diri dan mempunyai daya tahan yang amat kuat sehingga seolah-olah dengan ilmu ini dia dapat menahan serangan seribu orang lawan! Apalagi pada waktu itu tingkat kepandaian Bun Houw sedang berada di puncaknya, tubuhnya sedang kuat-kuatnya dan dia amat terlatih. Maka dengan langkah-langkah yang indah dari Thai-kek Sin-kun, dia mampu mengelak ke sana-sini atau menambah dengan tangkisan-tangkisan untuk kemudian melakukan serangan balasan dengan tamparan-tamparan Thian-te Sin-ciang yang amat ampuh itu.

Pertandingan itu sudah lewat lima puluh jurus, namun dua orang pengeroyok itu sama sekali bukan pernah dapat menyentuh tubuh Bun Houw. Semua tamu memandang ke arah pertempuran dengan mata terbelalak karena kagum. Yap Kun Liong memandang dengan sikap tenang, tidak seperti isterinya, Cia Giok Keng yang memandang dengan alis berkerut dan tangan terkepal. Tingkat Cia Giok Keng tidak sedemikian tingginya sehingga dia sukar dapat mengikuti perkembangan dari pertandingan tingkat tinggi itu sehingga dia khawatir kalau-kalau adik kandungnya akan kalah. Sedangkan Yap In Hong sejak tadi mengikuti gerak-gerik tiga orang yang bertanding itu dengan sikap sama tenangnya dengan kakak kandungnya. Dia tahu bahwa suaminya tidak akan kalah, karena pada dasarnya suaminya lebih kuat dan andaikata suaminya mau menjatuhkan pukulan-pukulan maut yang ganas, sejak tadi tentu suaminya sudah dapat merobohkan dua orang pengeroyoknya itu, atau setidaknya seorang di antara mereka. Lie Ciauw Si yang biarpun amat lihai namun juga tidak setinggi itu tingkatnya, memandang dengan bingung. Dia tidak tahu harus berfihak mana. Yang dikeroyok adalah pamannya yang bertindak atas nama Cin-ling-pai, sedangkan dua orang pengeroyoknya itu adalah pembantu-pembantu suaminya yang menggantikan dia. Tak dapat dia membayangkan apa yang akan dilakukan kalau dia yang masih menjadi penguji dan harus berhadapan dengan pamapnya yang sakti itu! Sedangkan Pangeran Ceng Han Houw menonton dengan wajah berseri dan beberapa kali dia mengangguk-angguk menyatakan kagumnya terhadap gerak-gerik Cia Bun Houw yang memang merupakan seorang pendekar yang sukar dicari tandingannya. Akan tetapi, diam-diam pangeran ini merasa khawatir juga. Dia tahu bahwa dua orang pembantunya itu tidak akan dapat menang, maka mulailah dia memandang ke sana-sini mencari-cari Sin Liong. Kenapa adik angkatnya itu tidak kembali ke situ? Kalau ada Sin Liong, sebelum dia sendiri harus berhadapan dengan Cia Bun Houw, yaitu kalau dia gagal membujuk paman isterinya itu, dia akan menyuruh Sin Liong mewakilinya dan "menguji" pendekar dari Cin-ling-pai itu! Biarpun dia tahu bahwa Sin Liong, menurut pengakuannya adalah putera kandung pendekar sakti ini, akan tetapi agaknya di antara mereka berdua belum ada hubungan dan pendekar sakti ini belum tahu akan rahasianya sendiri itu! Maka hal ini merupakan kunci baginya! Kehadiran Sin Liong sebagai putera pendekar ini dapat dipergunakannya untuk menarik keluarga Cia itu, dan seandainya di antara ayah dan anak itu tidak ada yang mau mengulurkan tangan, dia dapat pula mengharapkan bantuan Sin Liong yang dia tahu memiliki ilmu kepandaian yang tidak banyak selisihnya dengan kepandaiannya sendiri, seorang pembantu yang boleh diharapkan. Oleh karena itulah, maka melihat dua orang pembantunya itu agaknya terdesak oleh Cia Bun Houw, pangeran itu mulai teringat kepada Sin Liong dan mulai menoleh ke sana-sini untuk mencari adik angkatnya itu.

Ke manakah perginya Sin Liong? Apa yang terjadi dengan dia? Mari kita mengikuti Sin Liong yang tadi meninggalkan tempat pertemuan itu. Setelah Sin Liong mendengar bisikan pangeran yang hendak memksa membantunya dan bahwa Bi Cu berada dalam pengaWasan dan kekuasaan Hek-hiat Mo-li dan Kim Hong Liu-nio, tahulah Sin Liong bahwa kembali kakak angkatnya itu bertindak curang. Tahulah dia bahwa Bi Cu sengaja ditawan untuk dijadikan sandera, untuk memaksa dia harus membantu pangeran itu menghadapi para tokoh kang-ouw, membantu Pangeran itu agar berhasil menjadi jagoan nomor satu di dunia dan menjadi bengcu untuk menghimpun tenaga orang-orang kang-ouw dan membantunya melakukan pemberontakan terhadap kaisar! Dengan marah sekali Sin Liong lalu berlari masuk meninggalkan tempat itu.

Dengar cepat Sin Liong berlari menuju ke kamar Bi Cu untuk mengajak kekasihnya itu segera pergi dari tempat itu sekarang juga. Daun pintu kamar Bi Cu tertutup dan dengan hati harap-harap cemas Sin Liong menghampiri daun pintu ini dan mendorongnya ke dalam. Kosong! Sunyi sekali dalam rumah ini. Agaknya semua pelayan dan pengawal sudah berkumpul di depan, nonton keramaian di luar.

"Bi Cu...!" Dia berseru memanggil dan memandang ke sana-sini, lalu berjalan menuju ke dalam, membukai setiap daun pintu kamar dan ruangan mencari-cari. Akhirnya dia tiba di lorong yang menuju ke ruangan belakang den ketika dia memasuki lorong yang lebarnya hanya tiga meter akan tetapi amat panjang itu, tiba-tiba dia melihat gerakan orang dan tahu-tahu di kedua mulut lorong itu, di depan dan belakangnya, sudah berdiri puluhan orang pengawal dengan senjata tombak, pedang dan golok di tangan! Dia telah dikurung di dalam lorong itu dan tidak ada jalan keluar lagi karena di depan dan belakangnya, di mulut lorong, masing-masing telah berjaga belasan orang pengawal pilihan yang siap dengan senjata mereka. Dia seolah-olah seperti seekor harimau yang sudah terkurung dan terjebak.

Sin Liong memandang dengan mata bernyala dan muka merah. "Kembalikan Bi Cu!" bentaknya. "Kembalikan Bi Cu atau... demi Tuhan, takkan ada seorangpun yang akan lolos dari tanganku!" Suaranya menggetar saking khawatirnya membayangkan Bi Cu berada di tangan mereka. Dia maklum bahwa Pangeran Ceng Han Houw hendak menggunakan Bi Cu untuk memaksanya. Akan tetapi sekali ini dia tidak mungkin mau dipermainkan, tidak mungkin dia harus mengalah dan memenuhi kehendak pangeran itu. Biarpun Bi Cu berada di tangan mereka, dia tidak akan mau tunduk dan menyerah lagi. Hanya ada dua jalan. Mereka mengembalikan Bi Cu dalam keadaan utuh dan selamat, atau... kalau mereka mengganggu kekasihnya, dia akan mengamuk dan membunuh semua orang dalam Istana Lembah Naga itu!

Kedua matanya mencorong seperti mata seekor naga sakti ketika dia memandang kepada para pengawal yang menghadang di mulut lorong itu. Dengan berani dia terus melangkah maju sambil sekali lagi membentak, "Kembalikan Bi Cu!"

Akan tetapi pengawal-pengawal yang berjaga di situ adalah pasukan pengawal pilihan yang tadinya menjadi pasukan pilihan dari Raja Sabutai. Mereka ini, sebagai pasukan pilihan, seolah-olah telah menjadi manusia-manusia robot yang tidak mempunyai keinginan sendiri dan mereka bergerak oleh perintah atasan. Mereka tadi menerima perintah untuk mencegah pemuda ini pergi ke gudang di belakang, di mana Hek-hiat Mo-li dan Kim Hong Liu-nio mengurung gadis tawanan itu, dan mereka, pasukan pengawal yang jumlahnya tiga puluh orang itu, akan mentaati perintah ini sampai titik darah terakhir mereka! Maka, mendengar bentakan-bentakan Sin Liong, mereka itu seolah-olah tidak mendengarnya dan kini para pengawal yang menghadang di depan telah mengangkat senjata mereka dengan muka beringas, sedangkan pasukan yang berada di belakang Sin Liong kini sudah bergerak maju lagi memasuki lorong itu! Sin Liong benar-benar dihimpit dari depan dan belakang.

Melihat ini, Sin Liong menjadi semakin marah dan tahulah dia bahwa sekali ini Pangeran Ceng Han Houw benar-benar memperlihatkan kedoknya dan hendak menentangnya mati-matian, maka diapun lalu mengeluarkan bentakan nyaring dan tubuhnya sudah menerjang ke depan seperti seekor harimau menubruk, tanpa memperdulikan adanya tombak, golok dan pedang yang menyambut tubuhnya. Dia mengerahkan seluruh tenaganya yang dihimpunnya selama dia mempelajari ilmu dari Bu Beng Hud-couw. Ada angin dahsyat menyambar ke depan, menyambut belasan orang yang menghadangnya itu, disusul oleh kedua tangan Sin Liong sendiri yang mendorong ke depan.

"Bresssss...!" Hebat bukan main tenaga sin-kang yang menyambar keluar dari gerakan Sin Liong ini. Tombak, golok, pedang beterbangan, terdengar pekik-pekik kesakitan dan belasan orang itu sudah terjengkang dan terpelanting ke kanan kiri seperti setumpuk daun kering diamuk badai! Sin Liong terus meloncat keluar dari lorong itu, tiba di ruangan belakang yang luas. Di sini dia berdiri tegak, memandang ke sekelilingnya, mencari-cari Bi Cu. Belasan orang pengawal yang terpelanting tadi, hanya ada sepuluh orang saja yang sudah bangkit kembali dan yang lima orang tak dapat bangun. Ditambah oleh lima belas orang lagi, yaitu para pengawal yang mengejar dari belakang tadi, mereka kini mengurung dan mulai menerjang dan mengeroyok Sin Liong dari berbagai jurusan. Hujan senjata menyerang tubuh Sin Liong!

Sin Liong mengamuk! Kedua tangannya yang penuh dengan tenaga Thian-te Sin-ciang sampai ke puncak, menyambar-nyambar dan setiap orang pengeroyok yang terkena sentuhan tangan ini, bahkan terkena sambaran hawa pukulannya saja, tentu terpelanting. Setiap senjata yang bertemu dengan lengannya tentu patah-patah atau beterbangan terlepas dari pegangan pemiliknya. Bagaikan sekepok nyamuk menyerang api lilin, para pengawal itu setiap kali maju terpelanting roboh dan setelah mengamuk dengan hebatnya, laksana seekor naga yang mengejar mustika di antara awan-awan hitam, semua pengawal itu roboh dan tubuh mereka malang-melintang memenuhi ruangan itu, merintih-rintih dan mengaduh-aduh. Darah berceceran di mana-mana dan senjata tajam berserakan. Sin Liong masih sempat melihat seorang pengawal yang luka terpincang-pincang lari ke belakang, ke sebuah gudang tua jauh di belakang istana itu. Maka diapun cepat berkelebat dan menuju ke tempat itu.

"Brakkkk!" Sekali terjang daun pintu kayu yang tebal dari gudang itupun pecah berantakan dan Sin Liong meloncat masuk. Akan tetapi dia terbelalak berdiri di ambang pintu yang sudah jebol itu, memandang ke dalam. Gudang itu besar, dan agaknya merupakan gudang yang sudah tidak terpakai lagi karena selain kosong juga tidak terawat, kotor dan jauh berbeda dengan keadaan di dalam istana yang serba mewah dan indah. Memang gudang ini telah lama dipergunakan hanya untuk menyiksa para tawanan ketika Hek-hiat Mo-li tinggal di situ dan karenanya, setelah Pangeran Ceng Han Houw mempergunakan istana itu, gudang ini tidak dipakai dan hanya ditutup. Dan sekarang, tempat itu dipergunakan oleh Hek-hiat Mo-li dan Kim Hong Liu-nio untuk menahan Bi Cu! Agaknya pengawal yang terluka dan tadi lari masuk untuk melapor, mengalami nasib sial karena dia sudah meringkuk di sudut itu tak bergerak-gerak, entah pingsan entah mati. Dan memang ketika dia selesai melapor bahwa semua pengawal tidak mampu menahan pemuda itu, Hek-hiat Mo-li telah "menghadiahi" dengan sebuah tendangan yang membuat tulang iga orang itu remuk-remuk!

Dapat dibayangkan betapa marahnya hati Sin Liong ketika dia melihat Bi Cu terbelenggu pada sebatang tiang kayu di dalam gudang itu dan di sekeliling tiang itu terdapat tumpukan balok-balok kayu yang sudah disiram minyak dan kini Kim Hong Liu-nio sudah berdiri dekat sambil memegang sebatang obor yang bernyala, siap untuk membakar tumpukan kayu yang mengelilingi Bi Cu itu! Dara itu juga memandang kepadanya dengan muka pucat dan mata terbelalak, akan tetapi suaranya terdengar penuh kegembiraan ketika dia berseru, "Sin Liong...!"

Agaknya baru sekarang dia dapat berseru memanggil nama kekasihnya itu karena sejak tadi mulutnya diikat dengan sapu tangan yang kini bergantung di lehernya, tentu sudah dilepaskan oleh Kim Hong Liu-nio. Dan agaknya wanita ini sudah mempersiapkan diri baik-baik karena selain kedua tangannya sudah mengenakan sarung tangannya yang dapat menahan senjata tajam, di atas punggungnya yang menggendong kayu palang salib itu nampak mengepul hio-hio yang terbakar, dan kini selain tangan kirinya memegang obor, juga tangan kanannya memegang sebatang pedang yang berkilauan! Dan tidak jauh dari situ berdiri si nenek muka hitam yang menyeringai mengerikan, bersandar pada tongkat bututnya.

"Heh-heh-heh!" Hek-hiat Mo-li terkekeh dan nampak mulutnya yang tak bergigi lagi. "Kau bocah bandel, masih mau memamerkan sedikit kepandaian di sini?"

"Hek-hiat Mo-li!" Sin Liong membentak. "Lepaskan Bi Cu!"

"Heh-heh, bocah lancang! Hanya ada dua pilihan untukmu. Engkau kembali ke depan dan membantu pangeran sampai dia berhasil dengan cita-citanya, atau engkau akan melihat pacarmu ini dimakan api sampai habis dan engkau sendiri mampus di bawah tongkatku!"

"Nenek iblis!" Sin Liong membentak dan dia sudah meloncat ke depan dan menerjang nenek itu dengan dahsyatnya!

"Ihh...! Plakk!" Nenek itu meloncat untuk menghindar sambil menyabetkan tongkatnya yang dapat ditangkis oleh Sin Liong. "Bakar dia!" teriaknya sambil melawan pemuda yang sudah marah sekali itu. Kim Hong Liu-nio cepat membakar tumpukan kayu di sekeliling Bi Cu dan apipun berkobarlah.

"Sin Liong...!" Bi Cu menjerit ketika api berkobar mengelilinginya, mendatangkan hawa panas yang luar biasa. Pilar di mana dia terbelenggu tidak akan cepat terbakar, dan pembakaran itu memang diatur sedemikian rupa untuk menyiksanya sehingga sebelum api itu akhirnya menjalar ke pilar, terlebih dulu dia akan mengalami siksaan luar biasa dikurung api berkobar yang besar dan amat panas.

Sin Liong mengamuk, dan kini Kim Hong Liu-nio juga sudah maju dengan pedangnya, membantu gurunya mengeroyok Sin Liong. Pedangnya bergerak dengan amat cepatnya, lenyap bentuk pedang di tangan Kim Hong Liu-nio, berubah menjadi segulung sinar berkilauan yang menyambar-nyambar, mengeluarkan suara berdesing dan berciutan, juga tongkat di tangan nenek muka hitam itu berbahaya bukan main, karena gerakannya didorong oleh sin-kang yang amat hebat.

Sekali ini Sin Liong benar-benar diuji kepandaiannya. Dua orang lawannya terdiri dari orang-orang yang pandai, terutama sekali nenek hitam itu. Dan celakanya dia bertanding dengan hati gelisah bukan main melihat api berkobar mengurung Bi Cu. Sebagian besar perhatiannya tertarik ke arah Bi Cu, dan setiap ada kesempatan, dia meninggalkan dua orang lawannya untuk meloncat ke arah api dalam usahanya untuk menyelamatkan dara itu lebih dulu dari ancaman maut yang mengerikan. Namun, dua orang lawannya maklum akan niatnya ini dan terus menghadang, bahkan kelengahan Sin Liong karena perhatiannya tertarik ke arah Bi Cu membuat dua kali punggung dan pundaknya kena dihantam tongkat Hek-hiat Mo-li! Kalau saja dia tidak memiliki kekebalan dan cepat menggunakan Thi-khi-i-beng, tentu dia sudah roboh oleh dua kali hantaman itu. Dia hanya merasa pening sedikit, akan tetapi dengan mengeluarkan jurus Hok-mo Cap-sha-ciang, angin pukulan menyambar dahsyat dan dua orang lawannya itu terkejut dan cepat mengelak sambil meloncat mundur. Di lain saat, guru dan murid itu sudah menerjang lagi dan kembali Sin Liong terdesak hebat karena dia masih terus mencurahkan perhatiannya kepada Bi Cu yang terus-menerus memanggil namanya.

"Sin Liong... ah, Sin Liong, tolong...!"

Sin Liong tak dapat menahan kegelisahannya dan meloncat ke depan. Kelengahannya itu dipergunakan oleh Kim Hong Liu-nio untuk menusukkan pedangnya ke arah lambungnya dari kanan. Untung bagi pemuda ini bahwa dia masih mendengar desir sambaran pedang ini, maka dia mengelak, sungguhpun perhatiannya masih ke depan, ke arah api berkobar.

"Dess...!" Pukulan tangan kiri dari Kim Hong Liu-nio dengan tepat mengenai punggungnya, sebuah pukulan yang amat kuatnya.

"Ihhh...!" Kim Hong Liu-nio menjerit karena tangannya itu melekat pada punggung dan tersedotlah hawa murni dari tubuhnya. Gurunya yang maklum akan keadaan muridnya, cepat menerjang ke depan, ujung tongkatnya berkelebat depan mata Sin Liong. Pemuda ini menarik tubuh ke belakang dan kesempatan itu dipergunakan oleh Hek-hiat Mo-li untuk menepuk punggungnya dan membentot kembali tangan muridnya! Setelah terlepas dari pengaruh Thi-khi-i-beng itu, Kim Hong Liu-nio mengamuk dan menujukan ujung pedangnya ke arah sasaran bagian tubuh yang berbahaya sehingga kembali Sin Liong terpaksa harus melayani dua orang lawan tangguh itu, sementara itu hatinya merasa semakin gelisah.

"Brakkk...!" Tiba-tiba jendela di belakang gudang itu pecah berantakan dan sesosok bayangan yang amat gesit dan ringannya melayang masuk. Itu adalah bayangan seorang wanita cantik dan Sin Liong segera mengenal bayangan itu yang bukan lain adalah bayangan Yap In Hong, atau ibu tirinya! Nyonya yang cantik jelita dan gagah perkasa itu muncul secara demikian tiba-tiba sehingga bukan hanya mengejutkan Sin Liong, akan tetapi juga membuat Kim Hong Liu-nio dan Hek-hiat Mo-li menjadi kaget sekali.

Bagaimanakah Yap In Hong dapat tiba-tiba muncul di tempat itu? Perlu diketahul bahwa rombongan keluarga Cin-ling-pai itu sesungguhnya berada di Lembah Naga, menghadiri pertemuan besar itu adalah dalam rangka bantuan mereka kepada pemerintah, yaitu kepada Pangeran Hung Chih yang sudah diberi tugas khusus oleh kaisar untuk menghadapi usaha pemberontakan Pangeran Ceng Han Houw dengan cara halus, kalau mungkin tanpa menimbulkan perpecahan atau perang saudara yang akan mendatangkan korban besar di antara rakyat.

Oleh karena terikat oleh tugas inilah maka betapapun marahnya hati Cia Giok Keng melihat puterinya membantu pangeran pemberontak yang menjadi suaminya itu, namun Yap Kun Liong dan Cia Bun Houw selalu menyabarkannya. Ketika Cia Bun Houw sudah maju untuk menentang secara terang-terangan dan dikeroyok oleh kedua orang kakek Lam-hai Sam-lo dan terjadi pertandingan yang amat hebat dan seru, diam-diam Yap In Hong yang mengikuti gerakan mereka maklum bahwa suaminya tidak akan kalah. Oleh karena itu diapun merasa lega, lalu diam-diam dia berunding dengan kakak kandungnya, Yap Kun Liong, dan Cia Giok Keng yang menyetujui agar dia menyelidik dari bagian belakang istana, sementara Yap Kun Liong dan isterinya siap untuk membantu Cia Bun Houw apabila terjadi sesuatu dan siap pula untuk memberi tanda yang telah ditunggu-tunggu oleh pasukan besar yang menanti di luar lembah!

Demikianlah mengapa Yap In Hong tahu-tahu berada di gudang itu. Ketika dia menyelinap ke belakang gudang dan mendengar suara orang berkelahi, dia mengintai dan betapa kagetnya ketika dia mengenal Sin Liong dikeroyok oleh Hek-hiat Mo-li dan murid perempuannya, dan melihat pula Bi Cu terkurung api dan dara itu sudah mulai sesak napas dan tubuhnya basah semua oleh peluh. Dia sudah tidak mampu berteriak lagi, hanya mengeluh dan merintih! Melihat keadaan dara ini, Yap In Hong lalu meloncat dengan kecepatan seekor burung terbang, kakinya menendangi balok-balok terbakar ke kanan kiri sehingga terbukalah jalan baginya untuk menerobos masuk. Cepat sekali dia sudah menggunakan jari-jari tangannya yang kecil mungil namun mengandung tenaga Thian-te Sin-ciang yang dahsyat itu untuk mematahkan semua belenggu kaki tangan Bi Cu yang sudah lemas dan pingsan itu, kemudian dia memondong tubuh dara itu dan sekali meloncat dia telah keluar dari lingkungan api yang berkobar dan membawa Bi Cu ke sebuah sudut gudang yang luas itu. Ketika melihat Bi Cu pingsan, dia lalu mendudukkan dara itu dan menyandarkannya pada dinding, kemudian dia bangkit berdiri dan memandang ke arah pertempuran.

Sinar matanya berubah ketika dia melihat Sin Liong dikeroyok. Tadinya, seperti juga suaminya, dia merasa benci kepada anak ini yang dianggapnya seorang anak yang tidak mengenal budi. Akan tetapi kini melihat anak itu dikeroyok dua secara mati-matian, pandangannya menjadi berubah.

"Hek-hiat Mo-li, sebelum engkau mampus tentu engkau akan menyebar kejahatan saja di dunia ini! Akulah lawanmu, nenek iblis!" Dia hendak meloncat memasuki gelanggang pertempuran, akan tetapi Sin Liong cepat berkata,

"Yap-lihiap... aku berterima kasih sekali kepadamu, akan tetapi... harap lihiap jangan mencampuri, biarkan aku menghadapi mereka ini! Aku ingin membalaskan kematian kong-kong Cia Keng Hong!" Suaranya mengandung isak karena saking terharunya melihat Bi Cu diselamatkan oleh ibu tirinya! Dan juga saking marahnya terhadap dua orang lawannya ini.

Yap In Hong tercengang, karena dia terkejut mendengar ucapan itu dan melihat jalannya pertempuran. Bocah itu menyebut "kong-kong" kepada ayah mertuanya, dan selain menyatakan ingin membalas kematian ketua Cin-ling-pai, juga kini gerakan bocah itu sungguh jauh berbeda! Kini, pemuda itu mengeluarkan jurus-jurus yang amat luar biasa, dan setiap kali dia menerjang, ada hawa pukulan yang luar biasa dahsyatnya menyambar darinya, membuat dua orang lawannya menjadi terhuyung-huyung! Yap In Hong adalah seorang wanita sakti yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali, akan tetapi belum pernah dia menyaksikan gerakan seperti yang dilakukan Sin Liong pada saat itu, dan dia dapat melihat dan merasakan kehebatan hawa pukulan yang luar biasa itu. Maka diapun lalu berdiri saja dan menonton, mendekati Bi Cu dan menjaga dara yang masih pingsan itu. Sementara itu, tumpukan kayu yang terbakar itu karena tadi ditendangi dan terlempar ke sana-sini, mulai membakar dinding rumah dan pilar!

Tidak mengherankan apabila Yap In Hong pendekar wanita sakti itu tertegun menyaksikan kehebatan gerakan Sin Liong. Kini, setelah melihat Bi Cu selamat, Sin Liong menjadi demikian lega dan gembira sehingga dia mampu mencurahkan seluruh perhatiannya kepada perkelahian itu dan kini diapun tidak mau memberi hati kepada dua orang lawannya. Dia mempergunakan langkah-langkah Thai-kek Sin-kun dan dengan gerakan tiba-tiba sekali, dia sudah menerjang dengan jurus dari ilmu silat mujijat Hok-mo Cap-sha-ciang. Terjangan pertama membuat dua orang wanita itu terhuyung dan terdengar Kim Hong Liu-nio menjerit kecil karena pedangnya membalik dan melukai pundaknya sendiri! Mereka berdua maklum kini bahwa Sin Liong benar-benar tangguh, dan munculnya Yap In Hong yang berhasil menyelamatkan Bi Cu benar-benar membuat kedua orang itu agak bingung dan gentar. Maka kini mereka hendak memusatkan tenaga untuk bertahan, maka mereka tidak berpencar, melainkan berdiri berdampingan menghadapi Sin Liong.

Pemuda ini mengeluarkan pekik yang dahsyat, dibarengi dengan gerakan tubuhnya mencelat ke depan dan dia sudah mengirim serangan ke dua dari Hok-mo Cap-sha-ciang. Kedua tangannya dengan jari-jari terpentang bergerak dari atas ke bawah, dan dua macam tenaga yang berlawanan, yang dari atas panas sekali dan dari bawah dingin sekali menyambar seolah-olah hendak menghimpit dua orang lawan itu.

"Plak-plak... dessss...!" Hek-hiat Mo-li yang terkejut bukan main menyaksikan serangan yang luar biasa hebat dan ganasnya itu telah mengerahkan tenaganya dan dua kali dia menggunakan tongkat dan lengannya untuk menangkis dua tangan Sin Liong dan akibatnya dia terpental sampai beberapa meter jauhnya dan punggungnya menabrak dinding gudang! Pada saat Sin Liong melakukan pukulan dahsyat itu dan Hek-hiat Mo-li melakukan penangkisan, Kim Hong Liu-nio yang cerdik sudah menjatuhkan dirinya ke atas lantai, kemudian bagaikan seekor trenggiling dia menggelundung ke arah Sin Liong dan meloncat sambil menaburkan Hui-tok-san, yaitu bubuk kuning ke arah muka Sin Liong, diikuti oleh gulungan sinar merah dari sabuknya yang melakukan totokan ke arah kedua mata pemuda itu dan paling akhir pedangnya meluncur dari tangan, menusuk ke arah lambung! Sungguh wanita ini hebat dan berbahaya sekali, menggunakan kesempatan itu untuk melakukan serangan maut yang agaknya sukar untuk dapat dihindarkan lawan yang bagaimana tangguhpun!

Akan tetapi pada saat itu, dalam kegembiraannya karena Bi Cu sudah bebas dari bahaya maut, Sin Liong berada dalam keadaan penuh gairah dan di puncak dari kewaspadaannya, seluruh tubuhnya menggetar dengan sin-kangnya yang memang luar biasa kuatnya, sin-kang yang diwariskan kepadanya oleh mendiang Kok Beng Lama, kemudian digembleng pula oleh mendiang Cia Keng Hong yang menurunkan Thi-khi-i-beng dan semua itu masih ditambah lagi dengan latihan dari kitab-kitab kuno peninggalan Bu Beng Hud-couw sehingga pada saat itu, kiranya sukar dicari bandingannya di dunia persilatan. Maka, melihat gerakan serangan bertubi-tubi ini, Sin Liong tidak menjadi gugup sama sekali. Dia dapat mengikuti gerak-gerik lawan ini satu demi satu dan sambaran bubuk kuning ke arah mukanya itu dibuyarkannya dengan tiupan khi-kang yang kuat sehingga uap kuning itu membuyar bahkan menyambar kembali ke muka Kim Hong Liu-nio yang tentu saja tidak takut menghisapnya karena dia telah memakai obat penawar racun Hui-tok-san itu. Kemudian, totokan ujung sabuk merah ke arah kedua matanya itu hanya dielakkan dengan miringkan kepala, kemudian tusukan pedang ke arah lambungnya itu cepat ditangkapnya dengan tangan dan sekali dia mengerahkan tenaga mencengkeram, pedang ltu dapat dicengkeramnya sampai patah-patah! Kim Hong Liu-nio terkejut bukan main, hampir tidak percaya akan pandang matanya sendiri! Betapa mungkin pedangnya yang terbuat dari baja murni itu, yang takkan patah oleh senjata apapun, kini menjadi patah-patah oleh cengkeraman jari-jari tangan pemuda itu? Dalam gugupnya, dia menggerakkan tangan kanannya itu memukul setelah membuang gagang pedang, memukul dengan kerasnya ke arah dada Sin Liong.

"Bukk!" Pukulan itu tepat mengenai sasaran karena memang Sin Liong tidak mengelak, akan tetapi telapak tangan wanita itu melekat dan seketika tenaga sin-kang dari telapak langan itu membanjir tersedot oleh tubuh Sin Liong!

"Aihhh...!" Kim Hong Liu-nio sudah diberi tahu subonya bagaimana menghadapi Thi-khi-i-beng, maka dia cepat menggunakan ujung sabuknya menotok pergelangan tangan kanannya sendiri sehingga tangan itu lumpuh, kehilangan tenaga dan dengan sendirinya terlepas dari sedotan karena sudah tidak mengandung tenaga sin-kang, dan wanita ini lalu melempar diri ke belakang, menggelinding dan pada saat dia menggelinding itu, nampak sinar api meluncur ke arah perut, leher dan mata Sin Liong! Itulah tiga hatang hio menyala dan yang dilontarkan secara tepat oleh Kim Hong Liu-nio! Melihat ini, Sin Liong menjadi marah sekali. Dia teringat akan kematian ibu kandungnya di tangan wanita ini, maka cepat kedua tangannya menangkap-nangkapi tiga batang hio itu dan secepat kilat dia melemparkan hio-hio itu ke arah pemiliknya. Betapapun wanita itu berusaha mengelak, namun dia kalah cepat oleh luncuran hio yang dilontarkan dengan tenaga sin-kang yang luar biasa itu.

Terdengar jerit menyayati hati ketika dua di antara tiga batang hio itu mengenai sasarannya dengan tepat, yaitu, yang pertama menancap di antara kedua mata wanita itu sedangkan yang ke dua memasuki dada lewat ulu hatinya. Wanita itu roboh terjengkang dan agaknya hio yang menembus batok kepalanya itu langsung mengenai pusat otak yang membuat dia tak mampu bergerak lagi dan tak lama kemudain tewaslah Kim Hong Liu-nio dalam keadaan yang hampir sama namun lebih mengerikan daripada kematian mendiang Liong Si Kwi, ibu kandung Sin Liong!

Hek-hiat Mo-li mengeluarkan gerengan seperti seekor binatang marah dan dia sudah menubruk dari samping, menghantamkan tongkat butut ke arah belakang kepala Sin Liong sedangkan tangan kirinya mencengkeram ke arah dada. Sin Liong yang sejenak tertegun melihat betapa dia telah berhasil membunuh wanita yang menjadi musuh besarnya, yang telah membunuh ibu kandungnya itu, cepat berbalik ketika merasa ada sambaran angin serangan dahsyat itu. Dari angin pukulan itu tahulah Sin Liong bahwa nenek ini sudah marah sekali dan telah mengerahkan seluruh tenaganya, agaknya hendak mengadu nyawa dengan dia karena marah melihat muridnya yang terkasih itu tewas.

"Hemm, engkaupun harus mampus untuk pergi menghadap arwah kong-kong!" bentaknya dan diapun cepat menangkis dan balas menyerang. Karena sekali ini Sin Liong tidak mau memberi hati lagi, begitu balas menyerang diapun sudah memilih jurus dari Hok-mo Cap-sha-ciang yang merupakan ilmu simpanan dan yang belum dikenal oleh orang lain sehingga betapapun nenek itu hendak mengelak dan menangkis, tetap saja pukulan aneh itu mengenai dadanya.

"Desss...!" Tubuh nenek itu terlempar lagi ke belakang dan menghantam dinding, gudang itu seperti tergetar saking kerasnya tubuh nenek itu menumbuk dinding. Akan tetapi, biarpun pukulan tadi hebat sekali, namun Hek-hiat Mo-li tetap merangkak bangung maju lagi dan memekik-mekik seperti orang gila sambil menyerang dengan tongkatnya, agaknya sedikitpun tidak merasakan pukulan dahsyat itu!

Sip Liong merasa terkejut bukan main. Pukulannya tadi hebat sekali, dan dia sudah mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang pada tangannya. Namun ternyata nenek tua itu memiliki kekebalan yang luar biasa sekali, agaknya kekebalan yang sudah melindungi seluruh tubuh bagian dalam sehingga pukulan yang sedemikian ampuhnyapun tidak dapat melukai luar maupun dalam!

Ketika tadi Sin Liong merobohkan Kim Hong Liu-nio setelah melakukan serangan hebat yang membuat guru dan murid itu terdesak hebat, pendekar wanita Yap In Hong memandang dengan mata terbelalak! Dia merasa heran, terkejut, dan kagum bukan main. Dia sudah mengenal betul siapa adanya Hek-hiat Mo-li dan betapa lihainya nenek iblis itu, dan diapun tahu bahwa murid nenek itupun lihai bukan main. Akan tetapi, dikeroyok dua oleh guru dan murid itu, Sin Liong sama sekali tidak kelihatan repot, bahkan dalam waktu singkat saja telah berhasil menewaskan Kim Hong Liu-nio secara demikian luar biasa, menggunakan hio-hio (dupa biting) yang bernyala yang merupakan senjata rahasia dari lawan itu. Kini tubuh Kim Hong Liu-nio terlentang tak bernyawa lagi, akan tetapi dua batang hio yang menancap di dada dan dahi itu masih mengeluarkan asap harum! Dan melihat betapa dalam gebrakan selanjutnya Hek-hiat Mo-li sudah kena dihantam sedemikian kerasnya, benar-benar membuat Yap In Hong kagum bukan main! Dia sendiri pernah melawan nenek ini dan biarpun akhirnya dia berhasil menang, namun harus melalui pertandingan yang amat lama, amat melelahkan dan amat berbahaya. Dan kini, nenek ini dan biarpun akhirnya dia berpada dahulu, namun dalam perkelahian yang belum lama, Sin Liong telah mampu membuat tubuh nenek itu terlempar dua kali!

Akan tetapi, melihat wajah pemuda itu terkejut dia mengerti sebabnya. Dia sudah mengenal kekebalan nenek itu yang dahulu pernah membuat dia repot dan bingung juga, maka diapun lalu cepat berkata, "Sin Liong, kauhantam kedua telapak kakinya!"

Mendengar ini, mengertilah Sin Liong bahwa nenek itu memiliki kelemahan pada telapak kakinya. Dan memang benarlah demikian. Di dalam cerita Dewi Maut, pendekar wanita Yap In Hong pernah bertanding mati-matian dengan nenek ini dan seandainya dia tidak dapat menemukan rahasia kelemahan nenek ini, yaitu pada kedua kakinya, belum tentu dia dapat keluar sebagai pemenang. Kini dia membuka rahasia kelemahan itu kepada Sin Liong.

Mendengar ini, girang hati Sin Liong. Tadi dia sudah kaget sekali menyaksikan kehebatan ilmu kekebalan nenek ini dan sungguhpun hal itu tidak membuat dia merasa gentar, namun setidaknya dia menjadi bingung karena tidak tahu bagaimana dia akan dapat mengalahkan orang yang tubuhnya kebal seperti itu. Kini, mendengar petunjuk dari Yap In Hong, dia girang sekali dan cepat dia menghantamkan kedua tangannya ke arah kedua kaki nenek itu dengan pengerahan tenaga sin-kangnya.

Akan tetapi, betapa terkejutnya hati Yap In Hong dan juga Sin Liong sendiri ketika nenek itu hanya mengelakkan sebelah kaki saja, dan sambil terkekeh-kekeh dia menyambut hantaman Sin Liong dengan kakinya! Justeru dengan telapak kakinya yang dianggap tempat lemah itu.

"Dukkk!" Kembali tubuh nenek itu terlempar ke belakang, akan tetapi Sin Liong terkejut sekali karena tangannya bertemu dengan benda yang amat keras, yang agaknya tersembunyi di dalam sepatu yang tebal itu. Kiranya, nenek itu telah melindungi bagian tubuhnya yang lemah itu, yaitu dua telapak kakinya, dengan logam, mungkin baja murni yang amat kuat dan tebal dan melindungi kedua telapak kaki itu dengan disembunyikan di dalam sepatu. Pantas saja sepatu nenek itu amat tebal!

"Heh-heh-heh, Yap In Hong, kaukira masih akan dapat mengalahkan aku dengan memukul telapak kakiku? Heh-heh!" Nenek itu tertawa girang sekali dan dia sudah menerjang lagi ke arah Sin Liong dengan lebih dabsyat!

Sin Liong menjadi marah. Dia menyambut terjangan nenek itu dengan kedua tangannya, tangan kirinya menangkis tongkat dan terus menangkap tongkat itu, tangan kanan menangkis pukulan tangan kiri lawan dan terus dia mengerahkan Thi-khi-i-beng sehingga tongkat dan tangan nenek itu tersedot dan melekat.

"Heh-heh, siapa takut Thi-khi-i-beng?" Nenek itu berseru sambil menggerakkan tubuhnya meliuk seperti ular dan tiba-tiba tongkat dan tangannya dapat terlepas dari sedotan karena nenek itu menarik kembali sin-kangnya, dan secepat kilat nenek itu sudah menggerakkan tongkatnya dari jarak yang sedemikian dekatnya untuk menotok jalan darah maut di leher Sin Liong, di bawah telinga kiri!

"Tok! Prakk!" Nenek itu terkejut bukan main. Totokannya tadi tepat mengenai sasaran. Biasanya, totokan seperti itu tidak mungkin dapat dilindungi oleh kekebalan, maka dia sudah girang sekali karena mengira bahwa totokannya tentu akan merobohkan pemuda itu. Dia tidak tahu bahwa dengan latihannya menurut kitab-kitab Bu Beng Hud-couw yang aneh, pemuda itu telah dapat membalikkan jalan darahnya sehingga ketika ujung tongkat itu mengenai jalan darah, yang ditotoknya hanyalah urat yang pada saat itu berhenti tidak mengalirkan darah karena darahnya berpindah mengalir melalui tempat lain! Dan pada saat itu juga, dengan tangannya, Sin Liong menampar ke arah tongkat dengan tenaga Thian-te Sin-ciang sehingga tongkat itu patah-patah. Kini Sin Liong menggunakan kecepatan gerakan tubuhnya, mainkan San-in-kun-hoat dengan kedua tangannya, gerakannya lembut seperti awan gunung, namun ilmu silat yang dipelajarinya dari ketua Cin-ling-pai ini hebat sekali sehingga biarpun lembut, jari-jari tangannya mengancam ke arah mata nenek itu, bagian yang tentu saja tidak mungkin dilindungi oleh kekebalannya yang amat kuat itu.

"Ihhh...!" Nenek itu mengelak dan menggunakan kedua tangan untuk melindungi mukanya. Inilah yang dikehendaki oleh Sin Liong. Begitu kedua lengan nenek itu bergerak melindungi matanya, gerakan sekilat ini sedikit banyak mengurangi kewaspadaan nenek itu karena matanya terhalang lengan dan nenek itu terlalu mengandalkan kekebalannya sehingga tidak melindungi tubuh lain. Kesempatan ini dipergunakan oleh Sin Liong untuk melakukan gerakan cepat mencengkeram dengan kedua tangannya, menangkap leher dan baju di bagian dada nenek itu dan sebelum Hek-hiat Mo-li tahu apa yang hendak dilakukan oleh pemuda itu, tiba-tiba Sin Liong mengeluarkan bentakan nyaring dan dengan sekuat tenaga dia melemparkan tubuh nenek itu ke arah api yang sedang berkobar!

"Hiaaattt...!" Bentakan ini disusul lemparan kedua tangan dan tubuh nenek itu melayang cepat ke arah api!

"Brakkk!" Pilar kayu di mana tadi Bi Cu dibelenggu dan yang kini sudah berkobar-kobar itu patah-patah tertimpa tubuh Hek-hiat Mo-li, disusul oleh pekik dahsyat nenek itu karena pakaiannya terjilat api dan mulailah dia terbakar oleh api yang mulai bernyala di pakaian dan rambutnya! Nenek itu meloncat ke sana-sini, akhirnya bergulingan dan menjerit-jerit. Namun api makin membesar dan akhirnya dia berkelojotan dan Sin Liong membuang muka.

Setelah nenek itu tidak bersuara lagi, Sin Liong lalu menghampiri Bi Cu, "Sin Liong...!" Kebetulan Bi Cu siuman dan mereka saling tubruk dan saling berangkulan, dipandang oleh Yap In Hong yang menahan senyumnya.

Sin Liong lalu menggandeng tangan kekasihnya, diajaknya berlutut di depan pendekar wanita itu. "Yap-lihiap telah menyelamatkan nyawa Bi Cu, kami berdua berterima kasih sekali dan kami takkan melupakan budi kebaikan lihiap," kata Sin Liong dengan suara terharu.

Yap In Hong tersenyum dan memandang kagum kepada pemuda yang berlutut di depannya itu. Baru sekarang dia tahu bahwa pemuda ini benar-benar memiliki kepandaian yang hebat sekali, dan mulailah dia mengerti mengapa pemuda ini dahulu mencegah dia dan suaminya ketika hendak membunuh Kim Hong Liu-nio. Kiranya pemuda ini hendak membunuh sendiri wanita jahat itu, dan tentu ada alasannya yang amat kuat.

"Sudahlah, Sin Liong, dalam keadaan seperti ini, tidak perlu sungkan-sungkan. Engkau terus teranglah sekarang, apakah engkau benar-benar hendak membantu pemberontakan Pangeran Ceng Han Houw?"

Sin Liong mengangkat muka memandang dan wanita perkasa itu terkejut menyaksikan sinar mata yang mencorong seperti mata naga itu! "Tidak, lihiap. Bahkan aku akan membantu untuk menghancurkan usahanya yang busuk itu!"

"Bagus, kalau begitu lekas kita keluar. Tempat ini mulai terbakar dan aku tidak tahu bagaimana jadinya dengan pertandingan di luar." Yap In Hong lalu cepat meloncat keluar.

Sin Liong yang menggandeng tangan Bi Cu bangkit bersama dara itu, mereka saling pandang. Ketika Bi Cu melihat tubuh Kim Hong Liu-nio sudah menjadi mayat dan hio-hio itu masih mengepulkan asap harum, sedangkan tubuh nenek itu menjadi makin hitam karena terbakar, dia mengeluh dan merangkul Sin Liong, menyembunyikan mukanya di dada kekasihnya. Teringatlah dia betapa kalau dia tidak tertolong, tentu dia akan mati secara mengerikan seperti nenek itu pula.

"Semua sudah berlalu... tenanglah," Sin Liong berkata sambil mendekap dan mengelus rambut kekasihnya, kemudian mengajaknya keluar dari tempat itu, menuju keluar, ke tempat pertemuan dengan jalan memutar, tidak lewat dalam istana, melainkan lewat taman bunga di samping istana. Mereka melihat betapa Yap In Hong sudah berjalan cepat menuju ke ruangan depan. Mereka lalu melangkah perlahan-lahan menuju keluar di mana agaknya masih terjadi keributan-keributan.

Ternyata bahwa pertandingan antara Cia Bun Houw yang dikeroyok dua oleh Hai-liong-ong Phang Tek dan Kim-liong-ong Phang Sun berjalan amat seru dan mati-matian. Ketika Yap In Hong meninggalkan suaminya untuk melakukan penyelidikan ke belakang istana, dia melihat bahwa suaminya telah mendesak dua orang lawan itu, maka setelah berunding dengan Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng, dia meninggalkan tempat itu, menyelinap ke belakang tanpa diketahui orang dan di gudang itu dia sempai menyaksikan Sin Liong menewaskan Hek-hiat Mo-li dan Kim Hong Liu-nio. Bahkan dia sempat pula menyelamatkan Bi Cu yang terancam maut. Karena ternyata di belakang istana itu tidak terdapat gerakan apa-apa, dan karena girang bahwa Sin Liong ternyata berpihak kepada Cin-ling-pai dan menentang pangeran, maka wanita perkasa itu lalu cepat kembali ke situ. Akan tetapi ternyata, sungguhpun dia tidak mempergunakan waktu yang terlalu lama meninggalkan tempat itu, setelah kini dia kembali, pertandingan itu telah berubah lebih menegangkan dan mati-matian karena dua orang yang mengeroyok suaminya itu setelah terdesak hebat lalu mengeluarkan senjata masing-masing. Phang Tek sudah mempergunakan senjata tongkatnya yang hanya sepanjang sebatang pedang dan mainkan tongkat itu seperti sebatang pedang dengan Ilmu Pedang Liong-jiauw-kiam yang ganas. Juga adiknya, Phang Sun, telah mempergunakan sebatang pisau belati berwarna hitam yang mengetuarkan bau amis. Memang belati di tangan Kim-liong-ong Phang Sun ini mengandung racun yang amat jahat, sekali gores pada kulit saja sudah cukup untuk mengirim lawan ke lubang kubur!

Akan tetapi melihat dua orang lawannya yang telah terdesak itu kini menggunakan senjata, Bun Houw tidak berkata apa-apa. Dia maklum bahwa memang dua orang lawan itu bukan sekadar menguji kepandaiannya, melainkan kalau mungkin akan membunuhnya, maka diapun lalu mencabut sebatang pedang. Semua orang menjadi silau melihat sekilat sinar emas yang kemudian bergulung-gulung. Kiranya itu adalah Hong-cu-kiam, sebatang pedang tipis yang bisa digulung atau dipakai sebagai sabuk, pedang yang pernah menggemparkan kolong langit di tangan pendekar ini.

Dengan pedang di tangan, pendekar ini tentu saja seperti seekor harimau tumbuh sayap. Dua orang kakek dari selatan itu kecele, karena begitu mereka bermain senjata, melawan pedang pemuda itu sungguh merupakan hal yang amat berbahaya. Belum sampai lima puluh jurus mereka bertanding, Hai-liong-ong Phang Tek telah kehilangan tongkatnya yang patah menjadi dua dan Kim-liong-ong Phang Sun terobek kulit lengan kirinya sehingga mengeluarkan darah. Keduanya terkurung hebat oleh gulungan sinar pedang dan kalau Bun Houw hendak menurunkan tangan kejam, tentu mereka dalam saat-saat berikutnya akan roboh! Pada saat itu, Pangeran Ceng Han Houw bangkit dan melangkah maju sambil berseru, "Tahan senjata...!"

Mendengar ini, sebagai seorang tamu yang tahu aturan, Bun Houw menahan pedangnya dan lenyaplah sinar gemilang dari pedang itu. Kini pendekar itu berdiri tegak menghadapi pangeran, pedangnya sudah masuk kembali ke sekeliling pinggangnya, dililitkan seperti sebatang sabuk! Hanya sedikit peluh di leher pendekar itu yang menunjukkan bahwa dia telah mengeluarkan banyak tenaga menghadapi dua orang lawan tangguh tadi, sedangkan dua orang kakek dari Lam-hai Sam-lo itu berdiri di pinggiran sambil terengah-engah dan seluruh muka, leher dan baju mereka basah oleh keringat!

Pangeran Ceng Han Houw sudah melangkah maju dan menjura dengan sikap hormat dan ramah kepada Cia Bun Houw. "Paman Cia Bun Houw sungguh gagah perkasa dan amat mengagumkan..."

"Maaf, pangeran, saya tidak pernah merasa mempunyai seorang keponakan seperti Pangeran. Bicaralah yang benar!" Cia Bun Houw memotong dengan suara ketus penuh teguran. Tentu saja ucapan ini merupakan tamparan hebat, namun Ceng Han Houw masih tersenyum dengan ramahnya.

"Mungkin saja seorang enghiong gagah perkasa seperti Cia-tahiap tidak menganggap saya sebagai keponakan, akan tetapi adalah merupakan kenyataan bahwa isteri saya, Lie Ciauw Si, adalah keponakanmu. Taihiap telah menundukkan dua orang kakek dari Lam-hai Sam-lo, dengan demikian berarti sudah memenuhi syarat secukupnya untuk menjadi jago nomer satu di dunia, kecuali kalau ada yang akan menandingi taihiap. Dengan kepandaian taihiap yang tinggi, maka kami mengharapkan agar taihiap akan sudi membantu agar kita semua dapat bangkit dan menentang kelaliman kaisar..."

"Cukup, pangeran! Aku bukan seorang pemberontak!"

"Justeru itulah, Cia-taihiap. Taihiap dan semua anggauta keluarga Cin-ling-pai bukan pemberontak dan tidak pernah memberontak, akan tetapi apa yang telah terjadi? Seluruh dunia kang-ouw tahu belaka bahwa keluarga Cin-ling-pai yang gagah perkasa telah dituduh pemberontak oleh kaisar yang tak mengenal budi, bahkan telah menjadi orang-orang buruan pemerintah. Bukankah hal itu amat membikin orang menjadi penasaran?"

"Kami sekarang sudah dibebaskan, dan aku tidak mau bicara tentang itu!" Cia Bun Houw berkata dengan ketus.

Pada saat itu Lie Ciauw Si juga sudah bangkit dan berkata, "Paman Cia Bun Houw, hendaknya paman mengetahui bahwa yang menbebaskan keluarga Cin-ling-pai dari tuduhan pemberontak adalah Pangeran Ceng Han Houw yang telah menjadi suamiku inilah! Dia bermaksud baik, dia hendak menghimpun kekuatan orang-orang gagah, kaum patriot untuk menentang penindasan..."

"Lie Ciauw Si!" Tiba-tiba terdengar suara Cia Giok Keng yang nyaring, membuat semua orang menengok ke belakang, "Aku malu melihat engkau menjadi kaki tangan gerakan pemberontak! Aku malu mendengar kata-katamu yang membelanya! Aku malu melihat engkau merendahkan diri menjadi isterinya!"

Seketika wajah Ciauw Si menjadi pucat dan dia memandang ke arah ibunya yang sudah bangkit berdiri dari kursinya itu dengan sinar mata sedih. "Ibu... dia... dia seorang suami yang baik..."

Cia Giok Keng yang marah sekali itu hendak meninggalkan tempat duduknya dan menghampiri ke tengah ruangan, akan tetapi lengan tangannya dipegang oleh Yap Kun Liong dan suaminya ini membujuknya sehingga akirnya dia duduk kembali, menutupi mukanya dan menangis!

Sementara itu, Cia Bun Houw berkata kepada Pangeran Ceng Han Houw, "Pangeran kita bicara seperti laki-laki, ataukah engkau hendak menggunakan wanita untuk membelamu?"

Han Houw tersenyum, memegang tangan Ciauw Si dan membujuknya lalu menuntunnya sehingga akhirnya Ciauw Si kembali duduk di atas kursinya dan menundukkan mukanya, menyembunyikan air matanya yang menetes keluar. Kemudian pangeran itu kembali menghampiri Bun Houw dan mereka berdiri berhadapan dan saling memandang. Pangeran itu tahu bahwa bujukannya yang dibantu isterinya tidak akan berhasil, maka kini dia hendak mengambil jalan lain yang menguntungkan dia, yaitu hendak merobohkan orang-orang Cin-ling-pai di depan semua orang kang-ouw agar mereka semua tahu bahwa dialah jagoan nomor satu di dunia ini! Kemenangannya atas diri pendekar-pendekar Cin-ling-pai tentu akan membuat para tokoh kang-ouw lain menjadi tunduk dan pengaruhnya tentu akan menjadi lebih besar sehingga mudah baginya untuk menguasai mereka.

Setelah dua orang ini saling pandang dengan sinar mata tajam, akhirnya Han Houw berkata, suaranya lantang karena dimaksudkan agar semua orang mendengarnya, "Cia-taihiap, kami bermaksud baik dan mengingat akan pertalian kekeluargaan, akan tetapi taihiap menolaknya. Sekarang, pendekar sakti Cia Bun Houw dari Cin-ling-pai telah maju ke sini dan mengalahkan dua orang yang menjadi penguji. Taihiap adalah seorang calon jagoan nomor satu di dunia."

"Aku tidak ingin menjadi jagoan, hanya ingin mengukur sampai di mana kepandaian orang yang berani mengaku sebagai jago nomor satu di dunia, tidak peduli siapa adanya dia itu!"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar