41 Pendekar Lembah Naga

"Hemm, mudah-mudahan begitu," kata Ciauw Si, akan tetapi alisnya masih berkerut tanda bahwa dia merasa bimbang.

Han Houw maklum akan isi hati Ciauw Si. Dia lalu menyuruh kusir kereta menghentikan kereta itu. Mereka berada di lereng sebuah bukit. Pasukan pengawal berhenti dan, menoleh heran, komandan pasukan lalu mendekatkan kudanya dengan kereta, memberi hormat dan bertanya, "Ada perintah apakah, pangeran?"

"Berhenti dulu, beristirahat di sini sebentar!" kata Pangeran Ceng Han Houw dan dia mengajak Ciauw Si untuk turun dari kereta, kemudian menggandeng tangan isterinya itu menjauhi kereta, ke tempat yang sunyi di padang rumput dekat puncak bukit itu.

"Si-moi, aku sengaja berhenti untuk memperlihatkan kepadamu agar engkau tidak bimbang ragu lagi."

"Maksudmu, pangeran?"

"Engkau telah mewarisi ilmu-ilmu dari Cin-ling-pai, karena engkau dibimbing sendiri oleh mendiang kakekmu, pendekar sakti Cia Keng Hong, ketua Cin-ling-pai, bukan?"

"Ah, aku hanya mempelajari sedikit sekali dibandingkan dengan kepandaian mendiang kong-kong."

"Betapapun juga, engkau merupakan seorang pendekar wanita yang jarang tandingannya, dan termasuk orang yang memiliki kepandaian silat tingkat tinggi di waktu ini. Oleh karena itu, kepandaianmu cukup untuk menguji sampai di mana tingkat kepandaianku yang kau ragukan itu, isteriku. Nah, sekarang kau boleh mencoba untuk mempergunakan seluruh kepandaian silatmu untuk menyerangku. Lihat, sampai berapa lama aku berhasil mencabut tusuk kondemu itu."

Wajah Ciauw Si berseri-seri. Sebagai seorang wanita gagah, tentu saja dia paling senang bicara tentang ilmu silat, apalagi mencobanya. "Eh, mencabut tusuk kondeku bukan hal yang mudah saja, pangeran! Itu melebihi sukarnya merobohkan aku! Karena untuk merobohkan aku banyak bagian tubuh yang dapat diserang dan sebaliknya, kalau aku mencurahkan perhatian dan pertahanan menjaga tusuk kondeku, mana mungkin engkau dapat mengambilnya?"

Suaminya tertawa. "Itulah sebabnya maka aku sengaja hendak menguji diri sendiri. Kalau aku tidak dapat mengambilnya, anggap saja kepandaianku masih kurang jauh sekali dan akupun tidak akan berani mencalonkan diri menjadi jago nomor satu di dunia."

Ciauw Si mengerutkan alisnya yang bagus. Tentu saja dia tidak akan tega membiarkan suami tercinta ini gagal. Akan tetapi, kalau dibiarkan berhasil dan kemudian suaminya menghadapi jagoan-jagoan lihai, tentu akan berbahaya juga. Maka dia menjadi serba salah.

"Ciauw Si, jangan kau ragu-ragu dan jangan memandang rendah kepada suamimu ini. Ketahuilah bahwa tingkat kepandaianku sekarang ini tidak kalah oleh bekas suboku, Hek-hiat Mo-li sendiri, bahkan aku berani berkata bahwa tingkatku tidak lebih rendah daripada tingkat kepandaian mendiang kong-kongmu!"

"Baiklah," Ciauw Si berKata. "Akan tetapi, pangeran, kalau sampal lima puluh jurus engkau tidak mampu mengambil tusuk kondeku dari kepala, apalagi kalau sampai aku dapat menyentuh bagian tubuhmu yang berbahaya, berjanjilah bahwa engkau tidak akan ikut memasuki pemilihan jago nomor satu di dunia. Bagaimana?"

"Baik, Si-moi," jawab pangeran itu sambil tersenyum, penuh kepercayaan akan diri sendiri. "Nah, kaw mulailah!"

"Bersiaplah, pangeran. Lihat serangan!" Ciauw Si mulai melakukan penyerangan dan dia bergerak cepat, menyerang ke bagian tubuh yang berbahaya. Tentu saja penyerangan itu tanpa disertai tenaga sin-kang, hanya dilakukan cepat saja karena tujuannya hanya untuk sekedar "menyentuh" bagian tubuh berbahaya untuk mendapatkan kemenangan. Ceng Han Houw melihat gerakan yang cepat sekali ini juga segera mengelak dan menangkis, kemudian, membalas dengan sambaran tangan ke arah kepala yang dapat dielakkan pula oleh Ciauw Si. Mula-mula, wanita lihai ini sengaja mengeluarkan Ilmu Silat San-in Kun-hoat yang amat hebat, yang terdiri dari delapan jurus pilihan. Jurus-jurus ini dipergunakannya untuk menyerang dan mendesak suaminya, dan selama dia bertualang, jarang ada lawan yang mampu mempertahankan diri kalau dia menyerangnya dengan ilmu silat yang ampuh ini. Akan tetapi pangeran itu ternyata hebat bukan main.

Gerakan-gerakannya aneh dan lincah lembut, dan setiap serangannya, sampai kedelapan jurus dari San-in Kun-hoat itu dipergunakannya semua, selalu dapat dielakkan dan ditangkis dengan mudah saja! Bahkan tidak hanya demikian, akan tetapi gerakan kedua tangan suaminya itu sedemikian cepatnya sehingga beberapa kali hampir saja gelung rambutnya dapat disentuhnya!

Ciauw Si merasa terkejut dan juga kagum sekali. Pangeran yang menjadi suaminya itu ternyata tidak membual, dan memang telah memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat sehingga ilmunya San-in Kun-hoat yang merupakan ilmu keturunan dari Cin-ling-pai itu sama sekali tidak berdaya terhadapnya. Maka kini Ciauw Si tidak lagi mencurahkan kepandaian untuk menyerang, melainkan untuk mempertahankan diri, mempertahankan agar jangan sampai tusuk kondenya dapat dirampas suaminya. Maka dia merubah gerakannya dan kini dia bersilat dengan Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun yang gerakannya tenang dan mantap, tidak begitu cepat akan tetapi mengandung daya tahan yang sekuat tembok benteng!

"Bagus! Ini tentu Thai-kek Sin-kun yang amat terkenal itu!" kata Ceng Han Houw dan dia mempercepat gerakannya untuk merampas tusuk konde dari gelung rambut isterinya. Akan tetapi ke manapun dia bergerak, selalu dia menghadapi pertahanan yang kuat. Apalagi memang Ciauw Si memusatkan pertahanannya kepada kepala sehingga semua sambaran tangan pangeran itu dapat ditangkisnya!

Tiga puluh jurus telah lewat dan tahulah Ceng Han Houw betapa kuatnya daya tahan dari ilmu silat isterinya itu dan kalau dilanjutkan, jangankan hanya lima puluh jurus, biar sampai seratus jurus kiranya akan sukarlah baginya untuk merampas tusuk konde itu. Dan dia mengerti bahwa isterinya mati-matian mempertahankan untuk memperoleh kemenangan, karena isterinya itu agaknya khawatir kalau-kalau dia memasuki pemilihan jago nomor satu di dunia, mengkhawatirkan keselamatannya, tentu.

"Isteriku, kau hati-hatilah. Sebelum sepuluh jurus tentu tusuk konde itu akan dapat kurampas!" katanya.

Ciauw Si hanya tersenyum dan menganggap suaminya itu berkelakar atau menyombong saja. Sudah tiga puluh jurus belum mampu merampasnya, mana mungkin sekarang dalam sepuluh jurus akan dapat mengambil tusuk konde itu?

Tiba-tiba Ceng Han Houw mengeluarkan pekik nyaring dan gerakannya berubah sama sekali. Kini setiap gerakannya mendatang angin berdesir, membuat pakaian Ciauw Si berkibar-kibar seperti dilanda angin besar. Wanita ini kagum dan terkejut, akan tetapi dia tetap mencurahkan semua daya tahan untuk melindungi kepalanya. Tiba-tiba tubuh pangeran itu berjungkir balik dan dia sudah memainkan Ilmu Hok-te Sin-kun yang luar biasa, yang didapatnya dari kitab-kitab Bu Beng Hud-couw itu. Ciauw Si terkejut dan bingung sekali ketika yang menyerang ke arah kepalanya bukan dua tangan, melainkan dua buah kaki bersepatu! Akan tetapi dia tetap menangkis gerakan kaki itu dan tiba-tiba dia merasa tubuhnya lemas. Kiranya jari tangan pangeran itu telah menotok punggungnya dari bawah! Dan sebelum Ciauw Si roboh, pangeran itu sudah berdiri lagi, dengan kecepatan kilat tangan kirinya menangkap kedua tangan Ciauw Si yang dalam beberapa detik menjadi seperti lumpuh itu, tangan kanannya menyambar ke arah tusuk konde dan pada detik berikutnya Ciauw Si sudah mampu bergerak kembali, akan tetapi tusuk kondenya telah terampas!

"Empat puluh jurus...!" Ceng Han Houw tersenyum sambil mengacungkan tusuk konde itu ke atas.

Ciauw Si tersenyum dan merangkul pinggang suaminya, memandang penuh kagum. "Ah, tak kusangka engkau sehebat ini, pangeran! Akan tetapi... betapapun lihai ilmu silatmu, lihai dan aneh dan hal itu harus kuakui, akan tetapi... kalau engkau bertemu dengan lawan yang memiliki tenaga sin-kang yang amat kuat, apakah ilmu silatmu itu akan dapat menandinginya?"

Ceng Han Houw mencium isterinya dan menusukkan kembali tusuk konde itu kegelung rambut isterinya, mematutnya, kemudian dia tersenyum dan berkata. "Kita tadi sudah saling menguji ilmu silat dan kelihaian gerakan. Kini, mari engkau menguji tenaga sin-kang yang kuperoleh dari pelajaran-pelajaran rahasia itu, juga ilmu gin-kangku. Sebagai cucu mendiang ketua Cin-ling-pai, tentu tenaga sin-kangmu sudah kuat sekali, bukan? Nah, coba kauserang aku dengan tenaga sin-kangmu, Si-moi, tidak seperti tadi, engkau hanya mengandalkan kecepatan gerak saja."

Ciauw Si menggeleng kepala. "Main-main dengan tenaga sin-kang untuk saling serang adalah amat berbahaya."

"Bukan saling serang maksudku, sayang, melainkan hanya mengukur kekuatan sin-kang masing-masing."

"Baiklah kalau begitu, biar kita mengukur sin-kang dengam mempermainkan sehelai daun," kata Ciauw Si gembira dan wanita ini lalu mengambil sehelai daun kering. "Kita lihat berapa tinggi kita masing-masing dapat menahan daun ini!" Dia melemparkan daun itu ke atas dan cepat menggerakkan tangan yang terbuka ke atas, seperti orang menyangga. Daun yang dilempar ke atas itu tentu saja melayang-layang ke bawah, akan tetapi begitu Ciauw Si menggerakkan tangan... daun itu tertahan, bahkan naik lagi ke atas!

Wanita muda itu terus menggerak-gerakkan kedua tangannya yang tergetar, penuh tenaga sin-kang dan sehelai daun kering itu terus naik sampai setinggi tiga meter dan bergerak-gerak seperti seekor kupu-kupu, setiap mau melayang turun seperti tertahan oleh tiupan angin dari bawah!

Setelah melihat bahwa daun itu tidak naik lebih tinggi lagi, Pangeran Ceng Han Houw berseru, "Bagus sekali, Si-moi. Sin-kangmu cukup hebat! Biar kunaikkan lagi daun itu!" Diapun lalu menggerakkan sebelah tangan, yaitu tangan kirinya ke arah daun itu dan seperti disambar angin yang amat kuat, tiba-tiba daun itu meluncur naik ke atas! Melihat ini, Ciauw Si terkejut dan kagum bukan main, maka dia lalu menurunkan kedua tangannya dan melangkah mundur, mengusap keringatnya yang membasahi dahi dan leher. Dia melihat betapa hanya dengan tangan kiri saja pangeran itu mampu membuat daun itu naik dan naik terus. Hampir dia tidak dapat percaya ketika daun itu terus melayang naik setiap kali pangeran itu menggerakkan tangan kiri sampai daun itu melayang-layang setinggi belasan meter! Sungguh merupakan demonstrasi tenaga sin-kang yang selamanya belum pernah dilihatnya! Kini dia mulai percaya bahwa pangeran yang telah menjadi suaminya itu tidak membual ketika mengatakan bahwa dia tidak kalah lihai dibandingkan dengan mendiang ketua Cin-ling-pai! Sukar diukur lagi betapa kuatnya sin-kang pangeran itu yang mampu membuat daun melayang-layang sampai belasan meter tingginya itu.

Tiba-tiba pangeran itu menyusulkan tangan kanannya. Kini kedua tangan dengan telapak tangan di atas itu bergerak-gerak, dan tiba-tiba bergerak ke bawah. Daun yang ringan itupun tiba-tiba meluncur ke bawah seperti sepotong batu yang berat. Setelah dekat, pangeran itu mengebutkan tangannya dan... daun itu lenyap dan berhamburanlah tepung halus. Ternyata daun itu telah dipukul dengan pukulan jarak jauh dan menjadi hancur seperti tepung!

Ceng Han Houw menoleh kepada Ciauw Si sambil tersenyum bangga. "Bagaimana pendapatmu, Si-moi?"

Ciauw Si merangkul dengan penuh kebanggaan dan kasih sayang. "Engkau hebat, pangeran, engkau sungguh hebat bukan main..." katanya.

"Nah, dalam ilmu silat dan sin-kang agaknya engkau sudah mulai percaya kepadaku. Sekarang akan kuperlihatkan gin-kang yang telah kupelajari. Kau boleh menyerangku secepat mungkin dan aku tidak akan menangkis, melainkan mempergunakan gin-kang untuk menghindarkan semua seranganmu. Kau boleh mempergunakan pedangmu!"

Akan tetapi Ciauw Si tentu saja tidak mau mencabut pedangnya, melainkan mengambil sebatang ranting pohon. "Biar kupergunakan ini saja," katanya dan mulailah dia menyerang dengan gerakan secepat mungkin.

Dan terjadilah keanehan. Pangeran Ceng Han Houw mempergunakan ilmu langkah Pat-kwa-po akan tetapi karena dia telah memiliki gin-kang yang dipelajarinya dari kitab peninggalan Bu Beng Hud-couw, maka gerakan-gerakan yang aneh itu membuat tubuhnya seolah-olah naik sepatu roda, bergeser ke sana ke mari dengan cepat bukan main dan ke manapun ranting itu menyambar tubuhnya seperti telah lebih dulu terdorong oleh angin gerakan ranting itu, dan selalu dapat menghindarkan dengan lebih cepat lagi! Sampai puluhan jurus Ciauw Si menyerang, dan selalu mengenai tempat kosong. Akhirnya dia membuang ranting itu dan merangkul suaminya penuh kebanggaan.

Sambil bergandeng tangan mereka kembali ke tempat para pasukan pengawal menanti dan mereka memasuki kereta. Pangeran itu memerintahkan pasukan bergerak lagi dan mereka melanjutkan perjalanan ke Lembah Naga. Di sepanjang perjalanan, sepasang pengantin baru itu tiada hentinya bermain cinta, mencurahkan semua perasaan rindu mereka dengan penuh kemesraan. Ciauw Si makin tergila-gila kepada Pangeran Ceng Han Houw, sebaliknya sang pangeran itupun makin mendalam rasa cintanya kepada wanita ini, sama sekali berbeda dengan perasaannya terhadap semua selir yang pernah menghiburnya. Diam-diam dia mengambil keputusan bahwa Ciauw Si adalah calon permaisurinya, dan kalau memang isterinya ini menghendaki, selamanya dia tidak akan mengambil selirpun tidak mengapa! Seorang Ciauw Si saja sudah cukup baginya, sudah mewakili seluruh wanita di dunia ini!

***

Beberapa pekan kemudiang di luar Tembok Besar, setelah melalui padang tandus penuh pasir, Sin Liong mulai mendaki pegunungan yang menghadang panjang di depan. Mulailah dia bertemu dengan pohon-pohon di hutan setelah berhari-hari dia melalui dataran tandus mengering itu.

Tujuannya hanya satu. Mencari dan menemukan kembali Bi Cu. Rintangan apapun akan diterjangnya dan dia ingin cepat-cepat tiba di Lembah Naga untuk menemui Pangeran Ceng Han Houw seperti tersebut dalam surat yang ditinggalkan oleh penculik Bi Cu yang diduganya tentulah Kim Hong Liu-nio orangnya. Karena dia ingin cepat-cepat tiba di Lembah Naga, maka dia melakukan perjalanan cepat dan tidak mau tertunda di tengah jalan.

Dalam waktu beberapa pekan saja tubuh Sin Liong telah menjadi kurus karena kurang makan dan kurang tidur. Sukar baginya untuk dapat tidur nyenyak dan makan enak karena dia selalu teringat kepada Bi Cu dan setiap teringat kepada kekasihnya itu, timbullah kegelisahan hebat dalam hatinya. Dia ingin cepat-cepat tiba di Lembah Naga untuk segera melihat bagaimana keadaan kekasihnya itu. Tak dapat dia bayangkan apa yang akan terjadi kalau sampai ada orang berani mengganggu Bi Cu! Ngeri dia memikirkan kemungkinan ini.

Dia sama sekali tidak tahu bahwa begitu dia muncul di luar Tembok Besar, dia sudah diketahui. Semenjak berada di Lembah Naga, diam-diam Pangeran Ceng Han Houw sudah mempersiapkan segala sesuatu, bahkan sudah memasang mata-mata di setiap tempat dari luar tembok sampai ke Lembah Naga sehingga dia akan tahu lebih dulu siapa yang akan datang dari selatan ke Lembah Naga. Biarpun pertemuan besar dunia kang-ouw belum dimulai, namun dia sudah memasang orang-orangnya untuk mengamati dengan teliti. Oleh karena itu, maka kedatangan Sin Liong telah lebih dulu diketahuinya.

Selama berada di Lembah Naga, untuk meyakinkan hatinya, Ceng Han Houw sudah menguji pula kepandaiannya sendiri. Sucinya, Kim Hong Liu-nio hanya dapat bertahan sampai tiga puluh jurus saja melawan dia! Sedangkan bekas subonya, Hek-hiat Mo-li, juga akhirnya menyerah setelah menghadapinya sampai seratus jurus! Maka yakinlah dia akan kekuatannya.

Ketika Ceng Han Houw mendengar berita kedatangan Sin Liong, dia cepat menyuruh Hek-hiat Mo-li untuk menghadang. "Harap subo suka mencoba dan menguji kepandaian pemuda itu agar aku dapat mengukur sampai di mana kelihaian calon pembantu utamaku itu!" kata Ceng Han Houw dengan girang, "Suci, harap kauperkuat penjagaan pada sekeliling istana untuk menjaga segala kemungkinan. Bocah yang menjadi adik angkatku itu memang orang aneh. Mungkin saja dia melakukan hal-hal yang sama sekali tidak pernah kita bayangkan sebelumnya."

Bi Cu telah berada di dalam istana itu. Dia diperlakukan dengan baik, seperti seorang tamu agung, akan tetapi tetap saja dara ini merasa sengsara dan kalau saja di situ tidak ada Ciauw Si, tentu dia sudah mengamuk dan nekat mempertaruhkan nyawanya. Ciauw Si menghiburnya dan berusaha menyadarkan bahwa pangeran tidaklah jahat, bahwa pangeran adalah kakak angkat Sin Liong dan pangeran berusaha agar Sin Liong suka membantunya mengumpulkan orang-orang kang-ouw.

"Percayalah kepadaku, Bi Cu. Engkau tahu, aku adalah cucu ketua Cin-ling-pai yang sejak dahulu merupakan keluarga pendekar dan pahlawan, oleh kaisar lalim dituduh pemberontak dan dikejar-kejar sebagai orang pelarian! Dan untung ada Pangeran Ceng Han Houw yang membebaskan mereka, dan kini pangeran yang telah menjadi suamiku itu ingin mengajak orang-orang gagah dunia kang-ouw untuk bangkit melawan kelaliman kaisar." Demikian antara lain Ciauw Si membujuk dan akhirnya, terutama melihat kehadiran wanita perkasa itu di situ, Bi Cu dapat menahan sabar dan menanti kedatangan Sin Liong yang katanya sudah diundang datang ke tempat itu. Betapapun juga, dia merasa gelisah sekali, amat rindu kepada Sin Liong dan takut kalau-kalau pemuda kekasihnya itu mengalami kecelakaan.

Demikianlah, ketika Sin Liong memasuki hutan pertama setelah berhari-hari melalui padang tandus, tiba-tiba berkelebat bayangan dan tahu-tahu di depannya telah berdiri seorang nenek bermuka hitam yang menyeramkan. Sin Liong terkejut bukan main, akan tetapi juga marah ketika mengenal nenek itu.

"Hek-hiat Mo-li nenek iblis terkutuk!" bentaknya marah, karena pada saat itu dia bukan hanya teringat akan Bi Cu yang dia pikir tentu diculik oleh nenek ini bersama Kim Hong Liu-nio, akan tetapi juga teringat betapa kematian kong-kongnya yang amat disayang dan dihormatinya, yaitu mendiang ketua Cin-ling-pai, Cia Keng Hong, disebabkan oleh nenek ini dan murid perempuannya itu.

Hek-hiat Mo-li mengedip-ngedipkan matanya yang tinggal sebelah kanan saja itu, mulutnya sebetulnya tersenyum akan tetapi karena sudah peyot dan tak bergigi maka nampaknya malah cemberut! "Bocah lancang, ke sinilah kalau ingin mampus!"

Sin Liong sedang dalam keadaan gelisah dan duka, maka kenekatannya sudah memuncak. Kini, bertemu dengan orang yang dianggap satu diantara musuh-musuh besarnya ini, dia tidak mau banyak cakap lagi. Dia lalu mengeluarkan pekik dahsyat dan terus menubruk sambil melakukan serangan yang hebat, cepat seperti kilat menyambar dan dahsyat seperti halilintar di atas kepala lawan.

Hek-hiat Mo-li juga berteriak nyaring dan menangkis dengan lengan kirinya yang bergelang, sedangkan tangan kanannya yang dibuka membentuk cakar telah menyambar ke arah dada Sin Liong, seperti cakar elang yang hendak merobek dada mencengkeram keluar jantung lawan.

Sin Liong maklum akan kelihaian lawan, maka sambil cepat mengelak mudur, kemudian balas menyerang dengan sepenuh tenaganya. Akan tetapi, nenek itu tidak menangkis malainkan tiba-tiba menjatuhkan diri di depan kaki Sin Liong. Selagi pemuda ini merasa heran, dia sudah mencelat dari bawah dan mencengkeram ke arah bawah pusar! Tentu saja Sin Liong terkejut bukan main. Tak disangkanya nenek itu memiliki akal curang seperti itu dan gerakannya cepat sekali, maka diapun lalu meloncat dan membalikkan tubuhnya untuk mengelak. Akan tetapi, nenek itu sudah melayang dan mengejarnya dengan tubrukan dari belakangnya. Mengerikan sekali gerakan nenek yang sakti ini dan biarpun Sin Liong sudah memutar tubuh menangkis, namun tetap saja tangan kanan nenek itu sudah menempel di pundak kirinya. Bukan sembarangan menempel, melainkan mencengkeram dengan kekuatan yang luar biasa dahsyatnya. Otomatis tubuh Sin Liong mengerahkan sin-kang dan Ilmu Thi-khi-i-beng bergerak langsung dari dalam pusar ke pundak.

"Ihh! Thi-khi-i-beng!" Nenek itu berseru dan seketika tenaga sin-kangnya berhenti mengalir dan dengan gerakan cepat dia dapat mclepaskan tangannya dari pundak pemuda itu yang mempunyai daya menyedot yang hebat sekali. Kembali nenek itu menyerang dengan dahsyat, menggunakan cengkeraman kedua tangannya yang seperti cakar garuda itu dan yang diserangnya adalah bagian-bagian berbahaya yang kiranya tidak dapat dilindungi oleh Thi-khi-i-beng.

Sin Liong kini sudah bersikap hati-hati sekali, maklum akan kelihaian lawan. Dengan gerakan Thai-kek Sin-kun dia dapat mempertahankan dirinya dengan baik, bukan hanya mengelak dan menangkis, melainkan juga membalas dengan tamparan-tamparan yang mengandung tenaga amat kuat karena dia telah membalas dengan pukulan-pukulan Thian-te Sin-ciang yang didapatnya dari mendiang Kok Beng Lama. Tenaga sin-kang dari Sin Liong memang kuat bukan main, karena dia telah menerima pengoperan tenaga ini dari mendiang Kok Beng Lama. Tenaganya sendiri yang ditambah tenaga kakek sakti itu telah dimatangkannya pula ketika dia mempelajari ilmu-ilmu dari Bu Beng Hud-couw, maka pada saat ini tingkat kekuatan yang ada pada diri pemuda ini setidaknya tidak kalah kuat dibandingkan dengan tenaga Kok Beng Lama ketika masih hidup! Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila Hek-hiat Mo-li terkejut bukan main melihat kenyataan betapa dalam hal adu tenaga, dia tidak mampu menandingi pemuda itu dan kedua tangannya selalu terpental kalau bertemu depgan lengan pemuda itu.

Akan tetapi, di lain fihak, Sin Liong juga terkejut ketika tiap kali dia berhasil menampar atau memukul, tamparan dan pukulannya yang mengenai sasaran dengan tepat itu membalik seperti mengenai tubuh dari karet yang amat kuat.

Ternyata nenek itu memiliki kekebalan yang amat luar biasa! Setiap kali dipukul, bukan hanya tangannya sendiri yang terpental, bahkan nenek itu masih terkekeh mentertawakan dia! Sin Liong menjadi semakin marah dan penasaran. Dia harus mengalahkan dan merobohkan nenek itu lebih dulu sebelum dia dapat mengharapkan untuk menyelamatkan Bi Cu. Maka dia lalu mengeluarkan pekik yang dahsyat dan tiba-tiba gerakannya berubah dan nenek itu terkejut sekali.

Hek-hiat Mo-li melihat betapa begitu mengeluarkan pekik dahsyat, pemuda itu kelihatan penuh wibawa, sepasang matanya mencorong seperti mata malaikat dan tubuhnya tergetar dan nampak seolah-olah bertambah besar, kemudian gerakan pemuda itu kelihatan aneh sekali. Tiba-tiba pemuda itu menyerangnya dengan gerakan yang aneh, kedua lengannya bergerak, yang kanan menghantam ke arah langit dan yang kiri menghantam ke arah bumi! Itulah satu jurus dari Hok-mo Cap-sha-ciang yang dipelajarinya dari Bu Beng Hud-cow!

Selagi Hek-hiat Mo-li terkejut dan heran, juga bingung menyaksikan serangan aneh yang sama sekali tidak ditujukan kepadanya itu, tiba-tiba ada angin menyambar dari depan, angin itu berpusing karena datang dari arah atas dan bawah, yang diakibartkan oleh gerakan membalik dari kedua tangan pemuda itu dan dia merasa seperti digulungkan oleh pusingan angin pukulan itu! Hek-hiat Mo-li terkejut bukan main, cepat berusaha untuk meloncat mundur dan menangkis, namun dia tidak mampu keluar dari pusingan angin itu dan biarpun dia berhasil menangkis kedua tangan lawan, tetap saja tubuhnya terpental jauh! Bukan main kagetnya Hek-hiat Mo-li. Biarpun tubuhnya kebal dan dia tidak terluka, namun karena terbanting dan bergulingan, tubuhnya yang sudah tua itu terasa sakit-sakit dan pandang matanya yang tinggal sebuah itupun berkunang, kepalanya agak pening! Tahulah dia bahwa pemuda ini benar-benar luar biasa lihainya. Baru kurang lebih lima puluh jurus saja dia sudah dibikin terguling-guling seperti itu. Dia tidak takut, akan tetapi dia enggan untuk dijatuhbangunkan seperti itu, hal yang sungguh memalukan bagi seorang tokoh yang tua dan berkedudukan tinggi seperti dia. Apalagi, tugasnya memang hanya menguji, maka dia merasa sudah cukup dan berloncatanlah nenek itu ke belakang lalu melarikan diri dengan secepatnya meninggalkan Sin Liong.

Sin Liong tidak mengejar. Memang nenek itu harus dibunuhnya untuk membalas kematian kong-kongnya, akan tetapi sekarang yang terpenting baginya adalah menemukan kembali dan menolong Bi Cu sampai selamat. Barulah dia akan mencari musuh-musuhnya kemudian. Musuh-musuhnya adalah Hek-hiat Mo-li yang harus dibalasnya untuk kematian kong-kongnya, dan Kim Hong Liu-nio pembunuh dari ibu kandungnya. Tapi, sekarang yang paling perlu adalah menolong Bi Cu.

Maka Sin Liong lalu melanjutkan perjalananya dengan secepatnya menuju ke Lembah Naga. Kalau tidak ada halangan, dua hari lagi dia akan tiba di Lembah Naga. Maka dia lalu melakukan perjalanan secepatnya dan biarpun dia tidak bernafsu, namun dia memaksa diri untuk makan buah-buahan dan daging ayam hutan yang ditangkap dan dipanggangnya karena dia maklum bahwa dia akan menghadapi lawan-lawan yang tangguh dan bahwa dia membutuhkan banyak tenaga untuk menolong Bi Cu. Oleh karena itu dia harus menjaga kesehatan tubuhnya den harus makan agar jangan sampai tubuhnya lemas ketika dia membutuhkan tenaganya nanti.

Dua hari kemudian tibalah dia di perbatasan Lembah Naga. Dia tiba di luar Rawa Bangkai yang kini telah berubah keadaannya. Melihat hutan-hutan dan bukit-bukit di sekitar tempat itu, diam-diam Sin Liong merasa terharu. Inilah tempatnya! Di sinilah dia terlahir den dibesarkan. Semua tempat itu, bahkan pohon-pohon besar di sana itu, kelihatan amat indah dan amat dikenalnya, seperti sahabat-sahahat lama yang kini mengelu-elukan kedatangannya kembali dengan melambai-lambaikan ranting-ranting dan daun-daunnya yang tertiup angin. Teringat dia akan gerombolan kera besar kecil yang dahulu menjadi sahabat-sahabatnya, bahkan keluarganya karena dia adalah anak pungut seekor kera besar. Teringat semua itu, naik sedu-sedan dari dadanya berhenti di tenggorokan, membuat dia memandang termenung ke arah hutan-hutan, dan timbul hasratnya ingin memasuki hutan itu untuk mencari sahabat-sahabatnya itu. Dia merasa betapa amat kerasan dia berada di sekeliling tempat ini, seolah-olah seorang perantau yang telah lama pergi kini kembali ke kampung halamannya, mengingatkan dia akan semua bayangan kehidupannya di waktu dahulu.

Akan tetapi tiba-tiba bayangan Bi Cu membuyarkan semua itu. Keharuan dan kegembiraan yang dirasakan tadi lenyap, terganti pula oleh kekhawatiran akan keselamatan Bi Cu. Teringat akan ini, cepat dia berlari lagi ke depan memasuki hutan kecil di luar Lembah Naga.

Akan tetapi, kembali dia harus berhenti dan memandang ke depan. Akan tetapi sekali ini bukan berhenti untuk memandang penuh pesona kepada tempat yang amat dikenalnya itu, melainkan untuk memandang dengan sinar mata mencorong dan berapi kepada orang pemuda tampan dan mewah pakaiannya yang berdiri menghadangnya sambil tersenyum manis itu. Ceng Han Houw!

Akan tetapi, Sin Liong tidak terpengaruh oleh senyum manis itu. Kemarahannya sudah menyesak di dada dan begitu bertemu, dia lalu berkata dengan suara kaku dan penuh kemarahan, "Houw-ko, kalau sekali ini engkau tidak membebaskan Bi Cu, biarlah aku akan mati-matian mengadu nyawa denganmu!" Lalu dengan sikap mengancam dia mendekati pangeran itu.

Han Houw tersenyum, senang hatinya mendengar betapa pemuda perkasa itu masih menyebutnya Houw-ko! Dia tadi sudah mendengar pelaporan Hek-hiat Mo-li yang mengatakan bahwa pemuda itu memang lihai dan patut menjadi pembantu utama sang pangeran! Nenek itu tidak menceritakan betapa dia telah dibikin roboh terguling-guling oleh pemuda itu. Bahkan ketika ditanya oleh sang pangeran bagaimana pendapatnya tentang tingkat kepandaiannya dan tingkat kepandaian Sin Liong, Hek-hiat Moli menjawab bahwa sang pangeran masih lebih unggul, sungguhpun tidak banyak selisihnya! Berita ini membuat Han Houw girang sekali dan makin besar keinginan untuk dapat menarik Sin Liong sebagai sekutu dan pembantunya. Maka, cepat dia menyambut dan makin gembiralah hatinya mendengar betapa Sin Liong, dalam kemarahannya, masih menyebutnya Houw-ko, tanda bahwa pemuda itu masih tidak melupakannya bahwa mereka berdua pernah mengangkat saudara.

Ceng Han Houw membelalakkan kedua matanya dan memperlihatkan sikap terheran-heran, lalu mendekati dan membuka kedua lengannya sambil berkata, "Aih-aih...! Mengapa engkau menduga-duga yang demikian buruknya terhadap diriku, Liong-te? Kita adalah kakak beradik angkat, sudah seperti kakak dan adik kandung saja dan kita sudah banyak saling bantu, mana mungkin aku ingin menyusahkanmu?"

Sin Liong teringat akan peristiwa ketika dia dan Bi Cu terjatuh ke dalam jurang, maka dia berkata dengan suara dingin, "Hemm, tidak perlu membujuk lagi, pangeran! Engkau tidak hanya menyusahkan aku berkali-kali, akan tetapi bahkan nyaris membunuhku baru-baru ini. Aku datang bukan untuk mendengarkan omongan manis, bujukan palsu, melainkan untuk menuntut agar engkau membebaskan Bi Cu." Kembali terdengar ancaman dalam suara ini dan kini Sin Liong tidak lagi menyebut Houw-ko, melainkan pangeran, karena hatinya sudah panas dan marah sekali.

Pangeran Ceng Han Houw tersenyum, "Ah, engkau salah mengerti, Sin Liong. Peristiwa yang lalu terjadi karena salah pengertian. Engkau begitu keras hati. Akan tetapi kalau menganggap aku bersalah, biarlah aku minta maaf. Tahukah engkau betapa aku menangisimu ketika engkau terjun ke dalam jurang itu? Dan aku sengaja menyuruh bekas suci dan suboku untuk mencarimu sampai dapat! Kemudian, untuk menebus semua kesalahfahaman itu..."

"Engkau menyuruh culik Bi Cu dan memancingku datang ke sini!" Sin Liong berseru dengan penuh kemarahan.

Ceng Han Houw mengangkat kedua tangannya ke atas. "Tenang dan sabarlah, Liong-te. Aku bersumpah. Bi Cu dalam keadaan selamat dan baik-baik saja, dia menjadi tamuku yang terhormat. Dengarlah baik-baik lebih dulu. Memang aku menyuruh suci untuk membawa nona Bi Cu ke sini, memang dengan maksud agar engkau menyusul ke sini. Akan tetapi bukan dengan maksud buruk, sama sekali tidak, Liong-te. Melainkan karena aku membutuhkan bantuanmu dan tidak ada jalan lain untuk membujukmu..."

"Hemm, engkau memang curang. Selalu mempergunakan sandera untuk memaksaku. Akan tetapi sekali ini, jangan harap engkau dapat memaksaku melakukan sesuatu, Houw-ko. Bukan engkau lagi yang mengajukan syarat, melainkan aku! Syaratku, bebaskanlah Bi Cu baik-baik dan biarkan kami pergi, kalau tidak, aku akan mengadu nyawa untuk menyelamatkannya, dengan taruhan selembar nyawaku!"

"Ahh, engkau memang gagah perkasa sekali, Liong-te. Dan aku tahu, aku sudah mendengar dari nona Bhe Bi Cu betapa engkau dan dia sudah saling jatuh cinta. Aku tahu bagaimana rasanya jatuh cinta. Akan tetapi aku sekarang bukanlah Pangeran Ceng Han Houw yang kemarin-kemarin, Liong-te. Aku telah mengambil keputusan untuk menentang kaisar yang lalim, dan aku telah menjadi kakak iparmu sendiri!"

"Apa...? Apa maksudmu...?" Sin Liong tentu saja terkejut sekali dan merasa heran mendengar ucapan itu. Dia memandang tajam penuh selidik karena hatinya bertanya-tanya permainan apalagi yang dilakukan oleh pangeran yang curang dan licik ini.

Ceng Han Houw tertawa. "Adikku, engkau bukan hanya adik angkatku, akan tetapi juga adik iparku. Ketahuilah bahwa aku telah menjadi cucu mantu dari mendiang kong-kongmu, yaitu Cia Keng Hong ketua Cin-ling-pai."

"Ahhh...?" Tentu saja Sin Liong sama sekali tidak percaya dan menganggap pangeran ini hendak menipu dan membohonginya.

"Tentu engkau tidak percaya, akan tetapi sebentar lagi engkau akan bertemu sendiri dengan piauw-cimu itu. Dengar baik-baik, Sin Liong, aku sekarang telah menjadi suami dari Lie Ciauw Si. Engkau tentu mengenal nama itu, bukan?"

Diam-diam Sin Liong terkejut bukan main, dan teringatlah dia akan pertemuan antara pangeran itu dengan Lie Ciauw Si ketika dia sedang mengantar pangeran itu untuk mencari Ouwyang Bu Sek. Ketika itu, Sin Liong dan pangeran itu melihat Lie Ciauw Si yang membela ketua-ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang yang dihajar oleh dua orang bengcu, yaitu dua orang dari Lam-hai Sam-lo. Ketika itupun dia melihat hubungan antara kedua orang itu akrab sekali, akan tetapi sungguh tak pernah disangkanya bahwa mereka akhirnya menjadi suami isteri! Dia tahu siapa Lie Ciauw Si. Ketika dia ikut kong-kongnya di Cin-ling-san, dia sudah mendengar tentang keluarga Cin-ling-san itu, atau yang sesungguhnya adalah keluarganya. Kakeknya, mendiang Cia Keng Hong, mempunyai dua orang anak, yaitu yang pertama adalah Cia Giok Keng yang sudah janda dan kini menjadi isteri pendekar sakti Yap Kun Liong. Dari suaminya yang pertama, she Lie, Cia Giok Keng mempunyai dua orang anak, yaitu Lie Seng dan Lie Ciauw Si. Sedangkan putera ketua Cin-ling-pai yang ke dua adalah Cia Bun Houw atau ayah kandungnya sendiri! Memang benarlah bahwa Lie Ciauw Si itu masih piauw-cinya sendiri, dan kalau kini piauw-cinya itu menikah dengan pangeran ini, maka hal itu berarti bahwa pangeran ini bukan hanya kakak angkatnya, melainkan juga kakak iparnya sendiri! Betapapun juga, dia masih belum mau percaya. Bukankah pangeran ini selalu memusuhi keluarga Cin-ling-pai? Bagaimana mungkin menjadi suami piauw-cinya? Andaikata benar demikian, tentu pangeran ini menggunakan akal dan kelicikannya untuk menipu piauw-cinya itu!

Melihat Sin Liong mengerutkan alis seperti orang termenung kemudian memandang kepadanya dengan sinar mata penuh selidik, pangeran itu dapat menduga apa yang diragukan oleh adik angkatnya itu, maka dia lalu berkata, "Liong-te, engkau tidak tahu apa yang telah terjadi. Telah terjadi perubahan besar pada diriku dan kehidupanku. Ketika aku dan Si-moi saling jumpa, seperti engkau juga mengetahui, yaitu di pusat Sin-ciang Tiat-thouw-pang, kami saling jatuh cinta. Semenjak itu, aku bersimpati dengan keluarga Cin-ling-pai. Engkaupun tahu bahwa yang memusuhi keluarga Cin-ling-pai selama ini adalah bekas subo dan suciku, sedangkan aku sama sekali tidak mempunyai urusan dengan Cin-ling-pai. Ketika aku jatuh cinta kepada Si-moi, maka aku lalu mengusahakan kebebasan keluarga itu dari tuduhan pemberontak dan pelarian. Nah, karena perbuatanku itulah, maka kaisar menaruh curiga dan benci kepadaku, apalagi karena hasutan Pangeran Hun Chih yang ingin mencari kedudukan. Sahabat-sahabatku ditangkapi oleh kaisar yang lalim. Oleh karena itu, aku lalu melarikan diri dari kota raja setelah aku menikah dengan Si-moi, dan kami telah mengambil keputusan untuk menentang kaisar lalim!"

"Hemm, memberontak?" Sin Liong bertanya, masih tertarik oleh cerita pangeran itu.

"Ah, engkau tentu dapat membedakan antara memberontak dan menentang kelaliman, Liong-te. Aku bukan memberontak untuk merebut kedudukan, melainkan hendak menentang kelaliman yang menyengsarakan rakyat. Dan aku berbesar hati karena isteriku, Lie Ciauw Si, berdiri di sampingku dan membantuku, dan demikian pula kelak seluruh keluarga Cin-ling-pai akan membantuku kalau saatnya tiba. Ketahuilah, Liong-te, aku sekarang sedang berusaha untuk mengadakan pertemuan di Lembah Naga dengan seluruh tokoh kang-ouw dan ahli-ahli silat, partai-partai persilatan di seluruh dunia. Aku hendak mengadakan pemilihan bengcu dan jago nomor satu di dunia. Setelah itu, aku menghimpun seluruh kekuatan kang-ouw dan kita mengadakan gerakan orang gagah sedunia menentang kelaliman kaisar. Nah, karena itulah maka aku menyuruh mengajak nona Bhe Bi Cu ke sini, Liong-te, dengan harapan engkau akan suka membantu pergerakan kami ini."

Sin Liong merasa terheran-heran dan terkejut bukan main, akan tetapi dia belum sepenuhnya dapat mempercaya apa yang diucapkan oleh pangeran itu, yang terdengar terlalu aneh baginya.

"Aku tidak perduli tentang itu semua, Houw-ko. Aku hanya menghendaki Bi Cu selamat dan kami dibiarkan pergi tanpa gangguan. Aku akan berterima kasih kepadamu, Houw-ko, kalau engkau dan siapapun tidak mengganggu selembar rambut Bi Cu."

Diam-diam Han Houw girang bahwa selama ini dia memperlakukan Bi Cu dengan baik. Memang telah diduganya hal ini. Orang seperti Sin Liong ini tidak boleh dihadapi dengan kekerasan, akan tetapi harus dengan kehalusan budi untuk menundukkannya.

"Liong-te, tentu engkau belum percaya kalau tidak melihatnya sendiri. Marilah, adikku, mari kita menemui piauw-cimu dan kekasihmu itu. Mereka sedang menanti kita di Istana Lembah Naga."

Dengan jantung berdebar penuh ketegangan dan penuh harapan, Sin Liong lalu mengikuti Han Houw. Akan tetapi baru beberapa langkah, pangeran itu bertepuk tangan dan muncullah pasukan-pasukan terpendam dari semua penjuru!

Melihat ini, Sin Liong terkejut bukan main. Kiranya tempat itu telah dikurung oleh ratusan orang perajurit yang bersenjata lengkap. Dia bersikap tenang dan waspada, akan tetapi pangeran itu hanya minta disediakan dua ekor kuda. Dua ekor kuda terbaik dikeluarkan dan berangkatlah dua orang muda ini naik kuda ke Istana Lembah Naga.

"Lihat, adikku, bukankah kita sekarang kembali seperti dulu lagi, ketika mengadakan perjalanan bersama?"

Sin Liong tidak menjawab. Memang kenangan itu manis dan membayangkan kebaikan-kebaikan pangeran kepadanya, akan tetapi juga membuat dia merasa sebal mengingat akan tingkah pangeran ini setiap kali bertemu wanita muda dan cantik, dan diam-diam dia mengkhawatirkan keadaan Lie Ciauw Si, cucu kong-kongnya itu. Mengapa wanita cantik yang gagah perkasa itu mau menyerahkan diri kepada seorang pria macam pangeran ini, pikirnya heran.

Di sepanjang perjalanan menuju ke Lembah Naga yang amat dikenalnya itu, Sin Liong mendapat kenyataan betapa tempat itu terjaga dengan amat ketatnya, penuh dengan pasukan, baik yang nampak menjaga di kanan kiri jalan maupun yang menjaga sambil bersembunyi-sembunyi di balik pohon, di dalam semak-semak. Diam-diam dia terkejut sekali, dan maklumlah dia bahwa kalau dia tidak bersama pangeran itu, agaknya tidak akan mudah baginya untuk dapat menyelundup ke dalam daerah itu. Dan kenyataan inipun agak melegakan hatinya, karena seandainya pangeran itu mempunyai niat buruk terhadap dirinya, perlu apa dia akan disambut dan diajak masuk ke Istana Lembah Naga?

Akan tetapi ketika dia dan pangeran itu tiba di depan Istana Lembah Naga yang amat dikenalnya walaupun kini keadaan jauh berbeda dengan dahulu di waktu dia tinggal di situ, kini menjadi sebuah istana yang megah dan indah, dia melihat dua orang wanita berdiri di depan istana itu menyambut. Dan seorang di antara mereka adalah Bi Cu! Seketika lenyaplah semua kekhawatirannya. Dia meloncat turun dari atas kudanya dan di lain saat dia sudah berlari ke depan. Juga Bi Cu sudah berlari cepat ke depan menyambut.

"Sin Liong...!"

"Bi Cu...!"

Di lain detik mereka berdua sudah saling berangkulan dan berpelukan dengan ketat.

"Sin Liong... ah, Sin Liong...!" Bi Cu terisak di dada pemuda itu yang merangkul dan mendekapnya dengan hati penuh asa girang dan bahagia. Kalau saja tidak ingat bahwa di situ berdiri Lie Ciauw Si yang memandang dengan terharu, dan berdiri pula Ceng Han Houw yang tersenyum lebar dan menghampiri isterinya, juga beberapa orang dayang, pengawal dan pelayan, tentu dia dan Bi Cu sudah berciuman. Akan tetapi hanya pandang mata mereka saja yang saling berciuman dan menyatakan kebahagiaan mereka dan kerinduan hati masing-masing.

Sin Liong tidak perlu bertanya lagi akan keadaan Bi Cu. Dara itu nampak sehat, dan pakaiannya rapi, rambutnyapun rapi, sungguhpun wajahnya agak pucat dan sinar matanya menunjukkan bahwa dara itu banyak berduka. Hal itu lumrah, karena tentu Bi Cu selalu memikirkan dia, seperti juga dia tidak pernah dapat melupakan Bi Cu dan selalu mengkhawatirkan keselamatannya.

"Mari kita ke dalam dan bicara di dalam, Liong-te dan nona Che Bi Cu. Marilah, Si-moi."

Mereka berempat lalu memasuki istana itu, Sin Liong bergandengan tangan dengan Bi Cu yang agaknya tidak mau lagi melepaskan tangannya. Setelah mereka tiba di ruangan dalam dan pangeran itu mempersilakan mereka duduk, Sin Liong lalu menjura kepada pangeran itu dan berkata, suaranya terharu, "Ternyata ucapanmu terbukti benar, Houw-ko, maka terimalah ucapan terima kasihku. Aku sungguh bersyukur dan berterima kasih sekali bahwa Bi Cu berada dalam keadaan baik dan tidak terganggu."

"Siapakah akan membohongimu. Liong-te? Apalagi setelah aku menjadi kakak iparmu pula. Si-moi, Liong-te, kalian berdua adalah saudara-saudara misan, keduanya adalah cucu ketua Cin-ling-pai, mengapa tidak saling tegur?"

Karena tidak mungkin lagi menyembunyikan dirinya, Sin Liong lalu menjura dengan hormat kepada Ciauw Si dan berkata merendah, "Mana mungkin aku yang rendah berani mengaku adik misan Lie-lihiap?"

Ciauw Si memandang tajam. Ketika dia mendengar dari suaminya bahwa Sin Liong sesungguhnya adalah anak kandung pamannya, Cia Bun Houw, dia tidak percaya dan merasa ragu-ragu. Kalau benar pamannya itu mempunyai seorang putera, mengapa tidak ada seorangpun di antara keluarga mereka yang tahu? Pula, anak ini katanya pernah ikut kong-kongnya di Cin-ling-pai, bahkan katanya berkenan menerima ilmu-ilmu lengkap dari kong-kongnya itu, termasuk Thi-khi-i-beng! Akan tetapi kalau sudah begitu, mengapa masih juga belum ada yang tahu?

"Sin Liong, tidak perlu kiranya merendah atau merasa tinggi. Sebaiknya kalau berterus terang saja seperti kenyataannya. Aku telah mendengar dari pangeran bahwa engkau adalah putera kandung paman Cia Bun Houw. Sungguh hal ini aku tidak mengerti sama sekali dan tidak ada seorangpun diantara keluarga Cin-ling-pai yang tahu pula. Bagaimanakah sesungguhnya? Kalau engkau putera paman Cia Bun Houw, lalu siapakah ibu kandungmu dan bagaimana sampai tidak seorangpun di antara keluarga Cin-ling-pai yang tahu?"

Sin Liong tahu bahwa semua ucapan itu dikeluarkan oleh wanita perkasa itu dengan hati jujur dan tanpa prasangka buruk, akan tetapi dia mendengarnya dengan hati merasa tertusuk. Dia menundukkan mukanya lalu berkata lirih, "Sesungguhnya rahasia ini takkan kuceritakan kepada siapapun juga, hanya tanpa kusengaja telah bocor sehingga diketahui orang. Maafkan, lihiap, aku tidak dapat menceritakan duduknya perkara, karena ini merupakan rahasia pribadi dari pendekar Cia Bun Houw." Dia menyebut nama ini dengan keras, menandakan bahwa hatinya marah kepada pendekar itu. "Maka, kalau sampai urusan ini dibicarakan dan rahasia ini dibongkar, biarlah yang membongkarnya dan membicarakannya yang bersangkutan sendiri!"

Lie Ciauw Si dapat memaklumi keadaan Sin Liong yang agaknya diliputi rahasia yang tidak menyenangkan, "Akan tetapi, engkau sudah pernah dididik oleh mendiang kong-kong. Kalau engkau putera kandung paman Bun Houw, berarti kong-kong Cia Keng Hong adalah kong-kongmu pula, bahkan engkau merupakan keturunan langsung! Engkau she Cia dan engkau laki-laki pula! Mengapa engkaupun tidak mau mengaku kepada kakekmu sendiri?"

Disebutnya nama kakek itu membuat Sin Liong merasa berduka. Dia menarik napas panjang dan berkata, "Beliau yang sudah berada di tempat baka tentu sudi mengampuni aku. Aku memang sengaja tidak ingin menonjolkan diri sebagai keturunan Cin-ling-pai yang terkenal sebagai keluarga gagah perkasa! Sedangkan aku ini orang apakah? Hanya orang yang tidak diakui! Haruskah aku mendesak-desak untuk membonceng ketenaran nama besar Cin-ling-pai?"

Diam-diam Ciauw Si terkejut dan dia mengerutkan alisnya. Bocah ini sungguh memiliki watak angkuh, pikirnya. Akan tetapi dia tidak mendesak, juga tidak menegur karena dia dapat menduga bahwa tentu ada rahasia yang mungkin menyakitkan hati anak itu sehingga dia berkukuh tidak mau mengaku sebagai keluarga Cin-ling-pai. Selain itu, mana mungkin dia mau menerima pengakuan itu begitu saja bahwa anak itu adalah putera kandung pamannya kalau pamannya Cia Bun Houw itu sendiri tidak pernah mengakui hal itu?

Tiba-tiba Bi Cu yang merasa tidak enak mendengar percakapan itu dan melihat betapa kekasihnya seperti orang tidak senang kalau disinggung soal keturunannya, padahal selama ini Lie Ciauw Si sedemikian ramah dan baiknya, segera berkata, "Ah, apa sih artinya keturunan? Bagiku, biar Sin Liong itu putera raja ataupun anak pengemis sekalipun sama saja. Menilai manusia bukan dari keturunannya, atau kedudukannya, atau keluarganya atau kekayaan melainkan kepandaiannya, bukan?"

Karena ucapan ini dikeluarkan dengan suara yang terbuka dan jujur, disertai dengan wajah yang cerah dan berseri, maka mereka semua yang mendengarnya menjadi kagum dan tersenyum, juga seketika mengusir suasana yang tidak enak yang ditimbulkan oleh percakapan antara Ciauw Si dan Sin Liong tentang keturunan itu tadi.

"Ha-ha-ha, memang tepat sekali ucapan nona Bhe. Dan ucapan itu sekaligus membuktikan bahwa cintanya terhadapmu sungguh tak terbatas, Liong-te! Biarlah aku mengucapkan selamat kepada kalian berdua!"

Tentu saja Sin Liong dan Bi Cu menerima ucapan selamat dengan minum arak ini dengan girang dan balas menghormat. Sin Liong adalah seorang pemuda yang jujur dan tidak mempunyai prasangka-prasangka buruk. Oleh karena itu, dengan adanya Ciauw Si di situ, juga melihat betapa sikap Bi Cu terhadap Ciauw Si amat akrab, melihat pula sikap pangeran yang demikian halus dan ramah, yang bicara seperti seorang pahlawan pejuang yang hendak memperjuangkan nasib rakyat dan hendak menentang kelaliman kaisar, maka diapun kena dibujuk. Dia sanggup untuk membantu Ceng Han Houw ikut mengatur dan menjaga terlaksananya pemilihan bengcu itu, dan diam-diam diapun tidak mempunyai maksud untuk ikut memasuki pemilihan itu. Dia ingin melihat apa yang akan terjadi dan akan membiarkan kakak angkatnya itu menjadi bengcu dan berhasil merebut julukan jago nomor satu di dunia. Dia sendiri sama sekali tidak tertarik dan tidak ingin disebut apa-apa.

Mereka berempat lalu makan minum dalam suasana yang cukup menggembirakan! Diam-diam Sin Liong merasa heran mengapa pangeran itu tidak mengajak para pembantu lainnya untuk ikut pula berpesta. Dan diapun masih bingung apa yang akan dilakukannya kalau dia melihat musuh-musuhnya, Kim Hong Liu-nio dan Hek-hiat Mo-li berada di situ. Melihat tiba-tiba wajah pemuda itu kelihatan murung dan alisnya berkerut, Pangeran Ceng Han Houw yang cerdik itu agaknya sudah dapat menduga melihat adik angkatnya mencari-cari dengan pandang mata, kemudian nampak termenung dan muram wajahnya.

"Liong-te setelah engkau mendengarkan semua keteranganku, maka engkau tentu sudah mengerti sekarang bahwa kita menghadapi suatu perjuangan yang amat penting yang membutuhkan penghimpunan tenaga yang kuat dan kerja sama yang erat. Oleh karena itu, agaknya engkau tentu tahu pula bahwa dalam keadaan seperti ini, di mana kita amat membutuhkan kerja sama dari semua golongan rakyat untuk menentang kelaliman, maka semua urusan pribadi haruslah dikesampingkan lebih dulu."

Sin Liong memandang wajah pangeran itu dengan pandang matanya yang tajam mencorong. "Houw-ko, apa maksudmu dengan ucapan itu?"

"Liong-te, aku tahu bahwa engkau mempunyai musuh-musuh pribadi, dan terus terang saja, agaknya akan timbul perkelahian kalau engkau bertemu dengan suci Kim Hong Liu-nio dan subo Hek-hiat Mo-li. Aku tidak akan mencampuri urusan itu karena aku tidak mempunyai sangkut-paut dengan urusan pribadi itu. Bahkan isteriku sendiri, Lie Ciauw Si ini, tentu saja juga bermusuhan dengan mereka berdua. Akan tetapi, dalam keadaan seperti sekarang ini, kuharap engkau tidak akan menimbulkan keributan di sini dengan menyerang mereka, karena hal ini akan memberi contoh yang buruk sekali kepada semua pembantu kita dan hanya akan melemahkan kedudukan kita yang sedang menyusun kekuatan dan kerja sama ini. Mengertikah engkau maksudku, Liong-te?"

Diam-diam Sin Liong terkejut. Pangeran ini sungguh amat cerdik dan berpemandangan tajam sehingga tepat sekali membicarakan apa yang sedang dipikirkannya. Dia lalu mengangguk dan berkata. "Aku berjanji takkan membikin ribut, Houw-ko. Akan tetapi dengan syarat bahwa merekapun tidak boleh mengganggu aku dan Bi Cu seujung rambutpun."

Pangeran itu tersenyum dan diam-diam diapun kagum. Kini Sin Liong benar-benar telah menjadi seorang dewasa yang gagah dan bersikap keras, bukan seperti anak-anak lagi. Maka dia akan bertindak hati-hati menghadapi orang yang dia tahu merupakan saingan paling berat baginya ini.

"Baik, akan kuperingatkan mereka, Liong-te. Sekarang, karena Liong-te baru saja tiba dan tentu lelah, persilakan Liong-te dan nona Bhe Bi Cu mengaso. Kamar kalian sudah dipersiapkan, tak jauh dari kamar kami."

Tiba-tiba wajah Sin Liong menjadi merah sekali dan cepat dia berkata, "Houw-ko, kami berdua memang saling mencinta, hal itu hanya Thian saja yang mengetahui. Akan tetapi kami belum menjadi suami isteri maka tak mungkin kami tinggal sekamar!"

"Aku akan tinggal di dalam kamarku sendiri yang biasa saja!" Bi Cu juga berkata, mukanya merah sekali dan dia menunduk.

"Akan tetapi harap Houw-ko berbaik hati untuk memberi sebuah kamar untukku yang tidak berjauhan dari kamar Bi Cu." Sin Liong tidak mengatakan bahwa dia ingin menjaga dan melindungi kekasihnya itu, akan tetapi hal ini sudah dimengerti oleh semua orang.

"Baik, baik, tentu saja akan kuatur itu. Maafkan, Liong-te, aku lupa betapa engkau adalah seorang laki-laki sejati dan bahwa kalian belum menikah." kata pangeran itu sambil tertawa, teringat betapa dahulu Sin Liong amat "takut" terhadap wanita, dan sampai kinipun, biarpun sudah sama-sama saling mencinta, tetap saja dia tidak mau melakukan "pelanggaran". Tentu saja bagi Ceng Han Houw, hal ini dianggapnya sebagai suatu sikap kekanak-kanakan dan hijau.

Pangeran itu memberi kesempatan kepada Sin Liong dan Bi Cu untuk bicara empat mata, maka dia lalu mengajak Ciauw Si masuk, Bi Cu lalu mengajak Sin Liong pergi ke sebuah taman di Istana Lembah Naga itu, sebuah taman yang indah dan terawat baik, berbeda dari dahulu ketika dia masih tinggal di situ. Setelah mereka berada berdua saja di dalam taman itu, Sin Liong dan Bi Cu tak dapat menahan lagi kerinduan hati masing-masing dan merekapun saling rangkul dan saling berciuman sampai hampir kehabisan napas. Akhirnya, gelora hati yang rindu itu agak mereda dan mereka duduk berdampingan di atas sebuah bangku panjang, dekat kolam ikan di dalam taman itu.

"Sin Liong, aku merasa seperti hidup kembali melihat engkau datang. Untung aku belum mengambil keputusan nekat untuk bunuh diri."

"Ihh!" Sin Liong terkejut dan merasa ngeri. "Jangan sekali-kali engkau melakukan hal itu, Bi Cu. Selama hayat masih dikandung badan, kita tidak boleh putus asa, dalam keadaan apapun juga. Lupakah akan cengkeraman maut terhadap diri kita di jurang itu? Buktinya kita berdua masih dapat menyelamatkan diri. Pula, bukankah engkau di sini diperlakukan dengan baik dan patut sebagai tamu?"

"Memang benar, akan tetapi aku diculik! Dan aku dipisahkan darimu, Sin Liong! Jangankan baru tinggal di istana macam ini, biar disuruh tinggal di sorga sekalipun, tanpa engkau di sampingku, leblh baik aku berada di dalam jurang seperti dulu itu asal bersamamu."

Sin Liong merasa terharu sekali dan memegang tangan Bi Cu. Jari-jari tangan mereka saling genggam dengan getaran perasaan yang amat mesra. "Kita takkan berpisah lagi untuk selamanya, Bi Cu. Percayalah bahwa akupun tidak akan mau hidup tanpa engkau di dekatku."

Bi Cu menarik napas panjang penuh bahagia dan dia menyandarkan kepalanya di dada kekasihnya. Sampai lama mereka tinggal duduk seperti itu, tanpa berkata-kata karena kata-kata sudah tidak ada artinya lagi dalam keadaan seperti itu. Kata-kata bahkan membuyarkan perasaan dan mengurangi kemesraan yang terasa sekali sampai di sanubari dalam keadaan hening dan sadar sepenuhnya akan kehadiran masing-masing itu.

Akhirnya Bi Cu berbisik, "Sin Liong, hatiku merasa tidak enak kalau kita berada di sini. Betapapun baiknya pangeran ini, namun jelas bahwa dia hendak mempergunakan engkau maka dia menyuruh orangnya menculikku."

"Akan tetapi, dia sekarang telah berubah sejak menikah dengan..."

"Enci Ciauw Si? Ah, kau tahu, enci Ciauw Si sendiri agaknya pun merasa tidak enak dan tidak suka dengan gerakan dari suaminya itu. Memberontak! Phuh..."

"Bukan memberontak, Bi Cu, melainkan berjuang melawan kelaliman kaisar..."

"Itu kan alasannya! Betapapun juga, aku merasa tidak enak dan tidak suka, Sin Liong. Perlu apa kita ikut campur dengan segala macam gerakan itu? Lebih baik mari kita pergi saja meninggalkan tempat ini!"

Sin Liong menggelengkan kepala. "Tidak mungkin, Bi Cu. Berbahaya sekali..."

"Tapi Sin Liong, dengan kepandaianmu yang demikian tinggi... eh, kau tahu, pangeran sendiri memujimu di depanku, mengatakan bahwa di dunia ini hanya engkaulah yang memiliki kepandaian yang hampir setingkat dengan kepandaiannya!"

Sin Liong menggeleng kepala. "Apa dayaku menghadapi penjagaan ribuan orang pasukan? Kau tahu, Lembah Naga ini sudah terkurung oleh ribuan orang pasukan. Memang mungkin bagiku sendiri untuk lolos melalui hutan-hutan lebat yang menjadi tempatku bermain-main ketika aku masih kecil. Akan tetapi membawamu bersamaku berarti akan menyeret engkau ke dalam bahaya besar. Tidak, aku tidak akan melakukan hal itu, Bi Cu. Lebih baik kita bersabar, tinggal di sini dulu melihat perkembangan dan melihat gelagatnya. Kurasa enci Ciauw Si bukanlah seorang wanita lemah. Dia seorang pendekar wanita keturunan Cin-ling-pai, mungkin saja dia mencinta pangeran, akan tetapi kalau dia dibawa sesat, apalagi memberontak terhadap kerajaan begitu saja dengan maksud memperebutkan kedudukan, pasti dia tidak akan mau." Dia berhenti sebentar, lalu melanjutkan, "Biarpun aku sudah berjanji kepada pangeran untuk membantu, akan tetapi membantu untuk melakukan penjagaan dan dalam menghimpun orang-orang kang-ouw dan melakukan pemilihan bengcu, bukan membantunya untuk memberontak. Aku tidak sudi kalau harus membantu dia melakukan kejahatan."

Dua orang muda ini tentu saja tidak tahu akan segala kepalsuan yang terjadi di dalam dunia ini. Setiap pemberontakan, setiap pembaharuan, setiap gerakan untuk menumbangkan yang lama dan menggantikan dengan yang baru, sudah tentu saja didasari oleh kelemahan-kelemahan dan cacat-cacat dari yang lama, yang akan diberontak itu. Dan yang memberontak, yang baru, tentu mengeluarkan janji-janji yang muluk-muluk. Karena, tidak mungkin pemberontakan dan pembaharuan dapat berjalan lancar dan berhasil tanpa bantuan rakyat, rakyat harus diberi janji-janji muluk, menonjolkan kelemahan dan cacat-cacat yang hendak dirobohkan dan mengemukakan janji-janji dan kebaikan-kebaikan dari yang memberontak. Semua ini hanya merupakan siasat belaka. Atau mungkin juga janji-janji itu dikeluarkan dengan hati murni oleh para pimpinan. Akan tetapi sayang, begitu maksud tercapai sudah, maka mereka yang duduk di kursi pimpinan menjadi mabuk kemenangan dan sama sekali melupakan atau sengaja tidak mau ingat lagi akan janji-janji yang telah dikeluarkan ketika mereka mendorong rakyat untuk membantu gerakan mereka itu. Dan hal seperti ini terus menerus berulang. Yang berhasil dan menang kemudian menghadapi lagi golongan baru yang ingin menumbangkannya, dengan janji-janji yang sama pula, dengan penonjolan-penonjolan kesalahan dari yang sedang berkuasa, persis seperti ketika pemberontakan atau pergolakan pertama atau terdahulu itu terjadi. Dan yang menyedihkan sekali, rakyatpun selalu menurut saja dan dapat saja dimakan propaganda dan dibodohi oleh janji-janji muluk yang tak kunjung terpenuhi itu!

Kapankah di dunia ini muncul pemimpin-pemimpin yang memimpin rakyat berdasarkan cinta kasih, kasih sayang dan sama sekali tidak mendasarkannya untuk memenuhi atau mencapai ambisi pribadi, mengejar-ngejar kemuliaan, kekayaan dan kesenangan pribadi? Kapankan segala semboyan dan anjuran tentang hal-hal yang baik itu bukan hanya menjadi semboyan kosong belaka melainkan dihayati dalam kehidupan sehari-hari oleh mereka yang mengeluarkan semboyan itu sendiri, oleh para pemimpin rakyat sehingga tanpa dianjurkan lagi rakyat sudah akan dapat melihatnya dan otomatis akan bersikap dan berwatak sama dengan para pemimpinnya? Pemimpin sama dengan ayah dan rakyat sama dengan anak. Setiap perbuatan ayahnya merupakan pendidikan langsung bagi anak. Sebaliknya apa gunanya seorang ayah gembar-gembor melarang anaknya melakukan sesuatu kalau dia sendiri melakukannya? Atau apa gunanya para pemimpin menganjurkan rakyat melakukan ini atau itu kalau mereka sendiri tidak melakukannya? Yang penting dalam hidup ini adalah penghayatan, atau kelakuan sehari-hari yang dapat dilihat, bukan kata-kata kosong yang dapat saja dikeluarkan oleh lidah yang tak bertulang.

Demikianlah, diam-diam Sin Liong dan Bi Cu merasa tidak senang tinggal di Lembah Naga sebagai tamu-tamu agung dari Pangeran Ceng Han Houw, dan mereka merasa khawatir, akan tetapi mereka tidak berdaya karena tempat itu dijaga oleh ribuan orang pasukan. Dan selain mengkhawatirkan keselamatan mereka berdua, diam-diam Sin Liong juga amat berprihatin akan nasib Lie Ciauw Si yang telah menyerahkan diri menjadi isteri pangeran itu berdasarkan cinta kasih, bahkan dia mendengar dari Bi Cu yang juga mendengar dari Ciauw Si sendiri, wanita gagah itu menikah dengan Ceng Han Houw tanpa persetujuan keluarga, bahkan tidak disaksikan orang lain karena mereka menikah diam-diam di kuil!

***

Menerima kebaikan orang lain merupakan hal yang mendatangkan rasa tidak enak kepada seseorang kalau dia tidak mampu untuk melakukan sesuatu sebagai imbalan atau balasan. Demikian pula dengan Sin Liong. Dia merasa tidak enak sekali karena di dalam Istana Lembah Naga itu dia diperlakukan dengan amat baiknya oleh Pangeran Ceng Han Houw. Bahkan semua komandan pengawal menghormatinya dan memandangnya sebagai adik angkat, keluarga dan juga orang terpercaya dari sang pangeran! Dan memang demikianlah. Sin Liong boleh pergi ke manapun juga di seluruh daerah itu, akan tetapi tentu saja sendirian. Kalau dia mengajak Bi Cu, maka mendadak saja penjagaan diperketat dan tempat itu dikurung sehingga tahulah dia bahwa pangeran menghendaki agar Bi Cu tetap tinggal di istana sebagai sandera!

Betapapun juga, Sin Liong sudah membawa Bi Cu berjalan-jalan, keluar masuk hutan dan menunjukkan tempat-tempat di mana dia ketika kecil bermain-main, bahkan dia juga pergi bersama Bi Cu ke dalam hutan di mana dulu dia dipelihara oleh monyet betina besar. Dia bertemu pula dengan rombongan monyet-monyet, akan tetapi tentu saja tidak ada seekorpun monyet yang mengenalnya. Padahal dahulu, hampir semua monyet di hutan itu mengenalnya, bahkan mentaati perintahnya. Akan tetapi diapun cukup cerdik untuk mengetahui bahwa tidak mungkinlah baginya untuk melarikan diri bersama Bi Cu dari tempat itu karena sudah terkepung oleh anak buan pangeran, kecuali kalau dia mau mengambil jalan liar melalui hutan-hutan lagi yang tentu akan menghadapi bahaya-bahaya lain lagi yang tak mau dia menempuhnya karena dia tidak mau membawa kekasihnya ke dalam bahaya.

Karena tidak mau kalau hanya makan tidur saja, maka mulailah Sin Liong ikut melakukan penjagaan. Pertemuan besar antara orang-orang kang-ouw masih sebulan lagi dan selama itu seluruh lembah dijaga. Sin Liong sering kali melakukan perondaan di sekeliling lembah yang amat sunyi itu, kadang-kadang membayangkan apa yang akan terjadi di lembah itu. Dia sudah mengajak Bi Cu beberapa kali mengunjungi kuburan ibu kandungnya, sebuah makam sederhana dan di situ dia bersembahyang bersama Bi Cu. Kepada Bi Cu dia menceritakan terus terang semua riwayatnya tentang ibunya yang buntung sebelah tangannya, tentang dirinya yang sesungguhnya adalah putera ibunya yang bernama Liong Si Kwi dan pendekar Cia Bun Houw.

"Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan ibu kandungku dan ayah kandungku itu. Akan tetapi jelaslah bahwa aku terlahir karena hubungan antara ibu kandungku dan Cia Bun Houw. Akan tetapi, melihat bahwa ibuku kemudian menjadi isteri paman Kui Hok Boan dan Cia Bun Houw menikah dengan wanita lain, pendekar wanita Yap In Hong itu, maka kuduga bahwa hubungan itu tentu hubungan gelap. Buktinya sampai sekarang menurut enci Ciauw Si, seluruh keluarga Cin-ling-pai tidak ada yang mengetahuinya. Biarpun aku putera pendekar Cia Bun Houw, akan tetapi agaknya... aku hanyalah anak gelap..."

Bi Cu merangkul dan mencium muka yang muram itu. "Sin Liong, engkau anak terang anak gelap atau setengah gelap, bagiku sama saja. Aku sudah bilang, aku tidak perduli engkau ini anak pendekar Cia Bun Houw, anak raja, anak jembel, anak malaikat atau anak setan! Maka, tidak perlu engkau bermuram seperti ini!" Tentu saja Sin Liong lalu tersenyum dan wajahnya menjadi cerah kembali.

Sudah beberapa kali semenjak dia dan Bi Cu berada di Lembah Naga, dia mengajak Bi Cu untuk mengunjungi makam ibunya dan pada senja hari itu diapun baru saja kembali dari makam ibu kandungnya seorang diri. Diapun ingin sekali tahu apa yang sesungguhnya telah terjadi antara mendiang ibu kandungnya dan pendekar Cia Bun Houw. Sayang ibunya tidak sempat bercerita kepadanya tentang hal itu. dan agaknya pendekar Cia Bun Houw juga merahasiakannya, tidak pernah menceritakannya kepada siapapun juga. Buktinya keluarga Cin-ling-pai tidak ada yang tahu! Dan diapun tidak sudi bertanya kepada pendekar itu atau mengaku bahwa dia puteranya. Dia tidak mau mengemis belas kasihan dan kasih sayang dari pendekar yang menjadi ayah kandungnya itu ataupun dari siapa juga. Kecuali dari Bi Cu agaknya! Terhadap Bi Cu, apapun akan dilakukannya, tanpa kecuali! Hemm, kalau pendekar itu mau mengakuinya sebagai putera, baik. Kalau tidak, diapun tidak butuh menjadi anak pendekar! Dan dia tersenyum girang mengingat akan sikap Bi Cu kepadanya. Dara itu mencintanya, mencinta dirinya tanpa kecuali, tidak memperdulikan dia itu keturunan siapa. Sedikit kekecewaan dan kedukaan tentang ayah kandungnya itu segera lenyap ketika dia teringat Bi Cu yang mencinta dirinya, bukan keturunannya.

Senja telah mendatang dan biarpun cuaca mulai menyuram, karena cahaya matahari yang mulai bersembunyi di balik puncak itu sudah amat lemah, namun pandang matanya yang tajam masih dapat melihat dan merasakan adanya sesuatu yang tidak beres ketika dia memasuki sebuah hutan kecil di luar Lembah Naga menuju pulang itu. Biasanya, di situ tentu ada belasan orang penjaga yang melakukan penjagaan sambil bersembunyi. Dia tadipun ketika pergi menuju ke makam ibunya, masih tersenyum melihat gerakan-gerakan mereka. Para penjaga yang melakukan penjagaan bersembunyi itu hanya berguna untuk menjaga musuh-musuh biasa, akan tetapi kalau yang masuk itu orang pandai, tentu orang itu dapat melihat gerakan-gerakan mereka, pikirnya. Akan tetapi sekarang, tidak ada gerakan sedikitpun juga. Suasana di tepi hutan itu sunyi bukan main, sunyi dan mati! Timbil kecurigaannya karena biasanya, setiap tempat selalu dijaga siang malam secara bergilir, penjagaan yang merupakan sebuah hutan di tepi Lembag Naga merupakan jalan masuk ke lembah itu, tidak terjaga? Ke mana perginya semua penjaga di situ yang jumlahnya belasan orang itu? Sebagai seorang yang oleh pangeran dipercaya untuk melakukan perondaan dan menjaga keamanan lembah itu, Sin Liong merasa berkewajiban untuk melakukan pemeriksaan dan kalau perlu menegur komandan penjaga di hutan itu yang dianggapnya lengah sekali.

Sin Liong dengan gerakan ringan sekali lalu meloncat ke arah sebatang pohon tinggi dan dari puncak pohon itu dia meneliti ke bawah, untuk melihat ke mana perginya para penjaga itu. Dan tiba-tiba, dia menahan seruan heran melihat tubuh beberapa orang penjaga malang-melintang di belakang semak-semak seperti orang tidur nyenyak, ataukah sudah tewas? Cepat dia meloncat turun dan lari ke tempat itu. Ternyata nampak belasan orang penjaga yang biasanya menjaga di bagian itu rebah malang-melintang, sama sekali bukan tidur nyenyak atau mati, melainkan tidak sadar dalam keadaan tertotok semua! Ada musuh menyelundup masuk! Musuh yang lihai sekali, karena hanya musuh lihai sajalah yang berani merobohkan para penjaga hanya dengan totokan dan tidak membunuh mereka! Sin Liong tidak mau membuang waktu lagi dan cepat dia lalu berkelebat masuk ke dalam hutan kecil itu dan kembali tak lama kemudian dia sudah memeriksa keadaan sekeliling dengan meloncat dan memanjat ke puncak pohon yang tinggi.

Akhirnya dia melihat gerakan dua orang yang cepat sekali di tengah hutan. Agaknya dua orang itulah musuh yang menyelundup, dan agaknya dua orang itu sedang menanti malam gelap untuk melanjutkan gerakan mereka, tentu saja untuk menyelundup ke Istana Lembah Naga. Sin Liong lalu meloncat turun dan cepat sekali dia lalu menuju ke tempat itu, berindap-indap dengan hati-hati, akan tetapi cepat bukan main.

Mereka itu adalah seorang pria dan seorang wanita. Keduanya sedang duduk di atas rumput, bersila, dan agaknya berunding sambil berbisik-bisik. Sin Liong mendekati dan mengintai, ingin melihat siapa adanya mereka itu. Kedua orang itu dari belakang kelihatan belum tua benar. Akan tetapi, tiba-tiba wanita itu tanpa menoleh telah menggerakkan tangan kirinya ke belakang dan nampak sinar hijau menyambar ke arah rumpun semak-semak di belakang mana Sin Liong mengintai! Itulah Siang-tok-swa (Pasir Beracun Harum), senjata rahasia yang amat berbahaya! Sin Liong mengenal bahaya, maka diapun meloncat berdiri dan mengelak ketika sinar hijau itu menyambar. Akan tetapi tiba-tiba wanita yang tadinya duduk bersila itu tahu-tahu sudah melayang ke arahnya dan menyerangnya sambil membentak, "Robohlah!"

Akan tetapi tentu saja Sin Liong tidak demikian mudah dirobohkan sungguhpun dia merasa terkejut bukan main menyaksikan kelihaian wanita yang cantik ini. Dia menggerakkan tangan menangkis sambil mengerahkan tenaga.

"Duk! Aihhhh...!" Wanita itu agak terhuyung dan mengeluarkan seruan tertahan, karena dia merasa terkejut dan heran betapa pemuda itu bukan hanya mampu menangkis, bahkan tangkisannya sedemikian kuatnya, membuat dia hampir terhuyung.

Tiba-tiba Sin Liong merasa betapa ada angin yang dahsyat menyambar dari samping. Tahulah dia bahwa ada orang pandai menyerangnya. Tentu pria tadi, pikirnya, maka sambil memutar kakinya, diapun menangkis sambil mengerahkan tenaga sin-kang karena dia tahu bahwa pukulan ini hebat sekali.

"Desss...!" Dan akibatnya, keduanya terpental ke belakang dan keduanya sama-sama terkejut. Apalagi ketika mereka saling mengenal. Sin Liong memandang terbelalak kepada pria gagah perkasa yang ternyata bukan lain adalah ayah kandungnya sendiri, Cia Bun Houw! Maka kini teringatlah dia bahwa wanita itu adalah Yap In Hong, ibu tirinya, isteri ayah kandungnya! Di fihak Cia Bun Houw, diapun mengenal pemuda ini dan alisnya berkerut, mukanya berubah merah karena dia teringat betapa pemuda yang pernah dikasihi oleh mendiang ayahnya itu, bahkan yang telah mewarisi semua ilmu dari ayahnya, ternyata merupakan pemuda yang tidak berbudi, yang telah menghalangi dia dan isterinya membunuh musuh besar mereka, Kim Hong Liu-nio. Dan sekarang, pemuda ini agaknya malah membantu Pangeran Ceng Han Houw!

"Engkau...?" Cia Bun Houw membentak dan Yap In Hong juga menunda serangan lanjutannya mendengar ini. Dia memandang dan sekarangpun dia teringat kepada Sin Liong.

"Eh, kiranya setan cilik ini berada di sini?" Diapun membentak marah.

Sin Liong menghadapi mereka dan memandang tajam. Dia khawatir sekali melihat ayah kandungnya berkeliaran di situ. Akan tetapi diapun merasa tidak senang melihat ibu tirinya, apalagi mendengar dia disebut setan cilik!

"Harap ji-wi segera pergi dari sini!" katanya kemudian, "Di sini amat berbahaya."

Cia Bun Houw sudah merasa penasaran sekali. "Dan engkau sendiri?"

"Aku... adalah penjaga di sini, maka aku tahu betapa bahayanya tempat ini."

"Bocah lancang!" Cia Bun Houw membentak marah. "Kaukira, kalau engkau yang berjaga, aku lalu merasa takut padamu?"

"Bocah setan ini memang perlu dihajar!" Yap In Hong berseru karena diapun merasa betapa anak ini amat buruk wataknya, tidak mengenal budi yang telah dilimpahkan oleh ketua Cin-ling-pai, mendiang ayah mertuanya. Sepatutnya Sin Liong ingat budi dan membantu Cin-ling-pai, bukan malah membantu pangeran pemberontak itu!

Sin Liong juga marah, merasa direndahkan, akan tetapi dia menahan sabar dan hanya menggerak-gerakkan kedua tangannya. "Pergilah... pergilah...!"

"Engkau yang pergi ke neraka, bocah murtad!" Cia Bun Houw membentak dan dia sudah menyerang dengan pukulan tangan kanan ke arah kepala Sin Liong. Akan tetapi, Sin Liong dengan sigap dan cepatnya mengelak, memutar tubuhnya dan tahu-tahu diapun sudah menyerang, bukan kepada ayah kandungnya, melainkan kepada Yap In Hong, dengan pukulan tangan kiri yang cepat dan dahsyat.

Namun Yap In Hong adalah seorang wanita pendekar sakti yang berilmu tinggi, maka dengan cepat dia dapat menangkis pukulan itu. Terjadilah perkelahian yang seru dan membuat suami isteri pendekar sakti itu terheran-heran tiada habisnya. Pemuda itu ternyata mampu menghadapi pengeroyokan mereka! Sama sekali tidak pernah terdesak malah, dan membalas setiap serangan dengan serangan balasan yang tidak kalah dahsyat dan ampuhnya! Bahkan pemuda itu dapat mainkan Thai-kek Sin-kun dengan amat baiknya, menangkis tenaga pukulan Thian-te Sin-ciang dengan tenaga pukulan Thian-te Sin-ciang pula yang tidak kalah kuatnya! Bahkan ketika kedua orang suami isteri yang amat lihal itu mendesaknya dengan gerakan cepat, Sin Liong sudah melindungi tubuhnya dengan kekebalan menurut ajaran mendiang Kok Beng Lama dan juga mengerahkan Thi-khi-i-beng untuk menyedot tenaga dua orang pengeroyoknya! Dua orang suami isteri itu berkali-kali mengeluarkan seruan kaget sekali. Mereka teringat akan kehebatan Kok Beng Lama dan Cia Keng Hong, karena kehebatan kedua orang kakek sakti itu seolah-olah telah pindah ke dalam diri anak ini!

Tentu saja Sin Liong harus mengerahkan seluruh tenaga yang ada pada dirinya dan mengeluarkan semua ilmu yang pernah dipelajarinya untuk menghadapi pengeroyokan dua orang yang demikian saktinya. Hanya dia belum mau mempergunakan ilmu-ilmu yang dipelajarinya dari kitab-kitab Bu Beng Hud-couw karena betapapun juga, dia hanya membela diri dan membalas serangan dengan ilmu-ilmu yang didapatnya dari Kok Beng Lama dan Cia Keng Hong sehingga boleh dibilang pemuda ini menghidapi dua orang lawannya dengan ilmu-ilmu yang sama! Maka mereka itu seolah-olah hanya "berlatih" saja, sungguhpun sebenarnya, sama sekali bukan demikian karena suami isteri yang merasa penasaran itu mendesak dengan hebat. Apalagi setelah lewat lima puluh jurus kedua orang suami isteri yang lihai itu sama sekali belum mampu merobohkan Sin Liong! Mereka berdua adalah pendekar-pendekar besar sehingga biarpun kelihatannya mereka mengeroyok Sin Liong dengan dahsyat, namun mereka selalu mengendalikan serangan mereka dan kalau sampai Sin Liong terkena pukulan, tentu saja bukan pukulan mematikan.

Diam-diam Sin Liong juga merasa kagum bukan main. Ayah kandungnya ini memang hebat, dan ibu tirinyapun hebat. Melawan mereka satu lawan satu saja kiranya amat sukar baginya untuk memperoleh kemenangan, apalagi harus melayani dua sekaligus. Entahlah kalau dia mempergunakan ilmunya Hok-mo Cap-sha-ciang. Akan tetapi dia merasa tidak enak dan malu kalau harus menggunakan ilmu ini kepada mereka, sungguhpun dalam gerakannya itu telah dibantu oleh kemajuan yang didapat ketika dia mempelajari ilmu peninggalan Bu Beng Hud-couw itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar