Akan tetapi tidak terdengar sesuatu dari dalam pondok, juga tidak nampak sesuatu muncul dari situ. Thian Sin yang tadinya sedang merebahkan diri di dalam pondok itu, begitu mendengar suara Pak-san-kui, sudah meloncat ke atas dan membuka genteng, lalu mengintai dari atas. Dia melihat Pak-san-kui datang bersama Siangkoan Wi Hong dan Pak-thian Sam-liong dan sama sekali tidak merasa gentar. Akan tetapi yang membuat dia meragu adalah melihat Kim Hong berada pula di situ bersama mereka!
Tadipun dia sudah gelisah memikirkan betapa Kim Hong melindungi Siangkoan Wi Hong dan menyerangnya. Dan kini ternyata gadis itu agaknya telah bersekutu dengan musuh besarnya! Hal ini mendatangkan rasa nyeri daripada ketika melihat gadis itu berciuman dengan Siangkoan Wi Hong tadi. Kalau memang Kim Hong sudah mengambil keputusan bersekutu dengan datuk utara itu untuk memusuhinya, diapun tidak takut! Demikian suara hatinya yang terasa nyeri, kecewa, berduka dan marah. Maka diapun bangkit berdiri di atas atap rumah itu. Sinar bintang-bintang membuat dia nampak seperti tubuh siluman yang tiba-tiba muncul di situ. Akan tetapi suaranya masih halus walaupun mengandung teguran keras.
"Kim Hong, begitu tidak tahu malukah engkau, merendahkan diri menjadi kaki tangan Pek-san-kui?" Kemudian dia melayang turun di depan Pak-san-kui sambil menudingkan telunjuknya. "Pak-san-kui, tua bangka keparat! Kalau memang engkau seorang datuk dan seorang laki-laki sejati, hayo lawanlah aku, keroyoklah dengan murid-muridmu, akan tetapi jangan ikut-ikutkan orang lain!"
Sebelum Pak-san-kui menjawab, tiba-tiba Kim Hong tertawa dan berkata dengan nada menghina, "Hi-hik, Pendekar Sadis! Apakah engkau telah buta dan tidak melihat dengan siapa kau berhadapan? Locianpwe Siangkoan Tiang adalah datuk dunia utara, seorang locianpwe yang gagah perkasa. Dia sendiri saja sudah cukup untuk membikin engkau mampus, siapa butuh mengeroyokmu?"
Mendengar ucapan ini, Pak-san-kui terkejut. Ucapan itu memang bermaksud baik, akan tetapi sungguh merugikannya! Dan setelah mendengar gadis itu bicara demikian, tentu dia akan merasa rendah den malu kalau begitu maju lalu mengeroyok musuhnya itu. Maka diapun mengerling ke arah puteranya dan tiga orang muridnya.
"Aku akan menghadapinya sendiri! Kalian tahu kapan untuk turun tangan mencegah dia melarikan diri!" Setelah berkata demikian dan merasa yakin bahwa puteranya dan tiga orang muridnya dapat mengerti apa yang dimaksudkannya, tiba-tiba saja Pak-san-kui sudah menerjang ke depan dengan senjatanya yang ampuh, yaitu huncwe maut itu. Nampak api menyambar dari dalam huncwe yang kemudian menjadi sinar menyambar ke arah muka dan leher Thian Sin. Cepat bukan main gerakan ini, akan tetapi Thian Sin sudah mengelak ke belakang. Kim Hong melihat gerakan itu, kemudian melihat betapa kakek itu menggerakkan tangan kirinya dan lengan kiri itu mulur sampai panjang mengejar atau membuat serangah susulan ke arah kepala Thian Sin.
"Dukkk!" Thian Sin menangkis dan keduanya terdorong dua langkah ke belakang. Melihat ini, Kim Hong diam-diam terkejut dan kagum akan kelihaian datuk ini yang selain memiliki senjata huncwe yang berbahaya, juga memiliki lengan kiri yang dapat mulur panjang dan tentu saja amat berbahaya pula.
Sementara itu, Siangkoan Wi Hong dan Pak-thian Sam-liong hanya mengurung tompat itu, siap untuk membantu karena mereka maklum bahwa kehadiran Kim Hong tentu saja membuat Pak-san-kui merasa sungkan untuk melakukan pengeroyokan. Akan tetapi mereka tahu bahwa kalau sampai Pak-san-kui terdesak, mereka berempat tentu akan segera turun tangan mengeroyok. Maka Siangkoan Wi Hong lalu mendekati Kim Hong.
"Adik manis, kalau dia terlalu berat bagi ayah, kita baru akan turun tangan mengeroyoknya. Dia memang orang yang berbahaya sekali." Kim Hong tidak menjawab, seperti tidak mendengar ucapan itu, melainkan menonton perkelahian itu dengan penuh perhatian.
Dan perkelahian itu memang amat menegangkan untuk ditonton. Seru dan mati-matian, juga merupakan perkelahian antara orang-orang yang memiliki kepandaian hebat. Dahulu, ketika untuk pertama kalinya Thian Sin mengalahkan Pak-san-kui, dia harus mengandalkan akal, menggunakan air untuk menghadapi serangan api yang kadang-kadang keluar dari huncwe maut itu, yang membuat lawan kewalahan dan panik.
Akan tetapi sekarang dia tidak membutuhkan lagi akal seperti itu, dan pula, sejak kekalahannya dari Thian Sin dahulu itu, Pak-san-kui sudah berlatih matang dan bersiap-siap kalau-kalau lawan menggunakan air lagi. Maka andaikata Thian Sin mengulangi akalnya yang dahulu, dia tentu akan kecelik dan tidak akan berhasil. Pemuda ini hanya menghadapinya dengan memegang kipasnya. Setiap kali ada bunga api menyambar, atau asap yang berbau keras, kipas itulah yang mengebut dan api serta asap itu membalik dan menyerbu kakek itu sendiri! Sedangkan serangan huncwe itu hanya dihadapi dengan tangan kosong saja oleh Thian Sin.
Huncwe maut itu menyambar-nyambar dengan ganas, mengeluarkan suara bercuitan mengerikan. Thian Sin selalu dapat mengelak atau menangkis hunewe dengan tangannya, bahkan membalas serangan lawan dengan sama dahsyatnya, menampar dan memukul atau menendang sambil mengerahkan sin-kang. Thian Sin dapat melihat kenyataan bahwa dibandingkan dengan dahulu, datuk ini telah memperoleh kemajuan yang cukup banyak, maka diapun lalu mengubah gerakannya, mainkan ilmu silat warisan ayahnya yaitu Hok-liong Sin-ciang yang hanya delapan belas jurus itu. Akan tetapi, baru saja dia mengeluarkan tiga empat jurus yang masing-masing mempunyai bagian-bagian dan perkembangan-perkembangan yang amat sulit itu, lawan telah terdesak hebat!
Pak-san-kui mengenal jurus-jurus ini, akan tetapi hanya kulitnya saja dan isinya sungguh membuat dia bingung karena mengandung daya serang yang sama sekali tidak pernah dapat diduganya, dan selain itu juga amat hebat. Dalam serangan-serangan itu terkandung gerakan-gerakan aneh dan hampir saja dia kena dirobohkan lawan sehingga ketika kaki Thian Sin menyerempet lambungnya, dia terbuyung dan meloncat ke belakang sambil mengeluarkan seruan. Seruan ini dikenal oleh Siangkoan Wi Hong dan Pak-thian Sam-liong, maka mereka itu segera bergerak untuk membantu.
Akan tetapi tiba-tiba berkelebat bayangan menghadang mereka disertai bentakan, "Tahan dulu!"
Siangkoan Wi Hong terkejut melihat bahwa yang menghadang itu adalah Kim Hong! Gadis ini berkata, "Tadi sudah diadakan janji bahwa tidak akan ada pengeroyokan! Kalau kalian ingin mencoba kelihaian musuh, biarlah Pendekar Sadis menghadapi kalian. Dan karena tingkat kepandaian kalian masih rendah, kalian berempat boleh saja maju berbareng untuk menghadapinya! Hei, Pendekar Sadis tinggalkan dulu Pak-san-kui, dan hadapi mereka ini. Aku sendiri ingin merasakan kelihaian huncwe maut!" Setelah berkata demikian, Kim Hong sudah meloncat ke dalam arena pertempuran itu sambil mencabut sepasang pedangnya dan langsung menerjang Pak-san-kui!
Perubahan sikap gadis ini sungguh mencengangkan semua orang. Akan tetapi, kalau Siangkoan Wi Hong menjadi kaget dan marah sekali, sebaliknya Thian Sin yang juga kaget itu merasa girang bukan main. Tadinya dia sudah merasa bingung dan gelisah kalau terpaksa harus menghadapi gadis itu sebagai musuh. Biarpun hatinya masih panas kalau mengingat akan adegan romantis dan mesra antara Kim Hong dan Siangkoan Wi Hong, namun pembalikan sikap Kim Hong yang kini jelas berpihak kepadanya itu membuatnya girang sekali dan begitu melihat Kim Hong menyerbu Pak-san-kui, diapun lalu meloncat ke belakang untuk menghadapi Siangkoan Wi Hong dan Pak-thian Sam-liong yang segera mengurung dan mengeroyoknya dengan serangan-serangan yang bertubi-tubi.
Terutama sekali, Siangkoan Wi Hong menyerang dengan penuh kebencian dan kemarahan. Pemuda hartawan ini kecewa bukan main melihat betapa Kim Hong, gadis yang menjatuhkan hatinya, yang disangkanya telah terjerat olehnya, ternyata kini malah membantu Thian Sin! Dan timbullah kecurigaannya bahwa memang gadis itu sengaja bersikap baik kepadanya untuk memancingnya, memancing ayahnya untuk menghadapi Pendekar Sadis di tempat sunyi itu.
Dan teringatlah dia betapa gadis itulah yang menganjurkan agar mereka berenam saja yang menghadapi Pendekar Sadis dan melarang agar jangan menggunakan pasukan. Teringat akan ini, keringat dingin membasahi dahi Siangkoan Wi Hong dan dia menyerang semakin dahsyat, dibantu oleh tiga orang suhengnya yang sudah membentuk barisan Sha-kak-tin (Barisan Segi Tiga) itu.
Thian Sin menghadapi empat orang pengeroyoknya dengan tenang-tenang saja. Akan tetapi karena untuk menghadapi pengeroyokan empat senjata itu lebih enak kalau menggunakan senjata pula, maka selain kipasnya, diapun lalu mencabut Gin-hwa-kiam dan memutar pedangnya untuk melindungi dirinya dan kipasnya kadang-kadang menyambar dengan totokan-totokan maut. Akan tetapi, Thian Sin tidak dapat mencurahkan seluruh perhatian terhadap empat orang pengeroyoknya itu karena dia merasa khawatir kalau-kalau Kim Hong terancam bahaya, walaupun dia maklum bahwa kepandaian gadis itu kiranya tidak berada di sebelah bawah tingkat Pak-san-kui.
Pak-san-kui sendiri yang tadinya tercengang dan marah melihat betapa gadis itu membalik dan memihak musuh, dengan kemarahan meluap menghadapi Kim Hong. "Bagus!" bentaknya. "Memang anakku yang buta, tidak tahu bahwa engkau adalah seekor siluman yang jahat. Mampuslah kau di tanganku!" Kakek itu segera menghisap huncwenya dan sekali dia menggerakkan huncwe, ada bunga api menyambar ke arah muka Kim Hong, disusul tiupan asap dari mulutnya dan dibarengi pula dengan totokan-totokan maut dari ujung hunewe!
Sungguh merupakan serangan maut yang amat hebat. Kim Hong sejak tadi sudah melihat dan mempelajari kepandaian lawan, maka gadis ini mengerahkan gin-kangnya yang istimewa, sudah melesat ke atas untuk mengelak dari serangan bertubi-tubi itu. Akan tetapi tangan kakek itu sudah menyambar, mulur sampai dua kali panjang lengan biasa, mencengkeram ke arah dada Kim Hong!
"Hih!" Kim Hong berseru dan pedangnya berkelebat menyambar untuk membacok lengan yang panjang mengerikan itu.
Pak-san-kui kembali meniupkan asapnya dan menarik tangannya. Karena asap itu selain amat kuat juga mengandung bau yang menyesakkan napas, terpaksa Kim Hong berjungkir balik di udara itu saja sudah menunjukkan kemahiran gin-kang yang amat hebat. Dan sambil berjungkir balik ini Kim Hong sudah memindahkan pedang di tangan kirinya ke tangan kanan yang memegang dua pedang, sedangkan tangan kirinya bergerak, sinar merah menyambar dari atas ke arah kepala dan dada Pak-san-kui!
"Uhhh...!" Pak-san-kui terkejut sekali dan dengan cepat dia memutar huncwenya menangkis. Terdengar suara nyaring berkerincingan ketika jarum-jarum merah itu terpukul runtuh. Akan tetapi, gadis itu telah turun ke atas tanah dan menyerang lagi dengan sepasang pedangnya, gerakannya aneh luar biasa sehingga yang nampak hanya dua gulungan sinar hitam yang bergulung-gulung seperti dua ekor naga hitam mengamuk. Pak-san-kui menangkis beberapa kali sehingga nampak bunga-bunga api berhamburan, dari mulut huncwe dan juga dari pertemuan senjata mereka!
Kembali Pak-san-kui merasa terkejut bukan main. "Tahan...!" serunya dan diapun meloncat ke belakang.
Kim Hong menyilangkan sepasang pedang hitamnya di depan dada sambil memandang dengan senyum mengejek. "Pak-san-kui, kau hendak bicara apa lagi?" tanyanya, sikapnya yang tadinya menghormat datuk itu kini lenyap, berubah menjadi sikap dan suara penuh ejekan.
Pak-san-kui mengerutkan alisnya dan memandang tajam, penuh selidik. Dan teriakannya tadi ternyata juga menghentikan pertandingan antara Thian Sin yang dikeroyok empat. Agaknya puteranya, dan juga tiga orang muridnya, mengira bahwa teriakan itu ditujukan untuk semua sehingga mereka berempatpun meloncat ke belakang, dan tentu saja Thian Sin juga menunda gerakannya. Dia ingin tahu apa yang akan dikatakan oleh kakek itu.
"Nona, aku pernah mendengar tentang jarum merah dan Hok-mo Siang-kiam. Ada hubungan apakah engkau dengan Lam-sin?"
Pertanyaan yang persis sama dengan yang pernah diajukan oleh See-thian-ong kepadanya! Sekali ini Thian Sin diam saja, dan Kim Hong menjawab seperti ketika ia menjawab See-thian-ong, "Lam-sin sudah tidak ada, yang ada hanyalah Toan Kim Hong saja!"
"Tapi... tapi... Lam-sin adalah datuk selatan, masih rekan dan segolongan denganku...!"
"Cukup! Kalau engkau takut menghadapiku, katakanlah, tua bangka!" bentak Kim Hong.
Tentu saja bentakan ini membuat Pak-san-kui marah bukan main. Ia tahu bahwa gadis ini ternyata lihai sekali, dan mungkin sudah mewarisi semua kepandaian datuk yang bernama Lam-sin. Akan tetapi hal itu bukan berarti bahwa dia takut menghadapinya, hanya kalau gadis selihai ini sekarang berpihak kepada Thian Sin, sungguh amat berbahaya bagi pihaknya. Kini mendengar makian dan bentakan Kim Hong, dia lupa akan semua kekhawatiran itu, terganti rasa kemarahan besar sekali dan diapun membentak, "Bocah yang bosan hidup!" Dan huncwenya sudah menyerang lagi.
Kim Hong tersenyum mengejek dan menggerakkan sepasang pedangnya pula. Melihat betapa mereka sudah mulai bertempur lagi, Siangkoan Wi Hong dan Pak-thian Sam-liong juga segera menyerbu Thian Sin yang menghadapi mereka sambil tersenyum dan memandang rendah. Akan tetapi pemuda ini tetap membagi perhatiannya kepada Kim Hong karena dia tidak ingin gadis itu celaka di tangan datuk utara yang lihai itu.
Diam-diam Kim Hong merasa gembira sekali karena semenjak ia meninggalkan Pulau Teratai Merah, berkelana di dunia kang-ouw sampai mendapatkan julukan Lam-sin, baru beberapa kali saja memperoleh lawan yang cukup tangguh. Pertama sekali adalah Thian Sin yang telah berhasil mengalahkannya, mengalahkan ilmu silatnya dan juga menundukkan hatinya, pria pertama yang ia serahi tubuhnya sebagai tanda takluk. Kemudian ia bertemu dengan See-thian-ong yang merupakan lawan yang tangguh pula. Dan kini, Pak-san-kui juga merupakan lawan yang menggembirakan karena memang amat lihai. Kim Hong harus mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya, barulah ia dapat mengimbangi kehebatan kakek itu.
Di lain pihak, Pak-san-kui terkejut bukan main setelah memperoleh kenyataan bahwa dia sungguh-sungguh tidak dapat mengatasi gadis itu! Jurus apapun yang dikeluarkannya, selalu dapat dibendung oleh gadis itu dan dia sendiri baru dengan setengah mati dapat menyelamatkan diri dari desakan gadis itu. Apalagi kecepatan dan keringanan tubuh gadis itu yang membuat dia hampir kewalahan. Benar-benar seorang lawan yang agaknya tidak di bawah Pendekar Sadis sendiri tingkat kepandaiannya. Mulailah dia merasa khawatir sekali. Kalau gadis ini membantu Thian Sin, maka pihaknya jelas akan mengalami kerugian hebat.
Setelah membiarkan Kim Hong menghadapi dan "merasakan" kelihaian datuk utara itu selama lima puluh jurus lebih, tiba-tiba Thian Sin lalu melompat, meninggalkan empat orang pengeroyoknya dan menerjang datuk itu sambil berkata kepada Kim Hong. "Jangan kau merampas musuh besar dari tanganku!"
Kim Hong tertawa dan gadis inipun membalik lalu menghadapi Siangkoan Wi Hong dan Pak-thian Sam-liong. Pada saat itu, Siangkoan Wi Hong sudah merasa yakin bahwa gadis ini agaknya memang sengaja mendekati keluarga Pak-san-kui untuk memancing mereka ke tempat itu, maka diapun menjadi marah sekali.
"Perempuan hina, rasakan pembalasanku!" Yang-kimnya menyerang ganas disusul cengkeraman tangan kirinya dengan ilmu cakar garuda!
Dimaki seperti itu, Kim Hong menjadi marah sekali. Pedangnya berkelebat menyambar, yang satu menangkis yang-kim dan yang ke dua membabat ke arah lengan kiri lawan, dan selain itu, iapun mengerahkan semua tenaganya.
"Trakkk!" Siangkoan Wi Hong berhasil menarik kembali lengan kirinya, akan tetapi setelah terdengar suara keras itu, yang-kimnya pecah ujungnya terbabat pedang hitam! Dan Kim Hong terus mendesaknya, akan tetapi pada saat itu Pak-thian Sam-liong telah menyerbunya dari belakang, kanan dan kiri. Terpaksa dara itu memutar kedua pedangnya dan kembali ia menghadapi pengeroyokan mereka berempat. Akan tetapi sekali ini Kim Hong tidak main-main lagi dan gerakan kedua pedangnya membuat empat pengeroyok itu menjadi kalang kabut dan terdesak hebat. Apalagi Siangkoan Wi Hong sudah mengalami kekagetan karena yang-kimnya patah ujungnya. Sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa gadis cantik yang pernah membiarkan dia menciuminya mesra itu ternyata memiliki kepandaian begitu hebat sehingga ayahnya sendiripun tidak mampu mengalahkannya.
Sementara itu, perkelahian antara Thian Sin melawan Pak-san-kui juga sudah menampakkan perobahan. Kini Thian Sin mengeluarkan semua kepandaiannya dan mengerahkan seluruh tenaganya. Kakek itu tampak lelah sekali, dan sinar lampu di depan pondok itu biarpun hanya suram saja masih dapat menerangi keadaan kakek yang wajahnya menjadi pucat, napasnya agak memburu dan dari topi sulaman bunga emas di kepalanya itu keluar uap putih yang tebal. Thian Sin terus mendesaknya, dan setiap kali huncwe bertemu dengan Gim-hwa-kiam, tentu kakek itu tergetar dan terhuyung ke belakang.
"Tranggggg...!" Kembali kedua senjata itu bertemu dan sekali ini sedemikian hebatnya sehingga tubuh kakek itu terjengkang ke belakang dan jatuh terduduk. Akan tetapi Pak-san-kui sudah menggerakkan lengan kirinya yang dapat memanjang itu, sambil duduk tangan kirinya itu bergerak seperti ular dan tahu-tahu telah menangkap kaki kanan Thian Sin. Pemuda ini memang sengaja membiarkan kakinya ditangkap, akan tetapi ketika kakinya ditarik, tetap saja dia tidak mampu mempertahankan dan diapun terpelanting! Akan tetapi bukan sembarangan terpelanting, melainkan terpelanting yang telah diaturnya sehingga ketika terguling itu, pedangnya bergerak, sinar perak berkelebat ke bawah.
"Crokk! Aughhhhh...!" Pak-san-kui meloncat berdiri dan terhuyung ke belakang, akan tetapi lengannya tertinggal di kaki Thian Sin karena pedang itu telah membabat buntung lengan kirinya sebatas siku! Akan tetapi, tangan kirinya itu masih saja mencengkeram pergelangan kaki pemuda itu! Thian Sin cepat membungkuk dan melepaskan tangan kiri lawan itu dari kakinya, kemudian dia terus menubruk maju menyerang Pak-san-kui yang sudah terluka parah.
"Trang! Tranggg...!" Kembali bunga api berpijar dan tubuh kakek itu terjengkang. Thian Sin menyimpan Gin-hwa-kiam dan pada saat kakek itu bangkit, dia sudah menyerangnya lagi, kini mempergunakan kedua tangan kosong. Pak-san-kui yang menyeringai kesakitan itu menyambutnya dengan pukulan huncwe sekuatnya ke arah dahi Thian Sin. Pemuda ini menangkapnya. Mereka saling betot dan tiba-tiba Thian Sin mempergunakan Thi-khi-i-beng!
"Ahhh...!" Pak-san-kui terkejut sekali. Dia sudah tahu bahwa lawannya ini memiliki ilmu Thi-khi-i-beng yang mujijat itu, akan tetapi dia sama sekali tidak menyangkanya bahwa pemuda itu akan mempergunakannya pada saat itu. Kini huncwenya melekat pada tangan pemuda itu dan pada saat dia mengerahkan tenaga sekuatnya untuk membetot, pemuda itu mengerahkan ilmu yang seketika menyedot semua sin-kang yang tersalur lewat tangan kanannya. Karena tangan kirinya sudah tidak dapat dipergunakan, maka kakek ini cepat menyimpan tenaga dan menghentikan pengerahan sin-kangnya. Hanya itulah satu-satunya jalan untuk menyelamatkan dirinya agar tenaga lwee-kangnya tidak tersedot habis. Akan tetapi, pada saat itu Thian Sin yang sudah memperhitungkan ini, tiba-tiba merenggut lepas huncwenya dan di lain saat huncwe itu sudah membalik ke arah kepala Pak-san-kui.
"Prakkk!" Huncwe itu remuk, pecah berantakan, tetapi tubuh kakek itu terguling, kepalanya bagian pelipis mengucurkan darah!
Thian Sin membuang huncwe yang sudah remuk itu dan meloncat mendekati untuk memeriksa apakah lawannya telah tewas. Baru saja dia membungkuk, tiba-tiba kaki Pak-san-kui bergerak cepat.
"Desss...!" Tubuh Thian Sin terlempar ke belakang ketika kaki itu mengenai dadanya! Untung bahwa dia tadi cepat mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang yang melindungi dadanya sehingga ketika kena tendang, dia hanya terlempar saja dengan dada terasa agak nyeri, akan tetapi tidak sampai terluka dalam. Kakek itu tertawa aneh dan tubuhnya sudah meloncat bangun lagi lalu menubruk ke arah Thian Sin yang masih rebah terlentang setelah terlempar tadi. Thian Sin menyambutnya dengan totokan ke arah leher sambil meloncat bangun.
"Cusss...!" Thian Sin kaget bukan main ketika jari tangannya hanya menotok kulit daging yang lunak. Disangkanya bahkan kakek itu mempergunakan ilmu yang dimiliki Kim Hong, yaitu melepaskan daging menyembunyikan otot seperti Ilmu Bian-kun (Ilmu Silat Kapas). Akan tetapi ketika dia memandangi ternyata kakek itu terkulai dan roboh tak bernyawa lagi! Kiranya setelah mengeluarkan suara ketawa aneh dan pada saat menubruknya tadi, kakek itu telah tewas! Tenaganya yang terakhir dipergunakan dalam tendangan tadi dan setelah dia memeriksanya, ternyata pelipis kepalanya telah retak oleh pukulan dengan huncwe tadi.
Thian Sin cepat menengok. Dia melihat betapa Kim Hong mempermainkan empat orang lawannya. Diapun tidak membantu, hanya menonton sambil berdiri di depan pondok. Diam-diam dia semakin kagum kepada Kim Hong. Empat orang pengeroyoknya itu rata-rata memiliki ilmu kepandaian yang hebat dan kalau mereka berempat itu maju bersama seperti itu, agaknya malah lebih berbahaya dan lebih kuat dibandingkan dengan Pak-san-kui sendiri. Namun, jelaslah bahwa Kim Hong menguasai perkelahian itu. Dara ini membagi-bagi serangan seenaknya, dan dengan gin-kangnya yang luar biasa ia seperti beterbangan ke sana ke mari, seperti seekor kupu-kupu lincah beterbangan di antara empat tangkai bunga. Sepasang pedang di tangannya membuat gulungan sinar hitam yang mengeluarkan suara berdesing-desing dan yang membuat empat orang pengeroyoknya kewalahan sekali. Bahkan barisan Sha-kak-tin itupun sudah kocar-kacir. Hal ini bukan hanya disebabkan oleh kelihaian ilmu pedang Kim Hong, melainkan juga karena adanya Siangkoan Wi Hong ikut mengeroyok. Sha-kak-tin adalah ilmu silat kelompok yang dilakukan oleh tiga orang yang selalu mengatur pengepungan dengan segi tiga. Tempat mereka itu boleh bertukar-tukar, akan tetapi selalu dalam bentuk segi tiga. Kini dengan adanya Siangkoan Wi Hong, biarpun dasar ilmu silat mereka dari satu sumber, akan tetapi kehadiran Siangkoan Wi Hong ini tidak memungkinkan lagi mereka memainkan Sha-kak-tin dengan sempurna. Untuk membiarkan Siangkoan Wi Hong meninggalkan merekapun merupakan hal yang berbahaya sekali karena lawan mereka sungguh amat lihai. Maka mereka mengepung berempat dan melakukan pengeroyokan. Akibatnya malah mereka sendiri yang merasa dikeroyok oleh banyak sekali pedang hitam!
Memang Kim Hong sengaja mempermainkan mereka. Ia sudah berhasil merobek baju Siangkoan Wi Hong berikut kulit dan sedikit daging di dada kirinya, melukai pundak dan paha tiga orang Pak-thian Sam-liong, akan tetapi belum mau merobohkan mereka. Ia menanti sampai Thian Sin berhasil merobohkan Pak-san-kui dan setelah melihat Pak-san-kui roboh dan tidak bergerak lagi, barulah ia tersenyum.
"Sekarang, kalian berempat bersiaplah untuk mengiringkan guru kalian ke neraka!" Dan gerakan pedangnyapun berubah, menjadi semakin cepat, membuat empat orang itu bingung sekali. Dua kali sinar hitam menyambar disusul robohnya dua orang di antara Pak-thian Sam-liong. Mereka roboh tak bergerak lagi karena ujung kedua pedang hitam itu telah menusuk antara kedua mata mereka. Orang ke tiga dari Pak-thian Sam-liong yang marah sekali menusukkan pedangnya dengan nekad, akan tetapi kembali sinar hitam berkelebat. Terdengar suara keras dan pedang itu buntung, disusul robohnya pemegangnya dengan leher yang hampir putus terbabat sinar hitam pedang Hok-mo Siang-kiam.
Tinggal Siangkoan Wi Hong seorang diri harus menghadapi wanita itu! Pemuda ini menjadi pucat mukanya. Akan tetapi dia maklum bahwa dia tidak mungkin dapat melarikan diri lagi maka diapun lalu membuat gerakan tiba-tiba, menyambitkan yang-kimnya ke arah lawan, disusul dengan kedua tangannya yang mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala dan tangan kanan mencengkeram ke arah buah dada! Inilah serangan maut yang dimaksudkan untuk mengadu nyawa dengan gadis cantik itu!
Akan tetapi, dengan mudah Kim Hong mengelak dari sambaran yang-kim, dan sebelum serangan kedua tangan lawan dapat menyentuhnya, ia sudah membuat gerakan meloncat cepat, tubuhnya melesat ke arah belakang tubuh lawan, kepalanya digerakkan dan tahu-tahu rambutnya yang panjang hitam dan harum itu telah menyambar ke depan dan telah membelit leher Siangkoan Wi Hong! Bukan belitan mesra dari rambut harum itu seperti yang dibayangkan oleh Siangkoan Wi Hong, melainkan belitan yang amat kuat, melebihi kuatnya lilitan seekor ular dan rambut itu telah mencekik leher! Siangkoan Wi Hong terkejut dan otomatis kedua tangannya bergerak ke leher untuk melepaskan belitan itu. Akan tetapi tiba-tiba Kim Hong memutar kepalanya dan tubuh Siangkoan Wi Hong terangkat dan terbawa putaran itu, diputar beberapa kali dengan amat kuat. Tubuh Siangkoan Wi Hong melayang ke arah Thian Sin! Tubuh itu sudah lemas karena belitan rambut tadi membuatnya tidak dapat bernapas, maka ketika Thian Sin menyambutnya dengan tamparan, Siangkoan Wi Hong yang sudah setengah mati itu tidak mampu mengelak lagi.
"Prokk!" Tubuh pemuda itu terbanting dan seperti juga ayahnya, kepalanya retak oleh tamparan Thian Sin dan diapun tewas tak jauh dari mayat ayahnya.
Mereka kini saling berhadapan, saling pandang di bawah penerangan sinar lampu redup depan pondok itu. Mayat lima orang itu berserakan.
"Kim Hong..."
"Mari kita pergi dari sini, kalau ketahuan pasukan penjaga kita repot juga." Kim Hong memotong kata-kata Thian Sin dan meloncat pergi, disusul oleh Thian Sin. Baru setelah sinar matahari pagi menciptakan warna indah cerah di ufuk timur dan mereka telah tiba jauh sekali dari kota Tai-goan, mereka berhenti. Pagi itu cerah dan indah sekali, secerah hati Thian Sin. Lenyaplah semua perasaan kesepian, lenyaplah semua perasaan nelangsa, terganti sinar kegembiraan memenuhi hatinya, walaupun kegembiraan ini kadang-kadang menyuram oleh bayangan betapa gadis ini pernah berciuman dengan mesra bersama Siangkoan Wi Hong!
Mereka berhenti di padang rumput, jauh dari dusun-dusun. Hanya burung-burung yang menyambut keindahan pagi dengan nyanyian mereka sajalah yang menemani mereka di tempat sunyi itu. Tidak nampak seorangpun manusia lain di sekitarnya.
"Kim Hong," kata Thian Sin yang sejak tadi menahan-nahan perasaan hatinya untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang menyesak di dada, karena ketika mereka berlari-lari tadi, Kim Hong seolah-olah hendak mengajaknya berlumba. "Sekarang aku minta penjelasan darimu."
Kim Hong tersenyum, menggunakan saputangan sutera hijau untuk menghapus keringat dari leher dan dahinya, kemudian ia menggunakan saputangan itu untuk dikebut-kebutkan ke atas rumput di bawahnya. Titik-titik embun yang menempel pada ujung-ujung rumput itu, seperti juga keringatnya tadi, tersapu bersih dan setelah sebagian rumput itu kering, iapun lalu menjatuhkan diri duduk di atas rumput yang sudah tidak basah itu, sambil tersenyum.
"Penjelasan apa lagi?" tanyanya sambil mengerling dan Thian Sin melihat betapa kerling mata dan senyum itu mengandung perpaduan antara ejekan dan rangsangan.
Thian Sin mengerutkan alisnya, rasa cemburu memanaskan dadanya dan dia menjadi tidak sabaran. Diapun menjatuhkan diri duduk di atas rumput, tidak peduli bahwa celananya menjadi basah oleh embun yang memandikan rumput-rumput hijau.
"Penjelasan banyak hal. Kenapa engkau meninggalkan aku pergi tanpa pamit? Kemudian, mengapa engkau melindungi Siangkoan Wi Hong ketika aku menyerangnya? Dan kenapa engkau bersekutu dengan Pak-san-kui dan kemudian engkau membalik melawan mereka dan membantuku? Dan kenapa... engkau membiarkan dirimu dirayu dan dicium oleh Siangkoan Wi Hong?"
Mendengar semua pertanyaan itu, Kim Hong tersenyum dan memandang kepada Thian Sin seperti pandang mata seorang dewasa memandang anak-anak yang nakal dan ingin digodanya. Kemudian ia mencabut sebatang rumput dan menggigit-gigit rumput itu di antara giginya yang berderet rapi dan putih seperti deretan mutiara, di antara bibirnya yang merah membasah dan tersenyum simpul itu.
"Thian Sin, engkau ini seorang pendekar yang berilmu tinggi, akan tetapi jalan pikiranmu masih begitu picik dan tumpul. Kalau engkau tidak mengerti mengapa aku meninggalkanmu, biarlah engkau tinggal tolol dan aku tidak mau memberitahukan kepadamu. Akan tetapi yang lain-lain dapat kujelaskan. Aku mendahuluimu ke Tai-goan, aku hendak menyelidiki keadaan Pak-san-kui yang kausohorkan hebat itu. Aku sengaja mendekati Siangkoan Wi Hong dan ketika aku sedang menyelidiki, lalu muncul engkau yang hendak merusak penyelidikanku dengan menyerang Siangkoan Wi Hong. Tentu saja aku mencegahmu. Aku sengaja bersekutu dengan Pak-san-kui untuk menyelidiki keadaannya dan melihat keadaan mereka amat kuat, didukung oleh pasukan penjaga keamanan Tai-goan, mana mungkin engkau mampu mengalahkannya? Maka ketika engkau menyerangnya dan aku melindunginya, engkau lari dan diam-diam aku membayangimu, tahu bahwa engkau tinggal di pondok itu. Aku lalu mengajak mereka untuk menyerbu tanpa bantuan pasukan. Nah, setelah Pak-san-kui dan puteranya dan tiga orang muridnya menyerbu, bukankah hal itu yang kautunggu-tunggu?"
Thian Sin melongo, lalu menggerakkan tangan hendak memegang lengan gadis itu, akan tetapi Kim Hong mengelak. "Kim Hong, maafkan aku. Kiranya engkau melakukan semua itu untuk membantuku! Sungguh benar katamu bahwa aku seperti buta, aku telah berani menyangka yang bukan-bukan, mengira engkau membelakangiku dan memihak mereka. Kaumaafkan aku!"
Bibir bawah yang lunak itu mencibir, "Hemm, untuk kesalahpengertian itu aku tidak perlu memaafkanmu karena memang sebaiknya kalau engkau salah mengerti agar penyelidikanku menjadi sempurna."
"Kim Hong, kalau engkau tidak menyesal, mengapa engkau menjauhkan diri? Sungguh aku tidak mengerti."
"Apa saja yang kau mengerti kecuali membunuh orang?" Kim Hong mengejek.
"Kim Hong... aku minta kepadamu, jangan kaubiarkan aku dalam kebingungan, jelaskanlah mengapa engkau meninggalkan aku dan mengapa pula engkau membiarkan dirimu dirayu oleh Siangkoan Wi Hong."
Tiba-tiba sepasang mata itu berkilat dan alis itu berkerut. "Ceng Thian Sin, karena engkau mendesak, aku akan memberitahu, akan tetapi kalau sesudah ini engkau tidak minta ampun kepadaku, jangan harap aku akan sudi bertemu muka denganmu lagi! Dengarlah baik-baik. Engkau telah menghinaku, engkau telah meremehkan perasaanku dengan mencium So Cian Ling di depan mataku! Itulah sebabnya maka aku meninggalkanmu! Dan engkau melihat aku membiarkan diri berciuman dan berpelukan dengan pria lain, tidak peduli siapapun pria itu? Karena aku sengaja melakukannya untuk membalas dendam kepadamu! Aku tahu engkau membayangi kami dan aku ingin engkau melihatnya! Nah, aku sudah memberi penjelasan!" Kim Hong bangkit berdiri dan membalikkan tubuhnya, membelakangi pemuda itu.
Thian Sin menjadi bengong sejenak, kemudian melihat betapa kedua pundak gadis itu bergoyang-goyang, tahulah dia bahwa Kim Hong menangis, walaupun ditahan-tahannya sehingga tidak terisak. Maka diapun lalu menubruk kedua kaki gadis itu dan dengan penuh penyesalan diapun berkata, "Kim Hong, kauampunkanlah aku, Kim Hong."
Sikap dan ucapan Thian Sin ini seperti membuka bendungan air bah sehingga air mata gadis itu mengalir turun dan kini ia tidak dapat menahan tangisnya sesenggukan.
"Kim Hong, aku mengaku salah... aku... tidak sengaja, melihat ia menghadapi kematian, aku terharu dan... ah, ampunkan aku, Kim Hong, aku... cinta padamu."
Akan tetapi walaupun kini Thian Sin memeluk kedua kakinya dan berada di depannya, Kim Hong tidak menjawab dan hanya menangis dan menutupi mukanya dengan saputangan.
"Kim Hong, maukah engkau mengampuniku?" Kembali Thian Sin berkata sambil mengangkat muka memandang.
Kim Hong menahan isaknya dan menjawab lirih, "Kalau aku tidak sudah mengampunimu sejak tadi, tentu aku sudah membantu mereka mengeroyokmu dan apa kaukira saat ini kau masih dapat hidup?"
Bukan main girangnya hati Thian Sin mendengar ini dan memang diapun dapat melihat kenyataan dalam ucapan gadis itu. Kalau tadi Kim Hong membantu Pak-san-kui mengeroyoknya, jelaslah bahwa dia takkan mungkin dapat menang. Menghadapi Pak-san-kui seorang saja, dia hanya menang setingkat, juga demikian kalau dia melawan Kim Hong maka kalau Pak-san-kui dibantu Kim Hong menyerangnya, sudah jelas dia akan kalah. Apalagi di situ masih ada Pak-thian Sam-liong dan Siangkoan Wi Hong! Belum lagi diingat bahwa tanpa bantuan Kim Hong, tentu dia telah dikurung oleh ratusan orang pasukan penjaga. Tidak, betapapun lihainya, dia tidak mungkin dapat meloloskan diri dan sekarang tentu sudah menjadi mayat seperti Pak-san-kui dan murid-muridnya.
"Terima kasih Kim Hong, terima kasih! Sungguh aku yang tolol, dan aku amat cinta padamu. Kim Hong, apakah engkau juga cinta kepadaku?"
Kim Hong menjatuhkan diri berlutut, berhadapan dengan pemuda itu. "Tolol, kalau aku tidak cinta padamu, apa kaukira aku sudi menyerahkan diri tempo hari? Kalau aku dikalahkan oleh pria yang tidak kucinta, apa sukarnya bagiku untuk membunuh diri?"
"Kim Hong..."
Mereka berpelukan, saling dekap dan saling cium dengan penuh kemesraan, dengan panas karena di situ mereka mencurahkan semua kerinduan hati mereka yang mereka tahan-tahan selama ini. Mereka tidak mempedulikan lagi rumput basah air embun, bahkan rumput-rumput itu menjadi tilam pencurahan kasih asmara mereka di tempat sunyi itu. Mereka lupa akan segala dan tinggal di padang rumput itu sampai dua hari dua malam, setiap saat hanya bermain cinta, saling mencurahkan cinta berahi yang seolah-olah tidak pernah mengenal puas.
Sanggama, perbuatan yang dilakukan oleh pria dan wanita, adalah sesuatu yang amat indah, sesuatu yang tidak terelakkan, sesuatu yang wajar, sesuatu yang mengandung kenikmatan lahir batin, sesuatu yang menjadi hal yang terutama dalam hubungan antara pria dan wanita di dunia ini. Juga merupakan suatu perbuatan yang suci, karena di dalamnya terkandung kemujijatan besar, yaitu perkembangbiakan manusia, penciptaan manusia di dalam rahim ibunya.
Sungguh sayang bahwa sejak ribuan tahun, hal itu malah dianggap sebagai sesuatu yang harus dirahasiakan, sesuatu yang bahkan dianggap tidak pantas untuk dibicarakan, terutama sekali kepada anak-anak, kepada calon-calon manusia yang pada waktunya tidak akan terbebas daripada perbuatan itu pula.
Sementara bahkan ada pandangan orang-orang yang belum mengerti atau yang munafik, atau yang pura-pura mengerti, bahwa sanggama adalah suatu hal yang "kotor" untuk dibicarakan. Mengapakah kita tidak berani mengungkap peristiwa ini, perbuatan ini, bahkan banyak yang menganggapnya sebagai pantangan dan sebagai pelanggaran susila kalau membicarakannya? Mengapa? Apakah karena di situlah tersembunyi rahasia kelemahan kita, sesuatu yang membuat kita tidak berdaya, sesuatu yang menghancurkan seluruh gambaran dari si "aku"?
Ataukah karena begitu saratnya kata sanggama atau sex dengan hal-hal yang dianggap memalukan dan tidak pantas maka kata itu, penggambaran tentang itu dianggap tidak layak dikemukakan kepada kita yang "berbudaya", yang "sopan" yang "bersusila"? Mengapa kita begitu munafiknya sehingga untuk membicarakan kita merasa malu, walaupun tidak seorangpun di antara kita yang tidak melakukannya? Membicarakan malu, akan tetapi melakukannya, walaupun dengan sembunyi-sembunyi, tidak. Bukankah ini munafik namanya?
Memang, seperti juga orang makan, kalau sanggama dilakukan orang hanya untuk sekedar mengejar kesenangan belaka, hal itu dapat saja menjadi sesuatu yang tidak sehat dan buruk. Orang yang memasukkan sesuatu ke dalam perutnya melalui mulut, kalau hanya terdorong oleh nafsu keinginan belaka, bukan tidak mungkin "makan" lalu menjadi sesuatu yang buruk dan mungkin menimbulkan bermacam-macam penyakit. Demikian pula dengan sanggama, kalau dilakukan hanya untuk menuruti nafsu keinginan, maka yang ada hanyalah nafsu berahi semata dan hal ini menimbulkan bermacam keburukan seperti pelacuran, perjinaan, perkosaan dan sebagainya. Akan tetapi, kalau sanggama dilakukan dengan dasar cinta kasih, sebagai tuntutan lahir batin yang wajar, maka hubungan sanggama merupakan hubungan puncak yang paling indah dan suci bagi pria dan wanita yang saling mencinta. Penumpahan rasa sayang, rasa cinta, rasa bersatu, yang amat agung.
Perbuatan apapun yang dilakukan manusia, termasuk terutama sekali sanggama, kalau dilakukan dengan dasar cinta kasih, maka perbuatan itu adalah benar, bersih, sehat, dan indah. Indah sekali! Karena perbuatan antara dua orang manusia itu dilakukan dengan penuh kesadaran, dengan penuh kerelaan, tidak terdapat sedikitpun kekerasan, di situ yang ada hanya kemesraan dan dorongan untuk saling membahagiakan. Saling membahagiakan! Inilah sanggama yang dilakukan dengan dasar saling mencinta. Bukan mencari kenikmatan melalui partnernya, sama sekali tidak.
Bahkan kenikmatan itu datang karena membahagiakan partnernya. Inilah sanggama yang benar karena cinta kasih tidak akan ada selama diri sendiri ingin senang sendiri. Sayang sekali kalau hal yang teramat penting ini dilupakan orang.
Sekali lagi perlu kita semua ingat bahwa sanggama hanyalah suci dan bersih apabila dilakukan orang atas dasar cinta kasih! Tanpa adanya cinta kasih maka hal itu bisa saja terperosok kepada perbuatan maksiat yang kotor. Pada hakekatnya, semua pengejaran kesenangan adalah sesuatu yang kotor karena di situ terkandung kekerasan dalam usaha untuk mencapai apa yang dikejar, yaitu kesenangan tadi. Jadi, perlulah bagi anak-anak kita untuk semenjak kecil sudah mengetahui dengan jelas bahwa sanggama adalah hubungan yang paling mesra antara dua orang laki-laki dan wanita yang saling mencinta. Saling mencinta! Dan bukan hanya saling tertarik oleh keadaan lahiriah belaka, seperti wajah cantik atau tampan, kedudukan, kepandaian, harta benda dan sebagainya. Perlu anak-anak kita mengetahui bahwa hubungan itu adalah hubungan yang suci, yang mengandung kemujijatan terciptanya manusia baru dan sumber perkembangbiakan manusia.
Cabul? Mudah saja orang mempergunakan kata ini untuk dijadikan dalih penutup kemunafikannya. Semacam keranjang sampah untuk mencoba mengalihkan pandangan sendiri terhadap kekotoran sendiri yang masih mengeram di dalam batin. Kecabulan bukanlah terletak di luar, bukan melekat di dalam kata maupun perbuatan, melainkan di dalam lubuk hati. Cabulkah orang melukis wanita telanjang? Jangan dinilai dari lukisannya melainkan dijenguk dasar lubuk hati si pelukis yang kadang-kadang memang ternyata di dalam lukisannya. Kalau di waktu melukis batinnya membayangkan kecabulan, maka cabullah pelukis itu. Cabulkah orang yang menonton gambar wanita telanjang? Tergantung pula dari keadaan batin si penonton gambar itu. Baru cabul namanya kalau di waktu menonton dia menggambarkan hal-hal yang cabul tentunya. Seorang mahasiswa kedokteran yang sedang mempelajari ilmu anatomi dan memandang gambar orang telanjang, belajar dengan tekun, tentu tidak melihat kecabulan apapun. Kecabulan timbul dari pikiran. Pikiran yang mengenang-ngenang pengalaman-pengalaman yang nikmat, baik pengalaman sendiri maupun pengalaman orang lain lewat buku-buku dan cerita-cerita, pikiran membayang-bayangkan semua kenikmatan itu sehingga timbullah keinginan, timbullah nafsu berahi tanpa adanya cinta kasih, dan nafsu berahi tanpa cinta kasih inilah kecabulan! Keinginan untuk memperoleh kenikmatan inilah yang menciptakan berbagai macam akal, demi mencapai kenikmatan sebanyak mungkin seperti yang dibayang-bayangkan oleh pikiran, oleh si "aku" yang selalu ingin menyelam ke dalam kesenangan. Dan pengejaran kesenangan ini menimbulkan segala macam cara dan inilah sumber kecabulan! Juga kekerasan, juga kemaksiatan, juga kejahatan.
Jadi jelaslah bahwa sex itu sendiri bukanlah sesuatu yang cabul. Cabul tidaknya sesuatu itu tergantung dari dasar batin orang yang menonjolkannya atau juga dasar batin orang yang memandangnya.
Di antara segala perbuatan di dunia ini, satu-satunya yang membuat kita merasa bebas, satu-satunya yang melenyapkan perasaan si aku untuk sesaat, hanyalah sex itulah! Di sini tidak lagi terdapat si aku yang menikmati. Seluruh diri lahir batin lebur menjadi satu dengan kenikmatan itu sendiri. Dan keadaan seperti itu, keadaan tanpa aku inilah yang merupakan kenikmatan tertinggi dan membuat sex menjadi sesuatu yang teramat penting dan terpenting di dalam kehidupan, membuat orang mendewa-dewakannya. Dan karenanya sex menjadi suatu kesenangan, dan setelah menjadi kesenangan lalu menciptakan pengejarannya. Maka terjadilah hal-hal yang amat buruk.
Thian Sin dan Kim Hong lupa diri. Setelah berpisah, barulah mereka merasa betapa mereka itu saling membutuhkan, dan pertemuan yang mesra ini membuat ikatan di antara mereka menjadi semakin kuat. Walaupun tidak ada ikatan lahir seperti pernikahan dan sebagainya di antara mereka, namun di dalam batin, mereka saling mengikatkan diri.
"Sudah engkau pikirkan secara mendalamkah, Kong Liang?" Ibunya bertanya, suaranya mengandung kekerasan karena betapapun Yap In Hong mencinta puteranya ini, namun apa yang dikemukakan puteranya itu sungguh tidak berkenan di hatinya. "Engkau harus ingat bahwa engkau adalah putera ketua Cin-ling-pai!"
"Ibu, apakah ibu hendak menonjolkan kedudukan di sini?" puteranya membantah. Cia Kong Liang sudah berusia dua puluh empat tahun, sudah lebih dari dewasa dan pandangannya sudah luas walaupun dia mewarisi kekerasan hati ibunya.
"Bukan begitu maksudku, Liang-ji. Aku tidak menonjolkan kedudukan ayahmu, melainkan hendak mengingatkanmu bahwa ayahmu seorang pendekar besar. Ibumupun sejak muda adalah seorang pendekar dan engkau tentu maklum perdirian seorang pendekar, yaitu menentang kejahatan. Dan engkau tentu maklum pula siapa adanya Tung-hai-sian Bin Mo To itu! Engkau tentu sudah mendengar perkumpulan macam apa yang disebut Mo-kiam-pang yang diketuai dan didirikan oleh Tung-hai-sian itu, menguasai seluruh dunia perbajakan."
"Akan tetapi, ibu. Yang saya cinta dan yang saya ingin agar menjadi jodohku bukanlah Tung-hai-sian, melainkan Nona Bin Biauw!" Pemuda itu bicara penuh semangat, akan tetapi dia bertemu pandang dengan ayahnya dan sadar bahwa dia bicara terlalu keras kepada ibunya, maka disambungnya dengan suara halus, "Ibu, aku tahu bahwa Tung-hai-sian adalah seorang datuk golongan sesat yang menguasai dunia timur. Akan tetapi ketika aku menjadi tamu di sana, aku melihat benar bahwa sikap dan wataknya sama sekali tidak membayangkan seorang yang berhati jahat. Kecuali itu, aku sama sekali tidak peduli akan keadaan orang tuanya, karena apakah kita harus menilai seseorang dari keadaan orang tuanya, ibu?"
"Betapapun juga, orang tua dan keluarga tidak mungkin dikesampingkan begitu saja, anakku. Aku tidak melarang, tidak menentang, hanya minta kebijaksanaanmu."
Cia Bun Houw tidak dapat mendiamkan saja puteranya dan isterinya berbantahan seperti itu. Dia menarik napas panjang dan berkata, "Sudahlah, setiap pendapat tentu saja didasari oleh perhitungan-perhitungan yang kesemuanya mengandung kebenaran, akan tetapi betapapun juga, pendapat akan bertemu dengan pendapat lain dan terjadilah perselisihan dan kalau sudah begitu, maka keduanya menjadi tidak benar lagi. Isteriku, betapapun tepat semua pendirianmu tadi, namun kita harus selalu ingat bahwa suatu perjodohan adalah urusan yang sepenuhnya mengenai diri dua orang yang bersangkutan itu sendiri. Percampurtanganan orang lain, biar orang tua sendiri sekalipun, biasanya tidak menguntungkan dan hanya menimbulkan penyesalan di kemudian hari. Harap kauingat akan hal ini."
Tentu saja Yap In Hong ingat benar akan hal itu. Bukankah perjodohannya sendiri dengan suaminya itupun mengalami hal-hal yang menimbulkan penyesalan, bahkan membuat suaminya itu terpaksa berpisah dari orang tua selama bertahun-tahun karena orang tua suaminya tidak menyetujui perjodohan suaminya dengannya? Ia tahu benar akan hal ini, tahu bahwa sebenarnya ia tidak berhak menentang kehendak puteranya yang telah jatuh cinta kepada puteri Tung-hai-sian. Akan tetapi ia adalah seorang ibu, seorang wanita, dan betapa sukarnya menerima kenyataan yang amat berlawanan dengan keinginan hatinya itu. Maka, mendengar ucapan suaminya yang tak dapat dibantah lagi kebenarannya itu, ia hanya menundukkan mukanya dan matanya menjadi basah. Melihat ini, Bun Houw merasa kasihan kepada isterinya. Mereka sudah mulai tua, sudah mendekati enam puluh tahun. Tentu saja isterinya itu ingin sekali melihat puteranya berjodoh dengan seorang dara yang memuaskan dan menyenangkan hati isterinya sebagai seorang ibu.
"Pula, kita belum pernah melihat gadis itu, isteriku. Siapa tahu, pilihan Kong Liang memang tepat."
Mendengar ini, Yap In Hong mengusap air mata dan menarik napas panjang, lalu mengangkat mukanya memandang kepada puteranya sambil memaksa senyum penuh harapan. "Itulah harapanku dan agaknya anak kita tidak akan memilih dengan membabi buta."
Kong Liang maklum benar apa yang diusahakan oleh ayahnya dan maklum apa yang terjadi dalam perasaan ibunya. Maka diapun mendekati ibunya dan memegang lengan ibunya dengan penuh kasih. "Percayalah, ibu, aku selama ini banyak bertemu dengan wanita, akan tetapi dalam pandanganku, tidak ada yang dapat menyamai Nona Bin Biauw. Ia selain cantik jelita, juga amat lincah dan gagah perkasa, lesung pipit di kedua pipinya manis sekali, dan gerak-geriknya, pakaiannya, amat sederhana, sama sekali tidak membayangkan sifat pesolek walaupun ia anak orang kaya."
Ibunya tersenyum. "Begitulah kalau sudah jatuh cinta. Ayahmu dulupun menganggap ibumu ini sebagai wanita paling cantik di dunia!"
"Tapi, ibu memang wanita paling hebat di dunia!" Kong Liang berseru. "Pilihan ayah sama sekali tidak keliru!"
Lenyaplah sudah semua kemasygulan dari hati Yap In Hong. Nenek ini tersenyum dan berkata, "Tentu saja, karena aku ibumu! Dan kalau ayahmu dahulu tidak memilih aku, tentu tidak akan terlahir engkau!" Mereka bertiga tertawa-tawa gembira dan suasana menjadi tenang dan akrab kembali.
Akhirnya kedua orang tua itu terpaksa menyetujui kehendak Kong Liang karena mereka melihat kenyataan betapa putera mereka memang telah jatuh cinta kepada puteri Tung-hai-sian Bin Mo To. "Akan tetapi, sebaiknya kalau kita mengirim utusan saja," kata Cia Bun Houw ketua Cin-ling-pai itu. "Biarpun engkau telah merasa yakin bahwa keluarga Bin itu akan menerima pinangan kita, Kong Liang, akan tetapi keyakinanmu itu berdasarkan dugaan saja. Pula, siapa tahu kalau-kalau dara itu telah dijodohkan dengan orang lain. Tentu saja engkau tidak ingin melihat ayah bundamu mengalami pukulan batin dan rasa malu kalau sampai pinangan ini gagal. Maka, sebaiknya pinangan ini dilakukan melalui surat dan utusan, jadi andaikata gagal sekalipun tidak langsung membikin malu."
Kong Liang setuju dan dapat mengerti alasan yang diajukan ayahnya. Memang dia dapat membayangkan betapa akan terpukul rasa hati orang tuanya apabila melakukan pinangan sendiri, datang ke rumah Tung-hai-sian kemudian pinangan mereka ditolak karena gadis itu telah ditunangkan dengan orang lain misalnya.
Demikianlah, ketua Cin-ling-pai itu lalu mengirim utusan yang membawa surat lamaran ke Ceng-tou di Propinsi Shan-tung. Dan tentu saja lamaran itu diterima dengan amat gembira dan bangga oleh keluarga Tung-hai-sian Bin Mo To. Utusan itu dijamu penuh kehormatan, kemudian ketika mengirim jawaban yang menerima pinangan itu Bin Mo To tidak lupa membekali banyak barang-barang berharga sebagai hadiah kepada keluarga Cia! Juga dia mengirim undangan agar keluarga itu datang untuk membicarakan penentuan hari pernikahan.
Sebelum menerima undangan calon besan ini, Cia Bun Houw berunding dengan isterinya dan puteranya. "Kong Liang, pernikahan bukanlah hal yang remeh dan patut dipertimbangkan dengan baik-baik agar kelak tidak akan menimbulkan penyesalan. Ibumu dan aku percaya bahwa engkau telah jatuh cinta kepada Nona Bin Biauw, akan tetapi harus kauakui bahwa perkenalanmu dengan nona itu masih amat dangkal. Oleh karena itu, demi kebaikan kalian berdua sendiri, seyogyanya kalau pernikahan ditunda dulu beberapa bulan sehingga dalam masa pertunangan engkau dan juga kami dapat mengamati dan melihat bagaimana keadaan dan watak dari keluarga Bin. Karena selama belum menikah, masih belum terlambat untuk mengubah jika terjadi sesuatu yang tidak kita kehendaki."
Kong Liang menyetujui pendapat ayahnya, dan pada hari yang ditentukan, berangkatlah mereka menuju ke Ceng-tou memenuhi undangan Bin Mo To yang dalam kesempatan itu sekalian mengundang hampir semua tokoh kang-ouw karena dia hendak mengumumkan pertunangan puterinya dengan putera Cin-ling-pai dan tentu saja dalam kesempatan ini dia yang merasa bangga sekali itu memperoleh kesempatan untuk menikmati kebanggaannya.
Pada hari yang ditentukan itu, suasana dalam rumah gedung keluarga Tung-hai-sian Bin Mo To sungguh amat meriah. Rumah gedung besar itu dihias dengan indah, dan semua anak buahnya, yaitu para anggauta Mo-kiam-pang (Perkumpulan Pedang Setan) nampak sibuk sekali. Tamu-tamu berdatangan dari segenap penjuru, diterima oleh murid-murid kepala atau tokoh-tokoh Mo-kiam-pang yang mewakili pihak tuan rumah. Sementara itu, keluarga Bin Mo To sendiri sibuk melayani keluarga Cia yang sudah lebih dulu datang dan terjadi pertemuan ramah tamah di dalam gedung, di mana keluarga Cia disambut penuh kehormatan, keramahan dan kegembiraan.
Tung-hai-sian Bin Mo To merasa amat berbahagia dan bangga. Hal ini tidaklah mengherankan. Dia adalah seorang Jepang, biarpun keturunan samurai sekalipun, namun tetap merupakan seorang asing, orang Jepang yang selalu dianggap rendah oleh orang Han, dianggap sebagai pelarian, sebagai bangsa biadab dan digolongkan sebagai bangsa bajak dan perampok! Dan betapapun juga, tidak dapat diingkari bahwa dia merupakan seorang datuk golongan hitam, seorang tokoh besar di antara dunia penjahat yang biasanya dipandang rendah dan dimusuhi oleh para pendekar. Dan sekarang, dia hendak berbesan dengan ketua Cin-ling-pai, sebuah partai persilatan besar yang disegani. Puteri tunggalnya ternyata berjodoh dengah putera tunggal ketua Cin-ling-pai! Tentu saja hal ini merupakan penghormatan besar sekali baginya dan akan mengangkat namanya ke tempat tinggi dalam pandangan dunia kang-ouw dan para pendekar. Karena itu, biarpun pesta yang diadakan itu hanya untuk merayakan pertunangan, bukan pernikahan, namun dia mengerahkan harta bendanya untuk membuat pesta yang besar dan meriah sekali, dan mengirim undangan ke segenap pelosok. Semua tokoh besar dari semua kalangan, baik itu merupakan kaum liok-lim, kang-ouw atau kaum pendekar, dikirimi undangan.
Maka, pada hari yang telah ditentukan, tempat tinggal keluarga Tung-hai-sian Bin Mo To atau nama aselinya Minamoto itu dibanjiri tamu dari berbagai golongan. Bukan hanya gedung yang memiliki ruangan depan amat luas itu yang penuh, bahkan di pekarangan depan yang lebih luas lagi yang kini dibangun atap darurat, penuh dengan para tamu. Minuman berlimpahan disuguhkan berikut kuih-kuih ringan sebelum hidangan dikeluarkan dan tempat itu amat berisik dengan suara para tamu yang bercakap-cakap sendiri antara teman semeja. Suara berisik para tamu ini bahkan mengatasi suara musik yang sejak tadi pagi telah dibunyikan oleh rombongan musik. Semua wajah nampak gembira seperti biasa nampak dalam pesta perayaan seperti itu, di mana para tamu bergembira karena minuman yang memasuki perut dan mendapat kesempatan bertemu dengan teman-teman dan kenalan-kenalan yang duduk semeja. Kelompok memilih kelompok dan setiap pendatang baru mengangkat muka melihat-lihat untuk mencari kelompoknya sendiri-sendiri, atau mencari orang-orang yang mereka kenal baik.
Dengan wajah penuh senyum, mata bersinar-sinar dan muka berseri-seri, Bin Mo To sendiri sudah keluar ke tempat kehormatan di atas panggung, mengiringkan tamu kehormatan, yaitu keluarga Cia. Untuk keperluan ini, Bin Mo To tidak melupakan asal-usulnya dan dia mengenakan pakaian tradisional Jepang, dengan jubah lebar dan sandal jepit berhak tinggi dan tebal. Kepalanya yang agak botak itu licin, rambutnya digelung ke atas dan dihias dengan tusuk konde emas permata. Pedang samurainya tergantung di pinggang, dengan sarung pedang berukir dan berwarna-warni seperti juga pakaiannya. Dia nampak gagah sekali dan ketika berjalan, tubuhnya yang pendek tegap itu berlenggang seperti langkah seekor harimau.
Isterinya yang pertama berjalan bersama dengan isteri ke dua, yaitu wanita Korea yang menjadi ibu kandung Bin Biauw. Hanya isteri pertama dan isteri ke dua inilah yang hadir secara resmi, sedangkan belasan isterinya yang lain sibuk di dapur, kemudian merekapun muncul di pinggiran. Bagaimanapun juga, Bin Mo To merasa sungkan untuk menonjolkan belasan orang selirnya itu. Isterinya yang tertua sudah berusia hampir enam puluh tahun, juga seorang wanita Jepang yang pendek. Akan tetapi isterinya yang ke dua, ibu kandung Bin Biauw, merupakan seorang wanita berusia kurang lebih empat puluh tahun, bertubuh tinggi semampai dengan pakaian yang khas Korea masih nampak cantik.
Bin Biauw sendiri berjalan bersama ibunya. Dara ini nampak cantik jelita dan manis sekali, juga gagah. Karena perayaan pertunangan itu tidak diadakan upacara resmi, maka iapun berpakaian sebagai seorang pendekar wanita bangsa Han, walaupun rambutnya sama dengan gelung rambut ibunya, yaitu gelung rambut seorang puteri bangsa Korea, dengan tusuk konde yang panjang melintang ke kanan kiri dihias ronce-ronce yang indah. Untung bahwa dara ini memiliki bentuk tubuh menurun ibunya, tidak seperti ayahnya. Tubuhnya ramping dan biarpun ia menjadi tokoh utama dalam pesta itu karena pesta itu untuk hari pertunangannya, namun pakaiannya yang indah itu tidak terlalu menyolok, bahkan mukanya tidak dibedak terlalu tebal dan juga tidak memakai gincu dan pemerah pipi. Memang tidak perlu, karena kedua pipinya sudah merah dan segar membasah. Dara ini memang manis sekali dan dalam pertemuannya dengan calon mantu ini, diam-diam Yap In Hong sendiripun merasa puas.
Suami isteri pendekar dari Cin-ling-san itu sendiri, yang menjadi tamu-tamu kehormatan, menjadi pusat perhatian orang. Pendekar Cia Bun Houw, ketua Cin-ling-pai itu biarpun usianya sudah enam puluh tahun namun masih nampak gagah dan jauh lebih muda daripada usia yang sebenarnya. Pakaiannya sederhana berwarna abu-abu dan nampak berwibawa walaupun wajahnya tersenyum ramah dan langkahnya tegap. Dia tidak nampak membawa senjata.
Akan tetapi pedang Hong-cu-kiam pada saat itu menjadi sabuk atau ikat pinggangnya. Isterinya, Yap In Hong, yang usianya sudah hampir enam puluh tahun itu, juga berpakaian sederhana dan nyonya tua ini juga masih nampak gesit dan padat tubuhnya, bertangan kosong pula dan sepasang matanya amat tajam.
Dibandingkan dengan ayah bundanya Cia Kong Liang berpakaian lebih mewah dan rapi. Di punggungnya nampak gagang pedang dan langkahnya tegap, dadanya yang bidang itu agak membusung dan sepintas lalu nampak bahwa pemuda ini mempunyai sikap yang agak tinggi hati. Betapapun juga, harus diakui bahwa dia adalah seorang pemuda yang tampan dan gagah, tidak mengecewakan menjadi putera tunggal ketua Cin-ling-pai.
Tempat pesta sudah penuh tamu dari berbagai kalangan. Memang sudah disediakan tempat yang bertingkat-tingkat, sesuai dengan kedudukan dan tingkat para tamu. Di barisan pertama nampak duduk wakil-wakil dari partai persilatan besar dan perkumpulan-perkumpulan kang-ouw dan liok-lim, juga tokoh-tokoh besar dari dunia persilatan. Semua tempat sudah penuh, dan yang paling ramai dan riuh adalah bagian terbelakang di mana berkumpul orang-orang muda yang termasuk tingkatan paling rendah, yaitu murid-murid atau anggauta-anggauta dari berbagai perkumpulan silat. Juga tamu umum yang tidak begitu menonjol dalam dunia persilatan kebagian tempat di sini sehingga tempat itu penuh dengan orang-orang berbagai golongan yang tak saling mengenal.
Ketika Tung-hai-sian Bin Mo To bangkit dan menjura ke arah suami isteri yang menjadi besannya itu dia berjalan ke tepi panggung menghadapi semua tamunya, maka suara yang berisikpun perlahan-lahan berhenti. Tuan rumah yang bertubuh pendek tegap ini berdiri dengan kedua kaki terpentang dan dia mengangkat kedua tangannya ke atas memberi isyarat agar para tamu tenang dan bahwa dia minta perhatian. Setelah suasana menjadi sunyi, barulah kakek pendek ini mengeluarkan suaranya yang terdengar lantang, tegas, namun dengan nada suara yang agak kaku dengan lidah asingnya itu.
"Saudara sekalian yang terhormat dan yang gagah perkasa! Kami berterima kasih sekali bahwa cu-wi telah memenuhi undangan kami dan kami merasa bergembira bahwa hari ini kita dapat berkumpul dalam suasana gembira. Seperti cu-wi telah ketahui, pesta ini dirayakan untuk menyambut hari pertunangan anak kami, yaitu Bin Biauw, yang dijodohkan dengan Cia Kong Liang, putera tunggal dari ketua Cin-ling-pai, yang terhormat Saudara Cia Bun Houw dan isterinya."
Sorak-sorai dan tepuk tangan menyambut pengumuman ini dan wajah kakek pendek itu berseri gembira. Dia membiarkan sambutan sorak-sorai itu beberapa lamanya, kemudian dia mengangkat kedua tangan mohon perhatian. Suasana kembali menjadi hening ketika orang-orang menghentikan sorak-sorainya.
"Bagi kami, ikatan perjodohan ini merupakan suatu kehormatan dan kemuliaan yang teramat besar. Dan untuk menghormati kedudukan besan kami yang menjadi ketua Cin-ling-pai, maka kamipun tahu diri dan berusaha untuk menyesuaikan diri. Kami hendak mencuci tangan membersihkan diri agar tidak sampai menodai nama mantu dan besan kami yang terhormat. Oleh karena itu, kami mohon hendaknya cu-wi menjadi saksi akan peristiwa yang terjadi ini!" Si Pendek ini lalu mengangkat tangan kanannya memberi isyarat kepada anak buahnya.
Delapan orang yang berpakaian seragam hitam, yaitu para anggauta dari Mo-kiam-pang, bergerak maju, memberi hormat kepada ketua mereka lalu mereka melangkah ke arah papan nama yang tergantung di depan. Sebuah papan nama yang bertuliskan MO KIAM PANG dari papan hitam dengan huruf perak, amat megah nampaknya. Ketika delapan orang itu berjalan tiba di depan dan bawah papan nama besar itu, mereka menggerakkan tangan dan nampaklah bayangan pedang berkelebat menyambar ke atas ke arah kawat yang menggantung papan nama itu. Papan nama itu tentu saja terlepas dan jatuh ke bawah, diterima oleh tangan delapan orang itu, yang membawa papan nama itu kepada Tung-hai-sian.
Sejenak, kakek ini memandang papan nama itu dengan muka agak pucat, tanda bahwa perasaannya terguncang, kemudian dia menarik napas panjang dan begitu tangannya bergerak, nampak bayangan samurai berkelebat disusul bunyi keras dan papan nama yang terpegang oleh delapan orang itu runtuh ke bawah menjadi kepingan-kepingan kayu yang tak terhitung banyaknya! Kemudian, tanpa dapat diikuti pandang mata bagaimana pedang samurai itu sudah kembali ke sarungnya, Bin Mo To sudah menjura kepada para tamunya dan berkata, "Mulai saat ini, Mo-kiam-pang telah tidak ada lagi. Para bekas anggauta Mo-kiam-pang diperbolehkan memilih. Pulang ke tempat asal mereka atau tetap menjadi pembantu kami, dalam hal ini membantu perusahaan perdagangan kami."
Tentu saja perbuatan Tung-hai-sian membuat semua orang melongo. Tak disangkanya bahwa datuk ini akan membubarkan perkumpulannya demikian saja. Dan pembubaran ini berarti bahwa semua bajak dan perampok di daerah pesisir itu telah dibebaskan, tidak lagi berada di bawah pengamatan dan perlindungan Mo-kiam-pang! Sungguh merupakan peristiwa besar yang mengejutkan, baik pihak kaum sesat maupun kaum pendekar.
Akan tetapi, mereka merasa lebih terkejut lagi ketika kembali Tung-hai-sian mengangkat kedua tangannya dan suaranya mengatasi semua kegaduhan, "Harap cu-wi suka mendengarkan sebuah pengumuman lagi dari kami!"
Semua drang memandang dan suasana menjadi sunyi. "Cu-wi yang terhormat, mulai detik ini, bukan hanya Mo-kiam-pang yang bubar, akan tetapi juga tidak ada lagi sebutan Tung-hai-sian, tidak ada sebutan Datuk Dunia Timur! Mulal saat ini, saya hanyalah seorang saudagar biasa saja yang bernama Bin Mo To. Saya mencuci tangan dan melepaskan diri dari dunia kang-ouw!"
Pengumuman ini sungguh mengejutkan semua orang. Orang bisa saja membubarkan perkumpulan, akan tetapi mana mungkin meninggalkan julukan dan nama besar sebagai Datuk Dunia Timur? Tentu saja, kalau pihak para pendekar mengangguk-angguk dengan hati kagum dan memuji, sebaliknya para tokoh dunia hitam mengerutkan alisnya. Mereka akan kehilangan seorang tokoh dan berarti bahwa golongan mereka menjadi lemah. Apalagi tiga orang datuk lain telah tumbang, Lam-sin tidak lagi terdengar beritanya dan kabarnya lenyap tanpa meninggalkan jejak. See-thian-ong telah tewas, demikian pula Pak-san-kui, tewas di tangan Pendekar Sadis seorang yang agaknya berdiri di pihak para pendekar karena memusuhi para datuk kaum sesat, akan tetapi yang kekejamannya malah melebihi kekejaman golongan sesat yang manapun juga! Di antara empat datuk, hanya tinggal Tung-hai-sian dan kini datuk inipun mengundurkan diri.
Karena merasa penasaran, seorang tokoh kaum sesat yang hadir di situ bangkit berdiri dan berseru, "Locianpwe Tung-hai-sian meninggalkan kedudukannya tanpa alasan, apakah gentar oleh munculnya Pendekar Sadis?"
Ucapan ini mendatangkan ketegangan di antara para tamu. Memang berita tentang para datuk yang diserbu dan bahkan sampai tewas oleh Pendekar Sadis, sudah tersiar sampai ke mana-mana. Menurut berita itu, See-thian-ong dan Pak-san-kui, dengan murid-murid mereka, semua tewas oleh Pendekar Sadis, dan Lam-sin dikabarkan lenyap tak meninggalkan jejak setelah pendekar itu muncul di selatan pula. Melihat sepak terjang Pendekar Sadis yang memusuhi para datuk, maka tentu saja semua orang dapat menduga bahwa pada suatu hari tentu pendekar itu akan muncul di timur untuk menghadapi dan menandingi datuk timur Tung-hai-sian Bin Mo To. Inilah sebabnya mengapa ucapan tokoh kaum sesat itu mendatangkan ketegangan dan semua orang memandang kepada pembicara itu sebelum mereka semua menoleh dan memandang ke arah tuan rumah yang wajahnya berubah merah karena pertanyaan yang sifatnya menyerang dan menyudutkannya itu.
"Aha, kiranya Giok Lian-cu Totiang yang mengajukan pertanyaan kepada kami," kata datuk itu sambil tersenyum penuh kesabaran, walaupun hatinya mendongkol bukan main. Baru saja dia menyatakan melepaskan kedudukannya, orang telah berani memandang rendah kepadanya seperti itu!
"Benar, pinto adalah Giok Lian-cu, akan tetapi dalam hal pertanyaan yang pinto ajukan ini, katakanlah bahwa pinto mewakili seluruh tokoh kang-ouw dan kami semua mengharapkan jawaban locianpwe secara terus terang." Bagaimanapun juga para tamu merasa senang mendengar ini karena merekapun rata-rata merasa tidak puas dan ingin sekali tahu apa yang mendorong atau memaksa datuk itu meninggalkan kedudukannya dan melepaskan julukan semudah itu. Padahal, semua tokoh maklum belaka betapa sukarnya mencapai kedudukan tinggi seperti Tung-hai-sian dan julukannya itu tidak diperolehnya secara mudah.
"Telah kunyatakan tadi bahwa setelah keluarga kami berbesan dengan keluarga ketua Cin-ling-pai, maka kami menyadari sepenuhnya bahwa kami tidak mungkin lagi melanjutkan kedudukan lama kami. Bagaimanapun juga, kami harus menghormati kedudukan ketua Cin-ling-pai. Demi kebahagiaan puteri kami, maka kami rela mencuci tangan dan mengundurkan diri dari dunia kang-ouw, dan menjadi seorang berdagang biasa saja. Tidak ada persoalan gentar kepada siapapun juga."
"Bohong! Ucapan bohong dan memang Tung-hai-sian telah menjadi seorang penakut!"
Ucapan suara wanita ini tentu saja mengejutkan semua orang dan semua mata memandang ke arah wanita yang berani bicara seperti itu. Orang-orang menjadi semakin heran ketika melihat bahwa yang bicara itu hanyalah seorang dara muda remaja yang duduk di antara tamu tingkat paling rendah! Dara itu kini sudah bangkit berdiri dan orang yang memandangnya bukan hanya terheran karena keberaniannya, melainkan terutama sekali terpesona oleh kecantikannya. Seorang dara yang cantik jelita dan manis sekali, bahkan agaknya tidak kalah cantiknya dibandingkan dengan Nona Bin Biauw yang menjadi bunga perayaan saat itu. Kulit muka, leher dan tangannya nampak putih mulus, dengan sepasang mata yang tajam mencorong, mulut manis yang selalu tersenyum dan pada saat itu senyumannya mengandung ejekan, kedua tangannya bertolak pinggang, menekan kanan kiri pinggang yang ramping itu. Sikapnya gagah dan sedikitpun ia tidak nampak malu-malu atau takut-takut, padahal seluruh pandang mata para tamu yang terdiri dari orang-orang kang-ouw, liok-lim dan para pendekar itu ditujukan kepadanya.
Tung-hai-sian Bin Mo To memandang kepada gadis itu dan dia mengerutkan alisnya karena dia tidak merasa mengenal gadis ini. Tahulah dia bahwa gadis ini memang sengaja mencari gara-gara, dan mungkin gadis itu adalah seorang di antara kaki tangan para tokoh yang merasa tidak puas dengan pengunduran dirinya. Dia tahu bahwa banyak pihak, di antaranya pihak Pek-lian-kauw yang tadi diwakili oleh Giok Lian-cu, merasa terpukul dan dirugikan kalau dia mengundurkan diri dari dunia hitam. Akan tetapi karena yang memakinya bohong dan penakut hanya seorang gadis muda remaja, tentu saja sebagai orang yang kedudukannya jauh lebih tinggi, Bin Mo To terpaksa menahan kembali kemarahannya. Dia memaksa senyum dan berkata dengan suara yang cukup sabar dan tenang.
"Agaknya nona hendak mengatakan sesuatu. Silakan dan hendaknya nona suka memperkenalkan diri kepada kami dan para tamu yang tentu ingin sekali mengenal siapa adanya nona." Dengan ucapan ini, Bin Mo To telah menempatkan dirinya di tempat terang dan seperti memaksa gadis itu untuk memperkenalkan diri karena kalau tidak tentu gadis itu akan nampak tolol dan juga bersalah sekali.
Akan tetapi, tiba-tiba dara itu mengeluarkan suara ketawa yang merdu dan manis sekali dan tubuhnya sudah melayang dengan gerakan yang mengejutkan orang karena ia seperti terbang melayang, tahu-tahu tubuhnya sudah meluncur ke atas papan panggung dan sudah berhadapan dengan Tung-hai-sian Bin Mo To. Gerakan ini tentu dikenal oleh para ahli silat yang hadir sebagai gerakan yang mengandung ilmu gin-kang yang amat tinggi.
Melihat ini, Bin Mo To juga terkejut. Gin-kang seperti ini hanya dimiliki oleh seorang ahli silat yang tingkatnya sudah tinggi. Maka, diapun tidak berani memandang rendah dan cepat dia menyambut dengan sikap hormat.
"Kiranya nona adalah seorang muda yang memiliki ilmu kepandaian tinggi! Maaf kalau kami sebagai tuan rumah yang sudah tua tidak mengenal pendekar muda dan penyambutan kami kurang menghormat. Harap nona suka memperkenalkan diri dan mengeluarkan isi hati nona."
"Aku bernama Toan Kim Hong. Kenapa aku tadi mengatakan bahwa Tung-hai-sian menjadi penakut? Karena memang agaknya dia sengaja hendak menghindari Pendekar Sadis! Sudah menjadi ketetapan hati pendekar itu untuk menumbangkan empat orang datuk di dunia ini. Lam-sin, datuk selatan telah kalah olehnya, juga See-thian-ong datuk barat dan Pak-san-kui datuk utara. Kini tinggal Tung-hai-sian seorang yang akan diajak bertanding untuk menentukan siapa yang lebih unggul. Akan tetapi, begitu dia muncul, Tung-hai-sian mengundurkan diri! Bukankah ini berarti bahwa datuk timur telah kehilangan nyalinya dan menjadi seorang penakut?"
Wajah Tung-hai-sian menjadi merah. Kalau hal ini terjadi kemarin sebelum puterinya bertunangan dengan putera ketua Cin-ling-pai tentu dia sudah mencabut samurainya untuk menghajar orang yang berani menghinanya seperti itu. Akan tetapi, demi puterinya, dia harus menelan semua penghinaan itu agar tidak sampai terpancing. Bukankah orang yang kini kedudukannya hanya sebagai pedagang tidak boleh sembarangan mencabut senjata dan mempergunakan kekerasan? Apa artinya dia mengundurkan diri dari dunia kang-ouw dan melepaskan kedudukan dan julukannya kalau dia masih suka menyambut dan mempergunakan kekerasan? Maka, dengan mengerahkan kekuatan batinnya, dia memaksa sebuah senyum pahit.
"Nona, aku tidak mengenal Pendekar Sadis, tidak mempunyai urusan dengan dia sama sekali. Sedangkan di waktu aku masih menjadi Tung-hai-sian sekalipun belum tentu aku mau melayani dia bertempur tanpa sebab yang jelas, apalagi sekarang setelah aku menanggalkan semua itu dan menjadi seorang pedagang biasa."
Khawatir gagal membangkitkan kemarahan tuan rumah untuk diadu dengan Thian Sin, Kim Hong mengerutkan alisnya. Ia datang ke tempat itu bersama Thian Sin, menyelundup di antara para tamu muda yang duduk berbondong-bondong di bagian tamu umum. Ketika Thian Sin mendapat kenyataan betapa Tung-hai-sian sedang merayakan hari pertunangan puterinya dan bahwa puterinya itu ditunangkan dengan pamannya, yaitu Cia Kong Liang, dan melihat pula betapa ketua Cin-ling-pai dan isterinya berada di situ, hatinya sudah merasa sungkan dan malu. Dia tidak bermaksud melanjutkan niatnya menantang Tung-hai-sian, setidaknya bukan pada saat itu. Akan tetapi Kim Hong yang tidak mempedulikan semua itu, sudah mendahuluinya dan menantang Tung-hai-sian sehingga Thian Sin terpaksa hanya menonton saja dengan hati berdebar tegang dan merasa serba salah.
"Tung-hai-sian! Pendekar Sadis sudah berada di sini dan menantangmu, tidak peduli engkau mau memakai nama Tung-hai-sian atau Bin Mo To, atau juga seorang pedagang tak bernama! Pendeknya, kalau engkau tidak berani, katakan saja, bahwa engkau takut menghadapi dan melawan Pendekar Sadis, baru aku akan pergi dari sini membawa kesan bahwa yang bernama Tung-hai-sian Bin Mo To bukan lain hanyalah seorang kakek yang penakut!"
Wajah Bin Mo To menjadi pucat dan selagi dia bingung untuk menguasai dirinya yang dibakar kemarahan, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring. "Perempuan hina, berani engkau mengacau tempat kami?" Dan nampak sinar pedang berkelebat ketika Bin Biauw sudah meloncat dan menyerang Kim Hong dengan tusukan pedangnya yang mengarah lehernya. Akan tetapi, ayahnya sudah menangkap pergelangan tangan yang memegang pedang itut menahan serangan puterinya.
"Anakku, hari ini adalah hari baikmu, tidak sepantasnya kalau engkau terjun ke dalam perkelahian. Duduklah kembali, Biauw-ji," kata Bin Mo To dengan suara lemah lembut dan penuh kasih sayang.
"Hemm, anaknya jauh lebih gagah daripada ayahnya!" Kim Hong sengaja mengejek dan ia memang merasa kagum melihat kecantikan Bin Biauw tadi.
Akan tetapi sebelum Bin Biauw kembali ke tempat duduknya, tiba-tiba nampak bayangan berkelebat cepat sekali dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang pemuda bertubuh tegap gagah perkasa dengan pakaian yang rapi, seorang berpotongan pendekar sejati, dengan pedang di punggung, tampan dan ganteng, sikapnya angkuh namun berwibawa.
"Biauw-moi, biarkan aku menghadapi perempuan liar ini!"
Melihat bahwa yang maju adalah calon mantunya, Bin Mo To merasa girang dan bangga. Dia sendiri tentu saja tidak gentar menghadapi wanita itu walaupun disebutnya nama Pendekar Sadis membuat hatinya agak tidak enak. Akan tetapi dengan munculnya mantunya yang dia tahu amat lihai, apalagi di situ hadir pula besannya, yaitu ketua Cin-ling-pai, hatinya menjadi besar dan diapun tersenyum dan berkata kepada calon mantunya, "Harap engkau berhati-hati." Lalu diapun mengajak puterinya kembali ke tempat duduk mereka.
Kini Cia Kong Liang berhadapan dengan Kim Hong yang agak terpesona oleh pemuda yang gagah perkasa dan ganteng ini. Kim Hong memandang pemuda itu dan tidak menyembunyikan rasa kagumnya. Sambil tersenyum manis iapun berkata, "Ah, kiranya inikah yang menjadi mantu Tung-hai-sian Bin Mo To dan putera ketua Cin-ling-pai? Hebat! Sungguh pandai sekali Tung-hai-sian memilih mantu!" katanya dan semua orang yang mendengar menjadi semakin heran. Gadis itu bicara tentang Tung-hai-sian seolah-olah kakek yang menjadi datuk itu hanyalah orang yang setingkat dengan dirinya saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar