35 Pendekar Mata Keranjang

Malam pun berjalan terus dan bulan sudah condong ke barat. Cuaca mulai remang-remang, kemudian muncul sinar kemerahan di ufuk timur, sinar yang biarpun masih kemerahan namun masih nampak kekuatannya sehingga memudarkan sinar bulan. Itulah sinar matahari yang mulai menyapu kegelapan di kaki langit sebelah timur. Kemudian dalam kesunyian malam menjelang pagi itu, terdengarlah suara terompet memanjang. Itulah tanda yang dinanti-nantikan oleh pasukan pemberontak. Suara terompet itu merupakan tanda bahwa pasukan musuh telah datang dan tiba di perbatasan yang telah mereka tentukan.

Tiba-tiba tubuh yang tadinya duduk bersila itu kini bangkit berdiri perlahan-lahan. Diacungkannya pedang telanjang itu ke atas, lalu menuding ke arah utara, tasbeh di tangan kiri berrputar-putar dan mulut Kulana berkemak-kemik, sementara kedua matanya terpejam untuk beberapa lamanya. Setelah kedua mata itu terbuka, orang akan merasa terkejut dan ngeri karena mata itu kini mengeluarkan sinar yang amat liar menakutkan, kehijauan seperti mata seekor harimau yang marah.

Saat bertemunya kedua pasukan yang bermusuhan itu pun dinanti dengan hati tegang oleh pasuka kerajaan yang berbaris maju dengan penuh semangat. Kini, pasukan itu tiba di perbatasan, dan jalan terusan yang diapit-apit dinding bukit itu sudah nampak dari tempat ketinggian itu, di bawah sinar bulan yarig mulai pudar oleh sinar matahari merah. Menteri Cang sendiri, didampingi Mulana, berdiri di atas batu besar dan meneliti tempat itu dari jauh.

"Itulah jalan terusan yang dimaksudkan?" tanya Menteri Cang, diam-diam dia mulai percaya akan gambar peta yang diterimanya dari Han Lojin. Agaknya orang aneh itu tidak berbohong atau berkhianat, pikirnya.

Mulana mengangguk, "Benar, Taijin. Dan lihat, betapa sunyinya. Kalau menurut sepatutnya, para pemberontak tentu sudah tahu aka kedatangan pasukan kita, akan tetapi kenyataannya sunyi saja. Oleh karena itu, tidak salah lagi, mereka sedang mempergunakan siasat dan mereka pasti kini sedang menanti kita. Kita harus bersikap hati-hati dan biarkan pasukan terus maju, saya akan berada di depan dengan para pembantu saya, menghadapi segala kemungkinan."

Menteri Cang mengangguk dan memberi isarat agar pasukan yang untuk sementara dihentikan itu bergerak lagi, menuju ke arah jalan terusan yang dari situ agak menurun itu. Mulana dan belasan orang pembantunya berada di depan, menuntun tiga ekor anjing hitam, mendahului pasukan. Di belakangnya nampak para pendekar, didahului oleh Can Sun Hok dan Cia Ling lalu para tokoh partai persilatan besar. Semua orang siap siaga dan waspada maklum bahwa sewaktu-waktu pihak musuh tentu akan muncul dan menyambut mereka.

Ketika ujung jalan terusan itu tinggal beberapa puluh meter lagi, Mulana memberi isarat agar pasukan berhenti melangkah. Dia sendiri bersama belasan orang pembantunya yang membawa ember melangkah maju mendekati ujung jalan terusan. Tiba-tiba terdengar suara gerengan aneh dan dahsyat, lalu disusul datangnya angin dari arah jalan terusan. Mulana segera memberi isarat kepada para pembantunya yang segera melaksanakan tugas yang telah diatur sebelumnya, yaitu dengan golok-golok tajam mereka menyembelih tiga ekor anjing hitam itu. Anjing-anjing itu tidak sempat mengeluarkan suara. Darah mengucur dari leher mereka yang putus, dan segera darah itu ditampung ke dalam ember-ember yang sudah dipersiapkan.

Kini angin yang menyambar-nyambar menjadi semakin dahsyat dan nampaklah asap hitam bergumpal-gumpal keluar dari dalam jalan terusan, mengerikan sekali. Akan tetapi, Mulana yang sudah siap dengan pakaian pendeta berwarna kuning dan rambut terurai, kini melangkah maju dengan pedang di tangan kanan. Dia mencelup pedang itu sampai ke gagangnya dalam darah anjing, lalu mengangkat pedang tinggi-tinggi sambil melangkah maju dan mulutnya berkemak-kemik. Belasan orang itu mengikutinya dan dengan gayung kecil, mereka itu menciduk darah anjing dan mempercikkannya ke arah asap hitam bergumpal-gumpal. Dan aneh sekali, asap hitam yang bergulung-gulung itu segera lenyap, angin pun berhenti bertiup dan cuaca menjadi bersih kembali, jalan terusan itu nampak kembali.

Akan tetapi, kini terdengar gerengan yang semakin keras dan dari dalam jalan terusan itu kembali muncul asap hitam bergumpal-gumpal dan dari dalam asap itu muncullah seekor naga hijau yang menyeramkan. Naga itu besar sekali, sepasang matanya mencorong dan moncongnya yang terbuka lebar itu mengeluarkan api menyala-nyala, kedua lubang hidungnya mengeluarkan asap putih yang panas sedangkan kedua cakar depan dengan kuku-kuku yang mengerikan seperti hendak menubruk ke arah Mulana. Namun, Mulana tidak menjadi gentar dan dia pun maju dengan pedangnya yang kini berubah merah oleh darah anjing, sedangkan para pembantunya sibuk memercikkan darah anjing ke arah asap hitam yang semakin menjalar.

Anak buah pasukan yag berada di belakang, memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat. Mereka tentu saja merasa nyeri dan takut. Akan tetapi para tokoh pendekar yang melihat ini, maklum bahwa mereka menghadapi ilmu hitam yang dahsyat, maka mereka segera mengerahkan sin-kang untuk memperkuat batin dan menolak pengaruh ilmu hitam ini. Can Sun Hok dan Cia Ling yang telah memiliki tingkat yang cukup tinggi, setelah mengerahkan sin-kang, dapat membuat mata mereka menjadi tenang dan bayangan naga yang menyeramkan itu pun menipis walaupun belum lenyap. Mereka pun tidak dapat berbuat sesuatu menghadapi ilmu hitam seperti ini, dan hanya percaya bahwa Mulana akan mampu memunahkannya.

Mulana melangkah maju, dan pedangnya menyambar, menyerang ke arah naga hijau itu, sedangkan orang-orangnya memercikkan darah anjing. Terdengar suara melengking dahsyat dan naga hijau itu pun lenyap, asap hitam pun bergulung-gulung naik dan mundur sampai lenyap. Mulana memberi isyarat kepada orang-orangnya untuk maju terus, sedangkan pasukan di belakangnya, didahului oleh para pendekar, juga bergerak maju lagi mulai memasuki jalan terusan.

Kini sunyi di jalan terusan itu. Dengan hati-hati pasukan yang dipimpin sendiri oleh Menteri Cang itu memasuki terusan. Karena maklum bahwa mereka memasuki perangkap yang mengerikan, mau tidak mau jantung pejabat tinggi itu berdebar juga penuh ketegangan. Dia memandang ke atas, kanan kiri dan merasa seram. Dinding bukit itu menjulang tinggi dan kalau ada batu-batu runtuh ke bawah, pasukannya akan celaka, apalagi kalau sampai dinding itu diledakkan! Dia hanya mengharapkan agar mereka yang bertugas merayap ke atas bukit di kanan kiri itu akan berhasil menyergap dan menggagalkan rencana peledakan dinding bukit.

Akan tetapi, kesunyian itu tiba-tiba dipecahkan oleh beberapa suara jeritan di sana-sini, dilakukan oleh anak buah pasukan. Dan Mulana melihat betapa kembali ada asap hitam bergulung-gulung dan di atas dinding bukit di kanan kiri nampak segala macam serangga beracun merayap turun. Ular, kalajengking, kelabang dan banyak lagi macamnya, mengerikan, juga menjijikkan! Dia tahu bahwa itu bukanlah binatang-binatang aseli, melainkan jadi-jadian, hasil ilmu hitam. Maka dia lalu memimpin orang-orangnya untuk memercikkan darah anjing, sedangkan pedangnya yang berlumuran darah anjing hitam itu pun mengamuk, membabat ke arah binatang-binatang kecil menjijikkan itu. Dan seperti juga tadi, penglihatan yang mengerikan itu pun lenyap bersama asap hitam.

Kini pasukan pemerintah itu kesemuanya telah memasuki jalan terusan dan bersama dengan bunyi tambur yang dipukul gencar, kini dari luar jalan terusan bermunculan pasukan pemberontak yang menerjang dari belakang. Dan pada saat itu juga, terdengar sorak-sorai dan pasukan pemberontak yang bersembunyi didalam, kini pun bermunculan dan menyerang dari depan. Dengan demikian, pasukan induk pemerintah itu tergencet dari depan dan belakang, dan berada di dalam jalan terusan yang memanjang itu. Tepat seperti yang telah diperhitungkan oleh Mulana. Akan tetapi yang membikin pasukan pemerintah merasa bingung adalah keluarnya asap hitam yang membuat penglihatan menjadi gelap bagi mereka, akan tetapi agaknya tidak demikian bagi pasukan pemberontak.

Kalau tidak ada Mulana, tentu pasukan pemberontak akan celaka bertempur dalam keadaan seperti itu. Mulana dan para pembantunya sibuk memercikkan darah anjing ke kanan-kiri dan akhirnya, asap hitam bergulung-gulung itu pun perlahan-lahan lenyap sehingga kini mereka dapat bertempur dalam keadaan cuaca terang karena matahari telah mulai muncul!

Melihat betapa di pihak pemberontak terdapat orang-orang Kui-kok-pang yang mudah dikenal dengan pakaian mereka yang putih dan gerakan mereka yang ganas dan dahsyat, Can Sun Hok dan Cia Ling lalu terjun dan menerjang mereka, merobohkan beberapa orang anggauta Kui-kok-pang. Can Sun Hok segera melihat kepala gerombolan ini, yaitu Kim San yang mudah diketahui dari keadaan pakaiannya dan kelihaian gerakannya. Can Sun Hok segera menerjang Kim San yang bertangan kosong. Segera terjadi perkelahian yang amat seru. Biarpun bertangan kosong, namun kedua tangan Ketua Kui-kok-pang yang membentuk cakar itu amat berbahaya dan mengandung hawa beracun yang jahat. Namun, Can Sun Hok yang memegang suling itu tidak mau memberi kesempatan kepada lawan yang lihai itu. Dia memutar sulingnya dan memainkan ilmu pedang simpanannya, yaitu Kwi-ong Kiam-sut (Ilmu Pedang Raja Iblis) yang amat dahsyat. Biarpun dia memainkannya dengan suling, namun keampuhannya tidak kalah dengan pedang, dan ilmu pedang ini dahulu adalah ciptaan Si Raja Iblis, datuk sakti kaum sesat itu. Maka, betapa pun lihainya Kim San, menghadapi ilmu pedang ini, dia segera terdesak hebat dan hanya karena bantuan anak buahnya saja dia masih mampu mempertahankan diri.

Ling Ling sendiri sudah mengamuk dan gadis ini biasanya juga bertangan kosong. Ia sudah mewarisi ilmu-ilmu silat tinggi dari ayahnya, maka biarpun ia bertangan kosong, kedua tangan dan kedua kakinya merupakan senjata-senjata yang amat ampuh. Dengan gerakan lincah seperti seekor burung walet, gadis ini berloncatan dan menyambar-nyambar ke sana-sini, dan setiap kali tangan atau kakinya mencuat ke depan atau ke samping, tentu ada seorang anggauta pasukan musuh yang terjungkal roboh.

Sementara itu, di atas sebatang pohon yang tumbuh di tebing, terdapat dua orang sejak tadi menonton pertempuran. Mereka adalah Pek Han Siong dan Cu Bi Lian atau lebih tepat lagi, Siangkoan Bi Lian walaupun gadis itu sendiri belum tahu akan nama keturunannya yang sesungguhnya. Seperti telah kita ketahui, Han Siong bertemu dengan Bi Lian secara kebetulan sekali. Ketika itu Bi Lian sedang dikeroyok oleh Kulana dan Lam-hai Giam-lo yang hendak menangkapnya. Hampir saja Bi Lian celaka dan dapat tertangkap oleh ilmu sihir yang dipergunakan Kulana, akan tetapi tiba-tiba muncul Han Siong yang menyelamatkan gadis itu dengan kekuatan sihirnya pula. Mereka berkenalan dan saling mengetahui bahwa mereka masih suheng dan sumoi, walaupun Han Siong belum menceritakan bahwa sumoinya itu sesungguhnya adalah puteri kedua orang gurunya, bahkan juga telah menjadi calon jodohnya! Mereka berdua bertemu dengan Mulana dan menjadi tamu orang Birma aneh ini, bahkan menjadi saksi akan peristiwa mengharukan ketika Yasmina, isteri Mulana, membunuh diri.

Setelah meninggalkan Mulana yang kemudian mereka lihat dari jauh membakar istananya sendiri, Han Siong dan Bi Lian lalu melakukan penyelidikan ke sarang gerombolan pemberontak. Bi Lian ingin membalas kematian kedua orang gurunya, yaitu Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi, yang mati sampyuh karena saling bertentangan sendiri ketika Bi Lian dilamar oleh Kulana. Bi Lian menganggap bahwa kematian kedua orang gurunya akibat ulah Kulana dan Lam-hai Giam-lo, maka dara ini ingin membalas kepada kedua orang sakti itu. Adapun Han Siong, selain siap menentang gerombolan pemberontak itu, juga ingin mencari adik kandungnya, Pek Eng, yang menurut Bi Lian kini berada di sarang gerombolan pemberontak, bahkan menjadi murid dan anak angkat Lam-hai Giam-lo, Bengcu dari gerombolan pemberontak.

Akan tetapi, sepasang orang muda perkasa ini mendapat kenyataan betapa kuatnya keadaan di sarang gerombolan. Kini bahkan seribu lebih orang anak buah gerombolan telah berkumpul, berlatih perang-perangan dan amat berbahayalah kalau mereka berani memasuki sarang itu. Maka, mereka hanya melakukan penyelidikan di luar saja dan menanti kesempatan baik untuk melaksanakan niat mereka.

Dan pada pagi hari itu, mereka melihat penyerbuan pasukan pemerintah dan dari tempat pengintaian itu, mereka melihat pula betapa Kulana telah melakukan sambutan dengan ilmu hitam yang dahsyat. Melihat ini, ketika Bi Lian juga terkejut dan merasa ngeri, Han Siong berkata,

"Orang yang bernama Kulana itu memang hebat. Yang dia lakukan itu bukan sekadar ilmu sihir belaka, melainkan ilmu hitam yang mempergunakan tenaga gaib dan kotor yang berasal dari iblis dan setan. Untung bahwa di sana agaknya ada yang mampu memunahkan kekuatan ilmu hitamnya, kalau tidak, tentu akan celaka pasukan pemerintah."

"Akan tetapi, engkau sendiri bukankah seorang yang mengerti akan ilmu sihir, Suheng?"

"Benar, aku pernah mempelajari ilmu sihir. Akan tetapi, ilmu sihir hanya dapat dipergunakan untuk mempengaruhi pikiran dan panca indera seorang atau beberapa orang lawan saja. Sebaliknya, ilmu hitam dapat mengeluarkan jadi-jadian yang datangnya dari alam rendah, sehingga dapat mempengaruhi ribuan orang pasukan musuh. Sungguh berbahaya sekali orang itu."

"Lihat, Suheng, pertempuran kini menjadi semakin hebat dan agaknya pasukan pemerintah yang berada di tengah-tengah itu terdesak karena digencet dari depan dan belakang. Mereka terjebak ke dalam jalan terusan yang terapit dinding bukit itu! Mari, Suheng, mari kita bantu pasukan pemerintah! Aku akan turun dan menyerang Kulana si jahanam itu!"

"Hati-hatilah, Sumoi. Biar aku menghadapi dia," pesan Han Siong yang merasa khawatir karena Kulana sungguh terlalu berbahaya bagi Bi Lian. Mereka lalu meninggalkan batang pohon itu dan merayap turun melalui tebing lain yang tidak begitu terjal seperti kedua tebing bukit di kanan kiri jalan terusan itu. Berkat ilmu kepandaian mereka yang tinggi, dengan cepat mereka dapat turun ke tempat pertempuran. Akan tetapi ketika mereka terjun ke dalam gelanggang pertempuran, mereka tidak melihat lagi Kulana yang tadi mereka lihat dari atas batu besar. Karena itu, kedua orang muda ini lalu terjun dan ikut mengamuk di antara para anggauta gerombolan pemberontak yang menjadi kocar-kacir karena tidak ada yang mampu menahan kedua orang muda perkasa ini.

Akan tetapi, dari pihak pemberontak segera bermunculan orang-orang lihai sekali. Suami isteri Lam-hai Siang-mo, yaitu Siangkoan Leng dan Ma Kim Li sudah cepat melihat kehebatan sepak terjang pemuda dan gadis yang baru muncul itu dan bersama sepasang suami isteri Guha Iblis Pantai Selatan, yaitu Kwee Siong dan Tong Ci Ki, mereka lalu menerjang ke dalam pertempuran. Lam-hai Siang-mo segera mengeroyok Han siong, sedangkan Si Tangan Maut dan isterinya, Si Jarum sakti, sepasang suami isteri Guha Iblis Pantai selatan itu mengeroyok Bi Lian yang mereka kenal sebagai murid mendiang Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi yang amat lihai. Terjadilah perkelahian yang amat seru dan mati-matian di antara mereka.

Menteri Cang yang melihat betapa pasukan pemberontak telah dikerahkan, lalu memberi isyarat dan terdengar suara sorak-sorai disertai suara terompet dan tambur, dan enam kelompok pasukan yang tadinya mengepung sarang, kini bermunculan, dari enam jurusan, semua menuju ke jalan terusan dan dengan demikian maka kini berbalik pihak pasukan pemberontak yang terkepung dari dalam dan luar! Keadaan menjadi kacau-balau dan pertempuran berlangsung semakin seru dan mati-matian. Para pendekar juga kini bertemu langsung dengan para tokoh sesat sehingga mereka itu merupakan kelompok tersendiri yang mempergunakan ilmu silat tinggi saling gempur, dan terjadilah pertempuran yang amat hebat di luar dan di dalam jalan terusan.

Bagaimana Can Sun Hok dan Cia Ling dapat muncul dalam pertempuran itu, padahal mereka bertugas bersama Cia Kui Hong untuk mencegah peledakan dinding tebing bukit sebelah kiri? Mari kita tengok apa yang terjadi di kedua puncak tebing itu. Dengan diikuti belasan orang anak buah pasukan, Cia Kui Hong, Can Sun Hok dan Cia Ling mendaki bukit sebelah kiri jalan terusan. Dan memang tepat seperti yang diperhitungkan oleh Mulana, mereka melihat segerombolan orang sejumlah dua belas orang dikepalai seorang kakek cebol gendut dengan kepala kecil, berkulit hitam, duduk bergerombol mengelilingi sebuah batu besar. Melihat ini, Cia Kui Hong menyuruh teman-temannya bersembunyi dan ia sendiri mempergunakan kepandaiannya untuk menyelinap di antara batu-batu dan pohon-pohon, mendekati dan melakukan pemeriksaan. Untung bahwa matahari telah mulai memancarkan cahayanya sehingga ia dapat meneliti dari jarak agak jauh dan melihat bahwa yang berada di atas batu besar itu adalah benda seperti tali putih yang dari atas batu itu terus menuruni tebing. Tak salah lagi, pikirnya, tentu itulah sumbu bahan peledak, siap untuk dinyalakan oleh gerombolan orang itu setelah terdapat isarat dari Kulana! Ia dan kawan-kawannya harus dapat menguasai sumbu itu, kalau tidak, pasukan pemerintah di bawah akan terancam bahaya maut! Ia lalu menyelinap kembali dan kembali ke tempat kawan-kawannya bersembunyi. Setelah merundingkannya dengan Sun Hok dan Ling Ling, mereka bertiga mengambil keputusan untuk melakukan penyergapan tiba-tiba.

"Kalian menyergap Si Cebol yang agaknya lihai itu, dan pasukan menyerbu dan menyerang anak buahnya. Aku sendiri akan menguasai sumbu itu dan menjaganya agar pihak lawan tidak ada yang dapat mendekat!" bisik Kui Hong. Setelah mengatur siasat, mereka lalu berindap-indap menghampiri batu yang dikurung oleh tiga belas orang itu.

Penyergapan itu dilakukan serentak sehingga Si Cebol yang bukan lain adalah Hek-hiat Mo-ko dan anak buahnya menjadi terkejut sekali. Apalagi ketika Hek-hiat Mo-ko melihat dirinya diserang dengan dahsyatnya oleh seorang pemuda dan seorang pemudi, dia mengeluarkan suara mencicit seperti tikus, tubuhnya yang cebol itu melompat dan terus bergulingan membebaskan diri dari serangan kedua orang muda yang lihai itu. Adapun belasan orang anak buahnya juga sudah sibuk menghadapi serangan belasan orang anak buah pasukan pemerintah. Kui Hong sendiri merobohkan dua orang dengan tamparannya dan ia pun melompat ke atas batu besar itu. Dengan gagahnya ia menjaga sumbu di atas batu, dan untuk penjagaan, ia mengeluarkan sepasang pedangnya. Ketika ia memandang, dengan lega ia mendapat kenyataan betapa Can Sun Hok dan Ling Ling telah dapat mendesak kakek cebol, bahkan anak buah yang belasan orang banyaknya itupun telah menyerbu dan mendesak anak buah gerombolan pemberontak.

Hek-hiat Mo-ko adalah keturunan Hek-hiat Lo-mo dan Hek-hiat Lo-bo dan dia telah mewarisi ilmu sesat yang hebat dari neneknya, yaitu Hek-hiat Mo-li. Demikian mendalam dia menguasai ilmu Hek-hiat (Darah Hitam) itu sehingga kini darah di tubuhnya benar-benar agak kehitaman! Dan tentu saja kedua tangannya sudah dialiri hawa beracun yang menjadi pukulan maut. Dia lihai dan kejam bukan main, disamping wataknya yang cabul dan jahat. Entah sudah berapa puluh atau bahkan berapa ratus orang wanita yang telah menjadi korban kebiadabannya selama puluhan tahun ini.

Betapa hebatnya ilmu kepandaian Hek-hiat Mo-ko, menghadapi Can Sun Hok dan Cia Ling, dia seperti mati kutu. Apalagi harus dikeroyok dua. Baru menghadapi seorang di antara mereka saja dia belum tentu akan mampu menang, walau pun bagi Sun Hok atau Ling Ling juga tidak akan demikian mudahnya menundukkan Si Cebol ini kalau saja harus turun tangan sendiri tanpa bantuan. Akan tetapi, kini mereka maju bersama. Perkelahian ini bukan urusan pribadi, melainkan urusan perang, maka dua orang muda perkasa ini pun tidak merasa sungkan untuk maju bersama mengeroyok Hek-hiat Mo-ko.

Biarpun Hek-hiat Mo-ko mengerahkan seluruh tenaga racunnya, dan mengeluarkan semua ilmu silatnya, namun tetap saja dia terdesak dan akhirnya tidak mampu lagi membalas, melainkan hanya mengelak dan menangkis saja. Akhirnya, sebuah tamparan dari tangan kiri Ling Ling menyerempet pelipisnya. Dia terjungkir dan cepat melompat bangun lagi, akan tetapi disambut totokan suling di tangan Sun Hok yang tepat mengenai dadanya. Dari mulutnya keluar suara mencicit nyaring, disusul keluarnya darah hitam dan tubuh Hek-hiat Mo-ko kini tersungkur. Akan tetapi orang ini memang memiliki kekuatan yang luar biasa. Biarpun totokan tadi sudah mengenai jalan darah yang membawa maut, tetap saja dia mampu bergulingan, hanya arahnya yang ngawur sehingga dia bergulingan ke tepi tebing dan tak dapat dihindarkan lagi, tubuhnya tergelincir dan meluncur turun ke bawah tebing yang amat curam itu dalam keadaan sudah hampir mati!.

Juga dua belas orang anak buah Hek-hiat Mo-ko roboh semua oleh Sun Hok dan Ling Ling. Setelah tidak nampak seorang pun lagi musuh di puncak tebing itu, mereka memandang ke bawah dan melihat pertempuran telah berlangsung. Melihat betapa pasukan pemerintah dihimpit dari depan dan belakang, Sun Hok lalu berkata, "Ah, di bawah sana telah terjadi pertempuran. Untuk apa kita menganggur saja di sini? Lebih baik membantu di bawah."

"Akan tetapi tempat ini harus kita jaga, agar jangan sampai ada musuh yang dapat meledakkan tebing," bantah Ling Ling.

"Kalian berdua turunlah dan bantulah menggempur gerombolan pemberontak. Biar aku dan pasukan ini yang berjaga di sini!" kata Kui Hong yang juga melihat betapa tidak ada gunanya mereka bertiga menganggur di tempat itu. Demikianlah, mendengar kesanggupan Kui Hong untuk menjaga sumbu bahan peledak di situ, Ling Ling dan Sun Hok lalu menuruni tebing dan mereka ikut pula bertempur membantu pasukan pemerintah, menerjang Kui-kok-pangcu Kim San dan anak buahnya.

Keadaan di puncak tebing sebelah kanan juga tidak banyak bedanya dengan apa yang terjadi di puncak sebelah kiri. Yang memimpin pasukan belasan orang dan mendaki puncak tebing sebelah kanan adalah suami isteri Ciang Su Kiat dan Kok Hui Lian, suami isteri yang memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi itu. Adapun yang diberi tugas untuk memimpin belasan orang meledakkan tebing kanan ini apabila ada isyarat dari Kulana bukan lain adalah Min-san Mo-ko, bekas tokoh Pek-lian-kauw yang lihai ilmu pedang dan ilmu sihirnya itu. Karena usianya yang sudah enam puluh lebih, Min-san Mo-ko tidak begitu bernafsu untuk ikut bertempur dalam peperangan, maka dia memilih untuk menjaga sumbu bahan peledak yang dipasang di puncak tebing sebelah kanan. Dia sudah siap untuk meledakkannya, dengan menyulut sumbunya, begitu menerima isarat dari Kulana. Diam-diam dia merasa gembira sekali karena dia akan dapat menonton kalau nanti tebing itu runtuh menimpa pasukan pemerintah sehingga akan terkubur hidup-hidup! Akan tetapi dia harus menanti isarat dari Kulana lebih dahulu. Karena kalau tidak, mungkin yang terkubur hidup-hidup oleh ledakan tebing itu bahkan pasukan kawan sendiri.

Tiba-tiba saja muncul belasan orang perajurit pemerintah mendaki puncak tebing itu. Melihat belasan orang perajurit musuh ini, Min-san Mo-ko tertawa, dan suaranya melengking tinggi ketika dia berkata, "Ha-ha-ha, hayo bunuh bebeberapa ekor cacing busuk itu!" Dia amat memandang rendah kepada belasan orang perajurit musuh yang disangkanya secara kebetulan saja naik ke puncak ini. Akan tetapi pada saat itu muncullah Kok Hui Lian yang bergerak cepat, dengan gerakan indah sekali telah menampar roboh dua orang perajurit pemberontak. Melihat munculnya seorang wanita muda yang demikian cantiknya, juga amat cepat gerakannya sehingga merobohkan dua orang anak buahnya, Min-san Mo-ko terkejut, akan tetapi juga gembira sekali. Wanita itu cantik menarik.

"Ha-ha-ha, kebetulan sekali. Aku sedang kesepian dan engkau datang menemaniku, manis!" kata Min-san Mo-ko yang biarpun sudah berusia enam puluh tahun lebih namun masih amat mata keranjang itu. Dia pun memandang ringan wanita cantik itu, maka sekali meloncat dia sudah meninggalkan benda yang dijaganya sejak tadi, yaitu ujung sumbu bahan peledak yang menghubungkan sumbu dengan bahan peledak yang ditanam di bawah puncak tebing. Ujung sumbu itu ditindih beberapa buah batu dan nampak mencuat putih. Dengan kedua tangannya yang panjang dan kurus, Min-san Mo-ko menubruk dari belakang untuk menangkap Hui Lian.

Namun, sekali ini, orang yang kurus pucat dan lihai ini kecelik bukan main. Tubuh wanita cantik yang ditubruknya dari belakang itu, tiba-tiba berputar di atas tumit kiri dan kaki kanannya telah mengirim tendangan yang amat cepatnya, demikian cepat sehingga orang selihai Min-san Mo-ko sampai tidak dapat mengelak atau menangkis lagi. Tentu saja hal ini terutama sekali dapat terjadi karena Min-san Mo-ko memandang lawan terlalu ringan.

"Dukkk....!!"

"Ihhhh.....?" Min-san Mo-ko mengeluarkan suara melengking nyaring dan tubuhnya terhuyung ke belakang, matanya terbelalak dan dia mulai marah sekali. Tak disangkanya bahwa dia akan terkena tendangan pada dadanya, dan tendangan itu membuat dadanya terasa agak nyeri.

"Perempuan setan, kiranya engkau memiliki kepandaian juga? Kalau begitu, bersiaplah untuk mampus!" Min-san Mo-ko mencabut pedangnya dan sekali melompat, dia sudah berada di depan Hui Lian dan tiba-tiba dia menudingkan pedangnya pada wajah Hui Lian sambil mengeluarkan suara lengkingan panjang disusul kata-kata yang nyaring melengking dan berpengaruh.

"Perempuan, berlutut dan menyerahlah engkau!" Dia mengerahkan sihirnya dan menggerak-gerakkan pedangnya, sepasang matanya mencorong aneh dan menyeramkan. Hui Lian tidak menyangka bahwa ia akan diserang dengan ilmu sihir, maka tiba-tiba saja ia menekuk lututnya. Hal ini terjadi di luar kehendaknya, maka ia pun terkejut dan sambil meloncat ke atas, ia mengeluarkan bentakan nyaring sambil mengerahkan tenaga saktinya dan seketika buyarlah kekuatan sihir yang tadi hampir mempengaruhi. Hui Lian menjadi marah sekali dan sepasang matanya berkilat ketika memandang wajah Min-san Mo-ko.

"Iblis busuk, ilmu iblismu tidak ada artinya bagiku!" dan kini wanita perkasa ini sudah memegang sebatang pedang yang berkilauan. Entah kapan ia mengeluarkan pedang itu, tahu-tahu telah berada di tangannya. Itulah pedang Kiok-hwa-kiam, peninggalan orang sakti yang ia temukan di dalam guha di tebing curam.

Kini Min-san Mo-ko tidak berani main-main lagi, sama sekali tidak berani memandang rendah. Bahkan dia terkejut bukan main melihat betapa wanita cantik itu mampu membuyarkan kekuatan sihirnya. Tahulah dia bahwa dia berhadapan dengan lawan yang tangguh, maka melihat lawan memegang pedang, tanpa banyak cakap lagi dia pun mencabut pedangnya dan mendahului lawan menyerang dengan pedangnya. Gerakannya cepat dan kuat sekali. Min-san Mo-ko memang terkenal sebagai seorang ahli pedang yang memiliki banyak macam ilmu pedang yang tinggi tingkatnya. Kini begitu dia memutar pedang, senjata itu lenyap bentuknya dan berubah menjadi gulungan sinar putih yang panjang dan menyambar-nyambar.

Melihat ini, Hui Lian pun tahu bahwa lawannya adalah seorang ahli pedang yang lihai, maka ia pun memutar Kiok-hwa-kiam (Pedang Bunga Seruni) dan segera mainkan Ilmu Pedang In-liong Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Awan), yaitu satu di antara ilmu yang dipelajarinya bersama suaminya di dalam guha tebing. Ilmu pedang ini adalah peninggalan mendiang In Liong Nio-nio, seorang di antara tokoh sakti Delapan Dewa. Begitu ia memutar pedang, terdengar suara mengaung panjang dan terkejutlah Min-san Mo-ko karena gulungan sinar pedangnya segera tertekan dan terdesak oleh ilmu pedang yang aneh dan tidak pernah dilihatnya itu. Dia mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk mengimbangi permainan pedang lawan, namun percuma saja karena gulungan sinar pedang di tangan wanita sakti itu ternyata telah jauh lebih kuat. Dia terdesak mundur terus.

Sementara itu, belasan orang anggauta regu yang dikepalai Min-san Mo-ko, tentu saja bukan lawan Ciang Su Kiat dan sebentar saja, pendekar lengan buntung ini dengan mudah merobohkan mereka semua, menendangi mereka sehingga tubuh mereka terlempar ke bawah tebing. Setelah membasmi belasan orang itu, Su Kiat menoleh ke arah isterinya dan dia tidak merasa khawatir karena isterinya kelihatan mendesak Min-san Mo-ko. Akan tetapi pada saat itu, tiba-tiba saja entah dari mana datangnya, muncul seorang laki-laki berusia empat puluh lebih bertubuh sedang dengan wajah anggun berwibawa, mengenakan jubah seperti pendeta, dengan rambut riap-riapan dan sebatang pedang di tangan, telah berdiri dekat sumbu yang tadi dijaga oleh Min-san Mo-ko dan anak buahnya. Ciang Su Kiat memandang kaget, dan lebih kaget lagi ketika melihat laki-laki itu mengeluarkan sebuah benda dari saku jubahnya dan tiba-tiba benda itu bernyala dan dia membuat gerakan untuk membakar sumbu bahan peledak itu!

"Tahan....!" Su Kiat membentak dan tubuhnya ringan sekali, bagaikan seekor burung rajawali terbang menyambar, tubuhnya sudah meluncur ke arah orang itu dan lengan kanannya yang utuh sudah menusuk dengan jari tangan terbuka ke arah dada. Serangannya ini cepat bukan main, juga mengandung hawa pukulan yang mengeluarkan suara mencicit, sehingga laki-laki itu terkejut sekali. Cepat dia menyimpan kembali alat pembakar yang sudah padam lagi itu, dan sambil meloncat ke samping untuk mengelak, pedangnya menyambar untuk membacok leher lawan yang menyerangnya sambil meluncur seperti terbang.

"Wuuuuuttt...... takkk.....!" Kulana, laki-laki itu, terkejut bukan main karena lawannya yang hanya berlengan sebelah itu telah mampu menangkis pedangnya dengan ujung baju lengan kiri yang buntung. Ujung lengan baju itu begitu bertemu pedang, menjadi keras bagaikan tongkat baja! Hal ini menunjukkan bahwa lawannya memiliki tenaga sinkang yang amat hebat! Sungguh seorang lawan yang tangguh, pikirnya, apalagi ketika tadi dia melihat betapa Min-san Mo-ko juga terdesak hebat oleh seorang wanita cantik. Akan tetapi, Kulana yang naik ke situ untuk meledakkan tebing tanpa mempedulikan bahwa pasukan pemberontak masih berada di atas jalan terusan dan akan menjadi korban pula kalau tebing runtuh, kini tidak merasa gentar dan masih mengandalkan ilmu hitamnya.

Ciang Su Kiat yang maklum betapa berbahayanya kalau sampai sumbu itu dinyalakan, sudah cepat meloncat ke dekat sumbu dan melindunginya, gepasang matanya dengan tajam menatap ke arah laki-laki berambut riap-riapan yang berpakaian jubah pendeta itu, menduga-duga siapa adanya orang aneh itu. Dia sama sekali tidak menduga bahwa orang ini adalah Kulana, pemimpin yang sesungguhnya dari pemberontakani.

Kulana yang maklum bahwa Si Lengan Buntung itu lihai sekali, maka cepat dia mengelebatkan pedangnya dan berkemak-kemik membaca matram lalu berkata dengan suara lantang dan dengan logat suara asing. "Hemm, orang berlengan satu, betapa pun lihainya engkau, mana mungkin dapat melawan aku? Lihat, engkau hanya seorang diri, sedangkan aku berlima!"

Su Kiat membelalakkan matanya ketika melihat bahwa orang itu benar-benar kini telah berubah menjadi lima orang! Lima orang kembar yang menyeringai dan memandang kepadanya dengan mata mencorong beringas. Dia menganggap hal ini mustahil dan tahu bahwa ini tentulah permainan sihir, maka dia pun mengerahkan sin-kangnya dan membentak nyaring untuk membuyarkan kekuatan sihir lawan.

Namun, kekuatan sihir yang dipergunakan Kulana jauh berbeda dibandingkan dengan ilmu sihir yang dikuasai Min-san Mo-ko. Dengan pengerahan tenaga batin, kekuatan sihir Min-san Mo-ko dapat dibuyarkan oleh Hui Lian, akan tetapi sihir dari Kulana adalah ilmu hitam yang jahat mengandung kekuatan roh jahat atau setan yang menyeramkan. Sedangkan Ciang Su Kiat, betapa pun lihai ilmu silatnya, tidak pernah mempelajari ilmu sihir, maka pengerahan tenaga sin-kangnya tidak mampu membuyarkan ilmu sihir Kulana dan matanya masih tetap melihat betapa lima orang lawan yang kembar itu kini mulai mengepungnya!

"Iblis busuk, biar engkau menjadi seratus, aku tidak akan gentar menghadapimu!" Su Kiat membentak dan laki-laki tinggi besar ini berdiri dengan gagahnya di atas tempat di mana terdapat sumbu yang dijaganya itu. Bagaimanapun juga, dia akan melindungi sumbu itu agar jangan sampai dibakar musuh. Ketika melihat lima orang kembar itu mulai menggerakkan pedang menyerangnya dengan kepungan, dia pun memutar lengan kirinya yang buntung dan ujung lengan baju itu membentuk gulungan sinar yang melindungi tubuhnya! Tangan kanannya juga melakukan tamparan dan pukulan ke kanan kiri, dibantu oleh kedua kakinya.

Bagaimanapun juga, tentu saja dia menjadi repot dikeroyok lima orang kembar itu, yang kesemuanya amat lihai. Setelah mempertahankan diri selama dua puluh jurus lebih, tiba-tiba ujung lengan baju kirinya itu terbabat pedang sehingga putus! Hal ini terjadi karena pada detik itu, untuk menghimpun hawa segar, dia melepaskan pengerahan sin-kangnya. Sedetik dua detik saja, namun cukup bagi Kulana yang pandai untuk mempergunakan kesempatan itu membabat putus ujung lengan baju yang ampuh itu. Setelah ujung lengan baju yang dipergunakan sebagai senjata dan perisai itu putus, tentu saja Su Kiat menjadi semakin repot. Lawannya amat lihai, dengan ilmu pedang aneh, dengan tenaga sakti yang amat kuat, ditambah lawannya berubah menjadi lima orang. Tentu saja Su Kiat terdesak dan dengan mati-matian dia bertahan untuk menjaga agar sumbu itu tidak sampai dinyalakan lawan.

Pada saat itu, nampak sebatang pedang yang merah karena berlepotan darah, meluncur dan menangkis pedang di tangan Kulana.

"Tringgg....!!" Bunga api berpijar dan kini Su Kiat terbelalak. Yang muncul adalah orang yang serupa benar dengan penyerangnya, dan anehnya, lawan yang tadinya berubah menjadi lima orang itu kini telah menjadi seorang saja lagi. Dan kini, dua orang yang serupa benar wajah dan bentuk badannya, hanya yang berbeda warna jubah mereka. Orang pertama berjubah putih dan orang ke dua berjubah kuning. Orang pertama memegang pedang putih dan orang ke dua memegang pedang yang berlepotan darah merah! Orang ke dua itu bukan lain adalah Mulana! Karena pedangnya berlepotan darah anjing, ditambah lagi dengan ilmunya memunahkan sihir, maka kekuatan sihir Kulana tadi buyar dan dia pun nampak hanya satu orang saja, bukan lima seperti tadi. Dan marahlah Kulana ketika dia melihat saudara kembarnya.

"Ah, bangsat keparat! Kiranya engkau Mulana? Engkau berani mengkhianati saudara sendiri dan membantu musuh?"

"Kulana, engkaulah yang menyeleweng! Engkau menganggap aku musuh, dan engkau hendak menimbulkan pemberontakan, bahkan kini hendak meledakkan tebing, tidak peduli siapa yang berada di bawah sana. Engkau jahat, Kulana, aihhh, engkau jahat dan terpaksa aku harus menantangmu!"

"Huh, pantas! Pantas saja tadi semua ilmuku buyar, dan di kedua puncak tebing ini datang musuh menyerang. Tentu karena ulahmu, Mulana!"

"Memang benar, Kulana. Sekarang, lebih baik engkau mengakhiri petualanganmu yang jahat ini dan marilah kita berdua pergi, kembali ke selatan. Marilah, Kulana, aku saudara kembarmu, aku mengingatkanmu, sebelum terlambat..."

"Engkaulah yang terlambat, Mulana, karena sekarang aku sudah pasti akan membunuhmu dengan pedangku ini!" setelah berkata demikian, Kulana menerjang dengan pedangnya, menusuk dengan gerakan kilat yang amat kuat dan cepat. Mulana melompat ke samping sambil menangkis dengan pedangnya yang berlepotan darah anjing.

"Tringgg .... trang-cringgg....!" Kembali nampak bunga api berpijar-pijar menyilaukan mata dan kedua orang ini sudah saling terjang dengan hebatnya. Melihat ini, Ciang Su Kiat tertegun. Munculnya Mulana tadi membuat dia bingung. Dia tidak mengenal kedua orang itu, akan tetapi dari percakapan mereka, walaupun dilakukan dalam bahasa Birma yang hanya dimengerti sedikit, dia dapat menduga bahwa mereka adalah dua orang saudara kembar yang kini saling bermusuhan. Dan melihat betapa orang pertama yang kini diketahuinya bernama Kulana membantu pemberontak, tentulah orang kedua yang bernama Mulana itu membantu pasukan pemerintah. Akan tetapi, dia masih merasa ragu untuk turun tangan membantu. Apalagi melihat betapa mereka adalah dua orang saudara kembar yang demikian mirip, sukar membedakan antara mereka kecuali warna jubah mereka, Su Kiat merasa tidak enak dan tidak tega untuk. mencampuri urusan mereka. Maka, dia pun hanya mendekati sumbu dan menjaga agar benda itu tidak diganggu orang.

Sementara itu perkelahian antara Hui Lian dan Min-san Mo-ko kini mendekati akhirnya. Min-san Mo-ko mempertahankan diri mati-matian, namun makin lama dia semakin terdesak oleh wanita sakti itu sehingga dia hanya mampu menangkis dan mengelak saja, tanpa mampu membalas serangan Hui Lian yang semakin mendesak keras.

"Haiiii! Rebah kamuuu.....!!" Tiba-tiba Min-san Mo-ko berteriak lantang dan mengisi suara itu dengan seluruh kekuatan sihirnya. Hal ini merupakan serangan yang mendadak bagi Hui Lian. Ia terkejut dan tergetar, kedua kakinya lemas dan hampir ia terpelanting. Kesempatan ini dipergunakan oleh Min-san Mo-ko untuk menerjang dengan pedangnya. Dalam keadaan terhuyung itu, Hui Lian menangkis, akan tetapi hal ini membuat ia bahkan terguling jatuh. Dengan girang Min-san Mo-ko menubruk, akan tetapi pada saat itu, sebuah batu sebesar telur ayam meluncur dan mengenai hidungnya.

"Dukkk! Aduuhhhh....!" Min-san Mo-ko memegangi hidungnya dengan tangan kiri dan tangan itu berlepotan darah. Hidungnya pecah dan darah bercucuran deras. Saat itu, Hui Lian yang tadinya terjatuh, sudah meloncat dengan meminjam tanah sebagai penahan loncatan kaki dan sebelum Min-san Mo-ko sempat mengelak atau menangkis karena dia sibuk memeriksa hidungnya, pedang Kiok-hwa-kiam telah menghilang ke dalam dadanya dari bawah, menembus jantung! Dia terbelalak heran, seolah tidak percaya bahwa dia akan menjadi korban penusukan itu. Hui Lian menarik kembali pedangnya sambil menendang agar tidak sampai terkena percikan darah. Tubuh Min-san Mo-ko yang sudah tidak berdaya itu terlempar dan kebetulan jatuh menggelinding bagian yang menurun sehingga tubuh itu terus menggelinding turun dan terjatuh dari tepi tebing yang curam!

Hui Lian segera melompat ke dekat suaminya, menyentuh lengan suaminya, "Terima kasih...." bisiknya. Ia tahu bahwa tadi, dalam keadaan terdesak karena lawan menggunakan sihir, walaupun belum tentu ia akan celaka, suaminya telah membantunya dengan lontaran batu yang membikin remuk hidung Min-san Mo-ko.

"Sshhh....." Su Kiat berbisik dan menunjuk ke depan. Hui Lian memandang dan ia pun terheran-heran melihat kedua orang kembar itu saling serang dengan hebatnya. Ia segera tahu bahwa kedua orang yang sedang bertempur itu memiliki ilmu pedang aneh dan kepandaian yang tinggi.

"Siapa... siapa mereka....?" Bisiknya sambil memegang tangan suaminya.

"Saudara kembar, yang jubah putih membantu pemberontak, yang jubah kuning membantu pemerintah." kata Su Kiat.

Tiba-tiba terdengar suara melengking tinggi dan benturan pedang yang hebat sekali, membuat Kulana dan Mulana masing-masing terdorong mundur. Kulana mengangkat pedangnya, berkemak-kemik dan kembali memekik. Nampak asap hitam bergulung-gulung di atas tebing itu. Segera segala sesuatu menjadi gelap. Suami isteri pendekar itu terkejut sekali. Mereka mengerahkan sin-kang, namun tetap saja tempat itu menjadi gelap.

"Kita jaga sumbu ini, kau di kanan aku di kiri...." bisik Su Kiat. "Siapkan pedangmu dan setiap kali mendengar gerakan mendekatimu, serang!" Suami isteri itu lalu berdiri dengan sikap waspada di kanan kiri sumbu yang harus mereka jaga.

"Heii, kedua orang gagah di sana...!" tiba-tiba terdengar suara Mulana dari asap hitam, "Hati-hati berjaga di situ, jangan perkenankan iblis itu mendekati sumbu itu. Aku... aku... tak berdaya, darah di pedangku telah bersih...."

Ternyata dalam perkelahian tadi, berkali-kali pedang di tangan Mulana beradu dengan pedang Kulana sehingga darah anjing yang berlepotan di situ memercik lepas dan kini pedang itu telah bersih. Tanpa adanya darah anjing, kini Mulana tidak berdaya untuk menolak dan membuyarkan pengaruh ilmu hitam yang dipergunakan Kulana. Menyusul suara Mulana ini, terdengar suara ketawa yang menyeramkan, suara ketawa Kulana dan suara itu menunjukkan bahwa orangnya yang tertawa mempunyai gejala kelainan jiwa alias gila!

Tiba-tiba terdengar gerakan pedang dan Hui Lian cepat menangkis dengan pedangnya ke arah suara itu.

"Cringgg....!!" Bunga api berpijar ketika pedangnya berhasil menangkis pedang yang tadi dipergunakan Kulana untuk menyerangnya di dalam kegelapan yang tidak wajar itu. Beberapa kali Kulana mencoba untuk menyerang lagi, namun selalu dapat ditangkis oleh Hui Lian, bahkan ada sambaran tangan yang amat ampuh dari Su Kiat menyerangnya. Biarpun suami isteri itu tidak dapat melihat lawan dalam kegelapan itu, namun pendengaran mereka amat peka sehingga suami isteri yang memiliki ilmu kepandaian yang sudah tinggi tingkatnya itu seolah-olah dapat melihatnya. Menghadapi suami isteri yang kini bergabung menjaga sumbu itu, Kulana menjadi sibuk dan tidak berdaya. Dia tahu bahwa biarpun dalam kegelapan, sukar untuk menghalau suami isteri itu meninggalkan sumbu bahan peledak, apalagi mengalahkan mereka! Dia menjadi marah dan penasaran sekali.

"Jahanam Mulana, pengkhianat saudara sendiri! Engkaulah biang keladinya sehingga usahaku gagal!" bentaknya dan disambut oleh Mulana dengan suara ketawa cerah.

"Ha-ha-ha, Kulana! Ingatlah bahwa semua usaha jahat selalu akan menimpa diri sendiri, seperti mengalirnya air ke tempat rendah."

"Jahanam, mampuslah kau lebih dulu sebelum aku meledakkan tebing ini!" Kulana sudah menyerang dengan gemas sekali.

"Trang-trang-trang....!" Tiga kali Mulana berhasil menangkis serangan pedang saudara kembarnya yang bersembunyi di dalam kegelapan itu. Mulana juga memiliki ilmu kepandaian tinggi maka seperti kedua orang suami isteri itu, maka dia pun memiliki panca indera yang amat peka. Biarpun dia tidak dapat melihat dengan jelas gerakan Kulana yang bersembunyi di dalam kegelapan asap hitam, namun Mulana dapat menangkis serangan bertubi yang dilancarkan saudara kandungnya. Betapapun juga, karena kekuatan sihir yang dipergunakan Kulana semakin kuat, bukan hanya menimbulkan kegelapan akan tetapi juga mendatangkan perasaan ngeri dan seram, apalagi ketika terdengar suara aneh-aneh, bukan suara manusia melainkan suara yang lebih mirip suara setan dan iblis dari neraka. Mulana mulai menjadi sibuk dan kacau permainan pedangnya yang dipergunakan melindungi tubuhnya. Dia terdesak hebat dan di antara suara ketawa yang menyeramkan dari mulut Kulana, Mulana kini terhimpit dan hanya dapat menangkis dan mengelak dengan susah payah.

"Desss...!" Sebuah tendangan yang mengikuti bacokan pedang mengenai lutut Mulana, membuat dia terpelanting.

"Ha-ha-ha, Mulana, bersiaplah untuk mampus....!" Kulana tertawa bergelak dan siap untuk menubruk saudara kembarnya yang sudah jatuh terlentang dan takkan mampu menyelamatkan diri lagi itu. Akan tetapi tiba-tiba suara ketawanya terhenti karena mendadak saja semua asap hitam lenyap dan cuaca menjadi terang lagi, cuaca dari matahari pagi yang mulai muncul di ufuk timur. Kulana marah dan mengira bahwa Mulana yang telah memunahkan kekuatan sihirnya, maka dia menubruk ke depan dan menusukkan pedangnya ke arah dada Mulana yang masih rebah terlentang.

"Trangggg....!!" Pedang itu tertangkis dan Kulana meloncat ke belakang dengan muka berubah pucat karena tangkisan pada pedangnya tadi membuat dia merasa telapak tangannya seperti akan pecah-pecah kulitnya. Panas dan perih sekali! Dia mengangkat muka memandang dan ternyata yang berdiri di depannya hanyalah seorang pemuda yang usianya baru dua puluh tahun, wajahnya cerah, matanya mencorong dan pemuda tampan yang berpakaian biru muda dengan garis pinggir kuning ini tersenyum-senyum dengan tenang. Dia tidak mengenal Hay Hay, karena ketika pemuda ini diterima oleh Lam-hai Giam-lo, dia tidak berada di sana dan sebelum Kulana datang ke sarang pemberontak untuk mengatur gerakan pasukan pemberontak, Hay Hay sudah pergi meninggalkan sarang itu karena dia penasaran dituduh menggauli Pek Eng.

Seperti kita ketahui, Hay Hay yang tadinya membayangi Han Lojin yang membuat peta daerah pemberontak. Setelah melihat Han Lojin menghadap Menteri Cang yang memimpin pasukan pemerintah, Hay Hay tidak lagi mencurigai Han Lojin dan dapat menduga bahwa tentu Han Lojin kini menjadi mata-mata pemerintah yang sengaja datang ke sarang pemberontak untuk melakukan penyelidikan. Untuk masuk ke sarang pemberontak mencari Ki Liong, sungguh merupakan perbuatan berbahaya dan nekat. Maka, dia lalu membayangi pasukan pemerintah itu dan hendak membantunya di samping niatnya untuk menemui Ki Liong dan menyelidiki siapa para pengrusak Pek Eng dan Ling Ling itu.

Melihat jalannya pertempuran, Hay Hay tidak merasa khawatir karena yakin bahwa pasukan pemerintah pasti akan menang. Maka, dia lalu membantu sana-sini dan akhirnya dia naik ke tebing karena melihat ada perkelahian di sana. Dia melihat betapa dua orang laki-laki yang berpakaian pendeta saling serang, akan tetapi yang seorang mempergunakan ilmu hitam menciptakan asap hitam bergulung-gulung. Dia melihat pula Ciang Su Kiat dan Kok Hui Lian berdiri dengan tegang saling membelakangi, agaknya juga terpengaruh oleh ilmu hitam itu. Maka, Hay Hay lalu mengerahkan ilmu sihirnya dan dalam sekejap mata saja dia mampu mengusir semua asap hitam dan memunahkan kekuatan sihir Kulana. Ketika dia melihat betapa orang yang melakukan ilmu hitam itu hampir membunuh pendeta lain yang mempunyai wajah dan tubuh yang mirip sekali, Hay Hay cepat meloncat ke depan dan menggunakan sulingnya untuk menangkis, sambil mengerahkan tenaga saktinya.

"Keparat! Siapa engkau?" Kulana membentak, dan dari sinar mata mencorong pemuda itu, dia dapat menduga bahwa pemuda inilah kiranya yang tadi telah memunahkan kekuatan sihirnya.

"Namaku Hay Hay, dan engkau ini siapakah? Kenapa main-main dengan sulap dan seperti menghibur anak-anak saja?"

"Jahanam muda! Engkau belum mengenal Kulana, ya? Rasakan sekarang pembalasanku!" .

"Amboi...! Inikah yang bernama Kulana, yang dijagokan oleh Lam-hai Giam-lo? Hemm, ingin aku melihat pembalasan apa yang kaumaksudkan, karena aku tidak berhutang apa pun padamu!" Hay Hay mengejek.

Kulana sudah berkemak-kemik membaca mantram dan pedangnya diacungkan ke atas. Tiba-tiba saja nampak api berkobar keluar dari pedang itu dan kobaran api itu bagaikan hidup saja, melepaskan diri dari ujung pedang dan melayang ke arah Hay Hay, seolah-olah mengancam dan hendak membakar pemuda itu.

"Hay Hay, awas....!" Hui Lian berseru khawatir, bahkan hendak meloncat ke depan, akan tetapi lengannya dipegang suaminya.

"Sssttt, tenanglah, kurasa dia mampu mengatasi ilmu hitam itu!" kata suaminya yang sudah menduga bahwa tentu pemuda aneh itu yang tadi telah membuyarkan ilmu hitam yang mendatangkan asap hitam. Mendengar ucapan suaminya, Hui Lian teringat akan kehebatan Hay Hay, maka ia pun diam saja, apalagi mengingat bahwa ia dan suaminya harus menjaga sumbu bahan peledak itu mati-matian sehingga ia tidak boleh meninggalkan tempat itu. Dengan jantung berdebar tegang ia memandang ke arah Hay Hay yang menghadapi gumpalan api berkobar. Juga Mulana memandang dengan mata terbelalak. Dia telah bangkit berdiri dan kini menjadi penonton pertandingan aneh ini, bersama suami isteri pendekar itu.

Menghadapi serangan api berkobar itu, Hay Hay bersikap tenang. Dia maklum bahwa lawannya lihai sekali, memiliki kekuatan sihir yang tak boleh dipandang ringan, apalagi disertai ilmu hitam yang menjadi ilmu setan. Namun, dia adalah murid Pek Mau San-jin yang merupakan ahli sihir yang jarang ditemui tandingnya, bahkan kemudian dia digembleng oleh Song Lojin sehingga ilmu silat dan ilmu sihirnya menjadi semakin kuat. Dari Pek Mau San-jin, dia telah banyak mempelajari tentang ilmu hitam, bukan belajar cara penggunaannya, melainkan cara penanggulangannya, cara melumpuhkan dan mengatasinya. Kini, melihat datangnya api berkobar, bukan sekedar khayal seperti juga nampak oleh tiga orang berilmu tinggi yang menjadi saksi, dia segera mengacungkan sulingnya.

"Kulana, api akan kehilangan kekuatannya jika bertemu dengan air, bukan? Nah, mari kita lihat apimu padam oleh airku!" Dan sungguh luar biasa, dari ujung suling itu kini memancur air seolah-olah suling itu menjadi pipa yang dialiri air. Pancaran air itu jatuh menimpa kobaran api dan terdengar suara "cesssss....." disusul padamnya api yang tersiram air. Begitu api padam, air yang memancar keluar dari suling pun terhenti.

Wajah Kulana menjadi merah padam. "Keparat, engkau suka air, ya? Nah, terimalah air ini secukupnya!" Dan ketika dia mengacungkan pedangnya ke atas, dari atas kini turun air yang banyak sekali, seperti dituangkan dari atas, seolah-olah di atas terdapat sungai yang kini membanjir ke bawah!

Hay Hay kembali mengacungkan sulingnya ke atas, wajahnya agak pucat dan matanya mengeluarkan sinar mencorong. "Betapa pun banyaknya, air dapat dibendung dan diarahkan alirannya. Kulana!" Terdengar suara Hay Hay tenang, dan tiba-tiba saja dari ujung sulingnya itu tercipta sebuah bendungan yang menerima air yang tumpah dari atas, dan karena bendungan itu miring ke depan, maka air yang ditampungnya mengalir turun dan menimpa ke arah Kulana sendiri!

Terpaksa Kulana menarik kembali ilmu sihirnya dan begitu air itu lenyap, bendungan itu pun lenyap. Kini Kulana menjadi marah bukan main, sepasang matanya jalang dan merah, mulutnya mengeluarkan buih, cuping hidungnya kembang kempis dan lubang hidungnya mengeluarkan uap putih, Kegilaan nampak pada wajahnya yang tertarik-tarik aneh itu.

"Hay Hay, hari ini aku Kulana akan mengadu nyawa denganmu! Bersiaplah untuk mampus di ujung pedangku!" Berkata demikian, Kulana melontarkan pedangnya ke atas dan... pedang itu, seperti bernyawa, tiba-tiba meluncur turun ke arah Hay Hay, mengeluarkan suara mencicit mengerikan, seolah-olah dibawa oleh tangan iblis yang tidak nampak untuk menyerang pemuda itu.

Hay Hay mengenal ilmu ini, ilmu sihir pula, akan tetapi dia tahu bahwa pedang itu bergerak menurut kehendak hati pemiliknya, seolah-olah Kulana sendiri yang memainkannya dengan ilmu pedangnya. Dia pun segera mengerahkan tenaga batinnya dan melontarkan sulingnya ke atas.

"Sulingku akan menyambut pedangmu seperti aku akan menyambut semua ilmumu, Kulana!" katanya dengan tenang namun penuh wibawa. Suling itu meluncur ke atas, lalu membalik, seperti seekor naga memandang ke arah lawan, kemudian meluncur ke depan menyambut pedang itu. Dan terjadilah "perkelahian" yang amat menarik, aneh, hebat dan seru antara pedang dan suling. Pedang masih mengeluarkan suara mencicit, suling mengeluarkan suara mengaung-ngaung, dan setiap kali pedang dan suling bertemu, terdengar suara nyaring dibarengi muncratnya bunga api! Tentu saja Hui Lian dan Su Kiat yang menjadi penonton, memandang dengan takjub dan kagum, sedangkan Mulana juga memandang dengan kagum. Alisnya berkerut karena dia tahu bahwa kini saudara kembarnya bertemu dengan seorang lawan yang amat tangguh, baik dalam ilmu silat maupun ilmu sihir.

Hay Hay juga tidak berani main-main. Pemuda ini harus mengaku di dalam hatinya bahwa selama dia berkelana, belum pernah dia bertemu tanding yang begini tangguh, baik ilmu silat maupun ilmu sihirnya. Selama ini, baru dua kali dia bertemu tanding yang kiranya setingkat dengannya, yaitu Sim Ki Liong dan Han Lojin. Biarpun dia sendiri belum pernah bentrok secara sungguh-sungguh dengan Ki Liong, namun dia pernah melihat Sim Ki Liong melawan jagoan-jagoan Bu-tong-pai itu dan dia tahu bahwa pemuda itu sungguh lihai dan merupakan lawan berat. Demikian pula dengan Han Lojin. Walaupun dia hanya baru melakukan pibu (adu ilmu silat) dengan Han Lojin dan bukan berkelahi sungguh-sungguh, namun dia tahu bahwa orang tua itu pun merupakan lawan yang tangguh sekali. Kini, dia bertemu Kulana yang bukan hanya hebat ilmu silatnya, namun juga berbahaya sekali ilmu sihirnya.

Pertandingan antara pedang dan suling itu berlangsung semakin seru dan kini nampaklah betapa wajah Kulana penuh dengan keringat, juga dari kepalanya yang tak tertutup dan rambutnya terurai itu keluar uap putih yang tebal, dia berdiri dengan kedua tangan diangkat ke atas, kedua lengannya itu kini gemetar, kedua kakinya menggigil. Sebaliknya, Hay Hay berdiri dengan tenang, kedua tangannya juga diangkat ke atas dan mulutnya tersenyum, namun sepasang matanya mencorong memandang ke arah pertempuran antara pedang dan sulingnya itu. Ternyata di dalam adu ilmu senjata ini, Hay Hay lebih unggul. Pemuda ini pernah digembleng dengan tekun oleh tiga orang sakti, tiga orang di antara Delapan Dewa, maka tentu saja dia telah memiliki ilmu kepandaian tinggi, yang telah dimatangkan pula oleh gemblengan Song Lojin.

Kulana yang keras kepala itu merasa penasaran, tidak mau percaya bahwa dia akan dikalahkan oleh seorang pemuda yang tidak ternama! Dia tidak menerima keadaan, tidak menyadari akan kelemahannya, dan dengan nekat dia melawan terus, bahkan mengerahkan seluruh tenaganya. Akan tetapi, kini jelas nampak oleh tiga orang penonton itu betapa pedang makin lemah gerakannya, sedangkan suling itu makin mengganas. Suara suling makin nyaring mengaung-ngaung, sedangkan suara pedang yang mencicit garang tadi kini berubah mengecil, seperti bunyi cicit tikus yang ketakutan. Suling mendesak terus dan akhirnya, dengan hantaman yang amat kuat, pedang itu dibuat terpental oleh suling dan pedang itu meluncur turun ke arah Kulana!

"Kulana, awas....!" Mulana memperingatkan dan meloncat ke depan. Namun terlambat. Kulana yang masih juga keras kepala itu masih berusaha untuk mengerahkan seluruh semangat dan tenaganya untuk mengirim kembali pedangnya yang seperti melarikan diri itu. Betapapun juga, dia tidak kuat dan pedangnya tetap meluncur turun dan tanpa dapat dielakkannya lagi, pedangnya itu menancap di dadanya sendiri! Kulana terkejut, mengeluh seperti orang tidak percaya. Dengan kedua tangannya, dia mencabut pedang yang menancap lebih setengahnya ke dalam dadanya itu dan dia menunduk, terbelalak memandang darahnya yang mengucur dari dada, membasahi jubahnya yang putih, membuat jubah itu menjadi merah di bagian dada, kemudian dia pun roboh terjengkang.

"Kulana....!" Mulana menubruk saudara kembarnya, berlutut dan berusaha merangkulnya. Bagaimanapun juga, mereka adalah saudara kembar dan ada hubungan dan ikatan batin yang amat dekat antara mereka. Melihat kini Kulana terkapar dengan mandi darah, Mulana merasa seolah-olah dadanya sendiri yang terluka.

"Mulana... kau... kau... biang keladinya....!" Tiba-tiba, dengan sisa tenaganya yang masih ada, Kulana menusukkan pedangnya itu ke dada saudara kembar yang merangkulnya. Pedang menancap di dada Mulana sampai setengahnya. Mulana terbelalak, namun dia tidak melepaskan rangkulannya, bahkan dia tersenyum, mengangguk-angguk.

"Baiklah, kutemani engkau... pulang... pulang..., Kulana..." Dan dia pun tergelimpang, jatuh di samping saudaranya, kedua lengannya masih merangkul Kulana yang juga menghembuskan napas di saat itu.

Hay Hay berdiri dengan muka pucat. Dia menghapus keringatnya dan memandang dengan mata sayu. Hatinya merasa sedih dan terharu. Mengapa manusia harus saling bunuh? Kalau di dunia ini ada kebaikan, mengapa manusia memilih kejahatan untuk mengisi hidupnya? Kalau ada kasih sayang, mengapa manusia saling membenci?

"Hay Hay.....!" Panggilan Hui Lian ini menyadarkannya. Wanita yang pernah hampir menaklukkan hatinya itu telah berdiri di depannya dan memegang kedua pundaknya, mengguncangnya karena Hui Lian tadi melihat Hay Hay berdiri dengan muka pucat seperti patung.

"Enci... Enci Hui Lian...." Dia berkata dan cepat melangkah mundur, melepaskan diri dengan lembut dari rangkulan Hui Lian ketika dia melihat pendekar lengan kiri buntung, suami wanita itu berdiri di situ.

"Lihat, di bawah masih terjadi pertempuran, sebaiknya kita membantu di sana." kata Su Kiat yang dapat merasakan kecanggungan yang diperlihatkan Hay Hay. Diam-diam Su Kiat merasa kagum sekali kepada Hay Hay. Pemuda itu memang hebat, dan memang patut seorang pemuda seperti itu mendapatkan kasih sayang Hui Lian. Seorang pemuda yang tampan, memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, sikapnya sederhana dan gembira, namun harus diakuinya bahwa Hay Hay memiliki watak yang agak mata keranjang terhadap wanita.

"Tapi, kita harus menjaga sumbu itu..." kata Hui Lian yang sudah dapat memulihkan ketenangannya setelah tadi diliputi keharuan dan kebanggaan terhadap Hay Hay.

"Kita dapat menarik sumbu ini sampai putus di bawah sana, sehingga tidak akan dapat disulut orang." kata Su Kiat dan dia lalu memegang ujung sumbu itu dan menariknya. Sumbu itu panjang menuju ke bawah, ke tempat bahan peledak ditanam. Sekali tarik sambil mengerahkan tenaga, sumbu itu pun putus di sekitar timbunan bahan peledak.

"Nah, sekarang kita boleh meninggalkan tempat ini dengan aman." kata Su Kiat dan dia pun berlari menuruni bukit itu, diikuti oleh Hui Lian dan Hay Hay. Pertempuran di bawah memang masih terjadi dengan serunya, dan Hay Hay ingin segera mencari Ki Liong untuk diminta pertanggunganjawabnya tentang diri Pek Eng.

Sementara itu, di bagian lain, di bawah dekat jalan terusan di mana terjadi pula pertempuran, dan kita kembali melihat perkelahian yang amat seru antara Pek Han Siong dan Bi Lian yang menghadapi dua pasang suami isteri iblis yang lihai. Han Siong dikeroyok oleh Lam-hai Siang-mo, yaitu suami isteri Siang-koan Leng dan Ma Kim Li yang keduanya merupakan tokoh sesat yang amat lihai dan kejam. Namun, sekali ini, mereka berhadapan dengan seorang pemuda yang amat lihai. Han Siong menghadapi dua orang lawan yang berpedang itu dengan tangan kosong saja karena dia tadi telah menyerahkan pedang Kwan-im-kiam kepada Bi Lian. Biarpun bertangan kosong, dia sama sekali tidak terdesak, bahkan tamparan-tamparannya yang mengandung tenaga sin-kang hebat sekali itu membuat Lam-hai Siang-mo kewalahan dan beberapa kali nampak mereka itu terhuyung seperti dilanda angin badai yang kuat.

Keadaan suami isteri dari Guha Iblis Pantai Selatan, yaitu Kwee Siong dan Tiong Ci Ki, juga sama saja. Mereka berdua menggunakan pedang menghadapi Bi Lian yang telah menerima pedang dari Han Siong. Ketika mereka terjun ke dalam pertempuran dan dihadapi dua pasang suami isteri. Han Siong merasa khawatir akan keselamatan Bi Lian, maka dia lalu mengambil pedang Kwan-im-kiam yang diterima dari kedua orang gurunya, melemparkannya kepada Bi Lian sambil berkata. "Sumoi, kaupergunakan pedang ini!"

Bi Lian menyambut pedang itu dan ketika mencabutnya, ia merasa gembira sekali melihat bahwa senjata itu merupakan sebuah pedang pusaka yang amat indah, ringan dan juga ampuh, mengeluarkan sinar berkilauan. Dengan pedang Kwan-im-kiam di tangan, dengan tenang dan tanpa harus mengeluarkan terlalu banyak tenaga Bi Lian menghadapi pengeroyokan suami isteri itu. Akan tetapi, gadis ini mengalami suatu keanehan ketika ia mainkan pedang itu. Pedang di tangannya itu merupakan senjata yang baik sekali untuk melindungi diri, bahkan setiap kali dipergunakan untuk mempertahankan diri pedang itu seperti mengeluarkan hawa yang amat kuat. Akan tetapi setiap kali dipakai untuk menyerang, pedang itu terasa berat dan lamban gerakannya, seolah-olah pedang itu tidak suka dipakai untuk menyerang manusia!

Bi Lian merupakan murid terkasih dari dua orang datuk sesat, maka tentu saja ia digembleng dengan ilmu yang jahat dan kejam oleh Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi. Hanya karena di dalam darahnya mengalir darah pendekar maka ia tidak suka, bahkan selalu menentang perbuatan jahat dan kejam.

Ketika melihat betapa dua orang suami lsteri itu tidak berdaya menghadapi gulungan sinar pedang yang diputarnya, Bi Lian lalu mulai melakukan serangan dengan tangan kirinya.

"Tranggg...!" Bi Lian mengerahkan sin-kangnya ketika menangkis pedang Tong Ci Ki yang menusuk dadanya. Tangkisan itu sedemikian kuatnya sehingga Tong Ci Ki mengeluarkan suara jeritan halus, dan pedangnya hampir terlepas dari pegangannya, tubuhnya terhuyung. Ketika terhuyung ini, tangan kirinya bergerak dan sinar halus hitam menyambar ke arah Bi Lian! Gadis ini maklum bahwa lawan menggunakan senjata rahasia. Jarum-jarum beracun memang menjadi keistimewaa Tong Ci Ki sehingga wanita ini mendapat julukan Si Jarum sakti. Akan tetapi, sebagai murid dua orang datuk sesat, tentu saja Bi Lian mengenal baik segala macam serangan gelap dan curang. Tubuhnya sudah melayang ke atas dan dengan kemarahan meluap, tangan kirinya menyambar ke arah kepala Tong Ci Ki. Wanita ini terkejut, mengelak mundur, akan tetapi tangan kiri Bi Lian itu dapat mulur dan mengejar terus. Hal ini tentu saja sama sekali tidak pernah disangka oleh Tong Ci Ki sehingga ia terkejut dan tanpa dapat dihindarkannya lagi, tangan kiri Bi Lian yang kini mengeluarkan uap putih itu telah mengenai pelipisnya.

"Plakk!" Tubuh Tong Ci Ki terpelanting dan wanita itu mengeluarkan jerit kecil, lalu terkulai lemas dan tewas seketika! Melihat isterinya roboh, Kwee Siong marah bukan main. Sambil mengeluarkan gerengan seperti seekor harimau terluka, dia menyerang dengan pedangnya, membarengi dengan hantaman tangan kirinya. Serangan ini ganas sekali karena tangan kiri Kwee Siong tidak kalah ampuh dibanding pedang di tangan kanannya. Dia berjuluk Si Tangan Maut karena kehebatan tangan kirinya itu. Namun, sambil membalik, Bi Lian menghadapi serangan dahsyat itu dengan pekik melengking yang amat hebat. Itulah ilmu Ho-kang, gerengan atau pekik melengking yang mengandung tenaga khi-kang hebat, yang dipelajari dari Tung Hek Kwi. Mendengar pekik yang hebat ini, seketika Kwee Siong menjadi seperti lumpuh, kaki kanannya seperti kaku tak dapat digerakkan. Sebelum dia sempat memulihkan keadaannya, karena jantungnya tergetar hebat oleh pekik itu, tangan kiri Bi Lian sudah menampar.

"Takkk...!" Jari-jari tangan mungil dari tangan Bi Lian menyambar ke arah tengkuk dan robohlah Kwee Siong, tak dapat bangkit kembali karena nyawanya sudah menyusul nyawa isterinya.

"Sumoi, kenapa engkau tidak mempergunakan pedang itu? Pedang itu kuterima dari Subo...."

Bi Lian membalik menghadapi suhengnya, dan ia melihat bahwa Han Siong telah pula merobohkan Lam-hai Siang-mo. Tidak sukar bagi Han Siong untuk merobohkan dua orang pengeroyoknya itu karena tingkat kepandaian mereka jauh di bawah tingkatnya. Dia merobohkan Siangkoan Leng dengan cara menyentil pedang di tangan Siangkoan Leng sehingga membalik dan menusuk tenggorokan pemegangnya sendiri, sedangkan Ma Kim Li dirobohkannya dengan totokan maut yang mengenai pangkal leher kiri, Han Siong sempat menyaksikan ketika Bi Lian merobohkan dua orang suami isteri itu maka dia merasa heran dan bertanya mengapa gadis itu tidak mempergunakan pedang untuk merobohkan mereka.

Bi Lian tersenyum, "Sayang kalau pedang ini dikotori dengan darah mereka, Suheng. Nih, kukembalikan pedangmu dan terima kasih." Han Siong menerima kembali pedang itu, pedang yang menjadi tanda ikatan jodoh antara dia dan gadis itu.

"Heii, lihat siapa di sana itu....!" Tiba-tiba Bi Lian menunjuk ke depan. Han Siong menengok dan melihat seorang gadis mengamuk di antara pasukan pemberontak. Seorang gadis yang masih muda sekali, antara tujuh belas sampai delapan belas tahun, tinggi ramping dengan wajah manis. Gerakan gadis itu lincah dan Han Siong melihat bahwa tingkat kepandaian silat gadis itu biasa saja, namun sudah cukup tangguh untuk merobohkan anggauta-anggauta pasukan pemberontak. Gadis yang tadinya bertangan kosong itu dapat merampas sebuah golok dan kini ia mengamuk dengan golok rampasan itu.

"Siapakah ia?" Han Siong bertanya, tidak begitu tertarik, bertanya hanya karena Bi Lian menunjukkan gadis itu kepadanya.

"Ia gadis yang kaucari-cari, Pek Eng adikmu, Suheng."

"Ahhh....!" Mendengar ini, Han Siong segera melompat dan dengan tendangan-tendangannya, dia merobohkan beberapa orang anggauta pemberontak yang mengeroyok Pek Eng, diikuti oleh Bi Lian yang tersenyum melihat ulah suhengnya itu.

"Enci Bi Lian....!" Pek Eng berseru girang ketika melihat Bi Lian dan ia menoleh kepada Han Siong, mengangguk.

"Terima kasih atas bantuan kalian."

"Eng-moi, tahukah engkau siapa dia ini? Dia adalah Kakakmu yang bernama Pek Han Siong!"

Wajah Pek Eng berubah, matanya terbelalak dan ia memandang kepada Han Siong yang sebaliknya juga memandang adiknya dengan mata mengandung keharuan.

" Adik Eng...!"

"Kakak Han Siong..., Kakakku...!" Pek Eng lari maju dan menubruk kakaknya yang merangkulnya dan tiba-tiba Pek Eng menangis tersedu-sedu di atas dada kakaknya yang sudah banyak didengarnya akan tetapi yang selamanya belum pernah ditemuinya itu. Bahkan ketika ia terlahir, kakaknya sudah tidak berada di rumah orang tuanya. Melihat pertemuan yang mengharukan itu, Bi Lian sengaja menjauhkan diri dan melanjutkan amukannya di antara pasukan pemberontak karena pertempuran masih berlangsung dengan amat serunya.

Sementara itu, diam-diam Han Siong terkejut dan agak kecewa. Kenapa adik kandungnya ini ternyata seorang gadis yang cengeng? Memang pertemuan di antara mereka itu menyentuh perasaan dan mengharukan, akan tetapi bukankah mereka berada di tengah pertempuran dan tadi adiknya ini nampak demikian gagah menghadapi pengeroyokan para pemberontak? Kenapa tiba-tiba menjadi begini cengeng setelah bertemu dengan dia? Akan tetapi, dia pun merasa khawatir ketika memperhatikan adik kandungnya itu. Bukankah menurut keterangan ayah ibunya, Pek Eng merupakan seorang gadis yang cerdik, berani dan tabah ? Dan kini tangisnya begitu menyedihkan, seolah-olah ada sesuatu yang mengganggu perasaan gadis ini, maka dia merangkulnya lebih erat untuk menghiburnya.

"Tenangkanlah hatimu, Adikku. Kenapa engkau menangis begini sedih? Bukankah pertemuan antara kita ini amat menggembirakan? Tahukah engkau betapa aku sudah mencarimu sampai beberapa lamanya? Aku mendengar tentang engkau dari Sumoi Bi Lian. Kenapa engkau seperti orang berduka, Adikku?"

Mendengar kata-kata itu, tangis Pek Eng makin menjadi-jadi! Ia kini sesenggukan dan Han Siong merasa betapa dadanya basah karena air mata adiknya itu menembus bajunya. Ah, tentu ada sesuatu yang menghancurkan hati adiknya, pikir Han Siong khawatir.

"Katakanlah saja kepada Kakakmu ini, Adikku. Apakah yang telah terjadi? Siapakah yang telah membuatmu begini berduka?"

Mendengar pertanyaan itu, Pek Eng mengangkat mukanya memandang kepada wajah kakaknya penuh harap. "Koko, apakah engkau sayang kepadaku? Apakah engkau kasihan kepadaku?"

Hampir saja Han Siong tertawa mendengar ini. Tiba-tiba dia menggerakkan kaki kirinya dan seorang perajurit pemberontak terlempar jauh. Perajurit itu tadi agaknya hendak mempergunakan kesempatan selagi kakak beradik itu lengah untuk menyerang dengan goloknya.

"Tentu saja aku sayang dan kasihan kepadamu, Adikku."

"Dan engkau mau memaafkan kalau aku membuat kesalahan?"

"Tentu, tentu saja...."

"Koko, aku... aku telah dicemarkan orang....."

Han Siong terkejut sekali, bagaikan disambar halilintar. Dia memegang pundak adiknya dengan kedua tangannya dan mendorongnya untuk dapat melihat wajah adiknya, lebih jelas. "Kau... telah diperkosa orang?"

Pek Eng menggeleng kepala. " Aku... aku menyerahkan diri dengan sukarela, Koko, aku... aku terlalu lemah dan aku... aku cinta padanya. Akan tetapi dia... dia... ahhh...." Gadis itu menangis lagi.

"Dia mengapa? Dia siapa? Katakanlah, Adikku!" kata Han Siong dengan hati tidak enak.

"Dia... dia mengingkarinya, Koko. Dia tidak mau bertanggung jawab, bahkan dia menyangkal!" Kini Pek Eng tidak menangis lagi, akan tetapi mengepal tinju dengan marah. "Bantulah aku, Koko, untuk menyadarkannya, atau kalau dia tetap menyangkal, untuk membunuhya!"

Han Siong mengerutkan alisnya. "Sungguh aku tidak mengerti, Adikku. Bagaimana mungkin dia mengingkarinya, menyangkal kalau memang benar dia telah melakukannya?"

Dengan singkat Pek Eng lalu menceritakan peristiwa malam itu di dalam pondok taman yang sunyi, betapa pemuda itu telah menggaulinya, akan tetapi kemudian melarikan diri dan menyangkal perbuatan itu.

"Siapa dia?" Han Siong bertanya marah.

"Dia Hay-ko..."

"Hay.....? Maksudmu, Hay Hay yang menjadi penggantiku di keluarga orang tua kita itu?"

"Benar, Koko, dialah orangnya. Temuilah dia, Koko. Hanya ada dua pilihan baginya, mau memperisteriku dengan baik-baik atau dia harus mati di tanganku."

"Di mana dia?"

"Aku tidak tahu, Koko, aku pun sedang mencarinya. Mungkin dia berada pula di dalam medan pertempuran ini."

"Hayo kita cari dia!" kata Han Siong dan mereka pun segera pergi, mencari Hay Hay.

* * *

Bi Lian meninggalkan Han Siong, mulai mencari sendiri musuh-musuhnya, yaitu Lam-hai Giam-lo dan Kulana. Dara ini masih merasa sakit hati terhadap kedua orang itu atas kematian kedua orang gurunya. Dan tak lama kemudian, ia melihat Lam-hai Giam-lo! Kakek ini sedang mengamuk dan di punggungnya terdapat sebuah gendongan kain. Mudah diduga bahwa kakek ini agaknya sudah siap untuk melarikan diri, dan di dalam gendongannya itu terdapat batangan emas yang diterimanya dari Kulana. Para perajurit kerajaan yang melihat kakek ini segera mengepung, namun mereka ini bagaikan sekawanan nyamuk yang menyambar api saja. Lam-hai Giam-lo amat lihai sehingga setiap orang perajurit yang berani mendekat segera roboh oleh tamparan atau tendangannya. Bahkan beberapa orang pendekar anggauta Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai dan Kong-thong-pai roboh pula menjadi korban kelihaian pemimpin pemberontak itu.

Melihat Lam-hai Giam-lo, Bi Lian yang tadinya sudah khawatir kalau-kalau musuh besarnya ini telah melarikan diri, segera menghampiri dengan cepat dan membentak, "Lam-hai Giam-lo, iblis busuk! Bersiaplah untuk menebus nyawa kedua orang guruku!" Setelah mengeluarkan bentakan ini, Bi Lian sudah menerjang maju dan menyerang dengan ganasnya karena gadis ini maklum akan kelihaian lawan maka begitu menyerangnya, ia sudah mengerahkan tenaga sekuatnya. Lam-hai Giam-lo juga mengenal Bi Lian. Dia maklum bahwa sebagai murid paman gurunya, Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi, tentu gadis itu berbahaya sekali, maka dia pun menyambut serangan itu dengan sepenuh tenaganya, menangkis dengan tangan kiri ke arah lengan kanan Bi Lian yang mencengkeram ke arah lambungnya, dan tangan kanannya sudah menampar dari atas mengarah ubun-ubun kepala Bi Lian.

"Ciuuuttt...!" Bi Lian sudah melompat ke samping sehingga hantaman maut itu lewat di samping kepalanya. Bi Lian segera membalas dengan tusukan jari-jari tangan kanannya ke arah dada lawan. Lam-hai Giam-lo tidak berani memandang ringan jari-jari tangan mungil ini karena tangan mungil itu sudah diisi tenaga sin-kang yang membuat tangan itu dapat tajam seperti golok sehingga kalau mengenai sasaran, dapat menembus kekebalan, merobek kulit daging dan mematahkan tulang.

"Dukkk!" Lam-hai Giam-lo menangkis dari samping dan ketika kedua lengan bertemu, tubuh Bi Lian terdorong mundur sedangkan tubuh Lam-hai Giam-lo hanya tergetar saja. Hal ini membuktikan bahwa dalam hal kekuatan tenaga sin-kang, pemimpin pemberontak itu masih lebih kuat dibandingkan adik misan seperguruannya. Terjadilah serang-menyerang yang sengit antara kedua orang ini sedangkan para pendekar lain yang merasa tingkat kepandaian mereka masih belum mampu menandingi Lam-hai Glam-lo dan maklum bahwa kalau mereka maju berarti hanya akan mengantar nyawa, segera menonton dari jarak jauh. Perkelahian antara dua orang itu makin lama semakin seru dan akhirnya Bi Lian mulai terdesak juga.

Bi Lian maklum akan ketangguhan lawan, maka ia mulai melirik ke sana-sini menanti kemunculan Pek Han Siong untuk mengharapkan bantuan pemuda itu. Akan tetapi yang muncul bukan Han Siong, melainkan dua orang yang amat ditakuti Lam-hai Giam-lo. Mereka adalah suami isteri Ciang Su Kiat dan Kok Hui Lian!

"Lam-hai Giam-lo, bersiaplah untuk mampus!" terdengar Hui Lian membentak nyaring dan begitu ia menyerang, nampak sinar terang menyambar ke arah leher Lam-hai Giam-lo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar