Sinar merah menyilaukan matanya. Cepat Yan Cu menangkis dengan pedangnya ke arah sinar merah yang menyambar dari kanannya itu. ia menahan teriakan ketika pedangnya bertemu benda lunak halus dan ternyata itu adalah ujung kebutan merah di tangan Go-bi Thai-houw yang terus membelit pedang. Yan Cu mengerahkan tenaga untuk menarik kembali pedangnya, namun sia-sia belaka. Dengan kebencian meluap Yan Cu menggerakan tangan kirinya meluncur ke depan, dua buah jari tangannya menusuk ke arah sepasang mata di wajah tua yang terkekeh dan menyeringai menjijikan itu.
Membayangkan ini semua, hati Cong San makin panas dan berkuranglah rasa kasihan di hatinya terhadap Yan Cu. Biarlah Cui Im mempergunakannya sebagai umpan untuk memancing datang Cia Keng Hong, pikirnya. Asalkan Yan Cu tidak dihina, tidak disiksa, karena kalau hal itu terjadi, tentu dia akan membelanya dengan taruhan nyawa. Betapapun jahatnya Yan Cu dalam pertimbangannya, tidaklah sejahat dan sekeji Cui Im si iblis betina!
Yan Cu ditahan dalam sebuah kamar yang cukup indah dan bersih. Kedua tangan dan kakinya terbelenggu, akan tetapi memakai rantai panjang sehingga wanita ini dapat bergerak leluasa, dapat makan dan tidur, akan tetapi tentu saja tidak leluasa bergerak untuk berkelahi! Jendela dan pintunya dari besi, memakai ruji besi yang kuat dan di luar jendela serta pintu terjaga ketat oleh pasukan pengawal. Cui Im menepati janjinya. Yan Cu diperlakukan baik tidak pernah diganggu dan mendapatkan makan yang cukup dan mewah. hal ini membuat Cong San berterima kasih dan lega hatinya, menambahkan kepercayaannya bahwa tidak terkandung niat buruk dalam hati Cui Im terhadap Yan Cu, melainkan semata-mata iblis betina itu mengajaknya bersekutu untuk menjatuhkan Keng Hong yang mereka benci bersama. Karena perlakuan Cui Im terhadap Yan Cu inilah yang membuat Cong San penurut dan dia menyetujui siasat perangkap yang dipasang oleh Cui Im apabila Keng Hong datang ke tempat itu, terpancing oleh umpan berita tertawannya Yan Cu. Cui Im sengaja menyebar orang-orangnya untuk mengabarkan bahwa Yan Cu tertawan olehnya di Sun-ke-bun!
Berita ini yang disebar itu sampai juga ke telinga Keng Hong dan Biauw Eng yang melakukan perjalanan, membawa puteri mereka. Kedua orang suami isteri pendekar sakti ini tidak merasa heran. Meraka memang telah menaruh dugaan bahwa Cui Im-lah orangnya yang bersembunyi di balik semua peristiwa yang menghancurkan kebahagiaan rumah tangga Cong San dan Yan Cu dan mereka sudah dapat mencari jejak musuh besar itu dan mendengar bahwa iblis betina itu tinggal di Sun-ke-bun bersama Mo-kiam Siauw-ong dan Go-bi Thai-houw. Maka begitu mendengar akan tertangkapnya Yan Cu di tempat itu, mereka tidak merasa heran dan bersicepat menuju ke kota itu. Mereka berhenti di luar kota, menanti sampai malam tiba dan Biauw Eng sambil mengerutkan alisnya dan menidurkan puterinya dalam pondongan berkata,
"Suamiku, kita harus berlaku hati-hati sekali. Aku menduga bahwa semua ini dilakukan oleh Cui Im untuk memancingmu. Semua perbuatannya yang ditujukan kepada Cong San dan Yan Cu kuras hanyalah untuk mencelakakan kita."
"Mengapa kau menduga begitu, isteriku?"
"Cui Im menaruh kebencian besar terhadap kita, terutama terhadapmu. Adapun Cong San dan Yan Cu sesungguhnya hanya terbawa-bawa saja karena mereka adalah sekutu kita dahulu. Mereka telah gagal menyerang kita ketika perayaan pernikahan kita, dan agaknya untuk mengganggu kita di Cing-ling-san, mereka tidak berani. Maka Cui Im dan sekutunya lalu menggunakan siasat, menghancurkan Cong San dan Yan Cu untuk memancing kita datang."
"Aku tidak takut!" Keng Hong berkata penuh geram mengingat akan kekejaman Cui Im yang sudah berkali-kali mencelakakannya dan masih belum bertobat biarpun telah diampuninya.
"Aku pun tidak takut, akan tetapi kalau malam ini kita menyerbu ke sana, dengan Giok Keng di gendonganku, hemmm...... kurang leluasa juga........."
"Ssttt....... ada orang!" Tubuh Keng Hong sudah mencelat ke belakang setelah dia membisikkan peringatan ini dan dia melayang turun di depan seorang laki-laki yang berdiri di balik pohon. Hanya beberapa detik saja selisihnya, Biauw Eng juga sudah berada di samping suaminya.
"Hemmmm, kau lagi!!" Biauw Eng membentak penuh kemengkalan hati ketika melihat bahwa yang berada di situ bukan lain adalah Yap Cong San. "Apakah kau masih hendak menantang?"
"Sabarlah, lihat, dia terluka." Keng Hong mendekati Cong San yang berdiri menunduk dan tampak darah pada baju orang muda itu di bagian pundak kiri. "Cong San, apakah yang terjadi? Engkau terluka........!"
Cong San tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut. "Lukaku tidak berarti......., akan tetapi harap kalian sudi menolong Yan Cu. Dia tertawan di gedung kepala daerah, aku berusaha menolongnya akan tetapi gagal, malah terluka. Kalau tidak ditolong, celakalah dia malam ini......."
"Hemmm, siapa saja di sana?" tanya Keng Hong.
"Penjagaan amat kuat. Bhe Cui Im, Gobi Thai-houw, Mo-kiam Siauw-ong, beberapa orang kepala bajak yang lihai dan anak buah mereka yang banyak. Hanya kalian berdualah yang akan dapat menolong Yan Cu........, tolonglah........ sekarang juga......."
"Hemmmm, engkau masih ingat kepada isterimu? Setelah kau sakiti hatinya?" Biauw Eng mengejek.
"Tolonglah dia dulu, soal itu nanti kita bicarakan kelak berempat......." Cong San berkata lagi.
"Isteriku dia benar. Yang penting menolong Yan Cu........" kata Keng Hong. "Marilah!"
"Aku...... aku terluka, biarpun tidak berbahaya akan tetapi aku lemah tak dapat membantu........ kulihat kalian membawa anak, berbahaya kalau dibawa menyerbu. Kalau kalian masih ada kepercayaan kepadaku, tinggalkan anak kalian bersamaku, aku dapat menjaganya. Lebih aman daripada dibawa menyerbu ke tempat berbahaya itu......."
"Tidak!" Biauw Eng membentak. "Lebih baik kulindungi sendiri!"
"Eng-moi. Dia benar. Lebih baik kita titipkan kepada Cong San sementara kita menyerbu dan menolong Yan Cu."
"Aihhh! kau masih menaruh kepercayaan kepada orang ini yang hendak membunuhmu?"
"Jangan bicara begitu, Eng-moi. Kita tahu dan yakin, Cong San bukan orang jahat. Dia tentu akan melindungi Giok Keng dengan nyawanya. Serahkanlah, daripada anak kita terancam bahaya hebat kalau kita bawa menyerbu ke sana. engkau masih ingat akan kelihaian Go-bi Thai-houw, dan Cui Im tak boleh dipandang ringan pula."
Dengan alis berkerut Biauw Eng menyerahkan Giok Keng kepada Cong San sambil berkata, "Nah, terimalah dan jaga baik-baik. Awas, Yap Cong San, sedikit saja kau menggangu anakku, aku Sie Biauw Eng akan mencarimu biar sampai ke neraka sekalipun!"
"Eng-moi, jangan menuruti perasaan marah. Hayo kita cepat menolong Yan Cu. Cong san, kaujaga anak kami dan tunggu di sini!" Keng Hong lalu melompat dan diikuti oleh isterinya.
Sejenak Cong San bengong terlongong memandang anak perempuan mungil yang tidur pulas digendongnya itu. Ia menarik napas panjang dan mencium dahi anak itu. "Anak baik, kasihan engkau....... mempunyai ayah macam itu. Aku bersumpah akan melindungimu dan takkan membiarkan siapapun mengganggumu. Aku hanya benci kepada ayahmu dan maafkanlah, anak baik, aku terpaksa melakukan ini demi dendamku kepada ayahmu!" Setelah menengok ke kanan kiri, Cong San meloncat dan lenyap ke dalam kegelapan yang menyelubungi bumi.
Keng Hong dan isterinya mempergunakan ilmu kepandaian yang tinggi, melompati tembok kota dan langsung pergi mencari gedung besar tempat tinggal kepala daerrah. Sambil berloncatan cepat seperti dua ekor burung raksasa, Biauw Eng mencela suaminya. "Aku khawatir sekali. Orang yang sudah gila cemburu seperti dia itu, sukar untuk dapat dipercaya sepenuhnya dan kita telah menyerahkan anak kita ke tangannya!"
"Ahhhh, tidak melihatkah engkau betapa dia masih mencintai Yan Cu dan berusaha menolong isterinya sampai terluka. Tidak aneh, mana dia mampu menandingi Cui Im dan kaki tangannya? Pula, andaikata dia gila oleh cemburu, tentu kepadakulah ditujukan dendam dan kebenciannya. Tidak mungkin dia menggangu Giok Keng."
Biarpun hatinya masih gelisah, akan tetapi kecurigaan Biauw Eng berkurang karena dia dapat membenarkan pendapat suaminya itu. Dengan hati-hati mereka lalu meloncat ke atas genteng rumah-rumah penduduk, melanjukan penyelidikan mereka ke gedung kepala daerah melalui jalan atas.
Hati suami isteri perkasa ini makin curiga karena ternyata dengan mudah saja mereka tiba di atas gedung kepala daerah tanpa menghadapi perlawanan dan serangan penjaga. Keadaan sunyi saja seolah-olah para pengawal ditiadakan malam itu! Ketika mereka tiba di atas sebuah ruangan belakang yang luas dan mengintai, tahulah mereka bahwa Cui Im memang telah siap menanti kedatangan mereka! Mereka melihat Cui Im, Mo-kaim Siauw-ong dan Go-bi Thai-houw bersama lima orang laki-laki tinggi besar yang agaknya adalah teman-teman Mo-kaim Siauw-ong dari kalangan bajak, sedang duduk di ruangan luas itu menghadapi meja hidangan, makan minum sambil bercakap-cakap. Tiba-tiba percakapan dihentikan, dan terdengarlah suara Cui Im melengking nyaring,
"Keng Hong dan Biauw Eng, kalian sudah datang! Hi-hi-hi, jangan harap kalian akan dapat membebaskan Yan Cu sebelum kalian mengalahkan kami!"
"Cui Im manusia jahat, sekali ini aku tidak akan mengingat hubungan antara kita lagi!" Jawaban Keng Hong ini disusul melayangnya dua tubuh yang ringan dan gesit dari atas, meluncur memasuki ruangan yang luas itu.
"Wir-wir-wirrr!!" Dari empat penjuru ruangan itu menyambar anak panah beracun ke arah tubuh Keng Hong dan Biauw Eng, tiga puluh dua batang banyaknya, delapan batang dari setiap penjuru yang dilepas oleh empat sekali dua batang. Keng Hong yang lebih dulu turun, menggerakkan kedua tangannya sedangkan Biauw Eng yang turun beberapa detik berikutnya telah menggerakkan sabuk sutera putih. Dalam beberapa detik saja, Keng Hong telah berhasil mencengkeram enam belas batang anak panah, sedangkan ujung sabuk sutera isterinya juga telah membelit enam belas batang. Keng Hong berseru nyaring, empat kali tangannya bergerak dengan tubuh berputar ke empat penjuru. Terdengar jerit-jerit mengerikan dan dari atas tiang melintang di empat penjuru ruangan itu, jatuhlah enam belas orang pemanah yang dadanya termakan anak panah mereka sendiri. Tubuh mereka berkelojotan sebentar tak bergerak lagi.
Biauw eng memutar sabuk suteranya di atas kepala sambil tersenyum mengejek memandang ke arah Cui Im yang mengangkat kedua alisnya dengan marah, kemudian wanita muda yang jelita ini berseru, "Bhe Cui Im, terimalah sambutanmu sendiri!"
Sabuk sutera itu mengeluarkan suara bersiut dan enam belas batang anak panah itu meluncur seperti kilat menyambar ke arah meja di mana duduk Cui Im, Go-bi Thai-houw, Mo-kiam Siauw-ong dan lima orang pembantunya terkejut dan cepat melempar diri ke belakang, terjungkal bersama kursi mereka dalam pengelakan yang tergesa-gesa dan kaget, akan tetapi Cui Im mengangkat sumpitnya menangkisi anak-anak panah itu, sedangkan Go-bi Thai-houw menggunakan mulutnya yang peot meniupi anak-anak panah itu sehingga menyeleweng dan tidak mengenai tubuhnya!
"Hi-hi-hik, Biauw Eng, engkau masih suka membela suamimu yang telah mengkhianati pernikahanmu? Suamimu datang untuk menolong kekasihnya, apa kau tidak tahu? Suamimu, laki-laki mata keranjang gila wanita ini, mencinta Yan Cu, apa kau berpura-pura tidak tahu?"
"Cui Im, tidak perlu banyak cakap lagi. Kami tahu siapa engkau dan dapat menduga apa yang telah kau lakukan terhadap Cong San dan Yan Cu. Kami datang untuk membasmi kau dan kaki tanganmu, dan sekali ini kami tidak mau bekerja kepalang tanggung!" Jawab Biauw Eng.
"Cui Im, sekali ini aku tidak akan sudi mengampunimu lagi!" kata pula Keng Hong.
"Eh, eh, eh, laki-laki tampan, apa kau lupa betapa kita bersama menikmati malam itu? Apa kau lupa bahwa akulah gurumu dalam soal asmara? hemmmm, jantungku masih berdebar dan semua bulu di tubuhku masih meremang karena berahi kalau kuingat malam kita dahulu itu. Engkau pun cinta kepadaku, cinta tubuhku, mana engkau akan tega membunuhku?"
"Cui Im, perempuan tak tahu malu! majulah menerima kematian!" Keng Hong berteriak marah sekali, mukanya menjadi merah karena dia diingatkan akan pengalamannya yang amat memalukan dahulu.
Cui Im memberi isyarat kepada Mo-kiam Siauw-ong. Mantu kepala daerah ini lalu mengangguk kepada lima orang pembantunya yang cepat meloncat bangun sambil mengeluarkan tanda dengan suitan. Dari kanan kiri muncullah dua puluh orang dari empat penjuru yang segera bergerak dengan teratur di bawah pimpinan lima orang itu, mengurung Keng Hong dan Biauw Eng dengan membentuk sebuah lingkaran luas dalam jarak enam meter dari kedua orang suami isteri sakti itu. Keng Hong dan Biauw Eng menggerakan kaki, berdiri mengadu punggung, bersikap tenang, bahkan Biauw Eng yang sudah memegang sabuk sutera putih di tangannya itu memandang kepada Cui Im sambil tersenyum mengejek, seolah-olah mentertawakan bekas sucinya itu yang menggunakan orang-orang yang dipandangnya rendah dan tiada gunanya itu. Keng Hong juga bersikap tenang, masih belum mencabut pedang Siang-bhok-kiam karena kalau hanya menghadapi pengurungan dua puluh lima orang itu saja, apalagi dia dibantu isterinya, kiranya tidak perlu mengeluarkan pedang pusakanya itu.
Lima orang itu memberi isyarat dengan tangan kepada dua puluh orang anak buah mereka yang berjalan mengitari Keng Hong dan isterinya. Tiba-tiba tampak sinar hitam menggelapkan cahaya lampu yang menerangi ruangan itu dan ternyata dua puluh lima orang itu kini semua telah mencabut sebatang cambuk hitam yang panjangnya tidak kurang dari lima meter! Tahulah Keng Hong dan Biauw Eng bahwa para pengeroyok itu hendak menyerang mereka dari jarak jauh, mengandalkan senjata mereka yang panjang. Diam-diam suami isteri ini tertawa. Betapa tololnya Cui Im! Biarpun kelihatannya cerdik, mengeroyok dari jarak jauh, dua puluh lima orang ini akan dapat berbuat apakah terhadap mereka? Dengan sikap tenang dan pandang mata mentertawakan, Keng Hong dan Biauw Eng tetap berdiri tanpa bergerak, bahkan kini Baiuw Eng dengan muka membayangkan kesebalan, menyelipkan sabuk suteranya di pinggang, seolah-olah ia hendak menunjukan kepada Cui Im bahwa dia tidak perlu lagi menggunakan senjata menghadapi ancaman dua puluh lima orang pengeroyok itu.
Serangan itu tiba-tiba seperti telah disangka oleh suami isteri ini. Didahului oleh ledakan-ledakan seperti suara halilintar menyambung-nyambung, lalu tampak sinar hitam meluncur dari sekeliling tubuh mereka, datanglah serangan ujung cambuk bertubi-tubi ke arah tubuh mereka.
Sikap Keng Hong dan Biauw Eng masih tenang, namun kedua tangan mereka sudah bergerak menyambut dengan kecepatan yang sukar diikuti pandangan mata. Tiba-tiba tampak cahaya putih bergulung di depan Biauw Eng, sedangkan Keng Hong menggerakan kedua tangan seperti seorang kanak-kanak menangkapi kupu-kupu dan...... sekian banyak cambuk itu sebagian tergulung oleh sabuk sutera Biauw Eng, dan sebagian besar lagi ujungnya sudah tergenggam di kedua tangan Keng Hong. hampir berbareng suami isteri ini membuat gerakan, gerakan yang berbeda, bahkan berlawanan karena kalau Biauw Eng menarik sabuk suteranya dengan pengerahan tenaga, sebaliknya Keng Hong melepaskan ujung-ujung sabuk yang menegang karena ditarik oleh pihak pengeroyok. Akan tetapi akibatnya hebat sekali. Mereka yang cambuknya tertarik oleh Biauw Eng, ada yang sampai terguling-guling dan terseret, ada yang putus cambuknya dan ada yang terpaksa melepaskan gagang cambuk karena kulit tangan mereka terkupas! Adapun mereka yang ujung cambuknya dilepas oleh Keng Hong, ada yang mengelak dari sambaran cambuk sendiri sampai jatuh bangu, akan tetapi ada pula yang terpukul cambuk sendiri pada mukanya sehingga kehilangan bukit hidung atau daun telinga. Teriakan-teriakan kesakitan terdengar dan tentu saja pengepungan dua puluh lima orang itu menjadi kacau-balau.
"Bhe Cui Im, majulah sendiri! Apa gunanya memaksa tikus-tikus tiada guna ini?" Biauw Eng berseru mengejek.
Akan tetapi, lima orang pembantu Mo-kiam Siauw-ong itu menjadi marah sekali dan tentu saja malu bahwa mereka dan anak buah mereka yang diandalkan tuan rumah ternyata dalam segebrakan saja telah kocar-kacir. Mereka meneriakkan aba-aba dan para anak buah mereka telah siap lagi, bahkan yang kehilangan cambuk sudah mengganti cambuknya. Lima orang itu memutar cambuk mereka sehingga terdengar suara bersuitan. Kemudian cambuk mereka menyambar, bukan ke arah Keng Hong dan Biauw Eng yang memandang heran dan geli, melainkan cambuk-cambuk itu menyambar ke arah api lilin di sudut-sudut ruangan dan....... ujung cambuk itu terbakar dengan cepat dan mudah. Api menjalar dari ujung cambuk sampai hampir ke gagang, tanda bahwa cambuk mereka itu memang mengandung bahan bakar yang amat peka. Kini lima orang itu memutar-mutar "cambuk api" mereka dan anak buah mereka pun memutar cambuk ke arah cambuk api pemimpin-pemimpin mereka dan terbakarlah semua cambuk yang kini menjadi dua puluh lima buah banyaknya!
Keng Hong dan Biauw Eng terkejut sekali ketika dua puluh lima batang api itu menerjang mereka dengan cahaya api yang menyilaukan mata. Ini hebat, pikir mereka. Mereka tidak takut akan kekuatan cambuk yang menyerang, namun berhadapan dengan api yang setidaknya akan dapat membakar pakaian dan rambut, amatlah berbahaya! Agaknya Cui Im dapat melihat kekagetan mereka maka terdengarlah suara ketawanya yang melengking di antara sinar api yang kini seperti membakar seluruh ruangan itu, mendatangkan bayangan-bayangan hitam merah seperti pemandangan di neraka! Cambuk-cambuk api itu datang dan Biauw Eng cepat mempergunakan ginkangnya, melesat dan bergerak menyelinap di antara cambuk-cambuk api yang datang menyambar. Gerakan ringan dan cepat sekali dan diam-diam nyonya muda ini bersyukur bahwa dia mentaati perintah suaminya, menyerahkan Giok Keng kepada Cong san. Andaikata tadi harus menghadapi serangan cambuk-cambuk api ini dengan menggendong anaknya, ihhhhh, ia bergidik ngeri karena maklum bahwa anaknya terancam hebat oleh lidah-lidah api!
Keng Hong menjadi marah. Dia harus memuji kehebatan barisan cambuk api ini dan kelihatan Cui Im mengatur siasat. Menghadapi api, tentu saja pedang Siang-bhok-kaim tak dapat dia pergunakan. Pedangnya terbuat daripada kayu dan tentu saja kayu takut akan api. Kalau pedangnya terbakar, hal itu merupakan malapetaka hebat. Juga tentu saja isterinya tidak dapat mempergunakan sabuk suteranya karena sabuk itu pun tentu akan terbakar kalau bertemu dengan cambuk yang bernyala-nyala. Para anak buah Cui Im yang menonton menjadi terbelalak, kagum dan tegang. Cambuk-cambuk api yang bergulung-gulung itu amat indah di waktu malam, akan tetapi lebih mengagumkan lagi adalah berkelebatnya bayangan Biauw Eng yang menyelinap ke sana-sini melalui gulungan-gulungan sinar menyala itu. Adapun Keng Hong masih berdiri tegak, tidak mempergunakan ginkang seperti isterinya, tidak mengelakan melainkan mengunakan kedua tangannya mendorong ke depan dan kanan kiri, namun angin pukulan kedua tangannya cukup kuat untuk membuat cambuk-cambuk api yang datang menyambar itu terpental kembali.
"Eng-moi, kita robohkan mereka dengan totokan-totokan!" Tiba-tiba keng Hong berseru dan dia pun kini berkelebat meniru isterinya, menggunakan langkah kaki yang aneh dan tubuhnya menyelinap di antara gulungan sinar, kedua tangannya dengan jari-jari terbuka menerjang ke kanan kiri. Biauw Eng juga masih berkelebat, akan tetapi kini tampak sinar putih sabuk suteranya meluncur ke kanan kiri seperti seekor ular hidup yang menyelinap di antara keroyokan sinar api bergulung-gulung. Terdengarlah pekik susul-menyusul dibarengi robohnya beberapa orang. Dengan tendangan kaki, suami isteri yang sakti ini melempar-lemparkan tubuh para pengeroyok sehingga bertumpuk-tumpuk dan dengan dorongan pukulan yang mengandung sinkang amat kuatnya, Keng Hong membuat cambuk api itu terbang membalik dan menimpa tumpukan tubuh yang telah tertotok dan tak mampu bergerak. Terjadilah hal yang amat mengerikan. Dua puluh lima orang itu, termasuk pimpinan barisan, malang melintang bertumpuk-tumpuk dan dibakar hidup-hidup oleh cambuk api mereka sendiri. Pakaian dan rambut mereka mulai terbakar dan tercium bau hangus dan sangit.
Cui Im mengeluarkan pekik kemarahan. Sambil memerintahkan anak buahnya untuk menggunakan air menyiram api dan menolong mereka yang terbakar hidup-hidup, dia bersama Go-bi Thai-houw dan Mo-kiam Siauw-ong sudah menerjang maju dengan senjata di tangan.
Mula-mula Cui Im yang licik itu menyerang bekas sumoinya, Biauw Eng. Dia mengira bahwa tingkat kepandaiannya yang jauh lebih tinggi itu akan dapat merobohkan Biauw Eng dalam beberapa gebrakan saja. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika ia melihat gerakan Biauw Eng jauh lebih hebat daripada dahulu, maka tahulah dia bahwa Baiuw Eng telah menerima latihan dari Keng Hong sehingga bukan saja langkah kakinya amat aneh dan gerakannya amat gesit, juga ketika sabuk sutera itu menangkis pedang merahnya, ia merasa betapa tenaga bekas sumoinya itu kuat sekali. Ujung sabuk melibat ujung pedang merah, terjadi saling betot dan terdengar Keng Hong berkata,
"Eng-moi, lepaskan!"
Untung Biauw Eng cepat mengundurkan sabuk dan melepaskan libatan, kalau tidak, tentu sabuknya akan putus. Keng Hong yang tadinya diserang Go-bi Thai-houw, kini mencelat ke dekat Cui Im dan mendesak wanita itu dengan sinar pedang Siang-bhok-kiam sehingga wanita itu terpaksa melompat mundur saking hebatnya serangan ini. Go-bi Thai-houw yang maklum betapa lihainya Keng Hong, sudah menerjang maju dengan sepasang kebutannya sehingga dalam detik-detik berikutnya, Keng Hong sudah dikeroyok dua oleh Go-bi Thai-houw dan Cui Im.
Namun pendekar sakti ini memutar Siang-bhok-kiam sedemikian rupa sehingga tidak saja tubuhnya terlindung oleh sinar hijau Siang-bhok-kiam, akan tetapi juga dari gulungan ini secara tiba-tiba dan aneh mencuat sinar-sinar yang menyambar ke arah kedua orang pengeroyoknya, diseling sambaran angin pukulan tangan kirinya yang amat kuat. Pertandingan ini hebat dan seru bukan main karena mereka semua mengerahkan seluruh kepandaian untuk saling membunuh!
Sementara itu, setelah suaminya menggantikannya untuk menghadapi Cui Im yang lihai, Biauw Eng menerima serbuan Mo-kiam Siauw-ong yang menyerangnya dengan ngawur dan dengan hati tidak tenang karena tadinya mantu kepala daerah ini bermaksud hanya membantu saja, lebih mengandalkan kepandaian Go-bi Thai-houw dan Cui Im. Siapa sangka, semua bantuan kawan-kawannya tiada guna, dan kini kedua orang wanita yang diandalkan itu mengeroyok Keng Hong sedangkan dia sendiri terpaksa menghadapi nyonya muda yang amat lihai seorang diri saja! Biarpun dia sudah memutar pedangnya dan mengeluarkan semua ilmu yang dahulu dia pelajari dari ketiga orang kakek iblis Thian-te Samlo-mo, namun, menghadapi sinar putih sabuk sutera Biauw Eng, dia benar-benar merasa bingung dan terdesak hebat. Kemanapun pedangnya bergerak, selalu bertemu dengan sinar putih yang halus lembut namun amat kuat itu, dan beberapa kali hampir saja pedangnya kena terampas.
"Majuuuuuu.......! Keroyok......!!" Tiba-tiba Mo-kiam Siauw-ong yang merasa kewalahan itu bergerak dan belasan orang anak buahnya, yaitu para perwira pengawal, maju dengan senjata di tangan. Namun sekali Biauw Eng mengeluarkan lengking tinggi dan sinar sabuk suteranya membuat gerakan melengkung dan menyambar ke sekeliling tubuhnya, robohlah enam orang pembantu Mo-kiam Siauw-ong itu.
Mo-kiam Siauw-ong terkejut dan marah, ketika melihat Biauw Eng yang memutar sabuk itu agak miring tubuhnya, dia cepat menubruk dan menusukkan pedangnya dari samping ke arah dada. Biauw Eng dapat melihat gerakan ini dan dapat mendengar suara angin tusukan, maka dengan tenang namun cepat sekali dia mengembangkan lengannya, membiarkan pedang meluncur melalui bawah lengannya, kemudian tanpa membalikkan tubuhnya, ujung sabuk suteranya menyambar ke belakang dan gerakan tiba-tiba ini tak dapat dielakkan lagi oleh Mo-kiam Siauw-ong dengan tepat. Biarpun dia telah miringkan kepala sehingga ujung sabuk itu tidak menotok ubun-ubun kepalanya, namun lengannya tersabat dan dia memekik keras, tubuhnya terhuyung dan dia roboh terguling! Untung baginya bahwa anak buahnya cepat menubruk Biauw Eng dengan senjata mereka sehingga wanita itu tidak sempat mengirim serangan maut, sebaliknya Biauw Eng lalu mengelebatkan sabuk suteranya dan robohlah empat orang pengeroyok. Akan tetapi Mo-kiam Siauw-ong sempat diseret pergi menjauh oleh anak buahnya dan dia mengeluh kesakitan sambil memegangi lehernya yang membengkak!
Go-bi Thai-houw dan Cui Im bukan merupakan lawan yang lunak bagi Keng Hong. Kini Cui Im lebih lihai daripada dalam pertemuan terakhir dahulu ketika Cui Im menyerbu ke Cin-ling-san. Cui Im telah digembleng oleh Go-bi Thai-houw dan kedua orang wanita iblis itu mengeroyok Keng Hong dengan kebencian meluap dan nafsu membunuh terkandung dalam setiap serangan. Betapapun juga, dengan ilmunya yang tinggi, terutama gaya bertahan dari ilmunya Thai-kek Sin-kun, pendekar sakti ini sama sekali tidak terdesak, bahkan membuat dua orang lawannya terpaksa harus bersikap hati-hati sekali karena sedikit saja terkena Siang-bhok-kiam yang penuh dengan getaran hawa sinkang mujijat itu, celakalah mereka.
Karena tidak ada lagi pengeroyok berani mendekatinya, Biauw Eng lalu menerjang maju membantu suaminya dan tentu saja terjangan nyonya muda yang lihai ini membuat Cui Im dan Go-bi Thai-houw menjadi makin terdesak hebat. Cui Im mulai menjadi gelisah dan beberapa kali ia menengok ke belakang, bukan untuk mencari jalan lari, melainkan dia mencari-cari Cong San. Akhirnya setelah bentrokan antara pedangnya dan Siang-bhok-kiam membuat terhuyung ke belakang, dia tidak dapat menahannya lagi dan berseru, "Yap-sicu, di mana engkau?"
"Aku di sini!!" Yap Cong San tiba-tiba muncul dari balik pintu, memondong anak perempuan kecil.
"Bantulah kami!" Cui Im berseru dan melompat dekat Cong San, kemudian secara tiba-tiba pedang merahnya menyambar ke arah kepala Cong San! Cong San terkejut sekali, tidak mengira bahwa iblis betina itu menyerangnya, maka cepat dia mengelak, akan tetapi ternyata serangan itu hanya pancingan belaka karena di lain saat, anak perempuan di gendongannya telah terampas oleh Cui Im, Cong San berdiri melongo dan alisnya berkerut.
"Mengapa kau tidak membantu kami?" Cui Im menegur, kemudian ia mengangkat anak itu tinggi-tinggi ke atas dan berteriak, "Keng Hong! Biauw Eng! Menyerahlah, kalau tidak anak kalian akan kupenggal lehernya!" Pedang merah ditempelkan di leher anak itu yang tiba-tiba menangis nyaring.
"Cui Im, iblis keji........!!" Keng Hong berteriak. "Cong San, kau manusia terkutuk!" Keng Hong hendak mengamuk, akan tetapi lengannya disentuh isterinya.
"Cui Im, kami menyerah, akan tetapi jangan menggangu anakku!" Biauw Eng berkata, suaranya menggetar penuh kecemasan biarpun sikapnya tetap tenang.
"Hi-hi-hik! Siapa mau ganggu anakmu? Subo, harap suka lumpuhkan mereka!"
Go-bi Thai-houw tertawa-tawa, dan kedua kebutannya berkelebat ke arah Keng Hong dan Biauw Eng. Tentu saja kalau mereka menghendaki, mereka dapat menghindarkan diri, akan tetapi setelah anak mereka berada di tangan Cui Im, mereka tidak berani berkutik dan robohlah mereka dengan tubuh lemas dan lumpuh tertotok ujung kebutan Go-bi Thai-houw yang amat lihai itu.
"Ringkus dan belenggu mereka kuat-kuat!" Cui Im memerintah, Mo-kiam Siauw-ong yang sudah marah sekali meloncat maju. Lehernya masih bengkak, akan tetapi kedua tangannya masih dapat bergerak leluasa dan tenaganya masih besar untuk mengikat tubuh Keng Hong dan Biauw Eng dengan erat, bahkan dia tidak melepaskan kesempatan itu untuk menggerayangi tubuh Biauw Eng secara kurang ajar dengan maksud menghina. Namun Biauw Eng mematikan rasa dan Keng Hong juga memusatkan semua panca indera untuk menghadapi saat yang amat gawat itu.
"Yap Cong San, tidak kusangka sama sekali bahwa seorang pendekar murid Siauw-lim-pai yang gagah perkasa dan berwatak pendekar seperti engkau telah tersesat begini jauh. Engkau menipu kami dan ternyata engkau bersekutu dengan iblis betina ini!" Keng Hong berkata, matanya mencorong memandang ke arah Cong San. Akan tetapi Cong San sama sekali tidak merasa kikuk atau malu, bahkan dia membalas dengan pedang mata penuh kebencian, kemudian dia melangkah maju dan menendang kepala Keng Hong yang rebah terlentang di atas lantai.
"Jangan bunuh dulu!" Cui Im berteriak. Cong San mengurangi tenaga dan tendangannya hanya membuat bibir Keng Hong berdarah.
"Yap Cong San, manusia pengecut tak tahu malu!!" Biauw Eng memaki sinar matanya seolah-olah hendak menghancurkan kepala bekas sahabat itu. "Begitukah sikap seorang laki-laki sejati? Menghina orang yang telah menyerah! Kalau tidak engkau yang menggunakan siasat keji dan busuk tak tahu malu, kami berdua akan membasmi kalian semua, termasuk engkau, manusia berwatak anjing!"
Cong San memandang Biauw Eng dan menghela napas. "Aku kasihan kepadamu, Biauw Eng. Bukan aku yang berwatak anjing, melainkan suamimu inilah! Dialah manusia anjing, wataknya seperti anjing, biarpun telah diberi makan kenyang di rumah, kalau keluar, ada tahi pun akan dimakannya! Bukan aku yang menghina suamimu, akan tetapi manusia yang bernama Cia Keng Hong inilah yang telah menghinaku. Bukan hanya menghina, dia malah menghancurkan kebahagiaan hidupku, dan tanpa kauketahui, telah menghancurkan pula kebahagiaan hidupmu."
"Ahhh, engkau manusia buta! Kukira engkau masih tetap gila, demikan gila oleh cemburu sehingga engkau tidak segag menipu kami. Engkau demikian gila sehingga tidak hanya mencelakakan kami, juga membikin sengsara isterimu yang amat mencintamu, dan mencelakakan pula anak kami!" Biauw Eng menjerit penuh kemarahan.
"Engkaulah yang buta, Biauw Eng. Suamimu seorang laki-laki hina, seorang suami yang menyeleweng dan tidak setia, seorang sahabat yang palsu dan laknat, dan engkau masih membelanya! Dialah yang merusak kehormatan dan kebahagiaan isteriku dan aku, maka dengan jalan apa pun aku harus dapat membalas dendamku, harus dapat membunuh seperti orang membunuh seekor anjing yang menjijikan!"
"Yap Cong San, jangan menambah dosamu dengan maki-makian keji." Keng Hong berkata tenang. "Isteriku benar, engkau bermata seperti buta. Engkau menjadi gila dan buta oleh cemburu kosong terhadap isterimu dan aku. Engkau menduga bahwa aku dan sumoi bermain gila, berzina. Padahal aku hanya mencinta isteriku seorang, dan isterimu hanya mencinta engkau suaminya! Betapa keji fitnah yang kaulontarkan kepadaku, terutama kepada sumoi. Aiiiihhhh, betapa inginku menghajarmu, menyeretmu ke depan sumoi dan menciumi kakinya mohon pengampunan!"
Melihat pembantahan itu, Cui Im hanya tersenyum dan saling pandang dengan Go-bi Thai-houw. Mereka merasa bangga sekali menyaksikan hasil daripada siasat mereka yang dilaksanakan dengan penuh kesabaran dan kecerdikan. Kini diam-diam mereka menikmati hasil itu dan merasa amat gembira. Sedemikian hebat rasa benci di hati Cui Im terhadap Keng Hong dan Biauw Eng sehingga selain ingin menyaksikan kedua orang ini mati di tangannya, juga dia merasa gembira kalau sebelum dibunuh mereka itu menderita tekanan-tekanan batin lebih dulu dan bertengkar dengan bekas sahabat terbaik!
"Cia Keng Hong, manusia iblis! tak perlu engkau berlagak pendekar budiman! Aku bukan anak kecil lagi dan aku bukan semata-mata melemparkan fitnah kosong! Telah lama aku menderita oleh perbuatanmu yang kotor, semenjak aku menikah! Aku telah menyabarkan diri, menekan batin sampai akhirnya meletus oleh kelanjutan perbuatan-perbuatanmu yang kubuktikan sendiri. Aku bukan diburu rasa cemburu kosong, melainkan dihadapkan dengan kenyataan-kenyataan perbuatanmu yang menjijikan. Aku tidak akan menyalahkan bahwa engkau mencinta Yan Cu, akan tetapi setelah dia menjadi isteriku, mengapa masih juga engkau kejar-kejar? Manusia biadab.........!!"
"Hemmmmmm, bukti apakah yang kau sebut tadi, Cong San? Bukti surat-surat palsu itu?"
Cong San kelihatan kaget, dan Keng Hong melanjutkan. "Sumoi telah datang dan memperlihatkan dua surat itu. Surat yang huruf-hurufnya persis huruf tulisanku itu bukanlah surat yang kutulis. Pesuruhku yang menghantarkan suratku kepada kalian tidak pernah pulang ke Cin-ling-san. Surat yang memakai namaku itu adalah surat palsu, Cong San. Demikian pula, surat yang kauanggap tulisan isterimu itu bukanlah tulisan Yan Cu, melainkan dipalsukan orang. Ah, betapa buta engkau. Apakah tidak ada sedikit pun dugaan di hatimu siapa yang telah membuat surat-surat palsu itu?"
"Bohong.......!!" Cong san membentak. "Pengecut engkau! Setelah berani berbuat, mengapa hendak menyangkal pula? Semenjak dahulu, Yan Cu adalah kekasihmu, semenjak belum menjadi isteriku! Bahkan dia..... aku........ telah........"
"Yap Cong San, katakan saja bahwa ketika menikah denganmu, Gui Yan Cu bukan perawan lagi dan engkau menduga bahwa hal itu adalah perbuatan suamiku bukan?" Tiba-tiba Biauw Eng berkata dengan senyum mengejek.
Kembali Cong San terkejut, kemudian makin marah. "Setelah engkau tahu akan hal itu, engkau masih hendak menyalahkan aku dan membela manusia jahanam itu?"
"Tutup mulutmu dan jangan memaki suamiku. Engkaulah yang jahanam, Cong San! Engkaulah yang jahanam dan buta, engkaulah yang mempunyai hati dan pikiran kotor, yang membayangkan hal-hal keji yang bukan-bukan. Yan Cu memang kehilangan tanda keperawanannya, akan tetapi bukan karena berjina dengan suamiku, juga bukan dengan laki-laki lain. Kau mau tahu sebabnya? Bukalah telingamu baik-baik. Ketika iblis betina Cui Im menyerbu ke Cin Ling-san, isterimu kena ditendang oleh nenek iblis betina yang tersenyum-senyum itu, dan sengaja ditendangnya agar kehilangan tanda keperawanannya itu! Aku melihat sendiri pakaian pengantin Yan Cu yang berdarah! nah, tahukah engkau sekarang dan insyaflah engkau betapa tolol dan kejinya terhadap isterimu?"
Cong San menoleh dan memandang Go-bi Thai-houw dengan mata terbelalak penuh keraguan. Namun nenek itu, juga Cui Im, hanya tersenyum mengejek.
"Hatimu sudah diracun cemburu, Cong San." Keng Hong melanjutkan keterangan isterinya. "Engkau sudah cemburu dan menuduh isterimu secara keji dalam hati sehingga engkau selalu cemburu. Hal itu dipergunakan oleh Cui Im untuk menipumu. Surat memang ada kubuat untuk engkau dan isterimu, surat biasa yang kusuruh antar seorang dari kampung kami. Akan tetapi pesuruh itu tak pernah pulang dan suratku tentu telah dipalsu oleh Cui Im sehingga engkau menjadi makin cemburu. Kemudian surat tulisan Yan Cu, memang dia pernah membuatkan resep untuk seorang laki-laki tua, tentu kaki tangan iblis betina itu dan surat isterimu dipalsu. Betapa tololnya engkau!"
Wajah Cong San berubah dan kini dia menoleh kepada Cui Im dengan pandang mata penuh keraguan. Cui Im tersenyum dan berkata,
"Yap Cong San, engkau tentu mengerti bahwa orang-orang yang sudah tidak ada harapan lagi untuk hidup akan berusaha menolong dirinya dengan segala macam kebohongan. Bukankah engkau sudah menyaksikan dengan mata kepala sendiri pertemuan antara mereka dengan penuh kasih? Hi-hi-hik, kurasa engkau tidak begitu bodoh, dan kalau semua yang mereka fitnahkan itu benar, apakah aku masih akan enak-enak saja duduk di sini menanti kau curiga kepadaku?"
Cong San membalik, memandang Keng Hong penuh kebencian. "Manusia pengecut! Engkau membohong! Aku melihat sendiri engkau bertemu dengannya, engkau men..... menciumnya........ engkau......... kubunuh engkau!" Dia menerjang maju dan menggerakan tangan hendak memukul kepala Keng Hong.
"Wuuuttt...... plakkk!" Cui Im sudah melesat dari tempat duduknya dan menangkis pukulan maut itu. Cong San memandangnya dengan marah, akan tetapi Cui Im memegang lengannya dan menariknya menjauh, lalu membisiki telinganya,
"Bodoh! Dia sengaja memancing kemarahanmu agar dengan sekali pukul engkau dapat membunuhnya. Terlalu enak baginya. Dia harus mati disiksa!"
"Tidak!" Cong San menggeleng kepala. "Cukup bagiku asal dapat kubunuh dia! Aku tidak sekejam itu!"
"Hussshhh...... engkau tidak kejam, akan tetapi aku terlalu sakit hati. Pula, aku lebih dulu hendak mengorek rahasia ilmunya, baru dia boleh kaubunuh. Kau bersabarlah sampai tiga hari, terpaksa aku akan mencegahmu."
Cong San menarik napas panjang. Dia maklum bahwa dia tidak dapat menandingi iblis betina ini, dan harus dia akui bahwa tanpa kerja sama dengan Cui Im, tak mungkin dia dapat menundukkan Keng Hong. "Terserah. Akan tetapi, aku tidak ingin melihat kau membunuh Biauw Eng juga kau tidak boleh mengganggu anaknya!" Setelah berkata demikian, Cong San membalikan tubuh dan lari memasuki kamarnya.
"Hi-hi-hik, Cia Keng Hong. Bagaimana sekarang?"
"Iblis betina, kaubunuhlah aku. Siapa takut mati?" Jawab Keng Hong.
"Bhe Cui Im, bunuhlah kami, akan tetapi bebaskan anak kami. Dia tidak ikut dalam permusuhan kita!" Kata Biauw Eng.
Cui Im tertawa-tawa terkekeh-kekeh girang menyaksikan kekhawatiran Biauw Eng yang dibencinya. "Enak saja! Aku akan menyiksa Keng Hong sepuasku, tidak hanya menyiksa tubuhnya, akan tetapi juga menyiksa hatinya. Biar dia melihat isterinya dipermainkan banyak laki-laki di depan matanya sampai mati, kemudian anaknya akan kuberikan kepada segerombolan anjing kelaparan, biar dia melihat tubuh anaknya dirobek-robek mulut anjing. Baru kubunuh dia sekarat demi sekarat, ha-ha-ha-hi-hik!"
Biauw Eng dan Keng Hong bergidik dan wajah mereka pucat, akan tetapi mereka maklum iblis betina itu tentu akan mengeluarkan ancaman dan kata-kata yang lebih mengerikan lagi kalau mereka membantah, apalagi kalau mereka minta dikasihani, maka mereka menekan semua pikiran dan tidak mempedulikannya lagi. Untuk menyiksa hati Biauw Eng, Cui Im mencubit paha Giok Keng. Anak kecil itu yang sudah berhenti menangis, menjerit dan menangis lagi. Biauw Eng memejamkan matanya dan Cui Im tertawa-tawa gembira, melemparkan anak itu kepada seorang perempuan pembantunya.
"Jaga dia baik-baik, jangan sampai sakit. Aku ingin dia sehat-sehat dan gemuk ketika dikoroyok anjing! Siauw-ong, seret mereka berdua ke dalam kamar tahanan dan jaga yang kuat. Siapkan asap beracun dan begitu melihat mereka berhasil melepaskan diri, semperotkan asap beracun ke dalam kamar!"
Dengan kasar dua orang anak buah Mo-kiam Siauw-ong menyeret Keng Hong dan Biauw Eng dari ruangan itu. Mo-kiam Siauw-ong dengan menyeringai hendak mencengkeram dada Biauw Eng, akan tetapi Cui Im menghardiknya, "Siauw-ong! Siapapun tidak boleh menjamahnya. Kalau hukuman kujalankan, engkau boleh menjadi orang pertama yang menikmatinya. Bawa pergi!"
Mo-kiam Siauw-ong menyeringai kecewa, akan tetapi janji itu membuat dia mengangguk-angguk puas dan dia mengirim tendangan ke arah pinggul Biauw Eng.
Keng Hong menggigit bibirnya dan dia berjanji kepada diri sendiri bahwa sekali dia dapat lolos, dia tidak akan memberi ampun kepada Mo-kiam Siauw-ong, apalagi Bhe Cui Im! Akan tetapi, Keng Hong mendapat kenyataan dengan hati kecewa bahwa tempat tahanan mereka itu benar-benar amat kuat, sebuah kamar yang sempit hanya dua meter persegi, dari tembok berlapis baja dan pintunya juga dari baja, dengan lubang-lubang kecil, sedangkan depan pintu berjaga dua lusin pengawal yang semua memegang semprotan asap beracun yang dia tahu amat berbahaya. Maka pendekar yang masih lumpuh tertotok itu hanya menyerahkan nasibnya dan nasib isterinya ke tangan Tuhan.
Cui Im mengepal kedua tangannya. Kalau menurutkan kemarahan hatinya, ingin dia di saat itu juga memukul mati Keng Hong dan Biauw Eng. Berjam-jam lamanya dia membujuk Keng Hong, menjanjikan kebebasan bagi anaknya, bahkan sampai kebebasan mereka semua kalau Keng Hong suka menurunkan Ilmu Thi-khi-i-beng dan Thai-kek Sin-kun kepadanya. Bujukan-bujukan halus sampai ancaman-ancaman yang paling mengerikan tidak dapat menggerakan hati Keng Hong yang tetap menolak dan menantang di bunuh daripada harus menuruti permintaannya.
"Cui Im, percuma saja kau membujuk. Apa kaukira aku tidak mengenal manusia berhati iblis macam engkau ini? Bujuk dan janjimu tidak ada harganya sedikit pun juga. Andaikata aku terbujuk dan menuruti kehendakmu, tetap saja engkau takkan memegang janji. Lebih baik menghadapi ancamanmu yang pasti kaulaksanakan, karena bujuk dan janjimu jauh lebih jahat daripada ancamanmu, lebih palsu. Tidak, aku tidak akan memberikan apa pun juga kepadamu. Dari pada ilmu ditinggalkan kepadamu, jauh lebih baik kubawa mati!"
Ketika Cui Im beralih kepada Biauw Eng dengan bujukannya bahwa Keng Hong menuruti permintaannya, anak dan Biauw Eng akan dibebaskan, Biauw Eng menjawab, "Aku setuju sepenuhnya dengan keputusan suamiku. Kalau dia menurut, tetap saja engkau akan membunuh kami. Aku tidak dapat mengharapkan kebebasan dari seorang iblis macam engkau, dan akan dikutuk Tuhanlah kalau kami meninggalkan sesuatu untuk orang seperti engkau ini karena ilmu itu hanya akan menambah kekejian dan kejahatanmu."
"Baik, kalian rasakan nanti pembalasanku. Aku beri waktu tiga hari. Kalau pada hari ketiga Keng Hong belum mau memenuhi permintaanku, dia akan menyaksikan betapa engkau diperkosa berganti-ganti oleh banyak laki-laki sampai mati! Kemudian, akan dia lihat pula anjing-anjing kelaparan memperebutkan daging anaknya. Setelah itu, baru akan kupotong dia sekerat demi sekerat!"
Namun, ancaman hebat itu kini tidak lagi mendatangkan kengerian dalam hati suami isteri yang sudah nekat mati bersama, mati bertiga dengan anak mereka itu. Dengan hati penuh kemarahan, kekecewaan dan kemengkalan, Cui Im kembali kekamarnya, melempar tubuhnya ke atas ranjang dan ia terlentang dan termenung, merasa betapa kosong hatinya. Dia merasa benar betapa dalam menghadapi ancaman maut dan siksa sebelum mati, suami isteri itu tetap tenang dan penuh kepercayaan akan cinta masing-masing! Dia merasa kosong, sunyi, merana dan sengsara!
Hampir saja ia melemparkan sesuatu untuk membunuh pelayan wanita yang muncul di pintu kamarnya untuk melenyapkan kemarahan hatinya. "Mau apa kau??" bentaknya.
Pelayan itu pucat mukanya. Dia sudah mengenal watak wanita iblis ini yang dengan mudah saja membunuh orang yang tak berdosa. "Hamba..... hamba....... diperintah Coa-kongcu untuk menghadap Paduka......." Saking amat takutnya dia bersikap amat merendah.
"Disuruh apa? Cepat bicara!"
"Kongcu mohon menghadap......."
"Pergilah! Suruh dia datang, rewel benar!"
Pelayan itu bergegas pergi dan tak lama kemudian, datanglah Coa Kun, putera Coa-taijin yang selama ini diharuskan bersembunyi agar tidak sampai terlihat oleh Yap Cong San. Akan tetapi pemuda yang sudah bertekuk lutut di bawah telapak kaki Cui Im itu merasa kehilangan dan tak dapat lagi menahan rindu berahinya yang sudah ditahan-tahan selama beberapa malam, maka malam ini setelah mendengar bahwa musuh-musuh yang ditakuti telah tertawan, dia minta diperkenankan mengunjungi kekasih pujaan nafsu berahinya itu.
Dalam kegairahannya yang memenuhi seluruh tubuh, Coa Kun berjalan melalui ruangan-ruangan dalam, tersenyum-senyum dan sinar matanya bercahaya penuh kegembiraan, menuju ke kamar Cui Im yang letaknya agak di belakang. Dia tidak tahu betapa bayangan Cong San dengan gerakan ringan mengintai dan mengikutinya. Cong San tidak sengaja mengikuti pemuda ini. Tadi, di dalam kamarnya, Cong San gelisah dan hati nuraninya mengganggu perasaannya. Terjadi perang hebat di dalam batinnya, antara kebenciannya yang meluap terhadap Keng Hong dan kesadarannya akan kenyataan betapa dia telah mendatangkan malapetaka hebat kepada bekas sahabat itu. Dia tidak menyesal kalau Keng Hong terbunuh, bahkan dia ingin membunuhnya dengan tangan sendiri. Akan tetapi kalau dia teringat betapa Biauw Eng terbawa-bawa, betapa anak perempuan mereka pun terancam bahaya maut, benar-benar hal ini membuat Cong San menjadi gelisah sekali. Betapa mungkin dia akan mencegah kalau Cui Im membunuh Biauw Eng dan anaknya? Dan ucapan-ucapan yang dikeluarkan Keng Hong dan Biauw Eng tadi! Bagaimana kalau cemburunya tidak berdasar kenyataan dan bahwa semua itu diperbuat dengan sengaja oleh Cui Im? Dia mengenal betapa keji dan liciknya wanita iblis itu. Akan tetapi, surat dapat dipalsu, dan mungkin tanda keperawanan Yan Cu benar hilang oleh tendangan Go-bi Thai-houw, akan tetapi pertemuan dekat telaga antara Keng Hong dan Yan Cu dahulu itu? Mana mungkin dipalsukan? Dia melihat sendiri, jelas Yan Cu yang dikenal dari pakaian dan bentuk tubuhnya. Dan Keng Hong pun dia kenal benar. Mereka berciuman, begitu mesra....... bayangan ini membuat darah Cong San mendidih lagi, membuat cemburunya seperti api disiram minyak, berkobar membuat sesak napasnya dan panas tubuhnya.
Dia merasa panas dan keluar dari kamarnya, memasuki taman mencari hawa sejuk dan untuk menenangkan pikirannya. Dia harus minta agar Yan Cu dibebaskan sekarang juga. Setelah Keng Hong tertangkap, tidak perlu lagi isterinya ditawan. Dia akan memberi kebebasan sepenuhnya kepada Yan Cu. Kalau isterinya itu masih ingin melanjutkan hubungan suami isteri, dia akan memaafkan semua. Kalau ingin memutuskan, terserah. Dia akan melanjutkan hidup untuk puteranya yang dia titipkan di kuil Siauw-lim-si. Dia harus menemui Cui Im dan minta agar Yan Cu dibebaskan. Adapun Biauw Eng dan anaknya itu, setelah lewat tiga hari, akan dia tuntut kepada Cui Im agar dibebaskan pula. Kalau Cui Im memaksa hendak mengganggu mereka, atau bahkan membunuh mereka, dia akan membela dan mempertaruhkan nyawanya! Biauw Eng masih merupakan sahabatnya yang harus dia bela dengan taruhan nyawa!
Keputusan hati ini membuat Cong San tidak merasa begitu menderita batinnya. Dia merasa terhibur bahwa sesungguhnya dia tidaklah jahat! Tidak, dia tidaklah kejam! Kalau dia bersekutu dengan Cui Im untuk menjebak dan menangkap Keng Hong, hal itu hanya dilakukannya untuk membalas dendam kepada Keng Hong. Dan dia tidak jahat karena memang manusia seperti Keng hong itu patut dibunuh!
Perang di dalam hati Cong San ini sama sekali tidaklah aneh dan dapat diselidiki bahwa hal itu terjadi setiap hari, setiap saat bahkan setiap detik di dalam hati semua manusia! Tidak seorang pun manusia yang suka mengaku, baik dalam hatinya apalagi dalam mulutnya, bahwa dia melakukan sebuah perbuatan yang dianggap jahat oleh hukum masyarakat, dia tentu akan membela diri dan mencari alasan-alasan yang menguatkan keyakinannya bahwa dia tidak jahat, bahwa perbuatannya itu dilakukan karena terpaksa, dan lain-lain. Mata manusia ditujukan untuk memandang keluar sehingga tentu saja yang dilihatnya hanyalah kesalahan orang-orang lain yang berada di luar dirinya. Tak pernah sedetik pun mata manusia ditujukan ke dalam untuk mengenal dirinya, untuk melihat isi hati dan isi pikirannya, untuk menangkap basah kekotoran-kekotoran yang berkecamuk dalam dirinya, untuk mengenal kesalahan-kesalahan pada dirinya yang tidak berbeda, tidak lebih sedikit, daripada kesalahan-kesalahan orang lain yang dilihat oleh matanya. Kalau saja manusia suka melatih matanya untuk sewaktu-waktu ditujukan ke dalam! Tentu takkan seperti sekarang ini ketegangan dan permusuhan yang selalu memenuhi hubungan antara manusia. Akan tetepi kenyataannya tidak demikian. Semua mata ditujukan keluar selalu, untuk mencari dan menemukan kesalahan-kesalahan lain orang. Sayang!
Seorang manusia yang suka melatih diri, menutup mata telinga terhadap hal-hal di luar dirinya, membuka telinga batin untuk mengenal sifat-sifat dirinya pribadi, orang demikian ini akan sadar bahwa dirinya tidaklah lebih baik atau lebih jahat daripada orang lain dan kesadaran ini akan menimbulkan perasaan senasib sependeritaan, akan menciptakan kasih sayang yang murni antar manusia, melenyapkan iri dan dengki, mengusir benci yang menjadi sumber daripada segala kesengsaraan dan penderitaan hidup. Kebencian membayangkan kegelapan neraka, sebaliknya cinta kasih menyinarkan cahaya sorga. Akan tetapi, memaksa diri melenyapkan benci, memaksa diri memelihara cinta, akan menimbulkan pertentangan dan persoalan baru yang akan berakhir dengan kegagalan. Mengubah benci dengan cinta tak dapat dipaksakan, melainkan berlangsung sewajarnya melalui kesadaran yang lahir dari dalam, dan kesadaran ini akan didapat apabila manusia tekun membuka mata batin dan belajar mengenal diri pribadi dan membebaskan diri daripada belenggu keakuan yang akan mengaburkan pandangan mata batin sehingga yang ingin dikenal hanyalah kebaikan-kebaikan dirinya sendiri saja!
Tiba-tiba Cong San menggerakkan kepalanya. Telinganya menangkap gerakan orang dan ketika dia melihat seorang laki-laki muda berjalan melenggang melalui lorong yang menghubungkan bangunan besar dengan belakang, hatinya berdebar penuh kaget. Cia Keng Hong! Bagaimana Keng Hong dapat lolos? Dan agaknya sedang menuju ke bangunan belakang di mana terdapat kamar tahanan Yan Cu! Ataukah Keng Hong berhasil meloloskan diri dan kini hendak mencari kamar Cui Im? Mungkin juga. Akan tetapi, dia lebih percaya bahwa tentu Keng Hong yang berhasil membebaskan diri itu pertama-tama hendak menolong kekasihnya, Yan Cu. Hatinya menjadi panas lagi dan dengan amat hati-hati karena maklum akan kelihaian Keng Hong, Cong San bergerak dari tempatnya dan membayangi dari belakang.
Cong San mengintai dengan mata terbelalak penuh keheranan ketika melihat bayangan itu mengetuk pintu kamar Cui Im, mendapat jawaban halus dari dalam kemudian memasuki kamar. Dari penerangan di depan kamar itu dia mendapat kenyataan bahwa orang itu bukanlah Keng Hong, sungguhpun wajah dan bentuk badannya serupa benar dengan Keng Hong. Orang itu adalah seorang laki-laki muda tampan yang tersenyum dengan kilatan mata penuh gairah ketika memasuki kamar Cui Im!
Kalau saja laki-laki itu tidak serupa benar dengan Keng Hong, tentu Cong San sudah pergi lagi, kembali ke kamarnya. Dia sudah cukup mengenal watak Cui Im, iblis betina yang cabul dan gila laki-laki dan tidaklah mengherankan kalau malam-malam Cui Im memasukan seorang laki-laki tampan. Akan tetapi, keadaan orang muda itu membuat jantung Cong San berdebar. Mengapa begitu serupa dengan Keng Hong? Dan orang itu yang memiliki gerakan bisa saja, bagaimana dapat memasuki tempat ini yang terjaga ketat oleh para pengawal? Hal ini hanya membuktikan bahwa laki-laki itu memang tinggal di dalam gedung, akan tetapi mengapa dia yang telah beberapa hari berada di situ tak pernah melihatnya! Melihat pakaian pemuda itu yang mewah seperti pakaian seorang bangsawan pelajar, tak mungkin dia itu seorang pengawal atau pegawai biasa!
Bermacam-macam dugaan yang mendebarkan jantung membuat Cong San menyelinap, mendekati kamar itu dengan hati-hati sekali. Dia maklum betapa lihainya Cui Im, dan sedikit suara saja akan cukup membuat wanita iblis itu tahu bahwa ada orang di luar kamarnya. Dengan hati-hati sekali, tanpa mengeluarkan suara, dia berhasil mendekati jendela kamar dan mengerahkan seluruh kekuatan pendengarannya untuk menangkap suara di dalam kamar. Dia berhasil. Di samping suara orang bercumbu, dengus dan tawa penuh nafsu berahi, dia mendengarkan percakapan yang membuat matanya terbelalak, wajahnya pucat dan kedua kakinya menggigil! Hampir dia tidak percaya akan pendengarannya sendiri, dan dengan susah payah dia menekan perasaannya agar pernapasannya tidak menjadi sesak dan jangan sampai terdengar dari kamar itu.
"Ihhhhh, kau seperti harimau kelaparan saja! Baru juga sepekan......... bukankah kukatakan bahwa kau harus menjauhkan diri dariku lebih dulu dan bersembunyi saja di kamarmu? Kalau sampai Cong San tahu........"
"Aduh, Sianli! Dewiku, kekasihku, pujaan hatiku. Masa kau begitu tega? Hampir aku mati karena rindu padamu........ ahhhhh, kau begini cantik jelita, begini menggairahkan, begini harum.......! Engkau tentu dapat menghargai semua bantuanku, bukan? Ha-ha-ha, engkau benar-benar cerdik luar biasa. Si tolol Cong San itu benar-benar dapat tertipu! Ingin sekali sebelum kau membunuh Keng Hong, aku bertemu dengan orang yang hampir serupa dengan diriku itu. Apakah dia benar-benar seperti aku, Sianli?"
"Ah, tentu saja kau lebih tampan!" Terdengar Cui Im cekikikan di antara suara ciuman.
"Kenapa tidak segera kau bunuh saja dia yang amat berbahaya itu? Kalau sampai dia dapat lolos, akan sia-sia semualah segala usaha kita menipu Cong San dan memancing dia datang. Kau benar-benar pandai bersandiwara, dewiku. Ketika kau menyamar sebagai Yan Cu di dekat telaga itu....... ha-ha-ha, dan aku sebagai Keng Hong.........aihhh, benar-benar romantis ketika kita bercumbu. Sayang kau segara membawaku lari pergi, tidak melanjutkan........."
"Hushhh, gila kau! Kalau Cong San melihat bahwa yang bercumbu itu adalah engkau dan aku, bukan Keng Hong dan Yan Cu, apa artinya semua siasat kita? Engkau pun hebat, pandai sekali engkau memalsu gaya tulisan orang. Benar-benar seorang siucai yang luar biasa!"
Cong San berdiri menggigil di luar jendela kamar. Pandang matanya berkunang dan dia memejamkan matanya karena segala di depannya berputar. Seolah-olah kedua matanya dibuka orang, seolah-olah baru sekarang dia terbebas dari kebutan. Keng Hong dan Biauw Eng benar! Yan Cu tidak berdosa! Dan apa yang telah dia lakukan?
"Ya Tuhan.....!!" Hatinya merintih dan air mata bercucuran di atas kedua pipinya yang pucat. Ia tetap memejamkan kedua matanya. Malu dia membuka matanya. Malu melihat dunia. Malu menghadapi kenyataan. Dan dia menghina isterinya, memakinya, menuduhnya melakukan perbuatan jinah dengan Keng Hong! Dia mencemarkan nama dan kehormatan isterinya yang tak berdosa, seolah-olah dia melumuri setangkai bunga seruni putih bersih dengan lumpur kotor, membenamkan bunga itu dalam kotoran dengan kedua tangannya yang kejam! Dan dia telah memaki dan menghina Keng Hong, pendekar sakti yang budiman itu, yang dalam keadaan terhina masih tidak mau mencelakakannya, tidak mau melawannya ketika diserang! Dan dia bersekutu dengan Cui Im, menipu Keng Hong menggunakan siasat busuk, menggunakan anaknya sebagai umpan! Dan dia mencelakakan Biauw Eng yang sama sekali tidak berdosa, seorang isteri yang setia dan mencinta suaminya, seperti Yan Cu! Dan dia kini menyeret pula Giok Keng, anak mereka yang masih bayi, ke dalam cengkeraman iblis betina Cui Im!
"Ya Tuhan..... apakah yang telah kulakukan semua itu........??"
Lamat-lamat telinga Cong San masih menangkap suara cumbu rayu yang kini amat menjijikan hatinya.
"Dewiku, lebih baik Keng Hong segera kau bunuh. Akan tetapi isterinya........ dan Yan Cu, aduh mereka amat cantik, sungguh sayang kalau dibunuh begitu saja........."
"Ihhhhh, dengan aku dalam pelukanmu kau masih sempat memikirkan perempuan lain?"
"Aduhhh! Ahhh, jangan terlalu keras mencubit, sayang. Lihat, pahaku sampai biru. Aku hanya ingin mengatakan bahwa sayang sekali......."
"Sudah kuputuskan untuk menyerahkan mereka kepada para pengawal agar diperkosa beramai-ramai sampai mati!"
"Wah, sayang sekali! Mengapa begitu? Sebelum diobral kepad tikus-tikus pengawal itu, lebih baik kalau dihadiahkan dahulu kepadaku untuk beberapa malam.........."
"Biauw Eng sudah kujanjikan kepada Mo-kiam Siauw-ong........"
"Dan Yan Cu? Dia cantik sekali. Aku mengintai dari jendela kamar tahanannya, hem.....biarpun tidak secantik engkau, aku mengilar dibuatnya, Sianli, kau berikanlah dia kepadaku lebih dulu sampai aku puas, baru......."
"Sudahlah, nanti mudah diatur. Sekarang aku ingin kau mengerahkan seluruh tenaga dan mencurahkan seluruh perhatianmu untuk diriku seorang!"
Cong San mengepal tinjunya sampai ujung-ujung kukunya membikin lecet telapak tangannya. Kalau di tidak dapat menekan hatinya dan mengerjakan otaknya, tentu dia sudah memecahkan jendela itu dan menyerbu ke dalam. Akan tetapi dia menahan diri karena maklum bahwa kalau dia melakukan hal itu, tentu dia akan roboh di tangan Cui Im.
Dapat dibayangkan betapa tersiksa hati Cong San. Dia terduduk di atas lantai bawah jendela dan tak bergerak seperti patung. Penyesalan yang amat hebat membuat seluruh tubuhnya kadang-kadang panas kadang-kadang dingin, kadang-kadang lemas dan lumpuh dan ada kalanya tubuhnya menegang dilanda kemarahan.
Menjelang pagi, dia mendengar suara laki-laki itu. "Tidurlah, Sianli. Aku akan kembali ke kamarku sebelum pergi. Ahhh, aku puas sekali, terobatilah rinduku, aku lelah dan mengantuk sekali aaahhhhh........." Laki-laki itu menguap dan terdengarlah langkah kakinya berat diseret meninggalkan kamar. Cong San tidak mendengar jawaban Cui Im. Tentu iblis betina itu telah tidur pulas.
Dengan mata sipit karena kantuk dan kaki diseret karena lelah pemuda yang bukan lain adalah Coa Kun sampai di lorong yang menghubungkan bangunan belakang dengan bangunan besar, berjalan menuju ke kamarnya, tiba-tiba berkelebat bayangan dan tahu-tahu Cong San telah berdiri di depannya dengan mata menyinarkan maut dan rambut awut-awutan seperti orang gila! Coa Kun terkejut dan hendak berteriak, akan tetapi Cong San mendahuluinya, menotok jalan darah di dada membuat pemuda bangsawan itu lumpuh dan tak berdaya diseret ke dalam taman dan dibungkam mulutnya.
"Manusia hina, hayo ceritakan apa yang telah kaulakukan dengan surat-surat palsu itu dan penyamaranmu sebagai Keng Hong!" Cong San mendesis dekat telinga pemuda itu dan mengendurkan bungkaman pada mulutnya.
Menggigil seluruh tubuh Coa Kun seolah-olah dia mendadak diserang dingin yang luar biasa. Dengan gagap dia menjawab, "Ampun......., aku........ aku hanya melakukan perintah Cui Im....... aku.......... aku......... aku tidak tahu apa-apa.........."
"Jawab! Apa yang terjadi dengan persuruh Keng Hong yang mengantarkan surat kepadaku?"
"Dia.......... di.......dibunuh......... aku dipaksa memalsukan suratnya........."
"Dan surat tulisan Yan Cu?"
"Aku........ dipaksa menulis surat palsu........., mencontoh tulisan istrimu......... dari resep obat........"
"Dan dekat telaga itu? Kau dan Cui Im menyamar sebagai Keng Hong dan isteriku? Jawab!"
Coa Kun sudah terkencing-kencing ketakutan sampai celananya basah dan dia tidak dapat mengeluarkan suara, hanya mengangguk.
"Prokkkkk!!" Tangan Cong San menampar dan sekali pukul pecahlah kepala Coa Kun. Cong San masih belum puas dan menghujani tubuh yang sudah tak bernyawa lagi itu dengan pukulan dan tendangan sehingga remuk-remuk tulang tubuh pemuda bangsawan yang menjadi korban nafsu berahinya itu! Kemarahan menimbulkan kebencian hebat di hati Cong San, dan kebencian menimbulkan kekejaman mengerikan.
"Hemmm, akhirnya kau tahu juga, manusia tolol!"
Cong San membalik dan ketika dia memandang kepada Cui Im, matanya seperti mengeluarkan api dan napasnya seperti uap panas. "Iblis engkau.......! Iblis kejam......!" hanya itulah yang dapat keluar dari mulut Cong San. Kemarahan dan kebencian yang terdorong oleh penyesalannya mencekik leher. Dia menubruk maju, menyerang dengan sepasang Im-yang-pit di kedua tangannya.
Tentu saja Cui Im dapat mengelak dengan mudah. Sambil berkelebat kekanan kiri menghindarkan sambaran kedua senjata di tangan Cong San, Cui Im mengejek, "Engkau tahu atau tidak, aku memang sudah mengambil keputusan untuk membunuhmu pula. kau kira hanya Keng Hong dan Biauw Eng saja yang kukehendaki nyawanya? Hi-hi-hik! Engkau dan Yan Cu juga termasuk hitungan! Kalian berempat adalah musuh-musuh besarku. Hi-hi-hik! Akan tetapi, mengingat bahwa engkau telah berjasa dan membantuku, Hemmmmm.......... agaknya aku akan dapat mengampuni nyawamu asal engkau suka melayani aku. Engkau tampan, lebih menarik daripada Coa Kun yang telah kau bunuh itu. Bagaimana?"
"Iblis cabul, perempuan hina!" Cong San menerjang lagi dan terpaksa Cui Im bersikap hati-hati karena biarpun dia memiliki tingkat yang jauh lebih tinggi, namun Cong San bukanlah seorang pendekar sembarangan, melainkan seorang pendekar perkasa yang telah mewarisi ilmu-ilmu tinggi dari Siauw-lim-pai. Betapapun juga, Cong San bukanlah lawan Cui Im. Dalam keadaan tenang saja Cong San masih kalah untuk dapat menandingi Cui Im. Apalagi dalam keadaan marah seperti itu. Kemarahan merupakan pantangan besar dalam setiap pekerjaan dan setiap perbuatan, karena kemarahan menimbulkan kelengahan dan menggelapkan akal. Di dalam kemarahannya yang meluap-luap itu, serangan Cong San lebih terdorong oleh nafsu membunuh daripada terkendalikan oleh akal, dan boleh jadi serangan-serangannya menjadi lebih berbahaya karena nekat, namun dia menjadi lengah dan tidak lagi mempedulikan segi penjagaan diri.
Keributan itu menarik datangnya para pengawal dan keadaan menjadi geger ketika mereka melihat betapa Coa-kongcu telah menggeletak menjadi mayat sedangkan Yap Cong San yang tadinya menjadi tamu itu bertempur melawan Cui Im. Melihat datangnya banyak orang, Cui Im membatalkan niatnya mempermainkan Cong San dan ia mencabut pedang merahnya. Tampak sinar merah berkelebat menyilaukan mata tersorot obor-obor yang dibawa oleh para pengawal. Dengan mempermainkan pedangnya yang hebat, ditambah tenaga sinkangnya yang lebih kuat, dalam belasan jurus saja pedang di tangan Cui Im berhasil membabat patah kedua pit di tangan Cong san, kemudian tangan kiri Cui Im menotok dan robohlah Cong San!
Para pengawal yang dipimpin Mo-kiam Siauw-ong sudah menerjang hendak menghujani tubuh Cong San dengan senjata, akan tetapi Cui Im membentak, "Jangan bunuh dulu! Ikat dia dan seret dalam kamar tahanan bersama dua orang tawanan! Juga Yan Cu seret ke sana, jadikan satu dalam kamar tahanan itu!"
Tidak ada yang berani membantah dan tubuh Cong San segera diikat kuat-kuat dan diseret ke dalam kamar tahanan dalam keadaan pingsan. Cong San roboh pingsan bukan oleh totokan yang melumpuhkan kaki tangannya, melainkan oleh pukulan batin yang menimbulkan penyesalan yang menyesak dada. Dia tidak melihat betapa Keng Hong dan Biauw Eng memandangnya, kemudian suami isteri itu saling pandang dengan heran akan tetapi kemudian pandang mata mereka terhadap Cong San masih penuh dengan kemuakan. Juga Cong San tidak tahu betapa tak lama kemudian isterinya, Yan Cu, dalam keadaan terbelenggu erat-erat diseret pula ke dalam kamar itu. Yan Cu menangis ketika melihat Keng Hong dan Biauw Eng, juga suaminya, telah menjadi tawanan di situ.
***
Cong San mengeluh lirih dan membuka matanya. Ia tidak dapat menggerakan kaki tangannya yang terbelenggu pada sebuah pilar di dalam ruangan besar itu. Disapukannya pandang matanya ke sekeliling dan matanya terbelalak memandang isterinya yang terbaring di atas sebuah dipan, juga kaki tangannya terbelenggu dan terpentang ke kanan kiri, setiap kaki dan tangan terikat pada empat buah kaki dipan dan tubuhnya dalam keadaan terlentang.
"Isteriku.........!" Naik sedu sedan dari dadanya.
Yan Cu menoleh. Hanya kepalanya saja yang dapat ia gerakan. Ia memandang suaminya dengan pandang mata penuh cinta kasih dan kedukaan, pandang mata yang lebih runcing daripada ujung sebatang pedang pusaka, yang langsung menusuk jantung Cong San.
"Suamiku........" Yan Cu berkata lirih dan dalam sebutan ini terkandung semua perasaan hati yang mencinta yang menyediakan beribu kali maaf terhadap suaminya.
"Yan Cu....... aku........ aku berdosa padamu...... aku........ aku........!" Cong San tak dapat melanjutkan kata-katanya dan air matanya bercucuran membuat matanya tak dapat melihat lagi.
"Sudahlah, Koko. Syukur bahwa di saat terakhir engkau telah sadar. Kita bersama menghadapi kematian........ tidak ada apa-apa yang kusesalkan.........."
"Yan Cu........!" Ucapan isterinya yang penuh maaf dan kerelaan itu seperti meremas hati Cong San.
"Hanya menyesal sekali bahwa suheng dan isterinya terbawa-bawa........"kata pula Yan Cu.
Mendengar ini, baru sekarang Cong San melihat bahwa Biauw Eng juga berada dalam keadaan seperti isterinya, terlentang di atas sebuah dipan dan terbelenggu kaki tangannya yang terpentang. Keng Hong berdiri tak jauh dari situ, terikat pula kaki tangannya pada pilar, seperti dia. Keng Hong dan Biauw Eng memandangnya tanpa mengeluarkan sepatah pun kata.
Keng Hong........ aku berdosa besar padamu. Aku minta ampun karena dosaku tak mungkin dapat diampuni. Terlalu besar, terlalu hina dan aku rela kalau isteriku, engkau dan isterimu mengutukku. Tak mungkin kalian dapat mengampuniku, juga tidak Tuhan sendiri! Aku sendiri tidak dapat mengampuni dosaku......" Cong San terisak-isak seperti seorang anak kecil.
"Cong San, perbuatanmu terhadap aku tidak ada artinya bagiku. Engkau melakukannya dalam keadaan gila oleh cemburu. Aku dapat memahaminya, karena aku pun pernah menderita penyakit cemburu yang amat berbahaya itu. Akan tetapi yang amat menyakitkan hatiku adalah perbuatanmu terhadap Sumoi. Engkau benar-benar telah melakukan sikap yang amat keji dan kejam terhadap Sumoi. Engkau patut dihajar!"
"Keng Hong......." Cong San mengguguk, "Kalau engkau dapat melepaskan diri..... kau...... aku bunuhlah aku........ aku akan rela........."
"Cukup semua sikap dan ucapan kosong ini! Apa artinya penyesalan diri setelah terlambat? Kita semua mengalami kembali seperti dulu, berada dalam cengkeraman maut di tangan si iblis betina. Perlu apa banyak cakap lagi akan hal yang bukan-bukan? Heiii, Cui Im, lekas bunuh kami, tunggu apalagi?"
Biauw Eng berteriak.
"Hi-hi-hik!" Cui Im tertawa dengan wajah berseri gembira sekali. Dia duduk di atas sebuah kursi dan di sampingnya duduk Go-bi Thai-houw yang hanya termenung, seolah-olah dia tidak melihat atau mendengar semua itu, atau sama sekali tidak mengacuhkannya, seperti semua itu merupakan pertunjukan yang tidak menarik sama sekali. Mo-kiam Siauw-ong juga duduk di sebelah kiri Cui Im dan tampak pula belasan orang pengawal tinggi besar menjaga di pintu.
"Kalian ingin lekas mati agar segera terbebas dari siksaan lahir batin. Akan tetapi aku justeru menghendaki sebaliknya, agar kalian mati sedikit demi sedikit, agar kalian tersiksa lahir batin sehebat-hebatnya. Betapa benciku kepada kalian berempat!"
"Bhe Cui Im, perempuan rendah! Engkau telah mempermainkan aku, engkau manusia terkutuk! Engkaulah yang membuat aku menjadi gila dan berdosa. Ahhh, biarpun aku sudah mati nanti, aku akan menjadi setan dan selamanya akan kukejar engkau!" Cong San berteriak dan meronta, namun tubuhnya yang tertotok lemas sedangkan tali-tali yang melibat tubuhnya amat kuat.
Kembali Cui Im tertawa, kini memandang Keng Hong. "Keng Hong, manusia keras kepala. Sampai saat terakhir engkau tidak mau menyerahkan ilmu-ilmu itu kepadaku. Baiklah, sekarang engkau dan Cong San lihat dan dengar baik-baik betapa isteri kalian yang tercinta itu ditelanjangi, diperkosa berganti-ganti sampai mati! Lihat nanti betapa mereka menggeliat tersiksa, dengar betapa mereka merintih dan mengeluh, hi-hi-hik, dan saksikan nyawa mereka pergi sedikit demi sedikit dan tubuh mereka mengalami penghinaan yang paling hebat bagi seorang wanita!"
"Cui Im! Yang terhina bukankah kami, melainkan engkau sendiri. Lakukanlah sesukamu terhadap tubuh kami. Apa sih tubuh ini? Hanya daging darah dan tulang, hanya tanah! Engkau bisa merusak dan mengotori tubuh kami, akan tetapi jangan harap untuk memperkosa dan mengotori jiwa kami, jangan harap untuk melenyapkan cinta kasih kami terhadap suami kami masing-masing! Engkaulah yang akan tersiksa, Cui Im, tersiksa oleh iri, karena di dalam hidupmu tiada cinta, kosong dan hanya penuh penuh oleh kotoran menjijikkan, penuh nafsu berahi dan engkau lebih hina daripada binatang, lebih sengsara daripada iblis! Kami tidak akan sengsara, karena kami berempat bahwa segala penderitaan badan akan berakhir, namun cinta kasih kami takkan ikut berakhir. Tertawalah selagi engkau masih dapat tertawa, Cui Im, namun di balik tawamu itu hanyalah tangis kesengsaraan hati yang terselubung kepalsuan!" Biauw Eng berteriak dengan lantang.
Mendengar ini, wajah Cui Im berubah-ubah, sebentar pucat sebentar merah karena apa yang diucapkan bekas sumoinya itu tepat sekali seperti apa yang ia rasakan.
"Lekas mulai dengan siksaan!" Ia berseru kepada Mo-kiam Siauw-ong. "Hayo lakukan, siapa saja boleh lebih dulu, aku tidak peduli lagi!"
Mo-kiam Siauw-ong menyeringai dan memberi tanda kepada seorang pembantunya, seorang pengawal yang bertubuh tinggi besar dan bermuka buruk sekali. Pengawal ini mengangguk gembira dan melangkah ke arah dipan di mana Yan Cu rebah dengan kaki tangan terpentang, sedangkan Mo-kiam Siauw-ong menghampiri Biauw Eng. Dua orang wanita itu sudah mematikan rasa mengosongkan hati dan pikiran, memejamkan mata dan tubuh mereka itu biarpun bernyawa, sama halnya dengan sebuah mayat belaka. Dalam saat terakhir mereka telah menerima petunjuk dari Keng Hong tentang ilmu yang berdasarkan sinkang tinggi ini dan apa pun yang akan terjadi dengan tubuh mereka, sedikit pun mereka tidak akan merasakan dengan hati dan pikiran! Dengan sikap tenang Keng Hong memandang isterinya, sikap untuk menyaksikan hal yang paling hebat, akan tetapi Cong San hampir pingsan, matanya terbelalak wajahnya pucat dan dia menggigit bibirnya sampai berdarah.
"Cong San, tenanglah dan pandang baik-baik," tiba-tiba Keng Hong berkata. "Yang kau cinta adalah Gui Yan Cu, manusia wanita yang bernama Gui Yan Cu, bukan sekedar tubuhnya! Apapun yang akan terjadi atas tubuh Yan Cu, cintamu tidak akan berubah. Mengertikah engkau? Jangan pedulikan apa yang tampak oleh matamu, dan serahkan segalanya kepada Tuhan setelah kita sendiri tidak berdaya melakukan usaha."
Namun Cong San yang masih dikuasai penyesalan atas dosanya, tidak mungkin dapat bersikap seperti Keng Hong.
"Jangan.....! Cui Im, jangan.......! Siksalah aku, bunuhlah aku, akan tetapi jangan ganggu dia.......!!!" Ia berteriak-teriak sekuat tenaga. Keng Hong hanya menggeleng-geleng kepala dan diam saja.
Mo-kiam Siauw-ong dan pengawal itu yang sudah menerima pesan dari Cui Im, kini mematuhi perintah. Mereka tidak menubruk kedua orang wanita itu dengan buas, melainkan sengaja hendak menyiksa batin Keng Hong dan Cong San. Dengan perlahan mereka merenggut baju luar Biauw Eng dan Yan Cu.
"Brettttt! Brettttt!!" Baju luar kedua orang wanita itu robek dan terlepas sehingga tampaklah baju dalam mereka yang tipis, membayangkan dada ibu-ibu muda itu yang masih terlentang dengan mata terpejam tanpa bergerak sedikit pun.
Cong San terisak, hatinya seperti disayat-sayat rasanya. Melihat sahabatnya seperti itu lebih mengganggu hati Keng Hong daripada menghadapi malapetaka yang menimpa dia dan isterinya. "Cong San, benar-benarkah engkau telah menjadi seorang pengecut dalam menghadapi kematian?" Suara Keng Hong menggetar penuh teguran dan suara ini berpengaruh sekali karena Cong San tiba-tiba menghentikan tangisnya, bahkan dia membelalakan mata memandang ke arah isterinya, merelakan semuanya biarpun hatinya seperti ditusuk-tusuk. Tanpa mengalihkan pandang dari isterinya, dia menjawab,
"Kalau saja hatiku tidak penuh perasaan dosa yang begini menekan, mungkin tidak seberat ini penanggunganku, Keng Hong. Semua yang menimpa dia, yang menimpa kalian, karena aku!"
Keng Hong tidak menjawab lagi karena dia pun maklum atau dapat menyelami sendiri ketika dia sadar daripada kesalahannya terhadap Biauw Eng dahulu. Namun, tentu saja dibandingkan dengan kesalahannya dahulu akibat cemburu pula, tidaklah sehebat kesalahan Cong San, tidak sejauh langkah-langkah yang diambil oleh Cong San yang diracuni cemburu!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar