36 Petualang Asmara

Jawaban ini tentu saja mengejutkan semua orang, terutama sekali Sie Biauw Eng. Akan tetapi kalau para murid Cin-ling-pai kelihatan kaget adalah nyonya cantik ini tenangtenang saja.

"Ibu..., kata Ibu para pendeta adalah orang-orang suci, kenapa dua orang ini hendak menangkap orang? Apakah mereka pendeta-pendeta palsu?"

"Hushhh, Houw-ji, diamlah kau dan jangan turut campur." Sie Biauw Eng kaget mendengar kelancangan mulut puteranya. Dua orang pendeta itu menjadi merah mukanya dan mereka melirik ke arah Bun Houw, diam-diam mereka terkejut dan kagum melihat anak laki-laki yang dari jauh saja sudah nampak memiliki tulang baik dan bakat untuk menjadi seorang pandai!

"Ji-wi Losuhu sudah jauh-jauh datang ke Cin-ling-pai dengan sia-sia saja karena yang dicari tidak ada. Bolehkah aku mengetahui nama julukan Ji-wi yang mulia dan dari golongan manakah?"

"Pinceng adalah Hun Beng Lama dan ini adalah Sute Lak Beng Lama. Kami datang dari jauh sekali, dari perkumpulan Agama Lama Jubah Merah di Tibet, sengaja datang untuk menangkap pemuda yang bernama Y ap Kun Liong. Kalau dia tidak ada, biarlah kami bicara dengan Ketua Cin-ling-pai yang menjadi paman gurunya, karena sebagai paman gurunya tentu akan tahu di mana adanya pemuda itu."

"Sayang sekali, Losuhu. Suamiku pun sedang turun gunung, sudah beberapa bulan belum pulang, dan aku sendiri pun tidak tahu di mana adanya Yap Kun Liong dan suamiku pada saat ini." Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama saling pandang dengan hati kesal. Hun Beng Lama menarik napas panjang.

"Huhhh... sungguh tidak kebetulan sekali...!" Akan tetapi tiba-tiba wajahnya berseri dan dia menoleh ke arah Cia Bun Houw yang berdiri di dekat ibunya. "Ada jalan baik! Toanio, urusan kami dengan Yap Kun Liong amat penting. Apa pun yang terjadi, di dunia ini, Yap Kun Liong harus menjadi tawanan kami. Karena dia tidak ada, suamimu tidak ada dan engkau tidak tahu di mana adanya mereka, maka suamimu sebagai paman gurunya harus bertanggung jawab. Karena itu, sebagai gantinya, pinceng akan membawa puteramu ini, dan kelak kalau suamimu datang ke Tibet mengantarkan Yap Kun Liong, kami akan mengembalikan puteramu."

"Pendeta iblis keparat!" Sie Biauw Eng tidak dapat menahan lagi kemarahan hatinya. Memang pada dasarnya, Biauw Eng adalah seorang wanita yang berwatak keras, berani dan bahkan agak ganas. Di dalam cerita"Pedang Kayu Harum" digambarkan dengan jelas akan watak dan sepak terjang Sie Biauw Eng ketika masih muda. Kini dia telah menjadi ibu dari dua orang anak, bahkan anak yang pertama, Cia Giok Keng, telah dewasa sehingga dia telah menjadi setengah tua. Usia dan kedudukannya sebagai isteri Ketua Cin-ling-pai membuat dia dapat bersikap tenang dan sabar.

Namun begitu tersentuh dan tersinggung perasaan marahnya, dia bagaikan sebatang mercon yang dinyalakan sumbunya, meledak dengan hebat dan berubah menjadi seekor singa betina! Begitu mendengar niat pendeta itu akan menculik puteranya untuk kelak "ditukar" dengan Yap Kun Liong, dia memaki lalu mengeluarkan pekik melengking, sekali kakinya terayun tubuh puteranya mencelat ke arah Kwee Kin Ta dibarengi seruannya, "Kin Ta, jaga adikmu!" kemudian dia sudah menerjang dengan kedua tangannya, mengirim pukulan-pukulan dengan jari tangan terbuka berturut-turut tujuh kali ke arah jalan darah di bagian tubuh yang paling berbahaya dari Hun Beng Lama!

"Omitohud...!" Hun Beng Lama terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa nyonya cantik ini memiliki kecepatan yang sedahsyat itu. Hanya dengan susah payah, mencelat ke sanasini sambil menggerakkan tasbihnya, dia dapat menghindarkan diri, lalu tasbihnya diputar mengeluarkan suara berketrik menulikan telinga mereka yang mendengarnya.

Elakan-elakan kakek itu membuat Biauw Eng maklum akan kebenaran dugaannya bahwa dia berhadapan dengan orang pandai, maka dia tidak memberi kesempatan kepada lawan untuk balas menyerang, melainkan sudah menerjangnya dengan serangan-serangan dahsyat, mainkan ilmu silatnya yang amat cepat dan mengerahkan pukulan-pukulan berdasarkan sin-kang yang amat ditakuti orang ketika dia masih malang-melintang di dunia kang-ouw dahulu, yaitu Ilmu Pukulan Ngo-tok-ciang (Tangan Lima Racun). Pukulan ini amat hebat, jangankan sampai telapak tangan nyonya cantik itu mengenai tubuh lawan, baru hawa pukulannya saja sudah cukup untuk merobohkan lawan tangguh! Mengapa isteri seorang pendekar sakti seperti Cia Keng Hong Ketua Cin-lingpai sampai memiliki ilmu pukulan beracun sekeji itu? Hal ini tidaklah aneh bagi yang telah membaca ceritaPedang Kayu Harum , karena memang di waktu mudanya Sie Biauw Eng adalah puteri dan murid tokoh atau datuk kaum sesat! Bahkan dia sendiri dijuluki orang Song-bun-kwi (Wanita Cantik Berkabung) karena pakaiannya selalu putih.

Dahulu di waktu masih gadis saja Sie Biauw Eng telah memiliki ilmu kepandaian yang hebat luar biasa, apalagi setelah dia menjadi isteri Pendekar Sakti Keng Hong dia memperoleh petunju suaminya, maka dapat dibayangkan betapa lihai adanya wanita ini.

"Trik-trrriiiikkk...!" Tasbih di tangan Hun Beng Lama mengeluarkan bunyi nyaring dan senjata itu menyambar ke arah tubuh lawan dengan tenaga mujijat dan dengan kecepatan seperti kilat menyambar.

WUUUUTTT... wirrr... tar-tar-tar...!"

"Hebat...!" Hun Beng Lama memuji lagi dengan kagetnya ketika serangan tasbihnya itu tiba-tiba dihadang oleh selembar cahaya putih halus yang bukan saja menangkis sambaran tasbihnya malah cahaya yang ternyata hanyalah sehelai sabuk sutera tipis itu membalas dengan sambaran dahsyat dan ujung sabuk itu mengeluarkan suara meledak-ledak seperti halilintar menyambar. Inilah senjata istimewa nyonya itu yang hanya mengeluarkannya apabila dia menghadapi lawan tangguh yang sukar dikalahkannya dengan tangan kosong. Sabuk sutera itu terkenal di dunia kang-ouw dengan nama Pek-insin-pian (Cambuk Sakti Awan Putih) karena kalau dimainkan oleh Sie Biauw Eng bentuk sabuk sutera itu lenyap sama sekali, yang tampak hanyalah cahaya bergulung-gulung seperti awan putih, namun dari awan itu menyambar-nyambar sinar kilat yang dapat membawa maut!

Melihat betapa nyonya yang lihai itu dapat menandingi suhengnya, Lak Beng Lama lalu meloncat ke arah Kwee Kin Ta yang menggandeng tangan Cia Bun Houw dan melindungi putera subonya ini. Melihat gerakan ini, Kwee Kin Ci, adik dari Kwee Kin Ta dan sembilan orang murid kepala lainnya menerjang maju sambil berteriak marah.

Terdengar suara senjata berkerontangan disusul robohnya lima enam orang murid kepala Cin-ling-pai yang terlempar ke kanan kiri kena disapu oleh tongkat di tangan Lak Beng Lama yang amat lihai! Kwee Kin Ci membacokkan pedangnya dari samping kiri, sedangkan para sutenya yang lain kembali sudah menyerang dari segala jurusan.

"Plakkk...!" Tubuh Kwee Kin Ci tersungkur dan pedangnya patah setelah ditangkis oleh tangan kiri kakek itu! Dapat dibayangkan betapa tingginya tingkat kepandaian Lak Beng Lama dibandingkan dengan para anak murid Cin-ling-pai itu ketika dengan tangan kosong saja dia mampu mematahkan pedang dan bahkan terus merobohkan pemiliknya dengan hantaman hawa pukulan telapak tangannya. Melihat adiknya roboh dan kakek itu jelas hendak merampas Cia Bun Houw, Kwee Kin Ta sebagai murid kepala yang kepandaiannya paling tinggi mengeluarkan bentakan nyaring dan pedangnya menusuk ke arah dada kakek itu, sedangkan tangan kirinya dengan jari tangan terbuka membuat gerakan menusuk ke arah perut.

"Ceppp! Cepppp!" Dua tusukan pedang dan jari tangan itu terhenti ketika dengan dua jari telunjuk dan tengah kiri Lak Beng Lama menjepit pedang yang menusuk dadanya, sedangkan tangan kiri Kwee Kin Ta itu dibiarkan memasuki perutnya!

"Augghhhhh...!" Kwee Kin Ta menjerit ketika merasa betapa tangan yang memasuki rongga perut sedalam pergelangan itu tak dapat dicabutnya kembali dan terasa panas seperti dibakar!

"Wirrrr... siuuuuut... tar-tarrr...!"

"Omitohud...!" Lak Beng Lama berseru kaget dan terpaksa dia melepaskan jepitan tangan dengan perutnya, membuat Kwee Kin Ta terhuyung ke belakang dengan muka pucat.

Sambaran cahaya putih tadi benar-benar amat berbahaya dan begitu dia mengelak terhadap ledakan yang menyambar ke arah pelipis kepala sebelah kiri dan ubun-ubunnya, ujung sabuk sutera putih itu masih mampu melecut pundaknya, membuat jubah di pundaknya pecah dan kulit pundaknya terasa panas dan perih!

Dalam keadaan bertanding menghadapi Hun Beng Lama yang lihai masih mampu menolong Kwee Kin Ta dan menghalangi Lak Beng Lama menangkap puteranya, benarbenar kehebatan nyonya Ketua Cin-ling-pai itu mengejutkan hati kedua orang Lama itu. Teringatlah mereka akan kelihaian Kun Liong dan tahulah mereka bahwa mereka berada di guha harimau yang amat berbahaya. Baru nyonyanya sudah begini lihai, apalagi Ketua Cin-ling-pai itu sendiri! Andaikata Ketua Cin-ling-pai berada di situ, dan Kun Liong juga, agaknya mereka akan terjebak dan akan celaka!

Lak Beng Lama yang cerdik pada saat itu sudah dapat menduga bahwa mungkin ini adalah siasat dari Pek Hong Ing!

Maka dia cepat berseru, "Subeng, harap desak dia...!" Mendengar ini, Hun Beng Lama segera mengeluarkan suara menggereng yang aneh. Tidak keras namun suara itu terdengar memenuhi udara dan berbareng dengan gerengannya itu, tiba-tiba tasbihnya bergerak lebih hebat dan kuat. Kadang-kadang tasbih itu melayang di udara, menyambar ke arah kepala Biauw Eng seperti benda hidup, disusul oleh kedua tangan kakek itu yang menyerang ganas dan bertubi-tubi, kadang-kadang malah dibantu pula oleh serangan kedua kakinya. Didesak sedemikian rupa oleh kakek yang amat lihai ini, terpaksa Biauw Eng harus mencurahkan seluruh tenaganya sehingga dia tidak lagi dapat mencegah perhatiannya ke arah Lak Beng Lama yang sedang dikeroyok oleh para anak murid Cin-ling-pai.

Tiba-tiba terdengar teriakan Bun Houw, "Ibuuu...!

Bebaskan aku...!" Kagetlah hati Biauw Eng dan ketika dia meloncat ke belakang memandang, ternyata anaknya itu telah berada di dalam pondongan Lak Beng Lama! Tentu saja mudah sekali bagi pendeta lihai ini untuk merampas Bun Houw dari dalam perlindungan para anak murid Cin-ling-pai dan begitu berhasil memondong Bun Houw, dia lalu berkata, "Toanio, hentikan perlawananmu kalau kau ingin melihat puteramu selamat!" Menggigil seluruh tubuh Biauw Eng dan kedua tangannya meremas-remas sabuk sutera putihnya dalam usahanya mencegah kedua tangannya bergerak menyerang Lak Beng Lama. Maklumlah dia bahwa setelah puteranya tertawan, dia tidak boleh secara sembarangan saja turun tangan karena hal ini akan membahayakan nyawa puteranya. Dia memandang dengan bernyala dan gigi berkerot, "Manusia iblis...! Kalau kau mencelakakan puteraku, demi Tuhan, aku tidak akan berhenti sebelum dapat mencincang hancur tubuhmu!" Ucapannya yang penuh kesungguhan hati ini membuat kedua orang Lama itu bergidik karena mereka maklum bahwa seorang wanita sehebat itu tentu akan memenuhi ancamannya.

"Omitohud...! Toanio gagah perkasa dan hebat luar biasa!

Terimalah rasa hormat dan kagum dari pinceng." Hun Beng Lama menjura dengan penuh kagum karena harus dia akui bahwa selama hidupnya baru sekarang dia bertemu dengan seorang wanita sebagai lawan yang sedemikian hebatnya.

Sie Biauw Eng sejak dahulu bukan hanya terkenal sebagai seorang wanita yang amat lihai dan penuh keberanian tidak pernah mengenal rasa takut, juga dia terkenal amat cerdik.

Baru sekarang, melihat puteranya berada di tangan musuh, dia merasa takut sekali, akan tetapi dia dapat menekan perasaannya, lalu berkata kepada Bun Houw, "Houw-ji, seorang calon pendekar pantang menangis dan menghadapi segala bahaya dengan tenang, yang penting bukan mati atau hidup, melainkan benar dan salah!" Mendengar ini, Bun Houw mengangguk dan tidak meronta lagi dalam pondongan Lak Beng Lama karena dia mengerti bahwa melawan dan meronta pun tidak ada gunanya sama sekali.

"Hun Beng Lama, sikap dan pakaianmu saja seperti seorang pendeta Lama yang suci, akan tetapi perbuatanmu curang seperti penjahat kecil yang hina. Kenapa kau membawa-bawa anak kecil yang tidak tahu apa-apa? Kalau memang gagah dan berani, bebaskan anakku dan majulah kalian pendeta-pendeta palsu berdua, kita bertanding sampai salah satu pihak mati!" Dengan suara lantang dan gagah Biauw Eng menantang.

"Omitohud...! Toanio memang hebat! Kami sama sekali tidak suka bermusuhan dengan orang-orang gagah seperti Toanio. Kami terpaksa menangkap puteramu justeru karena kami tidak suka bermusuhan. Kami tidak akan mencelakakan putera Toanio ini, hanya akan kami ajak ke Tibet untuk bermain-main dan pesiar. Kelak, kalau Toanio atau suami Toanio datang mengantarkan Kun Liong kepada kami, tentu putera Toanio akan kami serahkan kembali disertai permohonan maaf kami sekalian. Kami tidak suka bermusuh dan bertanding melawan Toanio dan jalan satu-satunya hanyalah menahan putera Toanio. Nah, selamat tinggal sampai jumpa pula di Tibet di mana Toanio akan dapat mengajak pulang putera Toanio. Mudah-mudahan waktu itu tidaklah terlalu lama." Maka pergilah Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama meninggalkan puncak itu. Kwee Kin Ta yang patah-patah tulang tangan kirinya itu membuat gerakan untuk menyerbu, demikian pula para anak murid Cin-ling-pai, akan tetapi Biauw Eng menggerakkan tangan mencegah mereka. Wanita ini hanya berdiri memandang, matanya bernyala dan alisnya berkerut, kedua tangannya mengepal akan tetapi tidak berani membuat gerakan sesuatu. Setelah bayangan kedua orang pendeta itu lenyap, barulah dia mengeluarkan suara mengeluh panjang dan tubuhnya terguling roboh. Pingsan!

In-moi (Dinda In)...! Tunggu...!" Teriakan ini keluar dari mulut Ouwyang Bouw yang mengejar Lauw Kim In yang berlari-lari. Namun Kim In tidak menjawabnya, juga tidak menengok, melainkan berlari terus sambil kadang-kadang mengusap air matanya. Biasanya, wanita yang berhati keras dan dingin seperti baja ini pantang menangis, akan tetapi ucapan yang keluar dari mulut Kun Liong menikam ulu hatinya dan menyentuh perasaan hatinya yang memang selalu tertekan. Dia sama sekali tidak cinta kepada Ouwyang Bouw dan menyerahkan tubuhnya kepada pemuda setan itu secara terpaksa. Hanya dia seorang yang merasakan betapa tersiksa dan menderita hatinya setiap kali dia harus menyerahkan tububnya kepada Ouwyang Bouw yang menganggapnya isterinya itu. Makin lama dekat dengan Ouwyang Bouw, makin sadarlah dia bahwa "suaminya" itu adalah seorang yang tidak waras otaknya, agak miring otaknya dan di balik ketidakwajarannya itu terdapat watak yang luar biasa kejam dan jahatnya! Seperti diketahui, dahulu dia menyerahkan kehormatan dan tubuhnya kepada Ouwyang Bouw karena terpaksa, yaitu untuk menyelamatkan sumoinya, Pek Hong Ing, dan dirinya sendiri karena mereka berdua kalah melawan Ouwyang Bouw, dan kedua kalinya karena dia hendak mempergunakan kelihaian orang muda gila ini untuk dapat membalas dendamnya terhadap musuh besar yang dahulu membunuh tunangannya, yaitu Thian-ong Lo-mo. Dan dia berhasil menyelamatkan Pek Hong Ing, bahkan berhasil pula membunuh Thian-ong Lo-mo di samping berhasil meningkatkan ilmu kepandaiannya dengan petunjuk "suaminya". Akan tetapi, setiap kali apabila teringat akan keadaan dirinya, apalagi setiap kali harus melayani cumbu rayu dan permainan cinta suaminya yang kadang-kadang tidak lumrah dan mengerikan itu, batinnya makin tertekan.

Ucapan-ucapan Kun Liong seperti ujung pedang runcing menikam jantungnya. Dia diumpamakan setangkai mawar indah dari Go-bi yang berlumur noda dan lumpur kehinaan.

Betapa tepatnya ucapan itu dan dia merasa jantungnya tertikam dan sakit sekali. Memang kalau dia pikir, hidupnya sekarang tidak ada artinya sama sekali, hanya menjadi permainan dan bahan penghinaan seorang laki-laki berotak miring seperti Ouwyang Bouw saja! Menjadi barang permainan karena dia pun tahu betapa anehnya cinta kasih Ouwyang Bouw kepadanya yang lebih condong kepada sebuah benda permainan yang tak pernah membosankan hati pemuda gila itu. Ouwyang Bouw yang menganggap dia isterinya itu kadang-kadang bermain gila dengan wanita, baik secara suka rela di pihak wanita itu atau memaksa dan memperkosanya, dilakukan begitu saja di depan matanya tanpa rasa malu sedikit pun! Ouwyang Bouw tidak mengenal apa artinya kesetiaan suami isteri. Bahkan gilanya, pernah Ouwyang Bouw menganjurkan agar dia bermain cinta dengan pria lain di depan mata suami gila itu! Ditangkapnya seorang pemuda tampan dan dengan ancaman maut Ouwyang Bouw memaksa pemuda itu agar bermain cinta dengan isterinya! Ouwyang Bouw membujuk-bujuk agar dia suka melakukan hal yang tidak senonoh itu di depan matanya. Tentu saja dia tidak sudi dan hal itu membuat Ouwyang Bouw marah-marah dan membunuh pemuda yang tidak berdosa itu! Teringat akan semua ini, hancurlah perasaan hati Kim In ketika mendengar celaan dan sindiran Kun Liong.

"Isteriku... yang manis...! Dinda Lauw Kim In... tunggulah..., larimu begitu cepat seperti kuda! Ha-ha-ha!" kembali terdengar suara suaminya itu, kini sudah dekat di belakangnya. Lauw Kim In mempercepat larinya, mengerahkan seluruh gin-kangnya yang sudah memperoleh banyak kemajuan setelah dia dilatih oleh suami gila itu.

"Wah-wah, larimu makin kencang! Ha-ha, lucu dan manis sekali dari belakang! Ha-ha-ha, bagus sekali! Kita menjadi dua ekor kuda yang berkejaran, kau kuda betina dan aku kuda jantan. Kalau dapat terpegang, kau harus memberi hadiah kepadaku, ha-ha-ha!" Lauw Kim In bergidik, mengerti bahwa suaminya itu "kumat" lagi gilanya, gila berahi yang kadang-kadang penyalurannya membuat dia ngeri dan jijik. Maka makin cepatlah dia berlari dengan tekad kalau dapat akan membebaskan diri dari manusia itu. Akan tetapi, betapa pun cepat dia lari, naik turun gunung dan keluar masuk hutan, akhirnya dia tersusul juga.

"Ha-ha-ha, kau kalah!" Ouwyang Bouw menubruknya dari belakang sehingga Lauw Kim In terguling di atas rumput.

Ouwyang Bouw terus menggelutnya dan memaksanya sambil terkekeh-kekeh, "Kita memang sepasang kuda... heh-heh, sepasang kuda bermain cinta..." Dapat dibayangkan betapa tersiksanya hati wanita itu, namun terpaksa dia harus mandah saja diperlakukan sesuka hati pria yang memiliki tingkat kepandaian tinggi ini. Dia tahu bahwa kalau dia melawan dengan kekerasan, berarti bunuh diri dan dia tidak mau bunuh diri dengan sia-sia. Tubuhnya telah tercemar, telah kotor, maka ditambah dengan penderitaan beberapa kali lagi sebelum ada kesempatan baik, tidak mengapalah.

"Isteriku yang manis... kau hebat..." Omyang Bouw merangkul dan mencium mulut Lauw Kim In yang rebah kelelahan dan mukanya agak pucat itu. Ouwyang Bouw Ialu tergelimpang dan rebah pula terlentang di dekat Kim In, juga kelelahan dan dengan mulut tersenyum kepuasan.

Perlahan-lahan Kim In membereskan kembali pakaiannya.

Dia bangkit duduk dan melirik ke arah "suaminya" yang masih terlentang dengan mata terpejam itu. Laki-laki itu tidur dengan tubuh setengah telanjang, dan harus diakuinya bahwa tubuh Ouwyang Bouw tegap dan gagah. Andaikata wataknya tidak gila seperti itu, melihat ketampanan wajah dan ketegapan tubuhnya, kiranya tidaklah terlalu sukar baginya untuk belajar membalas cinta laki-laki yang sudah menjadi suaminya ini. Akan tetapi laki-laki ini gila! Kegilaan yang menjemukan, terutama sekali kegilaannya dalam bermain cinta. Teringat akan apa yang baru saja dialaminya tadi, dia diperlakukan sebagai seekor kuda betina, hampir sama dengan diperkosa di luar kehendaknya, kemarahannya meluap.

"Wuuuuuttt!" Dengan jari-jari terbuka, tangan kanan Lauw Kim In menerkam dengan serangan maut ke arah dada dari suaminya.

"Plakkk...! Haiiiii, kau kenapa...?" Biarpun kelihatannya tadi memejamkan matanya, namun Ouwyang Bouw dapat menangkis dan meloncat berdiri sambil berteriak kaget.

Lauw Kim In juga kecewa dan kaget. Suaminya ini memang lihai sekali dan kalau dia tidak menggunakan akal, tentu dia akan mati konyol. "Aku mengapa? Mengapa lagi kalau bukan mengajak kau berlatih silat?" jawab Lauw Kim In dengan suara biasa dan terus saja dia melancarkan pukulan bertubitubi, mengeluarkari jurus-jurus yang paling ampuh.

Sambil meloncat ke kanan kiri dan mengikatkan ikat pinggangnya yang kedodoran, Ouwyang Bouw tertawa, "Haha-ha, bagus! Baru saja selesai bertempur, sudah mengajak bertanding lagi. Nah, awas, aku membalas seranganmu!" Bertandinglah kedua orang itu, atau bagi Ouwyang Bouw tentu saja hanya berlatih, dia tidak tahu bahwa "isterinya" itu menyerangnya dengan sungguh-sungguh! Setelah lewat lima puluh jurus, mengertilah Lauw Kim In bahwa tidak mungkin dia dapat mengalahkan suaminya yang benar-benar amat lihai ini.

"Sratttt!" Dia mencabut pedangnya. "Lihat pedang!" bentaknya karena biarpun di lubuk hatinya dia ingin membunuh orang ini, namun dengan cerdik dia memperingatkan agar suaminya tidak curiga dan mengira dia tetap mengajak berlatih, kini dengan silat pedang.

"Bagus! Memang dalam silat pedang engkau sudah memperoleh lebih banyak kemajuan daripada bertangan kosong, isteriku manis!" Ouwyang Bouw juga mencabut pedangnya dan tampaklah dua gulungan sinar pedang berkelebatan.

"Wah-wah, apakah engkau tidak lelah? Aku lelah sekali...!

Sudahlah, aku ingin mengaso!" Ouwyang Bouw berteriak setelah mereka bertanding selama lima puluh jurus dan pedang mereka berkali-kali saling bertemu.

Diam-diam Lauw Kim In menjadi jengkel dan kecewa sekali.

Derigan tangan kosong dia tidak mampu menang, dengan pedang pun tidak akan mampu membunuh suaminya ini, biarpun tingkat mereka tidak berselisih banyak. Dia menyarungkan pedangnya, lalu duduk membelakangi suaminya dengan wajah cemberut.

Ouwyang Bouw merangkulnya, mengusap keringat dari lehernya dan tangannya terus membelai ke bawah leher. Lauw Kim In merenggut tangan itu dan makin cemberut.

"Aihh, Manis! Kau kenapa? Mengapa marah-marah?" Ouwyang Bouw malah menggoda dan merangkul, terus menciumi dengan nafsu baru yang bangkil kembali.

"Engkau menipuku!" Lauw Kim In berkata.

"Heh? Aku...? Menipumu...?"

"Dulu kau berjanji akan menurunkan semua ilmu silatmu kepadaku, ternyata kau hanya menipuku saja."

"Bukankah setiap kali kauminta, aku selalu melatihmu?"

"Huh! Yang kauajarkan hanyalah jurus-jurus tidak berguna saja. Buktinya, sampai sekarang pun aku belum mampu mengalahkan engkau!"

"Ha-ha-ha-ha! Hendak mengalahkan aku tidak mudah, isteriku. Ilmu kepandaianku sudah terlatih matang. Engkau hanya akan mampu mengalahkan aku dalam bermain cinta, kalau dalam ilmu silat, kiranya tidak mungkin biarpun aku mengajarkan seluruh ilmuku kepadamu." Lauw Kim In termenung. Benar juga apa yang diucapkan orang gila ini. Dia kalah latihan, juga kalah tenaga dan keuletan, mungkin kalah bakat. Habis, bagaimana dia akan dapat mengenyahkan laki-laki yang menjemukan hatinya ini?"

Dia harus bersabar dan menanti datangnya kesempatan baik.

Maka dengan manis dia lalu menurut saja ketika suaminya mengajaknya kembali ke Pek-lian-kauw. Akan tetapi memang watak Ouwyang Bouw aneh, dia tidak langsung mengajaknya kembali ke Pek-lian-kauw, melainkan di sepanjang jalan dia berhenti dan di setiap tempat yang indah dia merayu isterinya dan mengajarkan jurus-jurus baru, sikapnya demikian mesra seperti pengantin baru saja, tidak tahu betapa limpahan cinta kasih yang luar biasa ini bahkan makin memuakkan hati Lauw Kim In. Karena perjalanan yang lambat ini, mereka sampai bermalam selama dua malam di dalam hutan, dan semua kehendaknya terpaksa dilayani oleh Lauw Kim In yang merasa seperti dijadikan boneka hidup!

Pada hari ke tiga, barulah mereka langsung menuju ke Peklian-kauw. Agaknya sudah lewat pula kumatnya penyakit Ouwyang Bow. Ada kalanya dia bersikap seperti pengantin baru selama beberapa hari, ada pula kalanya dia bersikap acuh tak acuh terhadap Lauw Kim In sampai berpekan-pekan!

Ketika mereka tiba di sebuah hutan, tiba-tiba Omyang Bouw menarik tangan Lauw Kim In dan menyeretnya ke dalam semak-semak.

"Aku sudah lelah, jangan main gila kau! Besok saja..." Kim In menolak karena mengira bahwa suaminya itu kumat lagi, akan tetapi Ouwyang Bouw mendekap mulutnya dan menuding ke depan.

Lauw Kim In memandang dan dia terkejut melihat seorang gadis cantik dan seorang pemuda. Dia mengenal gadis cantik itu, karena gadis itu bukan lain adalah pengantin yang dirayakan pernikahannya di Pek-lian-kauw, gadis yang kabarnya bernama Cia Giok Keng puteri Ketua Cin-ling-pai!

Akan tetapi dia tidak mengenal pemuda tinggi besar dan bersikap gagah yang berjalan di sebelah gadis itu.

Siapakah pemuda tinggi besar dan gagah perkasa itu? Dia bukan lain adalah Lie Kong Tek! Seperti kita ketahui, Lie Kong Tek disuruh oleh gurunya untuk mencari Cia Giok Keng yang telah dipinangnya langsung dari ayah gadis itu. Gurunya menghendaki dia menyusul dan kalau perlu melindungi gadis itu dan memaksakan perpisahan antara mereka dengan janji setahun kemudian bertemu di Cin-ling-san.

Demikianlah, Lie Kong Tek lalu melakukan perjalanan seorang diri dan karena dia tidak tahu ke mana perginya Cia Giok Keng, maka dia lalu mengambil arah yang ditempuh oleh Giok Keng ketika gadis itu tadi melakukan pengejaran terhadap Liong Bu Kong. Tentu saja dia kehilangan jejak gadis itu dan selama dua hari dia berkeliaran di sekitar daerah itu, mencari-cari tanpa hasil.

Baru pagi tadi, ketika dia sudah hampir hilang harapan untuk bertemu dengan Cia Giok Keng, tiba-tiba dia melihat gadis itu muncul keluar dari sebuah hutan, berjalan dengan arah menuju ke sarang Pek-lian-kauw.

"Cia-siocia (Nona Cia)...!" Dia memanggil sambil berlari mengejar.

Mendengar suara panggilan ini, Giok Keng berhenti dan menengok. Ketika dia mengenal orang itu sebagai pemuda tinggi besar yang pernah membelanya di depan ayahnya, seketika Giok Keng cemberut. Hemm, kembali dia berhadapan dengan seorang penjilat, pikirnya! Betapa banyaknya bertemu dengan pria-pria seperti itu! Pria yang memperlihatkan "kebaikan", bahkan rela berkorban apa pun untuk menarik hati seorang gadis cantik. Dan dia tahu bahwa pemuda tinggi besar ini pun semacam pria seperti itu. Tentu sikapnya membelanya di depan ayahnya, yang kelihatan gagah perkasa dan penuh kebaikan, bahkan yang membayangkan kasih sayang besar dengan pengorbanan dirinya, hanya merupakan siasat untuk menarik hatinya! Dia sudah muak dengan semua itu, apalagi setelah mengalami kejatuhannya di tangan Liong Bu Kong si tukang bujuk rayu! Kini teringat olehnya betapa hampir semua laki-laki adalah tukang bujuk, perayu yang berhati palsu, kecuali... Kun Liong agaknya! Kun Liong dengan terang-terangan mengatakan tidak cinta kepadanya!

Sebaliknya, semua pria yang dijumpainya selama ini, dari pandang matanya saja sudah menjeritkan "cinta" yang memuakkan.

Betapapun juga, pemuda tinggi besar ini sudah menerima siksaan dari ayahnya, bahkan hampir tewas, maka dia harus bersikap baik. Dan untuk kelancangannya itu, dia akan menghukumnya dengan menjatuhkan hatinya seperti semua pria yang telah jatuh hati kepadanya, untuk kemudian dia tinggalkan. Mulai sekarang, dia akan membalas semua pria yang cintanya palsu itu! Mula-mula dahulu adalah para suhengnya di Cin-ling-pai, terutama Kwee Kin Ta dan Kwee Kin Ci yang dari sinar matanya jelas jatuh cinta kepadanya, lalu disusul belasan orang suhengnya yang lain. Setelah itu, entah berapa banyaknya lirikan-lirikan cinta yang terpancar keluar dari pandang mata setiap orang pria, tua muda yang bertemu dengannya.

"Cia-siocia...!" Lie Kong Tek kini sudah tiba di depan gadis itu, wajahnya berseri gembira karena hati siapa tidak akan gembira melihat gadis ini yang tadinya dianggap telah hilang dan tidak mungkin disusulnya lagi itu?"

"Siapakah engkau dan ada keperluan apa memanggilmanggil aku?" Giok Keng bertanya dengan sikap galak dan pura-pura tidak mengenal karena dia ingin mempermainkan pemuda tinggi besar ini.

Lie Kong Tek memberi hormat dengan kedua tangan di depan dadanya, penghormatan yang tidak dibalas oleh gadis itu, namun Kong Tek tidak peduli karena memang dia tidak mempunyal keinginan dibalas. "Cia-siocia, tentu engkau tidak mengenal aku, akan tetapi dua hari yang lalu kita bersama ayahmu, guruku, dan para tamu kang-ouw di Pek-lian-kauw telah melawan orang-orang Pek-lian-kauw. Namaku Lie Kong Tek."

"Ahhh, sekarang aku ingat! Engkau adalah orang yang dihajar oleh Ayah dan nyaris tewas di tangan ayahku!" Giok Keng sengaia mengemukakan hal itu karena dia menduga bahwa pemuda ini sudah cukup mendapat kesempatan untuk memamerkan jasa-jasanya ketika menolong dan membelanya.

Akan tetapi dia kecelik. Lie Kong Tek sama sekali tidak menonjolkan jasanya, bahkan dia menarik napas panjang dan berkata dengan suara serius, "Salahku sendiri, Nona. Masih untung aku tidak tewas di tangan ayahmu, karena kelancanganku mencampuri urusan orang lain."

"Tapi... engkau telah berusaha untuk menolongku. Engkau telah melepas budi kebaikan kepadaku!" Giok Keng menambahi garam untuk memancing keluar isi hati pemuda itu yang dia anggap pasti akan menyatakan kagum dan sukanya dan kesiapannya untuk membela sampai mati!

Lie Kong Tek menggeleng kepala. "Kau membikin aku malu saja, Nona Cia. Apa yang kulakukan itu tidak ada artinya sama sekali dan siapa pun yang melihat suatu peristiwa yang tidak adil, tak peduli siapa yang terkena dan siapa pula yang melihatnya, pasti akan turun tangan." Hati Giok Keng menjadi penasaran. "Apa? Kaumaksudkan... andaikata yang terancam oleh ayahnya bukan aku, melainkan orang lain..."

"Tentu saja tidak ada bedanya, aku tetap akan mencegah seorang ayah yang bijaksana memukul anaknya sendiri." Hati Giok Keng kecewa. "Ahh, kukira tadinya..." kekecewaan hatinya karena jawaban pemuda itu tidak seperti yang disangkanya, terlontar melalui mulutnya.

"Kaukira bagaimana, Nona?"

"Kukira kau menolongku karena... karena kau suka padaku." Terus terang saja Giok Keng mengucapkan kata-kata ini karena ingin dia memperoleh bukti bahwa yang mendorong perbuatan pemuda itu memang demikian sehingga dia akan mendapat alasan untuk mempermainkan dan menghina lakilaki yang tinggi besar dan tampan gagah ini.

Wajah Lie Kong Tek berubah merah seketika. "Nona, melakukan suatu perbuatan yang oleh umum dianggap baik menjadi sama sekali tidak baik dan palsu kalau berdasarkan rasa suka atau tidak suka!" Giok Keng makin penasaran dan terheran-heran. Baru sekarang dia berhadapan dengan seorang laki-laki yang sama sekali tidak memperlihatkan sikap manis dan menjilat kepadanya, bahkan ucapannya begitu jujur dan terus terang sehingga terdengar kasar dan tidak menggunakan basa-basi sama sekali. Akan tetapi hal ini malah membuat dia menjadi penasaran. Kalau melihat semua laki-laki jatuh bertekuk lutut kepadanya, mengaku cinta, dia merasa muak karena sudah melihat kepalsuan mereka, terutama setelah pengalamannya dengan Bu Kong. Akan tetapi sikap pemuda ini lain lagi, bahkan sebaliknya daripada sikap pemuda pada umumnya.

Dia akan merasa amat penasaran dan "turun nilai" kalau belum melihat pemuda ini pun bertekuk lutut menyatakan cinta kepadanya! Maka dia segera merubah siasat dan berkata,"Aihh, kalau tidak salah, gadis yang menjadi korban kekejian Ketua Pek-lian-kauw itu adalah tunanganmu, Saudara Lie Kong Tek?" Lie Kong Tek mengangguk. "Memang benar demikian, dan kedatanganku bersama Suhu ke Pek-lian-kauw memang hendak mencari dia. Kami mendengar bahwa Nona Bu Li Cun, tunanganku itu diculik oleh orang Pek-lian-kauw. Sayang kami datang terlambat..."

"Kau dan gurumu tidak berhasil menolong tunanganmu, akan tetapi telah dapat menolong aku dan ayahku. Bu Li Cun itu cantik sekali, engkau tentu berduka dan kehilangan, Saudara Lie."

"Tentu saja, aku merasa amat kasihan kepada Nona itu.

Akan tetapi terus terang saja, tidak ada perasaan kehilangan di hatiku karena selamanya pun baru satu kali aku bertemu dengan tunanganku. Andaikata yang mengalami nasib buruk seperti dia itu seorang gadis lain, aku tetap akan merasa kasihan sekali." Giok Keng termenung. Pemuda ini memang aneh, pikirnya.

Berbeda dengan pemuda lain, bahkan sinar matanya ketika memandangnya biasa dan polos saja, tidak mengandung api gairah yang dia lihat dalam pandang mata pemuda lain.

Bahkan di dalam pandang mata Kun Liong yang terangterangan tidak mencintanya itu pun terdapat sinar kagum kalau memandang kepadanya. Kenyataan ini membuat hatinya panas. Manusia sombong! Manusia angkuh! Kauanggap aku bukan apa-apa, ya? Tunggu saja kau, hatiku belum puas kalau tidak dapat melihat engkau bertekuk lutut dan merengek mengaku cinta!

Gadis ini tidak sadar betapa sesungguhnya dialah yang sombong! Demikianlah keadaan hati dan pikiran seseorang yang tidak pernah mengenal diri sendiri, sehingga dia seolaholah buta akan gerak-gerik lahir batinnya, tidak sadar akan watak-wataknya sendiri. Karena tidak mengenal diri sendiri inilah yang menimbulkan segala perbuatan yang merugikan orang lain dan diri sendiri, perbuatan yang oleh umum dianggap jahat. Tidak ada perbuatan jahat yang disadari sebagai perbuatan jahat oleh orang yang tidak pernah mengenal dirinya sendiri, semua perbuatannya itu, apapun juga penilaian umum, tentu dianggapnya benar karena dia mempunyai alasan-alasannya yang tentu saja berdasarkan kepentingan diri pribadi.

Orang yang tidak mengenal diri sendiri akan sepenuhnya berada dalam cengkeraman si aku yang selalu mengejar kesenangan, dikuasai oleh si aku tanpa disadarinya.

Sebaliknya, dengan pengenalan diri sendiri setiap saat, gerakgerik dan segala akal bulus si aku dapat diawasi dengan jelas sehingga si aku tidak sempat lagi mengeluarkan segala siasat dan tipu muslihatnya.

Demikian pula dalam pertemuan antara Giok Keng dan Kong Tek. Pemuda itu berwatak jujur, polos dan wajar sehingga semua ucapannya tidak mengandung niat lain. Tidak demikian dengan Giok Keng yang merasa dirinya sebagai seorang gadis cantik, lihai, puteri Ketua Cin-ling-pai sehingga dari pengalaman yang sudah-sudah timbullah rasa tinggi hati dan keyakinan bahwa semua pria pasti akan bertekuk lutut dan jatuh cinta kepadanya!

"Nona Cia, sudah dua hari aku mencari-carimu!" Timbul harapan di hati Giok Keng dan matanya bersinar tajam memandang penuh selidik. "Ada perlu apakah engkau mencari-cariku selama dua hari ini?"

"Hanya untuk membuktikan bahwa engkau berada dalam keadaan selamat, Nona. Ayahmu juga mencarimu dan aku diperintah oleh Suhu untuk membantu mencarimu. Sekarang Nona hendak pergi ke manakah?"

"Hendak kembali ke Pek-lian-kauw, memberi hajaran kepada para penjahat Pek-lian-kauw."

"Aihh! Nona tidak mengerti apa yang telah terjadi. Bahkan Suhu dan ayahmu sendiri terpaksa harus melarikan diri. Peklian-kauw amat kuat, selain ketuanya memiliki keahlian dalam ilmu sihir yang hanya dapat dilawan oleh Suhu, juga mereka berjumlah banyak dan mempunyai sahabat-sahabat orang pandai." Giok Keng terkejut. Ayahnya sampai melarikan diri?"

"Di manakah Ayah sekarang?"

"Beliau juga pergi berpisah dari kami, katanya hendak menyusul dan mencarimu, Nona."

"Kalau begitu, aku harus cepat kembali ke Cin-ling-san.

Sudah terlatu lama aku meninggalkan Ibu, tentu dia akan merasa khawatir sekali." Teringat akan ibunya, hati Giok Keng berduka bukan main karena terbayang dahulu ketika dia cekcok dengan ayahnya dan diusir ayahnya yang kemudian ternyata bahwa ayahnyalah yang benar mengenai pribadi Liong Bu Kong. Teringat betapa demi Liong Bu Kong dia sampai minggat dari Cin-ling-san, menyakiti hati ayah bundanya, dia menjadi makin gemas kepada Liong Bu Kong dan andaikata dia tidak pasti benar bahwa Bu Kong telah tewas di tangan Yo Bi Kiok, tentu dia akan mencari dan membunuhnya! Kematian Liong Bu Kong bukan di tangannya membuat hatinya belum puas dan timbullah keinginannya untuk mempermainkan hati dan cinta kasih kaum pria! Adapun yang dianggapnya sebagai calon korban pertama adalah Lie Kong Tek inilah.

"Kalau Nona tidak berkeberatan, mari kita melakukan perjalanan bersama," tiba-tiba Kong Tek berkata. Bagi pemuda ini, keadaannya juga serba sulit. Gurunya menyuruh dia mencari Giok Keng dan menyatakan cinta kasihnya! Akan tetapi, bagaimana dia dapat menyatakan perasaan hati itu kalau dia sendiri tidak yakin benar karena tidak tahu apakah benar dia mencinta gadis ini? Tentu saja dia tidak akan mau berlaku lancang seperti itu, apalagi karena dia pun maklum bahwa tidaklah pantas bagi dia untuk berjodoh dengan seorang dara seperti puteri Ketua Cin-ling-pai ini.

Mulut yang manis bentuknya itu terhias senyum mengejek.

Hemmm, pikir Giok Keng, betapa pun angkuh hatimu, belum apa-apa engkau sudah ingin menemaniku dalam perjalanan.

"Eh? Engkau ingin melakukan perjalanan bersamaku, Saudara Lie? Mengapakah?" Lie Kong Tek agak sukar menjawab, lalu menggerakkan pundak dan merentangkan kedua lengannya. "Mengapa?"

Tidak ada apa-apa, Nona. Hanya karena aku telah berpisah dari Suhu dan hidup sebatang kara, tidak mempunyai tujuan tetap, sedangkan kau pun sendirian pula, bukankah lebih baik dan lebih kuat kalau kita melakukan perjalanan bersama? Aku pun ingin berkunjung ke Cin-ling-san, bertemu dengan ayahmu yang amat bijaksana dan tinggi ilmu kepandaiannya itu." Senyum di bibir Giok Keng makin melebar. Hemm, alasan yang dicari-cari, pikirnya. "Baiklah," katanya kemudian dan hatinya girang karena dia ingin sekali melihat laki-laki ini pun jatuh cinta kepadanya untuk kemudian dia patahkan hati dan kasihnya seperti yang ingin dia lakukan terhadap semua pria sebagai pembalasan sakit hatinya kepada Bu Kong!

Demikianlah, dua orang itu melakukan perjalanan bersama, akan tetapi tak lama kemudian tiba-tiba tampak dua orang meloncat keluar dari semak-semak dan berdiri di depan mereka. Seorang pemuda tampan yang tertawa-tawa menyeringai dan seorang wanita cantik yang berwajah dingin dan tidak pedulian.

Melihat dua orang ini, Lie Kong Tek terkejut karena dia tadi sudah melihat kelihaian dua orang itu ketika datang membantu Pek-lian-kauw, kemudian mereka berdua pergi lari berkejar-kejaran. Akan tetapi Giok Keng tidak mengenal mereka. Biarpun pernah Ouwyang Bouw dan Lauw Kim In datang ke Pek-lian-kauw, akan tetapi karena pada waktu itu ingatan Giok Keng hilang olch obat perampas ingatan, maka dia tidak mengenal dua orang ini. Sebaliknya, Ouwyang Bouw dan Lauw Kim In mengenal gadis cantik ini yang tadinya hendak menikah dengan Liong Bu Kong di Pek-lian-kauw.

"Heh-heh-heh, inilah pengantin wanita yang kabur!" Ouwyang Bouw berkata sambil tertawa.

Muka Giok Keng menjadi merah sekali sehingga dalam pandang mata Ouwyang Bouw dia tampak makin cantik.

"Siapakah kalian? Perlu apa menghadang di jalan?" Giok Keng membentak.

"Ha-ha-ha, puteri Ketua Cin-ling-pai memang angkuh! Aku bernama Ouwyang Bouw dan dia ini isteriku." Mendengar nama ini, berubah wajah Giok Keng. Tentu saja dia pernah mendengar nama Ouwyang Bouw, pemuda iblis putera mendiang Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok! Tahulah bahwa dia berhadapan dengan musuh besar, karena ayah pemuda ini tewas di tangan ayahnya!

"Bagus, manusia iblis! Nah, cabut pedangmu, mau tunggu apa lagi?" Bentaknya sambil menghunus pedangnya, siap untuk bertanding mati-matian karena dia sudah mendengar betapa lihainya pemuda ini.

"Ho-ho-ha-ha! Biarpun ayahmu adalah musuh besarku, akan tetapi karena engkau calon isteri Liong Bu Kong, kita adalah kawan-kawan segolongan. Jangan galak-galak, Nona manis. Mana suamimu, Liong Bu Kong?"

"Dia sudah mampus! Dan kau akan segera menyusulnya ke neraka jahanam!" Giok Keng membentak.

"Wah-wah... sudah mampus? Bukan main! Suami baru saja mati sudah mempunyai pacar lain lagi yang muda dan ganteng! Eh, Isteriku, anak Ketua Cin-ling-pai ini pintar juga, ya? Pintar dan cantik jelita! Juga pacarnya itu gagah dan ganteng! Bagaimana kalau kita manfaatkan mereka sebagai selingan kita?" Lauw Kim In hanya cemberut, tidak menjawab, pandang matanya kosong dan sayu karena tingkah laku dan ucapan suaminya itu merupakan pisau beracun yang menyayatnyayat hatinya.

"Ouwyang Bouw, bersiaplah untuk mampus!" Giok Keng membentak lagi. Sebagai seorang pendekar, dia tidak sudi menyerang lawan yang tidak siap sama sekali.

"Heh-heh, makin galak makin manis! Cia Giok Keng, buat apa bertanding? Lebih baik bercinta! Mari kita bertukar pasangan!" Giok Keng benar-benar tidak mengerti semua ucapan orang gila itu, maka tanpa disadari lagi dia bertanya, "Apa... maksudmu...?"

"Ha-ha-ha, baru pengantin baru, masa tidak tahu? Kita bertukar pasangan, bertukar pacar untuk malam ini, kau tidur bersama aku dan biar pacarmu itu meniduri isteriku!"

"Iblis laknat bermulut busuk!" Giok Keng tahu akan maksud yang kotor itu, maka kemarahan yang bertumpuk-tumpuk membuat dia tidak dapat menahan hatinya lagi dan serta merta dia mengirim serangan kilat kepada Ouwyang Bouw.

"Heiiitttt... ahhh...!" Ouwyang Bouw terpaksa harus menjatuhkan dirinya ke belakang dan bergulingan sampai jauh, terus melompat sambil mencabut pedang ularnya karena mendapat kenyataan betapa hebat dan berbahayanya serangan Cia Giok Keng tadi. Biarpun otaknya miring, namun Ouwyang Bouw adalah seorang yang berkepandaian tinggi dan memiliki kecerdikan luar biasa, maka dia cepat menyambut serangan gadis itu dengan sungguh-sungguh, bahkan juga membalas dengan serangan pedang ularnya yang amat dahsyat.

Sementara itu, Lie Kong Tek yang melihat betapa Giok Keng sudah bertanding dengan Ouwyang Bouw, juga cepat mencabut pedangnya. Dia melihat betapa wanita teman Ouwyang Bouw yang dikatakan isterinya itu hanya berdiri diam, menonton dengan wajah dingin dan sikap tidak peduli, maka dia pun lalu menerjang dan membantu Giok Keng mengeroyok Ouwyang Bouw.

Ouwyang Bouw yang lihai sekali melihat gerakan pemuda tinggi besar ini tahulah dia bahwa tingkat kepandaian pemuda itu masih jauh kalau dibandingkan dengan dia atau Giok Keng, maka pada saat dia menggerakkan pedang ularnya menangkis pedang Giok Keng, kakinya yang kiri meluncur ke depan menangkis sambaran pedang Lie Kong Tek dan kaki kanannya cepat sekali menendang dan mengenai dada Kong Tek yang sama sekali tidak menduga-duga akan serangan balasan yang demikian aneh dan cepatnya itu.

"Desss...!" Tubuh tinggi besar itu terjengkang dan terguling-guling. Akan tetapi dia bangkit kembali, menggeleng-geleng kepala dan menggoyangnya untuk mengusir kepeningan, kemudian dia maju lagi dengan penuh semangat.

"Isteriku, kautundukkan yang laki-laki itu! Lihat betapa gagahnya dia, tentu hebat pula sepak-terjangnya dalam bercinta. Kautangkap dia, biar kutangkap yang perempuan!" Ouwyang Bouw berteriak kepada Lauw Kim In, akan tetapi Kim In diam saja seperti patung menonton pertandingan yang amat hebat itu.

"Kalau begitu, terpaksa aku merobohkan laki-laki pengganggu ini!" Ouwyang Bouw bersungut-sungut, marah melihat isterinya diam saja tidak mau membantu.

"Lie-twako, awas...!" Giok Keng berteriak ketika melihat menyambarnya sinar merah yang lembut. Namun terlambat.

Jarum merah yang hanya sebatang dan amat kecil itu menyambar cepat sekali, tepat mengenai paha Kong Tek dan pemuda itu mengeluarkan suara gerengan, berusaha untuk mempertahankan rasa nyeri dan menyerang lagi namun dia roboh terguling. Kakinya lumpuh seketika karena racun jarum itu sudah bekerja. Kini teringatlah Giok Keng bahwa yang melukainya dengan jarum merah ketika dia dan Kun Liong dikeroyok adalah orang ini pula, maklum betapa bahayanya jarum merah beracun itu. Maka dia menjadi cemas dan pada saat itu, ketika dia melirik untuk melihat Kong Tek, kakinya kena disabet oleh kaki Ouwyang Bouw sehingga dia jatuh terguling.

"Brettt...!" sebagian bajunya terobek oleh tangan Ouwyang Bouw.

"Ha-ha-ha-ha, pengantin wanita, ternyata akulah yang menjadi pengantin prianya, ha-ha, untungku!" Dan dia maju menubruk.

"Mampuslah!" Giok Keng yang tadi rebah miring, tiba-tiba menusukkan pedangnya, akan tetapi betapa kagetnya ketika dia melihat pergelangan tangannya yang memegang pedang telah ditangkap oleh tangan kiri Ouwyang Bouw yang sudah siap menghadapi serangan ini, kemudian pundaknya ditotok dan lemaslah rasa tubuhnya!

Dengan mata terbelalak Giok Keng melihat betapa sambil tertawa-tawa Ouwyang Bouw mulai menanggalkan pakaiannya sendiri sambil berkata kepada wanita yang diaku isterinya tadi.

"Isteriku, lekas kauajak pemuda itu, biarpun dia terluka pahanya akan tetapi tentu masih mampu! Atau kau lebih senang menonton aku main-main dengan puteri Cin-ling-pai ini? Ha-ha-ha!" Giok Keng hampir pingsan melihat Ouwyang Bouw bertelanjang bulat dan mendekatinya. Dia cepat memejamkan matanya dan mengerahkan seluruh s inkang. Dia pernah diajari oleh ayahnya cara untuk menggunakan tenaga mujijat dari sin-kang istimewa yang menurut ayahnya adalah ciptaan mendiang Tiang Pek Hosiang untuk membebaskan totokan dalam waktu yang tidak terlalu lama.

"Manusia iblis!" Tiba-tiba dia mendengar bentakan Kong Tek, disusul sambaran angin dan tahulah dia bahwa biarpun pahanya terluka, Kong Tek telah memaksa diri menubruk maju menyerang Ouwyang Bouw. Akan tetapi dia tidak membuka matanya dan tetap mengerahkan sin-kang seperti yang diajarkan oleh ayahnya. Dia menurut ayahnya, kurang berbakat untuk mempelajari Thi-khi-i-beng dan sebagai gantinya, ayahnya menurunkan ilmu membebaskan totokan jalan darah ini. Hanya saja, ilmu ini hanya dapat dipergunakan untuk membebaskan totokan jalan darah yang tidak berbahaya. Untung baginya, Ouwyang Bouw yang tidak ingin dia sama sekali lemas tak berdaya, hanya menotok jalan darah biasa sehingga, biarpun dia tidak mampu menggerakkan kaki tangan, namun tidak seluruh tubuhnya lumpuh.

"Dessss...! Brukkk...!" Tubuh Lie Kong Tek terbanting keras.

"Ha-ha-ha, aku tidak akan membunuhmu agar kalau isteriku mau, dia dapat mempergunakanmu. Kalau tidak mau pun, kau harus menyaksikan sendiri betapa aku meniduri kekasihmu yang cantik ini, ha-ha!"

"Manusia iblis! Terkutuk kau...!" Kong Tek memaki-maki akan tetapi tidak mampu bergerak lagi karena dia pun sudah ditotok punggungnya, membuat kedua kakinya lumpuh. Dan Lauw Kim In masih diam saja, hanya meraba pedangnya.

"Ha-ha-ha, kini tibalah saatnya aku membalas kematian ayahku. Tentu roh ayahku akan tertawa bahagia menyaksikan betapa aku dapat menggagahi puteri musuh besarnya.

Hemmm, kau cantik, Giok Keng, cantik sekali, hemmm...!" Giok Keng tetap memejamkan mata dan mematikan rasa ketika Ouwyang Bouw menciuminya dan menggerayang tubuhnya. Ketika jari-jari tangan Ouwyang Bouw mulai membuka pakaiannya hendak menanggalkan pakaian itu, totokan itu pun dapat dia punahkan dan tubuhnya sudah dapat bergerak lagi!

"Hyaaatt...!"

"Croottttt...! Aduuuhhh...!" Tubuh Ouwyang Bouw mencelat jauh ke belakang, kedua tangannya menutupi mukanya yang berlumuran darah.

Serangan jari-jari tangan Giok Keng pada kedua matanya tadi, biarpun dia elakkan sedapatnya, tetap saja masih mengenal mata kirinya yang hancur bola matanya, membuatnya buta sebelah seketika dan rasa nyeri membuat dia menggerunggerung.

Tiba-tiba terjadilah hal yang membuat Giok Keng dan Kong Tek memandang terbelalak. Lauw Kim In, yang sejak tadi berdiri diam saja seperti patung, tiba-tiba telah mencabut pedangnya dan kini dari samping dia menghampiri suaminya, lengan kiri memeluk suaminya seperti hendak menolong, akan tetapi tangan kanannya menggerakkan pedangnya menusuk ke arah lambung.

"Crepppp...!" Pedang itu menembus lambung dari kanan ke kiri. Tubuh Ouwyang Bouw seperti menegang, dia membalik dan matanya yang tinggal satu, terbelalak memandang isterinya, mulutnya berteriak, "Kau...? Kau...?" Kemudian terdengar gerengan seperti seekor serigala dan tahu-tahu kedua tangan Ouwyang Bouw telah menerkam ke depan, mencengkeram ke arah dada Lauw Kim In yang tak dapat mengelak lagi karena wanita itu tersenyum lebar dan wajahnya berseri-seri ketika melihat betapa pedangnya berhasil menembus lambung orang yang amat dibencinya itu.

"Aughhh...!" Lauw Kim In menjerit mengerikan karena kedua buah dadanya telah dicengkeram sedemikian rupa sampai hancur dan darah muncrat keluar, berbareng dengan darah yang mengucur dari kedua lambung kanan kiri Ouwyang Bouw.

Giok Keng terkejut, meloncat ke depan, pedangnya berkelebat dan tubuh Ouwyang Bouw terpelanting, tubuh yang tidak mempunyai lengan lagi karena kedua lengannya telah buntung oleh pedang Giok Keng akan tetapi kedua lengan itu kini bergantungan di dada Lauw Kim In karena kedua tangannya masih mencengkeram dada! Lauw Kim In juga terhuyung lalu terguling roboh. Bibirnya bergerak-gerak ketika matanya memandang Giok Keng. Gadis ini cepat menghampiri dan berjongkok, mendengarkan kata-kata yang menjadi pesan terakhir itu.

"Katakan... kepada Yap Kun Liong... Mawar Go-bi... di saat terakhir... mempertahankan nilainya...!" Dan matilah Lauw Kim In dalam keadaan yang amat mengerikan karena kedua lengan yang buntung itu masih tetap menggantung pada dadanya, sedangkan Ouwyang Bouw tewas dengan pedang menembus lambung.

Giok Keng mengeluh, bergidik dan menutupi muka dengan kedua tangannya. Ngeri dia membayangkan bahaya yang mengancamnya tadi, bahaya yang amat mengerikan dan amat hebat. Kemudian dia teringat kepada Kong Tek lalu dibukanya kedua tangannya dari depan mukanya. Dia bangkit berdiri, memandang ke arah pemuda itu. Dilihatnya Kong Tek rebah miring, tak mampu bergerak karena selain luka pada pahanya, juga tertotok punggungnya. Pemuda itu memandang kepadanya, akan tetapi tidak mengeluarkan kata-kata sepatah pun. Mengeluh pun tidak. Dengan perlahan Giok Keng menghampirinya.

"Aku girang dan bersyukur melihat engkau selamat, Nona," kata Kong Tek.

"Kau merasa telah menolongku lagi?" Giok Keng bertanya sambil menggunakan tangannya untuk membebaskan totokan yang membuat pemuda itu tidak mampu menggerakkan kedua kakinya.

Kong Tek menarik napas panjang. "Hasrat hati ingin menolong melihat engkau terancam bahaya, akan tetapi kenyataannya aku hanya menimbulkan gangguan saja untukmu, karena kepandaianku yang amat rendah. Betapa pun, aku girang melihat engkau selamat." Setelah dapat menggerakkan kedua kakinya, dengan terpincang-pincang Kong Tek menyeret kakinya yang terkena jarum, lalu menghampiri mayat Lauw Kim In dan Ouwyang Bouw, dan mulailah dia menggali tanah dengan pedangnya.

"Eh, apa yang kaulakukan itu?" Giok Keng bertanya.

Tanpa menghentikan pekerjaannya, dia menjawab, "Menggali lubang untuk mengubur dua mayat ini..." Giok Keng cemberut. "Aaaahhh! Perlu apa? Mereka adalah manusia-manusia jahat yang berwatak iblis, terutama Ouwyang Bouw itu!"

"Mungkin, akan tetapi sekarang aku melihatnya sebagai mayat dua orang yang tidak mungkin kubiarkan tersia-sia dan membusuk begitu saja tanpa dikubur, Nona." Giok Keng diam saja, lalu duduk di atas batu dan menonton pemuda itu bekerja dengan susah payah karena paha kirinya terluka. Tentu saja dia mengerti akan kebenaran pendapat pemuda itu.

Tidak percuma dia menjadi puteri Pendekar Sakti Cia Keng Hong yang terkenal berwatak budiman. Akan tetapi dia mewarisi watak keras dari ibunya dan kini kebaikan Kong Tek itu dianggapnya sebagai suatu aksi untuk menarik perhatiannya! Maka dia diam saja tidak membantu. Betapapun juga, melihat pemuda itu bekerja dengan amat susah payah, dan satu kali pun tidak pernah menengok atau melirik ke arahnya, Giok Keng merasa tidak enak hatinya. Benarkah pendapatnya bahwa pemuda itu bersikap baik hanya untuk menarik perhatiannya? Bagaimana kalau tidak? Pemuda itu tidak pernah melirik ke arahnya, tidak seperti orang yang sedang berlagak minta dipuji. Akhirnya Giok Keng merasa betapa tidak enaknya duduk diam seperti itu menonton orang yang susah payah bekerja. Bagaimanapun juga, pemuda itu tadi telah susah payah membelanya, bahkan telah menderita luka yang amat berbahaya. Dan dia teringat pula betapa wanita yang tewas itu pun telah membantunya, karena biarpun mata sebelah Ouwyang Bouw sudah terluka, agaknya tidaklah akan mudah merobohkan manusia iblis itu.

Tanpa berkata-kata lagi Giok Keng turun dari batu yang didudukinya, lalu menghampiri Kong Tek dan membantunya menggali tanah. Pemuda itu pun tidak berkata apa-apa dan keduanya bekerja keras sampai akhirnya tergali sebuah lubang yang cukup lebar dan dalam.

"Biarlah aku yang mengubur mereka, Nona," kata Kong Tek. Sambil terpincang-pincang dia menyeret dua mayat itu ke dalam lubang, kemudian menguruknya dengan tanah kembali.

Setelah selesai, keduanya menyeka peluh dengan saputangan, dan Giok Keng berkata, "Hari sudah hampir senja, kita lanjutkan perjalanan." Kong Tek mengangguk, akan tetapi ketika mereka berdua baru saja melangkah beberapa tindak, Kong Tek terguling dan tanpa mengeluh dia roboh pingsan! Ketika dia s iuman kembali karena mukanya dibasahi air oleh Giok Keng, Kong Tek membuka matanya dan melihat betapa gadis itu sedang memeriksa luka di pahanya dengan merobek sedikit celananya di bagian yang terluka, di atas lutut kiri. Luka itu merah dan agak kebiruan, membengkak besar.

"Ahhh, engkau terluka oleh jarum beracun yang amat berbahaya, Lie-toako. Aku pun pernah terluka oleh jarumjarum yang dilepas oleh Ouwyang Bouw dan kalau tidak ada pertolongan Kun Liong, aku tentu sudah mati. Engkau terluka dan masih mengerahkan tenaga untuk menyerangnya, kemudian malah menggali tanah, lukamu menjadi makin hebat dan racun itu tentu menjalar makin luas." Kong Tek menarik napas panjang.

"Nona, aku hanya membikin repot saja kepadamu. Aku terluka dan tidak mampu jalan, maka silakan Nona melanjutkan perjalanan. Kalau umurku masih panjang, kelak aku menyusul ke Cin-ling-pai." Giok Keng bangkit berdiri. Orang ini benar-benar angkuh bukan main! Semenjak terluka, mengeluh sedikit pun tidak, minta tolong satu kali pun tidak. Apakah semua ini termasuk aksinya agar dikagumi? Apakah menyuruh dia pergi sendiri meninggalkan dia yang terluka parah itu termasuk lagaknya agar dianggap sebagai seorang gagah sejati? Dia akan mencobanya!

"Begitulah kehendakmu, Toako? Aku harus melanjutkan sendiri perjalananku dan meninggalkan engkau di sini?" Kong Tek mengangguk. "Lukaku parah, aku akan mengusahakan sendiri pengobatannya."

"Kalau tidak berhasil?" Kong Tek tersenyum. "Paling hebat mati!"

"Dan kau tidak ingin aku membantumu?"

"Apakah yang dapat kaulakukan, Nona? Engkau hanya akan ikut repot dan sengsara, dan... dan andaikata aku tidak tertolong lagi dan mati, aku tidak ingin engkau berada di sini."

"Eh! Mengapa?" Kong Tek tak dapat menjawab, ketika didesak dia menjawab, "Tidak apa-apa."

"Hemm, kalau begitu baiklah. Selamat tinggal, Lie-toako."

"Selamat jalan, harap Nona hati-hati di dalam perjalanan." Giok Keng berjalan pergi dengan cepat, beberapa kali dia menengok akan tetapi dia melihat betapa pemuda itu sama sekali tidak memandang kepadanya, melainkan memeriksa luka di pahanya dengan kaku dan canggung. Setelah melalui sebuah tikungan, Giok Keng menyelinap di antara pohonpohon dan kembali ke tempat itu, mengintai dari balik pohon.

Penasaran juga hatinya ketika mendapat kenyataan babwa pemuda itu sama sekali tidak pernah menengok ke arah dia pergi. Satu kalipun tidak pernah! Benar-benar tidak peduli sama sekali! Jangankan tergila-gila kepadanya pemuda ini melirik pun tidak pernah! Apakah daya tariknya terhadap pria sudah pudar? Ataukah pemuda ini yang berhati sekeras baja dan dingin seperti es membeku? Hemm, ingin kulihat kalau dia berhutang budi dan nyawa kepadaku!

Giok Keng kembali ke tempat itu membawa daun lebar dibentuk corong berisi air bersih. "Mari kurawat lukamu itu" Kong Tek mengangkat mukanya. "Ahh... kau belum pergi, Nona?" Giok Keng tidak mau menjawab melainkan duduk bersimpuh dekat pemuda itu, merobek kain celana di luka itu lebih lebar, kemudian menggunakan kain bersih untuk mencuci darah menghitam dari atas luka itu. Setelah tercuci, tampaklah jarum merah itu terbenam di dalam daging, jauh di bawah kulit.

Giok Keng melihat tarikan pada dagu pemuda itu.

"Sakitkah?"

"Tidak berapa, Nona," jawab Kong Tek dan diam-diam Giok Keng merasa kagum juga. Pemuda ini memang luar biasa, kuat menderita bukan main dan sedikit pun tidak memiliki s ifat cengeng.

"Aku pernah menderita luka karena jarum ini. Racunnya hebat, dapat mematikan. Ketika aku diobati oleh Kun Liong, jarum-jarum di tubuhku dikeluarkan dulu, kemudian semua darah yang berada di sekitar luka harus dikeluarkan. Kalau tidak, amat berbahaya karena begitu racun jarum ini naik sampai ke jantung, tidak dapat disembuhkan lagi."

"Memang pantas kalau orang macam Ouwyang Bouw menggunakan jarum beracun sekeji itu!" hanya ini saja komentar Kong Tek.

"Aku harus mengeluarkan jarum itu. Ketika Kun Liong... eh, suhengku itu mengeluarkan jarum dari lukaku, dia mempergunakan sin-kang yang amat kuat, menyedot jarumjarum itu sampai keluar dengan kekuatan sin-kang dari telapak tangannya saja. Akan tetapi aku tidak mungkin dapat melakukan itu. Aku akan menggunakan ujung pedang untuk merobek sedikit daging di luka itu, mengeluarkan jarumnya.

Akan tetapi tentu amat nyeri..."

"Nyeri dapat kupertahankan, akan tetapi apakah kau tidak merasa ngeri, Nona? Biarlah aku yang membedahnya sendiri."

"Pertahankanlah!" Giok Keng mencabut pedangnya, mencuci ujung pedang itu, kemudian dia merobek kulit di luka itu, terus ke dalam daging. Dia melihat Kong Tek hanya menggerakkan sedikit pelupuk matanya ketika ujung pedang itu mencokel keluar jarum merah dan darah kehitaman keluar dari luka yang agak lebar itu.

"Darah itu harus dikeluarkan semua sampai keluar darah merah, Toako. Caranya harus disedot..." Giok Keng maklum bahwa kalau hal itu tidak segera dilakukan, nyawa pemuda ini takkan tertolong lagi. Biarpun luka itu hanya disebabkan sebatang jarum, namun racun itu sudah menjalar sejengkal lebih di seputar luka! Pemuda ini sudah berkali-kali membelanya dengan taruhan nyawa, bahkan luka ini pun hasil membela dirinya, maka dia sendiri akan tersiksa batinnya untuk selamanya kalau sampai dia membiarkan pemuda ini mati, padahal dia dapat menolongnya. Dengan mengeraskan hatinya dia berkata, "Aku akan menyedotnya bersih seperti yang ditakukan Yap-suheng kepadaku kemarin dulu."

"Jangan, Nona...!" Kong Tek sudah memegang pundak Giok Keng dan menahan gadis itu yang sudah hendak menunduk untuk menyedot luka dengan mulutnya! "Jangan!

Lebih baik aku mati saja daripada membiarkan engkau melakukan hal itu! Harap jangan merendahkan diri seperti itu.

Aku dapat menyedotnya sendiri. Lihat!" Biarpun dengan susah payah mengangkat-angkat kakinya yang terluka dan menundukkan kepalanya sampai dalam sekali, ternyata mulut Kong Tek dapat juga mencapai luka di atas lutut itu dan dia menyedot, meludahkan darah hitam, menyedot lagi sampai tubuhnya menggigil dan mukanya pucat, napasnya agak terengah. Giok Keng memandang dan membantu, mengurut jalan darah di paha agar darahnya terkumpul di luka. Setelah melihat pemuda itu meludahkan darah merah, dia berseru girang, "Cukup, Toako! Kau tertolong sudah!" Kong Tek kehabisan tenaga lalu menjatuhkan dirinya terlentang, rebah di atas tanah. "Berkat pertolonganmu, Nona," katanya terengah.

Giok Keng tidak menjawab, mengambil obat luka yang selalu ada padanya, mengobati luka itu dengan saputangannya yang bersih. Dan dua jam kemudian, biarpun agak terpincang-pincang, Kong Tek sudah dapat melanjutkan perjalanan di sampingnya. Diam-diam hati gadis ini makin kagum. Memang kuat sekali pemucia ini. Kuat tubuhnya, kuat daya tahannya, dan kuat pula hatinya. Akan tetapi hal terakhir ini makin membuat dia penasaran karena biarpun dia sudah memperlihatkan sikap menolong, bahkan hendak menyedot luka, pemuda itu tetap saja biasa, sama sekali tidak memperlihatkan sikap manis atau bermuka-muka, seolah-olah pemuda itu bukan melakukan perjalanan di samping seorang dara yang cantik jelita, yang telah banyak membuat laki-laki bertekuk lutut dan tergila-gila melainkan agaknya seperti melakukan perjalanan bersama seorang teman biasa saja yang tidak ada keistimewaannya apapun juga! Hatinya kagum bercampur mendongkol karena baru satu kali ini dia merasa tidak dipedulikan oleh seorang pria!

"Lama Jubah Merah di Tibet? Jahanam benar berani menantangku!" Pendekar Cia Keng Hong mengepal tinjunya ketika dia mendengar penuturan isterinya yang berwajah pucat tentang diculiknya puteranya oleh dua orang pendeta Lama yang bernama Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama, tokoh-tokoh Perkumpulan Agama Lama Jubah Merah di Tibet.

Wajah pendekar ini sebentar merah sebentar pucat dan kemarahan memenuhi dadanya. "Aku akan segera mengejar ke sana!"

"Tenanglah dulu, urusan ini harus kita pertimbangkan baikbaik, selain mereka itu lihai sekali, jelas bahwa mereka itu tidak menghendaki permusuhan dengan kita, juga mereka tidak mengganggu Houw-ji. Hal ini aku percaya benar. Yang mereka kehendaki adalah Kun Liong, entah ada urusan apa mereka dengan Kun Liong. Kalau kita langsung menyerbu ke sana, bukankah hal itu malah membahayakan keselamatan Houw-ji? Ketika aku melawan mereka dan melihat Bun Houw berada dalam kekuasaan mereka, aku tidak berdaya dan terpaksa menyerah. Kalau kita tiba di sana dan melihat mereka mengancam anak kita, apa yang dapat kita lakukan?"

Sebaiknya kalau kita mencari Kun Liong dan menanyakan urusan apa yang terjadi antara dia dan mereka. Mungkin dia seoranglah yang akan dapat menolong anak kita dan suka bersama kita ke Tibet." DENGAN panjang lebar Biauw Eng lalu menceritakan semua peristiwa yang terjadi sepekan yang lalu kepada suaminya yang baru saja tiba ini, didengarkan oleh Keng Hong dengan muka keruh dan seringkali menggeleng kepala dan mengepal tinju. Setelah cerita isterinya tentang diculiknya Bun Houw itu berakhir, dia menepuk meja di depannya. "Semua gara-gara Giok Keng! Kalau tidak ada urusan dia, tentu aku sudah pulang dan dapat mencegah terjadinya penculikan ini."

"Giok Keng? Bagaimana dengan anakku itu?" Biauw Eng bertanya dan wajah ibu ini makin pucat. Batinnya berkali-kali mengalami pukulan, pertama mengingat akan puterinya yang diusir oleh suaminya itu, ke dua ditambah dengan peristiwa diculiknya Bun Houw.

"Hehhhh..." Keng Hong menghela napas. "Masih untung akhirnya. Untung bahwa di saat terakhir, anakmu itu masih tertolong dan dia tidak jadi menikah dengan bangsat Liong Bu Kong itu!"

"Apa? Giok Keng... menikah?"

"Hampir saja!" Keng Hong kini mendapat giliran menceritakan semua yang terjadi atas puteri mereka itu.

Berkali-kali Biauw Eng mengeluarkan seruan tertahan karena merasa ngeri mendengar akan bahaya yang mengancam puterinya itu. Kemudian dia menarik napas lega, hatinya lega dan bersyukur, terutama sekali karena suaminya telah "berbaik kembali" dengan puteri mereka.

"Sekarang, di mana dia?"

"Dia mengejar-ngejar Liong Bu Kong."

"Aihh, berbahaya kalau begitu."

"Tidak, Kun Liong sudah menyusulnya."

"Aahhh, kalau begitu, tak lama lagi tentu dia pulang.

Mudah-mudahan bersama Kun Liong agar dapat kita ajak ke Tibet bersama. Memang sebaiknya kalau puteri kita itu berjodoh dengan Kun Liong..." Kembali Keng Hong menghela napas. "Sebaiknya kita tidak mencampuri urusan jodoh anak kita. Biarlah dia yang memilih sendiri, karena kalau kita mencampurinya, tidak urung kita hanya akan kecewa. Agaknya Kun Liong dan Giok Keng tidak saling mencinta, dan di dalam peristiwa di Pek-lian-kauw itu, aku malah menghadapi pinangan orang lain."

"Siapa?"

"Dari Hong Khi Hoatsu yang menolong aku dan Giok Keng untuk muridnya yang bernama Lie Kong Tek, seorang pemuda yang hampir kubunuh." Dia lalu menceritakan betapa Lie Kong Tek membela Giok Keng.

Biauw Eng menggeleng-geleng kepalanya. "Memang sukar mengurus soal cinta-mencinta orang-orang muda. Padahal, di dalam cinta-mencinta antara pemuda-pemudi itu terdapat banyak sekali persoalan rumit dan banyak bahaya mengancam, terutama di pibak wanita. Wanita yang masih gadis remaja, masih hijau, mudah terkena bujuk rayu mulut pria, dan cintanya hanya berdasarkan ketampanan wajah dan kebaikan sikap belaka, padahal sangat boleh jadi bahwa semua itu palsu. Dahulu sudah kunasihati Keng-ji agar berhati-hati. Kuberi tahu bahwa seorang calon suami yang baik adalah seorang laki-laki yang dapat menjaga kehormatan sang kekasih, yang memperlakukan kekasihnya itu dengan penuh pengharapan dan penghormatan sebagai seorang calon suami yang ingin melihat calon isterinya itu dalam keadaan murni. Kalau ada seorang laki-laki yang membujuk pacarnya untuk melakukan perjinaan, maka jelas bahwa cintanya itu hanya cinta berahi belaka, dan dia tidak menghargai calon isterinya, tidak menghormatinya, tega menyeret calon isteri dan calon ibu anak-anaknya ke dalam lumpur perjinaan yang akibatnya selalu ditanggung oleh si wanita sebagai aib!

Namun... betapa banyak gadis yang membutakan mata akan hal ini, setelah terlanjur dan terlambat, baru menyesal, penyesalan yang tidak ada gunanya sama sekali!" Melihat isterinya bicara secara bersemangat itu, Keng Hong lalu merangkulnya dan mengajaknya masuk ke dalam.

Dia tahu betapa menderita batin isterinya memikirkan kedua orang anak mereka. "Memang kita harus tenang, Isteriku. Urusan Giok Keng sudah bebas dari bahaya, hanya tinggal Bun Houw. Kita harus mencari jalan yang sebaiknya untuk menolong anak kita itu." Pada saat itu, Kwee Kin Ta datang menghadap Suhu (Guru) dan Subonya (Ibu Gurunya), melaporkan bahwa ada utusan dari kota raja ingin bertemu dengan suhunya.

"Dari kota raja?" Keng Hong berseru dengan kaget.

"Mereka dipimpin oleh Tio-ciangkun."

"Aih, tentu dari The-taiciangkun (Panglima Besar The)!" Keng Hong dan isterinya bergegas keluar dan cepat mereka menyambut dengan hormat dan gembira ketika melihat bahwa yang datang adalah Tio Hok Gwan, pengawal The Hoo yang telah lama menjadi sahabat mereka, seorang kakek pengantuk tinggi kurus yang terkenal dengan julukan Ban-kin-kwi (Iblis Bertenaga Selaksa Kati), bersama dua orang pengawal lain yang menjadi pembantu-pembantu tetapnya, yaitu Kui Siang Han dan Song Kin.

"Ahh, kiranya Tio-toako yang datang berkunjung! Selamat datang! Selamat datang!" Tio Hok Gwan memberi hormat diikuti oleh Keng Hong dan isterinya. "Mudah-mudahan saja keadaan Tai-hiap dan Li-hiap selama ini baik-baik saia," katanya. Suami isteri itu merasa tertusuk batinnya, akan tetapi sambil menekan batin mereka tersenyum dan mempersilakan tiga orang tamunya duduk di ruangan dalam dan para pelayan dan anak murid Cin-ling-pai segera mengeluarkan suguhan minuman sekadarnya.

"Kunjungan kami ini memenuhi perintah The-taijin untuk menyerahkan surat beliau kepada Tai-hiap. Silakan Tai-hiap membacanya dan baru kita dapat mengadakan perundingan." Tio Hok Gwan berkata sambil menyerahkan sesampul surat dengan sikap hormat.

Karena surat itu mewakili Pembesar The Hoo, maka Keng Hong berlutut dan menerimanya dari tangan perwira pengawal itu. Kemudian dia duduk lagi dan membuka sampul surat dan membaca isi surat yang singkat itu.

"Ke Tibet...?" Serunya dengan suara terkejut dan juga girang.

Mendengar seruan ini, serentak Biauw Eng merampas surat dari tangan suaminya dan membacanya. Kiranya di dalam surat itu, Panglima The Hoo minta bantuan Keng Hong agar menemani Tio Hok Gwan yang dikuasai untuk menghubungi pemerintah di Tibet.

"Sungguh kebetulan!" Biauw Eng juga berseru setelah membaca surat itu. "Kami berdua pun merencanakan hendak pergi ke sana!"

"Ahhh! Begitukah? Agaknya ada urusan penting sekali maka Ji-wi hendak pergi ke barat." Tio Hok Gwan berkata dengan heran juga karena keperluan apakah yang memaksa suami isteri itu akan pergi ke tempat asing dah penuh rahasia itu?"

Suami isteri itu saling pandang dan keduanya mufakat untuk menceritakan urusan mereka kepada Tio Hok Gwan, dan mereka pun percaya kepada dua orang perwira pengawal yang menjadi pembantu Ban-kin-kwi itu. "Di antara sahabat baik tidak ada rahasia," kata Keng Hong, "karena yakin bahwa Sam-wi tidak akan membocorkan urusan kami ini.

Sesungguhnya, baru sepekan yang lalu, putera kami Cia Bun Houw yang baru berusia lima tahun telah diculik dan dibawa pergi oleh dua orang Lama Jubah Merah ke Tibet!" Kini tiga orang pengawal itulah yang terkejut sekali. "Lama Jubah Merah? Sungguh aneh! Satu di antara tugas kita di Tibet nanti juga berkenaan dengan perkumpulan Agama Lama Jubah Merah itulah!" Cia Keng Hong dan isterinya menjadi terheran-heran dan ingin sekali mendengar penuturan Tio Hok Gwan. "Harap Tiotoako cepat menceritakan apa gerangan yang akan menjadi tugas kita di Tibet." Tio Hok Gwan lalu bercerita. Kiranya Pemerintah Kerajaan Beng ingin berbaik dengan para negara tetangga yang terdekat, dan satu di antaranya tentu saja adalah Kerajaan Tibet yang sesunguhnya dikuasai oleh para Lama, sedangkan rajanya hanya boneka belaka. Untuk mempererat hubungan baik, Kaisar mengajukan lamaran kepada seorang puteri Kerajaan Tibet untuk menjadi isteri seorang pangeran putera Kaisar. Di samping urusan keluarga ini yang akan disampaikan oleh Tio Hok Gwan sambil membawa surat dan hadiah ke Tibet, juga urusan yang lebih penting lagi, yaitu Pemerintah Tibet diam-diam telah minta bantuan Pemerintah Beng, karena mendengar akan gerak-gerik perkumpulan Agama Jubah Merah yang makin kuat dan yang menurut penyelidikan mereka kini mulai mengadakan hubungan dengan perkumpulan Pek-lian-kauw. Mereka merencanakan persekutuan, untuk merobohkan dan merampas kekuasaan di Tibet yang kalau berhasil kelak akan dipegang oleh para Lama Jubah Merah, dan sebagai imbalannya,Tibet akan mengerahkan pasukan membantu Pek-lian-kauw memberontak terhadap Kerajaan Beng.

"Sebetulnya, urusan pemberontakan inilah yang lebih penting," Tio Hok Gwan menutup ceritanya.

"Akan tetapi, mengapa mengutus Toako dan dibantu oleh kami berdua? Mengapa The-taijin tidak mengirim pasukan saja yang kuat untuk menundukkan para calon pemberontak itu?"

"Tidak semudah itu, Taihiap. The-taijin ingin menjaga hubungan baik antara rakyat Tibet dengan kita. Rakyat T ibet amat peka terhadap penyerbuan tentara asing dan kalau sampai kita mengirim pasukan ke sana, biarpun pasukan itu akan membantu Pemerintah Tibet yang sah untuk menumpas gerombolan pemberontak, namun dapat menyinggung hati dan kehormatan rakyat di sana. Karena itu, penumpasan para pemberontak Lama Jubah Merah itu diserahkan kepada Pemerintah Tibet sendiri yang cukup kuat. Hanya atas permintaan Kerajaan Tibet, The-taijin mengirim bantuan tenaga yang sekiranya memiliki cukup kelihaian untuk menghadapi para Lama Jubah Merah yang kabarnya banyak yang lihai itu."

"Memang mereka lihai, terutama dua orang yang datang menculik puteraku!" kata Biauw Eng. "Namanya adalah Hun Beng Lama dan Lak Beng Lama!"

"Hemmm..." Tio Hok Gwan mengangguk-angguk. "Kalau tidak salah mereka adalah tokoh-tokoh besar, pembantupembantu ketuanya yang namanya Sin Beng Lama. Menurut cerita Ji-wi tadi, mereka menculik putera Ji-wi sebagai sandera untuk ditukar dengan Yap Kun Liong?"

"Benar demikianlah, dan kami pun belum tahu apakah yang terjadi antara mereka dengan Kun Liong. Karena itu, sebaiknya kalau Kun Liong dapat membantu dalam tugas kita ini, selain dia dapat menyelamatkan anak kami juga kepandaian anak itu sudah cukup tinggi untuk memperkuat tenaga kita menghadapi para Lama Jubah Merah."

Sebelum - Beranda - Lanjut

Tidak ada komentar:

Posting Komentar