"Bagus, biarlah pinto membuat engkau tak mampu bergerak untuk sementara agar jangan mengganggu!" Setelah berkata demikian, kembali tongkatnya bergerak. Akan tetapi sekali ini bukan bergerak sekedar untuk mendorong, melainkan melakukan totokan untuk menotok jalan darah Yan Cu agar tak mampu bergerak.Karena dia tidak mau gagal lagi seperti tadi, maka sekali ini totokannya bukan hanya berhenti pada sekali totokan saja, melainkan ada lanjutannya untuk menyusul totokan pertama apabila gagal, bahkan merupakan rangkaian totokan dengan ujung tongkatnya sampai beruntun lima kali.
"Wuuuuuuttt! Cus-cus-cus-cus-cus.....!"
Merah sekali muka Kok Sian-cu karena serangannya yang amat hebat itu, totokan beruntun selama lima kali susul menyusul, amat cepat dan mengarah jalan darah di tubuh bagian depan gadis itu, semua dapat dielakkan oleh Yun Cu tanpa gugup sedikit pun juga. Bahkan gadis ini melakukan elakan-elakan itu sambil tersenyum mengejek dan berkata,
"Aihhhh...... aiiiihhhhh...... benar-benar galak sekali tosu ini! Eh, Totiang, apa sih kesalahanku engkau datang-datang terus saja mainkan tongkatmu yang buruk dan bau itu?"
Kok Siancu yang tadi terkejut itu kini dapat menduga bahwa gadis ini ternyata bukanlah orang sembarangan. Ia makin penasaran. Baru beberapa jam yang lalu dia dan tiga orang sutenya bertemu dengan Biauw Eng dan Hun Bwee, dua orang gadis yang ternyata memiliki ilmu kepandaian tinggi sehingga mereka berempat tak mampu menandingi dua orang gadis itu. Kini, lagi-lagi muncul seorang gadis yang sama sekali tidak terkenal dan yang ternyata mampu menghadapi totokan-totokannya secara memandang rendah sekali! Mukanya menjadi merah dan mata tunggalnya itu memancarkan cahaya kemarahan, tongkat di tangannya tergetar dan dia sudah siap menerjang dengan sungguh-sungguh, mengirim terjangan maut.
"Totiang, tahan dulu!" Keng Hong cepat berkata dan menarik lengan Yan Cu ke belakang sambil berkata, "Sumoi, mundurlah. Mereka ini adalah keempat orang Locianpwe dari Kong-thong Ngo-lojin dan memang benar, mereka tidak ada urusan dengamu, Sumoi. Biarkan aku menghadapi meeka."
Yan Cu cemberut dan memandang empat orang kakek itu dengan matanya yang lebar dan bening, lalu mengomel, "Aku pun tidak ingin berurusan dengan orang-orang tua yang begini galak, akan tetapi mendengar kau disebut pengacau jahat, mana bisa aku diam saja?"
Keng Hong tersenyum lalu melangkah maju dan memberi hormat kepada empat orang tosu itu. "Keempat Locianpwe, saya mengerti akan kemarahan Locianpwe sekalian terhadap diriku. Tentu karena peristiwa-peristiwa yang lalu yang berhubungan dengan mendiang suhu Sin-jiu Kiam-ong. Akan tetapi, seperti telah para Locianpwe dengar dahulu di Kun-lun-pai, semua peristiwa yang terjadi itu adalah kesalah fahaman belaka, dan semenjak dahulu pun saya tidak ingin melanjutkan permusuhan yang timbul antara Kong-thong-pai dan mendiang suhu. Bahkan sebaliknya saya ingin memperbaiki hubungan dan kalau sampai terjadi korban-korban roboh di antara anak murid Kong-thong-pai, hal itu terjadi dalam pertandingan dan bukan kehendak saya. Dahulu, di puncak Kun-lun-pai saya pernah menuduhkan perbuatan itu sebagai perbuatan nona Sie Biauw Eng, akan tetapi baru-baru kemudian saya tahu bahwa pembunuhan-pembunuhan terhadap anak murid Kong-thong-pai yang diracun adalah perbuatan keji dari Bhe Cui Im!"
Kok Sian-cu menggerakan tongkat di depan dada dan berkata mewakili para sutenya yang memandang marah, "Orang muda, betapapun pandai engkau berputar lidah membela diri, namun kenyataannya baik gurumu maupun engkau adalah orang yang telah melakukan perbuatan-perbuatan tidak benar, di antaranya telah berkali-kali menghina Kong-thong-pai secara hebat. Gurumu menewaskan lima orang murid Kong-thong-pai dalam pertandingan, engkau sendiri telah menyebabkan kematian suteku Kok Cin-cu dan empat orang muridnya......"
"Maaf, hal itu terjadi karena Kok Cin-cu Totiang dan murid-muridnya mendesakku dan muncul orang yang membantuku sehingga mereka tewas......"
"Hemmmm, kami pun tahu bahwa nona Sie Biauw Eng melakukannya demi untuk membantu dan menolongmu. Akan tetapi tetap saja kematian murid-murid Kong-thong-pai terjadi karena engkau! Kemudian, karena engkau pula yang tak tahu malu merayu dua orang murid wanita Kong-thong-pai, enam orang murid Kong-thong-pai mati keracunan!"
"Totiang! Hal itu adalah perbuatan busuk Bhe Cui Im!!!"
Kok Sian-cu melotot. "Kaukira kami bodoh tidak mengetahui hal itu? Kami telah menyelidiki ke dusun dan kami tahu semuanya. Akan tetapi, semua itu tidak terjadi kalau engkau tidak menjadi biang keladinya, menjadi sebab timbulnya urusan-urusan itu. Pula, engkau telah bersekutu dengan Ang-kiam Bu-tek, engkau pemuda yang tak berakhlak, engkau menjadi kekasih iblis betina itu, siapakah yang tidak tahu? Engkau malah telah membiarkan semua pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong kepada iblis betina itu sehingga dia menjadi amat lihai, dan semua pusaka milik partai-partai besar telah terjatuh di tangannya! Ahhh, dosamu terlalu besar, Cia Keng Hong! Semua korban yang jatuh di fihak kami, memang benar bukan terjadi karena sengaja engkau yang membunuhnya dan mengingat akan dasar itu, boleh saja kami meniadakan tuntutan. Akan tetapi, engkau penyebab segala bencana dan yang paling hebat adalah turut lenyapnya pula pusaka Kong-thong-pai yang selama ini memang kami rahasiakan agar tak diketahui orang bahwa pusaka kami pun terjatuh ke tangan Sin-jiu Kiam-ong!" Setelah berkata demikian, Kok Sian-cu menggerakan tongkatnya menotok ke arah dada Keng Hong. Pemuda ini sama sekali tidak mengelak seperti yang dilakukan Yan Cu tadi, melainkan memasang dadanya untuk ditotok ujung tongkat yang menjadi sinar kehijauan saking cepatnya gerakan kakek itu.
"Dukkk!!" Totokan ujung tongkat itu tepat mengenai jalan darah di dada Keng Hong, akan tetapi yang ditotok tidak apa-apa, sebaliknya tongkat itu membalik dan Kok Sian-cu merasa betapa tangannya tergetar dan lengannya hampir lumpuh! Ia terkejut sekali dan meloncat mundur. Tiga orang sutenya sudah siap menerjang. Akan tetapi Keng Hong cepat mengangkat ke dua tangan ke atas sambil berkata,
"Sabarlah, para Locianpwe dari Kong-thong-pai yang terhormat! Dengarkan dulu kata-kata keteranganku. tidak benar kalau dikatakan bahw saya bersekutu dengan Bhe Cui Im si wanita jahat! Sebaliknya malah! Pusaka-pusaka peninggalan guruku itu bukan saya berikan kepadanya, melainkan dicurinya dariku! Dan dengan susah payah aku telah berhasil merampasnya kembali."
Empat orang tuso itu memandang penuh harapan dan Keng Hong cepat menghampiri Kon Sian-cu sambil bertanya, "Totiang, yang dimaksudkan dengan pusaka Kong-thong-pai yang telah diambil suhu dan dirahasiakan itu bukankah sepasang golok emas yang amat indah?"
Kok Sian-cu mengangguk-angguk, menelan ludah untuk menekan ketegangan hatinya sambil berkata, "Betul.....betul........"
Keng Hong merogoh baju dalamnya dan mengeluarkan sepasang golok emas, menyerahkan sepasang golok indah itu kepada Kok Sian-cu sambil berkata, "Inikah pusaka Kong-thong-pai? Kalau benar, nah, terimalah disertai permohonan maaf sebesarnya dari mendiang suhu Sin-jiu Kiam-ong!"
Begitu melihat sepasang golok emas itu empat orang tosu Kong-thong-pai terbelalak. Kok Sian-cu menerima dengan kedua tangan gemetar, tongkatnya terlepas dan begitu sepasang golok emas itu dipegangnya, kedua lututnya lalu ditekuk dan tiga orang sutenya pun menjatuhkan diri berlutut pula.
"Kong-thong Siang-sin-to (Sepasang Golok Sakti Kong-thong-pai)....." Terdengar mulut keempat orang tosu itu berkata penuh keharuan sambil memandang sepasang golok emas yang dipegang Kok Sian-cu dan diangkat tinggi-tinggi.
Keng Hong dan Yan Cu saling memandang dan mengertilah dua orang muda ini bahwa sepasang golok itu ternyata adalah pusaka yang amat dihormati oleh tokoh-tokoh Kong-thong-pai, maka pantaslah kalau mereka semenjak dahulu memusuhi Sin-jiu Kiam-ong dan menyimpan rahasia kehilangan sepasang golok itu karena hal ini akan menurunkan nama besar Kong-thong-pai! Dan Keng Hong dapat pula membayangkan betapa besar rasa syukur di hati empat orang tosu itu.
Akan tetapi tiba-tiba Kok Sian-cu meloncat bangun dan berseru marah, "Siapa telah menodai Siang-sin-to kami dengan darah??"
Tiga orang sutenya terkejut dan melompat bangun pula, mendekati Kok Sian-cu dan meneliti sepasang golok emas itu. Mereka semua kelihatan marah dan Kok Sian-cu segera membalikan tubuh menghadapi Keng Hong dan bertanya,
"Orang muda yang sudah berjasa besar mengembalikan Siang-sin-to, apakah engkau begitu keji menggunakan pusaka Kong-thong-pai yang suci ini untuk membunuh orang?"
Keng Hong menjawab tenang dan sabar, "Sepasang kim-to (golok emas) itu memang telah mencium darah orang, Totiang, akan tetapi bukan darah orang lain melainkan darahku sendiri! Setelah berhasil merampas semua pusaka dari Bhe Cui Im, saya bertemu dengan Ang-bin Kwi-bo dan saya ditangkap, pusaka-pusaka itu dirampasnya....."
"Ahhh.....!!" Empat orang kakek Kong-thong-pai itu kaget sekali mendengar disebutnya nama iblis betina yang menjadi datuk hitam itu.
"Sepasang golok emas pusaka Kong-thong-pai itu dipergunakan oleh Ang-bin Kwi-bo untuk membuat saya tidak berdaya, yaitu dibengkokkan menjadi kaitan dan dikaitkan tulang-tulang pundak saya. Untung kemudian pusaka-pusaka itu, termasuk sepasang kim-to dapat saya rampas kembali berkat pertolongan Subo dan Sumoi ini. Jangan khawatir, Totiang, golok pusaka yang suci itu tidak pernah dipergunakan membunuh manusia dan darah itu adalah darahku sendiri."
Empat orang tosu yang merasa girang dan bersyukur bisa memdapatkan kembali sepasang golok emas itu menjadi terharu dan ngeri mendengarkan pengalaman Keng Hong yang nyaris tewas mempertahankan pusaka-pusaka itu, termasuk pusaka Kong-thong-pai yang berhasil diselamatkan. Mereka bergidik kalau memikirkan betapa pusaka suci ini bisa terjatuh ke tangan seorang manusia iblis seperti Ang-bin Kwi-bo dan tentu akan kotor dan berubah menjadi pusaka maut yang haus akan darah manusia!
"Orang muda, jasamu tidak kecil dengan mengembalikan pusaka ini, dan biarlah kami membalas budimu dengan menghabiskan semua permusuhan yang pernah timbul. Kami dapat percaya bahwa dalam peristiwa-peristiwa itu, engkau tidak berdosa, atau setidaknya engkau tidak sengaja melakukan kejahatan. Betapapun juga, kami kira perbuatan-perbuatan yang telah engkau lakukan itu, bagaikan tanaman pohon, pasti akan berbuah pula. Siapa menanam dia akan memetik buahnya. Demikian pula dengan perbuatan baikmu mengembalikan pusaka kami ini, biarlah sekarang juga kami membalasmu dengan peringatan bahwa engkau sedang terancam bahaya dan sebaiknya sekarang juga segera pergi dari sini, jangan menuju ke kota raja."
Keng Hong mengerutkan alisnya, kemudian bertanya, "Kalau Totiang sudi menjelaskan, mengapa Totiang melarang saya ke kota raja dan bahaya apakah yang mengancam saya di kota raja?"
Empat orang tosu itu saling pandang, agaknya ragu-ragu, akan tetapi setelah kembali memandang sepasang golok emas di tangannya, Kok Sian-cu berkata, "Baru saja beberapa jam yang lalu ada dua orang mencarimu, Cia-sicu. Mereka itu mencarimu bukan dengan niat baik, melainkan hendak menangkap atau membunuhmu, dan...... dan mereka itu lihai bukan main...... mungkin engkau tidak akan dapat melawan mereka dan akan celaka kalau bertemu mereka. Mereka menuju ke kota raja mencarimu, maka demi membalas kebaikanmu yang telah mengembalikan pusaka kami ini, kami memperingatkan Sicu untuk cepat-cepat pergi dari sini menjauhi kota raja."
"Eh, Totiang!" Yan Cu tidak sabar lagi menjawab. "kami berdua memang hendak k kota raja dan kami berdua sama sekali tidak takut menghadapi ancaman musuh yang manapun juga. Apakah dua orang yang mengancam Suheng itu bukan manusia? Kalau hanya manusia biasa seperti kami, hemmmm....... kami tidak takut sedikit pun juga!"
Baru sekarang empat orang tosu itu dapat memandang Yan Cu tanpa kemarahan di hati dan empat orang kakek ini diam-diam harus mengakui bahwa gadis itu amat ayu dan menggairahkan. Diam-diam mereka berpikir dari mana murid Sin-jui Kiam-ong ini mendapatkan seorang sumoi? Dan sampai di mana kehebatan ilmu kepandaian gadis yang begini cantik jelita seperti sekuntum bunga mawar? Mereka memandang kagum dan menduga-duga. Apakah dara jelita ini pun memiliki ilmu kepandaian luar biasa dan mengejutkan seperti yang dimiliki puteri Lam-hai Sin-ni dan sucinya yang aneh berpakaian merah itu?
"Mereka itu memang kelihatannya seperti manusia-manusia biasa, bahkan merupakan dua orang dara yang cantik, akan tetapi yang memiliki ilmu kepandaian seperti iblis!"
"Dua orang wanita muda?" Keng Hong memandang tajam. "Siapakah mereka, Totiang? Dan mengapa mengancam saya?"
"Mereka itu adalah dua orang gadis yang memiliki ilmu kepandaian hebat sekali. Kami tidak mengenal orang ke dua, akan tetapi yang pertama adalah puteri Lam-hai Sin-ni, nona Sie Biauw Eng......eh, Sicu.....!"
Akan tetapi Keng Hong tak mempedulikan panggilan itu karena dia telah menggandeng tangan Yan Cu dan sekali berkelebat kedua orang ini telah lenyap dari depan mata empat orang tosu yang melongo. Kemudian Kok Sian-cu menggeleng-geleng kepalanya dan berkata, "Hebat sekali....., gerakan mereka begitu cepat...... hemmmmm, tentu akan terjadi geger kalau mereka berempat itu saling jumpa. Tak dapat dibayangkan betapa akan hebatnya pertandingan antara mereka!" Kemudian dia menghela napas dan berkata kepada tiga orang sutenya, "Kita telah ketinggalan jauh oleh orang-orang muda itu. Sebaiknya kalau mulai sekarang, kita mencurahkan lebih banyak perhatian kepada anak-anak murid Kong-thong-pai yang muda-muda agar mereka itu tekun berlatih dan dapat memperoleh kemajuan-kemajuan hebat seperti orang-orang muda ini........ karena hanya dengan adanya orang-orang muda yang pandai saja maka perkumpulan kita akan memperoleh kemajuan dan mereka kelak akan dapat menggantikan kita yang sudah makin tua dan makin mundur....."
Keng Hong begitu mendengar disebutnya nama Biauw Eng, sudah tidak dapat lagi menahan hatinya yang tiba-tiba berdebar keras saking girangnya. Tanpa pamit dia sudah meninggalkan empat orang tosu itu. Juga Yan Cu amat girang mendengar bahwa dua orang yang mencari Keng Hong dan baru beberapa jam lewat menuju ke kota raja itu adalah Biauw Eng dan seorang wanita lain. Memang mereka berdua sedang mencari Biauw Eng! Pertemuan dengan Biauw Eng amatlah penting bagi mereka berdua, karena pertemuan itu akan menentukan nasib mereka berdua dan akan menjadi keputusan apakah mereka akan melanjutkan ikatan jodoh yang diperintahkan dan dipaksakan subo mereka itu ataukah tidak! Maka ketika Keng Hong menarik tangannya, Yan Cu pun mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk berlari cepat sekali mengimbangi suhengnya.
Biauw Eng dan Hun Bwee melakukan perjalanan seenaknya. Kota raja sudah tidak begitu jauh lagi dan perjalanan mereka melalui dusun dan hutan yang tidak liar karena daerah dekat kota raja sudah mulai ramai. Hati Biauw Eng tenang dan lega bahwa Hun Bwee tidak kumat lagi gilanya. Diam-diam ia menaruh kasihan sekali kepada sucinya ini, dan mulailah ia mengutuk Keng Hong di dalam hatinya, sungguhpun tadinya ia merasa ragu-ragu apakah benar Keng Hong sampai hati melakukan perbuatan sekeji itu. Ia sering kali termenung dan menjadi bingung sendiri, apakah yang harus ia lakukan terhadap Keng Hong jika ia bertemu dengan pemuda yang dicarinya itu. Kalau ia bertemu dengan Cui Im yang dicarinya, memang sudah jelas akan ia serang mati-matian. Akan tetapi kalau ia bertemu dengan Keng Hong, bagaimana? Subonya menghendaki agar Keng Hong sebagai murid Sin-jiu Kiam-ong ditangkap dan diseret di depan kaki Go-bi Thai-houw yang gila itu. Sucinya sendiri ingin membalas dendamnya karena pernah diperkosa oleh Keng Hong, hal yang memang sudah semestinya dan dia sendiri yang akan memaksa Keng Hong untuk bertanggung jawab dan mengawini sucinya yang sudah diperkosanya itu!
Akan tetapi bagaimana dengan dia sendiri? Ah, di antara dia dan Keng Hong memang tidak ada urusan apa-apa! Dia mencinta Keng Hong, dan pemuda itu juga menyatakan cinta kepadanya. Akan tetapi betapa dangkal dan palsu cinta kasih Keng Hong kepadanya! Tidak seperti cintanya, yang mendalam dan tulus ikhlas, cintanya tidak akan luntur oleh kejadian apa pun juga. Benar, sama sekali tidak pernah brubah. Kemarahannya karena kepalsuan Keng Hong menimbulkan benci seketika saja, namun tetap tidak mampu menghapus cinta kasihnya terhadap pemuda itu. Akan tetapi, apakah yang ia lakukan? Bagaimana kalau ia nanti berhadapan dengan Keng Hong? dapatkah ia menguasai hatinya untuk tidak menjadi lemah kalau berhadapan dengan pemuda itu? Ataukah ia tidak akan dapat menguasai kemarahan dan hatinya yang sakit karena cintanya di sia-siakan lalu turun tangan membunuh pemuda itu? Ah, tidak! Tidak! Dia harus dapat menguasai dan mengatasi perasaan pribadinya. Dia harus menangkap Keng Hong sesuai dengan perintah gurunya. Dia harus dapat memaksa Keng Hong untuk bertanggung jawab dan mengawini sucinya yang telah diperkosanya! Setelah itu........dia.......dia akan pergi. Jauh! Entah ke mana! Akan tetapi, sebuah ingatan menyelinap di dalam kepalanya, membuyarkan semua angan-angan tadi. Betapa ia memudahkan persoalan. Seolah-olah ia berani memastikan bahwa dia akan dapat memperlakukan Keng Hong sebagaimana yang dia kehendaki!
Seolah-olah Keng Hong merupakan sebuah boneka yang dapat ia bunuh atau tidak! Sejenak ia tadi lupa bahwa yang dia hadapi bukan Keng Hong yang telah menyia-nyiakan cintanya, Bukan hanya Keng Hong yang telah memprkosa Hun Bwee, akan tetapi juga Keng Hong murid Sin-jiu Kiam-ong yang memiliki ilmu kepandaian tinggi! Memang, dengan tingkat kepandaiannya yang sekarang, apalagi ada Hun Bwee disampingnya, ia tidak takut dan percaya akan dapat mengatasi Keng Hong, namun betapapun juga, dia tidak boleh merasa terlalu yakin akan dapat menangkap pemuda itu.
"Biauw Eng.....!!"
Otomatis Biauw Eng menahan kakinya, berdiri dengan muka pucat. Suara itu! Suara itu! Suara laki-laki yang akan ia kenal di antara suara seribu orang laki-laki lain! Suara Keng Hong! Apakah karena sejak tadi melamunkan Keng Hong, kini telinganya mendengar yang bukan-bukan?
"Biauw Eng........!!"
Biauw Eng meloncat dan membalikkan tubuhnya sambil berbisik, "Keng Hong.....!"
Melihat sikap Biauw Eng dan mendengar bisikan itu Hun Bwee juga terkejut dan cepat membalikkan tubuhnya. Amatlah menarik untuk memperhatikan wajah dua orang gadis cantik ini ketika mereka membalikan tubuh dan melihat Keng Hong datang bersama seorang dara jelita.
Wajah Biauw Eng pucat sekali. Mula-mula sekali, begitu ia membalik dan matanya menangkap wajah dan tubuh Keng Hong, tampak sinar memancar keluar dari pandang matanya, sinar penuh kegembiraan dan kebahagiaan. Namun sinar itu segera menyuram dan lenyap, terganti oleh sinar kilatan penuh cemburu ketika ia melihat dara yang amat cantik jelita di samping Keng Hong. Kilatan cemburu yang terpancar dari sepasang matanya itu pun sebentar saja dan segera wajahnya yang pucat itu tidak membayangkan apa-apa, tetap dingin tidak membayangkan sesuatu, wajah dan matanya kosong memandang kepada Keng Hong dan Yan Cu yang datang berlari-lari menuju ke tempat mereka berdiri menanti, di dalam hutan yang sunyi itu.
Adapun wajah Hun Bwee brubah menjadi merah sekali. Sulit untuk menduga apa yang bergolak di hati dan pikiran gadis ini. Dia segera mengenal Keng Hong, terbelalak memandang pemuda itu, sama sekali tidak mempedulikan gadis jelita yang berlari di samping Keng Hong dan wajahnya menjadi merah sekali. Entah perasaan apa yang berkecamuk di dalam hatinya, akan tetapi yang sudah jelas sekali, gadis baju merah ini merasa malu dan jengah sekali bertemu dengan orang yang telah memperkosanya, orang yang dikagumi an dicintanya akan tetapi kemudian merusak hatinya. Mungkin saat itu pernyataan Biauw Eng untuk memaksa pemuda itu mempertanggungjawabkan perbuatannya terhadap dirinya itulah yang membuat ia menjadi malu dan bingung!
"Biauw Eng....!" Untuk ketiga kalinya Keng Hong menyerukan nama ini dan kini dia dan Yan Cu telah berdiri berhadapan dengan Biauw Eng dan Hun Bwee. Keng Hong hanya menunjukan pandang matanya kepada Biauw Eng, kepada wajah yang tak pernah dia lupakan barang sedetik pun, kepada mata yang membuat hatinya terharu, mata yang indah dan dingin, terbayang kedukaan amat hebat di dalamnya. Keng Hong memandang Biauw Eng, tidak melihat apa-apa lagi, tidak pula melihat Hun Bwee. Dadanya turun naik, terengah-engah, bukan karena kelelahan, melainkan karena menahan gejolak hatinya yang menggetarkan seluruh tubuhnya.
Yan Cu juga berdiri terengah dan gadis ini terengah karena kelelahan, karena ia tadi harus mengerahkan seluruh tenaganya untuk mengimbangi kecepatan lari suhengnya. Kini Yan Cu berdiri memandang dua orang gadis itu dengan penuh perhatian dan penyelidikan. Kedua orang gadis itu sama cantik, sama menarik dan sama gagah perkasa. Akan tetapi amat mudah bagi matanya yang tajam itu untuk menduga yang manakah Biauw Eng. Bukan hanya karena kecantikan Biauw Eng yang indah dingin bagaikan lautan salju di utara, melainkan juga ia dapat melihat ke manakah sasaran pandang mata suhengnya yang seperti orang kena pesona. Dia tidak heran mengapa suhengnya jatuh cinta kepada Biauw Eng yang memang cantik luar biasa itu, akan tetapi keningnya berkerut menyaksikan sikap Biauw Eng yang begitu dingin sehingga tidak wajar dan membuat bulu tengkuknya berdiri. Wanita sedingin ini, mana mungkin dapat dicairkan dengan panasnya api cinta?
Baik Biauw Eng maupun Keng Hong belum dapat menemukan suara mereka kembali yang lenyap karena gelora hati yang membadai, yang timbul di saat mereka saling bertemu. Dua pasang mata itu bertemu dan seolah-olah bertanding mengadu kekuatan, ataukah saling peluk tak ingin dilepaskan kembali? Keduanya tidak berkedip, seperti terkena sihir.
"Apakah engkau yang bernama Sie Biauw Eng?" Tiba-tiba suara Yan Cu yang nyaring membuat Keng Hong dan Biauw Eng sadar dan gadis ini lalu memandang kepada Yan Cu. Sejenak pandang matanya mengeluarkan sinar kilat penuh cemburu sehingga mengejutkan Yan Cu. Akan tetapi dara ini tersenyum ketika melihat Biauw Eng mengangguk dan ia bertanya dengan suara wajar.
"Jadi kalau begitu Enci Biauw Eng dan Cici itu yang mencari-cari Suheng Cia Keng Hong?"
Kembali Biauw Eng mengangguk, tidak bernafsu untuk bicara dengan dara jelita yang entah menapa menyebut Keng Hong sebagai suhengnya itu.
Wajah Yan Cu berseri gembira. "Sungguh kebetulan sekali! Susah payah kami berdua mencari Enci Biauw Eng sampai ke mana-mana, sekarang dapat bertemu di sini sungguh amat menggirangkan hatiku."
"Hemmm......!" Biauw Eng mengeluarkan suara, sikapnya makin dingin. "Kami mencari dia ada sebab-sebabnya yang penting. Kalian mencari aku ada apakah?"
Heran, pikir Yan Cu. Gadis yang biarpun cantik akan tetapi sikapnya sedingin es dan agaknya amat galak ini bagaimana bisa menjatuhkan hati Keng Hong? Akan tetapi dia tetap tersenyum dan bertanya,
"Enci Biauw Eng, kami mencarimu hanya untuk bertanya apakah Enci Biauw Eng masih mencinta Suheng Keng Hong?"
"Sumoi.....!!" Wajah Keng Hong menjadi merah sekali. Sungguh sumoinya ini terlalu sekali, masa mengajukan pertanyaan seperti itu secara kasar dan langsung, seperti orang bertanya tentang hal sehari-hari yang biasa saja!
Juga Biauw Eng kaget bukan main. Pertanyaan itu datangnya begitu tiba-tiba dan sama sekali tidak pernah disangkanya sehingga merupakan serangan tusukan pedang yang langsung mengenai jantungnya. Wajahnya yang tadinya pucat itu menjadi merah sekali. Ia balas bertanya dengan suara membentak,
"Bocah lancang mulut! Apa sangkut pautnya denganmu?"
Yan Cu memutar bola matanya mengerling ke arah Biauw Eng. "Lebih baik aku bicara terang-terangan saja, Enci Biauw Eng. Ketahuilah bahwa subo kami telah memutuskan bahwa aku dan Suheng harus menjadi suami isteri. Kami berdua masih tidak dapat mengambil kepastian karena kami tidak tahu apakah kami saling mencinta, apalagi karena Suheng menyatakan bahwa dia mencintaimu. Karena itu, kami berdua sengaja mencarimu untuk bertanya dan kalau kalian berdua masih tetap saling mencinta tentu saja Suheng hanya dapat menikah dengan engkau. Sebaliknya, kalau engkau tidak mencintainya, tentu saja Suheng akan dapat mengambil keputusan apakah dia akan dapat menikah denganku atau tidak, sedangkan aku sendiri pun baru akan dapat memutuskan apakah aku mencinta dia atau tidak. Kalau dia mencinta orang lain, tentu saja aku tidak akan membiarkan hatiku mencintainya. Nah, sekali lagi aku bertanya, sebagai seorang wanita terhadap wanita lain, tanpa bermaksud menghinamu. Apakah Enci mencinta dia, ataukah tidak?"
Mau tidak mau, hati Biauw Eng tersentuh rasa gagum terhadap dara jelita ini. Seorang dara yang jujur, tegas dan tidak berpura-pura sehingga bertanya soal cinta secara begini terbuka. Sifat seperti ini memang cocok sekali dengan sifatnya sendiri, namun sekarang, setelah ia menderita racun cinta yang membuatnya bertahun-tahun merana, berduka dan akhir-akhir ini mengisi perasaannya dengan rasa kebencian, membuat hatinya mengeras dan menjawab ketus,
"Pertanyaanmu itu tidak perlu dijawab lagi karena sekarang, Cia Keng Hong tidak akan menikah siapapun juga, tidak dengan aku atau tidak pula dengan engkau, melainkan dia harus menjadi suami Suciku ini!"
"Aiiihhhhh, mana bisa begitu?" Yan Cu berteriak heran dan juga penasaran.
Keng Hong yang mendengar ucapan Biauw Eng, terkejut dan baru sekarang dia sadar bahwa di samping Biauw Eng ada seorang wanita lain yang memakai pakaian merah. Ia cepat mengalihkan pandang matanya, memandang Hun Bwee. Ia melihat wajah yang cantik dari gadis ini merah sekali akan tetapi kedua matanya mengeluarkan air mata.
"Apa artinya ini?" Keng Hong berkata perlahan, "Nona ini siapakah......?"
"Hemmmm.... Cia Keng Hong, apakah engkau benar sudah lupa kepada Suciku ini, ataukah memang berpura-pura lupa?" Biauw Eng berkata, suaranya penuh kepahitan dan kemarahan ditekan.
"Biauw Eng, aku..... aku merasa pernah melihat Nona ini, akan tetapi entah di mana dan kapan. Siapakah dia?"
"Memang beginilah laki-laki yang berwatak bejat! Menganggap wanita seperti boneka atau bunga yang hanya dinikmati keharumannya, setelah dipermainkan lalu menjadi bosan dan akan dilempar dan dilupakan begitu saja!"
"Biauw Eng......!" Keng Hong mengeluh, memprotes.
Biauw Eng tersenyum, senyum yang menikam ulu hati Keng Hong. "Hendak menyangkal? Suciku ini adalah Tan Hun Bwee, gadis bernasib malang yang telah kau perkosa kemudian kau tingalkan pergi dan kau lupakan begitu saja! Cia Keng Hong, tak kusangka bahwa engkau sekeji itu. Sekarang engkau harus mempertanggungjawabkan perbuatanmu yang terkutuk! Engkau harus menjadi suaminya yang sah!"
"Aaaaaaahhh...... Suheng...... betulkah ini.....?" Yan Cu memandang Keng Hong dengan mata terbelalak dan wajah pucat.
Keng Hong memandang Hun Bwee dan teringkatlah dia kini akan gadis baju hijau yang dahulu diperkosa oleh Lian Ci Tojin. "Ahhh, kiranya Tan-sioca....." Ia memandang penasaran, lalu menoleh kepada Biauw Eng, hendak membantah. Akan tetapi melihat betapa sinar mata gadis yang dicintanya itu penuh kebencian dan penyesalan ditujukan kepadanya, dia menahan kembali protesnya dan menarik napas panjang, lalu memandang Yan Cu dan berkata,
"Sumoi, aku tidak melakukan perbuatan keji itu. Kuharap engkau dapat percaya kepadaku....."
"Pengecut!" Biauw Eng membentak marah. "Untuk merayu hati gadis ini, tentu saja engkau hendak menutupi segala cacatmu, bersikap seolah-olah engkau seorang laki-laki yang baik. Hemmm......., pemuda mata keranjang berhati palsu!"
Keng Hong memandang Biauw Eng, sinar matanya penuh penyesalan dan suaranya lirih ketika dia berkata, "Aku menerima semua penyesalan dan makianmu, Biauw Eng. Memang aku seorang yang telah melakukan banyak sekali kesalahan terhadap dirimu. Aku bersedia kau hukum, aku siap kalau engkau hendak membunuhku, akan tetapi aku tetap mencintaimu, Biauw Eng. Mencintaimu seorang dan tidak mungkin aku mencinta orang lain lagi."
Tiba-tiba terdengar jerit melengking yang mendirikan bulu roma dan Biauw Eng terkejut sekali melihat sucinya karena ia tahu bahwa tiba-tiba penyakit gila sucinya kumat! Sepasang mata yang tadi mngucurkan air mata itu kini terbelalak liar dan mulutnya membentak,
"Sumoi, tukang perkosa ini bukan orang baik-baik! Sudah kukatakan kepadamu, mengapa melayani dia bicara? Hi-hi-hik, akan kusiksa dia sampai mati! Ha-ha-ha-ha-ha-heh-heh, akan kusayat-sayat alat kelaminnya agar dia tidak mampu mengganggu wanita lagi!"
Tiba-tiba Hun Bwee menubruk Keng Hong dengan cengkeraman pada muka pemuda itu. Keng Hong miringkan tubuh mengelak, akan tetapi tangan Hun Bwee sudah mencengkeram lagi ke arah bawah pusar! Keng Hong meloncat mundur, dan Hun Bwee sambil terkekeh-kekeh menerjang lagi, kini mengirim hantaman dengan kedua tangan bertubi-tubi, cepat bukan main dan pukulan-pukulannya mengandung tenaga yang amat kuat. Diam-diam Keng Hong terkejut juga. Nona gila ini ternyata amat luar biasa kepandaiannya, dan pantas saja kalau menjadi suci Biauw Eng! Padahal seingatnya dulu, puteri Tan-piauwsu ini tidaklah begini hebat kepandaiannya. Serangan Hun Bwee amat berbahaya, akan tetapi Keng Hong tentu saja tidak tega untuk merobohkannya, juga merasa tidak enak kalau melawannya, maka dia hanya menggerakkan tubuhnya, mengelak dari serangan Hun Bwee yang bertubi-tubi itu.
"Suci, jangan......"Biauw Eng mencegah Hun Bwee yang makin lama menjadi makin ganas itu.
"Apa? Engkau membelanya, Sumoi? Kalau begitu engkau benar mencinta Jai-hwa-cat (penjahat pemerkosa) ini?" Hun Bwee menunda serangannya dan menoleh ke arah Biauw Eng.
Wajah Biauw Eng menjadi merah sekali dan jantungnya berdebar keras. Dalam detik itu, hatinya sendiri membisikan pertanyaan yang sama. Adakah dia masih mencinta Keng Hong? Kata-kata Keng Hong yang menyatakan cinta tadi mencengkeram hatinya, sungguhpun belum sama sekali menghapus rasa bencinya yang timbul karena sakit hatinya akan sikap Keng Hong yang sudah-sudah terhadap dirinya.
"Suci, aku tidak membelanya. Akan tetapi engkau pun tidak boleh membunuhnya. Apakah engkau lupa akan perintah subo untuk menangkapnya hidup-hidup?"
Hun Bwee kelihatan seperti orang terkejut dan ia cepat mundur, akan tetapi matanya memandang kepada Keng Hong dengan liar. Melihat ini, Keng Hong menarik napas panjang dan menjadi terharu sekali. Dia merasa kasihan melihat Hun Bwee yang agaknya kini menjadi gila karena peristiwa perkosaan dahulu itu, akan tetapi dia pun terheran-heran mengapa dalam gilanya itu Hun Bwee kini menjadi begitu lihainya! Kalau begitu Biauw Eng tentu telah memperoleh kemajuan hebat pula dalam ilmu silatnya kalau gadis itu kini menjadi sumoi dari gadis gila ini! Keng Hong kembali memandang Biauw Eng dan kembali mereka saling pandang dengan perasaan hati yang tidak karuan sehingga sinar mata mereka seperti orang mimpi. Akhirnya Keng Hong berkata lirih.
"Biauw Eng, aku tidak merasa bersalah terhadap siapapun juga di dunia ini kecuali terhadap engkau, karena itu, kalau engkau yang mengambil keputusan mengenai diriku, sedikit pun aku tidak akan membantah atau melawan. Aku menyerah, Biauw Eng, menyerahkan jiwa raga kepadamu sebagai tebusan dosaku yang berkali-kali kepada engkau yang kini aku yakin adalah satu-satunya wanita yang kucinta sepenuh hatiku...."
"Tak perlu engkau merayuku!" Biauw Eng membentak dengan hati seperti diremas-remas karena ia menganggap betapa kata-kata yang amat menyenangkan dan membahagiakan hatinya itu tidak lain hanyalah rayuan kosong belaka dari pemuda yang cintanya palsu ini.
"Aku tidak merayu, dan kalau engkau menghendaki bukti, sekarang juga engkau boleh membunuhku dan aku takkan menggerakan sebuah jari pun untuk melawanmu."
Biauw Eng tersenyum dingin mengejek. "Engkau lupa bahwa tubuhku telah dimiliki orang lain......"
Senyuman dan ucapan itu menusuk jantung Keng Hong. Ia merasa betapa dia dahulu amat kejam dan tidak adil terhadap Biauw Eng. Dengan suara tergetar dia menjawab, "Aku tidak peduli akan itu, Biauw Eng". Telah lama aku sadar bahwa cinta bukanlah nafsu semata, jauh lebih tinggi dan lebih agung.....seperti cintamu terhadap aku....."
"Cukup!" Biauw Eng membentak akan tetapi bentakannya mengandung isak tertahan. "Aku dan Suci mencarimu untuk menangkapmu atas perintah subo kami. Kalau kau melawan pun boleh, kami hendak menggunakan kekerasan!"
Keng Hong menggeleng kepalanya, wajahnya penuh duka. "Tidak, Biauw Eng. Sudah kukatakan bahwa aku menyerahkan jiwa raga kepadamu. Kalau orang lain yang hendak menangkapku tanpa kesalahan, demi Tuhan, akan kulawan mati-matian. Akan tetapi kalau engkau yang hendak menangkapku, nah, silahkan aku takkan melawanmu......."
"Berlutut!" Biauw Eng membentak sambil mengeluarkan sabuk suteranya. "Engkau harus dibelenggu!"
Keng Hong tidak membantah, lalu menjatuhkan diri berlutut. Biauw Eng melangkah maju.
"Tidak boleh!!" Tiba-tiba Yan Cu meloncat ke depan Keng Hong dan berdiri tegak dengan sikap melindunginya. "Tidak boleh Suheng ditangkap begini saja tanpa kesalahan!"
Biauw Eng memandang Yan Cu dengan mata bersinar marah, akan tetapi Yan Cu tidak takut dan membalas pandangan mata Biauw Eng dengan marah pula. Dua orang dara cantik jelita ini saling berhadapan dan saling pandang dengan sinar mata berapi. Keduanya sama cantik, sama gagah, dan sama marah hendak memperebutkan Keng Hong! Bukan memperebutkan cintanya, melainkan memperebutkan orangnya. Yang satu ingin menangkapnya, yang lain ingin membebaskannya.
"Hemmmm..... kau mau apa?" Biauw Eng bertanya pendek dan suaranya dingin sekali.
Yan Cu memandang dengan mata terbelalak lebar penuh rasa penasaran dan kemarahan. "Sie Biauw Eng, engkau ini wanita apa? Hatimu keras seperti batu, dingin seperti es! Padalah di dalamnya mengandung api cinta yang bernyala-nyala dan panas membara terhadap Suheng! Engkau mencinta Suheng! Mengapa....."
"Tutup mulutmu yang lancang!!" Biauw Eng membentak marah.
Yan Cu tersenyum lebar. "Hemmmm, Enci biauw Eng, cinta itu bagaikan matahari di hari cerah! Sinarnya memancar ke mana-mana dan biarpun engkau bersikap dingin kasar dan kejam terhadap Suheng, namun sinar matamu, gerak bibirmu, semua mengandung sinar itu! Entah aku yang buta karena salah lihat ataukah engkau yang buta tidak melihat cintamu sendiri, akan tetapi jelas engkau mencinta Suheng dan Suheng pun mencintamu! Tak perlu engkau menawanya karena hati kalian sudah saling menawan! Tidak perlu engkau membelenggunya karena cinta kalian sudah saling membelenggu!"
"Pergilah!" Biauw Eng membentak dan tangan kirinya menampar. Cepat sekali gerakannya, cepat dan mengandung tenaga sinkang yang kuat sekali. Akan tetapi Yan Cu juga bukan orang lemah. Melihat datangnya tamparan ini, ia menggerakkan tangan kanannya menangkis.
"Plakkkk!!" Dua buah lengan yang kecil halus saling bertemu dan akibatnya Biauw Eng terdorong mundur dua langkah, akan tetapi Yan Cu juga terdorong sampai tiga langkah. Biauw Eng mengerutkan keningnya. Kiranya dara jelita ini memiliki kepandaian yang tidak rendah, pikirnya. Yan Cu terkejut bukan main ketika merasa betapa kuatnya tamparan Biauw Eng tadi.
"Tidak perlu engkau mencampuri urusanku!" Biauw Eng membentak.
Yan Cu meraba gagang pedangnya dan berkata, "Kalau engkau memaksakan kehendakmu untuk menawan Suheng yang tidak melawan, terpaksa akulah yang akan melawanmu!"
Sinar mata Biauw Eng menyambar tajam dan sabuk suteranya yang sudah berada di tangan itu tergetar, siap untuk dipakai menyerang dara yang cantik jelita itu, akan tetapi mulutnya bertanya,
"Bocah! Engkau mencinta Cia Keng Hong?"
Wajah yang halus putih itu menjadi merah, akan tetapi Yan Cu menggeleng kepalanya. "Setelah aku yakin bahwa dia dan engkau saling mencinta, bagaimana aku akan menjadi begitu bodoh untuk mencintanya? Tidak, aku tidak mencitanya seperti cinta seorang wanita terhadap calon suaminya! Kuhilangkan jauh-jauh nafsu jasmani dalam cinta itu dan berubahlah menjadi cinta saudara! Memang aku mencinta dan suka sekali kepada Cia Keng Hong, akan tetapi cinta dan rasa suka seorang sumoi kepada suhengnya, seorang adik terhadap kakaknya! Sie Biauw Eng, apakah kaukira seorang sumoi akan diam saja melihat suhengnya akan ditawan? Adakah seorang adik akan membolehkan saja kakaknya ditangkap?" Yan Cu menggerakan tangan mencabut pedangnya.
Keng Hong meloncat ke depan Yan Cu, memegang lengan gadis itu dan berkata,
"Sumoi, jangan.....! Jangan kau merusak lagi usahaku untuk menebus dosa terhadap Biauw Eng. Apakah engkau ingin membuat aku menjadi lebih sengsara lagi? Jangan sumoi. Aku memang sengaja membiarkan dia melakukan apa saja terhadap diriku sebagai pembalasan atas dosa-dosaku terhadapnya."
Wajah Yan Cu menjadi pucat. Biauw Eng begitu dingin dan galak, dalam kebencian tentu dapat berlaku kejam, sedangkan wanita yang seorang lagi adalah seorang gila.
"Suheng, aku tetap tidak percaya bahwa engkau bersalah terhadap Enci Biauw Eng. Dan aku sama sekali tidak percaya bahwa engkau telah melakukan perbuatan terkutuk itu terhadap Enci berpakaian merah itu. Mereka tidak boleh mengganggumu, Suheng.."
"Hussshhh, engkau adikku, bukan? Adik harus menurut kata-kata kakaknya! Syukur engkau tidak mempercayai hal itu, akan tetapi engkau menurutlah kata-kataku, sumoi. Kau harus mewakili aku untuk membagi-bagikan benda pusaka ini kepada mereka yang berhak. Berjanjilah engkau akan melakukan tugas berat ini dengan taruhan nyawamu."
Sejenak Yan Cu memandang suhengnya, lalu menarik napas panjang, menyimpan kembali pedangnya dan mengangguk. Karena anggukan ini, dua titik air mata jatuh ke atas pipinya.
"Baiklah, Suheng."
Keng Hong lalu merogoh saku bajunya, mengeluarkan pusaka-pusaka yang dicurinya dari kamar Cui Im itu satu demi satu sambil menerangknnya kepada Yan Cu.
"Pedang ini adalah pusaka Hoa-san-pai, harap kau sampaikan lebih dulu kepada ketua Hoa-san-pai karena aku sudah menjanjikannya. Kitab ini adalah kitab dari Go-bi-pai, karena tempatnya jauh, biarlah kau kembalikan ke sana paling akhir saja. Adapun tujuh buah kitab pusaka peninggalan suhu ini harap kau simpan dulu, boleh juga dititipkan subo. Jangan sampai terjatuh ke tangan orang lain."
Yan Cun menerima benda-benda pusaka itu sambil mengangguk dan menyimpannya ke dalam baju.
"Dan perhiasan-perhiasan ini......" Keng Hong teringat lalu membalikan tubuhnya, menyerahkan sekotak kecil perhiasan itu kepada Hun Bwee sambil berkata, "Nona Tan, perhiasan-perhiasan inilah yang dahulu dirampas oleh mendiang suhu Sin-jiu Kiam-ong dari tangan ayah bundamu, Tan-piauwsu dan isterinya. Sekarang kukembalikan kepadamu. Bukankah Nona dahulu mencari suhu untuk mendapatkan kembali perhiasan ini?"
Ketika tutup kotak kecil itu dibuka dan pandang mata Hun Bwee bertemu dengan benda-benda terbuat dari emas permata itu, matanya terbelalak dan terdengarlah isak tangisnya ketika ia menerima kotak itu. Matanya yang tadi liar kini berubah, ia terharu dan memeluk kotak kecil itu sambil menangis.
"Ayah...... ibu......."
Keng Hong terharu. Ia mengangkat kedua tangan ke depan dada sambil membungkuk dan berkata, "Nona Tan, saya mengembalikan barang-barang itu disertai permohonan maaf atas perbuatan mendiang suhu terhadap ayah bunda Nona, dan mudah-mudahan dengan mengembalikan ini, semua rasa permusuhan lama dapatlah dihabiskan."
Hun Bwee mengangkat mukanya memandang. Dari kedua matanya bercucuran air mata, akan tetapi ketika ia memandang Keng Hong, terbayanglah pengalamannya yang amat menyakitkan hatinya, betapa ia dalam keadaan pingsan itu diperkosa dan setelah sadar ia melihat pemuda yang dikaguminya itu menyangkal telah melakukan perbuatan itu. Akan tetapi kembali teringat oleh pikirannya yang kacau bahwa pemuda ini akan dipaksa menjadi suaminya. Tiba-tiba pandang matanya kembali aneh dan liar seperti tadi dan ia tersenyum dengan air mata masih bercucuran!
"Kau...... kau memberikan ini sebagai emas kawin......? Ahhhh, terima kasih....." dengan sikap manja seperti anak kecil mendapat barang mainan, Hun Bwee membuka kotak, berlutut dan mengeluarkan perhiasan-perhiasan itu, terus saja dipakainya. Sepasang anting-anting batu giok berbentuk kupu-kupu, hiasan rambut dari mutiara berbentuk burung hong, kalung, gelang, cincin, dan ikat pinggang dari emas ditabut intan. Semua perhiasan dipakainya, kemudian ia bangkit berdiri, memasang aksi di depan Biauw Eng sambil berkata,
"Lihat, Sumoi. Dengan perhiasan ini sebagai pengantin, bukankah aku kelihatan cantik sekali?"
Semua orang memandang dengan terharu sekali, diam-diam Yan Cu sendiri merasa terharu sekali, diam-diam ia mengutuk orang yang telah memperkosa gadis itu. Dia tidak sangsi lagi bahwa tentulah Hun Bwee mengalami guncangan batin hebat sehingga menjadi gila, akan tetapi dia tetap merasa yakin bahwa bukan Keng Hong yang melakukan perbuatan terkutuk itu.
Keng Hong juga memandang terharu dan diam-diam dia merasa menyesal mengapa dia tidak mendapat kesempatan menyeret Lian Ci Tojin dan memaksanya mengakui perbuatannya yang terkutuk atas diri gadis yang bernasib malang ini. Ia hanya memandang dengan kening berkerut.
Di dalam hati kecilnya, Biauw Eng juga masih belum bercaya kalau Keng Hong yang melakukan perkosaan itu. Semenjak bertemu pemuda ini dan hatinya tertarik dan sekaligus jatuh cinta, ia merasa yakin bahwa murid ayahnya ini adalah seorang yang tak mau melakukan perbuatan keji. Kalau toh akhirnya ia melihat pemuda ini selalu melayani cinta setiap orang wanita yang tergila-gila kepadanya, hal ini masih tidak dapat disamakan lagi dengan perbuatan memperkosa yang merupakan perbuatan jahat dan keji terkutuk. Perbuatan Keng Hong yang menyambut uluran cinta para wanita, baginya adalah hanya menandakan kelemahan hati dan watak romantis yang telah menjadi watak mendiang ayahnya pula. Hal itu memang menyakitkan hatinya, namun ia telah memaafkannya asal saja Keng Hong mencintanya dengan cinta kasih murni, tidak dengan cinta berahi seperti terhadap wanita-wanita itu! Kemudian ternyata bahwa Keng Hong membuktikan bahwa cintanya itu tidak murni, dengan kemarahan dan kebencian ketika mendengar bahwa dia telah menyerahkan tubuhnya kepada Sim Lai Sek, padahal pernyataan itu hanyalah sebagai ujian belaka. hatinya menjadi sakit hati sekali. Kini ditambah pengakuan Hun Bwee bahwa dia telah diperkosa Keng Hong, tentu saja kalau hal ini benar, dia tidak akan dapat mengampuni Keng Hong, akan memaksanya mengawini Hun Bwee atau...... membunuhnya dengan tangannya sendiri!
"Sudalah, Suci. Mari kita pulang dan membawa tawanan ini!" Kemudian ia menoleh kepada Keng Hong. "Berlututlah!"
Dengan hati sakit seperti disayat-sayat Yan Cu melihat betapa suhengnya itu berlutut di depan Biauw Eng dan memandang nona itu dengan tersenyum dan pandang matanya penuh kasih sayang! Biauw Eng juga melihat pandang mata ini, ia mendengus, membuang muka dang menggunakan sabuk suteranya mengikat kedua lengan Keng Hong di belakang tubuhnya.
"Mari kita berangkat, Suci!" Dan kepada Keng Hong yang dibelenggu kedua tangan dan ujung sabuk dipegang Biauw Eng, gadis ini menghardik, "Hayo jalan!"
Yan Cu berdiri dengan muka pucat, melihat suhengnya yang gagah perkasa itu berjalan dengan kedua tangan terbelenggu, seperti seekor kerbau dituntun. Gadis ini mengepal tangannya, menekan hatinya yang hendak memaksa dia menerjang maju menyerang dua orang gadis itu dan membebaskan suhengnya.
"Suheng......!" Ia terisak dan hendak mengejar maju.
Keng Hong menoleh dan sersenyum kepadanya, "Sumoi, pergilah dan penuhilah permintaanku tadi. Pergilah dan selamat berpisah. Percayalah bahwa biar sampai mati sekalipun, kalau mati di tangan Biauw Eng, aku rela dan tidak merasa penasaran. Selamat tinggal, Sumoi, semoga kelak engkau lebih berbahagia dalam cintamu daripada aku!"
Yan Cu menutupi mulutnya menahan isak tangis, sejenak memandang Keng Hong dengan air mata berlinang, kemudian memandang Biauw Eng dengan marah, lalu ia meloncat pergi dari tempat itu sambil menangis.
Keng Hong menoleh dan memandang ke arah berkelebatnya bayangan Yan Cu, akan tetapi tiba-tiba terdengar suara "tar-tar!" dan ujung sabuk sutera di tangan Biauw Eng sudah menampar pipinya dibarengi bentakan gadis itu. "Berangkat!"
Keng Hong merasa pipinya pedas, akan tetapi dia tersenyum. Kelirukah kalau dia menduga bahwa tamparan ini tadi timbul dari rasa cemburu? Ia masih merasa yakin akan kemurnian cinta kasih Biauw Eng dan percaya bahwa akan tiba saatnya ini akan dapat memaafkannya. Memang kalau disuruh memilih, dia lebih suka memilih mati di tangan Biauw Eng daripada hidup menjadi musuh gadis yang dicintanya ini. Sekarang makin jelaslah dia bahwa di dalam sanubarinya, sesungguhnya hanya kepada Biauw Eng seoranglah dia mencinta dengan seluruh jiwa raganya! Hanya kepada Biauw Englah ada rasa hormat dan murni dalam hatinya, tidak ingin mempermainkan, dan rasa cinta ini jauh lebih tinggi dan murni daripada rasa nafsu berahi yang ditimbulkan ketika dia menghadapi rayuan gadis-gadis cantik seperti Cui Im, mendiang Sim Ciang Bi, dan kedua orang murid wanita Kong-thong-pai!
"Sumoi, jangan siksa calon suamiku!" Tiba-tiba Hun Bwee berkata.
Keng Hong tersenyum pahit. Ia tidak tahu nasib apa yang akan dia alami. Persoalannya menjadi ruwet. Hun Bwee yang kini menjadi gila itu merasa yakin bahwa dia yang memperkosanya dan agaknya Biauw Eng percaya akan hal ini, maka hendak memaksanya mengawini Hun Bwee! Jalan satu-satunya hanyalah meyakinkan Hun Bwee bahwa yang melakukan perbuatan terkutuk itu bukan dia melainkan Lian Ci Tojin, akan tetapi untuk meyakinkan hati gadis itu tidaklah mudah. Terutama harus dapat menangkap Lian Ci Tojin. Dan kalau dia membebaskan diri untuk mencari tosu itu, tentu Biauw Eng akan merasa makin sakit hati! Biarlah, dia menyerahkan diri ke tangan Biauw Eng, hanya tentu saja dia akan menolak mati-matian kalau hendak dinikahkan dengan Hun Bwee.
Berangkatlah rombongan yang aneh ini menuju ke tempat tinggal Go-bi Thai-houw, melakukan perjalanan yang amat jauh. Di sepanjang jalan, Biauw Eng bersikap dingin, sukar dijajaki hatinya karena air mukanya tidak membayangkan sesuatu. Keng Hong tenang-tenang saja dan Hun Bwee kadang-kadang memperlihatkan sikap membenci dan marah-marah kepada Keng Hong, kadang-kadang mesra!
***
Suheng....... ah, Suheng......!" Yan Cu jalan sambil menangis. Air matanya bercucuran deras sekali di sepanjang kedua pipinya. Semenjak kecil gadis ini ikut dengan subonya belajar ilmu, belum pernah merasakan kegembiraan dan kebahagian seperti ketika ia berada di samping Keng Hong. Ia merasa amat suka kepada suhengnya itu, menganggapnya seperti kakaknya sendiri. Gadis ini yang memiliki watak periang dan jenaka sama sekali tidak merasa cemburu atau pun iri hati mendapat kenyataan bahwa Keng Hong mencinta Biauw Eng. Bahkan sebaliknya. Dia akan merasa girang sekali andaikata Biauw Eng membalas cinta kasih Keng Hong. Akan tetapi kenyataannya tidak demikian. Keng Hong dijadikan tawanan dan pemuda itu menurut saja! Ia menjadi gelisah dan berduka sekali, merasa amat kasihan kepada suhengnya. Ia tahu bahwa di tangan Biauw Eng yang cintanya bercampur rasa benci yang hebat, dan di tangan suci Biauw Eng yang gila itu, tentu Keng Hong akan celaka. Lebih celaka lagi, Keng Hong agaknya menyerahkan mati hidupnya dengan rela kepada mereka berdua!
Makin diingat makin gelisah dan makin sedih hati Yan Cu, membuat tubuhnya lemas dan akhirnya ia menjatuhkan diri di bawah sebatang pohon besar dan menangis tersedu-sedu memikirkan nasib Keng Hong. Apakah dayanya? Untuk menolong, tak mungkin. Selain kedua orang gadis itu lihai bukan main, juga Keng Hong sendiri tidak mau di tolong.
Setelah berpisah dari Keng Hong, hidup terasa sunyi dan tidak menyenangkan. Kembali kepada subonya? Selain akan mendapat marah, juga ia tentu tidak akan betah lagi tinggal di puncak gunung yang sunyi, setelah mencicipi kesenangan merantau bersama Keng Hong. Melaksanakan tugas mewakili Keng Hong dan menyampaikan pusaka-pusaka itu? Selain tidak menarik, juga hal itu malah akan terus-menerus mengingatkan dia kepada Keng Hong sehingga hatinya akan selalu tersiksa. Ah, suheng, mengapa engkau begitu bodoh? Mengapa hendak memaksakan cinta kasih seseorang? Kalau memang Biauw Eng sudah membenci setengah mati, mengapa mengorbankan diri dan nyawa secara sia-sia?
Yan Cu berduka sekali. Selama hidupnya, yaitu selama dia ikut dengan gurunya sejak kecil, belum pernah Yan Cu mengalami duka nestapa seperti ini. Dan memanglah hal ini sudah sewajarnya dan sudah semestinya. Hidup ini merupakan perimbangan dua kekuatan. Dahulu Yan Cu hidup bersama gurunya bersunyi diri di gunung, tidak mengalami kesenangan terlalu besar, karenanya pun tidak mengalami kesusahan terlalu besar. Setelah bertemu dengan Keng Hong dan merantau bersama suhengnya ia menikmati kesenangan, oleh karena itu sekali kesenangan direnggut darinya, muncullah kesusahan hati karena kehilangan! Memang senang dan susah merupakan perimbangan yang adil, dibentuk oleh hati si manusia sendiri. Suka akan sesuatu itu sudah pasti berekor duka karena sesuatu yang disukainya itu sekali amat sedih kalau barangnya yang disayang sekali itu hilang. Sebaliknya, barang yang tidak disayang apabila hilang pun tidak akan menimbulkan kesedihan yang besar.
Dia tahu bahwa Biauw Eng bukan seorang gadis lemah, akan tetapi dia memandang rendah karena dia cukup mengenal sampai di mana tingkat kepandaian gadis ini. Dengan mudah dia akan dapat menundukan Biauw Eng dan hemmm... wanita baju merah itu pun bukan main manisnya!
Tentu saja Siauw Lek tidak pernah mimpi bahwa Biauw Eng yang berada di depannya sekarang ini sama sekali tidak boleh disamakan dengan Biauw Eng yang pernah dilawannya dahulu!
Mereka adalah orang-orang kasar yang hidup liar, dan menggagahi wanita-wanita muda cantik merupakan satu di antara kesukaan mereka. Sudah gatal-gatal tangan mereka untuk menjamah tubuh yang rebah terlentang di bawah pohon itu dan mereka seperti sekumpulan kucing yang hendak berlomba menubruk seekror tikus. Akan tetapi, akan tetapi gerakan tangan pemimpin mereka membuat mereka itu menahan nafsu dan wajah mereka menjadi kecewa. Mereka sudah tahu bahwa sekali ini mereka tidak akan kebagian! Tahu bahwa pemimpin mereka, yang bertubuh tinggi kurus bermuka pucat, tergila-gila kepada gadis yang tidur itu dan menghendaki gadis itu untuk dirinya sendiri! Kalau sudah terjadi begini, terpaksa anak buah perampok yang berjumlah dua belas orang itu hanya dapat menelan ludah dan bersabar menanti sampai sang kepala menjadi bosan dan melemparkan wanita itu kepada mereka untuk dijatikan pesta-pora sampai mati seperti yang sering kali terjadi!
Sambil menyeringai kepala perampok yang tinggi kurus itu keluar dari tempat persembunyian, berindap-indap menghampiri Yan Cu yang tertidur pulas, dipandang oleh anak buahnya yang ketawa cekikikan, seolah-olah mereka menyaksikan pertunjukan yang lucu dan menyenangkan hati. Memang, orang-orang kasar ini sudah berdebar-debar ingin menyaksikan kepala mereka menubruk gadis itu, seperti seekor harimau menubruk seekor domba.
Selain dua belas pasang mata anak buah perampok itu, juga sepasang mata orang yang sejak tadi membayangi Yan Cu, ikut pula memandang dan sepasang mata ini mengeluarkan sinar berapi saking marahnya. Akan tetapi pemilik mata ini dapat menduga bahwa dara jelita yang melakukan perjalanan seorang diri di dalam hutan itu tentulah seorang dara yang memiliki kepandaian, maka dia tidak tergesa-gesa meloncat keluar menolong, hanya bersiap-siap untuk menolong apabila dara itu terancam bahaya.
Yan Cu yang sedang tidur pulas itu berkali-kali menarik napas panjang dan bahkan terisak. Ia bermimpi melihat Keng Hong disiksa oleh dua orang gadis yang menawannya, kemudian ia melihat Keng Hong merangkak mendekatinya, mengulur tangan seperti orang meminta pertolongan. Tangan suhengnya itu menyentuh jari tangannya dan ia pun cepat memegang tangan suhengnya yang minta tolong itu dan bibirnya mengeluarkan seruan penuh rasa kasihan, "Suheng Cia Keng Hong......!!"
Yan Cu tersentak kaget ketika mendengar suara orang ketawa. Ia terbangun, membuka matanya dan betapa kagetnya ketika melihat bahwa yang memegang tangannya adalah seorang laki-laki yang mukanya pucat, matanya bersinar liar dan mulutnya menyeringai kurang ajar, tertawa-tawa dan sama sekali bukan Keng Hong!
"Ihhh! Siapa engkau.....?" Bentaknya dan sekali renggut saja ia sudah dapat melepaskan tangannya sambil melompat berdiri. Kepala perampok itu tertawa-tawa dan bangkit berdiri pula. Kini dia terbelalak kagum. Selama dia menjadi kepala perampok, entah sudah berapa pula orang wanita menjadi korbannya dan korban anak buahnya, akan tetapi selama itu belum pernah dia bertemu dengan seorang dara yang secantik ini!
"Ha-ha-ha-ha-ha, bidadari yang cantik jelita! Sungguh pantas sekali engkau menjadi ratuku. Ketahuilah, aku adalah raja di hutan ini. Ha--ha-ha!"
Yan Cu mengerutkan keningnya, akan tetapi keheranannya mengatasi kemarahannya sehingga tak dapat ditahannya lagi ia bertanya, "Engkau raja hutan? Aku mendengar bahwa raja hutan adalah harimau........."
"Ha-ha-ha-ha-ha!" Suara ketawa ini tidak hanya keluar dari mulut si kepala rampok, melainkan juga dari mulut para anak buah perampok yang kini sudah muncul keluar dari tempat persembunyian mereka.
Yan Cu memandang sekeliling dan ia dapat menduga bahwa orang-orang itu tentulah bukan orang baik-baik.
"Nona manis! Memang nama julukanku adalah Tiat-jiauw-houw (Harimau Cakar Besi), akulah harimau hutan ini dan mereka ini adalah anak buahku."
"Hemmmm, jadi engkau ini perampok-perampok? Mau apakah mengangguku? Aku tidak mempunyai barang berharga."
Kepala perampok itu tertawa bergelak dan menoleh kepada para anak buahnya sambil berkata, "Dia bilang tidak mempunyai barang berharga! Ha-ha-ha-ha-ha-ha! Nona manis, tubuhnya merupakan barang yang paling berharga di dunia ini! Marilah, Nona... kalau engkau menjadi isteriku, engkau akan hidup senang........"
"Apa.......?" Yan Cu terbelalak, mukanya berubah merah, sebagaian kecil karena jengah dan sebagaian besar karena marah. "Aku menjadi isterimu? Eh, kepala perampok, apakah engkau sudah bosan hidup?"
Kini giliran si kepala rampok yang terbelalak. Gadis ini bertanya dengan sikap begitu wajar, seperti orang bertanya apakah dia sudah makan atau belum, pertanyaan yang tidak seperti ejekan atau ancaman. Tentu saja dia menjadi heran dan menjawab, "Wah, tentu saja belum, Nona! Kalau aku bosan hidup tentu harus mati, dan kalau mati mana bisa menikmati hidup senang di sampingmu? Ha-ha-ha!"
Yan Cu sedang berduka hatinya, dia kehilangan kegembiraan. Andaikata dia tidak sedang berduka, tentu dia ingin mempermainkan perampok-perampok ini. Sekarang ia menarik napas panjang, dan berkata jengkel, ""Kepala rampok, kau ajaklah anak buahmu pergi dari sini dan jangan menggangguku lagi. Kalau kau nekat dan membuat aku marah, kalian semua akan mampus. Padahal aku tidak suka membunuh orang. Pergilah!"
Yan Cu memang terlalu cantik dan terlalu halus sikapnya sehingga ucapannya itu pun tidak kelihatan seperti ancaman, lebih lucu kedengarannya daripada menyeramkan hati para perampok yang kasar itu. Tentu saja mereka itu tertawa geli mendengar ini. Kepala perampok itu pun tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha-ha-ha, wanita yang cantik seperti bidadari! Tidur pun manis, sadar lebih cantik, dan marah-marah makin denok! Ha-ha-ha, nona manis calon isteriku, tidak usah kau turun tangan membunuhku, kecantikanmu sudah membuat aku setengah mati! Marilah, manis, kau obati aku, kalau tidak aku bisa mati di depan kakimu karena rindu. Ha-ha-ha!" Kepala perampok itu menubruk maju seperti seekor harimau kelaparan, karena nafsunya membuat dia ingin sekali menerkam dara jelita ini.
Kini Yan Cu menjadi marah sekali, kemarahan yang timbul dari kedukaan hatinya. Di dalam kedukaannya itu memang ada perasaan marah kepada Biauw Eng dan Hun Bwee yang telah menawan Keng Hong dan hanya kerena Keng Hong yang melarangnya dan karena keyakinannya bahwa Keng Hong mencinta Biauw Eng maka tadinya ia menahan kemarahannya terhadap kedua orang gadis itu dan tidak turun tangan mencegak mereka menawan Keng Hong. Kini semua kemarahannya mendapat jalan keluar dan ditumpahkan kepada para perampok yang kurang ajar itu. Melihat kepala perampok itu dengan mata liar dan mulut menyeringai maju menubruknya, Yan Cu cepat mendahuluinya dengan sambaran kaki kirinya menendang. Gerakan kakinya tentu saja amat cepat bagi kepala perampok yang kasar itu sehingga dia tidak sempat menghindar lagi ketika kaki yang kecil itu melayang.
"Krakkk!"
"Wadouhhhhhh..... aaahhhhh.....!" Tubuh kepala perampok itu terjengkang dan terbanting ke atas tanah di mana dia menggunakan kedua tangan menekan-nekan dadanya dan berkelojotan. Tulang-tulang iganya patah-patah dan melesak ke dalam rongga dada!
Melihat peristiwa yang tak tersangka-sangka ini, para perampok sejenak tercengang dan melongo. Akan tetapi kemudian mereka menjadi marah sekali dan bagaikan segerombolan anjing srigala memperebutkan tulang, dua belas orang perampok itu menerjang maju.
Mungkin karena hati dan pikirannya masih penuh dengan bayangan Keng Hong dijadikan tangkapan orang, kini melihat banyak lengan terulur ke arahnya hendak menangkapnya membuat kemarahan hati Yan Cu makin menjadi-jadi. Mulutnya mengeluarkan pekik kemarahan dan kini kaki tangannya bergerak cepat sekali, tubuhnya menyambar-nyambar dan terdengarlah jerit-jerit kesakitan dan roboh pula dua belas orang itu satu demi satu, tak kuasa bangkit kembali karena dalam kemarahannya Yan Cu telah menggunakan tenaga sinkang untuk memukul atau menendang dua belas orang yang berebut hendak menangkapnya itu!
Hanya beberapa menit saja berlangsungnya pertandingan yang berat sebelah itu, seperti seekor burung garuda dikeroyok dua belas ekor anak ayam! Kini Yan Cu berdiri tegak dengan kedua tangan masih siap menghadapi pengeroyokan selanjutnya, matany mengerling ke kiri kanan penuh kemarahan. Akan tetapi, ketika ia mendapat kenyataan bahwa tidak ada orang lagi yang menyerangnya kecuali tiga belas batang tubuh yang berserakan di sekelilingnya, sebagian besar sudah mati dan yang masih bergerak hanya mereka yang sedang sekarat berkelojotan, tiba-tiba tubuhnya terasa lemas. Muka gadis itu menjadi agak pucat. Belum pernah selama hidupnya ia melakukan pembunuhan massal seperti ini.
Ia merasa ngeri dan bergidik memandangi korban-korban kemarahannya. Kemudian ia melangkah pergi meninggalkan tempat yang menimbulkan kengerian itu, melangkah pergi dan tak terasa begitu teringat kepada Keng Hong ia menangis lagi sambil berjalan. Makin berduka hatinya karena kalau saja ada Keng Hong, kiranya dia tidak akan mengalami peristiwa tadi dan tidak harus membunuhi orang, sungguhpun orang-orang yang dibunuhnya itu adalah orang-orang yang jahat.
"Keng Hong suheng....! Mengapa engkau mau saja ditawan......? Suheng..... Keng Hong.......... mengapa engkau begitu lemah..........?"
Orang yang sejak tadi membayanginya, di dalam persembunyiannya tadi terbelalak heran dan kagum menyaksikan sepak terjang gadis itu yang dalam segebrakan saja merobohkan setiap orang perampok dan dalam waktu singkat sekali membunuh tiga belas orang perampok kasar! Hal ini sungguh amat tidak disangka oleh si pengintai, dan membuat dia makin tertarik maka kini pun diam-diam dia membayangi gadis cantik itu yang pergi sambil menangis. Keluhan Yan Cu itu perlahan, akan tetapi saking sedihnya, ketika menyebut nama suhengnya, suara Yan Cu mengeras sehingga terdengar oleh pengintai itu. Si pengintai kaget sekali mendengar disebutnya nama Keng Hong, selain kaget juga gembira karena dia segera meloncat keluar dari tempat sembunyinya dan sekali meloncat saja pengintai ini telah berada di depan Yan Cu.
Yan Cu sedang berduka, namun pendengarannya amat tajam. Ia mendengar gerakan orang dan cepat mengangkat muka memandang. Melihat bayangan berbaju hijau berkelebat. Yan Cu bersikap waspada, dapat menduga bahwa ada orang pandai muncul dan sama sekali tidak boleh disamakan dengan gerombolan perampok yang terdiri dari orang-orang kasar tadi. Tentu yang datang ini adalah pemimpin perampok yang berkepandaian tinggi. Akan tetapi sekali ini Yan Cu kecelik dan ia memandang pemuda yang berdiri di depannya itu dengan mata terbelalak dan pandang mata terheran. Yang berdiri di depannya adalah seorang pemuda yang amat tampan dan gagah sekali, berusia kurang lebih dua puluh lima tahun, berpakaian warna hijau dengan model sastrawan, sikapnya halus dan pemuda itu berdiri sambil memberi hormat kepadanya.
Pemuda itu adalah Yap Cong San, jago muda dari Siauw-lim-pai. Setelah pemuda ini menerima dua buah kitab pusaka Siauw-lim-pai, yaitu kitab-kitab I-kiong-hoan-hiat dan Seng-to Cin-keng, dari tangan Keng Hong, pemuda ini membawa dua buah kitab itu kepada suhunya. Tiong Pek Hosiang, ketua Siauw-lim-pai yang sudah amat tua, menerima dua buah kitab itu dengan girang sekali. Ketika kakek sakti ini mendengar penuturan muridnya tentang Keng Hong dan Ang-kiam Bu-tek Bhe Cui Im, dia lalu menyuruh muridnya pergi menyusul Keng Hong dan membantu Keng Hong menghadapi wanita jahat itu sebagai pernyataan terima kasih dan membalas budi Keng Hong yang sudah mengembalikan dua buah kitab, dan juga untuk menghukum Cui Im atas kematian Thian Ti Hwesio. Demikianlah sebabnya mengapa kini tiba-tiba muncul Cong San di tempat itu dan secara kebetulan Cong San melihat Yan Cu dan amat tertarik hatinya. Begitu mendengar gadis itu menyebut nama Keng Hong, tentu saja cepat meloncat keluar dan menemuinya.
Akan tetapi, alangkah kagetnya ketika baru saja dia muncul dan memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan di depan dada, belum sempat mulutnya bicara, dara jelita yang mengguncangkan hatinya itu telah menerjangnya maju dan menyerangnya dengan pukulan maut! Gerakan Yan Cu amat cepatnya dan pukulan tangan kanan yang meluncur ke arah dada kiri Cong San itu mengandung tenaga sinkang yang mengeluarkan angin keras!
"Ehhh...... jangan sekarang, Nona.......!" Cong San cepat mengelak sambil berseru keras.
Sepasang mata yang bening itu berkilat. Melihat wajah tampan itu tersenyum kepadanya, Yan Cu makim marah, menganggap bahwa pemuda yang ternyata benar lihai dan dapat mengelak pukulannya secara mudah itu tentu hendak berkurang ajar pula kepadanya, maka ia hanya membentak, "Datuk perampok, kau pun harus dibasmi!" Lalu ia menerjang pula, sekali ini dengan pengerahan kecepatannya sehingga secara bertubi kepalan tangan kanannya menonjok perut, disusul tangan kiri mencengkeram ke arah hidung, kemudian dibarengi kedua kakinya melakukan tendangan berantai kanan kiri mengarah pusar dan lutut!
Cong San makin terkejut. Serangan ini benar-benar amat berbahaya! Pukulan ke perut terpaksa dia tangkis sambil mengerahkan tenaga lunak karena dia tidak ingin mengadu tenaga keras lawak keras khawatir melukai lengan berkulit halus itu, akan tetapi cengkeraman pada hidungnya membuat dia kaget dan cepat dia miringkan kepala, dan ketika dua tendangan susul-menyusul menyambar, dia berseru kaget, "Wah, galak.....!" Dan terpaksa dia meloncat ke belakang menghindarkan diri.
Yan Cu menjadi penasaran dan marah sekali. Lupa ia akan kesedihannya karena kini kemarahan menguasai hatinya dan membuat ia lupa segala. Dengan muka merah dan mata berapi ia menudingkan telunjuknya ke arah hidung Cong San sambil memaki,
"Kau bilang aku galak? Memang aku galak, akan tetapi engkau ceriwis, cabul, tidak sopan, jahat dan keji, tukang merampok dan memperkosa........"
"Wah, wah....... cukup, Nona! Aku bukan orang jahat.....!" Cong San menangkis dengan kata-kata menyangkal sambil bersikap waspada karena agaknya nona yang amat jelita ini pun amat galak.
Yan Cu tertawa mengejek. Serrrrr! Jantung Cong San membuat loncatan salto di dalam rongga dadanya dan agaknya terbanting kembali dalam keadaan terbalik karena debar jantungnya kini sampai terdengar oleh telinganya, amat keras! Melihat wajah itu tertawa benar-benar membuat dia terpesona, apalagi kini melihat mulut yang biarpun tertawa mengejek masih terlalu manis tampak olehnya itu mengeluarkan kata-kata, membuat pandang matanya seolah-olah melekat pada sepasang bibir yang bergerak-gerak itu,
"Tidak jahat? Engkau mengintai aku secara sembunyi, masih bilang bukan orang jahat? Hayo katakan, mengapa engkau mengintai dan membayangiku!"
Sampai lama Yan Cu menanti, pemuda itu tidak menjawab, hanya melongo memandang mulutnya. Memang Cong San tidak mendengar ucapan dan pertanyaan tadi. Pemuda ini masih terpesona, seperti melayang semangatnya, debar jantungnya yang keras membuat telinganya terngiang-ngiang dan tidak dapat menangkap kata-kata Yan Cu. Bagaimana mungkin ada mata seindah itu? Cong San bukan seorang pemuda mata keranjang. Jauh daripada itu. Selama berada dalam gemblengan Tiong Pek Hosiang di Siauw-lim-si, kakek ini selain mengajarkan ilmu silat tinggi, juga mengajarkan kebatinan dan karena itu dia tidak pernah memikirkan wanita. Karena batinnya yang kuat dan dasar susilanya tebal, tidaklah mudah kecantikan wanita menggiurkan hati pemuda jago Siauw-lim-pai ini. Akan tetapi, sekali ini berhadapan dengan Yan Cu, dia benar-benar terpesona dan kehilangan akal, seolah-olah matanya menjadi silau seperti langsung memandang cahaya matahari di tengah hari!
"Heiii! Jawab pertanyaanku!!" Yan Cu membentak makin marah.
"Eh.....! Ohhh.....! Apa..... apa yang kau kehendaki, Nona?" Cong San bertanya gugup. Akan tetapi karena tidak ingin mendapat kesan buruk, otomatis pemuda ini tersenyum ramah.
Kembali Yan Cu menganggap senyum yang membuat wajah itu makin tampan sebagai senyum kurang ajar, seperti senyum kepala rampok tadi. Kemarahannya memuncak dan ia memaki, "Cengar-cengir seperti monyet kurang ajar!" Dan serta merta gadis ini sudah mencabut sebatang pedang. Tampak sinar berkilat dan ketika pedang itu digerakan menyerang Cong San, terdengar bunyi berdesing dan pedang berubah menjadi gulungan sinar putih menyilaukan mata. Gulungan sinar ini berkelebat menyambar dan hendak "mengalungi" leher Cong San! Tentu saja pemuda ini kaget setengah mati, dan cepat mengelak. Kalau lehernya dikalungi rangkaian bunga atau lebih hebat lagi dikalungi kedua lengan berkulit halus nona itu, tentulah amat menyenangkan. Akan tetapi dikalungi pedang! Tujuh kali berturut-turut sinar pedang menyambar, akan tetapi dengan cekatan dan tubuh ringan sekali Cong San dapat mengelak. Dia amat terkejut menyeksikan kehebatan gerak dan serangan yan Cu, akan tetapi lebih kaget dia mengenal pedang itu.
"Pokiam (pedang pusaka) Hoa-san-pai.....!" Ia berseru ketika untuk ketujuh kalinya dia meloncat tinggi ke belakang untuk menghindarkan babatan pedang kepinggangnya.
Memang Yan Cu telah mencabut pedang pusaka Hoa-san-pai yang oleh Keng Hong diserahkan kepadanya bersama pusaka-pusaka yang lain. Ia menahan serangnya, sebagian karena kagum sekali menyaksikan betapa pemuda itu dengan tidak banyak kesukaran dapat menghindarkan serangan-serangannya, dan sebagian lagi karena tertarik mendengar seruan yang menyatakan bahwa pemuda ini mengenal pokiam dari Hoa-san-pai.
"kau mengenal Hoa-san Po-kiam? Dan masih tidak cepat-cepat minggat dari sini?" bentaknya.
Cong San cepat memberi hormat, bersoja, tanpa dibalas oleh Yan Cu, "Nona, harap maafkan, aku bukan orang jahat......"
Yan Cu membanting-banting kakinya tak sabar. "Sudahlah, berapa kali kau hendak bilang bahwa kau bukan orang jahat? Seperti penjual kecap saja yang memuji-muji dagangan sendiri! Kau jahat atau baik, apa hubungannya dengan aku? Apa kau mau mencari muka dengan memuji-muji diri sendiri?"
"Wah...... wah.....!" Cong San tak dapat bicara, menelan ludah dan mukanya menjadi merah sekali.
"Masih wah-wah-weh-weh mau apa lagi? Pergilah dan jangan mengganggu aku, dan jangan pula membayangiku!"
Akan tetapi Cong San masih belum pergi, menoleh pun tidak melainkan menunduk karena masih mengatur napasnya yang tidak karuan.
"Mau apa lagi?!" Yan Cu membentak, pedang di tangannya siap menyerang.
"Maaf, Nona. Aku...... aku memang bersalah, membayangimu karena aku tadi melihat kau berjalan sambil menangis. Kemudian muncul perampok-perampok itu...... dan aku kagum melihat betapa engkau merobohkan mereka........."
"Hemmmm...... dan kau diam saja, ya? Laki-laki apa ini? Melihat seorang wanita diganggu perampok malah menonton gratis. Senang, ya? Pertunjukan menarik, ya? Sudahlah, aku jemu mendengar dongengmu, Pergilah!"
"Maaf......."
Yan Cu membanting kakinya lagi. "Maaf....... maaf....... apa kaukira aku ini tempat orang minta maaf? Kalau mau minta maaf, pergilah ke kelenteng menebus dosa!"
Cong San makin gugup. Ia harus cepat menjelaskan, kalau tidak bisa berabe benar berurusan dengan gadis jelita yang galak ini. "Begini, Nona. Aku sama sekali tidak bermaksud kurang ajar. Melihat sepak terjangmu terhadap perampok-perampok itu, bagaimana aku berani lancang turun tangan? Seratus orang seperti mereka masih tidak akan sanggup mengganggumu. Aku sudah hendak pergi, akan tetapi aku tertarik mendengar engkau menyebut nama Keng Hong. Cia Keng Hong adalah sahabat baikku, dan aku justeru sedang pergi mencarinya. Dapatkah engkau menunjukan di mana adanya sahabat Cia Keng Hong?"
Tiba-tiba timbul harapan di hati Yan Cu. Setelah agak lama melihat pemuda ini, ia pun merasa yakin bahwa pemuda ini bukan orang jahat dan kini mengaku sebagai sahabat suhengnya. Agaknya pemuda ini pun lihai sekali. Kalau pemuda ini membantunya menghadapi Biauw Eng dan Hun Bwee, kiranya mereka berdua akan dapat membebaskan Keng Hong! Akan tetapi ia masih belum yakin benar. Biauw Eng amat lihai, juga Hun Bwee wanita gila itu lihai sekali. Dia akan mencoba dulu!
"Tidak percaya! Engkau tentu akan mencelakakan suhengku Cia Keng Hong!" Sambil berkata demikian, Yan Cu sudah menerjang maju lagi dengan Hoa-san Po-kiam, mengirim serangan hebat.
Cong San kaget. Bukan hanya oleh serangan ini, akan tetapi mendengar pengakuan gadis ini sebagai adik seperguruan Keng Hong. Dia cepat mengelak akan tetapi sinar pedang yang putih menyilaukan mata itu terus mendesaknya. Biarpun dia merasa yakin akan dapat mengatasi gadis lihai ini, namun dengan tangan kosong menghadapi amukan pedang seperti itu, amatlah berbahaya.
Di samping ini, timbul pula di hatinya untuk menguji kelihaian gadis yang telah menjatuhkan hatinya tanpa dia sadari ini. Orangnya cantik jelita, wataknya lincah, galak, apalagi sebagai sumoi dari Keng Hong, tentu kepandaiannya hebat. Cepat dia pun mengeluarkan senjatanya, yaitu sepasang Im-Yang-pit yang berwarna hitam dan putih.
"Kau memaksaku, Nona. Apa boleh buat, marilah kulayani Nona berlatih sebentar!"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar