33 Dewi Maut

"Krekkk...!" Tubuh Pek-hiat Mo-ko terpelanting, tulang iganya patah-patah dan seluruh isi dadanya terguncang hebat. Kekebalannya telah lenyap setelah telapak kakinya hancur. Namun, dalam keadaan yang sudah seperti itu, yang tentu merupakan sebab kematian bagi orang lain yang bagaimana kuatpun, kakek bermuka putih itu masih dapat meloncat bangun dan seperti sebuah mayat hidup dia menubruk ke arah Bun Houw! Namun, pemuda ini dengan gerakan lincah telah menggeser kaki miringkan tubuh dan kakinya menyambar.

"Desss...!" Tubuh yang seperti mayat hidup itu terjengkang, roboh terbanting dan tidak bergerak lagi karena memang Pek-hiat Mo-ko telah menghembuskan napas terakhir di waktu dia mengerahkan seluruh tenaga terakhir untuk menubruk tadi.

"Hong-moi, mundurlah, biarkan aku menghadapinya," kata Bun Houw sambil mendekati In Hong yang masih bertempur dengan mati-matian melawan Hek-hiat Mo-li.

"Tidak, aku harus dapat merobohkan dia sendiri, Houw-ko. Mundurlah dan jangan khawatir!" In Hong menjawab. Gadis ini merasa penasaran sekali. Bun Houw telah berhasil merobohkan lawan, namun dia masih juga belum berhasil. Dia tahu bahwa memang Bun Houw memiliki tingkat kepandaian yang amat tinggi, akan tetapi dengan ilmu kepandainya, apalagi setelah dia berhasil menyempurnakan tenaga Thian-te Sin-ciang, dia merasa sanggup untuk mengalahkan nenek ini, lebih-lebih lagi karena dia sudah mendapat bisikan dari Kok Beng Lama. Akan tetapi, biarpun dia terus mengarahkan semua serangan pukulan mautnya ke arah kaki dan sudah beberapa kali mengenai kaki lawan, tetap saja nenek itu belum dapat dia robohkan. Dia tidak dapat melihat bagaimana Bun Houw tadi merobohkan Pek-hiat Mo-ko, maka diapun belum tahu di mana sesungguhnya letak kelemahan lawannya. Akan tetapi, biarpun demikian, dia merasa enggan dan malu kalau harus menyerahkan lawan ini kepada Bun Houw, apalagi karena pertempuran itu ditonton oleh banyak orang, di antaranya terdapat kakak kandungnya sendiri yaitu Yap Kun Liong, ada lagi Cia Giok Keng, Cia Keng Hong, Kok Beng Lama, Souw Kwi Beng, Tio Sun dan masih banyak lagi yang lain, bahkan semua perajurit pasukan kota raja juga menonton!

Dengan alis berkerut Bun Houw mundur lagi kemudian dia lari meninggalkan tempat itu menuju ke sebelah dalam dan tak lama kemudian muncullah pemuda ini membawa sebatang pedang yang bukan lain adalah pedangnya sendiri yang tadinya dirampas oleh musuh, yaitu pedang Hong-cu-kiam. Dia menanti kesempatan baik lalu melontarkan pedang itu ke arah In Hong sambil berseru, "Hong-moi, pakailah pedangmu ini!"

Sekali ini In Hong tidak menolak. Dia menyambut pedang itu dan diputarnya sehingga merupakan gulungan sinar emas yang menyilaukan mata. Dia mau menggunakan pedang karena bukankah lawannya juga menggunakan tongkat? Dan begitu Hong-cu-kiam berada di tangannya, semangat In Hong berkobar lagi. Dia harus dapat merobohkan lawannya. Harus!

"Cring-cring-tranggg...!" Bunga api berpijar ketika pedang bertemu bertubi-tubi dengan tongkat dan tangan Hek-hiat Mo-li dan nenek itu terhuyung ke belakang ketika tangan kiri In Hong menyusul dengan dorongan-dorongan yang mengandung tenaga mujijat Thian-te Sin-ciang.

Aku harus menyerang kakinya bawah lutut. Akan tetapi bagian yang mana? Demikian In Hong berpikir.

"Telapak kakinya... telapak kakinya...!" Tiba-tiba dia mendengar bisikan suara Bun Houw. In Hong mengerling dengan bibir tersenyum dan mata berkilat penuh kegirangan. Tahulah dia sekarang. Kiranya di telapak kaki! Pantas saja semua pukulannya yang mengenai kaki tadi tidak berhasil. Habis, siapa yang dapat memukul telapak kaki? Kiranya begitu baik rahasia kelemahan itu tersembunyi.

Akan tetapi, In Hong adalah scorang dara yang selain cantik jelita dan gagah perkasa, juga cerdik sekali. Begitu dia mendengar bisikan ini, tiba-tiba dia merobah caranya menyerang lawan dan kini dia melempar diri ke atas tanah, lalu bergulingan dan sinar emas menyambar-nyambar ke bawah kaki lawan!

"Ihhh...!" Hek-hiat Mo-li terkejut bukan main dan memutar tongkat melindungi kakinya.

"Tranggg...!" Bunga api berpijar dan seperti seekor burung terbang cepatnya, In Hong bergulingan ke arah kiri nenek itu dan tiba-tiba sinar emas pedangnya mencuat ke atas menusuk ke arah mata kanan lawan.

"Ihhhh...!" Nenek itu menjerit dan cepat melempar tubuh ke belakang, berjungkir balik. Hampir saja matanya yang tinggal sebelah menjadi korban. Karena mata kirinya sudah buta, maka ketika lawannya tadi bergulingan ke sebelah kirinya, dia tidak dapat memandang dengan cukup jelas gerakan lawan dan tahu-tahu sinar emas menyambar ke arah mata kanannya, padahal sejak tadi dia mencurahkan perhatian untuk melindungi kakinya! Dan ketika dia berhasil menyelamatkan mata kanannya dan baru saja kakinya menginjak tanah, sinar emas itu menyambar ke bawah, membabat tanah di bawah kaki Hek-hiat Mo-li. Pada saat itu, Hek-hiat Mo-li sendiri yang menjadi marah sedang menghantamkan tongkatnya ke arah kepala In Hong! Melihat dara itu hanya miringkan kepalanya sehingga hantaman tongkat itu masih menyambar ke pundak, nenek itu menjadi girang sehingga dia kurang waspada. Baru setelah sinar emas membabat tanah dan terus mengenai telapak kaki kirinya, dia menjerit mengerikan.

"Dessss! Crottt...!" Tubuh In Hong terlempar dan bergulingan sedangkan nenek itu mengangkat kaki kirinya yang berdarah sambil berteriak-teriak kesakitan. Bagian belakang telapak kaki kirinya telah terbabat dan terluka oleh Hong-cu-kiam, sedangkan pundak In Hong juga terkena pukulan tongkat.

"Hong-moi...!" Bun Houw berseru kaget, akan tetapi hatinya lega ketika dia melihat In Hong dapat bangkit kembali dan dengan pedang Hong-cu-kiam di tangan dia siap untuk mengejar dan membunuh Hek-hiat Mo-li yang masih mengangkat kaki kiri yang berdarah sambil menjerit-jerit kesakitan.

Akan tetapi pada saat itu terdengar bunyi terompet dan tambur. Semua orang menengok dan terkejutlah mereka karena tempat itu telah dikurung oleh pasukan yang sedikitnya tentu ada seribu orang jumlahnya.

"Keparat!" Kok Beng Lama berseru dengan suaranya yang besar. "Mari kita amuk mereka!"

"Nanti dulu, locianpwe. Jumlah mereka terlalu banyak dan dalam keadaan seperti ini lebih baik bagi kita untuk menunggu dan membela diri, daripada menyerang," kata Cia Giok Keng dan Kok Bang Lama tidak jadi bergerak. Kepala pasukan itu, Panglima Lee Cin, juga menyerukan aba-aba agar semua pasukan tidak bergerak, melainkan membentuk barisan pertahanan.

"Tahan semua senjata!" Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan dari dalam pasukan besar itu muncul seorang tinggi besar yang kemudian ternyata adalah Raja Sabutai sendiri!

Semua orang terkejut dan memandang raja liar itu, akan tetapi agaknya In Hong tidak mau perduli dan dia sudah melangkah maju menghampiri Hek-hiat Mo-li dengan pedang di tangan.

"In Hong jangan bergerak...!" Yap Kun Liong, berseru kepada adiknya. Mendengar kesungguhan dalam suara kakaknya itu, In Hong meragu dan menoleh kepada kakaknya. Seperti juga Cia Keng Hong, Kun Liong melihat ancaman bahaya. Kalau Raja Sabutai memerintahkan pasukannya menyerbu, biarpun mereka memiliki kepandaian tinggi, tentu mereka semua akhirnya akan tewas dalam keroyokan ribuan orang perajurit musuh.

Bun Houw dengan cepat meloncat ke dekat In Hong dan memegang lengan dara itu dengan mesra. "Suheng berkata benar, Hong-moi. Bagaimana dengan pundakmu? Mari kuobati..."

Dengan sikap mesra Bun Houw lalu memeriksa pundak yang terpukul tongkat tadi, kemudian melihat betapa pundak itu tidak terluka, hanya berwarna merah kebiruan, dia merasa lega, karena tulang pundak dara itupun tidak patah. Dengan penyaluran sin-kang yang hangat, dia mengusir rasa nyeri di pundak itu. Tentu saja semua orang melihat kemesraan itu, juga Souw Kwi Beng melihat dengan muka berubah pucat sekali.

Sementara itu, melihat bahwa Raja Sabutai melangkah maju ke dalam kurungan ribuan perajurit itu, menghampiri mereka dan raja itu membawa sebatang pedang yang dikenalnya baik. Ketua Cin-ling-pai Pendekar Sakti Cia Keng Hong lalu melangkah maju menyambut dan menjura kepada raja itu.

"Apa maksud sri baginda datang bersama pasukan dan menghentikan pertandingan?" tanya Cia Keng Hong dengan sikap tenang.

Raja Sabutai tertawa dan memandang kepada mayat-mayat yang bergelimpangan di situ, mayat dari semua pengikut dua orang gurunya, bahkan suhunya, Pek-hiat Mo-ko, juga telah tewas. Dia berhenti tertawa dan menarik napas panjang. "Cia-taihiap, kami melihat betapa semua pengikut suhu dan subo telah tewas, bahkan suhu telah tewas dan subo terluka hebat. Suhu dan subo tidak mau mendengar bujukan kami bahwa memusuhi jagoan-jagoan dari kota raja merupakan hal yang bodoh sekali. Sekarang mereka telah merasakan sendiri akibatnya dan tentu suhu sudah kapok. Urusan ini dimulai dengan pedang Siang-bhok-kiam. Nah, sekarang kami datang untuk mengembalikan Siang-bhok-kiam yang oleh suhu dititipkan kepada kami kepada pemiliknya, akan tetapi sebagai gantinya, kami harap taihiap dan semua teman taihiap suka membebaskan subo."

Cia Keng Hong maklum bahwa di balik ucapan itu terkandung ancaman hebat. Kalau dia dan teman-temannya tidak mau menerima penukaran itu, tentu raja ini akan mengerahkan ribuan pasukan mengeroyoknya dan tak mungkin melawan ribuan orang lawan! Maka dia menjura dan menjawab, "Kami semua datang bukan hanya karena ingin minta kembali Siang-bhok-kiam, melainkan juga untuk menyelamatkan nona Yap In Hong yang diculik oleh kedua guru sri baginda. Setelah sekarang nona Yap In Hong selamat, tentu saja kamipun tidak akan terlalu mendesak. Terima kasih atas kebaikan sri baginda yang suka mengembalikan pedang pusaka kepada yang berhak memiliki."

"Ha-ha-ha, Cia-taihiap sebagai ketua Cin-ling-pai memang berpandangan bijaksana. Nah, terimalah Siang-bhok-kiam ini," katanya sambil menyerahkan Pedang Kayu Harum itu kepada Cia Keng Hong yang menerimanya dengan sikap penuh hormat.

"Subo, marilah pergi bersama kami!" Sabutai berkata sambil menghampiri nenek itu, kemudian dia memondong nenek yang mata kirinya buta dan kaki kirinya terluka pula itu. Semua orang memandang dengan penuh kagum kepada Raja Sabutai. Kiranya orang yang gagah perkasa ini bukan hanya merupakan orang yang mampu menundukkan orang-orang liar di antara para Suku Nomad di utara, akan tetapi juga memiliki watak gagah dan berbakti terhadap gurunya. Semua orang diam saja ketika Raja Sabutai memerintahkan pasukannya untuk mengangkat semua mayat dari gurunya dan para pengikutnya, lalu pergilah pasukan itu setelah Raja Sabutai menjura kepada para orang gagah dan berkata sambil tersenyum kepada Tio Sun, "Jangan lupa untuk menyampaikan apa yang kaulihat di tempat kami kepada kaisar, Tio-sicu!"

Tio Sun maklum apa yang dimaksudkan oleh raja itu, maka dia mengangguk. Maka berangkatlah Raja Sabutai pergi dari Lembah Naga, diiringkan oleh ribuan orang pasukannya.

Setelah pasukan itu pergi, barulah semua orang dapat kembali kepada urusan pribadi masing-masing. Cia Giok Keng dan Lie Seng saling lari menghampiri dan ibu dan anaknya ini saling berpelukan dengan linangan air mata, demikian pula Mei Lan berlutut di depan kaki Yap Kun Liong dan ayah itu dengan air mata berlinang juga merangkul puterinya. Pertemuan yang mengharukan antara ibu dan anak, dan ayah dan anak ini terjadi tanpa banyak kata terucap, hanya pandang mata yang berlinang air mata dari mereka sudah bicara banyak sekali. Semua orang memandang dengan hati penuh keharuan, karena melihat Giok Keng berlutut dan mendekap puteranya sedangkan Kun Liong mengangkat bangun Mei Lan dan dipeluknya puterinya itu penuh kasih sayang dan dengan air mata membasahi pipi karena tentu saja pertemuannya dengan Mei Lan ini mengingatkan Kun Liong akan kematian isterinya.

"Ayah... maafkan aku..." Mei Lan berbisik lirih, dan Kun Liong menggunakan jari-jari tangannya untuk meraba dan menutup bibir mulut puterinya itu, seolah-olah hendak mencegah gadis cilik itu bicara lebih lanjut karena dia sudah dapat memahami semua persoalannya.

Pada saat itu, nampak seorang wanita berpakaian serba merah lari menghampiri Bun Houw dan menjatuhkan diri berlutut di depan pemuda yang telah selesai mengobati luka di dalam pundak In Hong.

"Taihiap... harap taihiap suka mengasihani saya... harap taihiap sudi menerima saya menghambakan diri... setelah semua yang telah terjadi..." Wanita yang bukan lain adalah Liong Si Kwi itu menangis, tangan kanan mengusap air matanya yang bercucuran, juga tangan kirinya yang buntung itu ikut bergerak ke depan mukanya sehingga kelihatan amat mengerikan dan menyedihkan.

Wajah Bun Houw berubah pucat ketika dia memandang Si Kwi. Terbayanglah semua yang telah terjadi antara dia dan Si Kwi di dalam kamar wanita itu dan marahlah hatinya. Dia tahu bahwa Si Kwi mencintanya, akan tetapi dia marah sekali mengingat betapa wanita ini menggunakan kesempatan selagi dia tercengkeram oleh pengaruh hawa beracun yang membangkitkan berahinya, telah melakukan hubungan kelamin dengan dia dan dia merasa malu, menyesal dan marah sekali dengan terjadinya hal itu. Kalau saja di situ tidak terdapat banyak orang di antaranya malah ada ayahnya sendiri, tentu telah ditendangnya wanita itu. Akan tetapi dia menahan kemarahannya dan berkata dengan suara dingin. "Engkau bukan wanita baik-baik. Pergilah kau dari sini!"

"Taihiap...!" Wajah Si Kwi pucat sekali, matanya terbelalak memandang kepada pemuda yang dipuja dan dicintanya itu.

"Pergilah!"

Si Kwi bangkit berdiri, menangis sesenggukan dan lari meninggalkan tempat itu. Semua orang memandang sampai bayangan wanita itu lenyap di antara pohon dan kini Cia Keng Hong memandang puteranya dengan sinar mata penuh selidik. Dia tidak senang melihat sikap puteranya terhadap Si Kwi tadi, yang dianggapnya amat keras dan kejam, sungguhpun dia sendiri tidak tahu apa dan siapa wanita berpakaian merah yang tangan kirinya buntung itu.

"Bun Houw...!" Dia memanggil dan pemuda itu terkejut, menoleh kepada ayahnya, kemudian dia menggandeng tangan In Hong dan berbisik kepada dara itu untuk ikut bersamanya menghadap ayahnya. In Hong memandang wajah pemuda itu dengan senyum dan sinar mata penuh kemesraan, kemudian mengangguk dan keduanya lalu menghadap Cia Keng Hong dan mereka berdua menjatuhkan diri berlutut di depan pendekar sakti itu.

Melihat sikap pemuda dan gadis itu, Souw Kwi Beng menarik napas panjang dan ketika dia merasa betapa tangan Tio Sun memegang lengannya, dia menoleh dan tersenyum getir kepada pemuda itu. Mereka sudah sama maklum dan Tio Sun menatapnya dengan sinar mata mengandung iba.

"Houw-ji, bagaimana engkau bisa berada di sini dan tertawan bersama In Hong?" tanya ayah itu yang merasa tidak senang melihat puteranya yang bergandengan tangan demikian mesranya di depan orang banyak dengan In Hong. Jelas kelihatan oleh semua orang yang berada di situ bahwa ada pertalian cinta kasih mesra antara puteranya dan In Hong, sedikitpun mereka berdua tidak menyembunyikan perasaan saling mencinta itu.

"Ayah, aku mendengar di kota raja bahwa Hong-moi diculik, maka aku melupakan segalanya dan segera mengejar ke sini. Untuk menyelamatkan Hong-moi, terpaksa aku membiarkan diri ditawan dan... untung sekali bahwa ayah, suhu dan para sahabat yang gagah datang menolong..."

"Dan surat untuk ke Yen-tai itu...?"

"Maaf, ayah. Belum sempat kusampaikan... dan... sesungguhnya aku tidak dapat melaksanakan tali perjodohan itu, ayah..."

"Apa...?" Ayahnya membentak.

"Maaf, ayah. Aku... aku dan Hong-moi... kami... saling mencinta dan sudah berjanji untuk hidup berdua dan mati bersama..."

Jantung Cia Keng Hong terasa tergetar hebat yang tidak dia ketahui apa sebabnya, entah marah entah girang. Memang sejak dahulu dia ingin sekali mempunyai mantu keturunan Yap Cong San dan Gui Yan Cu. Mula-mula, niatnya untuk menjodohkan puterinya Giok Keng dengan Kun Liong mengalami kegagalan karena puterinya tidak mencinta Kun Liong dan Kun Liongpun mencinta gadis lain. Kemudian, dia ingin sekali mengambil adik Kun Liong, yaitu Yap In Hong menjadi mantunya, dijodohkan dengan puteranya, Cia Bun Houw. Akan tetapi hal itupun mengalami kegagalan ketika In Hong mengantar Yalima ke Cin-ling-san dan secara kasar dan keras memutuskan hubungan atau ikatan perjodohan antara In Hong dan Bun Houw itu. Hal ini amat menyedihkan dan menyakitkan hatinya dan baru saja sakit hati itu sedikit terobati ketika dia dapat menjodohkan puteranya dengan keturunan Souw Li Hwa dan sekarang tiba-tiba dia melihat puteranya dan In Hong berlutut di depannya dan menyatakan bahwa mereka saling mencinta!

Cia Keng Hong mengelus jenggotnya. Dia seperti lupa bahwa banyak sekali orang melihat dan mendengar apa yang terjadi di situ, akan tetapi dia tidak merahasiakan urusan pribadi keluarganya dan langsung dia bertanya kepada In Hong, "Yap In Hong, benarkah bahwa engkau mencinta Bun Houw?"

Wajah In Hong seketika berubah merah sekali. Sungguh luar biasa sekali ketua Cin-ling-pai ini! Bertanya kepada seorang gadis tentang cinta di depan begitu banyak orang! Akan tetapi, In Hong sejak kecil hidup dalam keadaan penuh kekerasan, penuh keanehan dan penuh bahaya, maka hanya sebentar saja dia merasa canggung dan malu, kemudian dengan lantang dia menjawab, "Benar, supek, saya mencinta Houw-ko seperti juga dia mencinta saya."

"Hemmm... benarkah itu? Lupakah engkau, In Hong, baru beberapa bulan yang lalu engkau pernah datang ke Cin-ling-san dan apakah yang kaukatakan kepada kami orang tua dari Bun Houw? Bukankah engkau telah memutuskan tali perjodohan yang tadinya telah diikat antara kau dan Bun Houw oleh kakakmu Yap Kun Liong dan kami?"

"Benar, supek, dan saya tidak lupa akan hal itu," jawab In Hong dengan suara lantang dan tenang.

"Dan engkau sekarang...?"

"Supek, sudah tentu saja keadaannya jauh berbeda antara waktu itu dan sekarang ini. Ketika itu, saya dan Houw-koko tidak saling mengenal, bahkan belum pernah saling bertemu. Mana mungkin ada rasa cinta kasih di antara kami berdua? Pula, karena penuturan Yalima tentang dia dan Houw-koko, mana mungkin saya menerima ikatan jodoh dari seseorang yang telah mempunyai pacar? Sekarang lain lagi keadaannya. Yalima telah bersuami dan urusan dia telah jernih, tidak menghalangi hubungan antara Houw-ko dan saya, dan kami sudah saling mencinta." Ketika mengeluarkan kata-kata ini, In Hong masih berlutut di samping Bun Houw, bahkan tangan kanannya masih saling bergandengan dengan tangan kiri pemuda itu, dan jari-jari tangan kiri Bun Houw tergetar dan pegangannya makin erat ketike dia mendengar ucapan kekasihnya dan melihat sikap yang demikian tabah dan tegas.

"Ayah, harap ayah sudi mengampuni semua kesalahanku dan kesalahan Hong-moi, dan sudi merestui cinta kasih antara kami..."

Namun Cia Keng Hong menggeleng kepalanya dengan tegas, wajahnya membayangkan kekerasan dan kedukaan, kedua tangannya dikepal dan dia menarik napas panjang setelah menggelengkan kepalanya. "Tidak bisa, Bun Houw. Tidak mungkin aku bisa memberi restu dan persetujuanku dan tidak boleh aku membiarkan engkau menjadi seorang yang melanggar peraturan dan kesusilaan. Engkau sudah kami tunangkan dengan puteri Yuan de Gama dan Souw Li Hwa, engkau sudah menjadi calon suami Souw Kwi Eng di Yen-tai."

"Tidak, ayah! Tidak, aku tidak mau!" tiba-tiba Bun Houw berkata dengan keras, mukanya berubah merah.

"Hemmm, kehormatan lebih berharga daripada nyawa, anakku."

"Maksud ayah...?"

"Engkau boleh memilih karena aku sebagai ayahmu hanya ingin melihat engkau antara dua pilihan itu, menjadi suami Souw Kwi Eng atau mati sebelum melanggar kehormatan yang akan menjatuhkan nama baik keluarga!"

"Ayah, aku memilih mati! Lebih baik aku mati daripada harus berpisah dari Hong-moi!" jawab pemuda itu sambil berlutut dan sikapnya menantang.

"Hemmm...!" Wajah pendekar sakti ketua Cin-ling-pai itu berubah agak pucat.

"Dan sebelum supek membunuh Houw-ko, lebih dulu supek harus membunuh saya!" In Hong juga berkata dan menggeser kedua lututnya, berlutut di depan kekasihnya untuk melindunginya!

"Hemmm, kalian mengira aku akan mengingkari kehormatan demi nyawa anak?" Sambil berkata demikian, tangan kanan Cia Keng Hong memegang gagang pedang Siang-bhok-kiam dan menghunusnya dari sarung pedang! Bun Houw dan In Hong masih berlutut dan dahi mereka hampir menempel tanah, mereka siap untuk menyerahkan nyawa mereka berdua, rela untuk mati bersama kalau tidak boleh hidup sebagai suami isteri.

"Ho-ho, nanti dulu, Cia Keng Hong!" Terdengar suara nyaring dan Kok Beng Lama sudah melompat maju ke depan ketua Cin-ling-pai itu dengan muka merah dan senyumnya mengandung ancaman, matanya mengeluarkan sinar mencorong. "Enak saja engkau hendak membunuh muridku! Jangan kau lupa, Bun Houw dan In Hong adalah murid-muridku dan seorang guru tidak nanti akan membiarkan murid-muridnya dibunuh orang begitu saja, biarpun orang itu adalah ayahnya! Selama hidupku, belum pernah aku melihat seorang ayah begitu kejam dan tega untuk membunuh puteranya. Seekor harimaupun tidak akan membunuh anaknya. Apakah harus kukatakan bahwa Cia Keng Hong adalah seorang manusia yang lebih buas daripada harimau?"

Cia Keng Hong, pendekar sakti yang terkenal gagah perkasa itu, yang namanya pernah menggegerkan dunia kang-ouw, kini menjadi makin berduka, akan tetapi dia menentang pandang mata pendeta Lama itu yang amat dia kagumi, lalu menarik napas panjang dan dengan pedang Siang-bhok-kiam tetap di tangannya, dia berkata dengan suara tenang tidak dikuasai perasaan.

"Kok Beng Lama locianpwe, hidup di dunia tidaklah lama, hanya beberapa puluh tahun yang kalau tidak dirasakan seperti hanya beberapa hari saja lamanya. Apakah artinya hidup sependek itu kalau tidak diisi dengan kehormatan? Apakah artinya hidup tanpa menjunjung tinggi nilai-nilai kesusilaan yang dicita-citakan oleh semua manusia? Manusia haruslah mempunyai cita-cita, menjunjung tinggi cita-cita, tidak hanya menuruti hati yang lemah. Dan cita-cita seorang pendekar hanyalah menjunjung tinggi kegagahan dan kehormatan, menjaga nama agar bersih sampai tujuh turunan!"

"Ha-ha-ha, betapa waspadanya kakek Bun Hwat Tosu! Ha-ha-ha, baru saja dia membuka mataku dan bicara tentang cita-cita, dan sekarang... ha-ha, ketua Cin-ling-pai juga bicara tentang cita-cita dan pandangannya persis seperti pandanganku ketika itu! Ha-ha, Cia-taihiap, bicaramu tentang cita-cita itu justeru merupakan kebodohan manusia pada umumnya yang terbuai oleh kehormatan palsu, oleh cita-cita yang merusak kewajaran hidup, yang menyelewengkan kemurnian hidup."

Cia Keng Hong mengerutkan alisnya. Cita-cita dan kehormatan adalah "pegangan" semua orang gagah, mengapa dikatakan merusak dan menyelewengkan? "Hem, locianpwe, apa maksud locianpwe?"

"Bun Hwat Tosu," Kok Beng Lama memandang ke angkasa, "mudah-mudahan saja kenyataan yang akan kubicarakan ini akan dapat membuka kesadaran orang-orang lain seperti telah membuka kesadaranku." Kemudian dia melangkah maju mendekati Cia Keng Hong dan berkata lagi, suaranya tenang, "Cia-taihiap, apakah artinya cita-cita? Bukankah cita-cita hanya merupakan bayangan yang tidak ada, merupakan sesuatu yang dianggap lebih indah daripada kenyataan yang ada, merupakan bayangan khayal, yang dikejar-kejar oleh manusia yang ingin mencapainya? Bukankah cita-cita itu sesuatu yang telah digambarkan, merupakan bayang-bayang yang dipuja-puja sebagai teladan untuk dicapainya dengan cara bagaimana pun."

"Agaknya benar demikian, locianpwe. Cita-cita adalah sesuatu yang amat baik, yang menjadi arah tujuan hidup. Tanpa cita-cita yang tinggi, hidup akan menyeleweng."

"Benarkah demikian? Apakah tidak sebaliknya? Apakah bukan justeru karena mengejar cita-cita itu maka manusia saling gempur, saling jegal, saling hantam demi mencapai cita-citanya masing-masing? Apakah bukan cita-cita yang menimbulkan perbuatan-perbuatan kejam, keras, dan pengejarannya membuat kita menyeleweng daripada kebenaran? Cita-cita adalah suatu contoh yang sudah digambarkan lebih dulu, dan kalau kita memaksa diri menjangkaunya, mengekornya, bukankah kita menjadi manusia-manusia yang paling munafik dan palsu? Kita bercita-cita menjadi orang baik, akan tetapi kalau memang kita tidak baik, maka kita akhirnya menjadi orang baik yang palsu, baik pura-pura hanya untuk memenuhi gambaran contoh yang dicita-citakan itu belaka!"

"Tidak begitu, locianpwe. Cita-cita membawa orang yang bodoh menjadi pintar, yang tidek baik menjadi baik, membawa dan mendorong manusia untuk memperoleh kemajuan. Tanpa cita-cita kita akan mandeg!" bantah Keng Hong.

"Ha-ha-ha, persis seperti pandanganku tempo hari!" Kakek raksasa itu tertawa, kemudian menjawab dengan suara tenang kembali. "Andaikata orang bodoh itu mengenal diri sendiri dan melihat kebodohannya, dia sudah bukan orang bodoh lagi! Sebaliknya, orang bodoh yang tidak melihat kebodohannya dan merasa diri pintar, dialah sebodoh-bodohnya orang, taihiap! Demikian pula, andaikata orang tidak baik itu mengenal diri sendiri dan melihat ketidakbaikannya, maka pengertian ini menimbulkan kesadaran dan dia bukan orang tidak baik lagi dan dia tidak perlu mencari untuk menjadi orang baik lagi! Sebaliknya, dalam keadaan tidak baik lalu mengejar untuk menjadi orang baik, pengejarannya itu akan menimbulkan banyak ketidakbaikan, mungkin dia akan pura-pura berbuat baik, mungkin dia akan menggunakan kekerasan, kedudukan, harta benda, untuk dapat disebut orang baik dan di dalam semua kebaikan yang dilakukan oleh orang tidak baik terkandung ketidakbaikan yang paling jahat! Kita sudah terbiasa menganggap bahwa cita-cita mendatangkan kemajuan, anggapan kuno yang sudah mendarah daging dan kita terima begitu saja tanpa penyelidikan akan kebenarannya. Mendatangkan kemajuan? Kemajuan yang bagaimanakah? Kita bercita-cita menjadi seorang berkedudukan tinggi dan dalam mengejar cita-cita itu, sudah hampir dapat dipastikan terjadi perebutan, terjadi penyogokan, terjadi kekerasan, bahkan mungkin kita harus menginjak orang lain sebagai batu loncatan dan setelah kita berhasil mencapai cita-cita itu, memperoleh kedudukan tinggi, apakah itu kemajuan namanya?"

Semua orang yang mendengarkan memandang dengan mata terbelalak karena baru satu kali ini mereka mendengar perdebatan yang aneh itu. Pendekar Sakti Cia Keng Hong memandang pucat, lalu berkata, "Eh... nanti dulu, locianpwe... saya menjadi agak bingung. Jadi menurut locianpwe, kita tidak harus bercita-cita, harus puas dengan keadaan yang sekarang ini saja? Tidak boleh mencari kemajuan? Berarti menjadi orang biasa saja tidak ada artinya?"

"Ha-ha-ha, lucu...! Lucu...! Kenapa pandangan kita pada umumnya begitu sama dan persis? Justeru demikian pula yang kukatakan kepada Bun Hwat Tosu ketika aku membantahnya!" Dia tertawa bergelak, kemudian berkata lagi, sikapnya kembali tenang.

"Cia-taihiap, jangan mencari contoh anggapan atau pandangan orang lain! Mari kita selidiki bersama, jangan hanya menyandarkan kepada pandanganku atau pandangan siapapun juga. Tidak perlu kita berpegang kepada pelajaran mati, harus bercita-citakah, atau tidak haruskah, atau harus puas atau tidak puaskah? Apa sih artinya harus ini atau tidak harus itu? Kalau puas ya puas saja, kalau tidak puas ya tidak puas saja, jangan dipaksakan menjadi sebaliknya karena hal itu menimbulkan pertentangan batin dan kepalsuan belaka. Mengapa kita tidak puas dengan keadaan saat ini? Sekali tidak puas, sampai matipun kita selalu akan tidak puas, bukan? Keadaan setiap saat berubah, akan tetapi ketidakpuasan yang timbul karena mengejar keadaan yang lain itu tidak akan pernah berubah dan akan menekan kita selama hidup. Tidak ada yang tidak membolehkan orang mencari kemajuan, akan tetapi harus dimengerti lebih dulu, apa sih kemajuan yang kita cari-cari itu? Taihiap mengatakan bahwa hal itu berarti menjadi orang biasa saja. Apa salahnya menjadi orang biasa? Kenapa semua orang ingin menjadi orang yang LUAR BIASA? Ha-ha, justeru inilah yang menjadi sebab dan sumber timbulnya segala malapetaka di dunia, segala permusuhan dari perorangan sampai kepada kelompok dan bangsa. Ingin menjadi luar biasa, lain daripada yang lain, paling hebat, paling jempol, haus akan pujian. Padahal semua itu kosong belaka, hanya angin yang akan memenuhi kepala menjadi besar dan tolol! Kita semua takut untuk menjadi orang yang dianggap tidak ada artinya! Padahal kita baru dipandang kalau kita sudah dapat mengalahkan orang lain, memperlihatkan kekuatan dan kekuasaan kita. Tidak anehlah kalau pendidikan macam ini membentuk kita menjadi manusia-manusia yang kejam, yang hanya mementingkan kesenangan diri pribadi. Ya, itulah cita-cita dan pengejarannya! Cita-cita yang diagung-agungkan itu bukan lain hanyalah keinginan untuk menyenangkan diri pribadi. Kesenangan, cita-cita, kedudukan, kekayaan, kemulyaan, dan sebagainya tidaklah buruk, akan tetapi PENGEJARANNYA, itulah yang amat jahat! Kekayaan, misalnya, tidak buruk, akan tetapi pengejarannya, mengejar kekayaan itulah yang menciptakan pelbagai perbuatan jahat yang kejam. Karena pengejaran ini yang membutakan mata batin, dalam mengejar sesuatu yang kita inginkan untuk menyenangkan diri, yang diselimuti dengan nama indah cita-cita, kita menjadi buta dan melakukan apa saja demi tercapainya cita-cita itu. Bukankah demikian yang kita lihat di sekitar kita setiap hari?"

Cia Keng Hong menundukkan kepala dan memejamkan matanya. Mata lahirnya terpejam, namun mata batinnya mulai terbuka. Nampak jelas olehnya betapa cita-cita dan kehormatan yang dipertahankannya mati-matian itupun sesungguhnya memang mempunyai dasar untuk menyenangkan hatinya sendiri, agar dia dianggap orang gagah betul, dipuji-puji di seluruh dunia sebagai orang yang berani mengorbankan anak demi kehormatan! Terbukalah matanya bahwa demi menyenangkan diri sendiri agar dipuji, dia hampir saja membunuh anaknya! Demi kesenangan diri sendiri, dia tidak memperdulikan lagi keadaan anaknya! Terkejutlah dia melihat kenyataan ini dan dia kembali membuka matanya yang memandang agak sayu kepada Kok Beng Lama yang tersenyum dan matanya mencorong itu.

"Locianpwe, saya masih agak bingung. Tadinya saya anggap bahwa apa yang saya lakukan ini bukan hanya demi kehormatan saya, melainkan kehormatan dan nama baik Bun Houw! Saya ingin dia menjadi orang yang gagah dan baik, dan keinginan itu tentu timbul karena saya cinta kepada anak saya. Apakah ini tidak baik dan benar?"

"Cia-taihiap," kata Kok Beng Lama dengan suara sungguh-sungguh. "Coba dengarkan kata-kata taihiap tadi. Saya ingin dia menjadi orang yang gagah dan baik! Nah, jawabannya telah terdapat di situ, bukan? Taihiaplah yang INGIN dia menjadi orang gagah dan baik, dan semua orang tua bilang cinta kepada anak-anaknya dan mereka ingin anak-anaknya menjadi orang begitu atau begini. Coba teliti yang benar. Bukankah keinginan itu didorong oleh hati yang ingin menyenangkan diri sendiri? Ingin senang MELALUI anaknya! Taihiap akan senang kalau anak taihiap menjadi begini atau begitu menurut yang taihiap inginkan. Bukankah begitu? Maka, kalau si anak tidak menaati, lalu dimaki, dibenci, bahkan hampir dibunuh! Bukan demi cita-cita, bukan demi kehormatan, bukan pula sama sekali demi cinta, melainkan demi menyenangkan diri taihiap sendiri. Karena si anak menolak, berarti tidak menyenangkan, dan berubahlah cinta itu menjadi benci dan kekejaman, sehingga rela hampir membunuh anak. Dapatkah taihiap melihatnya? Begitu jelas!"

"Ah, locianpwe..." Pedang Siang-bhok-kiam terlepas dari tangan Cia Keng Hong dan dia menjatuhkan diri berlutut di depan Kok Beng Lama! Sejenak kakek raksasa ini tertawa bergelak, suara ketawanya seperti menggoncang bumi dan menggetarkan udara, akan tetapi dia lalu memeluk Keng Hong dan mengangkat bengun pendekar sakti itu yang kedua matanya menjadi basah.

"Cia-taihiap, yang penting adalah kesadaran dan pengenalan diri sendiri berikut semua kesalahan-kesalahan kita sendiri. Makin waspada kita memandang dan membuka mata, makin jelaslah nampak seluruh kenyataan hidup ini, taihiap. Pengekoran terhadap guru atau pelajaran yang lampau hanya akan membuat kita menutup mata saja, dan hal itu dapat menimbulkan penyelewengan." Kakek itu menarik napas panjang. "Dan sesungguhnya, mata sayapun baru beberapa hari saja terbuka ketika saya bermain catur melawan mendiang Bun Hwat Tosu..."

"Mendiang...?" Tiba-tiba Mei Lan berseru keras dan meloncat ke dekat Kok Beng Lama, memegang tangan kakek raksasa itu. "Apa yang kaumaksudkan, locianpwe? Di mana suhu?"

Kok Beng Lama menarik napas panjang, mengeluarkan sebuah bungkusan kain dari dalam saku bajunya yang lebar dan memberikannya kepada Mei Lan. "Kau menanyakan suhumu? Nah, inilah dia, maksudku, inilah abu dari jenazahnya yang telah kubakar sesuai dengan permintaannya sebelum dia meninggal dunia."

"Aihhh... suhu...!" Mei Lan lalu menangis sambil memeluk bungkusan abu itu. Semua orang memandang dan mendengarkan dengan terharu, dan Kun Liong juga menjatuhkan diri berlutut di dekat puterinya. Bun Hwat Tosu telah menjadi guru puterinya! Dan dia sendiripun adalah murid Bun Hwat Tosu yang sekarang dikabarkan mati oleh Kok Beng Lama dan yang abu jenazahnya kini dipeluk oleh puterinya.

"Heh, diam engkau! Mulai sekarang, engkau harus mendengar kata-kataku karena akulah yang menjadi gurumu. Bun Hwat Tosu telah bermain catur dan bertaruh dengan aku telah berjanji untuk menurunkan tiga macam ilmu kepadamu, sedangkan diapun telah menyerahkan tiga macam ilmunya untuk kuajarkan kepada muridku, Lie Seng. Sudah, diam, jangan menangis. Kalau gurumu masih dapat melihat dan mendengar, dia tentu akan marah kalau kematiannya ditangisi. Hayo kaukatakan, kenapa engkau menangis mendengar gurumu mati?" tanya kakek yang wataknya memang aneh itu kepada Mei Lan.

Mei Lan yang masih sesenggukan itu memandang kepada kakek itu dengan mata merah dan air mata bercucuran, sukar untuk menjawab. Kun Liong yang berlutut di dekat puterinya menghela napas dan berkata, "Gak-hu ayah mertua bolehkah saya mewakili anak saya untuk menjawab pertanyaan itu?"

"Anakmu? Dia ini anakmu? Hemm... ya, teringat aku sekarang... engkau mempunyai seorang anak perempuan bernama Mei Lan! Jadi dia inikah anaknya?"

Mei Lan yang sedang menangisi kematian suhunya yang kini hanya menjadi abu, amat terkejut dan terheran-heran mendengar semua itu. Dengan mata masih bercucuran air mata, dia mengangkat muka memandang kepada kakek raksasa itu. Teringatlah dia akan penuturan ibunya bahwa ibunya adalah anak seorang pendeta Lama di Tibet yang amat sakti, dan bahwa kong-kongnya itu memang mengasingkan diri di Tibet, tidak pernah terjun ke dunia ramai dan tidak pernah menjenguk mereka. Kiranya pendeta raksasa inilah ayah dari ibunya itu! Dan sekarang akan menjadi gurunya! Kedukaan karena kematian Bun Hwat Tosu, kekagetan dan keheranan mendengar bahwa kakek raksasa ini kong-kongnya, dan ketegangan yang dirasakan dalam peristiwa hebat yang baru lalu dalam pertempuran itu, membuat dia bengong dan tidak dapat berkata-kata hanya menangis saja.

"Hayo katakan, kenapa kalian ayah dan anak menangis? Mengapa?" kembali terdengar suara Kok Beng Lama mengguntur.

Kun Liong menyusut air matanya. "Ketahuilah, gak-hu, bahwa Bun Hwat Tosu adalah guru saya pula. Baru sekarang saya mengetahui bahwa anak saya telah menjadi murid beliau. Mengapa kami ayah dan anak, murid-murid beliau menangis mendengar akan kematiannya? Mengapa orang menangisi orang yang mati? Banyak sekali jawabannya, tentu saja sesuai dan tergantung dengan keadaan masing-masing orang. Akan tetapi bagi saya, gak-hu, dan saya yakin juga bagi Mei Lan, kami menangis karena kami merasa berduka ditinggalkan oleh seorang tua yang bijaksana dan berbudi mulia, kami menangis karena ditinggalkan oleh seorang yang telah melimpahkan banyak kebaikan kepada kami tanpa kami berkesempatan untuk membalasnya."

"Ho-ho, jadi bukan menangisi dia? Jadi kalian menangisi diri sendiri?"

"Sebenarnyalah, gak-hu. Bagaimana kami akan menangisi suhu yang tidak kami ketahui bagaimana keadaannya sekarang? Kami menangisi diri sendiri yang ditinggalkan oleh seorang yang kami junjung tinggi dan hormati."

"Ha-ha, bagus! Engkau adalah seorang yang jujur, Kun Liong. Memang, menangisi orang mati sesungguhnya hanyalah menangisi diri sendiri, karena iba diri, dan sama sekali bukan menangisi si mati karena kalau demi cintanya terhadap yang mati, mungkin banyak sekali orang dapat bersyukur dan bergirang bahwa orang yang dicintanya itu sedikitnya terbebas dari segala derita hidup. Ha-ha! Eh, Mei Lan, setelah suhumu menjadi abu, mau kauapakan sekarang?"

Mei Lan kelihatan terkejut dan menoleh ayahnya. Akan tetapi Kun Liong sekali ini tidak mau mewakili anaknya menjawab. Mei Lan lalu menyerahkan bungkusan itu kepada Kok Beng Lama dan berkata, suaranya gemetar bercampur isak, "Kong-kong... saya tidak sangka bahwa kong-konglah ayah dari ibu... saya serahkan abu ini kepada kebijaksanaan kong-kong mau diapakan juga, terserah..."

"Ha-ha-ha engkau mewarisi kejujuran ayahmu. Baik sekali, Mei Lan. Memang ini hanya abu! Bukan gurumu lagi! Dan andaikata engkau memeliharanya dan menyembahyanginya pula, tidak lain perbuatanmu itu tentu akan didorong untuk kepentingan dirimu sendiri, untuk mencari kesenangan dirimu sendiri, karena engkau dalam sembahyangmu tentu minta diberkahi, minta ini dan minta itu. Padahal memelihara abu guru atau nenek moyang dimaksudkan agar si pemelihara abu itu senantiasa teringat kepada nenek moyangnya dan dapat menjaga agar dia menjadi manusia yang benar dan tidak mencemarkan nama baik nenek moyangnya. Akan tetapi kenyataannya tidak demikian, pemeliharaan abu berubah menjadi semacam jimat pelindung dan tempat untuk dimintai berkah agar selamat, agar kaya, agar untung dan sebagainya. Kasihanlah kalau sudah menjadi abupun masih hendak diperalat demi kesenangan dari kita sendiri! Nah, abu tinggal abu, tiada bedanya dengan tanah dan sebaiknya kalau diserahkan kembali kepada tanah. Bagaimana?"

"Terserah kepada kong-kong," jawab Mei Lan.

"Kausimpanlah. Kelak akan kita sebarkan abu ini di tempat yang baik. Nah, Cia-taihiap, karena urusan keluargamu itu menyangkut diri muridku yang pertama, Cia Bun Houw, aku berhak untuk mengetahui bagaimana selanjutnya keputusan terhadap dia dan In Hong," Kakek raksasa itu kembali menghadapi Cia Keng Hong.

Sejak tadi Keng Hong mengerutkan alisnya dan kini dia menjawab, "Locianpwe telah membuka mata saya untuk melihat betapa sesungguhnya dasar dari semua sikap saya adalah mementingkan diri pribadi. Oleh karena itu, saya tidak menghendaki Bun Houw bertindak guna kepentingan diri pribadi pula. Kalau dia bertekad untuk berjodoh dengan In Hong, bukankah hal itu merupakan tindakan pementingan diri pribadi dan dia sama sekali tidak mengingat akan keadaan Souw Kwi Eng dan orang tuanya? Ikatan jodoh antara mereka telah dilakukan, mana mungkin diputuskan begitu saja? Hal ini tentu akan merupakan penghinaan bagi keluarga Souw Kwi Eng. Apa yang harus kita lakukan? Mohon bantuan locianpwe untuk mempertimbangkan."

Kok Beng Lama mengerutkan alisnya dan beberapa kali dia menggeleng kepala dan menghela napas. "Hemm... benar juga...! Betapa hidup kita ini sudah terikat dengan belitan-belitan hukum yang amat membatasi gerak kita."

Tiba-tiba Souw Kwi Beng yang sejak melihat kemesraan antara dara yang dicintanya, yaitu In Hong, dengan Bun Houw, bersikap diam dan menundukkan kepala terbenam dalam kedukaannya, kini mendengar tentang adik kembarnya, dia cepat menghadap Cia Keng Hong dan menjura dengan penuh hormat. "Harap locianpwe sudi memaafkan saya yang lancang mencampuri bicara dalam urusan ini karena menyangkut keadaan adik saya dan keluarga saya. Orang tua saya mempunyai pandangan yang amat luas mengenai perjodohan, terutama sekali ayah saya. Setelah saya melihat dan mendengar semua, sudahlah jelas bahwa Cia Bun Houw taihiap sama sekali tidak ada hubungen cinta kasih dengan saudara saya, Kwi Eng. Dan sudah menjadi keyakinan kami sekeluarga bahwa perjodohan haruslah didasari dengan saling mencinta. Oleh karena itu, biarlah saya yang akan menyadarkan adik saya Kwi Eng karena diapun tentu menyadari bahwa cinta sepihak hanya menimbulkan kesengsaraan dalam kehidupan suami isteri. Agaknya ada banyak kesalahsangkaan dalam urusan ini, yaitu saya... eh, adik saya, menyangka bahwa orang yang dicintanya itupun membalas cintanya. Saya yakin bahwa saya akan dapat menyampaikan kepada adik saya agar dia menyadari kenyataan pahit dan berpisah dari tunangannya, karena hal ini jauh lebih baik daripada kelak menjadi suami isteri yang menderita karena cinta sepihak."

Cia Keng Hong memandang kepada pemuda tampan itu dengan wajah membayangkan keharuan. "Betapa baiknya keluarga Yuan de Gama, sebaliknya, betapa hal itu makin menyeret keluarga kami ke jurang kehinaan! Ahh, bagaimana aku dapat membiarkan keluarga kami menyakiti perasaan keluarga Souw Li Hwa?"

"Ayah, harap ayah sudi mengingat akan semua pengalamanku sehingga dapat bersikap bijaksana dalam memutuskan urusan adik Bun Houw." Tiba-tiba Giok Keng yang sejak tadi memeluk Lie Seng, kini bangkit dan menghadapi ayahnya. "Tentu ayah masih ingat betapa karena sikapku sendiri yang tidak mau memperdulikan perasaan dan keadaan orang lain, yang dahulu selalu menuruti kebenaran sendiri, kebenaran yang kaku, kuno dan berdasarkan kebiasaan yang ditanamkan oleh nenek moyang, maka sikap itu mendatangkan banyak sekali malapetaka. Ayah, kalau benar ayah mencinta Bun Houw seperti yang saya percaya demikian, apakah ayah tidak ingin melihat dia berbahagia? Dan kalau kebahagiannya itu hanya dapat dirasakan apabila dia berjodoh dengan In Hong, tegakah ayah untuk menghalanginya dan menghancurkan kebahagiaan mereka?"

"Aih, betapa tepatnya apa yang kaukatakan semua itu, sumoi!" terdengar Kun Liong berkata perlahan sambil menarik napas panjang. "Betapa kita semua, selama ini hanya mementingkan diri pribadi, mencari kesenangan diri pribadi, hendak memperalat seluruh manusia dan semua isi alam demi memenuhi keinginan kita untuk bersenang hati dan karenanya menciptakan malapetaka dan kesengsaraan hidup..."

Cia Keng Hong adalah seorang pendekar besar dan mungkin karena kegagahannya itulah yang membuat dia agak keras kepala, tidak mudah tunduk oleh apa pun juga. Diam-diam dia memikirkan isterinya yang tentu akan menentang semua ini. Tentu akan terjadi pertentangan antara dia dan isterinya kalau dia membiarkan Bun Houw memutuskan tali pertunangannya dengan Souw Kwi Eng dan kalau dia membiarkan Bun Houw menikah dengan In Hong, dan dia tidak berani menghadapi peristiwa itu. Kalau Bun Houw pulang ke Cin-ling-san bersama In Hong, dia tidak dapat membayangkan apa yang akan terjadi karena dia tahu betapa keras hati isterinya kadang-kadang.

"Aku tidak akan melarang, akan tetapi bagaimanapun juga, aku tidak dapat pula memberi persetujuan..." katanya sambil menggeleng kepala dan menarik napas panjang, wajahnya kelihatan tiba-tiba saja menjadi beberapa tahun lebih tua!

Dengan sepasang mata basah oleh air mata, Bun Houw yang masih berlutut lalu memberi hormat kepada ayahnya. "Kalau begitu... ampunkan aku, ayah... terpaksa aku akan pergi bersama Hong-moi... ke mana saja asal kami dapat hidup berdua..." Dia lalu bangkit dan menggandeng tangan In Hong yang juga mencucurkan air mata hendak pergi dari situ.

"Houw-te...!" Giok Keng menghampiri dan mereka berangkulan. "Adikku, ke mana engkau hendak pergi? Bagaimana aku dapat bertemu kembali denganmu?" Kakak yang merasa terharu ini menangis.

Bun Houw menepuk-nepuk bahu kakaknya. "Enci Keng, biarkanlah kami pergi, entah ke mana dan kalau Thian menghendaki, tentu kelak kita dapat saling bertemu kembali."

"Hong-moi, kenapa engkau tidak mengajak Bun Houw tinggal di Leng-kok saja?" Kun Liong juga berkata kepada adiknya. "Tinggallah di sana sambil menanti sampai supek Cia Keng Hong dan supek-bo kelak dapat merestui kalian."

Akan tetapi In Hong yang masih basah kedua pipinya itu tersenyum dan menoleh ke arah Bun Houw, lalu menjawab, "Kakakku yang baik, mulai saat ini aku menyerahkan jiwa ragaku ke tangan dia, dan terserah dia hendak pergi ke mana, ke neraka sekalipun aku akan ikut dengan dia."

"Ahh... kau benar... kau benar..." Kun Liong hanya dapat berkata lemah.

"Nah, selamat tinggal semuanya dan maafkan semua kesalahan kami," kata Bun Houw sambil melambaikan tangan. "Adik Kwi Beng, sampaikan hormatku dan maafku kepada seluruh keluargamu."

Kwi Beng hanya mengangguk dan dua orang muda yang masih bergandengan tangan itu pergi dari situ, diikuti pandang mata semua orang dan ada dua titik air tergantung di sudut mata Pendekar Sakti Cia Keng Hong, namun dengan kekerasan hatinya, dua titik air mata itu ditahannya dan tidak juga mau jatuh.

Sementara itu, atas pertanyaan Mei Lan dan Kun Liong, kakek raksasa ini lalu menceritakan tentang pertemuannya dengan Bun Hwat Tosu. Betapa mereka berdua bermain catur sampai dua hari dua malam dan saling bertaruh untuk menyerahkan semacam ilmu kepada murid lawan jika dikalahkan dalam satu pertandingan. Akhirnya, mereka itu saling menang tiga kali dan kalah tiga kali dan pada keesokan harinya yang ketiga, sambil tersenyum terdengar Bun Hwat Tosu berkata lemah, "Aku puas sudah... memperoleh lawan seperti engkau..." Dan kakek tua renta itu tidak bergerak lagi. Ketika Kok Beng Lama memeriksanya, ternyata kakek itu telah menarik napas terakhir dengan biji-biji catur masih digenggamnya!

"Wah, sungguh licik! Engkau masih butang tiga macam ilmu untuk muridku!" Kok Beng Lama berteriak penasaran dan membuka tangan yang menggenggam biji-biji catur itu. Gerakan ini membuat tubuh kakek tua renta itu tertarik dan roboh dan sebuah kitab terjatuh pula keluar dari jubahnya. Kok Beng Lama girang bukan main ketika memeriksa kitab itu dan melihat bahwa kitab itu mengandung tiga macam ilmu.

"Sahabatku yang baik, maafkan pinceng, kiranya engkau seorang yang memegang janjimu dengan baik," kata Kok Beng Lama kepada jenazah itu dan teringatlah dia akan semua percakapan yang mereka lakukan selama mereka berdua bermain catur. Dalam percakapan dua hari dua malam itu, antara lain tosu itu menyatakan betapa baiknya bagi orang yang telah meninggal dunia untuk dibakar. Teringat akan percakapan itu, Kok Beng Lama tidak merasa ragu-ragu lagi dan dibakarlah jenazah itu, kemudian abunya dibungkus dalam kain dan dibawa pergi ke Lembah Naga ketika dia mendengar suara ribut-ribut di tempat itu.

"Nah, dengan kematian tosu itu, maka berarti Mei Lan juga menjadi muridku karena aku berhutang tiga macam ilmu kepadanya, sesuai dengan pertaruhan itu. Siapa kira, ternyata dia adalah cucuku sendiri, ha-ha-ha!" Kok Beng Lama berkata pada akhir penuturannya.

Yap Kun Liong sudah mengenal baik siapa kakek ini yang menjadi ayah mertuanya, yang selain memiliki kesaktian hebat juga amat bijaksana. Biarpun Mei Lan bukan anak kandung dari Hong Ing, namun oleh mendiang isterinya itu dianggap sebagai anak sendiri maka boleh dibilang juga masih cucu dari Kok Beng Lama. Tentu saja dia rela menyerahkan puterinya untuk digembleng oleh kakek itu.

"Mei Lan, lekas berlutut menghaturkan terima kasih kepada suhumu yang juga adalah kong-kongmu, karena beliau ini adalah ayah kandung dari mendiang ibumu."

Mendengar ucapan ayahnya, Mei Lan terkejut sekali dan dia cepat menjatuhkan diri berlutut di depan Kok Beng Lama, namun mukanya menoleh kepada ayahnya dan air matanya bercucuran ketika dia bertanyat "Ibu... ibu... kenapa, ayah?"

Kun Liong menarik napas panjang, dan hanya berkata, "Kelak kau dapat mendengar tentang kematian ibumu dari kong-kongmu."

"Tapi... tapi..." Mei Lan sesenggukan dan pada saat itu, Giok Keng tak dapat menahan keharuan hatinya. Dia melepaskan puteranya dan menghampiri Mei Lan. Melihat Giok Keng, Mei Lan mengerutkan alisnya dan wajahnya kelihatan tidak senang. Akan tetapi Giok Keng tetap saja merangkulnya dan berkata halus, "Mei Lan, aku pernah bersalah kepada ibumu dan kepadamu akan tetapi aku telah merasa menyesal sekali dan harap kau dapat melupakan sikapku dahulu itu. Ketahuilah, ibumu telah dibunuh oleh seorang iblis wanita bernama Yo Bi Kiok, akan tetapi iblis itu telah tewas pula di tangan ayahmu."

"Ahhh, ibu...!" Mei Lan menjerit dan tangisnya mengguguk.

"Mei Lan, diam kau!" Tiba-tiba terdengar bentakan Kok Beng Lama dengan suara menggeledek, mengejutkan semua orang dan Mei Lan sendiri juga terkejut dan mengangkat muka, memandang wajah kakeknya yang bengis itu.

"Sudah kukatakan tadi, apa gunanya menangisi orang yang sudah mati? Ketika aku mendengar ibumu dibunuh orang, aku sampai menjadi gila dan hal itu sama sekali tidak ada manfaatnya, malah mendatangkan kekacauan belaka. Anakku itu sudah mati, dan pembunuhnya telah terbalas, tidak ada apa-apa lagi yang perlu ditangisi. Hayo kau ikut bersamaku pergi. Lie Seng, hayo kita pergi!"

Mei Lan menoleh kepada ayahnya dan Lie Seng menoleh kepada ibunya. Dua orang anak ini memang suka sekali untuk menjadi murid Kok Beng Lama yang lihai, akan tetapi baru saja mereka bertemu dengan orang tua mereka dan belum melepaskan kerinduan hati mereka.

Giok Keng dan Kun Liong saling pandang dan pendekar ini dapat menduga apa yang dipikirkan oleh Giok Keng, maka dia lalu berkata kepada Kok Beng Lama, "Gak-hu, tentu saja kami berdua merasa bersyukur dan berterima kasih bahwa gak-hu sudi membimbing mereka. Akan tetapi hendaknya gak-hu ingat bahwa dengan perginya mereka, baik saya maupun Cia-sumoi hidup sebatangkara. Oleh karena itu, kami harap gak-hu tidak lebih dari tiga tahun membimbing mereka berdua dan mengembalikan mereka kepoda kami."

Kok Beng Lama mengangguk. "Baik, setelah lewat tiga tahun aku akan mengantar mereka ke tempat tinggal kalian masing-masing." Setelah berkata demikian, Kok Beng Lama mengangguk kepada Cia Keng Hong dan menggandeng Mei Lan dan Lie Seng dengan kedua tangannya, lalu pergi dari tempat itu dengan cepat sekali.

Cia Keng Hong menarik napas panjang dan memandang ke arah para perajurit yang sejak tadi sibuk menggali lubang dan mengubur para jenazah teman-teman mereka yang tadi roboh menjadi korban pertempuran, dipimpin oleh komandan mereka. Kemudian dia memandang kepada puterinya, dan berkata, "Giok Keng, kalau engkau merasa kesepian, mari ikut bersamaku ke Cin-ling-san."

Giok Keng menggeleng kepala. "Aku hendak kembali ke Sin-yang, ayah. Nanti sewaktu-waktu aku akan berkunjung ke sana."

"Kalau begitu, aku akan kembali lebih dulu." Lalu pendekar ini mengangguk kepada semua orang yang berada di situ dan pergi membawa pedang pusaka Siang-bhok-kiam, kembali ke Cin-ling-san.

Tio Sun juga pergi bersama Kwi Beng. Pemuda peranakan Portugis ini sudah cepat dapat menguasai kekecewaan hatinya. Bahkan ketika dia mendengar percakapan antara Cia Keng Hong dan Kok Beng Lama tadi, terbuka pula mata batinnya dan dia maklum bahwa memang In Hong lebih cocok untuk menjadi jodoh Bun Houw. Dia merasa malu kepada diri sendiri, merasa betapa bodohnya dia. Dan kini diapun dapat mengerti akan keadaan Tio Sun, maka dia mengajak Tio Sun untuk pergi bersama dia ke Yen-tai.

"Engkau harus membantuku, twako, membantuku untuk memberi penjelasan kepada ibu dan kepada Kwi Eng," demikian dia berkata kepada Tio Sun ketika dia membujuk agar Tio Sun suka menemani dia pulang. Padahal dia ingin untuk mempertemukan pemuda perkasa ini dengan Kwi Eng dan sekarang tidak ada lagi halangannya setelah jelas bahwa pertunangan antara Kwi Eng dan Bun Houw telah putus. Dan memang diam-diam timbul pula harapan di hati Tio Sun setelah melihat betapa Bun Houw memilih In Hong sebagai jodohnya, timbul harapan di hatinya terhadap Kwi Eng yang membuatnya setiap malam bermimpi!

Kini tinggallah Giok Keng dan Kun Liong di tempat itu. Sejenak mereka saling pandang tanpa kata-kata. Akhirnya Giok Keng menundukkan mukanya dan berkata lirih, "Selamat berpisah, suheng. Sebaiknya kita berpisah di sini."

"Kurasa sebaiknya begitulah, sumoi, Biarlah kita saling mendoakan dan dengan mengingat bahwa anak-anak kita berkumpul menjadi satu di bawah bimbingan ayah mertuaku, hal itu akan menolong banyak untuk melawan kesunyian kita. Aku akan selalu tetap ingat kepadamu, sumoi."

"Dan aku selamanya takkan melupakan engkau, suheng."

Mereka kembali saling pandang dan sinar mata mereka penuh dengan kasih sayang dan perasaan iba karena mereka merasa senasib sependeritaan, merasakan dengan jelas betapa cinta kasih di dalam hati mereka yang dulunya seolah-olah terpendam kini tumbuh dengan suburnya, namun kesadaran mereka menjauhkan cinta kasih itu dari pengotoran nafsu berahi. Mereka saling mencinta, sebagai suheng dan sumoi, sebagai pria dan wanita, sebagai sahabat senasib sependeritaan, tanpa adanya hasrat untuk saling memiliki sungguhpun mereka ingin sekali untuk saling menghibur dan meringankan beban derita batin masing-masing. Akhirnya mereka berpisah, Kun Liong kembali ke Leng-kok di mana dia hidup tenteram menanti kembalinya puterinya, dan Giok Keng kembali ke Sin-yang, juga hidup menjanda dan menyepi menanti kembalinya buteranya.

Pasukan Kim-i-wi yang mengubur semua jenazah telah selesai pula dengan pekerjaan mereka lalu mereka berbaris pergi, kembali ke kota raja. Lembah Naga ditinggal sunyi. Tidak ada seorangpun manusia di situ. Sunyi menyeramkan karena tempat itu baru saja menjadi gelanggang pertempuran yang mengorbankan nyawa puluhan orang manusia, sungguhpun kini yang nampak hanya bekas-bekasnya saja, ceceran darah di sana-sini, tumbangnya pohon-pohon dan rusaknya rumput yang terinjak-injak. Akan tetapi, malam hari itu nampak sesosok tubuh wanita berjalan seroang diri di lembah itu, berjalan sambil menundukkan muka dan menangis. Wanita ini adalah Liong Si Kwi, murid mendiang Hek I Siankouw yang sudah buntung tangan kirinya, wanita yang cantik namun bernasib malang.

Cintanya terhadap Bun Houw ditolak oleh pemuda itu, padahal dia telah menyerahkan kehormatannya, menyerahkan dirinya dan dia merasa di dalam lubuk hatinya bahwa perbuatannya itu tentu akan mendatangkan akibat! Kini gurunya telah tiada, hidupnya seorang diri, kehilangan tangan kiri dan kehilangan semangat dan hati yang dibawa terbang pergi oleh bayangan Bun Houw. Maka dia tidak mau meninggalkan Lembah Naga dan mengambil keputusan untuk tinggal selamanya di situ, di tempat di mana dia telah menyerahkan tubuhnya kepada Bun Houw, satu-satunya pria di dunia ini yang pernah dicintanya.

***

"Ke mana kita sekarang, Hong-moi?"

"Terserah kepadamu, koko."

"Aku tidak mempunyai tujuan."

"Kalau begitu kita membuat tujuan bersama."

"Ke mana?"

"Ke manapun kau pergi, aku harus selalu bersamamu, Houw-koko."

"Aku tidak dapat kembali ke Cin-ling-san."

"Kalau begitu jangan ke Cin-ling-san."

"Habis ke mana?"

"Sesukamulah, biar ke neraka sekalipun, aku ikut denganmu. Selamanya kita tidak boleh berpisah lagi, aku tidak mau berpisah lagi dari sampingmu."

Mereka berjalan berdampingan di dalam hutan itu dan kini Bun Houw berhenti, memegang kedua lengan In Hong. Mereka berdiri berhadapan, saling menatap wajah masing-masing di bawah sinar matahari senja yang kemerahan.

"Hong-moi, biarpun telingaku sudah mendengar sendiri akan pengakuanmu di depan ayah, akan tetapi aku masih belum puas karena kata-katamu tidak kautujukan kepadaku. Hong-moi, benarkah bahwa engkau cinta padaku?"

Bibir itu tersenyum manis dan sepasang pipi yang halus itu menjadi merah sekali. Tatapan sinar mata Bun Houw membuat In Hong merasa malu. "Ihhh, pandang matamu begitu... mengerikan, koko!"

Bun Houw tertawa. "Katakanlah, moi-moi, katakanlah."

"Aku cinta padamu, Houw-koko. Aku cinta padamu sejak pertama kali bertemu denganmu!"

Bun Houw merangkulnya dan mereka berpelukan dengan ketat. Bun Houw berbisik di dekat telinga kekasihnya, "Hong-moi, akupun cinta padamu, aku mencintamu dengan seluruh jiwa ragaku, dengan seluruh hati dan sukmaku."

"Aku tahu, koko."

"Akan tetapi..." Suara Bun Houw mengejutkan In Hong dan dia melepaskan pelukannya, menarik tubuh ke belakang agar dapat memandang wajah kekasihnya.

Dia memandang penuh selidik dan makin terkejutlah hatinya ketika dia melihat wajah kekasihnya itu kelihatan berduka dan penuh kekhawatiran.

"Ada apakah, koko? Sejak meninggalkan Lembah Naga, kau pendiam dan kelihatan ada sesuatu mengganggumu. Aku dapat merasakannya itu dan dapat kulihat dari kerut di antara matamu. Houw-koko, di antara kita tidak boleh ada rahasia. Kita sudah merupakan dua badan satu hati, kebahagiaan dan penderitaan kita menjadi satu, kita nikmati dan kita pikul bersama."

"Hong-moi..." Bun Houw memeluk dan dengan terharu dia mendekatkan mukanya. Biarpun jantungnya berdebar keras penuh rasa malu dan ketegangan, namun In Hong menyambutnya dengan bibir tersenyum, setengah terbuka, menanti apa yang akan dilakukan oleh kekasihnya itu terhadap dirinya penuh keikhlasan.

In Hong memejamkan mata dengan jantung berdebar tegang ketika merasa betapa bibirnya tersentuh bibir Bun Houw, akan tetapi tiba-tiba pemuda itu menarik diri dan ketika In Hong membuka matanya, dia melihat pemuda itu mengerutkan alisnya dan kelihaten cemas sekali.

"Houw-koko, ada apakah?" dia bertanya merasa khawatir juga.

"Moi-moi, aku tidak berhak menyentuhmu sebelum kau mengetahui segalanya!" kata Bun Houw.

"Sudah kuduga tentu ada sesuatu, koko, maka ceritakanlah kepadaku. Tidak boleh ada rahasia menghalang di antara kita."

Bun Houw melepaskan pelukannya dan dia lalu duduk di atas akar pohon yang menonjol keluar dari tanah. In Hong juga duduk di atas batu di depannya. Sampai lama In Hong menanti, namun pemuda itu diam saja, mukanya agak pucat. Setelah berulang-ulang dia mendesak, barulah Bun Houw bicara.

"Betapa sukarnya menceritakan hal itu kepadamu, Hong-moi. Peristiwa terkutuk itu terjadi ketika kita berdua terpengaruh oleh racun perangsang itu, ketika kita berada dalam tahanan..."

"Ahhhh...!" In Hong teringat semua itu dan wajahnya makin merah. Dia masih merasa malu dan jengah kalau teringat betapa di bawah pengaruh racun, dia telah bersikap luar biasa sekali, sikap yang membuatnya malu bukan main. "Akan tetapi... mengapa hal itu sekarang membuatmu risau, koko? Bukankah kita berdua telah berhasil melawan pengaruh racun, berkat keteguhan hatimu?"

"Bukan berkat keteguhan hatiku, melainkan berkat kemurnian hatimu, moi-moi. Sedangkan aku... ah, aku manusia lemah!"

"Tapi kita tidak melakukan pelanggaran, koko!"

"Benar, denganmu memang tidak karena engkau seorang dara yang suci dan hatimu bersih. Aku masih berterima kasih kepadamu karena keteguhan dan ketahanan hatimu di waktu itu. Akan tetapi, ahhh...!" Bun Houw menarik napas lagi. Sungguh berat rasanya untuk menceritakan peristiwa itu kepada kekasihnya.

"Ceritakanlah, koko. Ingat, di antara kita tidak boleh ada rahasia."

"Benar, aku harus menceritakan kepadamu, betapapun berat dan sukarnya. Dengarlah, di waktu engkau terlena dalam keadaan pingsan akibat pengaruh racun itu, tiba-tiba di sudut ruangan itu nampak lubang dan ternyata pembuat lubang itu adalah Liong Si Kwi, gadis murid Hek I Siankouw itu. Ingatkah kau?"

In Hong mengangguk. "Aku ingat padanya. Nah, lalu bagaimana?"

"Dia muncul dari dalam lubang dan ternyata lubang itu digalinya dari kamarnya sampai menembus ke tempat tahanan kita. Maksudnya membuat lubang itu adalah untuk menolongku, menyelamatkan aku..."

"Hemm, rupanya dia jatuh cinta kepadamu sampai berlaku begitu nekat dan berbahaya, koko."

"Demikianlah agaknya. Dia memondongku dan membawaku melalui lubang itu dan sampai di dalam kamarnya. Maksudnya memang hendak membebaskan aku, akan tetapi... ah, keparat racun itu... dan dia... dia berbeda dengan engkau, Hong-moi... dalam keadaan seperti itu, dia malah merayuku... dan aku... aku tidak sadar sama sekali dan aku... tidak kuat bertahan dan..." Bun Houw tidak melanjutkan ceritanya, menutupi mukanya dengan kedua tangan, tidak berani memandang wajah kekasihnya.

Berkerut kedua alis In Hong. Sepasang matanya mengeluarkan sinar berkilat, wajahnya sebentar pucat sebentar merah, hatinya dibakar oleh api cemburu, napasnya agak memburu. Akhirnya, perlahan-lahan sinar matanya melembut kembali, napasnya teratur lagi dan dia bertanya, suaranya agak gemetar dan tersendat, "Jadi kau... kau dan dia... telah... bermain cinta?"

Bun Houw mengepal kedua tangannya.

"Hong-moi, harap jangan gunakan istilah itu. Memang kami telah melakukan hubungan kelamin, kau tahu bahwa aku sama sekali tidak cinta kepadanya, akan tetapi di bawah pengaruh racun yang amat kuat itu... dan ditambah rayuan wanita tak tahu malu itu..." Bun Houw membuka matanya yang menjadi merah.

"Kalau tidak ada suhu dan ayah, tentu sudah kubunuh wanita itu!"

"Hushhh... jangan bicara sembarangan saja, koko. Dia cinta padamu, dia sudah mengorbankan tangan kirinya. Kita patut merasa kasihan kepadanya."

Bun Houw menoleh kepada In Hong dengan mata terbelalak. "Apa...? Kau... kau tidak marah...?"

In Hong mengangguk dan tersenyum.

"Tentu saja hatiku penuh iri dan cemburu dan marah, akan tetapi aku dapat memaklumi keadaanmu dan aku maafkan engkau, Houw-koko."

"Hong-moi... terima kasih, Hong-moi...!"

Mereka berangkulan dan kini dua mulut pemuda yang saling mencinta itu bertemu dalam satu ciuman yang amat mesra, ciuman yang mengandung getaran hati mereka sepenuhnya, seolah-olah dua perasaan hati bertemu menjadi satu lewat ciuman itu, bertaut dan tidak akan terpisah lagi. Mereka seperti lupa diri, masing-masing melimpahkan kemesraan tanpa mengenal bosan dan matahari senja agaknya cepat-cepat menyingkir untuk memberi kesempatan kepada dua orang muda itu untuk berasyik mesra.

"Hong-mol..." Bun Houw berbisik sambil mengelus-elus rambut hitam panjang dan halus itu.

"Hemmm..." In Hong berbisik kembali dari atas dada kekasihnya di mana dia menyandarkan kepalanya setelah debar jantungnya agak tenang sehabis diamuk badai kemesraan tadi.

"Engkau masih ingat kepada Liok Sun?"

"Heh? Liok Sun? Siapakah dia?"

"Yang berjuluk Kiam-mo (Pedang Setan), pemilik perjudian Hok-pokoan di Kiang-shi."

"Ah, di mana engkau dahulu menjadi pengawainya? Majikanmu itulah?"

"Hushh, jangan menghina aku!" Bun Houw menghardik dan mencubit pipi kekasihnya dengan mesra. "Kau tahu bahwa aku bukanlah pengawainya, melainkan hanya menyamar sebagai pengawalnya untuk menyelidiki keadaan Lima Bayangan Dewa."

"Aku tahu, koko. Nah, ada apa dengan dia?"

"Dia telah tewas, moi-moi, dan betapapun juga, dia adalah seorang yang mempunyai setia kawan dan seorang sahabat yang baik. Sebelum dia mati, dia telah meninggalkan pesan kepadaku, pesan yang sudah kusanggupi."

"Heh, kau memang terlalu baik hati, Houw-ko. Apa itu kesanggupanmu?"

"Dia meninggalkan pesan sebelum tewas bahwa dia menitipkan anaknya kepadaku, anaknya bernama Sun Eng, seorang anak perempuan berusia sepuluh tahun yang ditinggalkan di Kiang-shi."

"Dia bershe Liok, kenapa anaknya she Sun?" In Hong bertanya heran.

"Sebenarnya namanya dahulu adalah Sun Bian Ek, nama Liok Sun hanya nama penyamaran saja untuk menyembunyikan diri."

"Hemm, belum juga menjadi isterimu sudah harus mempunyai seorang anak perempuan yang berusia sepuluh tahun!" In Hong mengomel. "Sedangkan kita belum menikah belum mempunyai rumah."

"Bukan anak, moi-moi, melainkan... yah, anggap saja seorang murid. Tidak mungkin aku mengingkari janji kepada seorang yang telah mati."

In Hong menghela napas panjang, sengaja untuk menggoda kekasihnya. "Baiklah... baiklah... memang sudah nasibku, menjadi jodoh scorang yang belum mempunyai tempat tinggal tertentu akan tetapi telah dibebani seorang anak yang besar. Hehh, enaknya menjadi jodoh pendekar sakti Cia Bun Houw!"

Bun Houw menjadi gemas dan menggelitik leher dan lambung kekasihnya. In Hong terkekeh kegelian, meronta akan tetapi kedua lengan Bun Houw sudah merangkulnya, dan ketika dia mencium mulut yang terbuka itu, In Hong menghentikan gerakannya meronta dan kedua lengannya seperti dua ekor ular merayap dan melingkari leher pemuda itu.

Sampai di sini, pengarang menyudahi cerita "Dewi Maut" ini dengan permintaan maaf apabila terdapat kejanggalan-kejanggalan dan kesalahan-kesalahan dalam cerita ini, dan disertai harapan mudah-mudahan cerita ini dapat sekedar menghibur hati para pembaca sebagai pengisi waktu terluang dan mengandung manfaat. Selamat berpisah dan sampai jumpa di lain cerita.



TAMAT
Lereng Lawu, Akhir Desember 1974

Di lanjutkan dalam kisah
PENDEKAR LEMBAH NAGA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar