33 Pendekar Sadis

Sikap Sin Liong tetap tenang dan tegas. "Terserah kepada siapapun mau bertindak apapun terhadap Pendekar Sadis. Akan tetapi kalau dengan alasan-alasan yang telah kita bicarakan tadi, jelas bahwa kalau sampai terjadi bentrokan, Pendekar Sadis berada di pihak yang diserang lebih dulu. Dia tidak pernah mengganggu cu-wi, akan tetapi sekarang cu-wi hendak mengganggunya. Saya mengerti bahwa kematian Jit Goat Tosu membuat Kun-lun-pai merasa berduka dan juga malu. Maka kalau Kun-lun-pai hendak bertindak sendiri terhadap Pendekar Sadis, silakan. Hanya satu hal yang hendak kami kemukakan bahwa kami dari Cin-ling-pai dan Lembah Naga, akan mencarinya dan akan menasihatinya agar dia mengubah semua sikap yang kejam terhadap para penjahat, walaupun sudah sepatutnya kalau dia sebagai pendekar menentang kejahatan. Dan hendaknya cu-wi tidak mempunyai alasan yang kuat. Cu-wi tidak pernah menentang para datuk. Pendekar Sadis malah membasmi para datuk. Akan tetapi kini cu-wi hendak menentangnya dengan alasan-alasan yang amat lemah. Silakan dan kami rasa sudah cukup kami bicara!"

Setelah berkata demikian, Cia Sin Liong berpamit dan pergi meninggalkan Kun-lun-pai bersama Bhe Bi Cu, Cia Han Tiong, Yap Kun Liong, dan Cia Giok Keng. Tidak ada seorangpun di antara para pendekar yang berani membantah atau mencegahnya. Pihak Kun-lun-pai maklum bahwa Pendekar Lembah Naga itu diam-diam merasa marah. Pertemuan itu dilanjutkan tanpa adanya wakil dari Cin-ling-pai dan Lembah Naga, akan tetapi mereka tidak dapat mengambil keputusan bulat setelah terpengaruh oleh semua kata-kata Pendekar Lembah Naga tadi. Dan akhirnya hanya tinggal kemengkalan hati terhadap Pendekar Sadis yang ada, tanpa adanya keputusan untuk bersama-sama menentangnya. Bagaimanapun juga mereka maklum akan kelihaiannya, apalagi dengan adanya Lam-sin di sampingnya, siapa berani mencoba-coba dan main-main dengan mereka berdua? Belum diingat lagi bahwa menentang Pendekar Sadis mungkin saja akan melibatkan Cin-ling-pai dan Lembah Naga, apalagi setelah Pendekar Lembah Naga menyatakan pendapatnya seperti itu dan bahkan sudah menyatakan akan mencari dan menasihati Pendekar Sadis agar menghentikan sikapnya yang sadis dan kejam itu. Maka akhirnya, rapat itu hanya memutuskan untuk melihat perkembangannya saja bagaimana, apakah benar-benar Pendekar Sadis akan berubah menjadi pendekar yang tidak kejam, tidak lagi melakukan penyiksaan di luar batas perikemanusiaan seperti yang sudah-sudah. Tentu saja ada kekecualiannya di antara para pendekar itu, ada yang diam-diam merasa penasaran dan diam-diam mereka itu mengambil keputusan untuk sewaktu-waktu, kalau ada kesempatan, menghadapi Pendekar Sadis dan menentangnya, ingin melihat sampai di mana kehebatan ilmu kepandaian Pendekar Sadis yang disohorkan itu.

"Sudahlah Thian Sin, kenapa engkau membiarkan diri terbenam dalam kedukaan? Kalau engkau merasa penasaran, mengapa kita tidak sekarang saja mendatangi tempat pertemuan itu, tidak peduli apa jadinya nanti?" kata Kim Hong melihat kekasihnya itu duduk di atas batu sambil bertopang dagu, wajahnya nampak berduka dan pucat, sinar matanya layu dan muram. Mereka tidak lari jauh dari Kun-lun-pai, melainkan duduk di kaki pegunungan itu setelah semalam mereka bermalam di dalam hutan, melihat para tamu yang berdatangan ke puncak Kun-lun-pai, termasuk juga Kakek Yap Kun Liong bersama Nenek Cia Giok Keng, kemudian Cia Sin Liong bersama isterinya. Melihat neneknya, hampir saja Thian Sin keluar dari persembunyiannya, akan tetapi dia menahan diri dan ketika dia melihat ayah angkatnya lewat, tak tertahankan lagi dua tetes air mata membasahi pipinya.

Pagi ini, dia termenung dan bertopang dagu, bahkan sejak semalam tadi, semalam suntuk dia tidak tidur, membuat Kim Hong menjadi khawatir sekali akan keadaan kekasihnya itu.

Thian Sin menarik napas panjang. "Bagaimana aku tidak akan berduka, Kim Hong? Sejak aku kecil, aku selalu dirundung kemalangan, ditimbun kedukaan. Ayah bunda dibunuh orang, dan menjelang dewasa, banyak sekali peristiwa yang menyakiti hatiku, yang disebabkan oleh orang-orang jahat. Aku menimbun dendam dalam hati, dan setelah aku berhasil melampiaskan dendam, kembali aku menjadi serba salah, bahkan kini aku menyeret Cin-ling-pai dan Lembah Naga! Mereka akan dicela orang karena perbuatanku! Ah, kenapa aku selalu bernasib malang, bahkan membawa kemalangan bagi orang lain?" Pemuda itu menutupi mukanya dengan kedua tangan dan menarik napas panjang berulang-ulang.

Kim Hong merasa terharu, mendekati dan merangkul pemuda itu. "Jangan berduka, Thian Sin. Ada aku di sini yang mencintamu dan akan membelamu sepenuh hatiku!"

Thian Sin balas merangkul. Cinta kasihnya terhadap gadis ini makin mendalam. Di dunia ini, hanya Kim Hong seoranglah yang membela dan tidak menyalahkannya. Bahkan kakaknya yang dicintanya, Cia Han Tiong, kini menyalahkan dia! Hanya Kim Hong yang tidak menyalahkan, yang masih membela dan mencintanya. Hanya Kim Hong yang menghibur kemurungan hatinya. Diciumnya gadis itu dengan hati terharu. "Kalau tidak ada engkau, Kim Hong, entah apa jadinya denganku, entah apa yang akan kulakukan menghadapi semua ini. Rasanya aku ingin mengamuk di Kun-lun-pai dan menentang semua orang yang membenciku!"

Kemurungan pasti sekali waktu hinggap di dalam perasaan hati kita. Agaknya di dunia ini, semenjak jaman dahulu sampai sekarang tidak ada manusia yang dapat bebas daripada kemurungan atau kedukaan atau kekecewaan hati. Selalu saja ada persoalan yang mendatangkan kedukaan, kekecewaan dan kesengsaraan, dan kalau sudah datang perasaan duka ini, kita merasa sengsara, kita merasa prihatin, kita menderita batin, seolah-olah hati kita berdarah. Dan tidak jarang kita lalu melarikan diri dari semua derita ini, menghibur diri dengan bermacam kesenangan, atau melarikan diri sama sekali dengan membunuh diri. Atau membunuh diri secara batiniah, yaitu dengan jalan bertapa dan meninggalkan semua keramaian dunia yang sama saja artinya dengan hidup akan tetapi sudah mati. Semua ini hanyalah bentuk-bentuk pelarian belaka.

Kekecewaan, kemurungan atau kedukaan timbul karena batin menginginkan yang lain daripada kenyataan, batin selalu ingin senang sehingga kalau kesenangan yang diinginkan itu tidak terjadi, hati menjadi kecewa dan berduka. Kita tidak tahu bahwa justeru KEINGINAN UNTUK SENANG inilah pencipta kekecewaan dan kedukaan. Kita menginginkan agar hidup ini manis selalu baginya. Kita membutakan mata terhadap kenyataan bahwa sekali ada manis, sudah pasti ada pahit, getir, masam, asin dan sebagainya lagi. Itulah romantika hidup. Manis, pahit, getir, masam dan lain-lain, itu merupakan suatu kumpulan yang tak terpisahkan dan yang membentuk apa yang kita namakan kehidupan ini. Karena kita selalu menginginkan yang manis, maka yang pahit dan getir terasa tidak enak, mengecewakan dan menyiksa. Padahal, belum tentu yang manis itu selalu bermanfaat, dan belum tentu kalau yang pahit itu tidak berguna! Di dalam setiap kenyataan, baik itu diterima sebagai manis atau pahit, tersembunyi sesuatu, suatu rahasia yang maha ajaib, dan yang hanya akan nampak oleh dia yang tidak terpengaruh oleh rasanya, baik manis maupun pahit, yang melihat kenyataan sebagai apa adanya, tanpa menilainya sebagai baik atau buruk, manis atau pahit. Bukankah yang manis-manis itu sering kali malah mengganggu kesehatan dan yang pahit-pahit itu biasanya malah baik bagi kesehatan? Namun, bagaimana juga, kita selalu mengejar-ngejar yang manis-manis!

Seseorang yang kita cinta merupakan hiburan yang amat kuat di kala kita dirundung duka nestapa. Hal ini terasa benar oleh Thian Sin. Sekiranya tidak ada Kim Hong di dekatnya, entah apa yang akan dilakukannya. Mungkin saja dia akan menjadi nekad dan melakukan hal-hal yang lebih mengerikan lagi.

"Sekarang apa kehendakmu, Thian Sin? Apakah demi Cin-ling-pai dan Lembah Naga, engkau hendak menyerahkan diri kepada para tosu Kun-lun-pai?" Kim Hong bertanya untuk mengetahui isi hati kekasihnya.

Thian Sin mengepal tinju. "Tidak! Sampai matipun aku tidak sudi menyerahkan diri kepada para tosu Kun-lun-pai. Boleh saja mereka menyebut diri mereka sebagai partai beiar, gudang pendekar-pendekar budiman, akan tetapi jelaslah bahwa sikap mereka terhadap kita didasarkan atas dendam karena kita telah dianggap menyebabkan kematian Jit Goat Tosu."

"Benar, memang tidak semestinya kita menyerahkan diri kepada Kun-lun-pai karena kita tidak bersalah apa-apa terhadap mereka. Dan jangan kaukira mereka itu hanya mendendam karena kematian supekku saja, melainkan ada hal yang lebih dari itu bagi mereka."

Thian Sin mengangkat muka memandang wajah kekasihnya dengan heran. "Ada hal apalagi kecuali kematian supekmu itu?"

"Kehormatan mereka! Kita mencari dan menyerang supek di dalam wilayah Kun-lun-pai, dan mereka merasa malu, seolah-olah mereka tidak dapat melindungi orang yang telah menjadi saudara mereka dan telah berada di antara mereka. Selain itu, juga kurasa mereka merasa sayang sekali telah kehilangan sumber ilmu-ilmu silat yang tinggi."

"Maksudmu?"

"Lupakah engkau betapa lihainya supek? Bahkan kita berdua bergabungpun tidak mampu mengalahkan dia! Padahal dia sudah nampak begitu tua dan lemah, telah bertahun-tahun bertapa dan kurang makan. Bayangkan saja betapa hebatnya ilmu kepandaian supek sehingga tidaklah mengherankan kalau mendiang ayahku takut kepadanya. Dan agaknya para tosu itu mengincar ilmu-ilmu dari supek yang mereka warisi. Kurasa itulah sebabnya mengapa para tosu itu mengejar-ngejarmu, mengejar-ngejar kita!"

Thian Sin mengangguk-angguk. "Mungkin benar sekali pendapatmu itu. Maka, bagaimanapun juga, aku tidak akan mau menyerahkan diri kepada mereka dan kalau mereka bersama orang-orang yang menyebut diri mereka pendekar-pendekar itu mengejarku, aku akan menghadapi mereka sebagai orang-orang jahat yang hendak mengganggu diriku. Akan tetapi..." Dia tidak melanjutkan kata-katanya dan wajahnya nampak muram.

Kim Hong maklum kata-kata apa yang tak terucapkan itu, maka iapun mendesak dengan terus terang, "Bagaimana kalau Cin-ling-pai dan Lembah Naga yang datang menghadapimu, Thian Sin?"

Pemuda itu menarik napas panjang, wajahnya agak pucat. "Itulah... aku tidak mungkin berani melawan mereka. Mereka bukanlah orang-orang sombong seperti tosu-tosu Kun-lun-pai dan orang-orang yang menamakan diri pendekar-pendekar itu. Mereka adalah pendekar-pendekar sejati. Engkau sudah mendengar sendiri kata-kata Tiong-ko. Mereka adalah orang-orang benar yang patut kuhormati dan kutaati. Tidak, aku tidak berani menentang mereka. Aku akan menyerahkan diri kepada mereka, asalkan bukan untuk dibawa kepada orang-orang Kun-lun-pai untuk dipersalahkan."

"Kalau begitu, sebaiknya kalau engkau menemui mereka sekarang juga. Nanti setelah selesai pertemuan di puncak itu, tentu mereka akan turun gunung. Nah, itulah saatnya bagimu untuk menemui mereka."

"Ahhh...!" Wajah pemuda itu nampak gemetar. Ngeri dia membayangkan untuk berhadapan dengan ayah dan ibu angkatnya, dengan neneknya yang galak dan kakeknya yang berwatak lembut itu. Juga kakaknya!

"Thian Sin, di mana kegagahanmu? Tidak baik kalau rasa keragu-raguan itu dipendam dan dibawa pergi ke mana-mana. Seorang gagah harus berani menghadapi kenyataan, betapapun pahitnya kenyataan itu. Kalau bisa dibereskan sekarang juga, mengapa mengulur-ulur waktu dan sementara itu membawa-bawa kekhawatiran di dalam hati? Temui mereka sekarang juga kalau mereka turun gunung dan kita lihat bagaimana pendapat mereka tentang dirimu. Jangan khawatir, aku selalu berada di sampingmu kalau perlu... andaikata engkau harus mati oleh mereka, akupun harus mati di tangan mereka!"

"Kim Hong...!" Thian Sin menjadi terharu sekali dan diapun merangkul. Mereka berangkulan, berciuman dan mata mereka menjadi basah, bukan hanya oleh keharuan dan kedukaan membayangkan kemungkinan itu, akan tetapi juga rasa babagia di dalamnya, bahwa mereka itu saling mencinta sedemikian dalamnya sehingga tidak ragu-ragu untuk kalau perlu mengorbankan nyawa demi kekasihnya.

Tak lama kemudian mereka melihat lima orang pertama yang turun dari puncak di mana terdapat markas Kun-lun-pai dan dapat dibayangkan betapa kaget dan tegang rasa hati Thian Sin dan Kim Hong ketika melihat bahwa mereka itu adalah orang-orang yang mereka tunggu-tunggu, yaitu Kakek Yap Kun Liong, Nenek Cia Giok Keng, Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong dan isterinya, juga puteranya!

Melihat wajah kekasihnya menjadi pucat, Kim Hong memegang tangannya dan berkata halus, "Marilah, Thian Sin. Mari kita menyambut dan menghadap mereka!" Dan iapun menarik pemuda itu keluar dari dalam hutan di mana mereka bersembunyi dan langsung mereka berdua menyongsong kedatangan lima orang itu.

Seperti kita ketahui, dengan perasaan marah, Pendekar Lembah Naga sekeluarga dan kakek nenek yang mewakili Cin-ling-pai meninggalkan pertemuan rapat para pendekar di ruangan tamu Kun-lun-pai.

"Kita harus dapat bertemu dengan Thian Sin. Ingin aku bicara dengan dia dan dia harus mendengarkan kata-kataku sekali ini!" kata Pendekar Lembah Naga dengan muka agak merah. Dia telah membela nama Thian Sin sebagai Pendekar Sadis, bukan hanya karena Thian Sin itu anak angkatnya, akan tetapi juga karena menjaga nama baik Cin-ling-pai dan Lembah Naga, dan juga karena pada hakekatnya, dia tidak menganggap Thian Sin jahat, hanya terlalu kejam terhadap musuh-musuhnya.

"Kurasa dia tidak akan jauh dari tempat ini, ayah," kata Han Tiong. "Aku mengenal betul watak Sin-te, dia tidak akan melarikan diri kalau didesak."

Ucapan Han Tiong ini terbukti ketika mereka tiba di lereng dekat puncak dan mencapai hutan pertama, tiba-tiba dia melihat munculnya Thian Sin dan Kim Hong dari dalam hutan itu dan melihat keduanya sengaja menyongsong mereka.

Begitu berhadapan, Cia Sin Liong sudah memandang kepada anak angkatnya itu dan berkata dengan suara lantang mengandung teguran, "Thian Sin, bagus sekali perbuatanmu, ya? Begitukah engkau membalas budi kepada Cin-ling-pai dan Lembah Naga, menyeret nama mereka ke pecomberan dan menjadi bahan celaan dunia kang-ouw?"

Mendengar suara ayah angkatnya yang biasanya halus penuh kasih sayang kepadanya itu kini terdengar penuh kemarahan dan juga kekecewaan dan kesedihan, hati Thian Sin seperti ditusuk rasanya dan diapun segera menjatuhkan diri berlutut di depan ayah angkatnya itu dan tak dapat ditahannya lagi diapun menangis! Untuk kedua kalinya selama ia mengenal Thian Sin, Kim Hong melihat kekasihnya menangis sedemikian sedihnya. Kim Hong merasa terharu dan kasihan sekali, dan iapun lalu ikut berlutut.

"Locianpwe, urusan di Kun-lun-pai adalah urusan saya, dan sayalah yang bertanggung jawab. Thian Sin tidak bersalah, melainkan hanya ikut menemani saya, oleh karena itu, kalau locianpwe hendak marah, sayalah orangnya yang harus dimarahi, bukan dia," kata Kim Hong sambil menundukkan mukanya, sedangkan Thian Sin di sebelahnya masih menitikkan air mata.

"Lam-sin!" terdengar pula Cia Sin Liong berkata, suaranya berwibawa sekali. "Engkau adalah datuk kaum sesat di selatan, apakah engkau hendak menyeret anak angkatku untuk mengikutimu masuk ke dalam dunia hitam dam melakukan perbuatan sesat?"

"Locianpwe, semenjak saya bertemu dengan Thian Sin, Lam-sin telah kubunuh dan saya telah membubarkan semua pengikut, saya telah menanggalkan semua kedudukan dam julukan, saya telah meninggalkan dunia sesat dam sayalah yang ikut bersama Thian Sin, bukan dia yang ikut saya. Saya membantunya menghadapi datuk-datuk sesat lainnya, adapun ketika dia membantu saya menghadapi supek saya, hal itu adalah urusan pribadi saya, sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan Kun-lun-pai atau orang lain. Karena itu, harap locianpwe jangan persalahkan Thian Sin, sayalah yang bersalah."

"Ayah, saya mengaku salah, saya telah mencemarkan nama baik Lembah Naga dengan perbuatan saya. Oleh karena itu, terserah kepada ayah, hendak menjatuhkan hukuman apapun juga, akan saya terima dengan rela."

"Tidak boleh!" Kim Hong berteriak. "Kalau locianpwe menjatuhkan hukuman kepadanya, harus menghukum saya juga. Mau membunuh kami berdua, silakan, kami rela mati berdua untuk menebus dosa kalau memang locianpwe menghendaki demikian!" Ucapan Kim Hong ini mengharukan hati Bhe Bi Cu dan juga Cia Giok Keng lalu berkata dengan suara serak dan mata merah.

"Sin Liong, kauampunkanlah anakmu! Cucuku Ceng Thian Sin itu..."

Memang pada lubuk hatinya, sedikitpun tidak ada niat untuk menghukum anak angkatnya itu, akan tetapi Sin Liong berpikir bahwa amatlah perlu untuk menegur Thian Sin pada saat seperti itu.

"Thian Sin, kenapa hatimu demikian kejamnya, demikian keji dan sadis engkau menyiksa orang-orang yang menjadi musuhmu? Jawablah dan jelaskan kepada kami, mengapa engkau menjadi demikian kejam melebihi iblis sendiri?"

"Saya mengakui semua itu, Ayah. Saya hampir gila oleh dendam, sehingga saya lupa diri, hendak memuaskan rasa dendam dan sakit hati itu dengan menyiksa musuh-musuh saya. Saya... terus terang saja, ayah... saya merasa... senang dan nikmat sekali dalam pemuasan dendam dan sakit hati itu dengan menyiksa mereka dan... dan pada saat itu saya lupa segala-galanya, yang teringat hanya ingin menyiksa orang yang pernah menyiksa hati saya..."

Semua orang yang mendengar kata-kata ini bergidik, bukan hanya karena membayangkan kesadisan, Thian Sin dalam menyiksa musuh-musuhnya seperti yang pernah mereka dengar dibicarakan orang dengan ketakutan, melainkan terutama sekali melihat kenyataan akan adanya sifat sadis dalam diri masing-masing.

Memang, kalau kita mau membuka mata mengenal diri sendiri, di dalam batin kita terdapat sifat sadis itu. Kita akan merasa senang sekali melihat orang yang kita anggap jahat menerima siksaan! Kita akan merasa puas kalau mendengar musuh atau orang yang kita benci menderita malapetaka dan kesengsaraan. Kita ini masing-masing mempunyai watak pendendam, pemarah dan ingin membalas kepada siapa saja yang membuat kita tidak senang, baik yang mengganggu kita itu manusia maupun setan. Setidaknya, kita akan mengumpat cacinya, dan mengutuknya, dan tentu saja kita akan merasa senang dan puas melihat dia tersiksa seperti yang digambarkan oleh benak kita yang penuh dengan kebencian dan racun dendam. Siapakah yang dapat menyangkal bahwa terdapat persamaan dalam batin kita dengan watak Pendekar Sadis yang suka menyiksa orang-orang yang dibencinya? Andaikata kita diberi kekuatan seperti dia, diberi kekuasaan seperti dia, bukan tidak mungkin kitapun suka menyiksa musuh-musuh yang kita benci. Pengenalan diri sendiri ini dapat kita lakukan dengan jelas apabila kita melihat sesuatu, baik melalui bacaan maupun tontonan, yang sifatnya membalas dendam. Kita membenci tokoh yang kita anggap jahat dan kita bersorak penuh kepuasan kalau kita melihat "Si Jahat" itu tertimpa malapetaka dan tersiksa. Namun, betapa sukarnya untuk mengenal diri sendiri!

"Thian Sin, aku mengerti perasaan itu. Akan tetapi, lupakah engkau akan ajaran yang pernah kau terima dari pamanmu Hong San Hwesio dan dariku sendiri selama itu? Lalu apa artinya semua latihan yang kuberikan untuk bersamadhi dan mengenal sifat-sifat buruk diri sendiri? Orang yang melakukan perbuatan kejam dinamakan penjahat, lalu apa artinya orang dianggap pendekar kalau hatinyapun kejam terhadap orang lain? Apakah bedanya antara penjahat kejam dan pendekar kejam? Mungkin saja si penjahat berbuat kejam untuk keuntungan harta atau pemuasan hatinya, akan tetapi kalau seorang pendekar berbuat kejam terhadap penjahat, tentu juga demi untuk memuaskan hatinya yang mendendam. Jadi pada hakekatnya sama saja, yaitu untuk menyenangkan atau memuaskan diri sendiri. Hati yang kejam itu didasarkan oleh kebencian, dan apapun yang dilakukan seseorang, baik dia dinamakan pendekar maupun penjahat, kalau didasari dengan kebencian, maka perbuatannya itu adalah jahat! Seorang pendekar menentang kejahatan, akan tetapi bukan berdasarkan kebencian terhadap sesama manusia, walaupun manusia itu dinamakan penjahat sekalipun. Seorang pendekar menentang kejahatan, karena ingin menyelamatkan orang yang dapat menjadi korban kejahatan, karena ingin menyadarkan orang yang melakukan kejahatan, karena ingin menenteramkan kehidupan manusla di dunia, karena ingin menegakkan kebenaran dan keadilan. Semua itu bebas dari landasan hati yang diracuni kebencian. Akan tetapi, apa yang kaulakukan itu semata-mata adalah karena hatimu penuh dengan dendam sakit hati dan kebencian. Lalu apa bedanya semua kesadisanmu itu dqngan perbuatan para penjahat di dunia ini?"

Cia Sin Liong berhenti bicara dan Thian Sin makin menundukkan kepalanya. Biarpun kadang-kadang dia menyadari akan hal itu, akan tetapi baru sekali inilah hal itu seperti ditusukkan ke dalam perasaannya, membuat matanya terbuka dan dapat melihat dengan jelas akan semua kesalahan yang pernah dilakukannya selama ini. Memang dia telah menjadi buta oleh dendam dan kebencian.

"Saya mengaku salah..." katanya lirih.

"Pengakuan salah tanpa penghayatan dalam hidup tidak ada artinya sama sekali! Penyesalan di mulut dan di hati tidak ada gunanya. Yang penting adalah membuka mata melihat bahwa setiap kita melakukan sesuatu yang jahat, dalam arti kata merugikan orang lain lahir maupun batin, maka pada saat itu kita tidak memiliki kewaspadaan, kesadaran kita menjadi buta oleh nafsu. Oleh karena itu, kita harus waspada setiap saat, terutama sekali waspada terhadap diri sendiri lahir batin. Hanya dengan kewaspadaan dan kesadaran terhadap diri sendiri lahir batin sajalah kita tidak akan bertindak membabi-buta menurutkan nafsu-nafsu kita. Kebencian terhadap orang lain merupakan pangkal segala permusuhan dan kekacauan di dunia ini. Kita harus dapat menghalau kebencian ini jauh-jauh dari batin kita, baik terhadap orang yang kite anggap jahat maupun tidak. Selama masih ada kebencian di dalam batin, bukan kebencian terhadap seseorang tertentu, melainkan kebencian terhadap siapapun juga, maka tak mungkin dia dapat menjadi seorang pendekar dalam arti yang seluas-luasnya!" Thian Sin dan Kim Hong mengangguk-angguk, diam-diam merasa betapa tidak mudahnya menjadi seorang manusia yang pantas dinamakan pendekar.

"Kalian orang-orang muda perlu sekali memperhatikan apa yang telah dikatakan oleh Sin Liong," kata Kakek Yap Kun Liong dengan suara halus dan tenang. "Memang demikianlah sesungguhnya, selama masih ada kebencian di dalam batin, tidak mungkin orang itu mengenal cinta kasih. Dan seorang pendekar adalah seorang yang penuh cinta kasih, yang hanya satu keinginannya, yaitu membangun, bukan merusak. Memang mungkin saja, untuk membangun orang harus membongkar, akan tetapi bukan berarti merusak. Mungkin seorang pendekar harus bertindak keras terhadap seorang sesat, namun bukan berarti keras karena kebencian atau hendak merusak, melainkan keras yang sifatnya membongkar untuk kemudian dibangun. Atau yang sifatnya mendidik, menuntut agar yang menyeleweng kembali ke jalan benar."

"Terima kasih atas semua petuah dan peringatan dari ayah dan kakek yang amat berguna itu," kata Thian Sin.

"Terima kasih kepada locianpwe yang mulia," kata pula Kim Hong. Hati wanita ini benar-benar tergetar dan membuatnya tunduk benar terhadap para pendekar sakti ini dan dara inipun dapat melihat betapa dahulu ia telah melakukan penyelewengan besar sekali.

"Dan saya mohon petunjuk kepada ayah, apa yang harus saya lakukan selanjutnya? Apakah saya harus menyerahkan diri kepada Kun-lun-pai untuk diadili? Kalau demikian halnya, lebih baik ayah membunuh saya sekarang juga, karena saya tidak merasa bersalah terhadap Kun-lun-pai dan mereka itu hanya ingin membalas dendam karena membenci saya."

Cia Sin Liong mengangguk-angguk. "Memang tidak sepatutnya kalian menyerahkan diri begitu saja. Kalau kalian mau, marilah ikut bersama kami ke Lembah Naga. Kakakmu akan merayakan pernikahannya dan kalian seharusnya hadir pula. Sudah terlalu lama engkau meninggalkan rumah, Thian Sin. Pulanglah dan kami akan merasa berbahagia sekali."

"Benar, cucuku. Selain itu, akupun ingin melihat engkau menikah sebelum aku mati," kata Nenek Cia Giok Keng. "Dan akupun senang sekali dengan pilihanmu. Nona Toan ini memang cocok untuk menjadi jodohmu."

Dengan hati terharu Thian Sin menghaturkan terima kasih kepada neneknya itu dan dia bertanya kepada ayahnya, "Ayah, kapankah Tiong-ko hendak melangsungkan pernikahannya?"

"Kami sudah memperhitungkan, nanti pada tanggal sepuluh bulan delapan, jadi kurang tiga bulan lagi," jawab Cia Sin Liong.

"Kalau begitu, biarlah pada waktunya kami akan datang ke Lembah Naga, ayah. Kami hendak pergi ke suatu tempat yang akan kami jadikan tempat tinggal kami..."

"Di manakah itu, Sin-te? Di mana kalian hendak tinggal?" tanya Han Tiong, hatinya merasa kecewa mendengar adiknya itu tidak akan tinggal bersama mereka di Lembah Naga.

"Di Pulau Teratai Merah, Tiong-ko," tiba-tiba Kim Hong yang menjawab. "Kami berdua telah bersepakat untuk tinggal di bekas tempat tinggal mendiang ayah dan ibu ketika ayah menjadi buronan. Kami masih mempunyai rumah di sana."

"Tapi... tapi kapankah kalian akan menikah?" tanya Nenek Cia Giok Keng. "Bukankah baik sekali kalau engkau menikahkan kedua puteramu itu secara berbareng saja, Sin Liong?"

"Terserah kepada Thian Sin dan tunangannya," jawab pendekar itu yang dengan bijaksana menyerahkan urusan perjodohan orang-orang muda itu kepada yang berkepentingan sendiri.

"Bagaimana, Thian Sin, cucuku?" tanya nenek itu kepada Thian Sin.

Thian Sin dan Kim Hong saling pandang, lalu keduanya menundukkan muka yang tiba-tiba menjadi merah. Sungguh mengherankan hati mereka sendiri mengapa setelah keluarga yang mereka hormati ini bicara tentang perjodohan mereka, mereka menjadi tersipu-sipu malu.

"Maaf, nenek, kami masih belum berpikir tentang pernikahan," akhirnya Thian Sin menjawab dan Nenek Cia Giok Keng hanya dapat menghela napas panjang. Iapun mengerti bahwa urusan pernikahan adalah urusan kedua orang itu sendiri, dan mencampurinya hanya akan mendatangkan kekacauan belaka. Hal ini ia sendiri sudah mengalaminya, maka dengan bijaksana iapun diam saja, tidak membantah lagi.

Akhirnya merekapun berpisah. Sambil berlutut, Thian Sin berkata kepada mereka semua, "Harap ayah dan ibu, juga Tiong-ko, kakek dan nenek yang saya hormati dan saya cinta, suka menjadi saksi. Mulai saat ini, Pendekar Sadis hanya tinggal sebutannya saja, akan tetapi kekejaman dan kesadisan akan saya enyahkan jauh-jauh dari dalam batin saya. Semoga saya selalu akan sadar dan dengan kerja sama dan bantuan Kim Hong, mudah-mudahan saya tidak akan melanggar janji saya ini. Saya akan mengikuti jejak ayah sekalian, menjadi pendekar dalam arti yang sesungguhnya!"

Setelah berpamit dalam suasana mengharukan, terutama sekali Han Tiong yang merasa berat untuk berpisah dari adiknya, akhirnya Thian Sin dan Kim Hong berpisah dari mereka dan dua orang muda ini melakukan perjalanan ke selatan untuk pergi ke Pulau Teratai Merah. Di sepanjang perjalanan mereka selalu menghindarkan diri dari bentrokan-bentrokan, mengambil jalan yang sunyi dan melakukan perjalanan cepat. Kim Hong merasa girang sekali bahwa kekasihnya suka memenuhi keinginannya untuk kembali ke pulau kosong itu dan sebagai rasa terima kasihnya, sikapnya menjadi semakin mesra terhadap Thian Sin.

***

Kalau orang berdiri di pantai muara Sungai Huai yang menuangkan airnya ke dalam Lautan Kuning akan nampaklah banyak pulau-pulau kecil. Sebagian besar dari pulau-pulau ini adalah pulau-pulau karang yang kering-kerontang, akan tetapi ada pula beberapa buah di antaranya yang nampak kehijauan karena pulau itu mengandung tanah sehingga tetumbuhan dapat hidup di situ.

Pulau Teratai Merah adalah satu di antara pulau-pulau itu yang letaknya agak jauh dan tidak dapat dilihat dari pantai muara Sungai Huai itu, kecuali kalau lautan sedang amat tenangnya dan cuaca amat cerahnya. Pulau Teratai Merah adalah sebuah pulau kecil saja, akan tetapi mempunyai tanah yang subur sehingga dapat ditanami. Sebelum Toan Su Ong dan isterinya, yaitu Ouwyang Ci tinggal di pulau itu, pulau itu tidak pernah ditinggali manusia, kecuali hanya menjadi tempat singgahan para nelayan saja. Tentu saja orang enggan tinggal di situ, karena letaknya yang jauh dari pantai daratan, juga jauh dari tetangga manusia lain, dan pula, lautan di sekitar pulau itu terkenal amat buas dan banyak dihuni ikan-ikan hiu yang ganas pula. Karena banyaknya hiu inilah maka daerah kepulauan itu bukan merupakan daerah nelayan yang baik.

Pangeran Toan Su Ong tentu saja berbeda dengan para pelayan itu. Dia adalah seorang buronan yang memang mencari tempat persembunyian yang baik dan pulau kosong itu amat tepat untuknya. Tempatnya terpencil, sukar dikunjungi, bahkan tidak aman karena pulau-pulau itu sering dijadikan tempat persembunyian para bajak laut. Toan Su Ong dan isterinya yang berkepandaian tinggi itu tentu saja tidak takut terhadap para bajak laut. Dan mereka dapat bercocok tanam di tempat itu, bahkan akhirnya mereka dapat membangun sebuah rumah yang cukup besar di pulau kosong itu.

Thian Sin ikut dengan Kim Hong menuju ke pulau itu. Mereka berperahu, sebuah perahu layar kecil yang mereka beli di pantai daratan. Pendekar muda itu mendapat kenyataan bahwa di samping bermacam-macam ilmu kepandaiannya, ternyata Kim Hong pandai pula mengemudikan perahu layar. Dengan keahlian yang mengagumkan, gadis ini mengemudikan perahu yang layarnya mengembung ditiup angin itu, meluncur dengan lincah di permukaan air lautan, menempuh gelombang-gelombang kecil yang membuat perahu itu naik turun mengerikan bagi Thian Sin yang tidak bisa berperahu. Akan tetapi dia ingin belajar dan biarpun pada jam-jam pertama dia merasa pening kepala, akhirnya dia dapat juga membantu Kim Hong mengemudikan perahu.

Berlayar dari pantai daratan menuju ke Pulau Teratai Merah itu memakan waktu setengah hari. Itupun kalau lautan sedang tenang dan arah angin baik. Menurut keterangan Kim Hong, kalau kurang angin pelayaran akan memakan waktu lebih lama, kadang-kadang sehari. Akan tetapi ketika mereka tiba di pulau ini, mereka melihat sebuah perahu besar telah berlabuh di situ! Kim Hong mengerutkan alisnya dan berkata, "Ah, baru beberapa tahun saja kutinggalkan tempat ini, sudah ada yang berani menempatinya! Biasanya hanya para bajak laut saja yang singgah di pulau-pulau kosong. Aku khawatir kalau-kalau mereka merusak bangunan rumah kami!"

Thian Sin bergidik melihat betapa perahu mereka itu dikelilingi ikan-ikan hiu besar. Nampak sirip mereka mcluncur di permukaan air sekitar perahu. Dia pernah mendengar cerita tentang ikan-ikan hiu itu, yang dianggap sebagai harimaunya lautan.

"Hiu di sini ganas, berani menyerang perahu!" kata Kim Hong. "Akan tetapi jangan khawatir, mereka tidak akan berani mengganggu kita." Berkata demikian, Kim Hong menabur-naburkan bubuk kuning di sekeliling perahunya dan benar saja, tak lama kemudian sirip-sirip ikan hiu itu menjauh dan akhirnya lenyap. Bubuk kuning itu adalah semacam obat yang merupakan racun yang menakutkan bagi ikan-ikan hiu itu, ciptaan mendiang Pangeran Toan Su Ong. Selamatlah mereka mendarat di pulau itu, dan Kim Hong sengaja melakukan pendaratan dari samping, agak jauh dari perahu hitam besar karena ia hendak menyelidiki secara diam-diam siapa orangnya yang kini berada di pulau itu.

Setelah menyembunyikan perahunya di balik semak-semak, Kim Hong lalu mengajak Thian Sin pergi ke sebuah pohon tua di pantai pulau itu dan gadis itu lalu mendorong sebuah batu besar di belakang pohon. Terbukalah sebuah lubang yang tertutup semak-semak dan batu besar tadi dan ia mengajak memasuki lubang yang ternyata merupakan sebuah terowongan gelap. Batu besar itu mereka geser lagi dari bawah, menutupi lubang yang diperkuat dengan besi-besi itu, tanda bahwa terowongan itu adalah buatan manusia. Dan memanglah, selama berada di pulau ini, Toan Su Ong telah memasang banyak jalan rahasia yang dipersiapkannya kalau-kalau dia dikejar sampai ke situ oleh pasukan pemerintah.

Setelah melalui terowongan dengan jalan berindap-indap sampai seperempat jam lamanya, melalui jalan terowongan berliku-liku dan naik turun, akhirnya mereka keluar dari terowongan dan telah berada di belakang sebuah bangunan. Inilah bangunan rumah yang didirikan oleh Toan Su Ong di pulau itu, sebuah rumah yang cukup besar dan kuat. Jalan rahasia yang mereka lalui tadi berakhir di taman rumah itu, pintunya juga merupakan pintu besi rahasia yang gelap dan tertutup batu besar pula.

Hari telah menjelang sore ketika Kim Kong dan Thian Sin keluar dari dalam gua kecil dan gadis itu mengerutkan alisnya ketika melihat betapa rumah gedung milik keluarganya itu telah banyak dirusak orang. Temboknya dibobol di sana-sini, dan taman itupun sudah rusak tak terawat dan nampak ada bekas-bekas galian di beberapa tempat, seolah-olah tempat itu menjadi tempat orang mencari-cari sesuatu dengan membongkar dinding dan menggali taman. Dan iapun mengajak Thian Sin menyelinap dan menyelidik.

Nampak ada belasan orang sedang beristirahat di samping rumah. Agaknya mereka itu sudah bekerja berat siang tadi. Ada yang membawa cangkul, ada yang membawa alat-alat untuk membongkar dinding. Mereka mengobrol sambil minum arak, dan melihat sikap mereka itu, Kim Hong mengerti bahwa mereka adalah bajak-bajak laut yang kasar dan ganas. Akan tetapi ia memberi isyarat kepada Thian Sin untuk mengikutinya menyelinap masuk melalui jendela samping yang terbuka. Bagaikan dua ekor burung mereka meloncat ke dalam ruangan besar di sebelah dalam bangunan itu di mana terdapat beberapa orang sedang bercakap-cakap menghadapi daging panggang dan arak di atas meja. Lidah selatan mereka terdengar lucu bagi Thian Sin, membuat dia agak sukar menangkap pembicaraan mereka. Akan tetapi agaknya Kim Hong sudah biasa dengan dialek selatan ini, dan gadis ini mendengarkan penuh perhatian, mendekati pintu yang menembus ke ruangan itu. Karena tidak dapat mengerti dengan baik, Thian Sin mengintai dan memperhatikan orang-orangnya. Ada lima orang duduk mengelilingi meja, dan yang membuat mereka terheran-heran adalah kenyataan bahwa seorang di antara mereka berpakaian seperti seorang tosu. Tubuh tosu ini kurus dan agak bongkok, mukanya pucat dan meruncing seperti muka tikus. Empat orang lainnya bertubuh tinggi besar dan bersikap kasar, cara duduknya juga nongkrong seperti cara duduk orang-orang yang biasa hidup di alam liar dan tidak mengenal tata cara kesopanan. Mereka kelihatan kuat dan ganas, wajah mereka membayangkan kekerasan dan kekejaman. Akan tetapi Kim Hong lebih memperhatikan percakapan itu sendiri.

"Kita sudah membuang-buang waktu seminggu lamanya di sini!" Terdengar seorang diantara empat orang kasar itu mengomel dengan mulut dijejali daging setengah matang.

"Kalau kita mencari rejeki di lautan, mungkin sudah ada satu dua kapal yang dapat kita serbu!" kata orang ke dua.

"Pangeran itu tentu telah membawa pusakanya ikut bersamanya ke neraka, kalau memang dia pernah mempunyai pusaka itu!" kata orang ke tiga.

"Hei, Tikus Laut," kata orang ke empat kepada tosu bermuka tikus yang ternyata berjuluk Tikus Laut itu, "agaknya setelah menjadi tosu engkau kehilangan ketajaman hidungmu sehingga salah duga! Awas kau kalau mempermainkan kami!"

Si Tosu itu meludah karena ada pecahan tulang tergigit olehnya, lalu dia mengomel, "Kalian ini seperti bukan sahabat-sahabat baikku saja, seperti tidak pernah mendengar akan kelihaianku dalam menyelidiki saja. Sejak dahulu aku tahu bahwa isteri pangeran itu berhasil menguasai pusaka peninggalan Menteri The Hoo dan pasti disimpannya di sini."

"Tapi kau sendiri bilang bahwa puteri mereka telah menjadi orang yang lihai sekali..."

"Jangan khawatir, ia dan Pendekar Sadis sudah dikejar-kejar, dan tentu para tosu Kun-lun-pai takkan mau melepaskan mereka setelah kena kubakar sampai berkobar-kobar kemarahan mereka ha-ha-ha!" kata tosu itu.

"Tikus Laut, sungguh mengherankan sekali mengapa engkau memusuhi mereka. Bukankah engkau telah menjadi orang suci?" ejek seorang di antara bajak-bajak itu.

"Kalau mereka tidak muncul mungkin aku terlanjur menjadi orang suci, dan dengan ilmu yang kudapat dari Jit Goat Tosu, aku dapat menjagoi dan menjadi tokoh Kun-lun-pai. Akan tetapi mereka muncul dan dendamku terhadap Pangeran Toan Su Ong yang tadinya sudah hampir terlupa menjadi bangkit kembali. Dan teringat akan pusaka Menteri The Hoo... selagi mereka dikejar-kejar, dan dengan alasan mencari mereka, aku mengajak kalian bersama-sama mencari pusaka. Eh, kiranya kalian masih ragu-ragu dan kurang percaya padaku..."

Di dalam tempat pengintaiannya, Kim Hong saling bertukar pandang dengan Thian Sin. Kini mereka teringat. Tosu ini adalah seorang di antara para tosu pimpinan di Kun-lun-pai, biarpun tadinya mereka kurang memperhatikan karena agaknya kedudukan tosu ini tidak menonjol. Akan tetapi, punggung yang bongkok itu tiada keduanya di antara para tosu Kun-lun-pai.

Pada saat itu terdengar bentakan keras dari arah belakang mereka. "Heii, siapa kalian! Awas, ada mata-mata mengintai!"

Thian Sin dan Kim Hong menengok dan ternyata ada dua orang di antara para anak bajak laut yang kebetulan lewat dan melihat mereka dari belakang.

"Mereka ini patut dihajar!" kata Kim Hong sambil melangkah masuk ke dalam ruangan di mana lima orang itu sedang bercakap-cakap. Lima orang itupun terkejut mendengar teriakan anak buah mereka dan sudah berloncatan sambil mencabut senjata mereka. Akan tetapi ketika empat orang pimpinan bajak itu melihat bahwa yang muncul hanya seorang pemuda dan seorang gadis cantik yang kelihatan lemah, mereka menyeringai dengan hati lega dan seorang di antara mereka berkata sambil tertawa.

"Ha-ha-ha, kiranya dua orang yang sedang berpacaran tersesat memasuki pulau!"

"Wah, gadis itu manis sekali. Sudah seminggu lebih aku tidak mencium bau keringat wanita, ha-ha, biarlah gadis itu untukku saja!"

"Enak saja kau bicara, apa kaukira akupun tidak membutuhkannya?"

Akan tetapi, kalau empat orang kepala bajak itu bicara dengan cara jorok dan kurang ajar terhadap Kim Hong, sebaliknya tosu bongkok yang berjuluk Tikus Laut itu memandang dengan wajah pucat dan mata terbelalak.

"Celaka...!" katanya, suaranya gemetar. "Inilah mereka... Pendekar Sadis dan Lam-sin...!"

Para bajak laut itu mempunyai daerah di lautan, maka tentu saja mereka tidak begitu mengenal nama Pendekar Sadis dan Lam-sin yang merupakan tokoh-tokoh daratan, sehingga mereka tidak begitu gentar menghadapi dua orang muda ini, walaupun mereka sudah mendengar dari Tikus Laut akan kelihaian mereka. Kini, belasan orang anak buah yang tadinya berada di luar sudah berserabutan masuk dengan senjata di tangan. Melihat ini, Si Kumis Lebat, seorang di antara empat pimpinan perampok yang menjadi kepala mereka, tertawa.

"Ha-ha-ha, kepung dan tangkap mereka! Boleh bunuh yang laki-laki, akan tetapi tangkap yang perempuan untukku, ha-ha-ha!" dan dia sendiri menyimpan kembali goloknya lalu maju dengan tangan kosong hendak menangkap Kim Hong sedangkan tiga orang yang lainnya memimpin anak buah mereka mengurung, dibantu pula oleh tosu bongkok yang sudah mencabut keluar sebatang pedangnya.

Melihat wajah kekasihnya, Thian Sin maklum bahwa nyawa orang-orang ini tidak akan dapat tertolong lagi, dan terbayanglah kembali wajah orang-orang yang dihormatinya, terutama wajah ayah angkatnya dan kakaknya. "Kim Hong... jangan bunuh orang... jangan kita ulangi kembali, kita robohkan saja tanpa membunuhnya."

Kim Hong mengerling kepada kekasihnya dan tersenyum, senyum yang mengandung ketenangan sehingga lega hati Thian Sin. "Jangan khawatir, terutama sekali Si Muka Tikus itu harus dapat kutangkap hidup-hidup untuk menceritakan semua latang belakang ini!"

Mereka tidak mempupyai banyak kesempatan untuk bicara lagi karena pihak lawan sudah menyerbu. Si Kumis Tebal bersama tiga orang lain dengan muka menyeringai mengepung dan menubruk untuk menangkap Kim Hong. Mereka seperti hendak berlumba dalam menangkap atau menyentuh tubuh gadis cantik itu. Sedangkan yang lain-lain, yaitu tiga orang pimpinan bajak, Si Tosu, dan dua belas orang lain dengan senjata terhunus sudah mengepung dan mengeroyok Thian Sin, seolah-olah mereka hendak menghancurlumatkan tubuh pemuda ini!

Akan tetapi begitu dua orang muda itu menggerakkan tubuh mereka, terdengarlah teriakan-teriakan berturut-turut disusul robohnya para pengeroyok itu! Mula-mula, menghadapi empat orang pengeroyoknya yang seolah-olah berlumba hendak memeluknya itu, Kim Hong yang merasa muak dan marah itu telah menggerakkan tubuhnya mengelak dari serbuan mereka, menyelinap di antara banyak lengan dengan tangan terbuka seperti cakar harimau hendak menerkam domba itu. Kemudian, setelah terlepas dari serbuan mereka dan melihat mereka dengan lebih garang lagi membalik dan hendak menerjangnya, wanita ini sudah menggerakkan kepalanya. Kuncir rambutnya itu terlepas dari sanggulnya, seperti seekor ular cobra hitam terlepas dari kurungan dan menyambar-nyambar ganas. Akibatnya, empat orang anak buah bajak terpelanting dan tak dapat bangkit kembali karena ujung rambut itu telah menotok jalan darah membuat mereka lumpuh dan pingsan! Kini tinggal kepala bajak yang berkumis tebal melintang di bawah hidung itu yang terbelalak keheranan melihat betapa empat orang anak buahnya tiba-tiba roboh berpelantingan dan tidak mampu bangkit kembali. Dia sendiri tidak tahu bagaimana hal itu dapat terjadi, akan tetapi dia makin silau oleh kecantikan Kim Hong yang makin menyolok setelah sanggul rambutnya terlepas itu. Kecantikan ini membuat si kepala bajak menjadi makin ganas dan otaknya menjadi keruh, dia menggereng dan menubruk lagi, kedua lengannya dibuka dan diapun menerkam ke arah Kim Hong. Gadis ini kembali menggerakkan kepalanya, rambutnya menyambar ke depan.

"Dukk!" Tubuh tinggi besar itu menjadi kaku dan dua kali kaki Kim Hong bergerak.

"Krek! Krek!" Orang tinggi besar itu menjerit roboh, mengaduh-aduh dan menggunakan kedua tangan untuk memegangi kedua kakinya yang patah tulang di bagian pergelangan kaki.

Sementara itu, dengan mudah Thian Sin juga sudah merobohkan lima enam orang tanpa membuat mereka menderita luka berat. Dia hanya membagi-bagi tamparan, membuat lawan roboh dengan kepala pening, atau kaki tangan salah urat, atau menotoknya sehingga lawan roboh tak mampu berkutik karena lumpuh.

Apalagi setelah Kim Hong menyerbu membantunya, mereka dengan mudah merobohkan semua pengeroyok kecuali si Tikus Laut ini sungguh-sungguh hebat luar biasa! Gerakan-gerakan Tikus Laut ini mengingatkan mereka kepada kepandaian mendiang Jit Goat Tosu! Gerakan-gerakan aneh membuat Thian Sin dan Kim Hong berhati-hati sekali, akan tetapi ketika Thian Sin mempergunakan Thi-khi-i-beng, tosu itu tak mampu menarik kembali tangannya yang menempel di tengkuk Thian Sin dan tenaga sin-kangnya yang tidak sekuat dua orang muda itu tersedot, membuat dia berteriak-teriak seperti seekor babi disembelih! Ketika Thian Sin melepaskan tenaga sedotan Thi-khi-i-beng, tosu itu jatuh terkulai dengan tubuh lemas. Dia seperti sebuah balon kempes. Akan tetapi mengingat kehebatan ilmu silatnya tadi, Kim Hong lalu menotoknya, membuat dia tidak berkutik lagi.

"Tosu palsu! Hayo ceritakan apa hubunganmu dengan Jit Goat Tosu dan mengapa engkau memusuhi kami, dan apa pula yang kaulakukan di Kun-lun-pai sehingga engkau membakar hati para pimpinan Kun-lun-pai!" Kim Hong membentak dengan suara nyaring sekali dan Thian Sin hanya pura-pura tak mengerti mengapa gadis itu membentak demikian nyaringnya. Tentu saja dia tahu bahwa seperti juga dia, kekasihnya itu tentu sudah pula melihat adanya bayangan beberapa orang tosu berkelebatan di sebelah luar rumah. Dan seperti juga dia, tentu kekasihnya itu sudah mengenal bahwa tosu itu adalah tosu-tosu Kun-lun-pai dan beberapa orang lain, dan di antara mereka nampak adanya Kui Yang Tosu!

"Lam-sin datuk sesat! Pinto sudah kalah, kalau engkau mau bunuh, bunuhlah. Siapa takut mati?"

"Totiang," kata Thian Sin sambil mengedipkan matanya kepada kekasihnya dan suaranya juga lantang. "kami mengenalmu sebagai seorang di antara para tosu Kun-lun-pai, bagaimana engkau dapat bersekutu dengan gerombolan bajak laut dan mencari-cari pusaka peninggalan Menteri The Hoo yang dimiliki keluarga Pangeran Toan Su Ong? Lebih baik engkau mengaku terus terang, totiang. Kami tidak akan membunuhmu asalkan engkau mengaku."

"Pendekar Sadis! Biar engkau tukang siksa orang, jangan kira pinto takut kepadamu!" Tosu bermuka tikus itu berteriak marah. Thian Sin kembali memberi isyarat dengan pandangan matanya kepada Kim Hong, lalu diapun mengangkat tubuh tosu itu dengan leher bajunya.

"Begitukah? Mari kita sama lihat, apakah Tikus Laut ini berani melawan hiu atau macan laut!" Dia lalu membawa tubuh tosu itu melangkah lebar keluar dari rumah itu diikuti oleh Kim Hong. Mereka berdua berjalan terus, pura-pura tidak melihat adanya beberapa pasang mata yang mengikuti gerak-gerik mereka dari tempat persembunyian, kemudian pemilik beberapa pasang mata inipun membayangi mereka menuju ke pantai pulau. Kim Hong yang menjadi penunjuk jalan dan tanpa bicara kedua orang ini sudah tahu akan isi hati masing-masing.

Mereka membawa Si Muka Tikus itu ke perahu besar yang berlabuh di situ dan ketika mereka menaiki perahu itu kosong sama sekali. Ternyata beberapa orang bajak yang tadi berjaga di situ telah ikut pula menyerbu ketika mereka mendengar teriakan-teriakan dari atas pulau.

Tosu itu masih diam saja, akan tetapi Thian Sin yang mencengkeram leher baju tosu itu dapat merasakan ketika lengannya menempel di dadanya betapa jantung tosu itu berdebar kencang. Dia tersenyum. Inilah yang dikehendakinya. Membuat takut tosu itu. Sejenak timbul perasaan dalam hatinya perasaan senang, nafsu untuk menyiksa dan membunuh orang ini yang dia tahu memusuhi Kim Hong. Akan tetapi, wajah kakaknya terbayang di depan mata dan membuatnya tersadar dan nafsu sadis itupun lenyap seperti ditiup angin.

Setelah tiba di atas perahu besar, Thian Sin lalu melepaskan sabuknya yang juga merupakan satu di antara senjatanya, mengikatkan ujung sabuknya pada pinggang tosu itu.

"Kaulihat itu, kenalkah engkau apa itu?" tanyanya sambil menunjuk ke arah sirip ikan-ikan hiu yang berseliweran di sekitar perahu. Wajah tosu itu menjadi semakin pucat.

"Apa... apa yang hendak kaulakukan...?" tanyanya, suaranya masih angkuh akan tetapi sudah agak gemetar.

Thian Sin tersenyum memandang kepada Kim Hong, "Ha-ha, Kim Hong, dia tanya apa yang hendak kita lakukan! Ha-ha!"

Gadis itupun tertawa dan menjawab dengan suara yang nyaring, "Kita hanya ingin melihat bagaimana ramainya tikus laut berhadapan dengan macan laut."

Dan Thian Sin mulai menurunkan tubuh orang yang sudah diikat pinggangnya itu ke pinggir perahu besar. Karena dia tadi sudah membebaskan totokannya, maka tosu itu dapat meronta-ronta. "Jangan... jangan...!" teriaknya akan tetapi tubuhnya sudah terjatuh ke air.

"Byuuurrr...!" Jatuhnya tubuh tosu itu membuat ikan-ikan hiu terkejut dan berenang menjauh, akan tetapi ketika mereka melihat gerakan-gerakan di permukaan air karena Si Tikus Laut itu menahan tubuhnya agar tidak tenggelam, beberapa ekor hiu sudah cepat berenang datang. Melihat sirip dua ekor ikan hiu dari depan, tosu itu terbelalak.

Thian Sin yang memegang ujung sabuk itu, sengaja mengendurkan sabuk, seolah-olah tidak peduli, akan tetapi sesungguhnya dia sudah siap untuk menarik sabuk itu kalau memang benar-benar keadaan tosu itu terancam. Akan tetapi, tosu yang berjuluk Si Tikus Laut itu tiba-tiba menggerakkan tubuh menyelam ketika dua ekor ikan hiu itu sudah mendekat dan begitu kedua tangannya menyambar, dia telah mendorong dua ekor ikan itu dari bawah. Dua ekor binatang buas yang kena dihantam belakang kepalanya itu meronta akan tetapi agaknya kesakitan dan terkejut karena mereka segera berenang menjauhi. Thian Sin memandang kagum, melihat betapa lawannya itu tidak percuma mempunyai julukan Tikus Laut karena ternyata memang memiliki keahlian bermain di dalam air sehingga dengan satu serangan saja mampu mengusir dua ekor ikan hiu ganas!

Akan tetapi daerah lautan sekitar Pulau Teratai Merah itu memang menjadi kedung ikan hiu. Begitu dua ekor yang kena dihantam itu melarikan diri, muncul enam ekor hiu yang lebih besar dan datang dari segala penjuru! Melihat ini, tosu yang sudah muncul ke permukaan air itu menjadi ketakutan. Sirip-sirip ikan itu meluncur dari sana-sini, dari kanan kiri dan depan dan melihat sirip-sirip itu saja dapat diketahui bahwa beberapa ekor di antaranya adalah hiu-hiu yang besarnya sama dengan kerbau!

"Tolong... ! Tarik aku... tolong...!" teriaknya tanpa malu-malu lagi karena takutnya.

"Asal engkau mengaku terus terang!" kata Thian Sin mempermainkan.

Hiu-hiu itu makin mendekat dan kini mereka berputaran di sekeliling perahu, dalam jarak kurang lebih hanya tiga meter dari tempat tosu itu terapung.

"Tolong...!"

"Katakan dulu engkau mau mengaku terus-terang!" kata Kim Hong dengan nyaring. Tosu itu tidak mau menjawab, aganya merasa enggan untuk berkata terus-terang mengakui perbuatannya. Sementara itu, hiu pertama sudah datang menyerang dengan cepat. Tosu itu mengelak dan menggunakan kakinya menendang dari samping, membuat ikan itu terlempar.

"Bagus! Tikus Laut memang lumayan juga!" Thian Sin memuji sambil tertawa. Akan tetapi dua ekor hiu datang lagi menyerang dari kanan kiri. Tosu itu mengelak ke kanan dan menghantam hiu yang berada di kanan, akan tetapi pada saat itu hiu ke tiga menyambar.

"Celaka...! Tolong... aku akan mengaku...!" Pada saat hiu itu sudah hampir mencaplok pundak si tosu. Thian Sin menarik dengan sentakan keras, sehingga tubuh tosu itu terhindar dari moncong ikan. Dia sudah merasakan angin sambaran ikan hiu itu yang mengejar sambil meloncat ke permukaan air dan sudah mencium bau amis. Tubuh tosu itu gemetaran ketika dia dilempar ke atas dek perahu oleh Thian Sin, akan tetapi pemuda ini masih belum melepaskan ikatan sabuk pada pinggangnya.

"Nah, ceritakantah semuanya!" katanya.

"Sekali ini tidak mau mengaku, akan kami lemparkan kamu ke bawah agar menjadi rebutan ikan!" Kim Hong juga mengancam.

Tosu itu masih gemetaran dan menarik napas panjang. "Baiklah... baiklah...! Tanyakan apa yang kalian ingin ketahui..."

"Engkau ini seorang tosu Kun-lun-pai kenapa berjuluk Tikus Lautan dan berkawan dengan para bajak laut?" Kim Hong mulai dengan pertanyaannya.

"Dahulunya aku seorang bajak laut yang bosan akan kehidupan bajak dan aku tertarik akan soal-soal kebatinan, terutama Agama To, maka aku lalu pergi ke Kun-lun-pai dan berhasil diterima sebagai tosu. Memang tadinya aku ingin bertobat, akan tetapi ternyata gagal..."

"Apa bubunganmu dengan mendiang Jit Goat Tosu? Hayo terangkan semuanya!" bentak Kim Hong lagi.

"Aku mendapat tugas melayaninya selama dia di Kun-lun-pai dan karena jasa-jasaku itu dia mulai mengajarkan satu dua macam ilmu pukulan kepadaku, tapi sialan... kalian muncul dan dia meninggal..."

"Jadi itukah sebabnya maka engkau memusuhi kami?" tanya Thian Sin.

"Kalian merusak rencanaku, siapa tiaak akan membenci kalian!"

"Dan apa yang kaulakukan untuk membakar hati para pimpinan Kun-lun-pai?" desak lagi Thian Sin.

"Kukatakan kepada mereka bahwa sebelum meninggal, sering kali Jit Goat Tosu bercerita kepadaku tentang kejahatan sutenya sehingga kematiannya karena serbuan kalian itu menimbulkan penasaran besar, dan kuhasut mereka untuk menuntut balas mengingat akan kebaikan Jit Goat Tosu yang sudah menurunkan pula beberapa macam ilmu kepada pimpinan Kun-lun-pai..."

"Hemm, dan apa artinya kedatanganmu ke pulau keluargaku bersama para bajak ini?" tanya Kim Hong.

"Setelah berhasil memanaskan hati para pimpinan Kun-lun-pai sehingga mengejar-ngejar kalian, aku lalu pergi ke sini mengumpulkan bekas rekan-rekanku. Sudah sejak dahulu ketika aku menjadi bajak laut, aku tahu akan ditemukannya pusaka oleh ayah dan ibumu, dan aku sudah beberapa kali berusaha untuk merampasnya, akan tetapi selalu gagal... ahhh, ayah bundamu terlalu lihai, dan juga kegagalan-kegagalan itu, bahkan yang terakhir hampir merenggut nyawaku, yang membuat aku kecewa lalu menjadi tosu. Siapa kira, aku bertemu dengan suheng ayahmu, maka aku mengambil hatinya dengan maksud mempelajari ilmu-ilmunya untuk merajai Kun-lun-pai dan kemudian akan kucari pusaka peninggalan Menteri The Hoo. Akan tetapi kematian Jit Goat Tesu menggagalkan semuanya..."

"Ah, kiranya engkau pernah gagal membajak mendiang ayahku maka engkau menaruh dendam kepadaku? Bagus sekali!" Kim Hong menghampiri dengan sikap mengancam.

"Cukup Kim Hong. Kita sudah berjanji akan membebaskannya. Nah, muka Tikus Lautan, engkau boleh pergi sekarang!" kata Thian Sin sambil memberi isyarat dengan pandang matanya kepada Kim Hong.

"Terima kasih... terima kasih...!" kata tosu itu yang sama sekali tidak pernah mimpi bahwa dia akan terbebas dari kematian mengerikan di tangan Pendekar Sadis! Maka, seperti seekor tikus yang baru saja disiram air, dengan pakaian basah kuyup tosu itu lalu bangkit dan hendak lari dari perahu itu, akan tetapi tiba-tiba wajahnya menjadi pucat sekali dan dia menjatuhkan dirinya berlutut.

"Suhu... tolonglah teecu... hampir saja teecu dibunuh Pendekar Sadis yang telah menyiksa teecu..." katanya dengan suara gemetar. Thian Sin dan Kim Hong membalikkan tubuh mereka dan pura-pura bersikap kaget dan heran melihat munculnya Kui Yang Tosu dan lima orang tosu Kun-lun-pai lainnya, juga nampak Liang Sim Cinjin pertapa Kang-lam itu, dan dua orang Bu-tong-pai wakil dari Thian Heng Losu, juga nampak Lo Pa San, pendekar dari Po-hai itu dan beberapa orang lain yang pernah hadir dalam pertemuan para pendekar di Kun-lun-san!

Melihat mereka itu, yang memang sudah diketahuinya sejak tadi oleh Thian Sin dan Kim Hong, kedua orang muda ini lalu meloncat meninggalkan perahu dan berdiri berdampingan di pantai, siap menghadapi segala kemungkinan. Mereka merasa lebih aman berada di atas pulau daripada di atas perahu, apalagi dengan adanya ahli-ahli silat dalam air seperti Tikus Laut yang lihai itu. Thian Sin sendiri cukup mengerti bahwa melawan Tikus Laut seorang saja, kalau bertanding di air, mungkin sekali dia akan celaka. Dan berada di atas perahu berbahaya sekali, siapa tahu mereka akan menggulingkan perahu!

Akan tetapi, para tosu Kun-lun-pai dan teman-temannya itu agaknya tidak menghiraukan mereka dan Kui Yang Tosu kini melangkah maju mendekati Tikus Laut. Wajah kakek yang merupakan tokoh ke dua dari Kun-lun-pai ini masih nampak berkilat penuh api kemarahan. Suaranya juga masih halus ketika dia bertanya kepada Muka Tikus Laut itu, "Bagaimana engkau bisa berada di tempat ini?" "Suhu, teecu pernah mendengar tentang pulau ini dan teecu membantu suhu untuk menyelidiki Pendekar Sadis dan Lam-sin yang teecu duga tentu melarikan diri ke sini. Dan benar saja... akan tetapi teecu ketahuan dan ditangkap dan disiksa, nyaris dibunuh secara keji, dijadikan umpan ikan-ikan hiu..."

"Dan siapakah bajak-bajak laut itu dan milik siapa pula perahu ini?" Suara Kui Yang Tosu makin lantang dan pendang matanya semakin berapi-api. Akan tetapi agaknya tosu bekas bajak itu tidak sadar akan tanda-tanda ini atau memang dia sudah terlanjur melangkah dan tidak mungkin mundur kembali.

"Bajak-bajak itu adalah kaki tangan Pendekar Sadis..." Akan tetapi tosu itu tidak melanjutkan kata-katanya karena dengan langkah lebar Kui Yang Tosu menghampirinya, mukanya merah dan matanya melotot, dadanya naik turun menahan kemarahan.

"Penipu! Pembohong! Pengkhianat kau manusia busuk!' Dan kaki wakil ketua Kun-lun-pai itu bergerak menendang.

"Desss...!" Dan tubuh tosu bermuka tikus itu terlempar keluar dari perahu itu, jatuh ke dalam air! Ketika semua orang memandang, wajah mereka berubah dan mata mereka terbelalak melihat puluhan ekor ikan hiu menyerbu ke arah tubuh yang baru saja terjatuh ke air itu. Terdengar jeritan-jeritan mengerikan yang berhenti tiba-tiba ketika tubuh itu terseret ke bawah permukaan air. Air bergelombang dan mulai berubah warnanya menjadi merah di tempat di mana tosu tadi jatuh.

"Siancai...!" Kui Yang Tosu memejamkan kedua matanya, alisnya berkerut dan kedua tangannya dirangkap ke depan dada. Sampai lama dia tidak bergerak, wajahnya berkerut-kerut dan akhirnya, setelah beberapa kali dia menarik napas panjang, diapun membuka matanya, lalu dengan tubuh nampak lemas dan lesu dia menuruni perahu itu menghampiri Thian Sin dan Kim Hong yang masih berdiri melihat semua itu dengan sikap tenang waspada.

Kui Yang Tosu menjura kepada mereka. Suaranya terdengar lirih, "Ceng-taihiap, Toan-lihiap, maafkan pinto yang tak dapat mengendalikan perasaan..."

Thian Sin dan Kim Hong membalas penghormatan itu dan Thian Sin berkata, "Saya sudah sering kali mengalami perasaan itu, locianpwe, membuat mata gelap dan menimbulkan tindakan pembalasan yang membuat saya dinamakan Pendekar Sadis. Saya mengerti dan locianpwe tidak bersalah, wajarlah sebagai manusia biasa kadang-kadang dikuasai oleh amarah."

Kui Yang Tosu kembali menarik napas panjang penuh penyesalan betapa karena marahnya dia telah membunuh Si Tikus tadi, bahkan dengan cara yang mengerikan, tanpa disengaja dia memberikan tosu itu kepada ikan-ikan hiu!

"Tidak pinto kira bahwa dia yang telah kami percaya itu akan melakukan fitnah seperti itu demi kepentingan dirinya dan pemuasan nafsunya," kata pula Kui Yang Tosu.

Thian Sin tersenyum dan mengangguk, "Locianpwe, saya sendiripun pernah mengalami penipuan seperti itu dan menjadi korban fitnah sehingga melakukan hal yang amat buruk. Tentu locianpwe ingat akan kematian Pangeran Toan Ong? Nah, ketika itupun saya mendengar fitnah orang yang saya percaya."

Kui Yang Tosu mengangguk-angguk. "Siancai...! Betapa lemahnya kita manusia ini. Kita perlu banyak belajar, Ceng-taihiap..."

"Benar, locianpwe, kita harus tetap belajar selama masih hidup."

"Maafkan pinto, kini Kun-lun-pai baru mengerti dan mulai saat ini kami tidak lagi memusuhimu, taihiap."

"Terima kasih, locianpwe, dan sayapun akan belajar agar tidak mudah membiarkan diri dikuasai nafsu dendam dan kekejaman terhadap musuh."

Kui Yang Tosu lalu berpamit kepada Thian Sin dan Kim Hong, kembali ke tempat di mana perahu mereka tersembunyi, diikuti oleh para pendekar lain yang juga berpamit dengan sikap bersahabat. Thian Sin dan Kim Hong memandang kepada mereka sampai perahu mereka tidak nampak lagi dan tiba-tiba Kim Hong merangkul Thian Sin dengan hati penuh kegirangan dan kebahagiaan. Thian Sin maklum apa yang dirasakan oleh kekasihnya karena diapun merasakan sesuatu kebahagiaan besar menyelubungi hatinya, maka diapun tidak berkata apa-apa kecuali balas merangkul gadis itu. Sampai lama mereka saling rangkul dan tidak mengeluarkan kata-kata. Kata-kata tidak ada artinya lagi dalam keadaan seperti saat itu. Mereka merasa seolah-olah ada batu besar yang selama ini menindih hati mereka berdua telah terangkat dan mereka merasakan suatu kebebasan yang amat nikmat dalam hati mereka. Dan bagi Thian Sin terutama sekali, teringatlah kembali semua kata-kata kakaknya. Kekerasan hanya akan mengakibatkan kekerasan pula. Akibat tidak akan pernah terlepas daripada sebab, akibat hanyalah lanjutan daripada sebab. Dan sebab adalah cara dalam tindakan kita sendiri. Cara yang buruk takkan mungkin mendatangkan akibat yang baik, seperti juga benih buruk takkan mungkinlah menumbuhkan pohon yang baik. Tak mungkinlah mengharapkan bunga indah tumbuh menjadi buah lewat dari tanaman beracun. Siapa menanam, dia sendiri yang akan memetik buah daripada hasil tanamannya. Sayang seribu kali sayang, kita hanya selalu mengingat-ingat akan panen buah lezat saja, tak pernah kita memperhatikan penanamannya yang benar dan pemeliharaannya yang benar. Mata kita selalu tertuju jauh ke depan, kepada tujuan-tujuan dan harapan-harapan baik dan menyenangkan untuk kita, sama sekali tidak mau melihat perbuatan-perbuatan kita setiap saat sekarang inilah yang menjadi pohon penghasil buah di masa mendatang. Bukan buahnya yang penting, melainkan pohonnya, pemeliharaan pohonnya. Buah yang baik, hanyalah menjadi lanjutan dari pohon yang baik. Kita selalu mau enaknya saja.

Thian Sin dan Kim Hong lalu melakukan pemeriksaan ke seluruh bagian pulau itu dan mulailah mereka membangun kembali rumah yang banyak rusak itu. Untuk pekerjaan ini mereka mendatangkan pembantu-pembantu bayaran dan dalam waktu beberapa bulan saja Pulau Teratai Merah kembali menjadi sebuah pulau kecil yang indah.

Mereka berdua menghadiri perayaan pernikahan dari Cia Kong Liang di Cin-ling-pai dan bertemu dengan keluarga Cin-ling-pai dan Lembah Naga, juga bertemu dengan semua sahabat dan kenalan. Kemudian, tak lama sesudah itu, Thian Sin dan Kim Hong juga menghadiri upacara perayaan pernikahan antara Cia Han Tiong dan Ciu Lian Hong yang diadakan secara sederhana di Lembah Naga. Di tempat ini, Thian Sin dan Kim Hong tinggal sampai satu bulan lebih. Kim Hong telah diterima sebagai keluarga oleh keluarga di Lembah Naga. Akan tetapi kalau Cia Sin Liong dan isterinya menyinggung tentang pernikahan antara mereka, Thian Sin dan Kim Hong hanya saling pandang dan tersenyum.

"Ayah dan ibu, harap maafkan... akan tetapi kami sejak pertemuan pertama telah saling bersepakat untuk tidak mengikat diri masing-masing dengan pernikahan. Betapapun juga, kami saling mencinta..."

Mendengar ucapan itu, Cia Sin Liong dan isterinya hanya saling pandang dan menggeleng-geleng kepala mereka. Orang-orang muda memang makin lama makin aneh. Dunia berubah, atau lebih tepat lagi, manusia telah makin berubah. Kerinduan akan kebebasan membuat orang-orang muda makin lama makin cenderung untuk meninggalkan ikatan-ikatan dan hukum-hukum yang mungkin mereka anggap sebagai penghalang daripada kebebasan yang mereka dambakan. Mereka itu, orang-orang muda itu, sama sekali tidak tahu bahwa kebebasan adalah urusan batin, bukan sekedar soal-soal lahir saja. Orang yang bebas hatinya takkan merasa terganggu walaupun diikat oleh seribu macam hukum. Sebaliknya, biarpun meninggalkan semua hukum, orang akan tetap terbelenggu batinnya dan sama sekali tidak bebas.

Sampai di sini pengarang mengakhiri cerita ini dengan harapan semoga cerita ini selain dapat menghibur hati pembaca, juga mengandung manfaat sekedarnya bagi perjuangan kita mendayung biduk masing-masing menempuh gelombang-gelombang di samudera kehidupan yang luas ini. Marilah kita melihat kenyataan bahwa biarpun tidak semua dapat disebut sadis, karena kekejaman turun temurun telah mengalir dalam diri kita, telah mendarah daging. Kita ini sadis! Kita ingin melihat orang-orang yang kita benci menderita kesengsaraan yang hebat! Kita akan senang melihat orang yang kita benci tersiksa. Benar atau tidakkah demikian? Hanya kita masing-masing yang dapat menjawab dengan menjenguk ke dalam batin sendiri!

Lalu bagaimana dengan Pendekar Sadis? Apa jadinya dengan Thian Sin dan Kim Hong di Pulau Teratai Merah? Apakah riwayat mereka habis sampai sekian saja? Harap para pembaca jangan khawatir. Cerita tentang mereka belum tamat.

Dan pengarang sedang menyusun cerita selanjutnya tentang mereka berdua. Anda akan bertemu dengan sepasang orang muda perkasa ini dalam cerita serial Harta Karun Jenghis Khan, di mana Pendekar Sadis dan Lam-sin yang kini hanyalah seorang pemuda perkasa bernama Ceng Thian Sin dan seorang gadis yang gagah bernama Toan Kim Hong, sambil bergandeng tangan bahu membahu menghadapi dan bersama-sama memecahkan persoalan-persoalan yang rumit-rumit penuh bahaya. Petualangan mereka akan dapat anda ikuti dalam serial Harta Karun Jenghis Khan. Nah, sampai jumpa di lain karangan!

T A M A T
Kota Bengawan awal Juni 1985

Tidak ada komentar:

Posting Komentar