Di antara empat belas orang perajurit itu beramai-ramai hendak berebut. Mereka tentu saja tidak berani bertindak lebih sebelum memperoleh ijin komandan mereka, pula mereka tahu bahwa dara ini pernah berurusan langsung dengan Pangeran Ceng Han Houw, maka tentu saja mereka tidak berani mencoba untuk melakukan hal yang berlebihan. Namun, kalau diperbolehkan menangkap, setidaknya mereka memperoleh kesempatan untuk sekedar merangkul, meraba dan mencolek tubuh dara remaja yang sedang mekarnya ini!
Melihat kegairahan anak buahnya, komandan itu tersenyum. "Kalian semua boleh maju dan coba tangkap dia, akan tetapi jangan sampai dia terluka. Ingat, dia itu seorang buronan yang penting dan beliau telah memesan khusus kepadaku agar berusaha menangkapnya tanpa mengganggunya!"
Empat belas orang perajurit itu bersorak dan tiba-tiba mereka itu saling bergerak berlumba untuk lebih dulu meraba tubuh Bi Cu yang memang mulai dewasa seperti buah meranum atau bunga, sedang terbuka kuncupnya. Seorang perajurit tinggi kurus menubruk dari depan. Akan tetapi Bi Cu sudah menggerakkan kakinya.
"Dukkk! Waaahhh!" Orang itu terjengkang karena perutnya kena ditendang ujung sepatu Bi Cu. Orang ke dua dari kiri juga disambar tendangan, tepat mengenai lututnya sehingga orang itu jatuh berlutut.
"Wah, A-piauw, begitu hebatkah engkau tergila-gila kepadanya sampai berlutut?" komandan itu mengejek anak buahnya ini.
Maka terjadilah perkelahian yang ribut dan Bi Cu mengamuk dengan pukulan-pukulan, tamparan dan tendangan-tendangan. Akan tetapi para pengeroyoknya terdiri dari orang-orang yang bertubuh kuat dan karena jumlahnya banyak, dia kewalahan juga. Tiba-tiba, selagi dia menghadapi lawan yang mendesak dari depan, seorang perajurit berhasil menubruk dan menyikapnya dari belakang dan kedua tangan dengan jari-jari yang panjang itu mencengkeram ke arah dadanya! Bi Cu menjerit lirih.
"Heh-heh, lihat, aku berhasil menangkapnya!" seru perajurit itu sambil tertawa-tawa.
"Ngekk!" Tiba-tiba dia meringis dan kedua tangannya yang nakal itu terlepas dari pegangannya karena hidungnya pecah dan berdarah ketika dibantam oleh siku kanan Bi Cu.
"Desss... auuuughh...!" Kini dia terhuyung lalu roboh terjengkang, kedua tangan memegangi bawah pusarnya karena tadi dengan kemarahan meluap-luap Bi Cu telah menyepakkan kakinya ke belakang, seperti seekor kuda betina yang diganggu dari belakang. Tumit sepatu dengan tepat mengenai anggauta tubuh bawah pusar sehingga laki-laki itu kini mengaduh-aduh seperti seekor babi disembelih. Hanya mereka yang pernah merasakannya sajalah yang mampu menggambarkan betapa nyeri, kiut-miut rasanya kalau bagian itu kena tendang!
Bi Cu sudah marah sekali. Kini dia bukan sekedar membela diri, melainkan balas menyerang untuk membunuh! Dia seperti seekor harimau betina yang sudah tersudut dan menjadi buas dan liar! Kedua tangannya menampar dengan pengerahan seluruh tenaga, dan ketika ada seorang perajurit menjerit kesakitan dan sebuah biji matanya copot kena ditusuk jari tangan Bi Cu, kaget dan marahlah komandan pasukan kecil itu.
"Robohkan dia!" bentaknya dan kini para perajurit yang juga marah melihat betapa seorang teman mereka cedera demikian parah, lalu mendesak maju dan mulai menyerang dengan pukulan-pukulan dan tendangan-tendangan, tidak seperti tadi yang hanya sekedar ingin menangkap dan meraba saja! Dan mulailah Bi Cu kewalahan! Beberapa pukulan dan tendangan telah mengenai tubuhnya, membuat dia terhuyung-huyung. Namun dia sama sekali tidak mau menyerah, bahkan mengamuk seperti seekor harimau memukul, mencakar, kalau perlu menggigit!
"Hantam perempuan liar ini! Baru kita ringkus!" bentak lagi komandan yang juga pernah kebagian tendangan kaki Bi Cu yang mengenai betisnya dan menimbulkan kenyerian yang cukup membuat dia semakin marah.
Para perajurit itu, seperti sekumpulan serigala mengeroyok seekor harimau betina, kini menubruk dari empat jurusan, menampar, menjambak dan akhirnya robohlah Bi Cu karena kakinya kena ditangkap dan ditarik. Begitu dia roboh, para perajurit itu bersorak dan mereka berlumba untuk menubruk dan meringkus Bi Cu.
"Siancai...! Aniing-anjing pemerintah lalim menghina rakyat lagi!" Suara ini tiba-tiba saja terdengar, disusul teriakan dua orang perajurit yang terpelanting ke kanan kiri dengan kepala pecah karena ada tongkat butut yang menyambar dan menghantam kepala dua orang itu secara cepat sekali. Tongkat itu berada di tangan seorang kakek tua yang usianya tentu sudah tujuh puluh tahun lebih, berpakaian jubah pendeta berwarna putih kumal dan rambutnya yang sudah putih digelung ke atas, seperti seorang tosu yang baru saja keluar dari tempat pertapaannya.
Melihat robohnya dua orang teman mereka yang tewas dengan kepala pecah itu, semua perajurit terkejut bukan main dan mereka segera mengurung pertapa itu, meninggalkan Bi Cu yang masih rebah. Bi Cu bangkit duduk, mengelus-elus kaki kirinya yang terasa nyeri sekali terkena tendangan keras dari si komandan, dan dengan heran dia memandang kepada kakek yang tak dikenalnya itu.
"Pertapa jahat!" komandan itu membentak dan menundingkan telunjuknya ke arah muka kakek itu. "Berani engkau membunuh dua orang perajurit kerajaan?"
"Huh, siapa yang tidak berani? Kalau bisa aku akan membunuh seluruh perajurit kerajaan yang lalim dan menindas rakyat!" jawab pendeta itu.
"Kakek pemberontak!" Komandan itu berteriak lalu dia memberi aba-aba. "Tangkap atau bunuh dia!" Komandan itu sendiri kini mencabut pedangnya, dan semua anak buahnya juga mencabut golok masing-masing. Ketika mereka mengeroyok Bi Cu tadi, tidak seorangpun di antara mereka yang mempergunakan senjata, karena mereka hendak menangkap Bi Cu hidup-hidup, pula mereka agak memandang ringan kepada dara muda remaja itu. Akan tetapi sekarang, melihat betapa kakek itu telah membunuh dua orang kawan mereka, tentu saja mereka menjadi marah dan sinar kejam dalam mata semua perajurit itu.
"Ha-ha-ha, marilah kuantar nyawa kalian ke neraka!" Kakek itu tertawa dan si komandan sudah menerjang dengan pedangnya, diikuti oleh anak buahnya. Tiba-tiba terdengar suara angin bercuitan dan tongkat itu lenyap berubah menjadi sinar bergulung-gulung yang menyambar semua perajurit yang telah menyerang. Terdengar teriakan-teriakan mengerikan disusul robohnya para perajurit itu seorang demi seorang! Golok beterbangan dan akhirnya, dalam waktu yang amat singkat, seluruh perajurit termasuk komandannya telah roboh dan tewas karena semua roboh dengan kepala pecah! Melihat ini, diam-diam Bi Cu terkejut dan juga merasa ngeri sekali. Dia hanya duduk dan terbelalak memandang kepada kakek yang kini berdiri tegak dengan tongkat butut di tangan kanan, tangan kiri bertolak pinggang dan kakek itu tertawa menyeramkan.
Betapapun, karena mengingat bahwa kakek yang kejam dan menyeramkan ini telah menyelamatkanya, Bi Cu lalu bangkit dan terpincang-pincang menghampiri kakek itu sambil berkata, "Terima kasih atas pertolongan locianpwe."
Kakek itu sudah berhenti tertawa, lalu membersihkan ujung tongkatnya yang berlumuran darah itu pada baju yang menutupi tubuh seorang di antara para korbannya yang terdekat. Kemudian dia menunduk dan memandang kepada dara remaja itu, berkata lirih, "Anak yang baik, kauangkatlah mukamu dan pandang aku."
Biarpun merasa serem, Bi Cu mengangkat muka memandang. Kakek itu sudah tua namun mulutnya yang selalu tersenyum itu membayangkan ketampanan, dan terutama sekali sepasang matanya mencorong menakutkan. Bi Cu terkejut dan ingin mengalihkan pandang matanya, akan tetapi dia tidak sanggup! Sinar matanya seperti melekat atau tertangkap oleh sinar mata kakek itu, membuat dia tidak mampu menggerakkan mata untuk mengalihkan pandangan!
Kakek itu mengangguk-angguk. "Bagus, engkau seorang perawan remaja yang cantik manis, berdarah bersih dan bertulang baik. Engkau patut menjadi muridku. Siapakah namamu?"
Dengan suara gemetar dan yang keluar seolah-olah di luar kehendaknya, Bi Cu menjawab, "Nama saya adalah Bhe Bi Cu..."
"Bagus! Nah Bi Cu, mulai sekarang engkau kuambil sebagai muridku."
Di dalam batinnya Bi Cu menolak, akan tetapi anehnya, dia tidak kuasa untuk menolaknya! Dia sudah ditolong, diselamatkan nyawanya, bagaimana mungkin dia menolak kehendak kakek sakti ini yang hendak mengangkatnya sebagai murid? Selain dia tidak mempunyai kekuatan untuk menolak, juga dia tidak akan berani! Dia lebih aneh lagi, seperti digerakkan oleh tenaga yang tidak nampak, dia lalu memberi hormat dan berkata,
"Suhu...!" Bi Cu merasa heran sendiri mengapa dia melakukan hal ini.
"Ha-ha-ha, bagus sekali, Bi Cu. Engkau akan hidup senang menjadi murid Kim Hwa Cinjin! Hayo, kau ikutlah bersamaku."
Kakek itu tertawa girang dan Bi Cu bangkit berdiri dengan taat. Dia telah terlanjur mengangkat kakek ini sebagai guru, kakek yang namanya Kim Hwa Cinjin! Tentu saja dia sama sekali tidak pernah menduga bahwa kakek ini adalah seorang tokoh besar, ketua dari perkumpulan Pek-lian-kauw di selatan! Pek-lian-kauw adalah perkumpulan yang menentang pemerintah, oleh karena itu tidaklah mengherankan kalau Kim Hwa Cinjin membunuh semua perajurit kerajaan itu, bukan semata-mata untuk menyelamatkan Bi Cu. Dan Bi Cu juga sama sekali tidak tahu bahwa Kim Hwa Cinjin dahulu di waktu mudanya adalah seorang penjahat cabul yang amat ditakuti semua wanita. Lebih lagi dia tidak pernah mimpi bahwa biarpun pada lahirnya dia diambil murid, namun istilah mengambil murid dari ketua Pek-lian-kauw ini mengandung maksud yang lebih buruk lagi, bahkan maksud yang amat keji terhadap diri Bi Cu. Tanpa disadarinya, dara remaja ini terjatuh ke dalam tangan ketua Pek-lian-kauw yang telah mempergunakan kekuatan sihirnya membuat dara itu tunduk dan kehilangan kekuatan dan kemauan untuk menolak ketika diambil sebagai murid.
Seperti telah kita kenal cerita ini bagian depan, juga dalam cerita Dewi Maut, Kim Hwa Cinjin dahulunya adalah seorang jai-hwa-cat. Setelah usianya menjadi amat lanjut, kecabulannya berubah dan kini dia mencari kenikmatan dengan menonton kecabulan berlangsung, bukan melakukannya sendiri. Sudah biasa bagi tokoh ini untuk menghadiahkan wanita-wanita cantik kepada para muridnya yang dianggap berjasa, dan diam-diam dia mengintai bagaimana para muridnya itu menikmati hadiah yang diberikannya kepada mereka itu. Kini setelah melihat Bi Cu sebagai seorang dara remaja yang cantik manis dan bertulang baik, dia tertarik sekali. Kalau dara seperti ini menjadi muridnya dan dihadiahkan kepada para murid terbaik, kelak kalau sampai dara ini melahirkan keturunan, maka keturunan itu tentu dapat diharapkan menjadi anggauta Pek-lian-kauw yang hebat! Inilah yang terutama mendorongnya untuk menolong Bi Cu dan mengambilnya sebagai murid.
Baik itu dinamakan kecabulan, kemaksiatan, yang menjurus kepada perbuatan kejahatan, maupun yang dinamakan pengejaran cita-cita, ambisi yang menjurus kepada persaingan dan perebutan kedudukan sampai kepada perang, sampaipun kepada pengejaran terhadap apa yang dianggap murni dan agung, seperti daya upaya untuk menjadi orang baik, orang suci, atau tempat yang damai di alam baka, semua itu mempunyai dasar dan sifat yang sama, yaitu pamrih untuk menyenangkan diri sendiri! Mengejar dan memperebutkan uang, kedudukan, wanita, nama besar, kehormatan dan sebagainya itu dapat mendatangkan kesenangan! Demikian pula, orang mengejar kedamaian di alam fana maupun baka karena mengganggap bahwa kedamaian itu menyenangkan. Boleh saja dipakai kata lain untuk kesenangan, misalnya kebahagiaan. Karena menganggap bahwa semua yang dikejar itu akan mendatangkan kebahagiaan, maka terjadilah pengejaran-pengejaran itu. Jadi, semua tindakan itu didasari oleh keinginan memperoleh sesuatu! Yaitu pamrih! Kita lupa bahwa segala sesuatu yang didorong oleh pamrih sudah pasti akan mendatangkan konflik dan pertentangan. Pamrih adalah pementingan diri pribadi, dan pementingan diri pribadi inilah yang menimbulkan konflik, baik konflik dalam batin sendiri maupun konflik dengan orang lain. Orang yang mengejar-ngejar uang akan menyamakan diri dengan uang itu dan uang dianggap lebih penting daripada apa saja. Sama pula dengan pengejaran terhadap kedudukan, dan sebagainya. Jadi bukan si kedudukan, si uang, si kehormatan, si keluarga, si bangsa, yang penting, melainkan si aku! Maka terjadilah demikian : Yang dibela mati-matian adalah uangku, kedudukanku, kehormatanku, keluargaku, bangsaku, agamaku dan selanjutnya yang berpusat kepada si aku. Uang orang lain, kehormatan orang lain, bangsa orang lain, agama orang lain, sama sekali tidak masuk hitungan! Tentu saja sikap ini memancing datangnya pertentangan. Ini sudah amat jelas, bukan? Dapatkah kita hidup tanpa pamrih ini, tanpa adanya si aku yang mendorong segala perbuatan kita menjadi tindakan pementingan si aku? Hanya kalau sudah begini, maka uang, kedudukan, kehormatan, keluarga, bangsa, agama dan lain-lain memiliki arti dan nilai yang sama sekali berbeda!
Orang semacam Kim Hwa Cinjin semenjak kecil telah menjadi budak daripada nafsu-nafsunya sendiri, yaitu selalu mengejar kesenangan! Kesenangan itu dapat berbentuk seribu satu macam, tercipta dari keadaan lingkungan, tradisi, pendidikan, kebiasaan dan sebagainya. Sampai setua itu, Kim Hwa Cinjin masih saja diperhamba oleh akunya yang selalu mendambakan kesenangan. Sifat kesenangan sama saja, hanya bentuknya berubah menurut perubahan usianya. Dari pengejaran-pengejaran kesenangan inilah timbullah segala macam maksiat, kejahatan dan kekacauan di dunia ini!
Bi Cu yang berada di bawah pengaruh sihir itu seperti seekor domba dituntun ke tempat jagal. Dia menurut saja diajak ke sarang Pek-lian-kauw yang pada waktu itu berada di puncak pegunungan di depan. Ada juga naluri sehat yang membuat dara ini meragu, dan ketika mereka mendaki sebuah bukit, dara itu berkata, "Suhu...!"
"Eh, ada apakah, Bi Cu yang manis?" Kim Hwa Cinjin berhenti dan menoleh kepada dara itu yang berdiri dengan muka pucat dan pandang mata meragu.
"Teecu... teecu tidak ingin naik ke sana... teecu ingin... pergi mencari Sin Liong..."
"Sin Liong? Siapa itu?"
"Dia... dia seorang sahabatku yang amat baik..."
"Hemm, engkau adalah muridku, Bi Cu, maka engkau harus ikut denganku dan menurut semua perintahku." "Tapi, suhu..."
"Agaknya engkau belum yakin akan kemampuan gurumu, ya? Nah, kaulihatlah ini!" Kim Hwa Cinjin menghampiri sebongkah batu yang besarnya seperti kerbau bunting. Dengan kakinya dia mengungkit batu itu dan melontarkannya ke atas, kemudian dengan tongkatnya dia menerima batu itu, diputar-putar di atas ujung tongkat. Melihat permainan sulap ini, Bi Cu menjadi bengong dan kagum.
"Hiyaaat!" Kim Hwa Cinjin melontarkan batu dengan ujung tongkat. Batu melambung tinggi dan turun menimpa kepala kakek itu. Bi Cu hampir menjerit, akan tetapi ketika batu itu tiba di atas kepala, Kim Hwa Cinjin menggerakkan tangan kirinya menampar.
"Blaaarrr...!" Batu besar itu pecah berkeping-keping.
"Dan kaulihat pukulan api dari tanganku ini!" katanya pula menghampiri sebatang pohon. Dengan tangan kirinya dia menampar ke arah batang pohon. Terdengar suara keras seperti ledakan dan... pohon itu terbakar dan api menyala tinggi! Tentu saja Bi Cu makin terbelalak kagum. Dia tidak tahu bahwa yang dipertunjukkan itu bukanlah ilmu pukulan yang sesungguhnya, melainkan ilmu sihir! Demikian kagum rasa hati dara itu sehingga dia menjatuhkan diri berlutut dengan hati penuh takluk dan kagum.
"Nah, apakah engkau ingin mempelajari semua kesaktian itu, Bi Cu?"
"Tentu saja, suhu, teecu ingin sekali."
"Kalau begitu, mulai saat ini engkau harus mentaati segala perintahku."
"Baik suhu, teecu akan taat."
Girang bukan main hati Kim Hwa Cinjin dan dia lalu mengajak dara itu melanjutkan perjalanan menulu ke sarang Pek-lian-kauw. Sebulan lagi Pek-lian-kauw akan mengadakan pesta ulang tahun, dan dalam pada itulah dia akan menghadiahkan Bi Cu kepada beberapa orang muridnya yang berjasa. Sambil melangkah, diikuti oleh muridnya yang baru, kakek ini tersenyum-senyum, mengelus jenggotnya dan memilih-milih, siapa di antara muridnya akan dihadiahi dara ini! Bi Cu tak sadar akan bahaya yang mengancam dirinya, seperti seekor domba dituntun oleh harimau ke dalam sarangnya!
Sin Liong mendaki bukit yang nampak sunyi itu dengan hati-hati. Dia telah menemukan jejak Bi Cu! Di dusun terakhir di kaki pegunungan ini, dia mendengar dari seorang petani bahwa hampir sebulan yang lalu ada seorang dara remaja yang wajahnya mirip dengan yang dia gambarkan datang ke dusun itu, bahkan bermalam di dalam rumah keluarga petani itu. Dari penuturan mereka, dia tidak ragu-ragu lagi bahwa tentu dara itu Bi Cu. Yang meyakinkan dia adalah karena Bi Cu juga bertanya-tanya tentang dia, mencari-cari dia! Hatinya berdebar girang dan penuh harapan ketika dia mendaki bukit itu. Biarpun dia sudah ketinggalan hampir sebulan, akan tetapi kini dia telah menemukan jejaknya dan tentu akan bisa memperoleh keterangan lebih lanjut di sana, atau di balik pegunungan itu.
Akan tetapi, timbul kekhawatiran di dalam hatinya ketika dia mendengar keterangan seorang pemburu yang dijumpainya di dalam hutan di lereng gunung, bahwa daerah pegunungan itu termasuk wilayah yang dikuasai secara diam-diam oleh perkumpulan Pek-lian-kauw yang membuka sarang di puncak pegunungan. Mendengar disebutnya nama Pek-lian-kauw dia merasa khawatir. Bi Cu telah tiba di wilayah ini, daerah kekuasaan Pek-lian-kauw dan dia tahu betapa berbahayanya bagi dara itu melewati daerah ini. Maka timbullah kecurigaannya dan dia harus lebih dulu menyelidiki sarang Pek-lian-kauw. Kalau di sana tidak terdapat Bi Cu, baru dia akan meninggalkan tempat itu karena dia sendiri tidak ingin berurusan dengan fihak Pek-lian-kauw. Mudah-mudahan saja Bi Cu tidak bertemu dengan fihak mereka, pikirnya.
Setelah tiba di lereng gunung itu, nampaklah olehnya bangunan-bangunan Pek-lian-kauw yang merupakan perkampungan tersendiri, terletak di dekat puncak. Dan mulai terdengar olehnya suara musik yang membuatnya merasa heran sekali. Pek-lian-kauw adalah perkumpulan agama, mengapa kini terdengar suara musik seolah-olah di sana diadakan pesta, di mana orang bergembira ria? Melihat betapa tempat pendakian itu sunyi saja, Sin Liong lalu mempercepat pendakiannya menuju ke perkampungan di dekat puncak itu.
Setelah melewati daerah yang berbatu-batu lalu dia tiba di padang rumput yang penuh dengan rumput tebal dan subur. Rumput itu sampai setinggi lututnya dan Sin Liong berlari terus karena dusun Pek-lian-kauw itu berada di ujung padang rumput itu. Tiba-tiba kakinya tersangkut semacam tali halus yang tidak nampak karena tersembunyi di dalam rumput. Begitu kakinya tersangkut, terdengar suara berdesir dan bercuitan dari bawah. Sin Liong terkejut sekali, maklum bahwa ada penyerangan gelap dari bawah maka seketika dia sudah meloncat ke atas lalu berjungkir balik di udara sampai tiga kali. Benar saja, dari bawah menyambar empat batang tombak dari depan, belakang, kanan dan kiri. Agaknya empat batang tombak itu digerakkan oleh alat rahasia ketika tali halus tadi tersangkut kakinya! Sin Liong lalu melompat turun lagi ke depan kurang lebih empat meter dari tempat di mana kakinya tersangkut tali penggerak alat yang melucurkan tombak-tombak itu.
"Blussss...!" Begitu kedua kakinya menginjak tanah di bawah rumput, tiba-tiba dia berseru keras karena ternyata kedua kakinya menginjak tempat kosong! Kiranya di bawah itu adalah lubang yang ditutupi rumpun, sebuah lubang jebakan yang amat berbahaya! Karena tidak mengira sama sekali, tentu saja Sin Liong tidak dapat mencegah tubuhnya terjeblos. Dia melihat ke bawah dan ternyata lubang sumur itu dipasangi tombak-tombak runcing yang siap menerima tubuhnya yang terjeblos ke bawah!
Kalau orang hanya memiliki kepandaian gin-kang biasa saja, agaknya tidak akan mungkin dapat lolos dari ancaman maut ini. Tubuh Sin Liong sudah meluncur turun dan di bawah nampak ujung tombak-tombak runcing seperti deretan gigi mulut raksasa yang siap mencaplok dan menggigitnya. Sin Liong memiliki ketenangan yang luar biasa. Dia tidak mudah putus asa, maka dengan waspada dia memandang ke bawah, mengerahkan gin-kangnya dan ketika dekat dengan ujung-ujung runcing itu, dia malah hinggap di atas ujung tombak mengerahkan sin-kang pada telapak kakinya sehingga ujung tombak yang menembus sepatunya itu tidak melukai kaki dan dia lalu mengenjot tubuhnya, meloncat ke atas, keluar lagi dari sumur itu!
Dia tiba di luar sumur, berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar, waspada memandang ke sekeliling, akan tetapi tidak nampak gerakan seorangpun manusia, tanda bahwa dia tadi hanya menjadi korban jebakan-jebakan saja yang diatur sedemikian baiknya dan amat membahayakan orang yang terjeblos ke dalamnya. Dia melangkah terus, kini dengan hati-hati agar tidak sampai terjeblos ke dalam perangkap lagi. Kalau kakinya menginjak sesuatu yang tidak wajar, dia lalu meloncat jauh ke depan, melewati daerah yang dipasangi jebakan itu. Akhirnya dia keluar dari padang rumput itu dengan selamat dan tibalah dia di sebuah taman penuh dengan pohon-pohon besar yang merupakan pekarangan depan yang luas dari perkampungan Pek-lian-kauw. Suara musik makin jelas terdengar dari pusat perkampungan itu. Perkampungan Pek-lian-kauw terkurung dinding tembok putih, dan tidak nampak seorangpun di luar tembok.
"Syet-syet-syetttt...!" Tiba-tiba nampak sinar-sinar berkelebatan dan tahu-tahu ada belasan batang anak panah menyambar dari atas, menancap di atas tanah di depan Sin Liong, merupakan pagar anak panah yang menghadang perjalanannya. Melihat ini, Sin Liong mengerling ke atas dan melihat bayangan orang-orang di atas pohon besar.
"Hemm, beginikah caranya Pek-lian-kauw menyambut kedatangan seorang tamu? Dengan perangkap-perangkap dan anak panah?" tanyanya dengan suara melengking nyaring sehingga suara itu berdengung sampai jauh.
Hening sejenak setelah terdengar suara nyaring dari Sin Liong ini. Kemudian terdengar suitan-suitan tanda rahasia, dan tak lama lagi banyak bayangan orang melayang turun dari atas pohon, dan ternyata orang ini adalah seorang yang berjubah pendeta, berusia kurang lebih lima puluh tahun. Setelah dia melayang turun berturut-turut nampak bayangan orang berloncatan turun dari atas pohon-pohon sekitar tempat itu dan dalam waktu singkat saja ada tujuh orang tosu Pek-lian-kauw yang berdiri menghadapi Sin Liong, memandang pemuda itu penuh perhatian dan kecurigaan.
"Sicu datang dari daerah terlarang, bukan sebagai tamu undangan, maka maafkan kami yang melepas anak panah peringatan tadi. Siapakah sicu dan ada urusan apa sicu datang ke tempat kami?" tanya seorang di antara mereka, pendeta yang pertama melayang turun tadi.
Sin Liong mengangkat tangan menjura kepada mereka, lalu menjawab tenang, "Saya adalah seorang pelancong yang sedang melakukan perjalanan lewat di daerah ini. Mendengar suara musik dari perkampungan Pek-lian-kauw, hati saya tertarik untuk mengunjungi dan berkenalan dengan para pemimpin Pek-lian-kauw, sedikitpun tidak mempunyai niat untuk melakukan hal yang tidak bersahabat," jawabnya karena memang dia tidak berniat bermusuhan dengan fihak Pek-lian-kauw, tentu saja kalau Pek-lian-kauw tidak melakukan sesuatu terhadap Bi Cu, misalnya. Dan dia tidak mau menyebutkan namanya kepada mereka, kecuali kepada para pimpinan Pek-lian-kauw sendiri.
Tiba-tiba melayang turun seorang pendeta lain yang menghampiri pendeta penanya tadi, dan orang baru ini berbisik. Dialah pendeta yang melapor ke dalam, dan ketua Pek-lian-kauw memberi perintah bahwa kalau orang muda yang datang itu bukan musuh dan bermaksud baik, boleh diterima sebagai tamu, karena pada hari itu Pek-lian-kauw memang sedang merayakan hari ulang tahunnya.
Pendeta pembicara itu lalu tersenyum. "Baiklah, sicu. Ketua kami menyuruh kami menerima sicu sebagai tamu, dan mari kami persilakan sicu untuk masuk ke dalam dan berkenalan dengan para pimpinan kami."
Perkumpulan Pek-lian-kauw adalah perkumpulan yang menentang pemerintah, oleh karena itu kalau merayakan ulang tahun tidak mengundang umum karena mereka selalu menyembunyikan tempat atau sarangnya, dan hanya mengundang golongan atau kawan-kawan sendiri yang sudah dipercaya penuh saja. Undangan itupun baru akan dilaksanakan beberapa hari sesudah mereka merayakannya sendiri sampai beberapa hari lamanya, dan pada saat itu, hari undangan bagi para kawan mereka belum tiba dan pada hari itu mereka sedang merayakan hari ulang tahun perkumpulan mereka tanpa ada seorangpun tamu dari luar. Akan tetapi pada hari itu, seluruh anggauta, baik yang berada dan bertugas jauh dari tempat itu, hadir sehingga suasana menjadi amat meriah dan penjagaanpun tidaklah begitu ketat seperti biasanya, sehingga Sin Liong sampai dapat memasuki pekarangan itu dan baru setelah tiba di situ dia dihadang oleh para anggauta Pek-lian-kauw. Kini pintu gerbang dibuka dan Sin Liong diantar masuk ke dalam perkampungan yang cukup luas. Semua rumah di perkampungan itu dihias dengan kertas-kertas merah dan suasananya cukup meriah, dan di bangunan induk berkumpul para pimpinan, di mana para anggauta bagian musik sedang memeriahkan suasana dengan permainan musik dan nyanyian serta tarian.
Munculnya pemuda ini tentu saja menimbulkan sedikit keheranan dan kecurigaan, akan tetapi karena Kim Hwa Cinjin sendiri yang memerintahkan pemuda itu disambut sebagai tamu, maka kini Sin Liong diiringkan memasuki bangunan induk dan masuk ke dalam ruangan luas di mana terdapat Kim Hwa Cinjin sendiri bersama para tokoh Pek-lian-kauw, para murid terkasih dan semua orang memandang kepada pemuda yang melangkah masuk dengan tenang itu.
Kim Hwa Cinjin sendiri masih tetap duduk sambil menatap wajah pemuda yang masuk itu dengan sinar mata tajam penuh selidik. Dari kedudukan dan sikap kakek yang memiliki sepasang mata tajam dan aneh menyeramkan seperti mata iblis dalam dongeng itu, Sin Liong dapat menduga tentulah kakek tua yang menyambutnya dengan duduk saja itulah ketua Pek-lian-kauw maka dia lalu berhenti di depan Kim Hwa Cinjin, menjura dengan hormat sambil berkata, "Harap kauwcu (ketua agama) suka memaafkan kalau saya datang mengganggu." Ketika masuk tadi, Sin Liong sudah mencari-cari dengan pandang matanya, namun dia tidak melihat adanya Bi Cu di situ, maka dia merasa agak lega dan dia bersikap sopan agar tidak menyinggung orang-orang Pek-lian-kauw.
Kim Hwa Cinjin mengangguk-angguk. "Hemm, dari pelaporan kami mendengar bahwa engkau memiliki kepandaian yang tinggi, sicu. Sungguh membuat kami merasa kagum bahwa seorang pemuda seperti sicu telah dapat memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Tentu sicu murid seorang sakti dan siapakah nama sicu?"
"Nama saya Sin Liong," jawab pemuda ini tanpa menyebutkan she (nama keturunan), dan kiranya ketua Pek-lian-kauw itupun tidak bertanya tentang itu tanda bahwa ketua ini bersikap ramah dan menanyakan nama hanya untuk membalas sikapnya yang sopan saja padahal sebenarnya ketua ini tidak memandang dia sebagai orang penting!
"Saya kebetulan lewat dekat sini dan mendengar suara musik, saya tertarik dan memasuki daerah ini tanpa memiliki niat yang buruk."
Kim Hwa Cinjin hanya mengangguk. Tiba-tiba terdengar suarai merdu di sebelah kanan kakek itu, "Suhu, dalam suasana gembira ini kita kedatangan tamu terhormat, bagaimana kalau teecu (murid) mempersiapkan hidangan untuk tamu agung?"
Sin Liong cepat memandang dan ternyata yang bicara ini adalah seorang di antara sekelompok wanita-wanita mudi yang duduk di dekat kakek itu. Wanita-wanita itu berusia antara dua puluh sampai hampir empat puluh tahun, rata-rata berwajah cantik dan sikapnya jelas menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang yang pandai ilmu silat. Dan memang mereka itu adalah murid-murid dari Kim Hwa Cinjin, murid-murid wanita yang berbakat. Yang bicara tadi adalah seorang wanita cantik berusia kurang lebih dua puluh tujuh tahun, pakaiannya indah dan rambutnya digelung rapi, dihias burung hong terbuat dari emas dan permata yang berkilauan. Di antara para murid wanita itu, wanita inilah yang paling cantik, kerling matanya tajam dan senyumnya amat manis. Ketika Sin Liong memandang kepadanya, wanita itupun menatapnya dengan sinar mata yang demikian menantang dan penuh gairah sehingga Sin Liong cepat menundukkan mukanya kembali.
"Ha-ha-ha, Ciauw Ki, kita sedang berulang tahun dan biarlah kuturuti permintaanmu sebagai hadiahku tahun ini. Memang benar sekali, kita harus menjamu tamu agung, nah, kaulayanilah sicu ini!"
Sin Liong menjadi kikuk sekali, akan tetapi dia sudah terlanjur masuk ke situ dan memang dia berniat menyelidiki apakah Bi Cu berada di situ, maka ketika wanita cantik itu bangkit dan menghampirinya, lalu dengan sikap manis mempersilakan dia duduk di atas sebuah kursi menghadapi meja yang masih kosong, tidak jauh dari situ, dia tidak membantah, mengangguk dan menjura menyatakan terima kasihnya. Ciauw Ki, murid wanita Kim Hwa Cinjin itu, lalu mengeluarkan hidangan dan arak, diatur di atas meja di depan Sin Liong. Ketika wanita itu melakukan semua ini dengan senyum manis dan kerling mata menyambar-nyambar penuh tantangan, Sin Liong mencium keharuman keluar dari saputangan dan pakaian wanita itu. Dia merasa makin kikuk, akan tetapi juga tidak berani menolak ketika Kim Hwa Cinjin sendiri dari tempat duduknya mempersilakan dia makan minum. Betapa heran rasa hatinya ketika dia melihat Ciauw Ki duduk di depannya dan melayaninya, mengisi cawannya dengan arak kalau sudah kosong menawarkan masakan ini dan itu, dengan sikap amat mesranya.
Padahal di situ terdapat banyak orang, terdapat banyak murid pria, mengapa justeru murid wanita cantik ini yang harus melayaninya? Sin Liong yang tidak pernah dilayani wanita seperti itu, tentu saja menjadi gugup dan kikuk sekali, dan sikapnya ini agaknya semakin menarik hati Ciauw Ki.
Karena Ciauw Ki terus mengisi cawan araknya dan mempersilakan minum, akhirnya pengaruh arak membuat Sin Liong agak nanar juga. Ketika tari-tarian yang dilakukan oleh wanita-wanita cantik, nyanyian yang diiringi musik merdu dipertunjukkan, Sin Liong tidak lagi merasa heran, bahkan menonton dengan gembira sambil mendengarkan pula obrolan Ciauw Ki yang bercerita dengan suara merdu.
"Ini adalah ulang tahun kami yang ke delapan, sicu, sudah delapan tahun kami mempergunakan tempat ini sebagai pusat dan tidak pernah mengalami gangguan. Dan pesta ulang tahun sekarang ini bagiku paling indah berkesan karena kehadiranmu..."
Sin Liong hanya tersenyum. Telinganya penuh dengan suara-suara merdu merayu yang mempesona dan membuatnya lengah. Ketika itu, para wanita yang menari telah mengundurkan diri dan suara tambur dipukul gencar, musik mengalunkan lagu perang yang dahsyat. Lalu muncullah dua orang wanita dan Sin Liong terbelalak. Dua orang wanita muda itu memakai pakaian tipis yang membayangkan bentuk tubuh mereka, kedua tangan mereka memegang dua batang obor yang belum dinyalakan. Setelah mereka menjatuhkan diri berlutut di depan sang ketua, lalu Kim Hwa Cinjin meraih dan obor-obor itu menyala! Seperti main sulap saja! Kini kedua orang wanita muda itu mulai menari dengan obor-obor di kedua tangan. Sinar obor yang merah itu menyoroti tubuh mereka dan mereka itu seperti telanjang bulat saja karena sinar itu menembus pakaian yang tipis, memperlihatkan semua lekuk lengkung tubuh mereka yang masih muda dan padat berisi. Para murid Pek-lian-kauw bersorak dan bertepuk-tepuk tangan mengikuti irama musik dan suasana penuh dengan pesona dan gairah! Tiba-tiba Sin Liong merasa betapa ada tangan halus yang membelai jari-jari tangannya yang terletak di atas meja. Dia terkejut melihat betapa yang mengelus tangannya itu adalah tangan Ciauw Ki! Sin Liong cepat mengibaskan tangannya dan menarik tangan itu dari atas meja. Ciauw Ki menahan jeritnya karena tangannya terasa agak nyeri. Matanya terbelalak menatap wajah Sin Liong, akan tetapi sinar matanya segera melembut kembali dan senyumnya makin manis memikat.
Dari tempat duduknya, Kim Hwa Cinjin melihat adegan ini. Tiba-tiba dia mengangkat kedua tangannya ke atas, menghadap ke arah Sin Liong dan mulutnya kemak-kemik. Ketika itu Sin Liong masih menentang pandang mata Ciauw Ki. Tiba-tiba dia merasa seperti ada dorongan yang mengharuskan dia menoleh, memandang kepada dua orang penari wanita yang menggerak-gerakkan obor mereka. Sinar obor itu menyilaukan kedua matanya dan Sin Liong mengeluh. Tiba-tiba dia melihat dua buah mata, sepasang mata yang tajam liar dan menyeramkan, seperti mata iblis sendiri, memandangnya sedemikian rupa sehingga dia terbelalak. Sang mata iblis ini seperti menari-nari di antara obor yang bergerak-gerak itu dan tiba-tiba dia merasa tubuhnya lemas dan matanya mengantuk. Tak tertahankan lagi olehnya rasa kantuk itu. Kepalanya terasa berat, dan obor-obor yang bernyala itu kini terputar-putar. Sin Liong lalu memejamkan mata dan merebahkan kepalanya di atas lengannya yang dipakai sebagai bantal di atas meja. Tiba-tiba dia merasa tengkuknya diraba orang dan tubuhnya semakin lemas lalu dia tidak ingat apa-apa lagi!
Pemuda itu sama sekali tidak tahu bahwa semenjak pertama kali memasuki rumah induk di mana Kim Hwa Cinjin dan para murid dan pembantunya merayakan pesta ulang tahun mereka, dia telah memasuki perangkap yang amat berbahaya. Mula-mula Kim Hwa Cinjin memperlihatkan sikap ramah sehingga lenyaplah kecurigaan di hati Sin Liong. Ketika Ciauw Ki, seorang di antara murid-murid wanita yang terkasih, memperlihatkan keinginan untuk memiliki pemuda tampan itu, Kim Hwa Cinjin menyetujuinya. Sin Liong mulai dijamu dan diperlakukan dengan manis penuh pikatan oleh Ciauw Ki. Biarpun ketika Sin Liong sudah terpengaruh arak namun melihat gadis itu berusaha untuk memikatnya dengan sentuhan tangan, pemuda ini terkejut dan cepat menolak. Kim Hwa Cinjin melihat ini dan dia tidak mau mengecewakan muridnya, maka diam-diam dia lalu mempergunakan ilmu sihirnya. Sin Liong yang sedang lengah itu sama sekali tidak tahu bahwa dia diserang dengan ilmu sihir, maka dengan bantuan suara musik dan penglihatan indah dari tari obor oleh dua orang murid wanita itu, sinar obor yang menyilaukan, akhirnya dia berhasil menyihir Sin Liong sehingga pemuda itu tertidur sebelum dia dapat menyadari keadaannya. Ciauw Ki juga cepat menggunakan jari-jari tangannya menotok dan membuat pemuda itu tidak sadar.
Sin Liong membuka matanya dan pertama kali yang dirasakannya adalah kepalanya yang berdenyut-denyut pening. Dia mengeluh lirih dan mencium bau arak yang memuakkan. Teringatlah dia bahwa dia terlalu banyak minum arak. Ingin dia memijat-mijat kepalanya, akan tetapi ketika dia hendak menggerakkan tangan, dia terkejut dan heran. Cepat dia membuka mata dan terbelalak memandang kepada kedua lengannya yang terbelenggu. Kedua lengan itu terikat pada pergelangan tangan. Suara tertawa kecil membuat dia makin sadar dan kini dia memandang wanita yang duduk di tepi pembaringan itu dengan sinar mata penuh keheranan. Dia telah rebah di atas pembaringan yang empuk, bersih dan harum, dalam sebuah kamar yang diterangi oleh tiga batang lilin. Wanita itu bukan lain adalah Ciauw Ki yang duduk sambil memegangi sebuah cawan arak dengan tangan kanan, sedangkan tangan kiri wanita itu mengelus-elus pahanya! Sin Liong menggerakkan kaki untuk mundur dan ternyata bahwa pergelangan kedua kakinya juga terikat! Agaknya Ciauw Ki mendengar dari para saudara seperguruannya akan kelihaian Sin Liong maka biarpun pemuda itu sudah ditotoknya, tetap saja dia merasa khawatir dan mengikat pergelangan kaki dan tangan pemuda itu.
"Apa... apa artinya ini...?" Sin Liong bertanya sambil mengangkat kepalanya dari bantal.
"Hik-hik...!" Ciauw Ki tertawa genit dengan kepala agak bergoyang-goyang. Wanita cantik ini agaknya sudah setengah mabok. Diam-diam Sin Liong memperhatikan keadaan sekeliling. Tentu malam telah tiba, pikirnya heran. Betapa lamanya dia pingsan atau tertidur di tempat ini. Dia mengingat-ingat dan ketika dia teringat akan sepasang mata yang membuatnya mengantuk, diam-diam dia mengutuk. Dia telah disihir! Tidak ragu-ragu lagi dia. Pek-lian-kauw terkenal dengan ilmu sihirnya. Dalam keadaan lengah dan tidak waspada dia telah kena disihir.
"Artinya, orang ganteng... bahwa engkau berada di kamarku dan kita... kita akan bersenang-senang malam ini sepuas hati kita... hik-hik...!"
Diam-diam Sin Liong merasakan betapa masih ada sisa pengaruh totokan di tubuhnya, maka dia lalu mengerahkan sin-kang melancarkan kembali jalan darahnya. Dia masih belum mau mengambil tindakan keras, otaknya berpikir dan timbul kembali kecurigaannya bahwa jangan-jangan Bi Cu juga menjadi korban seperti dia. Maka dia pura-pura tidak berdaya, dan berkata, "Mengapa aku dibelenggu kaki tanganku?"
"Aku khawatir engkau akan menolak, sayang. Aku membelenggumu, akan tetapi lihatlah, belenggu itu dari ikat pinggang suteraku, baunya harum, kauciumiah, hik-hik. Kalau engkau bersikap manis, tentu akan kulepaskan belenggumu. Sekarang, kauminumlah secawan arak ini. Arak ini pemberian suhu, arak istimewa, kau minumlah, sayang, setelah itu baru kubebaskan engkau dan kita bersenang-senang..." Cawan arak itu didekatkan pada mulut Sin Liong dan dia mencium bau arak bercampur bau yang aneh. Mengertilah Sin Liong bahwa arak inipun tidak wajar, bukan sembarang arak, akan tetapi tentu saja dia tidak mau minum.
"Nanti dulu... aku masih pening karena terlalu banyak minum... sebetulnya... aku sedang mencari seseorang... saudaraku..." Dia membohong. Yang dicarinya adalah seorang gadis, kalau dia bilang sahabat tentu akan menimbulkan kecurigaan, maka dia mengatakan saudaranya.
"Hemmmm, saudaramu? Siapakah saudaramu dan mengapa kau mencarinya di sini?" tanya wanita yang sudah merah mukanya karena setengah mabuk itu tangan kirinya masih mengelus paha Sin Liong yang membuat pemuda itu merasa geli.
"Saudaraku seorang gadis bernama Bi Cu..." Sin Liong berhenti bicara karena melihat perubahan pada wajah gadis itu, sepasang mata yang tadinya nampak penuh gairah dan setengah terpejam itu tiba-tiba agak terbelalak. Jantungnya berdebar dan yakinlah dia bahwa wanita ini tahu tentang diri Bi Cu.
Tentu saja Ciauw Ki tahu tentang Bi Cu, murid baru gurunya itu. Dia merasa iri hati kepada Bi Cu yang muda dan cantik, dan yang oleh suhunya dipilih sebagai kembang untuk diperebutkan pada perayaan ulang tahun itu! Kalau tidak ada Bi Cu, tentu dialah yang akan diperebutkan, bukan Bi Cu. Dan karena iri hati itulah maka dia sengaja minta ganti kepada suhunya ketika dia melihat Sin Liong!
"Aihh... kiranya engkau saudaranya! Jangan khawatir, orang tampan, saudaramu itu sekarang sedang dilimpahi kesenangan oleh tiga orang murid Pek-lian-kauw yang paling tampan dan gagah! Akan tetapi engkaupun tidak kalah mujurnya karena engkau mendapatkan aku... heiii... ahhh, aupppp...!" Tiba-tiba saja Sin Liong menggunakan sin-kangnya dan semua ikatan tangan kakinya putus. Ketika melihat dia mematahkan belenggu dan tahu-tahu telah bangkit duduk itu, Ciauw Ki terkejut bukan main dan sebelum dia sempat menjerit, jari tangan kiri Sin Liong telah mendekap mulut yang tadinya tersenyum manis penuh pikatan itu dan meremasnya perlahan sehingga mulut yang manis itu kini nampak peot dan buruk, mata yang tadinya setengah terpejam penuh gairah dan nafsu berahi itu kini terbelalak ketakutan. "Hemm, kuhancurkan mulutmu, kalau engkau tidak mengaku terus terang!" desis Sin Liong yang sudah merasa marah dan khawatir sekali. Tidak salah dugaannya, Bi Cu terjatuh ke tangan mereka dan kini agaknya terancam bahaya besar.
"Aa... aku... ahhhhh..." Sukar sekali Ciauw Ki bicara karena mulutnya masih didekap oleh jari tangan Sin Liong. Clauw Ki tiba-tiba menggunakan tangan yang memegang cawan arak itu untuk menghantam ke arah muka Sin Liong, akan tetapi Sin Liong menepuk pundaknya, diapun terkulai lemas dan tidak mampu bergerak lagi. Ketika Sin Liong melepaskan dekapannya pada mulut itu, tubuh Ciauw Ki terkulai di atas pembaringan.
"Hayo katakan di mana Bi Cu!"
Dengan suara lemah, Ciauw Ki berkata, "Bunuhlah, murid Pek-lian-kauw tidak takut mati! Bi Cu kini tentu sudah habis-habisan diperkosa oleh tiga orang suhengku...!"
"Plakk!" tangan Sin Liong menampar dan wanita itu pingsan. Mulutnya berdarah dan beberapa buah gigi di mulutnya patah-patah. Tentu kecantikannya akan banyak berkurang oleh tamparan itu, kalau tidak membuat wajahnya bahkan menjadi buruk kelak. Cepat Sin Liong meloncat keluar dari kamar itu. Dengan beberapa loncatan dia sudah berada di atas genteng. Pesta kaum Pek-lian-kauw itu masih dilanjutkan dengan meriah, maka mudah baginya untuk melakukan penyelidikan, mencari-cari di mana Bi Cu disembunyikan. Dia tidak perlu terus memaksa Ciauw Ki untuk mengaku karena wanita itu agaknya merupakan tokoh Pek-lian-kauw yang tidak akan mau membuka rahasia perkumpulan, biar diancam atau disiksa sekalipun. Dan Sin Liong takkan tega untuk menyiksa orang, maka dia mengembil keputusan untuk mencari sendiri setelah menampar wanita itu sampai pingsan dalam keadaan tertotok agar tidak membuat gaduh selagi dia mencari tempat Bi Cu disembunyikan.
Dia mengintai dari genteng, melihat ke dalam kamar-kamar yang banyak terdapat di perumahan itu. Banyak dia melihat kecabulan-kecabulan yang menjijikkan hatinya dan membuat dia tidak mengerti mengapa perkumpulan agama seperti Pek-lian-kauw ternyata memiliki pimpinan dan anggauta-anggauta yang menjadi hamba-hamba nafsu berahi seperti itu. Hampir di setiap kamar dia melihat para anggauta Pek-lian-kauw bermain cinta dengan pasangan masing-masing dalam keadaan mabuk!
Tiba-tiba dia melihat bayangan berkelebat di bawah. Gerakan bayangan itu amat ringannya, maka dia cepat mengintai. Dengan heran dia melihat bahwa bayangan itu bukan lain adalan bayangan Kim Hwa Cinjin, ketua Pek-lian-kauw sendiri. Dan kakek tua itu kini berindap-indap menghampiri jendela sebuah kamar dan sinar lampu yang menimpa wajah tua itu memperlihatkan senyum iblis yang membuat Sin Liong bergidik. Melihat kakek itu kini mengintai dari jendela, dia tertarik dan cepat dia melayang ke atas genteng dan dengan hati-hati membuka genteng untuk melihat apa yang sedang terjadi di dalam kamar yang diintai sendiri oleh ketua Pek-lian-kauw itu. Dan hampir saja Sin Liong terjengkang di atas genteng, hampir saja dia berseru keras ketika melihat apa yang terdapat di dalam kamar itu!
Kamar itu besar, tidak seperti kamar Ciauw Ki tadi. Di sudut kamar mengelilingi sebuah meja yang penuh masakan dan arak sehingga bau arak sampai tercium olehnya di atas genteng, duduk tiga orang laki-laki yang hampir telanjang bulat, hanya mengenakan cawat saja! Mereka itu minum arak sambil tertawa-tawa gembira. Yang seorang berusia kurang lebih empat puluh tahun, kumisnya tebal pendek dan jenggotnya terpelihara rapi, yang dua orang berusia sekitar tiga puluh tahun dengan muka halus. Ketiganya bertubuh tegap dan berwajah yang dapat disebut tampan dan gagah, rambut mereka digelung ke atas seperti rambut para tosu Pek-lian-kauw. Akan tetapi bukan tiga orang itu yang mengejutkan hati Sin Liong, melainkan apa yang nampak di atas sebuah pembaringan yang berada di tengah kamar itu. Dia atas pembaringan itu rebah seorang wanita, rebah terlentang dan lekuk lengkung tubuhnya nampak nyata di bawah pakaian dalam yang tipis sekali. Pakaian luar wanita itu berserakan di bawah tempat tidur dan wanita itu kelihatan seperti orang yang tidur nyenyak. Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Sin Liong melihat wanita ini karena dia mengenalnya sebagai Bi Cu! Dan dara itu tentu dibius, pikirnya dengan kedua tangan dikepal dan mulai berubah merah, sepasang matanya mencorong seperti mata naga yang marah!
"Sayang dia terpaksa dibius," kata si kumis tebal. "Kalau tidak dia tentu akan menolak dan melawan mati-matian!"
"Aku lebih senang kalau dia melawan dan meronta, tidak seperti sekarang ini, mirip mayat!" cela orang ke dua sambil menenggak araknya.
"Dan aku lebih senang kalau dia itu menyerahkan diri dengan manis dan suka rela. Mengapa suhu tidak mempergunakan obat perangsang saja?"
"Seorang dara yang berhati baja seperti dia itu sukar dapat dipengaruhi obat perangsang, ah, betapapun juga, dia mulus dan masih remaja. Hemm, biarlah kalian menonton dulu, aku akan menjadi orang pertama..."
"Ah, jangan begitu, suheng! Engkau harus mengalah kepadaku! Biarlah aku dulu yang..."
"Tidak, aku dulu! Aku yang termuda dan aku lebih pantas baginya!"
Si kumis tebal tertawa. "Ha-ha, kita berebutan seperti anak kecil, seolah-olah kita tidak pernah mendapatkan seorang perawan remaja. Sudahlah, lebih baik kita undi saja!"
"Atau kita berpetak tangan, siapa menang dia mendapatkan dulu!"
Mendengar percakapan itu lega bukan main rasa hati Sin Liong. Jelaslah bahwa mereka itu belum sempat mengganggu Bi Cu. Bi Cu belum ternoda dan kedatangannya belum terlambat! Dia tidak mau membuang waktu lagi. Selagi tiga orang tosu itu main petak tangan untuk menentukan siapa yang berhak mendapatkan tubuh dara itu lebih dulu, tiba-tiba terdengar suara keras di atas kamar dan juga di luar rumah. Suara keras di atas kamar itu terjadi karena Sin Liong menerjang genteng sampai bobol dan tubuhnya melayang ke dalam kamar seperti seekor naga melayang dari angkasa menerobos awan gelap. Sedangkan suara ke dua lebih keras lagi, yaitu suara sorak-sorai yang gegap-gempita dari banyak orang berkelahi dan beradunya senjata-senjata tajam!
Semua orang yang berada di kamar itu terkejut, demikiah pula Kim Hwa Cinjin yang sedang mengintai dengan hati berdebar penuh ketegangan bernafsu berahi itu menjadi terkejut bukan main. Dia melihat betapa pemuda yang menjadi tamunya, yang telah ditundukkannya dengan ilmu sihir dan diserahkan kepada Ciauw Ki untuk dimiliki wanita muridnya itu untuk malam ini dan dia sendiri akan mengintai di kamar Ciauw Ki, tiba-tiba melayang turun ke dalam kamar. Akan tetapi lebih kaget lagi ketika dia mendengar suara hiruk-pikuk di luar. Perhatiannya terbagi, akan tetapi dia menganggap keadaan di luar amat berbahaya, maka tanpa memperdulikan keadaan dalam kamar itu, karena dia memandang rendah kepada Sin Liong dan percaya bahwa tiga orang muridnya akan dapat menghadapinya, Kim Hwa Cinjin cepat melompat keluar. Dia terkejut sekali melihat bahwa yang menimbulkan suara gaduh itu adalah penyerbuan dari pasukan pemerintah terhadap sarang Pek-lian-kauw. Kini para anggauta Pek-lian-kauw yang tadi masih berpesta-pora menghadapi serbuan pasukan pemerintah dengan gugup. Bahkan ada beberapa orang muridnya yang masih telanjang bulat terpaksa melawan musuh, karena mereka itu tadi sedang bersenang-senang dengan pasangannya di dalam kamar, dikejutkan oleh suara itu sehingga keluar dan lupa memakai pakaiannya!
Sementara itu, dengan ringan sekali Sin Liong sudah melayang turun ke dalam kamar. Diapun mendengar suara ribut-ribut di luar dan dia merasa khawatir. Dia harus dapat cepat melarikan Bi Cu dari kamar ini dan keluar dari perkampungan Pek-lian-kauw, karena kalau sampai dia dikepung oleh semua tokoh dan anggauta Pek-lian-kauw, akan sukarlah baginya untuk dapat menolong Bi Cu. Apalagi Bi Cu berada dalam keadaan pingsan terbius seperti itu, tidak mampu bergerak sendiri.
Tiga orang tosu Pek-lian-kauw yang memenangkan hadiah murid wanita baru itu juga terkejut bukan main. Mereka segera mengenal pemuda yang menjadi tamu ketua mereka dan yang siang tadi sudah ditawan dan diberikan kepada sumoi mereka. Marahlah mereka dan serentak mereka maju menerjang Sin Liong, biarpun mereka dalam keadaan hampir telanjang seperti itu.
Melihat gerakan mereka, tahulah Sin Liong bahwa mereka itu ternyata adalah tokoh-tokoh besar Pek-lian-kauw, dan tentu merupakan murid-murid utama dari ketua Pek-lian-kauw maka diapun cepat mengelak dan menangkis, kemudian dengan beberapa jurus San-in-kun-hoat, dengan mengisi kedua tangannya dengan Thian-te Sin-ciang, Sin Liong balas menyerang. Tiga orang tosu itu cepat menangkis dan seorang demi seorang berteriak kaget sekali, tubuh mereka terlempar dan menabrak dinding kamar karena mereka itu tidak tahan beradu lengan yang terisi Thian-te Sin-ciang itu. Sejenak mereka nanar dan pusing karena terbanting keras pada dinding kamar dan kesempatan ini dipergunakan oleh Sin Liong untuk menyambar tubuh Bi Cu, tanpa memperdulikan keadaan tubuh dara itu yang hanya tertutup pakaian dalam tipis, dia lalu memondongnya dan melarikan diri meloncat keluar melalui lubang di atas genteng, kemudian dengan cepat diapun meloncat ke tempat yang agak sunyi di belakang rumah karena di banyak tempat kini nampak obor-obor dan orang-orang berkelahi dengan hebat dan mati-matian! Dia tidak tahu apa yang telah terjadi, siapa yang sedang bertempur itu, dan diapun tidak perduli. Yang penting adalah menyelamatkan Bi Cu dan selama dia masih berada di dalam perkampungan itu, keselamatan Bi Cu terancam bahaya. Maka larilah dia, menyusup-nyusup di antara tempat-tempat gelap. Beberapa kali dia bertemu dengan anggauta Pek-lian-kauw atau anggauta pasukan penyerbu sehingga terpaksa dia merobohkan mereka ini dengan tendangan-tendangan kakinya.
Tiba-tiba terdengar suara yang amat nyaring melengking, seolah-olah datang dari atas langit. "Liong-te... di mana engkau...?"
Sin Liong terkejut bukan main seolah-olah mendengar kilat menggelegar di siang hari yang panas. Tentu saja dia mengenal suara itu! Suara Ceng Han Houw! Celaka, pikirnya, kiranya para penyerbu Pek-lian-kauw itu adalah pasukan pemerintah yang agaknya dipimpin sendiri oleh Ceng Han Houw. Pangeran ini jauh lebih lihai dan berbahaya daripada semua orang Pek-lian-kauw. Maka dia mempercepat larinya berloncatan dan akhirnya dia berhasil keluar dari perkampungan Pek-lian-kauw yang geger itu. Setelah memasuki sebuah hutan yang amat gelap, cukup jauh dari perkampungan itu, hatinya lega. Akan tetapi diapun tidak mungkin dapat melanjutkan larinya karena hutan itu gelap sekali. Maka dicarinyalah tempat yang bersih dan dia merebahkan tubuh Bi Cu ke atas tanah berumput tebal di bawah pohon-pohon besar. Dia berusaha menyadarkan Bi Cu, akan tetapi dara yang telah terbius ini sama sekali tidak mungkin dapat siuman sebelum obat biusnya habis pengaruhnya. Dia seperti orang pingsan, atau orang yang tidur nyenyak sekali. Sin Liong yang maklum bahwa bahaya masih belum lewat dan tentu kaum Pek-lian-kauw, bahkan yang lebih berbahaya lagi, pasukan yang dipimpin Han Houw tentu akan mengejar dan mencarinya, tidak berani membuat api unggun dan untuk melindungi tubuh Bi Cu yang setengah telanjang itu dari serangan nyamuk dan hawa dingin, dia lalu melepaskan bajunya dan menyelimuti Bi Cu dengan baju itu. Kemudian dia memegang kedua tangan Bi Cu, menyalurkan sin-kang sehingga hawa hangat memasuki tubuh dara itu, melindunginya dari hawa dingin yang menusuk tulang.
Pada keesokan harinya pagi-pagi sekali Sin Liong sudah mendengar suara orang-orang memasuki hutan itu. Terpaksa dia memondong lagi tubuh Bi Cu yang masih juga belum siuman. Dia merasa marah sekali. Orang-orang Pek-lian-kauw itu sungguh keji, membius Bi Cu sampai semalam suntuk belum juga siuman, tentu dengan maksud yang amat kotor dan keji! Dengan bantuan sinar matahari pagi yang remang-remang, dia terus melangkah memasuki hutan sambil memondong tubuh Bi Cu.
Tiba-tiba dari balik pohon-pohon besar berloncatan tiga orang tosu, seorang di antara mereka yang berkumis tebal membentak, "Pemuda iblis, mau lari ke mana engkau?"
Sin Liong terkejut dan dia segera mengenal bahwa tiga orang tosu ini adalah mereka yang semalam hendak memperkosa Bi Cu di dalam kamar itu. Akan tetapi karena dia menduga bahwa selain mereka tentu masih terdapat banyak orang Pek-lian-kauw yang agaknya sudah tersebar di dalam hutan, dan mengingat lagi bahwa mungkin akan muncul Ceng Han Houw sehingga akan menyukarkan dia melindungi Bi Cu, dia lalu membalikkan tubuh dan berlari tanpa berkata apa-apa.
Tiga orang tosu Pek-lian-kauw itu mengejar dengan marah. Setelah lari beberapa lamanya, Sin Liong menoleh dan mengerling ke belakang. Ternyata pengejarnya tetap hanya tiga orang tosu itu. Giranglah hatinya dan dia cepat menurunkan tubuh Bi Cu ke atas rumput, dan dengan tenang dia menanti kedatangan mereka.
Tiga orang tosu itu adalah murid-murid pilihan dari Kim Hwa Cinjin. Kalau di waktu Sin Liong masuk ke dalam kamar untuk menolong Bi Cu mereka itu tidak sempat melakukan perlawanan yang gigih adalah karena mereka bertiga berada dalam keadaan hampir telanjang. Kini mereka sudah siap siaga dengan pakaian lengkap dan melihat pemuda itu menurunkan tubuh dara yang telah menjadi sumoi mereka dan menjadi kekasih mereka bertiga karena oleh suhu mereka telah diserahkan kepada mereka, tiga orang tosu ini segera menerjang ke depan. Mereka semalam setelah mengenakan pakaian lalu melakukan pengejaran, tanpa memperdulikan kegegeran yang terjadi di dalam perkampungan Pek-lian-kauw dan melihat pemuda itu lenyap dalam hutan, mereka lalu mencari-cari sampai jauh ke dalam hutan. Karena keadaan amat gelap, maka mereka menanti dan pada pagi hari itu, benar saja mereka melihat pemuda yang dikejarnya berjalan memondong tubuh calon korban mereka.
Setelah merasa yakin bahwa pengejarnya hanya tiga orang murid Pek-lian-kauw itu, timbullah kemarahan di hati Sin Liong. Tiga orang itu jahat sekali dan semalam hampir saja menodai kehormatan Bi Cu yang sedang pingsan, maka, orang-orang seperti itu patut dihajar, bahkan patut dibunuh! Melihat mereka bertiga menyerangnya dengan tangan kosong, dengan pukulan berbentuk tamparan yang dia tahu tentulah merupakan pukulan yang beracun, dia sama sekali tidak mau mengelak dan menerima pukulan itu dengan tubuhnya, hanya menggerakkan kepala agar mukanya jangan sampai terkena pukulan.
"Plak! Plak! Plak!" Pukulan atau tamparan tiga orang tosu itu semua mengenai dada, pundak, dan leher. Akan tetapi, betapa kagetnya tiga orang tosu itu ketika tangan mereka seperti mengenai besi baja saja dan lebih kaget lagi hati mereka ketika tangan mereka itu melekat tanpa dapat ditarik kembali dan sin-kang mereka membanjir keluar melalui tangan mereka ke dalam tubuh pemuda itu.
Mereka meronta, akan tetapi makin kuat mereka meronta, makin hebat lagi tenaga rontaan itu membanjir keluar dari tangan mereka. Si kumis tebal terbelalak memandang wajah Sin Liong yang tersenyum dingin, dan dia lalu berseru tergagap-gagap, "Thi... khi... i... beng...!" Mereka pernah mendengar dari guru mereka tentang ilmu yang mujijat ini, akan tetapi belum pernah melihat sendiri ilmu yang mereka anggap hanya terdapat dalam dongeng itu. Akan tetapi kini, melihat betapa tenaga sin-kang mereka memberobot keluar tanpa dapat dicegah, mereka teringat akan ilmu itu dan mereka ketakutan setengah mati. Makin lemaslah mereka, muka mereka telah menjadi pucat karena kehabisan tenaga. Tiba-tiba timbul perasaan kasihan dalam hati Sin Liong. Mengapa dia harus membunuh orang, pikirnya. Memang tiga orang ini amat jahat, akan tetapi kejahatan mereka itu belum merupakan alasan kuat bagi dia untuk berubah menjadi Giam-lo-ong alias malaikat pencabut nyawa! Tangan kirinya bergerak enam kali dan tiga orang tosu Pek-lian-kauw itu berteriak dan roboh terjengkang, kedua pundak mereka patah-patah tulangnya. Untuk menghukum mereka, Sin Liong sengaja menghabiskan sin-kang mereka dengan jalan mempergunakan ilmu Thi-khi-i-beng kemudian menampar remuk tulang-tulang kedua pundak mereka. Dengan demikian, biarpun tiga orang itu akan dapat pulih lagi kesehatannya, namun mereka sulit diharapkan akan dapat menjadi ahli-ahli silat yang pandai. Boleh dikata mereka dibuat menjadi tapadaksa dan lenyap kekuatan mereka.
"Sin Liong..."
Pemuda itu cepat membalik dan giranglah dia melihat Bi Cu sudah bergerak dan cepat dia menghampiri dan berlutut di dekatnya. "Bi Cu, kau sudah siuman...?" teriaknya. "Hayo cepat kita melarikan diri, banyak musuh jahat mengejar kita!" Sin Liong lalu merangkul dan hendak memondongnya kembali.
"Ihh...!" Bi Cu menjerit dan tangan kanannya menampar.
"Plakkk!" Pipi kiri Sin Liong kena ditampar dengan keras karena memang pemuda itu selain sama sekali tidak menyangka-nyangka, juga tidak mau menangkis. Dia terbelalak memandang dengan heran dan mengira bahwa obat bius itu masih mempengaruhi otak dara ini sehingga melakukan tamparan dalam keadaan masih belum sadar benar!
"Manusia cabul kau! Mata keranjang kau! Ceriwis kau!"
Mendengar caci-maki Bi Cu dan melihat betapa Bi Cu dengan susah payah menggunakan kedua telapak tangan untuk menutupi bagian-bagian depan tubuhnya dan kemudian membalikkan tubuh membelakanginya, tidak sadar bahwa dengan berbuat demikian dara itu memperlihatkan dua buah bukit pinggul yang indah bentuknya, yang dapat nampak melalui pakaian dalam yang tipis itu, mengertilah Sin Liong dan mukanya berubah merah sekali.
"Bi Cu, jangan salah mengerti," katanya lirih sambil menunduk, tidak berani terlalu lama memandang dua bukit menonjol dan garis punggung itu, "ketahuilah bahwa ketika aku melarikanmu dari Pek-lian-kauw, engkau sudah berada dalam keadaan seperti sekarang ini dan aku tidak banyak mempunyai waktu untuk mencari pakaian untukmu karena keadaan amat berbahaya dan semalam di dalam hutan ini... tak mungkin mencari pakaian untukmu dan sekarang..."
"Ihh, cerewet amat sih! Yang mereka pakai itu apalagi kalau bukan pakaian!" bentak Bi Cu.
Sin Liong menoleh ke arah telunjuk yang menuding itu dan hampir dia menampar kepala sendiri. Mengapa dia sebodoh itu? Sin Liong tertawa lalu menghampiri seorang diantara tiga tosu tadi, yang paling kecil tubuhnya dan dengan paksa dia lalu menanggalkan pakaian luar tosu ini yang sudah tidak mampu bergerak lagi dan hanya menyeringai menahan nyeri ketika baju dan celana luarnya dilucuti karena kedua pundak yang hancur itu membuat dia tidak mampu menggerakkan tangan.
"Nah, pakailah ini, Bi Cu."
Bi Cu tidak banyak cakap lagi, menyambar pakaian itu kemudian lari ke belakang batang pohon besar untuk memakai jubah dan celana yang masih kebesaran untuknya itu. Diam-diam Sin Liong menahan ketawa. Tinggal merangkapkan jubah dan celana itu saja di luar pakaian dalamnya, mengapa harus bersembunyi di balik pohon segala? Tak lama kemudian Sin Liong melihat Bi Cu muncul dari balik pohon dan kembali dia harus menahan ketawanya karena memang Bi Cu nampak lucu sekali dalam pakaian tosu yang kebesaran itu. Biarpun dia sudah menahan-nahan ketawanya, tetap saja mulutnya bergerak-gerak meruncing dan hal ini nampak oleh dara itu.
"Eh, eh, kenapa kau mecuca-mecucu seperti itu? Kau mentertawakan aku, ya?"
"Ti... tidak, hanya... kau lucu sekali dalam pakaian itu, Bi Cu."
"Buatmu lucu, buatku sama sekali tidak lucu! Eh, Sin Liong, apa sih yang terjadi dengan diriku? Yang teringat olehku hanya bahwa aku ikut bersama Kim Hwa Cinjin, diambil murid olehnya."
"Engkau telah terjebak ke dalam perangkap berbahaya, Bi Cu. Pek-lian-kauw adalah perkumpulan pemberontak, jahat dan cabul. Aku mendapatkan dirimu pingsan oleh obat bius, dan hampir saja engkau dinodai oleh tiga orang keji itu!" Sin Liong menuding ke arah tiga orang tosu yang masih rebah di atas tanah, seorang di antara mereka hanya memakai cawat saja karena pakaiannya telah dilucuti.
Muka Bi Cu menjadi merah sekali dan matanya terbelalak, membayangkan kemarahan. "Apa? Bukankah mereka itu murid-murid Kim Hwa Cinjin...?"
"Benar, dan agaknya engkau diambil murid dengan maksud yang amat kotor dan keji."
"Keparat! Kalau begitu mereka ini patut dibunuh!" Bi Cu melangkah maju, akan tetapi Sin Liong cepat memegang tangannya.
"Sudahlah, Bi Cu. Mereka sudah terhukum dan mereka selanjutnya tidak akan mampu lagi mengganggu wanita. Mari kita cepat pergi karena masih banyak musuh yang mengejar, bahkan ada pasukan pemerintah..."
Mendengar ini, wajah Bi Cu sudah berubah pucat dan dia cepat memegang tangan Sin Liong. "Pasukan? Wah, ke mana kita harus lari?"
"Mari kau ikut denganku!" Sin Liong menggandeng tangannya dan mengajaknya lari menyusup ke dalam hutan yang lebih gelap. Mereka berlari terus, akan tetapi tiba-tiba dari depan terdengar suara hiruk-pikuk banyak orang sehingga terpaksa dia mengambil jurusan lain dan terus melarikan diri, makin lama makin jauh ke dalam hutan lebat yang sama sekali tidak dikenalnya.
Pada senja hari itu, terpaksa mereka berhenti di bawah pohon yang lebat di tengah hutan karena Bi Cu sejak tadi sudah mengomel dan mengeluh saja karena lapar dan lelah. Sehari itu mereka berlari-larian terus tanpa berkesempatan makan, bahkan tidak sempat bercakap-cakap karena lelah.
Kini Bi Cu tanpa berkata apa-apa lagi sudah menjatuhkan diri ke bawah pohon itu, bersandar pada batang pohon melepaskan lelah dengan mata terpejam. Kasihan sekali rasa hati Sin Liong melihat dara ini, maka diapun lalu duduk di atas tanah di depannya. Dara itu diam saja, hanya bersandar dengan wajah pucat dan mata terpejam, kelihatan amat lelah dan menderita. Kerutan alisnya membuat Sin Liong ragu-ragu untuk bertanya, karena kerutan itu membayangkan bahwa Bi Cu kembali sedang "ngambek". Agaknya Bi Cu merasakan pula keheningan ini. Dia membuka kedua matanya, bertemu pandang dengan Sin Liong, menarik napas panjang, bibirnya bergerak tanpa mengeluarkan suara dan akhirnya sepasang mata yang jeli itu terpejam kembali. Sin Liong menelan ludah, memberanikan hatinya. Suasana itu amat mencekam hatinya, karena biasanya, berdua dengan Bi Cu amatlah gembira karena kelincahan dan kejenakaan dara itu, dan sekarang dara itu demikian pendiam dan dingin.
"Bi Cu... sudah lama aku mencarimu..."
Bi Cu merapatkan pelupuk matanya. Ada sedu sedan naik dari dadanya. Ingin dia memaki, ingin dia menjerit, mencela mengapa baru sekarang Sin Liong muncul, padahal dia telah mencarinya semenjak mereka berpisah, betapa dia amat merindukan kehadiran Sin Liong, betapa dia amat membutuhkan Sin Liong untuk menemaninya, untuk membantunya kalau menghadapi bahaya. Dan sekarang, baru sekarang pemuda itu muncul, dan dalam keadaan hatinya penasaran itu tiba-tiba pemuda itu menyatakan bahwa telah lama mencarinya. Akan tetapi dia menahan kegemasannya, dan dengan suara datar dingin dia bertanya tanpa membuka matanya, "Mau apa kau mencariku?"
Sin Liong mengangkat muka memandang wajah yang menunduk dan mata yang terpejam itu, dia merasa heran sekali. Bukankah selama dia mencari Bi Cu, di mana-mana dia menemukan keterangan bahwa dara itupun sedang mencari-carinya? Mengapa kini dara itu kelihatan marah dan berduka?
"Bi Cu, tentu saja aku mencarimu. Semenjak kita berpisah, aku tidak pernah melupakanmu, Bi Cu. Aku amat mengkhawatirkan keadaanmu, mengingat betapa engkau hidup sebatang kara di dunia ini, aku menjelajah sampai jauh dan akhirnya baru aku dapat keterangan tentang engkau beberapa hari yang lalu dan..." Tiba-tiba Sin Liong menghentikan kata-katanya dan dia bengong memandang dara itu yang ternyata kini telah menangis tersedu-sedu, menyembunyikan muka di balik kedua tangan dan dari celah-celah jari tangannya menetes air matanya. Bi Cu telah menangis terisak-isak dan sesenggukan seperti anak kecil!
"Eh, kau kenapa Bi Cu...?"
Bi Cu mencoba mengangkat mukanya dan matanya terpejam, basah air mata yang bercucuran dan dengan susah payah dia berkata di antara isaknya, "Mengapa kau... tidak membiarkan aku mati saja...? Mengapa engkau menolongku...? Hu-hu-huuk, aku memang anak... celaka... mengapa kauperdulikan aku? Kau orang kejam...! Kau telah memaksaku pergi... kaukira aku takut bahaya dan takut mati? Kau menyuruh aku pergi... hu-huukk... aku terlunta-lunta, mati-matian mencarimu... hu-huuuhh... dan sekarang kau masih... pura-pura mencariku...?"
Sin Liong merasa kasihan sekali dan dia mendekat, menyentuh pundak dara itu. "Bi Cu, ketahuilah bahwa dulu itu aku menyuruhmu pergi karena engkau terancam bahaya hebat. Kau tidak tahu betapa jahatnya pangeran itu. Aku melakukan semua itu demi keselamatanmu, Bi Cu."
"Kenapa...? Kenapa engkau perdulikan keselamatanku...?"
"Entahlah. Karena engkau sebatangkara mungkin, seperti juga aku. Dan aku... senang sekali berada di dekatmu, melakukan perjalanan bersamamu, Bi Cu."
Bi Cu makin mengguguk dan kini dia merangkul, menangis di pundak Sin Liong. Pemuda itu menjadi terharu, tak dapat menahan kedua matanya menjadi basah dan dia mengusap rambut kepala dara itu. "Sudahlah, Bi Cu, jangan menangis. Bukankah kita sudah saling jumpa dengan selamat?"
"Sin Liong, jangan... jangan tinggalkan aku lagi..."
"Tidak! Aku bersumpah tidak akan meninggalkanmu lagi, Bi Cu."
Isak tangis itu mereda dan mereka masih saling rangkul, dan pada saat itu tidak ada sedikitpun perasaan cinta asmara di dalam batin mereka, yang ada hanyalah perasaan saling membutuhkan dan saling menyukai seperti kakak dan adik, atau seperti dua orang sahabat yang senasib sependeritaan saja.
"Kau akan mengantarku ke utara untuk mencari musuhku...?"
Sin Liong terkejut dan teringatlah dia akan ocehan yang keluar dari mulut Kui Hok Boan ketika orang itu menjadi miring otaknya. Mendengar ucapan yang keluar dari orang yang terserang tekanan batin sehingga hampir gila itu, mudah diduga bahwa pembunuh ayah kandung Bi Cu tentulah Kui Hok Boan! Akan tetapi bagaimana dia dapat berterus terang kepada Bi Cu tentang hal ini? Kalau Bi Cu tahu tentang itu, tentu dara ini akan berusaha membalaskan kematian ayahnya, dan kalau itu terjadi, dia sendiri yang akan menjadi bingung. Mungkinkah dia membiarkan orang lain atau Bi Cu sekalipun membunuh Kui Hok Boan dan dengan demikian menyusahkan hati kedua orang adik tirinya, Kui Lan dan Kui Lin yang disayangnya? Sin Liong menjadi bingung akan tetapi dengan suara lirih dia menjawab, "Ya, tentu saja..."
Kembali hening dan Bi Cu masih bersandar pada pundak Sin Liong. Tangisnya terhenti dan tiba-tiba terdengar suara lirih, suara berkeruyuk yang hanya dapat didengar oleh mereka berdua saja.
Suara lirih ini seperti suara gaib yang sama sekali melenyapkan kedukaan dan keharuan hati mereka, yang dalam seketika memulihkan watak Bi Cu yang sebenarnya. Tiba-tiba saja, dara yang tadi menangis sesenggukan sedemikian sedihnya, kini tertawa begitu geli dan gembira, bebas lepas dan dia sudah melangkah mundur sambil menudingkan telunjuk kirinya ke arah wajah Sin Liong. Pemuda inipun tersenyum, memandang wajah Bi Cu penuh pesona. Siapa takkan ikut tersenyum gembira melihat dara seperti ini? Tadi di waktu menangis, wajah dara itu tentu akan meluluhkan hati siapapun juga, akan tetapi setelah sekarang tertawa, dengan mata yang masih agak kemerahan dan pipi agak basah itu bersinar dan berseri, bibir yang merah itu terbuka sedikit dengan sopan, nampak sedikit ujung deretan giginya ketika tertawa, membentuk lesung pipit di sebelah kiri mulutnya saja, ah, betapa manisnya, betapa cerahnya, seolah-olah matahari yang baru muncul dari balik awan hitam yang tadi menghalanginya!
"Ih, tak tahu malu!" Bi Cu berseru sambil tertawa geli.
"Apa yang tak tahu malu?" Sin Liong bertanya, hanyut dalam kegembiraan dara itu.
"Hik-hik-hik, masih tanya lagi. Perutmu yang tak tahu malu, siapa lagi! Aku mendengar ada ayam jantan berkeruyuk di dalamnya tadi!"
Sin Liong tertawa. "Dan akupun mendengar ada ayam betinanya vang berkotek, entah dalam perut siapa! Tak mungkin dalam perutku ada ayam jantan dan ayam betinanya!"
Bi Cu tertawa dan menutup mulutnya. "Dalam perutku! Memang perut kita keduanya tak tahu malu!"
Melihat kini dara itu sudah pulih kembali kegembiraannya, Sin Liong lalu duduk di atas akar pohon. "Bi Cu, selama ini engkau ke mana sajakah? Bagaimana engkau sampai dapat terjatuh ke tangan orang-orang Pek-lian-kauw?"
Wajah Bi Cu masih berseri gembira, akan tetapi dia menarik napas panjang. "Ah, gara-gara engkau menyuruhku pergi ketika itu, banyak hal menimpa diriku." Dia lalu menceritakan semua pengalamannya, sampai akhirnya dia hampir ditangkap pasukan pemerintah dan kemudian ditolong oleh Kim Hwa Cinjin dan diajak pergi ke Pek-lian-kauw untuk menjadi muridnya.
"Hemm, Ceng Han Houw memang berhati palsu! Dia sudah berjanji tidak akan mengganggumu, akan tetapi tetap saja pasukannya hendak menangkapmu. Akan tetapi mengapa engkau mau diambil murid oleh tosu itu, Bi Cu? Apakah kau tidak tahu bahwa dia adalah ketua Pek-lian-kauw yang jahat?"
"Aku tidak tahu, andaikata aku tahupun agaknya hal itu tidak mempengaruhi, karena aku tidak mengenal Pek-lian-kauw. Dan dia telah menolongku, Sin Liong, dia membunuh belasan orang perajurit itu, dan dia demikian lihai sehingga aku kagum sekali. Entah mengapa, biarpun di lubuk hatiku aku tidak suka menjadi muridnya, namun ternyata aku telah menerimanya dan ikut dengan dia ke pusat perkumpulan itu. Aku diperlakukan dengan amat baik dan manis oleh semua muridnya, dan dalam pesta itu, aku minum arak pesta ulang tahun kemudian tidak ingat apa-apa lagi sampai aku siuman di dalam hutan ini. Dan mereka itu... ah, mereka harus dibunuh!" Dara itu meloncat bangun ketika teringat akan tiga orang tosu Pek-lian-kauw itu.
Akan tetapi Sin Liong sudah memegang lengannya. "Tenanglah, mereka sudah terhukum dan mungkin sekarang Pek-lian-kauw sudah hancur oleh pasukan pemerintah."
"Eh, apa maksudmu?"
"Engkau diberi obat bius sehingga tidak ingat apa-apa, untung kedatanganku belum terlambat dan engkau sudah selamat. Inilah yang terpenting. Ketika aku membawamu keluar dari sarang Pek-lian-kauw, malam itu Pek-lian-kauw diserbu oleh pasukan pemerintah. Mungkin hal itu ada hubungannya dengan belasan orang perajurit yang telah dibunuh oleh Kim Hwa Cinjin. Dan kalau yang memimpin penyerbuan pasukan itu Ceng Han Houw sendiri, dan aku yakin akan hal ini karena aku mendengar suaranya, maka tentu tidak akan ada orang Pek-lian-kauw yang dapat lolos."
"Sin Liong, bagaimana engkau dapat menolongku? Dan ke mana saja engkau pergi selama kita berpisah?"
"Setelah kita saling berpisah pada tempo hari, aku terpaksa mengantar Pangeran Ceng Han Houw menemui seseorang di selatan. Setelah beres, aku lalu kembali ke utara dan mulai mencarimu."
"Sin Liong, engkau adalah adik angkat seorang pangeran. Kalau engkau adik angkatnya, mengapa pangeran itu memusuhimu?"
"Tidak memusuhi, Bi Cu. Hanya dia itu... ah, kelak engkaupun akan mengerti sendiri. Sekarang tidak perlu dia kita bicarakan, engkau tahu... mungkin sekarang dia bersama pasukannya sedang mencari-cari di dalam hutan ini!"
"Aku tidak takut!" Tiba-tiba Bi Cu berseru. "Dan sekali ini, jangan engkau mengorbankan diri untukku lagi. Aku tidak sudi pergi dengan selamat tapi harus meninggalkanmu. Aku tidak tahan hidup sendiri lagi tanpa engkau yang menemaniku, selalu gelisah dan bingung. Sin Liong, berjanjilah lagi, bahwa engkau takkan meninggalkan aku, apapun yang terjadi. Kita akan menghadapi bahaya bersama, kalau perlu, aku tidak takut mati, asal bersamamu!"
Kembali keharuan menyelinap di dalam hati Sin Liong. Entah mengapa, diapun memiliki perasaan seperti yang secara jujur diucapkan oleh dara itu. Kalau dia terpaksa mau berpisah dari Bi Cu seperti yang telah terjadi, adalah karena dia ingin melihat dara itu terbebas dari bencana. Maka kini dia mengangguk dan berkata lirih, "Percayalah, aku tidak akan akan meninggalkanmu lagi, Bi Cu."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar